You are on page 1of 65

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat, rahmat dan hidayah-Nya, penulisan tugas makalah ini telah dapat diselesaikan. Selanjutnya shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada para sahabat dan rekan-rekan yang telah memberikan dorongan moril dan materil sehingga tugas ini dapat selesai pada waktunya.

Batam, 14 Desember 2012 Wassalam,

Penulis

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ...................................................................................................... 1 Daftar Isi ............................................................................................................... 2 ISI BAB I Sindrom Steven Johnson............................................................................ 3

BAB II Toxic Epidermal Necrolysis..................................................................... 14

BAB III Pemphigus Vulgaris................................................................................ 33

BAB IV Eritroderma........................................................................................... 44

BAB I Sindrom Steven-Johnson

Pendahuluan Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu reaksi mukokutaneus yang bersifat mengancam jiwa. Insidensi sindrom ini diperkirakan berkisar antara 1-6 kasus/juta populasi per tahun. SSJ dapat menyerang segala usia dengan risiko meningkat pada usia di atas dekade ke 4 serta pada keadaan immunodefisiensi dan penderita kanker. Bentuk yang berat dapat menyebabkan kematian, dengan angka mortalitas berkisar 5-12%. Oleh karena itu, perlu penatalaksanaan yang tepat dan cepat sehingga jiwa pasien dapat ditolong.1

Definisi Sindrom Steven Johnson merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula dan dapat disertai purpura.1 Definisi lain menyatakan bahwa SSJ termasuk penyakit kulit dan mukosa yang akut dan berat yang diakibatkan oleh reaksi intoleran terhadap obat dan beberapa infeksi.3,4

Sinonim Sindroma de Friessinger-Rendu Eritema eksudativum multiform mayor Eritema poliform bulosa Sindroma-muko-kutaneo-okular Dermatostomatitis

Etiologi Sekitar 50% disebabkan oleh alergi obat. Obat yang tersering ialah analgetik/antipiretik (45%), disusul carbamazepin (20%) dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain ialah amoksisilin, kotrimoksazol, dilantin, klorokuin, seftriakson dan adiktif.2 Dalam referensi lain menyebutkan bahwa obat-obatan peringkat tertinggi yang menimbulkan SSJ adalah obat golongan sulfonamide, antikonvulsan aromatic, NSAID: derivate oxicam & diclofenac, lamotrigine & nevirapine. Obat-obatan peringkat rendah: antibiotic golongan aminopenicillin, quinolon, sefalosporin dan tetrasiklin.1 Penyebab lain di antaranya ialah infeksi (virus Herpes simpleks, Mycoplasma pneumonia), makanan (coklat) dan vaksinasi.1,5 Faktor fisik (suhu dingin, sinar matahari, sinar X) rupanya berperan sebagai faktor pencetus.5 Referensi lain menunjukkan bahwa obat carbamazepin merupakan penyebab SSJ terbanyak.6,7 Penggunaan carbamazepin saat ini banyak digunakan sebagai obat pengontrol rasa sakit (post-herpetic neuralgia, cervicobrachial neuralgia, dan

nyeri pada ekstrimitas tanpa diagnosis yang belum pasti) pada beberapa negara sehingga penggunaan yang luas meningkatkan angka kejadian SSJ.7

Patofisiologi Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.5 Sasaran utama ialah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktivitas sel T, termasuk CD4 dan CD8. IL-5 meningkat juga sitokinsitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di dermis sedangkan CD8 pada epidermis. Keratinosit epidermal mengekspresikan ICAM-1 (Intercelluler Adhesion Molecule), ICAM-2, dan MHC (Mayor Histocompability Complex) II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF- di epidermis meningkat.2

Gejala Klinis 1. Sindroma prodromal non spesifik yang berlangsung 1-14 hari berupa meningkatnya suhu tubuh, sakit kepala, batuk, sakit tenggorokan, nyeri dada dan mialgia.4 2. Kelainan kulit yang terdiri dari makula eritematus yang menyerupai morbiliform rash, timbul pada muka, leher, dagu, tubuh dan ekstrimitas serta dijumpai vesikel dan bula.4 Vesikel dan bula kemudian memecah

sehingga terjadi erosi yang luas.2 Lesi target dan bula dengan Nikolsky sign positif sering didapatkan.4 Dikatakan sebagai SSJ bila erosi mukosa dan lepasnya epidermis kurang dari 10% dari luas permukaan tubuh.5 3. Kelainan membran mukosa, di mana pada bibir dan mukosa mulut akan terasa nyeri, disertai mukosa yang eritematus, sembab dan bula yang kemudian akan pecah dan menimbulkan erosi yang tertutup

pseudomembrane (necrotic epithelium dan fibrin). Bibir diliputi krusta hemoragik yang berwarna hitam dan tebal.2,4 Kelainan ini dapat meluas hingga ke faring, laring dan esophagus yang menimbulkan kesukaran makan, bernafas dan hipersalivasi.2,4 Kelainan pada kelamin juga sering didapatkan yaitu berupa bula yang hemoragik dan erosi.4 4. Kelainan pada mata yang tersering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu dapat berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis dan iridosiklitis.2

Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium : hasilnya tidak khas, jika leukositosis penyebabnya mungkin infeksi bakterial. Kalau terdapat eosinofilia, kemungkinan oleh karena alergi.2 2. Histopatologi : gambaran eritemanya bervariasi dari perubahan dermal yang ringan hingga nekrolisis epidermal yang menyeluruh. Kelainannya berupa: a. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superfisial

b. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar. c. Degenerasi hidropik lamina basalis sampai terbentuk vesikel subepidermal. d. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa. e. Spongiosis dan edema intrasel di epidermis.2

Diagnosis Diagnosis SSJ 90% ditegakkan berdasarkan : 1. Anamnesis yang cermat untuk mengetahui penyebab SSJ terutama obat yang diduga sebagai penyebab. 2. Pemeriksaan klinis berupa pemeriksaan gejala prodromal, kelainan kulit, mukosa mulut serta mata. 3. Pemeriksaan adanya infeksi yang mungkin sebagai penyebab SSJ.4,5

Diagnosis Banding 4,5 1. Generalized bullous fixed drug eruption Generalized bullous fixed drug eruption (FDE) merupakan bentuk luas FDE yang dicirikan sebagai makula hiperpigmentasi yang banyak, besar, sirkuler dan nyeri dengan bulla kendor. Distribusi lesi sering simetris dengan tempat predileksinya di ekstrimitas, genital dan daerah intertrigious. Lesi terjadi cukup dini (10 jam setelah pemberian obat) dan muncul biasanya pada tempat yang sama seperti lesi di episode sebelumnya. Kelainan di mukosa biasanya jarang terkena dan gejala

konstitusional biasanya ringan. Pemulihan cepat dan sempurna sering terjadi tanpa gejala sisa. Pemberian obat yang bisa menimbulkan keadaan ini adalah obat Ab golongan sulfonamides, barbiturates, quinine dan butazon13 Pada hasil pemeriksaan histologis, SSJ dan TEN memperlihatkan gambaran lymphohistiocytic cenderung berada sekitar pleksus

superfisialis. Sedangkan FDE, infiltrat peradangan (neutrofil dan eosinofil) berada di pleksus superfisialis dan profunda.13

2.

TEN (Toxic Epidermal Necrolysis) Gejala SSJ hampir mirip sekali dengan TEN (Toksik Epidermal Nekrolisis) namun pada TEN gejalanya lebih berat ditandai dengan kesadaran menurun (soporo-komatosa), terjadi epidermolisis dan dijumpai tanda Nikolsky sign positif.2 Pada TEN jumlah lesi target yang disertai bula, dan lepasnya epidermis > 30% dari luas permukaan tubuh (LPT) sedangkan pada SSJ <10 % dari LPT.5

3.

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS) Disebabkan oleh infeksi bakteri dan lebih sering menyerang anakanak dan bayi. Gambaran ruamnya berupa vesikel dan bula dengan ukuran bervariasi dari numular sampai plakat. Epidermolisis (+) tetapi jarang mengenai selaput lendir. Dalam penatalaksanaannya diberi terapi antibiotik dan kortikosteroid merupakan kontraindikasi.9

4.

Potential irritant exposure to the skin

Penatalaksanaan Umum:2,3,8 a. Mengidentifikasi dan menghilangkan faktor penyebab b. Menjaga kebersihan dan makan makanan yang bergizi c. Diet tinggi kalori, tinggi protein dan rendah garam

Khusus: 1. Sistemik Koreksi balans cairan/elektrolit dan nutrisi dengan cara pemberian infus dekstrose 5% : Ringer laktat : NaCl 0,9 % = 1 : 1 : 12 Pemberian glukokortikoid secara injeksi (dexametasone) dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari2 atau 0,15-0,2 mg/kgbb/hari4. Dosis diturunkan tiap 5 mg jika masa krisis telah teratasi, lesi lama tampak mengalami involusi dan lesi baru tidak timbul lagi (2-3 hari). Setelah mencapai dosis 5 mg per hari, diganti dengan obat tablet kortikosteroid misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg lalu obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobatan kira-kira 10 hari.2 Pemberian antibiotik untuk infeksi dengan catatan menghindari pemberian obat sulfonamide, penisilin, sefalosporin. Dapat digunakan injeksi gentamycin 80 mg iv sehari 2-3 kali (1-1,5 mg/kgbb/kali).4

Perawatan dan pengobatan kelainan mata dapat berupa tetes mata yang mengandung steroid dan antibiotik, atau lubrikan.4,8 2. Topikal2,8 Kompres NaCl 0,9% atau beri emolien misalnya krim urea 10% pada daerah bibir/terdapat krusta Gentamycin cream 2 kali sehari untuk daerah yang erosi Taburi bedak salicyl 3% Lesi di mulut : kenalog in orabase atau betadine gargle

Prognosis Prognosis cukup memuaskan jika dilakukan tindakan penanganan yang tepat dan cepat.9 Jika terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk.2 Penyulit berupa bronkopneumonia, dapat mendatangkan kematian. Angka kematian 5-15%.9

10

DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff, Klaus, et al. 2008. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th Edition. Page: 349-354. McGraw Hill: USA.

2. Djuanda, Adi, Mochtar Hamzah, Siti Aisah. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 dengan Perbaikan. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

3. Murniastutik, Dwi, et al. 2009. Atlas of Skin and Venereal Diseases. Airlangga University Press: Surabaya.

4. Suyoso S. et al., 2005. Steven Johnson-Syndrome dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin Edisi 3. Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo: Surabaya.

5. Harsono Ariyanto. 2006. Sindroma Steven-Johnson Syndrome: Diagnosis dan Penatalaksanaan dalam Continuing Education XXXVI. Hotel JW Marriot: Surabaya. Available Diakses at: pada

www.pediatrik.com/pkb/061022023053-dkjm139.pdf. tanggal 20 Juli 2010.

11

6. Setiabudiawan, Budi, et al. 2008. Karbamazepin Sebagai Penyebab Tersering Sindrome Steven Johnson. Available at: http://www.mkbonline.org/index.php?option=com_content&view=article&id=60:karbama zepin-sebagai-penyebab-tersering-sindrome-stevensjohnsons&catid=1:kumpulan-artikel&Itemid=55. Diakses tanggal 24 Juli 2010.

7. K. Devi, et al. 2005 Carbamazepine - The Commonest Cause of Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome: A study of 7 Years. Indian Journal of Dermatology, Venerology and Leprosy vol. 71 p: 325-328.

8. Deyakapato.

2008.

Sindroma

Steven

Johnson.

Available

at

http://deyakapato.blogspot.com/2008/10/sindrom-stevens-johnson.html. Diakses tanggal 24 Juli 2010.

9. Siregar, R.S. 2002. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 2. Penerbit EGC: Jakarta.

10. P Brent Ferrell, Jr dan Howard L McLeod. 2008. Carbamazepine, HLAB*1502 and Risk of StevensJohnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: US FDA Recommendations. Pharmacogenomics 9 (10) : 15431546.

12

11. Baratawidjaja, Karnen Garna. 2006. Imunologi Dasar Edisi 7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

12. Norma. 2008. Steven Johnson Syndrome (SJS). Available at : http://norma1087.wordpress.com/2008/10/21/steven-johnson-syndromesjs/. Diakses tanggal 24 Juli 2010.

13. Rai R, Jain R, Kaur I, Kumar B. 2002. Multifocal Bullous Fxed Drug Eruption Mimicking Stevens-Johnson Syndrome. Indian J Dermatol Venereol Leprol [serial online] (68) page :175-6. Available at: http://www.ijdvl.com/text.asp?2002/68/3/175/12561. Diakses tanggal 30 Juli 2010.

13

BAB II Toxic Epidermal Necrolysis

Pendahuluan Stevens Johnson Syndrom dan Toxic Epidermal Necrolysis termasuk dalam golongan penyakit penyakit alergi. Selain Stevens Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis berikut beberapa penyakit yang didasari oleh reaksi hipersensitivitas baik terhadap obat atau antigen yang masuk kedalam tubuh : Eritema multiforme, dermatitis medikamentosa,allergic drug eruption, fixed drug eruption Pada penyelidikan ditemukan obat yang dapat menyebabkan stevens Johnson syndrome yang tersering adalah golongan analgetik/antipiretik (45%), disusul karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%)1. Insiden terjadinya SJS dan TEN di perancis sekitar 1,2 % kasus per 1 juta orang per tahun pada tahun 1981 - 1985. Studi lain di Washington pada tahun 1972 1986 menunjukan presentase 1,8% per 1 juta orang pada pasien berumur 20 sampai 64 tahun2. Walaupun insiden Stevens Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis ini jarang ditemui, tetapi penatalaksanaan yang cepat dan tepat harus dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang dapat menjadi masalah baik untuk dokter maupun pasien.

14

Pada refrat ini terutama akan dibahas mengenai lebih mendalam tentang Stevens Johnson Syndrome dan Toxic epidermal Necrolysis mulai dari definisi, etilogi, gejala klinis, diagnosa banding, komplikasi serta penatalaksanaannya

Definisi Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) adalah suatu reaksi hipersensitivitas tipe II atau sitotoksik terhadap antigen dari luar3. TEN merupakan penyakit yang lebih berat gejala klinisnya dibandingkan dengan Stevens-Johnson Syndrom, ataupun dapat merupakan perkembangan dari Stevens-Johnson Syndrom. Dulu penyakit ini disamakan dengan Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS)3 tetapi sekarang dipisahkan karena etiology dan pengobatannya pun berbeda.

Klasifikasi Stevens - Johnson Syndrom harus dibedakan dari TEN. Dimana TEN lesi berupa erosi yang menyerupai lembaran kulit dan melibatkan lebih dari 30% permukaan tubuh. Lesi pada TEN ini dapat berupa penyebaran makula dan purpura ataupun berbentuk target lesion, disertai konjungtivitis yang berat berupa terlibatnya selaput mukosa dari kornea. Selain itu selaput mukosa dari buccal, labial dan genital dapat juga terlibat.

15

Tabel dibawah ini untuk menentukan derajat dari TEN dan SJS7 Klasifikasi SJS dan TEN Grade 1 Grade 2 Grade 3 (TEN) Epidermolisis diatas 30% (SJS & TEN) Erosi Mukosa dan Epidermolisis kurang dari 10% (SJS & TEN ) Epidermolisis antara 10 % - 30 %

Etiology Etiologi dari TEN ini sama dengan pada Stevens-Johnson syndrom. Yang disebabkan reaksi hipersensitivitas terhadap beberapa obat. TEN dan beberapa penyakit kulit akibat alergi obat mungkin mempunyai hubungan dengan defek detoksifikasi metabolisme obat2. Pada TEN beberapa obat yang mengikat protein diepidermis dapat memicu respon imun yang menjurus ke imunoalergic cutaneus adverse drug reaction.

Berikut daftar obat obat yang dapat menyebabkan TEN2 Antibiotik Sulfonamid Co-trimoxazole* Sulfadoxine Sulfadiazine Antikonvulsan Barbiturat Phenobarbital* Carbamazepine* Lamotrigine*

16

Sulfasalazin Penicilin Amoxilin Ampicilin Cephalosporin Etambutol Isoniazid Streptomicin Tetrasiklin Thiacetazone* NSAID Fenilbutazone Oxyphenilbutazon Oxicam derivat Meloxicam* Piroxicam* Tenoxicam* Isoxicam Diclofenac Fenbufen Salicylates Naproxen Derivat Pirazolon

Phenytoin* Valproic acid

Antifungal Terbinafine Griseofulvin

Antiretroviral Abacavir Nevirapine* Gastrointestinal drug Omeprazole Ranitidine

Obat lain-lain Alopurinol* Clorpromazine* Dapsone Gold Nitrofurantoin Pentamidine Tolbutamide Vaksinasi

17

*Resiko tinggi

Gejala Klinis Secara klinis, pasien biasanya terlihat sakit berat dan disertai penurunan kesadaran, kelaian kulit dapat berupa eritema generalisata yang kemudian berkembang menjadi vesikula dan bula2. TEN juga disertai gejala prodromal seperti lesu, demam, rhinitis dan konjungtivitis. Dalam beberapa kasus didahului oleh kesulitan untuk miksi selama 2 3 hari. seperti pada SJS dapat berlangsung dari 1 hari sampai 3 minggu sebelum tanda tanda perubahan pada kulit terjadi2. Gejala akut dari TEN dapat berupa demam yang persisten, disertai pengelupasan membran mukosa dan epidermis yang berat sehingga meninggalkan lesi kulit berupa erosi yang luas dan menyakitkan. Kelainan kulit seperti ini biasanya bertahan 8 12 hari, dan pada saat saat seperti inilah dapat terbentuk lesi makulopapular seperti pada orang yang mengalami luka bakar2. Lesi ini biasanya dimulai pada wajah dan tubuh bagian atas yang kemudian dengan cepat menyebar, dengan efloresensi berupa makula berwarna keunguan atau bula yang kemudian secara progresif bergabung di dagu,punggung dan dada bagian atas2. Pada beberapa kasus lesi kulit juga dapat bermanifestasi sebagai eritema yang luas dan berkembang dengan cepat, sering dimulai pada daerah axila dan inguinal diikuti oleh bula dan pengelupasan kulit yang luas seperti pada kasus kombusio2.

18

Tanda tanda nikolskys sign Positif dikarenakan terjadinya epidermolisis3. Tempat yang paling sering terlihat yakni pada punggung dan bokong3, dengan meninggalkan daerah merah gelap pada dermis dan mengeluarkan darah. Pada daerah lain dari kulit didapat lapisan epidermis yang mengalami nekrosis dan mengkerut. Seluruh bagian luar tubuh dapat terkena kecuali daerah berambut di kepala2,7. Lesi pada mukosa biasanya mendahului lesi pada kulit. Proses penyembuhan dimulai dengan re-epitelisasi, proses ini dimulai dalam beberapa hari mulai dari bagian dada, tetapi proses re-epitelisasi dapat berlangsung lebih lama pada bagian belakang tubuh dan daerah intertrigo. Lesi kulit biasanya sembuh sempurna dalam 3 samapai 4 minggu, tetapi lesi pada mukosa dan glans penis bisa memakan waktu sampai 2bulan untuk dapat sembuh sempurna2.

19

Diagnosis Banding Diagnosis banding pada TEN ini, 1. Steven Johnson Syndrom. Perbedaannya pada Stevens Johnson Syndrom tidak terdapat Epidermolisis, dan juga pada TEN keadaan umum pasien lebih buruk3. 2. Dermatitis kontak iritan karena baygon yang tertumpah di tubuh sehingga mengakibatkan epidermolisis3. 3. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome merupakan Diganosa banding yang ter terpenting bila kasus TEN ini terdapat pada anak anak8. dikarenakan penyakit SSSS ini juga mempunyai ciri khas berupa Epidermolisis. Bedanya pada SSSS ini tidak ada target lesion ataupun terlibatnya selaput mukosa8, etiologinya disebabkan oleh

Staphylococcus aureus grup II faga 52, 55 dan atau faga 713. Selain itu, SSSS menyerang anak anak sedangkan TEN umumnya pada dewasa9.

Komplikasi Komplikasi yang paling sering dan serius dalam jangka waktu panjang adalah komplikasi pada mata8. Kelaian yang dapat terjadi pada mata berupa konjungtivitis purulenta disertai ulserasi dan photophobia. Erosi pada konjungtiva, dan luka pada kornea dapat bertahan setelah TEN terlewati10 dan kebutaan dapat terjadi sebagai komplikasi TEN pada mata6. Selain itu komplikasi dapat berupa mata yang berair akibat adanya duktus yang tersumbat, pseudomembran,

20

fotophobia, entropion, symblepharon and vaskularisasi dari korneal, kornea yang buram, ulserasi. lacrimalis2. Kelainan juga terdapat pada traktus respiratorius bila dijumpai adanya dispnoe, hiper sekresi bronkial yang mengindikasikan dapat terjadinya bronkopneumonia. Bronkopneumonia ini muncul pada 30% kasus, dan menjadi penyebab kematian pada banyak kasus7. Selain itu septikemia dan pneumonia yg disebabkan oleh kuman gram negative menjadi sebab utama terjadinya kematian7. Retensi urin juga dapat terjadi yang diakibatkan oleh uretritis, selain itu juga dapat terjadi dehidrasi dan malnutrisi yang disebabkan oleh intake oral yang sedikit. Leukopeni yang tidak diketahui penyebabnya juga dapat timbul mungkin akibat toksin yang disebabkan oleh absorbsi silver sulfadiazine atau imun Xeroptalmia dapat diakibatkan karena tersumbatnya duktus

komplex7. Komplikasi pada mukokutan meliputi Infeksi pada luka, hiperpigmentasi, hipopigmentasi, hiperhidrosis, hipohidrosis, alopesia dan sikatrik hipertrofi yang bisa menjurus ke kontraktur. Pada mukosa dapat terjadi xerostomia, penyempitan esofagus, vulvavaginal dan phimosis. Lesi pada kulit ini dapat menyerupai pemfigus sikatrikal ataupun lichen planus2.

21

Berikut Tabel Ringkasan Komplikasi yang dapat terjadi pada TEN

Akut Kulit seperti pada kasus combusio Kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar ( 3 4 L/hari ) Prerenal/ renal failure Infeksi bakteri dan septikemia

Kronik Komplikasi pada mata Conjungtivitis, ectropion atau

entropion, luka pada kornea Symblepharon Gangguan mukosa pada membran

Hiperkatabolisme resisten Pneumonitis

dan

insuline

Striktur esofagus

Phimosis Oro-genital ulcer Infeksi pada luka Kelainan pigmentasi Hipohidrosis Alopesia

Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang terpenting adalah mengetahui apa yang menjadi penyebab utama TEN ini. Bila penyebabnya adalah Obat, maka penggunaan obat

22

harus dihentikan10. Selain itu beberapa cara dapat digunakan sebagai penatalaksanaan pada pasien TEN. Dapat berupa obat obatan atau dengan Transfusi darah dan immunoglobulin.

Obat obatan Kortikostreroid Pemberian Kortikosteroid masih menjadi kontroversi dalam pengobatan pada kasus TEN, dan banyak penulis tidak menyarankan pemberian steroid sistemik pada kasus TEN2,7. Pemberian steroid tidak dapat mencegah terjadinya TEN bahkan dengan dosis tinggi, pasien dengan pemberian glukokortikoid selama 1 minggu sebelum munculnya TEN menunjukan tidak ada perbedaan dalam hal mortalitas dengan pasien tanpa pemberian kortikosteroid. Hal ini mengindikasikan bahwa steroid tidak melindungi epidermis dari drug induced keratolisis, perbaikan didapat pada pasien yang tidak mendapat pengobatan dengan steroid7. Pengobatan harus difokuskan pada deteksi dini, pencegahan komplikasi yang paling umum dan fatal, pemantauan kadar cairan dan elektrolit, monitoring pengeluaran urin, osmolaritas serum, penggantian kalori yang hilang, serta proteksi dari infeksi sekunder2. Kontak fisik dengan pasien selama perawatan dapat mengakibatkan hilangnya jaringan kulit secara luas, penambahan adhesive dressing atau penggunaan elektroda EKG harus diminimalisasikan. Kelopak mata dan konjuingtiva pasien harus diberikan pelumas dan harus dipisahkan secara hati hati untuk mencegah terjadinya perlekatan kelopak mata. Penggunaan kontak lens

23

yang tembus udara menghasilkan perbaikan dalam kualitas hidup pasien dengan mengurangi fotophobia, visus yang buruk dan penyembuhan epitel kornea pada 50% pasien. Amniotik membran telah digunakan untuk pelapis mata pada pasien dengan TEN2. Bila ada infeksi sekunder harus ditangani dengan tepat. Perawatan mulut juga merupakan hal yang penting untuk mencegah parotitis. Bila pada pasien wanita pemeriksaan vagina harus diulang dan menggunakan dresing yang sesuai untuk mencegah perlekatan jaringan yang erosi. Debridement jaringan nekrotik masih menjadi kontroversial, beberapa penulis menyatakan hal tersebut akan mempercepat penyembuhan. Penggunaan silver nitrat sudah direkomendasikan untuk penobatan topikal luka erosi dan eksoriasi2. Walaupun terdapat kontroversi dalam pemberian kortikosteroid pada pasien dengan TEN, tetapi dalam beberapa buku pengobatan dengan kortikosteroid dapat merupakan tindakan life saving1. Kortikosteroid yang dapat diberikan misalnya dexametason secara intravena dengan dosis 40mg perhari. Karena pengobatan menggunakan steroid ini hanya bersifat sementara maka tapering off hendaknya dilakukan cepat , bila tappering off ini tidak berjalan dengan lancar hendaknya dipikirkan faktor lain yang menyebabkan alergi. Selain itu kultur darah hendaknya dilakukan,dan karena penggunaan steroid dalam dosis yang tinggi. Pemberian antibiotik untuk profilaksis harus dipilih yang memiliki spektrum luas, memiliki sifat bakterisidal, jarang menimbulkan alergi, serta tidak atau sedikit nefrotoksik. Obat yang sering dipakai biasanya siprofloksasin 2x 400mg IV, selain itu dapat dipakai klindamicin dengan dosis 2 x600mg IV sehari,

24

serta untuk mengurangi efek samping dari kortikosteroid diberikan diet yang rendah garam dan tinggi protein3. Dikarenakan Pemberiaan Kortikosteroid masih dalam kontroversi oleh sebab itu beberapa ahli mencari obat lain yang dapat memberi perbaikan pada TEN, dan ditemukan beberapa alternatif pengobatan seperti Cyclophospamide, Cyclosporine, dan juga transfusi darah dan Imunoglobulin7.

Cyclophosphamide Dalam suatu study cyclophospamide 100 300mg perhari selama 5 hari dapat menghentikan pembentukan bula, rasa sakit dan juga eritema juga menghilang dalam beberapa hari. Re-epitelisasi cepat terjadi pada hari ke 4 5 setelah pemakaian obat ini. Obat ini juga menginhibisi reaksi sitotoksik yang dimediasi oleh sel7.

Cyclosporine Pasien dengan TEN yang diobati dengan Cyclosporin A (3-4 mg/kg perhari) tanpa mendapat obat imunosupresan lainnya mengalami reepitelisasi yang cepat dan penurunan angka kematian. Regimen ini lebih efektif dibandingkan pada beberapa pasien yang mendapat

cyclophospamide dan kortikosteroid7.

Transfusi darah dan Imunoglobulin Transfusi darah hanya diberikan jika :

25

1. Bila telah dipobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan. 2. Bila terdapat purpura generaisata. 3. Jika terdapat leukopenia. Transfusi yang diberikan sebanyak 300 cc selama 2 hari3. Pemberian Imunoglobulin dosis tinggi secara IV, dapat menghentikan progresivitas dari TEN jika diberikan pada awal fase.9

Berikut daftar untuk mempermudah penatalaksanaan pada pasien TEN2: Terapi Intensive pada luka Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit Mempertahankan temperatur tubuh Mempertahankan suplai nutrisi dan kebersihan mulut Pemeriksaan mata Obat tetes mata berupa antibiotik Menjaga jangan sampai ada infeksi sekunder Atasi neutropenia Kultur darah dan lesi kulit Antibiotik spectrum luas untuk profilaksis walaupun masih kontroversial Pembersih topikal/antibacterial agents 0.5% silver nitrat solution atau 10% chlorhexidine gluconate Bersihkan dengan saline atau polymixin/bacitracin atau 2% mupirocin

26

Hindari pemakaian silver sulfadiazine (kontroversial) Wound care Membersihkan daerah epidermis yang mengalami nekrosis(kontroversial) Dressings (xenografts, allografts,)

Prognosis Angka mortalitas pada pasien dengan TEN di RS. Dr. Cipto

Mangunkusumo pada tahun 1999 2004 hanya 16%3 dan dapat mencapai 30 40 %2. Penyebab utama kematian pada pasien dengan TEN biasanya disebabkan oleh Acute Respiratory Distress Syndrome dan Multiple Organ Failure2. Sering juga di sebabkan oleh sepsis yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa2. Penyebab kematian lainnya adalah emboli pulmonar dan perdarahan pada gastrointestinal. Penghentian pemberian obat yang menjadi penyebab TEN meningkatkan survival rate. Penentuan berat atau tidaknya TEN ini dapat dilakukan dengan menggunakan sistem scoring (SCORTEN) yang berdasar pada 7 faktor resiko kematian yang dicatat pada hari pertama masuk rumah sakit.

27

Berikut tabel penilaian : SCORTEN PROGNOSIS SCORE Parameter* Umur >40 thn Adanya keganasan Epidermal Detachment >30% Heart >120/menit Bikarbonat <20mmol/L Urea >10 mmol/L Glukosa >14mmol/L SCORTEN Total (%) 0-1 2 3 4 >5 3 12 35 58 90 Mortality Rate darah 1 1 1 Rate 1 1 1 1

28

*1 point diberikan untuk setiap parameter yang tercatat dalam 24 jam perawatan.2,7

Kesimpulan Stevens-johnson syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis tergolong penyakit Hipersensitivitas terhadap antigen yang masuk dalam tubuh, terutama disebabkan oleh obat obatan. Insiden terjadinya stevens johnson syndrome ini makin meningkat disebabkan karena sekarang semua obat dapat diperoleh secara bebas. Penyebab dari Stevens Johnson Syndrome dan Toxic Epidermal Necrolysis ini umumnya adanya hipersensitivitas terhadap obat baik analgetik/antipiretik, antibiotik, jamu, dll ataupun sesuatu yang dapat menimbulkan respon imunologik terhadap tubuh. Sedangkan Toxic epidermal Necrolysis dapat merupakan lanjutan dari Stevens-Johnson syndrome sehingga bila penanganannya tidak cepat dan tepat dapat menimbulkan kematian. Penatalaksanaannya terhadap resiko komplikasinya pun berbeda dan lebih komplex dibandingkan dengan Stevens Johnson Syndrom. Pada kedua kasus ini pencegahan terhadap resiko komplikasi pada organ lain yang dapat menimbulkan cacat perlu mendapat perhatian khusus. Sehingga dapat meminimalisasi resiko komplikasi yang berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien. Pengobatan pada Stevens Johnson Syndrome dan Toxic epidermal Necrolysis ini pun serupa yaitu dengan pemberian kortikosteroid. Dan juga perlu

29

di ingat, pencegahan terjadinya komplikasi serta penanganan pada komplikasi yang terjadi juga merupakan hal yang penting.

30

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda Adhi, Mochtar Hamzah : Sindrom Steven Johnson. Ilmu Penyakit kulit dan kelamin. Jakarta FKUI , 2010 : 163 165 2. Breathnach SM.: Eritema multiforme, stevens-Johnson syndrom and TEN. Rooks Text book of dermatology.7th ed. Oxford: Blackwell science Ltd; 2004; 74-15; 74-17; 74-19. 3. Djuanda Adhi, Mochtar Hamzah : Nekrolisis Epidermal Toksik. Ilmu Penyakit kulit dan kelamin. Jakarta FKUI , 2010 : 166 168 4. Barakbah, Yusuf : Stevens johnson Syndrome. Atlas Penyakit Kulit dan Kelamin. Surabaya : Airlangga University Press, 2008 : 120 121. 5. Hall,JC : Vascular Dermatosis. Sauers Manual of skin disease. Philadelphia Lippincott wiliams & wilkins, 2006 : 127. 6. Kuruvila ,C Maria : Drug reaction. Essential Dermatology Venerology and Leprosy. Paras Publishing, 193. 7. Habif,P Thomas : Clinical Dermatology a color guide to diagnosis and therapy, Fifth edition; 2010 ; 714 -719 8. S.A.Nurainiwati, Hari Sukanto : Toxic Epidermal Necrolysis in a child. Airlangga Periodical Dermato-Venerologi; Desember 2003. 9. Wolff Klaus, Johnson Richard Allen in: Fitzpatricks color atlas and synopsis of clinical dermatology, 6th edition. Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis, New York : Mc Graw Hill; 2009.

31

10. Weller, Richard : Clinical Dermatology. Blackwell Publishing Ltd; 2008 ; 127128

32

BAB III PEMPHIGUS VULGARIS


Pendahuluan Pemphigus berasal dari bahasa yunani yaitu kata pemphix yang artinya gelembung atau bula, pemhigus vulgaris adalah penyakit autoimune berupa bula yang bersifat kronik, dapat mengenai membran mukosa maupun kulit dan ditemukannya antibodi IgG yang bersirkulasi dan terikat pada permukaan sel karatimosit, menyebabkan tingbulnya suatu reaksi pemisahan sel-sel epidermis diakibatkan karena tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis, proses ini disebut akantolisis dan akhirnya terbentuknya bula di suprabasal.

Pengertian Pemfigus vulgaris adalah dermatitis vesikulobulosa reuren yang

merupakan kelainan herediter paling sering pada aksila, lipat paha, dan leher disertai lesi berkelompok yang mengadakan regresi sesudah beberapa minggu atau beberapa bulan (Dorland, 1998). Pemfigus vulgaris merupakan penyakit serius pada kulit yang ditandai dengan timbulnya bulla (lepuh) dengn berbagai ukuran (misalnya 1-10 cm) pada kulit yang tampak normal dan membrane ukosa (misalnya mulut dan vagina) (Brunner, 2002)

33

Pemfigus adalah kumpulan penyakit kulit autoimun terbuka kronik, menyerang kulit dan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intra spidermal akibat proses ukontolisis (pemisahan sel-sel intra sel) dan secara imunopatologi ditemukan antibody terhadap komponen dermosom pada permukaan keratinosis jenis Ig I, baik terikat mupun beredar dalam sirkulasi darah ( Djuanda:2001, hal :186) Pemfigus adalah penyakit kulit yang ditandai dengan timbulnya sebaran gelembung secara berturut-turut yang mengering dengan meninggalkan bercakbercak berwarna gelap, dapat diiringi dengan rasa gatal atau tidak dan umumnya mempengaruhi keadaan umum si penderita. (Laksman: 1999, hal:261). Pemfigus vulgaris adalah salah satu penyakit autoimun yang menyerang kulit dan membrane mukosa yag menyebabkan timbulnya bula atau lepuh biasanya terjadi di mulut, idung, tenggorokan, dan genital

(www.pemfigus.org.com) Pada penyakit pemfigus vulgaris timbul bulla di lapisan terluar dari epidermis klit dan membrane mukosa. Pemfigus vulgaris adalah autoimmune disorder yaitu system imun memproduksi antibody yang menyerang spesifik pada protein kulit dan membrane mukosa. Antibodi ini menghasilkan reaks yang menimbulkan pemisahan pada lapisan sel epidermis (akantolisis) satu sama lain karena kerusakan atau abnormalitas substansi intrasel. Tepatnya perkembangan antibody menyerang jaringan tubuh (autoantibody) belum diketahui.

34

Etiologi Penyebab pasti pemphigus vulgaris tidak diketahui, dimana terjadinya pembentukan IgG, beberapa faktor potensial relevan yaitu : 1. Faktor genetik : molekul majorhistocompatibility compex (MHC) kelas II berhubungan dengan human leukocyte antigen DR$ dan human leukocyte antigen DRw6 2. Pemphigus sering terdapat pada pasien dengan penyakit autoimune yang lain, terutama pada myasthemia gravis thymoma 3. D-Penicillemine dan captopril dilaporkan dapat menginduksi

terjadinya pemphigus (jarang)

Fisiologi Histopatologis Biopsi kulit dilakukan dengan cara punch biopsi pada bula yang baru timbul atau pada kulit yang berdekatan dengan bula Perubahan awal ditandai dengan pembengkakan intersellular dan hilangnya hubungan antara sel-sel epidermis yang disebut akantolisis, hal ini menyebabkan terbentuknya celah dan akhirnya membentuk bula di suprabasal. Sel basal walapun terpisah satu dengan yang lainya yang disebabakan oleh hilangnya jembatan antara sel, tetap melekat pada epidermis (baswmwnt membran seperti sumsum batu nisan (row of tombstones)

35

Didalam rongga bula mengandung sel akantolisis yang dapat dilihat dengan pemeriksaan sitologi yaitu tzanck smear (pewarna giemsa), yang diambil dari dasar bula atau erosi pada mulut, sel yang akantolisis mempunyai inti yang kecil dan hiperkromatik, sitoplasmanya sering dikeulingi halo. Pada perbatasan epidermis adakalanya menunjukan spongiosis dengan eosinofil yang amsuk kedalam epidermis disebut eosinophilic spongiotic.

Imminopatologi Immunofluorescen langsung Menunjukan endapan antibodi IgG, C3, di substansi interselluler epidermis Immunofluorescen tidak langsung Serum ; dideteksi sirkulasi antibodi IgGinterseluler, terdapat pada 8090% penderita

Patofisiologi Temuan histologis khas pada bentuk pemfigus ini adalah pembentukan pelepuhan intraepidermal sebagai akibat dari hilangnya perlekatan sel-sel dari keratinosit (acantholysis) tanpa nekrosis keratinosit. Sedangkan acantholysis biasanya terjadi tepat di atas lapisan sel basal (acantholysis suprabasilar), pemisahan intraepithelial terkadang bisa lebih tinggi dalam stratum spinosum. Beberapa keratinosit acantholysis serta kelompok sel-

36

sel epidermal sering ditemukan pada rongga pelepuhan. Walaupun sel-sel basal kehilangan kontak desmosomal lateral dengan tetangganya, mereka mempertahnakan perlekatannya ke membran dasar melalui

hemidesmosom, sehingga memberikan kenampakan seperti baris batunisan. Proses acantholysis bisa melibatkan folikel-folikel rambut. Garis batas dermal papillary biasanya terjaga, dan seringkali, papillae menonjol ke dalam rongga pelepuhan. Rongga pelepuhan bisa mengandung beberapa sel inflammatory, utamanya eosinofil, dan dalam dermis terdapat infiltrat sel mononuklear perivaskular sedang dengan eosinofil yang jelas. Pada sedikit kasus, temuan histologis pertama terdiri dari spongiosis eosinofilik, dimana eosinofil-eosinofil menginvasi epidermis spongiotik dengan sedikit atau tapa bukti acantholysis. Penting untuk mengambil biopsy dari lesi awal untuk memastikan diagnosis yang tepat karena pelepuhan pemfigus meletus dengan mudah. Pada pasien yang hanya memiliki lesi oral, sebuah biopsy harus diambil dari batas aktif sebuah area gundul (tanpa rambut) karena pelepuhan utuh mudah ditemukan. Pemeriksaan sitologi (hapusan Tzank) bermanfaat untuk penunjukan sel-sel epidermal acantholytic secara cepat dalam rongga pelepuhan. Akan tetapi, uji ini semata-mata merupakan sebuah alat diagnostik pendahuluan, dan tidak boleh menggantikan pemeriksaan histologis karena keratinosit acantholytic terkadang ditemukan pada

37

berbagai vesilobullous acantholytic atau penyakit pustular sebagai akibat dari acantholysis sekunder. Pada pemfigus vegetan, acantholysis suprabasilar terlihat, disamping papillomatosis dan acanthosis. Secara khas, ada infiltrat sel inflamatory yang intensif mengandung berbagai intraepidermal sering terlihat Komplikasi Secondary infection Salah satunya mungkin disebabkan oleh sistemik atau local pada kulit. Mungkin terjadi karena penggunaan immunosupresant dan adanya multiple erosion. Infeksi cutaneus memperlambat eosinofil, dan mikroabscess

penyembuhan luka dan meningkatkan resiko timbulnya scar. Malignansi dari penggunaan imunosupresif Biasanya ditemukan pada pasien yang mendapat terapi

immunosupresif. Growth retardation Ditemukan pada anak yang menggunakan immunosupresan dan kortikosteroid. Supresi sumsum tulang Dilaporkan pada pasien yang menerima imunosupresant. Insiden leukemia dan lymphoma meningkat pada penggunaan imunosupresif jangka lama.

38

Osteoporosis Terjadi dengan penggunaan kortikosteroid sistemik.

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit Erosi kulit yang luas, kehilangan cairan serta protein ketika bulla mengalami rupture akan menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Kehilangan cairan dan natrium klorida ini merupakan penyebab terbanyak gejala sistemik yang berkaitan dengan penyakit dan harus diatasi dengan pemberian infuse larutan salin. Hipoalbuminemia lazim dijumpai kalau proses mencapai kulit tubuh dan membrane mukosa yang luas.

Manifestasi Klinik Keadaan umunya klien jelek Membran mukosa Lesi pada pemphigus vulgaris pertamakali berkembang pada membaran mukosa terutama pada mulut, yang terdapat pada 50-70% pasien. Bula yang utuh jarang ditemukan pada mulut disebabkan bula mudah pecah dan dapat timbul erosi. Pada umumnya erosi terdapat pada buccal, ginggiva, palatum, denan bentuk yang tidak teratur, sakit dan lambat untuk menyembuh. Erosi dapat meluas ke laring yang menyebabkan sakit tenggorokan dan pada pasien kesulitan untuk menelan/ makan ataupun minum. Permukaan

39

mukosa lain yang dapat terlibat yaitu konjung tiva, esovagus, labia, vagina, cervik, venis, urethra, dan anus. Kulit Kelainan kulit dapat bersifat lokal ataupun generalisata, terasa panas, sakit tanpa disertai pruritus dan tempat predileksinya adalah badan, umbilicus, kulit kepala, wajh, ketiak, daerah yang terkena tekanan dan lipatan paha Timbul pertama kalai berupa bula yang lembek (berdinding kendur) berisi cairan jernih pada kulit normal atau denan dasar erithematous. Bula mudah pecah dan yang utuh jarang dijumpai disebabkan atap bula terdiri dari sebagian kecil bagian atas epidermis. Kemusian timbul erosi yang sakit, mudah berdarah dan cenderung meluas, kemudian erosi ditutupi krusta yang menyebabkan lambat untuk menyembuh. Lesi yang menyembuh meninggalkan daerah

hiperpigmentasi tampa terjadi parut. Pada bula yang aktif dapat ditemukan nikolsky sing yang menggambarkan tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis yaitu dengan cara : o Menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dengan ujung jari, mengakibatkan kulit yang terlihat normal akan terkelupas o Menekan diatas bula dengan ujung jari, akibatnya cairan akan melebar dari tempat penekanan disebut bulla spread phanomenon

40

Pemeriksaan Penunjang Klinis anamnesis dan pemeriksaan kulit : ditemukan bula Laborat darah Biopsi kulit Test imunofluorssen : hipoalbumin : mengetahui kemungkinan maligna : didapat penurunan imunoglobulin

Diagnosa Banding Pemhigus vulgaris dapat di diagnosa banding dengan : Pemfigoid bulosa Letak bula : subepidermal Immunofluorecen : IgG berbentuk seperti pita di membran basalis Dermatits herpetiformis Letak vesikel : subepidermal Immunofluorescen : IgA berbentuk granular di papilla dermis.

Penatalaksanaan a. Medis b. Keperawatan c. Diet

41

Prognosis Pemphigus vulgaris tersebut diseluruh dunia, dapat mengenai semua ras, frekuensi hampir sama pada laki-laki dan perempuan. Pemphigus vulgaris merupakan bentuk yang sering dijumpai kira-kira 70% dari semua kasus pemphigus, biasanya pada usia 50-60 tahun dan jarang pada ank-anak, insiden pemphigus vularis bervalesi antara 0,5-3,2 kasus per 100.000 dan pada keturunan yunani khususnya ashkenazi jewish insidennya meningkat. Anti bodi IgG mengikat pemphigus vulgaris antigen yaitu desmoglain 3 pada permukaan sel karatinosit, mengakibatkan terbentuk dan dilepaskannya plasminogen activator sehingga berubah plasminogen menjadi plasimin. Plasmin yang terbentuk menyebabkan keruskan desmosom sehingga terjadi penarikan tonofilamen dari sitoplasma karatinosit, akibatnya terjadi pemisahan sel-sel karatinosit (tidak adanya kohesi antara sel-sel) proses ini disebut akantilosis. Kemudian terbentuk celah di suprabasal dan akhirnya terbentuk bula yang sebenarnya.

42

BAB IV Eritroderma
Pendahuluan Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkungan hidup manusia. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Salah satu kelainan kulit adalah eritroderma.(1) Eritroderma berasal dari bahasa Yunani, yaitu erythro- (red = merah) dan derma, dermatos (skin = kulit), merupakan keradangan kulit yang mengenai 90% atau lebih pada permukaan kulit yang biasanya disertai skuama. Pada beberapa kasus, skuama tidak selalu ditemukan, misalnya pada eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama. Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas karena bercampur dengan hiperpigmentasi. Nama lain penyakit ini adalah dermatitis eksfoliativa generalisata, meskipun sebenarnya mempunyai pengertian yang agak berbeda. Kata eksfoliasi berdasarkan pengelupasan skuama yang terjadi, walaupun kadang-kadang tidak begitu terlihat, dan kata dermatitis digunakan berdasarkan terdapatnya reaksi eksematus. Diagnosis eritroderma ditegakkan berdasarkan anamnesis, gambaran klinis, dan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan histopatologi dapat membantu menentukan penyakit yang mendasarinya. Diagnosis yang akurat dari penyakit ini

43

merupakan suatu proses yang sistematis di mana dibutuhkan pengamatan yang seksama, evaluasi serta pengetahuan tentang terminology, dermatologi, morfologi serta diagnosis banding. Pengobatannya disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya, namun tetap memperhatikan keadaan umum seperti keseimbangan cairan dan elektrolit tubuhm memperbaiki hipoalbumin dan anemia, serta pengendalian infeksi sekunder. Eritroderma bukan merupakan kasus yang sering ditemukan, namun masalah yang ditimbulkannya cukup parah. Diagnosis yang ditegakkan lebih awal, cepat dan akurat serta penatalaksanaan yang tepat sangat memengaruhi prognosis penderita.

Definisi Eritroderma adalah kelainan kulit yang ditandai dengan adanya kemerahan atau eritema yang bersifat generalisata yang mencakup 90% permukaan tubuh yang berlangsung dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Dermatitis eksfoliativa dianggap sinonim dengan eritroderma.(2) Bagaimanapun, itu tidak dapat mendefinisikan, karena pada gambaran klinik dapat menghasilkan penyakit yang berbeda. Pada banyak kasus, eritroderma umumnya kelainan kulit yang ada sebelumnya misalnya psoriasis atau dermatitis atopik. Meskipun peningkatan 50% pasien mempunyai riwayat lesi pada kulit sebelumnya untuk onset eritroderma, identifikasi penyakit yang menyertai menggambarkan satu dari sekian banyak kelainan kulit.

44

Pada eritroderma yang kronik, eritema tidak begitu jelas karena bercampur dengan hiperpigmentasi. Sedangkan skuama adalah lapisan stratum korneum yang terlepas dari kulit. Skuama mulai dari halus sampai kasar. Pada eritroderma, skuama tidak selalu terdapat, misalnya eritroderma karena alergi obat sistemik, pada mulanya tidak disertai skuama. Skuama kemudian timbul pada stadium penyembuhan timbul. Bila eritemanya antara 50%-90% dinamakan preeritroderma.(1)

Etiologi Eritroderma dapat disebabkan oleh akibat alergi obat secara sistemik, perluasan penyakit kulit, penyakit sistemik termasuk keganasan.(3) Penyakit kulit yang dapat menimbulkan eritroderma di antaranya adalah psoriasis, dermatitis seboroik, alergi obat, CTCL atau Sindrom Sezary. a. Eritroderma yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik Keadaan ini banyak ditemukan pada dewasa muda. Obat yang dapat menyebabkan eritroderma adalah arsenik organik, emas, merkuri (jarang), penisilin, barbiturate. Pada beberapa masyarakat, eritroderma mungkin lebih tinggi karena pengobatan sendiri dan pengobatan secara tradisional. Waktu mulainya obat ke dalam tubuh hingga timbul penyakit bervariasi, dapat segera sampai 2 minggu. Gambaran klinisnya adalah eritema universal. Bila ada obat yang masuk lebih dari satu yang masuk ke dalam tubuh, diduga sebagai penyebabnya ialah obat yang paling sering menyebabkan alergi.(1)

45

b. Eritroderma yang disebabkan oleh perluasan penyakit kulit Eritroderma et causa psoriasis, merupakan eritroderma yang paling banyak ditemukan dan dapat disebabkan oleh penyakit psoriasis maupun akibat pengobatan psoriasis yang terlalu kuat.(1) Dermatitis seboroik pada baik juga dapat menyebabkan eritroderma yang juga dikenal sebagai penyakit Leiner. Etiologinya belum diketahui pasti. Usia penderita berkisar 4-20 minggu.(3) Ptiriasis rubra pilaris yang berlangsung selama beberapa minggu dapat pula menjadi eritroderma. Selain itu yang dapat menyebabkan eritroderma adalah pemfigus foliaseus, dermatitis atopic dan liken planus.(4) c. Eritroderma akibat penyakit sistemik Berbagai penyakit atau kelainan alat dalam termasuk infeksi fokal dapat member kelainan kulit berupa eritroderma. Jadi setiap kasus eritroderma yang tidak termasuk akibat alergi obat dan akibat perluasan penyakit kulit harus dicari penyebabnya, yang berarti perlu pemeriksaan menyeluruh (termasuk pemeriksaan laboratorium dan foto toraks), untuk melihat adanya infeksi penyakit pada alat dalam dan infeksi fokal. Ada kalanya terdapat leukositosis namun tidak ditemukan penyebabnya, jadi terdapat infeksi bacterial yang tersembunyi (occult infection) yang perlu diobati.(1) Harus lebih diperhatikan komplikasi sistemik akibat eritroderma seperti hipotermia, edema perifer, dan kehilangan cairan dan albumin, dengan takikardia dan kelainan jantung harus mendapatkan perawatan yang serius. Pada eritroderma

46

kronik dapat mengakibatkan kakesia, alopesia, palmoplantar keratoderma, kelainan pada kuku dan ektropion.

Epidemiologi Insidens eritroderma sangat bervariasi. Penyakit ini dapat mengenai pria ataupun wanita, namun paling sering pada pria dengan rasio 2 : 1 sampai 4 : 1, dengan onset usia rata-rata > 40 tahun, meskipun eritroderma dapat terjadi pada semua usia. Insiden eritroderma makin bertambah. Penyebab utamanya adalah psoriasis. Hal tersebut seiring dengan meningkatnya insiden psoriasis.(1) Penyakit kulit yang sedang diderita memegang peranan lebih dari setengah kasus dari eritroderma. Identifikasi psoriasis mendasari penyakit kulit lebih dari seperempat kasus. Didapatkan laporan bahwa terdapat 87 dari 160 kasus adalah psoriasis berat.(4) Anak-anak bisa menderita eritroderma diakibatkan alergi terhadap obat. Alergi terhadap obat bisa karena pengobatan yang dilakukan sendiri ataupun penggunaan obat secara tradisional.

Patofisiologi Mekanisme terjadinya eritroderma belum diketahui dengan jelas. Pathogenesis eritroderma berkaitan dengan pathogenesis penyakit yang

mendasarinya, dermatosis yang sudah ada sebelumnya berkembang menjadi

47

eritroderma, atau perkembangan eritroderma idiopatik de novo tidaklah sepenuhnya dimengerti. Penelitian terbaru imunopatogenesis infeksi yang dimediasi toksin menunjukkan bahwa lokus patogenesitas staphylococcus mengkodekan superantigen. Lokus-lokus tersebut mengandung gen yang mengkodekan toksin dari toxic shock syndrome dan staphylococcol scalded-skin syndrome. Kolonisasi S. aureus atau antigen lain merupakan teori yang mungkin saja seperti toxic shock syndrome toxin-1, mungkin meminkan peranan pada pathogenesis eritroderma. Pasien-pasien dengan eritroderma biasanya mempunyai kolonisasi S. aureus sekitar 83% dan pada kulit sekitar 17%, bagaimanapun juga hanya ada satu dari 6 pasien memiliki toksin S. aureus yang positif.(4) Dapat diketahui bahwa akibat suatu agen dalam tubuh baik itu obatobatan, perluasan penyakit kulit dan penyakit sistemik makan tubuh beraksi berupa pelebaran pembuluh darah kapiler (eritema) yang generalisata. Eritema berarti terjadi pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan aliran darah ke kulit meningkat sehingga kehilangan panas bertambah. Akibatnya pasien merasa dingin dan menggigil. Pada eritroderma kronis dapat terjadi gagal jantung. Juga dapat terjadi hipotermia akibat peningkatan perfusi kulit. Penguapan cairan yang makin meningkat dapat menyebabkan dehidrasi. Bila suhu badan meningkat, kehilangan panas juga meningkat. Pengaturan suhu terganggu. Kehilangan panas

menyebabkan hipermetabolisme kompensator dan peningkatan laju metabolisme basal. Kehilangan cairan oleh transpirasi meningkat sebanding laju metabolisme basal.(1)

48

Kehilangan skuama dapat mencapai 9 gram/m2 permukaan kulit atau lebih sehari sehingga menyebabkan kehilangan protein (hipoproteinemia) dengan berkurangnya albumin dengan peningkatan relatif globulin terutama

gammaglobulin merupakan kelainan

yang khas. Edema sering terjadi,

kemungkinan disebabkan oleh pergeseran cairan ke ruang ekstravaskuler.(1) Eritroderma akut dan kronis dapat mengganggu mitosis rambut dan kuku berupa kerontokan rambut difus dan kehilangan kuku. Pada eritroderma yang telah berlangsung berbulan-bulan, dapat terjadi perburukan keadaan umum yang progresif.(1)

Gambaran Klinis Mula-mula timbul bercak eritema yang dapat meluas ke seluruh tubuh dalam waktu 12-48 jam. Deskuamasi yang difus dimulai dari daerah lipatan, kemudian menyeluruh. Dapat juga mengenai membrane mukosa, terutama yang disebabkan oleh obat. Bila kulit kepala sudah terkena, dapat terjadi alopesia, perubahan kuku, dan kuku dapat terlepas. Dapat terjadi limfadenopati dan hepatomegali. Skuama timbul setelah 2-6 hari, sering mulai di daerah lipatan. Skuamanya besar pada keadaan akut, dan kecil pada keadaan kronis. Warnanya bervariasi dari putih sampai kuning. Kulit merah terang, panas, kering dan kalau diraba tebal. Pasien mengeluh kedinginan.(5) Pengendalian regulasi suhu tubuh menjadi hilang, sehingga sebagai kompensasi terhadap kehilangan panas tubuh, sekujur tubuh pasien menggigil untuk dapat menimbulkan panas metabolik.

49

Dahulu eritroderma dibagi menjadi primer dan sekunder. Pendapat sekarang semua eritroderma ada penyebabnya, jadi eritroderma selalu sekunder. Eritroderma akibat alergi obat secara sistemik diperlukan anamnesis yang teliti untuk mencari obat penyebabnya. Umumnya alergi timbul akut dalam waktu 10 hari. Pada mulanya kulit hanya eritem saja, setelah penyembuhan barulah timbul skuama.(3) Eritroderma akibat perluasan penyakit kulit seringkali pada psoriasis dan dermatitis seboroik bayi. Psoriasis dapat menjadi eritroderma karena dua hal yaitu: karena penyakitnya sendiri atau karena pengobatan yang terlalu kuat. (3) Psoriasis yang menjadi eritroderma tanda khasnya akan menghilang. Pada eritroderma et causa psoriasi, merupakan eritroderma yang disebabkan oleh penyakit psoriasis atau pengobatan yaitu kortikosteroid sistemik, steroid topikal, komplikasi fototerapi, stress emosional yang berat, penyakit terdahulunya misalnya infeksi.

50

Gambar 1. Eritroderma psoriasis

Dermatitis seboroik pada bayi (penyakit Leiner) terjadi pada usia penderita berkisar 4-20 minggu. Kelainan berupa skuama berminyak dan kekuningan di kepala. Eritema dapat pada seluruh tubuh disertai skuama yang kasar.(3)

51

Gambar 2. Dermatitis seboroik

Ptiriasis rubra pilaris yang berlangsung selama beberapa minggu dapat pula menjadi eritroderma. Mula-mula terdapat skuama moderat pada kulit kepala diikuti perluasan ke dahi dan telinga; pada saat ini akan menyerupai gambaran dermatitis seboroik. Kemudian timbul hiperkeratosis palmoplantaris yang jelas. Berangsur-angsur menjadi papul folikularis di sekeliling tangan dan menyebar ke kulit berambut.(3)

Gambar 3. Ptiriasis rubra pilaris Pemfigus foliaseus bermula dengan vesikel atau bula berukuran kecil, berdinding kendur yang kemudian pecah menjadi erosi dan eksudatif. Yang khas adalah eritema menyeluruh yang disertai banyak skuama kasar, sedangkan bula kendur hanya sedikit. Penderita mengeluh gatal dan badan menjadi bau busuk.(3)

52

Gambar 4. Pemfigus foilaseus

Dermatitis atopi dimulai dengan eritema, papul-papul, vesikel sampai erosi dan likenifikasi. Penderita tampak gelisah, gatal dan sakit berat.

Gambar 5. Dermatitis atopi

53

Permukaan timbulnya liken planus dapat mendadak atau perlahan-lahan; dapat berlangsung berminggu-minggu atau berbulan-bulan dan mungkin kambuh lagi. Kadang-kadang menjadi kronik. Papul dengan diameter 2-4 mm, keunguan, puncak mengkilat, polygonal. Papula mungkin terjadi pada bekas garukan (fenomena Koebner). Bila dilihat dengan kaca pembesar, papul mempunyai pola garis-garis berwarna putih (Wickhams striae). Lesi simetrik, biasanya pada permukaan fleksor pergelanagna tangan, menyebar ke punggung dan tungkai. Mukosa mulut terkena pada 50% penderita. Mungkin pula mengenai glans penis dan mukosa vagina. Kuku kadang-kadang terkena, kuku menipis dan berlubanglubang. Anak-anak jarang terkena tetapi bila terdapat bercak kemerahan mungkin tidak khas dan dapat keliru dengan psoriasis. Sering sangat gatal. Cenderung menyembuh dengan sendirinya.(3)

Gambar 6. Liken planus

54

Eritroderma akibat penyakit sistemik termasuk keganasan, yang tidak termasuk golongan akibat alergi dan akibat perluasan penyakit kulit, harus dicari penyebabnya dan diperiksa secara menyeluruh, termasuk dengan pemeriksaan laboratorium dan foto toraks. Termasuk dalam golongan ini adalah sindrom Sezary. Sindrom Sezary Penyakit ini termasuk limfoma. Penyebabnya belum diketahui, diduga berhubungan dengan infeksi virus HTLV-V dan dimasukkan ke dalam CTCL (Cutaneus T-Cell Lymphoma). Yang diserang adalah orang dewasa, mulanya penyakit pada pria rata-rata berusia 64 tahun, sedangkan pada wanita berusia 53 tahun. Sindrom ini ditandai dengan eritema berwarna merah membara yang universal disertai skuama dan rasa sangat gatal. Selain itu terdapat infiltrat pada kulit dan edema. Pada sepertiga hingga setengah pada pasien didapati splenomegali, limfadenopati superfisial, alopesia, hiperpigmentasi, hiperkeratosis palmaris et plantaris, serta kuku yang distrofik.(1)

55

Gambar 7. Sindrom Sezary

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan darah didapatkan albumin serum yang rendah dan peningkatan gammaglobulin, ketidakseimbangan elektrolit, protein fase akut meningkat, leukositosis, maupun anemia ringan.(4) Histopatologi Pada kebanyakan pasien dengan eritroderma histopatologi dapat membantu mengidentifikasi penyebab eritroderma pada sampai dengan 50% kasus, biopsi kulit dapat menunjukkan gambaran yang bervariasi, tergantung berat

56

dan durasi proses inflamasi. Pada tahap akut, spongiosis dan parakeratosis menonjol, terjadi edema. Pada stadium kronis, akantosis dan perpanjangan rete ridge lebih dominan. Eritroderma akibat limfoma, yang infiltrasi bisa menjadi semakin pleomorfik, dan mungkin akhirnya memperoleh fitur diagnostik spesifik, seperti bandlike limfoid infiltrate di dermis-epidermis, dengan sel cerebriform mononuclear atipikal dan Pautriers microabscesses. Pada pasien dengan Sindrom Sezary ditemukan limfosit atipik yang disebut sel Sezary. Biopsi pada kulit juga memberi kelainan yang agak khas, yakni terdapat infiltrat pada dermis bagian atas dan terdapatnya sel Sezary. Disebut sindrom Sezary, jika jumlah sel Sezary yang beredar 1000/mm3 atau lebih atau melebihi 10% sel-sel yang beredar. Bila jumlah sel tersebut di bawah 1000/mm3 dinamai sindrom pre-Sezary.(1) Pemeriksaan immunofenotipe infiltrate limfoid juga mungkin sulit menyelesaikan permasalahan karena pemeriksaan ini umumnya memperlihatkan gambaran sel T matang pada eritroderma jinak maupun ganas. Pada psoriasis papilomatosis dan gambaran clubbing lapisan papiler dapat terlihat, dan pada pemfigus foliaseus, akantosis superfisial juga ditemukan. Pada eritroderma ikhtisioform dan ptiriasis rubra pilaris, biopsi diulang dari tempat-tempat yang dipilih dengan cermat dapat memperlihatkan gambaran khasnya.

57

Diagnosis Diagnosis agak sulit ditegakkan, harus melihat dari tanda dan gejala yang sudah ada sebelumnya misalnya, warna hitam-kemerahan di psoriasis dan kuningkemerahan di pilaris rubra pitiriasis; perubahan kuku khas psoriasis; likenifikasi, erosi dan ekskoriasi di dermatitis atopik dan eksema; menyebar, relatif hiperkeratosis tanpa skuama, dan pitiriasis rubra; ditandai bercak kulit dalam eritroderma di pilaris rubra pitiriasis; hiperkeratotik skala besar kulit kepala, biasanya tanpa rambut rontok di psoriasis dan dengan rambut rontok di CTCL dan pitiriasis rubra, ektropion mungkin terjadi. Dengan beberapa biopsi biasanya dapat menegakkan diagnosis.

Diagnosis Banding Ada beberapa diagnosis banding pada eritroderma: 1. Dermatitis atopik Dermatitis atopik adalah peradangan kulit kronis yang terjadi di lapisan epidermis dan dermis, sering berhubungan dengan riwayat atopik pada keluarga asma bronkial, rhinitis alergi, konjungtivitis. Atopik terjadi di antara 15-25% populasi, berkembang dari satu menjadi banyak kelainan dan memproduksi sirkulasi antibodi IgE yang tinggi, lebih banyak karena alergi inhalasi.(8) Dermatitis atopik adalah penyakit kulit yang mungkin terjadi pada usia berapapun, tetapi biasanya timbul sebelum usia 5 tahun. Biasanya ada tiga tahap: balita, anak-anak, dan dewasa.

58

Dermatitis atopik merupakan salah satu penyebab eritroderma pada orang dewasa di mana didapatkan gambaran klinisnya terdapat lesi praexisting, pruritus yang parah, likenifikasi dan prurigo nodularis, sendangkan pada gambaran histologi terdapat akantosis ringan, spongiosis variabel, derma eosinofil dan parakeratosis.(3)

Gambar 8. Dermatitis atopik

2. Psoriasis Eritroderma psoriasis dapat disebabkan oleh karena pengobatan topikal yang terlalu kuat atau oleh penyakitnya sendiri yang meluas. Ketika psoriasis menjadi eritroderma biasanya lesi yang khas untuk psoriasi tidak tampak lagi karena dapat menghilang, plak-plak psoriasis menyatu, eritema dan skuama tebal universal.(2) Psoriasis mungkin menjadi eritroderma dalam proses yang berlangsung lambat dan tidak dapat dihambat atau sangat cepat. Faktor genetic berperan. Bila orangtuanya tidak menderita psoriasi, resiko mendapat psoriasi 12%,

59

sedangkan jika salah seorang orang tuanya menderita psoriasis, resikonya mencapai 34-39%.(1) Psoriasis ditandai dengan adanya bercak-bercak, eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan disertai fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Koebner.(1)

Gambar 9. Psoriasis

3. Dermatitis seboroik Dermatitis seboroik adalah peradangan kulit yang kronis ditandai dengan plak eritema yang sering terdapat pada daerah tubuh yang banyak mengandung kelenjar sebasea seperti kulit kepala, alis, lipatan nasolabial, belakang telinga, cuping hidung, ketiak, dada, antara skapula. Dermatitis seboroik dapat terjadi pada semua umur, dan meningkat pada usia 40 tahun.(8) Biasanya lebih berat apabila terjadi pada laki-laki dariapda wanita

60

dan lebih sering pada orang-orang yang banyak memakan lemak dan minum alkohol.(1) Biasanya kulit penderita tampak berminyak, dengan kuman pityrosporum ovale yang hidup komensal di kulit berkembang lebih subur. Pada kepala tampak eritema dan skuama halus sampai kasar (ketombe). Kulit tampak berminyak dan menghasilkan skuama putih yang berminyak pula. Penderita akan mengeluh rasa gatal yang hebat.(1) Dermatitis seboroik dapat diakibatkan oleh proliferasi epidermis yang meningkat seperti pada psoriasi. Hal ini dapat menerangkan mengapa terapi dengan sitostisk dapat memperbaikinya. Pada orang yang telah mempunyai faktor predisposisi, timbulnya dermatitis seboroik dapat disebabkan oleh faktor kelelahan, stress emosional, infeksi, atau defisiensi imun.

Gambar 10. Dermatitis seboroik

61

Penatalaksanaan Pada eritroderma golongan I, obat tersangka sebagai kausanya segera dihentikan. Umumnya pengobatan eritroderma dengan kortikosteroid. Pada golongan I, yang disebabkan oleh alergi obat secara sistemik, dodsis prednisone 4 x 10 mg. penyembuhan terjadi cepat, umumnya dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. Pada golongan II akibat perluasan penyakit kulit juga diberikan kortikosteroid. Dosis mula prednisone 4 x 10 mg sampai 15 mg sehari. Jika setelah beberapa hari tidak tampak perbaikan, dosis dapat dinaikkan. Setelah tampak perbaikan, dosis diturunkan perlahan-lahan. Jika eritroderma terjadi akibat pengobatan dengan ter pada psoriasis, makan obat tersebut harus dihentikan. Eritroderma karena psoriasis dapat pula diobati dengan asetretin. Lama penyembuhan golongan II ini bervariasi beberapa minggu hingga beberapa bulan, jadi tidak secepat seperti golongan I. Pada pengobatan dengan kortikosteroid jangka lama (long term), yakni jika melebihi 1 bulan lebih baik digunakan metilprednisolon darpiada prednison dengan dosis ekuivalen karena efeknya lebih sedikit. Pengobatan penyakit Leiner dengan kortikosteroid memberi hasil yang baik. Dosis prednisone 3 x 1-2 mg sehari. Pada sindrom Sezary pengobatan terdiri atas kortikosteroid (prednisone 30 mg sehari) atau metilprednisolon ekuivalen dengan sitostatik, biasanya digunakan klorambusil dengan dosis 2-6 mg sehari. Pada eritroderma kronis diberikan pula diet tinggi protein, karena terlepasnya skuama mengakibatkan kehilangan protein. Kelainan kulit perlu pula

62

diolesi emolien untuk mengurangi radiasi akibat vasodilatasi oleh eritema misalnya dengan salep lanolin 10% atau krim urea 10%.(1)

Komplikasi 1. Abses 2. Furunkulosis 3. Konjungtivitis 4. Stomatitis 5. Bronkitis 6. Limfadenopati 7. Hepatomegali 8. Rhinitis 9. Kolitis

Prognosis

Prognosis

eritroderma

tergantung

pada

proses

penyakit

yang

mendasarinya. Kasus karena penyebab obat dapat membaik setelah penggunaan obat dihentikan dan diberi terapi yang sesuai. Penyembuhan golongan ini ialah yang tercepat dibandingkan dengan golongan yang lain.(1) Pada eritroderma yang belum diketahui sebabnya, pengobatan dengan kortikosteroid hanya mengurangi gejalanya, pasien akan mengalami

ketergantungan kortikosteroid (corticosteroid dependence).

63

Eritroderma disebabkan oleh dermatosa dapat diatasi dengan pengobatan, tetapi mungkin akan timbul kekambuhan. Kasus idiopatik adalah kasus yang tidak terduga, dapat bertahan dalam waktu yang lama, seringkali disertai dengan kondisi yang lemah.(8) Sindrom Sezary prognosisnya buruk, pasien pria umumnya akan meninggal setelah 5 tahun, sedangkan pasien wanita setelah 10 tahun. Kematian disebabkan oleh infeksi atau penyakit berkembang menjadi mikosis fungoides.

64

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007. 2. Umar, H Sanusi. Erythroderma (generalized exfoliative dermatitis), diunduh dari: www.emedicine.com, pada 28 Januari 2012. 3. Siregar, RS. Saripati Penyakit Kulit. Jakarta: EGC, 2004. 4. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine 7th eds. New York: McGrawHill, 2001. 5. Harahap, M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta: Hipokrates, 2008. 6. Ekm. Itraconazole Oral untuk Terapi Dermatitis Seboroik, diunduh dari: www.kalbe.co.id, pada 28 Januari 2012. 7. Hierarchical. Pytiriasis Rubra Pilaris, diunduh dari:

www.lookfordiagnosis.com, pada tanggal 28 Januari 2012. 8. Bandyopadhyay debabrata, Associate Professor and Head Department of Dermatology, diunduh dari: www.tripodindonesia.com, pada tanggal 28 Januari 2012

65

You might also like