You are on page 1of 11

1

PEMBERIAN DIET TINGGI KALSIUM (PENAMBAHAN CaCO3 PADA RANSUM MAKANAN) MENINGKATKAN KADAR TRIASILGLISERIDA SERUM PADA Rattus norvegicus Strain Wistar
Dr. Widodo S, M.Kes1 Dian Handayani, SKM, M.Kes2 Shelly Festilia Agusanty3 1. 2. 3. Staf Pengajar Biomolekuler Program Studi Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang Staf Pengajar Interaksi Obat dan Makanan Program Studi Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang Mahasiswa Program Studi Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang

Abstrak : Peningkatan asupan kalsium akan menyebabkan terjadinya penurunan proses lipogenesis dan peningkatan lipolisis di dalam jaringan adiposa. Jika laju reesterifikasi tidak dapat mengimbangi kecepatan lipolisis jumlah asam lemak akan meningkat sehingga menaikkan kadar asam lemak bebas plasma. Asam lemak bebas yang meningkat akan diesterifikasi menjadi triasilgliserida serum. Tujuan penelitian ini untuk membuktikan bahwa dengan pemberian diet tinggi kalsium akan meningkatkan kadar triasilgliserida serum. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimental laboratorik dengan postest control group design. Hewan coba adalah tikus jantan jenis Rattus novergicus strain wistar. Penelitian ini terdiri dari 2 tahap. Tahap pertama pemberian diet normal yang mengandung kalsium sebesar 0,4% pada semua kelompok tikus selama 4 minggu. Tahap ke-2 pemberian diet kalsium dengan kandungan yang berbeda pada kelompok A, B, C, dan D masing-masing sebesar 0,4%, 0,8%, 1,2% dan 1,6%. Untuk mengetahui perbedaan dari pemberian diet kalsium yang berbeda, digunakan uji statistik Oneway Anova, sedangkan untuk mengetahui di mana letak perbedaan tersebut dilanjutkan dengan uji Tukey HSD. Untuk mengetahui hubungan antara pemberian diet dengan kandungan kalsium berbeda dengan kadar triasilgliserida serum digunakan uji Korelasi dan untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya digunakan uji Regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara diet tinggi kalsium dengan kadar triasilgliserida serum tikus. Diet tinggi kalsium berpengaruh terhadap kenaikan kadar triasilgliserida serum tikus. Hasil uji statistik dengan Oneway Anova menunjukkan terdapat perbedaan kadar triasilgliserida serum tikus dengan pemberian diet kalsium dengan kandungan kalsium yang berbeda pada masing-masing kelompok (p = 0,004). Uji lanjut dengan Tukey HSD menunjukkan letak perbedaan kadar triasilgliserida ada pada kelompok dengan kandungan kalsium 1,6% dari berat pakan yang terkonsumsi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa dengan pemberian diet tinggi kalsium akan meningkatkan kadar triasilgliserida serum tikus. Kata kunci : Kalsium, triasilgliserida.

2
GIVING CALCIUM HIGH DIET (CACO3 ADDITION TO FOOD RATIONS) INCREASING SERUM TRIASILGYCERIDE FOR Rattus Norvegicus Strain Wistar.
Dr. Widodo S, M.Kes1 Dian Handayani, SKM, M.Kes2 Shelly Festilia Agusanty3 1. 2. 3. Staf Pengajar Biomolekuler Program Studi Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang Staf Pengajar Interaksi Obat dan Makanan Program Studi Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang Mahasiswa Program Studi Gizi Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang

Abstract : Increasing calcium diet will cause decreasing lypogenesis process and lypholisis increase in adipose tissue. If reesterification rate cannot balance lypholisis speed so it can cause increasing free fatty acid. Free fatty acid that increase will be esterificated to be serum triasilglyceride. This research purpose to prove that giving calcium high diet will be increasing serum triasilglyceride. This research uses kind of experimental test with posttest control group design. Experiment animal is male mouse of Rattus norvegicus strain wistar kind. This research consist of two stages. First stage is by giving normal diet consist of calcium of 0,4% to all mouse groups for 4 weeks. 2nd stage is giving calcium with different content to A,B,C,D groups each 0,4%, 0,8%, 1,2% and 1,6%. To know difference from giving different calcium diet, it is used statistic test of Oneway Anova, whereas to know where the difference position, it is continued with Tukey HSD test. To know relation between giving calcium high diet with serum triasilglyceride, it is used statistic test of Correlation, and to know how much giving calcium high diet influence serum triasilglyceride, it is used statistic test of Regression. The research output suggest that there is correlation between calcium high diet with serum triasilglyceride. Calcium high diet influence the increasing of serum triasilglyceride. Statistic test result with Oneway Anova suggest that there is mouse serum triasilglyceride content by giving calcium diet with different calcium content in each group (p = 0,004). Further test with Tukey HSD suggest that difference position of triasilglyceride content is on group with calcium content of 1,6% from consumed diet weight. The conclusion of this research is giving calcium high diet increasing mouse serum triasilglyceride. Keyword : Calcium, triasilglyceride.

PENDAHULUAN Latar Belakang Kegemukan atau obesitas merupakan suatu penyakit epidemi yang melanda seluruh dunia terutama di negara-negara atau daerah dimana tingkat kemakmurannya cukup tinggi. Kejadian obesitas di negara-negara maju seperti negaranegara di Eropa, Amerika Serikat dan Australia telah mencapai tingkat epidemi (Adiningsih, 2005). Overweight dan obese meningkatkan resiko hipertensi, dislipidemia, diabetes tipe 2, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit empedu, osteoarthritis, kesulitan tidur dan gangguan pernafasan, juga meningkatkan resiko kanker endometrium, payudara, prostate dan kolon.

Meningkatnya berat badan berhubungan dengan meningkatnya angka kematian dari semua kasus tersebut diatas (NHLBI, 2000) Prevalensi overweight dan obesitas meningkat sangat tajam dikawasan Asia Pasifik. Sebagai contoh 20,5% dari penduduk Korea Selatan tergolong overweight dan 1,5% tergolong obesitas. Di Thailand 16% penduduknya mengalami overweight dan 4% mengalami obesitas. Di daerah perkotaan Cina, prevalensi overweight adalah 12% pada laki-laki dan 14,4% pada perempuan, sedangkan di daerah pedesaan prevalensi overweight pada laki-laki dan perempuan masing-masing 5,3% dan 9,8%. Data tentang obesitas di Indonesia belum bisa menggambarkan prevalensi obesitas seluruh penduduk, tetapi data obesitas pada orang dewasa

3
yang tinggal di ibukota propinsi seluruh Indonesia cukup untuk menjadi perhatian. Data dari Depkes tahun 2003, survei nasional yang dilakukan pada tahun 1996/1997 di ibukota seluruh propinsi Indonesia menunjukkan bahwa 8,1% penduduk laki-laki dewasa umur diatas 18 tahun mengalami overweight dan 6,8% mengalami obesitas. Pada penduduk wanita dewasa sebanyak 10,5% mengalami overweight dan 13,5% mengalami obesitas (Adiningsih, 2005). Sampai saat sekarang banyak sekali jenis diet yang digunakan dalam perencanaan menurunkan berat badan tetapi itu hanya memfokuskan kepada makronutrient saja tidak pada mikronutrient seperti halnya dengan mineral kalsium. Peranan kalsium untuk menurunkan berat badan dan kolesterol telah terungkap secara empiris, walaupun sebagai fungsi utama kalsium dibutuhkan untuk pertumbuhan tulang dan gigi. Konsumsi kalsium yang cukup dalam diet harian dianjurkan untuk menurunkan berat badan dan menurunkan sintesis lemak dan mencegah hiperkolesterol. Hasil studi longitudinal pada wanita menunjukkan IMT (indeks massa tubuh) menurun dengan peningkatan konsumsi kalsium. Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa orang yang kegemukan (obesitas) akan dapat menurunkan berat badan dengan tingkat keberhasilan 60 80 persen jika konsumsi kalsium sesuai anjuran (Saragih, 2005) Mekanisme kerja kalsium berhubungan dengan peran intraseluler kalsium dalam metabolisme pada jaringan adiposa menunjukkan peningkatan konsumsi kalsium dalam bahan pangan akan menurunkan konsentrasi 1,25dihidroksi vitamin D3 {1,25 (OH2) D3} di dalam serum. Hasilnya akan menyebabkan penurunan pengaturan transfer kalsium ke adiposit dan pankreas. Di dalam adiposit, penurunan konsentrasi kalsium intraseluler akan menurunkan enzim asam lemak sintase, penurunan proses lipogenesis (pembentukan asam lemak), dan peningkatan lipolisis (pemecahan lemak) (Zemel, 2002) Lipolisis merupakan pemecahan triasilgliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas yang terbentuk melalui lipolisis dapat diubah kembali dijaringan menjadi asil-KoA oleh enzim asil-KoA sintetase dan menjalani reesterifikasi dengan senyawa gliserol 3fosfat untuk membentuk triasilgliserida. Jadi didalam jaringan adiposa terdapat siklus lipolisis dan reesterifikasi yang berkesinambungan. Akan tetapi, jika laju reesterifikasi tidak cukup untuk mengimbangi kecepatan lipolisis, asam lemak bebas akan berakumulasi dan berdifusi ke dalam plasma; tempat asam lemak bebas ini berikatan dengan albumin dan menaikkan kadar asam lemak bebas plasma (Mayes, 2003). Asam lemak bebas dengan jumlah yang meningkat juga akan diambil oleh hati dan diesterifikasi menjadi triasilgliserida. Asam lemak bebas yang meningkat dalam hati merupakan sumber untuk pembentukan VLDL yang akan menghasilkan lipid serum yang bersifat sangat aterogenik yang dikenal dengan lipid triad yaitu adanya hipertrigliseridemi, kadar kolesterol HDL rendah dan meningkatnya subfraksi kolesterol LDL kecil padat dalam plasma. Hal ini dapat mengakibatkan penyakit aterotrombotik arteri yang secara klinis bermanifestasi sebagai penyakit jantung koroner atau stroke. Selain itu asam lemak yang tertimbun di hati akan menjadi sumber pembentukan triasilgliserida hati yang mengakibatkan terjadinya penimbunan lemak di hati dan menjadikan perlemakan hati, inflamasi dan akhirnya terjadi fibrosis hati yang dikenal dengan non alkoholik steatohepatitis (Adam, 2005). Oleh karena itu mengkonsumsi kalsium yang berlebihan dapat berakibat terjadinya perlemakan di hati, penyakit aterosklerosis dan penyakit jantung. Atas dasar tersebut diatas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh diet tinggi kalsium terhadap peningkatan kadar triasilgliserida pada hewan coba tikus. Rumusan Masalah Apakah dengan pemberian diet tinggi kalsium (CaCO3) dapat meningkatkan kadar triasilgliserida serum pada tikus. Tujuan Penelitian (1) Mengetahui perbedaan berat badan tikus sebelum dan sesudah perlakuan pada setiap kelompok perlakuan (2) Mengetahui intake makanan tikus (3) Membuktikan bahwa pemberian diet tinggi kalsium (CaCO3) dapat meningkatkan kadar triasilgliserida serum. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian ini secara umum adalah dapat digunakan sebagai informasi bagi praktisi gizi dan masyarakat tentang pengaruh konsumsi kalsium yang berlebihan bagi kesehatan dan secara khusus dapat menjadi bahan penelitian lanjutan tentang peranan kalsium didalam kesehatan.

4
35,5 cm x 14,5 cm, kandang tikus dari kawat dengan ukuran 36,5 cm x 28 cm x 15,5 cm, botol air, sekam (2) Alat untuk pembuatan ransum makanan tikus: timbangan, waskom, pengaduk, gelas ukur, penggiling pakan, nampan (3) Timbangan tikus merk Sartorius Metler (4) Alat untuk mengukur kadar triasilgliserida : sentrifuge, kapas, beaker glass, spuit, botol reagen, kuvet (5) Analyzer merk Cobas Mira Bahan
Tabel 4.1 Komposisi Pakan Tikus per Ekor
Kelompok perlakuan Diet Diet Diet Diet Normal (kalsium 0,4%) Tinggi Kalsium 0,8% Tinggi Kalsium 1,2% Tinggi Kalsium 1,6% Confeed PAR-s (gr) 10,5 10,5 10,5 10,5 Terigu (gr) 19,5 19,5 19,5 19,5 CaC03 (gr) 0,3 0,6 0,9 Air (ml) 35,7 35,7 35,7 35,7

METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan eksperimental laboratorik pada hewan coba tikus dengan menggunakan jenis postest control group design (Arief, 2004). Hewan coba yang digunakan adalah tikus jantan jenis Rattus norvegicus strain wistar. Pemilihan objek penelitian untuk mengelompokkan dan pemberian perlakuan menggunakan metode RAL (Rancangan Acak Lengkap), hal ini karena hewan coba, bahan rangsum, tempat percobaan dan bahan penelitian lainnya dapat dikatakan homogen (Sastrosupadi, 1995) Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah tikus putih Rattus norvegicus strain wistar jantan yang diambil secara random sampling dan diobservasi selama 8 minggu, kemudian dilihat efeknya terhadap perubahan kadar triasilgliserida. Kriteria Inklusi tikus adalah (1) Jenis kelamin jantan (2) Umur 6 8 minggu (3) Berat 120 160 gram (4) Warna bulu putih (5) Tikus aktif. Sedangkan kriteria ekslusinya adalah tikus yang tidak mau makan dan tikus yang mengalami penurunan keadaan fisik atau mati. Jumlah subjek dalam penelitian ini sebanyak 6 sampel dihitung dengan rumus: (t 1) (r 1) 15 (Hanafiah, 2005) dimana : r = jumlah ulangan, t = jumlah jumlah perlakuan, 15 = nilai deviasi. Variabel Penelitian Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kandungan kalsium dalam pakan, sedangkan variabel tergantungnya adalah kadar triasilgliserida serum tikus. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian eksperimental ini dilakukan di Laboratorium Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang pada bulan April 2006. Alat dan Bahan Penelitian Alat Alat yang digunakan adalah : (1) Alat untuk memelihara tikus: bak plastik berukuran 45 cm x

Bahan pemeriksaan kadar triasilgliserida (1) Serum atau plasma darah (2) Larutan buffer (3) Reagen Excell Definisi Operasional Hewan coba adalah tikus Rattus norvegicus galur wistar jantan dengan umur 6 8 minggu yang berwarna putih yang diberi perlakuan dengan pemberian pakan diet normal dan ditambahkan kalsium dari CaCO3 pada masing-masing kelompok perlakuan. Diet normal adalah diet yang terdiri dari campuran pakan PAR-S dengan tepung terigu dengan komposisi 77,97% karbohidrat; 15,68% protein; 6,33% lemak dan kalsium sebesar 0,4%. Kalori per 1 gram pakan adalah sebesar 3,57 kkal. Diet normal diberikan sebesar 30 g/hari per tikus dengan total energi 107,1 kkal/hari per ekor tikus. Kalsium karbonat adalah suplemen kalsium terdiri dari kalsium dan karbonat dimana kandungan elemen kalsium sebesar 40%, sedangkan karbonatnya sebesar 60% (Zemel, 2002). Diet tinggi kalsium adalah perlakuan terhadap tikus Rattus norvegicus galur wistar yang diberi diet normal ditambah CaCO3 yang berbeda jumlahnya untuk setiap kelompok perlakuan dengan tujuan untuk meningkatkan kandungan kalsium sebesar 0,8% (setara dengan 240 mg kalsium) untuk kelompok B; 1,2% (setara dengan 360 mg kalsium) untuk kelompok C dan 1,6% (setara dengan 480 mg kalsium) untuk kelompok D. Penambahan kalsium dari CaCO3 dihitung berdasarkan dari berat pakan tikus dari diet normal. Intake makan tikus adalah selisih antara berat pakan sebelum dan sesudah dimakan yang dinyatakan sebagai intake harian. Intake harian

5
kemudian dikonversikan ke dalam nilai gizi yaitu kalori, protein, lemak dan karbohidrat. Berat badan tikus adalah berat badan masing-masing hewan coba yg menggambarkan total jumlah komponen tubuh termasuk jaringan dan cairan dalam satuan berat gram yang diukur dengan menggunakan timbangan tikus dengan tingkat ketelitian 0,01 kg dan ditimbang setiap satu minggu sekali. Kadar triasilgliserida adalah kadar triasilgliserida masing-masing hewan coba yang diukur pada saat akhir penelitian. Sampel yang digunakan adalah serum yang diperoleh dari darah hewan tikus percobaan yang telah disentrifuge dengan kecepatan 2500 rpm selama 20 menit kemudian serum dibaca dengan menggunakan analyzer Cobas Mira. Satuan triasilgliserida dinyatakan dalam mg/dl. Cara Kerja dan Pengumpulan Data Cara kerja Cara kerja yang dilakukan adalah : (1) Tikus dibagi menjadi 4 kelompok perlakuan (2) Sebelum perlakuan, tikus diadaptasikan pada kondisi laboratorium selama 7 hari dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan yakni perubahan kandangnya, waktu makan dan selama adaptasi diberi diet standar/normal (3) Pada awal percobaan semua tikus ditimbang berat badannya kemudian dilakukan dengan metode simple random sampling agar setiap hewan coba mempunyai peluang yang sama untuk mendapatkan perlakuan (4) Hewan uji diperlakukan dengan kandang terpisah (satu kandang/ekor). Makanan tikus ditimbang setiap hari untuk mendapatkan intake harian yang dimakan oleh hewan coba tikus (5) Pada awal percobaan minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4 masingmasing kelompok perlakuan diberikan diet normal dengan tujuan untuk menaikkan berat badannya atau membuat tikus menjadi gemuk. Dan pada akhir minggu ke-4 berat badan tikus ditimbang kembali (6) Pada minggu ke-4 sampai dengan minggu ke-8 masing-masing kelompok perlakuan diberikan diet normal tanpa penambahan kalsium untuk kelompok kontrol sedangkan kelompok perlakuan ditambah dengan kalsium dari kalsium korbonat dengan dosis yang berbeda ( 0,8%, 1,2% dan 1,6%). Pada akhir minggu ke-8 berat badan tikus ditimbang (7) Pada akhir minggu ke-8 masingmasing kelompok tikus dibedah dan diambil darahnya untuk diperiksa kadar triasilgliserida dengan metode Spektofotometri menggunakan analyzer Cobas Mira. Pengumpulan data (1) Intake makanan/hari di hitung dari sisa makanan yang diberikan pada hewan coba setiap harinya menggunakan alat timbangan. (2) Berat badan tikus diperoleh dari hasil penimbangan berat badan tikus setiap 1 minggu sekali, dengan menggunakan timbangan elektrik dan botol plastik untuk tempat tikus. Caranya, timbangan diletakkan di tempat yang datar, kemudian timbangan dikalibrasi dengan cara meletakkan botol plastik sampai mencapai titik nol, setelah itu tikus dimasukkan dalam botol plastik dan ditimbang (3) Kadar triasilgliserida hewan coba diperoleh dari hasil pengukuran dengan menggunakan alat Analyzer Cobas Mira. Analisa Data Data diolah dan dianalisa dengan menggunakan sistem komputerisasi dengan program SPSS 11.00. Untuk mengetahui perbedaan menggunakan uji statistik One Way Anova, jika ada perbedaan dilanjutkan dengan uji Post Hoc Tukey untuk mengetahui perbedaan dari tiap kelompok perlakuan. Untuk mengetahui apakah ada hubungan antara kandungan kalsium dengan kadar triasilgliserida dipergunakan uji statistik Korelasi dan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh antara kalsium dan kadar triasilgliserida dipergunakan uji Regresi Linear. Masing-masing uji statistik dengan tingkat kepercayaan 95% ( = 5%). HASIL PENELITIAN Berat Badan Pada saat pemilihan sampel tikus dilakukan penimbangan pada masing-masing tikus untuk mengetahui berat badan awal tikus. Rata-rata berat badan awal tikus masing-masing kelompok A, B, C dan D diketahui secara berturut-turut yaitu 136,35 g 5,30 ; 134,82 g 7,81 g; 130,45 g 3,99; dan 134,48 g 4,99 gr. Uji statistik Oneway Anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap berat badan awal pada masing-masing kelompok perlakukan tersebut (p = 0,346). Penimbangan berat badan tikus dilakukan setiap satu minggu sekali untuk mengetahui perubahan berat badan tikus. Perubahan berat badan dihitung dengan cara berat badan akhir dikurangi dengan berat badan pada penimbangan sebelumnya.

6
Pada pemberian diet kalsium normal pada semua kelompok perlakuan selama 4 minggu diketahui rata-rata kenaikan berat badan tikus masing-masing kelompok A, B, C dan D secara berturut-turut yaitu 95,23 g 5,81 ; 86,72 g 12,50; 82,35 g 8,15 dan 82,93 g 17,63. Uji statistik Oneway Anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap kenaikan berat badan pada pemberian diet kalsium dengan kandungan yang sama atau sesuai dengan kebutuhannya pada masing-masing kelompok perlakukan (p = 0,247). Selanjutnya perlakuan dengan memberikan diet kalsium dengan kandungan kalsium yang berbeda pada setiap kelompok selama 4 minggu diketahui bahwa rata-rata kenaikan berat badan tikus terendah pada kelompok dengan kandungan diet kalsium yang lebih tinggi yaitu 1,6% (kelompok D) sebesar 30,95 g 2,05, diikuti kelompok C (diet kalsium dengan kandungan 1,2%) sebesar 42,57 g 2,97, kelompok B (diet kalsium dengan kandungan 0,8%) sebesar 61,52 g 4,75 sedangkan rata-rata kenaikan berat badan tikus yang tertinggi terdapat pada kelompok A/kontrol (diet kalsium dengan kandungan 0,4%) sebesar 70,97 g 3,71. Data kenaikan berat badan dan intake makanan tikus setelah perlakuan dengan pemberian dosis kalsium berbeda pada tiap kelompok dapat dilihat pada tabel berikut : Dari uji statistik Korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian diet dengan kandungan kalsium yang berbeda dengan perkembangan kenaikan berat badan tikus (p = 0,972). Korelasi antara pemberian diet dengan kandungan kalsium yang berbeda dengan kenaikan berat badan adalah negatif, yang berarti semakin tinggi kandungan kalsium yang diberikan maka akan semakin rendah kenaikan berat badan tikus. Dari uji statistik Regresi menunjukkan bahwa pemberian diet dengan kandungan kalsium berbeda mempengaruhi kenaikan berat badan tikus (p = 0,000) Uji statistik Oneway Anova menunjukkan ada perbedaan yang signifikan terhadap perubahan kenaikan berat badan tikus dengan pemberian diet dengan kandungan kalsium yang berbeda pada masing-masing kelompok tersebut (p = 0,000). Uji lanjut dengan Tukey HSD menunjukkan terdapat perbedaan pada semua kelompok pasangan perlakuan.
Kenaikan Rata-rata Berat Badan Tikus (gr) 90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0 Kenaikan Rata-rata BB (gr) Klp A 71,0 Klp B 61,5 Klp C 42,6
b

c d

Klp D 31,0

Gambar 5.1 Rata-rata Pertumbuhan Kenaikan Berat Badan Tikus dengan Diet Kalsium Berbeda

Intake Energi Intake energi pada tikus selama perlakuan dihitung dengan cara menimbang sisa pakan yang ada kemudian dibandingkan dengan jumlah pakan yang diberikan per hari lalu dikalikan dengan nilai energi dari pakan standar. Pemberian diet normal yaitu diet dengan kandungan kalsium yang sesuai dengan kebutuhan tikus sebesar 0,4% dilakukan selama 4 minggu pada semua kelompok tikus. Komposisi diet terdiri dari pakan PAR-S 35% dan tepung terigu 65% sebanyak 30 gram yang mengandung energi sebesar 107,1 kkal (per 1 gram = 3,57 kkal); protein 6,27 g; lemak 1,90 g; karbohidrat 23,40 g dan kalsium 0,4% Ca. Dari perlakuan diperoleh hasil pada kelompok A rata-rata intake energi sebesar 69,42 kkal 7,43 dengan berat pakan yang terkonsumsi rata-rata sebesar 19,45 g dan kalsium terkonsumsi rata-rata sebesar 77,8 mg. Kelompok B rata-rata intake energi sebesar 62,63 kkal 4,92 dengan berat pakan yang terkonsumsi rata-rata sebesar 17,54 g dan kalsium terkonsumsi rata-rata sebesar 70,16 mg. Kelompok C rata-rata intake energi sebesar 63,47 kkal 2,01 dengan berat pakan yang terkonsumsi rata-rata sebesar 17,78 g dan kalsium terkonsumsi rata-rata sebesar 71,11 mg. Kelompok D rata-rata intake energi sebesar 62,83 kkal 6,21 dengan berat pakan yang terkonsumsi rata-rata sebesar 17,6 g dan kalsium yang terkonsumsi rata-rata sebesar 70,4 mg. Uji statistik Oneway Anova menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap intake energi pada peningkatan berat badan tikus dari masing-masing kelompok perlakuan tersebut (p = 0,137). Pada empat minggu berikutnya diberikan perlakuan penambahan kalsium yang berbeda pada tiap kelompok. Pada perlakuan dengan pemberian kandungan kalsium yang berbeda pada kelompok yang berbeda yaitu tikus kelompok A dengan kandungan kalsium sebesar 0,4% dari

7
berat pakan atau setara dengan 120 mg sebagai kontrol; kelompok B dengan kandungan kalsium 0,8% atau setara dengan 240 mg kalsium (penambahan kalsium 0,4% dari CaCO3); kelompok C dengan kandungan kalsium sebesar 1,2% atau setara dengan 360 mg kalsium (penambahan kalsium 0,8% dari CaCO3) dan kelompok D dengan kandungan kalsium sebesar 1,6% atau setara dengan 480 mg kalsium (penambahan kalsium 1,2% dari CaCO3) yang diberikan selama 4 minggu. Dari hasil penelitan menunjukkan bahwa pada kelompok A rata-rata intake energi sebesar 69,39 kkal 3,66 dengan berat pakan yang terkonsumsi rata-rata sebesar 19,44 g dan kalsium yang terkonsumsi rata-rata sebesar 77,76 mg. Kelompok B rata-rata intake energi sebesar 68,99 kkal 3,08 dengan berat pakan yang terkonsumsi rata-rata sebesar 19,32 g dan kalsium yang terkonsumsi rata-rata sebesar 154,4 mg. Kelompok C rata-rata intake energi sebesar 69,28 kkal 3,07 dengan berat pakan yang terkonsumsi rata-rata sebesar 19,40 g dan kalsium yang terkonsumsi rata-rata sebesar 232,33 mg. Kelompok D rata-rata intake energi sebesar 68,64 kkal 3,13 dengan berat pakan yang terkonsumsi rata-rata sebesar 19,23 g dan kalsium yang terkonsumsi rata-rata sebesar 306,71 mg. Perkembangan intake energi pada masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada gambar 5.3. Hasil uji statistik Oneway Anova menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap intake energi pada komposisi diet dengan kandungan kalsium yang berbeda dari masing-masing kelompok perlakukan tersebut (p=0,978).
Rata-rata Intake Energi (Kkal) dan Rata-rata Intake (gr)

kelompok B sebesar 75,50 mg 17,95; kelompok C sebesar 66,17 mg 22,74; dan kelompok D sebesar 108,33 mg 26,23. Perbedaan kadar triasilgliserida masing-masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada gambar 5.4 berikut ini :
Kadar Rata-rata Triasilgliserida Serum Tikus (mg/dl) 140,0 120,0 100,0 80,0 60,0 40,0 20,0 0,0
Rata-rata Triasilgliserida Klp A 64,3 Klp B 75,5 Klp C 66,2 Klp D 108,3

b a a a

Gambar 5.4 Kadar Triasilgliserida Rata-rata Tikus Pada Semua Kelompok Perlakuan

Dari hasil uji statistik Korelasi menunjukkan ada hubungan antara pemberian diet dengan kandungan kalsium yang berbeda terhadap kadar triasilgliserida serum tikus (p = 0,535). Uji Regresi menunjukkan bahwa pemberian diet dengan kandungan kalsium yang berbeda mempengaruhi kadar triasilgliserida serum tikus (p = 0,007). Dari uji statistik Oneway Anova menunjukkan ada perbedaan yang signifikan terhadap kadar triasilgliserida serum tikus dengan pemberian diet dengan kandungan kalsium yang berbeda pada masing-masing kelompok (p= 0,004). Uji lanjut dengan Tukey HSD menunjukkan letak perbedaan ada pada kelompok D dengan kandungan kalsium 1,6%. PEMBAHASAN Rata-rata berat badan awal tikus kelompok A, B, C dan D secara berturut-turut adalah 136,4 g; 134,8 g; 130,5 g dan 134,5 g. Hasil uji statistik Oneway Anova menunjukkan bahwa rata-rata berat badan tikus awal dari masing-masing kelompok adalah homogen (p > 0,05). Hal ini sesuai dengan syarat penelitian dimana semua sampel harus berada dalam keadaan homogen baik itu berat badan, jenis kelamin maupun warna bulu/ kulit. Jika kondisi sampel berbeda/ tidak homogen dikhawatirkan unsur subjektifitas lebih berperan dalam pemilihan sampel. Dimana setiap subjek dalam penelitian mempunyai kesempatan yang sama untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel (Sastroasmoro dan Ismael, 2000). Sebelum perlakuan pemberian diet tinggi kalsium, semua kelompok tikus diberikan perlakuan yang sama dengan memberikan diet normal yang mengandung kandungan kalsium sebesar 0,4%

100,00

80,00

60,00

40,00

20,00

0,00 Rata-rata Intake Pakan (gr) Rata-rata Energi (Kkal)

1 19,45 69,39

2 17,54 69,00

3 17,78 69,28

4 17,60 68,64

Gambar 5.3 Perbandingan Rata-rata Intake Pakan (g) dan Energi (kkal) Tikus Antar Masing-masing Kelompok Perlakuan

Kadar Triasilgliserida. Di akhir masa perlakuan, seluruh tikus dari semua kelompok perlakuan diambil serum darahnya untuk diukur kadar triasilgliserida serum. Dari hasil pengukuran tersebut diketahui nilai rata-rata kadar triasilgliserida serum tikus untuk kelompok A sebesar 64,33 mg 10,95;

8
dari berat pakan tikus (30 g) atau setara dengan 120 mg kalsium dimana kandungan kalsium sebesar 0,4% dari berat pakan tikus tersebut adalah merupakan kebutuhan basal dari tikus. Perlakuan tersebut diberikan selama 4 minggu dengan tujuan untuk meningkatkan berat badan tikus. Dari hasil penimbangan yang dilakukan menunjukkan rata-rata kenaikan berat badan tikus pada semua kelompok tidak menunjukkan perbedaan. Hasil uji statistik Oneway Anova untuk kenaikan berat badan tidak ada perbedaan dimana p > 0,05. Begitu juga dengan intake energi pada masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan dimana p > 0,05. Ini berarti selama pemberian diet normal pada semua kelompok perlakuan, semua tikus mengalami pertumbuhan kenaikan berat badan yang sama serta mempunyai nafsu makan dan aktifitas yang tidak berbeda. Pada minggu kelima hingga minggu kedelapan diberikan perlakuan dengan diet tinggi kalsium dimana kandungan kalsiumnya berbeda untuk setiap kelompok. Sumber kalsium berasal dari CaCO3 yang ditambahkan pada diet normal pada masing-masing kelompok selama 4 minggu dengan tujuan untuk melihat pengaruhnya terhadap berat badan tikus. Dari perlakuan dengan diet kalsium yang berbeda masih terjadi kenaikan berat badan tikus. Kenaikan berat badan tersebut terjadi karena makanan yang diberikan dan dikonsumsi oleh tikus sesuai dengan kemampuannya atau proporsional dengan energi expenditure sehingga energi yang ada digunakan untuk pertumbuhan dan peningkatan massa jaringan. Dalam keadaan normal, dengan keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi sesuai, maka berat badan berkembang mengikuti perkembangan umur. Walaupun demikian dengan perlakuan pemberian diet kalsium yang berbeda menunjukkan rata-rata kenaikan berat badan tikus yang berbeda pula. Pada kelompok diet kalsium yang tinggi kenaikannya lebih rendah daripada kelompok kontrol. Terlihat dengan diet kalsium 1,6% dengan berat pakan yang terkonsumsi rata-rata sebesar 19,23 g dan kalsium yang terkonsumsi rata-rata sebesar 306,71 mg rata-rata kenaikan berat badan hanya 30,95 g 2,04. Sedangkan pada kelompok dengan diet kalsium 1,2% dengan berat pakan yang terkonsumsi rata-rata sebesar 19,40 g dan kalsium yang terkonsumsi rata-rata sebesar 232,22 mg mempunyai rata-rata kenaikan berat badannya sebesar 42,57 g 2,96. Pada kelompok dengan diet kalsium 0,8% dengan berat pakan yang terkonsumsi rata-rata sebesar 19,32 g dan kalsium yang terkonsumsi rata-rata sebesar 154,4 mg kenaikan berat badannya rata-rata sebesar 61,52 g 4,75. Hasil uji statistik dengan Oneway Anova menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata pertumbuhan kenaikan berat badan tikus pada masing-masing perlakuan. Uji lanjut dengan Tukey HSD menunjukkan perbedaan berat badan itu terletak pada semua kelompok perlakuan. Terjadinya perbedaan penurunan kenaikan berat badan salah satunya bukan dipengaruhi oleh intake energi, karena hasil uji statistik dengan Oneway Anova menunjukkan rata-rata intake pada perlakuan tidak berbeda (p > 0,05) artinya intake pada semua kelompok perlakuan adalah sama. Dengan demikian perbedaan pertumbuhan kenaikan berat badan tikus faktor yang berpengaruh adalah adanya perbedaan intake kalsium. Perlakuan tersebut menunjukkan adanya hubungan yang terbalik antara asupan kalsium dan berat badan, tingginya asupan kalsium akan menurunkan kenaikan berat badan atau menurunkan lemak tubuh. Dari hasil uji statistik Korelasi menunjukkan ada hubungan antara pemberian diet dengan kandungan kalsium yang berbeda dengan kenaikan berat badan tikus (p = 0,972) dimana hubungan tersebut negatif yang menunjukkan semakin tinggi kandungan kalsium yang diberikan maka akan semakin rendah kenaikan berat badan tikus. Hasil uji statistik Regresi menunjukkan bahwa pemberian diet dengan kandungan kalsium yang berbeda berpengaruh terhadap kenaikan berat badan tikus (p = 0,000). Kelompok tikus dengan kandungan kalsium 1,6% dengan kandungan kalsium yang terkonsumsi rata-rata sebesar 306,71 mg mempunyai rata-rata kenaikan berat badan paling rendah dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium yang tinggi, dimana mekanisme kerja dari kalsium adalah pengaturan metabolisme energi dalam hal ini pada kalsium intrasellular yang berperan sebagai kunci pengaturan pada metabolisme lemak adiposit dan simpanan triasilgliserol. Untuk itu asupan kalsium yang tinggi menyebabkan ion kalsium plasma akan meningkat. Peningkatan ini akan menekan atau menurunkan konsentrasi hormon kalsitriol (1,25 dihidroksivitamin D3) sehingga akan menghambat masuknya kalsium melalui membran vitamin D reseptor (mVDR), hal

9
tersebut akan menyebabkan penurunan kalsium di intraselluar. Penurunan ini menghambat asam lemak sintase (enzim kunci lipogenesis) dan mendorong lipolisis yaitu triasilgliserol yang ada di jaringan adiposa dipecah menjadi asam lemak dan gliserol, asam lemak yang terlepas masuk ke dalam darah sebagai asam lemak bebas dan dioksidasi sebagai bahan bahan bakar utama menjadi CO2, akibatnya simpanan triasilgliserol di jaringan adiposa menurun hal ini akan mengurangi lemak adiposit, inilah yang menyebabkan terjadinya penurunan berat badan. Kalsium intrasellular juga berpengaruh terhadap konsentrasi cAMP. Menurut Parikh, 2003 dengan meningkatnya kalsium intrasellular maka akan mengaktivasi terhadap penurunan hormon sensitif lipase. Seperti diketahui bahwa orang yang gemuk terjadi peningkatan kalsium intrasellular dan mobilisasi lemak yang tidak efektif dari jaringan adiposa oleh lipase jaringan. Dengan asupan kalsium tinggi dapat meningkatkan konsentrasi cAMP dengan cara merangsang aktivitasi adenilil siklase, yaitu enzim yang mengkonversi ATP menjadi cAMP, senyawa cAMP merangsang protein kinase yang bergantung cAMP, sehingga akan mengkonversi bentuk inaktif enzim triasilgliserol lipase yang peka hormon menjadi bentuk aktif enzim lipase, dengan demikian triasilgliserol dihidrolisis menjadi asam lemak dan gliserol. Dari hasil pengukuran kadar triasilgliserida serum tikus pada semua kelompok perlakuan diperoleh bahwa pada kelompok A dengan diet kalsium 0,4% dengan berat pakan terkonsumsi rata-rata sebesar 19,44 g dan kalsium yang terkonsumsi rata-rata sebesar 77,76 mg mempunyai kadar rata-rata triasilgliserida serum sebesar 64,33 mg 10,95. Pada kelompok B dengan diet kalsium 0,8% dengan berat pakan terkonsumsi rata-rata sebesar 19,32 g dan kalsium yang terkonsumsi rata-rata sebesar 154,4 mg mempunyai kadar rata-rata triasilgliserida serum sebesar 75,50 mg 17,95. Kelompok C dengan diet kalsium 1,2% dengan berat pakan terkonsumsi rata-rata sebesar 19,40 g dan kalsium yang terkonsumsi rata-rata sebesar 232,33 mg mempunyai kadar rata-rata triasilgliserida serum sebesar 66,17 mg 22,74. Kelompok D dengan diet kalsium 1,6% dengan berat pakan yang terkonsumsi rata-rata sebesar 19,23 g dan kalsium yang terkonsumsi rata-rata sebesar 306,71 mg mempunyai kadar rata-rata triasilgliserida sebesar 108,33 mg 26,23. Hasil uji statistik dengan Oneway Anova menunjukkan terdapat perbedaan kadar triasilgliserida serum pada masing-masing kelompok perlakuan dimana p < 0,05. Uji lanjut dengan Tukey HSD menunjukkan perbedaan kadar triasilgliserida tersebut terdapat pada kelompok D yaitu kelompok perlakuan dengan diet kalsium 1,6% dengan kalsium yang terkonsumsi rata-rata sebesar 306,71 mg. Kenaikan kadar triasilgliserida tersebut salah satunya bukan dipengaruhi oleh intake energi karena dari hasil uji statistik dengan Oneway Anova menunjukkan bahwa rata-rata intake energi pada semua kelompok perlakuan tidak berbeda (p > 0,05), artinya intake makanan pada semua kelompok perlakuan adalah sama. Dengan demikian perbedaan kadar triasilgliserida serum pada tikus kelompok D dengan diet kalsium 1,6% dipengaruhi oleh intake kalsium. Hasil uji statistik Korelasi menunjukkan bahwa ada hubungan antara pemberian diet dengan kandungan kalsium berbeda terhadap kadar triasilgliserida serum pada tikus (p > 0,5). Uji Regresi menunjukkan bahwa pemberian diet dengan kandungan kalsium yang berbeda mempunyai pengaruh terhadap kadar triasilgliserida serum tikus (p < 0,05). Dari hasil percobaan yang telah dilakukan menunjukkan bahwa dengan asupan kalsium ratarata sebesar 77,76 mg, 154,4 mg dan 232,33 mg tidak mempunyai perbedaan terhadap kenaikan kadar triasilgliserida pada serum. Namun dengan asupan kalsium rata-rata sebesar 306,71 mg menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan terhadap kenaikan kadar triasilgliserida serum tikus. Jika kebutuhan normal kalsium pada tikus sebesar 0,4% dari berat pakannya atau setara dengan 120 mg kalsium, maka dengan peningkatan asupan sebesar 2,5 kali dari kebutuhan normalnya akan dapat meningkatkan kadar triasilgliserida serumnya secara signifikan. Pada asupan kalsium yang tinggi menyebabkan ion kalsium plasma akan meningkat. Peningkatan ini akan menekan atau menurunkan konsentrasi hormon kalsitriol (1,25 dihidroksivitamin D3) sehingga akan menghambat masuknya kalsium melalui membran vitamin D reseptor (mVDR) yang menyebabkan penurunan kalsium intraseluler. Penurunan ini menghambat asam lemak sintase yang merupakan enzim kunci lipogenesis dan mendorong terjadinya proses lipolisis yaitu triasilgliserida di jaringan adiposa

10
dipecah menjadi asam lemak dan gliserol (Zemel, 2002). Di dalam jaringan terdapat siklus lipolisis dan reesterifikasi yang berkesinambungan. Akan tetapi, jika laju reesterifikasi tidak cukup untuk mengimbangi kecepatan lipolisis, asam lemak bebas akan berakumulasi dan berdifusi ke dalam plasma, tempat asam lemak bebas ini berikatan dengan albumin dan menaikkan kadar asam lemak bebas plasma. Asam lemak bebas dengan jumlah yang meningkat ini akan diambil oleh hati (Mayes, 2003). Salah satu dari dua peristiwa yang akan dialami oleh asam lemak bebas setelah ambilan oleh hati dan sesudah diaktifkan menjadi asil-KoA yaitu asam lemak bebas tersebut akan mengalami -oksidasi menjadi CO2 atau esterifikasi menjadi triasilgliserol dan fosfolipid. Pengontrolan dilakukan terhadap masukan asam lemak bebas ke dalam lintasan oksidatif, dan sisa dari ambilan asam lemak bebas akan mengalami esterifikasi. Kapasitas untuk esterifikasi tampaknya tidak membatasi kecepatan reaksi. Asam lemak yang digunakan dalam sintesis senyawa triasilgliserida hepatik berasal dari dua kemungkinan sumber yaitu sintesis di hati dari asetil-KoA yang terutama berasal dari karbohidrat dan ambilan asam lemak bebas dari sirkulasi darah. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan sintesis triasilgliserida dan sekresi VLDL oleh hati adalah kadar asam lemak bebas yang tinggi dalam darah (Mayes, 2003). Menurut penelitian Strang dkk (1997) tentang efek asam lemak rantai panjang terhadap akumulasi triasilgliserida, glukoneogenesis dan ureagenesis dengan menggunakan hewan coba sapi menunjukkan bahwa konsentrasi dari asam lemak bebas merupakan faktor utama yang menyebabkan akumulasi triasilgliserida pada hati hewan coba. Ketika kadar asam lemak bebas meningkat menyebabkan meningkatnya juga kadar triasilgliserida di hati dalam beberapa hari. Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa dengan pemberian kalsium sebesar 1,6% menyebabkan terjadinya lipolisis yang paling tinggi pada hewan coba dilihat dari kenaikan berat badan yang lebih rendah dibandingkan dari kelompok perlakuan lainnya. Hal ini bukan disebabkan oleh intake makanan karena dari hasil uji menunjukkan bahwa intake makanan tiap kelompok perlakuan tidak ada perbedaan. Lipolisis yang terjadi menyebabkan meningkatnya kadar asam lemak bebas di dalam darah dan akhirnya diambil oleh hati dan direesterifikasi menjadi triasilgliserida. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan diet tinggi kalsium dapat menurunkan kenaikan berat badan tikus namun berpengaruh terhadap kenaikan kadar triasilgliserida serum tikus. Dengan penambahan kalsium sebesar 2,5 kali dari kebutuhan menyebabkan kenaikan kadar triasilgliserida serum tikus secara signifikan. Kenaikan kadar triasilgliserida serum dapat menyebabkan terjadinya perlemakan pada hati, aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Oleh karena itu dengan diet tinggi kalsium dapat menurunkan berat badan tetapi juga meningkatkan resiko terjadinya aterosklerosis, penyakit jantung dan perlemakan pada hati. Selain itu, kelebihan asupan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal dan konstipasi (susah buang air besar) (Almatsier, 2002). KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ada perbedaan kenaikan berat badan tikus dengan pemberian diet dengan kandungan kalsium berbeda dimana letak perbedaan terletak pada semua kelompok perlakuan. Dari hasil uji menunjukkan bahwa pemberian diet dengan kandungan kalsium yang berbeda berpengaruh terhadap kenaikan berat badan tikus. Tidak ada perbedaan intake energi pada semua kelompok diet dengan kandungan kalsium yang berbeda. Ada perbedaan kadar triasilgliserida serum tikus dengan pemberian diet dengan kandungan kalsium berbeda dimana letak perbedaan terletak pada kelompok dengan kandungan kalsium sebesar 1,6%. Dengan peningkatan asupan kalsium sebesar 2,5 kali dari kebutuhan basal tikus dapat meningkatkan kadar triasilgliserida serum tikus secara bermakna. Saran Untuk penggunaan kalsium sebagai terapi pada obesitas perlu adanya penelitian lanjutan tentang dosis yang aman bagi manusia sehingga tidak muncul efek yang membahayakan bagi kesehatan sehingga kalsium dapat dipergunakan untuk menurunkan berat badan tetapi kenaikan kadar triasilgliserida serum sebagai akibat sampingnya tidak sampai membahayakan bagi kesehatan. DAFTAR PUSTAKA

11
Adiningsih, S, 2005. Indonesian Nutritional Pattern Contributing to an Increased Obesity Prevalence in Indonesia. Makalah disajikan dalam Fourth Basic Molecular Biology Course in Patophysiology of Obesity, Perhimpunan Patologi Indonesia Cabang Malang, FKUNIBRAW Malang, 17 18 September. Almatsier, S, 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Arief, M, 2004. Pengantar Metodologi Penelitian untuk Ilmu Kesehatan. Surakarta : CSGF (The Community of Self Help Group Forum). Berdanier, C.D, 1999. Advanced Nutrition Micronutrients. Boca Raton Boston London New York Washington, D.C. : CRC Press. Gropper, S.S, Jack L.Smith, & James L. Groff, 2005. Advanced Nutrition and Human Metabolism 4th. United States of America : Thomson Learning. Guyton, A.C, dan Hall J.E., 1997. Hormon Paratiroid, Kalsitonin, Metabolisme Kalsium dan Fosfat, Vitamin D, Tulang dan Gigi. Dalam Irawati Setiawan (Ed.), Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Jakarta : EGC. Hadi, H, 2004. Beban Ganda Masalah Gizi dan Implikasinya terhadap Kebijakan Pembangunan Kesehatan Nasional. (online), (www.gizi.net.pdf, diakses 12 Okrober 2005). Hanafiah, K, A, 2005. Rancangan Percobaan Aplikatif. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada. Mayes, P.A, 2003. Pengangkutan dan Penyimpanan Lipid. Dalam Anna P. Bani dan Tiara, M.N. (Eds.), Biokimia Harper Edisi 25. Jakarta : EGC. NHLBI Obesity Education Initiative, 2000. Treatment Overweight. North America: National Institute of Health Parikh, S.J, dan Yanovski, J.A, 2003. Calcium Intake and Adiposity. Journal Journal of the American of Nutrition, (online), Vol.77, (http://www.jacn.org, diakses 11 Oktober 2005). PDPERSI, 2005. Diet, Cara yang Efektif dan Aman untuk Menurunkan Berat Badan.(Online), (http://www.pdpersi.co.id/pdpersi/news/artikel _dalam.php3, diakses 12 Oktober 2005). Price, K, 2003. Calcium An element in Weight Management. (Online), (www.bellinstitute.com/calcium, diakses 12 Oktober 2005). Saragih, B, 2005. Peranan Mineral untuk Menurunkan Kolesterol. Kompas, (Online), (http://kompas.com/kompascetak/0506/20/utama/Peranan Mineral untuk Menurunkan Kolesterol-Senin, 20 Juni 2005.htm, diakses 12 Oktober 2005). Sastrosupadi, A, 1995. Rancangan Percobaan Praktis Untuk Bidang Pertanian. Jakarta : Kanisius (Anggota Ikapi). Supardan, 1999. Metabolisme Lemak. Diktat. Malang : UNIBRAW Totoprajogo, O.S. 2005. Dietary Approach in the Management of Obesity. Makalah disajikan dalam Fourth Basic Molecular Biology Course in Patophysiology of Obesity, Perhimpunan Patologi Indonesia Cabang Malang, FKUNIBRAW Malang, 17 18 September. Whitney, E, dan Rolfes, S.H, 2005. Understanding Nutrition 10th. United States of America : Thomson Learning. Zemel, M.B, dkk, 2002. Regulation of Adiposity and Obesity Risk By Dietary Calcium: Mechanisms and Implications. Journal of the American of Nutrition, (online), Vol.21, No.2, (http://www.jacn.org, diakses 11 Oktober 2005).

You might also like