You are on page 1of 92

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Semenjak manusia dilahirkan, manusia telah bergaul dengan manusia lainnya dalam wadah yang dikenal sebagai masyarakat. Mula-mula ia berhubungan dengan orang tuanya dan setelah usiannya meningkat dewasa ia hidup bermasyarakat, dalam masyarakat tersebut manusia saling berhubungan dengan manusia lainnya, sehingga menimbulkan kesadaran pada diri manusia bahwa kehidupan dalam masyarakat berpedoman pada suatu aturan yang oleh sebagian besar warga masyarakat tersebut ditaati. Hubungan antara manusia dengan manusia dan masyarakat diatur oleh serangkaian nilai-nilai dan kaidah-kaidah. Dalam setiap hubungan bermasyarakat, keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan sangatlah penting, sehingga demi terwujudnya keamanan dilingkungan masyarakat maka dibuatlah sebuah peraturan hukum yang bersifat mengatur dan memaksa setiap anggota masyarakat agar taat dan mematuhi hukum. Setiap hubungan masyarakat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam aturan yang ada dan berlaku dalam masyarakat.

Sanksi yang berupa hukuman (pidana) akan dikenakan bagi masyarakat yang melanggar peraturan hukum tersebut haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan dalam masyarakat, supaya peraturan hukum dapat berlangsung terus dan diterima oleh seluruh anggota masyarakat. Pada hakekatnya tindak pidana atau strafbaar feit adalah perilaku yang pada waktu tertentu dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki dengan mendayagunakan sarana-sarana yang disediakan oleh hukum pidana.1 Perilaku tersebut merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan dan ada unsur pertanggungjawaban pidana kepada pelakunya. Dalam hukum pidana berlaku asas Nullum Delictum Sine Praevia Lege Poenali bahwa peristiwa pidana tidak akan ada, jika ketentuan pidana dalam Undang-Undang tidak ada terlebih dahulu, maka pengertian tindak pidana itu terpisah dengan yang dimaksud pertanggungjawaban tindak pidana.2 Namun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, pembuat Undang-Undang menerima kemungkinan bahwa seseorang bisa saja telah memenuhi segala unsur dalam rumusan delik namun tidak dikenai pidana apapun. Didalamnya tercakup pengakuan bahwa tindak pidana dapat dilakukan dalam situasi dan kondisi tertentu sedemikian rupa sehingga pidana tidak perlu dijatuhkan. Dasar-dasar yang meniadakan pidana dirumuskan
1 Jan Remmelink, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal 61. 2 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor : Politeia, 1993), hal 27.

dalam ketentuan Pasal 44 KUHP perihal gangguan psikis, Pasal 48 KUHP tentang daya paksa atau overmacht, Pasal 49 KUHP perihal pembelaan terpaksa atau noodweer, Pasal 50 KUHP tentang kewajiban menjalankan Undang-Undang dan Pasal 51 KUHP perihal perintah jabatan. Berdasarkan beberapa dasar-dasar peniadaan pidana, maka pada kesempatan ini pembelaan terpaksa atau noodweer yang akan menjadi bahasan dan dianalisis lebih lanjut oleh penulis, hal ini dimaksudkan agar analisis yang dilakukan penulis akan jauh lebih mendalam dibandingkan dengan membahas kesemua dasar-dasar alasan peniadaan pidana. Salah satu contoh kasus yang berkaitan dengan noodweer ini adalah tindak penganiayaan yang dilakukan oleh Grace dan keluarga terhadap Robby Lesmana dengan nomor Putusan Mahkamah Agung No.416 K/Pid/2009 dimana Grace dan Robby Lesmana adalah sepasang suami istri yang tengah menjalani proses perceraian dan mempunyai seorang anak bernama Richelle yang pengasuhannya dilakukan secara bergantian oleh Grace dan Robby. Ketika Robby bersama Kuasa hukumnya bernama Adardam yang datang ke rumah Grace dengan maksud menjemput anaknya Richelle berdasarkan perjanjian hak asuh yang telah dibuat dan disepakati bersama oleh grace dan Robby dimana saat itu tiba gilirannya Robby untuk mengasuh Richelle, pada saat Robby menghampiri Grace yang sedang menggendong Richelle yang berada didepan pintu rumah, Richelle menangis ketika akan dibawa pergi oleh Robby, mendengar tangisan Richelle tiba-tiba keluar Winarno Sarkawi yang langsung menghampiri serta mendorong dan memukul Robby, kemudian

diikuti dengan tindakan Grace yang juga melakukan pemukulan terhadap Robby dengan maksud mengambil kembali anaknya Richelle yang menangis dalam gendongan Robby. Kuasa hukum yang berada diluar pagar kemudian menghampiri dengan maksud melerai peristiwa pemukulan tersebut tetapi beliau juga dipukul oleh Winarno Sarkawi dan Grace, Melihat keadaan yang tidak kondusif itu kedua korban akhirnya langsung naik ke mobil dan pergi. Setelah peristiwa pemukulan tersebut kemudian Robby ditemani Kuasa hukumnya Adardam melaporkannya kepada pihak kepolisian yang akhirnya sampai pada tingkat pengadilan. Di Pengadilan Negeri Bandung, setelah bukti-bukti dihadirkan dipersidangan dan membaca tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum kemudian Hakim menyatakan bahwa terdakwa Winarno Sarkawi dan terdakwa Grace telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang dan menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 10 bulan kepada terdakwa Winarno sarkawi dan terdakwa Grace. Setelah putusan hakim diberikan, para terdakwa melakukan upaya hukum banding yang kemudian pada tingkat banding Hakim Pengadilan Tinggi Bandung menyatakan bahwa terdakwa Winarno Sarkawi dan terdakwa Grace terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi merupakan pembelaan darurat noodweer sehingga melepaskan kedua terdakwa dari semua tuntutan hukum. Jaksa Penuntut Umum yang keberatan terhadap

pertimbangan Hakim Pengadilan Tinggi tersebut kemudian melakukan upaya hukum kasasi dengan disertai alasan-alasan yang pada pokoknya bahwa putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi dalam melepaskan kedua terdakwa dari semua tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvervolging) karena perbuataannya termasuk dalam apa yang diatur pada Pasal 49 ayat 2 KUHP adalah telah salah dalam penerapan hukumnya. Akhirnya pada Putusan Mahkamah Agung permohonan kasasi Jaksa Penuntut ditolak dan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi sehingga menyatakan terdakwa Winarno Sarkawi bersalah dan terbukti melakukan tindak pidana dan dipidana penjara selama 10 bulan dan kepada terdakwa Grace terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi perbuatan tersebut merupakan pembelaan darurat noodweer sehingga melepaskan nya dari semua tuntutan. Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang akan dikaji dalam penulisan skripsi ini berjudul: Noodweer Exces Sebagai Dasar Peniadaan Pidana (Contoh Kasus Putusan M.A Nomor : 416 K/Pid/2009) Terhadap Penganiayaan Suami Oleh Istri dan Keluarganya. B. Permasalahan Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah: Mengapa alasan nodweer exces dijadikan dasar pertimbangan hakim sebagai alasan pemaaf dalam kasus Putusan M.A 416 K/Pid/2009?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui alasan nodweer exces dijadikan dasar pertimbangan hakim sebagai alasan pemaaf dalam kasus Putusan M.A 416 K/Pid/2009. 2. Kegunaan a. Penelitian ini merupakan kewajiban mahasiswa yang akan

menyelesaikan studi tingkat akhir dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan atau memenuhi program S1 di Universitas Tarumanagara. Selain itu merupakan bentuk sumbangan pikiran yang bermanfaat bagi masyarakat khususnya dibidang ilmu pengetahuan hukum yang berkaitan dengan bela paksa noodweer. b. Kegunaan penelitian secara khusus yaitu merupakan suatu studi dibidang hukum pidana di mana penulis berharap penelitian ini dapat memberikan gambaran secara jelas perihal bagaimana seharusnya suatu tindakan yang dihadapi seseorang dalam suatu keadaan dapat digolongkan kedalam upaya bela paksa noodweer.

D. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep yang diteliti.3 Pengertian lain menyebutkan kerangka konseptual berisi uraian konsep-konsep yang berhubungan dengan variabel

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Edisi III, (Jakarta: UI Press, 1986), hal.

132

penelitian.4 Kerangka konseptual ini merumuskan definisi operasional yang dapat dijadikan pedoman di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan konstruksi data. Kerangka konseptual dalam penulisan ini, terdapat istilah-istilah yang dipakai oleh penulis dan untuk mempermudah pembaca mengerti akan istilah tersebut, maka penulis memberikan definisi dari konsep-konsep yang ada dalam judul skripsi ini yang dapat diuraikan sebagai berikut: Nodweer adalah pembelaan diri dalam keadaan terpaksa.5 Noodweer exces Pasal 49 ayat (2) KUHP, melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, jika perbuatan itu dengan seketika itu juga dilakukan karena perasaan tergoncang dengan segera pada saat itu juga, tidak boleh dihukum.6 Pidana adalah hukum, undang-undang atau hukum tentang perkara kejahatan.7 Istilah tindak pidana adalah dimaksudkan sebagai terjemahan dalam bahasa Indonesia untuk istilah bahasa Belanda strafbaar feit atau delict.8 Untuk terjemahan itu, dalam bahasa Indonesia, di samping istilah tindak pidana, juga telah dipakai dan beredar beberapa istilah lain baik dalam buku-buku ataupun dalam peraturan tertulis, yang penulis jumpai antara lain:9 perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan yang boleh dihukum, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana. Jadi dengan
Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, Pedoman Penulisan Skripsi Bidang Hukum, (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar Nomor 015-D/FHUNTAR/II/2011, 2011), Lampiran 2 5 J.C.T. Simorangkir, dkk, Kamus Hukum, Cetakan Kesebelas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hal.106 6 Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pasal 49 Ayat (2)s 7 Darmansyah, Kamus Bahasa Indonesia Dengan Ejaan Yang Disempurnakan Menurut Pedoman, Cetakan I, (Jakarta : Batavia Press, 2008), hal. 424 8 K. Wantjik Saleh. Tindak Pidana Korupsi dan Suap, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1971), hal.15 9 Ibid.
4

demikian ada enam istilah untuk menterjemahkan kalimat strafbaar feit atau selict. Menurut Wantjik Saleh, di antara keenam istilah itu yang paling baik dan tepat untuk dipergunakan adalah antara dua istilah yaitu tindak pidana atau perbuatan pidana. Kedua istilah itu di samping mendukung pengertian yang tepat dan jelas sebagai suatu istilah hukum, juga mudah untuk diucapkan dan enak didengar. Pemerintah dalam beberapa peraturan perundang-undangan selalu memakai istilah tindak pidana, seperti juga ternyata dalam Undang-undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Aniaya dalam Kamus Hukum berarti perbuatan menyakiti, menyiksa atau bengis terhadap manusia atau binatang. Penganiayaan atau mishandeling terhadap manusia adalah kejahatan sebagaimana dalam Pasal 351 KUHP, dengan sengaja mengurangi atau merusak kesehatan orang disamakan

dengan penganiayaan.10 Menurut Tirtaamidjaja membuat pengertian penganiayaan sebagai berikut: menganiaya ialah dengan sengaja

menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.11 Sarjana hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dan pidana yang dalam bahasa Belanda hanya dikenal satu istilah untuk keduanya, yaitu straf12. Istilah hukuman adalah istilah umum untuk segala macam sanksi baik

10 11

Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan ke-6, (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009), hal. 34. Tirtaamidjaja, Pokok-Pokok Hukum Pidana, (Jakarta : Fasco, 1955), hal 174. 12 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hal 27.

perdata, administratif, disiplin dan pidana. Sedangkan istilah pidana diartikan sempit yang berkaitan dengan hukum pidana.13 Keluarga dalam Kamus Hukum memiliki pengertian: ibu bapak dengan anak-anaknya; seisi rumah.14 Selain itu pengertian keluarga menurut Abu Ahmadi sebagaimana mengutip pendapat dari beberapa ahli seperti Sigmund Freud, keluarga itu terbentuk karena adanya perkawinan pria dan wanita. Adler, keluarga itu dibangun berdasarkan pada hasrat atau nafsu berkuasa. Durkheim berpendapat bahwa keluarga adalah lembaga sosial sebagai hasil faktor-faktor politik, ekonomi dan lingkungan. Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa keluarga adalah kumpulan beberapa orang yang karena terikat oleh satu turunan lalu mengerti dan merasa berdiri sebagai gabungan yang hakiki, esensial, enak dan berkehendak bersama-sama

memperteguh gabungan itu untuk memuliakan masing-masing anggotanya.15 E. Metode Penelitian Penelitian yang diterapkan dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian hukum normatif, yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder.16 Data sekunder adalah data tidak langsung yang di peroleh dari kepustakaan, yang dibedakan atas bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tertier, dengan penjelasan sebagai berikut :

Ibid, hal 27. Sudarsono, Kamus Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), hal 217. 15 Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal 95. 16 Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan-4, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990), hal 52.
14

13

1. Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang sifatnya mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ada kaitannya dengan permasalahan yang dibahas, meliputi : a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. b. Salinan Putusan MA No.416 K/Pid/2009 2. Bahan Hukum Sekunder adalah bahan hukum yang sifatnya menjelaskan bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berupa buku/ literatur, hasil karya sarjana yang berhubungan dengan penulisan skripsi. 3. Bahan Hukum Tertier adalah merupakan bahan hukum sebagai pelengkap dari kedua bahan hukum sebelumnya, berupa:17 a. Kamus Hukum. b. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pendekatan Penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan pendekatan kasus yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 18 Untuk mendukung penelitian ini, penulis melakukan wawancara dengan Bapak Amril selaku hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Bapak Firman Wijaya selaku praktisi hukum. Adapun cakupan dalam penelitian ini yang diteliti perihal asas-asas hukum pada Pasal 49 Ayat (2) KUHP atas pertanggungjawaban pidana

17 18

Ibid, hal 52. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan ke-4, (Jakarta:Kencana, 2008), hal 94

10

terhadap perbuatan pemukulan yang menjadi dasar pemaaf karena pemukulan tersebut dilakukan atas dasar nodweer exces (pembelaan terpaksa). F. Sistematika Penulisan Sistematika bertujuan agar penulisan ini dapat terarah dan sistematis, sehingga dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 5 (lima) bab yaitu sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Pada bab pertama ini menguraikan latar belakang, permasalahan, tujuan, dan kegunaan penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II KERANGKA TEORETIS Pada bab kedua menguraikan beberapa teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. Beberapa teori yang dapat dikemukakan diantaranya teori pertanggungjawaban pidana, lingkup tindak pidana penganiayaan serta dasar penghapus pidana. BAB III DATA HASIL PENELITIAN Pada bab ketiga mengurikan tentang data hasil penelitian yaitu kronologi kasus penganiayaan dalam Putusan MA No.416 K/Pid/2009 dan pendapat narasumber perihal pertimbangan hakim yang membebaskan terdakwa III Grace binti Winarno dengan alasan noodweer exces. BAB IV ANALISIS

11

Pada bab ini merupakan analisis yang merupakan inti dari penulisan skripsi. Uraian analisis ini untuk menjawab permasalahan alasan noodweer exces dijadikan dasar pertimbangan hakim sebagai alasan pemaaf dalam kasus Putusan M.A 416 K/Pid/2009. BAB V PENUTUP Dalam bab terakhir ini berisikan tentang kesimpulan dan saran penulis. Adapun isi dari kesimpulan adalah tentang jawaban dari permasalahan yang ada dan saran yang merupakan rekomendasi penulis sebagai alternatif penyelesaian masalah.

12

BAB II KERANGKA TEORETIS

A. Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana sudah muncul sejak zaman Revolusi Prancis, pada masa itu tidak saja manusia yang dapat pertanggungjawaban tindak pidana bahkan hewan atau benda mati lainya pun dapat di pertanggungjwabkan tindak pidana. Seseorang tidak saja mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukanya, akan tetapi perbuatan orang lain juga dapat dipertanggungjawabkan karena pada masa itu hukuman tidak hanya terbatas pada pelaku sendiri tetapi juga dijatuhkan pula pada keluarga atau teman-teman pelaku meskipun mereka tidak melakukan tindak pidana. Hukuman yang di jatuhkannya atas atau jenis perbuatan sangat berbeda-beda yang disebabkan oleh wewenang yang mutlak dari seorang hakim untuk menentukan bentuk dan jumlah hukuman. Perihal pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Sebab tindak pidana baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawbaan pidana, sedangkan pengertian pertanggung-jawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindak

13

pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu.19 Dasar adanya tindak pidana adalah asas legaligtas, sedangkan dasar dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Hal ini mengandung arti bahwa pembuat atau pelaku tindak pidana hanya dapat dipidana jika ia mempunya kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seorang dikatakan mempunyai kesalahan merupakan hal yang menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Seseorang mempunyai kesalahan bilamana pada waktu melakukan tindak pidana, dari segi kemasyarakatan ia dapat dicela oleh karena perbuatannya tersebut. Pertanggungjawaban (pidana), menjurus kepada pemidanaan

pentindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsurunsurnya yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan pidana atas tindakan-tindakan tersebut apabila tindakan tersebut melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan bertanggungjawab, maka hanya seseorang yang mampu bertanggungjawab yang akan dipertanggungjawabkan. Seseorang yang mampu bertanggungjawab (teorekeningsvatbaar), dapat diilihat dari keadaan jiwanya maupun kemampuan jiwanya, seperti:20 a. Keadaan jiwanya
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya , Cet. III, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hal. 235. 20 Ibid, hal. 429
19

14

1. Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara (temporer). 2. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile). 3. Tidak terganggu karena terkejut, hipnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar (reflexe beweging), melindur (slaapwander), menggigau karena demam (korst). Dengan perkataan lain harus dalam keadaan sadar. b. Kemampuan jiwanya 1. Dapat menginsyafi hakekat dari tindakannya. 2. Dapat menentukan kehendaknya atas tindakan tersebut, apakah akan dilaksanakan atau tidak. 3. Dapat mengetahui ketercelaan dari tindakan tersebut. Kemampuan bertanggungjawab didasarkan keadaan dan kemampuan jiwa (geestelijke vermogens), dan bukan keadaan dan kemampuan berpikir (verstandrilijke vermogenas) dari seseorang. Tanggungjawab pidana

dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka atau terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Dengan perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan. Jika ia dipidana, harus terbukti bahwa tindakan yang dilakukan itu bersifat melawan hukum dan terdakwa mampu bertanggungjawab. Kemampuan tersebut memperlihatkan kesalahan dari petindak yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan. Artinya tindakan tersebut tercela dan tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan tersebut.21 Hubungan petindak dengan tindakannya dalam rangka

mempertanggungjawab-pidanakan petindak atas tindakannya, agar supaya

21

Ibid.

15

dapat ditententukan pemidanaan kepada petindak harus diteliti dan dibutikan bahwa:22 1. 2. 3. 4. 5. Subyek harus sesuai dengan perumusan undang-undang. Terdapat kesalahan pada petindak. Tindakan kesalahan pada petindak. Tindakan itu harus bersifat melawan hukum. Tindakan itu dilarang dan diancam dengan piana oleh undangundang dalam arti luas. 6. Dan dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan-keadaan lainnya yang ditentukan dalam undang-undang. Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan suatu tindak pidana. Moeljatno mengatakan, seseorang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi hukuman) kalau dia tidak melakukan suatu tindak pidana. Dengan demikian,

pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya akan terjadi jika sebelumnya telah ada seseorang yang melakukan suatu tindak pidana. 23 B. Lingkup Bidang Tindak Pidana Penganiayaan Kejahatan tindak pidana yang dilakukan terhadap tubuh dalam segala perbuatan-perbuatannya sehingga menjadikan luka atau rasa sakit pada tubuh bahkan sampai menimbulkan kematian bila kita lihat dari unsur kesalahannya, dan kesengajaannya diberikan kualifikasi sebagai penganiayaan

(mishandeling), yang dimuat dalam BAB XX Buku II, Pasal 351 sampai dengan Pasal 356 KUHP. Penganiayaan merupakan perbuatan dengan
Ibid., hal. 253. Khairul Huda, Dari dan Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. II, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hal.19.
23 22

16

menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. Akan tetapi perbuatan yang menyebabkan sakit atau luka pada orang lain, tidak dapat dianggap sebagai penganiayaan kalau perbuatan itu dilakukan untuk menambah keselamatan badan.24 Pasal 351 KUHP dirumuskan bahwa setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk memberikan penderitaan badan kepada orang lain, atau setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk merugikan kesehatan badan orang lain.25 Sementara dalam ilmu pengetahuan hukum pidana atau doktrin, penganiayaan diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain. Berdasarkan doktrin tersebut bahwa setiap perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit atau luka-luka pada tubuh merupakan penganiayaan yang terhadap pelakunya diancam pidana. Padahal dalam kehidupan sehari-hari cukup banyak perbuatan yang dengan sengaja menimbulkan rasa sakit ataupun luka tubuh yang terhadap pelakunya tidak semestinya diancam dengan pidana. Sebagai contoh dikemukakan: a. memukul muridnya karena tidak mengerjakan tugas b. melukai tubuh pasien dalam operasi. Seorang dokter yang Seorang guru yang

Leden Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, (Jakarta: Sinar Grafika, 1999), hal.5. 25 Ibid, hal.6.

24

17

Bertolak dari adanya kelemahan yang cukup mendasar tersebut, dalam perkembangannya muncul yurisprudensi yang mencoba menyempurnakan Arrest Hooge Raad tanggal 10 Februari 1902, yang sesara substansial menyatakan:26 Jika menimbulkan luka atau sakit pada tubuh bukan menjadi tujuan, melainkan suatu saranabelaka untuk mencapai suatu tujuan yang patut, maka tidaklah ada penganiayaan. Contohnya dalam batas-batas yang diperlukan seorang guru atau orangtua memukul seorang anak. Berdasarkan yurisprudensi ini tersimpul pendapat bahwa tidak setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh merupakan suatu perbuatan penganiayaan. Berdasarkan Arrest Hooge Raad dan doktrin di aats, maka menurut Adami Chazawi penganiayaan dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan dengan sengaja yang ditujukan untuk menimbulkan rasa sakit atau luka pada tubuh orang lain, yang akibat mana semata-mata merupakan tujuan si petindak.27 Berdasarkan uraian tentang penganiayaan tersebut di atas, maka rumusan penganiayaan menurut unsur-unsur sebagai berikut: 1. Unsur kesengajaan

2. Unsur perbuatan

Tongat, Hukum Pidana Materil, (Jakarta: Djambatan, 2003), hal.71 Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa (Malang: Biro Konsultasi dan Bantuan Universitas Brawijaya Malang, 1999), hal. 14.
27

26

18

3. Unsur akibat perbuatan (yang dituju) yaitu rasa sakit, tidak enak pada tubuh dan luka tubuh. 4. Akibat mana terjadi satu-satunya tujuan si pelaku. Untuk lebih memperjelas tindak pidana penganiayaan sebagaimana terurai di atas, berikut ini diuraikan makna dari masing-masing unsur tersebut: 1. Unsur kesengajaan Unsur kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan diartikan sebagai kesengajaan sebagai maksud. Berbeda dengan tindak pidana lain seperti pembunuhan, unsur kesengajaan harus ditafsirkan secara luas yaitu meliputi kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kepastian dan kesengajaan sebagai kemungkinan. Penafsirannya adalah unsur

kesengajaan dalam tindak pidana ditafsir sebagai kesengajaan sebagai maksud (opzet alsa ogmerk), maka seorang baru dapat dikatakan melakukan tindak pidana penganiayaan apabila orang itu mempunyai maksud menimbulkan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh. Jadi, dalam hal ini maksud orang itu harus ditujukan pada perbuatan dan rasa sakit atau luka pada tubuh. Walaupun secara prinsip kesengajaan dalam tindak pidana penganiayaan harus ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai maksud, namun dalam hal-hal tertentu kesengajaan dalam penganiayaan juga dapat ditafsirkan sebagai kesengajaan sebagai kemungkinan.28 hal ini pernah

28

Tongat, Op.Cit., hal. 73

19

dilakukan Hooge Raad dalam arresnya tanggal 15 Januari 1934, yang menyatakan:29 Kenyataan bahwa orang telah melakukan suatu tindak pidana yang besar kemungkinan dapat menimbulkan perasaan sangat sakit pada orang lain itu merupakan suatu penganiayaan. Tidak menjadi soal bahwa dalam suatu kasus ini opzet pelaku telah tidak ditujukan untuk menimbulkan perasaan sangat sakit seperti itu melainkan telah ditujukan kepada perbuatan untuk melepaskan diri dari penangkapan oleh seorang pegawai polisi. Bertolak dari Arrest Hooge Raad di atas dapat diambul kesimpulan bahwa terhadap terjadinya rasa sakit yang semestinya dipertimbangkan oleh pleaku tetapi tidak dilakukannya sehingga karena perbuatana yang dilakukan itu menimbulkan rasa sakit, telah ditafsirkan sebagai penganiayaan. Dalam hal ini sekalipun pelaku tidak mempunyai maksud untuk menimbulkan rasa sakit dalam perbuatannya, tetapi ia tetap dianggap melakukana penganiayaan atas pertimbangan, bahwa mestinya ia sadar bahwa perbuatan yang dilakukannya itu sangat mungkin menimbulkan rasa sakit. Namun demikian penganiayaan itu bisa ditafsirkan sebagai kesengajaan dengan sadar akan kemungkinan, tetapi penafsiran tersebut juga terbatas pada adanya kesengajaan sebagai kemungkinan terhadap akibat. Artinya dimungkinkan penafsiran secara luas terhadap unsur-unsur kesengajaan itu yaitu kesengajaan sebagai maksud, kesengajaan sebagai kemungkinan, bahkan kesengajaan sebagai kepastian hanya dimungkinkan terhadap akibatnya. Sementara terhadap perbuatan itu haruslah merupakan tujuan pelaku.
29

Ibid., hal.74.

20

2. Unsur perbuatan Unsur perbuatan yang dimaksud dalam penganiayaan adalah perbuatan dalam arti positif. Artinya perbuatan tersebut haruslah merupakan aktivitas atau kegiatan dari manusia dengan menggunakan (sebagian) anggota tubuhnya sekalipun sekecil apapun perbuatan itu. Selain bersifat positif, unsur perbuatan dalam tindak pidana penganiayaan juga bersifat abstrak. Artinya penganiayaan itu bisa dalam berbagai bentuk perbuatan seperti memukul, mencubit, mengiris, mebacok dan sebagainya. 3. Unsur akibat yang berupa rasa sakit dan luka tubuh Rasa sakit dalama konteks penganiayaan mengandung arti sebagai terjadinya atau timbulnya rasa sakit, rasa perih, tidak enak atau penderitaan. Sementara yang dimaksud dengan luka adalah adanya

perubahan dari tubuh, atau terjadinya perubahan rupa tubuh sehingga menjadi berbeda dari keadaana tubuh sebelum terjadinya penganiayaan. perubahan rupa itu kisalnya lecet-lecet pada kaki kulit, putusnya jari tangan, bengkak-bengkak pada anggota tubuh dan sebagainya. Unsur akibat baik berupa rasa sakit atau luka dengan unsur perbuatan harus ada hubungan kausal. Artinya harus dapat dibuktikan, bahwa akibat yang berupa rasa sakit atau luka itu merupakan akibat langsung dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Tanpa adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan akibat ini, maka tidak akan dapat dibuktikan adanya tindak pidana penganiayaan.

21

4.

Akibat mana yang menjadi tujuan satu-satunya Unsur ini mengandung pengertian, bahwa dalam tindak pidana penganiayaan akibat berupa rasa sakit atau luka pada tubuh itu haruslah merupakan tujuan satu-satunya dari pelaku. Artinya pelaku memang menghendaki timbulnya rasa sakit atau luka-luka dari perbuatan (penganiayaan) yang dilakukannya. Jadi, untuk penganiayaan harus dibuktikan bahwa rasa sakit atau luka tubuh itu menjadi tujuan dari pelaku. Apabila akibat yang berupa rasa sakit atau luka bukan menjadi tujuan dari pelaku, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang patut, maka dalam hal ini tidak terjadi penganiayaan. Pada praktek penegakan hukum, persoalan yang muncul adalah apa yang menjadi ukuran atau kriteria dari tujuan yang patut itu? Persoalan itu mudah dijawab, sebab tidak ada ukuran atau kriteria umum baku yang dapat dipakai sebagai pedoman. Oleh karena tidak ada ukuran yang bersifat yang secara umum dapat diterapkan, maka ukuran atau kriteria patut atau tidak patut diserahkan pada akal pikiran dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Sifatnya sangat kasusistis dan tergantung dari kebiasaan dalam masyarakat setempat. Sebagai contoh perbuatan orang tua memukul anaknya. Menurut kebiasaan dalam masyarakat (mungkin untuk seluruh masyarakat Indonesia) perbuatan tersebut diperbolehkan sepanjang tidak berlebihan. Artinya sepanjang perbuatan pemukulan terhadap anak tersebut tidak melampaui batas-batas kewajaran, maka perbuatan tersebut

22

(dianggap) tidak bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan dalam masyarakat. Perbuatan pemukulan terhadap anak tersebut tidak dapat dianggap sebagai perbuatan yang wajar dan menurut akal pikiran sudah berlebihan dan karenanya tidak lagi dipandang sebagai perbuatan untuk mencapai tujuan yang patut, apabila perbuatana pemukulan tersebut misalnya dilakukan dengan menggunakan sepotong besi. Sebagaimana yang telah dijabarkan di atas, bahwa penganiayaan merupakan tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum berupa tubuh manusia. Di dalam KUHP terdapat ketentuan yang mengatur berbagai perbuatan yang menyerang kepentingan hukum yang berupa tubuh manusia. Adapun jenis-jenis penganiayaaan yang dimuat dalam BAB XX II, Pasal 351 sampai dengan Pasal 355 KUHP adalah sebagai beriku: 1. KUHP 2. 3. 4. 5. Penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP Panganiayaan berencana Pasal 353 KUHP Penganiayaan berat Pasal 354 KUHP Penganiayaan berat Pasal 355 KUHP Dari beberapa macam penganiayaan diatas kami mencoba untuk menjelaskaannya satu persatu : a. Penganiayaan biasa Pasal 351 KUHP. Pasal 351 KUHP telah menerangkan penganiayaan ringan sebagai berikut: Penganiayaan biasa Pasal 351

23

1) Penganiayaan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 2) Jika perbuatan itu menyebabkan luka-luka berat, yang bersalah dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun. 3) Jika mengakibatkan mati, dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. 5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak di pidana. Kembali lagi dari arti sebuah penganiayaan yang merupakan suatu tindakan yang melawan hukum, memang semuanya perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh subyek hukum akan berakibat kepada dirinya sendiri. Perihal penganiayaan biasa ini merupakan suatu tindakan hukum yang bersumber dari sebuah kesengajaan. Kesengajaan ini berarti bahwa akibat suatu perbuatan dikehendaki dan ini ternyata apabila akibat itu sungguh-sungguh dimaksud oleh perbuatan yang dilakukan itu yang menyebabkan rasa sakit, luka, sehingga menimbulkan kematian. Tidak semua perbuatan memukul atau lainnya yang menimbulkan rasa sakit dikatakan sebuah penganiayaan. Oleh karena mendapatkan perizinan dari pemerintah dalam melaksanakan tugas dan fungsi jabatannya, seperti contoh seorang guru yang memukul anak didiknya, atau seorang dokter yang telah melukai pasiennya dan menyebabkan luka, tindakan tersebut tidak dapat dikatakan

24

sebagai penganiayaan, karena ia bermaksud untuk mendidik dan menyembuhkan penyakit yang diderita oleh pasiennya. Adapula timbulnya rasa sakit yang terjadi pada sebuah pertandingan diatas ring seperti tinju, pencak silat, dan lain sebagainya. Tetapi perlu digaris bawahi apabila semua perbuatan tersebut diatas telah malampui batas yang telah ditentukan karena semuanya itu meskipun telah mendapatkan izin dari pemerintah ada peraturan yang membatasinya diatas perbuatan itu, perihal orang tua yang memukili anaknya dilihat dari ketidak wajaran terhadap cara mendidiknya. Oleh sebab dari perbuatan yang telah melampaui batas tertentu yang telah diatur dalam hukum pemerintah yang asalnya pebuatan itu bukan sebuah penganiayaan, karena telah melampaui batas-batas aturan tertentu maka berbuatan tersebut dimanakan sebuah penganiayaan yang dinamakan dengan penganiayaan biasa. Dalam hal ini yang bersalah pada perbuatan ini diancam dengan hukuman lebih berat, apabila perbuatan ini mengakibatkan luka berat atau matinya si korban. Perihal tentang luka berat dapat dilihat pada Pasal 90 KUHP. Luka berat atau mati yang dimaksud disini hanya sebagai akibat dari perbuatan penganiayaan itu. Perihal tindakan hukum ini yang akan diberikan kepada yang bersalah untuk menentukan Pasal 351 KUHP telah mempunyai rumusan dalam penganiayaan biasa dapat di bedakan menjadi : 1) Penganiayaan biasa yang tidak menimbulkan luka berat maupun kematian.

25

2) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. 3) Penganiayaan yang mengakibatkan kematian. 4) penganiayaan yang berupa sengaja merusak kesehatan. b. Penganiayaan ringan Pasal 352 KUHP. Disebut penganiayaan ringan karena penganiayaan ini tidak menyebabkan luka atau penyakit dan tidak menyebabkan si korban tidak bisa menjalankan aktivitas sehari-harinya. Rumusan dalam penganiayaan ringan telah diatur dalam Pasal 352 KUHP sebagai berikut:30 1) Kecuali yang tersebut dalam Pasal 353 KUHP dan Pasal 356 KUHP, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian, dipidana sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya atau menjadi bawahannya. 2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana. Melihat Pasal 352 ayat (2) KUHP bahwa percobaan melakukan kejahatan itu (penganiayaan ringan) tidak dapat di pidana meskipun dalam pengertiannya menurut para ahli hukum, percobaan adalah menuju kesuatu hal, tetapi tidak sampai pada sesuatu hal yang dituju, atau hendak berbuat sesuatu dan sudah dimulai akan tetapi tidak sampai selesai. Disini yang dimaksud adalah percobaan untuk melakukan kejahatan yang bisa membahayakan orang lain dan yang telah diatur
30

R. Soesilo, Op.Cit, hal 29.

26

dalam Pasal 53 KUHP ayat (1). Sedangkan percobaan yang ada dalam penganiyaan ini tidak akan membahayakan orang lain. c. Penganiyaan berencana Pasal 353 KUHP. Pasal 353 KUHP perihal penganiyaan berencana merumuskan sebagai berikut : 1) Penganiayaan dengan berencana lebih dulu, di pidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun. 2) Jika perbutan itu menimbulkan luka-luka berat, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara palang lama tujuh tahun. 3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Arti di rencanakan lebih dahulu adalah bahwa ada suatu jangka waktu, bagaimanapun pendeknya untuk mempertimbangkan, untuk berfikir dengan tenang. Apabila dipahami tentang arti dari direncanakan di atas, bermaksud sebelum melakukan penganiayaan tersebut telah di rencanakan terlebih dahulu, oleh sebab terdapatnya unsur direncanakan lebih dulu (meet voor bedachterade) sebelum perbuatan dilakukan, direncanakan lebih dulu (disingkat berencana), adalah berbentuk khusus dari kesengajaan (opzettielijk) dan merupakan alasan pemberat pidana pada penganiayaan yang bersifat subjektif, dan juga terdapat pada pembunuhan berencana (340 KUHP). Perkataan berpikir dengan tenang, sebelum melakukan

penganiayaan, si pelaku tidak langsung melakukan kejahatan itu tetapi ia

27

masih berfikir dengan batin yang tenang apakah resiko atau akibat yang akan terjadi yang disadarinya baik bagi dirinya maupun orang lain, sehingga si pelaku sudah berniat untuk melakukan kejahatan tersebut sesuai dengan kehendaknya yang telah menjadi keputusan untuk melakukannya. Maksud dari niat dan rencana tersebut tidak di kuasai oleh perasaan emosi yang tinggi, was-was/takut, tergesa-gesa atau terpaksa dan lain sebagainya. Penganiayaan berencana yang telah dijelaskan diatas dan telah diatur dalam Pasal 353 KUHP apabila mengakibatkan luka berat dan kematian adalah berupa faktor/alasan pembuat pidana yang bersifat objektif, penganiayaan berencana apabila menimbulkan luka berat yang di kehendaki sesuai dengan (ayat 2) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi penganiayaan berat berencana (Pasal 355 KUHP), apabila kejahatan tersebut bermaksud dan ditujukan pada kematian (ayat 3) bukan disebut lagi penganiayaan berencana tetapi pembunuhan berencana (pasal 340 KUHP). d. Penganiayaan berat Pasal 354 KUHP. Penganiayaan berat dirumuskan dalam Pasal 354 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut : 1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, dipidana kerena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

28

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun. Perbuatan berat (zwar lichamelijk letsel toebrengt) atau dapat disebut juga menjadikan berat pada tubuh orang lain. Haruslah dilakukan dengan sengaja. Kesengajaan itu harus mengenai ketiga unsur dari tindak pidana yaitu: pebuatan yang dilarang, akibat yang menjadi pokok alasan diadakan larang itu dan bahwa perbuatan itu melanggar hukum. Ketiga unsur diatas harus disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana, seorang jaksa harus teliti dalam merumuskan apakah yang telah dilakukan oleh seorang terdakwah dan ia harus menyebukan pula tuduhan pidana semua unsur yang disebutkan dalam undang-undang sebagai unsur dari perbuatan pidana. Apabila dihubungkan dengan unsur kesengajaan maka kesengajaan ini harus sekaligus ditujukan baik tehadap perbuatannya, (misalnya menusuk dengan pisau), maupun terhadap akibatnya, yakni luka berat. Perihal luka berat disini bersifat abstrak bagaimana bentuknya luka berat, kita hanya dapat merumuskan luka berat yang telah di jelaskan pada Pasal 90 KUHP yaitu luka berat berarti jatuh sakit atau luka yang tak dapat diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut. Senantiasa tidak cakap mengerjakan pekerjaan jabatan atau pekerjaan pencaharian tidak dapat lagi memakai salah satu panca indra, Mendapat cacat besar lumpuh (kelumpuhan), akal (tenaga pikiran) tidak

29

sempurna lebih lama dari empat minggu, gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan. Pada Pasal 90 KUHP di atas telah dijelaskan tentang golongan yang bisa dikatakan sebagi luka berat, sedangkan akibat kematian pada penganiayaan berat bukanlah merupakan unsur penganiayaan berat, melainkan merupakan faktor atau alasan memperberat pidana dalam penganiayaan berat. e. Penganiayaan berat berencana Pasal 355 KUHP. Penganiyaan berat berencana, dimuat dalam Pasal 355 KUHP yang rumusannya adalah sebagai berikut : 1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, dipidana dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 2) Jika perbuatan itu menimbulkan kematian yang bersalah di pidana dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Bila dilihat penjelasan yang telah ada di atas tentang kejahatan yang berupa penganiayaan berencana, dan penganiayaan berat, maka penganiayaan berat berencana ini merupakan bentuk gabungan antara penganiayaan berat (Pasal 354 ayat 1) dengan penganiyaan berencana (Pasal 353 ayat 1), dengan kata lain suatu penganiayaan berat yang terjadi dalam penganiayaan berencana, kedua bentuk penganiayaan ini haruslah terjadi secara

serentak/bersama. Oleh karena harus terjadi secara bersama, maka harus terpenuhi baik unsur penganiayaan berat maupun unsur penganiayaan berencana.

30

Kejahatan atau kekerasan terhadap ketertiban umum juga diatur dalam Pasal 170 KUHP yang menyatakan bahwa: 31) (1) Barangsiapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selamalamanya lima tahun enam bulan. (2) Tersalah dihukum : 1. Dengan penjara selama-lamanya tujuh tahun, jika ia dengan sengaja merusakkan barang atau jika kekerasan yang dilakukannya menyebabkan suatu luka; 2. Dengan penjara selama-lamanya sembilan tahun, jika kekerasan itu menyebabkan luka berat pada tubuh. 3. Dengan penjara selama-lamanya dua belas tahun, jika kekerasan itu menyebabkan matinya orang. Penggunaan Pasal 170 ini tidaklah sama dengan penggunaan Pasal 351, dikarenakan dalam pasal ini pelaku adalah lebih dari satu, sedangkan dalam Pasal 351, pelaku adalah satu orang, ataupun dapat lebih dari satu orang dengan catatan dilakukan tidak dalam waktu yang bersamaan. Seseorang dapat saja mendapat perlakuan kekerasan dari dua orang atau lebih tetapi para pelaku tidak melakukannya bersama-sama atau tidak sepakat dan sepaham untuk melakukan kekerasan itu, maka hal ini sudah memasuki ranah Pasal 351. Kekerasan yang dilakukan sesuai Pasal 170 sudahlah tentu dilakukan oleh para pelaku dalam waktu yang bersamaan ataupun dalam waktu yang berdekatan dengan syarat ada kesepakatan dan kesepahaman untuk berbuat tindakan kekerasan tersebut terhadap orang atau barang. Perbedaan yang paling mendasar Pasal 170 dengan Pasal 351 adalah dilakukannya tindakan itu di hadapan orang banyak atau di ruang publik terbuka, sedangkan pada Pasal

31

R. Soesilo, Ibid, hal. 126

31

351 hal ini tidak dibedakan, apakah dilakukan di ruang tertutup untuk umum ataupun di ruang publik terbuka. Ancaman hukuman Pasal 170 ini lebih berat daripada Pasal 351. Apabila kita bandingkan pada akibat yang ditimbulkan antara kedua pasal ini dengan ancaman hukumannya, maka kita akan mendapati ancaman hukuman pada Pasal 170 lebih berat daripada Pasal 351. Pada Pasal 170, jika korban mengalami luka berat maka si pelaku diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun, sedangkan pada Pasal 351 dengan akibat yang sama, yaitu luka berat, pelaku diancam dengan hukuman penjara selamalamanya lima tahun. Jika akibat yang ditimbulkan adalah matinya korban, Pasal 170 mengancam dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun sedangkn pada Pasal 351 ancaman hukumannya adalah hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun. Berbicara mengenai luka berat, Pasal 90 KUHP memberikan defenisi luka berat sebagai berikut yang dikatakan luka berat pada tubuh yaitu:

penyakit atau luka, yang tak boleh diharapkan akan sembuh lagi dengan sempurna atau yang dapat mendatangkan bahaya maut; terus-menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan; tidak lagi memakai salah satu panca indera; kudung (kerompong); lumpuh; berubah pikiran (akal) lebih dari empat minggu lamanya; menggugurkan atau membunuh anak dari kandungan ibu.

32

C. Dasar Penghapus Pidana Secara umum KUHP membedakan alasan-alasan yang mengecualikan dijatuhkannya hukuman, yang dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah strafuitsluitingsground, dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai dasar penghapus pidana, berdasarkan alasan terjadinya penghapusan pidana itu terhadap pelaku. Pada pokoknya strafuitsluitingsground itu dapat terjadi karena:32 1. Rechtvaardigingsgronden, yaitu alasan-alasan yang membenarkan tindakan pelaku, dengan menghapuskan sifat melawan hukum dari tindakannya; atau 2. Sculduitsluitingsgronden, yaitu alasan-alasan yang menghilangkan unsur kesalahan (dalam arti luas) pada tindakan pelaku dan memaafkan. Alasan penghapus pidana dikenal baik dalam KUHP, doktrin mapun yurisprudensi. Dalam ilmu hukum pidana alasan penghapus pidana dibedakan dalam:33 1. Dasar Penghapus Pidana Umum, adalah dasar penghapus pidana yang dapat diberlakukan kepada semua tindak pidana. 2. Dasar Penghapus Khusus, adalah dasar penghapus pidana yang hanya dapat diberlakukan pada subyek hukum pidana tertentu. Menurut Moeljatno, dalam teori hukum pidana biasanya alasan-alasan yang menghapuskan pidana dibeda-bedakan menjadi:34 1. Alasan Pembenar, yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar.

32 33

Utrecht, Pidana, Jilid 1, (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1999), hal. 57-58. Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Penerbit Yayasan Sudarto, 1987), hal. 138. 34 Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Cet. Ke-7, (Jakarta: Rhineka Cipta, 2002), hal. 137.

33

2. Alasan pemaaf, yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum, jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia tidak dipidana, karena tidak ada kesalahan. 3. Alasan Penghapus Penuntutan, adalah alasan di mana pemerintah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat, sebaiknya tidak diadakan penuntutan, yang dipertimbangkan di sini adalah kepentingan umum. Apabila perkara dituntut, tentunya yang melakukan perbuatan tidak dapat dijatuhi pidana. Misalnya Pasal 53 KUHP, jika terdakwa dengan sukarela mengurungkan niatnya untuk tidak melakukan tindak pidana. Wiryono Prodjodikoro, menyebut alasan pemaaf dan alasan pembenar sebagai alasan yang menghilangkan sifat tindak pidana atau menghilangkan sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid atau onrechtmatigeheid. Alasan yang membenarkan disebut sebagai rechtvaardigings grond, yaitu alasan yang menghilangkan sifat melawan hukum, sehingga perbuatannya tetap dianggap dibenarkan. Sedangkan alasan pemaaf atau strafuitsluiting grond yaitu alasan yang menghilangkan tanggung jawab pelaku.35 Menurut Sudarto,36 llmu pengetahuan hukum pidana juga mengadakan pembedaan lain, penghapusan pidana dapat menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka dibedakan dua jenis alasan penghapus pidana: a. Alasan Pembenar (rechtsvaardigingsgrond, fait justificatif, rechtsfertigungsgrund), adalah menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undangundang. b. Alasan Pemaaf atau alasan penghapus kesalahan (schulduitsluitingsgrond, fait d'excuse, Entsschuldigunggrund, schuldausschliesungsgrund), adalah
35 36

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Pidana, (Bandung : Eresco, cet ke-4, 1986), hal. 74. Sudarto, Op.Cit., hal. 139.

34

pelaku tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak bersalah, meskipun perbuatannya melawan hukum. Dasar penghapus pidana umum terdapat di dalam Pasal-Pasal KUHP, antara lain adalah Pasal 44, 48, 49, 50, 51 KUHP. Pasal 44 KUHP menyatakan, Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana. Sebagaimana kita ketahui untuk dapat menjatuhkan pidana kepada orang yang melakukan perbuatan, berlaku asas geen straf zonder schuld; actus non fadt reum nisi mens sir rea. Asas ini menurut Moeljatno, tidak disebutkan dalam hukum tertulis tapi dalam hukum yang tidak tertulis yang juga berlaku di Indonesia. 37 Berarti tanpa kesalahan seseorang tidak dapat dikenakan ancaman pidana, maka untuk dapat meminta pertanggungan jawab pelaku, harus diketahui terlebih dahulu kesalahan pelaku tersebut. Kesalahan menurut Simon, merupakan adanya keadaan psikis yang tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedemikian rupa, hingga orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.38 Antar keduanya (keadaan psikis dan hubungan tertentu) sangat erat. Keadaan psikis/ bathin orang yang melakukan perbuatan ini berhubungan dengan masalah kemampuan bertanggung jawab. Keadaan psikis/bathiniah ini, lebih dekat kepada keadaan jiwa pelaku. Karena itu harus diketahui, apakah keadaan jiwa
37)

Moeljatno, Asas Asas Hukum Pidana, Cetakan ke-7, (Jakarta: Rhineka Cipta, 2002), hal.

153.
38

Ibid, hal. 158.

35

pelaku dalam keadaan sehat atau tidak. Jika pelaku dalam keadaan jiwa yang tidak sehat, maka Pasal 44 KUHP dapat diberlakukan. Keadaan jiwa ini, harus dibuktikan dalam persidangan di pengadilan, di mana harus didatangkan saksi ahli atau ahli, guna memeriksa, apakah benar yang bersangkutan menderita sakit jiwa atau jiwanya tidak sehat. Oleh karenanya perlu dipergunakan asas Deskriptif analitis, di mana hakim dalam mempertimbangkan keadaan jiwa pelaku, harus memerhatikan keterangan saksi ahli/ahli (psikiater) beserta keyakinannya, baru dapat menentukan, apakah pelaku memiliki penyakit jiwa atau tidak. Saksi ahli/ahli akan membuat alat bukti surat, yaitu visum et psikiatrik, yang memuat keadaan jiwa pelaku. Apabila Hakim yakin, maka dapat diputuskan bahwa yang bersangkutan memiliki penyakit jiwa, maka pertanggungjawaban tidak dapat dimintakan kepada pelaku. Sehingga harus diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Perihal kemampuan bertanggung jawab, maka dapat diperhatikan pendapat ahli hukum Pidana, antara lain van Hamel, menyatakan Kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan:39 1. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendiri; 2. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkan; 3. Marnpu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatanperbuatannya itu. Menurut Simons,40 kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya
39 40

Ibid. Sudarto, Opc.Cit., hal. 93.

36

penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya. Seseorang mampu bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila: a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum; b. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut. Menurut van Bemmelen, mampu bertanggung jawab adalah apabila seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut.41 Sedangkan menurut Moeljatno,42 terdapat kesimpulan bahwa, untuk adanya kemampuan bertanggung jawab harus ada: a. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, yang sesuai hukum dan yang melawan hukum. Ini merupakan faktor akal (intelektual faktor) yaitu dapat membedabedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. b. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya perbuatan tadi. Ini merupakan faktor perasaan atau kehendak (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah-lakunya dengan keinsyafan atas nama yang diperbolehkan dan mana yang tidak. Memorie van Toelichting (memori penjelasan Wvs)/Mvt, memberikan pengertian kemampuan bertanggung jawab secara negatif, antara lain tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat:43 a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat perihal apa yang dilarang atau diperintahkan oleh Undang-Undang; b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu
41

Ibid. Moeljatno, Op.Cit., hal.166. 43 Sudarto, Loc.Cit., hal.94


42

37

bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya. Menelaah Pasal 44 KUHP, maka dapat ditelaah dari unsur-unsur tindak pidana, yaitu terdapat salah satu unsur yang tidak terpenuhi. Unsur subyektif adalah unsur yang terdapat dalam diri pelaku/si pembuat, yaitu keadaan jiwa dari pelaku. Apabila pelaku/si pembuat tidak dapat dipertanggungjawabkan, seperti halnya memiliki penyakit jiwa, maka unsur subyektif tidak dipenuhi. Pelaku/si pembuat dalam Pasal 44 KUHP, berarti tidak memenuhi unsur subyektif dari suatu tindak pidana. Misalnya memiliki penyakit kleptomania, pelaku melakukan perbuatan mengambil barang separuh atau seluruhnya milik orang lain, tanpa disadari olehnya, karena pada waktu itu, yang bersangkutan sedang menderita kleptomania atau sedang terjangkit kleptomania. Idiot atau volume otak tidak berkembang atau daya pikir terganggu karena penyakit jiwa lainnya. Orang mabuk, melakukan tindak pidana. la pada waktu melakukan tindak pidana berada dalam keadaan tidak sadar diri. la dalam hal ini tetap dapat dipidana. Disebabkan, logika pada waktu ia mau minum-minuman keras, ia mengetahui kekuatan dirinya, ia harus mengukur berapa gelas yang masih dapat ditoleran oleh tubuhnya, sehingga tidak mabuk. Maka dengan logika ini, orang mabuk melakukan tindak pidana tetap dapat dipidana, ia tidak dapat memakai alasan Pasal 44 KUHP. Contoh kasus: Seorang mabuk mengendarai kendaraan bermotor, kemudian menabrak orang hingga tewas. Jika tidak dipidana, siapa yang dapat dimintakan pertanggungjawaban atas hilangnya nyawa korban?. Karena itu,

38

logikanya sebelum mabuk, pengendara harus mengetahui batas toleran dari tubuhnya sendiri, supaya tidak berada dalam keadaan tidak sadar diri/ mabuk. Cacat kemasyarakatan seperti rasa dengki, iri, dendam, cemburu, bukan merupakan alasan yang dapat digunakan dalam Pasal 44 KUHP. Hal ini disebabkan, cacat tersebut tidak menyebabkan pelaku tidak mampu bertanggung jawab. Sama halnya dengan motivasi melakukan pembunuhan, setelah ditanyakan kepada pelaku, pelaku menjawab ia membunuh karena cemburu, bekas pacarnya memiliki pacar baru. Memiliki pacar baru, tidak menyebabkan seseorang tidak mampu bertanggung jawab. Demikian pula dalam kasus mutilasi yang dilakukan oleh pelaku (Ryan), ia melakukan mutilasi terhadap 11 orang korban, dengan motivasi, karena cemburu dan ingin cepat kaya. Ia tetap dipidana akhirnya, karena pembunuhan berencana.44) Pada prakteknya, untuk membuktikan bahwa terdakwa atau pelaku benar memiliki ketidakmampuan bertanggung jawab, maka harus dibuktikan oleh ahli kedokteran psikiater atau ahli penyakit jiwa. Dokter ahli penyakit jiwa akan memeriksa terdakwa dan membuatkan visum et psikiatrik, yang berisi keterangan perihal keadaan jiwa terdakwa/ pelaku. Oleh sebab itu hakim baru dapat memperoleh keyakinan, bahwa terdakwa benar telah mengalami gangguan kejiwaan sehingga tidak mampu bertanggung jawab. Ini yang disebut deskriptif analitis, bahwa untuk mendapatkan keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa, maka hakim harus mendapatkan keterangan dari saksi ahli perihal keadaan jiwa si pelaku/terdakwa. Saksi ahli dalam Pasal 44
44

Anonim, Pembunuh 11 Korban Mutilasi Republika, Maret 2009, hal. 2

39

KUHP, adalah ahli psikiater. Saksi ahli psikiater akan menggambarkan dengan keterangannya (visum psikiatric) perihal keadaan jiwa pelaku, sedangkan hakim memperoleh keyakinan dari hasil pemeriksaan tersebut. Pasal 44 ayat (2) KUHP, menyatakan bahwa jika perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab karena jiwanya tidak normal, menurut Moeljatno, mungkin dianggap berbahaya bagi masyarakat. Karena itu hakim dalam Pasal 44 ayat (2) KUHP dapat memerintahkan untuk memasukkan terdakwa sebagai masa memasukkan percobaan ke rumah sakit jiwa selama 1 tahun.45 Pasal 48 KUHP, menyatakan bahwa tidak dipidana seorang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa. Daya paksa atau overmacht, tidak ditemukan pengertiannya dalam KUHP, dalam Mvt disebutkan sebagai: setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang tak dapat ditahan.46 Menurut J. M. van Bemmelen,47 dalam hal daya paksa yang pertamatama kita memikirkan suatu kekuatan yang datang dari luar yang diakiabtkan oleh alam sekitar kita, atau oleh orang lain. Kekuatan itu mungkin demikian
Sudarto, Op.Cit., hal. 170. Ibid., hal.40. 47 JM. Van Bammelen, Hukum Pidana I, Cetakan ke-1, (Bandung: Bina Cipta, 1986), hal.180.
46 45

40

kuatnya, sehingga tak dapat dilawan, misalnya angin topan yang mengakibatkan terlemparnya seorang pengendara sepeda, sehingga ia berada di jalur kiri jalan, atau seorang kuat, yang memegang pergelangan tangan orang lain dan melemparkan tangan tersebut sehingga memecahkan sesuatu barang. Menurut Moeljatno,48 daya paksa adalah daya paksa yang dapat berupa paksa fisik, terhadap mana orang yang terkena tak dapat menghindarkan diri, atau merupakan paksaan psikis, dalam bathin, terhadap mana meskipun secara fisik orang masih dapat menghindarkannya, namun daya itu sedemikian besarnya, sehingga dapat dimengerti kalau tidak kuat menahan daya tersebut. Daya paksa dapat dibagi menjadi: 1. Daya paksa yang absolut atau vis absoluta, adalah daya paksa yang dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau alam, dalam hal ini paksaan tersebut sama sekali tidak dapat ditahan, misalnya orang yang di bawah pengaruh hipnotis melakukan pembunuhan, memenuhi Pasal 338 KUHP. Perbuatan yang dilakukan pelaku adalah perbuatan yang sama sekali di luar kehendak pelaku. Dalam hal ini harus dilihat sampai sejauh mana pengaruh hipnotis pada pelaku. Contoh lain, adalah seorang yang tinggal di Jakarta, dipanggil sebagai saksi di Bandung. Ketika ia berangkat dengan kereta api, di tengah jalan, terjadi kejadian di luar kehendaknya, misalnya rel anjlok. Maka yang bersangkutan tidak bisa tepat waktu tiba di pengadilan untuk menjadi saksi.49
48
49

Moeljatno, Op.Cit., hal.139. Sudarto, Op.Cit., hal. 141.

41

2. Daya paksa yang relatif atau vis compulsiva, adalah paksaan yang datang sebenarnya masih dapat ditahan, tetapi orang yang dipaksa itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan perlawanan. Menurut Moeljatno, daya paksa compulsiva, adalah daya paksa yang disebabkan oleh kekuatan fisik dan masih dapat ditahan oleh orang yang dipaksa. 50 Misalnya A mengancam B seorang kasir Bank, dengan pistol di dadanya, untuk menyerahkan uang yang disimpan oleh B dapat menolak, B dapat berpikir dan menentukan kehendaknya, jadi tak ada paksaan absolut. Memang ada paksaan tetapi masih ada kesempatan bagi B untuk mempertimbangkan apakah ia melanggar kewajibannya untuk menyimpan surat-surat berharga itu dan menyerahkannya kepada A atau sebaliknya, ia tidak menyerahkan dan ditembak mati. 51 Daya paksa - relatif, menurut Moeljatno, merupakan daya paksa dalam arti sempit (overmacht in enge zin), daya paksa relatif ini digunakan dalam KUHP Indonesia. Pada daya paksa (overmacht) terdapat orang dalam keadaan terjepit (dwangpositie). Di mana orang tersebut berada dalam keadaan yang sama sulitnya dan sama buruknya. Hal ini disebabkan daya paksa datang dari luar diri si pelaku dan lebih besar kekuatannya dari dirinya.52 Daya paksa berbeda dengan keadaan darurat (noodtoestand), walaupun keduanya sama-sama dalam keadaan terjepit, dan menghadapi keadaan yang sama buruknya dan sama sulitnya. Daya paksa dalam arti sempit disebabkan oleh kekuatan fisik, dalam keadaan darurat, keadaan terpaksa tersebut
50
51

Moeljatno, Op.Cit., hal. 139. Ibid., hal.141. 52 Ibid., hal. 142.

42

disebabkan keadaan di luar perbuatan manusia. KUHP tidak mengadakan perbedaan tersebut. Ada 3 kemungkinan keadaan darurat: 1. Orang yang terjepit antara dua kepentingan atau terdapat perbenturan antara kepentingan hukum dengan kepentingan hukum. Contoh klasiknya adalah: Papan dari Carneades. Carneades adalah seorang Yunani kuno, ketika kapalnya tenggelam, ia berhasil menyelamatkan diri dengan cara berpegangan pada sebuah papan kayu. Papan kayu ini ternyata hanya bisa mengangkat satu orang saja. Untuk menyelamatkan dirinya Carneades lalu mendorong orang lain yang berpegangan juga pada papan tersebut. Sehingga orang tersebut terlepas pegangannya, dan tenggelam. Carneades, tidak dihukum ketika sudah sampai di darat. Karena ia mempertahankan kepentingan hidup untuk dirinya sendiri.53 2. Orang yang terjepit antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum. Contohnya: Karena sudah tidak makan selama beberapa hari, pelaku mencuri sebuah roti. Di satu pihak ada kepentingan diri sendiri untuk tetap hidup, di pihak lain ada kewajiban hukum untuk menaati peraturan perundang-undangan. Namun pelaku lebih mementingkan dirinya sendiri. Contoh lain: Pemadam kebakaran, memadamkan api yang terletak di tengah-tengah daerah/pemukiman padat, untuk mencapai tempat tersebut, ia harus melewati rumah-rumah yang berada di sekitarnya, dengan cara merusak genteng dan kaca rumah, karena ia harus membawa selang air. Hal ini dilakukan guna menyelamatkan kobaran api rumah korban. Ada
53

Sudarto, Op.Cit., hal. 143.

43

perbenturan antara kepentingan hukum dari rumah korban yang terbakar dan ada kewajiban hukum dari pemadam kebakaran untuk melaksanakan tugasnya. Contoh lainnya (HR Putusan tanggal 15 Oktober 19237 Arrest Optiden) adalah di Belanda, seorang pemilik toko kacamata, yang menjual kaca mata kepada seorang pembeli yang tidak bisa melihat tanpa kaca mata, setelah kacamatanya pecah karena jatuh. Pemilik toko kaca mata menjual pada waktu di mana toko-toko harus sudah tutup. Pemilik toko dituntut dan pada waktu permohonan kasasi oleh jaksa menyatakan bahwa terdakwa tidak dapat dipidana karena terdakwa berada dalam keadaan darurat, yaitu ada perbenturan antara kewajiban hukum sebagai anggota warga untuk menolong pembeli tersebut, sedangkan di pihak pembeli, ada kepentingan hukum untuk dapat memenuhi kepentingannya sendiri.54 3. Adanya perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum. Contoh kasus: Seorang dokter angkatan laut diperintahkan oleh atasannya untuk melaporkan apakah para perwira-perwira laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat (kota pelabuhan) kejangkitan penyakit kelamin. Dokter tersebut tidak mau melaporkan pada atasan, sebab dengan memberi laporan kepada atasannya, berarti melanggar sumpah jabatan sebagai dokter yang harus merahasiakan semua penyakit dari para pasiennya. Di sini ada perbenturan antara dua kewajiban yaitu: Melaksanakan perintah dari atasannya (sebagai tentara); memegang teguh rahasia jabatan sebagai dokter. Ia memilih tetap merahasiakan penyakit pasiennya. Oleh Pengadilan Tentara ia dikenakan hukuman 1 (satu) hari, tetapi dokter naik
54

Ibid., hal. 145.

44

banding, dan Mahkamah Tentara Tinggi membebaskannya, karena ia dianggap berada dalam keadaan darurat (Putusan tanggal 26 Nopember 1916).55 Contoh kasus lainnya, seorang saksi menjadi saksi di dua tempat dalam waktu yang bersamaan. Para ahli hukum pidana memasukkan daya paksa yang diatur dalam Pasal 48 KUHP, sebagai alasan pemaaf, antara lain Mulyatno dan Ruslan Saleh, van Hattum. Para ahli berpendapat, bahwa perbuatan yang dilakukan pelaku tetap merupakan perbuatan melawan hukum, namun patut dimaafkan, karena keadaan memaksa pelaku melakukan perbuatan melawan hukum. Simons berpendapat bahwa kalau pelaku dipaksa maka perbutannya bersifat melawan hukum, maka tetap patut dapat dipidana, tetapi ia tidak dapat dipertanggung-jawabkan atas perbuatannya. Keadaan yang membuat pelaku tidak dapat dicela, sehingga padanya tidak ada kesalahan.56 van Hattum menyatakan bahwa atas perbuatan yang dilakukan orang karena pengaruh daya paksa, di mana fungsi bathinnya tak dapat bekerja secara normal karena adanya tekanan-tekanan dari luar, orang itu dapat dimaafkan kesalahannya.57 Pembelaan darurat (Noodweer) dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, berbunyi: Tidak dipidana barangsiapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
55 56

Ibid., hal. 146. Ibid., hal. 147. 57) Moeljatno, Op.Cit., hal.144.

45

Menurut Moeljatno, dalam pembelaan terpaksa harus ada hal-hal memaksa terdakwa melakukan perbuatannya. Hal-hal itu dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP dirumuskan sebagai adanya serangan atau ancaman serangan.58) Menurut Soedarto,59 Pasal 49 ayat (1) KUHP mensyaratkan sebagai berikut: 1. Ada serangan 2. Ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu. Serangan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP, adalah serangan yang memenuhi syarat: 1. Seketika 2. Langsung mengancam; 3. Melawan hukum, sengaja ditujukan pada badan, perikesopanan dan harta benda. Pembelaan harus memenuhi syarat-syarat: 1. Pembelaan harus dan perlu diadakan 2. Pembelaan harus menyangkut kepentingan-kepentingan yang disebut dalam undang-undang yakni serangan pada badan (lijt), perikesopanan (eerbaarheid) dan harta benda (goed) kepunyaan sendiri atau orang lain. Menurut Moeljatno, serangan seketika, berarti antara saat melihatnya ada serangan dan saat mengadakan pembelaan harus tidak ada jarak waktu yang lama. Begitu orang mengerti adanya serangan, begitu dia mengadakan pembelaan.60) Kalau ada pembelaan terhadap serangan maka adanya
58) 59)

Ibid. Sudarto, Loc.Cit., hal. 148. 60) Moeljatno, Loc.Cit., hal.145.

46

pembelaan itu harus masuk akal. Jika adanya pembelaan dapat diterima, maka cara pembelaan harus seimbang dengan sifat serangannya.61) Contoh kasus: Putusan HR tahun 1934, perihal pembelaan yang tidak seimbang dengan serangan. Seorang pemilik sero (perangkap) ikan, yang dengan sebuah tali, serotadi dihubungkan dengan pelatuk pistol yang diikat di dekatnya sedemikian rupa, hingga kalau ada pencuri hendak mengambil ikan dalam sero tadi karena tergeraknya tali tadi, pistol itu lalu berbunyi dan melepaskan tembakan. Ketika ada pencuri maka pistol tadi menembak dan perihal matanya hingga menjadi buta. H.R menolak pembelaam pemilik sero atas dasar Pasal 49 ayat (1) KUHP.62) Antara serangan dengan yang dibela, harus seimbang. Apakah harga ikan dengan timbulnya luka mengakibatkan kebutaan pada terdakwa seimbang?. Karena tidak seimbang, maka tidak ada pembelaan terpaksa. Pemberlakuaan Pasal 49 ayat (1) KUHP, perlu memerhatikan asas proporsionalitas bahwa antara kepentingan yang dibela dengan serangan harus seimbang. Sebagai contoh kasus: A menunggu B di luar rumah, begitu B keluar rumah, A langsung menyerang B dengan sebuah pisau. Tanpa ragu B memukul A dengan tangan kosong, hingga Ajatuh ke pinggir jalan raya, dan pingsan. Apakah seimbang serangan yang tiba-tiba dan melawan hukum dengan akibat yang ditimbulkan. Tidak akan pernah seimbang, jika orang yang semula menyerang mendapatkan akibat pembelaan diri yang lebih parah dari serangan yang semula direncanakan. Maka B dapat terancam dikenakan
61) 62)

Ibid., hal. 146. Ibid., hal. 147.

47

penganiayaan (Pasal 351 KUHP). Oleh sebab itu, dalam prakteknya, pembuktian pembelaan terpaksa tidaklah mudah. Mengingat asas

proporsionalitas yang harus dibuktikan dalam persidangan. Contoh kasus lainnya (politiehond arrest/arrest anjing polisi) adalah seorang polisi hendak menangkap tersangkayang melarikan diri, karena sulit, maka polisi melepaskan anjing pelacak. Anjing pelacak dapat mengejar tersangka, hingga akhirnya anjing itu dibunuh oleh tersangka. Dalam kasus ini tidak ada pembelaan terpaksa. Namun tersangka dapat dikenakan Pasal 406 ayat (2) KUHP. Adakah pembelaan terpaksa? Tidak ada, dikarenakan anjing bukan merupakan subyek hukum. Sedangkan serangan yang seketika dan melawan hukum, hanya dapat dilakukan oleh manusia. Manusia sebagai subyek hukum pidana, sehingga dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Putusan HR tanggal 3 Mei 1915.63 Menurut Soedarto, dalam memilih jalan untuk membela diri ini ada yang disebut subsidiaritas, yaitu alat atau cara dalam perbuatan pembelaan itu harus dibenarkan oleh keadaan.64 Contoh kasus di atas, perihal sero yang memasang pistol tadi, sehingga pencuri yang akan mengambil ikan terkena peluru dan buta, bukan merupakan pembelaan terpaksa, namun pelanggaran asas proporsionalitas dan asas subsidiaritas. Terdapat perbedaan antara keadaan darurat dengan pembelaan terpaksa, yaitu:

63 64

Sudarto, Op.Cit., hal. 149. van Bammelen, Op.Cit., hal.193.

48

1. Dalam keadaan darurat terdapat perbenturan antara kepentingan hukum dengan kepentingan hukum atau kepentingan hukum dengan kewajiban hukum atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum.

Sedangkan dalam pembelaan terpaksa situasi darurat ditimbulkan karena perbuatan melawan hukum, jadi hak berhadapan dengan bukan hak. Sedangkan dalam keadaan darurat, hak berhadapan dengan hak. 2. Dalam keadaan darurat tidak perlu ada serangan, sedangkan dalam pembelaan terpaksa serangan harus ada. 3. Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan, sedangkan dalam pembelaan terpaksa, pembelaan dilakukan dengan syarat-syarat yang sudah ditentukan oleh Pasal 49 ayat (1) KUHP secara limitatif. 4. Keadaan darurat bisa sebagai alasan pemaaf dan alasan pembenar, namun dalam pembelaan terpaksa, merupakan alasan pembenar karena

menghapuskan sifat melawan hukumnya.65 Pasal 49 ayat (1) KUHP, tidak memenuhi unsure obyektif, perbuatan yang dilakukan dianggap tidak melawan hukum karena perbuatan tersebut dianggap sebagai alasan pembenar dalam hukum pidana. Sedangkan unsur subyektifnya tetap dipenuhi, terdakwa/pelaku tetap bersalah namun tidak terbukti perbuatannya melawan hukum. Maka tidak dapat dipidana. Pasal 49 ayat (2) KUHP, menyatakan: tidak dipidana seseorang yang melampaui batas pembelaan yang diperlukan, jika perbuatan itu merupakan

65

Ibid., hal. 150.

49

akibat langsung dari suatu kegoncangan jiwa yang hebat yang disebabkan oleh serangan itu. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pemberlakuan Pasal 49 ayat (2) KUHP, yaitu:66) 1. Persyaratan Pasal 49 ayat (1) KUHP harus dipenuhi, karena Pasal 49 Ayat (2), berhubungan erat dengan ayat (1)nya. 2. Pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat (suatu perasaan hati yang panas). 3. Kegoncangan jiwa yang hebat ini disebabkan karena adanya serangan, dengan kata lain antara kegoncangan jiwa yang hebat dengan serangan harus ada hubungan kausal. Menurut van Bemmelen, pembuat undang-undang sudah menduga secara tepat, bahwa serangan seketika dan melawan hukum terhadap diri sendiri, kehormatan, harta benda dan kesusilaan sendiri maupun orang lain, akan menimbulkan emosi yang hebat pada orang yang diserang. Karena emosi ini tidak mungkin atau setidak-tidaknya sulit sekali untuk memertimbangkan dengan obyektif, apakah serangan itu dapat dibela dengan cara lain. Karena itu orang tersebut, dapat dimaafkan dan tidak dapat dipidana.67 Kegoncangan jiwa yang hebat (hegive gemoeds beweging) menurut Engelbrecht merupakan karena panas hatinya, sedangkan Schravendijk mengartikan sebagai karena perasaan tergoncang hebat.68 Dapat dikatakan unsur subyektif tidak terpenuhi dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP dan perbuatannya tetap melawan hukum. Karena unsur subyektif tidak dipenuhi, dalam hal ini pelaku dianggap tidak mampu bertanggung jawab disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat itu timbul, karena ernosi yang hebat, sehingga
66 67

Ibid. Ibid., hal. 193 68 Moeljatno, Op.Cit., hal.148.

50

tidak bisa menentukan kehendaknya sendiri. Maka tidak terdapat kesalahan pada pelaku, sehingga tidak dipidana. Pasal 50 KUHP, menyatakan bahwa, barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang tidak dipidana. Ketentuan undang-undang dalam Pasal 50 KUHP, tidak diberikan penjelasan dalam Kitab Undang-Undang hukum Pidana. Namun dalam H.R membuat pengertian Undang-Undang dalam arti materil, yaitu setiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang umum. Bukan lagi pengertian Undang-Undang dalam arti formil. Dengan perkataan lain, kewajiban/tugas itu diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan.69 Untuk melaksanakan Pasal 50 KUHP ini, maka tindakan atau perbuatan dari pelaku harus dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal. Juga harus ada keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara pelaksanaannya.70 Contoh kasus adalah putusan HR tanggal 30 Januari 1928, 71 NJ 1928, perihal deurwaarder arrest (arrest juru sita), seorang juru sita memiliki tugas menurut putusan pengadilan untuk menyita barang orang lain atau mengosongkan rumah orang itu, ia tidak melakukan tindak pidana. Namun juru sita sesudah mengosongkan rumah, meletakkan semua perabot di jalan raya, dan ini melanggar Peraturan Umum Polisi Kotapraja, yang melarang meletakkan barang di jalan raya. Tidak ada ketentuan yang tegas

69 70

Sudarto, Op.Cit., hal. 152. Ibid. 71 Van Bammelen, Op.Cit., hal. 196.

51

membolehkan juru sita meletakkan barang di jalan raya, namun dengan akal sehatnya, juru sita meletakkan barang tersebut di jalan raya. Demikian juga dalam kasus, penyidik menahan tersangka. Undangundang memberikan wewenang kepada penyidik untuk melakukan penahanan terhadap tersangka, maka tidak dapat dikatakan melakukan tindak pidana. Seorang polisi atau pemadam kebakaran, berdasarkan perintah atasan memecahkan kaca supaya dapat masuk ke dalam rumah yang terbakar atau menggeledah rumah, tidak boleh dikatakan melakukan tindak pidana. Hal ini dianggap masih merupakan lingkup wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Demikian juga seorang tentara, memiliki wewenang menembak mati musuh.72 Kasus lainnya adalah seorang dokter tidak melakukan tindak pidana dari Pasal 322 KUHP, yaitu membuka rahasia yang harus ia simpan sebagai dokter tentang keadaan pasiennya, apabila dokter itu membuka rahasia tertentu untuk memenuhi kewajiban-kewajiban yang termuat dalam undangundang untuk melakukan laporan-laporan macam-macam.73 Pasal 50 KUHP merupakan alasan pembenar, perbuatan yang dilakukan bukan bersifat melawan hukum, namun dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Unsur obyektif tidak dipenuhi, sehingga tidak dipidana. Pelaku tetap dapat dipertanggungjawabkan dan memiliki kesalahan, namun unsur obyektif tidak terpenuhi.

72 73

Ibid. Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal.86.

52

Pasal 51 ayat (1) KUHP, menyatakan, barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang tidak dipidana. Perintah dikatakan sah, apabila perintah itu berdasarkan tugas, wewenang atau kewajiban, yang didasarkan pada suatu peraturan. Antara orang yang diperintah dan orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan subordinasi, meskipun sementara sifatnya.74 Misalnya permintaan bantuan oleh Pamongpraja kepada Angkatan Bersenjata (413 KUHP). Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa hubungan atas bawahan dalam Pasal 51 Ayat (1) KUHP, tidak diperlukan. Apabila dalam kasus seorang pegawai swasta diperintahkan oleh polisi untuk merusak barang miliki orang lain yang menghalangi lalu lintas. Maka tetap dapat berlindung dengan Pasal 51 Ayat (1) KUHP.75 Pasal 51 ayat (1) KUHP, dalam pelaksanaannya harus patut dan wajar, juga harus seimbang dan tidak boleh melampaui batas kepatutan. Perbuatan yang dilakukan karena perintah jabatan yang sah, merupakan alasan pembenar. Perbuatan yang dilakukan bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Unsur obyektif tidak dipenuhi, sehingga tidak dipidana. Unsur obyektif tetap dipenuhi, pelaku mampu bertanggung jawab dan memiliki kesalahan. Pasal 51 ayat (2) KUHP, menyatakan: Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika yang diperintah
74 75

Sudarto, Op.Cit., hal. 153. Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal.87.

53

dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. Menurut Soedarto,76 Perbuatan pelaku tetap bersifat melawan hukum, tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat-syarat: 1. Jika ia mengira dengan itikad baik (jujur hati) bahwa perintah itu sah. 2. Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah. Contoh kasus: Seorang agen polisi diperintahkan oleh atasannya supaya tahanan yang selalu berteriak-teriak dipukuli. Tugas dari seorang agen polisi bukan untuk menyiksa orang tapi hanya untuk menangkap, menggeledah badannya, atau memeriksa perkaranya, maka apa yang diperintahkan tadi tidak masuk dalam lingkup pekerjaannya.77 Menurut van Bemmelen, setiap orang yang diperintah harus bersikap kritis. Hal ini terlihat dalam kasus jika seorang walikota memerintah setiap polisi untuk menembak setiap orang yang ditemuinya setiap 8 jam sekali, maka pejabat polisi tidak menggunakan peraturan perundang-undangan, tetapi hanya mengandalkan perintah jabatan. Maka dalam kasus ini, tidak ada alasan penghapus pidana, karena perintah jabatan tidak wajar tidak patut dan tidak sesuai dengan lingkup pekerjaan pejabat polisi tadi.78

76 77

Sudarto, Op.Cit., hal. 154. Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hal.198. 78 Van Bammelen, Loc.Cit., hal. 196.

54

Menurut Moeljatno,79 seorang yang diperintah, tidak dapat melepaskan tanggung jawab dari perbuatan yang dilakukannya. Untuk itu ada 2 syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Syarat Subyektif, yaitu dalam bathin orang diperintah harus mengira bahwa perintahnya adalah sah, baik dilihat dari segi pejabat yang mengeluarkan perintah, maupun dari segi macamnya perintah. Tentu saja harus didasarkan fakta-fakta yang ada. 2. Syarat Obyektif, yaitu dari fakta-fakta tersebut adalah masuk akal jika terdakwa bahwa perintah adalah sah, atau berwenang, maka apa yang diperintahkan itu secara obyektif yaitu dalam kenyataan harus masuk ruang lingkup pekerjaannya. Berdasarkan hal tersebut, Moeljatno, tidak menyetujui Pasal 51 Ayat (2) KUHP dianggap sebagai alasan pemaaf. Namun lebih setuju, apabila Pasal 51 Ayat (2) KUHP diajukan sebagai alasan penghapus penuntutan.80 Jika ditelaah berdasarkan unsur-unsur tindak pidana, maka perbuatan yang dilakukan pelaku merupakan perbuatan melawan hukum, namun pada pelaku tidak ditemukan kesalahan, tidak ada kesengajaan dalam hal ini disebabkan, adanya itikad baik, yang merupakan bagian dari dalam diri pelaku. Itikad baik timbul karena adanya fakta-fakta yang ada, yang menyebabkan pelaku mengira berdasarkan fakta yang ada perintah merupakan perintah yang sah dan masuk dalam ruang lingkup pekerjaannya. Namun

79
80

Moeljatno, Loc.Cit., hal.151. Ibid., hal.152

55

masih harus dilakukan sesuai dengan batas-batas kewajaran dan kepatutan, karena itu merupakan alasan pemaaf.

56

BAB III DATA HASIL PENELITIAN

A. Kronologi Kasus Kasus penganiayaan dalam perkara Nomor : 416 K/Pid/2009 merupakan salah satu kasus yang melibatkan 4 (empat) terdakwa yang masih memiliki hubungan keluarga diantaranya yaitu terdakwa I Winarno Sarkawi terdakwa II Andreas Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana yang telah melakukan penganiayaan terhadap Robby Lesmana. Robby Lesmana merupakan suami dari terdakwa III Grace yang telah menikah dan dikaruniai seorang anak. Pada saat penganiayaan terjadi, antara Robby Lesmana dan terdakwa III Grace sedang dalam menjalani proses perceraian, dimana dalam salah satu perjanjiannya itu perihal hak asuh anak yang diasuh secara bergantian. Peristiwa penganiayaan terjadi pada saat Robby Lesmana datang ke rumah terdakwa III Grace untuk menjemput anaknya yang kebetulan hak asuh anak jatuh pada Robby Lesmana sebagaimana perjanjian yang dibuat. Robby Lesmana datang bersama dengan kuasa hukumnya Adardam Achyar dan ditemui terdakwa III Grace yang kebetulan sedang menggendong anaknya yang bernama Richelle.

57

Kemudian oleh karena anaknya Richelle menangis ketika akan dibawa oleh saksi Robby Lasmana, lalu terdakwa III Grace berusaha mengambil kembali anaknya sehingga terjadi tarik-menarik dan tiba-tiba dari dalam rumah keluar terdakwa I Winarno Sarkawi menghampiri saksi Robby Lasmana langsung mendorong/menekan kepala dan menjambak rambut saksi Robby Lasmana sebanyak 2 kali sambil memiting leher saksi Robby Lasmana dengan keras. Selanjutnya datang terdakwa IV Yuniarsih Herliana berusaha mengambil kembali Richelle dalam gendongan saksi Robby Lasmana diikuti tindakan terdakwa III Grace dari arah belakang/samping memukul pipi atau kuping dari saksi Robby Lasmana sebanyak 2 kali. Bahwa saksi Adardam Achyar yang ketika itu berada di luar halaman melihat keadaan tersebut masuk halaman rumah dengan maksud melerai dan menyelamatkan saksi Robby Lasmana, namun tiba-tiba terdakwa I Winamo Sarkawi menghampiri saksi Adardam Achyar dan dengan keras tangan kirinya memegang krah baju dan tangan kanannya menampar dan mendorong saksi Adardam Achyar, sampai keluar halaman rumah sambil terus memukuli bagian belakang kepala atau leher saksi Adardam Achyar lebih dari 5 kali dengan mengatakan "dasar pengacara goblog, babi, tolol". Ketika saksi Adardam Achyar berada di pinggir pintu pagar atau di belakang mobil, terdakwa III Grace memukul bagian kepala dan pundak saksi Adardam Achyar masing-masing 1 kali, diikuti terdakwa IV Yuniarsih Herliana dengan telapak tangan terbuka memukul bagian ubun-ubun kepala saksi Adardam Achyar sebanyak 1 kali dan terdakwa II Andreas Suhartoyo

58

menampar bagian leher saksi Adardam Achyar sebanyak 1 kali, demikian halnya ketika saksi Adardam Achyar akan naik mobil dari sebelah kiri diikuti dari belakang oleh terdakwa IV Yuniarsih Herliana dan terdakwa II Andreas Suhartoyo lalu terdakwa IV Yuniarsih kembali memukul pundak kiri belakang sebanyak 1 kali diikuti terdakwa II Andreas Suhartoyo kembali memukul pangkal leher belakang saksi Adardam Achyar, sebanyak 2 kali, demikian halnya ketika saksi Robby Lasmana berada dalam mobil setelah berhasil membawa anaknya Richelle masuk dalam mobil, hendak menutup pintu, kembali terdakwa III Grace memukuli wajah dan mencaci maki saksi Robby Lasmana diikuti terdakwa Winamo Sarkawi memukuli kepala dan pinggang saksi Robby Lasmana berkali kali setidaknya lebih dari sekali ataupun dengan cara-cara lainnya seperti itu. Akibat perbuatan para terdakwa tersebut, saksi Adardam Achyar, menderita nyeri tekan dan memar kemerahan di daerah perbatasan punggung dan leher sesuai Visum Et Repertum No.255/RSAI/VISUM/I/2007 tertanggal 23 Januari 2007 dan demikian halnya akibat perbuatan para terdakwa tersebut, saksi Robby Lasmana menderita memar garis-garis kemerahan pada daerah bahu kanan bagian belakang, bercak kemerahan di bahu kiri belakang dan kedua pipi kemerahan, agak bengkak dan nyeri tekan sesuai Visum Et Repertum No.254/RSAI/VISUM/I/2007 tertanggal 23 Januari 2007. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka para perbuatan perbuatan para terdakwa dalam dakwaan pertama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 170 (1) KUHP, dakwaan kedua diancam pidana dalam

59

Pasal 351 (1) KUHP jo Pasal 55 (1) ke 1 KUHP dan dakwaan ketiga sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 335 ayat (1) ke 1 KUHP. B. Pertimbangan Hukum oleh Hakim 1. Putusan Pengadilan Negeri Kelas IA Bandung Di dalam pertimbangan putusan Pengadilan Negeri Klas IA Bandung Nomor 845/Pid/B/2007/PN.BDG tanggal 03 Januari 2008 yang amar lengkapnya sebagai berikut: 4. Menyatakan terdakwa I Winarno Sarkawi, terdakwa II Andreas Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno, dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana tersebut di atas, telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang; 5. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa I dan terdakwa III oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan, dan kepada terdakwa II dan terdakwa IV dengan pidana penjara masing-masing selama 4 (empat) bulan ; 6. Memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali di kemudian hari dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa sebelum masa percobaan selama I (satu) tahun 6 (enam) bulan berakhir bagi terdakwa I dan terdakwa III dan masa percobaan selama 8 (delapan) bulan berakhir bagi terdakwa II dan terdakwa IV, para terdakwa dinyatakan bersalah telah melakukan suatu tindak pidana ;

60

7. Menetapkan barang bukti berupa 1 (satu) buah kemeja merk Nautica motif kotak-kotak, dikembalikan kepada saksi Adardam Achyar, dan 1 (satu) buah handycam merk Panasonic berikut kaset MDV merk Panasonic, dikembalikan kepada saksi Anthony Sugiharto. 2. Putusan Pengadilan Tinggi Bandung Putusan Pengadilan Tinggi Bandung dengan Nomor registrasi 127/ PID/2008/PT.Bdg tanggal 22 April 2008 menerima permohonan banding dari Pembanding Jaksa Penuntut Umum dan para terdakwa (kuasanya) tersebut dan membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal 3 Januari 2008 Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg.yang dimohonkan banding tersebut. Pengadilan Tinggi Bandung mengadili sendiri dengan menyatakan bahwa terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan dan harus membebaskan semua dakwaan (vrijspraak). Selanjutnya terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III Grace binti Winarno terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi perbuatan tersebut merupakan pembelaan darurat (noodweer). Untuk itu terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III Grace binti Winarno harus dibebaskan dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging), serta memulihkan hak para terdakwa dalam

kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabat mereka.

61

Barang bukti berupa 1 (satu) buah kemeja merk nautical motif kotak-kotak dikembalikan kepada saksi 1 Adardam Achyar dan 1 (satu) buah handycam merk Panasonic berikut kaset MDV merk Panasonic dikembalikan kepada Anthony Sugiharto serta membebankan biaya perkara kepada Negara. 3. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Mengingat akan akta tentang permohonan kasasi Nomor

37/Akta.Pid/2008/PN.Bdg yang dibuat oleh Panitera pada Pengadilan Negeri Klas IA Bandung yang menerangkan, bahwa pada tanggal 10 Juli 2008 Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandung mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tinggi. Pada

pertimbangan hukumnya Menimbang, bahwa alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Kasasi/Jaksa/Penuntut Umum pada pokoknya sebagai berikut: Putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Bandung tersebut, dalam mempertimbangkan tentang tidak terbuktinya surat dakwaan sebagaimana yang dituntut oleh Jaksa/Penuntut Umum yang mana amarnya telah membebaskan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana dari segala dakwaan (vrijspraak) serta melepaskan terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III Grace binti Winarno dari semua

tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) adalah putusan bebas yang tidak murni sifatnya karena Judex Facti dalam putusan Pengadilan Tinggi Bandung tersebut sematamata didasarkan pada penafsiran yang

62

keliru terhadap sebutan tindak pidana yang dimuat dalam surat dakwaan dan tidak didasarkan pada tidak terbuktinya unsur-unsur perbuatan yang dakwakan yaitu: a. Bahwa Judex Faxti Vide / Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya telah membebaskan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana bukan karena tidak terbuktinya unsur kekerasan dalam Pasal 170 ayat (1) KUHP namun karena Judex Facti telah mengabaikan alat bukti keterangan saksi-saksi sebagai alat bukti yang sah dan sematamata hanya mempertimbangkan keterangan para terdakwa, sehingga Judex Facti/PengadiIan Tinggi Bandung telah salah dalam penerapan hokum pembuktian vide Pasal 183 jo Pasal 184 jo Pasal 185 KUHAP: Berdasarkan alat bukti berupa keterangan saksi I Adardam Achyar, saksi 2 Robby Lasmana, saksi 3 Burhanudin als. Ahmad bin M. Khoerudin di bawah sumpah dihubungkan dengan alat bukti Surat berupa Visum Et Repertum sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung dalam putusannya di mana alat bukti dimaksud telah saling bersesuaian dengan alat bukti lainnya, sehingga telah memunuhi syarat mininal alat bukti dalam

membuktikan tentang kesalahan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana sebagai pelaku yang bersama-sama melakukan tindak pidana sebagaimana yang di dakwakan dalam

63

dakwaan pertama vide putusan Pengadilan Negeri Bandung tanggal 3 Januari 2008 Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg. Demikian halnya keterangan saksi Jason Sastra Jaya yang merupakan saksi fakta sebagai alat bukti sah yang terungkap di persidangan, yang walaupun tidak disumpah karena usia masih di bawah umur vide Pasal 171 (a) KUHAP, namun karena keterangan saksi Jason Sastra Jaya tersebut saling bersesuaian dengan keterangan saksi lainnya yang di bawah sumpah, maka sesuai ketentuan Pasal 185 ayat (7) KUHAP keterangannya tersebut dapat digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lainnya. Walaupun para terdakwa khususnya terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana di persidangan telah tidak mengakui perbuatannya tersebut, selain keterangan terdakwa tersebut hanya dapat dipergunakan terhadap dirinya sendiri vide Pasal 189 ayat (3) KUHAP, sehingga Judex Facti yaitu Pengadilan Tinggi Bandung tidak dapat mengesampingkan keterangan saksi-saksi sebagai alat bukti sah yang terungkap di persidangan tersebut hanya berlandaskan kepada keterangan para terdakwa tersebut. Kekeliruan Judex Facti semakin jelas setelah salah menafsirkan fakta hukum yang terungkap di persidangan bahwa terdakwa II Andreas Suhartoyo dalam peristiwa tersebut dianggap melakukan pengambilan gambar yang kemudian menjadi barang bukti dalam perkara ini, karena yang sebenarnya mengambil gambar dalam peristiwa tersebut adalah

64

saudara kembar dari terdakwa II Andreas Suhartoyo, yaitu Antonhy Sugiharto untuk kepentingan perkara perdata. Apabila Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung tidak salah atau keliru mempertimbangkan alat bukti sah tersebut (dan yang seharusnya dipertimbangkan oleh Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung) maka Judex Facti dalam putusannya tidak akan

membebaskan terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana dari surat dakwaan pertama Jaksa/Penuntut Umum. b. Putusan Judex Facti/Pengadilan Tinggi Bandung dalam putusannya yang telah melepaskan terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging) karena perbuatannya termasuk dalam apa yang diatur pada Pasal 49 ayat (2) KUHP adalah telah salah dalam penerapan hukumnya, yaitu: Untuk dapat suatu perbuatan digolongkan sebagai noodweer exces sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, bahwa pelaku tersebut dalam melakukan sesuatu perbuatan yang melampaui batas pembelaan seperlunya merupakan akibat langsung dari kegoyahan hati yang demikian rupa yang disebabkan oleh serangan tersebut, dan ternyata bahwa fakta hukum yang terungkap di persidangan adalah tidak ada serangan bersifat melawan hukum dan seketika yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda, karena:

65

1)

para terdakwa mengetahui bahwa kedatangan saksi Robby Lasmana dan saksi Adardam Achyar adalah bukan untuk melakukan serangan, namun dalam kepentingan saksi Robby Lasmana (sebagai seorang ayah) untuk menjemput anak

kandungnya bernama Richelle sesuai surat pernyataan tertanggal 19 Oktober 2006 tentang pengasuhan anak, di mana pada waktu itu adalah bagian saksi Robby untuk mengasuh Richelle, dan kedatangan saksi Adardam Achyar dan saksi Robby Lasmana

pada waktu itu, sebelumnya telah dikonfirmasi (melalui SMS kepada saksi Adardam Achyar) kepada terdakwa III Grace binti Winarno dan telah disetujui oleh terdakwa III Grace binti Winarno untuk menjemput Richelle (Richelle yang selalu menangis bila dibawa oleh saksi Robby Lasmana) sehingga tidak mungkin dan tidak masuk akal bahwa apabila kedatangan saksi Robby Lasmana yang merupakan ayah kandungnya Richelle tersebut akan mengancam jiwa anaknya Richelle maupun harta benda para terdakwa. 2) Para terdakwa mengetahui kedatangan saksi Adardam Achyar, selaku Advokat dan kuasa hukum saksi Robby Lasmana dalam menjalankan tugas mendampingi klien untuk menjemput anak saksi Robby Lasmana dan saksi Adardam Achyar tidak mempunyai hubungan emosional dalam peristiwa hukum yang menyangkut antara saksi Robby Lasmana dengan pihak para

66

terdakwa, sehingga oleh karenanya maksud saksi Adardam Achyar, masuk ke halaman rumah adalah semata-mata untuk melerai dan menengahi keributan antara pihak para terdakwa dengan saksi Robby Lasmana dan saksi Adardam Achyar, hal tersebut terlihat dalam gambar rekaman bahwa saksi Adardam Achyar,SH.,MH tidak melakukan perbuatan perlawanan atas tindakan dari para terdakwa setelah saksi Robby Lasmana telah berhasil membawa Richelle, namun hanya bersikap atau berposisi berjaga-jaga menangkis dari serangan para terdakwa di belakang mobil di luar halaman rumah para terdakwa, dan tidak masuk akal apabila kedatangan saksi Adardam Achyar masuk ke halaman rumah tersebut dalam merupakan perbuatan melawan hukum karena pintu pagar sudah dalam keadaan terbuka. 3) perbuatan pemukulan terdakwa III Grace binti Winarno kepada saksi Robby Lasmana juga dilakukan bukan terjadi seketika Terjadinya peristiwa dimana terdakwa III berusaha merebut kembali anak/Richelle dari gendongan saksi Robby Lasmana, namun terdakwa III Grace melakukan pemukulan (bukan menepis) ketika saksi Robby Lasmana sedang berjalan meninggalkan halaman rumah menuju ke mobil dan bersama-sama terdakwa I Winarno Sarkawi melakukan pemukulan kembali kepada saksi Robby Lasmana adalah setelah saksi Robby Lasmana berada dalam mobil dalam keadaan sedang menggendong Richelle, dan adalah

67

tidak masuk akal apabila saksi Robby Lasmana sebagai ayah kandung Richelle bermaksud untuk menyakiti anak kandungnya sendiri yang selama ini oleh saksi Robby Lasmana hak asuh terhadap anaknya Richelle tersebut dipertahankan sampai dalam sengketa perkara perdata di pengadilan. 4) Selain peristiwa sengketa perceraian (masih dalam proses di persidangan) yang menyangkut antara terdakwa III Grace binti Winarno dengan saksi Robby Lasmana, namun ada latar belakang perkara pidana lainnya yang saling melaporkan antara kedua belah pihak yang dianggap telah merugikan pihak para terdakwa, yang mana telah pula memicu emosional para terdakwa kepada saksi Robby Lasmana dan kepada saksi Adardam Achyar; 5) Secara kasat mata setelah melihat rekaman dan foto-foto kejadian tersebut, jelas terlihat bahwa tindakan para terdakwa telah menggunakan tenaga yang keras secara bersama-sama bukan hanya memegang rambut dan menggelitik perut saksi Robby Lasmana sebagaimana dikatakan oleh terdakwa Winarno Sarkawi atau

hanya menepis kepala atau pipi saksi Robby Lasmana sebagaimana yang dikatakan oleh terdakwa Grace binti Winarno dalam persidangan. 6) Sebagai referensi, dengan ini disampaikan beberapa putusan HR yang berkaitan dengan Pasal 49 KUHP, sebagai berikut :

68

(a) H.R. tanggal 8 Pebruari 1932 yang menyatakan suatu perasaan takut bahwa dirinya akan diserang oleh orang Iain yang bersikap mengancam, tidak menyebabkan perbuatannya menyerang orang itu menjadi sah menurut hukum'; (b) H.R. tanggal 29 Desember 1913 yang menyatakan membalas serangan dengan serangan bukanlah tindakan yang bersifat membela diri. (c) H.R. tanggal 4 Mei 1936 yang menyatakan dengan tidak adanya serangan secara melawan hak ketika itu juga, tidak dibenarkan tentang adanya suatu pembelaan seperlunya yang diizinkan. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan dan keberatan-keberatan kasasi dari Pemohon Kasasi (Jaksa/Penuntut Umum) tidak dapat dibenarkan oleh karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi) telah benar menerapkan hukum, namun demikian putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat Nomor: 127/PID/2008/PT. Bdg tanggal 22 April 2008 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor : 845/Pid/B/2007/PN.Bdg harus diperbaiki yaitu perihal pidana terhadap terdakwa I (Winarno Sarkawi) dengan pertimbangan sebagai berikut : a. Bahwa apa yang sudah dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan Negeri) terhadap terdakwa I Winarno Sarkawi menurut pendapat Mahkamah Agung sudah tepat dan benar;

69

b. Bahwa dengan demikian pertimbangan tersebut diambil alih sebagai pertimbangan oleh Mahkamah Agung. Selanjutnya berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan judex facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi tersebut harus ditolak dengan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi tersebut di atas. Oleh karena Termohon Kasasi/Terdakwa I Winarno Sarkawi dipidana, maka harus dibebani untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi ini. Berdasarkan pertimbanga-pertimbangan tersebut di atas, hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa dan menangani perkara ini memutuskan dan mengadili menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Bandung dengan memperbaiki amar putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat No.

127/PID/2008/PT.Bdg yang telah membatalkan putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor: 845/Pid/B/2007/PN.Bdg sehingga berbunyi sebagai berikut: Menyatakan terdakwa I Winarno Sarkawi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan terangterangan dan tenaga bersama menggunakan kekekerasan terhadap orang dengan menjatuhkan pidana kepada pidana penjara selama 10 bulan. Memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali di kemudian hari dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan `bahwa

70

sebelum masa percobaaan selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan berakhir bagi terdakwa I. Menyatakan II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan, untuk itu terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana dibebaskan dari semua dakwaan (vrijspraak) dan menyatakan terdakwa III Grace binti Winarno terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi perbuatan tersebut merupakan pembelaan darurat (noodweer) dengan menyatakan

melepaskan terdakwa III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Semua terdakwa dipulihkan hak-haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya serta memerintahkan agar barang bukti berupa 1 (satu) buah kemeja merk nautical motif kotak-kotak dikembalikan kepada saksi 1 Adardam Achyar, 1 (satu) buah handycam merk Panasonic berikut kaset MDV merk Panasonic dikembalikan kepada Anthony Sugiharto. C. Data Wawancara Data hasil wawancara ini, pada dasarnya untuk melengkapi hasil penelitian mengenai Noodweer Exces Sebagai Dasar Peniadaan Pidana (Contoh Kasus Putusan M.A Nomor 416 K/Pid/2009) Terhadap Penganiayaan Suami Oleh Istri dan Keluarganya. Oleh karena itu, penulis melakukan wawancara dengan para pihak yang terkait berikut ini:

71

1. Bapak Amril, S.H., M.Hum., selaku hakim dan ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat81) Berdasarkan hasil wawancara, beliau mengemukakan bahwa sebagai seorang hakim, sebelum memutus suatu perkara perlu melihat beberapa pertimbangan-pertimbangan seperti kronologi kasus, fakta hukum dan beberapa keterangan saksi maupun ahli. Masalah noodweer exces telah diatur dalam KUHP khususnya pada Pasal 49 ayat (2). Pada kasus ini, apabila melihat dari kronologis kasus bahwa korban yang datang kemudian dipukul oleh mantan istri dan keluarganya tidak melakukan upaya perlawanan. Padahal diketahui bahwa salah satu syarat dapat dikatakan sebagai perbuatan itu noodweer exces adalah adanya serangan. Perlu diketahui pula bahwa untuk dapat dikatakan sebagai noodweer exces perlu adanya serangan. Apabila dihubungkan dengan Pasal 49 ayat (1) merupakan serangan yang melawan hukum dan mengancam secara langsung pada ketika itu juga. Dengan demikian, dalam Pasal 49 ayat (2) mensyaratkan adanya serangan yang melawan hukum dan mengancam secara langsung pada seketika itu. Pasal 49 ayat (2) juga dijelaskan bahwa serangan itu telah mengakibatkan guncangan jiwa yang hebat atau tekanan jiwa yang hebat. Untuk mengetahui tekanan jiwa yang hebat itu, maka perlu mengetahui
Penulis, Wawancara dengan Bapak Amril, selaku Hakim dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin, 4 Februari 2013 di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pukul 13.00 s/d 13.30 WIB.
81

72

penjelasan undang-undang, yang berarti bahwa guna mengetahui soal itu harus dipergunakan penafsiran atau interpretasi historis. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Satochid Kartanegara bahwa rasa takut, bingung, atau sangat marah tersebut mengakibatkan orang yang bersangkutan melampaui batas pembelaan yang perlu. Melampaui batas pembelaan yang perlu berarti melampaui atau mengabaikan syarat subsidaritas dan syarat keseimbangan. Bahwa kegoncangan jiwa yang hebat itu ada sebab serangan. Artinya antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausal yang menyebabkan kegoncangan jiwa yang hebat. Untuk kasus seperti ini hakim harus melihat tidak hanya pada keyakinan hakim itu sendiri, tetapi juga didukung dengan alat bukti saksi dan saksi ahli untuk mengukur adanya kegoncangan jiwa. Hakim juga harus melihat kasus secara obyektif mengingat faktanya hakim hanya melihat posisi terdakwa dan tidak melihat posisi korban. 2. Bapak Firman Wijaya, S.H., M.H., selaku praktisi hukum pada kantor pengacara Firman & Tina Law Office, Jakarta.82) Mengenai penerapan noodweer exes dalam kasus ini, perlu melihat ukuran yang pokok yaitu pembelaannya harus bersifat terpaksa. Artinya pembelaan itu bersifat perlu sekali dimana sudah sama sekali tidak ada jalan lain dan pembelaan terhadap serangan itu harus masuk akal dan seimbang dengan serangan.
Penulis, Wawancara dengan Bapak Firman Wijaya, selaku Praktisi Hukum Kantor Pengacara Firman & Tina Law Office, Selasa 5 Februari 2013, di Hotel Borobudur Jakarta pada saat menghadiri persiapan Indonesian Lawyers Club, pukul 18.00 s/d 18.30 WIB.
82

73

Masalah kegoncangan jiwa dalam KUHP memang tidak diatur secara jelas, sehingga menjadi tugas aparat penegak hukum menunjuk para ahli dalam hal ini dokter atau psikiater untuk membuktikan ada tidaknya suatu guncangan jiwa. Bahwa keguncangan jiwa itu harus ada kaitannya dengan serangan, maka dengan tidak adanya serangan keguncangan jiwa menjadi tidak ada. Beliau juga menjelaskan bahwa untuk masalah noodweer dalam penerapannya harus melihat ketentuan perundang-undangan yang ada yaitu Pasal 49 KUHP yang mensyaratkan adanya serangan sebagai wujud dari pembelaannya dan tidak boleh melebihi dari serangannya itu. Penanganan kasus noodweer tidak sama, harus melihat kasus per kasus (kasuistis).

74

BAB IV ANALISIS

Tidak semua perbuatan yang memenuhi semua unsur-unsur tindak pidana si pelakunya dapat dijatuhi pidana, tetapi hakim dapat memberikan putusan bebas atau putusan lepas. Kemungkinan hakim memberikan putusan bebas kepada pelaku atas tindak pidana yang telah dilakukan merupakan bagian dari prinsip di dalam sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia. Persoalannya, adakah alasan-alasan yang dibenarkan oleh hukum pidana bagi seorang hakim memberikan putusan bebas atau si pelaku itu tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukan. Persoalan tersebut di atas, dapat dilihat dari ketentuan khusus yang dirumuskan oleh pembentuk undang-undang yang memungkinkan si pelaku tindak pidana tidak dapat dijatuhi pidana apapun. Artinya, undang-undang menerima keadaan-keadaan tertentu yang memungkinkan seorang pelaku tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak dapat dijatuhi pidana apapun. Dengan demikian, perbuatan-perbuatan seseorang yang telah memenuhi keadaan-keadaan tertentu tersebut memungkinkan ketentuan hukum pidana tidak dapat diberlakukan, baik ketentuan yang terdapat di dalam KUHP maupun lain-lain peraturan perundang-undangan di luar KUHP.

75

Perihal tidak dapat diberlakukannya ketentuan hukum pidana kepada pelaku tindak pidana berkaitan erat dengan dua hal yaitu dasar yang meniadakan penuntutan adalah hal-hal atau keadaan-keadaan tertentu yang menjadi alasan-alasan bagi penuntut umum tidak dapat melakukan penuntutan terhadap seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana dan dasar yang meniadakan pidana atau hukuman, adalah hal-hal tertentu yang menjadi alasan-alasan bagi hakim tidak dapat menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah dituduh melakukan tindak pidana, atau di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana disebut hal-hal yang memaafkan kepada pelaku tindak pidana sehingga dirinya tidak dipidana. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap berkas perkara kasus tindak pidana penganiayaan pada kasus Putusan M.A 416 K/PID/2009, dengan para terdakwa yaitu terdakwa I Winarno Sarkawi terdakwa II Andreas Suhartoyo, terdakwa III Grace binti Winarno dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana yang dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan alternatif dituntut dengan Pasal 170 ayat (1) KUHP, Pasal 351 ayat (2) jo 55 ke-1 KUHP, dan Pasal 335 ayat (1) KUHP karena telah melakukan tindak pidana penganiayaan terhadap Robby Lesmana. Putusan Hakim Mahkamah Agung dalam kasus putusan M.A 416 K/PID/2009 menyatakan terdakwa I Winarno Sarkawi telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan terangterangan dan tenaga bersama menggunakan kekekerasan terhadap orang dengan menjatuhkan pidana kepada pidana penjara selama 10 bulan.

76

Memerintahkan pidana tersebut tidak usah dijalani kecuali di kemudian hari dengan putusan Hakim diberikan perintah lain atas alasan bahwa sebelum masa percobaaan selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan berakhir bagi terdakwa. Untuk terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan, untuk itu terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana dibebaskan dari semua dakwaan (vrijspraak) dan menyatakan terdakwa III Grace binti Winarno terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan tetapi perbuatan tersebut merupakan pembelaan darurat (noodweer) dengan menyatakan melepaskan terdakwa III Grace binti Winarno dari semua tuntutan hukum (ontslag van alle rechtsvervolging). Untuk menjawab permasalahan mengapa alasan nodweer dijadikan dasar pertimbangan Hakim sebagai alasan pemaaf dalam kasus Putusan M.A 416 K/PID/2009, maka pada analisis skripsi ini terlebih dahulu diuraikan unsur-unsur pasal yang dituduhkan, dimana para terdakwa didakwa dengan Pasal 170 ayat (1), Pasal 351 ayat (1) jo Pasal 55, dan Pasal 355 ayat (1) KUHP. Pasal 170 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa barangsiapa yang dimuka umum bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang atau barang, dihukum penjara selama-lamanya lima tahun enam bulan yang unsur-unsurnya yaitu barang siapa, dimuka umum, bersama-sama dan melakukan kekerasan terhadap orang atau barang.

77

Pasal 351 ayat (1) merupakan perbuatan penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Penganiayaan dalam yurisprudensi diartikan sebagai sengaja menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit (pijin) atau luka kepada orang lain. Mengingat dalam kasus ini dilakukan oleh beberapa terdakwa yang satu sama lain turut serta melakukan tindak pidana penganiayaan, maka para terdakwa dikenakan pasal penyertaan. Pasal 55 ayat (1) ke-1 menyatakan bahwa dipidana sebagai pelaku tindak pidana, mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP menyatakan bahwa diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah barang siapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain. Unsur-unsur Pasal 335 ayat (1) yang meliputi barang siapa, dengan melawan hak, memaksa orang lain, untuk melakukan, tidak melakukan, atau membiarkan barang sesuatu apa dengan kekerasan, dengan suatu perbuatan lain ataupun perbuatan yang tidak menyenangkan atau dengan ancaman kekerasan, ancaman dengan sesuatu perbuatan lain ataupun

78

perbuatan tak menyenangkan, akan melakukan sesuatu itu baik terhadap orang itu maupun terhadap orang lain. Ketiga pasal yang dituduhkan para terdakwa kesemuanya mengandung unsur adanya kekerasan dan berdasarkan fakta-fakta yang ada bahwa terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herlina secara fisik tidak melakukan apa-apa kepada Adardam Achyar maupun kepada Robby Lasmana, sehingga salah satu unsur dari dakwaan kesatu atau kedua tidak terpenuhi. Namun untuk terdakwa I Winarno Sarkawi yang telah menarik rambut dan baju Robby Lesmana dan juga mendorong Adardam Achyar dan terdakwa III Grace binti Winarno yang telah memukul pipi dan telinga korban Robby Lesmana, semua unsur dari pasal yang didakwakan telah terbukti. Dalam kaitannya dengan kasus ini, maka tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa Pengadilan Tinggi Bandung yang telah mendatangkan saksi ahli. Keterangan saksi ahli Mali Pamuadji Wachid dalam keterangannya antara lain menerangkan bahwa menurut pengalaman saksi dalam membuat visum akibat trauma rasanya tidak wajar jika seseorang benar-benar dikeroyok rame-rame dan mengaku dipukuli dengan keras oleh banyak orang dewasa pada berbagai tempat ditubuhnya tetapi pada pemeriksaan visum hanya dijumpai memar disatu tempat saja yaitu dipunggung. Begitu juga keterangan saksi ahli Thersiah Lominardi Lubis yang menyatakan tindakan dari terdakwa I yang melakukan tarikan terhadap saksi 2 Robby Lasmana tersebut secara psikologis bisa dipahami dan wajar terjadi. Hal ini dapat dilihat ketika Adardam Achyar masuk kemudian terjadi tindakan dari terdakwa I juga

79

seperti orang mendorong dan sebagainya, tindakan tersebut wajar, karena dikhawatirkan dengan kehadiran orang lain lagi akan memperkeruh suasana apa yang dilakukan terdakwa I disitu berusaha mengeluarkan Adardam Achyar dari kejadian tersebut. Selanjutnya terdakwa III Grace binti Winarno sebagai ibunya sangat mungkin untuk melakukan tindakan guna melindungi anaknya karena

Richelle pada saat itu dalam kondisi ketakutan dan histeris. Setiap orang apabila mengalami keadaan yang demikian juga akan melakukan yang sama pada saat melihat anaknya dalam keadan terancam atau anaknya dalam keadaan ketakutan. Berdasarkan uraian di atas, apabila dihubungkan dengan keterangan dapat dianalisis bahwa meskipun terdakwa I Winarno Sarkawi terdakwa III Grace binti Winarno melakukan perbuatan sebagaimana yang didakwakan, perbuatan itu termasuk dalam apa yang diatur pada Pasal 49 ayat (2) KUHP, yaitu melampaui batas pertahanan yang sangat perlu, yaitu perbuatan itu dengan seketika itu juga dilakukan karena perasaan tergoncang, dengan segera, pada saat itu juga, terdakwa III setelah mendengar anaknya Richelle menangis menjerit-jerit selain berusaha mempertahankan anaknya dengan menepis saksi 2 Robby Lasmana (yang adalah suaminya, yang masih dalam proses perceraian), begitu juga terdakwa I mendengar tangisan dan jeritan cucunya, yang semula ia berada di dalam rumah dan begitu keluar rumah melihat cucunya sedang diperebutkan oleh anak dan menantunya, para terdakwa berusaha membantu anaknya (terdakwa III) untuk mempertahankan

80

cucunya (Richelle) dengan cara menarik rambut dan baju Robby Lasmana saksi 2, adalah perbuatan seperti apa yang diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP tersebut. Begitu juga perbuatan terdakwa I yang mendorong saksi 1 Adardam Achyar, yang dilihatnya tiba-tiba masuk ke pekarangan tanpa ijin darinya sebagai pemilik rumah, adalah merupakan tindakan yang wajar yaitu untuk mencegah terjadinya keterlibatan orang lain yang dapat memperkeruh suasana. Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas, maka perbuatan

terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III Grace binti Winarno adalah merupakan pembelaan darurat (noodweer), dan perbuatan seperti itu tidak boleh dihukum dan untuk terdakwa II Andreas Suhartoyo dan terdakwa IV Yuniarsih Herliana, karena tidak terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwaan dalam dakwaan kesatu atau kedua atau ketiga, maka mereka (terdakwa II dan terdakwa IV) harus dibebaskan dari semua dakwaan. Terdakwa I Winarno Sarkawi dan terdakwa III Grace binti Winarno meskipun terbukti melakukan perbuatan seperti yang disebutkan di atas, perbuatan tersebut adalah merupakan pembelaan terpaksa, dan sesuai dengan ketentuan Pasal 49 ayat (2) KUHP, terdakwa I dan terdakwa III harus dilepaskan dari tuntutan hukum. Berdasarkan uraian di atas, penulis kurang sependapat dengan hakim Mahkamah Agung yang telah memutus perkara membebaskan Terdakwa III Grace binti Winarno dengan alasan nodweer (noodwer exces), karena noodwer maupun nodweer exces mensyaratkan adanya serangan yang

81

melawan hukum yang dibela yaitu tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda, baik diri sendiri maupun orang lain. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Amril bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai noodweer exces harus adanya serangan dan apabila serangan itu mengakibatkan terjadinya guncangan jiwa dan menurut Firman Wijaya bahwa untuk mengetahui adanya goncangan jiwa, perlu adanya pemeriksaan secara psikologis oleh dokter atau psikiater. Pemeriksaan tersebut nantinya akan diketahui seseorang mengalami kegoncangan jiwa ada atau tidak. Pada analisis ini diperoleh fakta persidangan bahwa tidak terlihat adanya serangan yang bersifat melawan hukum dan seketika dan yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda sebagaimana yang disyaratkan dalam noodweer. Apa yang dilaukkuan oleh terdakwa Grace dengan melakukan pemukulan sebagai maksud mengadakan pembelaan dinilai kurang tepat sebab pembelaan terhadap serangan itu harus perlu diadakan (noodsakelijk) yakni pembelaan itu bersifat sekali dimana tidak ada jalan lain dan mengenai perasaan yang dialami oleh terdakwa Grace yang melihat anaknya menangis saat akan dibawa pergi oleh Roby yang juga merupakan ayah kandung dari anaknya dinilai terlalu berlebihan jika dikatakan menimbulkan guncangan jiwa yang hebat. Untuk dapat suatu perbuatan digolongkan sebagai noodweer exces sebagaimana diatur dalam Pasal 49 ayat (2) KUHP, bahwa pelaku tersebut dalam melakukan sesuatu perbuatan yang melampaui batas pembelaan

82

seperlunya merupakan akibat langsung dari kegoyahan hati yang demikian rupa yang disebabkan oleh serangan tersebut, dan ternyata bahwa fakta hukum yang terungkap di persidangan adalah tidak ada serangan bersifat melawan hukum dan seketika yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda. Pada kasus ini tidak ada sama sekali serangan melawan hak dan mengancam dengan seketika itu juga atau pada ketika itu juga. Melawan hak artinya penyerang melakukan serangan itu melawan hak orang lain atau tidak mempunyai hak untuk itu. Sebagaimana diketahui bahwa noodweer exces merupakan pembelaan darurat yang melampaui batas karena pelaku tersebut dalam melakukan sesuatu perbuatan yang melampaui batas pembelaan seperlunya merupakan akibat langsung dari kegoyahan hati yang demikian rupa yang disebabkan oleh serangan tersebut, dan berdasarkan bahwa fakta hukum yang terungkap di persidangan adalah tidak ada serangan bersifat melawan hukum dan seketika yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda. Baik di Putusan Pengadilan Tinggi Bandung maupun Putusan Mahkamah Agung menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Terdakwa III Grace binti Winarno apa yang dilakukan dinyatakan sebagai noodweer exces. Berarti disini hakim Mahkamah Agung kurang memperhatikan unsur-unsur dari pembelaan terpaksa (noodweer), salah satunya yaitu adanya serangan sekejap atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu. Pada saat Richelle hendak di bawa pergi oleh ayahnya Robby Lesmana terjadi perebutan anak yang disertai pemukulan oleh Terdakwa III Grace binti Winarno. Saat itu

83

pula meskipun telah dipukul dan ditampar, namun Robby Lesmana tidak melakukan upaya perlawanan. Berarti di sini tidak ada serangan yang bersifat melawan hukum, maka syarat noodwer exces tidak terpenuhi. Apabila melihat syarat-syarat noodweer, maka jelas disini tidak ada serangan yang membahayakan bagi terdakwa III Grace binti Winarno baik diri sendiri dan anaknya, harta benda, kehormatan maupun kesusilaannya. Dengan demikian seharusnya terdakwa III Grace Winarno tidak dapat dikenai noodweer dan sudah selayaknya dikenakan Pasal 351 (1) KUHP jo Pasal 55 (1) ke 1 KUHP karena telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan terang-terangan dan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang dengan ancaman hukuman 10 (sepuluh) bulan sebagaimana yang menjadi tuntutan di Pengadilan Negeri Bandung. Seperti halnya pembelaan darurat, disinipun harus ada serangan yang seketika itu juga dilakukan atau mengancam pada saat itu juga. Batas-batas keperluan pembelaan itu dilampaui. Misalnya seseorang yang diserang dengan tangan kosong oleh orang lain, membela diri menembakkan pistol, sedangkan sebenarnya pembelaan dengan memukul kayu saja sudah cukup. Melampaui batas-batas ini oleh undang-undang diperkenankan asal saja disebabkan perasaan tergoncang hebat yang timbul karena serangan itu, perasaan tergoncang hebat misalnya karena jengkel atau marah sekali yang biasa disebut dengan mata gelap.

84

Pertahanan atau pembelaan itu harus Noodzakelijk (perlu sekali, terpaksa, dalam keadaan darurat). Boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Sebenarnya hampir tidak ada suatu pembelaan yang terpaksa. Kebanyakan pembelaan itu dapat dihindarkan dengan jalan melarikan diri atau menyerah pada nasib yang dideritanya, bukan itu yang dimaksud. Disini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan seranganya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain. Pembelaan atau pertahanan itu dilakukan hanya terhadap kepentingankepentingan yang tersebut di atas yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain. Badan ialah tubuh. Kehormatan ialah kehormatan seksual yang biasanya diserang dengan perbuatan-perbuatan tidak senonoh atau cabul, memegang bagian-bagian tubuh yang menurut kesusilaan tidak boleh dilakukan, misalnya kemaluan, buah dada, dan lain-lain. Kehormatan dalam arti nama baik tidak termasuk disini. Barang ialah segala sesuatu yang berwujud, termasuk juga binatang.

85

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan Berdasarkan uraian analisis di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Alasan Majelis Hakim Mahkamah Agung memberikan putusan pembebasan dengan alasan noodweer exces kurang tepat. Oleh karena unsurunsur noodweer exces tidak terpenuhi, karena syarat noodweer harus adanya suatu serangan, serangan itu diadakan seketika itu juga atau suatu ancaman yang kelak akan dilakukan, serangan itu melawan hukum, serangan itu diadakan terhadap diri sendiri, diri orang lain, kehormatan diri sendiri, kehormatan orang lain, harta benda sendiri, harta benda orang lain serta pembelaan terhadap serangan itu harus perlu diadakan (noodzakelijk) yakni pembelaan itu bersifat darurat dan harus adanya alat yang dipakai untuk membela atau cara membela harus setimpal. Fakta di persidangan tidak ada serangan bersifat melawan hukum dan seketika yang mengancam jiwa, kehormatan dan benda sebagaimana yang disyaratkan dalam noodweer exces sehingga alasan Hakim Mahkamah Agung yang membebaskan terdakwa III Grace binti Winarno dinilai kurang tepat.

86

B. Saran Berdasarkan hasil kesimpulan di atas, dapat penulis sampaikan saransaran sebagai berikut: 1. Perlu ada kejelasan tentang batasan kegoncangan jiwa secara tepat agar seseorang mendapat alasan pemaaf sebagai dasar penghapus hukuman. Batasan kegoncangan jiwa ini sangat diperlukan untuk mengetahui secara kasuistik yang ditentukan oleh dokter atau psikiater yang mengetahui tentang kejiwaan. 2. Hakim harus memperhatikan dari segi materil dalam perkara ini dan jangan hanya dilihat noodweer tetapi hendaknya dijelaskan lebih mendalam mengenai tekanan jiwa yang hebat itu, maka disini diperlukan penjelasan yang lebih rinci.

87

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku Ahmadi, Abu. Ilmu Sosial Dasar. (Jakarta: Rineka Cipta, 2003). Bammelen, JM. Van. Hukum Pidana I, Cetakan ke-1, (Bandung: Bina Cipta, 1986). Chazawi, Adami. Kejahatan Terhadap Tubuh dan Nyawa. (Malang: Biro Konsultasi dan Bantuan Universitas Brawijaya Malang, 1999). Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara. Pedoman Penulisan Skripsi Bidang Hukum. (Jakarta: Peraturan Dekan FH-Untar Nomor 015D/FHUNTAR/II/2011, 2011). Hamzah, Andi. Asas-Asas Hukum Pidana. (Jakarta: Rineka Cipta, 1994). Huda, Khairul. Dari dan Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. II, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006). Kanter, E.Y., dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cet. III, (Jakarta: Storia Grafika, 2002) Marpaung, Leden. Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh. (Jakarta: Sinar Grafika, 1999). Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, cetakan ke-4, (Jakarta: Kencana, 2008). Moeljatno. Asas Asas Hukum Pidana, Cet. Ke-7. (Jakarta: Rhineka Cipta, 2002). Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Pidana. (Bandung : Eresco, cet ke-4, 1986). Saleh. K. Wantjik Tindak Pidana Korupsi dan Suap. (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1971).

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Edisi III, (Jakarta: UI Press, 1986).

88

Soemitro, Roni Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Cetakan-4, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990). Soesilo. R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta KomentarKomentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. (Bogor : Politeia, 1993). Sudarto. Hukum Pidana I. (Semarang: Penerbit Yayasan Sudarto, 1987). Remmelink, Jan. Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia . (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003). Tirtaamidjaja. Pokok-Pokok Hukum Pidana. (Jakarta : Fasco, 1955). Tongat. Hukum Pidana Materil. (Jakarta: Djambatan, 2003). Utrecht. Pidana, Jilid 1. (Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1999). B. Peraturan Perundang-Undanan Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana C. Artikel/Makalah/Jurnal/Internet Anonim. Pembunuh 11 Korban Mutilasi Republika, Maret 2009. D. Kamus Darmansyah. Kamus Bahasa Indonesia Dengan Ejaan Yang Disempurnakan Menurut Pedoman, Cetakan I. (Jakarta : Batavia Press, 2008). Simorangkir, J.C.T. dkk, Kamus Hukum, Cetakan Kesebelas. (Jakarta: Sinar Grafika, 2007). Sudarsono. Kamus Hukum, Cetakan ke-6. (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, 2009). E. Salinan Putusan Salinan Putusan MA No.416 K/Pid/2009

89

F. Data Hasil Wawancara Penulis. Wawancara dengan Bapak Amril, selaku Hakim dan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin, 4 Februari 2013 di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, pukul 13.00 s/d 13.30 WIB. ______. Wawancara dengan Bapak Firman Wijaya, selaku Praktisi Hukum Kantor Pengacara Firman & Tina Law Office, Selasa 5 Februari 2013, di Hotel Borobudur Jakarta pada saat menghadiri persiapan Indonesian Lawyers Club, pukul 18.00 s/d 18.30 WIB.

90

SURAT KETERANGAN

Kepada Yth, Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jl. S. Parman No. 1 Grogol Jakarta Barat Hal: Keterangan Wawancara

Sehubungan dengan telah dilakukannya wawancara untuk pemenuhan data skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, yang identitasnya sebagai berikut: Nama NIM Fakultas : Richard : 205070071 : Hukum

maka dengan ini, dinyatakan benar bahwa yang bersangkutan telah melakukan wawancara berkaitan dengan penulisan skripsi yang berjudul: Noodweer Exces Sebagai Dasar Peniadaan Pidana (Contoh Kasus Putusan M.A Nomor 416 K/Pid/2009) Terhadap Penganiayaan Suami Oleh Istri dan Keluarganya. Demikian surat keterangan ini disampaikan, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, 5 Februari 2013 Hormat kami,

(Firman Wijaya, S.H., M.H.)

91

SURAT KETERANGAN

Kepada Yth, Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara Jl. S. Parman No. 1 Grogol Jakarta Barat Hal: Keterangan Wawancara

Sehubungan dengan telah dilakukannya wawancara untuk pemenuhan data skripsi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Tarumanagara, yang identitasnya sebagai berikut: Nama NIM Fakultas : Richard : 205070071 : Hukum

maka dengan ini, dinyatakan benar bahwa yang bersangkutan telah melakukan wawancara berkaitan dengan penulisan skripsi yang berjudul: Noodweer Exces Sebagai Dasar Peniadaan Pidana (Contoh Kasus Putusan M.A Nomor 416 K/Pid/2009) Terhadap Penganiayaan Suami Oleh Istri dan Keluarganya. Demikian surat keterangan ini disampaikan, untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Jakarta, 5 Februari 2013 Hormat kami,

(Amril, S.H., M.Hum.)

92

You might also like