You are on page 1of 10

MANAJEMEN CAIRAN Fisiologi Kompartemen Cairan Tubuh Penggantian akurat dari defisit cairan tubuh membutuhkan distribusi ruangan

yang ideal dari air, natrium, dan koloid. Cairan tubuh total (CTT), distribusi volume air bebas natrium, tepatnya 60% berat tubuh total. CTT termasuk volume intraseluler (VIS), yang membentuk 40% berat tubuh total. Volume plasma sama dengan seperlima VES, sisanya adalah cairan interstisial (CI). Volume sel darah merah, tepatnya 2 liter, adalah bagian dari VIS. VES terdiri dari sebagian natrium tubuh total, dengan konsentrasi natrium ([Na +]) seimbang dalam VP dan CI. [Na+] plasma tepatnya 140 mEq/l. Elektrolit intraseluler, kalium, memiliki konsentrasi intraseluler ([K+]) tepatnya 150 mEq/l. Albumin, konstituen aktif paling penting dari VES, terdistribusi tidak sama dalam VP (4g/dl) dan CI (1 g/dl). Konsentrasi albumin CI bervariasi antar jaringan. VES adalah volume distribusi untuk cairan kristaloid di mana [Na+] tepatnya 140 mEq/l dan untuk koloid. Distribusi Cairan Infus Secara konvensional, prediksi klinis ekspansi volume plasma (EVP) setelah infus cairan menggambarkan ruangan cairan tubuh yang statis. Analisis kinetik dari EVP menggantikan keadaan statis dengan gambaran dinamis. Sebagai contoh pendekatan statis, andaikan pasien 70 kg telah menderita kehilangan tubuh akut 2000 ml, tepatnya 40% perkiraan 5L volume darah. Formula yang menggambarkan efek penggantian dengan 5% dextrose dalam air (D5A), cairan ringer laktat, atau 5% atau 25% albumin serum manusia adalah sebagai berikut: VP yang dibutuhkan = volume infus x VP normal volume distribusi Disetarakan sebagai berikut: Volume infus = VP yg dibutuhkan x volume distribusi VP normal Untuk mengganti volume darah menggunakan D5A: 28 L= 2 L x 42 L 3L

di mana 2L adalah VP yang diinginkan, 42L adalah CTT dalam seorang 70 kg , dan 3L adalah VP perkiraan normal. Untuk mengganti volume darah menggunakan RL: 9.1L = 2 L x 14 L 3L di mana 14L adalah VES pada seorang 70 kg. Jika 5% albumin, di mana tekanan osmotik koloid serupa dengan plasma, jika diinfuskan, volume infus inisial akan menetap dalam VP, mungkin menarik cairan interstisial tambahan ke intravaskuler. 25% albumin serum manusia, koloid terkonsentrasi, memperbesar VP tepatnya 400 ml untuk setiap 100 ml yang diinfus. Bagaimanapun, secara kinetis, analisis ini sederhana. Cairan infus tidak secara sederhana terbagi rata melalui volume distribusi, tapi ditambahkan ke sistem yang mempertahankan intravaskuler, interstisial, dan volume intraseluler dalam batas rendah. Cairan berlebih diekskresikan di mana hipovolemia mengawali beberapa mekanisme kompensatori penting, termasuk refill transkapiler dan konservasi natrium dan air. Alasan menggunakan model kinetik untuk terapi cairan intravena adalah untuk memudahkan klinisi memperkirakan lebih akurat waktu perubahan volume yang disebabkan cairan infus dari komposisi beragam pada pasien dengan abnormalitas patofisiologi. Analisis kinetik dapat memperkirakan puncak ekspansi volume dan rata-rata klirens cairan infus dan analisis tambahan efek farmakodinamik, seperti perubahan dalam output jantung atau tekanan pengisian jantung. Karena cairan infus tidak dapat diukur substansinya, efek cairan infus harus diperhatikan perubahan pada variabel seperti albumin atau konsentrasi hemoglobin [Hb]. Sebagai tambahan, cairan biasanya tidak diberikan sebagai bolus cepat tapi sebagai infus dalam interval waktu lama., yang membentuk kurva lebih kompleks daripada analisis farmakokinetik konvensional. Untuk perbandingan lebih rumit, cairan infus secara akut merubah volume distribusi cairan infus dan dapat menyerupai mekanisme klirens (mis. Filtrasi glomerolus dan reabsorbsi tubular) begitu juga dengan faktor-faktor neuroendokrin seperti antidiuretik hormon (ADH), atrial natriuretic peptide (ANP), dan aldosteron.

Tracer fisiologis praktis dibutuhkan untuk menggambarkan kurva klirens lebih jelas. Svensen dan Hahn mengevaluasi tiga tracer endogen konsentrasi air darah, konsentrasi serum albumin, dan [Hb] pada sukarelawan yang menerima infus cairan Ringer asetat, 6% dextran 70, atau 75% salin. Walaupun lebih pekat daripada perhitungan air darah, [Hb} memberikan estimasi serupa dari distribusi volume dan rata-rata eliminasi yang konstan. Gambar 9-1 mengilustrasikan model dasar yang digunakan Svensen dan Hahn. Gambar atas mengilustrasikan model satu kompartemen, sementara gambar bawah menunjukkan model dua kompartemen. Setelah menginfus cairan percobaan, Svensen dan Hahn menghasilkan model-model satu volume dan dua volume ruang cairan (VRC). Setiap model dua VRC berdasar pada asumsi fisiologis dan matematis (tabel 9-11). Model dua kompartemen VRC lebih superior daripada model satu kompartemen ketika ekskresi urin sebagai respon adalah kecil. Gambar 9-2 menunjukkan rata-rata kurva dilusi volume plasma yang tercapai dengan infus cairan Ringer atau dextran 70. Semua infus dextran konsisten dengan model satu VRC, di mana infus koloid tetap dalam VP. Kristaloid hipertonik, seperti kristaloid isotonik, dihubungkan dengan paduan model satu dan dua VRC. Dengan pendekatan ini, efek dari pengaruh fisiologi dan farmakologi yang umum dapat diperiksa pada binatang atau manusia percobaan. Misalnya, pengaruh hipovolemi akut pada EVP telah dinyatakan secara eksperimental dan klinis. Pada splenektomi kambing tidak teranestesi, perdarahan 300 ml (12% volume darah), pengisian plasma terdiri dari tepatnya 2/3 volume darah dalam 3 jam. Kenyataannya, setelah 3 jam akhir perdarahan, EVP serupa dengan yang ada pada binatang yang telah menerima 25 ml/kg dari 0,9% salin selama 20 menit yang mulai setelah perdarahan dinyatakan. Pada sukarelawan yang sadar yang diberikan 25 ml/kg Ringer asetat selama 30 menit dalam kondisi normovolemi atau setelah kehilangan 450 atau 900 ml darah, dilusi plasma (berhubungan dengan ekspansi volume) 50 sampai 100 menit setelah infus dimulai lebih besar dari 900 ml perdarahan, berkurang setelah 450 ml perdarahan, dan paling sedikit bila perdarahan hilang. Pengisian plasma secara substansi terkontribusi untuk ekspansi volume plasma dengan cairan intravena yang diberikan setelah perdarahan, meskipun observasi ini harus dikonfirmasi pada binatang dan manusia percobaan.

Regulasi Volume Ekstraseluler Isi air tubuh total diregulasi oleh intake dan output air. Intake air penyuntikan cairan ditambah pemasukan 750 ml makanan padat dan 350 ml yang dibentuk secara metabolik. Kehilangan insensibel normal 1 l/hari dan kehilangan gastrointestinal 100-150 l/hari. Rasa haus, mekanisme pertama mengkontrol intake air, dicetuskan dengan peningkatan tonisitas cairan tubuh atau dengan penurunan volume ekstraseluler. Reabsorpsi air dan natrium terfiltrasi disebabkan perubahan yang diperantai faktor-faktor hormonal Antidiuretik hormon (ADH), atrial natriuretik peptida (ANP), dan aldosteron. Air pada ginjal mempunyai 3 komponen penting: (1) penghantaran cairan tubular ke segmen nefron yang berdilusi; (2) pemisahan solut dan air pada segmen dilusi; dan (3) reabsorpsi variabel air pada duktus koligentes. Pada tubulus desenden Henle, air tereabsorpsi sementara zat terlarut mencapai osmolalitas terakhir dari cairan tubular 1200 mOsm/kg (Gbr. 9-3). Cairan terkonsentrasi ini didilusi oleh reabsorpsi aktif elektrolit-elektrolitpada ductus ascending ansa Henle dan pada tubulus distal, keduanya impermeabel terhadap air. Ketika cairan berada di tubulus distal dan memasuki ductus, osmolalitasnya adalah 1200 mOsm/kg. Dalam ductus koligentes, reabsorpsi air dimodulasi oleh ADH (juga disebut vasopressin). Vasopressin berikatan dengan reseptor V2 sepanjang membran basolateral sel-sel ductus koligentes, lalu menstimulasi pembentukan dan insersi saluran air aquaporin-2 dalam membran luminal dari sel-sel ductus koligentes. Hipotonisitas plasma menekan pelepasan ADH, dihasilkan pada ekskresi urin. Stimulasi hipertonisitas sekresi ADH, yang meningkatkan permeabilitas ductus koligentes terhadap air dan menimbulkan reabsorpsi air. Karena perubahan [Na+] plasma, perubahan sekresi ADH dapat mempengaruhi osmolalitas urin dari 50-1200 mOsm/kg dan volume urin dari 0,4-20 l/hari (Gbr. 9-1). Faktor-faktor lain yang menstimulasi sekresi ADH, walaupun tidak sekuat tonisitas plasma, termasuk hipotensi, hipovolemi, dan stimulus nonosmotik seperti nausea, nyeri, dan medikasi, termasuk opioid. Dua sistem hormonal meregulasi natrium tubuh total. Peptida natriuretik atrial natriuretik peptida (ANP), peptide netriuretik otak, dan peptida natriuretik C-tipe menjaga terhadap kelebihan natrium, dan axis renin-angiotensin-aldosteron mencegah terhadap deplesi natrium dan hipovolemi. ANP, dilepaskan dari atrium jantung sebagai

respon terhadap peningkatan pengisian atrium, menimbulkan efek vasodilatasi dan meningkatkan ekskresi natrium dan air ginjal. Sekresi ANP menurun selama hipovolemia. Bahkan pada pasien dengan insuffisiensi ginjal kronik, infus ANP pada dosis rendah dan nonhipotensif meningkatkan ekskresi natrium dan menghambat kehilangan urin. Aldosteron adalah jalur akhir respon kompleks untuk menurunkan volume arteri efektif, apakah penurunannya secara nyata atau relatif (keadaan edematus atau hipoalbuminemia). Pada jalur ini, penurunan baroreseptor arkus aorta dan carotis dan reseptor pada vena-vena besar, pembuluh darah pulmonal, dan atrium menghasilkan peningkatan simpatis. Peningkatan simpatis, dalam kombinasi dengan penurunan perfusi ginjal, mengakibatkan pelepasan renin dan pembentukan angiotensin I dari angiotensinogen. Angiotensin-converting enzyme (ACE) merubah angiotensin I menjadi angiotensin II, yang menstimulasi cortex adrenal untuk membentuk dan melepaskan aldosteron. Hal penting pada tubulus distal ialah aldosteron dosis tinggi menyebabkan reabsorpsi natrium (GBR> 9-5) dan dapat mengurangi ekskresi natrium urin sampai nol. Faktor-faktor fisik intrarenal juga penting untuk meregulasi keseimbangan natrium. Loading natrium menurunkan tekanan osmotik koloid, sehingga meningkatkan glomerular filtration rate (GFR), menurukan reabsorpsi natrium, dan meningkatkan hantaran distal natrium, yang mana akan menekan sekresi renin. Adaptasi ginjal akan hipovolemia (dan cardiac output yang menurun) muncul melalui 3 mekanisme primer: reduksi renal blood flow (RBF), reduksi GFR, dan peningkatan reabsorpsi tubular akan natrium dan air. Perfusi ginjal selama akut hipovolemia ditentukan oleh keseimbangan antara faktor-faktor vasokonstriksi ginjal (saraf-saraf simpatis ginjal, angiotensin II, dan katekolamin) dan mekanisme vasodilator (autoregulasi instrinsik ginjal dan efek-efek prostaglandin vasodilator ginjal). Meskipun RBF mengautoregulai (tetap konstan dalam rentang lebar dari tekanan perfusi), autoregulasi mungkin dapat berubah atau hilang selama hipovolemia akut yang berat. Rangsang simpatis ginjal dengan sekresi katekolamin -adrenergik dan angiotensin II meningkatkan resistensi pembuluh darah ginjal. Prostaglandin vasodilator intrarenal berlawanan dengan hormon hormon vasokonstriktor dan mengatur RBF selama hipovolemia. Efek protektif ini dikurangi oleh obat-obat NSAID.

Terapi Penggantian Cairan Kebutuhan Perawatan Air, Natrium dan Kalium Pada orang dewasa sehat, air dibutuhkan untuk menyeimbangkan kehilangan gastrointestinal 100-200 ml/hari, kehilangan insesibel 500-1000 ml/hari. Sua formula sederhana digunakan bergantian untuk memperkirakan perawatan kebutuhan air (Tabel 912). Kehilangan urin lebih dari 1000 ml/hari dapat menunjukkan respon fisiologis yang sesuai terhadap ekspansi ECV atau ketidakmampuan untuk mendapat garam atau air. Kebutuhan harian natrium dan kalium tepatnya75 mEq/l dan 40 mEq/l, meskipun rentang intake natrium lebih luas daripada intake kalium secara fisiologis dapat ditolerir karena penangkapan dan ekskresi natrium ginjal lebih efisien daripada kalium. Sehingga, dewasa sehat 70 kg membutuhkan 2500 ml/hari air berisi 30 mEq/hari [Na+] dan 15-20 mEq/hari [K+]. Dextrose Secara tradisional, cairan intravena mengandung glukosa telah diberikan untuk mencegah hipoglikemia dan membatasi katabolisme protein. Namun, mengetahui respon hiperglikemia berhubungan dengan stress operasi, hanya infant dan pasien pemakai insulin atau obat-obat yang mempengaruhi sintesis glukosa berisiko terhadap hipoglikemia. Hiperglikemia iatrogenik dapat membatasi efektivitas resusitasi cairan dengan meninduksi diuresis osmotik dan, pada hewan, dapat memicu injury neurologi iskemik (Tabel 9-13) dan injury otak traumatik pada manusia, hiperglikemia dapat juga berperan pada respon hormonal terhadap injury yang lebih berat. Kebutuhan Cairan Operasi Komposisi Air dan Elektrolit dari Kehilangan Cairan . Pasien-pasien operasi membutuhkan penggantian kehilangan VP dan VES yang disebabkan oleh luka atau edema luka bakar, ascites, sekresi gastrointestinal. Luka dan edema luka bakar dan cairan ascites kaya protein dan mengandung elektrolit dalam konsentrasi yang serupa dengan plasma. Meskipun sekresi gastrointestinal bervariasi dalam komposisi (Tabel 9-14), komposisi cairan pengganti membutuhkan yang sesuai dengan VES adekuat dan fungsi ginjal dan kardiovaskuler yang normal. Kehilangan cairan gastrointestinal membutuhkan penggantian elektrolit akurat (mis. Kalium, magnesium, fosfat). Jika fungsi kardiovaskuler dan ginjal terganggu, penggantian lebih tepat dapat membutuhkan

penanganan sering dari slektrolit serum. Kehilangan kronik cairan lambung dapat menimbulkan alkalosis metabolisme hipokloremik yang dapat dikoreksi dengan salin 0,9%; diare kronik dapat menimbulkan asidosis metabolisme hiperkloremik yang dapat dicegah atau dikoreksi dengan infus cairan berisi bikarbonat atau substrat bikarbonat (mis. Laktat). Pergeseran Cairan Selama Operasi. Penggantian kehilangan cairan intraoperatif harus dikompensasi atas reduksi fungsional akut VES yang menyertai trauma, perdarahan, dan manipulasi jaringan. Sebagai contoh, subjek sehat yang tidak mendapat natrium intraoperatif selama dilakukan operasi lambung atau kandung kemih menunjukkan penurunan VES sedikitnya 2 liter dan penurunan 13% GFR. Sebaliknya, pasien yang mendapat cairan RL mempertahankan VES dan meningkatkan GFR 10%. Tidak ada data menggambarkan perubahan VP, CI, dan VIS selama syok akut tak teresusitasi pada manusia. Pasien-pasien yang dipelajari selama 10 hari pertama setelah resusitasi dari trauma masif menggambarkan peningkatan 55% volume CI (Gbr. 9-6). Karena reduksi tekanan osmotik koloid pada pasien-pasien traumatik, rasio CI terhadap volume darah meningkat, pada beberapa pasien melebihi 5:1. Berdasarkan asumsi statik berhubungan distribusi volume cairan infus, pasien-pasien demikian membutuhkan volume kristaloid lebih besar daripada pasien-pasien sehat untuk mencapai jumlah spesifik ekspansi volume intravaskuler. Namun, tidak ada data mengkonfirmasi pernyataan tersebut. Berdasarkan pertimbangan ini, petunjuk-petunjuk telah dikembangkan untuk penggantian kehilangan cairan selama prosedur pembedahan. Formula paling sederhana ialah sebagai tambahan untuk memelihara cairan dan penggantian kehilangan darah, 4 ml/kg/hari untuk tindakan yang disebabkan trauma minimal, 6 ml/kg/hari untuk tindakan yang disebabkan trauma sedang, dan 8 ml/kg/hari untuk tindakan yang disebabkan trauma berat. Mobilisasi Cairan Interstisial yang Meluas Hal penting pada ekspansi CI ialah mobilisasi dan kembalinya cairan terakumulasi ke VES dan VP, yang dikenal dengan deresusitasi. Pada kebanyakan pasien, mobilisasi muncul tepatnya pada hari ketiga post-operasi. Jika sistem kardiovaskuler dan ginjal tidak

efektif mentransport dan mengekskresi cairan, dapat timbul hipervolemia dan edema paru. Kebutuhan Cairan selama Kelahiran dan Seksio Sesaria Kelahiran adalah energi yang intensif. Kelahiran lama tanpa intake kalori dapat menyebabkan hipoglikemia maternal dan fetus, ketosis, dan asidosis laktat. Pada parturien yang secara acak mendapat dextrose, 1% dextrose, atau 5% dextrose, pemberian bebas dextrose menghasilkan hipoglikemia arteri umbilikalis, 1% dextrose memelihara euglikemia ibu dan neonatus, dan 5% dextrose berhubungan dengan hipoglikemia neonatal. Berdasarkan studi klinis ini, glukosa harus diberikan selama kelahiran dalam dosis 1-2 g/hari (ekuivalen dengan 100-200 ml 1% dextrose), tidak lebih dari 6 g/hari, dan dipikirkan pada pasien-pasien mendapat anestesi regional tanpa epinefrin (cenderung meningkatkan glukosa serum). Augmentasi preload agresif sebelum anestesi epidural selama kelahiran tampaknya tidak perlu karena infus anestesi dosis rendah kontinu menghasilkan simpatektomi dan vasodilatasi. Selanjutnya, ekspansi volume cepat dapat menghambat aktivitas uterus dan pada parturien risiko tinggi, dapat mencetuskan hipervolemia dan edema paru. Namun, augmentasi preload dan peningkatan volume diastolik jantung menimbulkan perfusi ginjal dan plasenta dengan merangsang sekresi ANP. Berlawanan dengan anestesi epidural yang diberikan untuk persalinan, anestesi spinal dan anestesi epidural untuk seksio sesaria menyebabkan hipotensi maternal. Untuk mencegah hipotensi, volume besar cairan kristaloid (10-20 ml/kg) diinfuskan sebelum anestesi regional. Namun, hipotensi muncul pada 55% pasien yang mendapat kristaloid (20 ml/kg) preloading. Karena kebanyakan sudi klinis mengevaluasi efek felatif cairan kristaloid atau koloid yang digunakan untuk preloading tekanan darah daripada cardiac output, transport oksigen sistemik, atau aliran uteroplasental, penelitian lanjut menggambarkan efek preload hasil maternal dan fetus yang dibutuhkan. Tabel 9-10. ALKALOSIS METABOLIK YANG DISEBABKAN OLEH NAUSEA DAN VOMITUS DENGAN LAKTAT ASIDOSIS YANG DISEBABKAN HIPOVOLEMIA.

Gambar 9-1. Gambar skematis model kinetis untuk menghitung ukuran ruang cairan tubuh oleh infus intravena cairan pada manusia.Data disesuaikan dengan model volume ruang cairan satu volume atau dua volume (VRC). Asumsinya sbb: (1) Selama infus cairan, cairan memasuki ruang cairan volume v pada batas konstank1; (2) ruang cairan memiliki volume target V, yang dipertahankan tubuh; (3) volume v1 berubah melalui pertukaran dengan ruang cairan sekunder dan sebagai hasil cairan tereliminasi dari ruang cairan primer, k1 (perspirasi dan diuresis basal), dan pada batas kontrol; (4) ruang cairan primer dan sekunder memiliki terget volume V1 dan V2 yang dipertahankan sistem dengan mengkontrol mekanisme eliminasi, k1; (5) batas bersih pertukaran cairan antara dua ruangan adalah proporsional antara perbedaan dari target volume dengan konstan k1. TABEL 9-11. ASUMSI FISIOLOGIK DAN MATEMATIS UNTUK MODEL RUANG CAIRAN SATU DAN DUA VOLUME. Gambar 9-2. Kurva kinetis yang didapat setelah infus pada pria dewasa 25 ml/kg cairan RL atau 5 ml/kg dextran 70 selama 30 menit. Dilusi volume plasma dihitung dari perubahan konsentrasi hemoglobin (B-hemoglobin), air darah (B-air), dan albumin serum (S-albumin). Gambar 9-3. Filtrasi ginjal, reabsorpsi, dan ekskresi air. Panah putih menunjukkan air dan panah hitam menujukkan elektrolit. Air dan elektrolit difiltrasi oleh glomerulus. Pada tubulus proksimal (1), air dan elektrolit diabsorpsi isotonis. Pada loop desenden (2), air diabsorpsi untuk mencapai keseimbangan osmotik dalam interstisium dengan elektrolit terkontrol. Aliran ke nefron distal adalah fungsi reabsorpsi tubulus proksimal; ke medulla (3a) dan kortikal (3b). Ketidakhadiran vasopresin, duktus koligentes (4a) relatif impermeabel terhadap air dan urin diekskresi. Ketika vasopresin bekerja pada duktus koligentes (4b), air direabsorpsi dari segmen nefron yang responsif terhadap vasopresin, menyebabkan ekskresi urin terkonsentrasi. Gambar 9-4. Atas: Hubungan antara osmolalitas plasma dan vasopresin plasma. Bawah: Hubungan antara plasma AVP dan osmolalitas urin.

Gambar 9-5. Ekskresi natrium urin antara aktivitas renin plasma dan ekskresi aldosteron urin pada manusia. Aldosteron menyebabkan efek regulasi ekskresi natrium urin bahkan pada kadar rendah aktivitas sekretorik dan kadar tinggi ekskresi netrium. TABEL 9-12. KEBUTUHAN PEMELIHARAAN AIR. TABEL 9-13. PENGARUH GLUKOSA PLASMA (HARI KE-3 SAMPAI 7) PADA 3 BULAN GLASGOW OUTCOME SCALE (GOS) SCORE PADA PERDARAHAN SUBARAKHNOID.

You might also like