You are on page 1of 19

PENINGKATAN MOTIVASI BELAJAR MATEMATIKA MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL PADA BANGUN RUANG DI SMP NEGERI 2 KARTASURA KELAS

VIII SEMESTER II TAHUN AJARAN 2011/ 2012

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Matematika sebagai salah satu mata pelajaran dasar pada setiap jenjang pendidikan formal yang memegang peran penting. Matematika merupakan alat yang dapat memperjelas dan menyederhanakan suatu keadaan atau situasi melalui abstrak, idealisasi, atau generalisasi untuk menjadi suatu studi ataupun pemecahan masalah. Dalam pelaksanaan pembelajaran disekolah usaha untuk meningkatkan motivasi belajar siswa banyak mengalami kendala dan hambatan. Lebih- lebih pada mata pelajaran matematika yang menuntut begitu banyak pencapaian konsep sehingga mengakibatkan motivasi belajar kurang baik. Motivasi belajar dapat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yaitu kemampuan yang berasal dari siswa, meliputi kecerdasan, bakat, minat, motivasi dan emosi. Sedangkan faktor eksternal berasal dari luar, meliputi lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Diantara ketiga lingkungan itu yang paling berpengaruh adalah lingkungan sekolah seperti guru, sarana belajar dan teman- teman sekelas. Guru merupakan pihak yang berhubungan langsung dengan siswa. Sehingga dalam memberikan evaluasi diharapkan lebih akurat, objektif, dan mengoptimalkan pembelajaran. Masalah yang dihadapi misalnya masalah kepribadian guru dan kompetensi, kecakapan mengajar, yang antara lain mencakup ketepatan pemilihan metode pendekatan, motivasi, improvisasi, serta evaluasi. Sampai saat ini banyak kesulitan yang dihadapi siswa dalam belajar matematika. Hal ini disebabkan karena banyaknya anggapan bahwa matematika sulit. Dengan anggapan itu akhirnya berpengaruh terhadap motivasi belajar siswa. Orang tua juga merupakan pihak yang berperan utama dalam penanganan anak. Sebab interaksi anak dengan orang tua tetap lebih besar porsinya dibanding dengan interaksi guru dengan anak di sekolah. Orang tua harus mampu menciptakan kondisi dan menyediakan sarana yang menunjang proses belajar anak. Dengan demikian dapat diungkapkan bahwa guru menentukan keberhasilan belajar siswa. Kemampuan guru dalam melaksanakan poses belajar mengajar sangat bepengaruh terhadap tingkat pemahaman siswa. Biasanya guru menggunakan model pembelajaran konvensional dan metode ceramah sebagai cara untuk menyampaikan materi pelajaran. Melalui model

pembelajaran konvesioanal dan metode ceramah, siswa akan lebih banyak pengetahuan, namun pengetahuan itu hanya diterima dari informasi guru, akibatnya pembelajaran menjadi kurang bermakna karena ilmu pengetahuan yang didapat oleh siswa mudah terlupakan. Didalam proses belajar mengajar, guru harus memiki strategi agar siswa dapat belajar secara efektif dan efisien serta mengena pada tujuan yang diharapkan. Salah satu langkah untuk memiliki strategi itu, guru harus menguasi teknik- teknik penyajian, atau biasanya disebut metode mengajar. Setiap materi yang akan disampaikan harus menggunakan metode yang tepat, karena dengan metode belajar yang berbeda akan mempengaruhi siswa dalam menerima pelajaran, terutama pelajaran matematika. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 17 Mei 2013 dengan Bapak Renaldi, S.Pd.Si selaku guru mata pelajaran matematika di kelas VIII SMP Negeri 1 Pajar Bulan, masih banyak siswa yang mendapat nilai rendah pada ulangan matematika, khususnya pada materi pokok bangun ruang, yaitu hanya sekitar 60 % siswa yang dapat mencapai ketuntasan klasikal. Hal ini terjadi karena beberapa faktor, antara lain siswa merasa kesulitan dalam memahami konsep matematika, siswa kurang termotivasi untuk belajar matematika, dan siswa cenderung bersifat pasif dan kurang bisa bekerja dalam kelompok. Dari uraian di atas maka salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan motivasi balajar siswa adalah dengan pendekatan kontekstual. Pendekatan kontekstual dalam pembelajaran dikenal dengan sebutan Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan konsep pembelajaran yang membantu guru untuk mengaitkan antara materi ajar dengan situasi dunia nyata siswa, yang mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dipelajari dengan penerapannya dalam kehidupan para siswa sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dari konsepsi ini diharapkan hasil belajar akan bermakna. Proses pembelajaran akan berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan sekedar transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Melalui pendekatan kontekstual tersebut diharapkan siswa mengerti apa makna belajar, apa manfaatnya, dan bagaiman mencapai. Diharapkan yang dipelajari siswa berguna bagi hidupnya. Dengan demikian siswa akan memposisikan dirinya sebagai pihak yang memerlukan bekal untuk hidupnya nanti.

PEMBELAJARAN MATHEMATICA

MATEMATIKA UNTUK

DENGAN

BANTUAN HASIL

SOFTWARE BELAJAR

MENINGKATKAN

MATEMATIK SISWA KELAS VIII SMP NEGERI `1 PAJAR BULAN


Latar Belakang Disadari atau tidak, matematika telah memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Matematika telah memberikan kontribusi mulai dari hal yang sederhana seperti perhitungan dasar (basic calculation) dalam kehidupan sehari-hari sampai hal yang kompleks dan abstrak seperti penerapan analisis numerik dalam bidang teknik dan sebagainya. Para pembaharu pendidikan matematika sepakat bahwa matematika harus dibuat accessible bagi seluruh siswa (House, 1995). Artinya, matematika hendaknya ditampilkan sebagai disiplin ilmu yang berkaitan (connected), dan bukan sebagai sekumpulan topik yang terpisah-pisah. Matematika harus dipelajari dalam konteks yang bermakna yang mengaitkannya dengan subyek lain dan dengan minat dan pengalaman siswa. Lebih jauh House menyatakan bahwa mathematics is not an isolated body of knowledge. To be useful, mathematics should be taught in contexts that are meaningful and relevant to learners.

Di negara-negara maju, komputer telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam proses pembelajaran di kelas. Namun tidak demikian halnya di Indonesia. Meskipun semakin banyak sekolah yang dilengkapi laboratorium komputer, pemanfaatan komputer untuk pembelajaran masih jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian terhadap efektivitas penggunaan komputer dalam pembelajaran perlu dilakukan agar pemanfaatan komputer untuk kepentingan pendidikan, khususnya pendidikan matematika dapat lebih ditingkatkan. Sesuai dengan pendapat Balacheff dan Kaput (2001: 467) yang mengingatkan bahwa penelitian terhadap berbagai aspek pembelajaran yang menggunakan teknologi harus dilakukan, karena transformasi teknologi berkembang sangat pesat.

Aplikasi teknologi adalah salah satu solusi untuk meningkatkan keaktifan dan kreativitas siswa. Kampus seharusnya menerapkan teknologi dalam setiap kegiatan pendidikan, tidak hanya sebagai alat perhitungan matematik saja, tetapi juga sebagai media pembelajaran yang membantu pengajar dalam menjelaskan suatu konsep di kelas. Meskipun tidak dimaksudkan untuk menggantikan peran dan posisi guru, aplikasi teknologi ini dapat membimbing siswa melalui pengembangan topik-topik matematika contohnya melalui software komputer yang semakin beragam. Sifatnya sebagai suplemen atau pelengkap, sehingga dapat difungsikan sebagai suatu strategi atau pendekatan pembelajaran alternatif.

Banyak pendidik matematika (dosen, guru) yang belum mengembangkan media pembelajaran dengan memanfaatkan software yang ada pada komputer seperti software Mathematica. Padahal dalam menghadapi era globalisasi dan menyongsong era pasar bebas, diperlukan kemampuan dalam menguasai perkembangan teknologi pembelajarn, antara lain pemanfaatan software-software komputer sebagai media pembelajaran matematika.

Belum maksimalnya pembelajaran matematika yang memanfaatkan komputer sebagai media pembelajaran, mendorong peneliti sebagai praktisi pendidikan untuk melakukan penelitian terhadap pembelajaran berbantuan komputer yang difokuskan untuk peningkatan hasil belajar matematik mahasiswa calon guru matematika. Dalam penelitian ini, peneliti terlebih dahulu mengembangkan media pembelajaran matematika berbasis komputer berbantuan software mathematica dengan mengambil topik Mencari Nilai Ekstrim dari Fungsi Kuadrat dan Polinom. Topik ini dipilih karena memiliki keterkaitan yang luas dengan topik matematika lain, dengan disiplin ilmu lain dan dengan kehidupan sehari-hari.

MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA PADA POKOK BAHASAN HIMPUNAN DI KELAS VII4 SMP NEGERI 1 WUNDULAKO KOLAKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK-PAIR-SHARE (TPS)

Latar Belakang Program pendidikan di Indonesia tidak terlepas dari upaya pengembangan sumber daya manusia yang berpotensi, kritis, berkualitas dan mampu bersaing dalam era teknologi yang akan datang khususnya dalam pendidikan. Karena salah satu faktor utama penentu kemajuan di suatu bangsa adalah pendidikan. Oleh karena itu diperlukan pembinaan dan pengembangan pendidikan khususnya pendidikan di sekolah. Pembinaan dan pengembangan pendidikan diawali di bangku sekolahan, dimana siswa dibina untuk mengembangkan suatu kemampuan, keahlian dan keterampilan yang dimilikinya, untuk menguasai suatu konsep dari mata pelajaran yang ditekuninya di sekolah atau lebih khususnya lagi mata pelajaran matematika. Matematika merupakan salah satu mata pelajaran yang sangat penting dalam keberhasilan program pendidikan. Karena matematika sebagai bagian dari pendidikan akademis dan merupakan ilmu dasar bagi disiplin ilmu yang lain sekaligus sebagai sarana bagi siswa agar mampu berpikir logis, kritis dan sistematis. Oleh karena peranan matematika yang begitu penting, maka siswa dituntut untuk dapat menguasai materi sedini mungkin secara tuntas. Hal ini tidak luput dari peranan guru di dalam proses pembelajaran di kelas. Usman dalam Harfin (2006: 2) mengemukakan bahwa peningkatan prestasi belajar matematika didukung oleh berbagai faktor, baik berasal dari dalam diri siswa (internal) maupun berasal dari luar siswa (eksternal). Strategi dan model pembelajaran yang dilakukan oleh guru kepada siswa di dalam kelas merupakan salah satu faktor peningkatan prestasi belajar yang berasal dari luar siswa (eksternal). Dalam proses pembelajaran di dalam kelas, guru tidak terlepas dari masalah-masalah yang dialami siswa, ini dapat disebabkan karena strategi dan model pembelajaran yang diterapkan sehingga siswa memandang matematika itu membosankan dan sukar untuk dipahami. Akibatnya rendahnya prestasi belajar matematika siswa. Fenomena di atas juga dialami di SMP Negeri 1 Wundulako Kolaka. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan tanggal 22 Februari tahun 2007 yang berupa pengamatan langsung di dalam kelas serta informasi dari guru mata pelajaran matematika di kelas VII4 bahwa : (1) metode yang digunakan guru masih menggunakan metode konvensional sehingga keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran sangat kurang dan guru sangat jarang memberikan waktu atau meminta siswa untuk menyelesaikan/mendiskusikan suatu masalah sehingga siswa kurang termotivasi untuk belajar dan berpikir secara mandiri. (2) siswa sangat jarang diberi kesempatan untuk bekerjasama dengan teman dalam kelompok. (3) rata-rata hasil ulangan umun kelas VII4 semester II tahun 2006 yang diberikan oleh guru tersebut hanya mencapai 5,89. Dari rata-rata hasil yang dicapai siswa tersebut masih tergolong sangat rendah bila dibandingkan dengan standar minimal ketuntasan belajar sebesar 6,5. (4) guru tersebut mengemukakan bahwa salah satu kesulitan siswa dalam mata pelajaran matematika yaitu mengenai materi himpunan, khususnya dalam menentukan irisan dan gabungan sebagai contoh, jika diketahui S = {0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8}, A = {1, 2, 3, 4}, B = {2, 4, 6, 8} masih ada siswa yang menjawab AB = {1, 3, 6, 8} dan = {2} {0,6} = {0, 2, 6}. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk pemecahan masalah tersebut.

Dari uraian di atas penulis merasa tertarik untuk menerapkan salah satu model pembelajaran sebagai alternatif pemecahannya. Model pembelajaran yang dimaksud yaitu model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) dimana model pembelajaran ini memberikan waktu lebih banyak untuk siswa berpikir, menjawab, dan saling membantu satu sama lain (Ibrahim dkk, 200: 20). Selain itu pula pembelajaran kooperatif ini, pada siswa dituntut untuk lebih mengutamakan keaktifan serta mengutamakan kerjasama antar siswa yang satu dengan siswa yang lainnya. Ibrahim ddk, (2000: 20) mengemukakan bahwa model pembelajaran kooperatif terdiri beberapa pendekatan yakni pendekatan Student-Teams-Achievement-Division (STAD), Jigsaw, Investigasi Kelompok (IK), dan Pendekatan Struktural. Pendekatan Struktural terbagi atas dua macam tipe yaitu Think-Pair-Share ( Berfikir-Berpasangan-Berbagi) dan NumberedHead-Together (NHT). Berdasarkan hal-hal di atas, maka penulis tertarik ingin mengetahui apakah model pembelajaran kooperatif tipe Think-Pair-Share (TPS) dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa dengan melakukan penelitian dalam bentuk tindakan kelas dengan judul Meningkatkan Prestasi Belajar Matematika Siswa Pada Pokok Bahasan Himpunan di Kelas VII4 SMP Negeri 1 Wundulako Kolaka Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe ThinkPair-Share (TPS).

A. Judul Perbandingan hasil belajar matematika antara siswa yang menggunakan model pembelajaran cooperative learning type numbered heads together dengan menggunakan model biasa B. Latar Belakang Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Pendidikan senantiasa berkenaan dengan manusia, dalam pengertian sebagai upaya sadar untuk membina dan mengembangkan kemampuan dasar manusia seoptimal mungkin sesuai dengan kapasitasnya. Proses pendidikan yang dilaksanakan di sekolah pada dasarnya adalah kegiatan belajar mengajar, yang bertujuan agar siswa memiliki hasil yang terbaik sesuai kemampuannya. Salah satu tolak ukur yang menggambarkan tinggi rendahnya keberhasilan siswa dalam belajar adalah hasil belajar. Hasil belajar dapat di lihat dari tiga aspek, yaitu aspek kognitif, aspek afektif, aspek psikomotor. Di samping itu, guru berperan sebagai faktor penentu keberhasilan siswa dalam belajar. Hal ini di tegaskan dalam Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatakan bahwa kunci utama dalam memajukan pendidikan adalah guru, karena guru secara langsung mempengaruhi, membimbing dan mengembangkan kemampuan peserta didik (siswa) agar menjadi manusia yang cerdas, terampil dan bermoral tinggi. Salah satu disiplinn ilmu pengetahuan yang memegang peranan penting dalam kehidupan dan kehadirannya sangat terkait erat dengan dunia pendidikan adalah Matematika. Matematika perlu dipahami dan dikuasai semua lapisan masyarakat terutama siswa disekolah. Russefendi (Yusuf, 2003:1) mengemukakan, Matematika penting sebagai pembentuk sikap, oleh karena itu salah satu tugas guru adalah mendorong siswa agar dapat belajar dengan baik. Jhon Dewey (Ibrahim, Muchidin, Djajuri, Wahyudin, Fathoni, Hernawan, Sukirman, Sanjaya, Susilana, Sulityo, Darmawan, Rusman, 2002:76) mengemukakan bahwa belajar adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa oleh dirinya sendiri, maka inisiatif belajar harus muncul dari dirinya. Disini tugas guru menyediakan bahan pelajaran tetapi yang mengolah dan mencerna adalah para siswa sesuai dengan bakat, kemampuan dan latar belakang masingmasing. Sesuai yang di kemukakan oleh Sardiman (1986:98), belajar adalah berbuat dan sekaligus merupakan proses yang membuat anak didik harus aktif. Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tujuan yang ingin dicapai melalui pembelajaran matematika di jenjang SMP adalah: (1) memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah; (2) menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika; (3) memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh; (4) mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah, dan (5) memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Depdiknas, 2006:346). Berdasarkan tujuan tersebut tampak bahwa arah

atau orientasi pembelajaran matematika adalah kemampuan pemecahan masalah matematika. Kemampuan ini sangat berguna bagi siswa pada saat mendalami matematika maupun dalam kehidupan sehari-hari, bukan saja bagi mereka yang mendalami matematika, tetapi juga yang akan menerapkannya baik dalam bidang lain (Ruseffendi, dalam Nurardiyati, 2006:2). Namun kenyataan di lapangan, proses kegiatan belajar mengajar di kelas, pembelajaran mata pelajaran eksak tertutama Matematika responnya kurang baik. Seperti yang di kemukakan Ruseffendi (Yusuf, 2003:2), Matematika (ilmu pasti) bagi anak-anak pada umumnya merupakan mata pelajaran yang tidak di senangi kalau bukan pelajaran yang di benci. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Sardiman (1986:85) hasil belajar akan optimal kalau ada motivasi dan motivasi dapat berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi. Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar, sehingga yang dikehendaki oleh subyek belajar itu dapat di tercapai. Begitu juga dalam belajar matematika menurut Hudojo (1988:100), apabila seorang peserta didik mempunyai motivasi belajar matematika, ia akan belajar dengan sungguh-sungguh sehingga ia mempunyai pengertian yang lebih dalam. Ia dengan mudah dapat mencapai tujuan. Ini menunjukan keberhasilan itu dapat meningkatkan motivasi belajar matematika. Sebaliknya, suatu kegagalan dapat menghasilkan harga diri turun, yang berarti motivasinya turun. Bila pemahaman terhadap materi-materi matematika yang dipelajari dapat tercapai. Maka akan timbul motivasi bersama dengan proses untuk mencapai keberhasilan belajar matematika. Dengan kata lain, keberhasilan belajar matematika tidak hanya karena dapat memahami konsep dan teorema serta kemudian dapat mengaplikasikannya, melainkan juga karena kehendak, sikap dan macam-macam motivasi yang lain. Selain itu keberhasilan belajar dapat dipengaruhi oleh guru sendiri, dimana guru masih menerapkan system yang menuntut guru sendiri yang aktif dibandingkan dengan siswa. Sebagaimana yang diungkapkan pleh John Locke dan Herbert (Sardiman, 1986:1997), dalam proses belajar mengajar guru akan senantiasa mendominasi kegiatan. Siswa selalu pasif, sedangkan guru aktif dan segala inisiatif datang dari guru. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dicari suatu model pembelajaran yang diharapkan dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar siswa. Dari hasil kegiatan penulis model pembelajaran kooperatif memiliki peluang untuk mengatasi hal tersebut. Menurut Robert Slarin (Munjiali, 2004:6), Pembelajaran Kooperatif yaitu semua metode pembelajaran yang melibatkan para siswa pembelajar untuk bekerja sama dalam belajar, dimana semua anggota kelompok bertanggung jawab bagi diri pembelajar sendiri. Kelebihan dari model pembelajaran kooperatif menurut Looning (Suhena, 2001:6) pembelajaran kooperatif mempunyai beberapa kelebihan di antaranya : a. b. Reaksi siswa terhadap belajar yang terbuka cukup baik Pertisipasi aktif siswa lebih mudah dikembangkan

c. Langkah-langkah yang ditempuh dalam kegiatan belajar mengajar sangat sistematis dan lebih mudah ditetapkan

Ada beberapa pembelajaran kooperatid, salah satunya pembelajaran kooperatif tipe Numbered Head Together. Pembelajaran ini di kembangkan oleh Spenser Kagen (1993). Dengan melibatkan siswa dalam suatu pelajaran dengan mengecek pemahaman mereka terhadap isi dari pelajaran itu. Menurut Ibrahim (2002) ada empat tahap dalam pelaksanaan Numbered Head Together yaitu : penomoran, mengajukan pertanyaan, berfikir bersama dan menjawab.

PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATERI PENJUMLAHAN DAN PENGURANGAN BILANGAN BULAT MELALUI METODE DEMONSTRASI DENGAN ALAT PERAGA KARTU PINUS BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas IV SD tersebut dapat diperoleh data bahwa secara umum proses belajar mengajar masih teacher centered. Guru jarang menggunakan media atau alat pembelajaran yang juga seharusnya melibatkan siswa dalam penggunaanya. Hal ini menimbulkan siswa kurang memiliki kreatifitas dalam belajar matematika. Proses belajar yang cenderung siswa pasif hanya membuat siswa merasa tidak senang terhadap matematika dan bosan terhadap pelajaran matematika. Bahkan guru kelas mengungkapkan bahwa selama ulangan harian matematika siswa sekitar 50 % tidak mencapai nilai 60 yaitu batas tuntas KKM , walaupun setelah itu juga diadakan ujian perbaikan.Selain, wawancara dengan guru, untuk menguatkan permasalahan maka dilakukan juga wawancara dengan siswa kelas IV yang diambil secara acak. Diperoleh hasil bahwa siswa tidak senang belajar matematika, karena sulit dan pembelajaran kurang menyenangkan. Siswa enggan dan bahkan takut bertanya atau menjawab pertanyaan dikarenakan bingung terhadap materi yang dijelaskan guru, padahal guru selalu memberikan kesempatan bertanya yang seluas luasnya kepada siswa. Proses belajar matematika yang dirasa siswa kurang menyenangkan ini dikuatkan dengan pernyataan guru bahwa memang selama ini belum menggunakan model pembelajaran yang bersifat PAKEM, dikarenakan masih merasa kesulitan dalam penggunaan dan penerapannya. Untuk membuktikan bahwa prestasi matematika siswa kelas IV tidak baik, maka dilakukan Pre Tes yaitu materi pra syarat konsep bilangan bulat. Materi pra syarat ini adalah materi pada kelas III yang telah diajarkan. Hasil Pos Tes menunjukkan bahwa memang prestasi belajar matematika siswa kelas IV tidak baik karena tidak ada siswa yang nilainya mencapai 60 dari KKM yang ditentukan yaitu 60. Kondisi ini cukup memperihatinkan dan perlu dicari pemecahan masalahnya. Kesulitan siswa yang dialami siswa dalam belajar matematika terutama dalam materi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat, penyebabnya adalah materi pelajaran yang lumayan sulit, model dan metode pembelajaran yang dilakukan guru belum memberikan pemahaman konsep yang lebih baikserta dapat mengaktifkan siswa baik fisik maupun mental dalam pembelajaran matematika dan tidak adanya media

pembelajaran sebagai daya dukungnya. Mengingat banyak sekali aplikasi bilangan bulat yang langsung dipakai dalam kehidupan sehari-hari, maka penguasaan penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat oleh siswa harus mendapat perhatian. Dari sejumlah metode yang ada, salah satu metode yang dianggap paling tepat dalam meningkatkan hasil belajar siswa dalam materi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat bagi siswa Sekolah Dasar adalah dengan menggunakan metode demonstrasi menggunakan alat peraga kartu pinus.Dengan menggunakan metode demonstrasi menggunakan alat peraga pinus diharapkan siswa dapat memecahkan masalah yang berkaitan dengan materi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat. Kegiatan belajar metode demostrasi menggunakan alat peraga kartu pinus mempunyai nilai salur yang tinggi selain siswa bisa belajar tentang operasi bilangan bulat dengan mudah, siswa juga dapat menimbulkan sikap saling menghormati dan menimbulkan kreativitas siswa. Berdasarkan permasalahan diatas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian. Penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti yaitu penelitian tindakan kelas dengan judul Peningkatan prestasi belajar siswa pada materi penjumlahan dan pengurangan bilangan bulat melalui metode demonstrasi dengan alat peraga pinus

Pengaruh Pembelajaran Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar Matematika LATAR BELAKANG MASALAH Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tidak terlepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni dan budaya. Sementara itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat ini tidak lepas dari peran pendidikan, dan pendidikan merupakan bagian hakiki dari kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, masalah pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Masalah pendidikan seringkali menjadi topik perbincangan yang menarik dan hangat, di kalangan masyarakat luas, dan lebih-lebih lagi pakar pendidikan. Hal ini merupakan hal yang wajar karena semua orang berkepentingan dan ikut terlibat dalam proses pendidikan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memungkinkan semua pihak dapat memperoleh informasi dengan melimpah, cepat dan mudah melalui berbagai sumber dan tempat di dunia ini. Dengan demikian, siswa perlu memiliki kemampuan memperoleh, memilih dan mengolah informasi untuk bertahan pada keadaan yang selalu berubah dan penuh dengan persaingan. Kemampuan untuk memperoleh, memilih dan mengolah informasi membutuhkan pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif dan kemauan bekerja sama yang efektif. Cara berpikir seperti ini dapat dikembangkan dengan belajar matematika, karena matematika memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan siswa terampil berpikir rasional (Depdiknas, 2005). Selain itu, Indonesia sebagai negara berkembang sangat membutuhkan tenaga-tenaga kreatif yang mampu memberi sumbangan bermakna kepada ilmu pengetahuan, teknologi dan kebudayaan termasuk kesenian.

Matematika berfungsi mengembangkan kemampuan menghitung, mengukur dan menggunakan rumus matematika yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari melalui materi pengukuran dan geometri, serta aljabar dan trigonometri. Matematika juga berfungsi mengembangkan kemampuan mengkomunikasikan gagasan dengan bahasa yang dapat berupa model matematika, kalimat matematika, diagram, grafik atau tabel (Depdiknas, 2005). Matematika sebagai salah satu ilmu dasar merupakan mata pelajaran yang wajib diajarkan pada semua jenjang pendidikan, baik sekolah dasar, sekolah menengah mupun perguruan tinggi. Cornelius mengatakan bahwa ada banyak alasan tentang perlunya siswa belajar matematika, yaitu: 1) merupakan sarana berpikir yang jelas dan logis; 2) sarana memecahkan masalah kehidupan sehari-hari; 3) sarana mengenal pola-pola hubungan dan

generalisasi pengalaman; 4) sarana mengembangkan kreativitas; dan 5) sarana untuk meningkatkan kesadaran terhadap perkembangan budaya (dalam Abdurrahman, 1999).

Begitu pentingnya peranan matematika seperti yang diuraikan di atas, seharusnya membuat matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang menyenangkan dan digemari oleh siswa. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mata pelajaran matematika masih merupakan pelajaran yang dianggap sulit, membosankan dan sering menimbulkan masalah dalam belajar. Kondisi ini mengakibatkan mata pelajaran matematika tidak disenangi, tidak diperdulikan dan bahkan diabaikan. Hal ini tentunya menimbulkan kesenjangan yang cukup besar antara apa yang diharapkan dari belajar matematika dengan kenyataan yang terjadi di lapangan. Di satu sisi matematika mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, meningkatkan daya nalar, berpikir logis, sistematis dan kreatif. Di sisi lain banyak siswa yang tidak menyenangi mata pelajaran matematika.

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam rangka membangun pemahaman siswa yang nantinya diharapkan bermuara pada peningkatan mutu pendidikan, khususnya pendidikan matematika. Upaya-upaya yang dimaksud di antaranya penyempurnaan kurikulum, pengadaan buku ajar atau bahan ajar atau buku referensi lainnya, melaksanakan program academic staff deployment (ASD) yaitu menerjunkan dosen ke sekolah sebagai guru, peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan lainnya baik melalui pelatihan, seminar dan kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), serta peningkatan kualifikasi pendidikan mereka. Namun demikian, semua usaha tersebut nampaknya belum membuahkan hasil yang optimal. Berbagai indikator menunjukkan bahwa mutu pendidikan, terlebih lagi pendidikan matematika yang secara otomatis menyentuh prestasi belajar matematika siswa mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah sampai kepada perguruan tinggi masih belum meningkat secara signifikan.

Upaya meningkatkan prestasi belajar matematika rupanya harus dilakukan dengan kerja keras serta harus menghadapi berbagai hambatan, antara lain: 1) pelajaran matematika masih menjadi mata pelajaran yang menakutkan bagi siswa, sehingga siswa atau masyarakat umum beranggapan bah wa mata pelajaran matematika itu adalah mata pelajaran yang hanya berkutat pada angka-angka saja; 2) sering terdengar nada-nada miring yang tersebar di masyarakat terkait dengan diberikannya pelajaran matematika di sekolah, di mana mereka beranggapan bahwa mata pelajaran matematika tidak ada manfaatnya bagi kehidupan sehari-hari. Selain itu, seperti termuat pada harian Kompas edisi 28 Maret 2002 dapat diperoleh gambaran sikap siswa terhadap mata pelajaran ini. Disebutkan bahwa mata pelajaran matematika merupakan mata pelajaran yang tidak menarik bagi para siswa SD sampai SMA serta bagi mahasiswa di perguruan tinggi. Sikap antipati ini disebabkan karena siswa menganggap matematika merupakan pelajaran yang sulit dan hanya merupakan ilmu murni yang kerjanya bergulat dengan angka-angka saja.

Salah satu patokan yang sering digunakan untuk menggambarkan kurang berhasilnya pendidikan matematika di semua jenjang pendidikan adalah nilai hasil ujian akhir nasional (NUAN), karena NUAN merupakan indikator yang mudah dilihat oleh masyarakat luas untuk digunakan sebagai acuan tentang keberhasilan pendidikan, khususnya pendidikan matematika. Kenyataan menunjukkan bahwa secara nasional rata-rata NUAN matematika siswa SMP pada lima tahun terakhir ini berkisar antara 4,00 sampai 5,50 (Sumadi dkk, 2004). Sementara itu, khusus di SMP DHARMA LAKSANA, rata-rata NUAM untuk mata pelajaran matematika masih sulit beranjak dari urutan terbawah dan bahkan diklasifikasikan C. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.1 di bawah ini. Tabel 1.1 Rata-rata NUAM Siswa SMP DHARMA LAKSANA Dua Tahun Terakhir

(Sumber Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMP DHARMA LAKSANA)

Hasil observasi di SMP DHARMA LAKSANA menunjukkan bahwa dalam pembelajaran matematika di kelas proses belajar-mengajar masih didominasi oleh guru, di mana guru sebagai sumber utama pengetahuan. Hal ini dilakukan oleh guru karena guru mengejar target kurikulum untuk menghabiskan materi pembelajaran atau bahan ajar dalam kurun waktu tertentu. Guru juga lebih menekankan pada siswa untuk menghapal konsep-konsep, terutama rumus-rumus praktis, yang nantinya bisa digunakan oleh siswa dalam menjawab soal ulangan harian, ulangan umum atau pun UAN tanpa melihat secara nyata manfaat materi yang diajarkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, siswa akan semakin beranggapan belajar matematika itu tidak ada artinya bagi kehidupan mereka, abstrak dan sulit dipahami. Akibatnya siswa selalu memandang matematika sebagai pelajaran yang menakutkan bahkan yang lebih ekstrim lagi siswa mengangap matematika itu sebagai musuh. Semua itu pada akhirnya akan bermuara pada rendahnya prestasi belajar yang diperoleh siswa dalam pelajaran matematika.

Dalam proses pembelajaran matematika selama ini, guru menerapkan strategi klasikal dengan metode ceramah menjadi pilihan utama sebagai metode pembelajaran. Pola pembelajaran atau urutan sajian materi dalam pembelajaran matematika yang biasa dilakukan selama ini adalah (1) pembelajaran diawali penjelasan singkat materi oleh guru, siswa diajarkan teori, defenisi, teorema yang harus dihafal, (2) pemberian contoh soal dan (3) diakhiri dengan latihan soal. Dalam latihan soal, siswa selalu diarahkan untuk menjawab benar untuk setiap jawaban benar, kemampuan berpikir konvergen siswa lebih ditekankan tanpa memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir divergen (Ichrom, 1988). Pola pembelajaran konvensional seperti di atas

dilakukan secara monoton dari waktu ke waktu. Dalam pembelajaran ini konsep yang diterima siswa hampir semuanya berasal dari apa kata guru. Konsekwensinya, bila siswa diberikan soal yang berbeda dengan soal latihan, maka siswa cenderung membuat kesalahan. Pengetahuan yang dimiliki siswa hanya bersifat prosedural yaitu siswa cenderung menghafal contoh-contoh yang diberikan oleh guru tanpa terjadi pembentukan konsepsi yang benar dalam struktur kognitif siswa. Siswa akan menemui hambatan jika diberikan soal yang tidak bisa diselesaikan dengan rumus secara langsung, tetapi melalui penerapan beberapa rumus atau konsep. Boleh dibilang siswa memiliki senjata canggih tetapi tidak mengetahui cara menggunakannya. Keadaan seperti ini membuat siswa mengalami kesulitan memahami konsep matematika sehingga sangat mudah terjadi miskonsepsi yang nantinya akan menyebabkan siswa mengalami kesulitan memahami konsep lebih lanjut.

Dominasi metode ceramah dalam pembelajaran matematika cenderung berorientasi pada materi yang tercantum dalam kurikulum dan buku teks, serta jarang mengaitkan materi yang dibahas dengan masalah-masalah nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat guru menjelaskan materi, siswa cenderung diam serta mendengarkan apa yang dijelaskan oleh guru, siswa tidak bisa berargumentasi jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan terkait dengan materi yang ada di buku.

Sebagai salah satu komponen penting dalam meningkatkan kualitas pendidikan, kegiatan belajar mengajar (KBM) perlu diubah atau direvisi agar mampu meningkatkan prestasi belajar matematika siswa, apalagi pemerintah dalam hal ini Depdiknas merencanakan menerapkan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) pada tahun ajaran 2004/2005 secara nasional. Prambudi (2004) menyebutkan bahwa salah satu alasan diberlakukannya kurikulum terbaru (kurikulum berbasis kompetensi) adalah karena rendahnya kualitas pembelajaran, termasuk kualitas pembelajaran matematika. Dalam rangka menyongsong KBK, maka guru perlu merancang suatu pembelajaran yang menunjang rencana tersebut. Guru harus mampu mengupayakan membuat penyajian materi pelajaran matematika yang menarik dan menyenangkan.

Landasan berpikir KBK adalah konstruktivis yang esensinya adalah siswa harus menemukan dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan di benak mereka sendiri dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Pelajaran akan bermakna bila dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang dapat mengaitkan konten kurikulum yang dipelajari siswa dengan konteks kehidupan nyata. Dengan demikian pembelajaran yang sesuai dengan nafas KBK adalah pembelajaran kontekstual.

Pembelajaran kontekstual adalah suatu pembelajaran yang berupaya mengaitkan materi yang dipelajari dengan pengalaman siswa. Pembelajaran kontekstual tidak mengharuskan siswa menghafal faktafakta, tetapi mendorong siswa mengkontruksi pengetahuan di benak siswa sendiri (Depdiknas, 2002).

Dalam pembelajaran ini siswa didorong membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Proses pembelajaran kontekstual berlangsung secara alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan trasfer pengetahuan dari guru ke siswa. Pembelajaran kontekstual menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen (kreatif).

Penerapan pembelajaran kontekstual diduga dapat memberikan sumbangan alternatif pemecahan masalah pembelajaran matematika, khususnya dalam meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Di SMP, penerapan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika dimungkinkan karena topik-topik matematika yang diajarkan di SMP umumnya sebagian besar masih dapat dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Selain itu, menurut Piaget walaupun siswa SMP sudah berada pada tahap operasional formal, namun perubahan dari tahap operasional konkrit ke tahap operasional formal tidak berlangsung secara mendadak tetapi secara bertahap, sehingga siswa SMP yaitu pada usia 12-16 tahun proses berpikirnya belum sepenuhnya bersifat abstrak, sehingga masih membutuhkan bendabenda nyata dalam pembelajarannya (Depdiknas, 2005).

Gaya berpikir adalah perbedaan-perbedaan individu dalam merespon suatu permasalahan tentang halhal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan. Klasifikasi gaya berpikir siswa dibagi menjadi dua, yaitu gaya berpikir konvergen dan gaya berpikir divergen. Gaya berpikir divergen adalah respon individu yang tunggal dan konvensional tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan, sedangkan gaya berpikir divergen adalah respon individu mencakup berbagai alternatif yang merupakan variasi ide yang tidak bisa tentang hal-hal yang terkait dengan pembicaraan atau informasi yang diberikan.

Pembelajaran matematika dengan pembelajaran kontekstual memberikan kebebasan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya, perolehan informasi dan merespon permasalahan yang diberikan. Pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang menekankan pada tingkat berpikir yang tinggi, yaitu berpikir divergen (kreatif) (Depdiknas, 2005). Sedangkan pembelajaran matematika yang menggunakan pembelajaran konvensional cenderung mengarahkan siswa untuk memberi respon yang tunggal terhadap permasalahan yang diberikan. Siswa diharuskan menjawab benar untuk setiap jawaban benar, kemampuan berpikir konvergen siswa lebih ditekankan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mencoba menerapkan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran matematika dengan melaksanakan penelitian berjudul Pengaruh Pendekatan Kontekstual dan Gaya Berfikir terhadap Prestasi Belajar Matematika.

You might also like