You are on page 1of 21

MAKALAH SOCIAL AND POLITICAL MARKETING EFEKTIFITAS PEMASARAN POLITIK TERHADAP PENINGKATAN ELEKTABILITAS CALON PEMIMPIN DAERAH

DISUSUN OLEH : RINI NURHASANAH NPM. A1B. 10. 0015

JURUSAN ADMINISTRASI BISNIS FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS SUBANG 2013

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya maka tugas ini dapat diselesaikan. Atas semua bantuan yang telah diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penyusunan tugas ini hingga selesai, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak. Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini belum sempurna, baik dari segi materi meupun penyajiannya. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan tugas ni. Terakhir penulis berharap, semoga tugas akhir ini dapat memberikan hal yang bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi penulis juga.

Subang, Juni 2013

Penyusun

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................... 1 BAB II PEMBAHASAN............................................................................................ 3 BAB III PENUTUP .................................................................................................... 11

ii

BAB I PENDAHULUAN

Di era multipartai seperti sekarang ini, marketing politik menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan. Bukan hanya partai-partai baru dan relatif kecil pendukungnya yang memerlukan marketing politik guna mengontrol citra dan popularitasnya agar dapat menangguk suara yang memadai, tetapi juga partai-partai besar yang telah eksis dan mapan pun tidak bisa meremehkan kehadiran instrumen yang satu ini. Ini kalau mereka tidak ingin suaranya tergerus atau melorot posisinya pada pemilu. Aktivfitas marketing politik pun sudah merambah ke media massa, baik cetak, online maupun elektronik. Pemilih dalam hal ini lebih mengutamakan kemampuan partai politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau platform partai bisa dianalisis dalam dua hal: (1) kinerja partai di masa lampau , dan (2) tawaran program untuk menyelesaikan permasalahan nasional yang ada. Pemilih tidak hanya melihat program kerja atau platform partai yang berorientasi ke masa depan, tetapi juga menganalisis apa saja yang telah dilakukan oleh partai tersebut di masa lampau. Kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanivestasikan pada reputasi dan citra ([I]image[/I]) yang berkembang di masyarakat. Dalam konteks ini yang lebih utama bagi partai politik dan kontestan adalah mencari cara agar mereka bisa membangun reputasi di depan publik dengan mengedepankan kebijakan untuk mengatasi permasalahan nasional. Selain itu, informasi teoritis yang berkaitan dengan [I]Marketing Politik[/I] kurang populer di kalangan paraktisi politik, dan pengamat politik, baik di daerah maupun di perguruan tinggi. Akhir-akhir ini marketing sudah banyak diterapkan dalam politik, institusi politik pun

membutuhkan pendekatan alternatif untuk membangun hubungan dengan, konstituen dan masyarakat luas, dalam hal ini marketing sebagai disiplin ilmu yang berkembang dalam dunia bisnis yang di asumsikan berguna bagi institusi politik. Di Indonesia marketing politik disinyalir mulai digunakan sejak tahun 1990-an. Tapi di dunia, marketing politik digunakan sejak sebelumnya Perang Dunia II, yaitu pertama kali pada tahun 1917 ketika Partai Buruh di Inggris meresmikan Departemen Publikasi dibantu oleh agen publikasi Egerton Wake. Sedangkan di Amerika Serikat pertama kali digunakan pada tahun 1926 ketika pesan politik dilakukan melalui media cetak seperti poster pamflet, koran dan majalah (Firmanzah, 2007).

BAB II PEMBAHASAN

Konsep Marketing Politik Pada dasarnya political marketing adalah strategi kampanye politik untuk membentuk serangkaian makna politis tertentu dalam pikiran para pemilih. Serangkain makna politis yang terbentuk dalam pikiran para pemilih menjadi oreantasi perilaku yang akan mengarahkan pemilih untuk memilih kontestan tertentu. Makna politis inilah yang menjadi output penting [I]political marketing[/I] yang menentukan pihak mana yang akan dicoblos oleh para pemilih. Sejatinya marketing dan politik adalah dua disiplin ilmu yang bertolak-belakang. Rasionalitas marketing mengacu pada persaingan dengan tujuan memenangkannya secara efektif. Pada titik ini marketing menjadi media untuk meraih keuntungan semaksimal mungkin. Sebaliknya rasionalitas politik bergerak pada tataran proses menciptakan tatanan masyarakat yang ideal melalui sistematisasi perebutan kekuasaan. Di era multipartai seperti sekarang ini, marketing politik menjadi kebutuhan yang tidak terhindarkan. Bukan hanya partai-partai baru dan relatif kecil pendukungnya yang memerlukan marketing politik guna mengontrol citra dan popularitasnya agar dapat menangguk suara yang memadai, tetapi juga partai-partai besar yang telah eksis dan mapan pun tidak bisa meremehkan kehadiran instrumen yang satu ini. Ini kalau mereka tidak ingin suaranya tergerus atau melorot posisinya pada pemilu mendatang. Inilah kemudian yang menjadi dasar pemikiran dikawinkannya marketing dengan politik, metode dan

pendekatan yang terdapat dalam ilmu marketing dapat membantu institusi politik untuk membawa produk politik, distribusi produk politik, kepada

publik

dan

menyakinkan

bahwa

produk

politiknya

lebih

unggul

dibandingkan dengan pesaing. Pengunaaan metode marketing dalam bidang politik dikenal sebagai marketing politik ([I]political marketing[/I]), dalam marketing politik yang ditekankan adalah pengunaaan pendekatan dan metode marketing untuk membantu politikus dan partai politik agar lebih efesien dan lebih efektif membangun dua arah dengan konstituen dan masyarakat, hubungan ini diaartikan secara luas, dari kontak fisik selama periode kampanye sampai dengan komonikasi tidak langsung melalui pemberitaan di media massa. Marketing politik telah menjadi suatu fenomena, tidak hanya dalam ilmu politik, tetapi juga memunculkan beragam pertanyaan para marketer yang selama ini sudah terbiasa dalam konteks dunia usaha. Tentunya

terdapat beberapa asumsi yng mesti dilihat untuk tidak memahami marketing politik, karena konteks dunia politik memang banyak politik berbeda dengan

mengandung perbedaan dengan dunia usaha,

produk retail, sehinga akan berbeda pula muatanya yang ada diantara keduanya, politik terkait erat dengan pernyataan sebuah nilai. Tidak hanya itu, aktivitas marketing politik pun sudah merambah ke media massa, baik cetak, online maupun elektronik. Beberapa parpol pasang iklan di koran-koran serta tokoh-tokohnya mulai media

mengkampanyekan kelebihan dan keunggulan partainya di

elektronik. Bahkan, beberapa figur anggota calon legislatif secara diamdiam menjalin kerjasama dengan lembaga riset tertentu untuk mengukur kansnya lolos sebagai anggota legislatif. Jika dipetakan, aktivitas marketing politik yang dilakukan oleh partai politik dan para tokohnya itu rata-rata baru sebatas pemanfaatan peran media massa (publikasi) dan riset pasar/politik. Untuk riset politik, sudah lama dimanfaatkan oleh elit parpol atau kandidat parpol yang maju dalam Pilkada, dan riset untuk para caleg baru menjelang Pemilu 2009 saat ini.

Kekhawatiran akan rusaknya sistem sosial akibat perkawinan ini tampaknya ingin disanggah oleh Firmanzah dengan mengutip statement A. OCass yang berkisar pada kontekstualitas marketing. Marketing kata OCass secara filosofis menjadi suatu untuk mengetahui apa yang diinginkan dan dibutuhkan masyarakat (baca: pemilih). Agar marketing politik dapat efektif, maka partai politik atau politisi harus mampu merumuskan satu fokus atas sasaran yang akan dituju. Partai politik harus mampu mengenali konstituennya, simpatisannya dan terus menerus mengamati apa yang dilakukan oleh para pesaingnya. Dengan demikian, maka partai politik akan mampu merumuskan Citra Target yang diinginkan dan mempunyai fokus dalam membidik targetnya. Karena itu, pemahaman awal terhadap Marketing Politik yang diberikan ketika perkuliahan disosialisasikan ke kalangan masyarakat level menengah ke bawah dapat memberikan informasi dan stimulus berupa dukungan seluruh kalangan masyarakat untuk terlibat dalam memotivasi masyarakat dan pengurus Partai politik untuk meningkatkan pemahaman pemilu. Melalui penelitian ini, diharapkan dapat membuka wacana baru mengenai Marketing Politik dalam sebuah pendekatan baru dalam memenangkan baik dalam pemilihan presiden, Gubernur, Bupati, DPD, dan lain-lain. Adapun konsep Marketing politik dalam domain politik buku

Firmansyah, Marketing Politik dengan Judul buku; Marketing Politik: Antara Pemahaman Dan Ralita. 1. Oreantasi Pasar Dalam iklim persaingan, entitas yang melakukan persaingan harus mengahadapi kenyataan bahwa mereka bersaing untuk memperebutkan konsumen, untuk memenangkan persaingan dalam politik, partai harus memuaskan kebutuhan masyarakat luas, kebutuhan yang dimaksud tentu kebutuhan politik, masyarakat membutuhkan produk politik

seperti program kerja, idiologi, harapan dan figur pemimpin yang dapat memberikan rasa pasti untuk menghadapi masa depan, tidak hanya itu, politik juga harus mampu menyakinkan, masyarakat bahwa inilah cara yang dapat menyelesaikan masalah pada masa kini. 2. Orentasi Persaingan Kondisi multi partai semakin meningkatkan kesadaran akan persaingan yang sehat, bebas kolosi dan intervensi pemerintah terbukti telah membuat partai partai politik mengahadapi kenyataan bahwa mereka harus bersaing langsung dengan para lawan atau pesaing. Persaingan sangat dibutuhkan oleh partai politik karena beberapa hal. Pertama melalui persangan partai dapat mengevaluasi secara objektif apakah yang mereka lakukan sudah benar atau tidak, benar atau

tidaknya dilihat melalui perolehan suara sendiri jika dibandingkan dengan rival utama mereka, apabila perolehan suara mereka lebih tinggi dibandingkan dengan rival, apabila perolehan suara lebih tinggi di bandingkan dengan pesaing utama, berarti pemilih partai tersebut

memiliki nilai dibandingan dengan yang lain, persaingan dibutuhkan untuk terus memotivasi partai politik agar berusaha lebih bagus dan tidak mudah puas dengan apa yang telah di raih. 3. Oreantasi Konsumen Hal penting yang harus dimiliki oleh partai adalah kemampuan alam menilai dan mengevaluasi siapa konsumen mereka . Pemilih menurut popkin (1994) akan memilih partai atau kandidit yang memiliki kedekatan idiologi dan kebijakan. Partai atau kandidat harus memiliki hubungan erat terkait aktivitas dengan masyarakat, konsumen dalam hal ini masyarakat harus ditampung aspirasinya dan diterjemahkan dalam bentuk program kerja, masyarakat adalah inspirasi dan ide untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.

Kemenangan partai politik dalam setiap pemilu dan terpilihnya kepala daerah dan menang dalam pemilukada tidak terlepas dari marketing politik (Firmanzah, 2009: 120). Inilah kemudian yang menyebabkan mereka berhasil membentuk citra yang baik dibanding para

kompetitornya atau para kontestan yang lain. Hal ini terlihat dalam kutipan pada bab kata pengantar oleh firmanzahdalam buku Marketing Politik Antara Pemahaman dan Realitas.

Media Massa Sebagai Saluran Marketing Politik Media massa merupakan jenis media yang ditunjukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Perkataan dapat menjadi sangat rasional karena seperti dikatakan Alexis S.Tan, komunikator dalam media massa ini merupakan suatu organisasi sosial yang mampu memproduksi pesan dan mengirimkannya secara simultan kepada sejumlah besar masyarakat yang secara spasial terpisah. Dengan daya jangkau yang relatif luas dan dalam waktu yang serentak, mampu memainkan peran dalam propaganda. Relevan dengan pendapat Cassata dan Asante, seperti dikutip Jalaluddin Rakhmat, bila arus komunikasi massa ini hanya dikendalikan oleh komunikator, situasi dapat menunjang persuasi yang efektif. Sebaliknya bila khalayak dapat mengatur arus informasi, situasi komunikasi akan mendorong belajar yang efektif. Dalam konteks era informasi sekarang ini, institusi media massa seperti televisi dan surat kabar dipercaya memiliki kemampuan dalam menyelenggarakan produksi, reproduksi dan distribusi pengetahuan secara signifikan. Serangkaian simbol yang memberikan makna tentang realitas ada dan pengalaman dalam kehidupan, bisa ditransformasikan media massa dalam lingkungan publik. Sehingga bisa

diakses anggota masyarakat secara luas. Tentu saja dalam perkembangnnya, banyak pihak yang terlibat dalam pemanfaatan media massa. Ada 6 (enam) jenis riset berikutnya yang penting dilakukan adalah riset marketing politik untuk memantau perkembangan opini publik. Pertama, focus group analysis, dilakukan beberapa bulan sebelum pemilihan. Idealnya 12-14 bulan sebelum pemilihan. Riset dilakukan dengan membentuk empat sampai lima group diskusi yang masing-masing terdiri dari 8 sampai 12 orang. Kedua, benchmark survey, untuk mengetahui perincian kekuatan dan kelemahan kontestan-kontestan yang bersaing. Pada survei ini diketahui juga peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan dan tantangan atau ancaman yang mesti diantisipasi. Idealnya banchmark survey ini dilakukan 10 hingga 12 bulan sebelum pilkada dengan melibatkan 500 sampai 1.200 responden. Ketiga, focus group analysis after benchmark, dengan melibatkan beberapa grup yang terdiri dari 8 sampai 12 partisipan, untuk

mendiskusikan secara mendalam hasil benchmark survey. Keempat, trend survey yang dilakukan beberapa bulan setelah benchmark poll. Hal ini dilakukan beberapa bula setelah benchmark poll, ketika kampanye sedang berjalan dimana masing-masing kontestan sudah menjalankan strateginya. Survei ini melibatkan 500 sampai 1.200 pemilih. Kelima, [I]dial meter[/I] atau tes pasar tentang iklan kontestan dan iklan pesaing berdasarkan hipotesis kandidat sebelum iklan disiarkan. Tes ini biasanya melibatkan 30 sampai 40 orang partisipan untuk melihat bagaimana respons partisipan terhadap iklan yang akan disiarkan. Supaya hasil marketing politik lebih maksimal, maka kandidat sebaiknya di samping berkutat pada pemanfaatan akses media massa dan riset politik belaka, tetapi perlu ditambah dengan pola atau strategi lain yang lebih kreatif dan inovatif. Karena sejatinya aktivitas marketing[/I] politik tidak hanya terpaku pada 2 hal itu saja tapi masih banyak yang lain.

10

Pertama,

karena

marketing

politik

lebih

daripada

sekadar

komunikasi politik, menurut Lees-Marshmant (2001), ia mesti diaplikasikan pada seluruh roses organisasi partai politik. Tidak hanya pada momentum menjelang pilkada atau tahapan pemilu saja ia diejawantahkan, tetapi harus sedini mungkin, misalnya pada tahap bagaimana memformulasikan produk politik lewat penciptaan simbol, image, platform, isu politik hingga program kerja. Kedua, dalam menerapkan marketing politik seyogianya

menggunakan konsep marketing secara luas, tidak hanya pada teknik marketing, tetapi juga sampai pada strategi marketing mulai dari teknik publikasi, menawarkan ide dan program, serta desain produk hingga ke market intelligent dan pemrosesan informasi. Ketiga, dalam menerapkan marketing politik hendaknya juga melibatkan disiplin ilmu komunikasi, sosiologi, dan psikologi. Hal ini karena produk politik merupakan fungsi dari pemahaman komunikasi dan sosiologis mengenai simbol dan identitas, sedangkan faktor psikologisnya adalah kedekatan emosional dan karakter seorang pemimpin hingga pada aspek rasionalitas platform partai. Keempat, penerapan konsep marketing politik jangan hanya berhenti hingga pemilihan umum tapi juga harus terus berlanjut setelah itu, yaitu proses lobi politik di parlemen. Justru di situlah efektivitas marketing politik dipertaruhkan. Yang pasti, jika masing-maisng kandidat peserta pilkada ingin mendulang sukses dan meraih dukungan sebanyak-banyak dari rakyat dan masyarakat, penggunaan marketing politik (political marketing) yang efektif dan komprehensif sejak dini menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kalau tidak, Anda komunitas politik siap-siap gigit jari. Pilkada sebagai suatu proses transaksi political trading dalam jangka panjang dapat dikategorikan sebagai political investment. Agar tidak terjadi kolaborasi kohesif-negatif antara pemilih dengan kandidat setelah

11

kemenangan dicapai yang akan syarat dengan politik balas budi (rewarding politics) dan berpotensi KKN, dibutuhkan adanya accountable politic, yakni etika politik yang diinstitusionalisasikan dengan kekuatan hukum positif bersanksi (law enforcement). Jika tidak terbangun moral politik yang baik dan benar, sukses pilkada hanya dalam pelaksanaan pilkada (3 bulan) akan tetapi tidak menghasilkan pemimpin yang sukses membangung pascapilkada (5 tahun). Kandidat terpilih diharapkan mampu membangun hubungan dengan konstituen dalam jangka panjang dengan jaringan berskala translokal. Sangat memungkinkan apabila sukses (memimpin dengan baik, dan mengelola administrasi dengan benar), akan mempermudah membangun political marketing.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Eletabilitas Figur Calon Kepala Daerah Secara garis besar faktor tersebut dapat diakatagorikan menjadi dua bagian yaitu pengaruh faktor internal dan pengaruh faktor eksternal. Kedua faktor tersebut dapat dilihat dari orientasi dan tujuan seseorang dalam memilih calon walikota. Sebab, setiap masyarakat memiliki tujuan dan orientasi yang berbeda-beda dalam hidupnya, termasuk dalam percaturan dunia politik. Semua usaha yang mereka lakukan mempunyai dasar dan alasan yang berbeda-beda. Hal tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor kepentingan. Sikap dan tingkah laku politik seseorang ditentukan oleh apa yang terkandung di dalam dirinya sendiri, seperti idealisme, tingkat kecerdasan, faktor biologis, keinginan, dan kehendak hatinya. Juga dipengaruhi oleh suasana lingkungan-kebudayaan, kehidupan beragama, politik, sosial dan ekonomi. Dalam perspektif sosiologis, menurut Newcomb (1985: 119), perubahan sikap suatu masyarakat pada umumnya dipengaruhi oleh adanya

12

informasi baru yang dipandang relevan dengan tuntutan kondisional, kapan dan dimana informasi baru itu diterima. Hal tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh David E. Apter, bahwa para pemilih yang dungu atau bodoh dianggap sebagai ancaman buat demokrasi, penelitian ini menunjukan bahwa publik yang tolol, serta ekstrimisme yang

menyertainya, dapat mengakibatkan pemilihan berada dalam kegalauan, sehingga selanjutnya akan memperendah tingkat kepercayaan publik. Berbeda dengan Apter pandangan James Anderson (1984 :13-15), mengatakan bahwa salah satu faktor yang menjadi dasar ukuran seseorang dalam pengambilan keputusan seseorang adalah nilai-nilai (ideological

values) yang diyakini oleh suatu kebutuhan masyarakat tertentu. Namun dalam prakteknya ada kesenjangan yang cukup tajam antara nilai-nilai yang diyakini oleh suatu masyarakat dengan pilihannya itu. Seharusnya nilainilai dan norma tersebut menjadi bingkai dalam menentukan pilihan seseorang. Misalnya seseorang yang beragama Islam, tentu idealnya akan menjatuhkan pilihannya kepada individu atau partai yang dinilai memiliki kesamaan ideologi. Karena hal-hal tersebut merupakan penggerak utama (frame mover) bagi setiap individu untuk menentukan pilihan. Perhelatan demokrasi menjadi ajang pertarungan elit politik dalam mencari kekuasaan. tetapi, proses tersebut terkadang tidak berjalan secara baik dan elegan. Misalnya, praktik politik uang, kampanye terselubung memanfaatkan jabatan atau praktik politik dagang sapi serta bentuk-bentuk pembodohan lainnya yang berdampak terhadap rakyat masih sering terjadi.

13

BAB III PEMBAHASAN

Kasus : Analisis Pemasaran Politik Jokowi-Ahok dalam Pilkada DKI 2013 Semendaratnya di Jakarta dalam rangka memboyong keluarga pindah, setelah mengambil mayoritas suara pemilih dalam Pilkada DKI, Jokowi segera menyapa kerumunan sopir taksi di Bandara SoekarnoHatta. Ia menemui teman-temannya, para sopir taksi tersebut. Bahasa yang digunakan sederhana: menempatkan para supir taksi itu sebagai teman. Para supir taksi pun, sebagai pihak yang ditengarai sering dibuat kesal oleh kondisi lalu lintas Jakarta, tentu akan menjadi teman baik bagi Jokowi yang menjanjikan akan mengurai macet Jakarta apabila ia terpilih sebagai gubernur. Jokowi cenderung dekat dengan berbagai kalangan di level menengah bawah. Dalam salah satu suasana kampanye yang ditayangkan

televisi,tampak Jokowi tak canggung menyapa rakyat jelata. Ia luwes masuk keluar gang sempit dan kumuh. Dia juga makan dengan santai di salah satu warteg yang dijumpainya. Dengan cara demikian Jokowi, yang berpasangan dengan Ahok,secara psikologis sudah menang merebut hati kaum bawah.Selanjutnya para kaum bawah ini yang lalu bertindak sebagai juru kampanye secara tidak langsung,terlepas dari juru kampanye resmi yang dibentuk oleh tim suksesnya. Pola Klasik Merujuk pada definisi klasik, aksi public relations (PR) dianggap sukses bekerja dengan baik apabila atas objek yang dipublikasikan tersebut si objek tidak perlu melakukan aksi sendiri. Sebagai gantinya, pihak lainlah yang akan bekerja dengan memublikasikan kelebihan si objek. Dalam kasus Jokowi, definisi ini terbukti mumpuni. Bila iseng menengok Youtube, semua

14

aksi mendukung Jokowi-Ahok mudah dijumpai. Muncul pula dalam beragam versi. Dari versi serius ala talkshow hingga gubahan aneka lagu populer berbagai versi, dalam dan luar negeri, yang diadopsi dan diubah liriknya menjadi lagu dukungan bagi Jokowi-Ahok. Gangnam Style, tarian kuda dari Korea yang sedang in juga tampil di Youtube dengan kemeja kotak-kotak. Jahilnya lagi, lagu Warteg Boys, Okelah Kalau Begitu, yang sejak awal diubah liriknya untuk mendukung Foke-Nara, dibuatkan cover versionnya oleh pihak lain untuk mendukung Jokowi-Ahok. Demam, euforia, atau memang dukungan sesungguhnya, sedemikian kentalnya, tidak dapat lagi dielakkan .Masyarakat marginal, kaum urban, kaum muda, menjadi tenaga PR sukarela bagi Jokowi-Ahok. Militansi yang terbentuk bermuara pada satu semangat, Jokowi-Ahok harus menang dengan kesadaran bahwa merekalah yang akan menjadi roda gulir menuju kemenangan tersebut.

Prinsip Marketing Selain melakukan aksi PR, kubu Jokowi-Ahok juga menerapkan dengan baik prinsip marketing. Baik marketing klasik maupun multi level marketing. Kubu ini pun tidak berkeberatan bila tenaga marketing-nya melepaskan diri dari kelompok karena tidak teruji. Uji petik kelompok marketing kubu ini adalah melalui statement sejak awal bahwa tidak akan ada honor atau pamrih bagi mereka. Bagi tenaga marketing dengan harapan tinggi pada upah, sudah tentu hal ini sangat tidak menarik. Sebaliknya bagi tenaga marketing yang memang terobsesi pada upaya memasarkan produk secara baik dan tepat sasaran, tugas yang dibebankan kepada mereka adalah tantangan luar biasa menarik. Adrenalin pun tertantang naik. Materi yang mereka jajakan pun cukup menggiurkan.

15

Segudang prestasi Jokowi-Ahok layak jual dan seksi diperbincangkan dalam setiap kesempatan berjualan. Perpaduan antara tenaga marketing yang terseleksi oleh alam dan materi yang layak jual inilah yang kemudian mengantarkan dagangan diserap pasar dengan baik. Masih bisa dijumpai satu hal lagi yang memudahkan Jokowi-Ahok dipasarkan. Yakni simbol yang diambil melalui kemeja kotak-kotak merah hitam. Warna kuat, model simpel dan merespons keseharian serta kekinian, dengan mudah diterima pasar. Kemeja yang mereka kenakan tidak memberikan gambaran keberpihakan terhadap satu golongan atau satu kelompok secara spesifik. Kemeja ini juga menjadi merchandise yang dijual para relawan untuk mencari dana atau membiayai langkah mereka. Dan ajaibnya, laku! Kemeja kotak-kotak dengan lengan digulung selain memberikan kesan trendi secara simbolis berbicara lebih jauh tentang makna kerja keras. Coba sedikit kita ingat bagaimana kemeja kotak-kotak ini pada sekitar beberapa abad lalu di tanah Amerika Utara identik dengan kostum para koboi. Para koboi sendiri adalah kelas pekerja keras. Secara tidak langsung kemeja kotak-kotak menyiratkan kesiapan Jokowi-Ahok untuk bekerja keras. Pasangan lain ada juga yang mengambil simbol pakaian sebagai seragam mereka. Hanya saja kostum yang diambil cenderung beraroma priyayi. Bukan berarti priyayi tak siap bekerja keras, hanya saja mind set dan keberpihakan masyarakat tentang pekerja keras adalah pada kelompok yang berpeluh dan berdebu.

Kekuatan Komunikasi Sudah beberapa kali media sosial yang sekitar satu dekade ini menyeruak ke permukaan sebagai wacana gaul generasi digital

membuktikan keandalannya. Mediasosialinimemaksa generasi non-digital untuk juga melakukan migrasi kemari. Hasilnya adalah efektivitas

16

komunikasi digital kelas tinggi. Batas wilayah, bahkan batas negara, menjadi kabur. Hilang sama sekali. Efeknya banyak hal bisa dilakukan dengan kerja ujung jari di atas keyboard komputer. Kisah spektakuler kekuatan dunia digital ini di Indonesia diawali oleh kasus Prita dengan RS Omni. Di Mesir, kejatuhan Presiden Hosni Mubarak juga karena kekuatan media sosial di dunia digital. Dan dalam versi terkini, ya kita lihat sendiri pada kemenangan Jokowi-Ahok. Belum ada pernyataan resmi, akan tetapi peran Twitter di kalangan generasi muda berhasil menjadi corong komunikasi kelompok ini. Sebagaimana diketahui Twitter amat efektif bekerja sebagai media komunikasi dan ekspresi kaum muda. Telaah sederhana dari sisi komunikasi dan pemasaran ini

menemukan dengan jelas sinergi kekuatan komunikasi, pemasaran dan media yang dipilih. Pilihan yang diambil mengantarkan Jokowi-Ahok ke kemenangan. Euforia kini masih tersisa. Akan tetapi pekerja keras hendaknya tidak berlama-lama larut di dalamnya. Jakarta itu kompleks. Solusinya pun multisektoral dengan beragam faktor yang harus

dipertimbangkan. Pastikan kekuatan komunikasi itu terus bekerja, bergulir demi kesejahteraan semua kalangan, terutama rakyat yang termarginalkan

17

BAB IV KESIMPULAN

Dalam perspektif marketing, ada hal yang menarik dalam proses pilkada, yaitu berlakunya logika pemasaran dalam dunia politik. Yang bertumpu pada lahan demokrasi, yang merupakan syarat utama adanya kebebasan dalam berkompetisi yang cukup sportif diantara para kandidat. Hermawan Kertajaya (1996) menjelaskan bahwa pada saat belum ada persaingan tidak keras, maka pemasaran belum terlalu dibutuhkan suatu perusahaan/kandidat. Pada situasi yang semakin keras, maka pemasaran menjadi suatu fungsi yang semakin penting. Pada saat persaingan sudah sangat keras, tidak dapat diprediksi, dan kacau maka pemasaran harus menjadi jiwa setiap orang di suatu perusahaan/kandidat. Sehingga political marketing semakin menunjukkan urgensi dan relevansinya, ketika dunia politik dituntut untuk lebih terbuka, transparan, dan mampu berkompetisi secara sehat. Dunia politik sudah tidak lagi menjadi merupakan dominasi dari para ahli politik tetapi juga para ahli pemasaran semakin menunjukkan relevansi dan eksistensinya. Sehingga dalam memenangkan persaingan dalam pilkada, seorang kandidat membutuhkan ilmu dan logika pemasaran. Diantaranya adalah dengan melakukan analisis perilaku pemilih/ voter, segmentasi pemilih, positioning, dan pencitraan seorang kandidat. Dalam hal demikian pemilihpun diperlakukan sebagai seorang calon konsumen. Kondisi ini menyebabkan para kandidat menghabiskan dana yang tidak sedikit untuk mempromosikan dirinya dengan tujuan untuk menarik simpati dan dukungan dalam pilkada. Political marketing bisa didefinisikan sebagai proses analisis, perencanaan, implementasi, dan kontrol terhadap program politik dan pemilihan umum, yang didesain untuk menciptakan, membangun, dan membina hubungan yang saling menguntungkan antara

18

partai (institusi politik) dengan pemilih (OCass, 1996). Memang terdapat perbedaan antara political marketing dengan teori-teori pemasaran produk konsumsi (Egan, 1999). Tetapi bukan berarti ilmu pemasaran tidak mampu menjawabtantangan dunia politik. Karena memang ilmu pemasaran ditujukan untuk memasarkan produk, agar bisa diterima konsumen. Di saat yang sama para kandidat ditawarkan sebagai konstituen.

19

Daftar Pustaka

http://tarakanbergerak.blogspot.com/2012/04/penerapankonsep-political-marketing.html http://www.pangisyarwi.com/index.php?option=com_content&v iew=article&id=127:marketing-politik&catid=8&Itemid=103 http://ispei.org/index.php/opini/95-efektivitas-publikasi-danpemasaran-ala-jokowi-ahok http://studiperadaban.blogspot.com/2012/05/mengukurelektabilitas-calon-walikota.html

20

You might also like