You are on page 1of 29

Identitas Buku: Judul : Mobilitas dan Kontrol: Studi tentang Perubahan Sosial

di Pedesaan Jawa 1942-1945 Penulis Tahun Terbit Penerbit Tempat Terbit Tebal Buku : Aiko Kurasawa : 1993 : Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo) : Jakarta : xxxv + 563 halaman Mobilitas dan Kontrol Diperkenalkannya kebijakan ekonomi yang sangat memeras, dalam banyak hal sungguh-sungguh mempengaruhi masyarakat pribumi. Karena sasaran utama eksploitasi di Jawa adalah hasil-hasil pertanian serta tenaga kerja, pihak Jepang tidak bisa mencapai tujuan mereka tanpa kerjasama yang baik dari penduduk pribumi, dan hal ini mau tidak mau mendorong pemerintahan militer ke dalam kontak dan campur tangan yang mendalam dengan masyarakat pribumi. Oleh karena itu, sebagaimana dinyatakan oleh McCoy, penerapan kebijakan-kebijakan sosio-ekonomi Jepang, serta tanggapan rakyat jelata (massa) terhadapnya, menjadi salah satu pokok penelitian yang penting. Topik ini lebih penting terutama karena kebijakan Jepang sebenarnya lebih diarahkan kepada massa daripada kepada elite kota. Manipulasi terhadap kelas penguasa tak lebih dari sekadar sarana untuk mendapatkan kontrol atas massa. Akan tetapi, studistudi yang ada selama ini lebih ditekankan pada para pemimpin dan kaum elite sebagai pelaku sejarah, dengan lokasi yang umumnya ada di sektor perkotaan. Studi-studi yang diarahkan pada Revolusi Sosial sekalipun, cenderung begitu, kecuali studi-studi yang dilakukan Anton Lucas. Hanya sedikit yang mengulas persoalan seperti apa yang sebenarnya terjadi di lapisan masyarakat bawah,

terutama di masyarakat pedesaan, yang menjadi bagian terbesar dari masyarakat Indonesia pada masa itu. Untuk bisa memahami dampak kebijakan-kebijakan Jepang terhadap massa, diperlukan akses/pendekatan dari berbagai aspek. Di samping penelitianpenelitian terhadap kebijakan-kebijakan sosial ekonomi, harus dipertimbangkan juga serangkaian perangkat yang digunakan Jepang untuk menarik kerjasama umum, seperti propaganda, pendidikan serta mobilitas politik. Lebih jauh lagi dalam membahas masalah ini, perlu dikupas juga kebijakan serupa yang dilakukan di Jepang terhadap rakyat mereka sendiri, karena kebanyakan kebijakan yang dilakukan di Jawa merupakan tiruan dari kebijakan-kebijakan yang dilakukan di Jepang. Dengan terhentinya perdagangan luar negeri dan adanya tuntutan militer secara besar-besaran dari pihak Jepang, terjadi perubahan yang radikal dalam keseimbangan pemasokan dan permintaan barang dan komoditi. Juga, pihak pemerintah harus mempengaruhi penduduk desa untuk menyesuaikan sistem produksi mereka dengan situasi baru ini. Bahan pangan dan makanan sangat dibutuhkan sehingga produksinya harus ditingkatkan, sementara produksi tanaman keras yang sebelumnya untuk diekspor, dibatasi. Di samping kontrol atas produksi ini, pemerintah harus mengumpulkan hasil produksi secara efektif. Untuk tujuan tersebut mereka menerapkan sistem pengawasan yang sangat ketat dalam hal pemasaran dan distribusi komoditi. Petani diperintahkan untuk menyerahkan sebagian panen mereka kepada pemerintah (sistem penyerahan paksa). Selain itu, untuk mengatasi persoalan langkanya komoditi, distribusi dan sirkulasinya harus dibatasi dengan memperkenalkan sistem penjatahan. Semua kebijakan tersebut memperburuk kehidupan petani serta meningkatkan kemiskinan di wilayah pedesaan. Tenaga manusia juga direkrut untuk bekerja bagi negara di bawah sebutan romusa dan pemasok tenaga ini yang terbesar ialah masyarakat pedesaan, yang memiliki jumlah penduduk yang sangat banyak serta tingkat pengangguran

terselubung yang tinggi. Jutaan manusia direkrut, yang membawa akibat serius tidak hanya dalam pengertian aspek-aspek kemanusiaan, tetapi juga dalam artian bahwa ia juga menyebabkan berkurangnya tenaga kerja di pedesaan dan sungguhsungguh mempengaruhi kegiatan pertanian yang normal. Untuk melancarkan pelaksanaan semua kebijakan tersebut, lembagalembaga sosial dan ekonomi yang baru, misalnya rukun tetangga yang disebut tonarigumi dan koperasi desa yang biasanya disebut nogyo kumiai, dibentuk di bawah pengawasan pemerintah. Analisis tentang aspek-aspek sosial ekonomi kebijakan Jepang serta tanggapan petani terhadapnya, tidak hanya penting dilihat dari sudut perubahan struktur sosial ekonomi, tetapi juga menjadi dasar untuk mengembangkan pembahasan di dalam bab berikutnya. Kesulitan ekonomi dan sifat semena-mena dari kebijakan Jepang tampaknya bertanggung jawab atas menderitanya tatanan sosial serta berubahnya keseimbangan kekuasaan di masyarakat tradisional. Dalam rangka mempermudah tercapainya tujuan-tujuan ekonomi mereka, Jepang dengan berbagai cara berusaha menarik rakyat pedesaan ke arah kerjasama yang lebih positif. Usaha yang paling kentara tampak dalam bidang-bidang propaganda, pendidikan dan mobilitas massa. Untuk melakukan propaganda, dibentuk sebuah departemen yang berdiri sendiri di dalam pemerintahan militer dan usaha-usaha propaganda yang sangat canggih serta teratur berkembang, sebagaimana biasa terjadi di setiap rezim fasis. Banyak tokoh yang berbakat dikirim dari Jepang dan segala jenis media dimanfaatkan. Yang terutama menjadi ciri skema propaganda Jepang ialah digunakannya secara efektif media audiovisual seperti film, siaran radio, dan teater yang sangat efektif menjangkau rakyat pedesaan yang buta huruf. Sebuah upaya khas Jepang lainnya adalah menyelenggarakan kursuskursus latihan untuk indoktrinasi politik serta memanfaatkan mereka yang telah dilatih sebagai perantara antara pemerintah dan rakyat. Latihan berbagai kelompok fungsional, profesional dan sosial, diselenggarakan begitu seringnya

sehingga periode Jepang sering disebut sebagai zaman latihan. Salah satu contoh yang paling menarik dan penting ialah latihan untuk alim ulama. Umumnya, sebagai guru pesantren lokal, yang mengajarkan Alquran serta pelajaran dasar Islam bagi penduduk pedesaan, mereka hidup di luar sektor pemerintahan, tetapi memiliki pengaruh kuat terhadap rakyat. Jepang menganggap ada gunanya memanfaatkan para alim ulama lokal tersebut. Mereka, yang di zaman Belanda hanya dianggap unsur masyarakat yang berbahaya dan anti pemerintah, dipakai sebagai propaganda untuk menjinakkan dan mengendalikan masyarakat pedesaan. Di samping pencerahan melalui media propaganda dan pembentukan pemimpin perantara, Jepang juga berusaha untuk memobilisasikan penduduk pedesaan secara langsung dengan mengatur mereka ke dalam organisasi massa yang disponsori oleh pemerintah, serta melalui pengembangan pendidikan sekolah pada jenjang rendah. Mereka membentuk organisasi semacam seinendan (organisasi pemuda), keibodan (organisasi keamanan), fujinkai (organisasi wanita), Jawa Hokokai (Persatuan Kebaktian Jawa) dan Barisan Pelopor. Mereka berusaha mendayagunakan kekuatan rakyat demi tercapainya kebijakan pemerintahan serta membentuk massa ke dalam model yang mereka inginkan. Pendidikan dasar juga ditekankan. Secara menyeluruh, mereka melakukan reorganisasi sistem pendidikan yang ada. Pendidikan elite bergaya Barat dihapuskan dan hanya pendidikan dengan bahasa daerah yang diizinkan. Jepang memberikan prioritas lebih kepada pengembangan pendidikan dasar di kalangan massa rakyat daripada pengajaran sejumlah kecil elite. Usaha-usaha ini bertanggung jawab atas meningkatnya mobilitas sosial. Salah satu perkembangan terpenting yang terjadi ialah perubahanperubahan yang berlangsung dalam kelas penguasa pribumi. Dalam rangka menjalankan kebijakan masa perang secara lebih efektif, Jepang menggunakan kontrol secara ketat serta campur tangan langsung di dalam korps pangreh praja dan kepemimpinan desa. Mereka yang kurang mau bekerjasama disingkirkan dan digantikan dengan mereka yang lebih mau bekerjasama. Karena itu, mereka
4

terpaksa ikut bekerjasama dengan pihak Jepang, kadang-kadang sampai ke tingkay yang lebih tinggi daripada yang sesungguhnya dibutuhkan. Juga dengan menangani perekonomian yang mereka kendalikan sendiri, mereka bisa mengambil keuntungan: tingginya inflasi serta langkanya komoditi mendorong mereka untuk terlibat korupsi dan pasar gelap. Semua kebijakan selama pendudukan Jepang tersebut benar-benar sangat mempengaruhi kehidupan rakyat serta membawa mereka ke dalam kemiskinan kebendaan dan ketidaknyamanan psikologis. Dengan meningkatnya penderitaam di satu pihak serta meningkatnya mobilitas sosial di pihak lain, masyarakat Jawa mengalami ketidakstabilan yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Keresahan sosial yang ekstrem muncul pada akhir zaman pendudukan. Romusha: Eksploitasi Tenaga Kerja Bagi orang Indonesia, romusa berarti seorang buruh kuli yang dimobilisasikan bagi pekerjaan kasar di bawah kekuasaan militer Jepang. Mereka pada umumnya petani biasa, yang diluar kehendak mereka, diperintahkan supaya bekerja pada proyek-proyek pembangunan dan pabrik. Jutaan orang Jawa dimobilisasikan dengan cara ini dan tidak sedikit di antaranya yang dikirim ke luar negeri. Banyak di antaranya yang meninggal karena kerja keras dan kondisi kesehatan yang sangat buruk. Banyak lainnya, yang cukup beruntung bertahan hidup, menderita akibat penyakit, kekurangan gizi dan luka-luka. Keluarga mereka, yang pencari nafkahnya dibawa pergi, menderita akibat kemiskinan dan tanah pertanian mereka sering dibiarkan tak ditanami karena langkanya tenaga kerja. Akhirnya, hal ini menyebabkan situasi rendahnya produktivitas pertanian. Salah satu tujuan utama Jepang di Asia Tenggara ialah untuk memperoleh sumber-sumber ekonomi dan untuk menciptakan suatu landasan pasok ekonomi yang penting demi kelangsungan perang di sana. Jepang terutama memperhatikan kegiatan-kegiatan ekonomi dan memberikan serta mencurahkan tenaga besarbesaran dalam bidang ini. Upaya-upaya dibuat tidak hanya dalam kegiatankegiatan produktif, tetapi juga dalam pembangunan infrastruktur yang akan
5

meningkatkan produksi. Dalam menjalankan proyek-proyek ini, Jepang menganggap tenaga kerja di Jawa yang berlebihan sebagai salah satu sumber daya terpenting di Jawa, dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi serta surplus tenaga kerja, memberikan sumber tenaga yang paling penting di Asia Tenggara. Dalam mengatur romusa, pemerintah Jepang melakukan pembedaan yang jelas antara mereka yang dikirim jauh dari rumah mereka dengan kontrak yang relatif berjangka panjang dan mereka yang ditempatkan untuk bekerja di wilayah yang berdekatan selama jangka waktu relatif pendek. Sekalipun keduanya disebut romusa di dalam dokumen-dokumen resmi Jepang yang terdahulu ditempatkan di bawah kendali dan manajemen langsung pemerintahan militer Jepang, sementara yang belakangan ditangani sebagai persoalan setempat oleh setiap residen. Lebih jauh lagi, hanya untuk yang pertamalah dibentuk organisasi perekrutan serta organisasi kesejahteraan. Penderitaan mental dan psikologis lebih serius dan tingkat korban sesungguhnya lebih tinggi di kalangan yang disebut pertama itu. Namun di mata rakyat, kedua kategori tersebut samansama merupakan korban pendudukan Jepang dengan pengertian bahwa mereka menderita sebagai tenaga kasar demi keuntungan Jepang di bawah kondisi kerja yang mengerikan dan istilah romusa dalam sejarah Indonesia digunakan mencakup kedua jenis tersebut. Seharusnya romusa dibayar, meskipun beberapa di antaranya menyatakan bahwa mereka tidak dibayar. Betapapun kecilnya upah, mereka yang dibayar sesuai dengan yang dijanjikan masih lebih kaya. Beberapa romusa sama sekali tidak dibayar atau dibayar jauh lebih kecil daripada kontrak. Pembenaran yang dilakukan atasan mereka ialah uang tersebut dikirim langsung kepada keluarga mereka di Jawa. Tetapi dalam banyak kasus, keluarga mereka tidak menerima apapun, atau jika menerimanya, jumlahnya jauh lebih kecil dari yang seharusnya. Anggaran tetap telah dialokasikan oleh penguasa militer Jepang sebagai upah romusa Jepang, tetapi yang tersebut tidak sampai ke tangan buruh. Mungkin hal ini sebagian karena penggelapan oleh para kerani yang mempunyai kedudukan

untuk dibayarkan sebelumnya menjelang keberangkatan seseorang sebagai uang persiapan, tetapi diambil oleh pejabat yang bertugas dalam proses perekrutan. Ada kemungkinan romusa dianggap seolah-olah barang yang dapat dihabiskan dan selalu bisa diganti dan sedikit sekali yang menaruh perhatian untuk mencegah atau mengurangi kelelahan mereka. Seolah-olah ada perhitungan bahwa akan lebih murah untuk memasok romusa baru daripada mengambil resiko merawat atau memulihkan kembali mereka yang sakit. Dengan demikian, puluhan ribu romusa kehilangan nyawa mereka karena kekurangan pencegahan yang dilakukan Jepang. Bahkan, sebelum sampai tempat kerja mereka, beberapa orang meninggal karena kondisi pengapalan yang sangat buruk. Di samping kelelahan fisik dan kondisi kesehatan yang buruk, romusa juga dihadapkan pada bahaya serangan udara Sekutu. Karena kebanyakan romusa mengerjakan proyek-proyek yang berhubungan langsung dengan perang, tempat kerja mereka sering menjadi sasaran serangan udara. Laporan interogasi NEFIS, dengan merujuk pada serangan udara di daerah pelabuhan Surabaya, menyatakan bahwa romusa yang bekerja di sana bingung dan berusaha melarikan diri. Jepang mengalami kesukaran untuk mengejar buruh kerja tersebut dan mengembalikannya ke Surabaya. Secara umum, tampaknya Jepang tidak mempunyai konsepsi jangka panjang tentang pemanfaatan tenaga kerja. Mereka tidak mempunyai pengertian akan penjagaan dan pemeliharaan tenaga kerja sebegitu rupanya sehingga bisa menopang pemasokan jangka panjang secara terus menerus dan mereka hanya berusaha sedikit sekali untuk memberikan daya hidup yang lebih lama bagi sumber daya manusia. Selama sikap dasar Jepang tidak berubah, kesengsaraan romusa tidak berubah, sekalipun terdapat pergeseran peraturan-peraturan ini. Perekrutan romusa di bawah kekuasaan Jepang meninggalkan luka yang sangat mendalam pada masyarakat Jawa. Ia tidak hanya menyebabkan hilangnya nyawa secara besar-besaran, tetapi juga mengganggu kegiatan ekonomi yang normal di pedesaan. Penurunan produksi secara serius pada zaman Jepang
7

sebagian disebabkan oleh kurangnya tenaga kerja akibat penekanan romusa. Di samping kerugian material, kita tidak boleh mengabaikan dampak psikologis persoalan romusa. Ia menimbulkan ketakutan di kalangan penduduk desa terhadap penguasa Jepang yang tak terlihat dan terhadap pemimpin di dalam komunitas mereka sendiri. Bagi para penduduk desa, Jepang terlihat seperti vampir yang terus menerus menghisap darah orang Jawa. Tetapi rakyat juga takut terhadap pemimpin desa dan ketua tonarigumi yang berkuasa menunjuk korban bagi Drakula ini. Rakyat terus menerus cemas akan kemungkinan terpilih sebagai romusa dan selalu menghadapi pertanyaan, siapa berikutnya? Pada saat yang sama perekrutan romusa dapat dimanfaatkan sebagai sarana intimidasi oleh penguasa. Penduduk desa tidak bisa bertindak lain selain patuh karena takut terpilih. Juga perekrutan romusa dipergunakan oleh penduduk desa sebagai suatu kesempatan untuk menyulitkan saingan yang mereka benci. Segala macam desas desus, tuduhan dan fitnah beredar untuk mengirim seseorang pergi sebagai romusa. Tepat pada saat diperlukan lebih banyak solidaritas dan kerjasama untuk mengatasi kekuasaan asing yang semena-mena, tumbuh kecurigaan di kalangan penduduk desa. Dengan demikian persoalan romusa meninggalkan luka psikologis yang mendalam. Di Museum Sejarah Monas Jakarta, sebuah adegan yang melukiskan romusa dipertontonkan sebagai satu-satunya peristiwa untuk mewakili zaman Jepang. Sangat mencolok bahwa di antara berbagai peristiwa penting yang terjadi selama di bawah kekuasaan Jepang, romusa dipilih sebagai peristiwa yang paling simbolis untuk mewakili periode ini. Persoalan romusa pastilah juga merupakan salah satu ingatan yang paling memalukan bagi orang Jepang yang terlibat, dan tidak dapat dilupakan baik oleh orang Indonesia maupun orang Jepang. Perubahan Sosial di Pedesaan Jawa Kebijakan-kebijakan Jepang di Jawa dapat dicirikan oleh perpaduan yang cerdik antara mobilisasi dan kontrol. Istilah mobilisasi atau doin dalam bahasa Jepang memiliki beragam makna dan sering sangat kabur. doin dalam

bahasa Jepang berarti menarik sesuatu dan menempatkannya untuk dimanfaatkan demi tujuan tertentu. Di Jepang pada masa perang, istilah ini sering digunakan dalam pengertian memeras, mengumpulkan dan memindahkan barang serta komoditi sesuai dengan rencana yang telah disusun sebelumnya. Tetapi dalam konteks lain, istilah ini juga berarti memanggil rakyat untuk berpartisipasi dalam pengabdian militer, pekerjaan umum, kegiatan-kegiatan politik atau seremonial dan lain-lain. Kebijakan-kebijakan Jepang pada masa perang, baik di Jepang maupun di wilayah-wilayah pendudukan, diarahkan pada mobilisasi semacam itu. Untuk melanjutkan upaya perang, yang akhirnya bertujuan untuk membangun blok kawasan yang utuh yaitu Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya, di bawah kepemimpinan Jepang. Jepang perlu memobilisasikan sumber daya ekonomi dan tenaga dari seluruh wilayah yang diduduki dan juga dari Jepang sendiri. Demi tujuan tersebut, mereke memerlukan dukungan penuh dan kerjasama dari penduduk dan dengan demikian mengharuskan untuk mendidik, melatih serta sampai tingkat tertentu mempolitikkan penduduk ke arah yang mereka kehendaki. Kebijakan mobilisasi Jepang pada masa perang selalu dipadukan dengan kontrol ketat oleh pemerintah. Seluruh kegiatan ekonomi secara ketat dikontrol melalui peraturan-peraturan dan dekrit pemerintah. Tidak ada kebebasan dalam kegiatan politik, ideologi atau ekspresi yang diizinkan. Rakyat diharapkan mempunyai pemikiran yang seragam dan melakukan konformitas dalam tingkah laku mereka, seperti yang selalu terjadi di dalam rezim-rezim totaliter. Dengan demikian, mobilisasi di Jawa selalu dijalankan di dalam kerangka acuan yang ditetapkan oleh dan di bawah kontrol ketat pemerintahan militer. Sekalipun demikian, kebijakan Jepang membantu melahirkan berbagai perubahan dan fenomena baru di masyarakat dengan mengaduk-aduk seluruh masyarakat serta menyebabkan timbulnya kebingungan, keragaman, mobilitas dan perpecahan.

Perubahan sosial semacam ini paling mencolok di kawasan pedesaan, karena tekanan pemerintah militer Jepang paling kuat di sana. Masyarakat desa subur dengan sumber-sumber dan barang-barang yang dibutuhkan Jepang dan boleh dikatakan bahwa berhasil atau tidaknya pemerintahan Jepang tergantung apakah Jepang bisa menarik bantuan dari masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, Jepang mengadakan bermacam-macam proyek dan kegiatan baru di desa sehingga ikut campur tangan dengan masalah administrasi dan adat masyarakat desa. Pada zaman Jepang situasi sudah banyak berubah. Jepang mulai campur tangan dengan kehidupan desa dan ekonomi rumah tangga petani dan ada bermacam-macam tekanan berat dari pemerintah militer. Hasil bumi yang paling dibutuhkan Jepang adalah padi. Oleh karena itu, usaha-usaha menggandakan hasil dibuat dengan sepenuh tenaga, teknologi pertanian baru serta jenis padi baru diperkenalkan oleh ahli-ahli pertanian Jepang. Pemerintah militer Jepang memperkenalkan sistem yang sudah dijalankan di Jepang untuk mendapatkan jumlah padi sebanyak mungkin. Dalam sistem itu, untuk mendapatkan jatah tertentu dari hasil petani diharuskan dijual ke pemerintah dengan harga murah. Jatahnya berlainan, kadang-kadang hampir separo dari penghasilan, tergantung daerahnya. Kebanyakan petani Jawa memiliki sawah kecil. Penghasilan yang sangat terbatas itu kebanyakan dimakan sendiri dan hanya sebagian dijual ke pasar. Oleh karena itu sistem wajib serah padi, petani miskin menderita kekurangan makanan sendiri. Situasi dipersukar lagi karena mereka tidak diberi kesempatan membeli beras lagi, karena penjualan beras dikontrol oleh pemerintah dan bisa dibeli hanya dengan memakai kupon yang disediakan oleh pemerintah. Pembagian kupon itu tidak ada di masyarakat pedesaan. Sebagai akibatnya, kelaparan terjadi dan kondisi sosial sangat menurun. Romusa adalah tenaga kerja paksa yang digunakan untuk kepentingan militer Jepang, seperti pembangunan lapangan terbang dan benteng pertahanan serta pekerjaan di pabrik-pabrik militer. Pada permulaan pendudukan Jepang, waktu masih ada banyak tenaga kerja yang menganggur, umpamanya bekas buruh

10

tani di onderneeming, romusa mudah didapat dengan sukarela. Tetapi lama kelamaan kabar tentang kondisi kerja romusa yang sangat menyusahkan disebarkan sedikit demi sedikit dan susah dicari yang ingin menjadi romusa. Oleh karena itu, pemerintah militer Jepang menggunakan cara keras dengan menentukan jatah romusa ke masing-masing desa. Kepala desalah yang wajib mencari calon romusa. Yang diambil sebagai romusa jumlahnya kurang lebih empat juta orang, di antaranya dua atau tiga ratus ribu orang yang dikirim ke luar Jawa. Oleh karena itu, kondisi kerjanya kurang baik, banyak yang dikirim ke luar negeri mati. Yang selamat sampai berakhirnya perang ditinggalkan di tempat kerja pada waktu tentara Jepang pulang ke negeri sendiri. Sebagian yang beruntung, dipulangkan dengan bantuan palang merah dan instansi lain dari negara-negara sekutu. Salah satu akibat pengambilan romusa di dalam masyarakat pedesaan adalah kerusakan hubungan antara pemimpin desa dan penduduk yang menjadi korban. Pendidikan sekolah zaman Jepang penting karena dualisme dalam sistem pendidikan zaman Belanda sudah dihapuskan yaitu sekolah Belanda dilarang dan hanya diizinkan sekolah-sekolah yang memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Artinya pembedaan antara rakyat jelata dan elit dihapuskan dan semua orang diberi kesempatan yang sama, dan sebagai akibatnya mobilitas sosial diperkuat. Juga pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar memberi kesempatan untuk mempromosikan bahasa itu dalam masyarakat. Di bawah penjajahan Jepang dipakai kurikulum dan sistem pendidikan cara Jepang. Jepang menganggap pendidikan sebagai salah satu cara menyebar penerangan dari pemerintah dan karena itu, mereka berusaha memperbanyak jumlah murid. Sebagai akibatnya, jumlah sekolah dan murid juga bertambah. Usaha Jepang terhadap propaganda dan mobilisasi massa bersifat politik dan didasarkan atas ideologi mereka. Artinya Jepang bermaksud menggerakkan rakyat Indonesia sesuai dengan ideologinya, tetapi sebagai akibatnya, sebagian rakyat mulai mengalami kebangkitan kesadaran politik. Oleh karena itu volume informasi dari luar negeri meningkat melalui persentuhan yang lebih besar dengan
11

skema propaganda dari atas melalui pengajaran berbagai kursus latihan, hal ini membantu membentuk gambaran yang lebih jelas mengenai bangsa, sejarah dan situasi sosial serta politik mereka. Mereka mulai merasakan persatuan dengan kaum politik dan intelektual dari daerah lain. Rasa bermusuhan terhadap Belanda yang diperbesar oleh propaganda Jepang membangkitkan rasa nasionalisme kabur yang telah ada di dalam hati rakyat. Aliran itu selanjutnya diperkuat dengan adanya revolusi kemerdekaan sesudah berakhirnya penjajahan Jepang. Oleh karena perubahan sosial yang begitu intensif, masyarakat Jawa mengalami keragaman dan ketidakstabilan. Penderitaan ekonomi dan material memperlebar perpisahan antara mereka yang menderita lebih berat dan mereka yang mengambil keuntungan darinya. Secara umum penderitaan kurang begitu berat di kalangan petani kelas atas yang makmur karena mereka mempunyai berbagai cara untuk mengurangi atau menghindari hal-hal ini. Yang miskin semakin miskin dan hal ini menjadi salah satu penyebab munculnya keresahan sosial yang luar biasa. Dalam suasana begitu, kekuasaan tradisional digoyang oleh kemarahan rakyat dan kemarahan itu ditujukan kepada pemimpin tradisional seperti pamong desa dan kepala desa. Sebagai akibat kemarahan rakyat terhadap pemimpin tradisional dan juga karena tekanan ekonomi begitu jelek, pada tahun 1944 telah terjadi pemberontakan-pemberontakan. Pertama pada bulan Februari di Singaparna, Tasikmalaya, terjadi peristiwa pemberontakan Pesantren Sukamanah yang dipimpin oleh Kiai Zainal Mustafa. Selanjutnya pada bulan Juli di beberapa daerah di Kabupaten Indramayu terjadi pemberontakan-pemberontakan petani yang menentang terhadap penyetoran padi. Dalam kedua peristiwa tersebut terdapat hilangnya penghormatan. Dan ketakutan terhadap penguasa pribumi yang mulai terjadi pada akhir masa pendudukan Jepang, berkembang menjadi tindakantindakan serius yang menentang kekuasaan tradisional. Pada awal masa revolusi, timbul tindakan-tindakan serius yang disebut sebagai kedaulatan rakyat dan revolusi sosial.

12

Dengan

demikian

dapat

disimpulkan

bahwa

kebijakan-kebijakan

pendudukan Jepang di Jawa bertanggung jawab atas timbulnya bermacam-macam perubahan sosial di dalam masyarakat pedesaan. Oleh karena itu karena keperluan negara Jepang akan eksploitasi sumber-sumber ekonomi Jawa, Jepang tidak segan ikut campur dalam masalah-masalah ekonomi desa serta kehidupan petani seharihari. Kontrol yang kuat dipergunakan terhadap usaha-usaha dan kegiatan ekonomi mereka dan itu mempengaruhi perubahan susunan pertanian dan susunan pasar di Jawa. Selanjutnya juga diperkenalkan banyak kontrol terhadap pemerintahan desa dan sebagai akibatnya timbul perubahan di dalam hubungan sosial dan sistem kepemimpinan desa. Lagi pula, agar bisa dilaksanakan kebijakan Jepang tersebut dengan lancar, diusahakan pengerahan massa ke arah tujuan Jepang melalui propaganda dan pendidikan. Sebagai akibat ditingkatkannya mobilitas sosial di antara penduduk desa, baik secara horisontal maupun vertikal, zona kegiatan mereka meningkat, sekaligus merangsang timbulnya perasaan identitas nasional di lain pihak. Tetapi pada saat yang sama ia bertanggung jawab atas menguaknya keterpisahan sosial di kalangan rakyat dari berbagai lapisan sosial dan antara penguasa pemerintahan dan mereka yang dikuasai. Ringkasnya, ia membantu meningkatkan keragaman dan diversifikasi di masyarakat pedesaan. Cara-cara berpikir dan bertingkah laku yang baru, pola-pola persekutuan dan persaingan, mulai terlihat. Namun pertanyaan penting di sini ialah apakah akibat-akibat kebijakan Jepang tersebut hanya merupakan perubahan sementara, atau mempunyai akibatakibat yang mendasar dan berkelanjutan atas masyarakat. Pada kenyataannya tiga setengah tahun adalah waktu yang terlalu pendek bagi Jepang untuk mencapai sasaran-sasaran yang mereka kehendaki. Oleh karena itu, mereka tidak memiliki cukup waktu untuk mengembangkan kebijakan-kebijakan tersebut dengan skala sebegitu rupa, yang bisa mengakibatkan perubahan mendasar seperti yang mereka inginkan. Sekalipun demikian, beberapa upaya Jepang tampak membawa akibat tertentu bagi masyarakat. Memang banyak di antaranya yang tidak berlangsung di
13

bawah pengaruh Jepang. Dalam beberapa kasus, pasangnya perubahan telah dimulai pada akhir zaman Belanda, terutama selama depresi Ekonomi tahun 1930an. Tetapi dapat dikatakan bahwa perubahan ini dipercepat oleh pemerintahan Jepang. Beberapa perubahan lainnya dihasilkan dari kekuasaan Jepang yang timbul di luar kehendak dan antisipasi mereka. Sering terjadi bahwa kekuatan potensial di dalam masyarakat pribumi sendirilah yang melalui tanggapan berhatihati atas dampak tertentu, mentransformasikan perubahan-perubahan tersebut ke arah yang dikehendaki. Kalaupun terlalu jauh untuk menyatakan bahwa ia merangsang dan memacu proses perubahan. Dan perubahan yang berkembang selama pendudukan Jepang semakin memperoleh perkembangannya lebih lanjut karena disusul dengan Revolusi yang menarik seluruh populasi ke dalam keguncangan dan kesukacitaan yang tak pernah terjadi sebelumnya.

14

Identitas Buku: Judul Penulis Tahun Terbit Penerbit Tempat Terbit Tebal Buku : Romusa: Sejarah yang Terlupakan (1942-1945) : Hendri F Isnaeni dan Apid : 2008 : Ombak : Yogyakarta : xi + 158 halaman Romusa: Sejarah yang Terlupakan Sejarah sesungguhnya melekat pada setiap benda, tiap diri makhluk, baik yang hidup maupun tidak hidup dan tiap fenomena di alam raya ini. Kejadiankejadian atau peristiwa yang terjadi di masa lampau tersebut akan dan pasti ditinggalkan. Peristiwa-peristiwa itu hanya bisa dijadikan cermin dalam termin kehidupan para pelaku sejarah di masa berikutnya. Menyinggung Bangsa Indonesia, kita pasti tidak akan pernah menginginkan peristiwa yang terjadi di masa lampau yang dialami oleh rakyat Indonesia terulang kembali di masa sekarang. Sebab walau bagaimanapun sejarah masa lalu kita sangat pedih dan terhina. Bangsa Indonesia merupakan satu dari sekian bangsa yang pernah mengecap pahitnya penderitaan dalam sejarah masa lalunya sebagai bangsa yang dijajah bangsa lain. Bangsa Jepang yang menggantikan kolonialisme Belanda pada tahun 1942-1945 meninggalkan bekas luka yang menyakitkan pada hati rakyat Indonesia. Pendudukan Kemaharajaan Jepang di Indonesia berlangsung tidak begitu lama. Namun dampaknya sangat besar dalam berbagai aspek kehidupan rakyat Indonesia (politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, pendidikan, birokrasi dan mobilitas sosial serta militer).

15

Dalam menjalankan kolonialisasinya, Jepang dipandang merata, karena hampir menguasai seluruh wilayah Nusantara. Hal ini terbukti dengan dibaginya Indonesia ke dalam tiga pemerintahan militer. Salah satu daerah yang pernah diduduki Jepang adalah wilayah Banten, tepatnya di Bayah Banten Selatan. Di sini tercatat sejarah, di mana Jepang dengan kekuasaannya mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia. Pengerahan tenaga kerja besarbesaran untuk bekerja paksa (romusa), dalam rangka membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan Jepang berlangsung dari tahun 1942 sampai 1945. Keberadaan romusa sangatlah memprihatinkan, karena jaminan makanan, pakaian, kesehatan bahkan jaminan untuk hidup sekalipun tidak ada. Maka tidak mengherankan jika banyak tenaga romusa yang meninggal akibat kekurangan makan dan diserang oleh berbagai wabah penyakit. Jepang pernah menjadi satu-satunya negara di Asia yang mampu menjadi negara imperialis. Dengan usaha-usaha yang dilakukannya yaitu melakukan politik ekspansi ke kawasan Asia Pasifik termasuk Hindia Belanda, akhirnya memperoleh kedudukan terkemuka dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, industri dan perdagangan. Program yang dilancarkan oleh Jepang yakni untuk membentuk persemakmuran bersama Asia Timur Raya mendapat sambutan positif dari rakyat Asia dan Pasifik umumnya, khususnya Indonesia. Oleh karena itu kedatangan Jepang di Indonesia tidak mendapat perlawanan bahkan disambut senang hati sebagai saudara tua yang akan membebaskan rakyat Indonesia dari penindasan dan penjajahan bangsa Barat khususnya Belanda. Di Indonesia, Sendenbu (organisasi propaganda) mengombinasikan kampanyenya dengan isu lokal yang sejak awal mengarahkan pandangan rakyat untuk menyambut dan menerima kedatangan Jepang. Pamflet propaganda yang disebarkan melalui udara beberapa hari sebelum perang isinya sangat Indonesia. Serangan Jepang di Indonesia

16

Setelah ratusan tahun lamanya menguasai Indonesia akhirnya kekuasaan Belanda diserahkan kepada Jepang. Jepang menduduki Indonesia selama 3,5 tahun. Namun, meskipun relatif singkat, cukup membuat goresan dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia percaya akan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Di awal pendudukannya Jepang menunjukkan tindakan-tindakan yang sangat baik. Berbagai kebijakan berpihak kepada bangsa Indonesia. Bendera merah putih dibiarkan berkibar, lagu Indonesia Raya boleh dinyanyikan dan bahasa Indonesia bebas digunakan oleh masyarakat. sedangkan posisi yang kosong dalam pemerintahan didistribusikan kepada kaum terpelajar bangsa Indonesia. Indonesia dalam pandangan rakyat sebentar lagi akan merdeka. Bagi Jepang tindakan tersebut merupakan upaya jangka pendek untuk menghimpun dukungan yang sebesar-besarnya dari rakyat dan pimpinan pergerakan Indonesia sebelum mereka menunjukkan tujuan utama kedatangannya. Kebijakan-kebijakan Jepang Aspek Politik Kebijakan pertama yang dilakukan pemerintah militer Jepang adalah melarang semua rapat dan kegiatan politik. Dalam rangka menancapkan kekuasaan di Indonesia, pemerintah militer Jepang melancarkan strategi politisnya dengan membentuk gerakan Tiga A (Jepang Pemimpin Aia, Jepang Cahaya Asia, Jepang Pelindung Asia). Gerakan Tiga A dalam realisasinya tidak mampu bertahan lama karena rakyat Indonesia tidak sanggup menghadapi kekejaman militer Jepang dan berbagai bentuk eksploitasi yang dilakukan Jepang. Diskriminasi politik tentara pendudukan juga diterapkan, untuk membedakan wilayah Jawa dengan luar Jawa. Untuk Pulau Jawa Jepang bersikap lemah karena pertimbangan jauh dari Sekutu, sementara untuk luar Jawa sebaliknya mendapat kontrol atau pengawasan yang sangat ketat.
17

Aspek Ekonomi dan Sosial Potensi sumber daya alam dan bahan mentah digunakan untuk industri yang mendukung mesin perang. Jepang menyita seluruh hasil kebun, pabrik, bank dan perusahaan penting. Jepang menerapkan sistem ekonomi secara ketat dengan sanksi pelanggaran yang sangat berat. Menerapkan pula sistem ekonomi perang dan sistem autarki (memenuhi kebutuhan daerah sendiri dan menunjang kegiatan perang). Sulitnya pemenuhan kebutuhan pangan semakin terasa bertambah berat pada saat rakyat juga merasakan penggunaan sandang yang amat memprihatinkan. Praktik eksploitasi/pengerahan sosial lainnya adalah bentuk penipuan terhadap para gadis Indonesia untuk dijadikan wanita penghibur (jugun ianfu) dan disekap dalam kamp tertutup. Perubahan sosial dalam masyarakat di Indonesia Indonesia sehingga yang terjadi terjadi pada masa dalam pemerintahan Jepang ialah diterapkannya sistem birokrasi Jepang dalam pemerintahan perubahan institusi/lembaga sosial di berbagai daerah.

Aspek Pendidikan Kebijakan yang diterapkan pemerintah Jepang di bidang

pendidikan adalah menghilangkan diskriminasi dalam mengenyam pendidikan. Pada masa Belanda yang dapat merasakan pendidikan formal untuk rakyat pribumi hanya kalangan menengah ke atas, sementara rakyat kecil tidak memiliki kesempatan. Pola seperti itu dihilangkan oleh Jepang. Satu hal yang melemahkan dari aspek pendidikan adalah penerapan sistem pendidikan militer. Sistem pengajaran dan kurikulum disesuaikan untuk kepentingan perang. Dengan melihat kondisi tersebut, kita mendapatkan dua sisi yaitu kelebihan dan kekurangan dari sistem pendidikan yang diterapkan pada masa Belanda yang lebih liberal namun terbatas. Sementara pada masa Jepang konsep
18

diskriminasi tidak ada, tetapi terjadi penurunan kualitas secara drastis baik dari keilmuan maupun mutu guru dan murid. Aspek Militer Pada aspek militer, Jepang membentuk badan-badan militer yang semata-mata karena kondisi militer Jepang yang semakin terdesak dalam Perang Pasifik. Situasi tersebut membuat Jepang membuat konsolidasi kekuatan dengan menghimpun kekuatan dari kalangan pemuda dan pelajar Indonesia sebagai tenaga potensial yang akan diikutsertakan dalam pertempuran menghadapi Sekutu. Dampak Pendudukan Jepang dalam Bidang Ekonomi dan Sosial Romusha adalah panggilan bagi orang-orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang 1942-1945. Kebanyakan romusha adalah petani. Romusha adalah sebuah kata Jepang yang berarti semacam serdadu kerja. Apapun artinya, romusa adalah orang-orang yang dipaksa kerja berat di luar daerahnya, selama pendudukan tentara Jepang bagi kepentingan tercapainya kemenangan akhir. Untuk menghilangkan ketakutan penduduk dan menutupi rahasia bahwa romusa adalah kerja paksa yang mengerikan, sejak tahun 1943 Jepang melancarkan kampanye baru yang mengatakan bahwa romusa adalah prajurit ekonomi atau pahlawan pekerja. Mereka digambarkan sebagai prajurit-prajurit yang menunaikan tugas-tugas sucinya untuk angkatan perang Jepang dan sumbangan mereka terhadap usaha perang itu mendapat pujian setinggi langit. Pada awalnya romusa dipekerjakan sebagai tenaga produktif di perusahaan-perusahaan, kedudukannya sama seperti buruh biasa. Kebijakan mobilitas mereka keluar Jawa dimaksudkan untuk menciptakan produktivitas akibat pengurangan produktivitas pertanian dan perkebunan di Pulau Jawa. Romusa juga merupakan komoditi yang dipertukarkan.

19

Memasuki pertengahan tahun 1943, kebijakan pengerahan romusa berubah menjadi usaha eksploitasi. Pengambilan dan penempatan romusa oleh Angkatan Perang dilakukan dengan serius. Mulai saat itu tenaga romusa bukan hanya diperlukan untuk eksploitasi ekonomi, tetapi juga diperlukan untuk proyek-proyek yang secara langsung berkaitan dengan perang. Pada taraf ini permintaan terhadap romusa menjadi tak terkendali. Romusa terus mengalir ke berbagai tempat di luar Pulau Jawa. Cerita kesengsaraan dan penderitaan deras menyertai mereka. Tekanan kerja yang berat, ancaman wabah penyakit dan kekurangan pangan merupakan kondisi yang harus dihadapi. Penderitaan fisik dan psikis membawa pada kematian massal dengan jumlah yang sangat luar biasa. Di Jawa romusa umumnya masih bisa bertahan walaupun dibebani kerja yang sangat berat. Tetapi, bagi yang di luar Jawa, sudah pasti tidak dapat bertahan dan kembali. Romusa di Pertambangan Batu Bara Bayah Banten Selatan Bayah sudah ada jauh sebelum kedatangan Jepang. Pada saat itu Bayah merupakan sebuah perkampungan kecil yang berada di wilayah kekuasaan Kesultanan Banten. Seiring dengan semakin pentingnya posisi Bayah berkaitan dengan dibukanya pertambangan batu bara pada tahun 1943 penguasa militer Jepang meningkatkan status Bayah dari desa menjadi kecamatan yang dipimpin oleh camat. Sejarah Bayah adalah sejarah batu bara. Hal ini tampaknya tidak berlebihan karena dari zaman penjajahan hingga saat ini keberadaan arang hitam tersebut menghadirkan kisah menarik seputar pemanfaatannya (eksploitasi). Pemanfaatan batu bara oleh Jepang berkaitan dengan aspek kebutuhan yang sangat mendesak. Eksploitasi batu bara di Bayah boleh dikatakan sebagai peristiwa sejarah karena di dalamnya terlibat sangat banyak manusia berasal dari Jawa yang mengalami kejadian luar biasa yang dieksploitasi tenaganya di luar batas kemampuannya hingga menimbulkan banyak korban. Sebab-sebab dibukanya pertambangan batu bara Bayah oleh Jepang di antaranya menurunnya kemampuan pelayaran dan pengangkutan Jepang. Sejak
20

zaman Belanda menjajah hingga awal pendudukan Jepang, Jawa tidak memproduksi batu bara. Sedangkan kebutuhan terhadap komoditi ini sangat penting. Akhirnya untuk memenuhi kebutuhannya, mendapat pasokan dari Sumatera dan Kalimantan. Faktor ekonomi juga menjadi pendorong Jepang membuka tambang batu bara di Bayah. Jawa pada prinsipnya selain karena hambatan pelayaran juga hendak mengurangi ketergantungan sumber energi pada luar Jawa dan berusaha memanfaatkan sumber-sumber strategis penting walaupun sedikit yang terdapat di Jawa, salah satunya adalah batu bara yang berada di perut bumi Bayah, Banten Selatan. Dengan melakukan eksploitasi batu bara, dengan sendirinya Jawa memiliki kegiatan ekonomi. Tidak semua urusan pertambangan Bayah dipegang Jepang. Di beberapa tempat, operasional pertambangan didelegasikan kepada orang-orang Indonesia yang memiliki kecakapan administrasi dan berpendidikan. Jabatan tinggi yang dipegang bangsa Indonesia seperti kepala gudang mesin dan peralatan pertambangan, kepala gudang logistik, mandor besar (Hanco) dan mandor-mandor kecil (Hoin). Rekrutmen Romusa Rekrutmen dalam konteks pengerahan merupakan penyeleksian dan pengambilan masyarakat untuk dijadikan romusa. Sedangkan mobilisasi adalah tindakan membawa dan menempatkan romusa hasil rekrutmen ke daerah tempat tujuan pekerjaan. Pertambangan Bayah sebagai salah satu industri strategis dalam lingkup Pemerintahan Militer Jawa diprioritaskan untuk selalu mendapatkan tenaga kerja yang cukup dalam jumlah yang besar. Dalam lingkungan pertambangan, penduduk Bayah bukan merupakan tenaga inti, tetapi hanya tenaga bantuan yang dipekerjakan dalam pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya gotong royong, seperti membuat dan memperbaiki jalan dan jembatan. Jadi, tidak ditemukan penduduk pribumi yang bekerja sebagai romusa.
21

Sedangkan untuk tenaga romusa sendiri dimobilisasi dari Jawa Tengah dan Jawa Timur dan sedikit dari Cirebon, Jawa Barat. Para romusa tersebut setelah Indonesia merdeka tidak kembali ke Jawa tetapi menetap di perkampungan romusa di Pulo Manuk dan Bayah. Dalam proses rekrutmen dan mobilisasi, terdapat dua unsur yang saling berkaitan, yaitu pelaku rekrutmen dan sasaran rekrutmen. Sedangkan keberhasilan perekrutan ditentukan oleh cara-cara yang dilakukan pelaku perekrutan dalam mempengaruhi sasaran perekrutan. Pelaku perekrutan yang secara langsung berhubungan dengan penduduk calon romusa adalah kepala desa dan perangkat desa. Kepala desa yang mendapatkan tugas tersebut melakukan inventarisir penduduk usia produktif pria dan wanita di desanya untuk sewaktu-waktu dikirim memenuhi permintaan. Sasaran rekrutmen merupakan orang-orang atau kelompok orang yang telah memenuhi kriteria untuk dilibatkan ke dalam pekerjaan-pekerjaan yang diadakan oleh pemerintah militer Jepang. Romusa-romusa tersebut dikirimkan dari semua kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur seperti Cilacap, Brebes, Tegal, Purworejo, Sidoarjo, Kebumen, Tulung Agung, Gunung Kidul, Blitar, Pemalang, Solo, Yogyakarta, Boyolali, Ponorogo, Magelang, Semarang, Tuban, Sragen, Kediri, Banyuwangi, Pekalongan, Surabaya dan kabupaten lainnya. Dari daerah-daerah tersebut, pria wanita, tua muda, usia produktif adalah sasaran perekrutan. Bayah juga menerima perempuan menjadi romusa yang dikategorikan menjadi dua, yaitu perempuan yang sudah bersuami yang berangkat bersama suaminya dan perempuan yang masih gadis atau lajang. Bagi yang pertama pekerjaan yang tersedia adalah di dapur umum. Kategori yang kedua kedatangannya adalah permintaan dari manajemen pertambangan untuk dipekerjakan sebagai pelayan di rumah-rumah Jepang atau dijadikan sebagai pelacurnya Jepang (jugun ianfu).

22

Cara-cara perekrutan adalah tindakan yang dilakukan oleh perekrut untuk mempengaruhi targetnya agar berperilaku dan bertindak sesuai dengan keinginan dirinya. Misalnya saja dengan membujuk dan merayu, dengan cara tipu muslihat, dan yang terakhir dengan cara memaksa. Romusa-romusa hasil rekrutmen, setelah memenuhi jumlah permintaan dikumpulkan di kantor kabupaten atau karesidenan menunggu diberangkatkan ke Bayah. Kondisi Romusa di Pertambangan Batu Bara Bayah Banten Selatan Romusa di pertambangan Bayah adalah orang-orang yang datang bukan untuk mengubah nasib atau mencari penghidupan yang lebih baik. Tetapi, orangorang yang tertipu sehingga menjadi korban kewajiban kerja paksa Jepang. Kondisi pekerjaan merupakan gambaran aktivitas romusa yang

berhubungan dengan pelaksanaan kerja yang diberikan oleh Jepang di pertambangan Bayah. Kondisi kerja tersebut dibedakan menjadi kerja romusa non tambang dan kerja romusa tambang. Romusa non tambang dipekerjakan pada pekerjaan biasa seperti membuat jalan raya dan jalan kereta, membuka hutan, membuat bangunan-bangunan dan pekerjaan lain yang sifatnya tidak berat. Waktu kerja romusa non tambang adalah harian. Pekerjaan dimulai pukul 7 pagi sampai pukul 4 sore. Pukul 12 ada waktu istirahat dan diberi jatah makanan. Pekerja tambang adalah romusa yang dalam pekerjaannya berhubungan dengan pengambilan batu bara di dalam lubang-lubang penambangan dan aktivitasnya lebih banyak berada di bawah tanah. Aktivitas kerja di dalam lubang penambangan berlangsung 24 jam. Waktu kerja dibagi menjadi 4 shift, yaitu shift pertama pukul 7 pagi sampai 12 siang, shift kedua pukul 12 siang sampai 6 sore, shift ketiga pukul 6 sore sampai 12 malam dan shift keempat pukul 12 malam sampai 7 pagi. Setiap shift romusa mendapatkan waktu kerja selama 6 sampai 7 jam. Proses penambangan di dalam lubang banyak menimbulkan kecelakaan kerja. Selain kecelakaan kerja, hal umum yang selalu dialami semua romusa adalah kelelahan fisik yang amat sangat dan menurunnya daya tahan tubuh akibat
23

kekurangan pangan dan berbagai penyakit yang dideritanya. Hak dasar bagi pekerja, seperti mendapatkan makanan dan pakaian, upah dan pelayanan kesehatan untuk memulihkan kondisi badan justru sulit didapatkan. Akibatnya dalam jangka waktu yang panjang pekerjaan romusa di pertambangan benar-benar menjadi tragedi kemanusiaan yang dahsyat.. Di pertambangan Bayah untuk mengungkap apakah gaji romusa diberikan dan berapa besarnya memang tidak ada sumber pasti dari pihak yang berwenang Jepang. Tetapi ada beberapa pihak yang memberikan informasi tentang hal tersebut berdasarkan kesaksiannya. Ada pihak yang mengatakan bahwa Jepang memang memberikan upah terhadap romusa. Sedangkan pihak lain mengatakan besaran nominal gaji yang diterima dan satu pihak lagi memberikan angka nominal serta masalah kontinuitas pemberian gaji tersebut oleh Jepang. Intinya memang ada atau pernah ada upah untuk romusa di pertambangan Bayah. Tindakan Jepang memperparah kondisi romusa sehingga berakibat pada timbulnya berbagai kesengsaraan dan penderitaan. Menurut kesaksian, selain upah ada beberapa kondisi yang menyebabkan hal itu terjadi, antara lain beratnya beban kerja, kurangnya makanan dan pakaian dan wabah penyakit (kondisi lingkungan yang tidak sehat, kondisi badan romusa yang lemah, kondisi badan dan pakaian yang kotor). Selama bergelut dengan rasa sakitnya romusa-romusa ini tidak dapat bekerja atau tidak mau bekerja lagi, mereka berserakan di berbagai tempat di sekitar kamp-kamp penambangan, emperan-emperan bangunan, di sepanjang tepian rel kereta api, di pemukiman penduduk, di sepanjang pantai Pulo Manuk dan di bawah pepohonan. Para romusa ini hanya bisa terdiam merasakan rasa sakit dan menunggu maut karena sudah tidak mampu beraktivitas lagi. Setiap pagi penduduk sekitar dan para romusa menyaksikan pemandangan yang mengerikan, romusa-romusa malang telah menjadi mayat yang berserakan. Romusa di pertambangan Bayah merupakan komunitas manusia yang sangat besar. Sehingga untuk menampung romusa tersebut dibutuhkan banyak asrama yang harus dipersiapkan Jepang untuk menampung romusa-romusa

24

tersebut. Pada umumnya pola pemukiman untuk romusa dibuat oleh Jepang mengikuti persebaran tempat-tempat penambangan yaitu di mana dibuka blok penambangan dengan jarak yang tidak terlalu jauh dibuatlah bedeng (asrama) romusa. Konstruksi bangunan untuk asrama romusa terdiri dari kayu dan bambu. Itulah sebabnya bangunan-bangunan romusa tidak dapat bertahan lama. Jepang tidak membaurkan romusa dengan masyarakat setempat dalam satu tempat tinggal yang sama. Romusa umumnya dimukimkan di tempat-tempat sekitar areal penambangan yang jauhnya berkilo-kilo meter dari pemukiman penduduk. Sesekali mereka berinteraksi apabila beberapa orang penduduk setempat mendatangi pemukiman romusa untuk sekadar berdagang hasil-hasil bumi. Itupun tidak rutin karena Jepang umumnya lebih dahulu merampas hasil pertanian rakyat. Penutup Penjajahan oleh siapapun dan apapun bentuknya terhadap bangsa kita telah menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan yang luar biasa. Tindakan kekejaman yang diperagakan oleh bangsa penjajah didesain sedemikian rupa untuk ditimpakan kepada rakyat bangsa jajahan demi tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai bangsa penjajah. Alasan ekonomi dengan mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia telah mengorbankan jutaan rakyat Indonesia. Fakta sejarah itulah yang terjadi di pertambangan batu bara Bayah, Banten Selatan pada 1942-1945. Pertambangan batu bara Bayah dibuka oleh Penguasa Militer Angkatan Darat ke-16 Jepang di Jawa pada bulan Juli 1942 untuk menggantikan pasokan batu bara dari pertambangan di Sumatera dan Kalimantan, juga sebagai upaya membangkitkan kegiatan ekonomi baru di Jawa. Pertambangan batu bara Bayah, Banten Selatan telah menjadi bukti bagaimana nyawa manusia telah ditukar dengan satu dua kilo batu bara oleh Jepang selama 3,5 tahun menjajah. Namun, waktu selama itu lebih dari cukup bagi Jepang untuk mengubur puluhan ribu orang romusa penambangan batu bara
25

serta pembuatan rel kereta api Bayah-Seketi untuk mengangkut batu bara, diperkirakan memakan korban kurang lebih 93% menggantikan arang hitam yang diangkat dari perut bumi Bayah, sebuah ironi yang memilukan dalam perjalanan sejarah bangsa. Sejarah romusa di pertambangan batu bara Bayah telah lama berlalu. Ceritanya pun memudar seiring bergugurannya pelaku sejarah itu. Sejarah romusa di pertambangan batu bara Bayah dan romusa di daerah-daerah di seluruh Nusantara, yang paling fenomenal adalah romusa yang dipaksa membangun rel kereta api di Thailand dan Burma (Myanmar). Sejarah ini mendapatkan porsi yang sedikit dalam pengisahan dan pelajaran sejarah bangsa.

Analisis dan Perbandingan Kedua Buku: Kedua buku di atas yang membahas tentang romusa pada khususnya dan pendudukan Jepang pada umumnya memang secara garis besar dapat ditarik
26

kesimpulan bahwa keduanya sinkron terhadap topik yang diambil. Namun dari kedua buku tersebut tentunya ada kelebihan dan kekurangan yang dapat ditemukan karena sebuah buku tidak bisa lepas dari cacat, seperti manusia itu sendiri yang tidak ada kesempurnaan di muka bumi ini. Tentu akan sangat wajar apabila hal tersebut dapat ditemukan. Buku pertama yang tulisannya Aiko Kurasawa mengisahkan seluruh kebijakan Jepang terhadap rakyat desa di Jawa, dari perspektif yang luas serta dengan mempertimbangkan akibat-akibat terhadapnya, dan tanggapan-tanggapan dari, masyarakat. Lingkup studi ini akan dibatasi hanya Jawa dan bukannya seluruh Indonesia. Sulit untuk membahas seluruh wilayah karena adanya pembagian wilayah kekuasaan menjadi tiga yang mengakibatkan penerapan kebijakan secara berbeda pula. Dalam menganalisis persoalan-persoalan tentang kebijakan Jepang, penulis akan menganalisis perubahan sosial dalam kerangka yang disebut kebijakan mobilisasi dan kontrol serta dampaknya pada masyarakat pedesaan. Salah satu ciri pemerintahan Jepang bisa dilukiskan secara tepat melalui perpaduan yang tak kentara antara mobilisasi dan kontrol. Di satu pihak, Jepang berniat untuk memobilisasi seluruh masyarakat Jawa dalam skala besar demi tujuan perangnya. Di sini istilah mobilisasi digunakan dalam pengertian ganda, dalam arti sebagai eksploitasi sumber daya ekonomi dan tenaga kerja bagi keuntungan pemerintah dan juga dalam arti pendorongan pemaksaan penduduk supaya bekerjasama sepenuhnya dalam upaya perang dengan membangunkan kesadaran politik mereka. Sudut pandang lain yang digunakan dalam studi ini ialah dikotomi antara polarisasi (diversifikasi) dan unifikasi. Jika kita melihat pemerintahan Jepang dari dampaknya atas nasionalisme, faktor-faktor pemersatu tampak lebih menonjol. Tetapi jika melihat periode ini sebagai latar belakang revolusi sosial, akan mendorong kita untuk menekankan faktor pemecah belah. Keduanya sama penting, tetapi sejauh menyangkut masyarakat pedesaan, dampak pemendaran

27

dan pemecah belah kelihatan kuat. Pandangan penulis ialah bahwa pemerintahan Jepang memperkenalkan lebih banyak keragaman, mobilitas, antagonisme, persaingan dan kebingungan ke dalam masyarakat pedesaan. Penulis akan membahas semua persoalan ini dengan menyajikan beberapa bahan baru yang sejauh ini tidak banyak dimanfaatkan, serta dengan melakukan analisis atas sifat perubahan pada tingkat pedesaan secara lebih terperinci. Analisis akan dilakukan melintasi aspek-asoek psikologis kehidupan rakyat pedesaan. Di lain pihak, pembahasan tidak akan mencakup perkembangan politik pada tingkat nasional yang telah banyak dibahas dalam karya-karya terdahulu. Buku tulisan Aiko ini secara umum memang layak dijadikan referensi ilmiah untuk pemahaman tentang romusa di Indonesia pada masa Jepang tahun 1942-1945. Namun memang tak ada gading yang tak retak, buku ini hanya fokus membahas romusa di tanah Jawa padahal romusa itu tidak hanya terjadi di Jawa bahkan ada romusa yang dikirim ke luar negeri. Sedangkan buku kedua yang berjudul Romusa: Sejarah yang Terlupakan tulisan Hendri dilihat secara umum memang bagus karena dilihat dari judul sudah mengerucut ke arah romusa, tidak hanya studi tentang pendudukan Jepang. Di dalam buku Hendri dikisahkan romusa-romusa yang bekerja di Bayah Banten Selatan. Romusa-romusa itu kebanyakan berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Latar belakang Hendri yang asli dari Bayah Banten Selatan memang cocok untuk menulis kisah ini karena tentunya informannya mudah didapat, tempat ataupun setting tempatnya tepat dan suasananya mendukung untuk mengurutkan kronologis peristiwa sejarah. Akan tetapi apabila dilihat dari segi objektivitas, dugaan sementara bisa jadi objektivitas dari buku ini kurang karena latar belakang penulis yang asli dari daerah itu dapat menjadi bumerang. Pembaca akan mudah percaya bahwa penulis memberi efek dramatisir pada tulisannya. Dan lagi, romusa yang dikisahkan hanya di Bayah Banten Selatan, bukan romusa secara umum, karena pembaca juga ingin tahu kisah-kisah romusa di daerah lainnya.
28

Semua kesimpulannya dari kedua buku ini adalah bahwa setiap buku memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Lalu juga kelebihan dan kekurangan ini dapat diperoleh dari pemikiran pembaca itu sendiri. Pembaca yang menikmati buku itu, pembaca itu pula yang memberikan penilaian terhadap buku yang dinikmatinya. Jadi tidak heran apabila setiap analisis dari buku-buku itu ada perbedaan persepsi dari pembaca satu dengan pembaca lainnya. Sikap ini bagi penulis malah akan semakin menambah kritikan yang membangun dan juga memperkaya pengetahuan dari orang lain.

29

You might also like