You are on page 1of 40

BAB II Peranan Elit Partai Dalam Proses Politik Penyusunan Daftar Calon Anggota DPRD (Studi Penyusunan Daftar

Calon Tetap Anggota DPRD di Provinsi Sumatera Utara) Oleh: Prayudi1 I. Pendahuluan A. Latar Belakang Pertarungan memperebutkan kursi parlemen melalui Pemilu tidak semata berdimensi kemampuan individual calon dan peranan tokoh yang tampil di daerah pemilihan bersangkutan, tetapi juga berhadapan dengan peranan elit partai dalam menentukan figur-figur yang akan ditawarkan kepada pemilih. Dengan pola kepartaian yang diikat oleh ketentuan skala nasional secara rentang organisasi, maka peranan DPP (Dewan Pimpinan Pusat) dan DPD (Dewan Pimpinan Daerah) dalam menjalin komunikasi menjadi menentukan terhadap daftar calon legislator (caleg) yang nantinya disusun dan diajukan ke KPU/KPUD. Penyampaian pengumuman partai kepada publik baik saat awal rekrutmen, seleksi, mulai masuk tahap Daftar Calon Sementara (DCS) hingga tahap penetapan Daftar Calon tetap (DCT), adalah tidak terlepas dari peranan elit di tingkat DPP dan DPD bersangkutan. Di beberapa partai, tentunya dapat ditemui mekanisme formal berdasarkan usulan pihak ranting dan cabang masing-masing, sebelum akhirnya ditetapkan oleh keputusan pengurus yang lebih hirakhis secara organisasi. Pola organisasi kepartaian yang sangat didorong ke arah nasional dibandingkan lokal dan sub-sub lokal secara otonom, berbanding terbalik dibandingkan arus tuntutan otonomi daerah yang disampaikan pada kurun waktu reformasi. Akibatnya, elit dapat melakukan campur tangan terhadap setiap keputusan yang diambil kalangan pengurus partainya di tingkat lokal. Karakteristik campur tangan tersebut biasanya dapat menjalin kerjasama dengan pengurus DPD atau DPW partai setempat terkait dengan keputusan-keputusan politik yang dianggapnya sebagai hal strategis. Salah satu bentuk keputusan semacam itu sebagaimana ditampilkan pada saat proses penyusunan daftar calon anggota DPRD. Campur tangan tidak jarang memancing konflik internal partai baik antar pengurus, pengurus dengan anggota, maupun di antara anggota partai itu sendiri beserta para pendukung masing-masing. Tingginya suhu politik yang semakin memanas pada saat proses penyusunan daftar calon bukan mustahil diwarnai aksi kekerasan atau bahkan penyegelan dan perusakan gedung atau tempat kantor pengurus partai. Fenomena politik yang sangat diwarnai oleh berbagai maneuver untuk proses pengisian nama-nama calon biasanya mendorong proses politik yang berkembang pada tataran penyusunan
1

Penulis adalah Peneliti Peneliti Politik dan Pemerintahan Indonesia, Pusat Pengkajian Pengolahan Data Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, e-mail: Prayudi_Pr@yahoo.com

22

daftar calon anggota legislatif menjadi sangat sensitif secara emosional dan rentan bagi adanya potensi perubahan hingga detik-detik akhir pengumuman finalnya. Pada beberapa daerah, diakui bahwa proses penyusunan daftar calon legislatif masing-masing partai yang memiliki basis massa pendukung setempat berjalan relatif lancar dan tidak terjadi ekspresi destruktif sentimen ketidakpuasan secara berlebihan. Tetapi, dengan kondisi kepartaian yang masih lemah secara managerial pengelolaan organisasinya, maka proses politik penyusunan daftar calon anggota legislatif sangat mudah diterpa oleh sentimen emosional tertentu. Akumulasi sentimen semacam itu bukan tidak mungkin dapat menyulut ketidakpuasan dan berakhir dengan perpecahan di internal partai. Mereka yang gagal memenuhi ambisi kekuasaan atau tidak puas dengan cara-cara dan hasil yang dipetik dari mekansime penyusunan para kader untuk ditampilkan dalam pemilu, akan terdorong untuk melahirkan partai sempalan. Kelahiran partai baru jelas akan semakin memperbesar jumlah partai secara nasional, mengingat ruang partai lokal masih sebatas dibuka pada tataran pemerintahan berdasarkan undang-undang, adalah hanya berlaku di Aceh.2 Dengan lingkup nasional kepartaian yang menjadi orientasi pengelolaan di tingkat kebijakan, maka jarak atas calon wakil di parlemen dengan rakyat dan sekaligus daerah pemilihannya semakin menarik publik untuk mengkritisinya lebih lanjut. Jaringan patronase terhadap partai semakin mudah dituduhkan ketika proses pengkaderan secara berjenjang justru hanya berlaku secara seremonial. Meskipun teknis pengelolaan organisasi partai berusaha melakukan pengisian jabatan organisasi berdasarkan fundamental kiprah para kadernya di tempat asal masing-masing, tetapi keputusan akhir atas proses politik pengusulannya sebagai calon anggota DPRD, dapat berbeda dibandingkan dengan tujuan awal yang dibangun dari mekanisme pengkaderan tersebut. Peranan elit partai yang sangat besar terhadap proses penyusunan daftar caleg, pada pemilu 2009 ini berhadapan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan Pasal 214 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Substansi perubahan yang dihadirkan oleh Putusan MK tersebut dalam bentuk perolehan suara terbanyak sebagai dasar penentuan caleg terpilih, pada kenyataannya menghasilkan fenomena politik tertentu. Fenomena pasca keluarnya Putusan MK di atas adalah tidak sesederhana dalam rangka menghasilkan penguatan kedaulatan rakyat melalui suara pemilih yang diberikan saat pemilu. Hal ini menghasilkan pertimbangan atas implikasi yang sudah dicapai oleh ketentuan lain dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008, seperti halnya yang sempat hangat diperdebatkan adalah mengenai nasib kebijakan affirmative action terhadap perempuan dalam rangka mencapai kursi di legislatif atau dikenal dengan sebutan zipper system. Pada tingkat internal partai, maka persaingan antar caleg tidak lagi sebatas pada antar partai, tetapi juga diwarnai oleh antar caleg dalam satu partai yang sama. Bahkan, persaingan ini bukan tidak mungkin justru sangat potensi untuk terjadinya saling curiga satu sama lain, dan bahkan terjadi konflik. Apabila partai tidak mampu mengelola persaingan antar calegnya tersebut, maka akan
2

Berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

23

memancing konflik organisasi yang berkepanjangan dan mendorong perpecahan bagi partai bersangkutan. Dalam persaingan antar caleg, penggunaan sentimen tertentu adalah menjadi preseden berikut yang dapat mewarnai kehidupan politik tidak saja bagi partai tersebut, tetapi juga terhadap situasi daerah secara keseluruhan. Hal ini sangat mungkin terjadi, mengingat ikatan sentimen atau emosi komunal masih lebih kuat berperan dibandingkan rasionalitas dalam pilihan penggunaan cara untuk memenangkan persaingan pemilu. B. Pokok Masalah Pertimbangan baik unsur popularitas, sumber ekonomi maupun unsur sumber daya lainnya, dalam mendorong seorang calon dinominasikan oleh partainya sebagai calon anggota DPRD, tidak terlepas dari campur tangan pengurus inti di organisasi partai itu. Meskipun prinsip suara terbanyak bagi setiap individu calon telah menggeser kekuatan nomor urut sebagai peluang untuk menduduki kursi DPRD, tetapi peran elit partai terhadap proses penyusunan daftar calon tampaknya masih mempunyai peranan menentukan. Pada tahap proses penyusunan daftar tersebut, maka biasanya sangat rawan terjadinya friksi di internal, kecuali mekanisme konsultatif atau akomodasi dalam menampung dan menyalurkan aspirasi yang muncul dapat dijalankan secara maksimal. Sebaliknya, perilaku saling menggeser posisi calon di dalam daftar, atau sebaliknya sikap apatis terhadap hasil yang telah dicapai, akan menentukan tidak saja masa depan partai bersangkutan, tetapi juga terhadap penampilan DPRD itu sendiri. Dengan kondisi kepartaian yang masih bergantung pada figur di tingkat nasional, maka sistem kepartaian di Indonesia tampaknya masih terjadi tarik menarik yang kuat antara pola sentralisasi dan desentralisasi di dalam organisasi yang menjalankan peranan partai tersebut di atas pentas politik. Oleh karena itu pokok masalah dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana peranan elit partai dalam mengelola proses penyusunan daftar calon anggota DPRD dalam pemilu? 2. Mengapa diperlukan mekanisme tertentu di internal partai dalam mendorong langkah-langkah yang diinginkan oleh elit partai dalam proses penyusunan daftar calon tersebut? 3. Apa implikasi atas peranan elit partai dalam hal ini, yaitu terkait bagi kehidupan politik di daerah bersangkutan? C. Tujuan Penelitian Penelitian terhadap masalah peranan elit partai dalam proses pencalonan anggota DPRD, bertujuan: (1) memperoleh pengetahuan terhadap tindakan politik yang dilakukan oleh elit partai dalam proses penyusunan anggota DPRD dengan memperhatikan fenomena politik yang mengiringi kemungkinan terjadinya konsensus dan konflik yang berkembang dalam proses politik tersebut;

24

(2) melihat lebih jauh tanggapan kelembagaan politik partai dalam mengelola tindakan-tindakan yang berkembang terkait dengan proses politik penyusunan caleg dan terhadap kemungkinan adanya strategi secara keorganisasian yang ingin dicapai; (3) membantu dalam melihat iklim kehidupan politik di internal partai politik di tingkat lokal dan memperoleh perkiraan tertentu atas kemungkinan kehidupan politik daerah setempat dan perkembangan demokrasi di tingkat provinsi dimasa mendatang. D. Kerangka Pemikiran Gelombang demokratisasi yang menggulingkan penguasa otoriter di beberapa negara, ternyata belum diimbangi oleh kelembagaan politik yang mampu menopang proses politik di tingkat lanjutan agar mampu bergerak secara solid ke arah konsolidasi. Larry Diamond menyatakan: sampai derajat yang besar, perbedaan antara bentuk dan substansi demokrasi di dunia adalah kesenjangan kelembagaan. Tidak ada sistem politik di dunia yang beroperasi secara tepat sesuai dengan ketentuan-ketentuan kelembagaan formalnya, tetapi apa yang membedakan kebanyakan negara demokrasi di Amerika Latin, Afrika, dan bekas negara-negara komunis adalah institusi-institusi politiknya terlalu lemah untuk menjamin perwakilan dari kepentingan-kepentingan yang beragam, supremasi konstitusional, rule of law, dan pembatasan eksekutif.3 Akibatnya, proses politik kelembagaan yang dibangun ternyata lebih menampakkan personal elitnya dibandingkan mekansime rotasi kepemimpinan secara partisipatif yang substansial. Hal ini tidak saja terjadi di tingkat suprastruktur politik kelembagaan hasil pemilu yang dijalankan, tetapi juga berkembang pada kuatnya cengkeraman oligarki elit partai di tingkat infrastruktur politik. Akibatnya, prosedur demokrasi lebih mengandalkan pada kekuasaan elit agar mampu berperan maksimal untuk mengurangi berbagai friksi yang muncul, dibandingkan dengan kemampuan mekanisme internal partai itu sendiri dalam mencapai suatu konsensus tertentu. Berdasarkan pemahaman teori klasik elit bahwa dalam kehidupan demokrasi sekalipun di setiap negara dan organisasi, selalu terdapat kelompok minoritas yang membuat kebijakan. Vilfredo Pareto membagi kelas dalam dua bagian, yaitu elit dan non elit yang melampaui jauh daripada sekedar pandangan determinisme ekonomi ala Karl Marx. Gagasan Pareto tentang elit dan non elit beranjak dari kemungkinan terjadinya suatu perubahan dikalangan elit (elite circulation).4 Hal yang pasti adalah kelas elit mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam menentukan kehidupan suatu negara dan bahkan di lingkup organisasi yang menaunginya sekalipun. Pengaruh ini tidak saja disebabkan oleh resources yang berbeda dari elit dibandingkan non elit, tetapi juga terhadap apa yang dianggap perlu dilakukan oleh kelompok besar massa itu sendiri dan di tingkat negara sekalipun, yaitu terkait dengan cara-cara yang akan
3 4

Larry Diamond, Developing Democracy Toward Consolidation, IRE Press, Yogyakarta, 1999, h. 43. Vilfredo Pareto (1966) dalam Bab 8 berjudul Theories of Class: From Pluralist Elite to Rulling Class and Mass, Ronald H Chilcote, Theories of Comparative Poltics: The Search for Paradigm, Westview Press, Boulder, Colorado, 1981, h. 349.

25

dilakukannya, Meskipun Gaetano Mosca menyatakan, keharusan adanya dukungan massa bagi elit agar dapat establish dalam memerintah5, tetapi tampaknya peranan yang sangat menentukan dari elit tetap penting diperhatikan secara cermat. Persaingan di antara partai yang sangat ketat dalam setiap kali pemilu, seperti halnya, di tahun 2009, menyebabkan penempatan posisi caleg di dapil masing-masing menjadi sangat menentukan. Pada konteks usaha memenangkan caleg dan sekaligus suara yang diraih bagi partai bersangkutan, bukan mustahil terjadi konflik kepentingan antara elit pusat dan para pengurus partai atau kader di daerah. Dengan konteks proses pengadaan sumber daya partai, seperti halnya terkait uang, dalam rangka keperluan menghadapi pemilu, pertimbangan elit di pusat dapat demikian mudah untuk mementahkan kesiapan elit partai setempat untuk tampil menjadi caleg. Pada tataran penempatan kader sebagai caleg di DPR dan caleg di DPRD, tampaknya masih terbuka ruang untuk terjadinya perbedaan fenomena politik yang melatarbelakangi dan menentukan keputusan hasil akhirnya. Sehingga, perbedaan dan kemungkinan adanya unsur kesamaan terkait peranan elit partai tersebut menarik untuk menelitinya lebih jauh. Kemungkinan terjadinya variasi dalam proses penempatan caleg tersebut biasanya tidak terlepas dari adanya faksi-faksi yang berkembang di organisasi partai. Terdapat kebutuhan bagi elit dalam mengendalikan jalannnya organisasi partai dengan alasan kestabilan internal dan menghindarkan terjadinya perpecahan. 6 Negosiasi antar elit dalam proses penyusunan caleg, biasanya juga mempunyai konsekuensi tertentu atas bangunan sistem pemerintahan yang akan dibangun, meskpun ketentuan perundang-undangan sudah mengaturnya lebih lanjut. Pada konteks proses penyusunan DPRD, tampaknya perhitungan elit terhadap koalisi antar partai yang dijalin dalam menghadapi pemilu tentu tidak dapat dilepaskan atas segala usaha yang sudah ditempuh atau nantinya akan dijalankan pada saat penyelenggaraan Pilkada. Apalagi, ditemukan beberapa daerah yang menyelenggarakan Pilkada tidak jauh kurun waktunya tidak saja berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu anggota legislatif tetapi juga terhadap pemilu presiden. Perhitungan atas peranan elit partai dalam strategi pemenangan pemilu sangat dimungkinkan terkait dengan perdebatan yang masih belum tuntas terkait dengan penciptaan stabilitas sistem pemerintahan dengan sistem kepartaian yang sangat majemuk saat ini.7 Fenomena terkait dengan ruang akomodasi elit atau tokoh lokal dalam mengisi keanggotaan DPRD sesuai garis partainya masing-masing semakin luas setelah Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 diberlakukan. Ini sekaligus mendorong proses desentralisasi kepartaian yang tentu searah dengan
5 6 7

Garetano Mosca (1966) dalam Ibid, h. 352. Alan Ware, Political Parties And Party System, Oxford University Press, Oxford- New York, 1996, h. 109. Stabilitas sistem presidensial dalam konteks bangunan civil society dan sejarah kediktatoran militer yang pernah dijalani oleh beberapa negara di kawasan Amerika Latin dan berbagai negoisasi elit partai dalam membuka jalan transisi menuju demokrasi, antara lain dibahas Jose Antonio Cheibub, Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy, London, Cambridge University Press, 2007. Di sini ditulis tentang masalah kemiskinan yang juga dapat mempengaruhi kestabilitan kehidupan demokrasi. Bahwa: Democracies are unstable in poor countries and presidential democracies are poorer than parliemantary one, large countries are hard to govern, and countries with presidential democracies are larger than countries with parliamentary democracies. Latin America is inherently unstable, and the stability of presidentialism is due to the fact that most presidential system exist in this region of the world.

26

semangat otonomi daerah yang sedang berkembang saat ini. Kemungkinan terdapat gerak desentralisasi kepartaian yang lebih cepat dalam proses pengisian keanggotaan di tingkat DPRD dibandingkan di DPR, meletakkan peranan dewan pengurus lokal mempunyai peranan penting dan peranan dewan pengurus pusat lebih sebagai fasilitator. Meskipun disisi lain ditegaskan bahwa demokrasi adalah tidak berarti selalu sama dengan otonomi daerah dan bahkan kadangkala justru menjadi rintangan tersendiri.8 Perhitungan atas kemampuan dukungan secara konstruktif tampilnya elit lokal dalam proses pengisian keanggotaan DPRD, tentu sangat bergantung pada poses rekrutmen yang dilakukan oleh partai bersangkutan. Dalam konteks seleksi kandidat, Reuven Y Hazan dan Gideon Rahal dengan mengutip pendapat Renney (1981: 75) menyebutkan sebagai: the process by which a political party decides which the person legally, eligible to hold an elected office will be designated on the ballot and in election communication or list of candidates.9 Dalam rangka kegiatan yang berada di daerah, pertimbangan atas desentralisasi yang berkembang ditubuh partai politik dapat didasarkan pada aspek teritorial seperti halnya pengurus lokal setempat yang menominasikan kandidatnya sebagai calon legislator, atau melalui mekanisme voting untuk memilih calon tersebut. Di samping itu, desentralisasi juga terjadi pada aspek fungsional, yaitu untuk memastikan keterwakilan bagi kalangan tertentu, seperti halnya berdasarkan kelompok profesi, buruh, wanita, atau bagi pihak minoritas. 10 Desentralisasi kepartaian dalam seleksi calon untuk mengisi jabatan organisasi partai itu sendiri dan pemerintahan secara luas, lebih dapat mengatasi kemungkinan terjadinya konflik internal di tubuh partai bersangkutan dibandingkan model sentralisasi. Pengurus pusat partai tidak dapat begitu saja sewenang-wenang untuk memveto usulan dari dari daerah, dan harus berdasarkan masukan yang disampaikan dari bawah. Hal ini sekaligus menjadi penting bagi proses demokratisasi bagi kehidupan partai tersebut. Sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD: Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Kemudian, Pasal 51 Undang-Undang tersebut, menyatakan: (1) Partai Politik Peserta Pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota; (2) Seleksi bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik. Selanjutanya Pasal 52: (1) Bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 disusun dalam daftar calon oleh partai politik masing-masing; (2) Daftar calon anggota DPR ditetapkan oleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat pusat; (3) Daftar bakal calon anggota DPRD provinsi ditetapkan oleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat provinsi; (4) Daftar bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat kabupaten/kota.11
8 9

Alan Ware, Op. cit., h. 111. Reuven Y Hu dan Gideon Rahal, Candidate Selection: Methods and Consequences, dalam Richard S. Katz dan William Crotty, Handbook of Party Politics, Sage Publication, London, 2006, h. 109. 10 Ibid., h. 112. 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008.

27

Pasal 53 Undang-Undang No. 10 Tahun 2008: Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pasal 54: Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan. Pasal 55: (1) Nama-nama calon dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 disusun berdasarkan nomor urut; (2) Di dalam daftar bakal calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 (satu) orang perempuan bakal calon. Dan seterusnya, sampai kemudian terdapat ketentuan pengaturan terhadap proses verifikasi KPU/KPUD terhadap setiap calon dalam daftar yang diajukan oleh partai politik .12 II. Metode Penelitian A. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian dilakukan pada tanggal. 9-12 Maret 2009 dan penelitian berikutnya dilakukan pada tanggal16-20 April 2009. Pemilihan tempat penelitian dilakukan di Kota Medan Provinsi Sumatera Utara dengan alasan. B. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan meneliti serta menganalisis berbagai dokumen yang terkait dengan proses rekrutmen caleg partai untuk DPRD Provinsi. Wawancara dilakukan untuk mengetahui proses politik yang berlangsung di internal partai, sebelum nantinya disampaikan kepada KPU daerah setempat. Wawancara yang dilakukan tidak hanya sebatas kepada pengurus di tingkat struktural partai bersangkutan, tetapi juga meliputi para tokoh yang berada di luar organisasi partai dalam melihat konstruksi politik yang berlangsung dalam penyusunan daftar calon anggota legislatif. Hal ini dijalankan dalam rangka memperoleh pemahaman yang lebih mendalam dan sekaligus menjaga obyektifitas pandangan terkait muatan substansi penelitian dalam kerangka keseluruhan. Untuk masalah dokumen dan bahan tertulis yang dianalisis lebih lanjut, maka klasifikasi bahan informasi dan data tersebut merupakan pendukung dalam rangka melengkapi hasil wawancara yang sudah diperoleh. Salah satu dokumen yang diteliti adalah mengenai Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai politik sebagai semacam aturan main dan landasan nilai-nilai perjuangan yang dianutnya. Di samping AD/ART, juga diteliti lebih lanjut terhadap kemungkinan adanya peraturan partai politik lainnya, yang

12

Undang-Undang No. 10 Tahun 2008.

28

dimungkinkan oleh Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, selama peraturan itu berpedoman kepada AD/ART partai tersebut. 13 Di samping dokumen kepartaian, juga diteliti terhadap berbagai isu atau masalah yang terkait dengan peranan elit partai terhadap proses penyusunan caleg hingga di tingkat penetapan DCT oleh KPU Provinsi sebagaimana diungkap oleh media surat kabar baik di tingkat nasional maupun daerah. Hal lain dalam usaha memperoleh diskripsi data yang mendalam dengan segala tuntutan dalam menjawab pertanyaan penelitian, adalah terkait dengan kompetensi dari setiap informan yan diwawancarai. Hal ini terkait dengan kriteria informan yang diwawancarai yang dapat disebut sebagai persyaratan dalam kemampuannya memberikan data dan informasi yang dibutuhkan peneliti sesuai fokus atau tujuan penelitian.14 Terdapat beberapa informan yang akan diwawancarai dalam penelitian ini, yaitu: (1) Pengurus partai di daerah, yaitu mereka yang menjabat sebagai ketua umum, wakil ketua umum, dan sekretaris, yang berada di jajaran struktural partai. Meskipun Mahkamah Konstitusi telah mengakomodasi penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak sebagaimana dituangkan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2008, peranan elit pengurus partai di daerah tetap menjadi faktor yang menentukan; (2) Anggota DPRD setempat, baik yang menduduki jabatan tertentu di fraksinya maupun yang hanya sebagai anggota DPRD. Dikalangan anggota DPRD itu yang diwawancarai terutama adalah mereka yang mencalonkan diri kembali dalam Pemilu 2009; (3) Tokoh masyarakat, terutama pengamat politik setempat atau staf pengajar di lingkungan perguruan tinggi, di mana merupakan daerah pemilihan tempat proses pencalonan anggota DPRD tersebut dilakukan. C. Metode Analisis Proses pengumpulan dan analisis data dalam menjawab pokok permasalahan dilakukan melalui metode penelitian kualitatif yang dilakukan berdasarkan kemungkinan adanya variasi kecenderungan yang dihadapi pada setiap kurun waktu dan lokasi tertentu. Untuk itu, di tengah keterbatasan waktu dalam melakukan proses penelitian, sejauh mungkin diusahakan untuk memformulasikan secara cermat pertanyaan yang dapat mengungkap latar belakang sebagai akar masalah dan berbagai implikasi dari kejadian atau fenomena politik yang terjadi. Meskipun bukan berarti tanpa batas dalam usaha memperoleh data dalam rangka dianalisis lebih lanjut, karena dapat berakibat pada ketidakfokusan terhadap masalah yang diteliti15, pengungkapan setiap sisi
13

Pasal 30 Undang-Undang No. 2 Tahun 2008: Partai Politik berwenang membentuk dan menetapkan peraturan dan/atau keputusan Partai Politik berdasarkan AD dan ART serta tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan. 14 Ibid., h. 59. 15 Sebagaimana lazimnya penelitian kualitatif, di anggap tidak perlu mengemukakan definisi operasional, karena dengan penetapan hal dimaksud justru tidak sesuai dengan perspektif etnik. Artinya, dengan penetapan definisi operasional, berarti dilakukan penetapan jumlah dan jenis indikator yang hanya akan membatasi kebebasan informan penelitian dalam menceritakan, mendeskripsikan jenis dan jumlah butir-butir pengetahuan, pengalaman atau pandangannya. Walaupun, di sisi lain, bukan berarti bermodal kepala kosong tentang struktur internal konsep dan gejala yang melekat.

29

persoalan yang dijalankan dilakukan dengan pemeriksaan ulang atau secara silang (cross check) dengan berbagai kemungkinan dokumen yang diusahakan untuk ditemukan. III. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Provinsi Sumatera Utara Provinsi Sumatera Utara yang terletak di sebelah barat Indonesia adalah dikenal sebagai wilayah yang didiami oleh berbagai etnis dan ikatan komunal lainnya secara beragam. Provinsi tersebut diundangkan melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh Dan Perubahan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara jo. PP No. 21 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Provinsi. Luasnya rentang wilayah administrasi pemerintahan dan kondisi heterogenitas sosial budaya dan agama di Sumatera Utara telah mendorong gagasan untuk dilakukannya pemekaran wilayah. Provinsi ini semula terdiri dari 17 kabupaten/kota, kemudian berkembang menjadi 33 kabupaten/kota. Sebelum berlaku Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang kemudian direvisi melalui kelahiran Undang-Undang No. 32 Tahun 2004, Sumut bahkan telah menghasilkan daerah otonom baru, yaitu Kabupaten Mandailing Natal dan Toba Samosir.16 Terlepas dari kontroversi yang menyertai gagasan dimaksud dengan kenyataan di lapangan, dua usulan pemekaran di tingkat Provinsi sangat kuat dimunculkan dalam forum-forum publik, yaitu terkait dengan pembentukan Provinsi Tapanuli Utara (Protap) dan Provinsi Sumatera Tengah (Sumteng). Provinsi Tapanuli, sebagaimana diusulkan RUU terkait pemekaran wilayah ini, disebutkan bahwa nantinya akan berasal dari sebagian wilayah Provinsi Sumatera Utara, yang terdiri atas: a. Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Samosir; Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Nias Selatan (Pasal 3). Provinsi pemekaran ini diusulkan berbatasan dengan wilayah: sebelah utara dengan Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Karo. Sebelah timur dengan Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Selatan, dan sebelah barat dengan perairan Samudera Hindia dan Kabupaten Nias (Pasal 5). Ibukota Provinsi Tapanuli direncanakan untuk berkedudukan di Siborong-borong (Pasal 7). Sedangkan, pembentukan Propinsi Sumatera Tengah diinginkan untuk meliputi beberapa wilayah, antara lain untuk daerah Kabupaten Mandailing Natal, Pemkota Padangsidimpuan, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Padang Lawas Utara.17
Lihat Hamidi, Metode Penelitian Kualititatif: Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian,, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, cetakan ketiga, 2008, h. 61.. 16 Setelah itu, lahir 14 daerah otonom baru yang lain. Lihat, Ke Indonesiaan-Sumatera Utara (2): Perbesar Pemekaran, Bukan Perbesar Anggaran, Kompas, 1 Juli 2009. 17 Rancangan Undang Undang tentang Provinsi Tapanuli Utara, dikutip dari dpr.go.id/assets/images/pic/ruu Sedang Dibahas. Dalam RUU ini antara lain disebutkan, Pengisian keanggotaan DPRD Provinsi Tapanuli untuk pertama kali dilakukan dengan cara penetapan berdasarkan perimbangan hasil perolehan suara partai politik peserta Pemilu tahun 2004 yang dilaksanakan di Provinsi Sumatera Utara (Pasal 10 ayat 1). Selanjutnya: Penetapan keanggotaan DPRD Provinsi Sumatera Utara yang asal daerah pemilihannya pada pemilu tahun 2004 terbagi ke dalam wilayah Provinsi

30

Perdebatan terkait dengan rencana pemekaran Provinsi Sumatera di atas sarat dengan berbagai konflik kepenting dan bahkan sempat membawa jatuhnya korban Ketua DPRD setempat. Terlepas dari rencana itu dan kepentingan yang menyertai dalam proses pembentukannya, terutama ketika memasuki waktu menjelang Pemilu 2009, dinamika politik sangat mewarnai provinsi ini. Dengan kemunculan reformasi, setelah sebelumnya Partai Golkar selalu dominan, maka di Pemilu 1999 dan 2004, muncul persaingan sengitnya dengan PDI Perjuangan, PAN, dan PKS. Dengan jumlah penduduk dan keragaman etnis, agama dan latar belakang kultural masyarakatnya, maka Provinsi Sumatera Utara menjadi salah satu barometer penting dalam perjalanan politik Indonesia. Keterlibatan politik stabilitas dengan jaringan birokrasi sipil dan ABRI dimasa Orde Baru, mengalami perumusan ulang hingga di tingkat operasional, setelah nilai-nilai kebebasan, keterbukaan dan partisipasi mulai mengisi ruang politik di masa reformasi pasca tahun 1998. Peta politik keanggotaan DPRD dan proses penyusunan daftar caleg, baik di tingkat DCS maupun DCT semakin diwarnai persaingan ketat antar kader partai.. DPRD Sumatera Utara adalah berjumlah 85 orang dan sebagai hasil pemilu 2004 menunjukkan komposisi politik keanggotannya sebagai berikut: 1. F PG : 19 orang; 2. FPDI P : 13 orang 3. F PPP : 11 orang 4. FPD : 9 orang 5. FPKS : 8 orang 6. FPAN : 9 orang 7. FPDS : 6 orang 8. FPBR : 5 orang 9. F Gabungan : 5 orang Pada tahun 2008, jumlah fraksi berkurang menjadi 8 dengan tidak adanya lagi fraksi Gabungan, tetapi secara keseluruhan jumlah anggota DPRD Provinsi Sumatera Utaa tetap 85 orang. Komposisi keterwakilan partai politik melalui keberadaan fraksi-fraksinya di DPRD hasil Pemilu 2004, semakin dituntut untuk terbuka terhadap berbagai tuntutan rakyat di daerah pemilihannya ketika politik pemekaran di wilayah setempat semakin gencar dilakukan. Apalagi, dengan adanya distribusi APBD yang dianggap tidak adil bagi pembangunan di wilayah Sumut, maka politik pemekaran yang dijalankan semakin mendorong partaipartai politik berusaha menarik simpati masyarakat.18 Secara prosedural, ketika masih menggunakan PP No. 129 tahun 2000, sebelum kemudian direvisi menjadi PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan,dan Penggabungan Daerah, Tri Ratnawati menjelaskan: pembentukan dan pemekaran daerah diawali oleh adanya kemauan politik
Sumut dan Provinsi Tapanuli sebagai akibat undang-undang ini, yang bersangkutan dapat memilih menjadi anggota DPRD Provinsi Tapanuli atau tetap pada keanggotaan DPRD Sumatera Utara. 18 Dosen FISIP Universitas Sumatera Utara, Ridwan Rangkuti, mengatakan, faktor utama yang menyebabkan Sumut agresif dalam pemekaran wilayah adalah adanya ketidakadilan distribusi APBD. Pembentukan daerah otonom baru dianggap sebagai solusi terhadap masalah ini. Dengan daerah otonom baru, otomatis akan terjadi pertambahan uang karena mendapatkan APBD. Daerah baru juga mendapatkan tambahan dana dari pemerintah pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Lihat, Ke Indonesiaan-Sumatera Utara (2): Perbesar Pemekaran, Bukan Perbesar Anggaran, Loc.Cit.

31

pemda dan aspirasi masyarakat setempat, didukung oleh penelitian awal yang dilaksanakan oleh Pemda. Usulan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri yang disertai lampiran hasil penelitian, persetujuan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Selanjutnya, Menteri Dalam Negeri memproses lebih lanjut dan menugasi tim untuk observasi ke daerah yang hasilnya menjadi rekomendasi bagi Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD). Semua proposal akan dipertimbangkan oleh DPOD yang berkantor di Depdagri.19 Dinamika masyarakat Sumut dalam kehidupan sosial politik tergolong tinggi, tidak saja berlangsung di tingkat elit dalam memperebutkan kekuasaan dan jabatan pemerintahan. Tetapi dinamika semacam itu juga dapat ditemui pada karakter dan komunitas masyarakatnya yang dapat terjalin dalam suatu gerakan terhadap isu sosial ekonomi tertentu. Kecenderungan demikian tampak dari sikap politik yang muncul dari isu politik tertentu, seperti halnya pada kasus pemekaran provinsi Tapanuli Utara, 20juga sejarah perlawanan konflik di tingkat masyarakat terhadap pengusaha dalam pengembangan investasi bidang tertentu. Kasus terakhir, pada saat terjadi perlawanan masyarakat Porsea, Toba Samosir, dan Tapanuli yang berlangsung secara dramatis dalam skala massif terhadap keberadaan PT Inti Indorayon. Fenomena politik persaingan antar partai ini juga mewarnai proses penyusunan daftar calegnya di DPRD dengan berusaha menampilkan tokohtokohnya yang berpengaruh ketika politik pemekaran dijalankan. Meskipun pemekaran daerah menjadi salah satu sarana bagi faktor elit lokal meraih kekuasaan yang berkembang di Sumut, tetapi kehadiran partai-partai di tingkat nasional tampaknya telah meletakkan sentimen etnis dalam kerangka integrasi bangsa. Hasil studi William Liddle (1970) di wilayah Simalungun, Sumatera Utara, menunjukkan, terlepas dari adanya ikatan-ikatan tradisional, mayoritas penduduk, terutama dikalangan pemilih, telah berkembang ikatan afiliasi-afilisasi supra lokal yang ditandai kehadiran partai-partai nasional di sana. Partai-partai tersebut menggeser orientasi politik penduduk dari ikatan sosial bersifat parokial menuju ikatan yang bersifat nasional.21 2. Proses Penyusunan Daftar Caleg Partai politik justru masih menunjukkan kesan sentralistik dalam manajemen organisasinya. Bahkan, sistem kepartaian di Indonesia dianggap mirip dengan model kerajaan yang tersentalisasi. Hal ini dapat dilihat pada kepengurusan partai politik yang saling berjenjang, mulai dari tingkat pusat (DPP), Provinsi/Kabupaten/Kota (DPD/DPW), sampai di tingkat kecamatan dan
Tri Ratnawati, Pemekaran Daerah: Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009, h. 29. Lihat misalnya Dimpos Manalu, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik: Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Batak VS. PT Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara, Yogyakarta, Gajahmada Univ. Press kerjasama dengan kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPM), 2009, h. 213-237. Tercatat bahwa perlawanan masyarakat dimulai secara sporadic (1986-1992), lahirnya embrio perlawanan bersama (1993), kemunduran dan deradikalisasi perlawanan (1994-1997). Selanjutnya, berkembang meluas kembali di era reformasi hingga tahun 2005, yang diwarnai oleh karakteristik new social movement dengan menggunakan berbagai jaringan adat dan kelompok masyarakat. 21 William Liddle (1970) Sebagaimana dikutip dari Kuskrido Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Kepustakaan Populer Gramedia dan Lembaga Survei Indonesia, Jakarta, 2009, h. 64.
20 19

32

desa. Kondisi demikian mengakibatkan kehadiran partai politik di level lokal, berpotensi tidak mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang ada agar mencapai hingga ke akar rumput. Ruang gerak keleluasaan partai untuk mengelola persoalan di tingkat daerah, cenderung masih rendah. Terjadinya beberapa kasus yang mengganggu roda demokrasi partai, seperti halnya, dari anggota partai yang menjadi caleg terbukti menggunakan ijazah palsu atau melakukan tindakan asusila, pengurus partai tersebut tidak dapat mengambil tindakan tegas.22 Dalam kasus di atas, dapat saja terjadi bahwa pengurus partai hanya mampu mengeluarkan surat rekomendasi untuk diserahkan sepenuhnya kepada pengurus tingkat pusat. Pihak pengurus di tingkat pusat berhak memutuskan, apakah yang bersangkutan diberikan sanksi atau dipecat dari partai. Kesukaran bertindak tegas, akan semakin menguat kesannya, apalagi ketika yang melakukan pemalsuan ijazah atau tindakan pelanggaran tersebut, termasuk masalah asusila, memiliki hubungan erat berdasarkan ikatan emosional tertentu, seperti halnya nepotisme, koncoisme, atau bahkan keluarga, dengan pengurus di tingkat pusat. Peranan partai politik dalam penyusunan daftar caleg tidak saja dipengaruhi oleh strategi partai dalam memenangkan pemilu, tetapi juga harus berhadapan dengan konteks emosional tertentu. Hal terakhir ini, adalah dalam konteks hubungan pertemanan dan kekerabatan baik antar caleg itu sendiri maupun dengan pengurus inti organisasi partai.23 Meskipun tidak terjadi konflik yang sangat tinggi dan memecah keutuhan partai, tetapi faksi-faksi yang berkembang dalam partai mendorong dinamika tertentu terkait dengan tahap penetapan bakal calon dan calon anggota legislatif. Kesulitan yang tidak terlampau dihadapi secara signifikan, menyebabkan pengajuan daftar nama calon relatif dapat berjalan lancar. Dengan pertimbangan pragmatis dalam pengajuan caleg terkait, maka makna ideologi dalam mengemudikan kehidupan partai menjadi sangat lentur atau sangat mudah berubah dan mengikuti perkembangan zaman.24 Hal ini tidak heran dapat terjadi, karena syndrome pemaknaan basis ideologi partai menjadi cenderung kabur dan lebih dibalut oleh kepentingan kekuasaan.25 Dengan konstruksi persaingan antar partai yang ketat dan bahkan sejak awal sudah diduga kuat akan mengarah pada koalisi pasca
Zulfan Heri, Legislator Menuai Kritik, ISDP (Indonesian Society for Democracy and Peace), Pekanbaru, Riau, 2005, h. 25. 23 Tercatat bahwa beberapa caleg adalah masih saudara, atau bahkan anak kandung dari petinggi partai setempat. 24 Dengan memandang ideologi dapat direpresentasikan dalam kehidupan sehari-hari, maka ideologi tidak lagi sekedar dipahamisi pada tataran dokrin politik pihak yang berkuasa. Syndrome pemaknaan ideologi kepartaian yang sangat fleksibel, juga tidak terlepas dari kesadaran bahwa basis politik keagamaan, terutama kalangan Islam, bagi partai-partai yang mencoba mengacunya sebagai ideologi semakin terdesak perolehan suara dukungan pemilihnya. Di saat Pemilu pertama era reformasi, yaitu di tahun 1999 saja, 11 partai bersimbol Islam, secara total hanya memperoleh 37 persen, itupun sudah termasuk PAN dan PKB yang sebenarnya kuat dengan warna pluralis, mayoritas mempunyai pemilih Islam. Ketika dua partai dimaksud tidak dimasukan dalam partai bersimbol Islam, maka perolehan suara hanya tinggal menjadi 17,5 persen. Lihat Arief Mudatsir Mandan, Krisis Ideologi: Catatan Tentang Ideologi Politik Kaum Santri, Studi Kasus Penerapan Ideologi Islam PPP, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2009, h. 3, dan h. 30-31. 25 Kuskrido Ambardi mengatakan, sejak reformasi partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel. Terdapat lima ciri terkait hal ini, yaitu: (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) tiadanya oposisi; (4) hasil-hasil pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk berperilaku secara kolektif. Lihat lebih lanjut studi mendalam tentang pragmatisme partai-partai era reformasi dan memudarnya komitmen ideology mereka, dalam, Kuskrido Ambardi, Op.cit, khususnya, h. 3-4, di samping itu juga di h. 285-290.
22

33

pemilu, maka latar belakang dan profil individual caleg di setiap partai politik menjadi sangat beragam. Kompetisi antar partai justru dapat menjadi antiklimaks pada saat nantinya hasil pemilu telah diketahui hasil-hasilnya. Persaingan sengit lebih berada pada tataran individu antar caleg dibandingkan secara kelembagaan antar partai-partai peserta pemilu. PDIP juga mengakui peranan pertimbangan faktor emosional pemilih yang digunakan partai dalam menempatkan calegnya di setiap daerah pemilihan. Di sebutkan bahwa: dalam strategi kampanye, partai harus mempertimbangkan kondisi cultural dari masyarakat setempat. Pada setiap komunitas itu, dikenali adanya semacam event yang dapat dimanfaatkan dalam rangka kepentingan politik menarik simpati pemilih kepada partai bersangkutan. Pendekatan cultural semacam ini dianggap lebih efektif dibandingkan dengan penggunaan sarana kelembagaan resmi semata atau jalur formal. Meskipun diakui bahwa dalam penggunaan sarana ini tentunya tetap tergantung pada kejelian dan kemampuan caleg dalam menggalang dukungan politik dari setiap komunitas yang ada bagi diri dan partainya.26 Provinsi Sumut dianggap secara cultural memberikan sumbangan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Beberapa potensi emosi bernuansa Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan (SARA) dapat ditekan ledakannya oleh masyarakat. Salah satu unsur cultural ini adalah apa yang disebut sebagai kearifan lokal berupa sistem kekerabatan atau struktur sosial yang disebut Dalihan Na Tolu.27 Meskipun pagar pengaman kemungkinan meluasnya konflik secara cultural dapat berjalan positif, tetap praktek penyimpangan dari unsur sportivitas dalam pemilu masih dapat saja terjadi. Pertarungan menuju kekuasaan menyebabkan saling bajak dan mengambil kesempatan untuk mengadakan transaksi politik di antara caleg dengan partai sangat mudah terjadi. Persaingan itu tidak saja terjadi dalam konteks penempatan nomor urut yang akan diberlakukan, tetapi juga terkait dengan strategi apa yang dianggap tepat dalam meraih dukungan maksimal dari pemilih. Pertarungan antar caleg yang sangat tajam merupakan hasil dari proses politik demokrasi, setelah dimasa Orde Baru, terjadi campur tangan kuat dari regim terhadap lembaga perwakilan politik rakyat. Salah satu bentuk utama campur tangan dari regim autoritarian saat itu adalah menyingkirkan kandidat yang tidak disukai penguasa dari daftar calon legislator. Dengan memahami konstruksi hubungan eksekutif dan legislatif di masa Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 yang menekankan check and balances dalam konteks unsur pemerintahan daerah di satu pihak, dan UndangUndang Pemerintahan yang berlaku sebelumnya, yaitu Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 yang dianggap legislative heavy, maka partai politik turut berperan dalam mengakomodasi calegnya menjadi sangat menentukan arah hubungan yang terbentuk secara kelembagaan.

26

27

Wawancara dengan Effendi Napitupulu, Wakil Sekretaris Bidang Internal DPD PDI Perjuangan), Medan, 10 Maret 2009. Dalihan Na Tolu, berasal dari bahasa Toba, diterjemahkan sebagai tungku berkaki tiga yang saling menyokong. Dalihan Na Tolu adalah sistem kekerabatan dalam masyarakat Batak yang menempatkan seseorang dalam posisi penting, yaitu sebagai pemberi istri (hula-hula), pengambil putri (boru), atau saudara semarga (dongan tubu). Pedoman hidup ini mengajarkan untuk menghormati marga pemberi istri, mengayomi, dan menyayangi pengambil istri, dan kasih sayang pada saudara semarga. Lihat, Jaring Pengaman Demokrasi, Kompas, 4 Juli 2009.

34

Peranan oligarki elit masih kuat berkembang dalam perjalanan partai, termasuk terhadap proses penyusunan daftar calegnya. Bahkan peranan itu mengarah pada lingkungan oligarki elit secara sangat terbatas dibandingkan dengan forum musyawarah partai. Ditubuh Partai Demokrat misalnya, diungkapkan bahwa: Proses penyusunan caleg diutamakan mereka yang berada dalam posisi atau yang menjabat menjadi pengurus partai setempat.. disusul oleh yang bukan pengurus atau tokoh2. Spirit nya pengurus, tetapi pelaksanaannya tidak seperti itu di lapangan. Oligarki ketua dan sekretaris yang mengambil keputusan dan fasilitas. Sistem, ada juklak, atau juknis, tetapi pelaksanaannya menyimpang. Perbedaan di lapangan dengan konsep, di Demokrat oligarkinya sangat kuat. Ketua ke bawah itu jaraknya sangat jauh, sehingga keputusan AD/ART yang kolektif kolegial, pada kenyataannya sangat elitis. Rapat hanya performa formal, keputusan diambil sepihak oleh elit, ketua dan sekretaris. Kalau dilapor ke pusat, terkesan kurang diabaikan, mungkin masalah setoran tertentu. Sehingga, berbeda antara ketentuan dengan apa yang dilakukan. Bisa juga, karena kondisi ini disebabkan oleh Demokrat yang masih baru banyak yang sekedar numpang hidup mencari makan di partai.28 Fenomena politik uang dianggap dapat dirasakan, walaupun memang sudah tentu sukar untuk dibuktikan. Penyusunan DCS ada yang tiba-tiba masuk, tanpa kejelasan asal usul alasannya. Konflik intern akibatnya, terjadi di Demokrat, demonstrasi menuntut daftar caleg dilakukan sesuai prosedur dan memecat ketua yang bersikap tidak adil. Hubungan emosional berdasarkan ikatan keluarga, sanak famili mempunyai ikatan pengaruhnya terhadap proses penyusunan caleg. Dalam konteks ini termasuk, hubungan pertemanan dengan pimpinan partai juga memegang peranan penting sejak pendaftaran, penjaringan, dan penyusunan caleg. Tetapi di atas itu semua, uang memang dianggap cenderung mempunyai peranan lebih menentukan dibandingkan ikatan-ikatan organisasi atau emosional tertentu.29 Terlepas dari jaringan yang membentuk proses penyusunan caleg untuk menarik simpati pemilih dan peranan elit partai yang bermain terkait proses politik tersebut, PD mampu meraih peningkatan jumlah dan persentase suara sangat signifikan antara pemilu 2004 dan dibandingkan saat pemilu 2009. Caleg yang ditampilkan dan terpilih saat kedua pemilu tersebut cukup proporsional jumlahnya dilihat dari karakteristik jenis kelamin dan agama yang dianut.

28 29

Wawancara dengan Bangun Tampubolon, Wakil Ketua DPD Partai Demokrat, Sumut, Medan, 12 Agustus 2009. Ibid.

35

Tabel: Calon Anggota Legislatif Terpilih DPRD Provinsi Sumut Partai Demokrat: Perbandingan Pemilu 2009 dan Pemilu 2004 Dengan Karakteristik Sosial Politik Dan Jenis Kelaminnya.
No. Dapil Kabupaten/Kota Quota Kursi 2004 2009 14 11 5 8 7 8 21 12 5 8 8 10 Hasil Pemilu 2004 2009 2 1 0 1 1 1 7 4 1 2 2 2 % Kenaikan 350% 400 % 100% 200% 200% 200% Jenis Kelamin Pria Wanita 5 4 1 2 1 1 2 0 0 0 1 1 Agama Islam Non Islam 5 2 2 2 0 1 2 2 2 0 0 0

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Sumut I Sumut 2 Sumut III Sumut IV Sumut V Sumut VI

7. 8.

Sumut VII Sumut VIII

Medan Deli Serdang Serdang Bedagai, Tebing Tinggi Tanjung Balai, Asahan, Batu Bara Labuhan Batu Mandailing Natal, Tapanuli Selatan, Padangsidempuan, Padang lawas, Padang Lawas Utara Nias, Nias Selatan Tapanuli Tengah, Sibolga, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan Simalungun, Pematang Siantar Pakpak Bharat, Dairi, Karo Langkat, Binjai

5 8

5 9

1 1

1 2

100% 200%

1 2

0 0

0 0

1 2

9. 10. 11

Sumut IX Sumut X

7 4

8 4

1 0

2 1

200% 100% 300%

1 1 2 21

1 0 1 6

1 0 3 17

1 1 0 10

Sumut 8 10 1 3 XI Jumlah 85 100 10 27 Sumber: Sekretariat DPD Partai Demokrat Provinsi Sumatera Utara, 2009.

Partai Demokrat mengajukan DCT jumlah caleg DPRD Provinsi Sumut sebanyak 103 nama yang terbagi masing-masing dalam 11 Dapil. Di antara 103 nama itu, tercatat adanya 27 nama yang terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Sumut sebagai hasil Pemilu 2009. Untuk Dapil Sumut I, Partai Demokrat menempatkan 7 nama caleg terpilihnya. Untuk Dapil Sumut II, tercatat 4 nama caleg Partai Demokrat yang terplih. Dapil Sumut III terdapat 1 orang caleg terpilihnya. Dapil Sumut IV terdapat 2 orang caleg terpilihnya. Dapil Sumut V terdapat 2 nama caleg terpilih dari Partai Demokrat. Dapil Sumut VI tercatat 2 orang caleg terpilihnya. Dapil Sumut VII tercatat 1 orang. Dapil Sumut VIII terdapat 2 orang caleg terpilihnya. Dapil Sumut IX tercatat 2 nama caleg terpilihnya. Dapil Sumut X tercatat 1orang. Sedangkan, Dapil Sumut XI Partai Demokrat menempatkan 3 orang caleg terpilihnya.30 Dalam proses rekrutmen caleg, dilakukan konferensi pers bagi publik untuk menjaring caleg dari luar kalangan partai. Langkah yang dilakukan adalah membuka pendaftaran, di dapil yang diinginkan, termasuk juga bagi para
30

Sekretariat DPD Partai Demokrat Provinsi Sumatera Utara, 2009.

36

pengurus sekalipun tetap mendaftar terlebih dahulu. Setelah pendaftaran selesai, dapil yang dianggap sesuai dengan karakteristik politik dan sosial caleg bersangkutan, maka dapat diambil keputusan partai untuk menempatkannya di dapil tertentu. Tetapi kalau yang mendaftar di dapil itu melebihi kuota, maka dapat saja caleg itu digeser ke tempat lain. Partai dalam menyusun daftar caleg, memprioritaskan terlebih dahulu bagi para kadernya, baru setelah itu para tokoh atau orang-orang yang ikut bergabung kemudian. Dalam perkembangan, kenyataannya pihak yang berasal dari luar partai dan memiliki uang ditempatkan di nomor satu. Di tubuh Partai Demokrat, penyaringan terhadap caleg juga dilakukan terhadap para kader di organisasi massa yang mempunyai ikatan emosional atau menjadi anak partai tersebut sebagai salah satu sumber rekrutmen politiknya. Rekrutmen terhadap anggota organisasi massa pendukung Partai Demokrat, dijalankan dengan berusaha mengkombinasikannya terhadap dominasi pola urutan dan dukungan popularitas calon. Dinyatakan bahwa: Dibuka, siapa yang ingin bergabung ke demokrat, termasuk ulama, pengusaha, tokoh muda, dan seterusnya, 6 dari 27 caleg adalah perempuan yang mendaftar sebagai caleg DPRD Provinsi Sumut. Latar belakang profesi, kebanyakan pegawai swasta, pensiunan, dan seterusnya. PDRI (Perempuan Demokrat Republik Indonesia), ini semacam onderbouw resmi, termasuk dikalangan Pemuda, banyak sekali organisasi demokratnya, tetapi belum bersifat partai Demokrat cukup diuntungkan nomor urut yang digunakan oleh pemilih yang justru menimbulkan keanehan bagi caleg tertentu, seperti di DPD yang bernomor 31. Pola urutan lebih dominan dibandingkan tingkat popularitas personal caleg. Sehingga daftar urutan masih menjadi andalan dalam bergeraknya berbagai sumber daya mesin partai, karena dianggap bahwa sistem pemilu belum sejalan dengan tingkat pendidikan masyarakat.31 Berdasarkan kerangka strategi pemenangan pemilu, masing-masing partai dapat melakukan nuansa pendekatan yang berbeda dalam penempatan calegnya di setiap Dapil. Artinya, keberadaan nilai-nilai komunitas setempat di dalam Dapil akan menjadi pertimbangan yang penting dalam rangka proses dan hasil akhir yang diharapkan dapat dicapai terhadap langkah-langkah penempatan calegnya dalam daftar yang ada. Fenomena politik pilihan masyarakat yang masih terikat dengan unsur tradisional figur selama ini dan sejarah intervensi birokrasi saat otoriterian regim dimasa lampau, membentuk pola strategi semacam itu. Fenomena politik berdasarkan preferensi personal tersebut lebih dominan dibandingkan dengan penilaian atas kemampuan partai dalam membangun sistem kelembagaan yang mampu merealisasikan berbagai janji saat kampanye. Interaksi antar struktur organisasi partai sebagai mesin pemenangan pemilu tetap membutuhkan partisipasi masyarakat dalam rangka menguatkan dukungan politik yang terbentuk. Misalnya, bagi PKS, strategi pemenangan partai dalam menempatkan caleg di Dapil, dengan mempertimbangkan:
31

Ibid.

37

1. dari tataran struktur organisasi partai; 2. individu atau personal caleg bersangkutan.32 Dalam tataran struktur, potensi caleg didorong untuk didayagunakan dalam meraih dukungan pemilih. Ketika menjelang pemilu 2009, basis masa pemilih yang sudah terbentuk saat pemilu 2004, digarap lebih lanjut oleh partai dan kadernya yang menjadi caleg, dalam rangka memperkuat fundamental dukungan bagi partai. Sekaligus ini juga akan memperluas basis massa pendukung PKS, ketika berhadapan dengan kondisi masyarakat di daerah yang sangat beragam latar belakangnya. Terkait para personal yang akan ditempatkan sebagai caleg, banyak berperan pada saat ditetapkannya DCT. Biasanya pada tataran personal tersebut, partai berusaha menggunakan berbagai jaringan yang ada dan bahkan sampai pada tingkatan keluarga. Tetapi pada saat memasuki kampanye rapat massa, struktur partai lebih banyak berperan untuk menggalang dukungan pemilih. Ketika hari H pemilu, yaitu saat pemungutan suara, dilakukan perekrutan saksi, jajaran partai yang ditempatkan sebagai pengawal suara terhadap kemungkinan terjadi kesalahan atau manipulasi, dan sebagainya. Saksi adalah saksi partai politik, sehingga di PKS, berbeda dengan partai lain, yang tidak mengalami pertentangan pendapat atau bahkan konflik di antara saksi calegnya. Kasus di partai lain menunjukkan bahwa antara saksi partai dan saksi caleg terjadi kasus saling perebutan suara satu sama lain. Peranan elit pengurus partai juga besar dalam menggarap dukungan di daerah pemilihan. Sehingga, PKS mengutamakan untuk sosialisasi atau kampanye memilih partai dibandingkan memilih caleg..33 Berdasarkan hasil yang dicapai pemilu-pemilu sebelumnya yaitu di tahun 1999 dan 2004, peranan jaringan dan personal caleg di Dapil pada pemilu 2009, dapat semakin diandalkan dalam menarik simpati pemilih. Walaupun di sisi lain, untuk kota Medan, sempat mengalami penurunan, yang pada pemilu 2004 mencapai sekitar 40 persen. Para caleg PKS tidak terlampau menyandarkan diri pada penggunaan tokoh-tokoh yang ada di masyarakat dalam meraih dukungan dan memperkuat posisinya dalam daftar calon.34 Meskipun konstruksi proses caleg baik di tingkat DCS maupun DCT berusaha mengokomodasi berbagai aspirasi yang muncul, ketidakpuasan masih terjadi dan bahkan sempat diwarnai dengan perpindahan partai di antara salah seorang pengurus yang menjadi caleg PKS di Sumut. Misalnya, Wakil Ketua FPKS DPRD Provinsi Sumut, Arifin Nainggolan, yang berpindah dan menjadi caleg Partai Demokrat dalam Pemilu 2009.35 Dalam batas-batas tertentu, komposisi caleg yang diusahakan semakin beragam, ternyata masih mengalami keterbatasan agar bergerak pada setiap partai politik. Hal ini kembali kepada kemampuan partai itu dalam mendorong iklim pluralitas yang menjadi komitmennya, agar dapat dioperasionalkan pada tataran lapangan melalui mesin partai dan jaringannya. Setidaknya, keterbatasan ini dialami oleh PDS yang masih terbatas sumber pengadaan calegnya. Kalangan yang berprofesi sebagai guru/dosen/pendeta/pengusaha, adalah rata32 33

Wawancara dengan Awilham, fungsionaris DPW PKS Provinsi Sumut, Medan, 17 Maret 2009. Ibid. 34 Ibid. 35 Perindahan dengan alasan ketidaksepahaman yang terjadi di antara dirinya dengan pengurus PKS lainnya. Lihat Dashyat: Pentolan PKS Sumut Pindah Ke Partai Demokrat, http:// forum detik.com , diakses 5 Juni 2009.

38

rata profil caleg PDS.36 Isu partai terbuka, pada pemilu 2009, diakui ada bagi caleg setempat di provinsi Sumut, dan pasti ada pula yang beragama Islam di daerah lain. Penempatan komposisi latar belakang caleg semacam ini semakin kuat, apalagi dengan mengingat bahwa di Sumut, pertimbangan agama tidak terlalu dianggap penting untuk ditanyakan.37 Faktor-faktor popularitas dan basis ekonomi partai memang menjadi pertimbangan partai dalam penempatan calegnya di daerah pemilihan. Dengan kondisi kepartaian yang masih kurang signifikan untuk ditopang oleh pendanaa secara otonom, seperti halnya antara lain melalui kemampuan sumbangan atau iuran anggotanya, maka pertimbangan atas faktor popularitas dan finansial para calegnya menjadi sarana untuk mengimbangi ketimpangan yang ada. Diakui, bahwa secara umum partai politik masih mengandalkan subsidi dari pemerintah, di tengah proses politik pendanaan kepartaian itu sendiri yang kadangkala berseberangan dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan akuntabilitas publik. Sebaliknya, peranan elit partai di tingkat pusat yang tergolong menentukan terhadap proses penyusunan caleg, tidak terlampau terjadi secara meluas di tubuh PPP. Campur tangan secara organisasi ada, tetapi elit DPP tidak melakukan secara pribadi. Mekanisme juklak, DPD Sumut mengajukan rekomendasi ke pusat untuk dicalonkan melalui KPU. Kader asli yang lama berkiprah lebih dominan dibandingkan orang luar yang menjadi caleg. Nomor urut satu tetap diutamakan yang menjadi atau pernah menjadi para pihak yang pernah menjadi atau kini menjabat sebagai ketua pengurus wilayah. Tercatat bahwa dari 7 caleg PPP terpilih untuk DPRD Provinsi, yang jadi caleg terpilih dalam Pemilu 2009, adalah 6 orang bernomor urut satu. Sedangkan, 1 orang caleg terpilih adalah adalah bernomor urut 4. Konstituen dengan caleg terkait konsolidasi partai tetap berjalan. Konsolidasi partai dilakukan sejak semula saat jajaran pengurus partai dilantik, dan dilanjutkan baik melalui media dakwah, maupun kegiatan sosial tertentu seperti halnya membantu orang lanjut usia dan anak yatim piatu. Konsolidasi partai semakin meningkat, terutama saat menghadapi momentum tertentu, seperti halnya ketika memasuki tahapan pilkada Gubernur Sumut. Pemanfaatan setiap media dan momentum tertentu, menunjukkan cara tersebut yang ditempuh ternyata sangat efektif. Partai melakukan berbagai usaha, antara lain melalui penjaringan secara terbuka.Internal, seperti halnya di PPP, yang dilakukan selalu setelah penyelenggaraan Rapim. Artinya, bagi PPP keputusannya tidak pernah dijalankan di luar rapat. Pertemuan, dan pelatihan saksi, juga intensif dilakukan. Peta dukungan di Sumut, bagi PPP terkonsentrasi di wilayah Barat, yang kebanyakan penduduknya beragama Islam dibandingkan wilayah timur yang kebanyakan non muslim. Dari 11 Dapil di priovinsi Sumut, 7 Dapil yang ada, diidentifikasi banyak dipengaruhi keberadaan faktor umat Islamnya.38 Sedangkan dari sudut pertimbangan finansial, di PPP, Sumbangan untuk penyusunan caleg, tidak terlampau menjadi sesuatu yang menentukan, walaupun di sisi lain memang dianggap penting bagi partai. Pada konteks
36
37

Apul Silalahi, Bendahara DPW PDS Sumut. Medan, 18 April 2009.

Ibid. 38 Wawancara Djafaruddin Harahap (Wakil Sekretaris DPW PPP Sumut, sekeretaris LP2L), Medan, 11 Agustus 2009.

39

finansial, sumbangan yang diberikan calon dilakukan setelah memasuki masa kampanye. Sumbangan dari caleg diberikan langsung kepada partai. Tetapi di sini diberikan batasan oleh partai besarnya sumbangan tersebut. Kader partai ada yang menjadi wirasawastan, tetapi yang terpenting bagi PPP, di atas latar belakang sosial itu, adalah mereka semua merupakan kader dan sekaligus anggota partai. Bahkan, di kabupaten/kota dan cabang terdata rapi terkait keanggotaan kartu kader PPP. Dalam pengajuan calon legislatif mengacu padas DPP baik di provinsi dan kabupaten/kota. Terdapat beberapa tahapan yang dilakukan, antara lain yaitu: penjaringan, seleksi administrasi dan kepatutan. Kemudian, dalam pelaksanaannnya LP2L (lajnah Pemenangan Pemilu Legislatif). LP2L merekomendasikan kepada LPP (Lajnah penetapan calon wilayah) kabipaten, cabang. Rekomendasi dibuat kepada Nama-nama dan nomor urut oleh LP2L dan ditetapkan LPP. Di Propinsi, ini adalah panitia di tingkat partai, pengurusnya waki ketua DPW, Fadli Nurzal. Sesuai dengan Surat Keputusan DPP PPP No. 1003/Kpts/ DPP/VI/ 2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/Kota pada Pemilu 2009, LP2L di tingkatan Pusat, Wilayah, dan Cabang, melakukan rekrutmen seleksi bakal calon legislatif. LP2L melakukan rekrutmen dan seleksi bakal calon anggota DPR.. LP2L Wilayah melakukan rekrutmen dan seleksi bakal calon anggota DPRD Provinsi. LP2L Kabupaten/Kota melakukan rekrutmen dan seleksi bakal calon anggota DPRD kabupaten/kota.39 Tahapan rekrutmen dan seleksi yang dilakukan meliputi: (a) tahap pengumuman, (b) tahap pendaftaran; (c) tahap seleksi administrasi; (d) tahap seleksi khusus; (e) tahap penugasan partai, (f) tahap evaluasi dan penilaian akhir; (g) tahap rekomendasi.40 Tahapan yang dilakukan oleh LP2L difinalisasi melalui Surat Keputusan DPP PPP No. 128/SKC/DPP/VIII/2008 tentang Penetapan Calon Anggota DPRD Provinsi dari PPP Sumatera Utara Pada Pemilu Legislatif Tahun 2009. Surat Keputusan ini menanggapi Surat DPW PPP Provinsi Sumut No.121/Int/B/VIII/2008 tanggal 18 Agustus 2008 perihal permohonan persetujuan calon anggota DPRD Sumatera Utara. Bagi PPP, sebagai partai Islam, dan berasas Islam, menganggap dirinya tetap konsisten dengan asas Islam, menghadapi kawasan Sumut yang pluralis. Kinerja caleg, cukup lumayan, hampir semuanya berjuang turun ke bawah untuk meraih. Dari 8 menjadi 7 kursi, Sumut tergolong PPP nya cukup bagus dibandingkan daerah lain.41 Adapun ditubuh PAN, DPP menggariskan aturan mainnya dengan berpedoman pada aturan yag dibuatnya dalam bentuk Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) bagi kepengurusan di daerah terkait proses penyusunan daftar calegnya. Juklak yang ditetapkan oleh DPP adalah hasil Rakernas PAN di Semarang menjadi acuan dan ada kriteria, misalnya tingkat pendidikan, S1, S2, S3, SMA, paling tinggi 20.42 Proses pencalegan diumumkan media massa,
39 40

Ibid. Pasal 5 Surat Keputusan DPP PPP No. 1003/Kpts/DPP/VI/2008, tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Caa dan Mekanisme Pencalonan Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota Pada Pemilu 2009. 41 Wawancara Djafaruddin Harahap (Wakil Sekretaris DPW PPP Sumut, sekeretaris LP2L), Medan, 11 Agustus 2009. 42 Wawancara dengan Anang Anaz Ashar Sag, Wakil Ketua DPW PAN Sumut, 13 Agustus 2009.

40

termasuk TVRI, media cetak daerah, siapapun yang merasa sehaluan dan ingin menyalurkan aspirasi melalui PAN, dipersilakan. Proses sejauh mungkin dipermudah, seperti halnya mengurus KTA secara singkat. Tidak dipersulit dan memang dibuka pendaftaran dan diumumkan melalui media massa. Tidak ada perlakuan khusus bagi setiap caleg, termasuk bagi caleg yang berasal dari anggota DPRD untuk mencalonkan lagi.. Seorang ketua provinsi pernah ditempatkan di nomor Tahun 2008, Rakernas Surabaya, bahwa setiap kader yang menjabat dapat mencalonkan untuk ketiga kalinya dan harus lapor ke pusat. Di Sumut hanya tercatat seorang, di kabupaten/kota sebanyak 3 orang, artinya di PAN tergolong sedikit. Masalah pencalegan di PAN berlaku secara nasional sama, berdasarkan Rakernas ketetapan No. 4 tahun 2007 bahwa diberlakulan pencalegan dini. Setahun sebelum pencalegan resmi tahapan dimulai, PAN sudah memulainya. DPP dan DPW PAN memberikan kebebasan terhadap masing-masing kader atau calon legislatifnyan untuk memilih dapilnya, sesuai tingkatan DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota. Proses tersebut sudah mendahului dilakukan, kepada caleg yang sudah memilih dapilnya, diharuskan melakukan sosialisasi ke masyarakat dan kewajiban pembinaan partai (membangun dan membenahi). Ada tim khusus ini ada yang tim rekrutmen, di sini setiap caleg mendaftar, setelah jalan yang bekerja Tim Evaluasi, ini menyangkut 2 hal: (1) memberikan arahan di dapil bagi caleg, (2) melakukan evaluasi dan rekomendasi kepada caleg dan pimpinan partai, walaupun tidak mempunyai wewenang menindak. Di PAN, hasil evaluasi menentukan nomor jurut seseorang, Ketika menetapkan DCS, siapa yang nomor urut satu, hasil evaluasi menentukan berdasarkan skor ranking.43 Kalau anggota DPRD mencalonkan diri sebagai caleg, anjlok nol lagi skornya, kecuali memberikan kontribusi tertentu bagi partai. Kontribusi pribadi berupa uang caleg, mendaftar saja Rp 5 juta, anggota DPRD bebannya Rp 7,5 juta. Itu kepentingannya untuk tim pencalegan dini. Tim pencalegan dini yang melakukan monitoring kepada caleg berjalan di setiap dapilnya. Tim ini melakukan evaluasi caleg setiap bulannya. Dari sisi politis lain adalah, siapa yang dekat dengan pimpinan partai yang memperoleh nomor urut bagus. Misalnya, saya caleg Labuhan Batu mendapat nomor satu, tetapi kurang beruntung, di dapil 8 kursi di DPRD Sumutnya, ranking 7, tetapi karena kursi partai Demokrat dan Golkar tidak jadi.44 Sedangkan dari sudut proses kaderisasi, Mereka yang berkiprah berkarier di PAN diprioritaskan di nomor urut kecil dibandingkan dengan mereka yang sebagai tokoh tiba-tiba menjadi caleg PAN. Mereka yang berasaldari non kader PAN sebelum resmi menjadi kader PAN, harus membangun jaringan tersendiri, tidak boleh menggunakan infrastruktur partai dan memobilisasi kader PAN untuk mendukungnya. Mayoritas kader yang menjadi caleg PAN Pemilu 2009, kebanyakan muda-muda, yaitu mencapai sekitar 90 persen. Latar belakang profesi, macam-macam, wartawan, wiraswasta, pengacara, dan sebagainya. Ini semua berjalan alamiah. Segmen masyarakat tertentu pernah dicoba dan tidak signifikan untuk dibidik PAN. Diakui,
43 44

Wawancara. Parluhutan Siregar, Sekretaris DPW PAN Sumut, Medan, 13 Agustus 2009. Ibid.

41

bahwa PAN basisnya muslim, tetapi sebagai partai terbuka, berusaha menjaga pluralitas sesuai kategori masing-masing pemilih atau pendukung PAN itu sendiri. Sebagai contoh, misalnya di kawassan Tapanuli Utara, kental dengan nuansa Islam,, misalnya diawali dengan mengucapkan Basmallah, ayat-ayat suci Al Quran. Etnis keturunan Cina di Labuhan Batu, non muslim, menjadi petunjuk bahwa PAN parttai terbuka. Di sampping itu, juga dari segi kepengurusan PAN, terdapat etnis keturunan dan non muslim.45 Identitas politik kebangsaan yang lebih kuat dibandingkan penggunaan sentimen primordial tertentu, seperti halnya etnisitas dan agama, dalam pencalonan legislatif PAN tampaknya berlangsung dalam pemilu 2009 di kawasan Sumut. Ini berbeda, dengan anggapan menguatnya sentimen etnis dan agama saat pelaksanaan Pilkada Gubernur Sumut tahun 2008. Sosialisasi caleg di Dapil, partai membuat pedoman pelaksanaan pemilu legislatif tahun 2009. Ini diatur hak partai dengan infrastrukturnya dan fasilitasi terhadap kewajiban caleg. Partai berhak memperoleh pembinaan dari caleg bersangkutan dan caleg kader berhak mendapat pelayanan dari infrastruktur partai. Mau membuat apapun sang kader, partai harus melayani. Kalau infrastruktur partai melihat bahwa kader itu abai sebagai caleg, jaringan yang mengawasinya dapat melapor ke wilayah untuk bahan evaluasi dan ambil keputusan. Dalam praktek di pemilu 2009, kalau terjadi sesuatu yang kurang atau pelanggaran, maka hanya sebatas teguran. Semua potensi konflik di tarik ke provinsi dan jangan sampai kesan muncul terjadi konflik terbuka di internal PAN dimata publik. Konflik ini yang diselesaikan, baik antar caleg, antar caleg dengan pengurus partai, dan sebagainya. Partai memberikan kemudahan bagi setiap yang menjadi caleg, prosedur dipermudah. Perjuangan di bawah adalah murni hasil dari caleg bersangkutan, partai hanya sebatas memberikan fasilitasi secara terbatas.46 Tidak ada kekhawatiran kalau nanti terpilih caleg lebih loyal kepada kalangan lain dibandingkan partai. Ini karena, ada PAW sebagai katup pengaman dan semua dibicarakan terbuka sesuai dengan tahapan pemilu, dalam rangka menjaga loyalitas caleg terpilih kepada partai. Artinya, semua tahap pengambilan kebijakan terkait proses penyusunan caleg terbuka terhadap caleg bersangkutan. Setiap kurun waktu tertentu, misalnya di kawasan tertentu diangkat koordinator zona untuk melakukan rapat terkait performance caleg di dapil bersangkutan. Kalau teguran tidak mempan, maka ditegur secara tertulis. Tetapi inipun masih terganggu oleh politik uang yang terjadi secara nasional. Ini harus diakui dalam politik Indonesia. Dengan kondisi politik uang yang masih beredar, maka penggalangan masa agar militan bagi partai menjadi sukar dilakukan, Bahkan, sebaliknya, masyarakat menjadi tidak suka terhadap perilaku politik elit di pemerintahan, dan partai. Politik menjadi pragmatis hingga di berbagai tingkatan sampai ke bawah dan dalam ruang lingkup yang tergolong kecil, seperti halnya kampung-kampung, ranting, cabang, dan sebagainya. Politik uang juga digunakan dalam rangka mendekati media massa untuk mensosialisasikan caleg, kader, dan partainya.
45 46

Wawancara dengan Anang Anaz Ashar Sag, Wakil Ketua DPW PAN Sumut, 13 Agustus 2009 Wawancara. Parluhutan Siregar, Sekretaris DPW PAN Sumut, Medan, 13 Agustus 2009.

42

Terkait dengan keputusan MK dalam penentuan calon terpilih yang menggunakan suara terbanyak, bagi PAN tampaknya tidak menjadi persoalan. Bahkan, sesuai dengan Surat Keputusan DPP PAN No.PAN/A/Kpts/KUSJ/075/V/2008 tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara Penetapan Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Terpilih Berdasarkan Suara Terbanyak PAN, kecenderungan situasi kondusif itu semakin kuat berkembang. 47 Ketentuan tentang Persyaratan Khusus di Pasal 5 Surat Keputusan DPP PAN tersebut antara lain menyebutkan: (2) Setiap Calon harus menyertakan Surat Pengunduran Diri dan Surat Persetujuan Suara Terbanyak. Selanjutnya, di Pasal 13: :(1) Perolehan suara partai dalam 1 (satu) Dapil terdiri atas jumlah total suara sah partai dan jumlah total suara sah calon; (2) Bila dalam 1 (satu) kertas suara yang ditandai hanya lambang partai saja, maka suara dimaksud tidak dihitung sebagai suara sah Calon. Pasal 14: (1) Perolehan suara calon adalah suara yang diperoleh oleh masing-masing calon yang dibuktikan dengan pemberian tanda pada surat suara yang ditetapkan oleh KPU; (2) Perolehan suara sah masing-masing calon merupakan jumlah total perolehan suara sah masing-masing calon dalam satu Dapil; (3) Jumlah total suara sah calon sesuai dengan yang ditetapkan oleh KPU. Pasal 15: Jumlah perolehan suara Calon dinyatakan terbanyak bila tidak ada di antara calon lain dalam satu Dapil memiliki jumlah suara yang sama dan atau melebihi perolehan suara sah calon tersebut. Ketentuan ini ditindaklanjuti dengan pembentukan mekanisme penetapan calon terpilih, mekanisme penetapan calon terpilih dari sisa suara di Provinsi yang memiliki lebih dari satu Dapil, serta batas waktu penyerahan surat pengunduran diri dan surat persetujuan suara terbanyak. Dalam menetapkan calon terpilih, PAN menempuh mekanisme sebagai berikut: (1) Dalam hal ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP dalam satu Dapil, di mana terdapat jumlah calon lebih banyak daripada jumlah kursi yang diperoleh partai maka kursi diberikan kepada calon yang memperoleh suara terbanyak; (2) Dalam hal ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP dalam satu Dapil, di mana ada dua/ lebih calon yang memperoleh suara yang sama banyak, maka penentuan calon terpilihnya adalah: a. Periodeisasi PAW yang sama terhadap calon tersebut; b. Periode pertama yang menjadi anggota legislatif diberikan kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil dan untuk periode selanjutnya diberikan kepada nomor urut berikutnya; c. Proses PAW dapat diajukan enam bulan sebelum periodeisasi PAW berakhir; (3) Dalam hal ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% dari BPP dalam satu Dapil, di mana jumlahnya calon lebih sedikit dari jumlah kursi yang diperoleh partai politik, maka kursi diberikan kepada calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan suara terbanyak selanjutnya;
47

Surat Keputusan DPP PAN ini berlandaskan pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Peraturan/Ketetapan KPU, AD/ART PAN, platform PAN, hasil Kongres II PAN di Semarang tahun 2005, hasil Rakernas PAN tahun 2006 di Jakarta, dan hasil Rakernas PAN tahun 2007 di Palembang.

43

(4) Dalam hal calon tidak ada yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30 persen dari BPP dalam satu Dapil, maka calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak; (5) Surat keputusan partai tentang penetapan calon terpilih tersebut ditetapkan berdasarkan total suara sah calon yang memperoleh suara terbanyak, yang ditandatangani oleh Ketua Umum dan Sekretariat Jenderal DPP bagi calon anggota DPR terpilih, oleh ketua dan sekretaris jenderal DPP bagi calon anggota DPR RI terpilih, oleh ketua dan sekretaris DPW bagi calon anggota DPRD provinsi terpilih dan oleh ketua dan sekretaris DPD bagi calon anggota DPRD kabupaten/kota terpilih.48 3. Implikasi Peranan Partai, Caleg dan Politik Lokal Sempat terjadi perselisihan terkait dengan penempatan caleg, terutama dikalangan PDI P dan Partai Golkar, di provinsi Sumatera Utara. Konstruksi konflik terjadi dalam masalah yang dibawa pada konteks persaingan di tubuh masing-masing partai bersangkutan, adalah imbas dari pilkada Gubernur Sumut tahun 2008. Misalnya, di PDI P antara kelompok pendukung Rudolf Pardede dan kelompok dari DPP di satu pihak, sementara di Partai Golkar, antara kelompok pendukung Ali Umri dan lawannya yang ingin menempatkan kelompok di luar Ali Umri.49 Loyalitas kepada partai diharapkan dapat dihargai dalam menempatkan kader partai yang kadangkala berhadapan dengan penggunaan sentimen emosional suku. Hal ini semakin ketat persaingannya ketika basis ekonomi sang caleg juga digunakan dalam mempengaruhi partai terkait proses penempatan caleg. Sedangkan dari segi etnisitas seperti halnya keturunan India dan Cina, tidak terlampau digunakan maksimal. Persaingan antar caleg DPRD Provinsi Sumut juga diwarnai oleh ketatnya persaingan antar caleg kawakan dikalangan partai politik di beberapa daerah pemilihan setempat. Sejak proses penyusunan nama-nama calon dalam daftar oleh partai politik, perkiraan atas kerasnya persaingan antar caleg DPR juga menjadi pertimbangan tertentu dalam pemasangan nama-nama kader di setiap daerah pemilihan terkait dengan proses penyusunan daftar caleg di tingkat DPRD Provinsi. Dengan pertimbangan pemenangan pemilu dalam pemasangan caleg di setiap daerah pemilihan, maka menciptakan konteks partai terbuka yang dapat melintasi batas-batas politik emosional bersifat segmental pemilih. Semakin terbuka ruang persaingan antar partai dan caleg, mendorong partai politik menetapkan semacam kode etik dalam rangka menjaga soliditas para kader yang saling bersaing di internal partai bersangkutan. Salah satu partai yang mencoba menetapkan kode etik terkait dengan persaingan tersebut, adalah Partai Golkar, khususnya DPD Golkar di Provinsi Sumatera Utara. Sebagaimana disampaikan oleh Sekretaris DPD Partai Golkar di Provinsi Sumut, Azis Angkat, bahwa mengantisipasi persaingan tidak sehat antarcaleg, baik di internal atau eksternal partai, DPP Partai Golkar mengeluarkan kode etik caleg, yang harus
48

49

Ketetapan Rapat Kerja Nasional Tahun 2007 Partai Amanat Nasional No. 4 Tahun 2007 tentang Pencalegan Dini DPR RI. Wawancara dengan Dosen FISIP Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, 17 Maret 2009.

44

menjadi pedoman bagi seluruh caleg partai berlambang pohon beringin itu. Langkah ini dilakukan menyusul keluarnya keputusan MK yang menetapkan caleg terpilih adalah peraih suara terbanyak.50 Berdasarkan peranan elit partai yang sangat besar dalam proses penyusunan daftar calon anggota legislatif, maka tampilnya kalangan yang berada di luar basis pengkaderan resmi partai menjadi sangat berpeluang besar untuk turut menghiasi karakteristik para calon yang akan ditawarkan kepada pemilih. Personal elit dalam menjalin komunikasi dengan kalangan di luar partai menjadi sangat menentukan besaran warna luar partai yang ditampilkan. Demikian halnya di internal, personal elit menjadi sangat menentukan tentang siapa saja kader yang dianggal layak untuk tampil sebagai calon legislator. Meskipun anggota DPRD pada beberapa individu di antaranya juga merangkap sebagai pengurus partai, tetapi secara umum tampaknya peranan lingkaran elit partai politik dalam penyusunan daftar calon dimaksud adalah tetap mempunyai dinamika tersendiri. Kesadaran terhadap kuatnya peranan lingkaran tersebut, menyebabkan setiap orang yang ingin mencalonkan diri akan berusaha untuk menjalin komunikasi atau bahkan ikatan dengan kalangan pengurus partai yang dianggap menjadi salah satu kuci di partai bersangkutan. Ketika nomor urut mulai terpinggirkan oleh prinsip perolehan suara terbanyak, maka kemungkinan terjadinya kombinasi antara kemampuan atau asset individual dengan jaringan struktural organisasi partai sebagai tempat dirinya bernaung, dapat menjadi alternatif yang berbeda dengan masa sebelumnya. Dengan sistem suara terbanyak untuk menentukan anggota legislatif terpilih dari parpol yang memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih (BPP), caleg tidak hanya menghadapi persaingan dengan caleg partai lain, tetapi juga dengan sesama caleg dari partainya sendiri. Sehingga, caleg pun tidak lagi hanya bertarung melawan caleg partai lain, tetapi juga berhadapan dengan kawan dari partai sendiri dan di sini dianggap terbuka peluang bagi terjadinya konflik internal partai. Perebutan jumlah kursi yang sudah tentu terbatas dengan peta persaingan partai dan antar caleg dalam jumlah yang luar biasa besar, jelas membuka peluang konflik semacam itu. Dengan konstruksi peta persaingan dan kemungkinan dampaknya, maka manajemen partai adalah menjadi penting adanya. Kode etik yang diberlakukan antar caleg dalam partai politik, adalah satu bentuk manajemen organisasi partai untuk mengelola potensi konflik yang dapat mempengaruhi keutuhan partai secara kelembagaan. Pertimbangan keutuhan partai juga menjadi sangat penting ketika menghadapi hasil pemilu yang ternyata mengundang tanda tanya atas strategi partai yang menghadapi dilema pada saat terjadi kompetisi di antara caleg dalam satu partai yang sama. Tingginya persaingan untuk memperebutkan kursi di legislatif tersebut, tidak saja di tingkat DPR tetapi juga di tingkat DPRD, yaitu termasuk pula di antara caleg untuk DPRD Propinsi. Pada saat kompetisi yang sangat tinggi secara personal caleg dan antar partai, maka kekurangan
50

http/www. Medan Bisnis, dikutip 24 April 2009. dalam kode etik itu memuat pasal-pasal yang harus diindahkan oleh para caleg Golkar. Jika tidak, maka sang caleg akan berhadapan pasal-pasal yang berbicara sanksi. Tim kode etik itu terdiri dari lima orang yang berasal dari kader Golkar non-caleg. Untuk tingkat propinsi, tim diketuai Syahdansah Putra, yang saat ini menjadi Ketua DPRD Medan. Para anggota terdiri T Ery Nuryadi (kader Golkar/Bupati Sergai), Ramli Ariyanto (Kabiro Pemenangan Pemilu) dan HI Tarigan.

45

seimbangan politik di tingkat kelembagaan akan membawa kerugian bagi partai yang tidak dapat mengelolanya secara proporsional. Misalnya, bagi Partai Golkar: penempatan caleg di dapil, jelas terkait dengan strategi partai dalam pemenangan pemilu. Tetapi dalam pemilu 2009, diakui oleh Golkar sebagai suatu kelalaian dalam menjaga keseimbangan itu, akibatnya kesadaran bahwa pemilu adalah persaingan antar partai justru kurang ditekankan pada para kadernya. Kesempatan kampanye yang memang difasilitasi melalui perangkat aturan, termasuk Undang-Undang No. 10 Tahun 2008, justru tidak dimanfaatkan oleh partai, tetapi lebih dimanfaatkan oleh caleg. Hal ini berbeda misalnya dengan Partai Demokrat, karena mereka lebih gencar untuk mensosialisasikan nomor dan lambang partainya kepada saat kampanye. Bahkan, sosialisasi yang dilakukan Partai Demokrat disebut sebagai dalam tingkat luar biasa massif untuk menarik massa pemilih.51 Keberuntungan memang diharapkan dapat diperoleh dengan gencarnya nomor urut disosialisasikan kepada pemilih, melalui kemungkinan pilihan politik saat pemilu presiden dilaksanakan. Kondisi internal Partai Demokrat yang masih menghadapi konsolidasi organisasi setelah pemilu 2004 dan menghadapi pemilu 2009, serta ketergantungannya kepada popularitas Presiden SBY, tampaknya cenderung mendorong sosialisasi nomor urut partai lebih berkembang luas dibandingkan dengan pertimbangan mengkampanyekan para calon legislatornya di daftar caleg. Terkait dengan asset ekonomi caleg, pada setiap partai dapat berbeda dalam menjawab anggapan umum masyarakat bahwa partai pasti memerlukan dana yang besar. Keberadaan caleg dengan asset ekonominya, dapat saja mempengaruhi dirinya dalam menempatkan diri atau ditempatkan oleh partainya di dalam daftar caleg. Misalnya di tubuh PKS, keberadaan asset ekonomi caleg, dianggap tidak terlampau menjadi faktor dominan.52 Seperti halnya penggunaan patron personal yang tidak juga tidak berperan dominant, sehingga muncul kesan bahwa PKS tidak berkepentingan dengan masalah seberapa besar seorang caleg mengeluarkan biaya terhadap proses pencaloanannya. Ini bahkan ditentang keras, karena dianggap bahwa pada saat kampanye yang menghabiskan dana caleg, seperti halnya untuk pengadaan saksi yang di beberapa daerah justru sangat mahal pula. Sehingga saksi cukup dilakukan oleh partai. Posisi saksi sangat penting, karena dapat bermain antara sebagai saksi partai dan saksi caleg. Buruknya sistem perhitungan di TPS, sehingga sejak awal di KPPS, banyak di antaranya kurang berpengalaman. Pertimbangan ini semakin sulit, karena petugas di daerah harus merekrut orang setempat, seperti halnya tokoh adat, terlepas dari pendidikan yang kurang memadai, bahkan tidak membaca baca tulis, kurang pengalaman di bidang pemilu, dan sebagainya. Karakteristik rekrutmen petugas pemilu semacam ini, dapat menimbulkan masalah dan bahkan keributan tersendiri dalam perhitungan suara pemilu.53 Sedangkan di tubuh PDS, diakui bahwa untuk menjaring caleg, digunakan jaringan gereja atau kebaktian, kebaktian kebangunan rohani (KKR), sekaligus
51 52 53

Wawancara Syahdansah Putra, Ketua Bappilu Partai Golkar, DPD Provinsi Sumut Partai Golkar, Medan 17 April 2009. Wawancara dengan Awilham, fungsionaris DPW Provinsi Sumut PKS, Medan, 17 April 2009. Ibid.

46

diterangkan visi dan misi PDS. Bahkan, penasehat PDS cukup banyak yang berasal dari kalangan gereja. Selain gereja, juga jalur kegiatan sosial terhadap kalangan yang terlibat di dalamnya, seperti halnya pengobatan gratis disetiap daerah pemilihan di tingkat kecamatan, bergantian, tempat-tempat panti asuhan, panti jompo. Sementara itu dikalangan anak muda, dilakukan penggarapan terhadap organisasi sayap underbouw, PDS. Demikian halnya wanita, melalui underbouw yang menjadi wadah paguyuban para aktivis simpatisan PDS. Penggunaan jaringan gereja dan komunitas kebaktian atau keagamaan, diakui sama sekali bukan berarti sikap PDS yang sektarian, karena menggunakan sentiment sektarian dan juga bukan mengingkari kebijakan sebagai partai terbuka. Bahkan, isu-isu substansial, seperti halnya gerakan anti korupsi, sebagaimana ditunjukkan pada ketiadaan kadernya yang harus berurusan dengan hukum sebagai akibat tindaka korupsi di parlemen, juga menjadi tawaran selling point PDS pada waktu kampanye. Walaupun diakui, bahwa dalam pencalonan anggota DPRD provinsi Sumut, baik di tingkat DCS maupun DCT, tidak terdapat calegnya yang beragama bukan Kristen. Mesikpun menganut kebijakan partai terbuka, PDS juga menyampaikan pencapaian tindakan kongkrit atas segala janji perjuangan bagi constiuentnya yang bernuansa kental keagamaan, seperti halnya tentang hak-hak beribadah dan kesetaraan umat beragama. Perjuangan PDS itu misalnya mengenai anggaran Bimbingan Masyarakat (Bimas) Kristen, sehingga mengalami persentase kenaikan yang dianggapnya cukup signifikan. Di samping itu, juga terhadap bidang pendidikan yaitu bagi keberadaan Guru Sekolah Minggu yang memperoleh anggaran dari pemerintah, termasuk dalam konteks APBD Sumut.. Demikian pula terhadap kenaikan anggaran untuk guru agama dalam konteks yang lebih umum, yaitu antara lain menyangkut tunjangan yang diperolehnya. 54 Penggunaan dukungan isu bagi tawaran caleg oleh partai, melalui kalangan elitnya, tampaknya menjadi sesuatu yang berarti di tengah masih lemahnya fundamental platform perjuangan partai. Masalah anggaran juga mempengaruhi tingkatan kemampuan politik isu yang ditawarkan partai melalui susunan calegnya. Anggapan mengenai pertimbangan asset ekonomi caleg dalam nominasi daftar calon dari partainya, tentu menjadi pertanyaan tersendiri. Kritik tersebut terutama didasarkan pada temuan yang terjadi setelah pemilu legislatif mulai memasuki tahapan penghitungan suara. Pada 2008-2009, 666 kasus diserahkan kepada pihak terkait, yakni 631 diserahkan kepada Kapolri dan 35 kasus kepada Kejaksaan Agung. Pengaduan paling banyak mengenai kasus korupsi dengan jumlah 297 kasus, sedangkan yang kedua adalah penipuan dengan menggunakan dokumen palsu. Diperkirakan penyebabnya adalah kelonggaran bagi pihak perseorangan atau perusahaan dalam memberikan dana kampanye bagi partai politik. Stuasi menunjukkan"satu orang dapat memberikan Rp1 miliar dan perusahaan memberikan Rp5 miliar, sebenarnya melebihi sumbangan yang ada dalam ketentuan di Undang-Undang No. 10 Tahun 2008.55
54 55

Wawancara dengan Apul Silalahi, Bendahara DPW PDS Sumut. Medan 18 April 2009. Berdasarkan data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Waduh, pencucian uang meningkat, Waspada Oline, http://www.waspada.co.id/dikutip 28 April 2009.

47

Hal di atas semakin kuat terjadinya potensi semacam itu, ketika rasio per kursi di daerah pemilihan bersangkutan yang semakin tinggi. Misalnya, untuk Kabupaten Tapanuli Tengah, yang memiliki 4 daerah pemilihan. Pada daerah pemilihan 4 di Kabupaten tersebut, yang meliputi beberapa kecamatan, yaitu Sosorgadung, Barus, Barus Utara, Antam Dewi, Sirandorung, Manduamas, tercatat sangat tinggi dibandingkan dengan 3 daerah pemilihan lainnya di wilayah setempat. Hal ini sejak awal, diperingatkan terhadap kemungkinan penggunaan segala cara terhadap usaha memperoleh kursi kemenangan.56 Kemungkinan terjadinya praktek illegal atau seperti halnya antara lain politik uang tetap dicatat, meskipun di sisi lain tindakan tertentu caleg terhadap KPU tidak terjadi. Para caleg yang bersaing diakui tidak melakukan pendekatan tertentu untuk mendukung pencalonannya kepada KPU. Pada saat penghitungan suara, protes lebih banyak terjadi di tingkat PPK, sedangkan terkait protes kepada KPU, sempat pula terjadi, seperti halnya antara lain protes pemilu ulang di Tapanuli Utara yang dianggap merugikan caleg tertentu.57 Pasca pemungutan suara pemilu, konflik antar caleg dalam satu partai yang sama cenderung meningkat. Hal ini disebabkan faktor ketidakrelaan kalau dirinya mengalami kekalahan atau tidak memperoleh suara sebesar yang diperkirakan sebelumnya oleh dirinya atau bahkan justru sedikit perolehan suaranya. Kasus-kasus yang terjadi secara administratif dan menyiapkan gugatan secara pidana. Hal ini apakah akan dilanjutkan atau sebaliknya tidak dilanjutkan, tergantung pada mereka sendiri, termasuk dalam tindak pidana antar seorang caleg dengan caleg lainnya. Padahal, kalau mereka mampu bersikap gentle atau sportif, maka dapat berbesar hati menerima kekalahan. Sehingga konflik antar caleg di internal partai justru tidak berkembang luas pasca pemilu. Dengan anggapan peluang yang dimiliki adalah sama besarnya, semakin membuat mereka saling bergerak sendiri-sendiri.58 Mengingat kemungkinan terjadinya konflik sebagai akibat persaingan dalam proses penyusunan daftar caleg, beberapa partai cenderung mengelola proses politik itu secara hati-hati. Di PAN misalnya, berdasarkan survey terhadap opini masyarakat partai berusaha memilih melalui forum tatap muka. Tetapi pertimbangan jalur etnisitas kesukuan dianggap tepat bagai beberapa daerah di Sumut, seperti halnya di Tapanuli Bagian Selatan, ada beberapa: faktor Marga, faktor penguasa lokal yang berpengaruh sebagai pemimpin informal, dan di samping menyadari peran dari politik uang. Kekuasaan partai terhadap caleg dinomor urut, bukan dipertimbangan figur caleg bersangkutan. PAN berusaha melakukan secara demokratis dalam proses penyusunan caleg.59 Sehingga, tidak terjadi konflik dalam proses tersebut. Meskipun demikian, diakui bahwa dalam konteks kepartaian di tingkat nasional, luar biasa terkait politik uang dalam pencalegan. Ini tidak sehat bagi demokrasi. Anehnya, masyarakat justru memilihnya, walaupun diketahui track recordnya yang buruk.
56

http://manduamastapanulibarat.wordpress.com/2009/02/19/dalam pemilu-2009-dimanduamas-menimbang-peluangcaleg,, di kutip 24 April 2009. 57 Wawancara dengan Kabag Hubungan Pelayanan Masyarakat (Hupmas) KPU Prov. Sumut., Sangkot Hasibuan, Medan 17 April 2009. 58 Wawancara dengan Mohammad Amien, Ketua Panwaslu Kota Medan, 19 April 2009 59 Wawancara. Parluhutan Siregar, Sekretaris DPW PAN Sumut, Medan, 13 Agustus 2009.

48

Oligarki elit masih menjadi penentu dalam penempatan caleg-caleg disetiap daerah pemilihan. Sehingga konstruksi partai yang cenderung sentralistis, masih kuat berperan dalam mengarahkan tawaran daftar caleg dibandingkan dengan inisiatif otonom yang beranjak dari bawah. Partai politik melalui elit yang berada di jajaran pengurus di daerah dan pusat ternyata sangat mempunyai peranan menentukan dalam penyusunan daftar caleg. Kurun waktu yang terjadi sebelum keluarnya putusan MK tentang perolehan suara terbanyak bagi caleg terpilih sebagai anggota Dewan. Membuat dinamika partai diwarnai oleh persaingan untuk mendapat nomor kecil. Sejauh yang berkembang di Sumatera Utara, tidak terjadi konflik yang dapat mengarah pada potensi perpecahan partai sebagai akibat persaingan antar caleg. Ketidakpuasan diakui terjadi terhadap proses penyusunan daftar caleg, tetapi secara keseluruhan tidak sampai menjadi konflik antar caleg atau pengurus di partai bersangkutan.Dengan terjadinya perubahan atas penentuan calon terpilih, dikhawatirkan adanya konflik antar caleg ketika masing-masing panitia pemilu saling berbeda dalam menentukan keputusan terkait berdasarkan suara terbanyak dengan posisi contreng terhadap partai. Diharapkan dengan keluarnya Perppu No. 1 Tahun 2009, maka kekhawatiran itu dapat dijawab dan mencegah terjadinya kekisruhan dalam penentuan calon terpilih. Setidaknya, di tubuh PDI P dengan hubungan elit partai yang sangat terpola secara hirarkis, maka inisiatif daerah, cabang, dan ranting harus dilakukan penyesuaian dengan keinginan pusat. Dalam wawancara penelitian disebutkan bahwa: DPP yang menentukan keseluruhan proses caleg, DPD (dan didahului oleh DPC) mengusulkan ke pusat, kemudian pusat memutuskan siapa yang dicalonkan. Sehingga, tidak terdapat istilah jalan sendiri-sendiri, mulai proses dari ranting, cabang, anak cabang, kemudian ke DPD, sampai ke DPP. Semuanya harus mempunyai visi dan misi yang sama. Sebelum keputusan MK, yang menentukan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, PDI P sudah mempersiapkan kontrak politik yang harus ditandatangani caleg, termasuk dalam hal pemindahan dapil-nya bagi setiap caleg. Tetapi, semua ini bukan berarti intervensi, karena ada persentase setiap jenjang, kalau DPR memang pusat dominan, tetapi di jenjang DPRD, daerah yang lebih menentukan.60 Ketika terjadi perbedaan pandangan, di PDI P semuanya diusahakan sejauh mungkin proses penyelesaiannya melalui mekanisme yang ada. Kalau kemudian dilahirkan keputusan, maka hal itu harus melalui hasil rapat, dan ditentukan apakah secara prosedural mencapai kuorum atau tidak kuorum. Dalam pembahasan semua percakapan setiap orang direkam, sebelumnya nanti sampai pada tahap pengambilan keputusan. Begitu selesai dibicarakan, maka akan diambil keputusan. Keputusan bersifat final dan mengikat. Artinya, setiap pengurus dan anggota harus taat kepada keputusan itu. Ketaatan atas keputusan partai, juga termasuk dalam hal memecat orang. Tindakan ini

60

Wawancara dengan Efendi Napitupulu (Wakil Sekretaris Bidang Internal DPD PDI Perjuangan), Medan, 10 Maret 2009

49

dipatuhi, karena didasarkan proses pemeriksaan kesalahan yang dilakukan orang bersangkutan dan disertai argumentasinya.61 Sedangkan di tubuh Golkar, dalam proses pengisian daftar caleg, Golkar selalu berusaha menjalankan tahapan yang telah ditetapkan KPU, disetiap tingkatan caleg baik untuk nasional, provinsi, kabupaten/kota, agar tidak satupun tidak terlampaui.Meskipun beberapa pensiunan PNS dibuka kesempatan sebagai caleg Golkar, tetapi diakuinya tetap dilakukan dalam kerangka menjaga netralitas politik birokrasi.62 Dengan ketentuan suara terbanyak pasca keputusan MK terhadap pasal 214 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu, maka kecenderungan persaingan antar caleg baik antar kader maupun di antara kader dengan caleg dari luar partai menjadi semakin tajam. Sehubungan itu, diharapkan agar para caleg tidak sekedar mengandalkan ketergantungan dukungan politik dari pengurus di level atas partai, tetapi yang lebih penting ada bagaimana dirinya mengabdi kepada kepentingan rakyat yang akan dan memilih dirinya nanti saat hari pemungutan suara. Campur tangan elit partai dalam mengelola proses penyusunan caleg dianggap sebagai usaha untuk mempertahankan keutuhan organisasi partai. Hal ini juga berdasarkan pertimbangan peranan secara individual dari elit pengurus partai dalam mencegah persaingan antar caleg justru memunculkan perpecahan atau kondisi yang tidak sehat ditubuh partai. Melalui proses rekrutmen yang dilakukan terbuka dan beranjak secara berjenjang dari ke bawah ke atas, maka penyusunan daftar caleg diusahakan untuk mencegah terjadinya konflik yang tajam. Apalagi, jika potensi konflik yang mengarah pada perpecahan partai, maka bagi partai Golkar diupayakan secara maksimal mungkin untuk dicegah agar tidak terjadi, Dalam kerangka pemilu legislatif, diberikan motivasi bagi setiap caleg yang saling berkompetisi untuk kepentingan bangsa dibandingkan sekedar ambisi pribadi individual, kelompok terbatas, atau bahkan partai semata. Dalam kerangka keterbukaan publik terkait rekrutmen caleg juga dijalankan oleh PPP. Bahkan, hal ini dilakukan melalui pengumuman di media massa lokal dan elektronik, seperti halnya situs DPW PPP Sumut, yang membuka partisipasi secara luas bagi setiap orang atau yang merasa dirinya tokoh setempat untuk mendaftar sebagai caleg PPP. Pembukaan ruang partisipasi publik dalam rangka mengejar target perolehan suara PPP pada Pemilu 2009 sebesar 15 persen dibandingkan saat Pemilu 2004 yang hanya mampu meraih 8,9 persen. Ketua Lajnah Pemenangan Pemilu Legislatif (LP2L) DPW PPP Sumut, H. Rizal Sirait, menyebutkan proses penjaringan bakal caleg di PPP dibuka secara umum dengan beberapa persyaratan sesuai dengan ketentuan partai.63 Berdasarkan lampiran nama dan klasifikasi biodata caleg yang disetujui oleh DPP melalui Surat Keputusan No. 128/ SKC/DPP No. 128/SKC/DPP/VIII/2008, secara keseluruhan terdapat 92 orang caleg PPP untuk DPRD provinsi Sumatera Utara yang semuanya adalah beragama Islam. Di
61 62 63

Ibid. Wawancara Syahdansyah, Loc.cit. PPP Sumut Buka Pendaftaran Bakal Calon Legislatif dalam http;//www.inimedanbung.com, diakses 3 Agustus 2009.

50

antara ke 92 orang tersebut, terdapat 28 orang caleg perempuan PPP yang dicalonkan pada pemilu 2009. Mereka terbagi pada 10 Dapil di Provinsi Sumatera Utara, masing-masing 23 orang caleg (Sumut I: Medan), 11 orang caleg (Sumut II: Deli Serdang), 6 orang caleg (Sumut III: Serdang Bedagai dan Tebing Tinggi), 9 orang caleg (Sumut IV: Asahan, Tanjung Balai dan Batubara), 10 orang caleg (Sumut V: Labuhan Batu), 11 orang caleg (Sumut VI: Tapanuli Selatan, Padangsidempuan, Mandailing Natal, Padang Lawas, dan Padang Lawas Utara), 5 orang caleg (Sumut VII: Nias dan Nias Selatan), Sumut VIII (Tapanuli Tengah, Sibolga, Tapanuli Utara, Toba Samosir, Humbang Hasundutan), 7 orang caleg (Sumut IX: Simalungun dan Pematang Siantara), dan 5 orang caleg untuk Dapil Sumut X (Karo, Dairi, dan Pakpak Barat) .64 Demikian halnya, peranan elit di tingkat pusat juga sangat menentukan dalam proses penyusunan daftar calegnya. Penyusunan DCS dan DCT, pencalonan DPRD provinsi, terdapat kriteria yang ditetapkan dari DPP. Partai Damai Sejahtera (PDS) juga mengacu pada ketentuan vertikal semacam itu dan hal tersebut dituangkan dalam Peraturan internal PDS, bukan dalam bentuk materi muatan yang bernama AD/ART. Garis ketentuan pusat partai itu dijalankan oleh DPW. Demikian seterusnya bertingkat-tingkat operasionalisasinya oleh cabang, kabupaten/kota, dengan tidak lepas kemungkinan adanya petunjuk atau peraturan lanjutan yang dibuat oleh DPP. 65 Tidak ada penggunaan politik uang dalam pencalonan daftar caleg. Sementara dari segi figur ketokohan di PDS, diakui tidak ada terlampau yang menonjol. Mereka yang dicalonkan oleh PDS kebanyakan merupakan pengurus partai atau para kadernya. Tidak ada personal jalur non kader yang dicalonkan sebagai caleg DPRD. Ini dianggap tidak menganggu urusan masing-masing, karena saling terkait pekerjaannya dan waktunya dapat diatur, apalagi DPRD tidak setiap hari pleno. Terkait dengan kuota perempuan, lebih ditempatkan dinomornomor sepatu.66 Adapun ditubuh Partai Demokrat, dijelaskan: campur tangan oligarki, penyusunan bukan dilakukan di DPD, awalnya di DPD penjaringan sesuai juklak, tetapi lalu berkasnya di bawa oleh pengurus keluarga tidak diketahui di hotel atau tempat mana, daftar caleg. Ketidakpuasan, disampaikan protes ke media, bikin demonstrasi. Ada riak-riak kecil, di demokrat, sesudah keluar keputusan MK suara terbanyak, misalnya meminta kembali uang yang diserahkan, persaingan tidak sehat antar caleg dalam satu dapil. 67 Oligarki politik elit partai yang kuat tampaknya dianggap bukan sebagai cermin feodalisme yang dapat menghambat demokrasi internal organisasi partai secara keseluruhan. Hal ini dilakukan tidak saja demi menjaga keutuhan partai, tetapi juga terkait dengan pengembangan pola komunikasi antar pengurus dan anggota partai yang dapat berjalan secara timbal balik. Kedekatan caleg dengan constituent biasanya kalah dominan dibandingkan dengan peranan elit partai terhadap para calegnya, yang nanti juga antara lain termasuk ditempatkan sebagai anggota DPRD provinsi. Rasionalitas
64

Berdasarkan Lampiran Surat Keputusan DPP PPP Nomor: 128/SKC/DPP/VIII/2008 tentang Klasifikasi Biodata Singkat Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara. 65 Wawancara dengan Apul Silalahi, Bendahara DPW PDS Sumut. Medan, 18 April 2009. 66 Ibid. 67 Wawancara dengan Bangun Tampubolon, Wakil Ketua DPD Partai Demokrat, Sumut, Medan, 12 Agustus 2009.

51

pemilih dalam menentukan pilihan politiknya tampak belum menjadi gejala dominan dalam dinamika pemilu di Indonesia. Sehingga, masalah pencitraan dan tampilan figur adalah lebih berperan menentukan dibandingkan dengan platform partai yang akan ditawarkan kepada pemilih. Dari temuan data di lapangan, Panwas mencatat bahwa selama proses penetapan DCS dan DCT, ternyata terdapat beberapa hal yang menjadi catatan: Pertama, adalah status dari caleg bersangkutan, misalnya sebagai PNS atau pegawai BUMN, sekretaris desa/perangkat desa, atau bahkan sebagai kepala desa, dan diketahui sebagai pihak penyelenggara pemilu di tingkat PPS/KPPS. Kedua, adalah persoalan dugaan penggunaan ijazah palsu ketika melampirkan kelengkapan admistrasi saat mendaftar sebagai caleg; Ketiga, tindakan terlampau awal terhadap diri caleg dalam berkampanye yang berada di luar jadwal sebenarnya; Keempat, masalah teknis nama antara yang tercantum dalam daftar caleg dengan nama yang diumumkan oleh KPU setempat. Kelima, masalah caleg ganda antara yang terdaftar di KPU Pusat dan KPUD Sumut dengan nama berbeda atau partai yang saling berbeda satu sama lain untuk pencalonan sebagai anggota DPR dan DPRD provinsi68 Persoalan caleg kebanyakan adalah ijazah. Masyarakat yang melaporkan kasus ini, ternyata tidak mengerti paket C. Panwas sudah berusaha menghubungi perguruan tinggi, atau sekolah tempat kelulusan caleg, bahkan hingga ke daerah lain. Kebanyakan persoalan di lokalisir hingga di tingkat administrasi. Apabila kasusnya sampai tingkat pidana, maka penanganannya di alihkan kepada KPU. Komposisi Panwaslu yang minus Jaksa dan Polisi, justru semakin memperlemah dalam proses penanganan kasus yang dilaporkan. Seharusnya, kalau kelembagaan ad hoc, maka tidak perlu dipersoalkan independensi personal yang menjadi keanggotaan Panwaslu, karena keberadaannya lebih dikaitkan dengan kasus-kasus yang muncul dan harus ditangani. Terkait dengan tindakan aparat dalam mendukung caleg tertentu, diakui pelanggaran pemilu tersebut memang ditemukan atau terjadi di lapangan. Misalnya, suami si caleg adalah pejabat, istrinya menjadi caleg, kemudian si suami memfasilitasi istrinya sebagai caleg. Kembali masalahnya, dugaan pelanggaran yang dilaporkan kepada Panwas, ternyata posisinya tidak terlampau kuat berhadapan dengan para pembela caleg. Istri pejabat, misalnya suaminya Bupati, artinya istri itu juga adalah ketua gerakan Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), maka dirinya dapat saja mengaku melakukan kegiatan kampanye dengan alasan kegiatan PKK. Sehingga jalur PKK yang digunakan. Ini sangat mudah dimanipulasi dan dianggap tidak menyalahi aturan kampanye. Diharapkan semua caleg pada saat didaftar sudah melepaskan atributnya terkait jabatan di birokrasi, apapun bentuk keterkaitan dimaksud. Kalau hal ini tidak dijalankan, maka proses penanganan pelanggaran akan susah ditindaklanjuti dari laporan yang masuk dan selalu berdalih dengan alasan tertentu. Sebagai
68

Data pelanggaran Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota 2009, berdasarkan catatan Panwaslu Provinsi Sumut, periode harian/minggu/bulanan.

52

akibat dari pelanggaran semacam ini, maka sukar ditindaklanjuti sebagai mana kasus yang dihadapi caleg, di Nias dan Labuhan Batu. Kasus pelanggaran caleg terkait kampanye, adalah juga mengenai penggunaan money politics. Tidak semua konflik tajam dipicu pada saat setelah proses daftar caleg diumumkan. Di tubuh PAN wilayah Sumut, misalnya, kondisi yang relatif kondusif dapat cukup terjaga dalam rangka keutuhan organisasinya menghadapi pemilu 2009. Persaudaraan tidak menjadi hal penting, tetapi loyalitas dan rajinnya ke turun ke dapil adalah hal penting. Berbeda suku terjadi di PAN, contohnya terdapat caleg yang bersuku Banjar, tetapi ditaruh nomor urut satu, padahal pada jajaran caleg lain terdapat yang bersuku Mandailing, Padang, Jawa, Batak, dan sebagainya. Ketidakpuasan dalam penyusunan caleg sempat terjadi, misalnya mengapa ketua nomor satu dan dipertanyakan bagaimana sosialisasi ke dapil. Ketidakpuasan menggunakan sentiment komunal relatif tidak ada. Peranan partai melakukan pencalegan dini dan ada Tim ada 14 tim yang dibagi berdasarkan Dapil masing-masing. Campur tangan DPP tidak ada dalam caleg provinsi, Beda wilayah kekuasaanya yang juga DPW Prov tidak mencampuri urusan DPW Kabupaten/Kota.Tokoh masyarakat, atau yang 69 Caleg ini diistilahkan sebagai Tomas, juga dilakukan merekrut masyarakat. diambil dari luar dan ini ditentukan oleh tim pencalegan dini, dan dirapat pleno DPW PAN. Ini tokoh masyarakat banyak yang menjadi caleg jadi PAN, misalnya di Padang Laut Utara, tokohnya masyarakat yang direkrut justru menggeser pengurusnya. Di Sibolga, juga tokohnya yang menjadi caleg terpilih walau nomor satu pengurus setempat, sedangkan sang tokoh nomor empat. 70 Proses dari DCS menuju ke DCT tidak mengalami perubahan signifikan, misalnya pindah dapil, nomor urut. Bukan dilakukan oleh kebijakan partai, tetapi lebih ditentukan caleg bersangkutan.Tidak ada usulan dari pemilih dapil untuk menentukan calegnya kepada DPW, tetapi sebagai aspirasi boleh aja kalau ingin mencalonkan.Pencalegan lebih dianggap sebagai hak pribadi individu, kalau ada yang mencalonkan boleh saja dan di dapil manapun atau tingkatan manapun. Catatan domisili sepanjang undang-undangmemungkinkan, maka dilaksanakan secara longgar. Dinomor urut, partai lebih berperan dalam proses penyusunan caleg. Sesudah keluar keputusan MK, berdasarkan suara terbanyak, maka PAN tidak mempunyai masalah. Seluruh caleg PAN di Indonesia untuk semua tingkatan pemilu, melakukan perjanjian dihadapan notaris ada 2: (1) perjanjian suara terbanyak, (2) pernyataan pengunduran diri, kalau diterapkan keputusan MK dilaksanakan di lapangan bagi caleg yang tergeser di bawahnya kalau suaranya lebih sedikit.71 Fenomena Ini biasa saja mengalami perubahanperubahan, berdasarkan kebijakan partai. Tetapi normalnya demikian. Dalam proses pemilihan dapil caleg, bukan partai yang menentukan, tetapi caleg bersangkutyan yang mau ditempatkan di mana, tetapi ini tergantung skor ranking yang diperoleh nantinya. Sesungguhnya siapa yang memperoleh kontribusi besar bagi PAN, adalah caleg bersangkutan. Kontribusi masalah uang hampir
69 70 71

Wawancara dengan Anang Anaz Ashar Sag, Wakil Ketua DPW PAN Sumut, 13 Agustus 2009. Ibid. Wawancara dengan Parluhutan Siregar, Sekretaris DPW PAN Sumut, Medan, 13 Agustus 2009.

53

tidak ada, paling sebatas pendaftaran Rp 5 juta, termasuk mengurus surat-surat ke polisi, pengadilan, dan seterusnya. Biaya semacam ini inipun diakui banyak yang tidak membayar. Tim pencalegan dini dan evaluasi, dan pengurusaan administrasi untuk menggunakan dana tersebut. Caleg DPRD provinsi berjumlah sekitar 60 an orang, sebagian besar tidak membayar, caleg nomor satu dan dua yang lebih banyak membayar.72 Di tubuh PAN, proses penyusunan caleg berusaha untuk berlangsung secara bottom up. Pengaruh elit untuk mengarahkan secara vertikal diakui sebagai tidak terlampau ada dan benar-benar otonom masing pengurus tingkatan dalam menyusun caleg. Pegangan dalam proses penyusunan caleg adalah berdasarka hasil Rakernas 2007. Caleg yang tersusun benar-benar disusun benar-benar keinginan bersangkutan. Prosesnya berjalan demokrasi dan jauh dari campur tangan elit partai secara vertikal atau bahkan sangat minim.Sehingga proses nya diharapkan benar-benar berjalan otonom masing pengurus tingkatan dalam menyusun caleg. Pegangannya adalah kembali juga kepada hasil Rakernas 2007.73 Caleg yang tersusun benar-benar dianggap berusaha untuk sejalan aspirasi pemilih di satu pihak dan memperhatikan track record calon bersangkutan dipihak lain.. Relatif tidak ada konflik dalam penyusunan caleg, dan kejadian saling geser nomor urut memang terjadi, tetapi skor tetap memegang hasil akhir yang diperoleh caleg bersangkutan. Tetapi, ini masih ada batas toleransinya. Artinya, hanya itu kelebihan pimpinan partai tidak lebih dari kewenangan demikian. Kasus ditemui di Asahan, dan Medan, sempat menjadi perdebatan soal nomor urut, Sesudah diambil keputusan semua menerima, walaupun kedakpuasan.74 Dalam proses penyusunan caleg, DPP mengeluarkan Ketetapan Raker I Partai Amanat Nasional No. 6 Tahun 2006, tentang Rekrutmen dan Evaluasi Calon Legislatif Periode 2009-2014. Dalam melaksanakan proses rekrutmen, monitoring dan evaluasi Bacaleg PAN, DPP membentuk 3 tim yaitu: tim pendaftaran cacaleg; b. tim klarifikasi dan verifikasi data bacaleg; dan c. tim monitoring bacaleg. Sesuai dengan ketetapan Raker PAN itu, maka sumber rekrutmen bacaleg berasal dari: (1) anggota atau pengurus partai yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Anggota (KTA); (2) tokohtokoh masyarakat yang direkrut sejak dini dan mendukung pemenangan pemilu; (3) memperhatikan keberadaan bacaleg perempuan di nomor urut 1 sampai dengan 30 persen dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi daerah.75 KPUD Sumut mengakui sosialisasi daftar calon sementara (DCS) DPRD Sumut untuk Pemilu 2009 yang diumumkan lewat dua media cetak lokal beberapa waktu lalu tidak memiliki hasil yang maksimal. Bahkan penunjukan dua buah media cetak itu juga dinilai tidak sesuai dengan aturan yang ada. Karena ketidakefektifan sosialisasi itu, KPU Pusat pun akhirnya memperpanjang masa sosialisasi DCS hingga 14 Oktober 2008. Tetapi KPUD mengaku tidak mengetahui, apakah sosialisasi DCS itu akan disebarkan ke banyak media atau
72 73

Ibid Ibid. 74 Wawancara dengan Parluhutan Siregar, Sekretaris DPW PAN Sumut, Medan, 13 Agustus 2009 75 Pasal 9 Ketetapan Raker Nasional I Partai Amanat Nasional No. 6 Tahun 2006 tentang Rekrutmen dan Evaluasi Calon Legislatif PAN Periode 2009-2014.

54

kembali hanya dimonopoli oleh media-media tertentu saja. Penguasaan media oleh kalangan elit di pusat dan jaringannya di provinsi Sumut semakin mengkristalkan posisi dominan para elit yang muncul dan pada gilirannya membuat masyarakat pemilih menjadi semakin terbatas pilihan politiknya. Padahal, dengan semakin terbukanya akses media dan sikap kritis masyarakat terhadap pilihan politik yang ditawarkan oleh setiap peserta dalam pemilu, seharusnya menuntut peluang pilihan politik yang diperluas. Hal ini dapat memicu semakin meluasnya sikap apatis masyarakat terhadap politik dan sekaligus membuat semakin tingginya angka golput di Sumut, yang sejak pemilu 2004 cenderung meningkat. Dengan DCS dan DCT yang sangat berorientasi pada kepentingan oligarki elit partai, maka pemahaman pendidikan politik atas salah satu fungsi partai politik justru semakin terpinggirkan. Sebaliknya, dengan mengejar unsur popularitas dari setiap calon yang dimunculkan, maka unsur dedikasi, integritas dan sekaligus kemampuan para calon wakil rakyat di DPRD kalah bersaing untuk menjadi tawaran yang menarik bagi pemilih. Lembaga politik yang adaptif terhadap perkembangan lingkungan sekitar dibutuhkan dalam rangka menghindarkan terjadinya guncangan sistem politik. Kerangka stabilitas demikian sekaligus menghindarkan penggunaan pendekatan yang sangat menekankan pada unsur represif terhadap aspirasi yang muncul dan kemungkinan manipulasi atas persaingan ketat di antara para stake holder dalam proses pengambilan kebijakan publik. Sumber daya partai politik adalah faktor penting dalam rangka memadukan di antara tuntutan masing-masing pendekatan yang harus dilakukan kelembagaan sistem politik. Ini ditandai dengan kemampuan dari setiap calon pemimpin yang dikader oleh partai bersangkutan untuk menjalankan mandat yang sudah dipilih oleh rakyat saat pemilu. Pada konteks menjelang pemilu 2009, tampaknya para caleg masih menggunakan cara coba-coba untuk mengadu nasib dengan menempatkan namanya dalam daftar yang disampaikan oleh partai politik kepada KPU daerah setempat. Akibatnya, persaingan antar calon lebih bersifat lintas organisasi secara vertikal dengan menempatkan akses kepada penguasa partai di puncak lebih sebagai prioritas dibandingkan dengan berusaha memperkuat akar di daerah pemilihan. Padahal, usaha memperkuat pijakan di akar daerah pemilihan justru sangat penting menghadapi ketentuan peraturan perundangan-undangan pemilu yang menekankan perolehan suara terbanyak dibandingkan nomor urut. Pertimbangan prioritas untuk mencoba mendekatkan pola pencalonan secara vertikal yang sangat elitis pada gilirannya hanya memancing hambatan bagi kelembagaan partai agar berkembang secara sehat. Artinya, pola pencalonan semacam itu mendorong penyumbatan ruang bagi aliran proses kaderisasi yang berlangsung secara matang dan bahkan mendorong kondisi rendahnya disiplin atau militansi para anggota partai untuk memiliki kemampuan secara memadai terhadap langkah menerjemahkan lebih lanjut di tingkat formulasi dan pelaksanaan setiap kebijakan atau ketentuan yang digariskan oleh partai. Menjadi menarik, bahwa prioritas pendekatan kepada elit partai justru membuka peluang terkait kemungkinan pelanggaran persyaratan sebagai

55

peserta pemilu. Hal ini disebabkan oleh tingginya iklim persekongkolan di antara faksi-faksi yang ada d internal partai bersangkuan dalam rangka memenangkan persangan pemilu, tidak saja terhadap calon dari partai lain, tetapi juga terhadap calon dari sesama partainya sendiri. Politisasi ikatan-ikatan pertemanan atau melalui jaringan kekerabatan, dianggap kurang kondusif bagi lahirnya para kader yang memiliki komitmen. integritas dan kemampuan memperjuangkan aspirasi rakyat yang akan diwakilinya pada saat nantinya kalau memang terpilih. Dengan rendahnya kapasitas kelembagaan partai dan terlampau besarnya peluang subyektivitas elit partai bermain dalam daftar calon, maka segala proses politik yang berkembang dari seleksi politik para caleg menjadi sangat tergantung pada kemampuan individu masing-masing anggota DPRD tersebut ketika nantinya terpilih dari hasil pemilu. Di satu sisi, ini tentu mendorong hubungan DPRD dan eksekutif daerah tidak terdorong terjebak pada kondisi yang bersifat friksi tajam terkait pembahasan isu-isu daerah tertentu. Tetapi di sisi lain, stabilitas pemerintahan daerah yang dijalankan menjadi lemah kontribusinya bagi mendorong demokratisasi secara lebih luas di daerah. Crusial point dari relasi antar variabel semacam ini, adalah kemungkinan manipulasi atas kepentingan publik di tingkat lokal menjadi terbuka terhadap permainan elit politik. Otonomi daerah masih menghadapi tantangan besar dalam memberikan dampak positifnya terhadap dambaan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah. Bahkan, sebaliknya, peluang permainan elit justru dapat membuat sumber daya negara untuk pembiayaan otonomi daerah, justru mudah dimanfaatkan bagi proses politik dikalangan elit partai terhadap segala biaya tinggi yang sudah dikeluarkannya saat persaingan di penyelenggaraan pemilu. IV. Penutup Peranan elit partai, dalam hal ini mereka yang duduk dalam struktur kepengurusan organisasi partai bersangkutan, sangat besar terhadap proses penyusunan daftar calon legislatif, baik di tingkat DCS dan DCT. Meskipun terdapat panduan berupa AD/ART dan Juklak/Juknis partai, tetapi berbagai dinamika politik dapat terjadi dalam tataran operasional proses penyusunan dimaksud. Sehingga, pergeseran nama dan lokasi dapil bagi setiap caleg sangat mudah terjadi terkait dengan berbagai kepentingan atau aspirasi yang harus dipenuhi oleh partai. Strategi partai dalam memenangkan pemilu dan koneksi politik yang terbangun di antara caleg dan elit partai, biasanya melandasi berbagai dinamika politik terhadap penyusunan daftar calon legislatif. Di tingkat daerah, seperti halnya terkait proses penyusunan daftar caleg DPRD Provinsi, partai politik biasanya tetap mengacu pada arahan yang dibuat oleh dewan pengurus pusat. Ruang penentuan keputusan tetap diberikan pada pengurus wilayah sepanjang tetap dalam ketentuan yang digariskan oleh pusat. Proses desentralisasi kepartaian mulai berjalan pada beberapa partai tertentu, sementara masih ada pula yang masih kuat dengan kesan sentralisasinya. Keseluruhan proses politik pengendalian kepartaian yang dijalankan bertujuan untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan yang dapat mengarah kepada

56

perpecahan. Tetapi, dengan fundamental kelembagaan partai yang masih belum kukuh, maka masih ditemui adanya cara-cara ekstra konstitusional kepartaian berdasarkan selera pribadi elit semata dan mengabaikan nilai-nilai esensial demokrasi terkait proses penyusunan daftar caleg. Dengan konstruksi kelembagaan demikian di tengah cara-cara ekstra legal yang berkembang, maka arti aspirasi proses penyusunan secara bootom up menjadi tidak artinya dan bahkan menciptakan keresahan. Meskipun keresahan belum memicu perpecahan internal partai yang lebih parah, tetapi kehidupan partai bagi para kader dan pendukungnya dapat menjadi tidak sehat. Kasus-kasus pelanggaran administrasi dan/ atau hukum yang ditemui saat penyusunan caleg, justru masih ditemui dan temuan Panwas masih lemah untuk ditindaklanjuti. Kelemahan penegakan etika dan hukum demikian semakin kuat, ketika para caleg yang diduga melanggar memiliki ikatan kekerabatan dengan elit politik partai yang memegang posisi kunci kekuasaan. Dengan segala kekurangannya, partai politik mulai menetapkan kriteria dalam persyaratan kader dan simpatisan yang ingin bergabung sebagai calegnya terkait dengan ketentuan loyalitas dan pengalaman berorganisasi dimilikinya. Tetapi, biasanya ini masih sebatas pada kriteria awal, yang mudah berubah ketika memasuk tahap-tahap menentukan dalam proses penyusunan DCS hingga apalagi saat DCT. Diakui masih adanya peluang terjadi politik uang dan pola kerabatan serta pertemanan masih mengalahkan ketentuan nilai-nilai ideologis partai dan profesionalisme kerja yang seharusnya diterapkan. Di samping itu, juga dapat dilakukan rekrutmen caleg terhadap anggota ormas onderbouw partai bersangkutan. Mereka menyebut jalur tersebut bukan bersifat resmi kelembagaan, karena tidak terdapat kewajiban partai untuk mengakomodasi calon dari ormas dimaksud. Bahkan, di luar politik uang, kader dari ormas semacam ini, dapat menjadi prioritas nomor urut kecil dibandingkan tokoh dari luar yang ikut mencalonkan diri. Sebaliknya, penggunaan isu dalam mendukung keberadaan caleg yang ditawarkan oleh partai politik tampaknya belum mempunyai kekuatan yang menentukan dalam pilihan politik partai. Fundamental platform partai yang tidak terlampau mapan keberadaannya, terlihat masih menjadi kendala dalam pengembangan politik isu terkait aspirasi pemilih untuk menjangkau berbagai potensi lapisan pendukung saat pemilu nantinya. Satu hal yang dapat dicatat dari pola emosional minus yang masih eksis tadi, adalah kesadaran terkait dengan integrasi bangsa mulai tumbuh kuat. Tidak terkait persoalan, apakah partai itu bersifat terbuka atau tertutup, maka pilihan dapil dan bakal calon yang akan ditempatkan mulai bersifat terbuka dan tidak menutup diri bagi lahirnya kalangan etnis lain untuk turut di dalamnya. Artinya, partai dengan simbol ideologis tertentu tidak terjebak pada komunitas yang bersifat eksklusif secara fisik. Sehingga, pembedaan antara partai nasionalis sekuler dan nasionalis agama, tampaknya semakin cair sifatnya dan dapat terjadi interaksi muatan nilai-nilai antar satu sama lain anggota dan pendukungnya. Dengan rekrutmen keterbukaan yang dibangun, menyebabkan persaingan antar caleg berkembang menjadi tajam, dan berpotensi terjadi konflik. Persaingan tidak saja antar caleg yang berasal dari kader partai bersangkutan, tetapi diwarnai

57

oleh para tokoh setempat yang ikut mencoba mencalonkan atau dicalonkan oleh partai. Pada konteks tertentu, dapat saja diterapkan semacam kode etik, sebagaimana yang dilakukan oleh Partai Golkar terhadap para celegnya di DPRD Propinsi Sumut. Pada beberapa partai tertentu, mencoba menerapkan evaluasi terhadap beberapa kader yang duduk sebagai anggota DPRD untuk mencalonkan diri di periode keanggotaan berikut. Dibangun sebuah institusi yang melakukan evaluasi dan memberikan masukan kepada DPD untuk mengambil keputusan terhadap proses pencalonan caleg bersangkutan. Evaluasi terutama mengenai kinerja bagi caleg ketika menjalankan perannya sebagai anggota DPRD dan tanggapan dari masyarakat pemilih di daerah pemilihan selama dirinya bertugas. Bahkan, pada kasus lain dalam rangka mendorong proses regenerasi dan sekaligus penyegaran, partai dapat saja menerapkan ketentuan bahwa seorang caleg, termasuk sebagai anggota DPRD, hanya diperkenankan menjabat selama dua periode keanggotaan dan tidak boleh lebih dari itu. Tanpa kelembagaan partai yang mentati aturan main yang sudah dibuatnya, tingginya campur tangan elit dapat tergelincir pada tindakan yang memunculkan persaingan tidak sehat antar calon. Apalagi, setelah MK memutuskan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak dan bukan lagi pada nomor urut, maka potensi peranan elit partai yang terlampau berlebihan akan berdampak kurang produktifnya partai dalam aktif dan memformulasikan isu-isu publiknya di saat kampanye. Secara umum, ketika terjadi konflik terkait proses penyusunan daftar caleg di kalangan partai-partai, tidak terlampau mempengaruhi kehidupan politik di tingkat lokal setempat. Pengaduan resmi melalui surat yang disampaikan, atau bahkan selebaran bernada menghasus dan desas desus, hanya sebatas terjadi di antara anggota partai yang saling bersaing sebagai caleg beserta pendukungnya masing-masing. Kemampuan pengurus partai dalam mengelola perbedaan kepentingan dan pendapat yang terjadi dalam masalah tersebut, akan menentukan nasib partai itu sendiri agar tidak terjebak pada konflik internal yang lebih parah. Di samping kemampuan para pengurusnya, kelembagaan partai yang taat pada aturan main sebagai mekanisme dan substansi pergerakan politiknya, juga sangat penting dalam rangka menegakkan sistem kepartaian yang bersifat kompetitif. Partai tidak terjebak pada pola kartel yang diwarnai oleh transaksi tertentu berjangka pendek antar diri dengan para calegnya yang justru akan mematikan prospek partai itu sendiri dijangka panjang. Bahkan, yang harus dicatat adalah sistem kepartaian yang kompetitif sangat bermakna penting bagi kehidupan demokrasi. Beberapa partai mulai melakukan penjaringan secara terbuka dalam rangka memperoleh nama-nama calonnya. Pada tahap demikian, biasanya tokoh masyarakat setempat yang berada di luar keanggotaan dapat diajak atau ikut bergabung atas inisiatif dirinya sendiri. Dengan pola semacam ini, terjadi kombinasi antara kader anggota yang meniti karier dalam jangka waktu tergolong lama dengan tokoh populer dikalangan masyarakat. Pola semacam ini dapat saja diwarnai oleh kombinasi tertentu, seperti halnya ketentuan yang menempatkan skala prioritas bagi kader pemegang jabatan kepengurusan partai atau

58

berdasarkan senioritas untuk memperoleh nomor urut kecil atau atas. Prioritas untuk penempatan urutan juga kadangkala dibarengi oleh penempatan dapildapil mana saja yang akan ditempati oleh para caleg yang memegang posisi strategis di partai.

Daftar Pustaka Buku Ambardi, Kuskrido, Mengungkap Politik Kartel: Studi tentang Studi tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi, Kepustakaan Populer Gramedia dan Lembaga Survei Indonesia, Jakarta, 2009. Cheibub, Jose Antonio, Presidentialism, Parliamentarism, and Democracy, London, Cambridge University Press, 2007. Chilcote, Ronald H, Theories of Comparative Poltics: The Search for Paradigm, Westview Press, Boulder, Colorado, 1981 Diamond, Larry, Developing Democracy Toward Consolidation, IRE Press, Yogyakarta, 1999 Hamidi, Metode Penelitian Kualititatif: Pendekatan Praktis Penulisan Proposal dan Laporan Penelitian,, Penerbit Universitas Muhammadiyah Malang, Malang, cetakan ketiga, 2008 Heri, Zulfan, Legislator Menuai Kritik, ISDP (Indonesian Society for Democracy and Peace), Pekanbaru, Riau, 2005. Katz, Richard S., dan William Crotty, Handbook of Party Politics, Sage Publication, London, 2006 Mandan, Arief Mudatsir, Krisis Ideologi: Catatan Tentang Ideologi Politik Kaum Santri, Studi Kasus Penerapan Ideologi Islam PPP, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2009 Manalu, Dimpos, Gerakan Sosial dan Perubahan Kebijakan Publik: Studi Kasus Gerakan Perlawanan Masyarakat Batak VS. PT Inti Indorayon Utama di Sumatera Utara, Yogyakarta, Gajahmada Univ. Press kerjasama dengan kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPM), 2009 Ratnawati, Tri, Pemekaran Daerah: Politik Lokal & Beberapa Isu Terseleksi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009 Ware, Alan, Political Parties And Party System, Oxford University Press, OxfordNew York, 1996 Dokumen Pelanggaran Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota 2009, Catatan Panwaslu Provinsi Sumut, periode harian/minggu/bulanan. Ketetapan Raker Nasional I Partai Amanat Nasional No. 6 Tahun 2006 tentang Lampiran Surat Keputusan DPP PPP Nomor: 128/SKC/DPP/VIII/2008 tentang Ketetapan Rapat Kerja Nasional Tahun 2007 Partai Amanat Nasional No. 4 Tahun 2007 tentang Pencalegan Dini DPR RI. Klasifikasi Biodata Singkat Calon Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara.

59

Rekrutmen dan Evaluasi Calon Legislatif PAN Periode 2009-2014. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Surat Keputusan DPP PAN ini berlandaskan pada Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, Undang-Undang No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Peraturan/Ketetapan KPU, AD/ART PAN, Platform PAN, hasil Kongres II PAN di Semarang tahun 2005, hasil Rakernas PAN tahun 2006 di Jakarta, dan hasil Rakernas PAN tahun 2007 di Palembang. Sekretariat DPD Partai Demokrat Provinsi Sumatera Utara, Calon Anggota Legislatif Terpilih DPRD Provinsi Sumut Partai Demokrat: Perbandingan Pemilu 2009 dan Pemilu 2004 Dengan Karakteristik Sosial Politiknya, Medan, 2009 Surat Keputusan DPP PPP No. 1003/Kpts/DPP/VI/2008, tentang Petunjuk Pelaksanaan Tata Cara dan Mekanisme Pencalonan Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota Pada Pemilu 2009. Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Wawancara Wawancara dengan Anang Anaz Ashar Sag, Wakil Ketua DPW PAN Sumut, 13 Agustus 2009. Wawancara dengan Apul Silalahi, Bendahara DPW PDS Sumut. Medan, 18 April 2009. Wawancara dengan Awilham, fungsionaris DPW Provinsi Sumut PKS, Medan, 17 April 2009. Wawancara dengan Bangun Tampubolon, Wakil Ketua DPD Partai Demokrat, Sumut, Medan, 12 Agustus 2009. Wawancara Dosen FISIP Universitas Sumatera Utara (USU), Medan, 17 Maret 2009. Wawancara dengan Efendi Napitupulu (Wakil Sekretaris Bidang Internal DPD PDI Perjuangan), Medan, 10 Maret 2009 Wawancara dengan Mohammad Amien, Ketua Panwaslu Kota Medan, 19 April 2009 Wawancara dengan Parluhutan Siregar, Sekretaris DPW PAN Sumut, Medan, 13 Agustus 2009 Wawancara dengan Syahdansah Putra, Ketua Bappilu Partai Golkar, DPD Provinsi Sumut Partai Golkar, Medan 17 April 2009. Wawancara Djafaruddin Harahap (Wakil Sekretaris DPW PPP Sumut, sekeretaris LP2L), Medan, 11 Agustus 2009. Wawancara dengan Kabag Hupmas KPU Prov. Sumut., Sangkot Hasibuan, Medan 17 April 2009.

Situs Internet http;//www.inimedanbung.com, diakses 3 Agustus 2009.

60

http://www.waspada.co.id, diakses 28 April 2009. http://manduamastapanulibarat.wordpress.com/2009/02/19/, diakses 24 April 2009. http/www. Medan Bisnis, diakses 24 April 2009. dpr.go.id/assets/images/pic/ruu Sedang Dibahas, diakses 16 Juli 2009 http:// forum detik.com , diakses 5 Juni 2009. Surat Kabar KeIndonesiaan-Sumatera Utara (2): Perbesar Pemekaran, Bukan Perbesar Anggaran, Kompas, 1 Juli 2009. Jaring Pengaman Demokrasi, Kompas, 4 Juli 2009.

61

You might also like