You are on page 1of 40

LAPORAN AKHIR

PROFIL KOMODITAS BUNCIS

(2004)

Witono Adiyoga
Rachman Suherman
T. Agoes Soetiarso
Budi Jaya
Bagus Kukuh Udiarto
Rini Rosliani
Darkam Mussadad

Proyek/Bagian Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif


The Participatory Development of Agricultural Technology Project
(PAATP)

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA


BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN

2004
I. Pendahuluan

Nama latin untuk tanaman buncis adalah Phaseolus vulgaris dan termasuk ke dalam
famili Leguminoseae. Berdasarkan sistematika tumbuhan maka klasifikasi dari
tanaman buncis adalah sebagai berikut :

a. Divisi : Spermatophyta
b. Subdivisi : Angiospermae
c. Kelas : Dicotyledonae
d. Ordo : Leguminales
e. Famili : Leguminoseae
f. Genus : Phaseolus
g. Species : Phaseolus vulgaris.

Tanaman buncis dapat dikelompokkan ke dalam kelompok kacang-kacangan


(beans), yang berumur pendek dan berbentuk semak atau perdu. Berdasarkan tipe
pertumbuhannya, ada dua macam tanaman buncis yaitu buncis tipe tegak dan tipe
merambat. Tanaman tipe merambat banyak dikonsumsi dalam bentuk polong buncis
yang masih muda, sedangkan untuk tipe tegak umumnya yang dikonsumsi adalah
bijinya. Tanaman buncis tipe tegak biasa dikenal dengan “kacang jogo” yang
berwarna merah, hitam, kuning, cokelat tergantung dari varietasnya.

Tanaman buncis bukan tanaman asli Indonesia tetapi merupakan hasil introduksi
(Rukmana, 1995). Berdasarkan berbagai informasi tanaman buncis berasal dari
benua Amerika tepatnya Amerika Utara dan Amerika Selatan. Secara lebih spesifik
diperoleh informasi, bahwa kacang buncis tipe tegak (kacang jogo) merupakan
tanaman asli di lembah Tahuacan (Meksiko). Penyebaran ke benua Eropa
berlangsung sejak abad ke-16 oleh orang-orang Spanyol dan Portugis. Daerah pusat
penyebarannya mula-mula adalah Inggris (tahun 1594), kemudian menyebar ke
negara-negara lainnya di kawasan Eropa, Afrika, sampai ke Asia. Di Amerika daerah
penyebaran tanaman buncis terdapat di New York (tahun 1836), kemudian meluas
ke Wisconsin, Maryland, dan Florida. Tanaman ini mulai dibudidayakan secara
komersil sejak Tahun 1968 dan menempati urutan ke tujuh diantara sayuran yang
dipasarkan di Amerika pada tahun tersebut. Adapun “kapan” masuknya tanaman
buncis ke Indonesia belum diperoleh informasi yang jelas, tetapi daerah penanaman
buncis pertama kali adalah di daerah Kotabatu (Bogor), kemudian menyebar ke
daerah-daerah sentra sayuran di Pulau Jawa.

II. Area, produksi dan produktivitas

Walaupun tanaman buncis bukan tanaman asli Indonesia, tetapi penyebarannya


cukup meluas di wilayah Indonesia. Tabel 1 berikut ini menggambarkan
perkembangan luas panen, produksi dan produktivitas buncis di Indonesia selama
periode tahun 1999 – 2003. Dilihat dari luas panen dari tahun 1999 sampai dengan
Tahun 2001 terjadi penurunan, tetapi di tahun 2002 luas panen kembali meningkat,
bahkan di tahun 2003 peningkatannya mencapai 22,38 %. Produksi nasional
tertinggi terjadi di tahun 2000 yang mencapai 302 624 hektar. Hal tersebut

1
disebabkan oleh tingginya produktivitas di tahun tersebut. Namun demikian, setelah
tahun 2000 produktivitas mengalami penurunan dari tahun ke tahun, sehingga pada
tahun 2003 hanya mencapai 7,59 ton per hektar. Hal tersebut mengindikasikan
kurang optimalnya teknologi budidaya yang digunakan oleh petani buncis.

Ada beberapa faktor penyebab belum baiknya teknologi yang digunakan oleh petani,
diantaranya: 1) teknologi yang direkomendasikan tidak dapat memecahkan
permasalahan petani, 2) proses transfer teknologi tidak berjalan dengan baik, atau
3) teknologi yang direkomendasikan belum tersedia (Lionberger dan Gwin, 1991).
Adapun untuk budidaya buncis, kemungkinan disebabkan oleh belum tersedianya
teknologi yang direkomendasikan. Hal tersebut berkaitan erat dengan skala prioritas
program penelitian sayuran. Selama ini buncis tidak dimasukkan sebagai sayuran
yang mendapat prioritas untuk diteliti, sehingga penelitian-penelitian untuk
komoditas tersebut sangat terbatas (lihat sub bab hasil-hasil penelitian).

Tabel 21 Produksi buncis di Indonesia, 1999-2003

Tahun Luas panen Produksi Produktivi- Persentase perubahan (%)


(ha) (t) tas (t/ha) Luas panen Produksi Produkti-
Vitas
1999 28 546 282 198 9,88 - - -

2000 28 257 302 624 10,71 - 1,01 + 7,24 8,40

2001 25 651 227 862 8,88 - 9,22 - 24,70 - 17,08

2002 26 660 230 020 8,62 + 3,78 + 0,95 - 2,93

2003 32 626 247 782 7,59 22,38 + 7,72 - 11,95

Sumber: Survei Pertanian, BPS (berbagai tahun)

Berkaitan erat dengan tingkat adaptabilitasnya, pertanaman buncis di Indonesia


tersebar terutama di daerah dataran tinggi. Tabel 22 menunjukkan perkembangan
areal tanam dan produksi di beberapa propinsi penting penghasil buncis, serta data
agregatnya. Berdasarkan data tersebut Propinsi Jawa Barat merupakan sentra
produksi terbesar di Indonesia dengan kontribusi sebesar 29,84 – 38,13% terhadap
produksi nasional selama periode 1999–2003. Propinsi lainnya sebagai sentra
produksi terbesar setelah Jawa Barat, tercatat Sumatera Utara, Jawa Timur,
Bengkulu dan Jawa Tengah.

Ditinjau dari produktivitasnya, hasil yang dicapai Jawa Barat jauh di atas propinsi-
propinsi lainnya. Sebagai contoh pada tahun 2003 produktivitas buncis di Jawa Barat
mencapai 13,53 ton per hektar, sementara propinsi lainnya berkisar antara 2,13-
10,08 ton per hektar. Produktuvitas buncis di Jawa Barat tersebut masih di atas
produktivitas rata-rata Indonesia yang hanya mencapai 7,59 ton per hektar. Hal
tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa penggunaan teknologi di
sentra produksi Jawa Barat sudah lebih baik dibandingkan dengan propinsi lainnya.

2
Tabel 22 Areal panen (ha), produksi (ton) dan produktivitas (ton/ha) buncis di beberapa
propinsi penting penghasil buncis di Indonesia, 1998-2002.

Propinsi 1999 2000 2001 2002 2003

Sumatera Utara Area (ha) 3 808 4 440 4 885 3 414 5 875


Prod (t) 85 200 92 464 53 184 46 533 57 816
Prvt (t/ha) 22,37 20,83 10,89 13,63 9,84

Bengkulu Area (ha) 1 434 1 546 637 1 579 2 702


Prod (t) 6 474 5 955 2 179 6 278 8 889
Prvt (t/ha) 4,51 3,85 3,42 3,98 3,29

Jawa Barat Area (ha) 7 361 7 836 6 698 6 589 6 640


Prod (t) 84 208 101 919 86 886 78 049 89 823
Prvt (t/ha) 11,44 13,01 12,97 11,85 13,53

Jawa Tengah Area (ha) 4 726 4 008 3 254 3 611 3 946


Prod (t) 29 823 28 698 22 118 27 149 17 494
Prvt (t/ha) 6,31 7,16 6,80 7,52 4,43

Jawa Timur Area (ha) 2 657 2 465 2 311 1 819 1 950


Prod (t) 15 421 17 246 20 633 12 330 11 951
Prvt (t/ha) 5,80 7,00 8,93 6,78 6,13

Bali Area (ha) 914 802 911 734 803


Prod (t) 14 530 14 907 13 050 7 652 8 092
Prvt (t/ha) 15,90 18,59 14,32 10,43 10,08

Kalimantan Timur Area (ha) 917 772 667 737 489


Prod (t) 5 236 4 295 3 333 3 842 4 590
Prvt (t/ha) 5,71 5,56 5,00 5,21 9,39

Sulawesi Selatan Area (ha) 1 387 1 936 1 369 2 084 3 337


Prod (t) 16 859 13 198 2 874 15 679 7 094
Prvt (t/ha) 12,16 6,82 2,10 7,52 2,13

Total Area (ha) 23 204 23 805 20 732 20 567 25 742


Prod (t) 257 761 278 682 204 257 197 512 205 749
Prvt (t/ha)

Lainnya Area (ha) 5 342 4 452 4 919 6 093 6 884


Prod (t) 24 437 23 942 25 763 32 508 42 033
Prvt (t/ha)

Indonesia Area (ha) 28 546 28 257 25 651 26 660 32 626


Prod (t) 282 198 302 624 227 862 230 020 247 782
Prvt (t/ha) 9,89 10,71 8,88 8,63 7,59

Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura

Analisis data tahunan produksi dan areal tanam buncis mencakup periode waktu
1970-2003 menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan rata-rata produksi buncis di
Indonesia adalah sekitar 5,4%. Kontribusi produktivitas sebesar 4,6%, sedangkan

3
kontribusi pertumbuhan areal panen hanya sekitar 0,8%. Selanjutnya berdasarkan
analisis data tahun 1970-2003 pertumbuhan produksi pada tanaman buncis tersebut
terutama disebabkan oleh kontribusi peningkatan dari komponen produktivitas. Hal
ini mengimplikasikan bahwa strategi dan kegiatan/usaha yang berhubungan dengan
inovasi teknologi/penelitian dapat memacu pola pertumbuhan produksi berbasis
peningkatan produktivitas, atau program penyuluhan mulai berjalan baik, terutama
dikaitkan dengan proses alih teknologi di tingkat petani (Bisaliah, 1986).

III. Konsumsi dan jenis pemanfaatan

Tanaman buncis merupakan sayuran polong yang memilki banyak kegunaan.


Umumnya konsumen rumah tangga mengkonsumsi buncis dalam keadaan muda
atau dikonsumsi bijinya (Cahyono, 2003). Polong buncis (jenis merambat) yang
masih muda rasanya manis dan biasa diolah menjadi berbagai menu makanan
sehari-hari. Sementara itu, polong buncis yang sudah tua bijinya keras dan kurang
cocok untuk diolah sebagai menu makanan sehari-hari. Beberapa varietas dari
tanaman buncis jenis tegak sering dikonsumsi bijinya, contohnya kacang merah, dan
diolah menjadi berbagai jenis sayur atau sambal goreng. Di beberapa daerah
kadang-kadang daun buncis dikonsumsi sebagai lalab atau diolah menjadi sayur.

Tabel 23 berikut menyajikan kandungan gizi yang terkandung pada 100 gram
kacang buncis yang dapat dimakan.

Tabel 23 Kandungan dan komposisi gizi kacang buncis per 100 gram bahan.

Komposisi gizi
Kandungan gizi I II
Kalori 34,00 kal 35,00 kal
Protein 2,00 gr 2,40 gr
Lemak 0,10 gr 0,20 gr
Karbohidrat 6,80 gr 7,70 gr
Serat 1,00 mgr -
Abu 0,60 mgr -
Kalsium 72,00 mgr 65,00 mgr
Fosfor 38,00 mgr 48,00 mgr
Zat besi 0,80 mgr 1,00 mgr
Natrium 2,00 mgr -
Kalium 182,00 mgr -
Vitamin A 525 S.I 630,00 S.I
Vitamin B1 0,07 mgr 0,08 mgr
Vitamin B2 0,10 mgr -
Niacin 0,70 mgr -
Vitamin C 15,00 mgr 19,00 mgr
Air - 88,90 gr
Sumber (dalam Rukmana, 1995) :
I : Food and Nutrition Research Center (1964) Handbook No 1. Manila
II : Direktorat Gizi Dep Kes R.I (1981).

Selain dikonsumsi sebagai makanan, tanaman buncis juga memiliki berbagai khasiat
untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Kandungan gum dan pektin dapat

4
menurunkan kadar gula darah, kandungan lignin berkhasiat untuk mencegah kanker
usus besar dan kanker payudara. Di samping itu polong buncis juga berkhasiat
untuk menurunkan kolesterol darah, mencegah penyebaran sel kanker, menurunkan
tekanan darah, mengontrol insilin dan gula darah, mengatur fungsi pencernaan,
mencegah konstipasi, sebagai antibiotik, mencegah hemorrhoid dan masalah
pencernaan lannya.

Serat kasar dalam polong buncis sangat berguna untuk melancarkan pencernaan
sehingga dapat mengeluarkan zat-zat racun dari tubuh. Kandungan glicemia yang
rendah pada polong buncis dapat memperlambat kenaikan gula darah dan menjaga
kadar glukosa agar tetap normal, karena kandungan gum dan pektin menyebabkan
pembentukan reseptor insulin lebih banyak sehingga dapat menghambat
pembentukan gula darah. Di sisi lain berkurangnya insulin dapat menahan lapar dan
melalui suatu mekanisme tertentu dapat mengeluarkan sodium untuk menurunkan
tekanan darah. Bagian buncis yang tidak dapat dicerna akan tertinggal di dalam usus
dan akan diurai oleh bakteri. Pada saat proses penguraian tersebut terjadi pelepasan
asam lemak rantai pendek yang menguap. Selanjutnya zat tersebut akan bereaksi
sebagai obat untuk menurunkan produksi kolesterol dan mempercepat pembersihan
darah dari LDL kolesterol yang sangat berbahaya bagi kesehatan. Dengan demikian
bagian buncis yang tidak dapat dicerna dapat berkhasiat menurunkan kolesterol
darah.

Suatu hasil penelitian menunjukkan, bahwa buncis dapat mencegah dan mengobati
penyakit diabetis melitus. Di dalam buncis terkandung zat yang dinamakan B-
sitosterol dan stigmasterol. Kedua zat ini mampu meningkatkan produksi insulin.
Insulin adalah suatu hormon yang dihasilkan secara alamiah oleh tubuh kita dari
organ tubuh yang dinamakan pankreas. Insulin berfungsi untuk menurunkan kadar
gula dalam darah. Seseorang mengalami diabetis melitus bila pankreas hanya sedikit
menghasilkan insulin atau tidak mampu memproduksi sama sekali. Ternyata dua zat
tadi mampu merangsang pankreas untuk meningkatkan produksi insulinnya.

Tanaman buncis selain memberikan manfaat yang cukup banyak bagi kesehatan,
juga memiliki kelemahan yaitu dapat menimbulkan gas di dalam perut (perut
kembung) karena kurang enzim untuk mencerna gula kompleks (alpha galactiside).
Namun rasa tidak nyaman tersebut akan hilang dengan sendirinya setelah beberapa
jam kemudian. Sedangkan bagi lingkungan tanaman buncis dapat menyuburkan
tanah, karena akar-akarnya dapat bersimbiosis dengan bakteri Rhizobium sp. untuk
mengikat nitrogen bebas (N2) dari udara, sehingga unsur nitrogen tersedia dalam
tanah.

Konsumsi buncis di Indonesia dapat dibedakan menjadi konsumsi di daerah


perkotaan dan pedesaan. Tabel 24 memberikan informasi, bahwa konsumsi rata-rata
buncis per kapita per tahun bagi penduduk perkotaan cenderung lebih tinggi dari
penduduk pedesaan. Konsumsi buncis baik di daerah perkotaan maupun pedesaan
mengalami kenaikan dan penurunan dari tahun ke tahun secara tidak konsisten,
tetapi konsumsi terendah terjadi di tahun 1999 sedangkan konsumsi tertinggi terjadi
pada tahun 1996.

5
Tabel 24 Konsumsi buncis perkotaan dan pedesaan Indonesia (kg/kapita/tahun)

Tahun Perkotaan Pedesaan Indonesia

1993 1,04 0,99 0,99

1996 1,14 0,99 1,04

1999 0,78 0,68 0,68

2002 0,94 0,88 0,88

2004 1,04 0,83 0,94

IV. Pemasaran, perdagangan dan standardisasi

Seperti halnya pada komoditas sayuran lainnya, kegiatan pemasaran buncis


bertujuan untuk memindahkan produk dari tangan produsen ke tangan konsumen.
Pada umumnya kegiatan produksi berlangsung di daerah pedesaan, sementara
daerah konsumen terletak di perkotaan. Hal ini mengakibatkan kontribusi dari
lembaga-lembaga pemasaran cukup besar. Hampir seluruh sektor pemasaran buncis
ditangani oleh pihak swasta dan intervensi pemerintah relatif minimal, khusus
terbatas pada penyediaan infrastruktur. Oleh karena itu, pasar buncis seringkali
dianggap beroperasi berdasarkan kekuatan penawaran dan permintaan.

Pasar dapat diartikan sebagai tempat terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli.
Pengertian pasar di sini tidak selalu pasar tersebut berwujud bangunan fisik, tetapi
cukup dicirikan dengan adanya kontak antara penjual dan pembeli. Jenis pasar buncis
mengikuti pasar sayuran pada umumnya yang ada dapat dibedakan menjadi a) pasar
pengumpul, b) pasar grosir/pasar besar, dan c) pasar eceran (Soetiarso, 1997). Pasar
pengumpul buncis di beberapa sentra produksi seperti Pangalengan dan Lembang
tidak mempunyai bangunan fisik sebagai tempat transaksi. Umumnya transaksi antara
pedagang pengumpul dan petani dilakukan di kebun. Pasar besar/grosir biasanya
terletak di berbagai daerah konsumsi di kota-kota besar, para pembeli di pasar grosir
tersebut sebagian besar terdiri dari para pedagang pengecer. Pasar pengecer banyak
terdapat di daerah konsumsi baik di kota besar maupun kota kecil. Dalam
perkembangannya, pasar-pasar pengecer di kota-kota besar dapat dibedakan menjadi
pasar eceran tradisional dan pasar eceran moderen (super market). Hasil penelitian
menunjukkan, bahwa kelas sosial konsumen di pasar eceran secara nyata berbeda
dengan konsumen di pasar eceran moderen (Ameriana, 1994).

Sebelum menjual hasil panennya, petani biasa melakukan sortasi (memisahkan/


memilih buncis yang marketable dan non-marketable) dan grading (pada umumnya
berdasarkan ukuran). Sortasi dilakukan untuk memisahkan antara polong buncis
yang cacat dan polong buncis yang baik (utuh). Sortasi ini juga bertujuan untuk
mencegah penularan serangan hama dan penyakit ke polong buncis yang sehat

6
selama dalam proses pengangkutan/penyimpanan, sedangkan grading bertujuan
untuk menyeragamkan mutu/kualitas. Grading atau pengkelasan ternyata banyak
memberikan keuntungan baik bagi produsen maupun konsumen buncis, antara lain :
1) memudahkan konsumen untuk memperoleh kualitas buncis yang diinginkan, 2)
memudahkan pemasaran menurut standar mutu, 3) memberikan keuntungan yang
lebih baik bagi petani, dan 4) memberikan kepuasan dan peningkatan kepercayaan
konsumen.

Pada praktek pemasaran, buah buncis dikelompokkan ke dalam kelas-kelas mutu


yaitu kelas mutu I, kelas mutu II dan kelas mutu III, dengan kriteria:

 Kelas mutu I, yaitu polong buncis yang berukuran besar atau panjang dan
berukuran kecil atau pendek (baby buncis), utuh dan sehat (tidak terserang
hama dan penyakit), warna buah masih agak muda, dam biji polong belum
tampak menonjol.

 Kelas mutu II, yaitu polong buncis berukuran kecil atau pendek (tetapi bukan
baby buncis), utuh dan sehat (tidak terserang hama dan penyakit), warna
buah masih agak muda, dan biji polong belum tampak menonjol.

 Kelas mutu III, yaitu polong buncis yang berukuran besar ataupun kecil,
tetapi terdapat cacat yang tidak parah.

Secara umum harga buncis untuk masing-masing kelas berbeda, semakin tinggi kelas
grading harga akan semakin mahal. Namun demikian, generalisasi hubungan harga
antar kelas, sukar untuk ditetapkan, karena terlalu banyaknya kemungkinan kombinasi
perubahan penawaran dan permintaan berdasarkan pengkelasan ini. Terlepas dari hal
tersebut, sebagian besar petani dan pedagang mengindikasikan bahwa perbedaan
harga antar kelas secara proporsional meningkat/menurun sejalan dengan
peningkatan/penurunan harga buncis.

Untuk menggerakkan buncis dari sentra produksi ke daerah konsumen akan


melibatkan berbagai lembaga pemasaran. Lembaga pemasaran tersebut dapat
berupa badan hukum atau perorangan yang bertindak sebagai sebagai perantara.
Pemasaran buncis dikatakan efisien jika semua pihak (petani, pedagang dan
konsumen) memperoleh kepuasan baik secara finansial maupun non finansial.
Biasanya pemasaran yang efisien tidak melibatkan terlalu banyak lembaga
pemasaran, dan setiap lembaga pemasaran tidak mengambil keuntungan terlalu
besar. Pemasaran yang tidak efisien, biasanya diindikasikan rendahnya keuntungan
yang diperoleh petani, sementara konsumen harus membayar dengan harga yang
tinggi.

Secara skematis, lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran kubis mulai
dari tingkat petani sampai ke tangan konsumen dapat digambarkan pada Gambar 1.

7
Petani produsen

I
V
Tengkulak

Pedagang pengumpul IV
II Tingkat desa/kecamatan

III

Pedagang besar
Eksportir
(grosir)

VI

Pedagang pengecer Importir


(pasar, supermarket) di luar negeri

Konsumen lembaga Konsumen


(rumah makan, katering) Rumah tangga

Gambar 1 Bagan kemungkinan pemasaran buncis.

Bagan di atas memperlihatkan beberapa kemungkinan dari rantai pemasaran yang


dapat ditempuh yaitu :

I. Rantai I, untuk sampai ke tangan konsumen baik konsumen lembaga maupun


konsumen rumah tangga, buncis dari tangan petani harus melalui empat
lembaga pemasaran (tengkulak, pedagang pengumpul, pedagang besar dan
pengecer). Di lihat dari jumlah lembaga pemasaran yang terlibat, kemungkinan
besar rantai tersebut tidak efisien.

II. Rantai II, petani menjual hasil panennya langsung ke eksportir. Walaupun rantai
ini terlihatnya sangat efisien, tetapi sangat sulit untuk ditempuh. Kualitas yang

8
dituntut untuk ekspor sangat tinggi, sehingga petani pun dituntut untuk
mempunyai pengetahuan yang baik mengenai segala sesuatu yang berkaitan
dengan ekspor.

III. Rantai III, petani menjualnya ke pedagang pengecer. Selanjutnya pedagang


pengecer mendistribusikannya ke konsumen lembaga atau konsumen rumah
tangga. Rantai ini tampaknya sangat efisien karena hanya melibatkan satu
lembaga pemasaran.

IV. Rantai IV, sebelum sampai ke tangan konsumen, petani produsen menjual hasil
panen buncisnya melalui pedagang besar dan pedagang pengecer. Rantai
pemasaran ini dinilai cukup efisien.

V. Rantai V, petani menjual hasil panennya melalui pedagang pengumpul,


pedagang besar dan pedagang pengecer.

VI. Rantai VI, petani menjual hasil panennya ke tengkulak, selanjutnya tngkulak
langsung menjualnya ke konsumen lembaga. Dalam hal ini tengkulak bertindak
sebagai supplier yang memasok bahan-bahan yang dibutuhkan konsumen
lembaga, termasuk buncis. Biasanya para supplier tersebut sudah mempunyai
langganan konsumen lembaga yang tetap.

Dari ke enam rantai pemasaran tersebut, yang paling sering dipilih oleh petani
sayuran, trmasuk petani buncis, adalah rantai pemasaran I dan V. Walaupun kedua
rantai pemasaran tersebut kurang efisien, tetapi petani memperoleh berbagai
kemudahan dalam memasarkan hasil panennya. Beberapa alasan yang dikemukakan
petani antara lain: waktu penjualan yang relatif cepat, keringanan biaya panen dan
kemudahan memperoleh pinjaman modal.

Selanjutnya Tabel 25 memperlihatkan data ekspor kacang-kacangan ke Indonesia.


Di dalam data tersebut komoditas buncis dimasukkan dalam kelompok kacang-
kacangan di mana dalam kelompok tersebut, termasuk diantaranya kacang merah
(kacang jogo). Dari catatan data ekspor tahun 1999 – 2003, Indonesia telah
mengekspor komoditas kacang-kacangan (termasuk buncis) ke berbagai negara,
dengan kuantitas yang bervariasi dari tahun ke tahun. Namun dalam kurun waktu
tersebut ekspor tertinggi dicapai pada tahun 2002, yaitu sebesar 1 372,74 ton.
Ekspor tersebut terdiri dari kacang-kacangan dalam keadaan segar, beku dan kering.
Selama periode tahun 1999 – 2003, ekspor kacang-kacangan kering paling banyak
diekspor, sementara kacang-kacangan beku hanya diekspor pada tahun 1999 dan
tahun 2000. Adapun negara-negara yang secara tetap mengimpor kacang-kacangan
dari Indonesia adalah Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam dan Saudi Arabia.
Sementara itu, negara-negara yang juga mengimpor kacang-kacangan/buncis
Indonesia secara insidental diantaranya adalah Taiwan, Perancis, Philipina dan Timor
Timur.

9
Tabel 25 Ekspor Kacang-kacangan dan buncis Indonesia, 1999-2003

Kuantitas (ton)
Tahun Total Kacang-kacangan Kacang-kacangan Kacang-kacangan
Segar Beku Kering
1999 62,81 1,8 27,27 33,74
2000 11,76 2,1 88,00 28,66
2001 42,37 10,31 - 32,06
2002 1 372,74 3,06 - 1 369,68
2003 203,08 122,99 - 80,09

Nilai (juta US$)


Tahun Total Kacang-kacangan Kacang-kacangan Kacang-kacangan
Segar Beku Kering
1999 11 068 2 555 -
2000 77 516 3 421 30 360 43 735
2001 38 744 10 622 - 28 122
2002 342 071 1 407 - 340 664
2003 68 503 61 220 - 7 283

Harga (US$/t)
Tahun Total Kacang-kacangan Kacangt-kacangan Kacang-kacangan
Segar Beku Kering
1999 6 148,88 93,69
2000 652,71 1 629,05 345,00 1 525,99
2001 914,42 1 030,26 - 877,17
2002 249,18 459,80 - 248,72
2003 337,32 497,76 - 90,93

Sumber: Biro Pusat Statistik (a), berbagai tahun. Ekspor sampai September 2002. Ekspor termasuk:
Kode SITC 05457200 untuk kacang-kacangan dalam bentuk segar
05469220 untuk kacang-kacangan dalam bentuk beku
05423100 untuk kacang-kacangan dalam bentuk kering

Berdasarkan data impor yang tercantum pada Tabel 26, ternyata kuantitas kacang-
kacangan yang diimpor oleh Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
ekspor. Selama periode tahun 1999 – 2003 impor kacang-kacangan segar dan beku
cenderung menurun dari tahun ke tahun, sedangkan kacang-kacangan kering
memperlihatkan kenaikan yang cukup tinggi. Di lihat dari volume total kacang-
kacangan yang diimpor, walaupun terjadi penurunan pada tahun 2000 tetapi pada
tahun-tahun berikutnya volume impor terus meningkat bahkan pada tahun 2003
volume impor mencapai 8 kali lipat dibandingkan tahun 2000. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa kebutuhan kacang-kacangan di dalam negeri terus
meningkat dan tidak dapat dicukupi oleh produksi kacang-kacangan dalam negeri.
Adapun negara-negara yang mengekspor kacang-kacangan ke Indonesia
diantaranya China, Myanmar, Perancis, India, Perancis, Australia, Hongkong dan
Jepang. China dan Australia tercatat sebagai negara-negara pengekspor kacang-
kacangan terbesar ke Indonesia.

10
Tabel 26 Impor Kacang-kacangan Indonesia, 1999-2003

Kuantitas (ton)
Tahun Total Kacang-kacangan Kacang-kacangan Kacang-kacangan
Segar Beku Kering
1999 1 799,29 1 636,02 - 163,27
2000 726,78 307,52 367,64 51,64
2001 868,96 388,47 61,14 419,35
2002 3 814,83 72,89 9,97 3 731,97
2003 6 569,64 46,93 2,77 6 519,94

Nilai (juta US$)


Tahun Total Kacang-kacangan Kacang-kacangan Kacang-kacangan
Segar Beku Kering
1999 444 875 340 296 - 104 579
2000 308 874 91 782 131 032 86 060
2001 317 546 85 721 31 926 199 899
2002 1 281 084 26 090 13 192 1 241 802
2003 1 663 659 19 152 5 511 1 638 996

Harga (US$/t)
Tahun Total Segar Beku Kering

1999 247,25 208,00 - 640,53


2000 424,99 298,46 356,43 1 666,54
2001 365,43 220,66 522,18 476,68
2002 335,82 357,94 1 323,17 332,74
2003 253,23 408,09 1 989,53 251,38

Sumber: Biro Pusat Statistik (a), berbagai tahun. Ekspor sampai September 2002. Ekspor termasuk:
Kode SITC 05457200 untuk kacang-kacangan dalam bentuk segar
05469220 untuk kacang-kacangan dalam bentuk beku
05423100 untuk kacang-kacangan dalam bentuk kering

Salah satu kebijaksanaan operasional pengembangan pengolahan dan pemasaran


hasil pertanian adalah pembinaan mutu dan standardisasi pertanian. Keberhasilan
pengembangan pembinaan mutu dan standardisasi pertanian diharapkan akan
mampu untuk menunjang peningkatan daya saing serta keberhasilan menembus
pasar. Program pemerintah dalam pembinaan mutu hasil pertanian melalui program
standardisasi dan akreditasi sejalan dengan tuntutan konsumen baik di dalam
maupun di luar negeri. Untuk dapat bersaing di pasar yang bebas dan kompetitif
saat ini, komoditas pertanian yang dipasarkan harus benar-benar dapat menarik
minat pembeli. Hal ini perlu ditanamkan terhadap pelaku agribisnis bahwa di dalam
produk yang akan dipasarkan haruslah terdapat unsur jaminan kepastian mutu.
Kepastian mutu ini hanya dapat diperoleh melalui penerapan standar. Pada awalnya
standar ini hanya merupakan suatu tuntutan pasar, namun dalam perkem-
bangannya, ternyata standar memberikan banyak sekali nilai tambah bagi petani
yang menerapkannya, sehingga mulai dirasakan sebagai kebutuhan bagi petani.

11
Dari aspek pertumbuhan dan pengembangan kegiatan/usaha agribisnis, penerapan
SNI dapat memberikan manfaat: (a) mewujudkan tercapainya persaingan yang
sehat dalam perdagangan, (b) menunjang pelestarian lingkungan hidup, (c)
meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan melalui sistematika dan
pendekatan yang terorganisir pada pemastian mutu, (d) meningkatkan citra dan
daya saing petani/pelaku agribisnis, (e) meningkatkan efisiensi di dalam berproduksi,
dan (f) mengantisipasi tuntutan konsumen atas mutu produk dan tingkat persaingan
usaha yang telah mengalami perubahan sehingga pelaku agribisnis dapat
menanggapinya melalui pendekatan mutu, pengendalian mutu, pemastian mutu,
manajemen mutu dan manajemen mutu terpadu.

Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor : 12 tahun 1991, standar yang berlaku di
seluruh wilayah Indonesia adalah Standar Nasional Indonesia, yang mulai
diberlakukan sejak tanggal 1 April 1994. Sebagai tindak lanjut penetapan Standar
Nasional Indonesia, melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor:
303/Kpts/OT.210/4/1994 tanggal 27 April 1994, Standar Nasional Indonesia sektor
pertanian adalah standar yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian setelah
mendapatkan persetujuan dari Dewan Standardisasi Nasional (yang sekarang
menjadi Badan Standardisasi Nasional, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 13
tahun 1997) dan berlaku secara nasional di seluruh wilayah Indonesia.

Badan Standardisasi Nasional telah membuat standar mutu untuk tujuh komoditas
sayuran yaitu bawang putih, bawang merah, tomat segar, petsai segar, kentang
segar, kubis dan wortel segar. Dalam hal ini buncis belum termasuk komoditas yang
telah memiliki nomor SNI. Adapun pengkelasan yang terdapat selama proses
pemasaran, sifatnya tidak baku dan dapat berubah menurut tempat dan waktu. Hal
ini merupakan salah satu kelemahan terutama jika dikaitkan dengan perdagangan
internasional. Disamping lebih sulit untuk memenuhi standar kualitas ekspor, belum
adanya SNI tersebut dapat mengakibatkan Indonesia berpeluang sebagai tempat
pembuangan komoditas buncis yang berkualitas di bawah standar yang berasal dari
negara-negara lain.

V. Perkembangan harga dan indeks harga musiman

Harga berfungsi sebagai pengendali arah aktivitas ekonomi sayuran dan berperan
sebagai rationing mechanism untuk suatu produk yang diproduksi pada suatu
periode waktu serta menjadi barometer yang mengukur dimensi perilaku bekerjanya
pasar sayuran. Berbagai faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan
akan selalu berubah, sehingga jalur waktu harga sayuran akan selalu menunjukkan
variasi. Pada kondisi persaingan, fluktuasi harga dapat disebabkan oleh pergeseran
penawaran dan permintaan. Salah satu kunci sukses pemasaran sayuran adalah
pemahaman utuh menyangkut pergerakan harga musiman suatu komoditas.
Perkiraan pola harga musiman dari suatu komoditas dapat diduga dengan
menghilangkan pengaruh trend dan menghitung harga rata-rata bulanan. Perkiraan
pola harga musiman dapat terlihat dengan mengekspresikan rata-rata harga setiap
bulan sebagai persentase dari rata-rata total harga dalam periode waktu tertentu.
Tabel 27 menunjukkan pola harga musiman buncis di sentra produksi Ciwidey dan

12
Lembang selama periode tahun 2002. Untuk harga buncis di sentra produksi
Ciwidey, pada tahun 2002 harga buncis terendah terjadi pada bulan April yaitu 33 %
dibawah harga rata-rata bulanan, sedangkan harga tertinggi terjadi pada bulan
Januari, di mana harga berada 78 % di atas harga rata-rata bulanan. Untuk sentra
produksi Lembang harga terendah terjadi pada bulan April (40 % di bawah harga
rata-rata bulanan) dan harga tertinggi tertinggi pada bulan Pebruari (47 % di atas
harga rata-rata bulanan).

Tabel 27 Pola musiman harga buncis tahun 2002 di tingkat sentra produksi Ciwidey dan
Lembang .

Bulan

J P M A M J J A S O N D
Lokasi
Rata-rata harga bulanan (Rp/kg)

Ciwidey 1988 1576 1470 370 660 828 1353 1203 1185 1406 1295 1305

Lembang 579 1752 1108 476 707 1062 1502 1141 1354 1674 1526 1383

a
Rata-rata bulanan sebagai % dari rata-rata total

Ciwidey 1,78 1,42 1,32 0,33 0,59 0,74 1,22 1,08 1,06 1,26 1,16 1,17

Lembang 0,49 1,47 0,93 0,40 0,59 0,89 1,26 0,96 1,14 1,41 1,28 1,16

a
Dihitung dengan membagi setiap harga rata-rata bulanan dengan harga rata-rata bulanan total
selama periode tahun 2002 (Rp. 1188,96 untuk sentra produksi Lembang dan Rp. 1 111,42 untuk
sentra produksi Ciwidey)

VI. Karakteristik tanaman, syarat tumbuh, dan sistem pengelolaan (budidaya)

Karakteristik Tanaman

Buncis termasuk jenis sayuran polong yang berumur pendek yang berbentuk semak
atau perdu. Tinggi tanaman buncis tipe tegak berkisar antara 30 – 50 cm tergantung
dari varietasnya, sedangkan tipe merambat dapat mencapai 2 meter.

Secara morfologi bagian-bagian penting dari buncis adalah sebagai berikut:

Akar.
Tanaman buncis berakar tunggang dan berakar serabut. Akar tunggang tumbuh
lurus ke dalam hingga 11- 15 cm, sedangkan akar serabut tumbuh horizontal.

13
Perakaran tanaman buncis dapat tumbuh dengan baik bila tanahnya gembur, mudah
menyerap air (porous), dan subur serta tidak tahan terhadap genangan air.

Batang
Batang tanaman buncis berbengkok-bengkok, berbentuk bulat, berbulu atau
merambat halus, berbuku-buku , lunak tetapi cukup kuat, dengan diameter batang
hanya beberapa millimeter. Batang tanaman berwarna hijau atau ungu tergantung
varietasnya, dengan membentuk cabang yang banyak dan menyebar sehingga
tanaman tampak rimbun.

Daun
Daun berbentuk bulat lonjong, ujung daun meruncing, tepi daun rata, berbulu halus
dan memiliki tulang-tulang menyirip. Ukuran daun bervariasi tergantung dari
varietasnya. Daun yang berukuran kecil mempunyai lebar 6 – 7,5 cm dan panjang
7,5 – 9 cm, sedangkan yang berukuran kecil mempunayi lebar 10 – 11 cm dan
panjang 11 – 13 cm.

Bunga
Bunga tanaman buncis merupakan malai (panicle). Tunas-tunas utama bercabang-
cabang dan pada setiap cabang tumbuh tunas bunga. Selain itu bunga tanaman
buncis tergolong bunga sempurna (hermaphrodit), persarian bunganya terjadi
dengan bantuan serangga atau angina.

Polong
Polong buncis memiliki bentuk, ukuran dan warna yang bervariasi tergantung dari
varietasnya. Polong buncis memiliki struktur halus, tekstur renyah, ada yang
berserat dan ada yang tidak. Adapun jumlah biji dalam polong bervariasi antara 5 –
14 buah.

Syarat Tumbuh

Iklim

a) Tanah yang cocok bagi tanaman buncis ternyata banyak terdapat di daerah
yang mempunyai iklim basah sampai kering dengan ketinggian yang
bervariasi.
b) Pada umumnya tanaman buncis tidak membutuhkan curah hujan yang khusus,
hanya ditanam di daerah dengan curah hujan 1.500-2.500 mm/tahun.
c) Umumnya tanaman buncis memerlukan cahaya matahari yang banyak atau
sekitar 400-800 feetcandles. Dengan diperlukan cahaya dalam jumlah banyak,
berarti tanaman buncis tidak memerlukan naungan.
d) Suhu udara ideal bagi pertumbuhan buncis adalah 20-25 derajat C. Pada
suhu < 20 derajat C, proses fotosintesis terganggu, sehingga pertumbuhan
terhambat, jumlah polong menjadi sedikit. Pada suhu ≥ 25 derajat C banyak
polong hampa (sebab proses pernafasan lebih besar dari pada proses
fotosintesis), sehingga energi yang dihasilkan lebih banyak untuk pernapasan
dari pada untuk pengisian polong.

14
e) Kelembaban udara yang diperlukan tanaman buncis ± 55% (sedang).
Perkiraan dari kondisi tersebut dapat dilihat bila pertanaman sangat rimbun,
dapat dipastikan kelembapannya cukup tinggi.

Media tanam

a) Jenis tanah yang cocok untuk tanaman buncis adalah andosol dan regosol
karena mempunyai drainase yang baik. Tanah andosol hanya terdapat di
daerah pegunungan yang mempunyai iklim sedang dengan curah hujan
diatas 2500 mm/tahun, berwarna hitam, bahan organiknya tinggi, berstektur
lempung hingga debu, remah, gembur dan permeabilitasnya sedang. Tanah
regosol berwarna kelabu, coklat dan kuning, berstektur pasir sampai berbutir
tunggal dan permeabel.
b) Sifat-sifat tanah yang baik untuk buncis: gembur, remah, subur dan
keasaman (pH) 5,5-6. Sedangkan yang ditanam pada tanah pH < 5,5 akan
terganggu pertumbuhannya (pada pH rendah terjadi gangguan penyerapan
unsur hara). Beberapa unsur hara yang dapat menjadi racun bagi tanaman
antara lain: aluminium, besi dan mangan.

Ketinggian tempat

Tanaman buncis tumbuh baik di dataran tinggi, pada ketinggian 1000-1500 m


dpl. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan untuk ditanam pada daerah
dengan ketinggian antara 300-600 meter. Dewasa ini banyak dilakukan penelitian
mengenai penanaman buncis tegak di dataran rendah ketinggian: 200-300 m dpl.,
dan ternyata hasilnya memuaskan. Beberapa varietas buncis tipe tegak seperti
Monel, Richgreen, Spurt, FLO, Strike dan Farmers Early dapat ditanam di dataran
rendah pada ketinggian antara 200-300 m dpl.

Sistem Pengelolaan (Budidaya)

Pembibitan

a) Persyaratan benih

Apabila akan mengusahakan suatu usaha pertanaman, maka hal pertama yang perlu
dilakukan adalah pemilihan benih. Benih yang digunakan harus benar-benar benih
yang baik. Benih yang baik berasal dari pohon induk yang baik. Benih yang baik
harus mempunyai persyaratan tertentu yakni: mempunyai daya tumbuh minimal 80-
85%, bentuknya utuh, bernas, warna mengkilat, tidak bernoda coklat terutama pada
mata bijinya, bebas dari hama dan penyakit, seragam, tidak tercampur dengan
varietas lain, serta bersih dari kotoran. Benih yang baik mempunyai daya tumbuh
yang tinggi, dapat disimpan lama, tahan terhadap serangan hama dan penyakit,
tumbuhnya cepat dan merata, serta mampu menghasilkan tanaman dewasa yang
normal dan berproduksi tinggi.

15
b) Penyiapan Benih

Memilih benih yang baik agak sulit. Karena itu disarankan untuk membeli benih yang
bersertifikat. Benih ini telah diuji coba oleh balai pengujian benih, sehingga dijamin
kualitasnya. Benih bersertifikat telah banyak dijual ditoko-toko sarana pertanian.

Benih buncis yang dibutuhkan dalam jumlah tertentu, tetapi kadang-kadang benih
yang dibeli jumlahnya melebihi yang dibutuhkan. Sehingga, masalahnya sekarang
adalah bagaimana menyimpan kelebihan benih itu. Cara menympannya dengan
memberi suhu 18-20 derajat C dengan kelembaban relatif 50-60 %. Kandungan air
benih juga sangat menentukan terhadap keawetan simpan benih. Kandungan yang
baik untuk menyimpan benih sekitar 14%. Bila persyaratan diatas terpenuhi maka
daya simpan benih buncis dapat mencapai 3 tahun.

Pengolahan media tanam

a) Pembukaan Lahan

Pengolahan lahan adalah semua pekerjaan yang ditujukan pada tanah untuk
menciptakan media tanam yang ideal, sehingga tanaman dapat tumbuh dengan
baik. Pembersihan rumput-rumputan, penggemburan tanah, dan pembuatan parit-
parit drainase adalah termasuk pengolahan tanah.

Pembersihan rumput-rumputan (gulma)bermaksud agar tidak terjadi persaingan


makanan dengan tanaman pokoknya. Cara membersihkannya dapat secara manual,
yaitu dengan jalan mencabut gulma dengan tangan, cangkul, cetok atau traktor (bila
lahannya luas). Pemberantasan dengan bahan kimia juga dapat dilakukan, yaitu
dengan menyemprotkan herbisida. Penyemprotannya dapat dilakukan setelah gulma
tumbuh ataupun sebelum tumbuh. Gulma jenis Cynodon dactylon disemprot dengan
herbisida Actril DS, dengan dosis 1,5-2 liter dalam 400 liter air/ha, pada tinggi
tanaman 10-15 cm. Untuk gulma Boreria alata, dapat diberantas dengan herbisida
Fernimine 720 AS. Dosis yang digunakan 1-1,5 liter yang dilarutkan dalam 500 liter
air. Jenis rumput Eluisine indica lebih baik menggunakan Fusilade 25 EC dengan
doiss 1-2 liter dengan campuran air sebanyak 400-600 liter. Herbisida lain yang
dapat dipakai adalah Goal 2E, Lasso 480 EC, Paracol, Roundup, Satunil 400/200 EC,
Saturin 500/50 EC dengan dosis seperti yang tercantum dalam labelnya.

Setelah bersih dari gulma pekerjaan selanjutnya adalah membajak tanah. Tanah
dibajak dan dicangkul 1-2 kali sedalam 20-30 cm. Untuk tanah-tanah berat
pencangkulan dilakukan dua kali dengan jangka waktu 2-3 minggu, untuk tanah-
tanah ringan pencangkulan cukup dilakukan sekali saja.

b) Pembuatan Bedengan

Selanjutnya untuk memudahkan pekerjaan pemeliharaan dibuat bedengan-


bedengan dengan ukuran panjang 5 meter, lebar 1 meter dan tinggi 20 cm. Jarak
antar bedengan 40-50 cm, selain sebagai jalan juga untuk saluran pembuangan air

16
(drainase). Untuk areal yang tidak begitu luas, mislnya tanah pekarangan, tidak
dibuat bedengan tetapi menggunakan guludan tanah selebar 20 cm, panjang 5
meter, tinggi 10–15 cm dan jarak antar guludan 70 cm.

c) Pengapuran

Umumnya tanah di Indonesia bersifat asam (pH <7). Untuk menaikkan pH tersebut
diperlukan pengapuran, menggunakan batu kapur kalsit, gips, kadolomite, atau batu
kapur talk. Dosis untuk menaikan pH sebesar 0,1 sebesar 480 kg/ha. Pemberian
kapur sebaiknya dilakukan 2-3 minggu sebelum penanaman, dengan cara sebagai
berikut:
a) Tanah digemburkan dengan mencakulnya.
b) Kapur disebar merata.
c) Tanah dicangkul kembali agar kapur dapat bercampur dengan tanah secara
merata.

d) Pemupukan

Untuk meningkatkan kesuburan tanah dapat dilakukan dengan pemberian pupuk


kandang atau kompos sebanyak 15-20 kg/10 m2 atau kira-kira 3 kaleng penuh bekas
minyak tanah. Pemberian pupuk kandang dimaksudkan untuk memperbaiki struktur
tanah agar lebih gembur, airasi dan drainase lebih baik. Pupuk anorganik yang
berfungsi sebagai pupuk dasar adalah Urea, TSP dan Kcl. Masing-masing sebanyak
200 kg, 600 kg, dan 120 kg untuk tiap hektar. Cara menempatkan pupuk kandang
maupun pupuk anorganik ialah dengan menaburkan disepanjang larikan.

Saat pemberian pupuk dasar, dapat juga dilakukan pemberian mematisida.


Mematisida ini merupakan pestisida untuk nematoda. Nematoda Meloidogyne sp.
Yang sering menyerang buncis dapat diberantas dengan nematisida Curater 3 G
atau Furadan 3 G. Dosis yang digunakan sebanyak 17 kg/ha.

Teknik penanaman

Air yang dibutuhkan buncis hanya secukupnya, sehingga saat menanam yang paling
baik yaitu saat peralihan. Hal ini sangat cocok untuk fase pertumbuhan buncis, dan
fase pengisian serta pemasakkan polong. Pada fase ini di khawatirkan akan terjadi
serangan penyakit bercak bila curah hujannya terlalu tinggi. Untuk mengatasi curah
hujan yang terlalu tinggi dapat dibuat saluran-saluran drainase, ini kalau
penanamannya dilakukan pada musim hujan. Sebaliknya, pada musim kemarau
perlu dilakukan penyiraman sesering mungkin terutama pada saat awal
perkecambahan.

a) Penentuan Pola Tanam

Tanaman buncis ditanam dengan pola pagar atau barisan karena penanamannya
dilakukan pada bedengan atau guludan. Pada pola ini, jarak antar tanaman lebih
sempit daripada jarak antar barisan tanamannya. Dengan pola tanam barisan akan

17
mempermudah pekerjaan selanjutnya, seperti pemeliharaan, pengairan,
pemupukan, pembumbunan dan panen.

Jarak tanaman yang digunakan adalah 20 x 50 cm, baik untuk tanah datar atau
tanah miring. Dan bila kesuburan tanahnya tinggi, maka sebaiknya menggunakan
jarak tanam yang lebih sempit lagi, yaitu 20 x 40 cm. Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari tumbuhnya gulma, karena gulma akan lebih cepat tumbuh pada tanah
yang subur. Penentuan jarak tanam ini harus benar-benar diperhatikan karena
berhubungan dengan tersedianya air, hara dan cahaya matahari.

b) Pembuatan Lubang Tanam

Setelah menentukan jarak tanam, kemudian membuat lubang tanam dengan cara
ditugal. Agar lubang tanam itu lurus, sebelumnya dapat diberi tanda dengan ajir,
bambu, penggaris atau tali. Tempat yang diberi tanda tersebut juga ditugal.
Kedalaman tugal 4-6 cm untuk tanah-tanah yang remah dan gembur, sedangkan
untuk tanah liat dapat digunakan ukuran 2-4 cm. Hal ini disebabkan pada tanah liat
kandungan airnya cukup banyak, sehingga dikhawatirkan benih akan busuk sebelum
mampu berkecambah.

c) Cara Penanaman

Tanaman buncis tidak memerlukan persemaian karena termasuk tanaman yang


sukar dipindahkan, sehingga benih buncis dapat langsung ditanam di lahan/kebun.
Tiap lubang tanam dapat diisi 2-3 butir benih. Setelah itu lubang tanam ditutup
dengan tanah.

Pemeliharaan tanaman

a) Penyulaman

berikutnya Biji buncis dapat tumbuh setelah lima hari sejak tanam, benih yang tidak
tumbuh harus segera diganti (disulam) dengan benih yang baru. Penyulaman
sebaiknya dilakukan dibawah umur 10 hari setelah tanam, agar pertumbuhan bibit-
bibit tidak berbeda jauh dan memudahkan pemeliharaan.

b) Pengguludan

Peninggian guludan atau bedengan dilakukan pada saat tanaman berumur lebih 20
dan 40 hari. Lebih baik dilakukan pada saat musim hujan. Tujuan dari peninggian
guludan adalah untuk memperbanyak akar, menguatkan tumbuhnya tanaman dan
memelihara struktur tanah.

c) Pemangkasan

Untuk memperbanyak ranting-ranting agar diperoleh buah yang banyak, tanaman


buncis perlu dipangkas. Pemangkasan sebatas pembentukan sulurnya. Pelaksanaan
pemangkasan dilakukan bila tanaman telah berumur 2 dan 5 minggu. Pemang-kasan

18
juga dimaksudkan untuk mengurangi kelembapan di dalam tanaman sehingga dapat
menghambat perkembangan hama penyakit. Pucuk-pucuk tanaman hasil pangkasan
dapat digunakan sebagai sayuran.

d) Pemupukan

Tindakan pemupukan pada tanaman buncis perlu dilakukan dengan alasan hara
tanaman yang disediakan oleh tanaman dalam jumlah yang terbatas. Sewaktu-
waktu zat hara akan berkurang karena tercuci kadalm lapisan tanah, terbawa erosi
bersama larutan tanah, hilang melalui proses evaporasi (penguapan), dan diserap
oleh tanaman. Apabila keadaan tersebut dibiarkan terus menerus tanpa adanya
perbaikan, maka makin lama persediaan hara dalam tanah makin berkurang
sehingga tanaman tumbuhnya merana. Untuk mencukupi kebutuhan hara tersebut,
perlu tambahan dari luar melalui pemupukan. Diharapkan dengan pemupukan akan
mengembalikan dan meningkatkan kandungan hara dalam tanah, sehingga tanaman
akan tumbuh subur dan produksinya akan melimpah.

Pemupukan ini dapat dilakukan pada umur 14-21 hari setelah tanam. Pupuk yang
diberikan hanyalah Urea sebanyak 200 kg/ha, caranya cukup ditunggal kurang lebih
10 cm dari tanaman. Setelah itu ditutup kembali dengan tunggal atau diinjak dengan
kaki.

e) Pengairan

Air yang diberikan alam sangat bervariasi dan seringkali tidak sesuai dengan
kebutuhan tanaman. Untuk itu, diperlukan pengaturan pengairan. Biasanya
pengairan dilakukan bila penanamannya dilakukan pada musim kemarau, yaitu pada
umur 1–15 hari. Pelaksanaannya dilakukan 2 kali sehari, setiap pagi dan sore. Bila
penanamannya dilakukan pada musim hujan, yang perlu diperhatikan adalah
masalah pembuangan airnya. Kelebihan air dapat disalurkan melalui parit-parit yang
telah dibuat di antara bedengan atau guludan.

f) Pemeliharaan Lain

Untuk tanaman buncis tipe merambat perlu diberi turus atau lanjaran, supaya
pertumbuhannya dapat lebih baik. Biasanya turus atau lanjaran ini dibuat dari
bambu dengan ukuran panjang 2 m dan lebar 4 cm. Turus tersebut ditancap didekat
tanaman. Setiap dua batang turus yang berhadapan diikat menjadi satu pada bagian
ujungnya, sehingga akan tampak lebih kokoh. Pelaksanaan pemasangan turus dapat
dilakukan bersamaan dengan peninggian guludan yang pertama, yaitu pada
tanaman berumur 20 hari.

19
Hama dan Penyakit

a) Hama

1) Kumbang daun
Penyebab: kumbang Henose-pilachna signatipennis atau Epilachna
signatipennis, sering disebut kumbang daun epilachna yang termasuk famili
Curculionadae. Bentuk tubuhnya oval, warna merah atau coklat kekuningan,
panjang antara 6-8 mm. Pengendalian: (1) bila sudah terlihat adanya telur,
larva, maupun kumbangnya, maka dapat langsung dibunuh dengan tangan; (2)
dengan insektisida Lannate L dan Lannate 25 WP, dengan konsentrasi 1,5-3
cc/liter air atau 300-600 liter setiap hektar; (3) rotasi tanaman dengan
tanaman yang bukan inang.

2) Penggerek daun
Penyebab: ulat Etiella zinckenella yang termasuk dalam famili Pyralidae.
Penyebarannya meliputi daerah tropis dan subtropis. Gejala: polong yang
masih muda mengalami kerusakan, bijinya banyak yang keropos. Kerusakkan
ini tidak sampai mematikan tanaman buncis. Pengendalian: penyemprotan
dengan insektisida Atabron 50EC dengan konsentrasi 12-15 cc/10 liter air.
Setiap satu hektar diperlukan 500 liter larutan semprot. Waktu penyemprotan
dilakukan segera setelah diketahui adanya serangan dan dapat diulangi
beberapa kali menurut keperluan. Selain Atrabon dapat pula dipilih insektisida
lain, seperti Agrothion 50 EC, Basbiman 200 EC dan Bayrusil 250 EC dengan
konsentrasi seperti yang tercantum pada labelnya.

3) Lalat kacang
Penyebab: lalat Agromyza phaseoli yang termasuk dalam famili Agromyzidae.
Lalat betina dan jantan mempunyai ukuran yang berbeda. Lalat betina
mempunyai panjang tubuh kurang lebih 2,2 mm, sedang yang jantan hanya
1,9 mm. Gejala: daun berlubang-lubang dengan arah tertentu, yaitu dari tepi
daun menuju tangkai atau tulang daun. Gejala lebih lanjut berupa pangkal
batang yang membengkok atau pecah. Kemudian tanaman menjadi layu,
berubah kuning, dan akhirnya mati dalam umur yang masih muda. Apabila
tidak mengalami kematian, maka tumbuhnya kerdil, sehingga produksinya
sedikit. Pengendalian: hendaknya dilakukan sedini mungkin, yaitu pada saat
pengolahan tanah. Setelah biji-biji buncis ditanam sebaiknya lahan langsung
diberi penutup dari jerami daun pisang. Penanaman dilakukan secara serentak.
Bila tanaman sudah terserang secara berat, maka segeralah dicabut dan
dibakar atau dipendam dalam tanah. Namun, apabila serangan masih kecil,
disarankan agar menggunakan insektisida. Penyemprotan yang lebih baik
dilakukan pada saat buncis baru mulai tumbuh, yaitu saat mulai kelihatan
kepingnya. Insektisida yang digunakan seperti Basminon 60 EC dengan
konsentrasi formulasi 1,5-2 cc/liter air dan Azordin 60 dengan konsentrasi 2-3
cc/liter air atau kira-kira 400-600 larutan setiap hektarnya. Penyemprotan
dilakukan sebanyak 2-3 kali sampai umur 20 hari, tergantung berat ringan
serangan.

20
4) Kutu daun
Penyebab: Aphis gossypii, yang termasuk dalam famili Aphididae. Sifatnya
polibag dan kosmopolitan yaitu dapat memakan segala tanaman dan tersebar
di seluruh dunia. Tanaman inangnya bermacam-macam, antara lain kapas,
semangka, kentang, cabai, terung, bunga sepatu dan jeruk. Warna kutu ini
hijau tua sampai hitam atau kuning coklat. Gejala: pertumbuhan tanaman
menjadi kerdil dan batang memutar (memilin), daun menjadi keriting dan
berwarna kuning. Pengendalian: (1) secara alami, yaitu dengan cara
memasukkan musuh alaminya, antara lain lembing, lalat dan jenis
Coccinellidae; (2) menggunakan insektisida Orthene 75 SP dengan konsentrasi
0,5-0,8 gram/liter air. Bila setelah disemprotkan masih terdapat hamanya,
maka penyemprotannya dapat diulang setiap 7-14 hari sekali. Selain Orthene
dapat juga digunakan Sevidan 70 WP atau Supracide 40 EC.

5) Ulat jengkal semu


Penyebab: ulat jengkal semu. Ada dua dua spesies yang terdapat
diperkebunan buncis, yaitu Plusia signata (Phytometra signata) dan P.
chalcites. Keduanya termasuk kedalam famili Plusiidae. Panjang ulat P.
chalcites kurang lebih 2 cm berwarna hijau dengan garis samping berwarna
lebih muda. Gejala: (1) daun-daun berlubang; (2) tanaman menjadi kerdil.
Pengendalian: (1) secara mekanik, yaitu dibunuh satu persatu, namun tidak
efektif; (2) sanitasi, yaitu dengan membersihkan gulma-gulma yang dapat
dijadikan sebagai tempat persembunyian hama tersebut; (3) dengan insektisida
Hostathion 40 EC sangat efektif karena mempunyai cara kerja ganda, yaitu
sebagai racun kontak dan racun lambung. Insektisida ini mempunyai daya
basmi 2-3 minggu, Konsentrasi formulasi yang digunakan 1-1,5 cc/liter air dan
volume larutan semprot kira-kira 400-600 liter/ha. Dapat juga menggunakan
Lannate 25 WP dan Lebaycid 550 EC. Penyemprotan dilakukan bila intensitas
serangan mencapai 12,5%.

6) Ulat penggulung daun


Penyebab: ulat Lamprosema indicata dan L. diemenalis, keduanya termasuk
dalam famili Pyralidae. Gejala: daun kelihatan seperti menggulung dan
terdapat ulat yang dilindungi oleh benang-benang sutra dan kotoran. Polongan
sering pula ikut direkatkan bersama-sama dengan daunnya. Daun juga tampak
berlubang-lubang bekas gigitan dari tepi sampai ketulang utama, hingga habis
hanya tinggal urat-uratnya saja. Pengendalian: (1) membuang dan
membakar daun yang telah terkangkit; (2) penyemprotan pestisida Azordrin 15
WSC dengan konsentrasi 2-3 cc/liter air, Kiltop 50 EC dengan konsentrasi 4-5
cc/liter air, atau Matador 25 EC dengan konsentrasi 5 ml/ 10 liter air. Setiap
hektar kira-kira memerlukan volume 400-600 liter larutan. Penyemprotan dapat
diulang setiap 7 hari sampai tanaman terbebas dari hama tersebut.

b) Penyakit

1) Penyakit antraknosa
Penyebab: cendawan Colletotrichum lindemuthianum, termasuk dalam famili
Melanconiaccae.. Gejala: (1) terdapat bercak-bercak kecil berwarna coklat

21
karat pada polong buncis muda; (2) bercak hitam atau coklat tua di bagian
batang tanaman tua. Pengendalian: (1) memakai benih yang benar-benar
bebas dari penyakit; (2) merendam benih dalam fungsida Agrosid 50 SD
sebelum ditanam. Cara merendamnya ialah beberapa jam sebelum benih
ditanam dibasahi dulu dengan air. Kemudian dimasukkan ke kantong plastik
dan dicampur dengan Agrosid 50 SD sebanyak 10–15 gram/kg benih. Setelah
itu dikocok sampai rata kemudian diangin-anginkan; (3) pergiliran tanaman,
maksudnya untuk memotong siklus hidup cendawan tersebut. Pergiliran
tersebut dapat dengan tanaman lobak, wortel atau kol bunga; (4)
penyemprotan fungsida Delsene MX-2000, konsentrasinya 1-2 gram/liter air.
Fungsida ini bersifat kontak dan sistemik sehingga bisa disemprotkan sebelum
atau sesudah terjadi serangan. Fungsida Velimek 80 WP juga dapat digunakan
dengan konsentrasi 2-2,5 gram/liter air. Volume larutan semprot kurang leboh
400-800 liter/ha. Pemberiannya dapat diulang setiap 7-10 hari sekali. Supaya
daya kerjanya efektif, dapat ditambahkan bahan perata atau pembasah. Bahan
perata yang dipakai seperti Agristck atau Triton dengan dosis 2 cc/liter atau 2
gram/liter air.

2) Penyakit embun tepung


Penyebab: cendawan Erysiphe polygoni, yang termasuk dalam famili
Erysiphaceae. Gejala: daun, batang, bunga dan buah berwarna putih
keabuan (seperti beludru). Apabila serangan pada bunga ringan, maka polong
masih dapat terbentuk. Namun bila gagal serangannya berat akan dapat
menggagalkan proses pembuahan, bunga menjadi kering dan akhirnya mati.
Bila polong yang diserang maka polong tidak gugur, tetapi akan
meninggalkan bekas berwarna cokelat surat sehingga kualitasnya menurun.
Pengendalian: (1) bagian-bagian yang sudah terserang sebaiknya dipotong
atau dibakar; (2) dapat juga disemprot dengan fungsida Morestan 25 WP,
konsentrasinya 0,5-1 gram/liter air dan volume larutan 1.000 liter/ha.
Penyemprotannya dapat diulang 1-2 minggu sekali. Fungsida lain adalah
Nimrod 250 EC dengan konsentrasi 0,4-1,6 ml/liter air, Cupravit OB 21
dengan konsentrasi 1 gram/liter air dan dengan volume semprot 500 liter/ha.
Atau dapat juga dilakukan penghembusasn dengan tepung belerang.

3) Penyakit layu
Penyebab1: bakteri Pseudomonas sollanacearum. Bakteri ini termasuk dalam
famili pseudomonadeceae.
Gejala: tanaman akan terlihat layu, menguning dan kerdil. Bila batang
tanaman yang terserang dipotong melintang, maka akan terlihat warna
cokelat dan kalau dipijit keluar lendir berwarna putih. Kadang-kadang warna
cokelat ini bisa sampai ke daun. Akar yang sakit juga berwarna cokelat.
Pengendalian: (1) penyiraman tanaman dengan air yang bebas dari
penyakit; (2) dengan rotasi tanaman selama 2 tahun; (3) penyemprotan
dengan fungsida Agrept 20 WP dengan konsentrasi 0,5-1 gram/liter air.
Penyebab2: Penyebab layu dengan gejala diatas disebabkan oleh cendawan
Fusarium oxyporum, termasuk dalam famil Stilbellaceae. Gejala 2: Gejala
yang terlihat seperti gejala 1 di atas dengan sedikit perbedaan. Perbedaannya
yaitu bila batang yang terserang dipijit tidak mengeluarkan lendir.

22
Pengendalian: cara pengendalian hampir sama dengan cara pengendalian
Pseudomonas, bedanya hanya jenis fungsida yang dipakai. Untuk
mengendalikan cendawan ini dapat digunakan fungsida Dithane M 45 dengan
dosis 180-240 gram/100 liter air. Fungsida ini disemprotkan pada semua
batang merata.

4) Penyakit bercak daun


Penyebab: cendawan Cercospora canescens, termasuk dalam famili
Dematiaceae. Sporanya dapat disebarkan melalui air hujan, angin, serangga,
alat-alat pertanian, manusia dan lain-lain. Gejala: Daun berbercak-bercak kecil
berwarna cokelat kekuningan. Lama-kelamaan bercak akan melebar dan
bagian tepinya terdapat pita berwarna kuning. Akibat lebih parah, daun
menjadi layu lalu berguguran. Bila sampai menyerang polong, maka polong
berbercak kelabu dan biji yang terbentuk kurang padat dan ringan.
Pengendalian: (1) sebelum ditanam benih buncis direndam air panas dengan
suhu 48 derajat C selama 30 menit; (2) rotasi tanaman; (3) rotasi tanaman (4)
memotong bagaian tanaman yang telah terserang; (5) penyemprotan dengan
Baycor 300 EC konsentrasi 0,5-1 liter/ha, Bayleton 250 EC konsentrasi 0,25-0,5
liter/ha, volume semprot tiap hektarnya kurang lebih 400 liter. Dapat juga
menggunakan Cupravit OB 21, Daconil 75 WP, Delsene MX-200 dengan
konsentrasi sesuai labelnya. Penyemprotan diulang dengan selang waktu 5-15
hari.

5) Penyakit hawar daun


Penyebab: bakteri Xanthomonas campestris dari famili Pseudomonadaceae.
Bakteri ini dapat berkembang pada suhu lebih dari 20 derajat C dan suhu
optimum 30 derajat C. Hidupnya bisa bertahan beberapa tahun di dalam biji,
tanah dan sisa-sisa tanaman yang sakit. Gejala: Pertama-tama terlihat bercak
kuning di bagian tepi daun, kemudian meluas menuju tulang daun tengah.
Daun terlihat layu, kering dan berwarna cokelat kekuningan. Bila serangannya
hebat, daun berwarna kuning seluruhnya dan akhirnya rontok. Kemudian
gejala tersebut dapat meluas ke batang, sehingga lama-kelamaan tanaman
akan mati. Pengendalian: ( memakai benih yang bebas dari penyakit; (2)
menjaga kebersihan lahan.

6) Penyakit busuk lunak


Penyebab: bakteri Erwinia carotopora, termasuk dalam famili
Enterobacteriaceae. Bakteri ini hanya menyerang bila ada bagian tanaman
yang luka, misalnya gigitan ulat atau memang sudah sakit karena penyakit lain.
Serangan ini dapat terjadi di lapangan atau di penyimpanan.
Gejala: Daun berbercak, berair dan warnanya menjadi kecokelatan. Gejala ini
akan cepat menjalar ke seluruh bagian tanaman sehingga tanaman menjadi
lunak, berlendir dan berbau busuk. Kadang-kadang juga bisa roboh bila yang
terserang batangnya. Pengendalian: (1) membakar dan membuang tanaman
yang telah terjangkit penyakit; (2) menjaga kebersihan lingkungan tanaman;
(3) penyemprotan Cupravi OB-21 dengan konsentrasi 4 gram/liter air, Delsene
MX 200 konsentrasi 2-3 cc/liter dan Difolatan 4 F dengan konsentrasi 2-3

23
cc/liter air. Penyemprotan dapat dilakukan setiap 7-10 hari sekali. Penggunaan
pestisida dapat dengan dioleskan pada bagian tanaman yang sakit.

7) Penyakit karat
Penyebab: cendawan Uromyces appendiculatus, termasuk dalam ordo
Uredinales. Cendawan ini masih dapat bertahan pada bagian tanaman yang
sakit walaupun iklimnya kering. Serangan akan kembali menghebat pada
musim hujan. Penyebarannya dapat melalui hembusan angin, percikan atau
aliran air, serangga maupun terbawa dalam pengangkutan bibit-bibit tanaman
di daerah lain. Gejala: Pada jaringan daun terdapat bintik-bintik kecil berwarna
cokelat baik dipermukaan daun sebelah atas maupun bawah dan biasanya
dikelilingi oleh jaringan khlorosis. Pada varietes yang tahan, gejalanya hanya
berupa bintik-bintik cokelat saja. Pengendalian: (1) menanam bibit buncis
yang tahan terhadap penyakit karat, yaitu manoa wonder; (2) mencabut dan
membakar tanaman yang telah terjangkit; (3) menggunakan fungisida
Baylleton 250 EC dengan dosis 0,25-0,5 liter/ha dan voleume larutan 500
liter/ha. Penyemprotannya dilakukan bila intensitas serangan mencapai 10%
dengan selang waktu 7 hari.

8) Penyakit Damping Off


Penyebab: cendawan Phytium sp, termasuk dalam famili Phytiaceae.
Penularannya dapat melalui tanah maupun biji. Serangannya akan sangat
hebat bila suhu dan kelembaban udara cukup tinggi. Gejala: Bagian batang
yang terletak di bawah keping biji (hipokotil) berwarna putih pucat karena
mengalami kerusakan klorofil. Akibatnya terjadi nekrosa secara cepat, jaringan
yang berada di atas tanah menjadi mengkerut dan mengecil sehingga batang
tidak kuat lagi menyangga kotiledon dan kemudian tanaman menjadi roboh.
Pengendalian: (1) menyiram tanaman denganair yang bebas penyakit; (2)
menyemprotkan Antracol 70 WP konsentrasi 2 gram/liter, Volume larutan 600-
8 l/ha. Fungisida Cupravit OB 21, Delsene MX-200, dimazeb 80 WP, Dithane
M45 juga dapat digunakan, dengan konsentrasi seperti yang tercantum dalam
labelnya.

9) Penyakit ujung keriting


Penyebab: virus mosaik keriting, yang penularannya biasanya melalui vektor
serangga yaitu sejenis kutu loncat dari famili Yassidae. Dari tingkat muda
sampai dewasa, kutu ini dapat menjadi pembawa (carrier) virus tersebut.
Gejala: Daun-daun muda menjadi keriting dan berwarna kuning, sedang daun
yang sudah tua menggulung atau memilin. Biasanya daun-daun terasa lebih
kaku, tangkai daun mengeriting ke bawah dan batang tidak normal. Tanaman
muda yang terserang menjadi kerdil. Pengendalian: (1) menanam bibit yang
tahan penyakit seperti spurt dan strike; (2) mencabut dan membakar tanaman
yang telah terserang penyakit; (3) melakukan penyemprotan jenis-jenis
insektisida yang dapat membunuh serangga vektornya. Misalnya, Alsystin 25
WP dengan dosis 0,25–0,5 kg/ha yang dilarutkan dalam 500-800 liter air. Atau,
menggunakan Azordrin 15 WSC, Bayrusil 250 EC, dan Lannate.

24
Panen

a) Ciri dan Umur Panen

Pemanenan dapat dilakukan saat tanaman berumur 60 hari dan polong


memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut:
1) Warna polong agak muda dan suram.
2) Permukaan kulitnya agak kasar.
3) Biji dalam polong belum menonjol.
4) Bila polong dipatahkan akan menimbulkan bunyi letup.

b) Cara Panen

Dalam menentukan saat panen harus setepat mungkin sebab bila sampai terlambat
memetiknya beberapa hari saja maka polong bincis dapat terserang penyakit bercak
Cercospora. Penyakit tersebut sebenarnya hanya menyerang daun dan bagian
tanaman lainnya, tetapi karena saat pemetikan yang terlambat maka penyakit
tersebut berkembang sampai ke polong-polongnya.

Cara panen yang dilakukan biasanya dengan cara dipetik dengan tangan.
Penggunaan alat seperti pisau atau benda tajam yang lain sebaiknya dihindari
karena dapat menimbulkan luka pada polongnya. Kalau hal ini terjadi maka
cendawan atau bakteri dapat masuk kedalam jaringan, sehingga kualitas polong
menurun.

c) Periode Panen

Pelaksanaan panennya dapat dilakukan secara bertahap, yaitu setiap 2-3 hari sekali.
Hal ini dimaksudkan agar diperoleh polonh yang seragam dalam tingkat
kemasakkannya. Pemetikan dihentikan pada saat tanaman berumur lebih dari 80
hari, atau kira0kira sejumlah 7 kali panen.

d) Prakiraan Produksi

Bila dalam pelaksanaan budidaya tanaman buncis sudah baik, artinya sudah sesuai
dengan ketentuan-ketentuan diatas maka produksi perhektar dapat mencapai 150
kuintal polong segar.

Pascapanen

a) Sortasi

Sortasi meliputi kegiatan-kegiatan membuang atau memisahkan hasil berdasarkan


kualitas dan mengadakan klarifikasinya. Polong buncis yang cacat akibat serangan
hama dan penyakit, polong yang tua maupun polong yang patah akibat panen yang
kurang baik, semuanya kita pisahkan. Polong-polong yang demikian hanya akan
mengurangi nilai pasar dan nilai beli dari komoditi tersebut.

25
Proses sortasi ini biasanya dilakukan ditempat-tempat pengumpulan yang diletakkan
tidak jauh dari lahan pertanian. Tempat dilakukannya sortasi ini harus cukup
terlindung, supaya hasil yang baru dipanen tidak lekas menjadi layu.

b) Penyimpanan

Buncis termasuk sejenis sayuran yang tidak tahan disimpan lama dalam keadaan
segar, cepat rusak atau busuk sehingga disebut sebagai perishable food. Hal ini
terjadi karena setelah dipanen masih terjadi respirasi dan transpirasi sehingga lama
kelamaan komoditi ini mengalami kemunduran (deterioration). Dengan kemunduran
tersebut menyebabkan komoditi menjadi lebih peka terhadap serangan jasad renik
sehingga komoditi menjadi rendah mutunya dan akhirnya membusuk.

Mengingat sifat buncis tersebut maka diperlukan penyimpanan khusus bila buncis
tidak langsung dikonsumsi. Cara penyimpanan yang biasa dilakukan adalah sistem
refrigarasi (pendinginan), dengan suhu 0-4,4 derajat C dan kelembaban 85-90%.
Pada keadaan yang demikian, maka umur kesegaran buncis bisa mencapai 2-4
minggu. Ruangan penyimpanan diusahakan agar udara segar dapat beredar dan
selalu berganti.

Yang menjadi masalah adalah, masih ada sebagian orang yang beranggapan bahwa
dengan suhu dan kelembaban yang lebih rendah lagi akan menghasilkanumur
kesegaran yang lebih lama pula. Padahal pendapat ini kurang benar pula.
Penyimpanan pada suhu yang lebih rendah dengan suhu yang dianjurkan
memberikan hasil yang sama, sedangkan kelembaban yang terlampau rendah, akan
menyebabkan komoditi menjadi cepat layu.

c) Pengepakkan/Pengemasan

Pada umumnya pengepakkan buncis dilakukan dengan menggunakan karung goni.


Untuk pengiriman jarak jauh ke luar negri lebih baik menggunakan peti kayu, ukuran
dan bentuknya sebaiknya seragam supaya kelihatan rapi. Hal yang harus
diperhatikan dalam membuat alat mengepak yaitu harus mempunyai lubang angin
untuk memungkinkan pergantian udara di dalam pengepak dan mudah diangkut
oleh satu orang.

Setelah dilakukan pengepakan, maka jangan lupa menuliskan nama pengusaha,


nama komoditi, serta keterangan lain yang dibutuhkan pada alat pengepak.
Kebiasan buruk berupa pemberian kode nama pemilik hendaknya dihilangkan, sebab
yang mengenal kode tersebut hanya perwakilan si pengusaha atau pedagang itu
sendiri.

Dengan pengepakan yang baik, banyak keuntungan yang diperoleh, antara lain
dalam pengangkutan, komoditi akan terlindung dari kerusakan fisik, mudah dalam
penghitungannya dan mudah dalam penyusunan baik di dalam alat pengangkut
maupun di dalam gudang penyimpanan.

26
Biasanya pengangkutan hasil panen dilakukan sesuai dengan tujuan pengirimnya.
Pengangkutan dengan volume kecil dan ditujukan kepedagang-pedagang setempat
dapat dilakukan dengan tenaga manusia, hewan atau kendaran bermotor.
Pengangkutan dalam jarak jauh dengan volume yang lebih besar dapat
menggunakan kapal, kereta api, atau pesawat terbang. Dalam memilih alat
pengangkutan ini, yang penting adalah kelancaran atau cepatnya sampai tujuan dan
dipilih yang biayanya murah. Selain itu alat tersebut harus bebas dari bau-bauan
karena dapat meresap ke dalam hasil yang diangkut.

Dalam menyusun karung maupun peti harus teratur, terutama yang menyangkut
letak dan tinggi susunan. Letak susunan karung hendaknya diberi antara sehingga
peredaran udara akan lebih leluasa. Tinggi susunan juga diperhatikan, jangan
sampai karung atau peti paling bawah rusak karena terkena beban yang terlalu
berat. Agar komoditi tidak cepat rusak maka sebaiknya didalam alat pengangkut
diberi pendingin terutama untuk angkutan jarak jauh.

d) Pengepakan untuk Konsumen

Umumnya konsumen menghendaki buncis dalam keadaan segar, bersih, sehat dan
mempunyai ukuran yang sama. Untuk itu diperlukan pengepakan lagi sebelum
sampai kekonsumen. Pengepakan ini telah dilakukan oleh produsen yang memasok
buncis kepasar swalayan. Tiap pak mempunyai berat sekitar 1-1,5 kg dan berisi
buncis yang seragam ukurannya.

VIII. Analisis finansial usahatani

• Analisis finansial produksi buncis

Keberhasilan suatu usahatani dapat diukur melalui analisis finansial, yang


merupakan perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dengan tingkat penerimaan
yang diperoleh. Selanjutnya Santika dan Wardah (1993) dalam Soetiarso (1995)
mengatakan, bahwa perbandingan tersebut dapat dicapai melalui salah satu dari
empat cara berikut ini : 1) Keluaran tetap konstan sedangkan masukan mengecil, 2)
Keluaran meningkat sedangkan masukan tetap konstan, 3) Keluaran meningkat
dalam kadar yang lebih tinggi dari pada peningkatan masukan dan, 4) Keluaran
menurun dalam kadar yang rendah dari pada penurunan masukan. Sedangkan
menurut Colman dan Young (1989), keuntungan maksimal ini dapat diperoleh
dengan meminimalkan biaya produksi pada tingkat output tertentu, atau sebaliknya
memaksimalkan ouput pada tingkat biaya produksi tertentu. Selain itu, keuntungan
maksimal juga dapat diperoleh melalui substitusi faktor produksi yang satu dengan
lainnya, sepanjang nilai yang dikeluarkan untuk input pengganti lebih kecil
dibandingkan dengan nilai input yang digantikan (pada tingkat output yang sama).
Pelaku ekonomi akan terus meningkatkan produksinya sepanjang penerimaan dari
setiap unit ouput masih lebih besar dibandingkan dengan biaya produksinya. Dalam
pengambilan keputusan seperti di atas, pelaku ekonomi membutuhkan indikator

27
Tabel 28 Biaya produksi dan pendapatan usahatani buncis per hektar (Kasus pada usahatani
di sentra produksi Ciwidey dan Lembang, Jawa Barat, Tahun 2005 ).

Uraian Kecamatan Ciwidey Kecamatan Lembang

A. Sarana Produksi Jumlah Nilai % Jumlah Nilai %


(Rp ) (Rp 000)
Bibit 35,29 ltr 705 882 4,35 40 ltr 1 000 000 6,43
Pupuk Organik 11 005 kg 1 806 722 11,14 16 000 2 000 000 12,85
kg
Pupuk Buatan 3,92 8,49
• NPK - - 300 kg 900 000
• Urea 390 kg 596 000 300 kg 420 000
• ZA 105 kg 157 000 - -
• SP-36 176 kg 332 000 - -
• Pupuk daun 16,81 btl 201 680 - -
Turus 21 176 bh 634 000 3,90 40 000 1 250 000 8,03
Bambu 7,4 btng 17 857 0,11 -
Pestisida 11,93 10,09
• Insektisida 964 285 630 000
• Fungisida 929 411 940 000
• Perekat 42 016 -
B. Tenaga Kerja 59,92 49,85
• Persiapan lahan 3 351 320 1 260 000
• Pemupukan 774 880 360 000
• Tanam 285 520 210 000
• Penyiangan 558 000 840 000
• Pemasangan turus 554 560 1 180 000
• Pengairan 201 720 -
• Pengobatan 831 960 1 920 000
• Panen dan 2 495 760 1 980 000
pascapanen
C. Lain-lain
Sewa lahan 777 000 4,73 670 000 4,26
Biaya Total 16 217 573 15 560 000

Produktivitas (kg/ha) 10 714 13 600

Harga jual (Rp/kg) 1 762,75 1 338,23

Pendapatan kotor 18 886 103,50 18 199 928


(Rp/ha)
Pendapatan bersih 2 668 530,50 2 639 928
(Rp/ha)
R/C rasio 1,16 1,17

kelayakan yang dapat diperoleh dari analisis biaya dan pendapatan (ABP). ABP dapat
mencerminkan perencanaan fisik dan finansial operasionalisasi suatu usahatani pada
periode waktu tertentu. ABP merupakan teknik sederhana yang paling banyak
digunakan dalam analisis ekonomi untuk membantu pengelola dalam mengambil
keputusan usahatani yang dapat memaksimalkan keuntungan (Dillon & Hardaker,
1980).

28
Tabel 28 menyajikan data usahatani buncis di sentra produksi Ciwidey dan
Lembang pada tahun 2005. Dari data tersebut terlihat bahwa kedua usahatani
buncis di dua lokasi yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan keuntungan. Hal
tersebut ditunjukkan oleh R/C ratio yang hampir sama yaitu 1,16 dan 1,17 masing-
masing untuk lokasi Ciwidey dan Lembang. Nilai R/C ratio tersebut mencerminkan
bahwa setiap satu rupiah dana yang diinvestasikan pada usahatani buncis akan
memberikan tingkat pengembalian sebesar Rp 1,16 untuk daerah Ciwidey dan Rp
1,17 untuk daerah Lembang.

Hasil panen yang diperoleh dari kedua usahatani tersebut menunjukkan adanya
perbedaan, dimana usahatani di daerah Lembang menghasilkan produksi sekitar 27
persen lebih tinggi dibandingkan produksi di daerah Ciwidey. Namun rendahnya hasil
panen di daerah Ciwidey diimbangi dengan tingginya harga jual output, sehingga
pendapatan yang diperoleh dari usahatani di kedua lokasi ditunjukkan oleh angka
yang relatif sama.

Biaya produksi yang dikeluarkan untuk suatu usahatani merupakan kumpulan dari
komponen-komponen biaya dengan persentase yang berlainan satu sama lain.
Umumnya pada usahatani sayuran, alokasi terbesar dari biaya produksi adalah untuk
input pestisida, dan seringkali alokasi untuk pestisida tersebut sangat besar
dibandingkan dengan input produksi lainnya. Namun demikian yang menarik dari
usahatani buncis ini, alokasi terbesar untuk input tenaga kerja dengan persentase
yang sangat tinggi, yaitu 59,92 % untuk lokasi Ciwidey dan 49,85 % untuk lokasi
Lembang. Sementra itu alokasi untu pestisida menempati urutan ke dua untuk
lokasi Ciwidey (11,93 %) dan urutan ke tiga untuk lokasi Lembang (10,09 %). Data
tersebut mengindikasikan bahwa serangan hama dan penyakit untuk tanaman
buncis relatif masih rendah, petani masih dapat mengendalikannya dengan
penggunaan pestisida yang rendah.

IX. Kegiatan penelitian

Pemuliaan dan Plasma nutfah

Penelitian pemuliaan dan plasmanutfah buncis periode 1980-2000 yang telah


dipublikasikan sebanyak 8 artikel, yang terdiri dari 2 artikel tentang hibridisasi dan
seleksi, 2 artikel tentang uji daya hasil pendahuluan/lanjutan, 1 artikel tentang uji
adaptasi/multilokasi, 2 artikel tentang uji resistensi terhadap hama/penyakit dan 1
artikel tentang perbenihan. Beberapa catatan umum yang dapat disimpulkan dari
penelitian pemuliaan dan plasma nutfah buncis, sebagai berikut :

1. Buncis (Phaseolus vulgaris L.) adalah sejenis kacang-kacangan yang


dikonsumsi sebagai sayuran, apabila dikonsumsi dalam bentuk polong muda
disebut buncis, dan disebut jogo bilamana dikonsumsi dalam bentuk biji.

29
2. Secara garis besar ada dua tipe pertumbuhan buncis, yaitu yang merambat
membutuhkan turus (buncis rambat), dan yang tidak membutuhkan turus
(buncis tegak).
3. Kacang jogo atau sering disebut kacang merah adalah tanaman kacang-
kacangan yang dikonsumsi bijinya sebagai sayuran. Kacang jogo ditanam di
beberapa daerah di pulau Jawa umumnya merupakan varietas lokal yang
dibudidayakan di dataran medium.
4. Kultivar Manoa Wonder telah beradaptasi baik di dataran tinggi dan mempunyai
sifat tahan terhadap penyakit karat, tetapi bentuk polongnya gepeng sehingga
kurang disukai pasar (konsumen).
5. Kultivar lokal Bandung bentuk polongnya baik dan disukai pasar (konsumen),
tetapi sangat rentan penyakit karat. Kultivar buncis lokal Bandung merupakan
varietas yang paling populer di dataran tinggi kabupaten Bandung.

A. Hibridisasi dan seleksi (2 artikel)

1. Persilangan kacang jogo x buncis tegak pada F3 dan F4 menunjukkan nilai


heritabilitas sedang sampai tinggi, dan korelasi yang positif nyata antara sifat
hasil dan komponen hasil.
2. Penentuan umur panen pada beberapa varietas kacang jogo menunjukkan
varietas Contender, HBW#835 dan Emil siap dipanen pada umur 79-82 hari,
dimana kadar air polong berkisar 45-65 %.

B. Uji Daya Hasil Pendahuluan/Lanjutan (2 artikel)

1. Beberapa kultivar local kacang jogo diuji di Lembang menunjukkan Lokal Garut
berproduksi paling tinggi dan tahan terhadap kekeringan, dengan kisaran hasil
biji 38 ku/ha.
2. Pengujian 15 kultivar buncis di dataran tinggi Lembang menunjukkan Spurt
memberikan hasil tertinggi (29 t/ha) polong muda. Kultivar BBL 47, Peak dan
Farmer Early mempunyai rasa dan aroma yang enak.

C. Uji adaptasi/multilokasi (1 artikel)

1. Adaptasi 10 varietas buncis tegak di dataran rendah menunjukkan Hawkesbury


Wonder memberikan adaptasi terbaik dan produksi polong muda tertinggi yaitu
6 t/ha.

D. Uji resistensi genotip buncis terhadap hama/penyakit (3 artikel)

1. Pada pewarisan sifat tahan penyakit karat dalam silangan Manoa wonder x
Lokal Bandung terjadi tipe interaksi gen non alelik yang komplementer antara
pathogen dengan gen pengendali sifat, perlu dilakukan silang balik berkali-kali
dengan tetua Manoa Wonder untuk meningkatkan pengaruh gen aditif.

2. Pewarisan resistensi tanaman buncis (Phaseolus vulgaris) terhadap penyakit


Antraknos dikendalikan oleh gen sederhana dengan aksi gen epistatis resesif
duplikat (9:7)., dan nilai duga heritabilitas tergolong sedang.

30
3. Pola pewarisan sifat tahan penyakit karat pada silangan buncis menunjukkan
dikendalikan oleh minimal 2 gen dengan interaksi non-alelik dan bekerja secara
dominan resesif epistatis, sehingga pewarisannya tidak sederhana.

E. Perbenihan (1 artikel)

- Budidaya buncis tegak dalam produksi benih diperlukan fosfor sebanyak 135 kg
P2O5 untuk mendapatkan kualitas terbaik dan kuantitas tertinggi.

Tabel 29 Topik penelitian, varietas, jumlah artikel, asal, agroekosistem tempat penelitian pemuliaan
tanaman kacang buncis.

No Topik/ judul Jml. Varietas Asal Agro- Penerbit


penelitian eko-
sistem
A. Hibridisasi/seleksi 2
1. Heritabilitas dan 1 F3 dan F4 - DT Bull.Penel.Hort.XXIII.No.
korelasi antara hasil Lokal Garut x 3.1992.
dan beberapa HBW,
komponen hasil Richgreen
pada persilangan dan Flo
kacang jogoxbuncis
tegak

2. Penentuan umur 1 Kacang - DT Bull.Penel.Hort.


panen pada merah, Vol.XII.No.4.1985
beberapa varietas Contender,
kacang jogo HBW 835,
Emil
B. Uji Daya Hasil 2
Pendahuluan/
Lanjutan .

1. Penampilan 1 Lokal Garut, Lokal DT Bull.Penel.Hort.Vol.XX.N


beberapa kacang Lokal Batu, o.2.1990.
jogo local (Phaseolus Lokal
vulgaris) di dataran Purwokerto,
tinggi Lembang HBW.

2. Penampilan fenotipa 1 HBW, Intro DT Bull.Penel.Hort.Vol.XX.N


varietas buncis tegak Richgreen, duksi o.2.1990
(Phaseolus vulgaris) Monel,
di dataran tinggi Greenleaf,
Processor,
BBL47, Spurt,
Flo, Goldrust,
Peak, Strike,
S.edogawa,
S-10, Taipeh,
Farmer early
C. Uji adaptasi/ 1
Multilokasi

1. Adaptasi berbagai 1 Monel, - DR Bull.Penel.Hort.Vol.XXII.


macam kacang Hawkesbury No.2.1992.

31
buncis tipe tegak Wonder, Flo,
(Phaseolus vulgaris) Farmer Early,
di dataran rendah Richgreen,
Spurt, Strike,
Goldrust,
Peak,
Greenleaf

D. Uji resistensi 3
genotip buncis
terhadap
hama/penyakit

1. Analisa pendugaan 1 Manoa - DT Bull.Penel.Hort.


parameter genetic wonder, Lokal Vol.XIX.No.2.1990
sifat tahan penyakit Bandung,
karat (Uromyces BC1F1,
phaseoli) pada BC1F2, F1,F2
silangan buncis
(Phaseolus vulgaris)

2. Pewarisan resistensi 1 Taipeh no.2 - DT dan J.Hort. 7(4):852-


tanaman buncis dan silangan DM 859.1998.
(Phaseolus No.24-200-3-
vulgaris) terhadap 4
penyakit Antraknos

3. Pola pewarisan sifat 1 Manoa - DT Bull.Penel.Hort.Vol.XXI.N


tahan penyakit karat Wonder o.4.1992
pada silangan buncis (tahan) x
Lokal
Bandung
(rentan)

E. Perbenihan 1

30 Pengaruh kultivar 1 Rich Green, - DT J.Hort.10(1):18-


dan dosis pupuk Strike, Tender 23.2000.
posfat terhadap Green, Spurt,
kualitas dan Peak, Taipeh
kuantitas benih
buncis tegak

Agronomi

Tabel 30 menunjukkan sebaran topik, varietas, ekosistem dan hasil pada penelitian
agronomi selama kurun waktu 1980-2003. Beberapa catatan umum yang dapat
ditarik dari Tabel 30 adalah:
• Jumlah artikel sangat terbatas dan hanya menyangkut topik pemupukan
• Ekosistem yang digunakan umumnya dataran tinggi dengan varietas yang
digunakan lokal maupun introduksi

32
Tabel 30 Topik, jumlah artikel, varietas, ekosistem dan hasil penelitian agronomi

No. Topik Juml Varietas Eko- Hasil


sistem
1. Pemupukan 4

Pengaruh dosis dan - Dt • Pemberian pupuk TSP 200 kg/ha


saat pemberian menghasilkan pertumbuhan dan
pupuk TSP produksi yang lebih tinggi
terhadap daripada dosis 50, 100 dan 150
pertumbuhan dan kg TSP/ha
hasil tanaman • Pemberian pupuk TSP pada
kacang buncis waktu tanam menghasilkan
tegak (Phaseolus pertumbuhan dan produksi yang
vulgaris L.) leb ih tinggi daripada pemberian
waktu umur 3 minggu

Pengaruh pupuk Tender Dt • Pupuk ZK tidak berpengaruh


kalium (ZK) Green, nyata terhadap peningkatan
terhadap Monel komponen hasil buncis
pertumbuhan dan • Varietas berpengaruh nyata
hasil dua varietas terhadap perbedaan
kacang buncis pertumbuhan dan hasil buncis
tegak
Pengaruh pupuk Lokal, Dt • Varietas berpengaruh terhadap
kalium (K) LBPH, perbedaan tinggi tanaman,
terhadap THP, TG, jumlah polong dan jumlah biji per
pertumbuhan dan FLO, RG tanaman
hasil beberapa • Pupuk kalium berpengaruh nyata
varietas buncis terhadap persentase hampa dan
(Phaseolus vulgaris jumlah biji per tanaman
L.)
• Jumlah biji tertinggi dihasilkan
oleh perlakuan 100 kg K2O/ha
pada varietas TPH

Pengaruh limbah lokal Dt • Campuran limbah sawit dengan


sawit dan pupuk pupuk kandang (3:1)
kandang terhadap menghasilkan pertumbuhan dan
pertumbuhan produksi tanaman buncis yang
buncis lebih tinggi daripada perlakuan
runggal limbah sawit, pupuk
kandang maupun campuran
keduanya dengan komposisi yang
berbeda

Sintesis Hasil Penelitian:

 Informasi mengenai budidaya kacang buncis masih sangat terbatas. Jumlah artikel
yang terkumpul hanya 4 buah dengan topik pemupukan
 Perlu penelitian agronomi yang menyangkut berbagai aspek/topik yang didesain
secara komprehensif dengan kajian yang akurat untuk mendapatkan
rekomendasi budidaya tanaman buncis yang tepat

33
Hama Penyakit

Penelitian hama-penyakit buncis, khususnya yang telah dipublikasikan dari 1980-


2004 sangat terbatas. Jumlahnya hanya 4 artikel dan hanya menyoroti masalah
penyakit saja. Hasil penelitian per topik dari tahun 1980 sampai dengan tahun 2004
adalah sebagai berikut.

1. Cercospora cenescens (bercak daun)

Kehilangan hasil
Serangan C. cercospora tidak mempengaruhi hasil polong segar, tetapi
menurunkan hasil biji kering sampai 33%.

2. Uromyces phaseoli

Tanaman resisten
• Persilangan antar kultivar Manoa Wonder X Lokal Bandung telah berhasil
menggabungkan sifat tahan dan meningkatkan keragaman gentik pada
populasi F2.
• Sifat ketahanan terhadap penyakit karat pada silangan kultivar “Manoa
Wonder X Lokal Bandung” ternyata dikendalikan oleh minimal dua buah
gendengan interaksi non-alelik dan bekerja secara dominasi resesif epistasis
sehingga pewarisannya tidak sederhana.

3. Bean Common Mozaik Virus (BCMV)

Kajian karakteristik visrus


• Bentuk virus berupa felamen berukuran 740-780 nm, mempunyai titik batas
pengenceran 10-3 – 10-4, dan titik batas pemanasan diatas 70%. Dengan
demikian virus ini tahan terhadap panas.
• Gejala mozaik pada tanaman buncis.
Dapat ditularkan melalui vektor Myzus persicae, biji dan secara mekanis.
Tanaman inangnya : kacang buncis, kacang panjang, kacang koro dan kacang
tanah.

Tabel 31 Jumlah artikel per topik, varietas dan ekosistem pada profil buncis

No Eko-
Topik Σ artikel Varietas Sumber
. sistem
A. PENYAKIT BUNCIS
1. Cercospora 1 Lokal Bandung DT Bull.Hort.Vol.VIII/3,1980.
Kehilangan hasil
2. Uromyces phaseoli 2 Lokal Bandung, DT (2) Bull.Hort.Vol.XIX/2, 1990.
Resistensi tanaman Manoa Wonder Bull.Hort.Vol.XXI/4, 1992.

3. Virus BCMV 1 DT Agrivita Vol. 17/2, 1994.


Kajian karakteristik

34
X. Kendala pengembangan dari sisi tekno-sosio-ekonomis

 Berdasarkan analisis data tahunan periode 1970 – 2003, pola pertumbuhan


buncis menunjukkan pola meningkat dengan faktor dominan pertumbuhan
produktivitas. Namun demikian, produktivitas buncis nasional periode 1999-
2003 yang hanya mencapai 7,59 sampai 10,71 ton per hektar, termasuk
masih rendah. Perlu menjadi pertimbangan bahwa dari sisi penelitian,
komoditas buncis tidak pernah menjadi komoditas prioritas, sehingga
penelitian yang berkaitan dengan perakitan teknologi komoditas tersebut
sangat terbatas.

 Salah satu dampak dari rendahnya produktivitas buncis di Indonesia adalah


relatif tingginya impor buncis untuk memenuhi kebutuhan konsumsi domestik.
Hal ini ditunjukkan oleh kuantitas impor kacang-kacangan pada Tahun 2003
sebesar 6 569,64 ton (buncis termasuk di dalamnya), atau devisa negara
yang dikeluarkan sebesar 1 663 659 juta US$.

 Walaupun buncis merupakan produk yang sudah cukup dikenal oleh


konsumen rumah tangga, tetapi variasi konsumsinya masih sangat terbatas.
Di tingkat rumah tangga digunakan sebagai bahan pada beberapa menu
makanan. Alternatif diversifikasi produk yang ditawarkan kepada konsumen
masih sangat kurang, padahal dilihat dari sifat komoditas serta kandungan
gizinya, buncis mempunyai peluang yang besar untuk diolah menjadi berbagai
produk baru. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab masih rendahnya
konsumsi buncis per kapita di Indonesia, terutama di daerah pedesaan.
Rendahnya konsumsi dan permintaan buncis tersebut juga menjadi salah satu
faktor pembatas pengembangan produksi buncis di Indonesia.

 Memasuki pasar bebas, tuntutan kualitas komoditas sayuran, termasuk


buncis, semakin tinggi. Untuk dapat diterima di pasar ekspor, maka buncis
dari Indonesia harus memenuhi standar kualitas Internasional, paling tidak
standar kualitas dari negara tujuan. Hal tersebut dapat dijadikan penghambat
non-tarif (non-tafiff barrier) oleh negara pengimpor, sehingga dapat dijadikan
praktek terselubung untuk melakukan pembatasan (proteksi) terhadap barang
impor. Sementara itu, Indonesia belum mempunyai standar kualitas untuk
komoditas buncis, sehingga hal tersebut dapat dijadikan tempat pembuangan
(dumping) bagi buncis yang tidak memenuhi persyaratan keamanan pangan.

 Berdasarkan analisis usahatani, biaya untuk input tenaga kerja sangat tinggi
(lebih 50 % dari total biaya produksi). Hal tersebut mengindikasikan
penggunaan teknologi budidaya di tingkat petani yang belum efisien. Ada dua
kemungkinan penyebab tidak efisiennya penggunaan tenaga kerja di tingkat
petani, yaitu (a) petani tidak mengaitkan jumlah tenaga kerja dengan tingkat
efisiensi tenaga kerja, dan/atau (b) teknologi yang digunakan oleh petani
menuntut penggunaan tenaga kerja dalam jumlah banyak. Perlu penelitian
lebih lanjut menyangkut efisiensi penggunaan tenaga kerja di tingkat
usahatani.

35
XI. Prospek, kebijakan dan strategi pengembangan

• Prospek pengembangan buncis masih cukup baik. Produktivitas masih dapat


ditingkatkan dengan menyediakan teknologi yang lebih sesuai dengan
permasalahan petani baik dari segi teknis, sosial maupun ekonomi. Teknologi
yang cukup mendesak adalah tersedianya varietas-varietas buncis yang
berdaya hasil tinggi serta berkualitas sesuai dengan selera konsumen, baik
konsumen domestik luar negeri. Tampaknya pasar ekspor untuk komoditas
buncis ini masih cukup terbuka, baik dalam bentuk segar, kering, beku atau
diversifikasi produk lainnya.

• Tingkat konsumsi buncis masih dapat ditingkatkan diantaranya dengan


diversifikasi produk olahan serta peningkatan kualitas buncis yang dipasarkan.
Meningkatnya konsumsi buncis secara tidak langsung dapat memotivasi
petani untuk meningkatkan produktivitasnya.

• Kebijakan penelitian buncis:


- Perakitan varietas buncis yang berdaya hasil tinggi dan mempunyai
kualitas yang sesuai dengan selera konsmen.
- Perbaikan teknologi budidaya seperti pemupukan dan pengelolaan
tanaman dengan penggunaan input seminimal mungkin. Selain itu perlu
juga diteliti mengenai teknologi budidaya dengan penggunaan tenaga
kerja yang lebih rendah, sebab penggunaan tenaga kerja di tingkat petani
sangat tinggi (> 50 % dari biaya produksi total).
- Pembuatan biopestisida.
- Perbaikan teknologi pasca panen mulai dari teknik panen, penyimpanan,
pengemasan sampai penelitian diversifikasi produk.

• Kebijakan non penelitian :


- Pemberian nomor SNI terhadap komoditas buncis seperti halnya telah
dilakukan pada komoditas sayuran lainnya. Hal ini sangat banyak manfaat-
nya, diantaranya untuk menghindari dumping yang dilakukan oleh negara-
negara pengekspor buncis (berkaitan dengan buncis yang berkualitas
rendah).
- Penataan kembali sistem pemasaran yang lebih baik, dengan
memperhatikan kepentingan petani. Dengan demikian, petani mempunyai
kesempatan yang lebih besar untuk memasuki pasar yang lebih bervariasi.
Di samping itu, pemerintah perlu memperbaiki sarana dan pra sarana
yang dapat menunjang kelancaran proses pemasaran.
- Penataan kelembagaan dan kebijakan yang diarahkan untuk memberikan
fasilitas kredit dengan mekanisme yang sederhana dan jelas. Sehingga
kredit yang disalurkan tepat waktu dan tepat sasaran.

36
Daftar Pustaka.

Adiyoga, W. 1996. Marjin tataniaga dan bagian petani untuk kentang, kubis dan
tomat di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Jurnal Hortikultura 7(3): 840-851.

Adiyoga., W. 1999. Pola pertumbuhan produksi beberapa jenis sayuran di


Indonesia. J. Hort 9(3) : 258 – 265.

Badan Pusat Statistik. 1999. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia ekspor.
Jilid II. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia.

--------------------------. 2000. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia ekspor.


Jilid II. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia.

--------------------------. 2001. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia ekspor.


Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia.

--------------------------. 2002. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia ekspor.


Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia.

--------------------------. 2003. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia ekspor.


Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia.

--------------------------. 1999. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia : impor.


Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia.

--------------------------. 2000. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia : impor.


Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia.

--------------------------. 2001. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia : impor.


Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta – Indonesia.

--------------------------. 2002. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia : impor.


Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia.

--------------------------. 2003. Statistik perdagangan luar negeri Indonesia : impor.


Jilid I. Badan Pusat Statistik, Jakarta-Indonesia.

--------------------------. 1993. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia


1993. Badan Pusat Statistik , Jakarta – Indonesia.

--------------------------. 1996. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia


1996. Buku I. Badan Pusat Statistik , Jakarta – Indonesia.

--------------------------. 1999. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia


1999. Buku I. Badan Pusat Statistik , Jakarta – Indonesia.

37
--------------------------. 2002. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia
2002. Buku I. Badan Pusat Statistik , Jakarta – Indonesia.

--------------------------. 2004. Pengeluaran untuk konsumsi penduduk Indonesia


2004. Badan Pusat Statistik , Jakarta – Indonesia.

Bisaliah, S. 1986. Soybean development in India: A methodological frame. In


CGPRT. Socio-economic research on food legumes and coarse grains:
Methodological issues. CGPRT No. 4. Bogor, Indonesia.

Cahyono., B. 2003. Kacang buncis : teknik budidaya dan analisis usahatani.


Penerbit PT Kanisius. Yogyakarta.

Colman, D & Young, T. 1989. Principles of agricultural economics: Markets and


prices in less developed countries. Cambridge University Press, Great Britain.

Dillon, J. L. & Hardaker, J. B. 1980. Farm management research for small farmer
development. Food and Agriculture Organization Agricultural Services Bulletin, Rome
FAO. 1998. Potato: Production, utilization and consumption.

Lionberger., H. F and P. H. Gwin. 1991. Technology transfer from fesearcher to


user. University of Missouri.

Rukmana., R. 1995. Bertanam buncis. Penerbit PT Kanisius. Yogyakarta.

Setianingsih., T dan Khaerodin. 2003. Pembudidayaan buncis tipe tegak dan


merambat. Penerbit Penebar Swadaya. Jakarta.

Soetiarso., T.A. 1995. Efisiensi penggunaan faktor produksi pada usahatani bawang
merah di Pacet, Bandung. Bul. Penelt. Hort. XXVII (3) : 59 – 65.

Soetiarso., T. A. 1997. Analisis usahatani dan pemasaran tomat dalam Teknologi


produksi tomat. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

• Pustaka penelitian agronomi buncis.

No Nama Penulis Tahun Judul Sumber


1. Aliudin 1993 Pengaruh pupuk kalium Bul. Penel.
(ZK) terhadap Hort. 24 (4):
pertumbuhan dan hasil dua 54-64
varietas kacang buncis
tegak
2. Aliudin dan E. Setyawati 1993 Pengaruh dosis dan saat Bul. Penel.
pemberian pupuk TSP Hort. 24 (4):
terhadap pertumbuhan dan 41-53
hasil tanaman kacang
buncis tegak (Phaseolus
vulgaris L.)

38
3. I. Dwiwarni dan R Asnawi 1998 Pengaruh limbah sawit dan J. Agrotropika
pupuk kandang terhadap vol. 3 No. 1,
pertumbuhan buncis 1998: 29-33
4. Z ainar Kari dan Yulinar Zubaidah 2002 Pengaruh pupuk kalium J. Stigma, vol.
(K) terhadap pertumbuhan 10 No. 3, 2002:
dan hasil beberapa varietas 225-232
buncis (Phaseolus vulgaris
L.)

• Pustaka penelitian hama–penyakit buncis.

No. Judul Penulis Publikasi/Th. Volume/Hal

PENYAKIT
A. Cercospora canescens
1. Taksiran kerugian hasil buncis oleh Suhardi Buletin Penelitian Vol. VII No. 6
penyakit-penyakit daun Hortikultura Hal : 15-18
Th. 1980

B. Uromyces phaseoli
1. Analisa pendugaan parameter Eri Sofiari Buletin Penelitian Vol. XIX No. 2
genetik sifat tahan penyakit karat Hortikultura Hal : 50-60
(Uromyces phaseoli) pada silangan Th. 1990
buncis (Phaseolus vulgaris).

2. Pola pewarisan sifat tahan Eri Sofiari Buletin Penelitian Vol. XXI No. 4
penyakit karat pada silangan Anggoro Hadi Hortikultura Hal : 62-75
buncis P. Th. 1992

C. BCMV
1. Kajian sifat penyebab penyakit Siti Rasminah Agrivita Vol. 17 No. 2
Mozaik pada tanaman kacang C. Th. 1994 Hal : 71-77
buncis (Phaseolus vulgaris L.). Yenni Liswani
Tuhing
Hadiastono

39

You might also like