You are on page 1of 72

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Manusia sebagai subyek hukum yang hidup secara berkelompok dalam suatu komunitas tertentu dalam suatu wilayah tertentu disebut masyarakat. Dalam kehidupannya manusia disadari adanya interaksi satu sama lain. Menurut kodratnya manusia adalah makhluk sosial atau makhluk

bermasyarakat, selain itu juga diberikan yang berupa akal pikiran yang berkembang serta dapat dikembangkan. Dalam hubungannya dengan manusia sebagai makhluk sosial, manusia selalu hidup bersama dengan manusia lainnya. Dorongan masyarakat yang dibina sejak lahir akan selalu menampakan dirinya dalam berbagai bentuk, karena itu dengan sendirinya manusia akan selalu bermasyarakat dalam kehidupannya. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, juga karena pada diri manusia ada dorongan dan kebutuhan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain, manusia juga tidak akan bisa hidup sebagai manusia kalau tidak hidup di tengah-tengah manusia. Diperkuat dengan dalil Aristoteles mengatakan manusia itu zoon politicon yang artinya satu individu dengan individu lainnya saling membutuhkan satu sama lain sehingga keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan

dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena sifat manusia itu yang suka bergaul antara satu dengan yang lainnya, maka manusia itu disebut sebagai makhluk sosial.1) Sebagai makhluk sosial, maka manusia yang di dalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh orang lain dan tentunya akan terjadi hubungan secara timbal balik dengan manusia lain.2) Selain itu, sebagai makhluk sosial, manusia juga sebagai makhluk pribadi yang dengan segala keunikan personality nya adalah makhluk sosial yang secara kodrati tercipta untuk berkehidupan bersama. Salah satu bentuk kerjasama dengan orang lain yaitu saling bahu membahu dan bekerja sama dalam rangka memenuhi kebutuhan dan untuk tujuan hidupnya. Makhluk sosial dan makhluk pribadi, manusia (natuurlijk person) juga sebagai subyek hukum.3) Oleh karena itu, di Indonesia tiap-tiap manusia dianggap sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum dan merupakan subyek hukum. Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir saat ia meninggal dunia.4) Aktivitas kehidupan sehari-hari, adakalanya manusia sebagai subyek hukum melakukan hubungan hukum seperti pinjam meminjam, jual beli, sewa menyewa, kontrak maupun perjanjian kerjasama, baik antara dua orang atau lebih. Hal tersebut merupakan suatu perbuatan hukum karena adanya ikatan yang mengikat antara pihak yang satu dengan pihak yang lain.

Chainur Arrasjid, Pengantar Ilmu Hukum, (Medan: Yani Corporation, 1988), hal.1 Elly M. Setiadi, dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Bandung: Kencana Prenada Media Group, 2007), hal. 67 3) Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. ke-29, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001), hal. 19 4) Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. ke-37, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), hal. 4
2)

1)

Secara yuridis, suatu hubungan hukum yang dilakukan seseorang dengan orang lain yang semula sangat bersifat keperdataan (individual contract), seringkali dapat berkembang menjadi problem yang kompleks karena mengandung aspek yuridis lain, misalnya dimensi kepidanaan. Peristiwa hukum berupa perjanjian atau hubungan hutang piutang yang dilakukan antara dua orang misalnya, ketika realisasi dari perjanjian atau hubungan hukum hutang piutang tersebut tidak sesuai rencana semula atau terjadi "pengkhianatan" di antara mereka, seringkali berubah menjadi kasuskasus pidana sebagai penipuan, penggelapan, dan sebagainya. Jika sudah demikian, maka pengetahuan dan kehati-hatian tentang aspek-aspek hukum dalam suatu tindakan hukum menjadi sangat urgen untuk dipahami oleh setiap manusia sebagai subyek hukum. Sebagaimana dalam penulisan skripsi ini, penulis mencoba

mengangkat dan membatasi sebuah kasus yang diawali dari perkara perdata, namun dalam perkembangan selanjutnya menjadi perkara pidana. Kasus tersebut terdapat dalam Putusan Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb dengan Terdakwa Djono Sutanto (yang selanjutnya dalam penulisan ini disebut Terdakwa) sebagai penjual batubara dan Suwanto Sutono selaku Direktur PT Prima Multi Arta sebagai pembeli batubara. Berawal dari adanya kerjasama antara Terdakwa dengan Suwanto Sutono sepakat melakukan transaksi jual beli batubara. Pada hari Selasa tanggal 07 Juli 2009 terdakwa datang menemui Pembeli di kantornya yang berlamat di Jl. Payau 1 No 01 Kelurahan Sei Besar Kec Banjarbaru Selatan,

Kota Banjarbaru dengan mengatakan akan menurunkan batubara dalam jumlah 1.000 metrik ton, kemudian Terdakwa meminta uang kepada saksi Suwanto Sutono sebesar Rp. 130.000.000 (seratus tiga puluh juta rupiah) untuk pembayaran kepada pihak ketiga dengan rincian sebagai berikut : 1. Biaya kontraktor Rp.75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) per ton sehingga membutuhkan biaya sebesar Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah); 2. Biaya trucking Rp.50.000,- (lima puluh ribu rupiah) per ton sehingga membutuhkan biaya sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah); 3. Biaya premi supir Rp.5.000,- (lima ribu rupiah) per ton sehingga membutuhkan biaya sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah). Kemudian pada hari Selasa tanggal 07 Juli 2009 Suwanto Sutono memerintahkan kepada Rustini selaku kasir di PT Prima Multi Arta untuk mengeluarkan uang tunai sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan langsung diterima oleh Terdakwa. Pada hari yang sama saksi Suwanto Sutono memerintahkan Sukamto Rianto selaku Manager Keuangan PT Prima Multi Artha untuk mengirimkan uang melalui transfer Bank Mandiri Banjarbaru ke rekening Terdakwa sebesar Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah). Kemudian pada hari Kamis tanggal 09 Juli 2009 Suwanto Sutono memerintahkan Sukamto Rianto untuk mengirimkan uang melalui transfer Bank Mandiri Banjarabaru kerekening Terdakwa sebesar Rp. 55.000.000,(lima puluh lima juta rupiah). Sehingga jumlah uang yang diterima oleh

Terdakwa dari Suwanto Sutono sebesar Rp.130.000.000 (seratus tiga puluh juta rupiah). Uang yang diterima terdakwa dari saksi Suwanto Sutono sebesar Rp.130.000.000 (seratus tiga puluh juta rupiah) seharusnya digunakan untuk membayar biaya kontraktor, biaya trucking dan biaya prenmi supir. Tetapi terdakwa dengan sengaja memiliki uang tersebut sacara melawan hukum dengan cara uang tersebut digunakan oleh terdakwa untuk pembayaran fee lahan dan fee jalan kepada saksi Yamin sebagai pemilik lahan serta untuk pembayaran fee lahan, fee debu, fee desa, fee kepala desa setempat. Dikarenakan Terdakwa tidak menyerahkan uang yang diterima dari Suwanto Sutono untuk pembayaran kontraktor, biaya trucking dan biaya premi supir, maka Suwanto Sutono didatangi oleh Hardiansyah selaku kontraktor untuk menagih pembayaran biaya kontraktor sebesar

Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) kemudian Suwanto Sutono mengatakan uangnya sudah diserahkan kepada Terdakwa. Karena Suwanto Sutono berkepentingan terhadap batubara tersebut, sehingga Suwanto Sutono membayaar biaya kontraktor sebesar Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) kepada Hardiansyah. Kemudian Suwanto Sutono didatangi oleh Tony Budy Susetyo untuk menagih pembayaran biaya trucking dan biaya premi supir. Akhirnya Suwanto Sutono kembali membayar uang tersebut dan ternyata jumlah pembayarannya tidak sampai Rp.55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah) seperti yang diminata oleh Terdakwa, tetapi nilanya hanya sebesar Rp.38.569.500,- (tiga

puluh delapan juta lima ratus enam pululuh sembilan ribu lima ratus rupiah). Akibat perbuatan tersebut, Suwanto Sutono mengalami kerugian sebesar Rp.130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah). 5) Atas perbuatannya tersebut, Terdakwa dilaporkan ke pihak kepolisian Resort Banjarbaru dengan tuduhan penggelapan dan penipuan. Dakwaan Penuntut Umum yang disusun secara alternatif, Terdakwa didakwa kesatu, melakukan tindak pidana penggelapan yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 372 KUHP, dan kedua melakukan tindak pidana penipuan yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 378 KUHP. Berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan, Terdakwa mengatakan uang Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta Rupiah) tersebut untuk membayar kontraktor, ongkos angkut dan memberi premi sopir dan Terdakwa berjanji dengan membuat pernyataan tertulis akan menurunkan batubara antara tanggal 09 Juli sampai dengan tanggal 11 Juli 2009. Ternyata Terdakwa tidak menepati janjinya dan uang dari Suwanto Sutono telah digunakannya sendiri untuk membayar fee lahan, fee debu, fee Desa dan fee Kepala Desa. Mencermati kasus di atas, maka dapat dilihat bahwa kasus ini adalah kasus keperdataan yaitu adanya perjanjian jual beli batubara yang telah disepakati bersama dengan pengiriman sampai ke pelabuhan. Namun, apakah secara yuridis tindakan Terdakwa yang tidak menempati janjinya mengirim batu bara 1.000 (seribu) metrik ton ke pelabuhan dan Terdakwa telah

5)

Putusan Pengadilan Negeri Banjarbaru Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb, hal. 5 dan 7

menerima uang muka sesuai permintaannya tetapi ternyata ia tidak menurunkan batubara yang dijanjikan tepat pada waktunya, yaitu antara tanggal 09 Juli sampai dengan tanggal 11 Juli 2009. Terdakwa baru menurunkan batubara dimaksud setelah melampaui tanggal 11 Juli 2009, tetapi masih dalam bulan Juli 2009 apakah dapat dikatakan sebagai kejahatan penipuan. Meskipun tidak dipungkiri bahwa tidak sedikit kasus penggelapan dan penipuan berawal dari kasus keperdataan. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, penulis tertarik untuk menyusun penulisan skripsi ini dengan judul: PENGALIHAN PEMBAYARAN FEE SEBAGAI TINDAK PIDANA PENIPUAN PADA PERKARA NOMOR 44/PID.B/2011/PN.BJB. B. Permasalahan Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka 2 (dua) permasalahan yang dapat penulis kemukakan sebagai berikut: Apakah tidak terlaksananya tujuan pembayaran karena pengalihan fee dapat menjadi dasar tindak pidana penipuan? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui tidak terlaksananya tujuan pembayaran karena pengalihan fee dapat menjadi dasar tindak pidana penipuan. 2. Kegunaan dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu secara teoritis dan secara praktis yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Kegunaan teoritis, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan dalam bidang ilmu hukum perihal hubungan hukum keperdataan yang menjadi tindak pidana penipuan. b. Kegunaan praktis yaitu untuk memperoleh data dan informasi serta untuk memberi gambaran dan sumbangan pemikiran bagi ilmu hukum khususnya mengenai putusan hakim dalam memandang suatu kasus tindak pidana penipuan yang awalnya dari hubungan hukum keperdataan.

D. Kerangka Konseptual Soerjono Soekanto dalam bukunya Pengantar Penelitian Hukum, menjelaskan pengertian kerangka konseptual adalah kerangka yang

menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dalam arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin atau yang akan diteliti.6) Selain itu pengertian kerangka konseptual berisi uraian konsepkonsep yang berhubungan dengan variabel penelitian.7) Atas dasar pengertian di atas, maka kerangka konseptual yang dapat penulis kemukakan dalam penulian skripsi adalah sebagai berikut:

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.132. 7) Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Pedoman Penulisan Skripsi Bidang Hukum, (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar Nomor 015-D/FHUNTAR/II/2011, 2011), Lampiran 2

6)

Pengertian alih berarti beralih, berpindah, mengalihkan, memindahkan; peralihan, pemindahan, pergantian, alih-alih, kiranya; tetapi rupanya.8) Pengalihan berarti proses, cara, perbuatan mengalihkan; pemindahan; penggantian; penukaran; pengubahan.9) Fee dapat diartikan sebagai suatu biaya atau harga untuk membayar imbalan-imbalan jasa. Biaya biasanya memudahkan untuk overhead, upah, biaya, dan markup.10) Pada situs Dictionary.com, fee dapat diterjemahkan sebagai:11) 1. Biaya atau pembayaran untuk jasa profesional: biaya dokter. 2. Jumlah yang dibayar atau dikenakan biaya untuk hak istimewa, biaya masuk. 3. Muatan yang diperbolehkan oleh hukum untuk pelayanan petugas publik. 4. Hukum. a. Sebuah harta warisan di tanah, baik mutlak dan tidak terbatas pada setiap kelas tertentu dari ahli waris (biaya sederhana) atau terbatas pada kelas tertentu dari ahli waris (ekor biaya). b. Warisan diwariskan di tanah milik seorang tuan tanah pada kondisi melakukan jasa tertentu. c. Biaya untuk menyelenggarakan suatu wilayah. 5. Sebuah gratifikasi atau tip;

Darmansyah, Kamus Bahasa Indonesia, Dengan Ejaan Yang Disempurnakan Menurut Pedoman, (Jakarta: Batavia Press, 2008), hal. 25 9) Anonim, Pengalihan, http://www.artikata.com/arti-357583-pengalihan.html, diunduh 22 Juni 2012. 10) Anonim, Fee, http://en.wikipedia.org/wiki/Fee, diunduh 22 Juni 2012. 11) Anonim, Fee, http://dictionary.reference.com/browse/fee, diunduh 22 Juni 2012.

8)

6. Untuk memberikan suatu biaya; 7. Terutama perskot (uang muka) untuk menyewa; mempekerjakan. Tindak adalah mengambil langkah, berhak sesuatu sebagai sambutan kepada sesuatu kejadian.12) Tindak pidana adalah tindak pidana yang dilakukan oleh satu atau lebih dari satu orang yang bekerjasama dan dilakukan pada saat yang bersamaan, atau dilakukan oleh dua atau lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda akan tetapi merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh mereka sebelumnya atau dilakukan oleh tiga orang atau seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan dipergunakan untuk melakukan tindak pidana lain/menghindarkan diri dari pemidanaan karena tindak pidana lain.13) Pengertian lain tindak pidana adalah suatu perbuatan yang diancam dengan pidana dengan undang-undang yang bertentangan dengan hukum, dilakukan dengan kesalahan orang mana dapat dipertanggungjawabkan.14) Pengertian penggelapan secara umum adalah penyelewengan, korupsi, proses, cara atau perbuatan menggelapkan.15) Kata penggelapan juga berarti memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian adalah milik kepunyaan orang lain dengan cara melawan hukum, tindak pidana penggelapan ini dapat terjadi sewaktu pengalihan hak milik orang lain menjadi hak si pelaku yang berkehendak untuk memilikinya dan tentulah dalam hal ini dilakukan tanpa

Padmo Wayhono, Kamus Tata Hukum, (Jakarta: Ind Hill-Co, 1987), hal. 490 Ibid., hal. 282 14) Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya . (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1986), hal. 29 15) Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 349.
13)

12)

10

izin pemilik aslinya. Dengan pengalihan hak yang demikian itu, maka si pelaku atau si pengambil hak itu bertindak seolah-olah sebagai pemilik aslinya dan tindakan-tindakan itu dapat berbentuk menjual, menggadaikan atau menyewakan dan sebagainya.16) Khusus di dalam hukum pidana materiil masalah penggelapan diatur dalam Pasal 372 KUHP, adalah dengan sengaja dan melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri (zich toeeigenen) barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.

D. Metode Penelitian Sifat dari penelitian ini adalah deskriptif, yaitu berupa penelitian yang menggambarkan fenomena atas permasalahan tertentu dan pada dasarnya dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.17) Pada penulisan skripsi ini, menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,18) penelitian hukum normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal yaitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahanbahan hukum primer dan sekunder. Penelitian hukum yang normatif dapat
Gerson W. Bawengan, Hukum Pidana di Dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983), hal. 150. 17) Soerjono Soekanto, Op.Cit. hal.10 18) Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), hal. 13-14.
16)

11

berupa inventarisasi hukum positif, usaha-usaha penemuan asas-asas dasar falsafah (doktrin) hukum positif, usaha penemuan hukum (in concreto) yang sesuai untuk diterapkan guna penyelesaian perkara tertentu. Ruang lingkup dalam penelitian ini dibatasi pada putusan pengadilan tentang tindak pidana yang diawali dengan adanya wanprestasi pengiriman batubara yang tidak tepat waktu. Bahan dalam penulisan ini terdiri dari 2 (dua) yaitu bahan hukum dan bahan non hukum. Adapun bahan-bahan hukum yang dipergunakan dalam penulisan ini meliputi: 1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dalam penelitian ini, bahan hukum perimer yang penulis gunakan yaitu bahan yang merupakan ketentuan utama yaitu: a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata c. Putusan Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb 2. Bahan Hukum Sekunder, berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, meliputi buku-buku, surat kabar, dan jurnal-jurnal hukum. 3. Bahan Hukum Tersier, yakni berupa kamus-kamus dalam hal ini meliputi Kamus Hukum. Bahan-bahan non hukum yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Selanjutnya untuk mendukung penelitian hukum normatif ini, dilakukan wawancara yaitu

kepada dosen hukum pidana dan dengan praktisi hukum Bapak Sangap Sidauruk di kantor hukum Sangap & Partners.

12

Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini yaitu pendekatan kasus (case approach) dengan menelaah kasus Putusan Pengadilan Negeri Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb dengan isu hukumnya yaitu kasus yang sebenarnya berawal dari kasus perdata, namun kemudian kasus ini masuk ke ranah pidana. Selain itu, pendekatan yang digunakan selanjutnya yaitu pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan hukum pidana yang berkaitan dengan permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Pengumpulan dan pengolahan menggunakan pendekatan secara kualitatif yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan. Teknik

pengumpulannya dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilaukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder.

E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan ini diperlukan agar penelitian agar penelitian dapat dilakukan secara sistematis dan terarah. Sistematika yang dipergunakan dimaksud untuk memberikan gambaran singkat isi dari seluruh penulisan skripsi ini. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi uraian mengenai latar belakang, permasalahan, tujuan, dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

13

BAB II

KERANGKA TEORETIS Bab ini menguraikan beberapa teori yang berhubungan penulisan ini seperti karakteristik wanprestasi dalam hukum perdata dan konsep penipuan dalam hukum pidana.

BAB III HASIL PENELITIAN Bab ini menguraikan tentang kasus posisi, Pertimbangan Hakim dan Putusan Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb berkaitan dengan tindak pidana penggelapan dan data hasil wawancara. BAB IV ANALISIS TIDAK TERLAKSANANYA TUJUAN

PEMBAYARAN KARENA PENGALIHAN FEE MENJADI DASAR TINDAK PIDANA PENIPUAN Bab ini merupakan analisis yang menguraikan jawaban pada pokok permasalahan mengenai tidak terlaksananya tujuan pembayaran karena pengalihan fee dapat menjadi dasar teradinya tindak pidana penipuan. BAB V PENUTUP Dalam bab terakhir ini akan ditarik kesimpulan yang merupakan jawaban atas permasalahan berdasarkan hasil penelitian, analisis dan saran yang merupakan solusi alternatif atas kendala yang masih terjadi di dalam masyarakat.

14

BAB II KERANGKA TEORETIS

A. Karakteristik Wanprestasi Dalam Hukum Perdata Terjadinya wanprestasi senantiasa diawali dengan hubungan

kontraktual. Kontrak dibuat sebagai instrumen yang secara khusus mengatur hubungan hukum antara kepentingan-kepentingan yang bersifat privat atau perdata khususnya dalam pembuatan kontrak. Kepentingan-kepentingan antara masyarakat individu dalam kehidupan bermasyarakat, apabila dilanggar akan menimbulkan suatu konflik kepentingan antara hak dan kewajiban.19) Wanprestasi atau sering dikenal dengan istilah ingkar janji yaitu kewajiban dari debitur untuk memenuhi suatu prestasi. Jika dalam melaksakan kewajiban bukan terpengaruh karena keadaan, maka debitur dianggap telah melakukan ingkar janji. Perkataan wanprestasii berasal dari bahasa Belanda, yaitu berarti prestasi buruk,20) dan umumnya terjadinya wanprestasi disebabkan karena adanya kesalahan yaitu kelalaian dan kesengajaan. Wanprestasi dalam perspektif hukum perdata, dapat diidentifikasikan sebagai kemunculan atau terjadinya melalui beberapa parameter sebagai berikut:

Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Pidana Penipuan Yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2011), hal.49. 20) Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005), hal. 45.

19)

15

1.

Dilihat dari segi sumber terjadinya wanprestasi Wanprestasi timbul dari persetujuan (agreement). Artinya untuk mendalilkan suatu subyek hukum telah melakukan wanprestasi, harus ada lebih dahulu perjanjian antara dua pihak atau lebih sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 BW/KUHPER yang pada pokoknya menyatakan bahwa: Supaya terjadi persetujuan yang sah dan mengikat, perlu dipenuhi empat syarat yaitu : adanya kesepakatan para pihak yang mengikatkan dirirrya; adanya kecakapan untuk membuat suatu perikatan; adanya suatu pokok persoalan tertentu yang disetujui; suatu sebab yang tidak terlarang. Secara umum, wanprestasi biasanya terjadi karena debitur (orang yang dibebani kewajiban untuk mengerjakan sesuatu sesuai perjanjian) tidak memenuhi isi perjanjian yang telah disepakati, yaitu : a. tidak memenuhi prestasi sama sekali; atau b. tidaktepat waktu dalam memenuhi prestasi; atau c. tidak layak dalan pemenuhan prestasi sebagaimana yang dijanjikan.

2.

Dilihat dari segi timbulnya hak menuntut ganti rugi Penuntutan ganti rugi pada wanprestasi diperlukan terlebih dahulu adanya suatu proses, seperti pernyataan lalai dari kreditor (inmorastelling, negligent of expression, inter pellatio, ingeberkestelling). Hal ini penting karena Pasal 1243 BW/KUHPER telah menggariskan bahwa perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu. Kecuali jika ternyata dalam perjanjian tersebut

16

terdapat klausul yang mengatakan bahwa debitur langsung dapat dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan. Ketentuan demikian juga diperkuat oleh salah satu Yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan apabila perjanjian secara tegas telah menentukan tentang kapan pemenuhan perjanjian maka menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban (baca: wan prestasi) sebelum hal itu secara tertulis oleh pihak kreditur.21) 3. Dilihat dari segi tuntutan ganti rugi Mengenai perhitungan tentang besaranya ganti rugi dalam kasus wanprestasi secara yuridis adalah dihitung sejak saat terjadi kelalaian. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1237B W/KUHPER yang menegaskan bahwa: Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu meniadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilahirkan, menjadi tanggungannya. Selanjutnya ketentuan Pasal 1246 BW/KUHPER menyatakan, biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya. Berdasarkan Pasal 1246 BW/KUHPER tersebut, dalam

wanprestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tersebut dipenuhi dan ganti rugi bunga

21)

Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 186. K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959

17

(interst). Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas. Hal tersebut berbeda jika dibandingkan dengan masalah tuntutan ganti rugi pada kasus perbuatan melawan hukum. Dalam kasus demikian, tuntutan ganti rugi harus sesuai dengan ketentuan Pasal 1265 BW/KUHPER, yakni tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya dan tidak perlu perincian. Jadi tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand), herstel in de vorige toestand). Namun demikian, meski tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi dalam kasus akibat perbuatan melawan hukum ini, seperti terlihat pada Putusan tertanggal 7 Oktober 1976 yang menyatakan besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPER yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak.22) Demikian pula Putusan Mahkamah Agung tertanggal 13 April 1978, yang menegaskan bahwa soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran.23)

Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 196. K/Sip/1974 tertanggal 7 Oktober 1976. 23) Putusan Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 1226. K/Sip/1977 tanggal 13 April 1978.

22)

18

Melihat pembagian wanprestasi dalam perspektif hukum perdata tersebut, maka dalam kehidupan bermasyarakat terkait lahirnya suatu kontrak perlu dijaga prinsip umum berlakunya hukum kontrak. Dengan demikian antara hak dan keawjiban para pihak akan terlindungi. Apabila hak dan kewajiban tidak dijalankan sebagimana mestinya oleh salah satu pihak, maka terjadi konflik kepentingan yaitu terdapat ingkar janji atau wanprestasi. Apabila terjadi ingkar janji atau wanprestasi diperlukan instrumen hukum kontrak untuk menyelesaikannya, bahkan penyelesaiannya memerlukan putusan hakim. Konsep (privat). Pasal wanprestasi 1234 BW merupakan domain dalam hukum perdata

menyatakan bahwa tujuan dari perikatan berbuat sesuatu dan atau tidak berbuat tidak berbuat sesuatu penjelasan, negatif.

adalah untuk memberikan sesuatu, sesuatu. Perbedaan seringkali antara

berbuat sesuatu keraguan-raguan

menimbulkan

dan memerlukan kedua

yang pertama adalah

bersifat positif,

yang

bersifat

Maksud berbuat sesuatu adalah menyerahkan hak milik atau : memberikan kenikmatan atas sesuatu benda. Misalnya A menyerahkan sebuah rumah atau kenikmatan atas barang yang disewa kepada B. Kemudian yang dimaksud tidak berbuat sesuatu berarti membiarkan sesuatu atau mempertahankan

sesuatu yang sebenarnya seperti tidak ada perikatan yang harus diciptakan. Pada perikatan pula terjadi kewajiban pokok debitur untuk menyerahkan barangnya dan berkewajiban untuk memelihara barangnya sampai saat penyerahan; memelihara berarti menjaga barangnya jangan

19

sampai rusak atau musnah.24) Undang-undang mensyaratkan kepada dibitur, bahwa ia dalam memelihara barangnya harus bertindak selaku "bapak rumah tangga yang baik". Syarat ini tidak hanya beriaku bagi persetujuan saja, akan tetapi juga untuk perikatan yang timbul dari Undang-undang, seperti tersebut dalam Pasal 1356 BW (perwakilan sukarela). 1. Syarat Keabsahan Kontrak Keabsahan kontrak merupakan hal yang esensial dalam hukum kontrak. Pelaksanan isi kontrak, yakni hak dan kewajiban, hanya dapat dituntut oleh pihak yang satu kepada pihak yang lain, demikian pula sebaliknya, apabila kontrak yang dibuat itu sah menurut hukum.25) Oleh karena itu keabsahan kontrak sangat menentukan pelaksanaan isi kontrak yang ditutup. Kontrak yang sah tidak boleh diubah atau dibatalkan secara sepihak. Kesepakatan yang tertuang dalam suatu kontrak karenanya menjadiaturan yang dominan bagi para pihak yang menutup kontrak.26) Berkenaan dengan kontrak atau perjanjian, dalam BW

menggunakan istilah overeenkomt dan contract untuk pengertian yang sama dalam buku ke III Bab Kedua tentang perikatan yang lahir dari kontrak atau persetujuan. Pengertian ini didukung pendapat banyak sarjana, antara lain Jacob Hans Niewenhuis, J. Satrio, Marthalena Pohan,

Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta 1978), hal. 16. Yohanes Sogar Simamora, Hukum Perjanjian Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah, (Surabaya: Laksbang Pressindo, 2009), hal. 12. 26) J. Satrio, Hukum Perjanjian, (Bandung: Cutra Aditya Bakti, 1992), hal.19.
25)

24)

20

Mariam Darus Badrulzaman, dan Tirtodiningrat, yang mendukung penggunakan istilah kontrak dan perjanjian dalam pengertian yang sama.27) Mengenai kontrak Subekti berpendapat lain,28 memberi makna perjanjian, yaitu suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan, perjanjian merupakan sumber perikatan yang terpenting. Perikatan suatu pengertian yang abstrak, sedangkan perjanjian suatu hal yang kongkrit atau suatu peristiwa. Perikatan lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undangundang di luar kemauan para pihak. Apabila mereka mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya di antara mereka berlaku suatu hukum. Peter Mahmud Marzuki29) memberikan argumentasi kritis

mengenai penggunaan istilah kontrak atau perjanjian dengan melakukan perbandingan mengenai pengertian kontrak atau perjanjian dalam sistem Anglo-American. Sistematika Buku III tentang Verbitenissenrecht (hukum perikatan) mengatur tentang overrrenkomst jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti perjanjian. Istilah kontrak merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris yaitu contract. Di dalam konsep kontinental,
27)

Yahman, Op.Cit., hal.51. Subekti, Op.Cit., hal. 1-3 29) Peter Mahmud Marzuki, Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Volome 18 Nomor: 3, Mei Tahun 2003, hal. 195-196.
28)

21

penempatan pengaturan perjanjian pada Buku III BW Indonesia tentang Hukum Perikatan mengindikasikan bahwa perjanjian memang berkaitan dengan masalah harta kekayaan (Vermogen). Pengertian perjanjian ini mirip dengan contract pada konsep Anglo-American yang selalu berkaitan dengan bisnis. Dalam bahasa Belanda perjanjian adalah overrenkomst, dalam bahasa Inggris disebut agreement yang mempunyai pengertian lebih luas dari contract. Berkenaan dengan penggunaan istilah kontrak atau perjanjian, dalam penulisan buku ini menggunakan istilah kontrak atau kontraktual untuk memudahkan istilah dalam fokus kajian yang mendasari perspektif Burgelijk Wetboek (BW). Dalam praktik kedua istilah tersebut sudah lazim dipergunakan dalam kontrak misal:30) 1. Kontrak pengadaan barang/jasa 2. Kontrak kerjasama 3. Kontrak kerja konstruksi 4. Perjanjian sewa guna usaha 5. Perjanjian kerjasama Berkenaan dengan kontrak terdapat adanya syarat-syarat

sahnya suatu kontrak, dapat dijumpai dalam Pasal 1320 BW, menentukan 4 (empat) syarat sah suatu kontrak, yaitu: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri: 2. Kecakapan membuat kontrak;

30)

Yahman, Op.Cit., hal.55.

22

3. Suatu hal tertentu; 4. Suatu sebab yang diperbolehkan. Dua syarat pertama disebut sebagai syarat subyektif karena mengenai subyek kontrak, sedangkan dua syarat yang terakhir disebut syarat obyektif, karena mengenai obyek dari kontrak. Dengan tidak dipenuhinya syarat subyektif status kontrak dapat dibatalkan, akan tetapi jika tidak dipenuhi syarat obyektif maka kontrak diancam dengan batal demi hukum.

2. Cacat Kehendak Dalam Pembentukan Kata Sepakat Kontrak merupakan suatu kesepakatan yang dibuat oleh kedua belah pihak yang dilandasi adanya konsensus para pihak (bertemunya penawaran dan penerimaan), dalam kondisi normal adalah kesesuaian antara kehendak dan pernyataan. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan bahwa kontrak dibuat adanya unsur cacat kehendak (wilsgeberke). Dalam BW terdapat tiga hal yang dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak berdasarkan adanya cacat kehendak, yaitu: kekhilafan, paksaan dan penipuan. a. Kekhilafan ( Dwaling ) Kekhilafan atau dwaling (Pasal 1322 BW) jika kehendak seseorang dalam menutup kontrak terkait hakikat benda atau orang, hakikat barang adalah sifat-sifat atau ciri dari barangnya yang merupakan alasan bagi kedua belah pihak untuk mengadakan kontrak. Dengan demikian kesesatan terhadap hakikat benda dikaitkan dengan

23

keadaan yang akan datang. Jika kesesatan mengenai orangnya dinamanakan error in persona, jika kesesatan itu mengenai hakikat barangnya dinamakan error in substantia, contoh dari error in persona, ialah kontrak yang dibuat oleh seseorang dengan seorang biduanita terkenal, ternyata kemudian dibuatnya dengan biduanita tak terkenal, tetapi namanya sama, mengenai hakikat barangnya, misalnya seseorang yang menganggap bahwa ia membeli lukisan Basuki Abdullah, kemudian mengetahui itu adalah sebuah tiruan.31) b. Paksaan (Dwang) Paksaan atau dwang (Pasal 1323-1327) Keadaan atau situasi dimana seseorang melakukan kekerasan dalam menutup kontrak di bawah ancaman yang melanggar hukum, ancaman itu dapat menimbulkan suatu ketakutan bagi yang menerima paksaan. Ancaman bersifat melanggar hukum ini meliputi dua hal, yaitu:32) 1) Ancaman itu sendiri sudah merupakan perbuatan melanggar hukum (pembunuhan, penganiayaan); 2) Ancaman itu bukan merupakan perbuatan melanggar hukum, tetapi ancaman itu dimaksudkan untuk mencapai sesuatu bahwa lukisan yang dibelinya

yang tidak dapat menjadi hak pelakunya.

Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 2001), hal.100 32) Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersialm (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008), hal 150

31)

24

c. Penipuan (Bedrog) Penipuan atau bedrog diatur menyatakan bahwa: Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan persetujuan, apabila tipu-muslihat yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu-muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. Penipuan dalam hukum perdata terjadi dikarenakan akibat salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban yang telah diperjanjikan, dengan itikad tidak baik terhadap kontrak atau perjanjian yang dibuat oleh kedua belah pihak, penipuan ini selalu diawali atau didahului dengan hubungan hukum kontrak atau perjanjian. Hubungan hukum ini merupakan konsep penipuan dalam hukum perdata atau dengan kata lain merupakan karakteristik penipuan dalam hukum perdata. Penipuan di sini adalah merupakan bentuk kesesatan yang dikualifisir, artinya ada penipuan bila gambaran yang keliru tentang sifat-sifat dan keadaan-keadaan (kesesatan) ditimbulkan oleh tingkah laku yang sengaja menyesatkan dari pihak lawan. Untuk berhasilnya upaya (dalil) penipuan disyaratkan bahwa gambaran yang keliru itu ditimbulkan oleh rangkaian tipu muslihat (kunstgrepen), suatu kebohongan saja tidak akan pernah dapat membenarkan dalil penipuan.33)
;diteni

(Pasai 1328) BW,

33)

Yahman, Op.Cit., hal.64

25

Maksud dikualifisir, artinya memang terdapat kesesatan satu pihak, namun kesesatah ini disengaja oleh pihak lain. Jadi persamaan antara kesesatan dan penipuan adalah adanya pihak yang sesat, sedang perbedaanya menyesatkan. Penipuan merupakan bagian dari unsur-unsur cacat kehendak, dalam hal menutup suatu kontrak tidak diperbolehkan adanya suatu penipuan, yaitu rangkaian kata-kata bohong, tipu muslihat terhadap pihak lawan. Ada tiga hal menyangkut dengan cacat kehendak, diantaranya yaitu: kesesatan/kekhilkafan atau dwaling; paksaan atau dwang penipuan atau bedrog sebagaimana diuraikan di atas. Berkenaan dengan perbuatan penipuan dalam hukum satu pihak terdapat terletak pada unsur kesengajaan untuk

perdata menurut Subekti34 berpendapat yaitu, apabila dengan atau sengaja tidak

memberikan keterangan-keterangan yang palsu dengan tipu muslihat untuk

benar disertai

membujuk

pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang

menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya, dipalsukan nomor mesinnya dan lain sebagainya. Satu kebohongan tidak cukup, paling sedikit ada suatu rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat. Perjanjian yang dibuat

34)

Subekti, Op.Cit., hal.24.

26

oleh

para

pihak,

yang

dilandasi

adanya unsur tipu muslihat,

rangkaian kebohongan. Contoh: A membeli sebuah sepeda motor dari B, untuk mempengaruhi dan menggerakkan supaya A mau membeli sepeda motor itu, B dengan akal cerdiknya menyetel kilometer yang ada pada sepeda motor tersebut seakan-akan kilometernya baru 5.000 kilometer, dan menunjukan surat-surat sepeda motor yang dipalsukan. Ternyata kemudian diketahui sepeda motor itu ternyata sudah digunakan sejauh 150.000 kilometer. Berdasarkan contoh kasus di atas, nampak jelas bahwa adanya suatu tipu muslihat dan rangkaian kata bohong yang dilakukan penjual sepeda motor itu. Ada gambaran yang keliru tentang sifat-sifat dan keadaan palsu yang menyesatkan yang ditimbulkan oleh tingkah laku penjual sepeda motor itu. Atas gugatan pihak yang dibohongi, maka hakim dalam putusannya akan membatalkan kontrak atau perjanjian, jika dapat diterima maka tidak akan menutup kontrak atau perjanjian. Dalam pengetahuan ilmu hukum, cacat kehendak sebagaimana terdapat dalam Pasal 1321- 1328 BW di antaranya adalah penipuan, paksaan dan kesesatan. Menurut van Dunne dan van der Burght sebagaimana dikutip oleh Yahman35 cacat kehendak ini disebut cacat kehendak klasik. Karena selalu berhubungan dengan cacat dalam pembentukan kehendak yang didasarkan pada pernyataan kehendak.

35)

Yahman, Op.Cit., hal.66

27

B. Konsep Penipuan Dalam Hukum Pidana Terjadinya penipuan dalam hukum pidana merupakan suatu hubungan hukum yang senantiasa diawali atau didahului hubungan hukum kontraktual. Suatu hubungan hukum yang diawali dengan kontraktual tidak selalu merupakan perbuatan wanprestasi, akan tetapi dapat pula merupakan suatu perbuatan pidana penipuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 378 KUHP. Manakalah suatu kontrak yang ditutup sebelumnya terdapat adanya tipu muslihat, keadaan palsu dan rangkaian kata bohong dari pelaku yang dapat menimbulkan kerugian pada orang lain atau korban merupakan penipuan.36) Penipuan pada Pasal 278 KUHP merupakan domain hukum pidana apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi pidana penjara. Konsep penipuan (bedrog) terdapat dalam Pasal 378 KUHP merupakan suatu perbuatan pidana atau delik, apabila dilanggar akan mendapat sanksi penjara. Masih terdapat berbagai macam pendapat dan pemaknaan terhadap istilah delik, Leden Marpaung memberi istilah delik atau strafbaar feit (bahasa Belanda); delictum (bahasa Latin), criminal act (bahasa Inggris) yang berarti perbuatan yang dilarang oleh peraturan hukum pidana dan mendapat sanksi pidana bagi barang siapa yang melanggarnya.37) Menurut kepustakaan hukum pidana istilah Strafbaar feit atau delik ini ada beberapa pendapat dengan menggunakan istilah-istilah, yaitu: a. Peristiwa pidana38) b. Perbuatan pidana39)
36)

Ibis., hal.90 Leden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal. 7 38) Indonesia. Undang-Undang Dasar Sementara 1950, Pasal 14 ayat (1).
37)

28

c. Perbuatan yang boleh dihukum40) d. Tindak pidana41) e. Pelanggaran pidana42) f. Delik43) Pemberian istilah yang diikuti dengan argumentasi masing-masing. Pembentuk Undang-undan.g di Indonesia menggunakan istilah tindak pidana, tanpa memberikan argumentasi. Berbagai istilah pemaknaan yang diberikan terhadap pengertian strafbaar feit, menurut Moeljatno adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai dengan ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.44) Dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dikenal ada beberapa macam pembagian delik, Menurut Satochid Kartanegara45) dikenal dua jenis delik yaitu: formed delict (delict formil) dan materieel delict (delict materiil). Maksud delict formil, yaitu delik yang dianggap telah voltooid (sepenuhnya terlaksana) dengan dilakukannya suatu perbuatan yang dilarang, contohnya adaiah Pasal 242 KUHP tentang sumpah palsu. Dalam perbuatan ini yang dilarang ialah memberikan keterangan palsu di atas sumpah. Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat, yang dilarang ialah perbuatan
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Prtanggungjawaban dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1983), hal. 11 40) Mr. Kami, Ringkasan Tentang Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Pustaka Indonesia, 1959), hal.34 41) Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hal. 59 42) HM. Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Pidana, (Jakarta: Fasco, 1955), hal.18. 43) Satochid Kartanegara, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana dan Pendapat-pendapat paraAhli Hukum Terkemuka Bagian Satu, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun), hal. 135-136 44) Moeljatno, Op.Cit. 45) Satochid Kartanegara, Op.Cit.
39)

29

memalsukan. Pasal 362 KUHP tentang pencurian, yang dilarang ialah mengambil barang milik orang. lain dengan melawan hukum. Adapun yang dimaksud dengan materieel delict, yaitu delict yang dianggap votooid met het interden van het gevolg (terlaksana penuh dengan timbulnya akibat) yang dilarang. Contohnya Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan. Dalam perbuatan ini yang dilarang ialah menyebabkan matinya orang lain. Dalam perbuatan ini tidak dinyatakan dengan tegas bagaimana sifat perbuatannya yang menimbulkan matinya orang lain. Yang dilarang di dalam delict ini adalah akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan itu, yaitu matinya orang lain. Bahwa delik itu dipandang dari unsur-unsurnya dihadapkan dengan unsur-unsur obyektif ialah tindakan atau perbuatan (handeling), akibat (gevolg) dan keadaan atau situasi (omstanding held), unsur subyektif untuk menentukan kesalahan. Faedah ini penting untuk menentukan poging (kehendak untuk berbuat sesuatu dan deelneming (mem bantu, ikut serta).46) Simon47) berpendapat, harus diakui bahwa apabila terjadi akibat yang nyata, namun akibat ini adalah setelah perbuatan selesai yang timbul menurut tempat dan waktu tidak terpisah. Pendapat tadi ditentang oleh beberapa sarjana, di antaranya yang menentang pendapat ini adalah van Hamel48) memberikan suatu pengertian lebih luas dan lengkap bahwa tiada peristiwa tanpa pembuatnya, ternyata dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Ibid., hal. 137-138. Utrecht, Rangakain Sari Kuliah Hukum Pidana I, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986), hal.251 48) Ibid., hal. 256.
47)

46)

30

sebagaian besar pasal-pasal membuka kalimat dengan kata-kata barang siapa, kata-kata tabib, yang telah dewasa, pegawai, pengawas, pegawai negeri (ambtenaar, bestuurder, saudagar dan sebagainya). Boleh dikata bahwa KUH Pidana sendiri mendorong kita untuk meninjau anasir-anasir setiap peristiwa pidana berhubungan dengan keadaan psikis dari pembuat. Hal ini sangat perlu terkait dengan dijatuhkan hukuman yang tidak adil. Tentang pendapat ini Vos49)menulis di dalam delict formil terjadi akibat yang nyata, yang kadangkadang terpisah menurut waktu dan tempat dari suatu perbuatan itu. Dalam perkembangannya terdapat perbedaan pengertian tentang istilah tersebut. Utrecht50) memakai istilah peristiwa pidana karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.

C. Unsur-Unsur Dalam Tindak Pidana Penipuan Penipuan dalam KUHP merupakan terminologi dalam hukum pidana yang diatur dalam Buku Ke II (tentang kejahatan) dan dalam Bab XXV Pasal 378 KUHP dinyatakan: Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan bohong, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum penjara karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun. Pasal 378 KUHP tentang penipuan (bedrog), terdapat dua unsur pokok yaitu, unsur obyektif dan subyektif.

49) 50)

Satochid Kartanegara, Op.Cit. hal. 138 Utrecht., Op.Cit., hal. 251.

31

1. Unsur obyektif Unsur obyektif yaitu membujuk/menggerakkan orang lain dengan alat pembujuk/penggerak: a. memakai nama palsu; b. martabat/kedaan palsu; c. rangkaian kata bohong, tipu muslihat; d. menyerahkan sesuatu barang; e. membuat hutang; f. menghapuskan piutang Nama palsu atau martabat palsu yaitu nama yang digunakan bukan nama aslinya melainkan nama orang lain, mertabat atau kedudukan yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, termasuk nama tambahan yang tidak dikenal oleh orang lain. Pasal dalam Code Penal Perancis tentang penipuan (Pasal 405 C.P.) tidak menggunakan perkataan memakai nama palsu, akan tetapi perkataan "menggunakan" nama palsu. Hal ini menimbulkan suatu perbedaan pendapat, bertitik tolak dari perbedaan pendapat dapat dilihat Hoge Raad 19 Juni 1855, W.1783 seorang laki-laki menggerakkan seorang pesuruh yang datang menyampaikan suatu bungkusan kepada seorang wanita untuk menyerahkan bungkusan itu kepadanya, dengan mengakui bahwa ia mempunyai anak perempuan dengan nama yang tertera pada bungkusan itu, pada hal bukan begitu

32

keadaannya. Orang itu dipidana karena penipuan dengan sarana mempergunakan nama palsu juga memakai martabat palsu.51) Tipu muslihat, yang dimaksud yaitu suatu perbuatan dengan akal licik, dan tipu daya untuk memperalat orang lain sehingga seseorang tergerak hatinya untuk mengikuti kehendak seseorang menjadi percaya atau yakin atas kebenaran dari sesuatu kepada orang lain atas suatu tindakan, termasuk menunjukkan surat-surat palsu. Dalam

perkembangannya, tipu muslihat terjadi perbedaan pendapat oleh para sarjana, perkataan tipu muslihat pertama kali dipakai oleh Modderman52) yang mengusulkan dalam Komisi de Wal untuk merumuskan sarana penipuan sebagai berikut: Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum menggerakkan orang lain dengan memakai narrj| palsu atau kualitas palsu, atau dengan tipu muslihat, digncam dengan pidana kerena penipuan. Rangkaian perkataan yang kebohongan, tidak cukup yaitu satu suatu perbuatan dengan

perkataan bohong, melainkan lain terpengaruh yang atau

beberapa kebohongan yang membuat orang terperdaya olehnya, rangkaian kata

kebohongan

diucapkan

secara tersusun menjadi suatu cerita yang dapat diterima sebagai sesuatu yang logis dan benar, kata-kata yang diucapkan membenarkan kata yang satu atau memperkuat kata yang lain. dalam
51)

Pada

permulaan (Kitab

abad

ke-19

rencana Lijfstrafflijk

Wetboek

Undang-undang

Van Bemmelen, Hukum Pidana 3 Bagian Khusus Delik-Delik Khusus, terjemahan oleh Husnan, (Bandung: Binacipta, 1986), hal. 147 52) Ibid., hal. 155

33

Pidana Siksaan Badan) tahun 1804 dan juga dalam Crimineel Wetboek (Kitab Undang-undang Kriminal) tahun 1809, pembuat undang-

undang merengkuh lebih jauh setiap perbuatan curang diancam dengan pidana. Dalam, perkembangannya, di samping rangkaian kebohongan

tipu muslihat juga untuk dipertahankan sebagai perlengkapan untuk menghadapi perbuatan pidana yang dilakukan tanpa mengucapkan suatu perkataan pun. Menurut de Pinto yang dimaksud dengan rangkaian kebohongan adalah suatu rangkaian kebohongan yang sedemikan rupa sehingga orang yang berpikir sehat dapat menjadi korban.53) Menggerakkan orang lain yaitu suatu perbuatan yang disamakan dengan membujuk orang lain, yaitu mempengaruhi seseorang sedemikian rupa atau dengan cara tertentu sehingga orang lain mau berbuat sesuai dengan kehendak pelaku untuk menyerahkan barang. Dalam

perbuatan menggerakkan orang untuk menyerahkan barang harus ada hubungan kausal antara alat penggerak itu dan penyerahan barang, dengan dipergunakan alat-alat penggerak mencitptakan suatu situasi yang tepat untuk menyesatkan seseorang yang normal, sehingga orang itu terperdaya karenanya. Barang yaitu barang yang berwujud dan barang yang tidak berwujud, barang berwujud yaitu pakaian, uang, mobil dan sebagainya, sedangkan barang yang tidak berwujud yaitu aliran listrik, gas dan

53)

Ibid., hal. 152.

34

sebagainya. Barang yang diserahkan itu bukan karena pencurian, melainkan yaitu korban tergerak untuk memberikan atau menyerahkan barang kepada pelaku atas suatu tindakan dengan akal cerdiknya. Membuat utang atau menghapuskan piutang yaitu suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian secara materiil orang lain, yaitu seseorang yang digerakkan dengan suatu tindakan oleh pelaku yang dapat mempengaruhi orang lain, untuk menyerahkan barang sesuatu atau supaya memberi utang maupun menghapuskan utang.

2. Sengaja atau Kesengajaan Sengaja mengandung unsur subyektif, yaitu dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain; dengan melawan hukum. Berkenaan kesengajaan (dolus/opzet) atau kealpaan (culpa), dari rumusan kesalahan (sculd) tersebut di atas, merupakan suatu kesalahan dalam bentuk kesengajaan namun tidak dalam bentuk ketidaksengajaan (culpa).54) Dalam hukum positif Indonesia, definisi tentang kesengajaan belum ada yang memberikan definisi tentang kesengajaan. Definisi kesengajaan yang tepat dapat dijumpai dalam Wetboek van Strafrect 1809,55) yaitu kesengajaan adalah kehendak untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang.
54)

PAF. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti), 1997), hal. 279 55) J.E.Sahetapy dan Agustinus Pohan, Hukum Pidana, (Yogjakarta: Liberty, 1995), hal. 87

35

Dalam teori juga dikenal ada beberapa bentuk atau model kesengajaan yaitu: a. kesengajaan sebagai maksud; b. kesengajaan sebagai kepastian, keharusan; c. kesengajaan dengan kemungkinan (dolus eventualis) Moeljatno berpendapat, jika paham kesengajaan adalah

pengetahuan ini dianut, maka sesungguhnya ada 2 (dua) corak kesengajaan yaitu: kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai

kemungkinan.56) Kesulitan yang ada dalam menentukan corak kesengajaan sebagai kemungkinan, Moeljatno57) kemudian mengusulkan penggunaan teori inkauf nehmen (teori apa boleh buat). Dalam teori ini diperlukan adanya dua syarat, yaitu: a. terdakwa mengetahui adanya akibat/keadaan yang merupakan delik; b. sikap terhadap kemungkinan itu andai kata sungguh timbul; prinsip apa boleh buat harus berani dipikul resikonya.

D. Pengaturan Tindak Pidana Penggelapan Penggelapan menurut Wirjono Prodjodikoro58) adalah bahwa si pelaku mengecewakan kepercayaan yang diberikan atau dapat dianggap diberikan kepadanya oleh pemilik barang atau si pelaku tidak memenuhi kepercayaan yang dilimpahkan atau dapat dianggap dilimpahkan kepadanya oleh yang

56) 57)

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hal. 177. Ibid., hal. 175-176. 58) Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. (Bandung: Eresco, 1986), hal. 31.

36

berhak atas suatu barang. Jadi, tidaklah cukup apabila kebetulan suatu barang de facto dibawah kekuasaan si pelaku. Gerson W. Bawengan mengartikan penggelapan sebagai perbuatan memiliki barang yang seluruhnya atau sebagian adalah milik kepunyaan orang lain dengan cara melawan hukum, tindak pidana penggelapan ini dapat terjadi sewaktu pengalihan hak milik orang lain menjadi hak si pelaku yang berkehendak untuk memilikinya dan tentulah dalam hal ini dilakukan tanpa izin pemilik aslinya. Dengan pengalihan hak yang demikian itu, maka si pelaku atau si pengambil hak itu bertindak seolah-olah sebagai pemilik aslinya dan tindakan-tindakan itu dapat berbentuk menjual, menggadaikan atau menyewakan dan sebagainya.59) Tindak pidana penggelapan diatur dalam KUHP Buku II Bab XXIV yang secara keselurahan ada dalam 6 (enam) pasal yaitu dari Pasal 372 sampai dengan Pasal 377 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus dari penggelapan (tindak pidana pokoknya) terdapat pada Pasal 372 KUHP yang menyatakan bahwa: Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukam memiliki suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak seimbilan ratus rupiah. Berdasarkan ketentuan Pasal 372 KUHP di atas, diketahui bahwa secara yuridis delik penggelapan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa:

59)

Gerson W. Bawengan, Op.Cit., hal. 150.

37

1. Unsur subyektif delik Berupa kesengajaan petaku untuk menggelapkan barang milik orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang melalui kata dengan sengaja, dan 2. Unsur oyektif delik yang terdiri atas : a. Unsur barang siapa; b. Unsur menguasai secara melawan hukum; c. Unsur suatu benda; d. Unsur sebagian atau seluruhnya milik orang lain; dan e. unsur benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan. Jadi untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku penggelapan, Majelis Hakim Pengadilan pun harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan, apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penggelapan baik berupa unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, kesengajaan pelaku

penggelapan (opzet), melahirkan implikasi-implikasi pembuktian apakah benar (berdasar fakta hukum) terdakwa memang:60) a. Menghendaki atau bermaksud untuk menguasai suatu benda secara melawan hukum; b. Mengetahui/menyadari secara pasti bahwa yang ingin ia kuasai itu adalah sebuah benda;
Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP, Edisi Ke-5, (Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 2006), hal. 106.
60)

38

c. Mengetahui/menyadari bahwa benda tersebut sebagian atau seluruhnya adalah milik orang lain d. Mengetahui bahwa benda tersebut ada padanya bukan karena kejahatan. Terkait unsur-unsur obyektif delik penggelapan, menurut perspektif doktrin hukum pidana ada beberapa hal yang harus dipahami juga sebagai berikut: a. Pelaku penggelapan harus melakukan penguasaan suatu benda yang milik orang lain tersebut secara melawan hukum. Unsur melawan hukum (wederrnechtelijk toeeigenen) ini merupakan hal yang harus melekat adap ada perbuatan menguasai benda milik orang lain tadi, dan dengan demikian harus pula dibuktikan. Menurut van Bemmelen dan van Hattum, makna secara melawan hukum dalam hal ini cukup dan bisa diartikan sebagai bertentangan dengan kepatutan dalam pergaulan masyarakat.61) Selanjutnya R. Soesilo lebih jauh menjelaskan bahwa perbuatan pelaku penggelapan yang menjadikan ia dapat dinilai secara yuridis telah berlaku memiliki (menguasai) barang yang ada padanya tersebut ialah jika ia telah memperlakuan barang tadi seolah miliknya sendiri. Misal menjual, menggadaikan, memakan, dan lain sebagainya.62) b. Cakupan makna suatu benda milik orang lain yang dikuasai pelaku penggelapan secara melawan hukum tadi, dalam praktek cenderung

61) 62)

serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Penerbit Politeia, 1981), hal. 223. 39

Ibid, hal. 108. R. Soesilo, KUHP

terbatas pada pengertian benda yang menurut sifatnya dapat dipindahpindahkan atau biasa disebut dengan istilah benda bergerak. 3. Pengertian bahwa benda yang dikuasai pelaku penggelapan, sebagian atau seluruhnya merupakan milik orang lain, adalah mengandung arti (menurut berbagai Arrest Hoge Raad) bahwa harus ada hubungan langsung yang bersifat nyata antara pelaku dengan benda yang dikuasainya.

40

BAB III DATA HASIL PENELITIAN

A. Kasus Posisi Pada kasus ini, berawal dari adanya kerjasama antara Djono Sutanto (Terdakwa) dengan Suwanto Sutono yang telah sepakat melakukan transaksi jual beli batubara. Terdakwa datang ke perusahaan Suwanto Sutanto membicarakan jual beli batubara sebanyak 1000 metrik ton, kemudian Terdakwa meminta uang kepada saksi Suwanto Sutono sebesar Rp. 130.000.000 (seratus tiga puluh juta rupiah) untuk pembayaran kepada pihak ketiga dengan rincian sebagai berikut: 1. Biaya kontraktor sebesar Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah); 2. Biaya trucking sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah); 3. Biaya premi supir sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah). Pembayaran dilakukan secara bertahap selama tiga kali pembayaran. Pertama, pada hari Selasa tanggal 07 juli 2009 dilakukan pembayaran secara tunai sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Kedua, pada hari yang pula membayar melalui transfer Bank Mandiri Banjarbaru ke rekening Terdakwa sebesar Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dan ketiga

41

pada hari Kamis tanggal 09 Juli 2009 membayar melalui transfer Bank Mandiri Banjarabaru kerekening Terdakwa sebesar Rp. 55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah). Sehingga jumlah uang yang diterima oleh Terdakwa dari Suwanto Sutono sebesar Rp.130.000.000 (seratus tiga puluh juta rupiah). Uang tersebut yang seharusnya digunakan untuk membayar biaya kontraktor, biaya trucking dan biaya premi supir, akan tetapi oleh terdakwa digunakan hal yang lain yang berkaitan dengan proses pengiriman batubara yaitu untuk pembayaran fee lahan, fee debu, fee desa, fee kepala desa setempat. Dikarenakan terdakwa tidak menyerahkan uang yang seharusnya untuk membayar biaya kontraktor, biaya trucking dan biaya premi supir, maka Suwanto Sutono selaku pembeli batubara didatangi oleh Hardiansyah selaku kontraktor untuk menagih pembayaran biaya kontraktor sebesar

Rp.75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah). Karena Suwanto Sutono berkepentingan dengan batubara tersebut, maka dibayarlah biaya kontraktor tersebut. Bukan hanya itu saja, pihak trucking juga menagih kepada Suwanto Sutono untuk meminta pembayaran biaya trucking dan biaya premi supir. Karena bepenetingan dengan batubara tersebut, akhirnya Suwanto Sutono kembali membayar biaya trucking dan biaya premi supir tersebut. Akibatnya, Suwanto Sutono mengalami kerugian sebesar Rp.130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah).

42

Atas perbuatan terdakwa tersebut, kemudian Suwanto Sutono melaporkan terdakwa ke pihak kepolisian Resort Banjarbaru dengan tuduhan penggelapan dan penipuan. Dakwaan Penuntut Umum yang disusun secara alternatif, Terdakwa didakwa kesatu, melakukan tindak pidana penggelapan yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 372 KUHP, dan kedua melakukan tindak pidana penipuan yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 378 KUHP. Menurut keterangan Sangap Sidauruk selaku pengacaranya, pada saat itu terdakwa tengah mengalami kesulitan keuangan, sehingga uang Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta Rupiah) yang telah diterimanya sebagai pembayaran uang muka penjualan batubara dari saksi Suwanto Sutono tidak mencukupi untuk membayar kontraktor, ongkos angkut dan memberi premi kepada supir, oleh karena terdakwa memakai uang tersebut untuk memenuhi tagihan membayar fee lahan sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta Rupiah), fee debu sebesar Rp. 41.000.000,- (empat puluh satu juta Rupiah), fee Desa sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah) dan fee Kepala Desa sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah) dan pada bulan Agustus, September dan Oktober 2009, perusahaan terdakwa CV. Keluarga Sejahtera masih melakukan mengirim batubara ke perusahaan saksi Suwanto Sutono PT. Prima Multi Arta.

43

Pada kasus ini juga diajukan 6 (enam) orang saksi yaitu Suwanto Sutono, Sukamto Rianto, Rustini, Hadriansyah, Rahmat Surta dan Tamani. Berdasarkan keterangan keenam saksi tersebut telah mengetahui adanya perjanjian jual beli batubara dengan terdakwa Djono Sutono dengan kesepakatan barang yang dikirim sampai ke tempat tujuan dengan harga yang telah disepakati sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Keterangan terdakwa Djono Sutono pada persidangan juga

mengemukkan bahwa antara terdakwa dengan Suwanto Sutono sebagai rekan kerja pernah menjalin kerjasama jual beli batubara (bisnis) sejak tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 dan dari kerjasama tersebut terdakwa sudah pernah mengirimkan 2000 (dua ribu) metrik ton. Bisnis yang dilakukan tersebut adalah bisnis yang berkelanjutan dan surat pernyataan yang dibuat terdakwa dengan Suwanto Sutono adalah sebagaian dari rangkaian bisnis tersebut. Adanya keterlambatan pengiriman batubara, maka terdakwa membuat surat pernyataan kesanggupan untuk mengirimkan batubara. Akan tetapi pengiriman yang seharusnya sesuai dengan surat pernyataan tersebut tidak ditepati karena pengirimannya lewat beberapa hari dari tanggal yang dijanjikan. Mengenai masalah ini juga terdakwa pernah digugat secara perdata oleh Suwanto Sutono di Pengadilan Negeri Banjarmasin dengan putusan verstek yang kemudian dilakukan verset (perlawanan). Tujuan gugatan perdata

44

adalah untuk mengambil alih Surat Kuasa Penambangan milik terdakwa yang nilainya miliaran rupiah. Selain keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa, diajukan pula bukti-bukti dalam proses persidangan dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan. Bukti-bukti tersebut antara bukti transfer pembayaran dan bukti surat pernyataan yang ditandatangani terdakwa dan Suwono Sutono.

B. Pertimbangan dan Putusan Hakim Pertimbangan hakim dalam perkara ini didasarkan atas keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti yang diajukan di persidangan yang antara satu dengan lainnya saling bersesuaian. Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut, hakim menemukan fakta hukum yang terungkap di persidangan yang pada pokoknya membenarkan telah terjadi peristiwa hukum sebagaimana yang didakwakan. Berdasarkan fakta hukum tersebut, langkah selanjutnya adalah pembuktian terhadap unsur-unsur dari pasal-pasal yang didakwakan sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang diususun secara alternatif yaitu kesatu melanggar Pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan kedua melanggar Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Oleh karena dakwaan tersebut disusun secara alternatif, maka Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan tersebut sesuai dengan fakta-fakta hukum yang terungkap di

45

persidangan, dan Majelis Hakim akan mempertimbangkan Pasal 378 KUHP yang unsur-usnurnya sebagai berikut: 1. Unsur barang siapa 2. Unsur dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum 3. Unsur dengan mekakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat maupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang

Ad.1. Unsur barang siapa Mengenai unsur barang siapa, Majelis Hakim berpendapat unsur tersebut menunjuk kepada subyek hukum dari Straafbaar Feit dalam hal ini manusia pribadi (Natuurlijke Persoon) selaku pendukung hak dan kewajiban yang didakwa melakukan suatu perbuatan pidana sebagaimana yang dimaksud dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Selama persidangan telah dihadapkan Terdakwa yang bernama Djono Sutanto Bin Karman (Alm) yang merunakan subyek hukum tersebut. Jika hal tersebut dikaitkan dengan fakta-fakta hukum yang terungkap dicocokan antara identitas terdakwa dengan identitas sebagaimana tersebut dalam surat dakwaan dan diakui pula oleh

46

Terdakwa sebagai jati dirinya sendiri yang diajukan dalam perkara ini, sehingga dalam perkara ini tidak terdapat kesaiahan orang (error in persona) yang diajukan ke muka persidangan. Berdasarkan

pertimbangan tersebut diatas hakim berkeyakinan unsur pertama yaitu barang siapa telah terpenuhi.

Ad.2. Unsur dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum Maksud dengan menguntungkan diri sendiri atau orang lain adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dimana dalam perbuatannya tersebut mempunyai maksud dan tujuan agar hasil dari perbuatannya memberikan nilai lebih yang positif atau mendapatkan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada ataupun bertambah dari yang ada sebelumnya baik itu ditujukan untuk diri sendiri atau dialihkan atau didapatkan oleh orang lain. Selanjutnya yang dimaksud dengan melawan hukum adalah suatu perbuatan yang dilakukan oieh seseorang dimana perbuatan yang dilakukan tersebut adalah perbuatan yang bertentangan dengan aturan aturan hukum yang berlaku baik hukum yang tertulis maupun aturan hukum yang tidak tertulis ataupun perbuatan tersebut bertentangan dengan hak orang lain.

47

Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan dari keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti maka diketahui bahwa Terdakwa Djono Sutanto melakukan hubungan Kerjasama dengan Saksi Suwanto Sutono dalam hal Jual Beli Batubara sejak Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2009, kemudian pada butan Juli 2009 oleh karena Terdakwa memiliki Batubara sebanyak 1000 Metrik Ton yang sudah berada diatas (sudah digali/dikeruk) dan tinggal mengangkut saja lalu Saksi Suwanto Sutono merasa membutuhkan Batubara sejumlah tersebut selanjutnya antara Terdakwa dengan Suwanto Sutono melakukan kerjasama untuk jual beli Batubara sejumlah 1000 Metrik Ton. Pada unsur ini, hakim menyatakan bahwa bahwa Terdakwa telah memperoleh keuntungan sejumlah uang yang telah dibayarkan oleh Suwanto Sutono kepada Terdakwa sebesar Rp. 130.000.000,(seratus tiga puluh juta rupiah) sehingga perbuatan Terdakwa yang telah menerima uang tersebut adalah perbuatan yang dikatagorikan sebagai perbuatan yang melawan hukum karena Terdakwa telah menikmati keuntungan yang tidak seharusnya dinikmati oleh Terdakwa, dan Terdakwa mendapatkan keuntungan yang tidak tepat dan tidak sepantasnya seperti apa yang diperjanjikan oleh Terdakwa sebelumnya. Melihat pertimbangan tersebut di atas, maka unsur dengan maksud

48

hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum telah terpenuhi.

Ad.3. Unsur Dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu musiihat ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang atau menghapuskan piutang Melihat ketentuan dalam Pasal yang dituduhkan tersebut di atas maka Pengadiian Negeri berpendapat bahwa hal ini bersifat alternatif, dimana apabila salah satu saja dari beberapa pengertian perbuatan pidana yang ditentukan telah dapat dibuktikan maka dengan sendirinya unsur ini telah terpenuhi pula. Nama palsu yang dimaksud adalah suatu keadaan yang sengaja dilakukan dimana seseorang menggunakan nama yang bukan namanya sendiri, melainkan nama orang lain yang telah direncanakan sebelumnya oleh orang yang melakukan perbuatan tersebut. Selain itu martabat palsu yang dimaksud adalah suatu keadaan dengan sengaja dilakukan dimana seseorang atau badan hukum yang membuat atau menciptakan suatu keadaan perihal jabatan atau kedudukan atau status yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dimana keadaan yang sebenamya tersebut sengaja dirubah agar maksud dan tujuan mana yang diinginkan oleh si pembuat tersebut

49

dapat terlaksana dengan menggunakan jabatan, kedudukan atau status yang dipalsukan tersebut. Selanjutnya tipu muslihat atau rangkaian kebohongan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dengan sengaja dengan memberikan keterangan, ataupun keadaan yang sama sekali bertentangan dengan keadaan sebenarnya ataupun apa yang dikatakan oleh seseorang tersebut sudah terlebih dahulu direncanakan dengan niat yang tidak baik atau perbuatan dan perkataan yang yang disampaikan tersebut tidak sekaligus disampaikan melainkan perbuatan dan perkataan tersebut disampaikan secara sebagian sebagian sehingga membentuk suatu rangkaian yang satu dan lainnya merupakan suatu rangkaian dengan suatu maksud dan tujuan. Berdasarkan penjelesan tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang menghapuskan piutang adalah sebagai bentuk dari potongan-potongan rangkaian perbuatan pelaku dalam mengeiabui korban agar korban menyerahkan apa yang dimaksud atau dikehendaki oleh pelaku, baik itu sadar maupun tidak sadar.

50

Berdasarkan fakta-fakta hukum yang terungkap dipersidangan dari keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa dan barang bukti maka diketahui bahwa pada mulanya terdakwa mengutarakan niatnya untuk menurunkan Batubara dalam jumlah 1.000 (seribu) ton kepada saksi Suwanto Sutono dan terdakwa minta agar dibiayai oleh Saksi Suwanto Sutono di dalam menurunkan batubara tersebut, oleh karena Suwanto Sutono memerlukan Batubara, maka setelah diadakan pembicaraan pada tanggal 7 Juli 2009 Terdakwa dan saksi Suwanto Sutono sepakat untuk melakukan transaksi jual beli batubara sejumlah 1000 (seribu) metrik ton. Saksi Suwanto Sutono sebelumnya mengatakan kepada Terdakwa bahwa ia memerlukan Batubara sebanyak 1000 (seribu) metrik ton kemudian terdakwa menyatakan mempunyai batubara dalam jumlah tersebut dan akan dikirimkan kepada saksi Suwanto Sutono, kemudian untuk meyakinkan Saksi Suwanto Sutono maka terdakwa membuat Surat Pernyataan yang disetujui oleh Saksi Suwanto Sutono tertanggal 7 Juli 2009. Setelah adanya Surat Pernyataan tersebut yang ditandatangani oleh terdakwa selaku orang yang membuat Surat Pernyataan dan Suwanto Sutono selaku orang yang menyetujuinya, maka terdakwa meminta sejumlah uang untuk menyediakan Batubara yang telah diminta oleh Suwanto Sutono setelah adanya Surat Pernyataan tersebut, kemudian atas

51

permintaan terdakwa tersebut Suwanto Sutono pada hari itu juga melakukan pembayaran yang pertama kali sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) sesuai barang bukti kwitansi tertanggal 7 Juli 2009 yang ditanda tangani Djono Sutanto dan dibenarkan oleh Saksi Rustini selaku kasir pada PT. PMA yang telah membayarkan kepada Terdakwa, kemudian untuk yang kedua kalinya pada tanggal 7 Juli 2009 PT. PMA membayar sejumlah Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) yang dikirim melalui transfer bank mandiri (sesuai barang bukti) ke nomor rekening terdakwa, dimana yang menflinmkan uang tersebut adalah Saksi Sukamto Rianto selaku Manager Keuangan PT. PMA, sedangkan untuk yang ketiga kalinya adalah pengiriman uang sebesar Rp.55.000.000 (lima puluh lima juta rupiah) yang ditujukan ke rekening terdakwa, sehingga jumlah dana keseluruhan yang telah dibayar PT. PMA dalam hal ini selaku direkturnya adalah Suwanto Sutono sebesar Rp. 130.000.000,-(seratus tiga puluh juta rupiah). Saksi Suwanto Sutono bersedia dan percaya kepada terdakwa kemudian menyerahkan uang sejumlah tersebut dengan harapan terdakwa menyediakan Batubara dengan jumlah 1000 (seribu) metrik ton sampai dengan tanggal 9 Juli 2009 karena kapal pengangkut sudah bersandar di pelabuhan agar tidak teriaiu lama bersandar dan segera dapat mengirimkan batubara. Selama berjalannya waktu sampai dengan hari Sabtu tanggai 9

52

Juli 2009 ternyata terdakwa tidak dapat mengirimkan Batubara sebagaimana permintaan saksi Suwanto Sutono, kemudian Saksi Suwanto Sutono menelepon terdakwa mengapa tidak bisa terkirim kemudian dijawab terdakwa bahwa terdakwa belum bisa mengirimkan batubara dikarenakan uang yang diberikan oleh Suwanto Sutono dipergunakan oleh terdakwa untuk membayar fee (fee debu, fee lahan dan fee desa), akan tetapi setelah terdakwa mengatakan alasan tersebut temyata permintaan Suwanto Sutono terhadap batubara sebanyak 1000 (seribu) metrik ton tidak juga dikirimkan oleh Terdakwa. Apabila dikaitkan dengan perkara ini, maka berdasarkan fakta hukum yang terungkap dipersidangan bahwa terdakwa Djono Sutanto menciptakan situasi bahwa terdakwa memang benar-benar dapat memenuhi keinginan dari Saksi korban Suwanto Sutono untuk menyediakan Batubara sebanyak 1000 (seribu) metrik ton, yaitu dengan terdakwa meyakinkan kepada Saksi korban Suwanto Sutono sebagaimana terdapat dalam Surat Pernyataan terdakwa tanggal 7 Juli 2009 sehingga diberikan uang untuk menurunkan Batubara tersebut, karena Terdakwa adalah Pengusaha Batubara yang sudah biasa melakukan penambangan batubara dan mengirimkan pesanan kepada pembeli. Selain itu, karena Terdakwa memiliki KP (Kuasa Penambangan) yang berwenang untuk mengelola Penambangan dalam suatu wilayah

53

tertentu dan pada bulan Juni 2009 Terdakwa sudah ada Kerjasama dengan saksi Hardiansyah yang bertugas sebagai kontraktor untuk menggali batubara sehingga sampai ke tanah. Pada bulan Juli 2009, batubara sudah ada lebih dari 1000 (seribu) metrik ton, akan tetapi ternyata Terdakwa belum membayar biaya kontraktor sebesar Rp. 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) per metrik ton sehingga berjumlah Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah), oleh karena itu terdakwa tidak bisa mengangkut Batubara tersebut. Hal ini juga diakui sendiri oleh terdakwa sendiri. Mengingat sampai pada batas waktu yang ditentukan ternyata terdakwa tidak mengirimkan batubara dikarenakan uang sejumlah Rp. 130.000.000 (seratus tiga puluh juta) tersebut dipergunakan untuk membayar fee debu, fee lahan, fee kepala desa dan fee desa, dimana ternyata fee-fee tersebut sudah dibayar oleh terdakwa seharusnya bisa untuk diangkut. Berdasarkan kronologis kejadian tersebut di atas terlihat secara jelas adanya itikad tidak baik dari terdakwa bahwa sesungguhnya tidak ada niat untuk membuat suatu perikatan/perjanjian dengan saksi korban Suwanto Sutono untuk jual beli batu bara sebanyak 1.000 metrik ton dan apabila dihubungkan dengan uraian pertimbangan tersebut di atas dengan unsur kesengajaan, terdakwa sebelum membuat kesepakatan dengan saksi Suwanto Sutono dan menandatangani surat pernyataan tertanggai 7 Juli

54

2009, terdakwa telah mengetahui dan mempersiapkan sebelumnya tentang apa apa saja yang akan dilakukan terdakwa. Perbuatan dan perkataan terdakwa dengan menandatangani Surat Pernyataan tanggal 7 Juli 2009 telah membuat saksi Suwanto Sutono menyerahkan suatu barang dalam hal ini adalah berbentuk uang sejumlah Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah) kepada Terdakwa dan tidak mengirimkan Batubara sejumlah 1000 (seribu) metrik ton adalah sudah termasuk perbuatan dan perkataan yang yang merupakan rangkaian perkataan bohong. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka unsur dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat maupun karangan dengan rangkaian perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang telah terpenuhi. Setelah mempertimbangkan unsur-unsur dari pasal yang didakwakan, sebelum menjatuhkan kepada terdakwa, Majelis Hakim juga mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan, yaitu: 1. Hal-hal yang memberatkan dari terdakwa diantaranya yaitu terdakwa tidak mengakui perbuatannya, perbuatan terdakwa dapat menghilangkan kepercayaan investor untuk berinvestasi dan terdakwa sudah menikmati hasil kejahatannya.

55

2. Hal-hal yang meringankan

dari terdakwa diantaranya yaitu terdakwa

berlaku sopan dipersidangan, terdakwa mempunyai tanggungan keluarga dan terdakwa belum pernah dihukum. Pada kasus ini, hakim menyatakan bahwa terdakwa Djono Sutanto telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan sehingga dijatuhi sanksi pidana selama 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan dengan masa penahanan yang telah dijalani dikurangkan dari pidana yang dijatuhkan serta menetapkan terdakwa tetap ditahan. Selain itu, semua barang bukti dimebalikan kepada saksi Suwanto Sutono dan membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara.

56

BAB IV ANALISIS TIDAK TERLAKSANANYA TUJUAN PEMBAYARAN KARENA PENGALIHAN FEE MENJADI DASAR TINDAK PIDANA PENIPUAN

Pada kasus pengalihan fee ini yang menjadi terdakwa adalah Djono Sutanto selaku Direktur CV. Keluarga Sejahtera yaitu perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan dan menjual batubara. Adapun pihak yang menjadi mitra adalah Suwanto Sutono selaku Direktur PT. Prima Multi Arta yang menjalankan usaha jual beli batubara. Keduanya telah melakukan kerjasama jual beli batubara sejak tahun 2008, dimana Terdakwa sebagai penambang dan penjual batubara sedangkan saksi Suwanto Sutono sebagai pembeli batubara dari terdakwa dengan harga yang telah disepakati berdasarkan kualitas batubara yang dihasilkan dari penambangan terdakwa yaitu Rp. 220.000,- (dua ratus dua puluh ribu rupiah) per metrik ton, diterima di pelabuhan. Perselisihan antara terdakwa dengan Suwanto Sutono timbul dikarenakan tidak terlaksananya pengiriman batubara sebagaimana yang telah disepakati, padahal uang yang dikeluarkan oleh Suwanto Sutono sebesar Rp.

57

130.000.000 (seratus tiga puluh juta rupiah) kepada terdakwa yang rencananya untuk pembayaran kontraktor, biaya truking dan biaya premi supir, namun oleh terdakwa dialihkan untuk pembayaran lain yaitu biaya fee lahan, fee debu dan fee desa serta fee kepala desa. Akibat dari adanya pengalihan fee tersebut, terdakwa tidak dapat melakukan pembayaran kontraktor, biaya truking dan biaya premi supir yang berakibat pula tidak terlaksananya pengiriman batubara sampai ke pelabuhan. Sedangkan Suwanto Sutono telah mengeluarkan cukup banyak uang dan kapal tongkang pengangkut batubara sudah siap, namun batubara yang setidaknya sudah dapat diangkut belum dikirim sebagaimana yang diperjanjikan bersama sehingga apabila menunggu terlalu lama, Suwanto Sutono merasa dirugikan karena akan mengeluarkan biaya tambahan lebih banyak lagi untuk membayar sewa parkir kapal tongkang di pelabuhan. Atas dasar tersebut, Suwanto Sutono melaporkan terdakwa dengan tuduhan penggelapan dan penipuan. Pada kasus ini, terdakwa dinyatakan terbukti telah melakukan tindak pidana penipuan. Mengenai delik penipuan, KUHP mengaturnya secara luas dan terperinci dalam Buku II Bab XXV dari Pasal 378 s/d Pasal 395 KUHP. Namun ketentuan mengenai delik genus penipuan (tindak pidana pokoknya) terdapat dalam Pasal 378 KUHP yang menegaskan sebagai berikut:

58

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling larna 4 (empat) tahun.

Berdasarkan ketentuan Pasal 378 KUHP di atas, maka secara yuridis delik penipuan harus memenuhi unsur-unsur pokok berupa: 1. Unsur Subyektif Delik berupa kesengajaan pelaku untuk menipu orang lain yang dirumuskan dalam pasal undang-undang dengan kata-kata dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau arang lain secara melawan hukum. 2. Unsur Oyektif Delik yang terdiri atas: (a) Unsur barang siapa; (b) Unsur menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda/memberi hutang/menghapuskan piutang; dan (c) Unsur cara menggerakkan orang lain yakni dengan memakai nama palsu/martabat atau sifat palsu/tipu muslihat/rangkaian kebohongan. Untuk dapat menyatakan seseorang sebagai pelaku kejahatan penipuan, Majelis Hakim Pengadilan harus melakukan pemeriksaan dan membuktikan secara sah dan meyakinkan apakah benar pada diri dan perbuatan orang tersebut telah terbukti unsur-unsur tindak pidana penipuan baik unsur subyektif maupun unsur obyektifnya. Hal ini berarti, dalam konteks pembuktian unsur subyektif misalnya, karena pengertian kesengajaan pelaku

59

penipuan (opzet) secara teori adalah mencakup makna willen en witens (menghendaki dan atau mengetahui), maka harus dapat dibuktikan bahwa terdakwa memang benar telah: a. Bermaksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum b. Menghendaki atau setidaknya mengetahui/menyadari bahwa perbuatannya sejak semula memang ditujukan untuk menggerakkan orang lain agar orang lain tersebut menyerahkan suatu benda/memberi hutang/

menghapuskan piutang kepadanya (pelaku delik). c. Mengetahui/menyadari bahwa yang dipergunakan untuk menggerakkan orang lain, sehingga menyerahkan suatu benda/memberi hutang/ menghapuskan piutang kepadanya itu adalah dengan memakai nama palsu, martabat palsu atau sifat palsu, tipu muslihat atau rangkaian kebohongan. Berkenaan dengan kasus Putusan Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb, hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa yang telah mengalihkan fee sebagai tindak pidana penipuan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa semua unsur yang dirumuskan dalam Pasal 378 KUHP telah terpenuhi sehingga terdakwa yang telah mengalihkan fee tersebut dijadikan dasar oleh hakim sebagai tindak pidana penipuan. Dakwaan yang disusun pada kasus ini dilakukan secara alternatif yaitu dakwaan penggelapan dan penipuan, namun berdasarkan fakta di persidangan

60

yang terbukti adalah dakwaan penipuan. Selain itu, adanya peristiwa yang merupakan fakta hukum yang dapat diuraikan sebagai berikut: Terdakwa adalah Direktur CV. Keluarga Sejahtera yang menjalankan usaha sebagai penambang dan penjual batubara dan saksi Suwanto Sutono adalah Direktur PT. Prima Multi Arta yang menjalankan usaha jual beli batubara. Pada tahun 2008 telah terjalin kerjasama antara Terdakwa dengan saksi Suwanto Sutono, dimana Terdakwa sebagai penambang dan penjual batubara sedangkan saksi Suwanto Sutono sebagai pembeli batubara dari Terdakwa, dengan harga yang telah disepakati berdasarkan kualitas batubara yang dihasilkan dari penambangan Terdakwa yaitu Rp. 220.000,- (dua ratus dua puluh ribu Rupiah) per metrik ton, diterima di pelabuhan. Pada tanggal 07 Juli 2009 Terdakwa menemui saksi Suwanto Sutono di Kantor PT. Prima Multi Arta di Jl. Payau I No. 01 Kelurahan Sei Besar Kecamatan Banjarbaru Selatan Kota Banjarbaru, dimana saat itu Terdakwa kepada saksi Suwanto Sutono mengatakan akan menurunkan batubara 1.000 (seribu) metrik ton dan Terdakwa meminta pembayaran di muka sebesar Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta Rupiah) untuk keperluan: 1. Membayar kontraktor (biaya pekerjaan penambangan) Rp. 75.000,- per Metrik Ton x 1.000 = Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta Rupiah) ; 2. Biaya trucking (ongkos angkut) Rp. 50.000,- per metrik ton x 1.000 = Rp.50.000.000,- (lima puluh juta Rupiah);

61

3. Memberi premi kepada sopir truck Rp. 5.000,- per metrik ton x 1.000 = Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah) ; Berdasarkan fakta hukum di atas, dapat dianalisis bahwa pengertian kata akan menurunkan batubara yang dikatakan terdakwa kepada saksi Suwanto Sutono ialah bahwa si penjual (terdakwa) telah tersedia batubara di lokasi penambangan untuk diangkut ke pelabuhan tempat pemuatan batubara oleh si pembeli (saksi Suwanto Sutono) ke atas tongkang atau kapal, akan tetapi pada kenyatannya terdakwa tidak dapat memenuhi pernyatannya. Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh saksi Suwanto Sutono bahwa terdakwa telah menjanjikan dan membuat pernyataan tertulis bahwa batubara sebanyak 1.000 metrik ton akan diturunkan di pelabuhan antara tanggal 09 Juli sampai dengan tanggal 11 Juli 2009. Meskipun terdakwa sudah menerima uang pembayaran dari saksi Suwanto Sutono sebesar Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah) sebagai uang muka dan sisanya sebesar Rp. 90.000.000,- (sembilan puluh juta rupiah), namun terdakwa belum dapat menurunkan batubara sebagaimana yang telah dijanjikan. Terdakwa baru menurunkan batubara setelah melampaui tanggal 11 Juli 2009, tetapi masih dalam bulan Juli 2009 dan itupun sesudah saksi Suwanto Sutono memberikan lagi uang Rp. 75.000.000,(tujuh puluh lima juta Rupiah) untuk membayar kontraktor dan Rp.

62

38.569.500,- (tiga puluh delapan juta lima ratus enam puluh sembilan ribu lima ratus Rupiah) untuk ongkos angkut dan memberi premi kepada supir. Tidak terealisasinya pengiriman batubara dengan tepat waktu sebagaimana yang diperjanjikan oleh terdakwa apabila melihat keterangan terdakwa sebagaimana yang dinyatakan oleh kuasa hukumnya Sangap Sidauruk lebih dikarenakan pada saat itu terdakwa tengah mengalami kesulitan keuangan, sehingga uang Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta rupiah) yang telah diterimanya sebagai pembayaran uang muka penjualan batubara dari saksi Suwanto Sutono tidak mencukupi untuk membayar kontraktor, ongkos angkut dan memberi premi kepada supir, karena oleh terdakwa terpakai untuk memenuhi tagihan membayar fee lahan sebesar Rp. 15.000.000,- (lima belas juta Rupiah), fee debu sebesar Rp. 41.000.000,(empat puluh satu juta Rupiah), fee Desa sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah) dan fee Kepala Desa sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta Rupiah). Namun demikian, pada bulan Agustus, September dan Oktober 2009, perusahaan terdakwa CV. Keluarga Sejahtera masih mengirim batubara ke perusahaan PT. Prima Multi Arta milik Suwanto Sutono. Meskipun hakim menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti melakukan tindak pidana penipuan yang didasarkan atas pengalihan fee, namun dalam analisis skripsi ini, penulis berpendapat bahwa apabila dicermati bahwa uang pembayaran batubara yang telah diterima oleh

63

terdakwa sebagai penjual dari saksi Suwanto Sutono sebagai pembeli, menurut hukum adalah uang hak terdakwa dan seluruhnya menjadi milik dari terdakwa. Hanya saja dalam hal ini terdakwa mempunyai kewajiban untuk mengirim dan menyerahkan batubara kepada saksi Suwanto Sutono sebanyak 1.000 (seribu) metrik ton. Oleh karena terdakwa sebagai pemilik uang atau yang berhak atas uang itu, maka atas penggunaannya yang oleh terdakwa dipakai membayar fee lahan, fee debu, fee Desa serta fee Kepala Desa, tidak dapat dikatakan sebagai penguasaan secara melawan hukum. Selain itu, melihat unsur pokok dari tindak pidana penipuan yang dirumuskan dalam Pasal 378 KUHP adalah terletak pada cara/upaya yang telah digunakan oleh si pelaku (terdakwa) untuk menggerakkan orang lain (saksi Suwanto Sutono) agar menyerahkan sesuatu barang atau uang. Dalam teori Hukum Pidana, penyerahan barang atau uang di sini merupakan unsur konstitutif dari tindak pidana penipuan. Berdasarkan uraian di atas, antara terdakwa dan Suwanto Sutono apabila melihat dari kronologi kasusnya, kedua belah pihak sebelumnya telah terjalin suatu hubungan kerjasama bisnis dalam jual beli batubara sejak tahun 2008. Pada tanggal 07 Juli 2009 terdakwa menawarkan akan menurunkan batubara sebanyak 1.000 (seribu) metrik ton dan terdakwa meminta pembayaran dimuka sebesar Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta Rupiah) untuk keperluan membayar kontraktor, ongkos angkut dan memberi

64

premi kepada sopir dan terdakwa berjanji dengan membuat surat pernyataan tertulis bahwa batubara sebanyak 1.000 (seribu) Metrik Ton akan diturunkan di pelabuhan antara tanggal 09 Juli sampai dengan tanggal 11 Juli 2009. Pada hari itu juga tanggal 07 Juli 2009 dan pada tanggal 09 Juli 2009 saksi Suwanto Sutono telah memenuhi pembayaran uang muka sebesar Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta Rupiah) dengan cara memberikan uang tunai dan melalui transfer Bank Mandiri ke rekening terdakwa. Kendati terdakwa telah menerima uang muka sesuai permintaannya tetapi ternyata terdakwa tidak menurunkan batubara yang dijanjikan tepat pada waktunya, yaitu antara tanggal 09 Juli sampai dengan tanggal 11 Juli 2009, namun terdakwa baru dapat menurunkan batubara dimaksud setelah melewati tanggal 11 Juli 2009, tetapi masih dalam bulan Juli 2009. Penyerahan uang sebesar Rp. 130.000.000,- (seratus tiga puluh juta Rupiah) oleh saksi Suwanto Sutono kepada terdakwa, menurut analisis penulis bukan sebagai akibat tergeraknya saksi oleh upaya terdakwa yang berjanji dengan membuat pernyataan tertulis bahwa batubara 1.000 (seribu) metrik ton akan diturunkan di pelabuhan antara tanggal 09 Juli sampai dengan tanggal 11 Juli 2009, melainkan karena saksi sudah percaya dan sangat membutuhkan batubara dari terdakwa dimana telah terjalin kerjasama sejak tahun 2008.

65

Berdasarkan fakta hukum yang dikemukakan di atas dimana saksi Suwanto Sutono masih memberikan lagi uang sebesar Rp. 75.000.000,- (tujuh puluh lima juta rupiah) dan Rp. 38.569.500,- (tiga puluh delapan juta lima ratus enam puluh sembilan ribu lima ratus rupiah) untuk membayar kontraktor, ongkos angkut dan memberi premi kepada sopir padahal telah dialami olehnya bahwa terdakwa tidak menepati janji dan kerjasama antara terdakwa dengan saksi Suwanto Sutono terus berlangsung hingga bulan Agustus, September dan Oktober 2009, menunjukkan besarnya kepercayaan terhadap terdakwa. Untuk itu, menurut pendapat penulis, unsur tergerak/terbujuk menjadi terkesampingkan dengan adanya jalinan kerjasama bisnis yang didasari oleh kepercayaan meskipun pada akhirnya mencederai kepercayaan itu. Jadi kasus dalam perkara ini merupakan transaksi keperdataan, yaitu cidera janji (wanprestasi). Wanprestasi atau ingkar janji sendiri terbagi menjadi tiga yaitu tidak memenuhi prestasi sama sekali, terlambat memenuhi prestasi dan memenuhi prestasi secara tidak baik. Pada kasus di atas, perbuatan terdakwa termasuk dalam kategori terlambat memenuhi prestasi. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, terdakwa terbukti melakukan perbuatan seperti yang didakwakan pada dakwaan kedua, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, akan

66

tetapi lebih dikarenakan adanya keterlambatan pengiriman barang yang disebabkan kesulitan keuangan dari terdakwa, sehingga fee yang seharusnya untuk membayar biaya kontraktor, trucking dan premi supir dialihkan untuk menutupi pembayaran fee lahan, fee debu, fee desa, fee kepala desa setempat.

67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan data hasil penelitian dan uraian analisis pembahasan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Jual beli batu bara dengan perjanjian pengiriman sampai ke pelabuhan antara terdakwa Djono Sutanto sebagai penjual batubara dan Suwanto Sutono selaku pembeli batubara pada kasus putusan Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb, hakim menyatakan bahwa tidak terlaksananya pengiriman batubara dengan tepat waktu sebagaimana yang diperjanjikan sampai ke pelabuhan dikarenakan adanya pengalihan fee oleh Terdakwa Djono Sutanto, dijadakan dasar pertimbangan oleh hakim sebagai tindak pidana penipuan. Meskipun demikian putusan hakim dinilai kurang tepat dikarenakan pengalihan fee bukan menjadi obyek perjanjian itu sendiri atau karena tujuan dalam bentuk pengalihan fee bukan merupakan objek perjanjian. Oleh karena itu dapat dipertegas bahwa niat yang lahir setelah terjadinya perjanjian merupakan suatu wanprestasi atau cidera janji. B. Saran Berdasarkan uraian kesimpulan seperti yang telah diuraikan di atas, maka dapat diambil beberapa saran berikut ini: 68

1. Pihak eksekutif dan legislatif dalam penyusunan peraturan perundangundangan yang terkait dengan konsep wanprestasi dan konsep penipuan dalam suatu rumusan undang-undang, hendaknya kedua konsep tersebut dapat dimasukan dalam Pasal Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana disesuaikan dengan perkembangan hukum menyangkut hubungan

kontraktual, sehingga antara wanprestasi dan penipuan yang lahir dari hubungan kontraktual akan semakin jelas, dapat diketahui batas pembeda antara wanprestasi dan penipuan. 2. Hendaknya hakim yang menangani perkara penipuan yang mengandung unsur wanprestasi lebih tepat jika diputus bebas dengan alasan bahwa salah satu/beberapa unsur tindak pidana dalam Pasal 378 KUHP tidak terpenuhi. 3. Hendaknya hakim dalam menerapkan konsep wanprestasi dan konsep penipuan diharapkan ada pemahaman dan penafsiran yang sama, sehingga tidak terjadi inkonsistensi hakim dalam memutus suatu perkara, sebagai acuan dan pedoman serta pertimbangan hukum (ratio decidendi) hakim terikat dengan persoalan wanprestasi dan penipuan yang lahir dari hubungan kontraktual, hal ini untuk melindungi kepentingan privat maupun publik, dengan harapan dimasa yang akan dating akan tercipta keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum bagi masyarakat.

69

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Arrasjid, Chainur. Pengantar Ilmu Hukum, (Medan: Yani Corporation, 1988). Badrulzaman, Mariam Darus. KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasan, (Bandung: Alumni, 2001). Bemmelen, van. Hukum Pidana 3 Bagian Khusus Delik-Delik Khusus, terjemahan oleh Husnan. (Bandung: Binacipta, 1986). Bawengan, Gerson W. Hukum Pidana di Dalam Teori dan Praktek. (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983). Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Pedoman Penulisan Skripsi Bidang Hukum, (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar Nomor 015D/FHUNTAR/II/2011, 2011). Hernoko, Agus Yudha. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersialm (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008). Kami. Ringkasan Tentang Hukum Pidana, (Jakarta: Balai Pustaka Indonesia, 1959). Kartanegara, Satochid. Kumpulan Kuliah Hukum Pidana dan Pendapatpendapat paraAhli Hukum Terkemuka Bagian Satu. (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, tanpa tahun). Lamintang, PAF. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. (Bandung: Citra Aditya Bakti), 1997). Marpaung, Leden. Asas Teori Praktek Hukum Pidana. (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). Moeljatno. Perbuatan Pidana dan Prtanggungjawaban dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1983). ________. Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta: Bina Aksara, 1987). Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. (Bandung: Eresco, 1986).

70

________. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. (Bandung: Refika Aditama, 2003). Sahetapy, J.E. dan Agustinus Pohan, Hukum Pidana. (Yogjakarta: Liberty, 1995). Satrio, J. Hukum Perjanjian. (Bandung: Cutra Aditya Bakti, 1992). Sianturi. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. (Jakarta: Alumni Ahaem-Petehaem, 1986). Simamora, Yohanes Sogar Hukum Perjanjian Prinsip Hukum Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Oleh Pemerintah. (Surabaya: Laksbang Pressindo, 2009). Setiadi, Elly M. dkk, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Bandung: Kencana Prenada Media Group, 2007). Setiawan. Pokok-Pokok Hukum Perikatan. (Bandung: Binacipta 1978). Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan ke-3, (Jakarta: UI Press, 1986). ________. & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat). (Jakarta: Rajawali Pers, 2001) Soesilo, R. KUHP serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. (Bogor: Penerbit Politeia, 1981). Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. ke-29, (Jakarta: PT. Intermasa, 2001). Subekti. Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2005). Tirtaamidjaja, HM. Pokok-pokok Hukum Pidana. (Jakarta: Fasco, 1955). Utrecht. Rangakain Sari Kuliah Hukum Pidana I. (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1986). Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Pidana Penipuan Yang Lahir Dari Hubungan Kontraktual. (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher, 2011).

B. Peraturan Perundang-Undangan dan Yurisprudensi Indonesia. Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

71

Soerodibroto, Soenarto. KUHP dan KUHAP, Edisi Ke-5, (Jakarta: PT. Radja Grafindo Persada, 2006). Subekti dan R. Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. ke37, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006). Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 186. K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959. Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan No. 196. K/Sip/1974 tertanggal 7 Oktober 1976.

C. Artikel/Makalah/Internet Anonim. Pengalihan, http://www.artikata.com/arti-357583-pengalihan.html, diunduh 22 Juni 2012.


________. Fee, ________.

http://en.wikipedia.org/wiki/Fee, diunduh 22 Juni 2012.

Fee, http://dictionary.reference.com/browse/fee, diunduh 22 Juni 2012.

Marzuki, Peter Mahmud. Batas-Batas Kebebasan Berkontrak, Yuridika, Volome 18 Nomor: 3, Mei Tahun 2003.

D. Kamus Darmansyah. Kamus Bahasa Indonesia, Dengan Ejaan Yang Disempurnakan Menurut Pedoman, (Jakarta: Batavia Press, 2008). Sudarsono. Kamus Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992). Wayhono, Padmo. Kamus Tata Hukum, (Jakarta: Ind Hill-Co, 1987).

E. Putusan Putusan Pengadilan Negeri Banjarbaru Nomor 44/Pid.B/2011/PN.Bjb.

72

You might also like