You are on page 1of 31

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Manusia memiliki kebutuhan dasar yang bersifat heterogen. Pada dasarnya, setiap orang memiliki kebutuhan yang sama. Akan tetapi karena terdapat perbedaan budaya, maka kebutuhan tersebut pun ikut berbeda. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia menyesuaikan diri dengan prioritas yang ada. Lalu jika gagal memenuhi kebutuhannya, manusia akan berfikir keras dan bergerak untuk berusaha mendapatkan. Kebutuhan fisiologis atau kebutuhan fisik manusia merupakan kebutuhan yang paling mendasar yang harus terpenuhi agar kelangsungan hidup bisa bertahan. Ada beberapa kebutuhan fisik manusia yang akan dibahas yaitu Mobilisasi yang merupakan suatu kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah dan teratur serta pengaturan posisi sebagai salah satu cara mengurangi resiko menghindari terjadinya dekubitus/pressure area akibat tekanan yang menetap pada bagian tubuh dan

mempertahankan posisi tubuh dengan benar sesuai dengan body aligmen (Struktur tubuh). Mobilisasi mempunyai banyak tujuan, seperti megekspresikan emosi dengan

gerakan nonverbal, pertahanan diri, pemenuhan kebutuhan dasar, aktivitas kehidupan sehari-hari dan kegiatan rekreasi. Dalam mempertahankan mobilisasi fisik secara

optimal maka system saraf, otot, dan skeletal harus tetap utuh dan berfungsi baik. Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak bebas, dan imobilisasi mengacu pada ketidakmampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas. Mobilisasi imobilisasi dan imobilisasi di berada pada satu rentang klien dengan banyak tingkatan dan

parsial

antaranya.

Beberapa

mengalami

kemunduran

selanjutnya berada di antara rentang mobilisasi-imobilisasi, tetapi pada klien lain, berada pada kondisi imobilisasi mutlak dan berlanjut sampai jangka waktu tidak terbatas (Perry dan Potter, 1994).

B. Rumusan Masalah Dengan memperhatikan latar belakang tersebut, maka penulis mengemukakan beberapa rumusan masalah, yaitu: 1. Bagaimana bentuk/kebutuhan mobilisasi dan imobilisasi dalam Keterampilan Keperawatan Dasar? 2. Bagaimana pengaturan dan penjelasan dalam Range of Motion (ROM) dan Posisi pada pasien? C. Tujuan Tujuan dibentuknya makalah ini adalah: 1. Untuk memenuhi apa dan bagaimana mobilisasi dan imobilisasi sesuai

dengan Keterampilan Keperawatan Dasar. 2. Untuk memenuhi pengaturan dan fungsi Posisi dan Range of Motion (ROM) pada pasien dalam Keterampilan Keperawatan Dasar.

BAB II PEMBAHASAN

A. Kebutuhan Mobilisasi dan Imobilisasi Keperawatan klinik menghendaki perawatan untuk menggabungkan ilmu

pengetahuan dan keterampilan ke dalam praktik. Salah satu komponen dari ilmu pengetahuan dan keterampilan adalah mekanika tubuh, suatu istilah yang digunakan untuk saraf. Mekanika tubuh meliputi pengetahuan tentang bagaimana dan mengapa menggambarkan usaha dalam mengoordinasikan system musculoskeletal dan

kelompok otot tertentu digunakan untuk menghasilkan dan mempertahankan gerakan secara aman. Dalam menggunakan mekanika tubuh yang tepat perawat perlu mengerti pengetahuan tentang pergerakan, termasuk bagaimana mengoordinasikan gerakan

tubuh yang meliputi integrasi dari system skeletal, otot skelet, dan system saraf. Mekanika tubuh adalah suatu usaha mengoordinasikan system musculoskeletal dan system saraf dalam mempertahankan keseimbangan, postur, dan kesejajaran tubuh selama mengangkat, mekanika membungkuk, tubuh yang bergerak, tepat dan melakukan mengurangi aktivitas resiko sehari-hari. system yang

Penggunaan

dapat

cedera tubuh,

musculoskeletal.

Mekanika

yang

tepat

juga

memfasilitasi

pergerakan

memungkinkan mobilisasi fisik tanpa terjadi ketegangan otot dan penggunaan energi otot yang berlebihan.

1. Mobilisasi Mobilitas atau mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak

secara bebas, mudah, dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan kesehatannya. a. Jenis Mobilitas Mobilitas penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak

secara penuh dan bebas sehingga dapat melakukan interaksi sosial dan menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi

saraf motorik volunteer dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh seseorang. Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak

dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena dipengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area

tubuhnya. Mobilitas sebagian dibagi menjadi dua jenis, yaitu: i. Mobilitas sebagian temporer, merupakan kemampuan individu

untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya sementara. ii. Mobilitas sebagian permanen, merupakan kemampuan individu

untuk bergerak dengan batasan yang sifatnya menetap.

b. Faktor yang Memengaruhi Mobilitas Mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya: Gaya Hidup. Perubahan gaya hidup dapat memengaruhi mobilitas

seseorang karena gaya hidup berdampak pada perilaku atau kebiasaan sehari-hari. Proses penyakit/cedera. karena dapat Proses penyakit dapat fungsi memengaruhi system tubuh. mobilitas Sebagai

seseorang

memengaruhi

contoh, orang yang menderita fraktur femur akan mengalami keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas bawah. Kebudayaan. Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi kebudayaan. Sebagai contoh, orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki kemampuan mobilitas yang kuat; sebaliknya ada orang yang mengalami gangguan mobilitas tertentu dilarang untuk beraktivitas. Tingkat energi. Energy adalah sumber untuk melakukan mobilitas. Agar sesorang dapat melakukan mobilitas dengan baik, dibutuhkan energy (sakit) karena adat dan budaya

yang cukup. Usia dan Status pada Perkembangan. usia yang Terdapat berbeda. perbedaan Hal ini kemampuan dikarenakan

mobilitas

tingkat

kemampuan

atau

kematangan

fungsi

alat

gerak

sejalan

dengan

perkembangan usia.

c. Upaya Pencegahan Terjadinya Mobilisasi Upaya pencegahan terjadinya masalah akibat kurangnya mobilisasi antara lain: 1. Perbaikan status gizi. 2. Memperbaiki kemampuan mobilisasi. 3. Melaksanakan latihan pasif dan aktif. 4. Mempertahankan posisi tubuh dengan benar sesuai dengan body aligment (Struktur Tubuh).

d. Toleransi Aktifitas Penilaian toleransi aktivitas sangat penting terutama pada klien dengan

gangguan kardiovaskuler seperti Angina pectoris, Infark, Miocard atau pada klien dengan imobilisasi yang lama akibat kelumpuhan. Hal tersebut biasanya dikaji pada waktu sebelum melakukan mobilisasi, saat mobilisasi dan setelah mobilisasi. Tanda-tanda yang dapat dikaji pada intoleransi aktifitas antara lain (Gordon, 1976): 1. Denyut nadi frekuensinya mengalami peningkatan, irama tidak teratur. 2. Tekanan orthostatic. 3. Pernafasan terjadi peningkatan frekuensi, pernafasan cepat dangkal. 4. Warna kulit dan suhu tubuh terjadi penurunan. 5. Kecepatan dan posisi tubuh, disini akan mengalami kecepatan aktifitas dan ketidakstabilan posisi tubuh. 6. Status emosi labil. darah biasanya terjadi penurunan tekanan sistol/hipotensi

2. Imobilisasi Imobilitas atau imobilisasi merupakan keadaan di mana seseorang tidak dapat bergerak secara bebeas karena kondisi yang menganggu pergerakan (aktivitas),

misalnya mengalami trauma tulang belakang, cedera otak berat disertai fraktur pada ekstremitas, dan sebagainya. a. Jenis Imobilitas Imobilitas Fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik

dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan. Imobilitas Intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak akibat suatu penyakit. Imobilitas Emosional, keadaan ketika seseorang mengalami pembatasan secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam

menyesuaikan diri. Imobilitas Sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam

melakukan interaksi social karena keadaan penyakitnya sehingga dapat memengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.

b. Perubahan Sistem Tubuh Akibat Imobilitas Dampak dari imobilitas tubuh dapat memengaruhi system tubuh seperti

perubahan pada metabolism tubuh, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, gangguan dalam kebutuhan nutrisi, gangguan fungsi perubahan gastrointestinal, system perubahan system perubahan

pernapasan,

perubahan

kardiovaskular,

musculoskeletal,

kulit, perubahan eliminasi (buang air besar dan buang air kecil), dan perubahan perilaku. 1. Perubahan Metabolisme Secara umum imobilitas dapat dapat menganggu metabolisme secara normal,

mengingat dalam

imobilitas Hal

menyebabkan turunnya kecepatan dapat dijumpai pada

metabolisme basal untuk


6

tubuh. rate

tersebut yang

menurunnya energy

metabolism

(BMR)

menyebabkan

berkurangnya

perbaikan sel-sel tubuh, sehingga dapat memengaruhi gangguan oksigenasi sel. Perubahan metabolisme imobilitas dapat mengakibatkan proses

anabolisme menurun dan katabolisme meningkat. Keadaan ini dapat berisiko meningkatkan gangguan metabolisme. Proses imobilitas dapat juga

menyebabkan penurunan ekskresi uriene dan peningkatan nitrogen. Beberapa dampak perubahan metabolisme, di antaranya adalah pengurangan jumlah metabolisme, cairan atropi dan kelenjar elektrolit, dan katabolisme tulang, protein, gangguan

ketidakseimbangan

demineralisasi

dalam mengubah zat gizi, dan gangguan gastrointestinal.

2. Ketidakseimbangan Cairan dan Elektrolit Terjadinya ketidakseimbangan cairan dan elektrolit sebagai dampak dari

imobilitas akan mengakibatkan persediaan protein menurun dan konsentrasi protein serum berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan

tubuh. Di samping itu, berkurangnya perpindahan cairan dari intravascular ke interstisial cairan tulang dan dapat menyebabkan edema juga sehingga dapat otot, terjadi ketidakseimbangan demineralisasi meningkatnya

elektrolit.

Imobilitas

menyebabkan sedangkan

akibat

menurunnya

aktivitas

demineralisasi tulang dapat mengakibatkan reabsorpsi kalium.

3. Gangguan Pengubahan Zat Gizi Terjadinya gangguan zat gizi yang disebabkan oleh menurunnya pemasukan protein dan kalori dapat mengakibatkan pengubahan zat-zat makanan pada tingkat sel menurun, di mana sel tidak lagi menerima glukosa, asam amino, lemak, dan oksigen dalam jumlah yang cukup untuk melaksanakan aktivitas metabolisme.

4. Gangguan Fungsi Gastrointestinal Imobilitas dapat menyebabkan gangguan fungsi gastrointestinal. Hal ini

disebabkan karena imobilitas dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna, sehingga penurunan jumlah masukan yang cukup dapat menyebabkan
7

keluhan,

seperti

perut

kembung,

mual,

dan

nyeri

lambung

yang

dapat

menyebabkan gangguan proses eliminasi.

5. Perubahan Sistem Eliminasi Imobilitas imobilitas, terjadinya terganggu. menyebabkan kadar lemah terjadinya perubahan system pernapasan. paru Akibat dan

haemoglobin otot yang penurunan

menurun, dapat kadar

ekspansi

menurun,

menyebabkan haemoglobin

proses dapat

metabolisme menyebabkan

Terjadinya

penurunan aliran oksigen dari alveoli ke jaringan, sehingga mengakibatkan anemia. Penurunan ekspansi paru dapat terjadi karena tekanan yang

meningkat oleh permukaan paru.

6. Perubahan Kardiovaskular Perubahan system kardiovaskular akibat imobilitas antara lain dapat berupa gipotensi pembentukan ortostatik, thrombus. meningkatnya Terjadinya kerja hipotensi jantung, ortostatik dan dapat terjadinya disebabkan

oleh menurunnya kemampuan saraf otonom. Pada posisi yang tetap dan lama, refleks neurovascular akan menurun dan menyebabkan vasokonstriksi, kemudian darah terkumpul pada vena bagian bawah sehingga aliran darah ke system sirkulasi pusat terhambat.

7. Perubahan Sistem Muskuloskeletal Perubahan yang terjadi dalam system musculoskeletal sebagai dampak

imobilitas adalah sebagai berikut: a. Gangguan Muskular. Menurunnya massa otot sebagai dampak imobilitas dapat menyebabkan turunya kekuatan otot secara langsung. Menurunnya dungsi kapasitas otot ditandai dengan menurunnya stabilitas. Kondisi

berkurangnya masa otot dapat menyebabkan atropi pada otot. Sebagai contoh, otot betis seseorang yang telah dirawat lebih dari enam minggu ukurannya akan lebih kecil selain menunjukkan tanda lemah atau lesu.

b. Gangguan

Skeletal.

Adanya

imobilitas

juga

dapat

menyebabkan

gangguan skeletal, misalnya akan mudah terjadinya kontraktur sendi dan osteoporosis. kriteria Kontraktur fleksi merupakan dan fiksasi kondisi yang yang abnormal dengan dan sendi karena jumlah

adanya

disebabkan dapat

atropi

memendeknya dalam

otot.

Terjadinya yang tidak

kontraktur berfungsi.

menyebabkan terjadi

kedudukan

Osteoporosis

reabsorpsi

tulang semakin besar, sehingga yang menyebabkan

kalsium ke dalam darah menurun dan jumlah kalsium yang dikeluarkan melalui urine semakin besar.

8. Perubahan Sistem Integumen Perubahan system integument yang terjadi berupa penurunan elastisitas kulit karena menurunnya sirkulasi darah akibat imobilitas dan terjadinya iskemia serta nekrosis jaringan superficial dengan adanya luka dekubitus sebagai akibat tekanan kulitr yang kuat dan sirkulasi yang menurun ke jaringan.

9. Perubahan Eliminasi Perubahan dalam eliminasi misalnya penurunan jumlah urine yang mungkin disebabkan oleh kurangnya asupan dan penurunan curah jantung sehungga aliran darah renal dan urine berkurang.

10. Perubahan Perilaku Perubahan perilaku sebagai akibat imobilitas, antara lain timbulnya rasa bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus tidur, dan menurunnya koping mekanisme. Terjadinya perubahan perilaku tersebut merupakan dampak imobilitas karena selama proses imobilitas

seseorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri, kecemasa, dan lainlain.

3. Pelaksanaan (Tindakan) Keperawatan Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah pengaturan posisi tubuh sesuai kebutuhan pasien serta melakukan latihan ROM pasif dan aktif. a. Range of Motion (ROM) Range of motion (ROM) adalah gerakan dalam keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan (Suratun, dkk, 2008). Latihan range of motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot. Latihan ROM biasanya dilakukan pada pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total. Selain berfungsi sebagai pertahanan atau dapat memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara normal, lengkap, dan untuk meningkatkan massa otot serta tonus otot, ROM juga memiliki klasifikasi ROM, jenis ROM, indikasi serta kontraindikasi dilaksanakan ROM dan juga prinsip dasar dilakukan ROM. Range of motion adalah gerakan dalam keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan. Latihan range of motion (ROM) merupakan istilah baku untuk menyatakan batas atau batasan gerakan sendi yang normal dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya kelainan ataupun untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal. i. Klasifikasi Latihan Range of Motion (ROM) ROM pasif adalah latihan ROM yang di lakukan pasien dengan bantuan perawat pada setiap-setiap gerakan. Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total (suratun, dkk, 2008). Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi yang digerakkan pada ROM pasif adalah seluruh persendian tubuh
10

atau hanya pada ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri. ROM aktif adalah Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan rentang gerak sendi normal. Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif . Sendi yang digerakkan pada ROM aktif adalah sendi di seluruh tubuh dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri secara aktif.

ii.

Prinsip Dasar Latihan Range of Motion (ROM) ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2 kali sehari ROM di lakukan berlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan pasien. Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur

pasien, diagnosa, tanda-tanda vital dan lamanya tirah baring. Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan ROM adalah leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki. ROM dapat dilakukan pada semua persendian atau hanya pada bagian-bagian yang di curigai mengalami proses penyakit. Melakukan ROM harus sesuai waktunya. Misalnya setelah mandi atau perawatan rutin telah dilakukan.

iii.

Tujuan Range of Motion (ROM) Mempertahankan atau memelihara fleksibilitas dan kekuatan otot Memelihara mobilitas persendian Merangsang sirkulasi darah Mencegah kelainan bentuk, kekakuan dan kontraktur Mempertrahankan fungsi jantung dan pernapasan

11

iv.

Indikasi Range of Motion (ROM) Stroke atau penurunan tingkat kesadaran Kelemahan otot Fase rehabilitasi fisik Klien dengan tirah baring lama

v.

Manfaat Range of Motion (ROM) Memperbaiki tonus otot Meningkatkan mobilisasi sendi Memperbaiki toleransi otot untuk latihan Meningkatkan massa otot Mengurangi kehilangan tulang

vi.

Kontra Indikasi Trombus/emboli dan keradangan pada pembuluh darah Kelainan sendi atau tulang Klien fase imobilisasi karena kasus penyakit (jantung) Trauma baru dengan kemunginan ada fraktur yang tersembunyi atau luka dalam Nyeri berat Sendi kaku atau tidak dapat bergerak

vii.

Jenis Range of Motion (ROM) a. Leher, Spinal, Serfikal Tipe Sendi: Pivotal (putar) Fleksi: Menggerakan dagu menempel ke dada, rentang 45 Ekstensi: Mengembalikan kepala ke posisi tegak, rentang 45 Hiperektasi: Menekuk rentang 40-45 Fleksi lateral: Memiringkan kepala sejauh mungkin sejauh kepala ke belakang sejauh mungkin,

mungkin kearah setiap bahu, rentang 40-45


12

Rotasi:Memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan sirkuler, rentang 180

Gambar 1.1 Leher

b. Bahu Tipe Sendi: Ball and Socket Fleksi: Menaikan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan ke posisi di atas kepala, rentang 180 Ekstensi: Mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh, rentang 180 Hiperektensi: Mengerkan lengan kebelakang tubuh, siku tetap lurus, rentang 45-60

13

Abduksi: Menaikan lengan ke posisi samping di atas kepala dengan telapak tangan jauh dari kepala, rentang 180 Adduksi: Menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh sejauh mungkin, rentang 320 Rotasi dalam: Dengan siku pleksi, memutar bahu dengan

menggerakan lengan sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke belakang, rentang 90 Rotasi luar : Dengan siku fleksi, menggerakan lengan sampai ibu jari ke atas dan samping kepala, rentang 90 Sirkumduksi: rentang 360 Menggerakan lengan dengan lingkaran penuh,

14

Gambar 1.2. Bahu c. Siku Tipe Sendi: Hinge Fleksi: Menggerakkan siku sehingga lengan bahu bergerak ke depan sendi bahu dan tangan sejajar bahu, rentang 150. Ektensi: Meluruskan siku dengan menurunkan tangan,

rentang 150.

Gambar 1.3. Siku

d. Lengan Bawah Tipe Sendi: Pivotal (Putar)

15

Supinasi: Memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak tangan menghadap ke atas, rentang 70-90. Pronasi: Memutar lengan bawah sehingga telapak tangan

menghadap ke bawah, rentang 70-90.

e. Pergelangan Tangan Tipe Sendi: Kondiloid Fleksi: Menggerakan telapak tangan ke sisi bagian dalam

lengan bawah, rentang 80-90 Ekstensi: Mengerakan jari-jari tangan sehingga jari-jari, tangan, lengan bawah berada dalam arah yang sama, rentang 80-90 Hiperekstensi: Membawa permukaan tangan dorsal ke belakang sejauh mungkin, rentang 89-90 Abduksi: rentang 30 Adduksi: Menekuk pergelangan tangan miring ke arah lima jari, rentang 30-50 Menekuk pergelangan tangan miring ke ibu jari,

16

Gambar 1.4 Pergelangan tangan

f. Jari-jari Tangan Tipe Sendi: Condyloid hinge Fleksi: Membuat genggaman, rentang 90 Ekstensi: Meluruskan jari-jari tangan, rentang 90 Hiperekstensi: Menggerakan jari-jari tangan ke belakang sejauh mungkin, rentang 30-60 Abduksi: Mereggangkan jari-jari tangan yang satu dengan yang lain, rentang 30 Adduksi: Merapatkan kembali jari-jari tangan, rentang 30

g. Ibu Jari Tipe Sendi: Pelana Fleksi: Mengerakan ibu jari menyilang permukaan telapak

tangan, rentang 90 Ekstensi: Menggerakan ibu jari lurus menjauh dari tangan, rentang 90 Abduksi: Menjauhkan ibu jari ke samping, rentang 30 Adduksi: Mengerakan ibu jari ke depan tangan, rentang 30 Oposisi: Menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada tangan yang sama

17

h. Pinggul Tipe Sendi: Ball and Socket Fleksi: Mengerakan tungkai ke depan dan atas, rentang 90-120 Ekstensi: Menggerakan kembali ke samping tungkai yang lain, rentang 90-120 Hiperekstensi: rentang 30-50 Abduksi: Menggerakan tungkai ke samping menjauhi tubuh, rentang 30-50 Adduksi: Mengerakan tungkai kembali ke posisi media dan melebihi jika mungkin, rentang 30-50 Rotasi dalam: Memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai lain, rentang 90 Rotasi luar : Memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain, rentang 90 Sirkumduksi: Menggerakan tungkai melingkar Mengerakan tungkai ke belakang tubuh,

18

Gambar 1.5. Pinggul

i. Lutut Tipe Sendi: Hinge Fleksi: Mengerakan tumit ke arah belakang paha, rentang 120130 Ekstensi: Mengembalikan tungkai kelantai, rentang 120-130

Gambar 1.6 Lutut

19

j. Mata Kaki Tipe Sendi: Hinge


Dorsifleksi : Menggerakan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk ke atas, rentang 20-30

Plantarfleksi:

Menggerakan

kaki

sehingga

jari-jari

kaki

menekuk ke bawah, rentang 45-50

Gambar 1.7 Mata kaki

k. Kaki Tipe Sendi: Gliding Inversi: Memutar telapak kaki ke samping dalam, rentang 10 Eversi: Memutar telapak kaki ke samping luar, rentang 10

Gambar 1. 8. Kaki
20

l. Jari-jari Kaki Tipe Sendi: Condyloid Fleksi: Menekukkan jari-jari kaki ke bawah, rentang 30-60 Ekstensi: Meluruskan jari-jari kaki, rentang 30-60 Abduksi: Menggerakan jari-jari kaki satu dengan yang lain, rentang 15 Adduksi: Merapatkan kembali bersama-sama, rentang 15

viii.

Alat Pengukur Range of Motion (ROM)

Gambar 1. 9. Goniometer (Alat Pengukur ROM)

21

b. Pengaturan Posisi Pengaturan perawatan, dengan posisi tujuan yang dapat dilakukan pada pasien, pasien ketika mendapatkan dan

untuk

kenyamanan

pemudahan

perawatan

pemberian obat, menghindari terjadinya pressure area akibat tekanan yang menetap pada bagian tubuh tertentu. Pengaturan posisi antara lain, adalah: a. Posisi Fowler Posisi fowler adalah posisi duduk atau setengah duduk (semifowler), di mana bagian kepala tempat tidr lebih tinggi dinaikkan. Posisi ini dulakukan untuk mempertahankan kenyamanan dan memfasilitasi fungsi pernapasan pasien.

Masalah umum yang terjadi pada klien dengan posisi Fowler: Meningkatnya fleksi servikal karena bantal di kepala terlalu tebal dan kepala terdorong ke depan. Ekstensi lutut memungkinkan klien meluncur ke bagian kaki tempat tidur. Tekanan lutut bagian posterior, menurunkan sirkulasi ke kaki. Rotasi luar pada pinggul Lengan menggantung di sisi klien tanpa disokong. Kaki yang tidak tersokong. Titik penekanan di sacrum maupun di tumit yang tidak terlindungi.

Cara Pelaksanaan: Jelaskan prosedur yang akan dilakukan. Dudukkan pasien. Berikan sandaran/bantl pada tempat tidur paisn atau atur tempat tidur, untuk posisi semifowler ( 30 450 ) dan untuk fowler ( 900). Anjurkan pasien untuk tetap berbaring setengah duduk.

Tujuan: Mengurangi komplikasi akibat immobilisasi. Meningkatkan rasa nyaman. Meningkatkan dorongan pada diafragma sehingga meningkatnya

ekspansi dada dan ventilasi paru.


22

Mengurangi menetap.

kemungkinan

tekanan

pada

tubuh

akibat

posisi

yang

Indikasi: Pada pasien yang mengalami gangguan pernapasan Pada pasien yang mengalami gangguan imobilisasi

b. Posisi Sims Posisi miring ke kanan atau ke kiri. Dilakukan untuk memberi kenyamanan dan untuk mempermudah tindakan pemeriksaan rectum atau pemberian

huknah atau obat-obatan lain melalui anus (suposutoria). Masalah umum pada posisi Sims adalah sebagai berikut: Fleksi lateral pada leher Rotasi dalam, adduksi, atau kurang sokongan di bahu dan pinggul. Kurang sokongan di kaki. Kurang perlindungan dari titik penekanan di tulang ilium, humerus, klavikula, lutut, dan pergelangan kaki. Cara pelaksanaan: Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien. Pasien dalam keadaan berbaring, kemudian miringkan ke kiri dengan posisi badan setengah telungkup dan kaki kiri lurus lutut. Paha kanan ditekuk diarahkan ke dada. Tangan kiri di atas kepla atau di belakang punggung dan tangan kanan di atas tempat tidur. Bila pasien miring ke kanan dengan posisi badan setengah telungkup dan kaku kanan lurus, lutu dan paha kiri ditekuk diarahkan ke dada. Tangan kanan di atas kepala atau di belakan punggung dan tangan kiri di atas tempat tidur. Tujuan: Meningkatkan drainage dari mulut pasien dan mencegah aspirasi Mengurangi penekanan pada tulang secrum dan trochanter mayor otot pinggang
23

Memasukkan obat supositoria Mencegah dekubitus

Indikasi: Pasien dengan pemeriksaan dan pengobatan daerah perineal Pasien yang tidak sadarkan diri Pasien paralisis Pasien yang akan dienema Untuk tidur pada wanita hamil.

c. Posisi Trendelenburg Posisi pasien berbaring di tempat tidur dengan bagian kepala lebih rendah daripada bagian kaki. Dilakukan untuk melancarkan peredaran darah ke otak, dan pada pasien shock dan pada pasien yang dipasang skintraksi pada kakinya. Cara Pelaksanaan: Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien. Pasien dalam keadaan berbaring terlentang, letakkan bantal di antara kepala dan ujung tempat tidur pasien, dan berikan bantal di bawah lipatan lutut. Berikan balok penopang pada bagian kakai tempat tidur atau atur tempat tidur khusus dengan meninggikan bagian kaki pasien. Tujuan: Supaya darah lebih banyak mengalir kedaerah kepala Memudahkan operasi di daerah perut

Indikasi: Pada pasien syok Tekanan darah rendah Pasien dengan pemeriksaan tertentu misal broncoscopy

24

d. Posisi Dorsal Recumbent Posisi berbaring terlentang diatas tempat dengan tidur. kedua lutut fleksi untuk (ditarik merawat atau dan

direnggangkan)

Dilakukan

memeriksa genetalia serta proses persalinan. Masalah umum yang terjadi pada posisi Dorsal Recumbent: Bantal di kepala terlalu tebal dapat meningkatkan fleksi pada servikal. Kepala datar pada matras. Bahu tidak disokong dan berotasi dalam. Siku melebar. Ibu jari tidak berlawanan dengan jari-jari lain. Pinggul berotasi luar. Tidak tersokongnya pinggul. Titik penekanan di bagian oksiput kepala, vertebra lumbal, siku dan tumit yang tidak terlindungi. Cara Pelaksanaan: Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien. Pasien dalam keadaan berbaring terlentang, pakaian bawah dibuka. Tekuk lutut, renggangkan paha, telapak kaki menghadap ke tempat tidur, dan renggangkan kedua kaki. Pasang selimut.

Tujuan: Meningkatkan belakang. Indikasi: Pasien dengan pemeriksaan pada bagian pelvic, vagina dan anus. Pasien dengan ketegangan punggung belakang. kenyamanan pasien, terutama dengan ketegangan punggung

e. Posisi Lithotomi Posisi berbaring terlentang dengan mengangkat kedua kaki dan menariknya ke atas bagian perut. Dilakukan untuk memeriksa genetalia pada proses persalinan, dan memasang alat kontrasepsi.
25

Cara Pelaksanaan: Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien. Pasien dalam keadaan berbaring terlentang, kemudian angkat kedua pahanya dan tarik kea rah perut. Tungkai bawah membentuk sudut 900 terhadap paha. Letakkan bagian lutut/kaki pada tempat tidur khusus untuk posisi lithotomi. Pasang selimut.

Tujuan: Memudahkan pemeriksaan daerah rongga panggul, misal vagina

taucher, pemeriksaan rektum, dan sistoscopy Memudahkan pelaksanaan proses persalinan, operasi ambeien,

pemasangan alat intra uterine devices (IUD), dan lain-lain. Indikasi: Pada pemeriksaan genekologis Untuk menegakkan diagnosa atau memberikan pengobatan terhadap penyakit pada uretra, rektum, vagina dan kandung kemih.

f. Posisi Genu Pectoral Posisi menungging dengan kedua kaki ditekuk dan dada menempel pada bagian atas tempat tidur. Dilakukan untuk memeriksa daerah rectum dan sigmoid dan untuk membantu merubah letak kepala janin pada bayi yang sungsang. Cara Pelaksanaan: Jelaskan prosedur yang akan dilakukan pada pasien. Anjurkan pasien untuk posisi menungging dengan kedua kaki ditekuk dan dada menempel pada kasur tempat tidur. Pasang selimut pada pasien.

26

Tujuan: Memudahkan pemeriksaan daerah rektum, sigmoid, dan vagina. Indikasi: Pasien hemorrhoid Pemeriksaan dan pengobatan daerah rectum, sigmoid dan vagina.

g. Posisi Orthopenic Posisi pasien duduk dengan menyandarkan kepala pada penampang yang sejajar dada, seperti pada meja.

Tujuan: Memudahkan ekspansi paru untuk pasien dengan kesulitan bernafas yang ekstrim dan tidak bisa tidur terlentang atau posisi kepala hanya bisa pada elevasi sedang.

Indikasi: Pasien dengan sesak berat dan tidak bisa tidur terlentang.

h. Posisi Supinasi Posisi telentang dengan pasien menyandarkan punggungnya agar dasar tubuh sama dengan kesejajaran berdiri yang baik. Tujuan: Meningkatkan kenyamanan pasien Memfasilitasi penyembuhan terutama pada pasien pembedahan atau dalam proses anestesi tertentu. Indikasi: Paien dengan tindakan post anestesi atau pembedahan tertentu. Pasien dengan kondisi sangat lemah atau koma.

27

i. Posisi Pronasi Pasien tidur dalam posisi telungkup Berbaring dengan wajah menghadap ke bantal. Masalah yang terjadi pada posisi Pronasi (telungkup) adalah berikut ini: Hiperekstensi leher. Hiperekstensi spinal lumbal. Plantarfleksi pergelangan kaki. Titik penekanan di dagu, siku, pinggul, lutu, dan jari-jari kaki tidak terlindungi. Tujuan: Memberikan ekstensi maksimal pada sendi lutut dan pinggang. Mencegah fleksi dan kontraktur pada pinggang dan lutut.

Indikasi: Pasien yang menjalani bedah mulut dan kerongkongan. Pasien dengan pemeriksaan pada daerah bokong atau punggung.

j. Posisi Lateral Posisi miring dimana pasien bersandar kesamping dengan sebagian besar berat tubuh berada pada pinggul dan bahu. Masalah umum yang terjadi pada posisi Lateral (miring) adalah berikut ini: Fleksi lateral pada leher. Lengkung tulang belakang keluar dari kesejajaran normal. Persendian bahu dan pinggul berotasi dalam, adduksi, atau tidak disokong. Kurangnya sokongan kaki. Titik penekanan di telinga, tulang ilium, lutut, dan pergelangan kaki kurang terlindungi. Tujuan: Mempertahankan body aligment. Mengurangi komplikasi akibat imobilisasi. Menengkatkan rasa nyaman.
28

Mengurangi kemungkinan tekanan yang menetap pada tubuh akibat posisi yang menetap.

Indikasi: Pasien yang ingin beristirahat. Pasien yang mengalami kelumpuhan baik hemiplegic maupun para plegi. Pasien yang posisi fowler atau dorsal recumbent dalam posisi lama. Penderita yang mengalami kelemahan dan pasca operasi. Penderita yang mengalami penurunan kesadaran.

29

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Mobilisasi dan Imobilisasi berpengaruh pada keadaan pasien, karena adanya kemampuan pasien yang dapat bergerak secara bebas ataupun tidak bebas karena adanya faktor-faktor tertentu, dalam Imobilisasi akan adanya perubahan pada systemsistem tertentu pada pasien. Tindakan keperawatan dalam Mobilisasi dan Imobilisasi, di antaranya adalah Range of Motion (ROM) dan Penepatan Posisi pada pasien. Range of Motion harus dilaksanakan secra berulang, perlahan dan hati-hati sehingga tidak melelahkan. Range of Motion dapat dilakukan pada semua persendian atau hanya pada bagian-bagian yang di curigai mengalami proses penyakit serta harus sesuai waktunya. Posisi pada pasien pun harus tepat pelaksanaannya, karena terdapat pada pasien. tujuan-tujuan tertentu di setiap posisi

B. Saran Pembaca dan terutama penulis dapat mengetahui, memahami, dan menjelaskan tentang Mobilisasi dan Imobilisasi, baik itu Range of Motion (ROM) dan juga Posisi pada pasien beserta semua dalam prinsip, dunia indikasi keperawatan dan kontraindikasinya dan memenuhi agar dapat

mengaplikasikannya keperawatan dasar.

keterampilan

30

DAFTAR PUSTAKA Alimul, Aziz A, 2009, Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan, Jakarta: Salemba Medika. Potter & Perry, 2006, Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik, Edisi 4, Vol 2, Jakarta: EGC. www.referensionline.info/.../jurnal-tentang-pengaruh-latihan-range-of-motion. http://www.scribd.com/doc/59935123/ROM-Range-Of-Motion. http://www.scribd.com/doc/57173759/Mobilisasi-Dan-Posisi.

31

You might also like