You are on page 1of 64

MAKALAH PERPAJAKAN PAJAK DAERAH DAN PAJAK LAINNYA (MATERAI, PBB DAN BPHTB)

Disusun Oleh Kelompok 3:

1. M. Adhiatmaja Fredyra Pangastika 2. Precilia Prima Queena

12030112220061 12030112220044

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI UNIVERSITAS DIPONEGORO 2013

BAB I PENDAHULUAN

Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, Daerah berhak mengenakan pungutan kepada masyarakat. Pajak daerah merupakan pungutan wajib yang dikenakan oleh pemerintah daerah kepada penduduk yang mendiami wilayah yurisdiksinya, tanpa langsung memperoleh kontraprestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah yang memungut pungutan wajib yang dibayarkan tersebut. Pajak daerah ini diatur dalam peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah yang disetujui oleh lembaga perwakilan rakyat daerah serta dipungut oleh lembaga yang berada di dalam struktur pemerintah daerah yang bersangkutan. Selain itu pemungutan pajak ini juga berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan perpajakan sebagai salah satu perwujudan kenegaraan, ditegaskan bahwa penempatan beban kepada rakyat, seperti pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa diatur dengan Undang-Undang. Pajak dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah telah dipungut di Indonesia sejak awal kemerdekaan Indonesia. Sumber penerimaan ini terus dipertahankan sampai dengan era otonomi daerah dewasa ini. Penetapan pajak dan retribusi daerah sebagai sumber

penerimaan daerah ditetapkan dengan dasar hukum yang kuat, yaitu dengan undang-undang, khususnya undang-undang tentang pemerintahan daerah maupun tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Penetapan pajak dan retribusi daerah sebagai sumber penerimaan daerah sesuai dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah menetapkan bahwa penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan

daerah dan pembiayaan. Pendapatan daerah bersumber dari tiga kelompok sebagaimana di bawah ini: 1. Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu pendapatan yang diperoleh daerah dan dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan meliputi: a. pajak daerah; b. Retribusi daerah, termasuk hasil dari pelayanan badan layanan umum (BLU) daerah; c. Hasil pengelolaan kekayaan pisahkan , antara lain bagian laba dari BUMD, hasil kerjasama dengan pihak ketiga dan d. Lain-lain PAD yang sah. 2. Dana perimbangan yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. 3. lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sumber pendapatan daerah yang kedua yaitu pembiayaan yang bersumber dari : 1. sisa lebih perhitungan anggaran daerah; 2. penerimaan pinjaman daerah; 3. dana cadangan daerah dan 4. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan

BAB II PEMBAHASAN

PENERAPAN PAJAK DAERAH DAN PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH

Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah. Undang-undang Nomor 34 tahun 2000 mengatur dengan jelas bahwa untuk dapat dipungut pada suatu daerah, setiap jenis pajak daerah harus ditetapkan dengan peraturan daerah. Hal ini berarti untuk dapat ditetapkan dan dipungut pada suatu daerah provinsi, kabupaten, atau kota harus terlebih dahulu ditetapkan peraturan daerah tentang pajak daerah tersebut. Peraturan daerah tentang suatu pajak daerah diundangkan dalam lembaran daerah yang bersangkutan. Peraturan daerah tentang suatu pajak daerah tidak dapat berlaku surut dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

1. Isi Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah Peraturan daerah tersebut sekurang-kurangnya mengatur ketentuan mengenai: a. Nama, objek, dan subjek pajak. b. Dasar pengenaan, tarif dan cara penghitungan pajak; c. Wilayah pemungutan. d. Masa pajak; e. Penetapan pajak; f. Tata cara pembayaran dan penagihan pajak. g. Kedaluwarsa penagihan pajak; h. Sanksi administrasi; i. Tanggal mulai berlakunya pajak. Selain ketentuan pokok tersebut, peraturan daerah tentang suatu pajak daerah dapat mengatur ketentuan mengenai beberapa hal lainnya, yaitu:

a. pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok pajak dan atau sanksinya, yang dapat diberikan dengan mempertimbangkan antara lain kemampuan membayar wajib pajak. b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kedaluwarsa dan c. asas timbal balik. Sesuai dengan kelaziman internasional, pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak daerah dapat diberikan kepada korps diplomatik.

2. Pengawasan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah Dalam rangka pengawasan, peraturan daerah yang menetapkan pajak daerah disampaikan kepada pemerintah pusat paling lama lima belas hari setelah ditetapkan.Penetapan ini telah mempertimbangkan administrasi pengiriman peraturan daerah dari daerah yang tergolong jauh. Dalam hal ini peraturan daerah tersebut disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan. Jika peraturan daerah bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundangundangan yang lebih tinggi, pemerintah pusat dapat membatalkan peraturan daerah yang dimaksud. Pejabat pemerintah pusat yang diberi kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah adalah Menteri Dalam Negeri setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Keuangan. Pembatalan peraturan daerah dilakukan paling lama satu bulan sejak diterimanya peraturan daerah yang dimaksud. Penetapan jangka waktu satu bulan dilakukan dengan pertimbangan untuk mengurangi dampak negatif dari pembatalan peraturan daerah tersebut. Untuk menetapkan jenis pajak daerah, pemerintah daerah mengkaji secara cermat dasar pengenaan pajak. Kontrol sosial dari masyarakat tentunya akan turut menentukan penetapan pajak daerah yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

PEMUNGUTAN PAJAK

1. Sistem pemungutan pajak Daerah Pemungutan pajak daerah saat ini menggunakan tiga sistem pemungutan pajak yaitu: a. dibayar sendiri oleh wajib pajak. Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem self assessment yaitu sistem pengenaan pajak yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak

untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD). b. Ditetapkan oleh kepala daerah. Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem official assessment yaitu sistem pengenaan pajak yang dibayar oleh wajib pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan. c. Dipungut oleh pemungut pajak. Sistem ini merupakan perwujudan dari sistem with holding yaitu sistem pengenaan pajak yang dipungut oleh pemungut pajak pada sumbernya, antara lain PLN yang telah ditetapkan berdasar PP Nomor 65 Tahun 2001 tentang pajak Daerah sebagai pemungut Pajak Penerangan jalan atas penggunaan tenaga listrik yang disediakan PLN. Secara umum, sistem yang digunakan dalam pemunguan pajak daerah adalah sistem self assessment dan official assessment. a. Pada cara pertama pajak dibayar oleh wajib pajak setelah terlebih dahulu ditetapkan oleh kepala daerah melalui Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lain yang dipersamakan. Dokumen lain yang dipersamakan antara lain berupa karcis dan nota perhitungan. b. Pada cara kedua yaitu pajak dibayar sendiri oleh wajib pajak, wajib pajak memenuhi kewajiban pajak yang dibayar sendiri dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD), Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) dan atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT). Wajib pajak yang memenuhi kewajibannya dengan cara membayar sendiri, diwajibkan melaporkan pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD. Apabila wajib pajak yang diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang tidak memenuhi kewajibannya kepadanya dapat diterbitkan SKPDKB dan atau SKPDKBT yang menjadi sarana penagihan pajak.

2. Pemungutan Pajak Daerah Dalam pelaksanaannya, pemungutan pajak daerah tidak dapat diborongkan artinya seluruh proses kegiatan pemungutan pajak tidak dapat diserahkan kepada pihak ketiga.

Walaupun dimungkinkan adanya kerjasama dengan pihak ketiga dalam proses pemungutan pajak, antara lain pencetakan formulir perpajakan, pengiriman surat-surat kepada wajib pajak atau penghimpunan data objek dan subjek pajak. Kegiatan yang tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga adalah kegiatan penghitungan besarnya pajak yang terutang, pengawasan penyetoran pajak dan penagihan pajak.

PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH Pajak Daerah Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai menyelenggarakan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Subjek Pajak Daerah adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak daerah. Wajib Pajak daerah adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu. Peraturan perundang-undangan yang mendasari pemungutan Pajak Daerah adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

c. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah d. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah e. PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah

Retribusi Daerah Retribusi Daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Dalam hal pemungutan retribusi daerah, Undang-Undang Dasar 1945 telah menetapkan pada pasal 23 A yang ,menyebutkan bahwa :Pajak & pungutan lain yang bersifat memaksa

untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang. Selain itu, dalam pemungutan Retribusi Daerah juga diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut : a. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah c. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah d. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah e. PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah Menurut UU Nomor 28 tahun 2009 pasal 108 tentang Objek dan Golongan Retribusi, dikelompokan menjadi 3 golongan, yaitu :

1.

Jasa Umum Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah

Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. Menurut UU Nomor 28 tahun 2009 pasal 110 ayat 1 tentang Jenis Retribusi Jasa Umum adalah: a) Retribusi Pelayanan Kesehatan b) Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan c) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil d) Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat e) Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum f) Retribusi Pelayanan Pasar g) Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor h) Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran i) Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta j) Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus k) Retribusi Pengolahan Limbah Cair l) Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang m) Retribusi Pelayanan Pendidikan n) Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi

2.

Jasa Usaha Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah

dengan menganut prinsip komersial yang meliputi: pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta. Menurut UU Nomor 28 tahun 2009 pasal 127 tentang Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah: a) Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah b) Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan c) Retribusi Tempat Pelelangan d) Retribusi Terminal e) Retribusi Tempat Khusus Parkir f) Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa g) Retribusi Rumah Potong Hewan h) Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan i) Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga j) Retribusi Penyeberangan di Air; dan k) Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah

3.

Perizinan Tertentu Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah

Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. Menurut UU Nomor 28 tahun 2009 pasal 141 tentang Jenis Retribusi Perizinan Tertentu adalah: a) Retribusi Izin Mendirikan Bangunan b) Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol c) Retribusi Izin Gangguan d) Retribusi Izin Trayek

PERANAN PAJAK DAERAH DALAM PEMBANGUNAN

Contoh Pajak Daerah Menurut Undang - Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai pengganti dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 dan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000, menjelaskan bahwa pajak daerah dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu : a. Pajak Daerah Tingkat I (Propinsi) 1) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air 3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan 4) Pajak Air Permukaan (Pengambilan dan pemanfaatan air di bawah tanah dan air di permukaan) 5) Pajak Rokok. b. Pajak Daerah Tingkat II (Kota/Kotamadya/Kabupaten) 1) Pajak Hotel 2) Pajak Restoran 3) Pajak Hiburan 4) Pajak Reklame 5) Pajak Penerangan Jalan 6) Pajak Bahan Penggalian Golongan C 7) Pajak Parkir 8) PBB Perdesaan dan Perkotaan 9) BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) 10) Pajak Sarang Burung Walet 11) Pajak Air Tanah (Pengambilan dan pemanfaatan air di bawah tanah dan air di permukaan)

Pajak Daerah Tingkat I (Propinsi) 1) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air Menurut UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 12 Pajak Kendaraan Bermotor adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor. Dan dalam pasal 1 ayat 13

Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen serta kendaraan bermotor yang dioperasikan di air. Objek Pajak Kendaraan Bermotor sendiri diatur dalam pasal 3 ayat 1 yang menyatakan bahwa, objek pajak kendaraan bermotor adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor. Objek pajak ini ada pengecualiannya (pasal 3 ayat 3), seperti : kereta api kendaraan bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan negara kendaraan bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah objek Pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Selanjutnya, dalam pasal 4 ayat 1 - 2 menjelaskan tentang Subjek Pajak Kendaraan Bermotor. Untuk Pasal 4 ayat 1 menjelaskan tentang siapa subjek pajak kendaraan bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor. Dan di ayat 2 dispesifikan kembali tentang Wajib Pajak Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor. Dalam dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah hasil perkalian dari 2 (dua) unsur pokok, yaitu : nilai jual kendaraan bermotor dan bobot yang mencerminkan secara relatif tingkat kerusakan jalan dan/atau pencemaran lingkungan akibat penggunaan Kendaraan Bermotor. Dan khusus untuk Kendaraan Bermotor yang digunakan di luar jalan umum, termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar serta kendaraan di air, dasar pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Kendaraan Bermotor. Untuk menentukan Nilai jual ini ditentukan berdasarkan Harga Pasaran Umum pada minggu pertama bulan Desember tahun pajak sebelumnya atas suatu kendaraan bermotor.

Tarif Pajak Kendaraan Bermotor digolongkan menjadi 3, yaitu : No 1 Jenis Kendaraan Bermotor Pribadi Tarif a. untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling rendah sebesar 1% (satu persen) dan paling tinggi sebesar 2% (dua persen); b. untuk kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tarif dapat ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% (dua persen) dan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). UU No. 28 Tahun 2009 pasal 6 ayat 1 Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama dan/atau alamat yang sama (UU No. 28 Tahun 2009 pasal 6 ayat 2) 2 angkutan pemadam umum, ambulans, ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% (nol koma sosial lima persen) dan paling tinggi sebesar 1% (satu

kebakaran,

keagamaan, lembaga sosial dan persen). keagamaan, TNI/POLRI, Pemerintah/ UU No. 28 Tahun 2009 pasal 6 ayat 3 Pemda, dan

Kendaraan lain yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah 3 alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling rendah sebesar 0,1% (nol koma satu persen) dan paling tinggi sebesar 0,2% (nol koma dua persen). UU No. 28 Tahun 2009 pasal 6 ayat 4

2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air Dalam UU No. 28 Tahun 2009 pasal 1 ayat 14 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.

Objek Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diatur dalam pasal 9 ayat 1 yang menyatakan bahwa objek pajak bea balik nama kendaraan bermotor adalah penyerahan kepemilikan Kendaraan Bermotor dengan pengecualian (pasal 9 ayat 3) sebagai berikut : kereta api Kendaraan Bermotor yang semata-mata digunakan untuk keperluan pertahanan dan keamanan Negara Kendaraan Bermotor yang dimiliki dan/atau dikuasai kedutaan, konsulat, perwakilan negara asing dengan asas timbal balik dan lembaga-lembaga internasional yang memperoleh fasilitas pembebasan pajak dari Pemerintah objek pajak lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Dalam menentukan subjek pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor diatur dalam pasal 10 ayat 1, yang menyatakan subjek pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang dapat menerima penyerahan Kendaraan Bermotor. Dan di ayat 2 disebutkan bahwa Wajib Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor. Pengenaan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ini didasarkan dari nilai jual kendaraan bermotor. Dan tarifnya dibedakan menjadi 2 macam, yaitu : a) Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut : penyerahan pertama sebesar 20% (dua puluh persen) penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1% (satu persen) (UU No. 28 Tahun 2009 pasal 12 ayat 1) b) Khusus untuk Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak menggunakan jalan umum tarif pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing sebagai berikut: penyerahan pertama sebesar 0,75% (nol koma tujuh puluh lima persen) penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075% (nol koma nol tujuh puluh lima persen). (UU No. 28 Tahun 2009 pasal 12 ayat 2) Dan tarif ini ditentukan oleh Peraturan Daerah oleh karena itu, tarif ini akan berbeda disetiap daerahnya sesuai peraturan yang berlaku di tiap - tiap daerah. Selain itu Bea balik nama

kendaraan bermotor yang terutang ini akan dipungut di wilayah daerah kendaraan bermotor terdaftar dan dibayarkan saat pendaftaran. Seorang wajib pajak bea balik nama kendaraan bermotor wajib mendaftarkan penyerahan Kendaraan Bermotor dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak saat penyerahan (UU No. 28 Tahun 2009 pasal 14). Orang pribadi atau Badan yang menyerahkan Kendaraan Bermotor melaporkan secara tertulis penyerahan tersebut kepada gubernur atau pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak saat penyerahan. penyerahan (UU No. 28 Tahun 2009 pasal 15) Laporan tertulis itu paling tidak berisi tentang : nama dan alamat orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan tanggal, bulan, dan tahun penyerahan nomor polisi kendaraan bermotor lampiran fotokopi Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor khusus untuk kendaraan di air ditambahkan pas dan nomor pas kapal

3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penggunaan bahan bakar kendaraan bermotor (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 15). Sedangkan, yang dimaksud dengan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah semua jenis bahan bakar cair atau gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 16 ). Objek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di air. (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 16 ). Subjek Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah konsumen Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 17 ayat 1). Sedangkan untuk Wajib Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 17 ayat 2). Dan dalam pemungutan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan oleh produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis atas bahan bakar yang disalurkan atau dijual kepada: Lembaga penyalur, antara lain, Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk Umum (SPBU), Stasiun Pengisian Bahan Bakar untuk TNI/POLRI, Agen Premium dan Minyak Solar (APMS), Premium Solar Packed Dealer (PSPD), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Bunker

(SPBB), Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBG), yang akan menjual BBM kepada konsumen akhir (konsumen langsung); Konsumen langsung, yaitu pengguna bahan bakar kendaraan bermotor. Dalam hal bahan bakar tersebut digunakan sendiri maka produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis wajib menanggung Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang digunakan sendiri untuk kendaraan bermotornya. Produsen dan/atau importir atau nama lain sejenis tidak mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor atas penjualan bahan bakar minyak untuk usaha industri. Dalam hal pembelian Bahan Bakar Kendaraan Bermotor dilakukan antarpenyedia Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual kembali kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung, maka yang wajib mengenakan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah penyedia yang menyalurkan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor kepada lembaga penyalur dan/atau konsumen langsung. Untuk dasar pengenaan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah Nilai Jual Bahan Bakar Kendaraan Bermotor sebelum dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 18). Dalam hal menentukan berapa besarnya harga jual bahan bakar kendaraan bermotor sebelum PPN namun sudah termasuk PBB-KB maka, dapat dihitung dengan cara (5% x 100/105 x harga jual per liter-nya ) Sedangkan untuk tarifnya Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi sebesar 10% dan tarif Khusus Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan umum dapat ditetapkan paling sedikit 50% (lima puluh persen) lebih rendah dari tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk kendaraan pribadi (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 19). Dan perlu diketahui Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan dengan Peraturan Daerah, maka dari itu besaran tarif disetiap daerah akan berbeda sesuai peraturan daerah yang berlaku.

4) Pajak Air Permukaan (Pengambilan dan pemanfaatan air di bawah tanah dan air di permukaan) Pajak Air Permukaan adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 17), sedangkan untuk air permukaan adalah semua air yang terdapat pada permukaan tanah, tidak termasuk air laut, baik yang berada di laut

maupun di darat (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 18). Untuk pengenaan objek pajaknya sendiri (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 21) berupa pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan, kecuali : pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan dan peraturan perundang-undangan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah. Untuk subjek Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. Sedangkan, untuk wajib Pajak Air Permukaan adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 22). Dalam dasar pengenaan pajak air permukaan ditentukan oleh nilai perolehan air permukaan (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 23). Dan nilai perolehan air ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti : jenis sumber air lokasi sumber air tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan kualitas air luas areal tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air Besaran tarif yang dipungut maksimal sebesar 10 % dari dasar pengenaan pajak air permukaan dan tarif ini ditetapkan dengan peraturan daerah (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 24). Pajak Air Permukaan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat air berada (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 25).

5) Pajak Rokok Pajak Rokok adalah pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh Pemerintah (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 19). Objek Pajak Rokok sendiri diatur dalam pasal 26 yang

menyatakan bahwa objek pajak rokok adalah konsumsi rokok. Rokok yang dimaksud meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun. Subjek pajak rokok adalah konsumen rokok. Sedangkan untuk Wajib Pajak Rokoknya adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai. Pajak Rokok ini dipungut oleh instansi Pemerintah yang berwenang untuk memungut cukai (Direktur Jenderal Bea dan Cukai) selanjutnya disetorkan ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk. (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 27) Untuk dasar pengenaan Pajak Rokok adalah cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah terhadap rokok, hal ini sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 28. Dan untuk pengenaan tarif Pajak Rokoknya sendiri telah ditetapkan sebesar 10% dari cukai rokok (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 29). Sedangkan, untuk besaran pokok Pajak Rokok yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 30). Walaupun pajak ini merupakan jenis pajak baru, namun diperkirakan pengenaan Pajak Rokok tidak terlalu membebani masyarakat karena rokok bukan merupakan barang kebutuhan pokok dan bahkan pada tingkat tertentu konsumsinya perlu dikendalikan. Di

pihak lain, pengenaan pajak ini tidak terlalu berdampak pada industri rokok karena beban Pajak Rokok akan disesuaikan dengan kebijakan strategis di bidang cukai nasional dan besarannya disesuaikan dengan daya pikul industri rokok mengikuti natural growth (pertumbuhan alamiah) dari industri tersebut. Untuk penerimaan Pajak Rokok, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50%. Hasil ini diperuntukan dalam mendanai pelayanan kesehatan (pembangunan/pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan, penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan

memasyarakatkan tentang bahaya merokok, dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok) serta penegakan hukum (pemberantasan peredaran rokok ilegal dan penegakan aturan mengenai larangan merokok).

Pajak daerah Tingkat II (Kota/Kotamadya/Kabupaten) 6) Pajak Hotel Pajak Hotel adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh hotel (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 20). Hotel adalah (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 21). Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh hotel dengan pembayaran, termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 32). Objek pajak hotel ini meliputi : a) fasilitas penyedia jasa penginapan/peristirahatan termasuk jasa terkait lainnya dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga motel, losmen, gubuk pariwisata, wisma pariwisata, pesanggrahan, rumah penginapan dan sejenisnya, serta rumah kos dengan jumlah kamar lebih dari 10. b) pelayanan penunjang antara lain : telepon, faksimilie, teleks, foto copy, layanan cuci, seterika, taksi dan pengangkut lainnya disediakan atau dikelolah hotel. c) hiburan dan persewaan ruangan di hotel yang disewakan oleh pihak hotel, fasilitas olahraga dan hiburan. Namun, objek pajak hotel ini ada pengecualiannya, seperti : a) jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah b) jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya c) jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan d) jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis d) jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan oleh Hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum. Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pembayaran kepada orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel. Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel Pengusaha hotel (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 33). Dasar pengenaan adalah jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada hotel dengan tarif pajak ditetapkan paling tinggi sebesar 10% dengan masa pajak I (satu) bulan takwim, jangka waktu lamanya pajak terutang dalam masa pajak terjadi saat pelayanan di hotel. Besaran pokok Pajak Hotel yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar

pengenaan pajak dan pajak hotel yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat hotel berlokasi.

7) Pajak Restoran Pajak Restoran adalah pajak atas pelayanan yang disediakan oleh restoran (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 22). Sedangkan, restoran sendiri mempunyai arti sebagai fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga rumah makan, kafetaria, kantin, warung, bar, dan sejenisnya termasuk jasa boga/katering. Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh Restoran (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 37). Pelayanan yang disediakan ini meliputi pelayanan penjualan makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun ditempat lain. Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran. Dan unutk Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan yang mengusahakan Restoran (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 38). Dasar pengenaan Pajak Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya diterima Restoran dengan tarif yang telah ditetapkan maksimal sebesar 10 %. Besaran pokok Pajak Restoran yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif yang telah ditentukan dengan dasar pengenaan pajaknya. Sedangkan, untuk Pajak Restoran yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat Restoran berlokasi.

8) Pajak Hiburan Pajak Hiburan adalah pajak atas penyelenggaraan hiburan (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 24). Yang dimaksud dengan hiburan adalah semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, dan/atau keramaian yang dinikmati dengan dipungut bayaran. Objek Pajak Hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 42), seperti : 1. tontonan film 2. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana 3. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya 4. pameran 5. diskotik, karaoke, klab malam, dan sejenisnya

6. sirkus, akrobat, dan sulap 7. permainan bilyar, golf, dan boling 8. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan 9. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness center) 10. pertandingan olahraga. Untuk Subjek Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menikmati Hiburan sedangkan, untuk Wajib Pajak Hiburan adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Hiburan. Dalam dasar pengenaan Pajak Hiburan adalah jumlah uang yang diterima (termasuk potongan harga dan tiket cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Hiburan) atau yang seharusnya diterima oleh penyelenggara hiburan. Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35% (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 45), dan khusus untuk Hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotik, karaoke, klab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa, tarif Pajak Hiburan dapat ditetapkan paling tinggi sebesar 75% sedangkan, untuk Hiburan kesenian rakyat/tradisional dikenakan tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif pajak ini setiap daerah berbeda sesuai dengan peraturan daerah masing masing.

Contoh : Tabel Tarif Pajak Hiburan untuk DKI Jakarta (Perda DKI Jakarta No.13 Tahun 2010 Pasal 7) Objek Pajak Hiburan 1) pertunjukan film di bioskop 2) pagelaran kesenian, musik, tari dan/atau busana 3) kontes kecantikan 4) pameran 5) diskotik, karaoke, klab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan Disc Jockey (DJ) dan sejenisnya 6) sirkus, akrobat, dan sulap 7) permainan bilyar, bowling dan Seluncur Es (ice skating) 8) permainan golf (green fee) 9) driving range Tarif Pajak 10% 10% 10% 10% 20% 10% 10% 15% 10%

10) pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan 11) panti pijat, mandi uap dan spa 12) refleksi dan pusat Kebugaran/Fitness Center 13) pertandingan olah raga 14) hiburan di tempat keramaian tempat wisata, taman rekreasi/rekreasi keluarga, pasar malam, kolam pemancingan, komidi putar, kereta pesiar dan sejenisnya

20% 10% 5% 10% 10%

Untuk menentukan besaran pokok Pajak Hiburan yang terutang maka, harus dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajaknya. Dalam hal pembayaran diterima sebelum hiburan diselenggarakan, pajak terutang pada saat terjadi pembayaran. Pajak Hiburan yang terutang ini dipungut di wilayah daerah tempat hiburan diselenggarakan.

9) Pajak Reklame Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan reklame (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 26). Reklame yang dimaksud adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau untuk menarik perhatian umum terhadap barang, jasa, orang, atau badan, yang dapat dilihat, dibaca, didengar, dirasakan, dan/atau dinikmati oleh umum. Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 47), seperti : a) Reklame papan/billboard/videotron/megatron dan sejenisnya b) Reklame kain c) Reklame melekat, stiker d) Reklame selebaran e) Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan f) Reklame udara g) Reklame apung h) Reklame suara i) Reklame film/slide j) Reklame peragaan Namun, objek pajak reklame ini ada pengecualiannya, seperti :

a) penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya b) label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya c) nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi diselenggarakan sesuai dengan ketentuan yang mengatur nama pengenal usaha atau profesi tersebut d) Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah Dan untuk subjek pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan reklame. Sedangkan, untuk wajib pajaknya adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan reklame, baik yang diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi /Badan. atau oleh pihak ketiga (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 48). Dalam dasar pengenaannya, Pajak Reklame akan berpatokan dengan Nilai Sewa Reklame yang telah ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame untuk wajib pajak pihak ketiga. Sedangkan, untuk wajib pajak pihak pertama (diselenggarakan sendiri) dalam menentukan dasar pengenaan besaran pajak reklame terlebih dahulu harus memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame. Setelah itu bisa menentukan Nilai Sewa Reklamenya (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 49). Besaran tarif Pajak Reklame yang akan dipungut telah ditetapkan paling tinggi sebesar 25% (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 50). Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajaknya. Pajak Reklame yang terutang akan dipungut di wilayah daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.

10) Pajak Penerangan Jalan Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 28). Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh dari sumber lain, yang meliputi seluruh pembangkit listrik (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 52). Didalam objek pajak ini ada pengecualikannya, seperti : a) penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah

b) penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing dengan asas timbal balik c) penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas di bawah 200 KVA (dua ratus Kilo Volt Amper) yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait. Dan untuk Subjek Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat menggunakan tenaga listrik sedangkan, untuk Wajib Pajak Penerangan Jalan adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan tenaga listrik. Tetapi, dalam hal tenaga listrik yang disediakan oleh sumber lain maka, Wajib Pajaknya adalah penyedia tenaga listrik tersebut (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 53). Dalam menentukan dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 54). Untuk menentukan Nilai Jual Tenaga Listrik perlu memperhatikan beberapa hal, seperti : a) tenaga listrik yang berasal dari sumber lain, untuk menentukan dasar pengenaan pajaknya berasal dari perhitungan Nilai Jual Tenaga Listrik yang ditentukan berdasarkan jumlah tagihan biaya beban/tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik b) tenaga listrik dihasilkan sendiri, untuk menentukan dasar pengenaan pajaknya berasal dari perhitungan Nilai Jual Tenaga Listrik yang ditentukan berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan Besaran tarif pajak penerangan jalan yang akan dipungut telah ditetapkan maksimal sebesar 10%. Tetapi, untuk penggunaan tenaga listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, dikenakan tarif Pajak Penerangan Jalan paling tinggi sebesar 3%. Dan untuk penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan paling tinggi sebesar 1,5% (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 55). Sedangkan, untuk besaran pokok Pajak Penerangan Jalan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Pajak Penerangan Jalan yang terutang dipungut di wilayah daerah tempat penggunaan tenaga listrik. Hasil penerimaan Pajak Penerangan Jalan ini sebagian akan dialokasikan untuk penyediaan penerangan jalan.

11) Pajak Bahan Penggalian Golongan C (Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan secara komersial (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 29). Untuk Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yaitu merupakan kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan(UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 57) yang meliputi, sebagai berikut: Asbes batu tulis batu setengah permata batu kapur batu apung batu permata bentonit dolomit feldspar garam batu (halite) grafit granit/andesit gips kalsit kaolin leusit magnesit mika marmer nitrat opsidien oker pasir dan kerikil pasir kuarsa

perlit phospat talk tanah serap (fullers earth) tanah diatome tanah liat tawas (alum) tras yarosif zeolit basal trakkit

Yang tidak termasuk dalam objek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, jika : kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang nyata-nyata tidak dimanfaatkan secara komersial/ekonomis, seperti halnya : kegiatan pengambilan tanah untuk keperluan rumah tangga, pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel listrik/telepon, penanaman pipa air/gas kegiatan pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan yang merupakan ikutan dari kegiatan pertambangan lainnya, yang tidak dimanfaatkan secara komersial oleh penambang / pihak lain. Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang dapat mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan yang dimanfaatkan secara komersial (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 58). Sedangkan, untuk Wajib Pajak-nya adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil Mineral Bukan Logam dan Batuan yang dimanfaatkan secara komersial. Dalam menentukan dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan berasal dari Nilai Jual Hasil Pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 59). Nilai jual ini dihitung dengan mengalikan volume/tonase hasil pengambilan dengan nilai pasar atau harga standar masing-masing jenis Mineral Bukan Logam dan Batuan. Nilai pasar yang digunakan merupakan harga rata-rata yang berlaku di lokasi setempat di wilayah daerah yang bersangkutan.

Maka dari itu, nilai pasar dari hasil produksi Mineral Bukan Logam dan Batuan sulit untuk digunakan sebagai acuan harga standar yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang dalam bidang pertambangan Mineral Bukan Logam dan Batuan karena setiap daerah memiliki harga pasarnya sendiri sendiri. Besaran tarif pajak-nya telah ditetapkan maksimal sebesar 25% (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 60). Dan dalam menentukan besaran pokok pajak-nya yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan dasar pengenaan pajak-nya. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang terutang akan dipungut/disetorkan di wilayah daerah tempat pengambilan Mineral Bukan Logam dan Batuan.

12) Pajak Parkir Pajak parkir adalah pajak atas penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 31). Sedangkan, Objek Pajak-nya berupa penyelenggaraan tempat Parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 62). Dan yang tidak termasuk objek pajak parkir, jika : a) penyelenggaraan tempat Parkir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah b) penyelenggaraan tempat Parkir oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri c) penyelenggaraan tempat Parkir oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik (Asas Timbal Balik (Reciprocitas) adalah perlakuan perpajakan yang sama oleh suatu negara terhadap Perwakilan Negara Republik Indonesia berdasarkan persetujuan atau ratifikasi Konvensi Wina Tahun 1961) Subjek Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan parkir kendaraan bermotor. Wajib Pajak Parkir adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan tempat Parkir (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 63). Dalam menentukan dasar pengenaan Pajak Parkir dihitung berdasarkan jumlah pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada penyelenggara tempat Parkir (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 64). Dan perlu diketahui bahwa jumlah yang seharusnya dibayarkan itu sudah

termasuk potongan harga Parkir dan Parkir cuma-cuma yang diberikan kepada penerima jasa Parkir. Untuk besaran tarif pajak-nya telah ditetapkan maksimal sebesar 30% (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 65). Maka, besaran pokok Pajak Parkir yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak Dan pajak yang terutang ini akan dipungut/disetorkan di wilayah daerah tempat Parkir berlokasi.

13) PBB Perdesaan dan Perkotaan Selama ini PBB merupakan pajak pusat, namun hampir seluruh penerimaannya diserahkan kepada daerah. Untuk meningkatkan akuntabilitas pengelolaan keuangan daerah, khusus PBB sektor perdesaan dan perkotaan dialihkan menjadi pajak daerah. Sedangkan PBB sektor perkebunan, perhutanan, dan pertambangan masih merupakan pajak pusat. Dengan dijadikannya PBB Perdesaan dan Perkotaan menjadi pajak daerah, maka penerimaan jenis pajak ini akan diperhitungkan sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 37). Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 38). Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaam dan/atau laut (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 39). Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 77). Yang dimaksud dengan pengertian Bangunan adalah, seperti : a) jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut b) jalan tol c) kolam renang d) pagar mewah e) tempat olahraga

f) galangan kapal, dermaga g) taman mewah h) tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak i) menara Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Pasal adalah objek pajak yang : a) digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan b) digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan c) digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu d) merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak e) digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik f) digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 78). Dan Wajib Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai,dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. Untuk menentukan dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan berdasarkan dengan NJOP (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 79). Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.

Dan besarnya NJOP TKP ditetapkan minimal sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Besarnya NJOP ini ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun sekali, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. Penetapan besarnya NJOP ditetapkan oleh Kepala Daerah. Dengan pengenaan tarif yang telah ditetapkan maksimal sebesar 0,3% (nol koma tiga persen). Sedangkan, untuk menentukan besaran pokok Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif-nya dengan dasar pengenaan pajak setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOP TKP).

14) BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 41). Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang dimaksud adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau Badan (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 42). Sedangkan, untuk Hak atas Tanah dan/atau Bangunan-nya adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 43). Dalam menentukan Objek Pajak-nya adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang diperoleh dengan 2 cara, yaitu: a) pemindahan hak karena : jual beli tukar menukar hibah hibah wasiat Waris pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan penunjukan pembeli dalam lelang pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap penggabungan usaha peleburan usaha

pemekaran usaha hadiah. b) pemberian hak baru karena : kelanjutan pelepasan hak di luar pelepasan hak Hak atas tanah yang dimaksud adalah : hak milik hak guna usaha hak guna bangunan hak pakai hak milik atas satuan rumah susun hak pengelolaan Dan untuk Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh: a) perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik b) negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum c) badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut d) orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama e) orang pribadi atau Badan karena wakaf f) orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah Subjek Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. Sedangkan, untuk Wajib Pajaknya adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 86). Untuk menentukan dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditentukan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak. Nilai Perolehan Objek Pajak yang dimaksud merupakan nilai perolehan dalam hal : a) jual beli adalah harga transaksi

b) tukar menukar adalah nilai pasar c) hibah adalah nilai pasar d) hibah wasiat adalah nilai pasar e) waris adalah nilai pasar f) pemasukan dalam peseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar g) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar h) peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar i) pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar j) pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar k) penggabungan usaha adalah nilai pasar l) peleburan usaha adalah nilai pasar m) pemekaran usaha adalah nilai pasar n) hadiah adalah nilai pasar o) penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang Jika dalam Nilai Perolehan Objek Pajak tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan maka, untuk dasar pengenaan yang dipakai merupakan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan (minimal sebesar Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak). Sedangkan, dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri maka, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan maksimal sebesar 5% (lima persen). Dan untuk menentukan besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak-nya . Untuk Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang akan dipungut di wilayah daerah tempat Tanah dan/atau Bangunan berada.

15) Pajak Sarang Burung Walet Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 35). Sedangkan, yang dimaksud dengan Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 36). Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet kecuali, pengambilan Sarang Burung Walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 72). Yang menjadi Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet. Sedangkan, untuk Wajib Pajak-nya adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 73). Sebagai acuan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah Nilai Jual Sarang Burung Walet. Dan Nilai Jual Sarang Burung Walet dapat dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di daerah yang bersangkutan dengan volume Sarang Burung Walet. Untuk besaran tarif Pajak-nya telah ditetapkan maksimal sebesar 10% (sepuluh persen). Sedangkan, untuk besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Dan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang ini akan dipungut di wilayah daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet itu sendiri.

16) Pajak Air Tanah (Pengambilan dan pemanfaatan air di bawah tanah dan air di permukaan) Pajak Air Tanah adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 33). Air Tanah yang dimaksud merupakan air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan dibawah permukaan tanah (UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 1 ayat 34). Objek Pajak-nya adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah, kecuali :

a) pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah untuk keperluan dasar rumah tangga, pengairan pertanian dan perikanan rakyat, serta peribadatan; dan b) pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah. Untuk Subjek Pajak-nya adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah sedangkan, Wajib Pajak-nya adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. Dasar pengenaan Pajak Air Tanah adalah Nilai Perolehan Air Tanah. Nilai Perolehan Air Tanah yang dihitung dengan mempertimbangkan sebagian atau seluruh faktor-faktor sebagai berikut: jenis sumber air lokasi sumber air tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan kualitas air tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air. Besarnya Tarif Pajak-nya yang akan dipungut maksimal sebesar 20% (dua puluh persen). Dengan dasar tarif itulah nantinya akan diperoleh besaran pokok Pajak Air Tanah yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak. Dan Pajak Air Tanah yang terutang akan dipungut di wilayah daerah tempat air diambil

MEKANISME PEMBAYARAN DAN PELAPORAN PAJAK DAERAH

Sistem pemungutan pajak daerah Pemungutan Pajak Daerah menerapkan 2 (dua) sistem yaitu Self Assesment dan Official Assesment. Wajib pajak diberikan kebebasan untuk memilih salah satu dari kedua sistem diatas. Self assesment merupakan sistem dimana wajib pajak menghitung dan menetapkan sendiri besarnya pajak terutang melalui media Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), sedangkan Official Assesment adalah perhitungan dan penetapan pajak dilakukan oleh pejabat Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah berdasarkan laporan dari wajib Pajak.

Masa pajak 1. Untuk Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak hiburan, Pajak Penerangan Jalan dan Pajak Parkir, masa pajaknya adalah I (Satu) Bulan. 2. Untuk Pajak Reklame, masa pajaknya sama dengan masa ijin reklame.

Pendaftaran wajib pajak 1. Pendaftaran wajib pajak dilakukan terhadap calon wajib pajak yang berdomisili didalam maupun diluar wilayah Kota Bogor, yang obyek pajaknya berada di wilayah Kota Bogor. 2. Untuk melakukan pendaftaran, petugas Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah menyampaikan formulir pendaftaran kepada calon Wajib Pajak untuk diisi secara jelas, benar dan lengkap. 3. Setelah formulir pendaftaran diisi oleh calon wajib pajak, dikirim atau disampaikan kepada petugas Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah untuk kemudian dicatat dalam Daftar Induk Wajib Pajak berdasarkan nomor urut, yang digunakan sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD).

Pendataan wajib pajak 1. Paling Lambat 10 (Sepuluh) hari setelah berkahirnya masa pajak, wajib pajak harus menyampaikan SPTPD atau laporan Data Omzet/Volume Produksi/data teknis kepada petugas Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah. 2. Dokumen tersebut diisi secara jelas, benar dan lengkap serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasanya.

Perhitungan dan penetapan 1. Untuk Wajib Pajak sistem Self Assesment, perhitungan dan penetapan pajak dilakukan sendiri. 2. Untuk wajib pajak sistem Official Assesment, perhitungan dan penetapan dilakukan oleh pejabat Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah atas dasar laporan data omzet/volume produksi/data teknis yang disampaikan oleh wajib pajak dituangkan

dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) yang ditandatangani oleh Pejabat Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah. 3. Untuk wajib pajak Self Assesment, yang berdasarkan pemeriksaan atau keterangan informasi lainnya, ternyata jumlah pajak terhutang dalam SPTPD kurang dari jumlah yang sebenarnya, maka pejabat Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah akan menerbitkan Surat Ketetapan Daerah Kurang Bayar. (SKPDKB).

Pembayaran pajak 1. Berdasarkan SPTPD, SKPD atau SKPDKB, paling lambat akhir bulan setelah berakhirnya masa pajak, wajib pajak harus membayar pajak terhutang ke kas daerah (Bank Jabar, atau Bank Jateng) atau kepada Bendaharawan Khusus Penerima (BKP) Dinas PPKA Kota setempat. 2. Bagi wajib Pajak yang membayar melalui kas daerah (Bank Jabar Cabang Bogor) dapat melakukan pembayaran langsung ke BANK JABAR atau BANK JATENG atau melalui transfer/pemindahbukuan ke REKENING KAS DAERAH KOTA setempat. Dengan mencantumkan secara jelas dan benar mengenai Nama Jenis Pajak, Masa Pajak dan Jumlah Pembayaran. Setoran tersebut oleh Bank Jabar dilaporkan kepada Dinas PPKA Kota Bogor dan atas dokumen penerimaan pembayaran tersebut Dinas PPKA Kota setempat menerbitkan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD). 3. Bagi Wajib Pajak yang membayar melalui BKP Dinas PPKA Kota setempat,

pembayaran dilakukan melalui loket pembayaran di Kantor Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota setempat. Selanjutnya BKP Dinas PPKA Kota setempat menerbitkan SSPD sebagai bukti pembayaran serta dalam jangka waktu 1 x 24 Jam BKP harus menyetorkan penerimaannya ke Kas Daerah Bank Jabar atau Bank Jateng.

Permohonan pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak 1. Berdasarkan permohonan wajib pajak, Walikota atau Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak.

2. Permohonan diajukan oleh Wajib Pajak kepada Walikota atau Kepala Dinas Pendapatan, Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah secara tertulis, jelas dan lengkap disertai alasanalasannya. 3. Permohonan tersebut dikabulkan apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan keterangan lain menunjukan bahwa permohonan tersebut layak dipenuhi.

Permohonan keberatan dan banding 1. Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas ketetapan pajak daerah. 2. Keberatan diajukan kepada Walikota atau Kepala Dinas PPKA Kota setempat secara tertulis dalam bahasa Indonesia paling lama 3 (Tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Ketetapan Pajak. 3. Dalam jangka waktu paling lama 12 (Dua Belas) bulan sejak diterimanya permohonan, Walikota atau Kepala Dinas PPKA Kota setempat memberi keputusan setelah dilakukan pemeriksaan dan atau penelitian. 4. Jika dalam jangka waktu tersebut Walikota atau Kepala Dinas PPKA Kota setempat tidak memberi Keputusan maka permohonan keberatan dianggap dikabulkan. 5. Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban wajib pajak untuk membayar kewajibannya. 6. Apabila wajib pajak tidak menerima Keputusan Walikota atau Kepala Dinas PPKA Kota setempat, wajib pajak dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah diterimanya keputusan keberatan. 7. Pengajuan banding tidak menunda kewajiban wajib pajak untuk membayar pajak.

Sanksi administrasi 1. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang di bayar dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 (Dua) % sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) Bulan dihitung sejak sampai terutangnya pajak. 2. Apabila SPTPD (Surat Pemberitahun Pajak Daerah) tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dan telah ditegur secara tertulis, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar

untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. 3. Apabila kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan dan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25 % dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. 4. SKPDKBT (Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan) diterbitkan apabila ditemukan data baru atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang akan dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut. 5. SKPDN (Surat Ketetapan Pajak daerah Nihil) diterbitkan apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. 6. Apabila kewajiban membayar pajak terutang dalam SKPDKB dan SKPDKBT tidak atau tidak sepenuhnya dibayar dalam jangka waktu yang telah di tentukan, ditagih dengan menerbitkan STPD ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga 2% sebulan.

Sanksi pidana 1. Wajib pajak yang karena kealpaannya mengisi SPTPD secara tidak benar dan atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terhutang. 2. Wajib Pajak yang dengan sengaja megisi SPTPD secara tidak benar dan atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar dapat dipidana dengan pidanan kurungan paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terhutang.

PEMERIKSAAN PAJAK DAERAH 1. Pemeriksaan Pajak Daerah. Salah satu tahapan yang penting dalam keberhasilan pemungutan pajak daerah adalah adanya kepastian bahwa wajib pajak telah melaksanakan kewajibannya secara benar. Untuk mengetahui hal ini, kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk harus melakukan pemeriksaan terhadap wajib pajak. Pemeriksaan pajak daerah adalah suatu proses yang diperlukan dalam pemungutan pajak untuk membuktikan kebenaran pelaksanaan kewajiban perpajakan yang diatur oleh undang-undang. Pemeriksaan pajak daerah menghendaki kerjasama yang baik dari wajib pajak yang diperiksa. Oleh karena itu, wajib pajak yang diperiksa wajib: a. memperlihatkan dan atau meminjamkan buku atau catatan dokumen yang menjadi dasarnya dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek pajak yang terutang. b. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan, termasuk memberikan kesempatan kepada petugas untuk melakukan pemeriksaan kas dan c. Memberikan keterangan yang diperlukan. Apabila wajib pajak tidak dapat memenuhi kewajibannya yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak, dikenakan penetapan secara jabatan. Hal ini diatur untuk memberikan kepastian kepada fiskus untuk melaksanakan tugasnya dan menghindarkan wajib pajak dari keinginan menghalangi jalannya pemeriksaan.

2. Tujuan dan tata cara Pemeriksaan Pajak Daerah Kepala Daerah dalam rangka pengawasan berwenang melakukan pemeriksaan dengan tujuan untuk: a. menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan b. tujuan lain dalam rangka melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Pemeriksaan pajak dapat dilakukan di kantor atau di tempat wajib pajak yang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi tahun-tahun yang lalu maupun tahun berjalan.

3. Bentuk Pemeriksaan Pajak Daerah Pemeriksaan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan lengkap atau pemeriksaan sederhana. Pemeriksaan lengkap merupakan pemeriksaan lapangan terhadap seluruh kegiatan wajib pajak yang bersifat komprehensif. Pemeriksaan lengkap dilakukan di tempat domisili atau di lokasi usaha wajib pajak, meliputi seluruh jenis pajak untuk tahun pajak berjalan dan atau tahun-tahun pajak sebelumnya

yang dilakukan dengan menerapkan teknis pemeriksaan pada umumnya lazim digunakan dalam pemeriksaan. Pemeriksaan sederhana atau verifikasi merupakan pemeriksaan singkat yang dapat berupa pemeriksaan sederhana di kantor maupun pemeriksaan sederhana di lapangan. Pemeriksaan sederhana dapat dilakukan: a. di lapangan, meliputi seluruh jenis pajak untuk tahun pajak berjalan atau tahun-tahun pajak sebelumnya yang dilakukan dengan menerapkan teknik pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman yang sederhana atau b. di kantor, meliputi jenis pajak tertentu untuk tahun pajak berjalan yang dilakukan dengan menerapkan teknik pemeriksaan dengan bobot dan kedalaman yang sederhana.

4. Norma Pemeriksaan Pajak Daerah Pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman pada norma pemeriksaan yang memuat batasan terhadap pemeriksa, pemeriksaan dan wajib pajak. Pelaksanaan pemeriksaan berpedoman pada norma pemeriksaan sebagai berikut: a. pemeriksaan dapat dilakukan oleh seorang atau lebih pemeriksa. Pemeriksa adalah pegawai negeri sipil di lingkungan pemerintah daerah atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh kepala daerah yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan pemeriksaan di bidang pajak daerah. b. Pemeriksaan dilaksanakan di kantor pemeriksa, di kantor wajib pajak, atau di tempat usaha atau di tempat tinggal atau di tempat lain yang diduga ada kaitannya dengan kegiatan usaha atau pekerjaan wajib pajak atau di tempat lain yang ditentukan oleh kepala daerah atau pejabat. c. Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan dapat dilanjutkan di luar jam kerja, jika dipandang perlu. d. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam laporan pemeriksaan. e. Hasil pemeriksaan yang seluruhnya disetujui oleh wajib pajak, dibuatkan surat pernyataan tentang persetujuannya dan ditandatangani oleh wajib pajak yang bersangkutan. f. Terhadap temuan dalam pemeriksaan yang tidak atau tidak seluruhnya disetujui oleh wajib pajak, dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan. g. Berdasarkan laporan pemeriksaan, diterbitkan surat ketetapan pajak daerah dan STPD sepanjang tidak dilanjutkan dengan tindakan penyidikan. Pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan lapangan berpedoman pada norma pemeriksaan sebagai berikut:

a. pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan. b. Pemeriksa wajib memberitahukan secara tertulis tentang akan dilakukan pemeriksaan kepada wajib pajak. c. Pemeriksa wajib memperlihatkan tanda pengenal pemeriksa dan surat perintah pemeriksaan kepada wajib pajak. d. Pemeriksa wajib menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada wajib pajak yang akan diperiksa. e. Pemeriksa wajib membuat laporan pemeriksaan. f. Pemeriksa wajib memberitahukan secara tertulis kepada wajib pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang berbeda antara SPTPD dengan hasil pemeriksaan. g. Pemeriksa wajib mengembalikan buku-buku, catatan dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari wajib pajak paling lama empat belas hari sejak selesainya pemeriksaan. h. Pemeriksa dilarang memberitahu pihak lain yang tidak berhak tentang segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan oleh wajib pajak kepadanya dalam rangka pemeriksaan. i. Pemeriksa wajib memberi petunjuk kepada wajib pajak mengenai penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan, dengan tujuan agar penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk tahun-tahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pemeriksa dalam melaksanakan pemeriksaan kantor berpedoman pada norma pemeriksaan: a. pemeriksa menyampaikan surat panggilan yang ditandatangani oleh kepala daerah atau pejabat untuk memanggil wajib pajak agar datang ke kantor Dinas Pendapatan Daerah dalam rangka pemeriksaan. b. Pemeriksa wajib menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada wajib pajak yang akan diperiksa. c. Pemeriksa wajib membuat laporan pemeriksaan. d. Pemeriksa wajib memberitahukan secara tertulis kepada wajib pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang berbeda antara SPTPD dengan hasil pemeriksaan. e. Pemeriksa wajib mengembalikan buku-buku, catatan dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari wajib pajak paling lama tujuh hari sejak selesainya pemeriksaan. f. Pemeriksa dilarang memberitahukan kepada pihak lain yang tidak berhak tentang segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan oleh wajib pajak dalam rangka pemeriksaan.

g. Pemeriksa wajib memberi petunjuk kepada wajib pajak mengenai penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan, dengan tujuan agar penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan untuk tahun-tahun selanjutnya dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.

Bagi wajib pajak pada saat diperiksa berpedoman pada norma pemeriksaan sebagai berikut: a. wajib pajak wajib memenuhi pelaksanaan pemeriksaan baik di lapangan maupun di kantor sesuai dengan waktu yang ditentukan. b. Wajib pajak berhak meminta kepada pemeriksa untuk memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan dan tanda pengenal pemeriksa. c. Wajib pajak berhak meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan pemeriksaan. d. Wajib pajak berhak meminta kepada pemeriksa rincian yang berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan SPTPD. e. Wajib pajak wajib menandatangani surat pernyataan persetujuan apabila seluruh hasil pemeriksaan disetujui. f. Wajib pajak wajib menandatangani berita acara hasil pemeriksaan apabila hasil pemeriksaan tersebut tidak atau tidak seluruhnya disetujui. g. Wajib pajak wajib memenuhi permintaan peminjaman buku-buku, catatan dan dokumen yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan. h. Wajib pajak wajib memberikan izin untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. i. Wajib pajak wajib memberikan keterangan yang diperlukan.

5. Pedoman Pemeriksaan Pajak Daerah. Pelaksanaan pemeriksaan terhadap wajib pajak didasarkan pada pedoman pemeriksaan yang meliputi pedoman umum pemeriksaan, pedoman pelaksanaan pemeriksaan dan pedoman laporan pemeriksaan. Pedoman umum pemeriksaan adalah sebagai berikut: a. pemeriksaan dilaksanakan oleh pemeriksa yang telah mendapat pendidikan teknis pemeriksa pajak daerah dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa. b. Pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggungjawab, penuh pengabdian, bersifat terbuka, sopan dan objektif, serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.

c. Pemeriksaan harus dilakukan oleh pemeriksa dengan menggunakan keahliannya secara cermat dan seksama serta memberikan gambaran yang sesuai dengan keadaan sebenarnya tentang wajib pajak. d. Temuan hasil pemeriksaan dituangkan dalam kertas kerja pemeriksaan sebagai bahan untuk menyusun laporan pemeriksaan. Pedoman pelaksanaan pemeriksaan adalah sebagai berikut: a. pelaksanaan pemeriksaan harus didahului dengan program pemeriksaan, sesuai dengan tujuan pemeriksaan dan dengan pengawasan yang seksama. b. Luas pemeriksaan ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh, yang harus dikembangkan dengan bukti yang kuat melalui pencocokan data, pengamatan, tanya jawab, dan tindakan lain berkenaan dengan pemeriksaan. c. Pendapat dan kesimpulan pemeriksa harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berlandaskan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Pedoman laporan pemeriksaan adalah sebagai berikut: a. laporan pemeriksaan disusun secara rinci, ringkas dan jelas sesuai ruang lingkup dan tujuan pemeriksaan, memuat kesimpulan pemeriksaan yang didukung bukti yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan daerah, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang diperlukan. b. Laporan pemeriksaan yang berkaitan dengan pengungkapan penyimpangan SPTPD harus memperhatikan: 1). Faktor pembanding. 2). Nilai absolut dari penyimpangan. 3). Sifat, bukti dan petunjuk adanya penyimpangan. 4). Pengaruh penyimpangan dan 5). Hubungan dengan permasalahan lainnya.

6. Cara Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak Daerah Pemeriksaan lapangan, dilakukan dengan cara berikut ini: a. pemeriksa memeriksa tanda pelunasan pajak dan keterangan lainnya sebagai bukti pelunasan kewajiban perpajakan daerah. b. Pemeriksa memeriksa buku-buku, catatan dan dokumen pendukung lainnya termasuk keluaran dan media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya. c. Pemeriksa meminjam buku-buku, catatan dan dokumen pendukung lainnya termasuk keluaran media komputer serta perangkat elektronik pengolah data lainnya dengan memberikan tanda terima.

d. Pemeriksa meminta keterangan lisan dan atau tertulis dari wajib pajak yang diperiksa. e. Pemeriksa memasuki tempat atau ruangan yang diduga merupakan tempat menyimpan dokumen, uang, barang, yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha wajib pajak dan atau tempattempat lain yang dianggap penting serta melakukan pemeriksaan di tempat-tempat tersebut. f. Pemeriksa melakukan penyegelan tempat atau ruangan tersebut apabila wajib pajak atau wakil atau kuasanya tidak memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan dimaksud atau tidak ada di tempat pada saat pemeriksaan. Tata cara penyegelan terhadap tempat atau ruangan yang dilakukan oleh pemeriksa ditetapkan oleh kepala daerah. g. Pemeriksa meminta keterangan dan atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa. Pemeriksaan kantor dilakukan dengan cara berikut ini: a. Pemeriksa memberitahukan agar wajib pajak membawa tanda pelunasan pajak, buku-buku, catatan dan dokumen pendukung lainnya termasuk keluaran dari media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya. b. Pemeriksa meminjam buku-buku, catatan dan dokumen pendukung lainnya termasuk keluaran dari media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya dengan memberikan tanda terima. c. Pemeriksa memeriksa buku-buku, catatan dan dokumen pendukung lainnya termasuk keluaran dan media komputer dan perangkat elektronik pengolah data lainnya. d. Pemeriksa meminta keterangan lisan dan atau tertulis dari wajib pajak yang diperiksa. e. Pemeriksa meminta keterangan dan atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan wajib pajak yang diperiksa. Jika pada saat dilakukan pemeriksaan lapangan, wajib pajak atau wakil atau kuasanya tidak ada di tempat, pemeriksaan tetap dilaksanakan sepanjang ada pihak yang mempunyai kewenangan untuk bertindak mewakili wajib pajak sesuai batas kewenangannya dan selanjutnya pemeriksaan ditunda untuk dilanjutkan pada kesempatan berikutnya. Untuk keperluan pengamanan pemeriksaan, sebelum pemeriksaan lapangan ditunda, pemeriksa dapat melakukan penyegelan tempat atau ruangan yang diperlukan. Pada saat pemeriksaan lapangan dilanjutkan , wajib pajak atau wakil atau kuasanya tidak juga ada di tempat, pemeriksaan tetap dilaksanakan dengan terlebih dahulu meminta pegawai wajib pajak yang bersangkutan untuk mewakili wajib pajak guna membantu kelancaran pemeriksaan. Apabila pegawai wajib pajak yang diminta mewakili wajib pajak menolak untuk membantu kelancaran pemeriksaan, yang bersangkutan harus menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan. Ketika wajib pajak atau wakil atau kuasanya tidak memberikan izin untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan tidak memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaa serta memberikan

yang diperlukan, wajib pajak atau wakil atau kuasanya harus menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Pemeriksaan. Apabila terjadi penolakan untuk menandatangani Surat Pernyataan Penolakan Pemeriksaan atau Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan, pemeriksa membuat Berita Acara Penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh pemeriksa. Surat Pernyataan Penolakan Pemeriksaan, Surat Pernyataan Penolakan Membantu Kelancaran Pemeriksaan dan Berita Acara Penolakan Pemeriksaan dapat dijadikan dasar untuk penetapan besarnya pajak terutang secara jabatan atau dilakukan penyidikan. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam laporan pemeriksaan yaitu laporan tentang hasil pemeriksaan yang disusun oleh pemeriksa secara rinci, ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan maksud pemeriksaan. Laporan pemeriksaan yang dibuat oleh pemeriksa digunakan sebagai dasar penerbitan SKPDKB, SKPDKBT atau STPD atau tujuan lain untuk pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Jika penghitungan besarnya pajak yang terutang dalam SKPDKB, SKPDKBT dan STPD berbeda dengan SPTPD, perbedaan besarnya pajak diberitahukan kepada wajib pajak yang bersangkutan. Terhadap temuan dalam pemeriksaan yang tidak atau tidak seluruhnya disetujui oleh wajib pajak atau penanggung pajak, dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan dibuatkan dalam bentuk berita acara yang ditandatangani oleh petugas pemeriksa dan wajib pajak yang bersangkutan. Pembahasan akhir hasil pemeriksaan merupakan pembahasan yang dilakukan antara pemeriksa dengan wajib pajak dalam upaya memperoleh pendapat yang sama atas temuan selama pemeriksaan. Hasil temuan tersebut, baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui, dituangkan dalam berita acara hasil pemeriksaan yang ditandatangani oleh pemeriksa dan wajib pajak, yang selanjutnya dijadikan ketetapan pajak daerah atau STPD. Pemberian tanggapan atas hasil pemeriksaan dan pembahasan akhir pemeriksaan dan pembahasan akhir pemeriksaan lengkap diselesaikan dalam waktu paling lama 21 hari setelah pemeriksaan selesai dilakukan. Pemberian tanggapan atas hasil pemeriksaan lapangan dilakukan dalam waktu paling lama tujuh hari setelah pemeriksaan lapangan selesai dilakukan. Hasil pemeriksaan kantor disampaikan kepada wajib pajak segera setelah pemeriksaan selesai dilakukan dan tidak menunggu tanggapan wajib pajak. Pemberitahuan hasil pemeriksaan kepada wajib pajak tidak dilakukan apabila pemeriksaan dilanjutkan dengan penyidikan. Jika wajib pajak tidak memberikan tanggapan atau tidak menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan, surat ketetapan pajak daerah dan atau STPD diterbitkan secara jabatan, berdasarkan hasil pemeriksaan yang disampaikan kepada wajib pajak. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan bukti permulaan tentang adanya tindak pidana di bidang perpajakan daerah, pemeriksaan tetap dilanjutkan dan pemeriksa membuat laporan pemeriksaan. Pelaksanaan pemeriksaan lebih lanjut ditetapkan oleh kepala daerah. Norma pemeriksaan, pedoman dasar penerbitan surat

laporan pemeriksaan dan tata cara pemeriksaan untuk setiap jenis pajak daerah ditetapkan oleh kepala daerah.

SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK DAEARAH (SPTPD)

1. Penyampaian SPTPD Wajib pajak yang memenuhi kewajiban pembayaran pajak dengan cara dibayar sendiri wajib menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan SPTPD. Oleh karena itu, wajib pajak melaporkan kepada kepala daerah tentang perhitungan dan pembayaran pajak dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam peaturan daerah tentang pajak daerah dimaksud. Pada beberapa jenis pajak daerah dimungkinkan pembayaran pajak oleh wajib pajak setelah ditetapkan oleh kepala daerah. Untuk menetapkan pajak yang terutang maka kepala daerah harus memiliki data tentang objek dan subjek pajak. Untuk itu, pada beberapa peraturan daerah tentang pajak daerah, kepada wajib pajak yang penetapan pajaknya dilakukan oleh kepala daerah tetap dikenakan kewajiban melaporkan data objek dan subjek pajak dengan menggunakan SPTPD. Hanya saja pelaporan pada SPTPD ini tidak mencantumkan perhitungan pajak dan pembayaran pajak yang telah dilakukan oleh wajib pajak, mengingat sebelum ditetapkan oleh kepala daerah wajib pajak belum memiliki kewajiban untuk membayar pajak terutang. SPTPD merupakan surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan penghitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak, dan atau harta dan kewajiban menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. SPTPD harus diisi dengan jelas, benar, lengkap dan ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya. Setelah itu, SPTPD disampaikan kepada kepala daerah melalui Dinas Pendapatan Daerah, dalam jangka waktu yang ditentukan dalam peraturan daerah. Apabila batas waktu penyampaian SPTPD jatuh pada hari libur, batas waktu penyampaian SPTPD jatuh pada hari kerja berikutnya. Penyampaian SPTPD dilampiri dengan keterangan atau dokumen yang ditetapkan oleh kepala daerah. SPTPD dianggap tidak disampaikan, jika tidak ditandatangani oleh wajib pajak atau penanggung pajak dan tidak dilampiri keterangan atau dokumen yang ditentukan. Wajib pajak atau penanggung pajak harus mengambil sendiri SPTPD di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau tempat lain yang ditunjuk oleh kepala daerah. Kepala Daerah menetapkan jenis pajak tertentu yang tidak diwajibkan menyampaikan SPTPD.

1. Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPTPD

Kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk atas permohonan wajib pajak atau penanggung pajak, dengan alasan yang sah dan dapat diterima, dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPTPD untuk jangka waktu tertentu. Perpanjangan jangka waktu penyampaian SPTPD dilakukan ketika wajib pajak ternyata tidak dapat menyampaikan SPTPD sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan karena benar-benar mengalami kesulitan pemberian jangka waktu perpanjangan penyampaian SPTPD dihitung sejak jangka waktu penyampaian SPTPD berakhir. Alasan wajib pajak yang sah dan dapat diterima untuk pengajuan perpanjangan jangka waktu memasukkan SPTPD adalah sebagai berikut: a. Wajib pajak berada di luar negeri dan dapat dibuktikan oleh wajib pajak tersebut. b. Wajib pajak tersebut meninggal dunia sebelum dilakukan pengalihan sebagai penanggung renteng atas pajak yang terutang. c. Adanya sengketa dengan pihak lain yang belum mendapat keputusan pengadilan. d. Segala kejadian yang menimpa wajib pajak yang berada di luar kekuasaannya.

2. Pembetulan SPTPD Wajib pajak atau penanggung pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah disampaikan. Dalam hal pembetulan SPTPD, yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, wajib pajak atau penanggung pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan atas jumlah pajak yang kurang bayar. Bunga dihitung sejak saat berakhirnya penyampaian SPTPD sampai dengan tanggal pembayaran karena pembetulan SPTPD.

3. Sanksi bila tidak menyampaikan SPTPD SPTPD dianggap tidak dimasukkan jika wajib pajak tidak melaksanakan atau tidak sepenuhnya melaksanakan ketentuan yang ada. Apabila SPTPD tidak dilaporkan atau dilaporkan tidak sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan , wajib pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa denda, yang besarnya ditentukan dalam peraturan daerah. Ketentuan ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak memandang remeh kewajibannya untuk mengisi dan menyampaikan SPTPD tepat waktu sehingga proses pengenaan dan pemungutan pajak daerah dapat dilakukan sebagaimana mestinya.

SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP)

Berdasarkan SPTPD yang disampaikan oleh wajib pajak, kepala daerah akan melakukan pemeriksaan dan mengeluarkan penetapan pajak untuk menentukan apakah kewajiban pajak yang

terutang telah dilakukan sebagaimana mestinya. Dalam jangka waktu lima tahun sesudah saat terutangnya pajak, kepala daerah dapat menerbitkan : 1. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB). 2. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT) dan 3. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN). Penerbitan surat ketetapan pajak ditujukan kepada wajib pajak tertentu yang disebabakan oleh ketidakbenaran dalam pengisian SPTPD atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak. Ketentuan ini ditujukan kepada wajib pajak baik yang membayar sendiri pajak terutang berdasar sistem self assessment maupun yang ditetapkan oleh kepala daerah. Ketentuan penerbitan surat ketetapan pajak memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap kasus-kasus tertentu. Khusus untuk SKPDKB dan SKPDKBT diterbitkan hanya terhadap wajib pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material. Ketentuan penerbitan surat ketetapan pajak memberikan kewenangan kepada kepala daerah untuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT atau SKPDN hanya terhadap kasus-kasus tertentu. Khusus untuk SKPDKB dan SKPDKBT diterbitkan apabila ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang. SKPDN diterbitkan apabila jumlah pajak terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Dengan demikian, penerbitan surat ketetapan pajak hanya dilakukan terhadap wajib pajak tertentu yang nyata-nyata atau berdasarkan hasil pemeriksaan tidak memenuhi kewajiban formal dan atau kewajiban material.

1. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB) SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar. SKPDKB diterbitkan dalam hal terjadi keadaan sebagaimana di bawah ini: a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak daerah yang terutang tidak atau kurang dibayar. Contoh seorang wajib pajak menyampaikan SPTPD pada tahun pajak 1998. Dalam jangka waktu paling lama lima tahun, berdasarkan hasil pemeriksaan diketahui bahwa SPTD yang disampaikan tidak benar. Atas pajak terutang yang kurang bayar tersebut, kepala daerah dapat menerbitkan SKPDKB ditambah dengan sanksi administrasi.

b. apabila SPTPD tidak disampaikan kepada kepala daerah dalam jangka waktu tertentu dan telah ditegur secara tertulis. Contoh : seorang wajib pajak tidak menyampaikan SPTPD pada tahun 1998. Setelah ditegur dalam jangka waktu tertentu wajib pajak belum juga menyampaikan SPTPD, dalam jangka waktu paling lama lima tahun kepala daerah dapat menerbitkan SKPDKB atas pajak yang terutang. c. Apabila kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, pajak yang terutang dihitung secara jabatan. Yang dimaksud kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi dapat terjadi karena dua kemungkinan yaitu SPTPD sama sekali tidak disampaikan atau SPTPD disampaikan, tetapi tidak diisi dengan benar. Pengertian penetapan pajak secara jabatan adalah penetapan besarnya pajak terutang dilakukan oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk berdasarkan data yang ada atau keterangan lain yang dimiliki oleh kepala daerah atau pejabat yang ditunjuk. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB yang dikeluarkan karena wajib pajak tidak menyampaikan SPTPD kepada kepala daerah tepat waktu atau berdasarkan hasil pemeriksaan didapati bahwa pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau tidak atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutang pajak. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB. Jumlah pajak yang terutang dalam SKPDKB yang dikeluarkan karena wajib pajak tidak memenuhi kewajiban mengisi SPTPD yang seharusnya dilakukannya sehingga pajak yang terutang dihitung secara jabatan, dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebsar 25 % dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak. Dalam kasus ini kepala daerah menetapkan pajak yang terutang secara jabatan melalui penerbitan SKBKB. Selain sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 25 % dari pokok pajak yang terutang juga dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% sebulan dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 bulan. Sanksi administrasi berupa bunga dihitung sejak saat terutangnya pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB. Contohnya seorang wajib pajak tidak menyampaikan SPTPD untuk masa pajak Januari tahun 2000. Setelah ditegur secara tertulis wajib pajak tersebut tidak juga memenuhi kewajiban perpajakannya, Kepala Dinas Pendapatan Daerah melakukan penetapan pajak yang terutang secara jabatan pada bulan April 2002. Berdasarkan penetapan pajak secara jabatan dihitung bahwa pajak yang terutang adalah Rp 160.000.000,- dan diketahui bahwa pembayaran pajak tahun 2000 yang telah dilakukan oleh wajib pajak adalah Rp 100.000.000,-. Berdasarkan hal ini, perhitungan SKPDKB adalah sebagai berikut: o Pajak daerah berdasarkan penetapan secara jabatan Rp 160.000.000,-

o o o o o o

Pembayaran pajak daerah tahun 2000

Rp 100.000.000,--------------------- -

Pajak kurang dibayar Sanksi berupa kenaikan 25% x Rp 160.000.000,-

Rp 60.000.000,Rp 40.000.000,---------------------+

Pajak kurang dibayar Sanksi berupa bunga 2% x 16 x Rp 100.000.000,-

Rp 100.000.000,Rp 32.000.000,--------------------- +

Pajak yang harus dibayar

Rp 132.000.000,-

2. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT) SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. SKPDKBT diterbitkan jika ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap sehingga menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang. Contoh wajib pajak yang kepadanya telah diterbitkan SKPDKB dan dalam jangka waktu paling lama lima tahun sesudah pajak yang terutang ditemukan data baru dan atau data yang semula belum terungkap sehingga menyebabkan penambahan jumlah pajak yang terutang, kepala daerah dapat menerbitkan SKPDKBT. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKBT dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100 % dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Jika wajib pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakannya dengan benar, yaitu dengan ditemukannya data baru dan atau data yang semula belum terungkap yang berasal dari hasil pemeriksaan sehingga pajak yang terutang bertambah, wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pajak. Sanksi kenaikan pajak tidak dikenakan apabila wajib pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan pajak oleh fiskus.

3. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil (SKPDN) SKPDN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. SKPDN diterbitkan apabila jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. Contoh terhadap wajib pajak yang berdasarkan hasil pemeriksaan kepala daerah ternyata jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak, kepala daerah dapat menerbitkan SKPDN. Penerbitan SKPDN dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum bahwa pajak terutang yang dibayar dan dilaporkan

oleh wajib pajak telah sesuai ketentuan peraturan daerah tentang pajak daerah dimaksud. SKPDN dikhususkan bagi wajib pajak yang membayar pajak dengan sistem self asssessment.

4. Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) STPD diterbitkan apabila : a. pajak dalam tahun berjalan tidak atau kurang bayar. b. Dari hasil penelitian SPTPD terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung atau c. Wajib pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. STPD diterbitkan baik terhadap wajib pajak yang melakukan kewajiban pajak yang dibayar sendiri maupun terhadap wajib pajak yang melaksanakan kewajiban pajak berdasarkan penetapan oleh kepala daerah. Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan kepada wajib pajak yang tidak atau kurang membayar pajak yang terutang. Sementara itu, sanksi administrasi berupa denda dikenakan karena tidak dipenuhinya ketentuan formal, misalnya tidak atau terlambat menyampaikan SPTPD. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STPD karena poin a dan b di atas ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan untuk paling lama lima belas bulan sejak saat terutang pajak. SKPD yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran sebesar 2% sebulan dan ditagih melalui STPD.

SUBYEK, OBYEK, DAN PERHITUNGAN PBB, BPHTB, DAN BEA MATERAI

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) A. Objek Pajak PBB 1. Yang menjadi obyek PBB adalah bumi dan bangunan. 2. Bumi adalah permukaan bumi atau tanah dan isi yang ada di bawahnya, termasuk tanah pekarangan, sawah, empang dan perairan pedalaman (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 JO Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 ). 3. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada bumi, tanah atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha maupun tempat yang diusahakan (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 JO Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994).

Termasuk dalam pengertian bangunan : a. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan, seperti hotel, pabrik dan emplasemennya, yang merupakan satu kesatuan dengan komplek bangunan tersebut; b. Jalan tol; c. Kolam renang; d. Pagar mewah; e. Tempat olah raga; f. Galangan kapal, dermaga; g. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; h. Fasilitas lain yang memberikan manfaat (Penjelasan Pasal 1 angka 2 UndangUndang Nomor 12 Tahun 1985 JO Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 ).

B.

Dikecualikan dari pengenaan PBB (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 JO Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 ) 1. Tanah atau bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan nasional, yang dimaksudkan untuk tidak memperoleh keuntungan. Contoh objek yang dikecualikan atau tidak dikenai PBB itu seperti : pesantren atau sejenisnya, sekolahan/madrasah, tanah wakaf, rumah sakit pemerintah dan lain-lain . 2. Tanah atau bangunan yang digunakan untuk kuburan umum, peninggalan purbakala, atau sejenis dengan itu seperti museum. 3. Tanah atau bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik atau konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. 4. Tanah yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani sesuatu hak. 5. Bangunan yang digunakan oleh perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan

C.

Subyek Pajak Bumi dan Bangunan

1.

Penanggung PBB adalah orang atau badan yang : a. b. c. d. Mempunyai hak atas bumi/tanah, dan/atau; Memperoleh manfaat atas bumi/tanah dan/atau; Memiliki, menguasai atas bangunan, dan/atau; Memperoleh manfaat atas bangunan

2.

Apabila suatu bidang dan bangunan tidak diketahui secara jelas siapa yang akan menanggung pajaknya maka yang menetapkan adalah Direktorat Jenderal Pajak. Penetapan ini ditentukan berdasarkan bukti-bukti; Apakah ada perjanjian antara pemilik dan penyewa yang mengatur, siapa yang menanggung kewajiban pajaknya dan siapa yang secara nyata mendapat manfaat atas bidang tanah dan bangunan tersebut.

D.

Penghitungan PBB

Faktor-faktor yang berhubungan dengan penghitungan PBB terhutang : 1. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP ) 2. NJOPTKP 3. Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) 4. Tarif Pajak Uraian masing-masing faktor adalah sebagai berikut : 1.Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) berdasarkan tabel yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak 2.Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) adalah NJOP yang tidak dikenakan PBB yaitu Rp. 12.000.000,3.NJKP atau Nilai Jual Kena Pajak yang besarnya ditetapkan sebesar 20 % dan 40 % (khusus untuk perumahan dengan NJOP Rp 1 miliar) dari NJOP. 4.Tarif pajak adalah sebesar 0,5 %. 5.Rumus untuk mengitung PBB adalah sebagai berikut : PBB = 0,5 % x NJKP. Atau = 0,5% X (20% atau 40% X ( NJOP-NJOPTKP))

Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) 1. NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Apabila tidak terdapat transaksi secara wajar, NJOP ditentukan melalui

perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP Pengganti. 2. Nilai jual sebagai DPP PBB dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok A dan kelompok B (523/KMK.04/1998). 3. NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya.

Nilai Jual Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) 1. NJOPTKP adalah batas minimal NJOP yang menurut ketentuan UU tidak dikenakan pajak 2. NJOPTKP ditetapkan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) untuk setiap wajib pajak. 3. Besarnya NJOPTKP untuk setiap daerah kabupaten/kota, ditetapkan oleh Kepala Kanwil Ditjen Pajak atas nama Menteri Keuangan berdasarkan pendapat Pemda setempat 4. Apabila seorang wajib pajak memiliki beberapa objek pajak, maka yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang mempunyai nilai jual paling besar, Sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi dengan NJOPTKP,

NJKP atau Nilai Jual Kena Pajak 1. NJKP adalah nilai jual yang digunakan sebagai dasar penghitungan pajak, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. 2. Besarnya NJKP ditetapkan sebesar : a. Obyek pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40 % (empat puluh persen ) dari Nilai jual Objek Pajak; b. Objek pajak lainnya : Sebesar 40 % ( empat puluh persen ) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah ) atau lebih;

Sebesar 20 % (dua puluh persen ) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Pajak Objeknya kurang dari Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Contoh Penghitungan PBB : Pak Kasno terkenal sebagai tuan tanah, selain memiliki sawah yang luas juga memiliki Rumah mewah di Wilayah Madiun, data sawah dan rumah Kasno sbb : Luas sawah 5 Hektar ( 1 hektar = 10.000 m2), Untuk rumah, luas tanah adalah 500 m2 dan bangunan 200 m2, NJOP Sawah sebesar 10.000 per m2, NJOP tanah rumah sebesar 100.000 per m2 dan bangunan sebesar 1.000.000 per m2, Pertanyaan : Hitunglah total PBB Pak Kasno? Jawaban, 1. Menentukan NJOP untuk seluruh tanah dan bangunan, a. Sawah, luas = 5 ha X 10.000 M2 = 50.000 M2 NJOP sawah = Harga X luas = 10.000 x 50.000 = Rp. 500.000.000,b. Rumah, NJOP tanah = 100.000 X 500 = Rp. 50.000.000,NJOP bangunan = 1.000.000 X 200 = Rp. 200.000.000,NJOP rumah (tanah &bangunan) = 250.000.000 Total NJOP sawah dan rumah = 750.000.000

2.

Menentukan NJOPTKP yaitu apabila seorang mempunyai lebih dari satu obyek maka NJOPTKP hanya terhadap satu obyek saja yang terbesar (sawah) berupa pengurangan NJOP yang tidak dikenakan pajak sebesar 12.000.000,-, sehingga NJOP sebagai dasar penghitungan sbb : NJOP Sawah = 500.000.000,NJOPTKP = 13.000.000,NJOP sebagai dasar penghitungan sawah = 487.000.000

NJOP sbg dasar penghitungan rumah (tetap) = 250.000.000 3. Menentukan NJKP (nilai jual kena pajak) yaitu 20% dari NJOP NJKP Sawah = 20% X 487.000.000 = 97.400.000,NJKP Rumah = 20% X 250.000.000 = 50.000.000,4. Menentukan PBB (tarif X NJKP) PBB sawah = 0,5% X 97.400.000 = 487.000 PBB Rumah = 0,5% X 50.000.000 = 250.000 Jadi Total PBB pak Kasno = 737.000,-

Saat dan Tempat PBB Terutang 1. Saat PBB Terutang Saat yang menentukan pajak bumi dan bangunan terutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari, 2. Tempat PBB Terutang Untuk daerah Jakarta, PBB terutang di wilayah DKI Jakarta; Untuk daerah lainnya, PBB terutang di wilayah Kabupaten Dati II atau Kotamadya Dati II; yang meliputi letak objek pajak

Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan (BPHTB) A. Objek BPHTB ( pasal 2 undang-undang nomor 20 tahun 2000 ) 1. Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. 2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir a meliputi : a. Pemindahan hak karena : jual beli; tukar-menukar; hibah; hibah wasiat; waris; pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya; pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

penunjukkan pembeli dalam lelang; pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap; penggabungan usaha; peleburan usaha; pemekaran usaha; hadiah. b. Pemberian hak baru karena : kelanjutan pelepasan hak; diluar pelepasan hak. c. Hak atas sebagaimana dimaksud dalam butir a adalah : hak milik; hak guna usaha; hak guna bangunan; hak pakai; hak milik atas satuan rumah susun; hak pengelolaan.

B. Objek BPHTB yang dikecualikan 1. Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh : perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik ; negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan

pembangunan guna kepentingan umum ; badan atau perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Menteri ; orang pribadi atau badan karena konversi hak dan perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama : karena wakaf : karena warisan : untuk digunakan kepentingan ibadah.

2. Objek pajak yang diperoleh karena hibah wasiat dan hak pengelolaan pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 dan Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000.

C. Subjek BPHTB 1. Yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. 2. Subjek pajak sebagaimana dimaksud pada butir a yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut Undang-undang ini.

D. Tarif dan dasar pengenaan BPHTB Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen). Dasar Pengenaan : 1. Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. 2. Nilai Perolehan Objek Pajak di atas dalam hal : a. Jual beli adalah harga transaksi; b. Tukar- menukar adalah nilai pasar objek pajak tersebut; c. Hibah adalah nilai pasar objek pajak tersebut; d. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar objek pajak tersebut; e. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan hak adalah nilai pasar objek pajak tersebut; f. Penunjukkan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang; g. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hokum tetap adalah nilai pasar objek pajak tersebut; h. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar objek pajak tersebut; i. Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar objek pajak tersebut.

3. Apabila Nilai Jual Objek Pajak sebagaimana dimaksud diatas tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan. 4. Apabila Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud diatas belum ditetapkan, Menteri keuangan dapat menetapkan besarnya Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan. 5. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional setinggitingginya Rp 60.000.000,- (enam puluh juta rupiah). 6. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak adalah Nilai Perolehan Pajak dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. 7. Besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak. 8. BPHTB = 5% x NPOPKP Contoh : a. Wajib Pajak "A" membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehen Objek Pajak (harga transaksi) Rp.29.000.000.-. Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan tersebut yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebesar Rp. 35.000.000,- maka dipakai sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Rp. 35.000.000,- dan bukan Rp. 29.000.000,-. b. Pada tanggal 2 Januari 1998, Wajib Pajak "A" membeli tanah dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 24.000.000,-. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 30.000.000,-. Karena Nilai Perolehan Objek Pajak berada dlbawah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak, maka perolehan hak atas tanah tersebut tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. c. Pada tanggal 1 Februari 1998, Wajib Pajak "A" membeli tanah dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Rp 52.000.000,-. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp 30.000.000,-. Maka, Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak

adalah (Rp 52.000.000,00 - Rp 30.000.000,00) Rp 22.000.000,- sehingga BPHTB = 5% X 22.000.000 = 1.100.000,9. Pengenaan objek pajak yang diatur khusus dengan Peraturan Pemerintah. a. BPHTB yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah 50% (lima puluh persen) dari BPHTB yang seharusnya terutang (PP No. 111 Tahun 2000). b. Hak pengelolaan : Departemen, lembaga pemerintahan non departemen, PEMDA Tk I & II, lembaga pemerintahan lainnya, PERUM PERUMNAS terhutang 0% (nol persen). Apabila penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud pada huruf a, maka BPHTB terutangnya 50% dari BPHTB. Keterangan : Kewajiban membayar BPHTB sebesar 0% harus dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas ( SKB ) BPHTB yang diterbitkan oleh KPPBB.

E. Saat pajak terhutang Saat pajak terhutang dibedakan atas perolehan hak atas tanah dan bangunan, karena : 1. Jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang menyebabkan peralihan hak, hadiah, peleburan usaha, dan pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan penandatanganan akta; 2. Lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang; 3. Hibah Wasiat, Waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan (Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000); 4. Pemberian hak baru atas tanah sebagi kelanjutan pelepasan hak dan pemberian hak baru diluar pelepasan hak adalah sejak tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak; 5. Putusan hakim sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum.

F. Tempat pajak terhutang. Tempat pajak yang terhutang adalah di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II, atau Kotamadya Daerah Tingkat II, atau Propinsi Daerah Tingkat I untuk Kotamadya Admlnlstratif yang meliputil letak tanah dan atau bangunan .

G. Saat pelunasan pajak terhutang Pajak yang terhutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan Pajak Bea Materai Bea Materai adalah Pajak atas dokumen yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum. Adapun dasar hukum dari diterapkannya pajak atas bea materai adalah sebagai berikut : Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea materai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang perubahan tarif bea materai dan besarnya pengenaan harga nominal yang dikenakan bea materai. Peraturan ini sekaligus mencabut peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1995 . Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133/KMK.04/2000 , tentang bentuk,ukuran, dan warna benda materai desain tahun 2000. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 560/KMK.04/2000, tentang perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133/KMK.04/2000 tentang bentuk, ukuran, dan warna benda materai desain tahun 2000. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 571/KMK.04/2000, tentang perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133/KMK.04/2000 tentang bentuk, ukuran, dan warna benda materai desain tahun 2000. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133a/KMK.04/2000 , tentang pengadaan, pengelolaan dan penjualan benda materai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 , tentang pelunasan bea materai dengan menggunakan cara lain Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133c/KMK.04/2000 , tentang pemusnahan benda materai Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-122a/PJ/2000 tentang tata cara pelunasan bea materai dengan menggunakan benda materai.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-122b/PJ/2000 tentang tata cara pelunasan bea materai dengan membubuhkan tanda bea materai lunas dengan mesin teraan materai Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-122c/PJ/2000 tentang tata cara pelunasan bea materai dengan membubuhkan tanda bea materai lunas dengan teknologi percetakan. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-122d/PJ/2000 tentang tata cara pelunasan bea materai dengan membubuhkan tanda bea materai lunas dengan sistem komputerisasi

Objek dan tarif bea materai Pada hakekatnya objek untuk bea materai adalah dokumen. Dalam hal ini bentuk dokumen yang menjadi objek dari bea materai adalah sebagai berikut: 1. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya (antara lain: surat kuasa, surat hibah, surat pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata. Tarif bea materai untuk dokumen jenis ini adalah Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah). 2. Akta-akta notaris termasuk salinannya. Tarif bea materai untuk dokumen jenis ini adalah Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah). 3. Akta yang dibuat PPAT termasuk rangkap-rangkapnya. Tarif bea materai untuk dokumen jenis ini adalah Rp 6.000,00 (enam ribu rupiah) 4. A. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,00 atau harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing : Yang menyebutkan penerimaan uang Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan B. Apabila harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 maka tarif bea materainya Rp 3.000,00 ( tiga ribu rupiah )

C. Apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp 250.000,00 maka tidak terutang bea materai. 5. Surat berharga seperti wesel , promes dan aksep yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00. Tarif bea materai untuk dokumen ini Rp 6.000,00 ( enam ribu rupiah ). Namun apabila harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 tarif bea materainya Rp 3.000,00 ( tiga ribu rupiah ). Apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp 250.000,00 tidak terutang bea materai. 6. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00 maka tarif bea materainya adalah Rp 6.000,00 ( enam ribu rupiah ). Namun apabila harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 maka tarif bea materainya Rp 3000,00 ( tiga ribu rupiah). Apabila harga nominalnya tidak lebih dari Rp 250.000,00 maka tidak terutang bea materai. 7. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan serta surat-surat yang semula tidak dikenakan bea materai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula , yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan. Tarif bea materai yang dikenakan sebesar Rp 6.000,00 ( enam ribu rupiah ). 8. Berdasarkan bunyi pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 , maka tarif bea materai untuk cek dan bilyet giro ditetapkan sebesar Rp 3.000,00 (tiga ribu rupiah) tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal. Tarif ini berlaku efektif per 1 Mei 2000

Yang dikecualikan sebagai objek bea materai Dokumen-dokumen yang bukan termasuk objek bea materai adalah sebagai berikut : 1. Dokumen yang berupa surat penyimpanan barang , konosemen, surat angkutan penumpang dan barang, keterangan pemindahan yang dituliskan pada ketiga surat tersebut, bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang, surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim dan surat-surat sejenis lainnya. 2. Segala bentuk ijazah.

3. Tanda terima gaji, uang tunggu, pesiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu. 4. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara dan kas pemerintah daerah. 5. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari kas negara, kas pemerintah. 6. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern oganisasi 7. Dokumen yang menyebutkan tabungan pembayaran uang, uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut. 8. Surat gadai yang diberikan oleh perusahaan umum pegadaian. 9. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Saat dan pihak yang terutang bea materai A. Saat terutang bea materai adalah sebagai berikut : 1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak. Saat terutangnya bea materai atas dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen diserahkan kepada pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, misalnya cek. 2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak. Saat terutangnya bea materai adalah pada saat dokumen tersebut selesai dibuat, yang ditutup dengan tandatangan dari pihak-pihak yang bersangkutan. 3. Dokumen yang dibuat di luar negeri. Saat terutangnya bea materai adalah pada saat dokumen tersebut digunakan di Indonesia. B. Pihak yang terutang bea materai. Bea materai terutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.

Cara pelunasan bea materai 1. Dengan menggunakan benda materai yaitu materai tempel dan kertas materai. Yaitu

a. Materai tempel harus direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan bea materai. b. Materai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan c. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas materai temple d. Jika digunakan lebih dari satu materai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua materai tempel dan sebagian di atas kertas. 2. Cara pelunasan bea materai dengan cara lain yang ditetapkan menteri keuangan, yaitu: a. Membubuhkan tanda Bea Materai Lunas dengan menggunakan mesin teraan materai b. Membubuhkan tanda Bea Materai Lunas dengan teknologi percetakan c. Membubuhkan tanda Bea Materai Lunas dengan sistem komputerisasi d. Membubuhkan tanda Bea Materai Lunas dengan alat lain dan teknologi tertentu (Lihat KMK No. 133b/KMK.04/2000).

You might also like