Professional Documents
Culture Documents
(2004)
Witono Adiyoga
Rachman Suherman
T. Agoes Soetiarso
Budi Jaya
Bagus Kukuh Udiarto
Rini Rosliani
Darkam Mussadad
2004
I. Pendahuluan
Nama latin untuk tanaman buncis adalah Phaseolus vulgaris dan termasuk ke dalam
famili Leguminoseae. Berdasarkan sistematika tumbuhan maka klasifikasi dari
tanaman buncis adalah sebagai berikut :
a. Divisi : Spermatophyta
b. Subdivisi : Angiospermae
c. Kelas : Dicotyledonae
d. Ordo : Leguminales
e. Famili : Leguminoseae
f. Genus : Phaseolus
g. Species : Phaseolus vulgaris.
Tanaman buncis bukan tanaman asli Indonesia tetapi merupakan hasil introduksi
(Rukmana, 1995). Berdasarkan berbagai informasi tanaman buncis berasal dari
benua Amerika tepatnya Amerika Utara dan Amerika Selatan. Secara lebih spesifik
diperoleh informasi, bahwa kacang buncis tipe tegak (kacang jogo) merupakan
tanaman asli di lembah Tahuacan (Meksiko). Penyebaran ke benua Eropa
berlangsung sejak abad ke-16 oleh orang-orang Spanyol dan Portugis. Daerah pusat
penyebarannya mula-mula adalah Inggris (tahun 1594), kemudian menyebar ke
negara-negara lainnya di kawasan Eropa, Afrika, sampai ke Asia. Di Amerika daerah
penyebaran tanaman buncis terdapat di New York (tahun 1836), kemudian meluas
ke Wisconsin, Maryland, dan Florida. Tanaman ini mulai dibudidayakan secara
komersil sejak Tahun 1968 dan menempati urutan ke tujuh diantara sayuran yang
dipasarkan di Amerika pada tahun tersebut. Adapun “kapan” masuknya tanaman
buncis ke Indonesia belum diperoleh informasi yang jelas, tetapi daerah penanaman
buncis pertama kali adalah di daerah Kotabatu (Bogor), kemudian menyebar ke
daerah-daerah sentra sayuran di Pulau Jawa.
1
disebabkan oleh tingginya produktivitas di tahun tersebut. Namun demikian, setelah
tahun 2000 produktivitas mengalami penurunan dari tahun ke tahun, sehingga pada
tahun 2003 hanya mencapai 7,59 ton per hektar. Hal tersebut mengindikasikan
kurang optimalnya teknologi budidaya yang digunakan oleh petani buncis.
Ada beberapa faktor penyebab belum baiknya teknologi yang digunakan oleh petani,
diantaranya: 1) teknologi yang direkomendasikan tidak dapat memecahkan
permasalahan petani, 2) proses transfer teknologi tidak berjalan dengan baik, atau
3) teknologi yang direkomendasikan belum tersedia (Lionberger dan Gwin, 1991).
Adapun untuk budidaya buncis, kemungkinan disebabkan oleh belum tersedianya
teknologi yang direkomendasikan. Hal tersebut berkaitan erat dengan skala prioritas
program penelitian sayuran. Selama ini buncis tidak dimasukkan sebagai sayuran
yang mendapat prioritas untuk diteliti, sehingga penelitian-penelitian untuk
komoditas tersebut sangat terbatas (lihat sub bab hasil-hasil penelitian).
Ditinjau dari produktivitasnya, hasil yang dicapai Jawa Barat jauh di atas propinsi-
propinsi lainnya. Sebagai contoh pada tahun 2003 produktivitas buncis di Jawa Barat
mencapai 13,53 ton per hektar, sementara propinsi lainnya berkisar antara 2,13-
10,08 ton per hektar. Produktuvitas buncis di Jawa Barat tersebut masih di atas
produktivitas rata-rata Indonesia yang hanya mencapai 7,59 ton per hektar. Hal
tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa penggunaan teknologi di
sentra produksi Jawa Barat sudah lebih baik dibandingkan dengan propinsi lainnya.
2
Tabel 22 Areal panen (ha), produksi (ton) dan produktivitas (ton/ha) buncis di beberapa
propinsi penting penghasil buncis di Indonesia, 1998-2002.
Analisis data tahunan produksi dan areal tanam buncis mencakup periode waktu
1970-2003 menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan rata-rata produksi buncis di
Indonesia adalah sekitar 5,4%. Kontribusi produktivitas sebesar 4,6%, sedangkan
3
kontribusi pertumbuhan areal panen hanya sekitar 0,8%. Selanjutnya berdasarkan
analisis data tahun 1970-2003 pertumbuhan produksi pada tanaman buncis tersebut
terutama disebabkan oleh kontribusi peningkatan dari komponen produktivitas. Hal
ini mengimplikasikan bahwa strategi dan kegiatan/usaha yang berhubungan dengan
inovasi teknologi/penelitian dapat memacu pola pertumbuhan produksi berbasis
peningkatan produktivitas, atau program penyuluhan mulai berjalan baik, terutama
dikaitkan dengan proses alih teknologi di tingkat petani (Bisaliah, 1986).
Tabel 23 berikut menyajikan kandungan gizi yang terkandung pada 100 gram
kacang buncis yang dapat dimakan.
Tabel 23 Kandungan dan komposisi gizi kacang buncis per 100 gram bahan.
Komposisi gizi
Kandungan gizi I II
Kalori 34,00 kal 35,00 kal
Protein 2,00 gr 2,40 gr
Lemak 0,10 gr 0,20 gr
Karbohidrat 6,80 gr 7,70 gr
Serat 1,00 mgr -
Abu 0,60 mgr -
Kalsium 72,00 mgr 65,00 mgr
Fosfor 38,00 mgr 48,00 mgr
Zat besi 0,80 mgr 1,00 mgr
Natrium 2,00 mgr -
Kalium 182,00 mgr -
Vitamin A 525 S.I 630,00 S.I
Vitamin B1 0,07 mgr 0,08 mgr
Vitamin B2 0,10 mgr -
Niacin 0,70 mgr -
Vitamin C 15,00 mgr 19,00 mgr
Air - 88,90 gr
Sumber (dalam Rukmana, 1995) :
I : Food and Nutrition Research Center (1964) Handbook No 1. Manila
II : Direktorat Gizi Dep Kes R.I (1981).
Selain dikonsumsi sebagai makanan, tanaman buncis juga memiliki berbagai khasiat
untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Kandungan gum dan pektin dapat
4
menurunkan kadar gula darah, kandungan lignin berkhasiat untuk mencegah kanker
usus besar dan kanker payudara. Di samping itu polong buncis juga berkhasiat
untuk menurunkan kolesterol darah, mencegah penyebaran sel kanker, menurunkan
tekanan darah, mengontrol insilin dan gula darah, mengatur fungsi pencernaan,
mencegah konstipasi, sebagai antibiotik, mencegah hemorrhoid dan masalah
pencernaan lannya.
Serat kasar dalam polong buncis sangat berguna untuk melancarkan pencernaan
sehingga dapat mengeluarkan zat-zat racun dari tubuh. Kandungan glicemia yang
rendah pada polong buncis dapat memperlambat kenaikan gula darah dan menjaga
kadar glukosa agar tetap normal, karena kandungan gum dan pektin menyebabkan
pembentukan reseptor insulin lebih banyak sehingga dapat menghambat
pembentukan gula darah. Di sisi lain berkurangnya insulin dapat menahan lapar dan
melalui suatu mekanisme tertentu dapat mengeluarkan sodium untuk menurunkan
tekanan darah. Bagian buncis yang tidak dapat dicerna akan tertinggal di dalam usus
dan akan diurai oleh bakteri. Pada saat proses penguraian tersebut terjadi pelepasan
asam lemak rantai pendek yang menguap. Selanjutnya zat tersebut akan bereaksi
sebagai obat untuk menurunkan produksi kolesterol dan mempercepat pembersihan
darah dari LDL kolesterol yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Dengan demikian
bagian buncis yang tidak dapat dicerna dapat berkhasiat menurunkan kolesterol
darah.
Suatu hasil penelitian menunjukkan, bahwa buncis dapat mencegah dan mengobati
penyakit diabetis melitus. Di dalam buncis terkandung zat yang dinamakan B-
sitosterol dan stigmasterol. Kedua zat ini mampu meningkatkan produksi insulin.
Insulin adalah suatu hormon yang dihasilkan secara alamiah oleh tubuh kita dari
organ tubuh yang dinamakan pankreas. Insulin berfungsi untuk menurunkan kadar
gula dalam darah. Seseorang mengalami diabetis melitus bila pankreas hanya sedikit
menghasilkan insulin atau tidak mampu memproduksi sama sekali. Ternyata dua zat
tadi mampu merangsang pankreas untuk meningkatkan produksi insulinnya.
Tanaman buncis selain memberikan manfaat yang cukup banyak bagi kesehatan,
juga memiliki kelemahan yaitu dapat menimbulkan gas di dalam perut (perut
kembung) karena kurang enzim untuk mencerna gula kompleks (alpha galactiside).
Namun rasa tidak nyaman tersebut akan hilang dengan sendirinya setelah beberapa
jam kemudian. Sedangkan bagi lingkungan tanaman buncis dapat menyuburkan
tanah, karena akar-akarnya dapat bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium sp. untuk
mengikat nitrogen bebas (N2) dari udara, sehingga unsur nitrogen tersedia dalam
tanah.
5
Tabel 24 Konsumsi buncis perkotaan dan pedesaan Indonesia (kg/kapita/tahun)
Pasar dapat diartikan sebagai tempat terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli.
Pengertian pasar di sini tidak selalu pasar tersebut berwujud bangunan fisik, tetapi
cukup dicirikan dengan adanya kontak antara penjual dan pembeli. Jenis pasar buncis
mengikuti pasar sayuran pada umumnya yang ada dapat dibedakan menjadi a) pasar
pengumpul, b) pasar grosir/pasar besar, dan c) pasar eceran (Soetiarso, 1997). Pasar
pengumpul buncis di beberapa sentra produksi seperti Pangalengan dan Lembang
tidak mempunyai bangunan fisik sebagai tempat transaksi. Umumnya transaksi antara
pedagang pengumpul dan petani dilakukan di kebun. Pasar besar/grosir biasanya
terletak di berbagai daerah konsumsi di kota-kota besar, para pembeli di pasar grosir
tersebut sebagian besar terdiri dari para pedagang pengecer. Pasar pengecer banyak
terdapat di daerah konsumsi baik di kota besar maupun kota kecil. Dalam
perkembangannya, pasar-pasar pengecer di kota-kota besar dapat dibedakan menjadi
pasar eceran tradisional dan pasar eceran moderen (super market). Hasil penelitian
menunjukkan, bahwa kelas sosial konsumen di pasar eceran secara nyata berbeda
dengan konsumen di pasar eceran moderen (Ameriana, 1994).
6
selama dalam proses pengangkutan/penyimpanan, sedangkan grading bertujuan
untuk menyeragamkan mutu/kualitas. Grading atau pengkelasan ternyata banyak
memberikan keuntungan baik bagi produsen maupun konsumen buncis, antara lain :
1) memudahkan konsumen untuk memperoleh kualitas buncis yang diinginkan, 2)
memudahkan pemasaran menurut standar mutu, 3) memberikan keuntungan yang
lebih baik bagi petani, dan 4) memberikan kepuasan dan peningkatan kepercayaan
konsumen.
Kelas mutu I, yaitu polong buncis yang berukuran besar atau panjang dan
berukuran kecil atau pendek (baby buncis), utuh dan sehat (tidak terserang
hama dan penyakit), warna buah masih agak muda, dam biji polong belum
tampak menonjol.
Kelas mutu II, yaitu polong buncis berukuran kecil atau pendek (tetapi bukan
baby buncis), utuh dan sehat (tidak terserang hama dan penyakit), warna
buah masih agak muda, dan biji polong belum tampak menonjol.
Kelas mutu III, yaitu polong buncis yang berukuran besar ataupun kecil,
tetapi terdapat cacat yang tidak parah.
Secara umum harga buncis untuk masing-masing kelas berbeda, semakin tinggi kelas
grading harga akan semakin mahal. Namun demikian, generalisasi hubungan harga
antar kelas, sukar untuk ditetapkan, karena terlalu banyaknya kemungkinan kombinasi
perubahan penawaran dan permintaan berdasarkan pengkelasan ini. Terlepas dari hal
tersebut, sebagian besar petani dan pedagang mengindikasikan bahwa perbedaan
harga antar kelas secara proporsional meningkat/menurun sejalan dengan
peningkatan/penurunan harga buncis.
Secara skematis, lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kubis mulai
dari tingkat petani sampai ke tangan konsumen dapat digambarkan pada Gambar 1.
7
Petani produsen
I
V
Tengkulak
Pedagang pengumpul IV
II Tingkat desa/kecamatan
III
Pedagang besar
Eksportir
(grosir)
VI
II. Rantai II, petani menjual hasil panennya langsung ke eksportir. Walaupun rantai
ini terlihatnya sangat efisien, tetapi sangat sulit untuk ditempuh. Kualitas yang
8
dituntut untuk ekspor sangat tinggi, sehingga petani pun dituntut untuk
mempunyai pengetahuan yang baik mengenai segala sesuatu yang berkaitan
dengan ekspor.
IV. Rantai IV, sebelum sampai ke tangan konsumen, petani produsen menjual hasil
panen buncisnya melalui pedagang besar dan pedagang pengecer. Rantai
pemasaran ini dinilai cukup efisien.
VI. Rantai VI, petani menjual hasil panennya ke tengkulak, selanjutnya tngkulak
langsung menjualnya ke konsumen lembaga. Dalam hal ini tengkulak bertindak
sebagai supplier yang memasok bahan-bahan yang dibutuhkan konsumen
lembaga, termasuk buncis. Biasanya para supplier tersebut sudah mempunyai
langganan konsumen lembaga yang tetap.
Dari ke enam rantai pemasaran tersebut, yang paling sering dipilih oleh petani
sayuran, trmasuk petani buncis, adalah rantai pemasaran I dan V. Walaupun kedua
rantai pemasaran tersebut kurang efisien, tetapi petani memperoleh berbagai
kemudahan dalam memasarkan hasil panennya. Beberapa alasan yang dikemukakan
petani antara lain: waktu penjualan yang relatif cepat, keringanan biaya panen dan
kemudahan memperoleh pinjaman modal.
9
Tabel 25 Ekspor Kacang-kacangan dan buncis Indonesia, 1999-2003
Kuantitas (ton)
Tahun Total Kacang-kacangan Kacang-kacangan Kacang-kacangan
Segar Beku Kering
1999 62,81 1,8 27,27 33,74
2000 11,76 2,1 88,00 28,66
2001 42,37 10,31 - 32,06
2002 1 372,74 3,06 - 1 369,68
2003 203,08 122,99 - 80,09
Harga (US$/t)
Tahun Total Kacang-kacangan Kacangt-kacangan Kacang-kacangan
Segar Beku Kering
1999 6 148,88 93,69
2000 652,71 1 629,05 345,00 1 525,99
2001 914,42 1 030,26 - 877,17
2002 249,18 459,80 - 248,72
2003 337,32 497,76 - 90,93
Sumber: Biro Pusat Statistik (a), berbagai tahun. Ekspor sampai September 2002. Ekspor termasuk:
Kode SITC 05457200 untuk kacang-kacangan dalam bentuk segar
05469220 untuk kacang-kacangan dalam bentuk beku
05423100 untuk kacang-kacangan dalam bentuk kering
Berdasarkan data impor yang tercantum pada Tabel 26, ternyata kuantitas kacang-
kacangan yang diimpor oleh Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
ekspor. Selama periode tahun 1999 – 2003 impor kacang-kacangan segar dan beku
cenderung menurun dari tahun ke tahun, sedangkan kacang-kacangan kering
memperlihatkan kenaikan yang cukup tinggi. Di lihat dari volume total kacang-
kacangan yang diimpor, walaupun terjadi penurunan pada tahun 2000 tetapi pada
tahun-tahun berikutnya volume impor terus meningkat bahkan pada tahun 2003
volume impor mencapai 8 kali lipat dibandingkan tahun 2000. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa kebutuhan kacang-kacangan di dalam negeri terus
meningkat dan tidak dapat dicukupi oleh produksi kacang-kacangan dalam negeri.
Adapun negara-negara yang mengekspor kacang-kacangan ke Indonesia
diantaranya China, Myanmar, Perancis, India, Perancis, Australia, Hongkong dan
Jepang. China dan Australia tercatat sebagai negara-negara pengekspor kacang-
kacangan terbesar ke Indonesia.
10
Tabel 26 Impor Kacang-kacangan Indonesia, 1999-2003
Kuantitas (ton)
Tahun Total Kacang-kacangan Kacang-kacangan Kacang-kacangan
Segar Beku Kering
1999 1 799,29 1 636,02 - 163,27
2000 726,78 307,52 367,64 51,64
2001 868,96 388,47 61,14 419,35
2002 3 814,83 72,89 9,97 3 731,97
2003 6 569,64 46,93 2,77 6 519,94
Harga (US$/t)
Tahun Total Segar Beku Kering
Sumber: Biro Pusat Statistik (a), berbagai tahun. Ekspor sampai September 2002. Ekspor termasuk:
Kode SITC 05457200 untuk kacang-kacangan dalam bentuk segar
05469220 untuk kacang-kacangan dalam bentuk beku
05423100 untuk kacang-kacangan dalam bentuk kering
11
Dari aspek pertumbuhan dan pengembangan kegiatan/usaha agribisnis, penerapan
SNI dapat memberikan manfaat: (a) mewujudkan tercapainya persaingan yang
sehat dalam perdagangan, (b) menunjang pelestarian lingkungan hidup, (c)
meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui sistematika dan
pendekatan yang terorganisir pada pemastian mutu, (d) meningkatkan citra dan
daya saing petani/pelaku agribisnis, (e) meningkatkan efisiensi di dalam berproduksi,
dan (f) mengantisipasi tuntutan konsumen atas mutu produk dan tingkat persaingan
usaha yang telah mengalami perubahan sehingga pelaku agribisnis dapat
menanggapinya melalui pendekatan mutu, pengendalian mutu, pemastian mutu,
manajemen mutu dan manajemen mutu terpadu.
Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor : 12 tahun 1991, standar yang berlaku di
seluruh wilayah Indonesia adalah Standar Nasional Indonesia, yang mulai
diberlakukan sejak tanggal 1 April 1994. Sebagai tindak lanjut penetapan Standar
Nasional Indonesia, melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor:
303/Kpts/OT.210/4/1994 tanggal 27 April 1994, Standar Nasional Indonesia sektor
pertanian adalah standar yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian setelah
mendapatkan persetujuan dari Dewan Standardisasi Nasional (yang sekarang
menjadi Badan Standardisasi Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 13
tahun 1997) dan berlaku secara nasional di seluruh wilayah Indonesia.
Badan Standardisasi Nasional telah membuat standar mutu untuk tujuh komoditas
sayuran yaitu bawang putih, bawang merah, tomat segar, petsai segar, kentang
segar, kubis dan wortel segar. Dalam hal ini buncis belum termasuk komoditas yang
telah memiliki nomor SNI. Adapun pengkelasan yang terdapat selama proses
pemasaran, sifatnya tidak baku dan dapat berubah menurut tempat dan waktu. Hal
ini merupakan salah satu kelemahan terutama jika dikaitkan dengan perdagangan
internasional. Disamping lebih sulit untuk memenuhi standar kualitas ekspor, belum
adanya SNI tersebut dapat mengakibatkan Indonesia berpeluang sebagai tempat
pembuangan komoditas buncis yang berkualitas di bawah standar yang berasal dari
negara-negara lain.
Harga berfungsi sebagai pengendali arah aktivitas ekonomi sayuran dan berperan
sebagai rationing mechanism untuk suatu produk yang diproduksi pada suatu
periode waktu serta menjadi barometer yang mengukur dimensi perilaku bekerjanya
pasar sayuran. Berbagai faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan
akan selalu berubah, sehingga jalur waktu harga sayuran akan selalu menunjukkan
variasi. Pada kondisi persaingan, fluktuasi harga dapat disebabkan oleh pergeseran
penawaran dan permintaan. Salah satu kunci sukses pemasaran sayuran adalah
pemahaman utuh menyangkut pergerakan harga musiman suatu komoditas.
Perkiraan pola harga musiman dari suatu komoditas dapat diduga dengan
menghilangkan pengaruh trend dan menghitung harga rata-rata bulanan. Perkiraan
pola harga musiman dapat terlihat dengan mengekspresikan rata-rata harga setiap
bulan sebagai persentase dari rata-rata total harga dalam periode waktu tertentu.
Tabel 27 menunjukkan pola harga musiman buncis di sentra produksi Ciwidey dan
12
Lembang selama periode tahun 2002. Untuk harga buncis di sentra produksi
Ciwidey, pada tahun 2002 harga buncis terendah terjadi pada bulan April yaitu 33 %
dibawah harga rata-rata bulanan, sedangkan harga tertinggi terjadi pada bulan
Januari, di mana harga berada 78 % di atas harga rata-rata bulanan. Untuk sentra
produksi Lembang harga terendah terjadi pada bulan April (40 % di bawah harga
rata-rata bulanan) dan harga tertinggi tertinggi pada bulan Pebruari (47 % di atas
harga rata-rata bulanan).
Tabel 27 Pola musiman harga buncis tahun 2002 di tingkat sentra produksi Ciwidey dan
Lembang .
Bulan
J P M A M J J A S O N D
Lokasi
Rata-rata harga bulanan (Rp/kg)
Ciwidey 1988 1576 1470 370 660 828 1353 1203 1185 1406 1295 1305
Lembang 579 1752 1108 476 707 1062 1502 1141 1354 1674 1526 1383
a
Rata-rata bulanan sebagai % dari rata-rata total
Ciwidey 1,78 1,42 1,32 0,33 0,59 0,74 1,22 1,08 1,06 1,26 1,16 1,17
Lembang 0,49 1,47 0,93 0,40 0,59 0,89 1,26 0,96 1,14 1,41 1,28 1,16
a
Dihitung dengan membagi setiap harga rata-rata bulanan dengan harga rata-rata bulanan total
selama periode tahun 2002 (Rp. 1188,96 untuk sentra produksi Lembang dan Rp. 1 111,42 untuk
sentra produksi Ciwidey)
Karakteristik Tanaman
Buncis termasuk jenis sayuran polong yang berumur pendek yang berbentuk semak
atau perdu. Tinggi tanaman buncis tipe tegak berkisar antara 30 – 50 cm tergantung
dari varietasnya, sedangkan tipe merambat dapat mencapai 2 meter.
Akar.
Tanaman buncis berakar tunggang dan berakar serabut. Akar tunggang tumbuh
lurus ke dalam hingga 11- 15 cm, sedangkan akar serabut tumbuh horizontal.
13
Perakaran tanaman buncis dapat tumbuh dengan baik bila tanahnya gembur, mudah
menyerap air (porous), dan subur serta tidak tahan terhadap genangan air.
Batang
Batang tanaman buncis berbengkok-bengkok, berbentuk bulat, berbulu atau
merambat halus, berbuku-buku , lunak tetapi cukup kuat, dengan diameter batang
hanya beberapa millimeter. Batang tanaman berwarna hijau atau ungu tergantung
varietasnya, dengan membentuk cabang yang banyak dan menyebar sehingga
tanaman tampak rimbun.
Daun
Daun berbentuk bulat lonjong, ujung daun meruncing, tepi daun rata, berbulu halus
dan memiliki tulang-tulang menyirip. Ukuran daun bervariasi tergantung dari
varietasnya. Daun yang berukuran kecil mempunyai lebar 6 – 7,5 cm dan panjang
7,5 – 9 cm, sedangkan yang berukuran kecil mempunayi lebar 10 – 11 cm dan
panjang 11 – 13 cm.
Bunga
Bunga tanaman buncis merupakan malai (panicle). Tunas-tunas utama bercabang-
cabang dan pada setiap cabang tumbuh tunas bunga. Selain itu bunga tanaman
buncis tergolong bunga sempurna (hermaphrodit), persarian bunganya terjadi
dengan bantuan serangga atau angina.
Polong
Polong buncis memiliki bentuk, ukuran dan warna yang bervariasi tergantung dari
varietasnya. Polong buncis memiliki struktur halus, tekstur renyah, ada yang
berserat dan ada yang tidak. Adapun jumlah biji dalam polong bervariasi antara 5 –
14 buah.
Syarat Tumbuh
Iklim
a) Tanah yang cocok bagi tanaman buncis ternyata banyak terdapat di daerah
yang mempunyai iklim basah sampai kering dengan ketinggian yang
bervariasi.
b) Pada umumnya tanaman buncis tidak membutuhkan curah hujan yang khusus,
hanya ditanam di daerah dengan curah hujan 1.500-2.500 mm/tahun.
c) Umumnya tanaman buncis memerlukan cahaya matahari yang banyak atau
sekitar 400-800 feetcandles. Dengan diperlukan cahaya dalam jumlah banyak,
berarti tanaman buncis tidak memerlukan naungan.
d) Suhu udara ideal bagi pertumbuhan buncis adalah 20-25 derajat C. Pada
suhu < 20 derajat C, proses fotosintesis terganggu, sehingga pertumbuhan
terhambat, jumlah polong menjadi sedikit. Pada suhu ≥ 25 derajat C banyak
polong hampa (sebab proses pernafasan lebih besar dari pada proses
fotosintesis), sehingga energi yang dihasilkan lebih banyak untuk pernapasan
dari pada untuk pengisian polong.
14
e) Kelembaban udara yang diperlukan tanaman buncis ± 55% (sedang).
Perkiraan dari kondisi tersebut dapat dilihat bila pertanaman sangat rimbun,
dapat dipastikan kelembapannya cukup tinggi.
Media tanam
a) Jenis tanah yang cocok untuk tanaman buncis adalah andosol dan regosol
karena mempunyai drainase yang baik. Tanah andosol hanya terdapat di
daerah pegunungan yang mempunyai iklim sedang dengan curah hujan
diatas 2500 mm/tahun, berwarna hitam, bahan organiknya tinggi, berstektur
lempung hingga debu, remah, gembur dan permeabilitasnya sedang. Tanah
regosol berwarna kelabu, coklat dan kuning, berstektur pasir sampai berbutir
tunggal dan permeabel.
b) Sifat-sifat tanah yang baik untuk buncis: gembur, remah, subur dan
keasaman (pH) 5,5-6. Sedangkan yang ditanam pada tanah pH < 5,5 akan
terganggu pertumbuhannya (pada pH rendah terjadi gangguan penyerapan
unsur hara). Beberapa unsur hara yang dapat menjadi racun bagi tanaman
antara lain: aluminium, besi dan mangan.
Ketinggian tempat
Pembibitan
a) Persyaratan benih
Apabila akan mengusahakan suatu usaha pertanaman, maka hal pertama yang perlu
dilakukan adalah pemilihan benih. Benih yang digunakan harus benar-benar benih
yang baik. Benih yang baik berasal dari pohon induk yang baik. Benih yang baik
harus mempunyai persyaratan tertentu yakni: mempunyai daya tumbuh minimal 80-
85%, bentuknya utuh, bernas, warna mengkilat, tidak bernoda coklat terutama pada
mata bijinya, bebas dari hama dan penyakit, seragam, tidak tercampur dengan
varietas lain, serta bersih dari kotoran. Benih yang baik mempunyai daya tumbuh
yang tinggi, dapat disimpan lama, tahan terhadap serangan hama dan penyakit,
tumbuhnya cepat dan merata, serta mampu menghasilkan tanaman dewasa yang
normal dan berproduksi tinggi.
15
b) Penyiapan Benih
Memilih benih yang baik agak sulit. Karena itu disarankan untuk membeli benih yang
bersertifikat. Benih ini telah diuji coba oleh balai pengujian benih, sehingga dijamin
kualitasnya. Benih bersertifikat telah banyak dijual ditoko-toko sarana pertanian.
Benih buncis yang dibutuhkan dalam jumlah tertentu, tetapi kadang-kadang benih
yang dibeli jumlahnya melebihi yang dibutuhkan. Sehingga, masalahnya sekarang
adalah bagaimana menyimpan kelebihan benih itu. Cara menympannya dengan
memberi suhu 18-20 derajat C dengan kelembaban relatif 50-60 %. Kandungan air
benih juga sangat menentukan terhadap keawetan simpan benih. Kandungan yang
baik untuk menyimpan benih sekitar 14%. Bila persyaratan diatas terpenuhi maka
daya simpan benih buncis dapat mencapai 3 tahun.
a) Pembukaan Lahan
Pengolahan lahan adalah semua pekerjaan yang ditujukan pada tanah untuk
menciptakan media tanam yang ideal, sehingga tanaman dapat tumbuh dengan
baik. Pembersihan rumput-rumputan, penggemburan tanah, dan pembuatan parit-
parit drainase adalah termasuk pengolahan tanah.
Setelah bersih dari gulma pekerjaan selanjutnya adalah membajak tanah. Tanah
dibajak dan dicangkul 1-2 kali sedalam 20-30 cm. Untuk tanah-tanah berat
pencangkulan dilakukan dua kali dengan jangka waktu 2-3 minggu, untuk tanah-
tanah ringan pencangkulan cukup dilakukan sekali saja.
b) Pembuatan Bedengan
16
(drainase). Untuk areal yang tidak begitu luas, mislnya tanah pekarangan, tidak
dibuat bedengan tetapi menggunakan guludan tanah selebar 20 cm, panjang 5
meter, tinggi 10–15 cm dan jarak antar guludan 70 cm.
c) Pengapuran
Umumnya tanah di Indonesia bersifat asam (pH <7). Untuk menaikkan pH tersebut
diperlukan pengapuran, menggunakan batu kapur kalsit, gips, kadolomite, atau batu
kapur talk. Dosis untuk menaikan pH sebesar 0,1 sebesar 480 kg/ha. Pemberian
kapur sebaiknya dilakukan 2-3 minggu sebelum penanaman, dengan cara sebagai
berikut:
a) Tanah digemburkan dengan mencakulnya.
b) Kapur disebar merata.
c) Tanah dicangkul kembali agar kapur dapat bercampur dengan tanah secara
merata.
d) Pemupukan
Teknik penanaman
Air yang dibutuhkan buncis hanya secukupnya, sehingga saat menanam yang paling
baik yaitu saat peralihan. Hal ini sangat cocok untuk fase pertumbuhan buncis, dan
fase pengisian serta pemasakkan polong. Pada fase ini di khawatirkan akan terjadi
serangan penyakit bercak bila curah hujannya terlalu tinggi. Untuk mengatasi curah
hujan yang terlalu tinggi dapat dibuat saluran-saluran drainase, ini kalau
penanamannya dilakukan pada musim hujan. Sebaliknya, pada musim kemarau
perlu dilakukan penyiraman sesering mungkin terutama pada saat awal
perkecambahan.
Tanaman buncis ditanam dengan pola pagar atau barisan karena penanamannya
dilakukan pada bedengan atau guludan. Pada pola ini, jarak antar tanaman lebih
sempit daripada jarak antar barisan tanamannya. Dengan pola tanam barisan akan
17
mempermudah pekerjaan selanjutnya, seperti pemeliharaan, pengairan,
pemupukan, pembumbunan dan panen.
Jarak tanaman yang digunakan adalah 20 x 50 cm, baik untuk tanah datar atau
tanah miring. Dan bila kesuburan tanahnya tinggi, maka sebaiknya menggunakan
jarak tanam yang lebih sempit lagi, yaitu 20 x 40 cm. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari tumbuhnya gulma, karena gulma akan lebih cepat tumbuh pada tanah
yang subur. Penentuan jarak tanam ini harus benar-benar diperhatikan karena
berhubungan dengan tersedianya air, hara dan cahaya matahari.
Setelah menentukan jarak tanam, kemudian membuat lubang tanam dengan cara
ditugal. Agar lubang tanam itu lurus, sebelumnya dapat diberi tanda dengan ajir,
bambu, penggaris atau tali. Tempat yang diberi tanda tersebut juga ditugal.
Kedalaman tugal 4-6 cm untuk tanah-tanah yang remah dan gembur, sedangkan
untuk tanah liat dapat digunakan ukuran 2-4 cm. Hal ini disebabkan pada tanah liat
kandungan airnya cukup banyak, sehingga dikhawatirkan benih akan busuk sebelum
mampu berkecambah.
c) Cara Penanaman
Pemeliharaan tanaman
a) Penyulaman
berikutnya Biji buncis dapat tumbuh setelah lima hari sejak tanam, benih yang tidak
tumbuh harus segera diganti (disulam) dengan benih yang baru. Penyulaman
sebaiknya dilakukan dibawah umur 10 hari setelah tanam, agar pertumbuhan bibit-
bibit tidak berbeda jauh dan memudahkan pemeliharaan.
b) Pengguludan
Peninggian guludan atau bedengan dilakukan pada saat tanaman berumur lebih 20
dan 40 hari. Lebih baik dilakukan pada saat musim hujan. Tujuan dari peninggian
guludan adalah untuk memperbanyak akar, menguatkan tumbuhnya tanaman dan
memelihara struktur tanah.
c) Pemangkasan
18
juga dimaksudkan untuk mengurangi kelembapan di dalam tanaman sehingga dapat
menghambat perkembangan hama penyakit. Pucuk-pucuk tanaman hasil pangkasan
dapat digunakan sebagai sayuran.
d) Pemupukan
Tindakan pemupukan pada tanaman buncis perlu dilakukan dengan alasan hara
tanaman yang disediakan oleh tanaman dalam jumlah yang terbatas. Sewaktu-
waktu zat hara akan berkurang karena tercuci kadalm lapisan tanah, terbawa erosi
bersama larutan tanah, hilang melalui proses evaporasi (penguapan), dan diserap
oleh tanaman. Apabila keadaan tersebut dibiarkan terus menerus tanpa adanya
perbaikan, maka makin lama persediaan hara dalam tanah makin berkurang
sehingga tanaman tumbuhnya merana. Untuk mencukupi kebutuhan hara tersebut,
perlu tambahan dari luar melalui pemupukan. Diharapkan dengan pemupukan akan
mengembalikan dan meningkatkan kandungan hara dalam tanah, sehingga tanaman
akan tumbuh subur dan produksinya akan melimpah.
Pemupukan ini dapat dilakukan pada umur 14-21 hari setelah tanam. Pupuk yang
diberikan hanyalah Urea sebanyak 200 kg/ha, caranya cukup ditunggal kurang lebih
10 cm dari tanaman. Setelah itu ditutup kembali dengan tunggal atau diinjak dengan
kaki.
e) Pengairan
Air yang diberikan alam sangat bervariasi dan seringkali tidak sesuai dengan
kebutuhan tanaman. Untuk itu, diperlukan pengaturan pengairan. Biasanya
pengairan dilakukan bila penanamannya dilakukan pada musim kemarau, yaitu pada
umur 1–15 hari. Pelaksanaannya dilakukan 2 kali sehari, setiap pagi dan sore. Bila
penanamannya dilakukan pada musim hujan, yang perlu diperhatikan adalah
masalah pembuangan airnya. Kelebihan air dapat disalurkan melalui parit-parit yang
telah dibuat di antara bedengan atau guludan.
f) Pemeliharaan Lain
Untuk tanaman buncis tipe merambat perlu diberi turus atau lanjaran, supaya
pertumbuhannya dapat lebih baik. Biasanya turus atau lanjaran ini dibuat dari
bambu dengan ukuran panjang 2 m dan lebar 4 cm. Turus tersebut ditancap didekat
tanaman. Setiap dua batang turus yang berhadapan diikat menjadi satu pada bagian
ujungnya, sehingga akan tampak lebih kokoh. Pelaksanaan pemasangan turus dapat
dilakukan bersamaan dengan peninggian guludan yang pertama, yaitu pada
tanaman berumur 20 hari.
19
Hama dan Penyakit
a) Hama
1) Kumbang daun
Penyebab: kumbang Henose-pilachna signatipennis atau Epilachna
signatipennis, sering disebut kumbang daun epilachna yang termasuk famili
Curculionadae. Bentuk tubuhnya oval, warna merah atau coklat kekuningan,
panjang antara 6-8 mm. Pengendalian: (1) bila sudah terlihat adanya telur,
larva, maupun kumbangnya, maka dapat langsung dibunuh dengan tangan; (2)
dengan insektisida Lannate L dan Lannate 25 WP, dengan konsentrasi 1,5-3
cc/liter air atau 300-600 liter setiap hektar; (3) rotasi tanaman dengan
tanaman yang bukan inang.
2) Penggerek daun
Penyebab: ulat Etiella zinckenella yang termasuk dalam famili Pyralidae.
Penyebarannya meliputi daerah tropis dan subtropis. Gejala: polong yang
masih muda mengalami kerusakan, bijinya banyak yang keropos. Kerusakkan
ini tidak sampai mematikan tanaman buncis. Pengendalian: penyemprotan
dengan insektisida Atabron 50EC dengan konsentrasi 12-15 cc/10 liter air.
Setiap satu hektar diperlukan 500 liter larutan semprot. Waktu penyemprotan
dilakukan segera setelah diketahui adanya serangan dan dapat diulangi
beberapa kali menurut keperluan. Selain Atrabon dapat pula dipilih insektisida
lain, seperti Agrothion 50 EC, Basbiman 200 EC dan Bayrusil 250 EC dengan
konsentrasi seperti yang tercantum pada labelnya.
3) Lalat kacang
Penyebab: lalat Agromyza phaseoli yang termasuk dalam famili Agromyzidae.
Lalat betina dan jantan mempunyai ukuran yang berbeda. Lalat betina
mempunyai panjang tubuh kurang lebih 2,2 mm, sedang yang jantan hanya
1,9 mm. Gejala: daun berlubang-lubang dengan arah tertentu, yaitu dari tepi
daun menuju tangkai atau tulang daun. Gejala lebih lanjut berupa pangkal
batang yang membengkok atau pecah. Kemudian tanaman menjadi layu,
berubah kuning, dan akhirnya mati dalam umur yang masih muda. Apabila
tidak mengalami kematian, maka tumbuhnya kerdil, sehingga produksinya
sedikit. Pengendalian: hendaknya dilakukan sedini mungkin, yaitu pada saat
pengolahan tanah. Setelah biji-biji buncis ditanam sebaiknya lahan langsung
diberi penutup dari jerami daun pisang. Penanaman dilakukan secara serentak.
Bila tanaman sudah terserang secara berat, maka segeralah dicabut dan
dibakar atau dipendam dalam tanah. Namun, apabila serangan masih kecil,
disarankan agar menggunakan insektisida. Penyemprotan yang lebih baik
dilakukan pada saat buncis baru mulai tumbuh, yaitu saat mulai kelihatan
kepingnya. Insektisida yang digunakan seperti Basminon 60 EC dengan
konsentrasi formulasi 1,5-2 cc/liter air dan Azordin 60 dengan konsentrasi 2-3
cc/liter air atau kira-kira 400-600 larutan setiap hektarnya. Penyemprotan
dilakukan sebanyak 2-3 kali sampai umur 20 hari, tergantung berat ringan
serangan.
20
4) Kutu daun
Penyebab: Aphis gossypii, yang termasuk dalam famili Aphididae. Sifatnya
polibag dan kosmopolitan yaitu dapat memakan segala tanaman dan tersebar
di seluruh dunia. Tanaman inangnya bermacam-macam, antara lain kapas,
semangka, kentang, cabai, terung, bunga sepatu dan jeruk. Warna kutu ini
hijau tua sampai hitam atau kuning coklat. Gejala: pertumbuhan tanaman
menjadi kerdil dan batang memutar (memilin), daun menjadi keriting dan
berwarna kuning. Pengendalian: (1) secara alami, yaitu dengan cara
memasukkan musuh alaminya, antara lain lembing, lalat dan jenis
Coccinellidae; (2) menggunakan insektisida Orthene 75 SP dengan konsentrasi
0,5-0,8 gram/liter air. Bila setelah disemprotkan masih terdapat hamanya,
maka penyemprotannya dapat diulang setiap 7-14 hari sekali. Selain Orthene
dapat juga digunakan Sevidan 70 WP atau Supracide 40 EC.
b) Penyakit
1) Penyakit antraknosa
Penyebab: cendawan Colletotrichum lindemuthianum, termasuk dalam famili
Melanconiaccae.. Gejala: (1) terdapat bercak-bercak kecil berwarna coklat
21
karat pada polong buncis muda; (2) bercak hitam atau coklat tua di bagian
batang tanaman tua. Pengendalian: (1) memakai benih yang benar-benar
bebas dari penyakit; (2) merendam benih dalam fungsida Agrosid 50 SD
sebelum ditanam. Cara merendamnya ialah beberapa jam sebelum benih
ditanam dibasahi dulu dengan air. Kemudian dimasukkan ke kantong plastik
dan dicampur dengan Agrosid 50 SD sebanyak 10–15 gram/kg benih. Setelah
itu dikocok sampai rata kemudian diangin-anginkan; (3) pergiliran tanaman,
maksudnya untuk memotong siklus hidup cendawan tersebut. Pergiliran
tersebut dapat dengan tanaman lobak, wortel atau kol bunga; (4)
penyemprotan fungsida Delsene MX-2000, konsentrasinya 1-2 gram/liter air.
Fungsida ini bersifat kontak dan sistemik sehingga bisa disemprotkan sebelum
atau sesudah terjadi serangan. Fungsida Velimek 80 WP juga dapat digunakan
dengan konsentrasi 2-2,5 gram/liter air. Volume larutan semprot kurang leboh
400-800 liter/ha. Pemberiannya dapat diulang setiap 7-10 hari sekali. Supaya
daya kerjanya efektif, dapat ditambahkan bahan perata atau pembasah. Bahan
perata yang dipakai seperti Agristck atau Triton dengan dosis 2 cc/liter atau 2
gram/liter air.
3) Penyakit layu
Penyebab1: bakteri Pseudomonas sollanacearum. Bakteri ini termasuk dalam
famili pseudomonadeceae.
Gejala: tanaman akan terlihat layu, menguning dan kerdil. Bila batang
tanaman yang terserang dipotong melintang, maka akan terlihat warna
cokelat dan kalau dipijit keluar lendir berwarna putih. Kadang-kadang warna
cokelat ini bisa sampai ke daun. Akar yang sakit juga berwarna cokelat.
Pengendalian: (1) penyiraman tanaman dengan air yang bebas dari
penyakit; (2) dengan rotasi tanaman selama 2 tahun; (3) penyemprotan
dengan fungsida Agrept 20 WP dengan konsentrasi 0,5-1 gram/liter air.
Penyebab2: Penyebab layu dengan gejala diatas disebabkan oleh cendawan
Fusarium oxyporum, termasuk dalam famil Stilbellaceae. Gejala 2: Gejala
yang terlihat seperti gejala 1 di atas dengan sedikit perbedaan. Perbedaannya
yaitu bila batang yang terserang dipijit tidak mengeluarkan lendir.
22
Pengendalian: cara pengendalian hampir sama dengan cara pengendalian
Pseudomonas, bedanya hanya jenis fungsida yang dipakai. Untuk
mengendalikan cendawan ini dapat digunakan fungsida Dithane M 45 dengan
dosis 180-240 gram/100 liter air. Fungsida ini disemprotkan pada semua
batang merata.
23
cc/liter air. Penyemprotan dapat dilakukan setiap 7-10 hari sekali. Penggunaan
pestisida dapat dengan dioleskan pada bagian tanaman yang sakit.
7) Penyakit karat
Penyebab: cendawan Uromyces appendiculatus, termasuk dalam ordo
Uredinales. Cendawan ini masih dapat bertahan pada bagian tanaman yang
sakit walaupun iklimnya kering. Serangan akan kembali menghebat pada
musim hujan. Penyebarannya dapat melalui hembusan angin, percikan atau
aliran air, serangga maupun terbawa dalam pengangkutan bibit-bibit tanaman
di daerah lain. Gejala: Pada jaringan daun terdapat bintik-bintik kecil berwarna
cokelat baik dipermukaan daun sebelah atas maupun bawah dan biasanya
dikelilingi oleh jaringan khlorosis. Pada varietes yang tahan, gejalanya hanya
berupa bintik-bintik cokelat saja. Pengendalian: (1) menanam bibit buncis
yang tahan terhadap penyakit karat, yaitu manoa wonder; (2) mencabut dan
membakar tanaman yang telah terjangkit; (3) menggunakan fungisida
Baylleton 250 EC dengan dosis 0,25-0,5 liter/ha dan voleume larutan 500
liter/ha. Penyemprotannya dilakukan bila intensitas serangan mencapai 10%
dengan selang waktu 7 hari.
24
Panen
b) Cara Panen
Dalam menentukan saat panen harus setepat mungkin sebab bila sampai terlambat
memetiknya beberapa hari saja maka polong bincis dapat terserang penyakit bercak
Cercospora. Penyakit tersebut sebenarnya hanya menyerang daun dan bagian
tanaman lainnya, tetapi karena saat pemetikan yang terlambat maka penyakit
tersebut berkembang sampai ke polong-polongnya.
Cara panen yang dilakukan biasanya dengan cara dipetik dengan tangan.
Penggunaan alat seperti pisau atau benda tajam yang lain sebaiknya dihindari
karena dapat menimbulkan luka pada polongnya. Kalau hal ini terjadi maka
cendawan atau bakteri dapat masuk kedalam jaringan, sehingga kualitas polong
menurun.
c) Periode Panen
Pelaksanaan panennya dapat dilakukan secara bertahap, yaitu setiap 2-3 hari sekali.
Hal ini dimaksudkan agar diperoleh polonh yang seragam dalam tingkat
kemasakkannya. Pemetikan dihentikan pada saat tanaman berumur lebih dari 80
hari, atau kira0kira sejumlah 7 kali panen.
d) Prakiraan Produksi
Bila dalam pelaksanaan budidaya tanaman buncis sudah baik, artinya sudah sesuai
dengan ketentuan-ketentuan diatas maka produksi perhektar dapat mencapai 150
kuintal polong segar.
Pascapanen
a) Sortasi
25
Proses sortasi ini biasanya dilakukan ditempat-tempat pengumpulan yang diletakkan
tidak jauh dari lahan pertanian. Tempat dilakukannya sortasi ini harus cukup
terlindung, supaya hasil yang baru dipanen tidak lekas menjadi layu.
b) Penyimpanan
Buncis termasuk sejenis sayuran yang tidak tahan disimpan lama dalam keadaan
segar, cepat rusak atau busuk sehingga disebut sebagai perishable food. Hal ini
terjadi karena setelah dipanen masih terjadi respirasi dan transpirasi sehingga lama
kelamaan komoditi ini mengalami kemunduran (deterioration). Dengan kemunduran
tersebut menyebabkan komoditi menjadi lebih peka terhadap serangan jasad renik
sehingga komoditi menjadi rendah mutunya dan akhirnya membusuk.
Mengingat sifat buncis tersebut maka diperlukan penyimpanan khusus bila buncis
tidak langsung dikonsumsi. Cara penyimpanan yang biasa dilakukan adalah sistem
refrigarasi (pendinginan), dengan suhu 0-4,4 derajat C dan kelembaban 85-90%.
Pada keadaan yang demikian, maka umur kesegaran buncis bisa mencapai 2-4
minggu. Ruangan penyimpanan diusahakan agar udara segar dapat beredar dan
selalu berganti.
Yang menjadi masalah adalah, masih ada sebagian orang yang beranggapan bahwa
dengan suhu dan kelembaban yang lebih rendah lagi akan menghasilkanumur
kesegaran yang lebih lama pula. Padahal pendapat ini kurang benar pula.
Penyimpanan pada suhu yang lebih rendah dengan suhu yang dianjurkan
memberikan hasil yang sama, sedangkan kelembaban yang terlampau rendah, akan
menyebabkan komoditi menjadi cepat layu.
c) Pengepakkan/Pengemasan
Dengan pengepakan yang baik, banyak keuntungan yang diperoleh, antara lain
dalam pengangkutan, komoditi akan terlindung dari kerusakan fisik, mudah dalam
penghitungannya dan mudah dalam penyusunan baik di dalam alat pengangkut
maupun di dalam gudang penyimpanan.
26
Biasanya pengangkutan hasil panen dilakukan sesuai dengan tujuan pengirimnya.
Pengangkutan dengan volume kecil dan ditujukan kepedagang-pedagang setempat
dapat dilakukan dengan tenaga manusia, hewan atau kendaran bermotor.
Pengangkutan dalam jarak jauh dengan volume yang lebih besar dapat
menggunakan kapal, kereta api, atau pesawat terbang. Dalam memilih alat
pengangkutan ini, yang penting adalah kelancaran atau cepatnya sampai tujuan dan
dipilih yang biayanya murah. Selain itu alat tersebut harus bebas dari bau-bauan
karena dapat meresap ke dalam hasil yang diangkut.
Dalam menyusun karung maupun peti harus teratur, terutama yang menyangkut
letak dan tinggi susunan. Letak susunan karung hendaknya diberi antara sehingga
peredaran udara akan lebih leluasa. Tinggi susunan juga diperhatikan, jangan
sampai karung atau peti paling bawah rusak karena terkena beban yang terlalu
berat. Agar komoditi tidak cepat rusak maka sebaiknya didalam alat pengangkut
diberi pendingin terutama untuk angkutan jarak jauh.
Umumnya konsumen menghendaki buncis dalam keadaan segar, bersih, sehat dan
mempunyai ukuran yang sama. Untuk itu diperlukan pengepakan lagi sebelum
sampai kekonsumen. Pengepakan ini telah dilakukan oleh produsen yang memasok
buncis kepasar swalayan. Tiap pak mempunyai berat sekitar 1-1,5 kg dan berisi
buncis yang seragam ukurannya.
27
Tabel 28 Biaya produksi dan pendapatan usahatani buncis per hektar (Kasus pada usahatani
di sentra produksi Ciwidey dan Lembang, Jawa Barat, Tahun 2005 ).
kelayakan yang dapat diperoleh dari analisis biaya dan pendapatan (ABP). ABP dapat
mencerminkan perencanaan fisik dan finansial operasionalisasi suatu usahatani pada
periode waktu tertentu. ABP merupakan teknik sederhana yang paling banyak
digunakan dalam analisis ekonomi untuk membantu pengelola dalam mengambil
keputusan usahatani yang dapat memaksimalkan keuntungan (Dillon & Hardaker,
1980).
28
Tabel 28 menyajikan data usahatani buncis di sentra produksi Ciwidey dan
Lembang pada tahun 2005. Dari data tersebut terlihat bahwa kedua usahatani
buncis di dua lokasi yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan keuntungan. Hal
tersebut ditunjukkan oleh R/C ratio yang hampir sama yaitu 1,16 dan 1,17 masing-
masing untuk lokasi Ciwidey dan Lembang. Nilai R/C ratio tersebut mencerminkan
bahwa setiap satu rupiah dana yang diinvestasikan pada usahatani buncis akan
memberikan tingkat pengembalian sebesar Rp 1,16 untuk daerah Ciwidey dan Rp
1,17 untuk daerah Lembang.
Hasil panen yang diperoleh dari kedua usahatani tersebut menunjukkan adanya
perbedaan, dimana usahatani di daerah Lembang menghasilkan produksi sekitar 27
persen lebih tinggi dibandingkan produksi di daerah Ciwidey. Namun rendahnya hasil
panen di daerah Ciwidey diimbangi dengan tingginya harga jual output, sehingga
pendapatan yang diperoleh dari usahatani di kedua lokasi ditunjukkan oleh angka
yang relatif sama.
Biaya produksi yang dikeluarkan untuk suatu usahatani merupakan kumpulan dari
komponen-komponen biaya dengan persentase yang berlainan satu sama lain.
Umumnya pada usahatani sayuran, alokasi terbesar dari biaya produksi adalah untuk
input pestisida, dan seringkali alokasi untuk pestisida tersebut sangat besar
dibandingkan dengan input produksi lainnya. Namun demikian yang menarik dari
usahatani buncis ini, alokasi terbesar untuk input tenaga kerja dengan persentase
yang sangat tinggi, yaitu 59,92 % untuk lokasi Ciwidey dan 49,85 % untuk lokasi
Lembang. Sementra itu alokasi untu pestisida menempati urutan ke dua untuk
lokasi Ciwidey (11,93 %) dan urutan ke tiga untuk lokasi Lembang (10,09 %). Data
tersebut mengindikasikan bahwa serangan hama dan penyakit untuk tanaman
buncis relatif masih rendah, petani masih dapat mengendalikannya dengan
penggunaan pestisida yang rendah.
29
2. Secara garis besar ada dua tipe pertumbuhan buncis, yaitu yang merambat
membutuhkan turus (buncis rambat), dan yang tidak membutuhkan turus
(buncis tegak).
3. Kacang jogo atau sering disebut kacang merah adalah tanaman kacang-
kacangan yang dikonsumsi bijinya sebagai sayuran. Kacang jogo ditanam di
beberapa daerah di pulau Jawa umumnya merupakan varietas lokal yang
dibudidayakan di dataran medium.
4. Kultivar Manoa Wonder telah beradaptasi baik di dataran tinggi dan mempunyai
sifat tahan terhadap penyakit karat, tetapi bentuk polongnya gepeng sehingga
kurang disukai pasar (konsumen).
5. Kultivar lokal Bandung bentuk polongnya baik dan disukai pasar (konsumen),
tetapi sangat rentan penyakit karat. Kultivar buncis lokal Bandung merupakan
varietas yang paling populer di dataran tinggi kabupaten Bandung.
1. Beberapa kultivar local kacang jogo diuji di Lembang menunjukkan Lokal Garut
berproduksi paling tinggi dan tahan terhadap kekeringan, dengan kisaran hasil
biji 38 ku/ha.
2. Pengujian 15 kultivar buncis di dataran tinggi Lembang menunjukkan Spurt
memberikan hasil tertinggi (29 t/ha) polong muda. Kultivar BBL 47, Peak dan
Farmer Early mempunyai rasa dan aroma yang enak.
1. Pada pewarisan sifat tahan penyakit karat dalam silangan Manoa wonder x
Lokal Bandung terjadi tipe interaksi gen non alelik yang komplementer antara
pathogen dengan gen pengendali sifat, perlu dilakukan silang balik berkali-kali
dengan tetua Manoa Wonder untuk meningkatkan pengaruh gen aditif.
30
3. Pola pewarisan sifat tahan penyakit karat pada silangan buncis menunjukkan
dikendalikan oleh minimal 2 gen dengan interaksi non-alelik dan bekerja secara
dominan resesif epistatis, sehingga pewarisannya tidak sederhana.
E. Perbenihan (1 artikel)
- Budidaya buncis tegak dalam produksi benih diperlukan fosfor sebanyak 135 kg
P2O5 untuk mendapatkan kualitas terbaik dan kuantitas tertinggi.
Tabel 29 Topik penelitian, varietas, jumlah artikel, asal, agroekosistem tempat penelitian pemuliaan
tanaman kacang buncis.
31
buncis tipe tegak Wonder, Flo,
(Phaseolus vulgaris) Farmer Early,
di dataran rendah Richgreen,
Spurt, Strike,
Goldrust,
Peak,
Greenleaf
D. Uji resistensi 3
genotip buncis
terhadap
hama/penyakit
E. Perbenihan 1
Agronomi
Tabel 30 menunjukkan sebaran topik, varietas, ekosistem dan hasil pada penelitian
agronomi selama kurun waktu 1980-2003. Beberapa catatan umum yang dapat
ditarik dari Tabel 30 adalah:
• Jumlah artikel sangat terbatas dan hanya menyangkut topik pemupukan
• Ekosistem yang digunakan umumnya dataran tinggi dengan varietas yang
digunakan lokal maupun introduksi
32
Tabel 30 Topik, jumlah artikel, varietas, ekosistem dan hasil penelitian agronomi
Informasi mengenai budidaya kacang buncis masih sangat terbatas. Jumlah artikel
yang terkumpul hanya 4 buah dengan topik pemupukan
Perlu penelitian agronomi yang menyangkut berbagai aspek/topik yang didesain
secara komprehensif dengan kajian yang akurat untuk mendapatkan
rekomendasi budidaya tanaman buncis yang tepat
33
Hama Penyakit
Kehilangan hasil
Serangan C. cercospora tidak mempengaruhi hasil polong segar, tetapi
menurunkan hasil biji kering sampai 33%.
2. Uromyces phaseoli
Tanaman resisten
• Persilangan antar kultivar Manoa Wonder X Lokal Bandung telah berhasil
menggabungkan sifat tahan dan meningkatkan keragaman gentik pada
populasi F2.
• Sifat ketahanan terhadap penyakit karat pada silangan kultivar “Manoa
Wonder X Lokal Bandung” ternyata dikendalikan oleh minimal dua buah
gendengan interaksi non-alelik dan bekerja secara dominasi resesif epistasis
sehingga pewarisannya tidak sederhana.
Tabel 31 Jumlah artikel per topik, varietas dan ekosistem pada profil buncis
No Eko-
Topik Σ artikel Varietas Sumber
. sistem
A. PENYAKIT BUNCIS
1. Cercospora 1 Lokal Bandung DT Bull.Hort.Vol.VIII/3,1980.
Kehilangan hasil
2. Uromyces phaseoli 2 Lokal Bandung, DT (2) Bull.Hort.Vol.XIX/2, 1990.
Resistensi tanaman Manoa Wonder Bull.Hort.Vol.XXI/4, 1992.
34
X. Kendala pengembangan dari sisi tekno-sosio-ekonomis
Berdasarkan analisis usahatani, biaya untuk input tenaga kerja sangat tinggi
(lebih 50 % dari total biaya produksi). Hal tersebut mengindikasikan
penggunaan teknologi budidaya di tingkat petani yang belum efisien. Ada dua
kemungkinan penyebab tidak efisiennya penggunaan tenaga kerja di tingkat
petani, yaitu (a) petani tidak mengaitkan jumlah tenaga kerja dengan tingkat
efisiensi tenaga kerja, dan/atau (b) teknologi yang digunakan oleh petani
menuntut penggunaan tenaga kerja dalam jumlah banyak. Perlu penelitian
lebih lanjut menyangkut efisiensi penggunaan tenaga kerja di tingkat
usahatani.
35
XI. Prospek, kebijakan dan strategi pengembangan
36
Daftar Pustaka.
Adiyoga, W. 1996. Marjin tataniaga dan bagian petani untuk kentang, kubis dan
tomat di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Jurnal Hortikultura 7(3): 840-851.
Badan Pusat Statistik. 1999. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia ekspor.
Jilid II. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia.
37
--------------------------. 2002. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia
2002. Buku I. Badan Pusat Statistik , Jakarta – Indonesia.
Dillon, J. L. & Hardaker, J. B. 1980. Farm management research for small farmer
development. Food and Agriculture Organization Agricultural Services Bulletin, Rome
FAO. 1998. Potato: Production, utilization and consumption.
Soetiarso., T.A. 1995. Efisiensi penggunaan faktor produksi pada usahatani bawang
merah di Pacet, Bandung. Bul. Penelt. Hort. XXVII (3) : 59 – 65.
38
3. I. Dwiwarni dan R Asnawi 1998 Pengaruh limbah sawit dan J. Agrotropika
pupuk kandang terhadap vol. 3 No. 1,
pertumbuhan buncis 1998: 29-33
4. Z ainar Kari dan Yulinar Zubaidah 2002 Pengaruh pupuk kalium J. Stigma, vol.
(K) terhadap pertumbuhan 10 No. 3, 2002:
dan hasil beberapa varietas 225-232
buncis (Phaseolus vulgaris
L.)
PENYAKIT
A. Cercospora canescens
1. Taksiran kerugian hasil buncis oleh Suhardi Buletin Penelitian Vol. VII No. 6
penyakit-penyakit daun Hortikultura Hal : 15-18
Th. 1980
B. Uromyces phaseoli
1. Analisa pendugaan parameter Eri Sofiari Buletin Penelitian Vol. XIX No. 2
genetik sifat tahan penyakit karat Hortikultura Hal : 50-60
(Uromyces phaseoli) pada silangan Th. 1990
buncis (Phaseolus vulgaris).
2. Pola pewarisan sifat tahan Eri Sofiari Buletin Penelitian Vol. XXI No. 4
penyakit karat pada silangan Anggoro Hadi Hortikultura Hal : 62-75
buncis P. Th. 1992
C. BCMV
1. Kajian sifat penyebab penyakit Siti Rasminah Agrivita Vol. 17 No. 2
Mozaik pada tanaman kacang C. Th. 1994 Hal : 71-77
buncis (Phaseolus vulgaris L.). Yenni Liswani
Tuhing
Hadiastono
39