You are on page 1of 13

Buku Pengantar Sosiologi Sastra oleh Dr.

Faruk Buku Pengantar sampai Sosiologi Sastra dari Strukturalisme banyak

Genetik

Post-Modernisme

berbicara

mengenai sosiologi di dalam struktur sastra. Sosiologi sastra ini mengandaikan suatu pemahaman yang dimaksudkan bukan sebagai suatu penguasaan. Percobaan membaca teksteks dan sejarah secara bersama-sama menjanjikan bahwa seluruh aspek formasi sosial, teks-teks dan praktek sekaligus dipahami dalam suatu problematik yang terpadu. Dari buku ini pula kita lebih mengenal sosiologi sastra. Ternyata sosiologi tidak hanya di dalam aspek masyarakat, sosial, ekonomi, politik, budaya, agama, kesehatan, hukum, dan sebagainya. Namun, sosiologi juga dapat dilihat dalam sudut pandang sastra dimana aspek-aspek tersebut berbaur menjadi satu dan terdapat pula dalam struktur sastra. Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literarture, Swingewood (1972) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang proses ilmiah sosial. dan objektif mengenai yang manusia ketat dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan prosesLewat penelitian mengenai lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga, yang secara bersama-sama membentuk apa yang

disebut

sebagai

struktur

sosial, mengenai

sosiologi, cara-cara gambaran dan

dikatakan, manusia oleh mengenai pada dan

memperoleh menyesuaikan

gambaran dirinya

dengan tertentu,

ditentukan

masyarakat-masyarakat dengannya

mekanisme sosialisasi, proses belajar secara kultural, yang individu-individu dialokasikan menerima peranan-peranan tertentu dalam struktur sosial itu. Akan tetapi, di samping itu, sosiologi juga berurusan dengan proses perubahan-perubahan sosial baik yang terjadi secara berangsur-angsur maupun secara revolusioner, dengan akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut. Ritzer (1975) menganggap sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang multiparadigma. Paradigma adalah unit konsensus terluas dalam suatu ilmu pengetahuan dan berfungsi untuk membedakan satu komunitas ilmiah dari komunitas metode, lainnya. dan Ia menggolongkan, mendefinisikan, metodeterdapat yang menginterrelasikan teladan-teladan, teori-teori,

instrumen-instrumen

didalamnya. Ritzer menemukan setidaknya tiga paradigma yang dasar dalam sosiologi, yaitu paradigma fakta-fakta sosial (Emile Durkheim), paradigma definisi sosial (Max

Weber), dan paradigma perilaku sosial (Skinner). Ketiga paradigma diatas pun sesungguhnya tidak menjelaskan sepenuhnya kompleksitas sosiologi. Persaingan dalam sosiologi yang tidak kurang fundamentalnya juga terjadi antar teori, misalnya persaingan antara teori konflik Marxis dengan teori struktural-fungsional Parsonian. Keduanya tampaknya komunitas membangun akademiknya tradisinya sendiri, sendiri-sendiri, secara meskipun

paradigmatik terhimpun dalam satu paradigma yang sama. Kompleksitas yang demikianlah yang mempersempit

kemungkinan terbentuknya sosiologi sastra yang dapat dikatakan general seperti yang cenderung diinginkan oleh Swingewood. Wolff (1975) mengatakan bahwa sosiologi kesenian dan kesustraan merupakan suatu disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefinisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masingnya hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan antara seni/kesustraan dengan masyarakat. Sapardi Djoko Damono (1978) mengemukakan beberapa pendapat mengenai aneka ragam pendekatan terhadap

karya sastra seperti yang dikemukakan Wolff. Terdapat tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam sosiologi sastra, yaitu sosiologi pengarang yang memasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra ; sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri ; dan sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra. Buku ini hanya akan membicarakan sosiologi sastra dari pendekatan marxis karena dibandingkan dengan teoriteori sosial yang lain, teori sosial marxis menduduki posisi yang dominan dalam segala diskusi mengenai sosiologi sastra. Sosiologi sastra dianggap terlalu reduksionis dan simplistis dan searah karena persoalan yang bersangkut-paut dengan hubungan antara kesustraan dengan masyarakat merupakan persoalan yang kompleks. Sosiologi sastra yang demikian diangggap reduksionis karena karya sastra dianggap sebagai suatu lembaga yang relatif otonom, yang dari segisegi tertentu dapat menentukan dirinya sendiri, bukan ditentukan oleh kekuatan eksternal yang ada diluarnya. Dikatakan simplistis karena sosiologi sastra yang demikian terlalu langsung menghubungkan sastra dengan masyarakat,

tidak memperhitungkan kemungkinan adanya serangkaian mediasi yang memperantarai hubungan antar kedua hal tersebut. Dr. Faruk mengemukakan pula tentang teori sosiologis Lucien Goldmann sebab teori itulah yang memperlihatkan usaha pertama untuk mengatasi kecenderungan reduksionis dan simplistis dari sosiologi sastra marxis. Salah satu kebaruan dari teori tersebut terlihat pada adanya penempatan ideologi pandangan dunia sebagai mediasi antara masyarakat dan sastra. Terdapat pula usaha untuk memberikan status yang relatif otonom pada kesusastraan sebagai lembaga sosial. Goldmann menyebut teorinya sebagai strukturalisme-genetik. Artinya, ia percaya bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur. Akan tetapi, struktur itu bukanlah produk sesuatu yang statis, melainkan terus merupakan dari proses sejarah yang

berangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya sastra yang bersangkutan. Untuk menopang teorinya tersebut, Goldmann membangun seperangkat kategori yang saling bertalian satu sama lain

sehingga

membentuk

apa

yang

disebutnya

sebagai

strukturalisme-genetik. Kategori-kategori itu adalah : 1. Fakta Kemanusiaan Fakta kemanusiaan adalalah segala hasil aktivitas atau perilaku manusia baik yang verbal maupun yang fisik, yang berusaha dipahami oleh ilmu pengetahuan. Fakta itu dapat berwujud aktivitas sosial tertentu, aktivitas politik tertentu, maupun kreasi kultural seperti filsafat, seni rupa, seni musik, seni patung, dan seni sastra. 2. Subjek Kolektif Fakta kemanusiaan, seperti telah disinggung, bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan merupakan hasil aktivitas manusia sebagai subjeknya. Dalam hal ini subjek fakta kemanusiaan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu itu subjek sesuai individual dengan dan subjek kolektif. fakta Perbedaan perbedaan jenis

kemanusiaan. Subjek individual merupakan subjek fakta individual (libidinal), sedangkan subjek kolektif merupakan subjek fakta sosial (historis). 3. Pandangan Dunia : Strukturasi dan Struktur

Hubungan antara struktur masyarakat dengan struktur karya sastra itu tidak dipahami sebagai hubungan determinasi yang langsung, melainkan dimediasi oleh apa yang disebutnya sebagai pandangan dunia atau ideologi. Karena merupakan produk interaksi antara subjek kolektif dengan situasi sekitarnya, pandangan dunia tidak lahir dengan tiba-tiba. Transformasi mentalitas yang lama secara perlahan-lahan dan bertahap diperlukan demi terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama itu. 4. Struktur Karya Sastra Karya sastra yang besar merupakan produk strukturasi dari subjek kolektif. Oleh karena itu, karya sastra mempunyai struktur yang koheren dan konsep terpadu. struktur Dalam karya konteks sastra strukturalisme-genetik,

berbeda dari konsep struktur yang umum dikenal. 5. Dialektika Pemahaman-Penjelasan Metode Hanya dialektik saja, sama kalau dengan metode metode positivistik. tidak

Keduanya sama-sama bermula dan berakhir pada teks sastra. positivistik mempertimbangkan persoalan koherensi struktural, metode

dialektik

memperhitungkannya.

Metode

dialektik

mengembangkan dua pasangan konsep, yaitu keseluruhanbagian dan pemahaman-penjelasan. Goldmann mengatakan, bahwa bentuk novel tampaknya merupakan transposisi ke dataran sastra kehidupan seharihari dalam masyarakat individualistik yang diciptakan oleh produksi pasar. Menurutnya, ada kesejajaran yang kuat antara bentuk literer novel, dengan hubungan keseharian antar manusia dengan komoditi pada umumnya atau, secara lebih luas, antara manusia dengan sesamanya dalam masyarakat pasar. Kenyataan sosial yang melatarbelakangi bentuk novel, khususnya bentuk novel baru, adalah struktur pertukaran yang reifikasional (latar belakang sosialekonomi). Perkembangan struktur reifikasi itu berkaitan pula dengan perkembangan bentuk novel. Dibandingkan dengan tradisi sosiologi sastra marxis yang ada sebelumnya, strukturalisme-genetik kecenderungan Goldmann untuk tidak memperlihatkan kemajuan dalam dua hal. Pertama, teori tersebut memperlihatkan menghubungkan secara langsung struktur sosial dengan karya sastra, melainkan melalui mediasi pandangan dunia. Pandangan dunialah yang menjadi sumber koherensi

struktur karya sastra. Kedua, teori Goldmann itu tidak menempatkan karya sastra hanya sebagai cermin pasif belaka dari struktur sosial, melainkan memperhatikan pula struktur karya sastra itu sendiri sebagai teks yang koheren dan terpadu. Sastra dan masyarakat juga dijabarkan disini. Terdapat serangkaian mediasi yang memperantarai hubungan antara masyarakat superstruktur dengan tidak sastra hanya dalam terdapat pengertian pandangan marxis. dunia, Diantaranya, apa yang disebut sebagai infrastruktur dengan melainkan juga konvensi-konvensi sastra, cara produksi sastra, dan bahkan ideologi kesusastraan itu sendiri. Di dalam buku ini ditambahkan pula penjelasan mengenai teori sosial sastra yang menempatkan karya sastra tidak sekedar sebagai refleksi masyarakat, sebagai superstruktur yang ditentukan oleh infrastruktur, melainkan mempunyai kemungkinan pula dalam taraf tertentu untuk bersifat formatif terhadap masyarakat. Teori yang dijelaskan disini adalah teori hegemoni, yang merupakan aspek formatif sastra. Teori hegemoni dalam studi sastra maksudnya adalah kesusastraan tidak lagi dipandang semata-mata sebagai gejala kedua yang tergantung dan ditentukan oleh

masyarakat

kelas

sebagai

infrastrukturnya,

melainkan

dipahami sebagai kekuatan sosial, politik, dan kultural yang berdiri sendiri, yang mempunyai sistem tersendiri, meskipun tidak terlepas dari infrastrukturnya. Studi sosiologis tentang sastra Indonesia telah cukup banyak dilakukan. Tokoh-tokohnya antara lain : A. Studi C.W. Watson Yang menjadi dasar teori studi C.W. Watson adalah

strukturalisme-genetik Lucien Goldmann yang merupakan pengembangan dari teori George Lukacs. Oleh karena itu, di dalam tesis itu novel-novel Indonesia yang merentang dari tahun 1920-1955 dilihat terutama dari segi pandangan dunia yang dikandungnya dan latar belakang sosio-kultural yang membentuk pandangan dunia tersebut. Sesuai dengan teori Goldmann tersebut, Watson juga menaruh perhatian yang kuat pada teks sastra sebagai suatu struktur yang koheren. B. Studi Ariel Heryanto Ariel (1988) melakukan studi mengenai kesusastraan

Indonesia mutakhir atas dasar teori hegemoni Gramscian,

terutama dengan model yang digunakan oleh Williams. Sebagai studi mengenai praktek hegemoni dalam kesusastraan, studi itu tentu saja memandang kesusastraan sebagai praktek atau akitivitas politik. Aktivitas politik itu, sesuai dengan teori hegemoni pula, meliputi dua level yang sama pentingnya, yaitu level politik kesusastraan itu sendiri dan level politik general yang meliputi struktur sosial pada tingkat makro. Buku ini juga mengemukakan beberapa teori lain yang ada di luar tradisi marxis, yaitu dari teori fungsional hingga post-modern. Sejauh yang lain dapat selain diketahui, pendekatan terdapat marxis. pendekatan-pendekatan

Pendekatan-pendekatan tersebut ialah : 1. Pendekatan Fungsionalis Persoalan dasar yang dibahas dalam pendekatan fungsional adalah persoalan apa yang membuat masyarakat itu bersatu, bagaimana dasar atau landasan keteraturan sosial itu dipertahankan, dan bagaimana tindakan-tindakan individu itu menyumbang pada masyarakat itu secara keseluruhan baik secara disadari ataupun tidak. 2. Pendekatan Fenomenologis

Pendekatan ini bekerja melalui pemahaman fenomenologis mengenai individu dalam situasi sosialnya, pemahaman mengenai pola-pola makna yang membangun realitasnya, dan pemahaman mengenai definisinya terhadap situasi yang di dalamnya individu itu bertindak dan berinteraksi satu sama lain. 3. Teori Ideologis (pendekatan dialogis) Fenomena ideologis itu adalah materi yang mengandung makna dan makna itu bersifat sosial, membangun suatu hubungan antar individu dari suatu lingkungan sosial yang kurang lebih luas. Tokoh teori dialogis di Indonesia adalah Bakhtin. Teori dialogis bakhtin merupakan sebuah bangunan konseptual yang koheren, merentang dari filsafat antopologis, epistemologi humaniora, teori genre sastra, hingga karya sastra. 4. Menuju Sosiologi Sastra Post-modern (pendekatan postmodern) Salah satu ciri yang paling mendasar dari post-modernisme adalah keraguan atau ketidak percayaannya terhadap totalisasi yang di dalam ilmu pengetahuan menyatakan diri dalam bentuk yang oleh Lyotard disebut sebagai grand

narrative. Keraguan dan ketidak percayaan atas totalisasi itu


bermuara menerima pada keterbukaan terhadap atau kesediaan unsur inkonsistensi, ketidaksejajaran antar

pembangun dunia, dan keanekaragaman. Karena setiap bentuk wacana pada karya sastra

menanamkan suatu posisi bagi pembaca dan partisipannya sebagai subjek dari wacana itu, analisis kultural yang dilakukan dengan konseptualisasi yang terpadu, seperti hegemoni, menawarkan subjek dalam satu posisi yang menguasai dan spekularitas yang dominan. Pemahaman post-modernis menolak hal itu : menempatkan subjek bukan di luar dan menguasai objek, melainkan di luar dan di dalam sekaligus. Sumber : Faruk, Dr. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

You might also like