You are on page 1of 29

BAB I PENDAHULUAN Chronic Kidney Disease (CKD) atau gagal ginjal kronik adalah kehilangan atau penurunan fungsi

ginjal yang sudah lanjut dan bertahap serta bersifat menahun sehingga ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik dan perlu dilakukan perawatan dan pengobatan yang serius.1 CKD dapat berkembang cepat 2-3 bulan dan dapat pula berkembang dalam waktu yang sangat lama 30-40 tahun.2 Chronic Kidney Disease telah menjadi kekhawatiran yang berkembang di dunia karena prevalensinya yang meningkat serta hasil akhirnya yang buruk. Di Amerika serikat penderita CKD mencapai 20 juta yang berarti 1 dari 9 orang dewasa. Meskipun teknik dialisis dan transplantasi makin berkembang namun prognosis gagal ginjal tetap buruk. Sistem pendataan ginjal di Amerika Serikat pada tahun 2001 menunjukkan angka lebih dari 76.500 kematian pasien dengan End Stage Renal Disease (ESRD), angka ini seakan tidak berubah selama satu dekade terakhir. Morbiditas gagal ginjal juga cukup tinggi di mana pasien yang menjalani dialysis rata-rata 4 (empat) kondisi komorbid, 15 (lima belas) hari perawatan Rumah Sakit (RS) per tahun, dan kualitas hidup yang lebih rendah dari rata-rata populasi. Jumlah pasien dengan tingkat CKD yang lebih dini lebih besar namun mortalitas, morbiditas, hari perawatan RS per tahun, dan kualitas hidup belum diteliti lebih lanjut. Sebagian besar penderita tidak menyadari penyakit tersebut karena CKD asimtomatik sampai ia berkembang dengan signifikan.3 Menurut Rahardjo (1996) dalam Lubis (2006), diperkirakan jumlah penderita gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10 % setiap tahun. Saat ini belum ada penelitian epidemiologi tentang prevalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia. Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia diperkirakan insidens dan prevalensi penyakit ginjal kronik masing-masing berkisar 100 - 150/ 1 juta penduduk dan 200 - 250/ 1 juta penduduk. Berdasarkan hasil studi dokumentasi dari bagian pencatatan dan pelaporan di Ruang Melati Lantai 2 Rumah Sakit Pusat dr. Hasan Sadikin Bandung, tercatat selama kurun waktu bulan Januari sampai dengan April 2008, klien yang dirawat dengan gagal ginjal kronik mencapai 22 orang dengan persentase 27,5 %.2 Pendekatan diagnosis pada gagal ginjal kronik dapat menggunakan temuan gambaran klinis, laboratoris, radiologis dan histopatologi ginjal.Temuan ginjal kecil ekogenik bilateral (<10 cm) menggunakan USG mendukung dianosis CKD, meskipun ginjal yang normal atau besar dapat pada gagal ginjal yang disebabkan penyakit ginjal polikistik dewasa, nefropati

diabetik, nefropati terkait HIV, mieloma multipel, amiloidosis, dan uropati obstruktif. Bukti radiologis osteodistrofi ginjal merupakan temuan lain yang bermakna, karena perubahan pada x-ray karena hiperparatiroidisme sekunder tidak muncul kecuali jika tingkat paratiroid telah meningkat selama 1 tahun.1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Chronic Kidney Disease (CKD) menurut National Kidney Foundation (NKF) di Amerika Serikat didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau laju filtrasi glomerolus (GFR) < 60 mL/menit/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin dalam darah dapat menjadi acuan untuk mengetahui adanya suatu gangguan ginjal. Kadar ureum >40 mg/dl dan kreatinin >1.5 mg/dl dapat menjadi suati tanda adanya gangguan fungsi ginjal. Kerusakan ginjal sendiri didefinisikan sebagai abnormalitas patologis atau marker (penanda) kerusakan, termasuk abnormalitas di uji darah atau urin ataupun hasil pencitraan.3 B. Epidemiologi Di Amerika serikat penderita CKD mencapai 20 juta yang berarti 1 dari 9 orang dewasa. Meskipun teknik dialisis dan transplantasi makin berkembang namun prognosis gagal ginjal tetap buruk. Sistem pendataan ginjal di Amerika Serikat pada tahun 2001 menunjukkan angka lebih dari 76.500 kematian pasien dengan End Stage Renal Disease (ESRD), angka ini seakan tidak berubah selama satu dekade terakhir. Menurut Rahardjo (1996) dalam Lubis (2006), diperkirakan jumlah penderita gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10 % setiap tahun. Saat ini belum ada penelitian epidemiologi tentang prevalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia. Dari data di beberapa pusat nefrologi di Indonesia diperkirakan insidens dan prevalensi penyakit ginjal kronik masing-masing berkisar 100 - 150/ 1 juta penduduk dan 200 - 250/ 1 juta penduduk. Berdasarkan hasil studi dokumentasi dari bagian pencatatan dan pelaporan di Ruang Melati Lantai 2 Rumah Sakit Pusat dr. Hasan Sadikin Bandung, tercatat selama kurun waktu bulan Januari sampai dengan April 2008, klien yang dirawat dengan gagal ginjal kronik mencapai 22 orang dengan persentase 27,5 %.2 C. Anatomi dan Histologi Ginjal Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang yang pada orang dewasa berukuran panjang 10-13 cm (4 -5 inci), lebar: 5-7,5 cm (2-3 inci), dan berat + 150 gram. Persentase berat ginjal: 0,5% dari berat tubuh. Terdapat sepasang (masing-masing satu di

sebelah kanan dan kiri vertebra) dan posisinya retroperitoneal. Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah (kurang lebih 1 cm) dibanding ginjal kiri, hal ini disebabkan adanya hati yang mendesak ginjal sebelah kanan. Kutub atas ginjal kiri adalah tepi atas iga 11 (vertebra T12), sedangkan kutub atas ginjal kanan adalah tepi bawah iga 11 atau iga 12. Adapun kutub bawah ginjal kiri adalah processus transversus vertebra L2 (kira-kira 5 cm dari krista iliaka) sedangkan kutub bawah ginjal kanan adalah pertengahan vertebra L3. Dari batas-batas tersebut dapat terlihat bahwa ginjal kanan posisinya lebih rendah dibandingkan ginjal kiri.4 Batas Ginjal Anterior Ginjal Kanan Lobus kanan hati Duodenum pars descendens Fleksura hepatica Usus halus Ginjal Kiri Dinding dorsal gaster Pankreas Limpa Vasa lienalis Usus halus Fleksura lienalis

Posterior

Diafragma, m.psoas major, m. quadratus lumborum, m. transversus abdominis(aponeurosis), n.subcostalis, n.iliohypogastricus, a.subcostalis, aa.lumbales 1-2(3), iga 12 (ginjal kanan) dan iga 11-12 (ginjal kiri). Tabel 1. Batas-batas Ginjal

Gambar 1. Batas-batas Ginjal Bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus Korteks renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis. Terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus Medula Columna renalis Processus renalis, Hilus renalis rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent). Bagian korteks di antara pyramid ginjal Bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks Suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.

Papilla renalis Calix minor Calix major Pelvis renalis Ureter

Bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor. Percabangan dari calix major. Percabangan dari pelvis renalis. Disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calix major dan ureter. Saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria. Tabel 2. Bagian-bagian Ginjal

Gambar 2. Anatomi dan Histologi Ginjal Unit fungsional ginjal disebut nefron. Nefron terdiri dari korpus renalis/Malpighi (yaitu glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal yang bermuara pada tubulus pengumpul. Di sekeliling tubulus ginjal tersebut terdapat pembuluh kapiler,yaitu arteriol (yang membawa darah dari dan menuju glomerulus) serta kapiler peritubulus (yang memperdarahi jaringan ginjal)

Berdasarkan letakya nefron dapat dibagi menjadi: (1) nefron kortikal, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di korteks yang relatif jauh dari medula serta hanya sedikit saja bagian lengkung Henle yang terbenam pada medula, dan (2) nefron juxta medula, yaitu nefron di mana korpus renalisnya terletak di tepi medula, memiliki lengkung Henle yang terbenam jauh ke dalam medula dan pembuluh-pembuluh darah panjang dan lurus yang disebut sebagai vasa rekta. Ginjal diperdarahi oleh a/v renalis. A. renalis merupakan percabangan dari aorta abdominal, sedangkan v.renalis akan bermuara pada vena cava inferior. Setelah memasuki ginjal melalui hilus, a.renalis akan bercabang menjadi arteri sublobaris yang akan memperdarahi segmen-segmen tertentu pada ginjal, yaitu segmen superior, anteriorsuperior, anterior-inferior, inferior serta posterior. Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Untuk persarafan simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus.4 D. Fisiologi Fungsi ginjal yaitu mengeluarkan zat-zat toksik atau racun; mempertahankan keseimbangan cairan; mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh; mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh; mengeluarkan sisa metabolisme hasil akhir sari protein ureum, kreatinin dan amoniak. Tiga tahap pembentukan urine :5 1. Filtrasi glomerular Pembentukan kemih dimulai dengan filtrasi plasma pada glomerulus, seperti kapiler tubuh lainnya, kapiler glumerulus secara relatif bersifat impermiabel terhadap protein plasma yang besar dan cukup permabel terhadap air dan larutan yang lebih kecil seperti elektrolit, asam amino, glukosa, dan sisa nitrogen. Aliran darah ginjal (RBF = Renal Blood Flow) adalah sekitar 25% dari curah jantung atau sekitar 1200 ml/menit. Sekitar seperlima dari plasma atau sekitar 125 ml/menit dialirkan melalui glomerulus ke kapsula bowman. Ini dikenal dengan laju filtrasi glomerulus (GFR = Glomerular Filtration Rate). Gerakan masuk ke kapsula bowmans disebut filtrat. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara kapiler glomerulus dan kapsula bowmans, tekanan hidrostatik darah dalam kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan hidrostatik filtrat dalam kapsula bowmans serta

tekanan osmotik koloid darah. Filtrasi glomerulus tidak hanya dipengaruhi oleh tekanan-tekanan koloid diatas namun juga oleh permeabilitas dinding kapiler. 2. Reabsorpsi Zat-zat yang difilltrasi ginjal dibagi dalam 3 bagian yaitu : non elektrolit, elektrolit dan air. Setelah filtrasi langkah kedua adalah reabsorpsi selektif zat-zat tersebut kembali lagi zat-zat yang sudah difiltrasi. 3. Sekresi Sekresi tubular melibatkan transfor aktif molekul-molekul dari aliran darah melalui tubulus kedalam filtrat. Banyak substansi yang disekresi tidak terjadi secara alamiah dalam tubuh (misalnya penisilin). Substansi yang secara alamiah terjadi dalam tubuh termasuk asam urat dan kalium serta ion-ion hidrogen. Pada tubulus distalis, transfor aktif natrium sistem carier yang juga telibat dalam sekresi hidrogen dan ion-ion kalium tubular. Dalam hubungan ini, tiap kali carier membawa natrium keluar dari cairan tubular, cariernya bisa hidrogen atau ion kalium kedalam cairan tubular perjalanannya kembali jadi, untuk setiap ion natrium yang diabsorpsi, hidrogen atau kalium harus disekresi dan sebaliknya.Pilihan kation yang akan disekresi tergantung pada konsentrasi cairan ekstratubular (CES) dari ion-ion ini (hidrogen dan kalium). Pengetahuan tentang pertukaran kation dalam tubulus distalis ini membantu kita memahami beberapa hubungan yang dimiliki elektrolit dengan lainnya. Sebagai contoh, kita dapat mengerti mengapa bloker aldosteron dapat menyebabkan hiperkalemia atau mengapa pada awalnya dapat terjadi penurunan kalium plasma ketika asidosis berat dikoreksi secara theurapeutik.

E. Patofisiologi

Penurunan fungsi ginjal yang progresif tetap berlangsung terus meskipun penyakit primernya telah diatasi atau telah terkontrol. Hal ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung pada penyakit ginjal kronik. Bukti lain yang menguatkan adanya mekanisme tersebut adalah adanya gambaran histologik ginjal yang sama pada penyakit ginjal kronik yang disebabkan oleh penyakit primer apapun. Perubahan dan adaptasi nefron yang tersisa setelah kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat dan kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal ginjal terminal.3 F. Klasifikasi CKD jarang reversibel dan mengarah pada penurunan progresif fungsi ginjal. Hal ini terjadi bahkan setelah kejadian yang memicu telah disingkirkan. Pengurangan massa

ginjal menyebabkan hipertrofi nefron-nefron yang tersisa dengan hiperfiltrasi, dan angka Glomerus Filtration Rate pada nefron-nefron tersebut di atas normal. Adaptasi ini memberikan beban pada nefron-nefron tersisa dan menyebabkan sklerosis glomerular progresif dan fibrosis intersisial, yang menunjukkan bahwa hiperfiltrasi memperburuk fungsi ginjal. Definisi tidak dapat berdasarkan nilai kreatinin serum (Creatinin Clearence Test) semata karena korelasi non-linear antara nilai kreatinin serum dengan GFR. Namun demikian prediksi GFR dapat dilakukan dengan memasukkan nilai kreatinin serum ke dalam persamaan tertentu dengan mempertimbangkan pula jenis kelamin, usia, ras, dan ukuran tubuh. Caranya, cukup mengukur kadar kreatinin darah (sCr: serum Creatinin), bisa diketahui persentase fungsi ginjal dari GFR-nya dengan rumus : Laki-laki GFR = (140 - umur) x (BB)/ (serum Creatinin x 72) Wanita GFR = (140 - umur) x (BB) x 0.85/ (serum Creatinin x 72) Literatur barat memiliki kecenderungan terkini adalah menggantikan persamaan yang terdahulu yaitu persamaan Cockcroft-Gault dengan persamaan dari studi Modification of Diet in Renal Disease (MDRD). Selain melibatkan lebih banyak variabel persamaan MDRD juga memprediksi GFR lebih baik daripada persamaan Cockcroft-Gault dengan bias dan dan sebaran yang lebih sedikit. Sebuah studi dalam 100 pasien menunjukkan bahwa persamaan Cockcroft-Gault memiliki bias 14% sampai dengan +25% dan 75% perkiraan termasuk dalam 30% nilai GFR yang diukur. Tiga penelitian mengenai persamaan MDRD menunjukkan bias 3% sampai dengan +3% dan 90% perkiraan termasuk dalam 30% nilai GFR yang diukur. Terdapat beberapa persamaan MDRD namun yang banyak diadopsi dalam Clinical Practice Guidelines adalah versi singkat dengan empat variabel, yaitu GFR (ml/menit/1,73 m2) = 186 x (SCr)-1,154 x (Usia dalam tahun)-0,203 dengan penyesuaian dikalikan 0,742 untuk perempuan dan 1,21 untuk ras kulit hitam Pengukuran klirens kreatinin menggunakan penampungan urin 24 jam tidak memberikan perkiraan GFR yang lebih tepat dibandingkan menggunakan persamaan. Klasifikasi CKD menurut National Kidney Foundation adalah sebagai berikut:3 Tingkat Deskripsi GFR Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau menurun Kerusakan ginjal dengan GFR menurun ringan Nilai 90 60-89

GFR menurun sedang 30-59 GFR menurun berat 15-29 Gagal ginjal < 15 (atau dialysis) Tabel 3. Klasifikasi CKD menurut National Kidney Foundation G. Etiologi dan Faktor Resiko Meskipun CKD dapat disebabkan oleh kelainan atau penyakit dari ginjal itu sendiri , namun penyebab utamanya adalah :1 1. Diabetes Melitus type 1 dan 2 Diabetes Melitus dapat menyebabkan kondisi diabetic nefrofathy dan merupakan penyebabkan utama penyakit ginjal di Unted State.1 Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Diabetes melitus sering disebut sebagai the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. Gejalanya sangat bervariasi. Diabetes melitus dapat timbul secara perlahan-lahan sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan seperti minum yang menjadi lebih banyak, buang air kecil lebih sering ataupun berat badan yang menurun. Gejala tersebut dapat berlangsung lama tanpa diperhatikan, sampai kemudian orang tersebut pergi ke dokter dan diperiksa kadar glukosa darahnya.3 2. Hipertensi Hipertensi jika tidak terkontrol dapat mengakibat kerusakan pada ginjal. 1 Hipertensi adalah tekanan darah sistolik 140 mmHg dan tekanan darah diastolik 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi. Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik, dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi renal.3 3. Glomerulonephritis Glomerulonephritis adalah inflamasi dan kerusakan dari system filtrasi di ginjal dan dapat menyebabkan gagal ginjal. Kondisi post infeksi dan LUPUS adalah penyebab utama glomerulonephritis.1 Istilah glomerulonefritis digunakan untuk berbagai penyakit ginjal yang etiologinya tidak jelas, akan tetapi secara umum memberikan gambaran histopatologi tertentu pada glomerulus. Berdasarkan sumber terjadinya kelainan,

glomerulonefritis dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan glomerulonefritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis.Gambaran klinik glomerulonefritis mungkin tanpa keluhan dan ditemukan secara kebetulan dari pemeriksaan urin rutin atau keluhan ringan atau keadaan darurat medik yang harus memerlukan terapi pengganti ginjal seperti dialisis.3 4. Polycystic kidney diease Polycystic kidney diease adalah contoh penyebab yang sifatnya herediter dari CKD, dimana ginjal mempunyai multiple cystic.1 Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula. Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar baru bermanifestasi pada usia di atas 30 tahun. Ternyata kelainan ini dapat ditemukan pada fetus, bayi dan anak kecil, sehingga istilah dominan autosomal lebih tepat dipakai daripada istilah penyakit ginjal polikistik dewasa.3 5. Penggunaan analgetik Penggunaan analgetik seperti asetaminofen (Tylenol ) dan ibuprofen (motrin, advil ) secara reguler dan dalam waktu lama dapat menyebabkan neprophaty analgetic. Beberapa jenis obat yang lain dapat pula menyebabkan kerusakan di ginjal.

6. Artherosclerosis Artherosclerosis menyebabkan kondisi yang disebut ischemik neprophathy. 7. Obstruksi aliran urine Obstruksi aliran urine oleh karena batu saluran kencing, pembesaran prostat, stuktur atau cacer dapat menyebabkan kidney disease. Dari data yang sampai saat ini dapat dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun 2007-2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai

berikut glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%). Berdasarkan data dari National Kidney Foundation pada tahun 2009 faktor risiko gagal ginjal kronik, yaitu pada pasien dengan diabetes melitus atau hipertensi, obesitas atau perokok, berumur lebih dari 50 tahun, dan individu dengan riwayat penyakit diabetes melitus, hipertensi, dan penyakit ginjal dalam keluarga.3 H. Diagnosis 1. Gambaran Klinis a. Fatigue dan lemah Fatigue dan lemah akibat anemia dan akumulasi dari produk sisa metabolism. b. Loss of appetite, nausea & vomiting Mual dan muntah sering merupakan keluhan utama dari sebagian pasien gagal ginjal kronik terutama pada stadium terminal. Patogenesis mual dan muntah masih belum jelas, diduga mempunyai hubungan dengan dekompresi oleh flora usus sehingga terbentuk amonia. Amonia inilah yang menyebabkan iritasi atau rangsangan mukosa lambung dan usus halus. Keluhan-keluhan saluran cerna ini akan segera mereda atau hilang setelah pembatasan diet protein dan antibiotika. c. Edema d. Gatal, mear, kulit pucat Gatal sering mengganggu pasien, patogenesisnya masih belum jelas dan diduga berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder. Keluhan gatal ini akan segera hilang setelah tindakan paratiroidektomi. Kulit biasanya kering dan bersisik, tidak jarang dijumpai timbunan kristal urea pada kulit muka dan dinamakan urea frost. e. Sakit kepala, peripheral neurophaty, gangguan tidur, gangguan status mental (encephalopaty karena uremia) f. Kelainan Mata Visus hilang (azotemia amaurosis) hanya dijumpai pada sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Gangguan visus cepat hilang setelah beberapa hari mendapat pengobatan gagal ginjal kronik yang adekuat, misalnya hemodialisis. Kelainan saraf mata menimbulkan gejala nistagmus, miosis dan pupil asimetris. Kelainan retina (retinopati) mungkin disebabkan hipertensi maupun anemia yang

sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik. Penimbunan atau deposit garam kalsium pada conjunctiva menyebabkan gejala red eye syndrome akibat iritasi dan hipervaskularisasi. Keratopati mungkin juga dijumpai pada beberapa pasien gagal ginjal kronik akibat penyulit hiperparatiroidisme sekunder atau tersier. g. Hipertensi h. Edema pulmonal sehingga timbul sesak nafas i. j. Nyeri sendi, tulang dan fraktur Disfungsi seksual

2. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium Ureum serum, nilai normal 20 40 mg/dl Kreatinin serum, nilai normal 0.5 1.5 mg/dl Asam urat serum, nilai normal pada pria berkisar 3,5 7 mg/dl dan wanita 2,6 6 mg/dl. Kadar Hb, nilai normal pada pria adalah 13 gr% - 18 gr%, dan wanita adalah 11,5 gr% - 16,5 gr% b. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya, yaitu: Foto polos abdomen Pada foto polos abdomen perhatikan dan ukur kontur ginjal. Pada foto polos kontur ginjal sering tidak tervisualisasi. Pielografi retrograde Pielografi retrograde adalah pemasukan zat kontras melalui kateter ke dalam ureter dan pelvis ginjal yang dapat dilakukan selama sistoskopi. Dilakukan untuk mendeteksi batu ginjal, tumor, hyperplasia prostat, penyebab dari hematuria dan infeksi saluran kemih, dan mengeluarkan batu ginjal. BNO-IVP Pemeriksaan IVP untuk mengetahui adanya kelainan pada sistem urinary, dengan melihat kerja ginjal dan sistem urinary pasien. Dengan IVP dapat diketahui adanya kelainan pada sistem tractus urinary dari batu ginjal, pembesaran prostat, dan tumor pada ginjal, ureter dan blass Kontra Indikasinya

adalah alergi terhadap media kontras, pasien yang mempunyai kelainan atau penyakit jantung, pasien dengan riwayat atau dalam serangan jantung, neonates, diabetes mellitus tidak terkontrol, pasien yang sedang dalam keadaan kolik, dan hasil ureum dan kreatinin yang tidak dalam batas normal

Gambar 3. Conventional plain film of the abdomen called a KUB (Kidneys, Ureters, Bladder) obtained following adminstration of IV contrast for IV urography shows normal collecting system. Calyces (arrows), renal pelvis (P), ureters (*) and bladder(B) Ultrasonografi (USG) Pemeriksaan penunjang radiologis yang umumnya dilakukan pada pasien gagal ginjal adalah pemeriksaan dengan ultrasonografi. USG saat ini digunakan sebagai pemeriksaan pertama secara rutin pada keadaan gagal ginjal yang digunakan untuk memperoleh informasi tentang parenkim, sistem collecting dan pembuluh darah ginjal.6 Gagal ginjal kronik pada umumnya diikuti dengan kenaikan kadar kreatinin dan menimbulkan gambaran ultrasonografi gagal ginjal kronik.1 Pemeriksaan ultrasonografi pada gagal ginjal untuk mengetahui adanya pembesaran ginjal, kristal, batu ginjal, mengkaji aliran urin dalam ginjal.3 USG abdomen pada pasien gagal ginjal kronik biasanya ditandai dengan korteks yang

lebih hiperechoic hingga hampir sama dengan sinus renalis.Selain itu dapat ditemukan pula ukuran ginjal yang mengecil dan batas korteks medula yang tidak jelas. Pada pemeriksaan USG gambaran hiperechoic pada parenkim ginjal kanan dapat menimbulkan kecurigaan adanya radang pada ginjal kanan. Normalnya, parenkim ginjal pada bagian korteks memiliki sonodensitas yang lebih rendah dari pada hepar, sehingga bersifat hipoechoic. Sonodensitas yang lebih tinggi dapat ditemukan pada parenkim sinus renalis karena komposisi lemak yang dimilikinya. Gambaran sonodensitas parenkim yang meningkat mungkin disebabkan proses inflamasi akibat riwayat konsumsi jamu dan obat-obatan yang sangat mungkin bersifat nefrotoksik. Besar kedua ginjal yang masih normal pada USG menandakan proses penyakit ginjal kronik yang masih awal dimana berkurangnya massa ginjal belum jelas terlihat. Gambaran PCS yang tidak melebar dan tidak ditemukannya batu pada struktur ginjal kanan dan kiri dapat menyingkirkan kemungkinan proses obstruktif sebagai etiologi.

Gambar 4. This elderly male patient presented with symptoms of medical renal disease. Sonography of the kidneys revealed: 1) bilateral echogenic (hyperechoic renal cortex) kidneys 2) both kidneys appear small in size (atrophic) 3) reduced thickness (thinning) of renal cortex (10mm.) 4) reduction in cortico-medullary differentiation These ultrasound images are diagnostic of chronic medical renal disease (or chronic renal failure). All ultrasound images above (taken using Toshiba Nemio-XG Color Doppler imaging system, by Joe Antony, MD, India. Nefrotomogram Nefrotomogram adalah serangkaian gambar sinar-x dari ginjal. Sinar-x diambil dari sudutyang berbeda dan menunjukkan ginjal dengan jelas, tanpa bayangan dari organ-organ disekitarnya.

Gambar 5. UPJO in a 24-year-old patient. (a) (b) (c) Distal obstructive ureter was not displayed by IVU image. Oblique reconstructed imaging of CTU images showed left side hydronephrosis and distal obstructive ureter. Detection of the ventral crossing artery at the ureteropelvic junction by axial CTU image. Nefrogram Pemeriksaan Renograf dapat melihat adanya gejala kelainan ginjal. Hasil yang diperoleh dari renograf adalah grafik renogram. Teknik Renografi untuk memeriksa fungsi ginjal telah dikenal sejak tahun 1950-an. Alat renograf menggunakan radioisotop sebagai perunut (tracer) yang dimasukkan ke dalam tubuh pasien. Indikasi pemeriksaan renografi dapat dilakukan atas permintaan dokter untuk pasien dengan berbagai latar belakang klinis gangguan fungsi ginjal. Renografi dalam sistem pelayanan kesehatan dapat berperan sebagai sarana

screening diagnostic maupun sebagai sarana pemantauan hasil pengobatan atau tindakan medis. Waktu yang diperlukan untuk persiapan dan pemeriksaan pasien relatif singkat. Dosis isotop yang lebih aman (seperempat dari yang diperlukan pada penggunaan kamera gamma), kelengkapan perangkat lunak (software) yang mudah digunakan (user friendly) dan kesederhanaan alat yang tidak memerlukan personil terdidik khusus (high skill personnel) untuk pengoperasian dan perawatan alat, serta biaya investasi yang kurang dari sepersepuluh kamera gamma, sehingga biaya operasional per pasien sangat ekonomis. Renograf Dual Probes sesuai untuk rumah sakit kecil yang belum memiliki kamera gamma, ataupun rumah sakit sibuk yang berusaha mengurangi beban penggunaan kamera gamma yang telah ada untuk pemeriksaan ginjal. Radioisotop yang dikandung oleh ginjal akan menjadi sumber radiasi bagi alat renograf. Selanjutnya radiasi yang dipancarkan akan dideteksi oleh suatu detector yang terdaoat pada alat renograf. Dalam kedokteran nuklir, pengamatan terhadap perunut yang dilakukan dari luar tubuh penderita disebut pengamatan in-vivo yang artinya memasukkan radioisotop ke dalam tubuh manusia. Pada prinsipnya alat renograf bekerja sebagai alat pencacah aktivitas perunut radioisotop yang terkandung oleh ginjal. Suatu perunut radioisotope I131 disuntikkan pada tubuh pasien secara intravena. Parunut akan dibawa oleh darah ke organ-organ tubuh dan disebarkan ke seluruh pembuluh darah yang ada di organ-organ tersebut, yang berakhir di ginjal. Pada ginjal perunut dikumpulkan pada pelvis renalis, kemudian bersama-sama zat lain yang tidak berguna dibuang melalui urine. Peristiwa mengalirnya perunut radioaktif dalam pembuluhpembuluh ginjal dideteksi oleh detector yang diletakkan tepat pada posisi organ ginjal. Dari pemantauan detector dihasilkan laju cacahan atau jumlah pulse per detik

Tabel 4. Dosis Dewasa untuk Renogram Persiapan pemeriksaan renografi yaitu yakinkan peralatan telah disiapkan sesuai radiofarmaka yang akan digunakan (setting LLD-ULD) dan telah dilakukan uji kesetabilan (chi-square test). Berikan kepada pasien air minum (hydrate) sebanyak 250 s/d 500 ml sebelum prosedur pemeriksaan. Pasien diminta buang air kecil sebelum pengaturan posisi pemeriksaan. Isikan data pasien pada form file baru (pada komputer). Atur posisi pasien (duduk atau tiduran), arahkan masing-masing probe ke ginjal kiri dan kanan, pasien diminta untuk tidak menggerakkan punggung selama pemeriksaan. Ketepatan posisi dan pengaturan arah probe sangat menentukan keberhasilan pengukuran. Kunci posisi kursi/tempat tidur pasien dan detektor probes agar tidak berubah selama pengukuran. Injeksikan radiofarmaka secara intravena pada lengan kanan atau lengan kiri pasien (gunakan bolus teknik), serentak dengan injeksi mulailah pengukuran. Pengukuran berlangsung selama 18 s/d 20 menit dan dapat diperpanjang sampai 40 menit apabila diperlukan. Pada dasarnya metoda renografi adalah memonitor kedatangan, sekresi, ekskresi (arrival, uptake, transit and elimination) dari radiofarmaka pada ginjal sesaat setelah injeksi intravena. Pemonitoran dari luar tubuh ini dimungkinkan karena radiofarmaka yang digunakan mengandung isotop yang memancarkan radiasi gamma. Hasil pengukuran adalah berupa kurva renogram. Fisiologis renogram (normal) terdiri atas 3 segmen (fase) : Fase I : Memberikan informasi tentang kapasitas respon renovaskuler. Kurva memiliki up-slope yang tajam dan berlangsung cepat (sekitar 30 detik). Fase II : Memberikan informasi tentang kapasitas uptake, konsentrasi dan sekresi jaringan parenchym ginjal (nephron). Kurva memiliki up-slope yang lebih landai dan berlangsung kurang dari 5 menit. Fase III : Memberikan informasi tentang kapasitas ekskresi atau eliminasi kedua ginjal. Kurva menurun (downslope) dimulai dari puncak fase II sampai akhir pemeriksaan.

Ketiga fase merupakan refleksi keadaan urodinamik kedua ginjal. Gangguan pada masing-masing fase memiliki makna klinis yang berbeda. Walaupun secara komprehensip dapat saling mempengaruhi.8

Gambar 4. Pola renogram untuk kondisi ginjal tertentu I. Pencegahan Berdasarkan National Kidney Foundation pada tahun 2009 upaya pencegahan terhadap penyakit ginjal kronik sebaiknya sudah mulai dilakukan pada stadium dini penyakit ginjal kronik. Berbagai upaya pencegahan yang telah terbukti bermanfaat dalam mencegah penyakit ginjal dan kardiovaskular, yaitu pengobatan hipertensi (makin rendah tekanan darah makin kecil risiko penurunan fungsi ginjal), pengendalian gula darah, lemak darah, anemia, penghentian merokok, peningkatan aktivitas fisik dan pengendalian berat badan.3 J. Penatalaksanaan 1. Terapi konservatif Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, elektrolit.3 a. Peranan diet Terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama gangguan keseimbangan negatif nitrogen. b. Kebutuhan jumlah kalori meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan

Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan utama, yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen, memelihara status nutrisi dan memelihara status gizi. c. Kebutuhan cairan Bila ureum serum > 150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya jumlah diuresis mencapai 2 L per hari. d. Kebutuhan elektrolit dan mineral Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease). 2. Terapi simtomatik a. Asidosis metabolik Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia). Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali. Terapi alkali (sodium bicarbonat) harus segera diberikan intravena bila pH 7,35 atau serum bikarbonat 20 mEq/L. b. Anemia Transfusi darah misalnya Packed Red Cell (PRC) merupakan salah satu pilihan terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati karena dapat menyebabkan kematian mendadak. c. Keluhan gastrointestinal Anoreksi, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinal yang lain adalah ulserasi mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simtomatik. d. Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit. e. Kelainan neuromuskular Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal paratiroidektomi. f. Hipertensi Pemberian obat-obatan anti hipertensi. g. Kelainan sistem kardiovaskular

Tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan kardiovaskular yang diderita. 3. Terapi pengganti ginjal Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal.3 a. Hemodialisis Tindakan terapi dialisis tidak boleh terlambat untuk mencegah gejala toksik azotemia, dan malnutrisi. Tetapi terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien GGK yang belum tahap akhir akan memperburuk faal ginjal (LFG). Indikasi tindakan terapi dialisis, yaitu indikasi absolut dan indikasi elektif. Beberapa yang termasuk dalam indikasi absolut, yaitu perikarditis, ensefalopati/neuropati azotemik, bendungan paru dan kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik, hipertensi refrakter, muntah persisten, dan Blood Uremic Nitrogen (BUN) > 120 mg % dan kreatinin > 10 mg%. Indikasi elektif, yaitu LFG antara 5 dan 8 mL/menit/1,73m, mual, anoreksia, muntah, dan astenia berat. Hemodialisis di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakit rujukan. Umumnya dipergunakan ginjal buatan yang kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermiabel (hollow fibre kidney). Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal. b. Dialisis peritoneal (DP) Akhir-akhir ini sudah populer Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis(CAPD) di pusat ginjal di luar negeri dan di Indonesia. Indikasi medik CAPD, yaitu pasien anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasienpasien yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasienpasien yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke, pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik disertai comorbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik, yaitu keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan sendiri (mandiri), dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal.

c. Transplantasi ginjal Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti ginjal (anatomi dan faal). Pertimbangan program transplantasi ginjal, yaitu: Cangkok ginjal (kidney transplant) dapat mengambil alih seluruh (100%) faal ginjal, sedangkan hemodialisis hanya mengambil alih 70-80% faal ginjal alamiah Kualitas hidup normal kembali Masa hidup (survival rate) lebih lama Komplikasi (biasanya dapat diantisipasi) terutama berhubungan dengan obat imunosupresif untuk mencegah reaksi penolakan K. Prognosis Prognosis gagal ginjal kronis kurang baik, akibat terjadi komplikasi penyakit. Faktor prognosis yang mempengaruhi meliputi komplikasi penyakit anemia, asidosis metabolik, hiperkalemia, tekanan darah yang cenderung tidak normal, edema, edema paru, fluktuasi berat badan, dan penyakit dasar batu ginjal, glomerulonefretis, hipertensi, diabetes melitus, dan penyakit dasar yang lainnya. Faktor umur, jenis kelamin dan frekuensi hemodialisis juga perlu dipertimbangkan. Penelitian dilakukan di laboratorium instalansi hemodialisis rumah sakit dr Soetomo Surabaya, waktu studi 3 tahun dan Januari 1998 sampai dengan Desember 2000. Berdasar hasil pengamatan terhadap lembar observasi pasien gagal ginjal kronis ditemukan 258 orang pasien yang digunakan sebagai anggota populasi ada 4 faktor prognosis gagal ginjal kronis yaitu penyakit dasar yang lain ( PDL), edema paru (EP), frekuensi hemodialisis (FHD) dan fluktuasi berat badan (FBB) berpengaruh nyata terhadap waktu survival berarti belum terkoreksi dengan baik oleh terapi hemodialisis, sedangkan faktor prognosis lainnya sudah terkoreksi dengan baik.9

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Chronic Kidney Disease (CKD) menurut National Kidney Foundation (NKF) di Amerika Serikat didefinisikan sebagai kerusakan ginjal atau laju filtrasi glomerolus (GFR) < 60 mL/menit/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih. Kadar ureum >40 mg/dl dan kreatinin >1.5 mg/dl dapat menjadi suati tanda adanya gangguan fungsi ginjal. 2. Menurut Rahardjo (1996) dalam Lubis (2006), diperkirakan jumlah penderita gagal ginjal kronik terus meningkat dan diperkirakan pertumbuhannya sekitar 10 % setiap tahun. Saat ini belum ada penelitian epidemiologi tentang prevalensi penyakit ginjal kronik di Indonesia. 3. Etiologi CKD dari yang terbanyak yaitu glomerulonefritis (25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%). 4. Gambaran klinis pasien CKD yaitu lemas, penurunan nafsu makan, edema. 5. Pemeriksaan laboratorium yang mendukung diagnosis CKD yaitu kadar ureum >40 mg/dl dan kreatinin serum >1.5 mg/dl. 6. Pemeriksaan penunjang radiologi berupa foto polos abdomen, BNO-IVP, pielografi retrograde, ultrasonografi (USG), nefrotomogram, dan pemeriksaan renografi.

7. USG saat ini digunakan sebagai pemeriksaan pertama secara rutin pada keadaan gagal ginjal yang digunakan untuk memperoleh informasi tentang parenkim, sistem collecting dan pembuluh darah ginjal. Sedangkan renogram dapat melihat adanya gejala kelainan ginjal. Hasil yang diperoleh dari renogram adalah grafik renografi. 8. Penatlaksanaan CKD berupa terapi konservatif, terapi simptomatik, dan terapi pengganti ginjal dimana terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal. 9. Prognosis gagal ginjal kronis kurang baik, akibat terjadi komplikasi penyakit. B. Saran 1. Perlunya tindakan preventif berupa meningkatkan kesadaran terutama bagi individu dengan faktor resiko Chronic Kidney Disease berupa pemeriksaan kesehatan secara teratur dan berkala baik berupa konsultasi dengan dokter, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan radiologis jika dicurigai adanya gangguan fungsi ginjal. 2. Perlunya tindakan preventif dan kuratif bagi individu dengan gangguan saluran kemih yang segera agar terhindar dari kerusakan fungsi ginjal lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA
1. Purwahyudi, Ari. Chronic Kidney Disease. Chronic Kidney Disease 2010 Mar 28 (citied

2012 Jan 30). Available at http://aripurwahyudi.com/intensive-care/chronic-kidneydisease.htm


2. Hukari, Dwi. Leaflet Chronic Kidney Disease. Leaflet Manajemen Nyeri 2010 Apr 04

(citied 2012 Jan 30). Available at chronic-kidney-disease.htm

http://rentalhikari.word-press.com/2010/04/04/leaflat-

3. Nurdin HM. Chronic Kidney Disease. Be Smart and Educated 2010 Aug 16 (citied 2012 Jan 30). Available at http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/chronic-kidney-disease.html
4. Van de Graaf KM. Human anatomy. 6th ed. US: The McGraw-Hill Companies; 2001

5. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2001. 6. Rasad, Sjahriar. (2005). Radiologi Diagnostik. Edisi Kedua. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 7. Antony, Joe. Chronic Renal Failure. Ultrasound Images of Diseases of the Kidneys 2007 (citied 2012 Jan 30). Available at http://www.ultrasound-images.com 8. Wahid. Renograf Dual Probes Sebagai Pendeteksi Fungsi Ginjal. Instrumentasi Medis Fisika UI 2011 Mei 21 (citied 2012 Feb 10). Available at http://medicalinstruments11.blogspot.com/2011/05/renograf-dual-probes.html

9. Suharto. Penerapan Model PH Cox pada Studi Pasien Gagal Ginjal Kronik 2004 Feb 19 (citied 2012 Feb 08). Available at http://adln.lib.unair.ac.id/go.php?id=jiptunair-gdl-s22004-suharto-969-cox

You might also like