You are on page 1of 14

Tasawuf dan Maqamat

(Analisa Kritis terhadap maqamat-maqamat dalam Tasawuf)

Disusun untuk dipresentasikan dalam seminar kelas pada Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran dalam Islam pada program Pasca Sarjana UIN Suska Riau

Oleh : Syukron Darsyah NIM : 0804 S2 777

Dosen Pembimbing : DR. Asmal May, MA JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SULTAN SYARIF KASIM RIAU 2009
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb Syukur alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah Swt atas karunia dan rahmat-Nya kepada kita semua. Shalawat dan salam selalu tercurah kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas dan dipresentasikan dalam seminar kelas pada Mata Kuliah Perkembangan Pemikiran dalam Islam , di konsentrasi Pendidikan Islam Program Pasca Sarja Universitas Islam Negeri (UIN) Suska Riau. Makalah ini membahas dan membicarakan tentang ajaran tasawuf dan maqomat-maqamatnya. Juga dibahas tentang definisi tasawuf. Akhirnya, ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, baik itu referensi buku maupun pandangan, masukan dan diskusi-diskusi yang membangun dengan tema yang diangkat. Kritik dan saran sangat perlu kiranya disampaikan sebagai bahan evaluasi dan perbaikan dimasa mendatang, baik itu isi, penulisan maupun metodologi yang digunakan. Terima kasih Wassalam Wr. Wb

Pekanbaru, Juni 2009

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR............................................................................................... DAFTAR ISI.............................................................................................................

i ii

A. B. C.

Pendahuluan ............................................................................................ Definisi Tasawuf...................................................................................... Maqamat dalam Tasawuf ........................................................................ Al-Taubah Al-Zuhud Al-Wara Al-Faqr Al-Shabr Al-Tawakal Al-Ridha ....................................................................... ................................................................................... ................................................................................... ................................................................................... ................................................................................... ................................................................................... ...................................................................................

4 5 6 7 9 10 10 11 11 12 12

D. Penutup

..............................................................................................

Daftar Pustaka

Tasawuf Dan Maqamat A. Pendahuluan Manusia memiliki berbagai macam potensi yang sudah ada sejak lahir. Potensi tersebut diantaranya adalah panca indera (anggotatubuh), akal pikiran dan hatisanubari. Ketiga potensi ini harus bersih, sehat, berdaya guna dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk menghasilakn kondisi seperti itu, ada tiga bidang ilmu yang sangat berperan penting. Pertama adalah fizh yang berperan dalam membersihkan dan menyehatkan panca indera dan anggota tubuh lainnya. Istilah yang digunakan fiqh untuk pembersihan dan penyehatan panca indera adalah thaharah (bersuci). Karena pada dasarnya fiqh banyak berurusan dengan dimensi eksoterik (lahiriyyah) diri manusia. Bidang yang kedua adalah filsafat yang berperan dalam menggerakkan, menyehatkan dan meluruskan akal fikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan dengan metafisik dari manusia, dalam rangka menghasilkan konsep-konsep yang menjelaskan inti tentang sesuatu.. sedangkan bodang yang ketiga adalah adalah tasawuf yang berperan dalam membersihkan hati sanubari manusia. Karenanya tasawuf banyak berurusan dengan dimensi esotorik (batiniyah) dari manusia. Tasawuf merupakan bidang yang cukup penting untuk didalami dan diamalkan karena berupaya untuk lebih dekat dengan Tuhan dengan cara dan prosesnya sendiri. Tasawuf sendiri berurusan dengan penyusucian al-fuad (hati sanubari) agar ia tetap jernih dan dengan jiwa yang jernih ia dapat memancarkan akhlak yang mulia dan dapat beribadah kepada Allah dengan baik.

B.

Definisi Tasawuf Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-

hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu al-Suffah (orang yang ikut berpindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah), Saf (Barisan), Sufi (Suci), Sophos (bahasa Yunani: Hikmah) dan Suf (Wol).1 Kata Ahl Al-Suffah menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lain sebagainya hanya untuk Allah. Mereka ini rela meninggalkan kampung halamannya, rumah, kekayaan dan lainnya untuk hijrah dengan Nabi ke Madinah. Tanpa rasa iman dan kecintaan kepada Allah hal tersebut mungkin sulit untuk dilakukan. Sedangkan kata Saf juga menggambarkan orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan. Demikian juga kata Suf (suci) menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat. Kata suf (kain wol) menggambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan dunia. Sedangkan kata sophos (bahasa Yunani) menggambarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung kepada kebenaran. Sedangkan Hamka dalam bukunya Tasawuf Modern mengatakan bahwa Tasawuf atau kaum Sufi ialah kaum yang telah menyusun kumpulan menyisihkan diri dari orang banyak dengan maksud membersihkan hati, laksana kilat kaca terhadap Tuhan atau memakai pakaian yang sederhana, jangan menyerupai pakaian orang dunia biar hidup kelihatan kurus kering bagai kayu dipadang pasir, atau memperdalam penyelidikan tentang perhubungan makhluk dengan khaliknya.2 Dari beberapa kata dan istilah linguistik diatas dapat dipahami bahwa tasawuf adah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana.
1 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam , (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 179 2 Hamka, Tasauf Moderen, (Jakarta,: Pustaka Panjimas, 1990), h. 1-2

C.

Maqamat dalam Tasawuf

Secara harfiah, maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang berdiri atau pangkal mulia.
3

Istilah ini selanjutnya digunakan untuk arti sebagai

jalan panjang yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk berada dekat dengan Allah.4 Sedangkan dalam bahasa Inggris maqamat dikenal dengan istilah Stages yang berarti tangga. Dikalangan sufi, orang yang pertama yang membahas maqamat atau jenjang dan fase perjalanan menuju kedekatan dengan Tuhan, barangkali adalah al-Haris Ibnu Asad al-Muhasibi (w.243 H). Ia digelari al-Muhasibi karena kegemarannya melakukan muhassabah atau introspeksi diri. Menurutnya, perhitungan dan perbandingan terletak diantara keimanan dan kekefiran, antara kejujuran dan kekhianatan, antara tauhid dan syirik serta antara ikhlas dan Riya.5 Kemudian muncul pula al-Surri al-Saqathi (w. 257 h), dia merupakan satu angkatan dengan Haris ibnu Asad. Dia berpendapat bahwa ada empat hal yang harus ada dalam kalbu seseorang, yaitu rasa takut hanya kepada Allah, rasa harap hanya kepada Allah, rasa cinta hanya kepada Allah dan rasa akrab hanya dengan Allah. Kemudian tampil pula Abu Zaid al-Kharraz (w.277 H) dengan formasi lengkap serial dan fase perjalanan sufi. Siapapun yang pertama kali menyususn al-Maqamat, tidaklah menjadi permasalahan utama. Yang pasti adalah bahwa sejak abad ke-3 Hijriyah setiap orang yang ingin mencapai tujuan tasawuf atau ingin menjadi sufi, ia harus menempuh jalan yang berat dan panjang, melakukan berbagai macam latihan amalan, baik yang bersifat amalan lahiriyah maupun batiniyyah. Kendatipun pengetahuan ketasawufan itu bersifat refetatif, namun dapat dipelajari melalui tahapan-tahapan tertentu yang disebut maqamat.
3 Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 362 4 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme.........., h. 62 5 A. Rivay Siregar, Tasawuf, Dari Sufistik Klasik ke Neo Sufisme , (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h. 113

Tentang berapa jumlah tangga atau muqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk sampai menuju Tuhan, dikalangan para sufi tidak ada yang sama pendapatnya. Muhammad al-Kalabazy dalam kitabnya al-Taarruf Mazhab ahl al-Tasawuf, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution misalnya mengatakan bahwa Muqamat itu jumlahnya ada sepuluh, yaitu al-Taubah, Al-Zuhud, Al-Shabr, Al-Faqr, al-tawadlu, al-Taqwa, al-Tawakkal, al-Ridla, al-Mahabbah dan alMarifah.6 Sedangkan menurut al-Thusi yang paling banyak digunakan para sufi adalah al-Taubah, Al-Zuhud, Wara, Al-Shabr, al-Tawakkal, al-Ridla. Akan tetapi, ada beberapa sufi yang berpendapat bahwa sesudah ridha masih ada maqom yang lebih tinggi, yaitu ma;rifat, mahabbah dan ittihad. Perjalanan dari satu etape ke etape berikutnya adalah suatu perjalanan safari yang berat dan sulit. Oleh karenanya, untuk mencapai tujuan itu, tidak akan terlaksana kecuali melalui perjuangan dan pengorbanan. Yang disebut mujahadat. Perjuangan itu meliputi aspek lahiriyah dan hal-hal yang bersifat pelaksanaan syariat dan muamalah maupun aspek batiniyyah atau hakikat, mempertinggi mutu pengetahuan dan pengalamannya, melenyapkan sikap-sikap yang tidak baik dan mengisi diri dengan sikap-sikap yang terpuji sampai terdcapai tingkat muqqarabin. Diantara metode munahadat yang umum dilakukan para sufi adalah melalui riyadah atau latihan yang intensif dan berkesinambungan. Dengan cara melatih diri untuk membiasakan sikap hidup dengan situasi yang baru dialami, lambat laun akan terbiasa dan menjadi kepribadian. 1.
Al-Taubah

Al-Taubah berasal dari Bahasa Arab yaitu taba, yatubu taubatan yang artinya kembali. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal

6 A. Rivay Siregar, Tasawuf, Dari Sufistik Klasik.........., h.. 62

kebajikan. Harun Nasution mengatakan bahwa taubat yang dimaksud kaum sufi ialah taubat yang sebenarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi.7 Dalam mengartikan taubat, para sufi berbeda pendapat, akan tetapi secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu pertama, taubat dalam pengertian meninggalkan segala kemaksiatan dan melakukan kebajikan secara terus menerus. kedua, taubat ialah keluar dari kejahatan dan memasuki kebaikan karena takut pada murka Allah. Ketiga, taubat adalah terus menerus bertaubat walaupunsudah tidak pernah lagi berbuat dosa yang disebut taubat aladawam atau taubat abadi. Menurut sufi, yang menyebabkan manusia jauh dari Allah adalah karena dosa, sebab dosa adalah sesuatu yang kotor, sedangkan Allah Maha Suci dan menyukai yang suci. Oleh karena itu, apabila seseorang ingin mendekatkan diri kepada-Nya atau ingin melihat-Nya, maka ia harus membersihkan dirinya dari segala dosa dengan jalan bertaubat dalam pengertian yang sebenarnya. Selanjutnya, dalam bukunya Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Mustafa Zahri menyebut taubat berbarengan dengan istigfar (memohon ampun). Bagi orang awam taubat cukup dengan membaca astagfirullah wa atubu ilaihi (aku memohon ampun dan bertaubat kepada-Nya) sebanyak 70 kali sehari semalam. Sedangkan bagi orang khawas bertaubat dengan mengadakan riadah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha membuka hijab (tabir) yang membatasi diri dengan Tuhan.8 Bagi sufi, fungsi taubat bukan hanya menghapus dosa, akan tetapi lebih dari itu, yaitu sebagai syarat mutlak agar dapat dekat dengan Allah. Oleh karena itu, mereka menetapkan istighfar sebagai salah satu amalan yang harus dilakukan beratus-ratus kali dalamsehari agar ia bersih dari dosa. Taubat adalah langkah pertama yang harus dilakukan oleh seseorang yang mulai memasuki sufi yang ingin berada sedekat mungkin dengan Tuhan, Sebab Rasulullah sendiri yang bersih dari dosa, masih memohon ampun dan bertaubat apalagi seorang manusia biasa yang tidak luput dari salah dan dosa.
7 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme.........., h.. 67 8 Mustafa Zahri, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995) h.105-106

2.

Al-Zuhud

Secara harfiah al-zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniawian.9 Sedangkan menurut Harun Nasution zuhud artinya keadaan meninggalnya dunia dan hidup kematerian.10 Selanjutnya, Al-Qusyairi mengatakan bahwa diantara para ulama berbeda pendapat dalam mengartikan zuhud. Sebagian ada yang mengatakan bahwa zuhud adalah orang yang berzuhud didalam masalah yang haram, karena yang halal adalah sesuatu yang mubah dalam pandangan Allah, yaitu orang yang diberikan nikmat berupa harta yang halal, kenudian ia bersyukur dan meninggalkan dunia itu dengan kesadarannya sendiri. Sebagian ada pula yang mengatakan bahwa zuhud adalah zuhud dalam yang haram sebagai suatu kewajiban. Zuhud termasuk salah satu ajaran agama yang sangat penting dalam rangka mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih mengutamakan dan mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi, dari pada mengejar kehidupan dunia yang fana dan sementara. Sikap zuhud adalah sikap yang harus ditempuh oleh seorang calon sufi. Sikap ini dalam sejarah pertama kali muncul ketika terjadi kesenjangan antara kaun yang hidup sederhana dengan para raja yang hidup dalam kemewahan dan berbuat dosa. Muawiyah misalnya disebut sebagai raja Roma dan Persia yang hidup dalam kemewahan, anaknya Yazid dikenal juga sebagai pemabuk. 11 Demikian pula halnya dengan khalifah-khalifah Bani Abbas. Al-Amin, Ank Harun Al-Rasyid juga dikenal dalam sejarah sebagai orang yang kepribadiannya jauh dari kesucian, sehingga ia dibenci oleh ibunya sendiri Zubaidah.

9 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia,..........,h. 158 10 Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme.........., h. 64 11 Ibid.

Sementara sumber lain menyebutkan bahwa sebelum timbul hidup mewah di zaman Muawwiyah dan Abbasiyyah itu telah timbul pula sikap perlombaan dan persaingan tidak sehat di zaman Usman dan Ali. Dalam keadaan demikian, ada sahabat yang tidak melibatkan diri. Mereka mengasingkan diri dari persaingan tersebut. Berkenaan dengan hal demikian, maka timbullah sikap zahid. Para zahid Kuffahlah yang pertama kali memakai pakaian kasar sebagai reaksi terhadap pakaian sutera yang dipakai golongan Muawiyyah. Mereka itu seperti Sufyan alTsauri (w.135 H), Abu Hasyim ((w.150 H), Jabir Ibn Hasyim (w.190), Hasan Basri (w.110 H) dan Rabiah al-Adawiyah. 3.
Al-Wara

Secara harfiah al-Wara artinya saleh, menjauhkan diri dari perbuatan dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan dalam pengertia Sufi, Al-Wara adalah meninggalkan segala yang didalamnya terdapat keragu-raguan antara halal dan haram. Orang suci yang mengisi hidup dan kehidupannya dengan selalu menjaga kesucian, indah dalam kebaikan, tentu saja selalu waspada dalam berbuat. Mereka tidak mau menggunakan sesuatu sesuatu yang tidak jelas statusnya, apalagi yang jelaselas haram. Sikap hidup yang seperti itulah yang disebut wara. 4.
Al-Faqr

Seperti halnya dalam istilah-istilah yang lain, al-Faqr juga mempunyai interpretasi yang berbeda antara satu sufi dengan sufi yang lain. Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh atau orang miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi, fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban, tidak meminta walaupun itu tidak ada pada diri kita.

10

Bagaimanapun konotasi yang diberikan masing-masing sufi dalam masalah ini, namun pesan yang tersirat didalamnya adalah agar manusia bersikap hati-hati terhadap pengaruh negatif yang diakibatkan oleh keinginan kepada harta kekayaan. Namun bagi sufi itu sendiri, mereka merasa lebih baik tidak punya apaapa atau sudah merasa cukup dengan apa adanya daropada punya akan tetapi menyiksa. Hal ini sesuai dengan pola hidup dasar kaum sufi yang tergambar di atas yang selalu berhati-hati. 5.
Al-Shabr

Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zun al-Misri sabar artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah, tetapi tenang ketika mendapatkan cobaan dan menempatkan sikap cukup walaupun sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Dikalangan para sufi, sabar diartikan sabar dalam menjalankan perintahperintah Allah, dalam menjauhi segala larangannya dan dalam menerima segala percobaan-percobaan yang ditimpakann-Nya pada diri kita. Sabar dalam menunggu datangnya pertolongan Allah, sabar dalam menjalani cobaan dan tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Sebagaimana halnya dengan maqom yang lain, maka sikap mental sabar inipun tidak bisa terwujud begitu saja tanpa melalui latihan yang sungguhsungguh. Sikap sabar memegang peranan penting dalam rangka mencapai tujuan para sufi. Begitu pentingnya nilai dan makna kesabaran, sehingga sukses tidaknya suatu perjuangan sangat tergantung kepada kesabaran. Orang yang telah berhasil membentuk dirinya sebagai manusia penyabar ia akan memperoleh status yang tinggi dan mulia. 6.
Al-Tawakkal

Secara umum pengertian tawakkal adalah pasrah dan mempercayakan secara kepada Allah setelah melaksanakan suatu rencana dan usaha. Tawakkal erat hubungannya dengan rencana dan usaha. Apabila rencana sudah matang dan usaha yang dijalankan dengan sungguh-sungguh sesuai dengan rencana, maka

11

hasilnya diserahkan kepada Allah. Hanya Allah yang dapat mengetahui dengan pasti apa yangakan terjadi. Oleh karena itu, manusia harus menyerahkan kepada keputusan dan ketentuan Allah. Dalam ajaran Islam diajarkan bahwa tawakkal dilakukan setelah sesudah segala daya upaya dan ikhtiyar dijalankannya. Jadi, yang ditawakalkan atau digantungkan pada rahmat pertolongan Allah adalah hasil usahanya sesudah segala ikhtiyar dilakukannya. Dalam tasawuf tawakal dijadikan satu maqam yang diberi pengertian secara khusus yang berbeda dan menyimpang dari ajaran rawakkal dalam agama. Meenurut Simuh Tasawuf menjadikan maqam tawakkal sebagai wasilah atau sebagai tangga untuk memalingkan dan mensucikan hati manusia agar tidak terikat dan tidak ingin dan memikirkan keduniawian serta apa saja selain Allah. Oleh karena itu, sesuai dengan cita ajaran tasawuf tawakal dijadikan prinsip ajaran yang mengarah kepada paham jabariyah mutlak.12 7.
Al-Ridha

Ridha berarti menerima tawakkal dengan kerelaan hati. Menurut Dzu nun alMishri sebagai mana dikutip oleh Rivay Siregar bahwa tanda-tanda orang yang sudah ridha ada tiga yaitu mempercakan hasil usaha sebelum terjadi ketentua, lenyapnya resah gelisah sesudah terjadi ketentuan dan cinta yang bergelora ketika turunnya mala petaka.13 Pengertian ridha diatas nampaknya merupakan perpaduan antara sabar dan tawakkal sehingga melahirkan sikap mental yang merasa tenang dan senang menerima segala situasi dan kondisi. Setiap yang terjadi disambut dengan hati terbuka, bahkan dengan rasa nikmat dan bahagia walaupun yang datang itu merupakan bencana. D. Penutup

12 Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 66-67 13 A. Rivay Siregar, Tasawuf, Dari Sufistik Klasik.........., h. 122

12

Tujuan terpenting dari tasawuf adalah agar berada sedekat mungkin dengan Allah. Oleh karena itu, ada beberapa sasaran awal dari tasawuf sebelum kepada sasaran akhir kepada Allah yaitu pertama, tasawuf bertujuan untuk pembinaan aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkankestabilan jiwa yang berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu, sehingga manusia komitmen dan konsisten hanya kepada keluhuran moral. Kedua tasawuf yang bertujuan untuk makrifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode alkasyf al-hijab. Dan yang ketiga adalah tasawuf yang bertujuan untuk membahas bagaimana sistem pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis. Tasawuf berusaha untuk mendekatkan diri kepada Allah sehingga ia bisa bertemu dengan Allah. Metode dan jalan tasawuf sendiri merupakan sebuah proses yang cukup panjang yang membutuhkan pemahaman dan konsentrasi yang cukup mendalam.

13

DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Tasauf Moderen, Jakarta,: Pustaka Panjimas, 1990. Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990 Nasution, Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1983. Siregar, A. Rivay, Tasawuf, Dari Sufistik Klasik ke Neo Sufisme, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002. Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Zahri, Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.

14

You might also like