You are on page 1of 7

SILASE

Pendahuluan Proses fermentasi dalam pembuatan silase dibantu oleh mikroorganisme dalam kondisi anaerob/hampa udara (air tight) yang mengubah karbohidrat atau gula tanaman (plant sugars) menjadi asam laktat oleh Lactobacillus Sp. Silase dapat menekan proses aktivitas bakteri pembusuk yang akan menurunkan mutu hijauan sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lama. Hijauan terbaik yang telah diperoleh tersebut harus dipotong atau dicacah terlebih dahulu sebelum pembuatan silase dengan maksud untuk meningkatkan volume dan mempercepat proses fermentasi. Setelah itu, hijauan harus segera dimasukan kedalam silo dengan kepadatan tinggi kemudian ditutup dengan cepat untuk mencegah masuknya oksigen. Di dalam silo inilah hijauan akan difermentasi atau diawetkan sampai tiba saat diberikan pada ternak. Pembuatan silase memang sederhana, namun jika dilihat dari aspek teknologi maka di dalam pembuatan silase ini terdapat proses fermentasi dan proses-proses lain yang sangat kompleks dimana melibatkan faktor mikrobiologi, kimia, dan fisik. Proses pembuatan silase dinamakan ensilase. Prinsip dasarnya adalah fermentasi dalam kondisi asam dan anaerob. Dua kondisi tersebut merupakan kunci keberhasilan dalam pembuatan silase. Beberapa aspek yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan silase antara lain kandungan oksigen dalam silo, kandungan gula dan air pada bahan, dan temperatur. Penghilangan oksigen ini sangat penting karena menurut Dr. Wayne K. Coblentz, sel tumbuhan tidak langsung mati pada saat pemanenan, namun sel tersebut terus bernapas. Apabila oksigen masih terdapat pada silo, maka gula (plant sugars) akan teroksidasi (oxidized) dan hal ini sangat merugikan karena gula sangat esensial dalam fermentasi sehingga oksidasi ini harus dicegah dengan cara pengeluaran oksigen. Oksidasi gula tanaman pun akan menurunkan nilai energi dari hijauan dan secara tidak langsung akan meningkatkan komponen serat yang memliki kecernaan rendah bagi ternak. Oleh karena itu, kandungan oksigen dalam silo harus dibatasi sehingga tercipta kondisi anaerob. Gula pada hijauan berguna sebagai substrat primer (primary substrate) bagi bakteri penghasil asam laktat yang akan menurunkan pH atau derajat keasaman (acidity) pada silase sehingga silase akan stabil dan awet pada waktu yang lama. Apabila kandungan gula pada bahan ini rendah, maka fermentasi tidak akan berjalan sempurna. Hal tersebut dikarenakan ketidakhadiran bakteri penghasil asam laktat. Fermentasi akan berlangsung secara maksimal pada saat gula tersebut difermentasi oleh bakteri penghasil asam laktat. Pembuatan silase dalam skala besar dengan jumlah yang sangat banyak, harus dilakukan pemilihan hijauan/bahan yang memiliki kandungan gula tinggi. Jika kandungan gula pada hijauan kurang, maka perlu dilakukan penambahan zat aditif untuk sumber substrat (substrate sources) bagi bakteri penghasil asam laktat. Aditif yang digunakan tentu harus merupakan bahan yang mengandung gula yang salah satunya adalah molases (produk sampingan dari ekstraksi gula yang berasal dari tumbuhan). Bahan aditif lainnya bagi silase biasanya berupa bakteri inokulan (bacterial inoculants) dan enzim. David K. Combs, dari University Wisconsin-Madison menggolongkan bakteri inokulan silase menjadi dua, yaitu bakteri homofermentatif dan bakteri heterofermentatif. Bakteri homofermentatif merupakan bakteri yang umum dalam menghasilkan asam laktat, contohnya adalah Lactobacillus plantarum, L. Acidophilus, Pediococcus cerevisiae, P. Acidilactici dan Enterococcus faecium. Organisme ini telah menunjukan kemampuannya dalam menurunkan pH selama proses

fermentasi, mengurangi tingkat kehilangan bahan kering (dry matter) silase, sehingga performans ternak dapat meningkat. Namun, silase yang difermentasi dengan bakteri homofermentatif ini kurang stabil ketika diekspos ke udara karena asam laktat yang dproduksi oleh bakteri homofermentatif ini dapat dimetabolis dengan cepat oleh beberapa spesies ragi (yeast) dan jamur (mold). Bakteri heterofermentatif dapat menghasilkan asam laktat dan asetat dalam proses fermentasi, contohnya adalah Lactobacillus buchneri. Bakteri heterofermentatif ini dapat mengurangi pertumbuhan ragi dan silase akan terlindung oleh suhu yang tinggi saat diekspos ke udara. Keuntungan ekonomis dari penggunaan Lactobacillus buchneri sebagai inokulan bergantung pada jumlah hijauan yang dapat disimpan dengan mengurangi penyusutan (losses) yang diasosiasikan dengan ketidaksatabilan aerob. Kandungan air pada bahan merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada proses fermentasi. Kandungan air yang optimal pada bahan dalam keadaan segar berkisar antara 6070% atau 65%. Dalam persentase air sebanyak itu akan sangat mendukung dalam proses fermentasi dan penghilangan oksigen pada silo saat pengemasan. Persentase kandungan air yang terlalu tinggi pada bahan akan menyebabkan tingginya konsentrasi asam butirat (butiryc acid) dan amonia, silase seperti ini akan memiliki keasaman yang kurang (pH tinggi). Hal tersebut akan menyebabkan bau yang menyengat pada silase sehingga tidak akan dikonsumsi oleh ternak. Kelebihan kandungan air pada bahan pun akan menyebabkan fermentasi clostridial yang tidak diinginkan. Pengontrolan temperatur silase sangat penting dilakukan agar berlangsung proses fermentasi karena pengontrolan temperatur sangat mendukung dalam pembentukan asam laktat. Reaksi antar gula (sugars) dengan oksigen akan menghasilkan karbondioksida, air, dan panas (heat). Untuk mengurangi suhu yang tinggi, maka harus dilakukan pengeluaran oksigen dari silo. Temperatur silase harus dipertahankan dimana fermentasi dapat berjalan secara optimal dan pembentukan bakteri asam laktat dapat berlangsung. Apabila beberapa aspek tadi telah diperhatikan dengan baik, maka kemungkinan akan diperoleh silase dengan kualitas baik pula. Dinas Peternakan Jawa Barat memiliki standar kualitas silase yang baik dan layak untuk menjadi pakan ternak. Ada empat indikator yang digunakan dalam menilai kualitas tersebut, yaitu wangi, rasa, warna, dan sentuhan. Silase yang baik memiliki wangi seperti buah-buahan dan sedikit asam, sangat wangi dan terdorong untuk mencicipinya dengan rasa yang manis dan terasa asam seperti youghurt. Warna kualitas silase yang baik adalah berwarna hijau kekuning-kuningan dan kering. Meskipun demikian, silase tidak akan pernah lebih baik dari hijauan aslinya karena adanya sejumlah tertentu zat makanan akan hilang selama proses fermentasi yang berjalan tidak sempurna. Silase pun bersifat slighty laxative atau bersifat pencahar yang dapat disebabkan bahan aditif seperti molases dengan kandungan kalium tinggi sehingga pemberian silase sebaiknya dicampur dengan hijauan kering (dry roughage) non-legum yang bersifat constipaty. Sejarah Silase Pada jaman dahulu kala di daratan Eropa ada seorang penggembala sapi, yang selalu dengan rajin dan penuh perhatian pada ternak yang di gembalanya. Dia sangat memperhatikan keberadaan beberapa anak sapi gembalaannya yang sering tidak kebagian hijauan saat merumput. Kemudian dia menyabit rumput, yang kemudian dia tempatkan pada kantung kain tebal yang selalu dia bawa sebagai tempat menyimpan bekal makannya. Rumput yang di bawanya kemudian dengan penuh rasa kasih sayang di berikan pada anak-anak sapi setibanya di kandang. Pada suatu ketika , setelah menyabit dan menempatkan rumput di dalam kantung tebalnya, anakanak sapi tersebut selalu mendekatinya dan berusaha memakan rumput yang berada dalam kantung tersebut. Penggembala itu merasa kesal,

menghardik agar anak sapi tersebut belajar merumput, kemudian dia mengubur kantung plastiknya di dalam tanah, agar anak sapi tersebut tidak manja dan mau berusaha lebih keras dalam merumput. Sebagai manusia biasa si penggembala tidak bisa menemukan kembali kuburan kantung plastiknya, saat mereka pulang ke kandang. Beberapa minggu kemudian saat menggembala pada tempat yang sama dimana dia mengubur kantung plastiknya, secara kebetulan dia menemukan kembali kuburan tersebut. Setelah di gali ulang, di buka dan dilihat isinya, ternyata rumput tersebut masih ada serta beraroma wangi dan berasa kemanisan. Dia coba berikan pada anak-anak sapi, ternyata mereka sangat menyukainya, demikian juga saat di berikan pada sapi dewasa lainnya. Sejak itulah proses fermentasi di kenal dan di pergunakan untuk mengawetkan hijauan. Pengertian Silase Silase adalah pakan yang telah diawetkan yang di proses dari bahan baku yang berupa tanaman hijauan , limbah industri pertanian, serta bahan pakan alami lainya, dengan jumlah kadar / kandungan air pada tingkat tertentu (60 70%) kemudian di masukan dalam sebuah tempat yang tertutup rapat kedap udara , yang biasa disebut dengan Silo, selama sekitar tiga minggu. Didalam silo tersebut tersebut akan terjadi beberapa tahap proses anaerob (proses tanpa udara/oksigen), dimana bakteri asam laktat akan mengkonsumsi zat gula yang terdapat pada bahan baku, sehingga terjadilah proses fermentasi. Tujuan Pembuatan Silase 1. Untuk mengatasi persediaan makanan ternak di musim kemarau panjang atau musim paceklik karena silase yang baik dapat bertahan hingga tahunan. 2. Untuk menampung kelebihan produksi hijauan makanan ternak. 3. Mendayagunakan (memanfaatkan) hasil sisa pertanian ataupun hasil ikutan pertanian. 4. Memanfaatkan hijauan pada saat pertumbuhan terbaik, yang mana pada saat itu belum dipergunakan. 5. Pakan awet (tahan lama), tidak memerlukan proses pengeringan, meminimalkan kerusakan zat makanan/gizi akibat pemanasan serta mengandung asam-asam organik yang berfungsi menjaga keseimbangan populasi mikroorganisme pada rumen (perut) sapi. 6. Kandungan gizi yang dihasilkan juga lebih tinggi, dapat memenuhi 70-90 persen kebutuhan gizi ternak sapi (silase komplit) 7. Memiliki sifat organoleptis (bau harum, asam) sehingga lebih disukai ternak (palatable). (silase komplit). 8. Lebih mudah dalam pembuatannya karena tidak perlu memerlukan tempat pemeraman yang anaerob, cukup dengan semi aerob (silase komplit). Prinsip utama pembuatan silase: 1. Menghentikan pernafasan dan penguapan sel-sel tanaman. 2. Mengubah karbohidrat menjadi asam laktat melalui proses fermentasi kedap udara. 3. Menahan aktivitas enzim dan bakteri pembusuk. 4. Kondisi HMT berkadar air 60-70%. 5. Dibuat dalam temperatur 27 35 derajat C. 6. Pengaturan udara dalam silo. Fermentasi silase adalah fermentasi asam laktat dalam kondisi anaerob oleh karena itu pengisian bahan dilakukan dalam waktu yang singkat dan segera ditutup dengan baik. 7. Kandungan gula dalam bahan yang terlarut dalam air pada bahan kering lebih dari 12 % dan 3 % pada bahan segar . Jika kandungan gula tidak cukup tersedia dalam bahan maka perlu ditambahkan gula.

8. Penyimpanan harus berada pada suhu serendah mungkin. 9. Pemotongan atau pencacahan bahan. 10. Pemadatan atau penekanan perlu dilakukan untuk meningkatkan isi silase. Prinsip Dasar Fermentasi Silase Prinsip dasar dari pengawetan dengan cara silase fermentasi adalah sebagai berikut : 1. Respirasi Sebelum sel-sel di dalam tumbuhan mati atau tidak mendapatkan oksigen, maka mereka melakukan respirasi untuk membentuk energi yang di butuhkan dalam aktivitas normalnya. Respirasi ini merupakan konversi karbohidrat menjadi energi. Respirasi ini di bermanfaat untuk menghabiskan oksigen yang terkandung, beberapa saat setelah bahan di masukan dalam silo. Namun respirasi ini mengkonsumsi karbohidrat dan menimbulkan panas, sehingga waktunya harus sangat di batasi. Respirasi yang berkelamaan di dalam bahan baku silase, dapat mengurangi kadar karbohidrat, yang pada ahirnya bisa menggagalkan proses fermentasi. Pengurangan kadar oksigen yang berada di dalam bahan baku silase, saat berada pada ruang yang kedap udara yg disebut dengan Silo, adalah cara terbaik meminimumkan masa respirasi ini.

2.

3.

Fermentasi Setelah kadar oksigen habis , maka proses fermentasi di mulai. Fermentasi adalah menurunkan kadar pH di dalam bahan baku silase. Sampai dengan kadar pH dimana tidak ada lagi organisme yang dapat hidup dan berfungsi di dalam silo. Penurunan kadar pH ini dilakukan oleh lactic acid yang di hasilkan oleh bakteri Lactobacillus. Lactobasillus itu sendiri sudah berada didalam bahan baku silase, dan dia akan tumbuh dan berkembang dengan cepat sampai bahan baku terfermentasi. Bakteri ini akan mengkonsumsi karbohidrat untuk kebutuhan energinya dan mengeluarkan lactic acid. Bakteri ini akan terus memproduksi lactic acid dan menurunkan kadar pH di dalam bahan baku silase. Sampi pada tahap kadar pH yang rendah, dimana tidak lagi memungkinkan bakteri ini beraktivitas. Sehingga silo berada pada keadaan stagnant, atau tidak ada lagi perubahan yang terjadi, sehingga bahan baku silase berada pada keadaan yang tetap. Keadaan inilah yang di sebut keadaan terfermentasi, dimana bahan baku berada dalam keadaan tetap , yang disebut dengan menjadi awet. Pada keadaan ini maka silase dapat di simpan bertahun-tahun selama tidak ada oksigen yang menyentuhnya Bakteri Clostridia Bakteri ini juga sudah berada pada hijauan atau bahan baku silase lainnya, saat mereka di masukan kedalam silo. Bakteri ini mengkonsumsi karbohidrat, protein dan lactic acid sebagai sumber energi mereka kemudian mengeluarkan Butyric acid, dimana Butyric acid bisa diasosiasikan dengan pembusukan silase. Keadaan yang menyuburkan tumbuhnya bakteri clostridia adalah kurangnya kadar karbohidrat untuk proses fermentasi , yang biasanya di sebabkan oleh : kehujanan pada saat pencacahan bahan baku silase, proses respirasi yang terlalu lama, terlalu banyaknya kadar air di dalam bahan baku. Dan juga kekurangan jumlah bakteri Lactobasillus . Itulah sebabnya kadang di perlukan penggunaan bahan tambahan atau aditive.

Tahapan atau Phase yang terjadi pada proses fermentasi Silase

Proses fermentasi ini (yang biasa di sebut dengan Ensiling), berjalan dalam enam phase, yaitu: Phase I Saat pertama kali hijauan di panen, pada seluruh permukaan hijauan tersebut terdapat organisme aerobic, atau sering disebut sebagai bakteri aerobic, yaitu bacteri yang membutuhkan udara / oksigen. Sehingga pada saat pertamakali hijauan sebagai bahan pembuatan silase di masukan ke dalam silo, bakteri tersebut akan mengkonsumsi udara/oksigen yang terperangkap di dalam rang silo tersebut. Kejadian ini merupakan sesuatu yang tidak di inginkan untuk terjadi saat ensiling, karena pada saat yang sama bakteri aerobik tersebut juga akan mengkonsumsi karbohidrat yang sebetulnya di perlukan bagi bakteri lactic acid. Walaupun kejadian ini nampak menguntungkan dalam mengurangi jumlah oksigen di dalam silo , sehingga menciptakan lingkungan anaerob seperti yang kita kehendaki dalam ensiling, namun kejadian tersebut juga menghasilkan air dan peningkatan suhu / panas. Peningkatan panas yang berlebihan akan mengurangi digestibility kandungan nutrisi, seperti misalnya protein. Proses perubahan kimiawi yang terjadi pada phase awal ini adalah terurainya protein tumbuhan, yang akan terurai menjadi amino acid, kemudian menjadi amonia dan amines. Lebih dari 50% protein yang terkandung di dalam bahan baku akan terurai. Laju kecepatan penguraian protein ini (proteolysis), sangat tergantung dari laju berkurangnya kadar pH. Raung lingkup silo yang menjadi acid, akan mengurangi aktivitas enzym yang juga akan menguraikan protein. Lama terjadinya proses dalam tahap ini tergantung pada kekedapan udara dalam silo, dalam kekedapan udara yang baik maka phase ini hanya akan bejalan beberapa jam saja. Dengan teknik penanganan yang kurang memadai maka phase ini akan berlangsung sampai beberapa hari bahkan beberapa minggu. Untuk itu maka tujuan utama yang harus di capai pada phase ensiling ini adalah, semaksimum mungkin di lakukan pencegahan masuknya udara/oksigen, sehingga keadaan anaerobic dapat secepatnya tercapai. Kunci sukses pada phase ini adalah: - Kematangan bahan - Kelembaban bahan - Panjangnya pemotongan yang akan menentukan kepadatan dalam silo - Kecepatan memasukan bahan dalam silo - Kekedapan serta kerapatan silo Phase II Setelah oksigen habis di konsumsi bakteri aerobic, maka phase dua ini di mulai, disinilah proses fermentasi dimulai, dengan dimulainya tumbuh dan berkembangnya bakteri acetic acid. Bakteri tersebut akan menyerap karbohidrat dan menghasilkan acetic acid sebagai hasil ahirnya. Pertumbuhan acetic acid ini sangat diharapkan, karena disamping bermanfaat untk ternak ruminansia juga menurunkan kadar pH yang sangat di perlukan pada phase berikutnya. Penurunan kadar pH di dalam silo di bawah 5.0, perkembangan bakteri acetic acid akan menurun dan ahirnya berhenti Dan itu merupakan tanda berahirnya phase-2. Dalam fermentasi hijauan phase-2 ini berlangsung antara 24 s/d 72 jam. Phase III Makin menurunnya kadar pH akan merangsang pertumbuhan dan perkembangan bakteri anaerob lainnya yang memproduksi latic acid. Maka pada phase ini latic acid akan bertambah terus.

Phase IV Dengan bertambahnya jumlah bakteri pada phase 3, maka karbohidrat yang akan terurai menjadi latic acid juga makin bertambah. Latic acid ini sangat di butuhkan dan memegang peranan paling penting dalam proses fermentasi. Untuk pengawetan yang efisien, produksinya harus mencapai 60% dari total organic acid dalam silase. Saat silase di konsumsi oleh ternak, latic acid akan di manfaatkan sebagai sumber energi ternak tersebut. Phase 4 ini adalah phase yang paling lama saat ensiling, proses ini berjalan terus sampai kadar pH dari bahan hijauan yang di pergunakan turun terus, hingga mencapai kadar yang bisa menghentikan pertumbuhan segala macam bakteri, dan hijauan atau bahan baku lainnya mulai terawetkan. Tidak akan ada lagi proses penguraian selama tidak ada udara/oksigen yang masuk atau di masukan. Phase V Pencapaian final kadar pH tergantung dari jenis bahan baku yang di awetkan, dan juga kondisi saat di masukan dalam silo. Hijauan pada umumnya akan mencapai kadar pH 4,5, jagung 4.0. Kadar pH saja tidaklah merupakan indikasi dari baik buruknya proses fermentasi ini. Hijauan yang mengandung kadar air di atas 70% akan mengalami proses yang berlainan pada phase 4 ini. Bukan bakteri yang memproduksi latic acid yang tumbuh dan berkembang, namun bakteri clostridia yang akan tumbuh dan berkembang. Bakteri anaerobic ini akan memproduksi butyric acid dan bukan latic acid, yang akan menyebabkan silase berasa asam. Kejadian ini berlangsung karena pH masih di atas 5.0 Phase VI Phase ini merupakan phase pengangkatan silage dari tempatnya /silo. Proses pengangkatan ini sangatlah penting namun biasanya tidak pernah di perhatikan oleh para peternak yang kurang berpengalaman. Hasil riset mengatakan bahwa lebih dari 50% silase mengalami kerusakan atau pembusukan yang di sebabkan oleh bakteri aerobic, saat di keluarkan dari silo. Kerusakan terjadi hampir di seluruh permukaan silase yang terekspos oksigen, saat berada pada tempat penyimpanan atau pada tempat pakan ternak, setelah di keluarkan dari silo. Kecermatan kerapihan dan kecepatan penanganan silase setelah dikeluarkan dari silo yang kedap udara sangatlah perlu untuk di cermati, agar tidak terjadi pembusukan. Bahan Silase : a. Bahan Utama (Hijauan) Segala jenis tumbuhan atau hijauan serta bijian yang di sukai oleh ternak ruminansia, terutama yang mengandung banyak karbohidrat nya, seperti : - Rerumputan (Gajah, Kolonjono, dll) - Limbah sisa panen (jerami padi, jerami jagung, pucuk tebu, batang nanas, dll) - Leguminosa (daun gamal, turi, dll) b. Bahan Konsentrat (mengandung korbohidrat tinggi) - Katul / bekatul padi - Menir - Onggok (ampas tapioca) - Ampas tahu - Ampas sagu, dll

c.

Bahan Adiktif - Urea - Mineral - Zat yang merupakan bahan untuk fermentasi, seperti campuran asam sulfat dan hidrochlorat yang dipakai dalam metode AIV dan asam format atau Asam organik (asam formiat, asam sulfat, asam klorida, asam propionat) - Zat yang mempercepat fermentasi, seperti enzim, kultur bakteri, dan anti oksidan. - Zat yang menambah zat-zat makanan, seperti molasses/tetes (mengandung korbohidrat) Rasio dari ketiga kelompok bahan tadi dapat mengacu pada formula 7:2:1 atau 6:3:1 berturut-turut untuk Hijauan: Konsentrat:Aditif yang didasarkan pada persentase berat. Pencampuran dilakukan dengan urutan komponen bahan aditif dicampur dulu dengan konsentrat selanjutnya dicampurkan ke hijauan. Jika kondisi hijauan atau limbah petanian agak kering maka diperlukan tambahan air sehingga kadar air campuran mencapai + 40 persen. Bahan-bahan yang mengandung karbohidrat yang siap diabsorpsi oleh mikroba, antara lain : - Molase (tetes tebu) : 2,5% dari hijauan - Onggok (tepung) : 2,5% dari hijauan. - Tepung jagung : 3,5% dari hijauan. - Dedak halus : 5,0% dari hijauan. - Ampas sagu : 7,0% dari hijauan. Biasanya ini diperlukan bila bahan dasarnya kurang banyak mengadung karbohidrat

Trik Memberikan Silase Kepada Ternak : Ternak yang belum terbiasa makan silase diberikan sedikit demi sedikit, dicampur dengan hijauan yang biasa dimakan. Jika sudah terbiasa dapat seluruhnya diberi silase sesuai dengan kebutuhan, hal ini sangat membantu dalam pekerjaan di kandang dan sangat menghermat waktu

You might also like