You are on page 1of 4

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Konsep paradigma sehat di dalam pembangunan kesehatan adalah, pembangunan kesehatan yang lebih memprioritaskan upaya promotif dan preventif dibandingkan kuratif dan rehabilitatif. Program imunisasi menurunkan angka kesakitan dan angka kematian serta kecacatan pada bayi dan balita.1 Program imunisasi sudah terintegrasi, merupakan bagian dari pelayanan dasar di Puskesmas dan sudah menjadi kegiatan rutin yang terjadwal dengan prosedur dan Standar Operasional Pelayanan (SOP) yang baku. Tujuan vaksin ini untuk mencegah terjadinya angka kesakitan dan kematian dari penyakit-penyakit yang dapat di cegah dengan imunisasi (PD3I). Sasaran yang hendak di capai adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi pada lapisan masyarakat dengan prioritas pada bayi, anak usia sekolah, wanita usia subur termasuk ibu hamil, serta kelompok risiko tinggi lainnya sehingga tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat.2 Vaksin merupakan komponen utama dalam program imunisasi dimana ketersediaannya harus menjamin sampai ke sasaran. Sesuai dengan PP 38 tahun 2007 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Provinsi sebagai daerah otonomi, Peraturan Menteri Kesehatan No 1575 Tahun 2005 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Depkes, antara lain menyebutkan bahwa kewenangan Pemerintah Pusat menyediakan obat esensial tertentu dan obat sangat esensial untuk pelayanan kesehatan dasar. Di dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) Vaksin ada dibagian Sistem Imun, Obat yang mempengaruhi, dengan (delapan) jenis vaksin yakni vaksin BCG, vaksin campak, vaksin hepatitis B rekombinan, vaksin jerap difteri tetanus (DT), vaksin jerap difteri tetanus pertusis (DPTHB), vaksin jerap tetanus (tetanus adsorbed toxoid), vaksin polio dan vaksin rabies untuk manusia.1

Vaksin pertama kali dikenalkan oleh Edward Jenner, seorang dokter dari Inggris. Pada tahun 1796, dia meneliti sebuah kasus cacar pada seorang pekerja harian. Jenner memutuskan untuk mengimunisasi pekerja tersebut dengan imunisasi cacar sapi ringan. Kemudian Jenner mengambil beberapa cairan dari luka penderita cacar dan dengan sengaja menggoreskan ke permukaan lengan seorang anak berusia 8 tahun. Empat puluh delapan hari kemudian Jenner menamakan temuannya Vaksin yang berarti sapi dalam bahasa Latin.3 Sejarah imunisasi di Indonesia dimulai pada tahun 1956 dengan imunisasi cacar. Tahun berikutnya imunisasi tidak berkembang signifikan, perkembangan baru dirasakan pada tahun 1973 dengan dilakukannya imunisasi BCG untuk menanggulangi Penyakit Tuberkolosis. Disusul imunisasi Tetanus Toxoid pada ibu hamil pada tahun 1974, kemudian imunisasi DPT (Difetri, pertusis, tetanus) pada bayi mulai diadakan pada 1976. Pada tahun tahun 1977, World Health Organization (WHO) mulai menetapkan program imunisasi sebagai upaya global dengan Expanded Program on Immunization (EPI), yang diresolusikan oleh World Health Assembly (WHA). Terobosan ini menepatkan EPI sebagai komponen penting pelayanan kesehatan ibu dan anak, khususnya dalam pelayanan kesehatan primer. Pada tahun 1981 mulai dilakukan imunisasi Polio, tahun 1982 imunisasi campak, dan tahun 1997 imunisasi hepatitis mulai dilaksanakan. Pada akhir tahun 1988 diperkirakan bahwa cakupan imunisasi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan beberapa negara berkembang lainnya.3,4 Pelayanan imunisasi bayi mencakup BCG, DPT (3 kali), Polio (4 kali), Hepatitis B (3 kali), yang dilakukan melalui pelayanan rutin di posyandu dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Cakupan imunisasi BCG sebesar 1142 (92,9 %), DPT1+HB1 sebesar 1155 (93,8%), DPT3+HB3 sebesar 1143 (92,9%), polio 3 sebesar 1144 (93,0%), campak sebesar 1153 (93,7%).2 Vaksin adalah produk biologis yang terbuat dari kuman, komponen kuman atau racun kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan yang berguna untuk merangsang timbulnya kekebalan seseorang. Bila vaksin diberikan kepada seseorang, akan menimbulkan kekebalan spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu.1,5,6 Sebagai produk biologis, Semua vaksin merupakan produk biologis

yang rentan, memiliki karakteristik tertentu sehingga memerlukan penanganan yang khusus sejak diproduksi di pabrik hingga dipakai di unit pelayanan. Suhu yang baik untuk semua jenis vaksin adalah + 20C sampai dengan +80C.1,5 Agar kualitas vaksinasi sesuai dengan standar yang ditetapkan guna menumbuhkan imunitas yang optimal bagi sasaran imunisasi maka dibutuhkan suatu cara penyimpanan vaksin yang baik, yamg disebut Rantai dingin (Cold Chain). Rantai dingin (Cold Chain) adalah cara menjaga agar vaksin dapat digunakan dalam keadaan baik atau tidak rusak sehingga mempunyai kemampuan atau efek kekebalan pada penerimanya, akan tetapi apabila vaksin diluar temperatur yang dianjurkan maka akan mengurangi potensi kekebalannya.5 Penyimpanan vaksin yang tidak baik atau menyimpang dari ketentuan yang telah ditetapkan, dapat mengakibatkan kerusakan vaksin sehingga menurunkan atau menghilangkan potensinya. Bahkan bila diberikan kepada sasaran dapat menimbulkan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang tidak diinginkan. Kerusakan Vaksin dapat mengakibatkan kerusakan sumber daya yang tidak sedikit, baik dalam bentuk biaya vaksin maupun biaya-biaya lain terpaksa dikeluarkan untuk menganggulangi masalah Kejadian Ikutan pasca Imunisasi (KIPI) atau Kejadian Luar Biasa (KLB).1,5 Dari latar belakang di atas maka pengolahan vaksin sangat berpengaruh dalam kualitas vaksin.

1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui masalah-masalah dalam pelakasanaan pengelolaan vaksin di Puskesmas Tanjung Pinang. 1.2.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari makalah ini adalah: 1. Mengetahui gambaran pengelolaan vaksin di Puskesmas Tanjung Pinang. 2. Mengetahui alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan dalam pengelolaan vaksin di Puskesmas Tanjung Pinang.

3. Mengidentifikasi

masalah-masalah

dalam

pengelolaan

vaksin

Puskesmas Tanjung Pinang.

You might also like