Professional Documents
Culture Documents
Witono Adiyoga
Rachman Suherman
T. Agoes Soetiarso
Budi Jaya
Bagus Kukuh Udiarto
Rini Rosliani
Darkam Mussadad
2004
1
A. Pendahuluan
Bawang putih memiliki nama ilmiah Allium sativum L.. dengan klasifikasikan sebagai berikut:
a. Divisi : Spermatophyta
b. Subdivisi : Angiospermae
c. Kelas : Dicotyledonae
d. Famili : Liliaceae
e. Genus : Allium
f. Species : Allium sativum L.
Bawang putih diduga merupakan tanaman native daerah Asia Tengah (Tien Shan). Tanaman
ini menyebar ke daerah Mediterania pada jaman kuno dan telah diidentifikasi di Mesir pada 3000 BC.
Bawang putih juga merupakan tanaman kuno di India dan Cina. Bangsa Spanyol, Portugis dan
Perancis memperkenalkan bawang putih tersebut ke Dunia Baru (New World). Sejarah bawang putih
berkaitan dengan sejarah perjalanan peradaban dunia yang terkenal. Misalnya pada saat piramida
yang berasal dari zaman keemasan Mesir didirikan, bawang putih digunakan sebagai menu utama
yang diberikan kepada buruh yang membangun piramida itu. Di Indonesia bawang putih masuk melalui
jalur perdagangan internasional yang sejak berabad-abad lampau meramaikan bandar-bandar.
Setelah onion (bawang bombay), bawang putih menempati urutan kedua Allium yang paling
banyak dimanfaatkan. Bawang putih dalam bentuk segar atau terdehidrasi terutama banyak
digunakan sebagai penyedap makanan (daging, ikan dsb.). Selain umbi yang telah matang, hijauan
bagian atas serta umbi yang belum matang juga banyak dikonsumsi di Asia. Bawang putih juga
banyak dikenal sebagai tanaman medisinal atau biofarmaka. Jenis sayuran ini me-miliki reputasi yang
kuat berkenaan dengan manfaatnya sebagai obat untuk menurunkan tekan-an darah dan kolesterol.
Perkembangan di bidang ini ditunjukkan oleh tingginya penawaran dan permintaan terhadap obat,
minuman dan tepung yang berasal dari ekstrak bawang putih.
Bagian tanaman yang dapat dikonsumsi/dimakan berkisar antara 50-70% dari total tanaman
jika termasuk bagian yang belum matang (pseudostem dan immature bulb) dan sekitar 20-30% jika
hanya bagian yang matang (dry bulbs) saja. Komposisi nutrisi dari 100 gr umbi kering adalah: 68 gr air,
3,5 gr protein, 0,3 gr lemak, 27 gr karbohidrat, 1,0 gr debu, 29 mg Ca, 202 mg P dan 529 mg K.
Komponen vitaminnya relatif rendah, sedangkan komponen enerjinya adalah 490 kJ/100gr. Rasa
(flavor) bawang putih berbasis pada komponen-komponen sulfur yang secara kolektif disebut sebagai
S-alk(en)yl cysteine sulphoxides.
Tabel 1 menyajikan data areal panen, produksi dan produktivitas bawang putih di dunia
beserta tiga negara terbesar penghasil bawang putih. Selama periode tahun 1998 – 2002 produksi
bawang putih dunia memperlihatkan peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut tidak
hanya disebabkan oleh peningkatan luas areal tanam tetapi juga didorong oleh adanya peningkatan
produktivitas. Berdasarkan data FAO, China, India dan Republik Korea dapat dikategorikan sebagai
tiga negara yang mempunyai kontribusi terbesar terhadap produksi bawang putih dunia. Sementara itu
China adalah negara penghasil bawang putih terbesar di dunia, pada tahun 2002 China mampu
menghasilkan bawang putih 8 680 049 ton atau sekitar 71 % dari produksi bawang putih dunia.
Superioritas China sebagai penghasil bawang putih diikuti oleh India dengan kontribusi sebesar 4,1%
dan Rep.Korea sebesar 3,2%.
Kontribusi bawang putih Indonesia terhadap produksi dunia sangat kecil, dan selama periode
tahun 1998 – 2002 mengalami penurunan yaitu dari 0,9 % di tahun 1998 menjadi 0,4 % di tahun 2002.
2
Walaupun selama periode waktu tersebut produktivitasnya mengalami peningkatan, tetapi penurunan
areal tanam bawang putih di Indonesia dari tahun ke tahun cukup besar.
Tabel 1 Areal panen, produksi dan produktivitas bawang putih dunia serta tiga negara
penghasil terbesar tahun 1998 – 2002.
China A (ha) 457 321 487 828 559 833 584 924 627 140
P (t) 5 814 066 6 186 289 7 486 112 7 894 066 8 680 049
Y (t/ha) 12,71 12,68 13,37 13,49 13,84
India A (ha) 123 200 118 800 124 600 120 000 120 000
P (t) 570 700 495 300 524 600 496 800 500 000
Y (t/ha) 4,63 4,17 4,21 4,14 4,16
atau terjadi penurunan sebesar 56 %. Walaupun selama periode tersebut produktivitas meningkat,
tetapi penurunan areal panen yang besar mengakibatkan produksi nasional dari tahun ke tahun terus
menurun (Tabel 2).
Konsumsi bawang putih sebagai bumbu masakan sudah tidak asing lagi, baik bagi masyarakat
Indonesia maupun luar Indonesia. Sampai saat ini masyarakat yang paling terkenal sebagai konsumen
bawang putih terbanyak adalah masyarakat Korea, kemudian diikuti oleh masyarakat Cina dan India.
Masyarakat Jepang yang dikenal sebagai pengkonsumsi ikan terbesar di dunia, saat ini mulai
menggemari bawang putih. Bahkan dari data statistik tercatat bahwa saat ini Jepang telah menjadi
pengkonsumsi bawang putih terbesar setelah Korea, Cina dan India.
4
Tabel 3 Areal tanam (ha), produksi (ton) dan produktivitas (ton/ha) bawang putih di beberapa
propinsi penting penghasil bawang putih di Indonesia, 1998-2002
Nusa Teng barat Area (ha) 2 052 1 141 174 508 752
Prod (t) 11 583,54 3 324,87 757,07 407,92 4 248,80
Prvt (t/ha) 5,645 2,914 4,351 0,803 5,650
Bawang putih adalah salah satu dari 7 famili bawang-bawangan, disamping bawang merah,
bawang perisai, bawang kucai, bawang ganda, bawang bakung dan bawang bombay. Negara penghasil
utama bawang putih di dunia adalah Cina, di negeri Cina bawang putih dikenal dengan nama suan.
Bangsa Cina senang mengonsumsi bawang putih bukan hanya dalam masakan saja, tapi juga sering
diminum dicampur dengan teh. Bangsa India mengunakan bawang putih untuk menyembuhkan luka.
Sedangkan bangsa Jepang mengonsumsinya dalam bentuk “juice” bawang putih yang mudah diperoleh
di setiap sudut kota Jepang.
Di Indonesia penggunaan bawang putih sebagai bumbu masak sudah dikenal sejak lama,
walaupun kuantitas penggunaannya tidak sebanyak pada masakan-masakan Cina. Dengan berjalannya
waktu, penggunaan bawang putih sebagai obat juga mulai berkembang di Indonesia. Di berbagai daerah
di pulau Jawa, bawang putih mulai dimasukkan sebagai salah satu komponen dalam pembuatan jamu
tradisional. Para penjual jamu mempunyai keyakinan, bahwa mengonsumsi bawang putih satu siung dua
5
kali seminggu setelah makan dapat meningkatkan daya tahan tubuh serta tahan terhadap berbagai
penyakit. Akhir-akhir ini berbagai pengobatan alternatif sudah menggunakan campuran bawang putih,
karena bawang putih dapat menyembuhkan berbagai penyakit seperti TBC, influenza, antidiabetes,
menurunkan tekanan darah tinggi, mengobati luka bakar, rematik, mencegah keracunan hati,
antikolesterol.
Anti kanker
Salah satu hasiat bawang putih yang saat ini menjadi topik pembahasan penelitian adalah
kemampuannya mencegah sel-sel tumor/kanker. Penelitian yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ahli
medis di Eropa dan Jepang, melaporkan bahwa zat allicin yang terkandung dalam bawang putih mampu
mencegah timbulnya sel-sel kanker dan menghambat pertumbuhan sel-sel kanker. Percobaan pada
tikus menunjukkan, zat allicin secara aktif menghambat pertumbuhan tumor paling sedikit 6 bulan setelah
perlakukan.
Penyebab pokok dari penyakit jantung koroner adalah menumpuknya lemak, protein dan
kolesterol pada pembuluh darah. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa bawang putih mengandung
senyawa yang berkemampuan mengurangi kadar gula dalam darah, mencegah penumpukkan lemak
dalam pembuluh darah,menghambat terbentuknya kolesterol pada serum serta mampu menghacurkan
tumpukan kolesterol dalam darah. Penelitian lainnya menginformasikan, bahwa senyawa pada bawang
putih yang dapat menghancurkan kolesterol tersebut adalah sulfur pada minyak atsiri bawang putih.
Perawatan tubuh
Bawang putih dapat dipakai sebagai obat untuk melangsingkan tubuh dan sekaligus membuat
kulit halus dan lembut. Hal tersebut dikarenakan bawang putih mampu mengatur jumlah kalori yang
dibutuhkan tubuh dengan menyisihkan kolesterol yang terlalu tinggi. Secara umum zat-zat yang
terkandung pada bawang putih beserta kegunaannya bagi kesehatan disajikan pada Tabel 4.
Bagi konsumen di Indonesia, bawang putih banyak digunakan sebagai pelengkap bumbu masak.
Namun demikian dalam beberapa tahun terakhir pengobatan tradisional yang berprinsip back to nature
mulai banyak diminati oleh masyarakat di Indonesia. Bawang putih termasuk salah satu komoditas yang
banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit. Hal tersebut merupakan salah satu faktor
pendorong meningkatnya konsumsi bawang putih per kapita dari tahun ke tahun. Tabel 5 menyajikan
data konsumsi bawang putih per kapita di daerah perkotaan dan pedesaan. Selama periode tahun 1990
– 2002, konsumsi per kapita tersebut memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan baik di perkotan
maupun di pedesaan. Jika pada tahun 1990 konsumsi bawang putih di perkotaan tercatat 0,068
ons/kapita tahun, maka pada tahun 2002 menjadi 0,238 ons/kapita per tahun, atau meningkat sekitar
250%. Konsumsi di daerah pedesaanpun memperlihatkan pola yang serupa. Secara umum dapat
dikatakan bahwa konsumsi bawang putih di daerah perkotaan lebih tinggi dibandingkan di pedesaan.
Tingkat konsumsi bawang putih ini juga menunjukkan peningkatan sejalan dengan peningkatan tingkat
pengeluaran seperti terlihat pada Tabel 6.
Keterangan:
o Tingkat pengeluaran kelas rendah adalah sebesar < Rp 20 000 untuk 1990, < Rp. 20 000 untuk 1993, < Rp. 40 000 untuk 1996, < Rp. 80
000 untuk 1999 dan 2002 (kapita per bulan).
o Tingkat pengeluaran kelas sedang/menengah adalah sebesar Rp. 20 000 – 99 999 untuk 1990, Rp. 30 000 – 99 999 untuk 1993, Rp. 40 000 –
149 999 untuk 1996, Rp. 80 000 – 199 999 untuk 1999 dan Rp. 80 000 – 199 999 untuk 2002 (kapita per bulan).
o Tingkat pengeluaran kelas tinggi adalah sebesar > Rp.99 999 untuk 1990 dan 1993, > Rp. 149 999 untuk 1996, > Rp. 199 999 untuk 1999 dan
2002 (kapita per bulan).
Konsumsi bawang putih domestik dihitung dengan menambahkan kuantitas impor dan
mengurangkan kuantitas ekspor ke kuantitas produksi total. Tabel 7 menunjukkan bahwa selama
periode waktu 1998 – 2002 terdapat peningkatan konsumsi bawang putih. Dari tabel tersebut juga
terlihat, konsumsi domestik sebagian besar dipenuhi dari bawang putih impor. Selama kurun waktu
tersebut volume impor mencapai tiga sampai lima kali volume produksi dalam negeri. Bila produksi
7
bawang putih dalam negeri dibandingkan dengan impor terdapar hubungan yang terbalik, yaitu volume
impor dari tahun ke tahun terus meningkat, sementara volume produksi dalam negeri terus menurun.
Salah satu penyebab kondisi tersebut adalah minat petani untuk menanam bawang putih menurun,
karena tidak mampu bersaing dengan bawang putih impor (Sastrosiswojo., dkk. 2002). Sebagai akibat
dari kondisi tersebut adalah tingkat ketergantungan konsumsi domestik terhadap impor yang semakin
tinggi.
1. Sistem tebasan - transaksi dilakukan pada saat bawang putih masih berada di lapangan (3-4 hari
sebelum panen). Pada sistem ini baik petani maupun penjual diharuskan melakukan prediksi
terhadap volume panen yang akan diperoleh. Biasanya prediksi tersebut didasarkan pada
pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman dan jarak tanamnya.
2. Sistem kuintalan - transaksi dilakukan di lokasi petani atau di pasar pengumpul untuk bawang
putih yang telah dipanen, berdasarkan volume (berat timbangan) bawang putih yang diperjual
belikan.
Selanjutnya bawang putih tersebut dipasarkan dan akan melibatkan beberapa institusi
pemasaran diantaranya :
untuk setiap kg bawang putih yang terjual. Contohnya pada tahun 1999 besar komisi adalah Rp
50,00/kg untuk bawang putih besar dan Rp 100,00/kg untuk bawang putih kecil.
2. Bandar - Bandar mempunyai tugas untuk mencari barang, membeli barang dari petani atau
penyiar. Pembelian dan penjualan bawang putih umumnya dilakukan oleh bandar berdasarkan
ukuran berat. Volume pengiriman barang berkisar antara 1 – 1,5 ton dengan waktu pembayaran 1-
3 hari setelah transaksi.
3. Pedagang besar/grosir - Pedagang besar/grosir menetap di pasar induk yang terletak di daerah
konsumen, contohnya pasar Caringin (Bandung) dan pasar Induk Kramat Jati (Jakarta). Volume
pembelian dari bandar berkisar 2 – 3 kuintal/2 hari. Harga beli dari bandar ditetapkan berdasarkan
kesepakatan dan informasi harga di pasar. Cara pembayaran umumnya dengan uang muka
sebesar 30 – 40 persen.
4. Pengecer - Pengecer membeli bawang putih dari pedagang grosir, yang selanjutnya menjualnya
langsung ke konsumen di pasar-pasar eceran. Sistem pembayaran antara pengecer dan grosir
dilakukan secara kontan.
Beberapa saluran pemasaran bawang putih yang berasal dari daerah sentra produksi Ciwidey
Bandung ke daerah konsumen di Bandung dan Jakarta adalah:
Biaya yang dikeluarkan dalam proses pergerakan bawang putih dari produsen ke konsumen
akhir secara terperinci disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Rata-rata biaya pemasaran bawang putih basah dan kering dari Kecamatan
Ciwidey sampai Kota Bandung dan DKI Jakarta tahun 1993.
Saluran pemasaran B memberikan nilai total marjin yang paling kecil yaitu 81,16 % dan 72,65
%. Hal ini mengindikasikan bahwa saluran pemasaran B untuk tujuan Bandung dan Jakarta
merupakan saluran yang paling efisien karena biaya pemasaran dan keuntungan yang diambil oleh
lembaga yang terlibat paling kecil. Demikian juga dari aspek efisiensi teknis dan ekonomis dan bagian
harga yang diterima oleh petani (farmer’s share), ternyata saluran B mempunyai indeks efisiensi teknis
(T) dan ekonomis (E) yang paling rendah serta farmer’s share tertinggi (Tabel 9).
Tabel 9 Indeks efisiensi dan farmer’s share saluran pemasaran bawang putih basah
dan Kering dari Kec. Ciwidey sampai ke Kota bandung dan DKI Jakarta.
Saluran Pemasaran
Uraian Bawang putih basah Bawang putih kering
A B C A B C
Indeks Efisiensi Teknis (T) 15,3 15,1 30,6 5,7 5,6 13,0
Indeks Efisiensi Ekonomis (E) 19,3 18,2 23,3 5,2 4,7 6,5
Farmer’s share 48,8 50,0 16,8 50,8 52,3 10,4
Sumber : Soetiarso, 1995.
Selanjutnya Tabel 10, 11 dan Tabel 12 memperlihatkan volume ekspor dan impor untuk
komoditas bawang putih selama periode 1996 – 2002. Adapun jenis bawang putih yang diekspor dan
diimpor terdiri dari bawang putih segar dan bawang putih kering (termasuk jenis tepung). Baik ekspor
maupun impor dalam periode waktu tersebut menunjukkan peningkatan volume, dan mencapai
puncaknya di tahun 2002. Bila dilihat dari persentasenya peningkatan tersebut dari tahun ke tahun cukup
besar. Impor bawang putih pada tahun 1996 hanya 60 193,42 ton , pada tahun 2002 menjadi 228 699,04
ton, sementara ekspor di tahun 1996 sebesar 15,318 ton di tahun 2002 telah meningkat menjadi 3
298,677 ton. Namun bila dilihat dari volumenya, volume impor jauh lebih tinggi dari pada ekspor.
Diperkirakan pada tahun-tahun berikutnya peningkatan akan terus terjadi terutama untuk kegiatan impor.
Prediksi tersebut didasarkan pada kondisi saat ini yang belum memperlihatkan adanya tanda-tanda ke
arah perbaikan produksi bawang putih dalam negeri, baik dari aspek kualitas produk maupun
produktivitasnya. Dilihat dari harga bawang putih impor, ternyata dari tahun ke tahun terjadi penurunan
10
yang cukup signifikan, yaitu 968 US$ per ton di tahun 1996 turun menjadi 232,87 US$ per ton di tahun
2002. Hal tersebut mengindikasikan bahwa bawang putih lokal semakin tidak kompetitif dengan bawang
putih impor, baik dalam hal harga maupun kualitas produk. Hampir 70% impor bawang putih Indonesia
berasal dari China, baik untuk bawang putih segar maupun kering, sedangkan sisanya dipenuhi oleh
negara-negara seperti Hongkong, Singapura, Australia, Taiwan dan India. Sedangkan negara tujuan
ekspor untuk bawang putih segar adalah Taiwan, Singapura dan Canada, sedangkan untuk bawang putih
kering adalah Thailand, Bangladesh dan USA.
Bawang putih yang beredar di Indonesia terdiri dari bawang putih impor dan bawang putih
lokal. Perbedaan mutu yang mencolok dari dari kedua jenis bawang putih tersebut adalah pada ukuran
umbi dan tingkat kekeringannya. Bawang putih impor mempunyai ukuan umbi yang besar (5,5 cm)
serta kering, sementara sementara ukuran umbi bawang putih lokal sekitar 3 cm dan agak basah
(Ameriana., dkk. 1990). Walaupun aroma bawang putih lokal lebih tajam serta harganya lebih murah
(terutama di pulau Jawa), tetapi konsumen di Indonesia lebih menyukai bawang putih impor. Harga
bawang putih impor dan lokal di beberapa pasar grosir di Indonesia disajikan pada Tabel 13.
Tabel 13 Harga bawang putih impor dan lokal di pasar konsumen di Indonesia
tahun 1995 – 1999.
Tahun Surabaya (Rp/kg) Medan (Rp/kg) Pontianak (Rp/kg)
Impor Lokal Selisih * Impor Lokal Selisih * Impor Lokal Selisih *
1995 5 587 3 812 - 1 175 3 853 3 309 3 309 0
1996 5 908 4 038 - 1 870 3 822 3 073 3 073 0
1997 5 224 4 038 - 1 186 4 437 3 369 -
1998 6 396 4 038 - 2 358 4 437 5 436 + 999 7 499 10 250 +2 751
1999 4 139 4 038 - 101 3 698 5 102
Walaupun ada kecenderungan harga impor bawang putih menurun, tetapi hal tersebut tidak
mampu mendorong peningkatan pangsa pasar bawang putih lokal yang pada akhirnya dapat
mendorong peningkatan produksi. Menurut Sastrosiswojo., dkk (2002), hal tersebut selain disebabkan
faktor preferensi konsumen, diduga juga terdapat praktek monopoli pada pemasaran bawang putih.
Pada struktur pasar monopoli tersebut produsen bawang putih lokal sulit untuk dapat memasuki pasar.
Dalam pengembangan komoditas hortikultura, peningkatan produksi perlu diikuti dengan
peningkatan mutu hasil. Mutu hasil merupakan salah satu kunci sukses dalam memasuki era pasar
bebas dan meningkatkan daya saing produk, di samping perlu dikembangkan konsistensi dan
kontinuitasnya. Di dalam perdagangan, mutu hasil diwujudkan dalam bentuk adanya standar mutu
yang akan memacu para produsen untuk bekerja lebih efisien, produktif dan transparan. Dengan
adanya standarisasi diharapkan transaksi perdagangan menjadi lebih lancar. Di samping itu, aspek-
aspek perlindungan konsumen, jaminan mutu, kesehatan dan kebersihan, keamanan dan keselamatan
serta kelestarian lingkungan akan lebih mendapat perhatian.
Sejak diterapkannya Peraturan Pemerintah no 15 Tahun 1991, standar mutu yang berlaku di
Indonesia adalah standar nasional Indonesia (SNI). Standar mutu yang berlaku sebelum adanya PP
tersebut (SP, SPI, SII, dll) perlu direvisi jadi SNI. Sebagai tindak lanjut dari PP tersebut ditetapkan
Keputusan Presiden No 12 Tahun 1991 tentang penyusunan, penerapan dan pengawasan SNI, yang
berlaku sejak tanggal 1 April 1994. Sebagai tindak lanjut penetapan Standar Nasional Indonesia,
melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 303/Kpts/OT.210/ 4/1994 tanggal 27 April 1994, Standar
Nasional Indonesia sektor pertanian adalah standar yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian setelah
mendapatkan persetujuan dari Dewan Standar-disasi Nasional (yang sekarang menjadi Badan
Standardisasi Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 13 tahun 1997) dan berlaku secara
nasional di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam SNI tersebut bawang putih mempunyai nomor: SNI 01-3160-1992, dengan deskripsi
bawang putih adalah umbi dari tanaman bawangputih (Allium sativum L.) yang terdiri dari siung-siung
bernas, kompak dan masih terbungkus oleh kulita luar, bersih dan tidak berjamur. Selanjutnya bawang
putih digolongkan dalam dua jenis mutu, yaitu mutu I dan mutu II. Tabel 14 menunjukkan kriteria yang
lebih terperinci menyangkut standarisasi untuk bawang putih.
12
1. Karakteristik Tanaman
Varietas bawang putih yang banyak di tanam di Indonesia antara lain: Lumbu hijau, Lumbu
kuning, Cirebon, Tawangmangu, jenis Illocos dari Filipina, dan jenis Lokal Thailand. Dari banyak
varietas tersebut yang banyak ditanam adalah varietas Lumbu hijau dan Lumbu kuning. Bawang putih
mempunyai nilai kalori, protein dan karbohidrat yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis umbi lapis
lainnya. Rasa dan aroma khas pada bawang putih dtimbulkan oleh komponen-komponen flavor yang
terkandung dalam bawang putih (Histifarina dan Mussadad, 1999). Bawang putih tersusun atas
komponen-komponen utama yaitu protein, lemak, karbohidrat, air dan kalori. Selain itu bawang putih
mengandung komponen volatil (minyak menguap), getah, albumin dan beberapa mineral seperti
kalsium, fosfor dan besi. Komposisi kimia bawang putih selengkapnya tersaji pada Tabel 15.
Komponen penting pada bawang putih yang dapat menghasilkan aroma khas adalah sulfur,
yang terdiri dari 60 % diallyl disulfida, 20 % diallyl trisulfida, 6 % allyl propyl disulfida, dengan sedikit
dietil disulfida, diallyl polisulfida dan sedikit alliin dan allisin (Farrel, 1995). Prekursor utama aroma
pada bawang putih adalah S-allyl cysteine sulfoxide. Enzim pemecah asam allyl sulfenic akan
membentuk senyawa alliicin atau diallyl thiosulfinate. Allicin adalah komponen volatil utama pada
ekstrak bawang putih segar. Komposisi prekursor aroma pada bawang putih tersaji pada Tabel 16.
2. Syarat Pertumbuhan
2.1. Iklim
a. Keadaan angin tidak banyak berpengaruh untuk tanaman bawang putih. Faktor angin
merupakan faktor yang tidak menentukan keberhasilan bertanam bawang.
b. Curah hujan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman bawang putih adalah antara 100-200
mm/bulan. Curah hujan yang rendah dari itu akan mengganggu pertumbuhan, sebaliknya
curah hujan yang terlalu tinggi akan menyebabkan tanaman membusuk.
c. Tanaman bawang putih menghendaki penyinaran matahari yang cukup. Jenis bawang putih
yang berumur panjang cocok ditanam di daerah sub-tropis, terutama pada musim panas.
Bawang putih yang biasa ditanam di Indonesia merupakan jenis berumur pendek atau genjah.
d. Suhu udara yang cocok untuk tanaman ini antara 15-26 derajat C. Pada suhu udara yang
terlalu tinggi umbi tidak berkembang sempurna/malah tidak membentuk umbi. Sebaliknya jika
suhu udara terlalu rendah, tanaman mudah terserang frost.
e. Bawang putih menyenangi daerah yang lembab tapi kering. Kelembaban yang sesuai dengan
bawang putih adalah sekitar 60-70 persen.
Dataran tinggi dengan ketinggian antara 700-1000 m dpl merupakan daerah yang paling
cocok untuk tanaman bawang putih.
3.1. Pembibitan
Keberhasilan usaha tani bawang putih sangat ditunjang oleh faktor bibit karena produksinya
tergantung dari mutu bibit yang digunakan. Umbi yang digunakan sebagai bibit harus bermutu tinggi,
berasal dari tanaman yang pertumbuhannya normal, sehat, serta bebas dari hama dan patogen.
3.2.1. Persiapan
Penanaman bawang putih biasanya dilakukan di daerah persawahan yaitu setelah panen
padi. Pengolahan lahan bertujuan menyiapkan kondisi tanah sesuai dengan yang diinginkannya.
Secara garis besar pengolahan tanah meliputi kegiatan penggemburan, pembuatan bedengan dengan
saluran air, pengapuran (untuk tanah asam) dan pemberian pupuk dasar. Tanah yang asam
dinetralkan sebulan sebelum tanam. Bila pH kurang dari 6, dosis kapurnya sekitar 1-2 ton/ha.
Jumlah bibit yang diperlukan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain:
o pola tanam
o jarak tanam
o permukaan lahan
o ukuran umbi bibit
Kebututuhan umbi bibit untuk bawang putih apabila jarak tanam 20 x 20 cm jumlah kebutuhan bibit
antara 200.000-250.000 siung/200 kg siung, jarak tanam 20 x 15 cm jumlah kebutuhan bibit antara
240.000-300.000 siung/sekitar 240 kg siung, dan untuk jarak tanam 20 x 10 cm jumlah kebutuhan
15
bibitnya adalah antara 400.000-500.000 siung/sekitar 400 kg siung. Jumlah bibit akan menentukan
volume produksi.
3.2.4. Pengapuran
Keasaman tanah yang ideal untuk budidaya bawang putih berkisar antara pH 6-6,8. Jika
keasaman tanah masih normal, pH nya berkisar 5,5-7,5, belum merupakan masalah. Yang menjadi
masalah adalah apabila keasaman tinggi, pH nya rendah. Untuk menurunkan tingkat keasaman tanah,
menaikkan pH, perlu dilakukan pengapuran.
Waktu pemberian kapur yang baik adalah pada saat akhir musim kemarau menjelang musim
hujan. Pemberian kapur ke dalam tanah dilakukan 2-4 minggu sebelum tanaman ditanam. Selain itu,
faktor cuaca juga perlu diperhatikan pada saat pemberian kapur.
Lahan yang akan dikapur harus dibersihkan dari rumput pengganggu (gulma). Setelah bersih,
tanah dicangkul secara keseluruhan. Apabila lahan cukup luas, sebaiknya dibagi menjadi beberapa
petak untuk mempermudah pemberian kapur dan agar kapur yang diberikan merata ke seluruh lahan.
Pemberian kapur dilakukan dengan cara ditabur, seperti memupuk padi. Setelah ditaburi kapur secara
merata, tanah dicangkul lagi agar kapur bercampur dengan tanah dan cepat bereaksi. Selanjutnya,
tanah dibiarkan selama 2-3 minggu, lalu diolah lagi untuk ditanami. Pengapuran dilakukan secara
bertahap agar kondisi lahan tidak rusak. Kebutuhan dolomit untuk menetralkan tanah:
a. pH tanah 4,0 = 10,24 ton/ha.
b. pH tanah 4,5 = 7,87 ton/ha.
c. pH tanah 5,0 = 5,49 ton/ha.
d. pH tanah 5,5 = 3,12 ton/ha.
e. pH tanah 6,0 = 0,75 ton/ha.
3.2.5. Pemupukan
Pupuk dasar yang digunakan adalah pupuk kandang, Urea, TSP dan ZK. Pupuk kandang di
berikan sebanyak 20 ton /ha. Pupuk Urea, TSP dan ZK masing-masing diberikan sehari sebelum
tanam dengan dosis 200, 130 dan 200 kg/ha. Pemberian pupuk dasar tidak perlu terlalu dalam, cukup
disebarkan di atas bedengan kemudian dicampur dengan tanah atau dibenamkan ke dalam larikan
yang dibuat disamping barisan tanaman.
baru tumbuh untuk menembusnya. Selain untuk mempertahankan kondisi tanah, mempertahankan
suhu dan kelembaban permukaan, penutupan dengan jerami juga dimaksudkan untuk memperbaiki
struktur tanah, apabila jerami telah membusuk.
3.4.2. Penyiangan
Pada penanaman bawang putih, penyiangan dan penggemburan dapat dilakukan dua kali
atau lebih. Hal ini sangat tergantung pada kondisi lingkungan selama satu musim tanam.Penyiangan
17
dan penggemburan yang pertama dilakukan pada saat tanaman berumur 3-2 minggu setelah tanam.
Adapun penyiangan berikutnya dilaksanakan pada umur 4-5 minggu setelah tanam. Apabila gulma
masih leluasa tumbuh, perlu disiang lagi. Pada saat umbi mulai terbentuk, penyiangan dan
penggemburan harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusak akar dan umbi baru.
3.4.3. Pembubunan
Dalam penanaman bawang putih perlu dilakukan pembubunan. Pembubunan terutama
dilakukan pada tepi bedengan yang seringkali longsor ketika diairi. Pembubunan sebaiknya mengambil
tanah dari selokan/ parit di sekeliling bedengan, agar bedengan menjadi lebih tinggi dan parit menjadi
lebih dalam sehingga drainase menjadi normal kembali. Pembubunan juga berfungsi memperbaiki
struktur tanah dan akar yang keluar di permukaan tanah tertutup kembali sehingga tanaman berdiri
kuat dan ukuran umbi yang dihasilkan dapat lebih besar-besar.
3.4.4. Pemupukan
Pemberian pupuk dilakukan dengan 2 tahap, yaitu sebelum tanam atau bersamaan dengan
penanaman sebagai pupuk dasar dan sesudah penanaman sebagai pupuk susulan.Unsur hara utama
yang diperlukan dalam pemupukan adalah N, P, dan K dalam bentuk N, P2O5, dan K2O. Unsur-unsur
hara lainnya dapat terpenuhi dengan pemberian pupuk kandang.
Dalam satu kali penanaman tiap hektar bawang putih dibutuhkan sekitar 240 kg N, 60 kg
P2O5, dan 200 kg K2O. Apabila juga dilakukan pemupukan dengan pupuk kandang, maka dosis
pupuk kandang dikurangi menjadi 180 kg N, 60 kg P2O5, dan 100 kg K2O. Bawang putih memerlukan
sulfur dalam jumlah yang cukup banyak. Unsur ini mempengaruhi rasa dan aroma khas bawang putih.
Oleh sebab itu, apabila menggunakan KCl sebagai sumber kalium, maka sebagai sumber nitrogen
sebaiknya menggunakan pupuk ZA. Jika sebagai sumber nitrogen digunakan Urea, maka untuk
sumber kalium sebaiknya digunakan ZK. Hal ini dilakukan agar kebutuhan sulfur tetap terpenuhi.
Berdasarkan kebutuhan unsur hara di atas, jumlah pupuk yang akan digunakan dapat dihitung
berdasarkan jenis dan kandungan unsur haranya. Caranya adalah besarnya kebutuhan pupuk
merupakan perbandingan dosis unsur hara dengan Kandungan unsur hara dikalikan seratus. Cara
pemupukannya adalah dengan dibenamkan di dalam larikan disamping barisan tanaman seperti cara
memberikan pupuk dasar.
terbasmi. Cara penyemprotan dilakukan dengan menggunakan tangki penyemprotan (ukurannya bisa
bermacam-macam) baik secara manual (pompa tangan) ataupun dengan menggunakan tekanan gas.
3.5.1. Hama
a. Kutu bawang (Thips tabaci Lindeman).
Serangga ini masuk ke tanaman dalam bentuk masih larva dan dewasa dengan cara
mengisap cairan tanaman, baik pada daun maupun pada bagian lain. Gejala: daun yang
terserang berubah menjadi kuning dan akhirnya keperak-perakan atau coklat serta
mengerut/mengeriting dan lama-kelamaan menjadi layu. Pengendalian: membakar sisa
tanaman setelah panen atau dengan kimia. Pemberantasan secara kimia dilakukan dengan
insektisida seperti basudin 60 EC yang merupakan insektisida dalam bentuk cairan kental
dengan bahan aktif diazonon yang termasuk ke dalam golongan organofosfat. Konsentrasi
larutan yang digunakan adalah 0,2 prosen, maksudnya 2 ml Basudin dilarutkan kedalam 1 liter
air. Dan Bayrusil 250 EC adalah insektisida yang bekerja secara racun kontak. Konsentrasi
larutan yang digunakan adalah 2 cc/liter air.
b. Ulat daun (Sporodoptera litura.)
Ulat ini mempunyai ciri khas, yaitu pada ruas perut yang keempat dan kesepuluh
terdapat bentuk bulan sabit berwarna hitam dan dibatasi garis kuning pada samping dan
punggungnya. Gejala: ditandai dengan adanya bekas gigitan pada bagian ujung dan pinggir
daun. Ulat ini umumnya menyerang tanaman yang masih muda. Pengendalian: Telur dan ulat
yang baru menetas diambil bersama daun yang ditempelinya. Pengambilan dilakukan segera
mungkin karena pertumbuhan ulat ini cepat dan dapat bersembunyi dalam tanah.
Pemberantasan dengan kimia dapat dilakukan dengan Azodrin 15 WSC dengan dosis 3-4
cc/liter air. Volume penyemprotannya 400-600 liter/ha.
c. Ulat grayak (Sporodoptera exigua Hbn.)
Gejala: daun nampak terkulai seperti layu, berwarna putih, bagian daun yang diserang
adalah bagian dalam, yang ditinggalkan hanya lapisan epidermis, sehigga daun nampak
seperti membran., hama ini dapat dikendalikan jika dilakukan pergiliran tanaman.
Pengendalian: mengumpulkan dan memusnahkan tekur yang ada pada ujung daun. Secara
kimia hama ini dapat diberantas dengan insektisida, misalnya Azodrin 15 WSC. Dosis yang
digunakan 3-4 cc/liter air dengan volume penyemprotan 400-600 liter/ha.
d. Agrotis interjectionis Gn
Hama ini menyerang pada malam hari, pada siang hari bersembunyi di dalam tanah.
Panjang tubuhnya antara 30 - 35 mm, berwarna coklat tua dan kadang-kadang tertutup
dengan butiran tanah. Hama ini banyak terdapat di dataran rendah sampai ketinggian 1.500 m
dpl. Gejala: tanaman yang diserang adalah tanaman yang muda. Akibat serangannya
tanaman menjadi rebah karena hama ini memotong bagian leher umbi, kadang-kadang juga
memakan daun bawang. Pengendalian kimia: (1) Diazinon. Insektisida ini ada 2 jenis, yaitu
Diozinon 60 EC dan Diazinon 10 G. Keduanya berbahan aktif diazinon sebanyak 60% untuk
Diazinon 60 EC dan 10% untuk Diazinon 10 G. Untuk pemberantasan dapat digunakan
Diazinon 60 EC dengan konsentrasi 1-2 cc/liter air. Dapat juga menggunakan Diazinon 10 G
ditaburkan di sekitar perakaran tanaman seperti melakukan pemupukan. Dengan cara ini,
racunnya akan terisap oleh tanaman dan membunuh hama yang memakan bagian tanaman
tersebut. (2) Insektisida lain yang dapat digunakan adalah Tamaron dengan konsentrasi 1-2
cc/liter air dan Bayrusil 25 EC dengan konsentrasi 2 cc/liter air.
19
3.5.2. Penyakit
a. Penyakit bercak ungu
Penyebab: cendawan Alternariab porii (Ellis) Cif. Infeksi cendawan biasanya terjadi
pada saat tanaman membentuk umbi atau pada saat cuacanya mendukung dapat menyerang
tanaman yang masih muda. Gejala: terlihat bercak kecil berwarna putih kemudian membesar
dan berubah menjadi ungu, ditengahnya terdapat titik hitam dan dikelilingi oleh daerah
berwarna kuning yang dapat meluas. Lama-kelamaan bercak ini tertutup oleh warna coklat tua
yang badan buah cendawan (spora) yang sewaktu-waktu dapat menyebar terbawa
angin/terbawa oleh seranngga sehingga menyebar ke tanaman lain. Pengendalian: dengan
Dithane M-45 dengan konsentrasi 180-240 gram/100 liter air yang dicampurkan dengan bahan
perekat Triton sebanyak 0,02-0,05 % dan dapat pula menggunakan Antracol dengan
konsentrasi 2 gram/liter air. Penyemprotan dilakukan pada saat tanaman berumur 2 minggu
dengan interval 5-7 hari.
b. Penyakit embun bulu (blorok, downy mildew)
Penyebab: cendawan, yaitu Perenospora destructor (Berk) Casp. Cendawan ini
membentuk spora sebagai alat perkembangbiakan seksualnya. Spora tersebut dihasilkan
pada malam hari atau pada saat suhu udara rendah, sekitar 10 derajat C. Spora cendawan ini
berwarna biru keabu-abuan. Gejala: tanaman bawang putih yang terserang penyakit ini
daunnya menjadi berbintik-bintik abu-abu atau hijau pucat. Biasanya bintik-bintik ini berada di
ujung daun dan terjadi pada awal pembentukan umbi. Bintik-bintik ini cepat melebar dan
warnanya menjadi ungu jika keadaan cuaca mendukung, yaitu keadaan udara lembab,
berembun, atau turun hujan. Pada akhirnya dapat mengakibatkan tanaman kering dan mati.
Pengendalian: adalah dengan fungisida, yaitu Antracol dan Dithane. Caranya sama dengan
pada penyakit bercak ungu.
c. Penyakit busuk fusarium
Penyebab: cendawan Fusarium sp. Gejala: daun menjadi layu, dimulai dari ujung
daun. Penyakit ini juga dapat menyerang bawang putih setelah panen atau saat penyimpanan,
baik di gudang maupun di pasar. Serangan umumnya terjadi pada umbi-umbi yang terluka
akibat penanganan panen dan pascapanen yang kurang teliti. Bagian yang terinfeksi
permukannya basah, lalu menjadi lunak dan akhirnya busuk berwarna cokelat. Pengendalian:
dengan fungisida seperti Benlate dengan konsentrasi 2,5-5 gram/10 liter air. Penyemprotan
dilakukan seminggu sekali. Apabila penyakit ini menyerang tanaman yang disimpan, maka
sulit diatasi. Untuk itu pada saat panen jangan sampai umbi ada yang terluka.
d. Penyakit bercak daun cercospora
Penyebab: cendawan Cercospora duddiae Welles. Gejala: adanya bercak klorosis,
bulat dan berwarna kuning merupakan gejala awal penyakit ini. Bercak yang terjadi bergaris
tengah kurang lebih 3-5 mm dan paling banyak terjadi pada ujung daun bagian luar.
Pengendalian: sama dengan cara pengendalian penyakit bercak ungu.
e. Penyakit lain
Penyakit lain adalah karat daun yang disebabkan oleh Puccinia porii, busuk lunak oleh
Sclerotium cepivorum, busuk jingga oleh Pyrenochaeta terrestris, dan virus mosaik.
20
3.5.3. Gulma
Penurunan produksi sebagai akibat adanya berbagai gulma dapat mencapai 80%,
terutama bila pemberian mulsa kurang baik sehingga pertumbuhan rumput subur. Gulma-
gulma yang sering dijumpai di daerah pertanaman bawang putih antara lain; leki, rumput
kakawatan, dan bayam liar (duri). Penyiangan tanaman pada umur 30 dan 60 hari mempunyai
pengaruh yang nyata terhadap produksi. Pemakaian herbisida TOK 50 WP dapat disarankan
untuk pengendalian gulma terutama untuk skala penanaman yang sangat luas (Subhan dkk,
1989).
3.6. Panen
3.7. Pascapanen
3.7.1. Pengumpulan
Setelah dipanen dilakukan pengumpulan dengan cara mengikat batang semu bawang putih
menjadi ikatan-ikatan kecil dan diletakkan di atas anyaman daun kelapa sambil dikeringkan untuk
menjaga dari kerusakan dan mutunya tetap baik.
3.7.3. Penyimpanan
Dalam jumlah kecil, bawang putih biasanya disimpan dengan cara digantung ikatan-ikatannya
di atas para-para. Setiap ikatan beratnya sekitar 2 kg. Para-paranya dibuat dari kayu atau bambu dan
diletakkan diatas dapur. Cara seperti ini sangat menguntungkan karena setiap kali dapur dinyalakan,
bawang putih terkena asap. Pengasapan merupakan cara pengawetan yang cukup baik. Dalam jumlah
besar, caranya adalah disimpan di dalam gudang. Gudang yang akan digunakan harus mempunyai
ventilasi agar bisa terjadi peredaran udara yang baik. Suhu ruangan yang diperlukan antara 25-30
derajat C. Jika suhu ruangan terlalu tinggi, akan terjadi proses pertunasan yang cepat. Kelembaban
ruangan yang baik adalah 60-70 prosen.
Keberhasilan suatu usahatani dapat diukur melalui analisis finansial, yang merupakan
perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dengan tingkat penerimaan yang diperoleh. Besarnya
penerimaan itu sendiri sangat dipengaruhi oleh tingkat produksi serta harga. Seperti pada umumnya
pada usahatani sayuran, usahatani bawang putih dapat diketegorikan sebagai usahatani yang cukup
berisiko, hal tersebut tercermin dari variabilitas hasil dan variabilitas harga yang cukup tinggi.
Secara teoritis, setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal
dari bidang usaha yang dipilihnya. Keuntungan maksimal ini dapat diperoleh dengan meminimalkan
biaya produksi pada tingkat output tertentu, atau sebaliknya memaksimalkan ouput pada tingkat biaya
produksi tertentu. Selain itu, keuntungan maksimal juga dapat diperoleh melalui substitusi faktor
produksi yang satu dengan lainnya, sepanjang nilai yang dikeluarkan untuk input pengganti lebih kecil
dibandingkan dengan nilai input yang digantikan (pada tingkat output yang sama). Pelaku ekonomi
akan terus meningkatkan produksinya sepanjang penerimaan dari setiap unit ouput masih lebih besar
dibandingkan dengan biaya produksinya (Colman and Young, 1989). Dalam pengambilan keputusan
seperti di atas, pelaku ekonomi membutuhkan indikator kelayakan yang dapat diperoleh dari analisis
biaya dan pendapatan (ABP). ABP dapat mencerminkan perencanaan fisik dan finansial
operasionalisasi suatu usahatani pada periode waktu tertentu. ABP merupakan teknik sederhana yang
paling banyak digunakan dalam analisis ekonomi untuk membantu pengelola dalam mengambil
keputusan usahatani yang dapat memaksimalkan keuntungan (Dillon & Hardaker, 1980).
22
Seperti telah diuraikan pada sub bab terdahulu, bahwa sentra penanaman bawang putih
tersebar baik di pulau Jawa maupun luar pulau Jawa. Perbedaan lokasi penanaman tersebut dapat
memberikan perbedaan dalam penggunaan dan pengelolaan input produksi, bahkan juga dapat
memberikan perbedaan dalam praktek budidaya. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap biaya
usahatani yang dikeluarkan.
Beberapa perbedaan yang perlu dicatat dalam kaitannya dengan lokasi penanaman bawang
putih antara lain adalah penggunaan varietas. Umumnya penggunaan varietas di suatu daerah
dikaitkan dengan ketinggian tempat. Contohnya di daerah Ciwidey Jawa Barat varietas bawang putih
yang ditanam petani adalah varietas lumbu kuning (umur panen 85 hari), lumbu hijau (umumr panen
100 hari) dan lumbu hitam (umur panen 120 hari). Di daerah Kaliangkrik Kabupaten Magelang varietas
Lumbu Hijau dan Lumbu Kuning biasa di tanam di daerah dengan ketinggian < 1500m, sementara
untuk daerah dengan ketinggian > 1500m ditanam varietas Gombloh (Ameriana., dkk, 1990;
Sastrosiswojo., dkk, 2002). Bawang putih impor (varietas Tiongkok) tidak ditanam oleh petani karena
tanaman tidak dapat membentuk umbi. Namun untuk daerah Mororejo Kabupaten Pasuruan varietas
yang banyak ditanam oleh petani adalah varietas Tiongkok. Varietas ini umur panennya 6 bulan, yang
ditanam secara tumpangsari dengan bawang daun.
Umumnya bawang putih ditanam dengan sistem bedengan. Namun di daerah Kaliangkrik
Kabupaten Magelang sistem tanam yang digunakan berbeda. Cara budidaya menurut istilah daerah
setempat disebut sistem “cemplongan”. Sistem cemplongan dilakukan dengan cara, pertama membuat
lubang berdiameter 22,5 cm dan kedalaman 22,5 cm. Pembuatan lubang dilakukan dengan
menggunakan tugal yang ujungnya berbentuk kerucut dan terbuat dari besi yang diisi dengan adukan
semen. Cemplongan diisi pupuk kandang dan pupuk buatan., siung bawang putih ditanam melingkar
sebanyak 6 – 7 siung/cemplongan. Jarak antar cemplongan 30 cm dan antra baris cemplongan 70
cm. Tabel 17 menyajikan contoh analisis finansial pada usahatani bawang putih di dua lokasi dengan
menggunakan varietas yang berbeda.
Tabel 17 memperlihatkan bahwa biaya usahatani dengan menggunakan varietas yang berbeda
mengakibatkan perbedaan biaya usahatani yang cukup mencolok. Dilihat dari proporsi komponen
biaya pada kedua usahatani tersebut, komponen pestisida memperlihatkan perbedaan yang cukup
mencolok. Untuk varietas lumbu hijau penggunaan pestisida hanya sebesar 6,13 % dari total biaya,
sementara untuk varietas Tiongkok biaya pestisida mencapai 30,33 %. Komponen bibit juga
memperlihatkan perbedaan yang cukup besar, biaya untuk bibit bawang putih Tiongkok memerlukan
biaya sebesar 7, 98 % dari total biaya, sedangkan bibit lumbu hijau sebesar 18,03 %. Sementara itu,
porsi biaya untuk pupuk dan tenaga kerja yang dikeluarkan oleh kedua usahatani hampir sama.
Informasi input-output yang dihimpun pada Tabel 17 menunjukkan bahwa R/C rasio untuk
usahatani bawang putih varietas Tiongkok > 1, sementara data mengenai output untuk varietas Lumbu
Hijau tidak tersedia. Hal tersebut mengindikasikan bahwa usahatani bawang putih Tiongkok dengan
alokasi input dan hasil panen yang diperoleh seperti tercantum pada Tabel 17 menguntungkan. Nilai
R/C rasio untuk usahatani bawang putih Tiongkok tersebut mengandung arti bahwa setiap satu
rupiah dana yang diinvestasikan dapat memberikan tingkat pengembalian sebesar Rp 2,99. Namun
demikian, indikator tersebut perlu diinterpretasikan secara hati-hati, karena besaran nisbah
penerimaan/ biaya sangat sensitif terhadap perubahan harga (terutama harga luaran). Fluktuasi harga
bawang putih seringkali menghadapkan petani pada tingkat harga di bawah titik impas, sehingga
peluang mengalami kerugian yang secara eksplisit tidak tergambarkan pada Tabel 17 sebenarnya juga
cukup tinggi.
23
Tabel 17 Contoh kasus usahatani bawang putih di dua lokasi sentra produksi musim
tanam tahun 2001.
PEMULIAAN
Penelitian pemuliaan dan plasma nutfah bawang putih periode 1980-2002 yang telah
dipublikasikan adalah sebanyak 7 artikel. Varietas bawang putih lokal Indonesia yang banyak ditanam
petani dan digunakan sebagai materi penelitian adalah Lumbu Hijau, Lumbu Putih, Lumbu Kuning, Lokal
Cirebon dan Lokal Tawangmangu. Penggunaan varietas Lumbu Hijau sebagai materi penelitian cukup
dominan selama periode 1980-2002. Tabel di bawah memperlihatkan sebaran topik, jumlah artikel,
varietas, asal serta ekosistem tempat penelitian pada masing-masing bidang pemuliaan tanaman bawang
putih, perbanyakan/perbenihan dan plasma nutfah.
24
• Tidak tercatat adanya kegiatan persilangan tanaman bawang putih, hal ini disebabkan karena
perbanyakan tanaman bawang putih biasanya dilakukan secara vegetatif.
• Tidak tercatat adanya artikel kegiatan introduksi galur/kultivar bawang putih, varietas yang
berasal dari luar negeri yang banyak beredar di pasar misalnya : CV. Ilocos (Filipina) dan CV.
Taiwan (Taiwan).
Tabel 18 Topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem penelitian perbanyakan
cv. Bawang putih.
• Uji adaptasi 14 kultivar bawang putih di dataran rendah menunjukkan kultivar No. 2672 asal
Cipanas memberikan hasil bobot kering umbi (1,0 t/ha), CV. Won Sari (2,7 t/ha), dan CV. No.
2850 (2,68 t/ha);
• Ketinggian lokasi tanam bawang putih mempengaruhi keragaman bobot kering umbi, diameter
umbi, mutu umbi dan jumlah siung. Persentase kerusakan umbi bawang putih (Gembos)
meningkat sejalan dengan letak lokasi tanam yang makin rendah pada varietas Lumbu Hijau.
Lumbu Kuning dan Bogor.
Tidak tercatat adanya artikel penelitian uji daya hasil galur/kultivar bawang putih.
Tidak tercatat adanya artikel penelitian uji resistensi galur/kultivar bawang putih.
• Pemuliaan melalui radiasi sinar gamma Co.60 pada dosis 2-12 krad terhadap tanaman
bawang putih varietas Lumbu hijau menunjukkan turunnya persentase pertumbuhan, tanaman
menjadi kerdil, daun berkerut dengan ujung menguning, pertumbuhan akar sangat pendek,
ujung akar menguning dan pada dosis 10-12 krad menjadi pembusukan akar.
Mengingat bawang putih tergolong komoditas yang mudah rusak, maka teknologi penyimpanan bibit
harus tepat sehingga bibit terpelihara. Penelitian perbanyakan/ perennial/pembibitan bawang putih
tercatat sebanyak 2 artikel, meliputi :
• Semakin besar ukuran umbi bibit bawang putih Cv. Lumbu hijau yang digunakan, maka
semakin meningkat pula pertumbuhan vegetatif serta komponen hasilnya (bobot segar, bobot
kering dan jumlah siung.
• Penggunaan siung umbi bawang putih untuk bibit dengan bobot 1,1-1,5 g dan 1,6-2,0 g
menunjukkan kenaikan hasil bobot umbi kering per satuan luas.
Penelitian perbanyakan Cv. Bawang putih melalui kultur meristem tercatat 2 artikel, yaitu :
• Pertumbuhan potongan jaringan batang atau daun bawang putih melalui kultur meristem
memerlukan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media yang sudah
mengandung makro dan mikro elemen, sumber karbohidrat dan vitamin. Pertumbuhan
26
potongan jaringan batang menghasilkan kalus yang berstruktur kompak dan berwarna kuning
atau coklat, sedangkan pertumbuhan potongan jaringan daun menghasilkan kalus yang
berstruktur remah dan berwarna putih.
• Percobaan introduksi kalus dengan 18 komposisi media memberikan respon yang baik untuk
explant basal plate atau bonggol asal umbi satu pada empat minggu setelah panen,
persentase regenerasi menjadi tanaman sangat kecil.
Tabel 19 Topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem penelitian perbanyakan
Cv. Bawang putih.
No Topik Jumlah Artikel Varietas Asal Ekosistem
.
AGRONOMI
3. Penggunaan pupuk N
2. Penggunaan pupuk P
o Dosis fosfat yang paling efisien dalam meningkatkan umbi bw. Putih adalah 135
kg P2O5/ha atau 294,5 kg TSP/ha dan menghemat pupuk fosfat oleh petani
sebesar 55-77,5%.
• Lumbu Hijau, dt, Ciwidey, 240 kg N/ha (Urea:ZA), 100 kg K2O/ha, 10 t pukan:
3. Penggunaan pupuk K
h Kombinasi perlakuan yang memberikan pengaruh terbaik terhadap pertumbuhan dan hasil
umbi bw. Putih adalah 3,0 kg zeolit tanpa tanah dengan kalium 10 g KCl/pot (960 kg K2O/ha)
dan perlakuan 1,5kg zeolit dengan 1,5 kg tanah/pot dengan kalium 5 g KCl/pot (480 kg
K2O/ha)
h Interaksi antara komposisi N-Urea : N-ZA (1:2) dengan dosis 180 kg P2O5/ha merupkan
kombinasi terbaik dalam meningkatkan bobot umbi kering per petak (6 m2), sedangkan dosis
P optimal adalah 194,2 kg P2O5/ha dicapai pada dosis 150 kg N/ha.
h Takaran P meningkatkan P tersedian dan K tersedia tanah, sedangkan peningkatan N
meningkatkan N dan S tersedia tanah, tetapi menurunkan pH tanah dan P tersedia tanah.
h Efisiensi serapan P tertinggi diperoleh jika pupuk N pada komposisi 1:1 dikombinasikan
dengan pupuk fosfat 180 kg P2O5/ha.
h Kombinasi pupuk N dan P yang paling efisien adalah 83 kg Urea + 536 kg ZA + 300 kg TSP
(150 kg N (N-Urea : N-ZA = 1:3) + 135 kg P2O5/ha).
h Peningkatan dosis Urea + ZA meningkatkan kandungan N dan S tanah, sedangkan
peningkatan kualitas ZA pada dosis yang sama meningkatkan kandungan S dalam tanah dan
kandungan P-tersedia. Peningkatan P – tersedia dapat dilihat pada dosis P tinggi (400 kg
TSP atau 180 kg P2O5/ha)
h Dosis N dan P yang tinggi yaitu 178 kg Urea + 762 kg ZA + 400 kg TSP atau 240 kg N
(N_Urea : N_ZA = 1 : 2) + 180 kg P2O5/ha) menghasilkan serapan N, P dan S tertinggi
h Pemberian P di atas pupuk kandang lebih meningkatkan pertumbuhan dan hasil umbi dari
pada dengan pemberian P secara diaduk rata dengan pukan di dalam complongan.
29
h 150 kg N, 270 kg P2O5 dan 90 kg K2O per ha merupakan perlakuan terbaik dalam
menghasilkan bobot basah dan kering umbi b. putih
h Dosis N optimum = 123 kg/ha, dosis paling ekonomis = 121.2 kg/ha
h Tanaman bw.putih yang ditanam setelah padi pola paket D masih memerlukan pemupukan
N, P dan K dengan dosis 67,5 kg P2O5, 150 kg K2O, 240 kg N /ha (1/3 N-Urea, aplikasi 15
hst; 1/3 N-ZA, aplikasi 30 dan 45 hst)
h Penggunaan pupuk daun Greenzit meningkatkan tinggi dan diameter batang tan. B. putih
pada seluruh fase pertumbuhannya, serta meningkatkan bobot umbi basah dan kering.
h Pemberian Atonik dan Mixtalol meningkatkan bobot umbi basah bawang putih.
h Penggunaan pupuk daun Massmikro 200 ppm dengan tiga kali aplikasi (3, 6 dan 9 mst)
sangat tepat dan efisien dalam meningkatkan tinggi tan., diameter batang, bobot basah dan
bobot kering umbi b. putih.
h Perendaman umbi benih dalam lar. Dharmasri 0,1 ml/l atau dalam air bersih selama 2 jam
sebelum tanam secara independen nyata mempercepat dan meningkatkan persen jumlah
tunas yang tumbuh pada 4, 8, 12 hst
h Perendaman umbi benih dalam lar. Dharmasri 0,1 ml/l atau dalam air bersih atau tanpa
perendaman umbi benih sebelum tanam yang dikombinasikan dengan aplikasi Dharmasri 5
EC 0,05 ml/l atau 0,10 ml/l pada 2,5, 8 mst nyata meningkatkan bobot umbi total.
h Penggunaan pupuk daun (M.Mikro, Forest, Greenzit, Vegimax, Bayfolan) dengan cara
CDA(Control Droplet Application) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap
pertumbuhan dan hasil tan. bw. Putih.
h Lumbu Hijau, dt, Ciwidey, 10 ton pukan + (200 N-100 P2O5- 150 K2O) kg/ha:
h Pupuk daun Metalik-Special tidak berpengaruh nyata dalam meningkatkan pertumbuhan dan
hasil bw. Putih, kecuali pada konsentrasi 0,2%, 0,1% dan 0,067% terhadap tinggi tan. dan
diameter umbi (0,2%).
h Perlakuan atonik 900 ppm berpengaruh paling baik terhadap pertumbuhan vegetatif umur 13
minggu dan bobor basah dan kering brangkasan dan bobot kering umbi protolan.
7. Pupuk Mikro
h Cara pemberian Cu melalui tanah dengan dolomit 3 t/ha meningkatkan pertumbuhan tinggi
tanaman, bobot basah dan kering brangkasan (umur 7 dan 14 hari setelah panen) dan bobot
kering umbi
h Cara pemberian Cu melalui tanah dengan penambahan CaCO3 meningkatkan bobot jenis
umbi dan mengurangi susut bobot umbi.
h Hasil optimum bw. Putih ditentukan oleh pupuk mikro dengan kisaran 1,543 – 3,858 ppm B,
2,958 – 7,395 ppm Fe, 0,975 – 2,436 ppm Cu dan 1,444 – 3,611 ppm Zn serta 2,661 – 12,535
t/ha pukan.
h Tidak ada perbedaan antar kultivar dr terhadap pertumb. dan hasil bw. Putih yang ditan. di dt.
Sampai dengan 30 t/ha pukan meningkatkan hasil dan kualitas hasil umbi. Hasil umbi sangat
baik untuk bibit.
h Pukan dan pupuk mikro (Cu dan Zn), Lumbu Hijau, dt, Andosol:
h Interaksi antara pukan pupuk mikro berpengaruh terhadap C-org., P dan K tersedia, serta
kand. Zn dan Cu pada tanah jenis Andosol, tetapi tidak berpengaruh pada pH dan N total.
h Pukan meningkatkan pH dan N total, sedangkan pupuk mikro tidak berpengaruh.
h Pupuk kandang 10 t/ha tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, tetapi nyata
meningkatkan hasil umbi bw. Putih.
h Aplikasi macam pupuk mikro (terutama Cu, Zn dan Mo) nyata meningkatkan pertumbuhan
maupun hasil umbi bw. Putih, tetapi responnya bervariasi tergantung dari parameter yang
diamat.
h Kombinasi kultivar Suren dengan dosis pukan 9,727 t/ha memberikan hasil tertinggi pada bobot
basah umbi
9. Perlakuan pengapuran
h Produksi umbi bawang putih tertinggi pada tanah Andosol yang dikapur 1,5 t/ha dan pemberian
nitrogen sebanyak 400 kg Urea per hektar
h ………, dt:
h Pemakaian kapur atau dolomit 3,0 t/ha dan pemupukan tembaga (Cu) 8 ppm mll tanah
meningkatkan produksi bw. Putih dan mengurangi susut bobot hasil yang diperoleh
h Pemberian air 500 dan 700 ml per pot (1 kg tanah) dengan selang waktu 6 hari sekali dan
pemberian air 100, 300 dan 500 ml per pot (1 kg tanah) demgam selang waktu 3 hari sekali
menunjukkan hasil umbi b.putih yang baik di tanah Andosol.
h Peranan mulsa jerami pada tan. B. putih tidak dapat digantikan oleh mulsa plastik (transparan
atau hitam), sedangkan penggunaan limbah kubis tidak berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan dan hasil b. putih.
h Tinggi bedengan yang disarankan pada sistem budidaya bawang putih di musim penghujan
adalah 30 cm. Penggunaan dosis pupuk kandang ayam 10 t/ha untuk bawang putih dapat
direkomendasikan, sedangkian penambahan diatas dosis tersebut tidak berpengaruh
terhadap peningkatan hasil.
h Mulsa jerami memberikan pengaruh yang lebih baik terhadap hasil panen b. putih, dibanding
dengan mulsa ampas tebu, sekam padi dan daun pisang kering.
h Herbisida pra tanam oksifluorfen dapat meningkatkan hasil panen sebesar 15 % dibanding
tanpa herbisida
h Mulsa kurang efektif dalam menekan pertumbuhan gulma, sedangkan herbisida pra tanam
nyata menekan pertumb. Gulma umur 45 dan 75 hst
h Lumbu Putih, Jatibarang, dr, Brebes, Alluvial, 5 ton kompos/ha, NPK (240-120-150) kg/ha:
h Lumbu putih dan Jatibarang mempunyai pertumbuhan dan hasil yang tidak berbeda di dr.
h Penggunaan naungan screen plastik 30% untuk tan. bw. putih di dr menghasilkan umbi
ukuran besar tertinggi. Namun sistem tumpangsari dengan jagung dan cabai sebagai
alternatif naungan perlu diteliti lebih lanjut untuk mendapatkan jenis dan aplikasi tanaman
naungan untuk bw.putih dr.
h Penggunaan mulsa maupun herbisida pra-tumbuh belum efektif dalam menekan pertumb.
gulma. Penggunaan mulsa mampu meningkatkan hasil panen sekitar 20%, sedangkan
herbisida tanpa penyiangan tidak meningkatkan hasil.
h Diameter umbi terbesar diperoleh dengan penggunaan bibit ukuran besar (>1,5 g) yang diberi
pupuk N dua kali (saat tanam dan 30 hst).
h Penggunaan bibit ukuran besar menghasilkan pertumbuhan dan hasil umbi bw. Putih tertinggi
33
h Pupuk N yang diberikan tiga kali (15, 30 dan 45 hst) meningkatkan pertumbuhan dan
komponen hasil bw. Putih (bobot basah dan kering umbi serta jumlah siung)
Tabel 20 Topik, varietas dan ekosistem penelitian bawang putih agronomi 1982-2002
5. Penggunaan pupuk N+P+K 3 Lumbu Kuning, l Dt, dr (2) BPH 18 (2), 1989;26 (3),
Lumbu putih, 1994
suren
6. Penggunaan pupuk daun dan ZPT 8 Lumbu Hijau (7), l dt(5), dm BPH 15(2),1987; 20(2),
Lumbu kuning (3) 1990;
14. Gulma
h Hasil panen bw. Putih tertinggi terjadi pada perlakuan bebas gulma sampai umur 75 hst dan
terendah pada perlakuan bergulma sampai umur 75 hst. Jadi periode kritis tanaman bw. Putih
terhadap gulma yaitu pada umur 0 – 75 hst.
h Penyiangan secara manual, penggunaan mulsa jerami dan plastik hitam, pemakaian herbisida
Propachlor dan Pendimethalin mampu menekan gulma 40%-100%
h Penyiangan secara manual pada 15, 30, 45 hst adalah perlakuan terbaik, diikuti oleh perlakuan
pemulsaan jerami 30 t/ha herbisida Propachlor
h Penggunaan plastik hitam sebagai plastik tidak dapat dianjurkan untuk pertanaman bw.putih,
karena menimbulkan hambatan bagi pertumbuhan dan perkembangan bw.putih
PROTEKSI TANAMAN
Penelitian hama penyakit bawang putih, khususnya yang telah dipublikasikan, tercatat hanya
sampai tahun 1996, dan jumlahnya relatif sedikit (16 artikel). Beberapa catatan umum dari tahun 1982
sampai dengan tahun 1996 adalah sebagai berikut :
• Topik penelitian penyakit proporsinya lebih besar dibandingkan penelitian hama.
• Kultivar yang dominan digunakan adalah lumbu hijau.
• Ekosistem yang digunakan untuk penelitian adalah dataran tinggi.
Hasil penelitian per topik dari tahun 1982 sampai dengan tahun 1996 adalah sebagai berikut.
1. Thrips tabaci
h Fention 0,15% (Lebaycid) dan Diazinon 0,15% lebih efektif dibanding Metamidifos 0,15% dan
Metomil 0,15%.
h Penggunaan Verticillium lecanii dapat menekan populasi Thrips sebesar 31%, sedang
Beauveria bassiana dapat menekan Thrips sebesar 27%.
h Penggunaan Zincofol (0,1%) dan Antracol (0,1%) dengan kombinasi perlakuan radiasi 250 rad
efektif terhadap S. vesicarium dan menguntungkan.
7. Virus
7.1 Identifikasi
h Gejala mosaik klorosis dan alur kuning pada helaian daun bawang putih disebabkan oleh virus,
bukan jamur atau bakteri. Diduga virusnya adalah Beet Yellow Virus (BYV), untuk meyakinkan
dugaan ini perlu penelitian lebih lanjut.
8. Gulma
h Kepadatan gulma 50% dapat menurunkan bobot panen umbi 67,4%, sedangkan dengan
kepadatan gulma 100% dapat menurunkan bobot panen umbi 83,14%, wlaaupun dipupuk N
dengan dosis 300 kg/ha.
h Mulsa jerami, ampas tebu, sekam padi dan daun pisang kering kurang efektif untuk menekan
gulma, namun menunjukkan indikasi dapat meningkatkan hasil panen ± 20%.
h Herbisida Goal 2E (Oksifhorpen) pratanam, efektif menekan gulma, dan dapat menekan
kehilangan hasil sebesar 15%.
Tabel 21 Topik, varietas dan ekosistem penelitian bawang putih proteksi tanaman, 1982-1996.
8. Gulma 6 Kehilangan hasil persaingan gulma (3) Lumbu hijau (6) DT (6)
Penggunaan mulsa (2)
Kimiawi/efikasi (1)
PASCAPANEN
1. Prapanen
Hasil :
- Penyemprotan tanaman bawang putih dengan campuran larutan Ethrel (1%) dan urea
(10%) setelah panen, ternyata tidak mempercepat proses pengeringan batang dan daun
bawang putih.
- Penyemprotan dengan bahan kimia tersebut justru menurunkan kandungan vitamin C.
- Penyemprotan dengan bahan kimia di atas juga memperbesar kehilangan umbi dalam
penyimpanan kondisi kamar.
2. Pengeringan umbi
1) Topik : Pengeringan dan Daya Simpan Bawang Putih pada Kondisi Kamar
Peneliti Utama : Syaifullah
Publikasi : BPH XVIII (3), 89
Hasil :
- Pengeringan bawang putih baik yang berdaun maupun tidak, dapat dilakukan dengan sinar
matahari langsung, di tempat teduh, di dalam ruangan dengan alat pengering tenaga surya
tipe IDAHO dan tipe IDAHO yang dimodifikasi.
- Penguapan air tertinggi terjadi pada pengeringan dengan sinar matahari langsung dan
terendah dialami pada pengeringan pada kondisi kamar.
3. Penyimpanan
4. Pengolahan
6. Prapanen
• Penyemprotan tanaman bawang putih dengan campuran larutan Ethrel (1%) dan urea (10%)
setelah panen, ternyata tidak mempercepat proses pengeringan batang dan daun bawang
putih. Penyemprotan dengan bahan kimia tersebut dapat menurunkan mutu umbi khususnya
vitamin C. Selain itu berakibat memperbesar kehilangan umbi dalam penyimpanan kondisi
kamar.
7. Pengeringan umbi
• Pengeringan bawang putih baik yang berdaun maupun tidak, dapat dilakukan dengan sinar
matahari langsung, di tempat teduh, di dalam ruangan dengan alat pengering tenaga surya
tipe IDAHO dan tipe IDAHO yang dimodifikasi. Penguapan air tertinggi terjadi pada
pengeringan dengan sinar matahari langsung dan terendah dialami pada pengeringan pada
kondisi kamar. Waktu pemeraman yang terbaik pada suhu 25°C ialah 4 hari, dan membiarkan
tomat terbuka di udara selama 4 hari agar matang 100%. Perlakuan pemeraman 6 –7 hari
hanya memerlukan 3,2 dan 2,2 hari agar 100% matang. Sedang kontrol memerlukan waktu
15,8 hari untuk mencapai matang 100%.
• Penggunaan gudang sistem vortex jauh lebih baik dibanding gudang petani untuk
penyimpanan bawang putih. Hal ini dibuktikan dengan susut bobot yang lebih kecil,
penampakan lebih baik, jumlah umbi keropos sangat kecil. Penggunaan gudang sistem vortex
juga sangat baik untuk bawang putih konsumsi karena tidak memerlukan pengasapan yang
menurunkan nilai penampakan. Namun masih perlu diteliti dengan kapasitas penuh untuk
membandingkan tenaga sirkulasi udara dengan uap air hasil respirasi dan juga pengaturan
ventilasi bila penyimpanan di musim hujan.
• Penggunaan gudang pengering tanpa dinding dapat disamakan dengan penggunaan gudang
berdinding yang dilengkapi dengan alat vortex wind machine untuk bawang putih.
Penggunaan gudang pengering vortex jauh lebih baik dibanding dengan gudang tradisional.
Pengeringan bawang putih langsung ke dalam gudang pengering tanpa dinding atau gudang
sistem vortex selama 4 minggu maka bawang putih dapat disimpan ke dalam kantong plastik
tertutup.
41
8. Penyimpanan
• Pencelupan umbi bawang putih kering dalam larutan pestisida Dessin 5 EC 2,5 ml/l, Tamaron
200 LC 2ml/l dan Ambush s EC 2.5 ml/l, dapat menunda serangan ulat selama penyimpanan
pada kondisi kamar dalam waktu masing-masing 5 bulan, 6 bulan, dan 6 bulan lebih lama
daripada kontrol yang hanya 2 bulan sudah mulai ada serangan ulat. Setelah 8 bulan
disimpan pada kondisi kamar, ternyata pencelupan umbi dalam pestisida Tamaron, Ambush
dan kontrol, sisa umbi sehatnya masing-masing 53,17%, 48,3% dan 27,17% dengan total
kerusakan 9,5%, 7% dan 39,57%. Pencelupan umbi pada minyak goreng dan yang
dikombinasikan dengan pestisida, ternyata mempercepat kerusakan umbi dalam
penyimpanan.
• Kombinasi suhu 30oC dan kelembaban (RH) 70% memberikan mutu bawang putih terbaik.
9. Pengolahan
• Semakin besar konsentrasi garam, semakin besar kadar air dan kadar abu bubuk bawang putih.
Penambahan gum arab menyebabkan penurunan rendemen tertinggi adalah perlakuan tanpa
penambahan gum arab dengan penambahan garam 1%. Nilai warna putih tertinggi terdapat
pada interaksi tanpa penambahan gum arab dan garam, sedangkan nilai VRS tertinggi diperoleh
dari kombinasi penambahan gum arab 0,5% dengan tanpa penambahan garam. Penambahan
0,5% gum arab dengan tanpa garam merupakan kombinasi terbaik terhadap flavour dan nilai
VRS.
• Interaksi perlakuan 4% kadar garam larutan perendaman pada suhu fermentasi 5°C dengan
4-6 minggu lama fermentasi menghaislkan mutu pikel bawang putih yang optimum. Bakteri
lactobacillus sp merupakan bakteri psikhodrik yaitu bakteri yang mesofer, tetapi masih dapat
tumbuh pada suhu 5°C. Kadar garam pikel bawang putih tertinggi dicapai pada saat 2 minggu
lama fermentasi, kemudian menurun pada minggu ke-4, ke-6 dan ke-8. VRS adalah zat yang
mudah menyerap, selama proses fermentasi berlangsung kadang VRS menurun, tetapi asam
laktat mencapai optimum maksimal 6 minggu lama fermentasi, kemudian menurun lagi sampai
minggu ke-8. Jumlah total bakteri terus meningkat, demikian pula dengan total bakteri
Lactobacillus sp. Secara keseluruhan dari nilai unsur kimia, mikroba dan uji organoleptik pikel
bawang putih yang optimum diperoleh dari dan sekitar 4-6 mg lama fermentasi.
• Pengeringan dengan oven 40°C dengan garam larutan perendam (2%) menunjukkan VRS
yang paling tinggi yakni 340,66 mgrek/g serta sifat organoleptik yang terbaik pada irisan kering
bawang putih. Perlakuan pengeringan tidak berpengaruh nyata terhadap kadar air, kadar abu,
VRS, flavor, tekstur dan penampakan keseluruhan, kecuali terhadap warna dan kerenyahan
menunjukkan bahwa perlakuan yang terbaik adalah pengeringan dengan oven 30°C dan
40°C. Perlakuan kadar garam larutan perendaman berpengaruh nyata terhadap kadar air,
kadar abu, VRS, warna, flavour, kerenyahan dan penampakan keseluruhan. Kadar garam 3%
dan 4% merupakan perlakuan yang terbaik di bandingkan dengan perlakuan lainnya.
• Pelaksanaan penanganan pasca panen masih jauh dari yang diharapkan terutama dalam
meningkatkan mutu dan umur penyimpanan bawang putih. Perlu penelitian yang lebih
menjurus pada penentuan tingkat ketuaan layak panen, patologi pasca panen, pengeringan
42
Catatan Umum :
Pada teknik prapanen belum ditemukan teknik yang dapat meningkatkan karakter fisikokimia umbi
bawang putih.
Belum dilakukan penelitian yang berhubungan dengan penentuan tingkat ketuaan yang layak
panen.
Hasil penelitian pengeringan bawang putih sudah menunjukkan perkembangan yang baik dilihat
dari hasil yang dapat dicapai.
Hasil penelitian penyimpanan masih belum memuaskan dilihat dari hasilnya, dimana masih terjadi
susut bobot dan kerusakan yang besar. Penggunaan pestisida sebagai bahan pengawet dalam
penyimpanan dikhawatirkan akan membawa dampak negatif terhadap kesehatan.
Belum pernah dilakukan penelitian tentang pengemasan, baik pengemasan eceran maupun
distribusi.
Penelitian diversifikasi olahan bawang putih masih sangat terbatas pada tepung dan pikel.
Perlu dilakukan penelitian identifikasi mutu dan keragaan penanganan pascapanen serta
pemanfaatannya.
AGRO-EKONOMI
Sebaran topik serta ekosistem pada penelitian agro-ekonomi bawang putih selama kurun
waktu 1974-2001 dapat dilihat pada Tabel 21. Beberapa catatan umum yang dapat ditarik dari Tabel 1
adalah sebagai berikut:
• Dibandingan dengan topik penelitian agro-ekonomi lainnya, topik penelitian ekonomi produksi
proporsinya paling besar (43%).
• Mayoritas ekosistem yang digunakan untuk penelitian bawang putih adalah dataran tinggi (10) dan
hanya sebagian kecil yang dilaksanakan di dataran medium (2) dan dataran rendah (2).
Hasil penelitian per topik sampai dengan tahun anggaran 2001 adalah sebagai berikut :
Keterangan :
dt = dataran tinggi
dm = dataran medium
dr = dataran rendah
H = Hortikultura
BPH = Buletin Penelitian Hortikultura
JH = Jurnal Hortikultura
• Kendala yang dihadapi petani bawang putih di dataran medium adalah harga jual yang
rendah dan embun upas. Sementara itu kendala di dataran tinggi harga input mahal,
harga jual rendah, ulat, Lomot dan Trotol.
• Bawang putih mulai ditanam petani di desa Ciomas, kecamatan Sukahaji – Majalengka
tahun 1987 dengan alasan biaya bibit lebih murah dan keuntungan lebih tinggi
dibandingkan dengan bawang merah.
• Bawang putih ditanam bulan Maret/April atau Juli/Agustus. Penanaman Maret/April lebih
sesuai untuk bawang putih dibandingkan dengan Juli/Agustus, karena Juli/Agustus lebih
banyak permasalahan seperti penyiraman dan penyakit. Namun demikian penanaman
Juli/Agustus harga jualnya lebih tinggi.
• Daerah pemasaran bawang putih dari Majalengka selain untuk memenuhi kebutuhan lokal
juga dipasarkan ke Kuningan, Serang, Semarang dan Lampung.
• Permasalahan yang dihadapi : (1) keterbatasan pengetahuan teknik bercocok tanam
bawang putih, (2) daun bawang putih “nglinting” (menggulung); (3) persentase hasil umbi
kecil yang terlalu banyak (±30%).
• Di kecamatan Karangploso dan Dau bawang putih berkembang cepat mulai tahun 1980-
an. Produksi cukup bagus, yaitu dengan bibit 0,5 ton mampu menghasilkan 12 ton bawang
putih, sehingga cukup memberikan keuntungan.
• Grading telah dilakukan petani, sehingga harga jual lebih baik dan bervariasi sesuai
dengan kelasnya.
• Kendala yang dihadapi : (1) lemahnya permodalan petani, (2) kekuatan posisi tawar
menawar, (3) tingkat pengetahuan teknologi budidaya dan pasca panen yang belum
memadai, serta (4) teknologi pengendalian OPT.
• Komposisi biaya produksi bawang putih di Batu (1972) adalah : (a) bibit – 33,17%,
Pupuk -- 12,25%, pestisida -- 9,37%, tenaga kerja -- 26,04%, sewa tanah dan lain-lain --
19,17%. Dengan produksi kering 8.118 kg/ha, maka R/C ratio 2,67.
• Penggunaan input pada usahatani bawang putih di daerah Batu-Malang masih dapat
ditingkatkan, yaitu penggunaan bibit, pupuk N, P, K dan fungisida.
• Hasil panen bawang putih yang dijual kering lebih menguntungkan petani dibandingkan
dengan dijual basah (tanpa penanganan pascapanen).
• Komposisi biaya produksi bawang putih bila dijual basah adalah : bibit -- 48,93%, pupuk --
8,76%, pestisida -- 3,74%, tenaga kerja -- 28,71%, sewa tanah -- 2,89%, bunga modal --
6,98%.
• Dengan tingkat produksi 6.329,71 kg bawang putih basah/ha, R/C rationya 0,64.
• Bila dijual kering komposisi biaya produksi adalah : bibit – 46,46%, pupuk -- 8,32%,
pestisida -- 3,55%, tenaga kerja – 31,96%, sewa tanah -- 2,74%, bunga modal -- 6,98%.
• Dengan tingkat produksi 3.710,82 kg bawang putih kering/ha, R/C rationya 1,18.
• Komponen biaya produksi bawang putih terbesar adalah biaya tenaga kerja (57%),
selanjutnya diikuti biaya bibit (24%), pupuk (8%), bunga modal (5%), pestisida (3%) dan
biaya lain-lain (3%). R/C ratio 0,98 (rugi).
♦ Indonesia
• Pola pertumbuhan produksi bawang putih di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun.
• Faktor dominan sumber pertumbuhan tersebut lebih disebabkan oleh peningkatan areal
tanam.
• Saluran tataniaga bawang putih basah dari Ciwidey sampai Kotamadya Bandung yang
paling efisien adalah saluran : petani – bandar Ciwidey – grosir Caringin – pengecer –
konsumen, dengan indeks efisiensi teknis (T = 15,13) dan ekonomis (E = 18,20) paling
kecil, serta nilai farmer’s share yang paling besar (50%).
• Saluran tataniaga bawang putih kering dari Ciwidey sampai DKI Jakarta yang paling
efisien adalah saluran : petani – bandar Ciwidey – grosir Kramatjati – pengecer –
46
konsumen, dengan indeks efisiensi teknis (T = 5,62) dan ekonomis (E = 4,66) paling kecil,
serta nilai farmer’s share yang paling besar (52,31%).
• Efisiensi tataniaga masih dapat ditingkatkan melalui efisiensi komponen biaya penyusutan
pada masing-masing lembaga tataniaga yang terkait.
• Selama periode 1981-1995, pola pertumbuhan impor bawang putih segar termasuk dalam
kategori konstan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 18,73%.
• Secara berturut-turut, pertumbuhan nilai impor rata-rata, pertumbuhan harga satuan impor
rata-rata dan pertumbuhan volume impor rata-rata bawang putih segar selama periode
1981-1995 adalah 15,22%, -3,51%, dan 18,73%. Sementara itu, faktor yang paling
dominan sebagai sumber pertumbuhan impor bawang putih segar adalah volume.
4. Studi konsumen
• Pendapatan keluarga (golongan rumah tangga) sangat menentukan jumlah bawang putih
yang dikonsumsi oleh konsumen rumah tangga.
• Konsumsi bawang putih rata-rata untuk rumah tangga golongan atas di Kota Madya
Bandung adalah 1,68 gram/kapita/hari dan untuk rumah tangga golongan bawah 0,45
gram/kapita/hari.
• Pendapatan keluarga tidak terlalu mempengaruhi preferensi konsumen terhadap
konsumsi bawang putih.
• Preferensi konsumen rumah tangga golongan atas dan bawah sama, yaitu menyukai
bawang putih yang umbinya besar, kulit tipis, warna kulit putih, kekerasan daging dan
aroma sedang.
• Rumah tangga golongan atas menyukai bawang putih dengan warna daging putih dan
putih kekuningan, sementara rumah tangga golongan bawah lebih menyukai warna daging
putih.
5. Studi pengembangan/pewilayahan
• Berdasarkan indikator luas penanaman baru > 50 ha pada tahun 1987, sentra produksi
bawang putih di pulau Jawa dan Madura mempunyai 11 macam klasifikasi jenis tanah dan
iklim yang tersebar dari dataran rendah sampai ke dataran tinggi.
• Jenis tanah dan iklim yang relatif sesuai bagi pengembangan bawang putih pada
ketinggian < 700 m dpl yaitu tipe tanah dan iklim : Andosol-B2/C2, Latosol-B2/C2, dan
Andosol-C3
• Tipe tanah dan iklim yang relatif sesuai untuk pengembangan bawang putih pada
ketinggian antara > 200 m dpl sampai < 700 m dpl yaitu : Latosol-B2/C2, Andosol-C3 dan
Regosol-C3.
• Daerah-daerah pengembangan untuk ketinggian > 700 m dpl tersebar di 46 kecamatan,
sedangkan untuk ketinggian antara > 200 m dpl sampai < 700 m dpl menyebar di 103
kecamatan.