You are on page 1of 44

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN PRURITUS, IMPETIGO DAN HERPES

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok Mata Kuliah KMB III

Disusun Oleh : Kelompok I / Tingkat 2 B

SITI YULI DODI FAHMI ASEP HAIFA

AKADEMI KEPERAWATAN KABUPATEN SUBANG


Jln Brigjen Katamso No. 37 Telp (0260) 412 520 Subang 2013

Akademi Keperawatan Subang 1

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat, Taufiq dan Hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul Asuhan Keperawatan Pada Klien Pruritus, Impetigo Dan Herpes yang merupakan salah satu tugas mata kuliah KMB III. Kami menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami, hingga tersusunnya makalah ini diantaranya kepada : 1. Ibu Kholis Nur Handayani, S.Kp., M.Kep, selaku Direktur AKPER Kabupaten Subang. 2. Bapak Dudi Turyadi, S.Pd, S.Kep, MMKes., selaku Dosen Mata Kuliah KMB III 3. Kepada orang tua kami yang selalu memberikan dorongan serta doa untuk kami. 4. Rekan rekan yang telah membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki, hal ini disebabkan oleh karena keterbatasan pengetahuan, pengalaman serta sumber yang penyusun miliki. Oleh karena itu, penyusun harapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak. Akhirnya penyusun berharap mudah mudahan makalah ini dapat bermanfaat bagi penyusun khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Subang, Juli 2013

Penyusun

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... DAFTAR ISI ................................................................................................... BAB I PENDAHULUAN 1.1 1.2 Latar Belakang ......................................................................... Tujuan ...................................................................................... 1. Tujuan Umum .................................................................... 2. Tujuan Khusus ................................................................... BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 2.2 2.3 Pruritus .................................................................................... Impetigo ................................................................................... Herpes ......................................................................................

i ii

1 2 2 2

3 8 20

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 3.1 3.2 3.3 Pruritus .................................................................................... Impetigo ................................................................................... Herpes ...................................................................................... 28 30 35

BAB IV PENUTUP 4.1 4.2 Kesimpulan ............................................................................... Saran ......................................................................................... 40 40

DAFTAR PUSTAKA

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Kulit adalah organ yang sangat penting untuk mengetahui tingkat kesehatan seseorang. Kecantikan seseorang secara fisik dapat dilihat dari kesehatan kulitnya. Kulit yang sehat mencerminkan kebersihan, status gizi, status emosi/psikologis, juga kepribadian seseorang. Oleh karena itu, kesehatan kulit/integumen perlu mendapat perhatian yang cukup besar. Apabila kulit mengalami kelainan atau gangguan akan membawa dampak baik fisik maupun psikologis pada penderita. Oleh karena itu, pemberian asuhan keperawatan yang tepat sangat diperlukan. Dalam

makalah ini kami akan memaparkan beberapa contoh kelainan kulit yaitu Herpes dan Tinea serta bagaimana penatalaksanaan kita sebagai perawat dalam merawat pasien dengan kelainan kulit tersebut. Integumen merupakan organ yang paling besar yang ada dalam tubuh kita. Integument mempunyai beberapa fungsi penting dalam pengendalian sekresi ataupun ekresi, sehingga fungsinya begitu vital bagi tubuh kita. Sebagai seorang perawat wajib hukumnya untuk mempelajari secara detail tentang integument dan bagaiman fungsi kulit dalam pengaturan ataupun dalam pengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Pentingnya untuk mengetahui anatomi ataupun fisiologi tentang integumen ini, karena ini sangat akan membantu dalam proses pelayanan ataupun asuhan keperawatan itu sendiri. Lesi atau luka itu sendiri yang terdapat di integument sangat berpengaruh terhadap jenis kegiatan yang akan dilakukan oleh klien. Beberapa fungsi integumen antara lain : proteksi, sensasi, regulasi panas, kontrol evaporasi, estetik dan komunikasi, penyimpanan dan pembuatan, ekskresi, dan absorpsi. Makalah ini dibuat dan disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah KMB III dan agar kita tahu tentang peran penting integumen dalam sistem tubuh kita. Sehingga jika ada kekurangan atau ada kesalahan penyampaian dalam penulisan, kami sebagi penulis mohon dimafkan.

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 1

1.2

Tujuan 1. Tujuan Umum Setelah mempelajari makalah ini, mahasiswa mampu memahami dan mengerti asuhan keperawatan pada pasien pruritus, impetigo dan herpes. 2. Tujuan Khusus Setelah mempelajari makalah ini, mahasiswa mampu: a. Memahami tinjauan teori dan mengerti tindakan asuhan keperawatan pada pasien pruritus b. Memahami tinjauan teori dan mengerti tindakan asuhan keperawatan pada pasien impetigo c. Memahami tinjauan teori dan mengerti tindakan asuhan keperawatan pada pasien herpes

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 2

BAB II TINAJAUN TEORI

2.1 PRURITUS A. PENGERTIAN Pruritus berasal dari kata Prurire: gatal; rasa gatal; berbagai macam keadaan yang ditandai oleh rasa gatal (Kamus Kedokteran Dorland.1996). Djuanda A, dkk (1993), mengemukakan pruritus adalah sensasi kulit yang iritatif dan menimbulkan rangsangan untuk menggaruk. Berdasarkan dua pendapat di atas, Pruritus adalah sensasi kulit yang iritatif dan ditandai oleh rasa gatal, serta menimbulkan rangsangan untuk menggaruk. Reseptor rasa gatal tidak bermielin, mempunyai ujung saraf mirip sikat (penicillate) yang hanya ditemukan pada kulit, membran mukosa dan kornea (Sher,1992). Pruritus merupakan salah satu dari sejumlah keluhan yang paling sering dijumpai pada gangguan dermatologic B. KLASIFIKASI GATAL Pruritoceptive itch : Akibat gangguan yang berasal dari kulit. Misalnya, inflamasi, kering, dan kerusakan kulit. Neuropathic itch : Akibat gangguan pada jalur aferen saraf perifer atau sentral. Misalnya, pada herpes dan tumor. Neurogenic itch : Tidak ada gangguan pada saraf maupun kulit, namun terdapat transmitter yang merangsang gatal. Misalnya, morphin dan penyakit sistemik (ginjal kronis, jaundice) Psikogenic itch : Akibat gangguan psikologi. Misalnya, parasitophobia

C. ETIOLOGI Pruritus dapat disebabkan oleh berbagai macam gangguan. Secara umum, penyebab pruritus dapat diklasifikasikan menjadi lima golongan, yaitu: 1. Pruritus local Pruritus lokal adalah pruritus yang terbatas pada area tertentu di tubuh. Penyebabnya beragam, Beberapa Penyebab Pruritus Lokal:

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 3

Kulit kepala Punggung Lengan Tangan dll

: Seborrhoeic dermatitis, kutu rambut : Notalgia paraesthetica : Brachioradial pruritus : Dermatitis tangan

2. Gangguan sistemik Beberapa Gangguan Sistemik Penyebab Pruritus Gangguan ginjal seperti Gagal ginjal kronik. Gangguan hati seperti Obstruksi biliaris intrahepatika atau ekstrahepatika. Endokrin/Metabolik seperti Diabetes, hipertiroidisme,

Hipoparatiroidisme, dan Myxoedema. Gangguan pada Darah Defisiensi seng (anemia), Polycythaemia, Leukimia limfatik, dan Hodgkin's disease. 3. Gangguan pada kulit Penyebab pruritus yang berasal dari gangguan kulit sangat beragam. Beberapa diantaranya, yaitu dermatitis kontak, kulit kering, prurigo nodularis, urtikaria, psoriasis, dermatitis atopic, folikulitis, kutu, scabies, miliaria, dan sunburn. 4. Pajanan terhadap factor tertentu Pajanan kulit terhadap beberapa factor, baik berasal dari luar maupun dalam dapat menyebabkan pruritus. Faktor yang dimaksud adalah allergen atau bentuk iritan lainnya, urtikaria fisikal, awuagenic pruritus, serangga, dan obat-obatan tertentu (topical maupun sistemik; contoh: opioid, aspirin). 5. Hormonal 2% dari wanita hamil menderita pruritus tanpa adanya gangguan dermatologic. Pruritus gravidarum diinduksi oleh estrogen dan terkadang terdapat hubungan dengan kolestasis. Pruritus terutama terjadi pada trimester ketiga kehamilan, dimulai pada abdomen atau badan, kemudian menjadi generalisata. Ada kalanya pruritus disertai dengan anoreksi, nausea, dan muntah. Pruritus akan menghilang

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 4

setelah penderita melahirkan. Ikterus kolestasis timbul setelah penderita mengalami pruritus 2-4 minggu. Ikterus dan pruritus disebabkan oleh karena terdapat garam empedu di dalam kulit. Selain itu, pruritus juga menjadi gejala umum terjadi menopause. Setidaknya 50% orang berumur 70 tahun atau lebih mengalami pruritus. Kelainan kulit yang menyebabkan pruritus, seperti scabies, pemphigoid nodularis, atau eczema grade rendah perlu dipertimbangkan selain gangguan sistemik seperti kolestasis ataupun gagal ginjal. Pada sebagian besar kasus pruritus spontan, penyebab pruritus pada lansia adalah kekeringan kulit akibat penuaan kulit. Pruritus pada lansia berespon baik terhadap pengobatan emollient. D. PATOFISIOLOGI Pruritus merupakan salah satu dari sejumlah keluhan yang paling sering dijumpai pada gangguan dermatologic yang menimbulkan gangguan dermatologic yang menimbulkan gangguan rasa nyaman dan perubahan integritas kulit jika pasien meresponnya dengan

garukan. Reseptor rasa gatal tidak bermielin, mempunyai ujung saraf mirip sikat (peniciate) yang hanya ditemukan dalam kulit, membrane mukosa dan kornea (Sher, 1992). Garukan menyebabkan terjadinya inflamasi sel dan pelepasan histamine oleh ujung saraf yang memperberat gejala pruritus yang selanjutnya menghasilkan lingkaran setan rasa gatal dan menggaruk. Meskipun pruritus biasanya disebabkan oleh penyakit kulit yang primer dengan terjadinya ruam atau lesi sebagai akibatnya, namun keadaan ini bisa timbul tanpa manifestasi kulit apapun. Keadaan ini disebut sebagai esensial yang umumnya memiliki awitan yang cepat, bias berat dan menganggu aktivitas hidup sehari-hari yang normal. E. KLASIFIKASI PRURITUS PERIANAL Pruritus di daerah anus dan genital dapat terjadi akibat partikel kecil feces yang terjepit dalam lipatan perianal atau yang melekat pada rambut anus, atau akibat kerusakan kulit perianal karena garukan, keadaan

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 5

basah dan penurunan sesistensi kulit yang disebabkan oleh terapi kortikosteroid atau antibiotic. Keadaan lain yang dapat menyebabkan gatal-gatal di daerah sekitar anus (Pruritis Perianal) adalah iritan local seperti scabies serta tuma, lesi local seperti hemoroid, infeksi jamur atau kandida, dan infestasi cacing kerawit. Keadaan seperti DM, Anemia, Hipertiroidisme, dan kehamilan dapat pula menyebabkan pruritus perianal. F. MANIFESTASI KLINIS Pruritus secara khas akan menyebabkan pasien menngaruk yang biasanya dilakukan semakin intensif pada malam hari. Pruritus tidak sering dilaporkan pada saat terjaga karena perhatian pasien teralih pada aktifitas sehari-hari. Pada malam hari dimana ha-hal yang bisa mengalihkan perhatian hanya sedikit, keadaan priritus yang ringan sekalipun tidak mudah diabaikan. Efek sekunder mencakup ekskorisi, kemerahan bagian kulit yang menonjol (bidur), infeksi dan perubahan pigmentasi. Rasa gatal yang hebat akan menganggu penampilan pasien. G. KOMPLIKASI Bila skabies tidak diobati selama beberapa minggu atau bulan, dapat timbul dermatitis akibat garukan. Erupsi dapat berbentuk impetigo, ektima, sellulitis, limfangitis, dan furunkel. Infeksi bakteri pada bayi dan anak kecil yang diserang scabies dapat menimbulkan komplikasi pada ginjal. Dermatitis iritan dapat timbul karena penggunaan preparat anti skabies yang berlebihan, baik pada terapi awal ataupun pemakaian yang terlalu sering. H. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan pruritus sangat bergantung pada penyebab rasa gatal itu sendiri. Sementara pemeriksaan untuk mencari penyebab pruritus dilakukan, terdapat beberapa cara untuk mengatasi rasa gatal sehingga menimbulkan perasaan lega pada penderita, yaitu: Pengobatan topical : Dinginkan kulit dengan kain basah atau air hangat

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 6

Losion calamine. Losion ini tidak dapat digunakan pada kulit yang kering dan memiliki batasan waktu dalam pemakaiannya karena mengandung phenols.

Losion menthol/camphor yang berfungsi untuk memberikan sensasi dingin.

Pemakaian emmolient yang teratur, terutama jika kulit kering. Kortikosteroid topical sedang untuk periode waktu yang pendek. Antihistamin topical sebaiknya tidak digunakan karena dapat

mensensitisasi kulit dan menimbulkan alergi dermatitis kontak. Pengobatan dengan medikasi oral mungkin diperlukan, jika rasa gatal cukup parah dan menyebabkan tidur terganggu: Aspirin: efektif pada pruritus yang disebabkan oleh mediator kinin atau prostaglandin, tapi dapat memperburuk rasa gatal pada beberapa pasien. Doxepin atau amitriptyline: antidepresan trisiklik dengan antipruritus yang efektif. Antidepresan tetrasiklik dapat membantu rasa gatal yang lebih parah. Antihistamin: antihistamin yang tidak mengandung penenang memiliki antipruritus. Antihistamin penenang dapat digunakan karena efek penenangnya tersebut. Thalidomide terbukti ampuh mengatasi prurigo nodular dan beberapa jenis pruritus kronik. Upaya lain yang berguna untuk menghindari pruritus, diantaranya mencegah factor pengendap, seperti pakaian yang kasar, terlalu panas, dan yang menyebabkan vasodilatasi jika dapat menimbulkan rasa gatal (mis. Kafein, alcohol, makanan pedas). Jika kebutuhan untuk menggaruk tidak tertahankan, maka gosok atau garuk area yang bersangkutan dengan telapak tangan. Untuk gatal ringan dengan penyebab yang tidak membahayakan seperti kulit kering, dapat dilakukan penanganan sendiri berupa:

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 7

Mengoleskan pelembab kulit berulang kali sepanjang hari dan segera setelah mandi.

Tidak mandi terlalu sering dengan air berkadar kaporit tinggi.. Memasang alat pelembab udara, terutama di ruangan ber-AC. Mengenakan pakaian yang tidak mengiritasi kulit seperti katun dan sutra, menghindari bahan wol serta bahan sintesis yang tidak menyerap keringat.

Menghindari konsumsi kafein, alkohol, rempah-rempah, air panas dan keringat berlebihan.

Menghindari hal-hal yang telah diketahui merupakan penyebab gatal. Menjaga higiene pribadi dan lingkungan. Mencegah komplikasi akibat garukan dengan jalan memotong kuku dan menggosok kulit yang gatal menggunakan telapak tangan sebagai ganti menggaruk. Obat yang dapat dipergunakan antara lain obat oles antigatal (dengan kandungan mentol, kampor, kalamin dan doxepin HCl) serta obat minum, seperti doxepin dan antihistamin.

2.2 IMPETIGO A. Definisi Impetigo adalah salah satu contoh pioderma, yang menyerang lapisan epidermis kulit (Djuanda, 56:2005). Impetigo biasanya juga mengikuti trauma superficial dengan robekan kulit dan paling sering merupakan penyakit penyerta (secondary infection) dari Pediculosis, Skabies, Infeksi jamur, dan pada insect bites (Beheshti, 2:2007). Impetigo krustosa juga dikenal sebagai impetigo kontangiosa, impetigo vulgaris, atau impetigo Tillbury Fox. Impetigo bulosa juga dikenal sebagai impetigo vesikulo-bulosa atau cacar monyet (Djuanda, 56-57:2005). B. Klasifikasi Jenis impetigo yaitu : 1. Impetigo contagiosa (tanpa gelembung cairan, dengan krusta/ keropeng/koreng)

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 8

Impetigo krustosa hanya terdapat pada anak-anak, paling sering muncul di muka, yaitu di sekitar hidung dan mulut. Kelainan kulit berupa eritema dan vesikel yang cepat memecah sehingga penderita datang berobat yang terlihat adalah krusta tebal berwarna kuning seperti madu. Jika dilepaskan tampak erosi dibawahnya. Jenis ini biasanya berawal dari luka warna merah pada wajah anak, dan paling sering di sekitar hidung dan mulut. Luka ini cepat pecah, berair dan bernanah, yang akhirnya membentuk kulit kering berwarna

kecoklatan. Bekas impetigo ini bisa hilang dan tak menyebabkan kulit seperti parut. Luka ini bisa saja terasa gatal tapi tak terasa sakit. Impetigo jenis ini juga jarang menimbulkan demam pada anak, tapi ada kemungkinan menyebabkan pembengkakan kelenjar getah bening pada area yang terinfeksi. Dan karena impetigo sangat mudah menular, makanya jangan menyentuh atau menggaruk luka karena dapat menyebarkan infeksi ke bagian tubuh lainnya. 2. Bullous impetigo (dengan gelembung berisi cairan) Impetigo jenis ini utamanya menyerang bayi dan anak di bawah usia 2 tahun. Namun ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Impetigo bulosa terdapat pada anak dan juga pada orang dewasa, paling sering muncul di ketiak, dada, dan punggung. Kelainan kulit berupa eritema, vesikel, dan bula. Kadang-kadang waktu penderita datang berobat, vesikel atau bula telah pecah. Impetigo ini meski tak terasa sakit, tapi menyebabkan kulit melepuh berisi cairan. Bagian tubuh yang diserang seringkali badan, lengan dan kaki. Kulit di sekitar luka biasanya berwarna merah dan gatal tapi tak terasa sakit. Luka akibat infeksi ini dapat berubah menjadi koreng dan sembuhnya lebih lama ketimbang serangan impetigo jenis lain C. Etiologi Impetigo disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau Group A Beta Hemolitik Streptococcus (Streptococcus pyogenes). Staphylococcus merupakan pathogen primer pada impetigo bulosa dan ecthyma (Beheshti, 2:2007).

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 9

Staphylococcus merupakan bakteri sel gram positif dengan ukuran 1 m, berbentuk bulat, biasanya tersusun dalam bentuk kluster yang tidak teratur, kokus tunggal, berpasangan, tetrad, dan berbentuk rantai juga bisa didapatkan. Staphylococcus dapat menyebabkan penyakit berkat

kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar luas ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim dan yang lain berupa toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim. Staphylococcus dapat menghasilkan katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin

eksfoliatif, toksik sindrom syok toksik, dan enterotoksin. (Brooks, 317:2005). Streptococcus merupakan bakteri gram positif berbentuk bulat, yang mempunyai karakteristik dapat berbentuk pasangan atau rantai selama pertumbuhannya. Lebih dari 20 produk ekstraseluler yang antigenic termasuk dalam grup A, (Streptococcus pyogenes) diantaranya adalah Streptokinase, streptodornase, hyaluronidase, eksotoksin

pirogenik, disphosphopyridine nucleotidase, dan hemolisin (Brooks, 332:2005). D. Patofisologi Infeksi Staphylococcus aureus atau Group A Beta Hemolitik Streptococcus dimana kita ketahui bakteri-bakteri tersebut dapat menyebabkan penyakit berkat kemampuannya mengadakan pembelahan dan menyebar luas ke dalam jaringan dan melalui produksi beberapa bahan ekstraseluler. Beberapa dari bahan tersebut adalah enzim dan yang lain berupa toksin meskipun fungsinya adalah sebagai enzim.

Staphylococcus dapat menghasilkan katalase, koagulase, hyaluronidase, eksotoksin, lekosidin, toksin eksfoliatif, toksik sindrom syok toksik, dan enterotoksin. Bakteri staph menghasilkan racun yang dapat menyebabkan impetigo menyebar ke area lainnya. Toxin ini menyerang protein yang membantu mengikat sel-sel kulit. Ketika protein ini rusak, bakteri akan sangat cepat menyebar. Enzim yang dikeluarkan oleh Stap akan merusak

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 10

struktur kulit dan adnya rasa gatal dapat menyebabkan terbentuknya lesi pada kulit. Rasa gatal dengan lesi awal berupa makula eritematosa berukuran 1-2 mm, kemudian berubah menjadi bula atau vesikel. Pada Impetigo contagiosa Awalnya berupa warna kemerahan pada kulit (makula) atau papul (penonjolan padat dengan diameter <0,5cm) yang berukuran 2-5 mm. Lesi papul segera menjadi vesikel atau pustul (papula yang berwarna keruh/mengandung nanah/pus) yang mudah pecah dan menjadi papul dengan keropeng/koreng berwarna kunig madu dan lengket yang berukuran <2cm dengan kemerahan minimal atau tidak ada kemerahan disekelilingnya, sekret seropurulen kuning kecoklatan yang kemudian mengering membentuk krusta yang berlapis-lapis. Krusta mudah dilepaskan, di bawah krusta terdapat daerah erosif yang mengeluarkan sekret, sehingga krusta akan kembali menebal. Sering krusta menyebar ke perifer dan menyembuh di bagian tengah. Kemudian pada Bullous impetigo bula yang timbul secara tiba tiba pada kulit yang sehat dari plak (penonjolan datar di atas permukaan kulit) merah, berdiameter 1-5cm, pada daerah dalam dari alat gerak (daerah ekstensor), bervariasi dari miliar sampai lentikular dengan dinding yang tebal, dapat bertahan selama 2 sampai 3 hari. Bila pecah, dapat menimbulkan krusta yang berwarna coklat, datar dan tipis. E. Epidemiologi Impetigo terjadi di seluruh Negara di dunia dan angka kejadiannya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Di Amerika Serikat Impetigo merupakan 10% dari masalah kulit yang dijumpai pada klinik anak dan terbanyak pada daerah yang jauh lebih hangat, yaitu pada daerah tenggara Amerika (Provider synergies, 2:2007). Di Inggris kejadian impetigo pada anak sampai usia 4 tahun sebanyak 2,8% pertahun dan 1,6% pada anak usia 5-15 tahun. Sekitar 70% merupakan impetigo krustosa (Cole, 1:2007). Pasien dapat lebih jauh menginfeksi dirinya sendiri atau orang lain setelah menggaruk lesi. Infeksi seringkali menyebar dengan cepat pada
KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 11

sekolah atau tempat penitipan anak atau juga pada tempat dengan hygiene buruk atau tempat tinggal yang padat penduduk (Cole, 1:2007). F. Faktor Predisposisi Adapun factor predisposisi dari impetigo yaitu : 1. Kontak langsung dengan pasien impetigo 2. Kontak tidak langsung melalui handuk, selimut, atau pakaian pasien impetigo 3. Cuaca panas maupun kondisi lingkungan yang lembab 4. Kegiatan/olahraga dengan kontak langsung antar kulit seperti gulat 5. Pasien dengan dermatitis, terutama dermatitis atopik (Sumber Beheshta, 2:2007). G. Manifestasi Klinik 1. Impetigo Krustosa Tempat predileksi tersering pada impetigo krustosa adalah di wajah, terutama sekitar lubang hidung dan mulut, karena dianggap sumber infeksi dari daerah tersebut. Tempat lain yang mungkin terkena, yaitu anggota gerak (kecuali telapak tangan dan kaki), dan badan, tetapi umumnya terbatas, walaupun penyebaran luas dapat terjadi (Boediardja, 2005; Djuanda, 2005). Biasanya mengenai anak yang belum sekolah. Gatal dan rasa tidak nyaman dapat terjadi, tetapi tidak disertai gejala konstitusi. Pembesaran kelenjar limfe regional lebih sering disebabkan oleh Streptococcus. Kelainan kulit didahului oleh makula eritematus kecil, sekitar 1-2 mm. Kemudian segera terbentuk vesikel atau pustule yang mudah pecah dan meninggalkan erosi. Cairan serosa dan purulen akan membentuk krusta tebal berwarna kekuningan yang memberi gambaran karakteristik seperti madu (honey colour). Lesi akan melebar sampai 1-2 cm, disertai lesi satelit disekitarnya. Lesi tersebut akan bergabung membentuk daerah krustasi yang lebar. Eksudat dengan mudah menyebar secara autoinokulasi (Boediardja, 2005).

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 12

2. Impetigo Bulos Tempat predileksi tersering pada impetigo bulosa adalah di ketiak, dada, punggung. Sering bersama-sama dengan miliaria. Terdapat pada anak dan dewasa. Kelainan kulit berupa vesikel (gelembung berisi cairan dengan diameter 0,5cm) kurang dari 1 cm pada kulit yang utuh, dengan kulit sekitar normal atau kemerahan. Pada awalnya vesikel berisi cairan yang jernih yang berubah menjadi berwarna keruh. Atap dari bulla pecah dan meninggalkan gambaran collarette pada pinggirnya. Krusta varnishlike terbentuk pada bagian tengah yang jika disingkirkan memperlihatkan dasar yang merah dan basah. Bulla yang utuh jarang ditemukan karena sangat rapuh (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008). Bila impetigo menyertai kelainan kulit lainnya maka, kelainan itu dapat menyertai dermatitis atopi, varisela, gigitan binatang dan lainlain. Lesi dapat lokal atau tersebar, seringkali di wajah atau tempat lain, seperti tempat yang lembab, lipatan kulit, ketiak atau lipatan leher. Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening di dekat lesi. (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008). Pada bayi, lesi yang luas dapat disertai dengan gejala demam, lemah, diare. Jarang sekali disetai dengan radang paru, infeksi sendi atau tulang. (Yayasan Orang Tua Peduli, 1:2008). H. Pemeriksaan Penunjang Bila diperlukan dapat memeriksa isi vesikel dengan pengecatan gram untuk menyingkirkan diagnosis banding dengan gangguan infeksi gram negative. Bisa dilanjutkan dengan tes katalase dan koagulase untuk membedakan 332:2005). antara Staphylococcus dan Streptococcus (Brooks,

I. Diagnosis Banding a. Dermatitis atopi: keluhan gatal yang berulang atau berlangsung lama (kronik) dan kulit kering; penebalan pada lipatan kulit terutama pada

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 13

b. c. d. e.

f.

g. h. i.

dewasa (likenifikasi); pada anak seringkali melibatkan daerah wajah atau tangan bagian dalam. Candidiasis (infeksi jamur candida): papul merah, basah; umumnya di daerah selaput lender atau daerah lipatan. Dermatitis kontak: gatal pada daerah sensitive yang kontak dengan zat-zat yang mengiritasi. Diskoid lupus eritematus: lesi datar(plak), batas tegas yang mengenai sampai folikel rambut. Ektima: lesi berkrusta yang menutupi daerah ulkus (luka dengan dasar dan dinding) dapat menetap selama beberapa minggu dan sembuh dengan jaringan parut bila infeksi sampai jaringan kulit dalam (dermis). Herpes simpleks: vesikel berkelompok dengan dasar kemerahan yang pecah menjadi lecet tertutupi oleh krusta, biasanya pada bibir dan kulit. Gigitan serangga: Terdapat papul pada daerah gigitan, dapat nyeri. Skabies: Papula yang kecil dan menyebar, terdapat terowongan pada sela-sela jari, gatal pada malam hari. Varisela: Vesikel pada dasar kemerahan bermula di badan dan menyebar ke tangan, kaki, dan wajah; vesikel pecah dan membentuk krusta; lesi terdapat pada beberapa tahap (vesikel, krusta) pada saat yang sama (Cole, 3:2007).

J. Komplikasi Sebenarnya impetigo tidaklah berbahaya, tapi kadang infeksi ini menyebabkan komplikasi serius meski jarang terjadi, Impetigo biasanya sembuh tanpa penyulit dalam 2 minggu walaupun tidak diobati. Komplikasi berupa radang ginjal/ Poststreptococcal glomerulonephritis (PSGN) pasca infeksi Streptococcus terjadi pada 1-5% pasien terutama usia 2-6 tahun dan hal ini tidak dipengaruhi oleh pengobatan antibiotic. Gejala berupa bengkak dan kenaikan tekanan darah, pada sepertiga terdapat urine seperti warna teh. Keadaan ini umumnya sembuh secara spontan walaupun gejala-gejala tadi muncul (Yayasan Orang Tua Peduli, 4:2008). Komplikasi lainnya yang jarang terjadi adalah infeksi tulang (osteomielitis), radang paru-paru (pneumonia), selulitis (merupakan infeksi serius yang menyerang jaringan di bawah kulit dan dapat

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 14

menyebar ke kelenjar getah bening serta memasuki aliran darah, Jika tak ditangani, cellulitis dapat mengancam jiwa), psoriasis, Staphylococcal scalded skin syndrome, radang pembuluh limfe atau kelenjar getah bening (Yayasan Orang Tua Peduli, 4:2008) serta Infeksi methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA), kulit parut berubah warna terang atau gelap.

K. Penatalaksanaan Penanganan dini yang dapat dilakukan oleh ibu jika mendapati anaknya dengan tanda dan gejala impetigo yaitu : 1. Rendam bagian kulit yang sakit dalam air sabun selama 15-20 menit. Lakukan 2-3 kali sehari untuk melunturkan kerak pada kulit. 2. Gunakan sabun obat seperti Betadin. Anda dapat membelinya di apotek. Gosoklah kulit sakit yang mengering. 3. Oleskan salep obat seperti polysporin pada kulit yang sakit. Lakukan 2-3 kali sehari setelah kerak pada kulit hilang. Anda dapat membeli polysporin di apotek. 4. Tutup kulit yang sakit dengan perban yang bersih. Jangan biarkan anak menyentuh atau menggaruknya. 5. Lakukan beberapa hal berikut iniuntuk menghentikan penyebaran impetigo. a. Cuci tangan Anda dengan sabun setelah menyentuh kulit anak Anda yang sakit atau pakaian maupun handuknya. b. Cuci tangan anak Anda sampai bersih. Potong pendek kuku tangan anak Anda. c. Jaga agar tangan anak Anda tidak menyentuh hidungnya. d. Simpan pakaian, handuk, dan barang-barang anak Anda terpisah dengan anggota keluarga yang lain. Cucilah dengan sabun dan air panas. 6. Segera hubungi dokter jika: a. Menurut Anda anak Anda terjangkit ipetigo.

b. Kulit yang sakit semakin meluas.

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 15

c.

Kulit yang sakit menjalar ke bagian tubuh yang lain.

d. Anak Anda tampak sakit. e. Anak Anda mengalami pembengkakan atau sakit pada

persendian, termasuk siku dan lutut. Ada pun terapi yang dapat diberikan dari segi perawtan yaitu : 1. Terapi nonmedikamentosa a. Menghilangkan krusta dengan cara mandikan anak selama 20-30 menit, disertai mengelupaskan krusta dengan handuk basah b. Mencegah anak untuk menggaruk daerah lecet. Dapat dengan menutup daerah yang lecet dengan perban tahan air dan memotong kuku anak c. Lanjutkan pengobatan sampai semua luka lecet sembuh d. Lakukan drainase pada bula dan pustule secara aseptic dengan jarum suntik untuk mencegah penyebaran local e. Dapat dilakukan kompres dengan menggunakan larutan NaCl 0,9% pada impetigo krustosa. f. Lakukan pencegahan seperti yang disebutkan pada point XI di bawah 2. Terapi medikamentosa a. Terapi topikal Pengobatan topikal sebelum memberikan salep antibiotik sebaiknya krusta sedikit dilepaskan baru kemudian diberi salep antibiotik. Pada pengobatan topikal impetigo bulosa bisa dilakukan dengan pemberian antiseptik atau salap antibiotik (Djuanda, 57:2005). 1) Antiseptik Antiseptik yang dapat dijadikan pertimbangan dalam

pengobatan impetigo terutama yang telah dilakukan penelitian di Indonesia khususnya Jember dengan menggunakan Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah triklosan 2%. Pada hasil penelitian didapatkan jumlah koloni yang dapat tumbuh setelah kontak dengan triklosan 2%

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 16

selama 30, 60, 90, dan 120 adalah sebanyak 0 koloni (Suswati, 6:2003). Sehingga dapat dikatakan bahwa triklosan 2%mampu untuk mengendalikan penyebaran penyakit akibat infeksi

Staphylococcus aureus (Suswati, 6:2003). 2) Antibiotik Topikal a) Mupirocin Mupirocin topikal merupakan salah satu antibiotik yang sudah mulai digunakan sejak tahun 1980an. Mupirocin ini bekerja dengan menghambat sintesis RNA dan protein dari bakteri. Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan mupirocin topikal yang dibandingkan dengan pemberian eritromisin oral pada pasien impetigo yang dilakukan di Ohio didapatkan hasil sebagai berikut: Pada tabel di atas dapat dilihat bahwa penggunaan mupirocin topikal jauh lebih unggul dalam mempercepat penyembuhan pasien impetigo, meskipun pada awal kunjungan diketahui lebih baik penggunaan eritromisin oral, namun pada akhir terapi dan pada evaluasi diketahui jauh lebih baik mupirocin topikal dibandingkan dengan eritromisin oral dan penggunaan mupirocin topikal memiliki sedikit failure (Goldfarb, 1-3). b) Fusidic Acid Tahun 2002 telah dilakukan penelitian terhadap fusidic acid yang dibandingkan dengan plasebo pada praktek dokter umum yang diberikan pada pasien impetigo. dapat dilihat bahwa penggunaan plasebo jauh lebih baik dibandingkan dengan menggunakan fassidic acid. c) Ratapamulin Pada tanggal 17 April 2007 ratapamulin telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 17

digunakan sebagai pengobatan impetigo. Namun bukan untuk yang disebabkan oleh metisilin resisten ataupun vankomisin resisten. Ratapamulin berikatan dengan subunit 50S ribosom pada protein L3 dekat dengan peptidil transferase yang pada akhirnya akan menghambat protein sintesis dari bakteri (Buck, 1:2007). Pada salah satu penelitian yang telah dilakukan pada 210 pasien impetigo yang berusia diantara 9 sampai 73 tahun dengan luas lesi tidak lebih dari 100 cm2 atau >2% luas dari total luas badan. Kultur yang telah dilakukan pada pasien tersebut didapatkan 82% dengan infeksi

Staphylococcus aureus. Pada pasien-pasien tersebut diberi ratapamulin sebanyak 2 kali sehari selama 5 hari terapi. Evaluasi dilakukan mulai hari ke dua setelah hari terakhir terapi, dan didapatkan luas lesi berkurang, lesi telah mengering, dan lesi benar-benar telah membaik tanpa penggunaan terapi tambahan. Pada 85,6% pasien dengan menggunakan ratapamulin didapatkan perbaikan klinis dan hanya hanya 52,1% pasien mengalami perbaikan klinis yang menggunakan plasebo (Buck, 1:2007). d) Dicloxacillin Penggunaan dicloxacillin merupaka First line untuk pengobatan impetigo, namun akhir-akhir ini penggunaan dicloxacillin mulai tergeser oleh penggunaan ratapamulin topikal karena diketahui ratapamulin memiliki lebih sedikit efek samping bila dibandingkan dengan

dicloxacillin. Penggunaan dicloxacillin sebagai terapi topical pada impetigo sebagai berikut: (Sumber: Primary Clinical Care Manual 2007)

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 18

b. Terapi sistemik 1) Penisilin dan semisintetiknya (pilih salah satu) a) Penicillin G procaine injeksi Dosis: 0,6-1,2 juta IU im 1-2 x sehari Anak: 25.000-50.000 IU im 1-2 x sehari b) Ampicillin Dosis: 250-500 mg per dosis 4 x sehari Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis4x sehari ac c) Amoksicillin Dosis: 250-500 mg / dosis 3 x sehari Anak: 7,5-25 mg/Kg/dosis 3 x sehari ac d) Cloxacillin (untuk Staphylococcus yang kebal penicillin) Dosis: 250-500 mg/ dosis, 4 x sehari ac Anak: 10-25 mg/Kg/dosis 4 x sehari ac e) Phenoxymethyl penicillin (penicillin V) Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x sehari ac Anak: 7,5-12,5 mg/Kg/dosis, 4 x sehari ac 2) Eritromisin (bila alergi penisilin) Dosis: 250-500 mg/dosis, 4 x sehari pc Anak: 12,5-50 mg/Kg/dosis, 4 x sehari pc 3) Clindamisin (alergi penisilin dan menderita saluran cerna) Dosis: 150-300 mg/dosis, 3-4 x sehari Anak > 1 bulan 8-20 mg/Kg/hari, 3-4 x sehari 4) Penggunaan terapi antibiotik sistemik lainnya Pada penggunaan sistemik antibiotik lainnya yang dapat dipertimbangkan.

L. Pencegahan Tindakan yang bisa dilakukan guna pencegahan impetigo diantaranya : 1. Cuci tangan segera dengan menggunakan air mengalir bila habis kontak dengan pasien, terutama apabila terkena luka. 2. Jangan menggunakan pakaian yang sama dengan penderita

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 19

3. Bersihkan dan lakukan desinfektan pada mainan yang mungkin bisa menularkan pada orang lain, setelah digunakan pasien 4. Mandi teratur dengan sabun dan air (sabun antiseptik dapat digunakan, namun dapat mengiritasi pada sebagian kulit orang yang kulit sensitif) 5. Higiene yang baik, mencakup cuci tangan teratur, menjaga kuku jari tetap pendek dan bersih 6. Jauhkan diri dari orang dengan impetigo 7. Cuci pakaian, handuk dan sprei dari anak dengan impetigo terpisah dari yang lainnya. Cuci dengan air panas dan keringkan di bawah sinar matahari atau pengering yang panas. Mainan yang dipakai dapat dicuci dengan disinfektan. 8. Gunakan sarung tangan saat mengoleskan antibiotik topikal di tempat yang terinfeksi dan cuci tangan setelah itu. (Sumber: Northern Kentucky Health Department, 1:2005).

2.3 HERPES A. Pengertian 1. Herpes simpleks adalah infeksi akut oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai adanya vesikel berkelompok di atas kulit yang eritematosa di daerah mukokutan. Herpes simpleks disebut juga fever blister, cold score, herpes febrilis, herpes labialis, herpes progenitalis. (Kapita Selekta Kedokteran ed.III, 2000:151) 2. Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens. (Adhi DJuanda, Ilmu penyakit kulit dan kelamin,2000:355) 3. Herpes simpleks adalah penyakit yang mengenai kulit dan mukosa, bersifat kronis dan residif , disebabkan oleh virus herpes

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 20

simpleks/herpes virus hominis. (FK Unair, 1993 dalam Loetfia Dwi Rahariyani tahun 2008 : 45) 4. Kesimpulan: herpes simpleks adalah penyakit pada kulit dan mukosa yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I dan II ditandai oleh adanya vesikel yang berkelompok dan ertitematosa, ditularkan melalui udara dan sebagian kecil melalui kontak kulit langsung.

B. Etiologi Berdasarkan struktur antigeniknya dikenal 2 tipe virus herpes simpleks: Virus herpes simpleks tipe I (HSV I). Penyakit kulit/selaput lendir yang ditimbulkan biasanya disebut herpes simpleks saja, atau dengan nama lain herpes labialis, herpes febrilis. Biasanya penderita terinfeksi virus ini pada usia kanak-kanak melalui udara dan sebagian kecil melalui kontak langsung seperti ciuman, sentuhan atau memakai baju/handuk mandi bersama. Lesi umumnya dijumpai pada tubuh bagian atas. Termasuk mata dengan rongga mulut, hidung dan pipi; selain itu, dapat juga dijumpai di daerah genitalia, yang penularannya lewat koitus orogenital (oral sex). Virus herpes simpleks tipe II (HSV II, virus of love). Penyakit ditularkan melalui hubungan seksual. Tetapi dapat juga terjadi tanpa koitus, misalnya dapat terjadi pada dokter/dokter gigi dan tenaga medik. Lokalisasi lesi umumnya adalah bagian tubuh di bawah pusar, terutama daerah genitalia lesi ekstra-genital dapat pula terjadi akibat hubungan seksual orogenital.

C. Patofisiologi HSV disebarkan melalui kontak langsung antara virus dengan mukosa atau setiap kerusakan di kulit. Virus herpes tidak dapat hidup di luar lingkungan yang lembab dan penyebaran infeksi melalui cara selain kontak langsung kecil kemungkinannya terjadi. HSV memiliki

kemmpuan untuk menginvasi beragam sel melalui fusi langsung dengan

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 21

membrane sel. pada infeksi aktif primer, virus menginvasi sel pejamu dan cepat berkembang dengan biak, menghancurkan sel pejamu dan

melepaskan lebih banyak virion untuk menginfeksi sel-sel disekitarnya. Pada infeksi aktif primer, virus menyebar melalui saluran limfe ke limfadenopati. Tubuh

kelenjar limfe regional dan menyebabkan

melakukan respon imun seluler dan humoral yang menahan infeksi tetapi tidak dapat mencegah kekambuhan infeksi aktif. Setelah in feksi awal timbul fase laten. Selama masa ini virus masuk ke dalam sel-sel sensorik yang mempersarafi daerah yang terinfeksi dan bermigrasi disepanjang akson untuk bersembunyi di dalam ganglion radiksdorsalis tempat virus berdiam tanpa menimbulkan sitotoksisitas atau gejala pada manusia.

D. Tingkatan infeksi 1) Infeksi primer Tempat predileksi VHS tipe I di daerah pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit pada perawat, dokter gigi, atau pada orang yang sering menggigiti jari (herpetic Whit-low). Virus ini juga sebagai penyebab herpes enfalitis. Infeksi primer oleh VHS tipe II mempunyai tempat predileksi di daerah genital, juga dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatus. Daerah predileksi ini sering kacau karena adanya cara hubungan seksual seperti oro-genital, sehingga herpes yang terdapat di daerah genital kadang-kadang disebabkan oleh VHS tipe I sedangkan di daerah mulut dan rongga mulut dapat disebabkan oleh VHS tipe II. Infeksi primer berlangsung lebih lama dan lebih berat, kirakira 2-6 minggu dan sering disertai gejala sistemik, misalnya

demam, malese dan anoreksia, dan dapat ditemukan pembengkakan kelenjar getah bening regional hingga terjadi penyembuhan secara spontan.

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 22

Kelainan klinis yang dijumpai berupa rasa sakit serta vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa, berisi cairan jernih dan kemudian menjadi seropurulen, dapat menjadi kusta dan kadang-kadang menagalami ulserasi yang dangkal, biasanya sembuh tanpa sikatriks. Pada perabaan tidak terdapat indurasi. Kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder sehingga memberi gambaran yang tidak jelas. Umumnya didapati pada orang yang kekurangan antibodi virus herpes simpleks. Pada wanita ada laporan yang mengatakan bahwa 80% infeksi VHS pada genitalia eksterna disertai infeksi pada serviks. 2) Fase laten Fase ini berarti pada penderita tidak ditemukan gejala klinis, tetapi VHS dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif pada ganglion dorsalis. Penularan dapat tejadi pada fase ini, akibat pelepasan virus terus berlangsung meskipun dalam jumlah sedikit. 3) Infeksi rekurens (infeksi kambuhan) Bila penderita sebelumnya telah pernah berkontak dengan virus ini sebagai infeksi primer, kebanyakan penderita akan mengalami infeksi kambuhan (rekurens). Infeksi ini berarti VHS pada ganglion dorsalis yang dalam keadaaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif dan mencapai kulit sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual, dll), trauma psikis (gangguan emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis makanan yang merangsang (pedas, daging kambing) dan minuman yang merangsang (alkohol). Lesi pada infeksi kambuhan ini biasanya lebih kecil dan lebih sedikit, tidak begitu terasa sakit. Gejala klinis yang timbul lebih ringan dari pada infeksi primer dan berlangsung kira-kira 7-10 hari. Sering ditemukan gejala prodromal lokal sebelum timbul vesikel berupa rasa panas, gatal, dan nyeri. Infeksi rekurens ini dapat timbul

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 23

pada tempat yang sama (loco) atau tempat lain/tempat di sekitarnya (non loco). Penderita yang mengabaikan penyakitnya dapat mengalami infeksi sekunder oleh kuman-kuman lain, sehingga gambaran klinisnya berubah menjadi luka yang kotor, berbau, dan disertai pembesaran getah bening regional. Infeksi sekunder dapat pula disertai oleh gejala sistemik, seperti demam, sakit kepala, badan lemas, dan muntah-muntah.

E. Manifestasi Klinis a. Inokulasi kompleks primer (primary inoculation complex). Infeksi primer herpes simpleks pada penderita usia muda yang baru pertama kali terinfeksi virus ini dapat menyebabkan reaksi lokal dan sistemik yang hebat. Manifestasinya dapat berupa herpes labialis. Dalam waktu 24 jam saja, penderita sudah mengalami panas tinggi (3940oC), disusul oleh pembesaran kelenjar limfe submentalis, pembengkakan bibir, dan lekositosis di atas 12.000/mm3, yang 7580%nya berupa sel polimorfonuklear. Terakhir, bentuk ini diikuti rasa sakit pada tenggorokan. Insidens tertinggi terjadi pada usia antara 1-5 tahun. Waktu inkubasinya 3-10 hari. Kelainan akan sembuh spontan setelah 2-6 minggu. b. Herpes gingivostomatitis. Kebanyakan bentuk ini terjadi pada anakanak dan orang dewasa muda. Manifestasi klinis berupa panas tinggi, limfadenopati regional dan malaise. Lesi berupa vesikel yang memecah dan terlihat sebagai bercak putih atau ulkus. Kelainan ini dapat meluas ke mukosa bukal, lidah, dan tonsil, sehingga mengakibatkan rasa sakit, bau nafas yang busuk, dan penurunan nafsu makan. Pada anak-anak dapat terjadi dehidrasi dan asidosis. Kelainan ini berlangsung antara 2-4 minggu. c. Infeksi herpes simpleks diseminata. Bentuk herpes ini terjadi pada anak-anak usia 6 bulan sampai 3 tahun, dimulai dengan herpes gingivostomatitis berat. Jenis ini dapat mengenai paru-paru dan

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 24

menimbulkan viremia masif, yang berakibat gastroenteritis disfungsi ginjal dan kelenjar adrenal, serta ensefalitis. Kematian banyak terjadi pada stadium viremia yang berat. d. Herpes genitalis (progenitalis). Infeksi primer terjadi setelah melalui masa tunas 3-5 hari. Penularan dapat melalui hubungan seksual secara genito-genital, orogenital, maupun anogenital. Erupsinya juga berupa vesikel tunggal atau menggerombol,

bilateral, pada dasar kulit yang eritematus, kemudian berkonfluensi, memecah, membentuk erosi atau ulkus yang dangkal disertai rasa nyeri. 31% penderita mengalami gejala konstitusi berupa demam, malaise, mialgia, dan sakit kepala; dan 50% mengalami

limfadenopati inguinal.

F. Insiden Karena HSV tidak dapat disembuhkan maka persentasi orang yang terinfeksi meningkat seiring dengan usia. Sekitar 1 dari 4 perempuan dan 1 dari 5 laki-laki terinfeksi oleh virus herpes genitalis. Kerentanan terhadap infeksi herpes bervariasi. HSV lebih sering dijumpai pada perempuan daripada laki-laki, mungkin karena luas permukaan mukosa saluran genetalia perempuan yang lebih besar dan terjadinya kerusakan mikro di mukosa selam hubungan kelamin. Dibandingkan dengan populasi umum, orang yang terinfeksi oleh HIV lebih rentan terhadap infeksi HSV dan lebih menular ke orang lain setelah HSV-1 sedikit banyak

terjangkit virus ini. Orang yang seropositif

tampaknya terproteksi dari infeksi HSV-2. Karena infeksi HSV tidak mengancan nyawa dan sering ringan atau asimtomatik, maka banyak orang yang tidak menyadari besarnya penyakit ini.

G. Komplikasi - Infeksi bakteri sekunder - Eritema multiforme portherpetika

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 25

H. Tes Diagnostik Pada sebagian besar kasus, herpes genetalis dapat didiagnosis secara klinis saat infeksi akut atau rekuren. Sebelum ditemukannya uji amplifikasi DNA, biakan virus terhadap vesikel atau pustule

merupakan baku emas untuk diagnosis. Biakan yang diambil dari lesi yang sudah berkrusta dan infeksi rekuren kurang sensitive, dan sering menyebabkan hasil uji negatif. Tersedia uji deteksi antigen dengan EIA atau uji fluoresensi langsung yang cepat dan murah. Herpes genetalis dilaporkan menyebabkan kelainan pada asupan papanicolaou (pap smear), walaupun tidak bersifat diagnostic. Karena tingginya frekuensi infeksi yang asimtomatik dan non tipikal maka dianjurkan pemeriksaan penyaring terhadap kelompok beresiko tinggi. Pada percobaan Tzanck dengan perwarnaan Giemsa dari bahan

vesikel dapat ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear.

I.

Penatalaksanaan medis Karena infeksi HSV tidak dapat disembuhkan, maka terapi ditujukan untuk mengendalikan gejala dan menurunkan pengeluaran virus. Obat antivirus analog nukleosida merupakan terapi yang

dianjurkan. Obat-obatan ini bekerja dengan menyebabkan deaktivasi atau mengantagonisasi DNA polymerase HSV yang pada gilirannya

menghentikan sintesis DNA dan replikasi virus. Tiga obat antivirus yang dianjurkan oleh petunjuk CDC 1998 adalak asiklovir, famsiklovir, dan valasiklovir. Obat antivirus harus dimulai sejak awal tanda kekambuhan untuk mengurangi dan mempersingkat gejala. Apabila obat tertunda sampai lesi kulit muncul, maka gejala hanya memendek 1 hari. Pasien yang mengalami kekambuhan 6 kali atau lebih setahun sebaiknya ditawari terapi supresif setiap hari yang dapat mengurangi frekuensi kekambuhan sebesar 75%.

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 26

Terapi topical dengan krim atau salep antivirus tidak terbukti efektif. Terapi supresif atau profilaksis dianjurkan untuk mengurangi resiko infeksi perinatal dan keharusan melakukan seksio sesarea pada wanita yang positif HSV. Vaksin untuk mencegah infeksi sekarang sedang diteliti. HSV-2

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 27

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 PRURITUS PENGKAJIAN 1. Biodata Cantumkan biodata klien secara lengkap yang mencakup umur, jenis kelamin, suku bangsa. 2. Keluhan utama Biasanya klien datang ke tempat pelayanan kesehatan dengan keluhan gatal pada kulitnya, intensitas gatal lebih sering terasa pada malam hari. 3. Riwayat penyakit sekarang Factor pencetus timbulnya pruritus dapat disebabkan oleh adanya kelainan sistemik internal seperti diabetes melitus, kelainan darah atau kanker, penggunaan preperat oral seperti aspirin , terapi antibiotic, hormone. Adanya alergi, baru saja minum obat yang baru, pergantian kosmetik dapat menjadi factor pencetus adanya pruritus. Tanda-tanda infeksi dan bukti lingkungan seperti udara yang panas, kering, atau seprei/selimut yang menyebabkan iritasi, harus dikenal. Pruritus dapat terjadi pada orang yang berusia lanjut sebagai akibat dari kulit yang kering. 4. Riwayat penyakit dahulu Pruritus merupakan penyakit yang hilang/ timbul, sehingga pada riwayat penyakit dahulu sebagian besar klien pernah menderita penyakit yang sama dengan kondisi yang dirasa sekarang. 5. Riwayat penyakit keluarga Diduga factor genetic tidak mempengaruhi timbulnya pruritus. Kecuali dalam keluarga ada kelainan sistemik internal yang bersifat herediter mungkin juga mengalami pruritus.

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 28

6. Riwayat psikososial Rasa gatal dapat pula disebabkan oeh factor psikologik seperti stress yang berlebihan dalam keluarga atau lingkunagn kerja. Pruritus menimbulkan gangguan rasa nyaman dan perubahan integritas kulit. Rasa gatal yang hebat akan menganggu penampilan pasien.

DIAGNOSA 1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya lesi, erosi. 2. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan adanya kerusakan integritas kulit. 3. Pola tidur tidak efektif berhubungan dengan adanya rasa gatal. 4. Resiko terhadap infeksi berhubungan dengan adanya lesi. 5. Kurang pengetahuan kurang terpapar informasi.

INTERVENSI KEPERAWATAN 1. Perawat harus menegaskan kembali alasan program terapi dan masalah spesifik yang dialami klien. 2. Jika mandi rendam, ingatkan gunakan air suam-suam kuku dan mengibaskan air yang berlebihan, keringkan daerah lipatan menggunakan handuk dengan cara ditekan-tekan. 3. Menggosok kulit kuat-kuat dengan handuk harus dihindari, karena overstimulasi kulit yang akan menambah rasa gatal dan menghilangkan air dari stratum korneum. 4. Segera lumasi dengan preparat emolien yang akan mempertahankan kelembaban kulit setelah mandi. 5. Beritahu klien untuk menghindari situasi penyebab vasodilatasi seperti kontak udara lingkungan panas, pemakaian alkohol,makan-minum panas yang dapat memicu peningkatan rasa gatal (Sher.1992).

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 29

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN 1. Lakukan pengkajian ulang atau validasi masalah klien 2. Tentukan tindakan keperawatan yang akan di lakukan untuk mengatasi masalah klien 3. Aplikasikan rencana tindakan tersebut ke dalam tindakan nyata 4. Prioritaskan tindakan yang lebih penting dulu 5. Catat semua perkembangan masalah klien

EVALUASI 1. Tanyakan pada klien apakah status kesehatannya sudah membaik 2. Lihat hasil perkembangan kesehatan terakhir 3. Dokumentasikan hasil evaluasi tersebut

PENDIDIKAN KESEHATAN 1. Higiene yang baik, hentikan konsumsi obat bebas. 2. Bilas daerah perianal dengan air hangat kuku kemudian dikeringkan dengan kapas, atau menggunakan tissu yang sudah dibasahi untuk membersihkan bekas defekasi. 3. Hindari mandi rendam dalam air yang terlalu panas dan tidak memakai larutan busa sabun, natrium biakrbonat,sabun deterjen, karena akan memperburuk kekeringan kulit. 4. Hindari pakaian dalam dari bahan sintetik, supaya kulit tetap kering. 5. Hindari anestesi lokal karena efek elergen.

3.2 IMPETIGO A. PENGKAJIAN 1. Identitas Penderita Dan Identita Orang Tua (Mencakup: Nama, Jenis Kelamin, Umur, Suku, Agama, Pekerjaan, Alamat) 2. Keluhan Utama. Misalnya Luka garukan di regio lumbal posterior dekstra 3. Riwayat Penyakit Sekarang. Misalnya : Menurut Ibu pasien mulai 10 hari yang lalu pasien mengeluhkan gatal pada regio lumbal posterior

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 30

dekstra, tanpa adanya keluhan gatal di daerah lain. Awalnya muncul vesikel, karena gatal, lalu digaruk oleh pasien kemudian vesikel pecah dan menimbulkan kerak. Vesikel-vesikel semakin lama semakin bertambah banyak dan menyebar. Pasien sudah dibawa berobat ke dokter, diberi salep dan tablet namun keluhan tidak berkurang. Akhirnya pasien berobat ke RSUD. 4. Riwayat Penyakit Dahulu. Misalnya : Pasien tidak pernah menderita penyakit seperti ini sebelumnya. 5. Riwayat Penyakit Keluarga. Ada atau tidak yang menderita penyakit yang sama dengan pasien. 6. Riwayat Pengobatan. Tanyakan, apakah Pernah berobat ke dokter umum? Apakah keluhan berkurang setelah diberi obat?. 7. Riwayat Alergi. Kaji apakah ada riwayat alergi makanan atau obat atau jenis alergi lainnya.

B. PEMERIKSAAN FISIK a. Status Generalis Kesadaran: komposmentis Keadaan Umum: baik Kepala/Leher: dalam batas normal Thorak Cor : S1S2 tunggal, lain-lain dalam batas normal Pulmo: Vesikuler, Rh-/-, Wh -/-, lain-lain dalam batas normal Abdomen: Soepel, bising usus (+), lain-lain dalam batas normal Ekstremitas: dalam batas normal Genitalia: dalam batas normal b. Status Lokalis Lokasi : regio lumbal dekstra bagian posterior Efloresensi : Pada pemeriksaan didapatkan lesi kulit berupa papula berisi cairan keruh, tidak dikelilingi daerah eritematus, selain itu juga ditemukan bekas bula yang pecah berupa kulit yang eritematus dengan krusta tipis kecoklatan pada bagian tepi.

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 31

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN Adapun diagnose keperawatan yang dapat jita angkat adalah : 1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi dan cedera mekanik (garukan pada kulit yang gatal) 2. Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan Daya tahan tubuh menurun, malnutrisi, proses inflamasi, dan prosedur infasif 3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan dalam penampilan sekunder

D. RENCANA TINDAKAN 1. Dx.I Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan Selama .x 24 jam diharapkan lapisan kulit klien terlihat normal, dengan KH : a. Integritas kulit yang bak dapat dipetahankan (sensasi, elastisitas, temperatur) b. Tidak ada luka atau lesi pada kulit c. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit serta perawatan alami d. Perfusi jaringan baik Rencana Tindakan Anjurkan pasien menggunakan pakaian yang longgar R : Baju yang longgar akan mengurangi gesekan baju pada kulit yang mengalami lesi e. Potong kuku dan jaga kebersihan tangan klien R : kuku yang pendek akan mengurangi garukan pada impetigo dan menghindari keparahan terjadinya lesi f. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering R : kulit yang bersih dan kering akan mengurangi penyebaran atau perkembangbiakan dari bakteri g. Monitor kulit akan adanya kemerahan R : untuk mengetahui perkembangan penyakit dan keefektifan tindakan yang telah dilakukan

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 32

h. Mandikan pasien dengan air hangat dan sabun (antiseptic) R : air hangat akan mengurangi ruam dan membunuh bakteri. Sabun anti septic dapat mengurangi atau membunuh bakteri pada kulit. i. Kolaborasi untuk pemberian antibiotic topical pada klien R : antibiotic topical dapat memtus atau menghambat dari pertumbuhan bakteri stap dan kolaborasi dapat mmempercepat proses pemulihan j. Berikan pengetahuan pada klien agar jangan menggaruk lukanya R : pengetahuan pasien pada proses pengobatan dapat

mempercepat keberhasilan proses keperawatan 2. Dx.2 Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama . X24jam diharapkan klien tidak terjadi resiko infeksi dengan KH : a. b. c. d. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi Menunjukkan perilaku hidup sehat Mendeskripsikan proses penularan penyakit, factor yang

mempengaruhi penularan Rencana Tindakan a. Monitor tanda dan gejala infeksi b. Monitor kerentanan terhadap infeksi c. Batasi pengunjung bila perlu d. Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat berkunjung dan setelah meninggalkan pasien e. Pertahankan lingkngan aseptic selama pengobatan berlangsung f. Berikan perawatan kulit pada area epidema g. Inspeksi kulit dan membrane mukosa terhadap kemerahan,panas h. Inspeksi kondisi luka i. Berikan terapi anibiotik bila perlu j. Ajarkan cara menghindari infeksi

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 33

3. Dx. 3 Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama . X24jam diharapkan klien tidak mengalami gangguan dalam cara penerapan citra diri dengan KH : a. mengungkapan penerimaan atas penyakit yang di alaminya b. mengakui dan memantapkan kembali system dukungan yang ada Rencana Tindakan c. Dorong individu untuk mengekspresian perasaan khususnya mengenai pikiran, pandangan dirinya d. Dorong individu untuk bertanya mengenai masalah penanganan, perkembangan kesehatan

E. IMPLEMENTASI Menurut Doenges (2000) implementasi adalah perawat

mengimplementasikan intervensi-intervensi yang terdapat dalam rencana perawatan. Menurut Allen (1998) komponen dalam tahap implementasi meliputi tindakan keperawatann mandiri, kolaboratif, dokumentasi, dan respon pasien terhadap asuhan keperawatan.

F. EVALUASI Evaluasi didasarkan pada kemajuan pasien dalam mencapai hasil akhir yang ditetapkan yaitu meliputi ; kesejahteraan fisik ibu dan bayi akan dipertahankan. Ibu dan keluarga akan mengembangkan koping yang efektif. Setiap anggota keluarga akan melanjutkan pertumbuhan dan perkembangan yang sehat. Perawat dapat yakin bahwa perawatan berlangsung efektif jika kesejahteraan fisik ibu dan bayi dapat dipertahankan, ibu dan keluarganya dapat mengatasi masalahnya secara efektif, dan setiap anggota keluarga dapat meneruskan pola pertumbuhan dan perkembangan yang sehat

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 34

3.3 HERPES 1. Pengkajian a) Biodata. Dapat terjadi pada semua orang di semua umur; sering terjadi pada remaja dan dewasa muda. Jenis kelamin; dapat terjadi pada pria dan wanita. Pekerjaan; beresiko tinggi pada penjaja seks komersial. b) Keluhan utama Gejala yang sering menyebabkan penderita datang ketempat palayanan kesehatan adalah nyeri pada lesi yang timbul. c) Riwayat penyakit sekarang Kembangkan pola PQRST pada setiap keluhan klien. pada beberapa kasus, timbul lesi/vesikel perkelompok pada penderita yang mengalami demam atau penyakit yang disertai peningkatan suhu tubuh atau pada penderita yang mengalami trauma fisik maupun psikis. Penderita merasakan nyeri yang hebat, terutama pada area kulit yang mengalami peradangan berat dan vesikulasi yang hebat. d) Riwayat penyakit dahulu Sering diderita kembali oleh klien yang pernah mengalami penyakit herpes simplek atau memiliki riwayat penyakit seperti ini. e) Riwayat penyakit kelarga Ada anggota keluarga atau teman dekat yang terinfeksi virus ini. f) Kebutuhan psikososial Klien dengan penyakit kulit, terutama yang lesinya berada pada bagian muka atau yang dapat dilihat oleh orang, biasanya mengalami gangguan konsep diri.hal itu meliputi perubahan citra tubuh, ideal diri tubuh, ideal diri, harga diri, penampilan peran, atau identitas diri. Reaksi yang mungkin timbul adalah: a) Menolak untuk menyentuh atau melihat salah satu bagian tubuh. b) Menarik diri dari kontak social. c) Kemampuan untuk mengurus diri berkurang.

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 35

g) Kebiasaan sehari-hari. Dengan adanya nyeri, kebiasaan sehari-hari klien juga dapat mengalami gangguan, terutama untuk istirahat/tidur dan aktivitas. Terjadi gangguan BAB dan BAK pada herpes simpleks genitalis. Penyakit ini sering diderita oleh klien yang mempunyai kebiasaan menggunakan alat-alat pribadi secara bersama-sama atau klien yang mempunyai kebiasaan melakukan hubungan seksual dengan

berganti-ganti pasangan. h) Pemeriksaan fisik Keadaan umum klien bergantung pada luas, lokasi timbulnya lesi, dan daya tahan tubuh klien. pada kondisi awal/saat proses peradangan, dapat terjadi peningkatan suhu tubuh atau demam dan perubahan tanda-tanda vital yang lain. Pada pengkajian kulit, ditemukan adanya vesikel-vesikel berkelompok yang nyeri, edema di sekitar lesi, dan dapat pula timbul ulkus pada infeksi sekunder. Perhatikan mukosa mulut, hidung, dan penglihatan klien. pada pemeriksaan genitalia pria, daerah yang perlu diperhatikan adalah bagian glans penis, batang penis, uretra, dan daerah anus. Sedangkan pada wanita, daerah yang perlu diperhatikan adalah labia mayor dan minor, klitoris, introitus vagina, dan serviks. Jika timbul lesi, catat jenis, bentuk, ukuran / luas, warna, dan keadaan lesi. Palpasi kelenjar limfe regional, periksa adanya pembesaran; pada beberapa kasus dapat terjadi pembesaran kelenjar limfe regional. Untuk mengetahui adanya nyeri, kita dapat mengkaji respon individu terhadap nyeri akut secara fisiologis atau melalui respon perilaku. Secara fisiologis,terjadi diaphoresis, peningkatan denyut jantung, peningkatan pernapasan, dan peningkatan tekanan darah; pada perilaku, dapat juga dijumpai menangis, merintih, atau marah. Lakukan pengukuran nyeri dengan menggunakan skala nyeri 0-10 untuk orang dewasa. Untuk anak-anak, pilih skala yang sesuai dengan usia perkembangannya kita bisa menggunakan skala wajah untuk mengkaji nyeri sesuai usia; libatkan anak dalam pemilihan.

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 36

2. Diagnosa keperawatan a. Nyeri akut b.d inflamasi jaringan b. Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan, sekunder akibat penyakit herpes simpleks c. Risiko penularan infeksi b.d pemajanan melalui kontak (kontak langsung, tidak langsung , kontak droplet) 3. Intervensi keperawatan a. Nyeri akut b.d inflamasi jaringan Hasil yang diharapkan: Klien mengungkapkan nyeri hilang / berkurang Menunjukkan mekanisme koping spesifik untuk nyeri dan metode untuk mengontrol nyeri secara benar. Klien menyampaikan bahwa orang lain memvalidasi adanya nyeri. Rencana Keperawatan: Kaji kembali faktor yang menurunkan toleransi nyeri. Kurangi atau hilangkan faktor yang meningkatkan pengalaman nyeri. Sampaikan pada klien penerimaan perawat tentang responsnya terhadap nyeri ; akui adanya nyeri , dengarkan dan perhatikan klien saat mengungkapkan nyerinya bertujuan untuk lebih memahaminya. Kaji adanya kesalahan konsep pada keluarga tentang nyeri atau tindakannya. Beri informasi atau penjelasan pada klien dan keluarga tentang penyebab rasa nyeri. Diskusikan dengan klien tentang penggunaan terapi distraksi, relaksasi, imajinasi , dan ajarkan tehnik / metode yang dipilih. Jaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan sekitar klien Kolaborasikan dengan tim medis untuk pemberian analgesik Pantau TTV

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 37

Kaji kembali respons klien terhadap tindakan penurunan rasa nyeri. b. Gangguan citra tubuh b.d perubahan penampilan, sekunder akibat penyakit herpes simpleks Hasil yang diharapkan: Klien mengatakan dan menunjukkan penerimaan atas

penampilannya. Menunjukkan keinginan dan kemampuan untuk melakukan perawatan diri. Melakukan pola-pola penanggulangan yang baru. Rencana keperawatan : Ciptakan hubungan saling percaya antara klien-perawat. Dorong klien untuk menyatakan perasaannya, terutama tentang cara ia merasakan, berpikir, atau memandang dirinya. Jernihkan kesalahan konsepsi individu tentang dirinya,

penatalaksanaan, atau perawatan dirinya. Hindari mengkritik. Jaga privasi dan lingkungan individu. Berikan informasi yang dapat dipercaya dan penjelas informasi yang telah diberikan. Tingkatkan interaksi social. o o Dorong klien untuk melakukan aktivitas. Hindari sikap terlalu melindungi , tetapi terbatas pada permintaan individu. Dorong klien dan keluarga untuk menerima keadaan. Beri kesempatan klien untuk berbagi pengalaman dengan orang lain. Lakukan diskusi tentang pentingnya mengkomunikasikan

penilaian klien dan pentingnya system daya dukungan bagi mereka. Dorong klien untuk berbagi rasa, masalah, kekuatiran, dan persepsinya.

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 38

c.

Risiko penularan infeksi b.d pemajanan melalui kontak (kontak langsung, tidak langsung, kontak droplet) Hasil yang diharapkan: Klien menyebutkan perlunya isolasi sampai ia tidak lagi menularkan infeksi. Klien dapat menjelaskan cara penularan penyakit. Rencana keperawatan: Jelaskan tentang penyakit herpes simpleks, penyebab, cara penularan, dan akibat yang ditimbulkan. Anjurkan klien untuk menghentikan kagiatan hubungan seksual selama sakit dan jika perlu menggunakan kondom. Beri penjelasan tentang pentingnya melakukan kegiatan seksual dengan satu orang (satu sama lain setia) dan pasangan yang tidak terinfeksi (hubungan seks yang sehat). Lakukan tindakan pencegahan sesuai: o o o o Cuci tangan sebelum dan setelah ke semua klien atau kontak dengan specimen. Gunakan sarung tangan setiap kali melakukan kontak langsung dengan klien Anjurkan klien dan keluarga untuk memisahkan alat-alat mandi klien, dan tidak menggunakannya bersama. Kurangi transfer pathogen dengan cara mengisolasi klien selama sakit (Karena penyakit ini disebabkan oleh virus yang dapat menular melalui udara).

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 39

BAB IV PENUTUP

4.1 KESIMPULAN Pruritus adalah sensasi kulit yang iritatif dan ditandai oleh rasa gatal, serta menimbulkan rangsangan untuk menggaruk. Pruritus dapat disebabkan oleh berbagai macam gangguan. Secara umum, penyebab pruritus dapat diklasifikasikan menjadi lima golongan: Pruritus local, Gangguan sistemik, Gangguan pada kulit, Pajanan terhadap factor tertentu, Hormonal. Penatalaksanaan pruritus sangat bergantung pada penyebab rasa gatal itu sendiri. Sementara pemeriksaan untuk mencari penyebab pruritus dilakukan, terdapat beberapa cara untuk mengatasi rasa gatal sehingga menimbulkan perasaan lega pada penderita, yaitu: Pengobatan topical dan Pengobatan dengan medikasi oral Impetigo adalah infeksi kulit yang disebabkan oleh Stafilokokus aureus, Streptokokus grup A, atau kombinasi keduanya. Ada 2 jenis impetigo yaitu impetigo bulosa dan impetigo non-bulosa. Pengobatan impetigo adalah dengan antibiotik (dapat berupa salep atau antibiotik oral). Menjaga kebersihan tubuh merupakan cara terbaik untuk mencegah terjadinya impetigo pada anak. Herpes merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh virus. Terdiri dari herpes simpleks yang disebabkan oleh virus herpes simpleks tipe I dan II, dan herpes zoster yang disebabkan oleh virus varisela zoster.

4.2 SARAN Bila merasakan gatal pada bagian tertentu sebaiknya tidak menggaruk karena garukan menyebabkan terjadinya inflamasi sel dan pelepasan histamine oleh ujung saraf yang memperberat gejala pruritus yang selanjutnya menghasilkan lingkaran setan rasa gatal dan menggaruk., oleh karena itu, sebagai perawat harus bisa memberikan asuhan keperawatan pada klien yang tepat sehingga dampak yang timbul bisa diatasi.

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 40

DAFTAR PUSTAKA

Djuanda, Adhi. 2000. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Cet. 2, ed. 3. Jakarta : FKUI. Harahap, Marwali. 2000. Ilmu penyakit Kulit, Cet. 1. Jakarta : Hipokrates. Hartanto, Hurawati.2009. Kamus Saku Mosby. Jakarta. EGC Hinchliff, Sue. 1999. Kamus Keperawatan, Edisi 17. Jakarta : EGC Johnson, Marion, dkk. 2000. IOWA Intervention Project Nursing Outcomes Classifcation (NOC), Second edition. USA : Mosby. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Ed. III. Jil. 2. Jakarta : Media Aesculapius. McCloskey, Joanne C. dkk. 1996. IOWA Intervention Project Nursing Intervention Classifcation (NIC), Second edition. USA : Mosby. Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses Proses Penyakit II. Ed. 6, Cet. 1 : Jil. II Jakarta: EGC. Rahariyani, Loetfia Dwi. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Integumen. Jakarta: EGC Ramali, Ahmad. 2005. Kamus Kedokteran: Arti dan Keterangan Istilah., cetakan 26. Jakarta : EGC. Smeltzer, Suzanne C. 2002. Bukur Ajar Keperawatan Medikal Bedah III, ed. 8, Cet 2, jil. III. Jakarta : EGC. http://apuz-askep.blogspot.com/2011/06/askep-pruritus_13.html http://www.scribd.com/doc/41378481/ASKEP-PRURITUS-MSWord

KMB III | Akademi Keperawatan Subang | 41

You might also like