You are on page 1of 81

PROFIL KOMODITAS KENTANG

Witono Adiyoga
Rachman Suherman
T. Agoes Soetiarso
Budi Jaya
Bagus Kukuh Udiarto
Rini Rosliani
Darkam Mussadad

BALAI PENELITIAN TANAMAN SAYURAN


PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
DEPARTEMEN PERTANIAN

2004
I. Pendahuluan

Kentang memiliki nama ilmiah Solanum tuberosum. Dalam dunia tumbuhan, kentang diklasifikasikan
sebagai berikut:
a. Divisi : Spermatophyta
b. Subdivisi : Angiospermae
c. Kelas : Dicotyledonae
d. Famili : Solanaceae
e. Genus : Solanum
f. Species : Solanun tuberosum L.
Genus “Solanum” memiliki lebih dari 2000 spesies, dengan 160-180 spesies diantaranya merupakan
tanaman umbi dan hanya 8 spesies yang dibudidayakan sebagai tanaman pangan.
Kentang merupakan tanaman native daerah pengunungan Andes di Amerika Selatan. Tanaman ini
diperkirakan telah dibudidayakan sejak tahun 500 SM. Penjelajah Spanyol memperkenalkan tanaman
ini ke Eropa dan berdasarkan catatan yang ada, kentang mulai dibudidayakan sebagai tanaman
pangan sejak tahun 1570. Catatan lain menunjukkan bahwa kentang dikenal di Irlandia pada tahun
1663 dan mulai ditanam secara luas menjadi tanaman/komoditas nasional. Pada tahun 1846-1847,
kentang di Irlandia (Irish potato) musnah oleh late blight dan mengakibatkan bencana kelaparan yang
menimbulkan korban jutaan orang. Sementara itu, kentang mulai popular di Amerika Utara pada akhir
abad 18.
Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu tanaman yang paling efisien dalam
mengkonversikan sumberdaya alam, tenaga kerja dan modal menjadi bahan pangan berkualitas tinggi.
Tanaman ini bahkan dapat menghasilkan bahan pangan yang lebih bergizi, secara lebih cepat pada
lahan yang lebih sempit serta kondisi iklim lebih keras, dibandingkan dengan tanaman pangan utama
lainnya (Horton, 1981). Di negara-negara berkembang dan beriklim tropis, kentang lebih berfungsi
sebagai sumber protein berkualitas tinggi dibandingkan sebagai sumber enerji, karena harus bersaing
dengan tanaman pangan lain yang merupakan bahan makanan pokok (misalnya padi). Sebagai salah
satu jenis sayuran, kentang memiliki kandungan ascorbic acid, thiamin, niacin, pyridoxine dan
pantothenis acid yang setara dengan jenis sayuran lainnya (Woolfe, 1987).

II. Area, produksi dan produktivitas

Berdasarkan karakteristik potensi hasil dan nilai gizi yang tinggi, kentang adalah tanaman terpenting
nomor empat di dunia setelah gandum, padi dan jagung. Data terakhir dari FAO (2002) menunjukkan
bahwa produksi kentang dunia pada tahun 2002 mencapai 311 juta ton dan diusahakan pada luasan
lahan sekitar 19 juta hektar (Tabel 1). Perkembangan terakhir juga menunjukkan bahwa China adalah
negara produsen kentang terbesar di dunia dengan kontribusi sekitar 21%, diikuti oleh Rusia Federasi
dengan kontribusi sekitar 10%. Kentang merupakan tanaman non-sereal terpenting di dunia dan 35%
dari produksi total dunia berasal dari negara-negara berkembang. Komoditas ini merupakan makanan
pokok bagi lebih kurang 500 juta konsumen di dunia dan diperkirakan peranannya dalam menu
makanan harian penduduk miskin akan semakin meningkat (CIP, 2000).

Sejak tahun 90-an, produksi kentang di negara-negara berkembang memasuki fase baru dengan ciri-
ciri tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi dan semakin meningkat. Pada tahun 1993, produksi
kentang total telah melewati 94 juta ton, dibandingkan dengan 30 juta ton yang dicapai pada awal
tahun 60-an. Pada tahun 2020, produksi kentang di negara berkembang diproyeksikan mencapai 194
juta ton. Rata-rata tingkat pertumbuhan produksi kentang di negara berkembang selama periode 1993-
2020 diperkirakan mencapai 2,71% per tahun.

1
Tabel 1 Areal panen, produksi dan produktivitas kentang dunia serta lima negara penghasil terbesar
1998 1999 2000 2001 2002
Dunia A (ha) 18 838 439 19.663 237 20 080 053 19 654 138 19 287 909
P (t) 300 750 210 300 912 662 329 024 643 312 435 128 311 359 672
Y (t/ha) 15,96 15,30 16,39 15,90 16,14
China A (ha) 4 064 030 4 420 703 4 725 366 4 720 527 4 671 667
P (t) 64 618 163 56 141 097 66 325 167 64 596 119 66 573 331
Y (t/ha) 15,90 12,70 14,04 13,68 14,25
Russian Fed. A (ha) 3 235 600 3 226 700 3 229 060 3 216 200 3 198 110
P (t) 31 418 370 31 343 850 33 979 460 34 965 160 32 870 840
Y (t/ha) 9,71 9,71 10,52 10,87 10,28
India A (ha) 1 206 000 1 320 500 1 340 000 1 211 300 1 410 000
P (t) 17 648 100 23 610 700 24 713 200 22 488 400 24 082 000
Y (t/ha) 14,63 17,88 18,44 18,57 17,08
USA A (ha) 561 600 539 210 545 520 494 610 514 080
P (t) 21 580 600 21 691 500 23 297 460 19 862 270 20 856 270
Y (t/ha) 38,43 40,23 42,71 40,16 40,57
Ukraine A (ha) 1 513 200 1 551 100 1 631 000 1 605 000 1 600 000
P (t) 15 405 000 12 723 000 19 838 100 17 344 000 16 619 500
Y (t/ha) 10,18 8,20 12,16 10,81 10,39
Sumber: FAOSTAT

Tingkat pertumbuhan ini jauh melebihi rata-rata tingkat pertumbuhan kentang dunia dan negara maju
yang masing-masing diproyeksikan sebesar 1,29% dan 0,34% per tahun. Data menunjukkan bahwa
pertumbuhan produksi kentang terus meningkat, bahkan melebihi peningkatan pertumbuhan tanaman
pangan utama lainnya. Hal ini memberikan indikasi semakin meningkatnya kepentingan relatif kentang
diantara komoditas pangan lain, khususnya di Asia (CIP, 1998).

Tabel 2 Produksi, proyeksi dan tingkat pertumbuhan kentang 1993-2020


Negara Produksi Tingkat Pertumbuhan
1993 2020 1993-2020
(juta ton) (juta ton) (%/year)
China 42,5 87,8 2,,72
Negara-negara Asia Timur lainnya 2,4 3,3 1,18
India 16,3 43,3 3,67
Negara-negara Asia Selatan lainnya 3,5 7,7 2,98
Asia Tenggara 1,3 2,3 2,08
Amerika Latin 12,6 20,2 1,76
Asia Barat dan Afrika Utara 13,0 23,4 2,21
Sub-Sahara Afrika 2,6 6,0 3,06
Negara berkembang 94,3 194,0 2,71
Negara maju 191,0 209,5 0,34
Dunia 285,3 403,5 1,29
Sumber: Scott, Rosegrant and Ringler (2000)

2
Beberapa hal berkaitan dengan ekonomi pembangunan yang diperkirakan berpengaruh terhadap
produksi dan konsumsi kentang adalah: (i) peningkatan pendapatan per kapita, (ii) urbanisasi, (iii)
perbaikan sarana transportasi, dan (iv) penurunan harga relatif input/masukan produksi (Horton, 1987).
Dalam konteks pembangunan ekonomi, hal-hal tersebut secara intrinsik erat kaitannya dengan
ekspansi dan integrasi pasar. Sebenarnya hampir tidak mungkin untuk memprediksi secara akurat
pengaruh pembangunan ekonomi terhadap produksi kentang. Namun demikian, ada beberapa hal
penting yang masih dapat digeneralisasi. Jika terjadi ekspansi pasar, pembelian input yang bersifat
meningkatkan hasil (yield-increasing inputs), misalnya pupuk dan pestisida, akan tetap memberikan
keuntungan bagi usahatani. Ekspansi pasar juga membuka kemungkinan untuk spesialisasi produksi.
Fenomena ini akan diikuti oleh meningkatnya jumlah petani kecil yang mengusahakan kentang secara
padat-input (input-intensive) untuk dijual ke pasar. Di negara berkembang seperti Indonesia, jika
produksi kentang dibatasi oleh kendala-kendala: kondisi pertumbuhan yang kurang cocok, teknologi
yang tidak tepat-guna, harga input mahal, dan kecilnya peluang pasar, maka proses atau aktivitas
pembangunan ekonomi diharapkan dapat menekan biaya produksi serta menstimulasi produksi dan
konsumsi kentang. Generalisasi lainnya adalah pertumbuhan penduduk pedesaan yang meng-
akibatkan semakin sempitnya luas lahan garapan serta semakin tingginya harga tanah, cenderung
dapat menstimulasi pengusahaan tanaman-tanaman berpotensi daya hasil tinggi (high-yielding crops) -
- salah satu diantaranya adalah kentang.

Selama periode 1995-2002, luas areal panen kentang di Indonesia berfluktuasi cukup tajam, yaitu
antara 50,189 hektar pada tahun 1997 dan 73,068 hektar pada tahun 2000. Sementara itu,
produktivitas kentang pada periode waktu yang sama juga menunjukkan fluktuasi dengan kisaran yang
cukup lebar, yaitu terendah pada tahun 2000 sebesar 13,4 ton/ha dan tertinggi pada tahun 2002
sebesar 21,1 ton/ha. Dengan demikian, produksi kentang tahunan di Indonesia cenderung bervariasi
dengan catatan terendah pada tahun 1997 sebesar 0,81 juta ton, dan tertinggi pada tahun 2002
sebesar 1,32 juta ton.

Table 3 Produksi kentang di Indonesia, 1995-2002

Tahun Luas Panen (ha) Produksi (t) Produktivitas (t/ha)


1995 62,388 1,035,259 16.6
1996 69,946 1,109,560 15.9
1997 50,189 813,368 16.2
1998 65,047 998,032 15.4
1999 62,776 924,058 14.7
2000 73,068 977,349 13.4
2001 55,971 831,140 14.9
2002 62,545 1,321,117 21.1

Sumber: Survei Pertanian, BPS (berbagai tahun)

Secara agregat, produktivitas kentang di Indonesia selama periode 1995-2002 mencapai rata-rata
16,025 t/ha. Untuk periode yang sama, pencapaian ini ternyata setara dengan produktivitas rata-rata
kentang dunia (148 negara), yaitu 16 t/ha. Sementara itu, produktivitas rata-rata kentang di negara-
negara maju telah mencapai 17 t/ha, sedangkan rata-rata di negara-negara berkembang telah
mencapai 14 t/ha (CIP, 1998). Dibandingkan dengan 20 jenis tanaman pangan yang biasa diproduksi
dan dikonsumsi, urutan kepentingan kentang di dunia, negara-negara maju, negara-negara
berkembang dan Indonesia masing-masing menempati posisi ke 4, 4, 6 dan 8.

3
Berkaitan erat dengan tingkat adaptabilitasnya, pertanaman kentang di Indonesia tersebar terutama di
daerah dataran tinggi. Berdasarkan data produksi dan areal tanam, pertanaman kentang tercatat di 18
propinsi, kecuali Riau, DKI Jaya, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Tenggara. Tabel 4 menunjukkan perkembangan
areal tanam dan produksi di beberapa propinsi penting penghasil kentang, serta data agregatnya. Tiga
sentra produksi kentang utama di Indonesia berturut-turut adalah Jawa Barat, Sumatera Utara dan
Jawa Tengah. Ketiga sentra produksi tersebut menyumbang 75% dari total areal panen dan 82% dari
Tabel 4 Areal tanam (ha), produksi (ton) dan produktivitas (ton/ha) kentang di beberapa propinsi penting penghasil kentang
di Indonesia, 1998-2002
Propinsi 1998 1999 2000 2001 2002
Aceh Area (ha) 210 561 336 425 93
Prod (t) 4,538 5,960 4,599 6,130 2,170
Prvt (t/ha) 21.61 10.62 13.69 14.40 23.00
Sumatera Utara Area (ha) 16,627 13,325 15,275 12,093 16,910
Prod (t) 247,333 192,574 215,981 207,918 317,962
Prvt (t/ha) 14.88 14.45 14.14 17.20 18.80
Sumatera Barat Area (ha) 1,313 1,475 1,404 972 1,156
Prod (t) 16,818 20,479 21,213 10,822 26,578
Prvt (t/ha) 12.10 13.80 15.11 11.10 23.00
Jambi Area (ha) 2,186 1,874 2,630 2,127 1,527
Prod (t) 37,345 34,341 41,754 36,959 24,676
Prvt (t/ha) 17.08 18.33 15.87 17.40 16.20
Jawa Barat Area (ha) 21,078 22,998 27,778 23,045 22,822
Prod (t) 394,403 410,483 462,800 385,618 610,626
Prvt (t/ha) 18.71 17.85 16.66 16.70 26.80
Jawa Tengah Area (ha) 11,894 11,576 7,176 5,932 7,395
Prod (t) 179,542 148,806 86,424 76,926 128,305
Prvt (t/ha) 15.09 12.86 12.04 13.00 17.40
Jawa Timur Area (ha) 7,071 6,796 7,551 6,331 7,214
Prod (t) 80,423 71,548 81,372 72,926 124,196
Prvt (t/ha) 11.37 10.53 10.78 11.40 17.20
Sulawesi Selatan Area (ha) 2,403 1,739 3,182 2,303 1,268
Prod (t) 21,886 20,381 32,720 10,351 22,726
Prvt (t/ha) 9.11 11.72 10.28 14.50 17.90
Sulawesi Utara Area (ha) 629 346 5,795 1,579 2,278
Prod (t) 5,539 2,698 15,974 12,362 48,338
Prvt (t/ha) 8.81 7.80 2.76 7.80 21.20
Total Area (ha) 63,441 60,690 71,127 54,807 60,570
Prod (t) 987,827 907,270 921,083 820,012 1,305,577
Prvt (t/ha) 14.39 13.12 12.37 12.61 20.17
Lainnya Area (ha) 1,636 2,086 1,941 1,164 1,975
Prod (t) 10,205 16,788 56,266 11,128 15,540
Prvt (t/ha) 6.19 7.30 9.34 11.23 7.87
Indonesia Area (ha) 65,047 62,776 73,068 55,971 62,545
Prod (t) 998,032 924,058 977,349 831,140 1,321,117
Prvt (t/ha) 15.34 14.72 13.38 14.80 14.90
Sumber: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan dan Hortikultura

4
produksi total tahun 2002. Kelompok sentra berikutnya adalah Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Jawa
Timur, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan yang memberikan kontribusi 21% dari total areal panen
dan 19% dari total produksi pada tahun 2002. Walaupun dikembangkan pada agroekosistem yang
relatif sama, produktivitas yang dicapai oleh setiap propinsi ternyata cukup beragam. Hal ini
mengindikasikan adanya perbedaan intensitas pengelolaan antar sentra produksi yang biasanya
tercermin dari perbedaan kualitas dan/atau kuantitas masukan yang digunakan.

Setelah program penelitian dan pengembangan kentang secara formal berlangsung selama hampir 20
tahun, pertanyaan menyangkut status perkembangan produksi kentang sampai sejauh ini merupakan
suatu hal yang perlu mendapat klarifikasi. Indikator penting yang dapat digunakan untuk menjelaskan
status perkembangan tersebut adalah kecepatan serta pola pertumbuhan produksi yang diperagakan
oleh usahatani kentang. Disamping dapat menggambarkan tingkat pertumbuhan yang bersifat konstan,
menurun atau meningkat, indikator ini juga dapat mengidentifikasi sumber atau faktor dominan penentu
pertumbuhan -- peningkatan areal tanam, peningkatan hasil/produktivitas atau kombinasi peningkatan
keduanya. Lebih jauh lagi, indikator tersebut dapat pula mengidentifikasi komponen-komponen serta
sumber ketidak-stabilan produksi (Hazell, 1984).

Analisis data tahunan produksi dan areal tanam kentang mencakup periode waktu 1969-2002
menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan rata-rata produksi kentang di Indonesia adalah 4,35%
dengan pola pertumbuhan produksi yang bersifat meningkat dari tahun ke tahun. Tingkat pertumbuhan
produksi rata-rata kentang pada dasarnya dapat dipilah ke dalam pertumbuhan yang disebabkan oleh
peningkatan areal tanam dan peningkatan produktivitas. Kontribusi peningkatan dari komponen areal
tanam dan produktivitas terhadap pertumbuhan produksi kentang secara berturut-turut adalah 2,89%
dan 1,46%. Dengan demikian, sumber dominan yang menyebabkan peningkatan produksi kentang
selama periode 1969-2002 adalah peningkatan areal tanam. Lebih jauh lagi, keragaman areal tanam
menunjukkan kontribusi yang lebih tinggi terhadap ketidak-stabilan produksi sayuran secara umum,
dibandingkan dengan keragaman produktivitas.

Pola pertumbuhan produksi yang didominasi oleh peningkatan areal tanam (kontribusi areal tanam
lebih besar dibandingkan dengan kontribusi produktivitas), mengandung beberapa implikasi sebagai
berikut: (a) strategi dan kegiatan/usaha yang berhubungan dengan inovasi teknologi/penelitian yang
ada belum dapat memacu pola pertumbuhan produksi berbasis peningkatan produktivitas, atau
program penyuluhan belum berjalan secara optimal, terutama dikaitkan dengan proses alih teknologi di
tingkat petani, dan (b) peningkatan produksi dimungkinkan oleh adanya insentif akibat kebijakan
pemerintah yang berasal dari subsidi terhadap harga masukan dan luaran, maupun penyediaan
infrastruktur pemasaran yang ditujukan agar kebijakan harga tersebut secara operasional berjalan
efektif, sehingga memungkinkan adanya kestabilan profitabilitas relatif dari komoditas yang diusahakan
(Bisaliah, 1986).

Indikator-indikator yang diperoleh dari hasil analisis, memberikan gambaran perlunya strategi
pendekatan pengembangan yang lebih memberikan penekanan pada peningkatan akselerasi
pertumbuhan produksi kentang berbasis peningkatan produktivitas atau inovasi teknologi. Sementara
itu, variabilitas areal tanam menunjukkan kontribusi yang lebih tinggi terhadap ketidak-stabilan produksi
kentang selama periode 1969-2002, dibandingkan dengan variabilitas produktivitas. Hal ini
mengindikasikan masih dominannya pengaruh berbagai faktor, misalnya profitabilitas kentang relatif
terhadap komoditas sayuran lain, kendala ketersediaan lahan siap tanam secara kontinyu, kendala
musim (iklim dan cuaca), dan respon produsen terhadap harga kentang yang bersifat fluktuatif,
terhadap realisasi areal tanam.

5
III. Konsumsi dan jenis pemanfaatan

Konsumsi kentang sebagai bahan pangan berkembang cukup cepat, terutama di Asia, walaupun masih
lebih kecil dari 20 kg/kapita/tahun dan terhitung sedang dibandingkan dengan konsumsi kentang di
negara-negara maju. Bersamaan dengan peningkatan pendapatan, konsumen cenderung melakukan
diversifikasi menu makanan dari dominasi serealia bergeser ke komposisi pangan yang mengandung
lebih banyak sayuran, termasuk kentang. Pertumbuhan konsumsi kentang olahan juga membuka
kesempatan perluasan produksi kentang. Di India, Asia Barat, Afrika Utara dan Amerika Latin, berbagai
faktor seperti urbanisasi, peningkatan pendapatan, turisme, partisipasi wanita dalam ketenaga-kerjaan
dan skim iklan yang dilakukan oleh perusahaan multinasional cepat saji, akan meningkatkan konsumsi
kentang secara relatif cepat.

Tabel 5 Pemanfaatan dan konsumsi kentang per kapita di berbagai negara/wilayah

Negara/Wilayah Pemanfaatan (000 t) Konsumsi/kapita (kg)


Pangan Pakan
1983 1996 1983 1996 1983 1996
China 10,5 19,4 7,7 14,5 10 16
Asia Timur lainnya 0,8 0,9 0,2 0,1 13 12
India 7,6 14,9 na na 10 16
Asia Selatan lainnya 1,8 3,1 …. …. 8 10
Asia Tenggara 0,7 1,6 …. …. 2 3
Amerika Latin 8,4 11,2 0,4 0,4 24 25
Asia Barat dan Amerika Utara 6,8 11,6 0,1 0,1 28 34
Afrika Sub-Sahara 1,8 1,9 …. …. 5 4
Negara berkembang 38,8 65,1 8,5 15,3 11 15
Negara maju 89,6 96,1 55,5 39,6 75 75
Dunia 128,4 161,2 64,0 54,9 28 28
Sumber: FAO (1999), na = data tidak tersedia, …. = nilai sangat kecil.

Di negara-negara berkembang, kentang tidak lajim digunakan sebagai pakan ternak, kecuali dalam
kuantitas sangat kecil untuk kentang yang unmarketable. Namun demikian, di beberapa propinsi di
Cina, sebagian besar dari produksi kentang masih digunakan untuk pakan ternak, karena penawaran
yang berlebih, harga murah serta isolasi geografis dari pasar domestik dan global. Di luar Cina,
kemungkinan penggunaan kentang sebagai pakan ternak di waktu yang akan datang cenderung kecil.
Jika harga kentang menurun cukup signifikan, peningkatan konsumsi kentang sebagai bahan makanan
dalam bentuk segar maupun olahan tidak diragukan akan terjadi lebih dahulu, sebelum terjadi ekspansi
penggunaannya sebagai pakan ternak.

Pasar global untuk tepung/pati kentang masih berada pada keadaan transisi. Produk ini merupakan
salah satu komoditas ekspor negara-negara Eropa ke negara berkembang. Namun demikian, Uni
Eropa berencana untuk mencabut subsidi produksi tepung/pati kentang, sehingga profitabilitas ekspor
produk ini dalam jangka panjang diperkirakan akan semakin menurun. Produksi tepung/pati kentang di
negara berkembang sebagian besar terpusat di Cina serta sebagian keci di wilayah Andean dan Asia
Selatan. Pasar tepung/pati kentang di negara berkembang relatif sangat terbatas dan diperkirakan
industri tingkat rumah tangga untuk produk tersebut akan semakin menurun kepentingannya.

6
Beberapa penelitian di negara berkembang mengindikasikan adanya hubungan positif antara
pendapatan dan konsumsi kentang. Pada tingkat pendapatan per kapita yang relatif rendah, konsumsi
kentang ternyata masih jauh dari titik saturasi. Dengan demikian, sejalan dengan peningkatan
pendapatan, konsumsi kentang di negara-negara berkembang juga akan semakin meningkat.
Disamping pendapatan per kapita, pertumbuhan konsumsi kentang per kapita juga dipengaruhi oleh
harga relatif dan ketersediaan bahan substitusi. Tingkat pertumbuhan ini juga merupakan fungsi dari
selera, preferensi serta berbagai faktor demografis dan kultural.

Di negara maju, kentang secara tipikal dianggap sebagai komoditas murah yang merupakan bahan
baku pati/tepung, sedangkan di negara berkembang cenderung dikategorikan sebagai sayuran mahal
dan terkadang mewah. Sejalan dengan membaiknya perekonomian di Asia serta meningkatnya
pendapatan pada beberapa dekade terakhir, konsumen semakin terdorong untuk melakukan
diversifikasi pangan dan peningkatan konsumsi kentang termasuk di dalam upaya tersebut. Hal ini
mengakibatkan terjadinya perluasan produksi kentang di beberapa negara Asia sepanjang tahun 1960
dan 1970’an yang mendorong turunnya harga relatif terhadap serealia dan memicu peningkatan
konsumsi kentang (Horton, 1987). Sementara itu, di negara lain, misalnya Bolivia, perubahan harga
relatif telah mengakibatkan semakin mahalnya harga kentang dan menghambat timbulnya peningkatan
konsumsi kentang (Thiele et al., 1999).

Konsumsi kentang per kapita dunia diperkirakan meningkat dari 28 kg/kapita/tahun pada tahun 1996
menjadi 38 kg/kapita/tahun pada tahun 2001. Sementara itu, konsumsi kentang di negara-negara
berkembang meningkat cukup tajam, yaitu dari 11 kg/kapita/tahun pada tahun 1983 menjadi 15
kg/kapita/tahun pada tahun 1996 (FAO, 1998). Tingkat konsumsi tersebut ternyata masih jauh lebih
rendah dibandingkan dengan konsumsi kentang di negara-negara maju yang mencapai 75
kg/kapita/tahun. Di Asia, konsumsi kentang meningkat sebesar 16%, yaitu dari 12 kg/kapita/tahun pada
periode 1991-1992 menjadi 14 kg/kapita/tahun pada periode 1994-1996.

Sementara itu, konsumsi kentang di Indonesia juga menunjukkan peningkatan yang cukup pesat dari
tahun ke tahun. Kentang biasanya dikonsumsi sebagai sayuran dalam bentuk berbagai jenis menu
masakan. Namun demikian, selama kurun waktu 5-10 tahun terakhir, konsumsi kentang dalam bentuk
produk hasil proses (chips dan french fries) juga menunjukkan peningkatan. Ferrari (1994)
memproyeksikan bahwa konsumsi kentang yang pada tahun 1978 baru mencapai 1,040 kg/kapita akan
meningkat dua kali lipat pada tahun 2000’an. Peningkatan konsumsi ini terlihat cukup signifikan untuk
segmen konsumen di daerah perkotaan dengan tingkat pendapatan kelas menengah ke atas.

Berdasarkan data SUSENAS (Survey Sosial Ekonomi Nasional), konsumsi kentang total di Indonesia
dilaporkan berturut-turut sebesar 250 557 ton, 299 344 ton, 374 488 ton, 351 067 ton dan 204 452 ton,
masing-masing pada tahun 1987, 1990, 1993, 1996 dan 1999. Rata-rata tahunan konsumsi kentang
per kapita di Indonesia diperlihatkan pada Tabel 6.

Tabel 6 Konsumsi kentang di perkotaan dan pedesaan Indonesia (kg/kapita/tahun)


Tahun Perkotaan Pedesaan Total
1987 2,65 1,04 1,46
1990 2,50 1,25 1,66
1993 2,76 1,61 1,98
1996 2,61 1,36 1,77
1999 1,51 0,62 0,99
2002 2,44 1,25 1,77

7
Tingkat rata-rata konsumsi kentang cenderung lebih tinggi di daerah perkotaan dibandingkan dengan
daerah pedesaan. Tingkat konsumsi kentang ini juga menunjukkan peningkatan sejalan dengan
peningkatan tingkat pengeluaran seperti diperlihatkan pada Tabel 7.

Table 7 Konsumsi kentang di perkotaan dan pedesaan berdasarkan tingkat pengeluaran

Tahun Perkotaan Pedesaan Total


Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi Rendah Sedang Tinggi
1987 0.00 2,03 6,00 0,05 1,67 5,53 0,05 1,77 5,89
1990 0,16 2,14 6,41 0,37 2,09 7,25 0,37 2,09 6,52
1993 1,10 2,45 6,00 0,31 2,24 6,52 0,31 2,35 6,10
1996 0,52 2,09 5,79 0,21 2,03 4,64 0,21 2,09 5,63
1999 0,16 0,89 3,81 0,10 0,78 3,23 0,10 0,83 3,70
Sumber: SUSENAS, BPS (berbagi tahun)

Keterangan:
o Tingkat pengeluaran kelas rendah adalah sebesar Rp. 6 000 – 7 999 untuk 1987, Rp. 8 000 – 9 999 untuk 1990, Rp. 10 000 – 14 999 untuk 1993,
Rp. 15 000 – 19 999 untuk 1996 dan Rp. 40 000 – 59 999 untuk 1999;
o Tingkat pengeluaran kelas sedang/menengah adalah sebesar Rp. 20 000 – 29 999 untuk 1987, Rp. 30000 – 39 999 untuk 1990, Rp. 40 000 – 59
999 untuk 1993, Rp. 60 000 – 79 999 untuk 1996 dan Rp. 100 000 – 149 999 untuk 1999;
o Tingkat pengeluaran kelas tinggi adalah sebesar Rp. 80 000 – 99 999 untuk 1987, Rp. 100 000 – 149 999 untuk 1990, Rp. 150 000 – 199 999 untuk
1993, Rp. 200 000 – 299 999 untuk 1996 dan Rp. 300 000 – 499 999 untuk 1999.

Konsumsi kentang domestik dihitung dengan menambahkan kuantitas impor dan mengurangkan
kuantitas ekspor ke kuantitas produksi total (termasuk stok benih petani). Tabel 8 menunjukkan
adaanya pertumbuhan konsumsi domestik sebesar 7,26% per tahun dalam periode waktu 1998-2002.

Tabel 8 Konsumsi domestik tahunan di Indonesia (ton)

Tahun Produksi Ekspor Impor Konsumsi domestik

1998 998 032 30 228 5 715 973 519


1999 924058 33 103 6 791 897 746
2000 977 349 30 231 10 077 957 195
2001 831 140 31 343 8 158 807 955
2002 1 321 117 31 100 7 200 1 297 217
Source : BPS (berbagai tahun)

IV. Pemasaran, perdagangan dan standardisasi

Pemasaran kentang pada dasarnya merupakan institusionalisasi pelayanan untuk menjem-batani


berpindahnya kentang segar dari sisi produksi ke sisi konsumsi. Hampir seluruh sektor pemasaran
kentang ditangani oleh pihak swasta dan intervensi pemerintah dalam hal ini relatif minimal, khusus
terbatas pada penyediaan infrastruktur. Oleh karena itu, pasar kentang seringkali dianggap beroperasi
berdasarkan kekuatan penawaran dan permintaan. Secara umum, menurut Horton (1980) berbagai
masalah yang ditemui pada pemasaran kentang berawal dari: (a) karakteristik produsen (skala besar
vs. skala kecil dalam kaitannya dengan volume penjualan), (b) karakteristik tanaman (cepat rusak), (c)
pola permintaan (musiman), dan (d) kompleksitas sistem pemasaran (aliran informasi yang buruk,
ketidak-cukupan fasilitas fisik, dan kapasitas finansial pelaku pasar).

8
Berdasarkan volume kentang yang diproduksi, produsen besar biasanya dapat mengatur waktu penjualan
untuk meminimalkan risiko harga. Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya petani besar memiliki
gudang atau memiliki kapasitas finansial untuk menyewa gudang. Melalui penerapan strategi pemasaran
seperti ini, petani bersangkutan dapat mengurangi dampak risiko harga penjualan hasil panen. Partisipasi
di pasar kentang dalam periode waktu yang cukup panjang juga memantapkan petani besar sebagai
pemasok kentang komersial yang dapat diandalkan. Sementara itu, petani kecil dengan volume penjualan
yang relatif rendah hanya mampu berpartisipasi di pasar kentang dalam periode waktu yang jauh lebih
singkat. Sebagai konsekuensi dari kondisi ini, petani kecil biasanya lebih rentan terhadap pergerakan
harga kentang jangka pendek.

Sebelum menjual hasil panennya, petani biasa melakukan sortasi (memisahkan/memilih kentang yang
marketable dan non-marketable) dan grading (pada umumnya berdasarkan ukuran kentang). Petani
biasanya menunjukkan contoh/sampel berupa kentang yang telah di grading kepada pembeli prospektif.
Jika transaksi terjadi di kebun, kesepakatan antara penjual dan pembeli akan menentukan siapa yang
akan membiayai kegiatan sortasi dan grading. Di Pangalengan, kegiatan ini biasa dilakukan oleh tenaga
sewa dengan biaya Rp. 5 - Rp. 10 per kg. Tabel 9 menunjukkan sistem pengkelasan kentang lokal di
Pangalengan serta perbedaan harga antar kelas. Namun, data kuantitatif yang tersedia ternyata tidak
cukup untuk mengkonfirmasi bahwa perbedaan harga antar kelas merupakan akibat dari tingkat
permintaan dan penawaran dari berbagai kelas tersebut. Dengan demikian, generalisasi hubungan harga
antar kelas, sukar untuk ditetapkan, karena terlalu banyaknya kemungkinan kombinasi perubahan
penawaran dan permintaan berdasarkan pengkelasan ini. Terlepas dari hal tersebut, sebagian besar
petani dan pedagang mengindikasikan bahwa perbedaan harga antar kelas secara proporsional
meningkat/menurun sejalan dengan peningkatan/penurunan harga kentang.

Tabel 9 Grade kentang serta harga masing-masing kelas di Pangalengan, Pebruari 2004

Class Number of tuber/kg Price/kg (Rp)


AL 2-5 1 800 – 2 000
AB 6-8 1 600 – 1 750
ABC 10 - 12 1 300 – 1 600
D/TO 20 - 30 900 – 1 000
ARES > 30 750 – 850
Sumber: Data primer

Kentang yang baru saja dibeli oleh pedagang pengumpul dari petani, mungkin saja tidak dapat dijual ke
pasar pada hari yang sama. Jika hal ini terjadi, kentang biasanya disimpan di gudang selama 1 – 3 hari,
bahkan mungkin agak lebih lama, seandainya harga kentang secara ekstrim terlalu rendah. Biaya
penyimpanan (bongkar/muat, angkut dan pemeliharaan kentang di gudang) yang ditanggung oleh
pedagang pengumpul berkisar antara Rp. 15 - Rp. 25 per kg. Pedagang mengindikasikan bahwa
penjualan langsung ke pasar merupakan hal yang paling diinginkan, karena relatif tingginya biaya
penyimpanan dan ketersediaan gudang yang relatif terbatas. Lebih jauh lagi, para pedagang juga
mengindikasikan bahwa fluktuasi harga musiman tidak selalu dapat menutupi biaya penyimpanan.

Beberapa tipe saluran pemasaran yang menggerakkan kentang dari sentra produksi ke daerah
konsumsi adalah sebagai berikut:

1. Produsen -- Pedagang pengumpul -- Pedagang antar daerah -- Pedagang besar -- Pedagang


pengecer -- Konsumen
2. Produsen -- Pedagang pengumpul -- Pedagang besar -- Pedagang pengecer -- Konsumen

9
3. Produsen -- Pedagang pengumpul skala kecil atau komisioner -- Pedagang pengumpul --
Pedagang besar -- Pedagang pengecer -- Konsumen
4. Produsen -- Pedagang kontrak -- Pedagang pengumpul -- Pedagang pengecer -- Konsumen

Observasi lapang menunjukkan bahwa saluran pertama dan kedua menyerap sekitar 80% dari
pasokan total kentang, sedangkan 20% sisanya atau mungkin lebih kecil lagi, diserap oleh saluran
alternatif ketiga dan keempat (Adiyoga, et al., 1999b). Berbagai saluran pemasaran yang terjadi di
salah satu sentra produksi, misalnya Pangalengan, menunjukkan peran dominan pedagang pengumpul
dalam menjembatani produsen dan konsumen. Volume kentang yang dikumpulkan dan diangkut oleh
pedagang jenis ini berkisar antara 5 – 25 ton per hari. Secara total, diperkirakan 15 - 50 ton (minimal)
sampai 75 - 150 ton (maksimal) kentang dipasok dari Pangalengan setiap hari ke pasar-pasar di daerah
perkotaan. Kentang dari Pangalengan sebagian besar dipasarkan ke Jakarta (pusat konsumsi utama) dan
beberapa kota besar lain, misalnya Bandung, Sukabumi, Bogor, dan Cirebon. Penjualan kentang dari
Pangalengan mencapai puncaknya antara bulan Januari dan Maret, kemudian agak berkurang antara
bulan Juli dan Oktober.

Oleh karena jenis kentang yang dominan hanya berasal dari varietas Granola, harga kentang di tingkat
petani pada dasarnya ditentukan berdasarkan kelas, kondisi kulit, keseragaman dan kebersihan umbi.
Pedagang pengumpul pedesaan biasanya memiliki informasi paling lengkap mengenai perkembangan
harga kentang di pasar-pasar perkotaan. Pedagang ini pada umumnya memiliki contact persons di pasar-
pasar tersebut. Berdasarkan informasi ini, pedagang pengumpul tidak saja dapat menentukan harga beli
kentang dari petani, tetapi juga dapat memutuskan ke pasar mana kentang tersebut akan dijual. Petani
sering mengeluhkan bahwa kemudahan bagi pedagang untuk mengakses informasi cenderung
memperlemah posisi tawar patani.

Marjin pemasaran adalah perbedaan antara harga yang dibayarkan pada saat membeli produk dengan
harga yang diterima pada saat produk tersebut dijual kembali, atau secara sederhana, marjin pemasaran
adalah perbedaan harga antara dua tingkat pasar (Calkins and Wang, 1978). Marjin merepresentasikan
harga yang dibebankan (biaya pemasaran dan keuntungan) untuk sekumpulan pelayanan yang diberikan
pada saat menyiapkan produk ke pasar. Besarnya marjin sangat bergantung pada kombinasi (a) kualitas
dan kuantitas pelayanan yang diberikan, (b) biaya yang diperlukan untuk memberikan pelayanan tersebut,
dan (c) efisiensi pelayanan serta penetapan harga pelayanan tersebut (Scarborough and Kydd, 1993).
Data pada Tabel 10 menunjukkan biaya tataniaga dan keuntungan pemasaran kentang dari Pangalengan
ke Jakarta yang merupakan observasi kasus pedagang pengumpul (19 Pebruari 2004). Pedagang
pengumpul tersebut mengirimkan 5370 kg (1 truk) kentang, berangkat dari Pangalengan jam 15.50 dan
tiba di Jakarta (PIKJ) jam 20.30. Penimbangan pada saat kedatangan menunjukkan kehilangan hasil
sekitar 0,75%, yaitu sebesar 40 kg selama perjalanan Pangalengan ke Jakarta.

Tabel 10 Marjin pemasaran kentang dari Pangalengan ke Jakarta, Pebruari 2004 (Rp./kg).

Pedagang Harga beli Harga jual Biaya tataniaga Keuntungan Marjin tataniaga

Rp/kg Rp/kg Rp/kg % Rp/kg % Rp/kg

Pengumpul 1 800 1 925 73,50 58,80 51,50 41.20 125

Grosir 1 925 2 010 8,59 10.10 76,41 89.90 85

Pengecer 2 010 2 200 66,12 34.80 123,88 65.20 190


Sumber: Data primer

10
Observasi lebih lanjut menunjukkan bahwa petani menerima 81,8% (farmer's share) dari harga eceran.
Berdasarkan harga tersebut, petani hanya mendapat keuntungan bersih sekitar Rp. 75.00/kg. Harga di
tingkat petani dan bagian petani biasanya cenderung turun dan naik secara bersamaan. Bagian yang
diterima petani tinggi jika harga tinggi. Namun demikian, hal ini sebenarnya merupakan fungsi dari
fleksibilitas relatif harga di tingkat petani dan infleksibilitas relatif marjin, paling tidak dalam jangka pendek.
Perbandingan diantara ketiga jenis pedagang mengindikasikan bahwa untuk pedagang pengumpul,
persentase marjin yang digunakan untuk biaya pemasaran ternyata yang paling tinggi. Sementara itu,
persentase marjin yang berupa keuntungan untuk pedagang pengumpul adalah yang paling rendah. Di sisi
lain, grosir atau pedagang besar mengalokasikan marjin untuk biaya pemasaran dengan persentase
terendah, namun menerima persentase marjin tertinggi sebagai keuntungan. Walaupun demikian, dalam
bentuk keuntungan aktual, pengecer menerima persentase terbesar dari harga yang dibayarkan
konsumen.

Sementara itu, selama bertahun-tahun, lebih dari 90% ekspor kentang Indonesia berasal dari kentang
yang diproduksi di Sumatera Utara. Kentang ekspor pada umumnya berupa kentang meja untuk pasar
kentang segar. Dalam kuantitas yang relatif kecil, tercatat pula bibit kentang dan produk olahan
kentang sebagai ekspor. Namun demikian, hal ini kemungkinan hanya merupakan catatan kegiatan re-
ekspor kentang yang pada dasarnya berasal dari kentang impor. sebelumnya diduga Hampir seluruh
ekspor kentang Indonesia ditujukan ke Malaysia dan Singapura. Tabel 11 menunjukkan bahwa volume
kentang ekspor mencapai puncaknya pada tahun 1995, yaitu sebesar 103 050 ton. Jumlah ini
mendekati 10% dari total produksi domestik dan sekitar 40% dari total produksi Sumatera Utara.
Namun setelah itu, volume ekspor kentang turun agak drastis tinggal sepertiga dari volume ekspor
puncak. Pada periode 1997-2001, ekspor kentang Indonesia relatif stabil dengan rata-rata 32 568
ton/tahun, atau sekitar 3,5% dari produksi domestik kurun waktu tersebut. Negara lain yang secara
insidental terkadang menjadi negara tujuan ekspor (kentang segar dan kentang beku) adalah Jepang,
Korea, Taiwan, Filipina, Saudi Arabia, Lebanon, St. Helena dan Swedia.

Hampir 75% nilai impor kentang sejak tahun 1994 merupakan impor produk kentang olahan, terutama
french fries beku. Sebaian besar dari impor ini berasal dari Amerika Utara. Sampai saat ini, belum ada
jenis kentang yang dibudidayakan di Indonesia memenuhi persyaratan kentang untuk french fries,
sehingga sebagian besar permintaan dipenuhi melalui impor. Tabel 12 menunjukkan bahwa impor
french fries menurun dengan tajam pada saat terjadi krisis ekonomi tahun 1997. Produk kentang
olahan lain yang juga diimpor adalah starch dan flakes yang digunakan untuk industri pengolahan
makanan. Sebagian besar dari produk olahan ini diimpor dari negara-negara Eropa. Kategori lain dari
impor kentang yang juga penting adalah bibit/benih kentang (10% dari total volume dan 7,4% dari total
nilai impor kentang). Belanda merupakan salah satu negara terpenting sumber/asal impor bibit/benih
kentang. Jika diperhatikan, lonjakan impor kentang dari 1998 ke 1999 sebagian besar disebabkan oleh
adanya peningkatan impor bibit/benih yang relatif cepat. Diduga hal ini juga merupakan dampak dari
kebijakan pemerintah berkaitan dengan program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang memberikan
kucuran KUT kepada kelompok tani/koperasi.

11
Tabel 11 Ekspor kentang Indonesia, 1994-2002

Kuantitas (1000 t)
Tahun Total Segar Bibit Beku Olahan lainnya

1994 89,12 88,92 0,04 0,15 0,00


1995 103,05 102,94 0,03 0,08 0,00
1996 79,75 79,68 0,00 0,07 0,00
1997 36,76 36,76 0,00 0,00 0,00
1998 31,25 31,20 0,02 0,02 0,01
1999 33,26 32,27 0,13 0,84 0,02
2000 30,23
2001 31,34
2002 20,75

Nilai (juta US$)


Tahun Total Segar Bibit Beku Olahan lainnya

1994 14,08 13,88 0,01 0,19 0,00


1995 18,22 18,12 0,01 0,09 0,00
1996 15,09 15,02 0,00 0,07 0,00
1997 8,43 8,43 0,00 0,00 0,00
1998 5,96 5,89 0,00 0,08 0,00
1999 6,72 5,80 0,09 0,83 0,00
2000 4,46
2001 4,59
2002 4,22

Harga (US$/t)
Tahun Total Segar Bibit Beku Olahan lainnya

1994 158 156 173 1 243


1995 177 176 407 1 129 1 065
1996 189 188 2 046 987
1997 229 229 531 5 000
1998 191 189 44 3 154 248
1999 202 180 646 991 107
2000 148
2001 146
2002 203

Sumber: Biro Pusat Statistik (a), berbagai tahun. Ekspor sampai September 2002. Ekspor termasuk:
Kode SITC 5410100 bibit/benih kentang
5410900 kentang segar
5469100 kentang beku
5611000 kentang potongan/sliced

12
Tabel 12 Impor kentang Indonesia, 1994-2002

Kuantitas (1000 t)
Tahun Total Segar Bibit Beku Olahan lainnya

1994 9,86 0.33 0.87 6.58 2.08


1995 13,40 0.31 0.78 9.72 2.59
1996 17,22 0.89 1.21 11.83 3.29
1997 27,63 2.04 0.90 23.06 1.63
1998 9,71 0.68 0.36 6.92 1.74
1999 24,14 3.18 6.12 6.48 8.36
2000 10,08
2001 8,16
2002 5,42

Nilai (juta US$)


Tahun Total Segar Bibit Beku Olahan lainnya

1994 6.45 0.16 0.87 4.20 1.21


1995 12.08 0.42 0.82 8.80 2.04
1996 16.62 0.44 0.99 11.72 3.47
1997 26.87 1.50 0.86 22.96 1.54
1998 6.48 0.34 0.26 4.78 1.10
1999 9.59 0.96 1.94 4.21 2.48
2000 5,37
2001 4,46
2002 2,97

Harga (US$/t)
Tahun Total Segar Bibit Beku Olahan lainnya

1994 654 494 1,008 639 580


1995 901 1,363 1,040 905 787
1996 965 491 817 991 1,055
1997 972 739 959 995 943
1998 667 502 728 690 628
1999 397 301 317 649 297
2000 533
2001 546
2002 549

Sumber: Biro Pusat Statistik (b), berbagai tahun. Impor sampai Agustus 2002. Impor termasuk:
Kode SITC 5410100 bibit/benih kentang
5410900 kentang segar
5469100 kentang beku
5661100 kentang beku dengan container hampa udara
5661900 kentang beku dengan container lainnya
5676100 kentang tidak beku dengan container hampa udara
5676900 kentang tidak beku dengan container lainnya
5611000 kentang, flakes
59213110 potato starch, for baking, packs ≥ 30 kg
59211390 potato starch, for baking, other packs
59213990 potato starch, other
59213000 potato starch

13
Salah satu kebijaksanaan operasional pengembangan pengolahan dan pemasaran hasil pertanian
adalah pembinaan mutu dan standardisasi pertanian. Keberhasilan pengembangan pembinaan mutu
dan standardisasi pertanian diharapkan akan mampu untuk menunjang peningkatan daya saing serta
keberhasilan menembus pasar. Program pemerintah dalam pembinaan mutu hasil pertanian melalui
program standardisasi dan akreditasi sejalan dengan tuntutan konsumen baik di dalam maupun di luar
negeri. Untuk dapat bersaing di pasar yang bebas dan kompetitif saat ini, komoditas pertanian yang
dipasarkan harus benar-benar dapat menarik minat pembeli. Hal ini perlu ditanamkan terhadap pelaku
agribisnis bahwa di dalam produk yang akan dipasarkan haruslah terdapat unsur jaminan kepastian
mutu. Kepastian mutu ini hanya dapat diperoleh melalui penerapan standar. Pada awalnya standar ini
hanya merupakan suatu tuntutan pasar, namun dalam perkembangannya, ternyata standar
memberikan banyak sekali nilai tambah bagi petani yang menerapkannya, sehingga mulai dirasakan
sebagai kebutuhan bagi petani.

Dari aspek pertumbuhan dan pengembangan kegiatan/usaha agribisnis, penerapan SNI dapat
memberikan manfaat: (a) mewujudkan tercapainya persaingan yang sehat dalam perda-gangan, (b)
menunjang pelestarian lingkungan hidup, (c) meningkatkan kepercayaan dan kepuasan pelanggan
melalui sistematika dan pendekatan yang terorganisir pada pemastian mutu, (d) meningkatkan citra
dan daya saing petani/pelaku agribisnis, (e) meningkatkan efisiensi di dalam berproduksi, dan (f)
mengantisipasi tuntutan konsumen atas mutu produk dan tingkat persaingan usaha yang telah
mengalami perubahan sehingga pelaku agribisnis dapat menanggapinya melalui pendekatan mutu,
pengendalian mutu, pemastian mutu, manajemen mutu dan manajemen mutu terpadu.

Sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor : 12 tahun 1991, standar yang berlaku di seluruh wilayah
Indonesia adalah Standar Nasional Indonesia, yang mulai diberlakukan sejak tanggal 1 April
1994. Sebagai tindak lanjut penetapan Standar Nasional Indonesia, melalui Keputus-an Menteri
Pertanian Nomor: 303/Kpts/OT.210/4/1994 tanggal 27 April 1994, Standar Nasional Indonesia sektor
pertanian adalah standar yang ditetapkan oleh Menteri Pertanian setelah mendapatkan persetujuan
dari Dewan Standardisasi Nasional (yang sekarang menjadi Badan Standardisasi Nasional,
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 13 tahun 1997) dan berlaku secara nasional di seluruh
wilayah Indonesia.

Tabel 13 menunjukkan daftar standarisasi untuk kentang dan produk olahannya yang telah ditetapkan
menjadi Standar Nasional Indonesia oleh Badan Standardisasi Nasional. Sementara itu, Tabel 14
memberikan gambaran lebih detil menyangkut SNI 01-3175-1992 untuk kentang segar.

Tabel 13 Daftar SNI untuk kentang dan produk olahannya

ICS
No SNI Judul SNI (Internastional Judul ICS
Clasification Standard )

SNI 01-3175-1992 Kentang segar 67.080.20 Sayuran dan produk turunan

SNI 01-4031-1996 Keripik kentang 67.080.20 Sayuran dan produk turunan

SNI 01-4477-1998 Kentang dalam kemasan 67.080.20 Sayuran dan produk turunan

14
Tabel 14 SNI 01-3175-1992 untuk kentang segar

Karakteristik Syarat Cara Pengujian


Mutu I Mutu II
Keseragaman warna dan bentuk seragam seragam organoleptik
Keseragaman ukuran seragam seragam Konsep SP-SMP-233-1977
Kerataan permukaan kentang rata tdk dipersyaratkan Konsep SP-SMP-234-1977
Kadar kotoran, % (b/b) maks. 2.5 2.5 Konsep SP-SMP-8-1975
Kentang cacat, % (b/b) maks. 5 10 Konsep SP-SMP-235-1977
Ketuaan kentang tua cukup tua Konsep SP-SMP-213-1977

V. Perkembangan harga dan indeks harga musiman

Harga berfungsi sebagai pengendali arah aktivitas ekonomi sayuran dan berperan sebagai rationing
mechanism untuk suatu produk yang diproduksi pada suatu periode waktu serta menjadi barometer
yang mengukur dimensi perilaku bekerjanya pasar sayuran. Berbagai faktor yang mempengaruhi
penawaran dan permintaan akan selalu berubah, sehingga jalur waktu harga sayuran akan selalu
menunjukkan variasi. Pada kondisi persaingan, fluktuasi harga dapat disebabkan oleh pergeseran
penawaran dan permintaan. Komparasi variabilitas harga di tingkat pasar yang berbeda dapat
memberikan indikasi lokus instabilitas harga. Table 15 membandingkan variabilitas harga bulanan
kentang, tomat, kubis dan siampo di tingkat sentra produksi dan tingkat grosir selama periode 1997-
2001. Koefisien variasi harga kentang ternyata lebih rendah dibandingkan tiga komoditas lainnya di
kedua tingkat pasar.

Table 15 Variasi harga kentang di tingkat sentra produksi (Pangalengan) dan tingkat grosis (PIKJ), 1997-2001

Harga Rata-rata Standar Deviasi Harga Koefisien Variasi (%)

Komoditas Sentra produksi Grosir Sentra produksi Grosir Sentra produksi Grosir

Kentang 1 828,65 2 081,17 625,50 693,28 34,21 33,31

Tomat 1 048,53 1 455,33 617,72 753,89 58,91 51,80

Kubis 694,40 897,75 399,55 452,59 57,54 50,41

Siampo 450,35 616,25 199,34 213,60 44,26 34,66

Hal ini mengindikasikan bahwa harga kentang relatif lebih stabil dibandingkan dengan harga tomat,
kubis dan siampo. Besaran koefisien variasi harga kentang, tomat, kubis dan siampo di tingkat sentra
produksi secara konsisten ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan di tingkat grosir. Hal ini
mengimplikasikan bahwa produsen harus menghadapi risiko harga yang lebih tinggi dibandingkan
dengan pedagang besar/grosir. Dari perspektif lain, hal ini konsisten dengan kondisi pasar persaingan
sempurna dimana penawaran jangka pendek komoditas pertanian biasanya relatif inelastis jika
dibandingkan dengan permintaan konsumen (Tomek and Robinson, 1981).

15
Salah satu kunci sukses pemasaran sayuran adalah pemahaman utuh menyangkut pergerakan harga
musiman suatu komoditas. Perkiraan pola harga musiman dari suatu komoditas dapat diduga dengan
menghilangkan pengaruh trend dan menghitung harga rata-rata bulanan. Perkiraan pola harga
musiman dapat terlihat dengan mengekspresikan rata-rata harga setiap bulan sebagai persentase dari
rata-rata total harga dalam periode waktu tertentu. Tabel 16 menunjukkan pola harga musiman kentang
di tingkat sentra produksi dan tingkat grosir dalam periode waktu 1997-2001. Untuk harga kentang di
tingkat sentra produksi, pada bulan Pebruari, harga kentang rata-rata ternyata berada 18% di bawah
harga rata-rata total selama periode1997-2001, sedangkan pada bulan November harga kentang rata-
rata berada 21% di atas harga rata-rata total selama periode 1997-2001. Pola musiman yang sama
ternyata juga berlaku untuk harga kentang di tingkat grosir. Hal ini mengindikasikan bahwa selama
periode 1997-2001, harga kentang terendah terjadi pada bulan Pebruari, sedangkan harga kentang
tertinggi tercapai pada bulan November.

Table 16 Pola musiman harga kentang di tingkat sentra produksi (Pangalengan) dan tingkat grosir (PIKJ), 1997-2001

Bulan

J P M A M J J A S O N D
Tingkat
Rata-rata harga bulanan (Rp/kg)

Sentra 1556,4 1493,6 1713,8 1773,8 1746,4 1825,8 2040,8 1865,6 1759,4 1878,6 2215,6 2074,0

Grosir 1968,2 1822,6 1906,4 1950,0 2011,4 2083,6 2315,6 2131,0 1978,2 2070,0 2380,4 2356,6

Rata-rata bulanan sebagai % dari rata-rata total a

Sentra 0,85 0,82 0,94 0,97 0,95 1,00 1,12 1,02 0,96 1,03 1,21 1,13

Grosir 0,95 0,88 0,92 0,94 0,97 1,00 1,11 1,02 0,95 0,99 1,14 1,13

a Dihitung dengan membagi setiap harga rata-rata bulanan dengan harga rata-rata bulanan total selama periode 1997-2001 (Rp. 1 828,70

pada tingkat sentra produksi dan Rp. 2 081,20 pada tingkat grosir)

VI. Karakteristik tanaman, sistem pengelolaan (budidaya) dan panen

Karakteristik Tanaman

Kentang merupakan tanaman dikotil bersifat musiman, berbentuk semak/herba dengan filotaksis spiral.
Tanaman ini pada umumnya ditanam dari umbi (vegetatif) sehingga sifat tanaman generasi berikutnya
sama dengan induknya. Umbi bibit kentang memproduksi batang utama dalam waktu sekitar 1-2
minggu setelah tanam, tergantung pada tempertaur tanah dan kesiapan fisiologis umbi untuk bertunas.
Pada saat batang utama tumbuh menembus permukaan tanah, rizoma juga tumbuh dari bagian batang
utama tersebut di bawah tanah. Rizoma tumbuh secara horizontal sepanjang 12,5-30 cm, menebal
bagian ujungnya untuk membentuk umbi. Periode inisiasi pembentukan umbi terjadi pada 5-7 minggu
setelah tanam. Pada saat ini, tinggi bagian tanaman yang tumbuh di atas permukaan tanah berkisar
antara 15-30 cm.

16
Jumlah umbi yang terbentuk akan dipengaruhi oleh lingkungan pada saat pembentukan umbi sedang
berlangsung, sedangkan ukuran umbi cenderung dipengaruhi oleh kondisi pertumbuh-an berikutnya.
Umbi akan berkompetisi dengan daun dan batang utama untuk mendapatkan fotosintat, sehingga umbi
hanya dapat tumbuh jika kelebihan fotosintat tersedia. Dengan demikian, jumlah umbi tinggi
memerlukan kondisi yang baik selama minggu pertama dan kedua periode inisiasi pembentukan umbi,
sedangkan ukuran umbi yang cukup memerlukan kondisi baik selama periode pertumbuhan umbi.
Proses perkembangan umbi merupakan kelanjutan dari proses pembentukan umbi yang keduanya
berhubungan dengan aktivitas pertumbuhan tanaman yang terlihat di atas permukaan tanah. Sampai
batas tertentu, pertambahan luas daun selalu diikuti dengan penambahan berat umbi. Volume
lingkungan tumbuh yang lebih besar akan menghasilkan jumlah umbi lebih sedikit, tetapi dengan
ukuran umbi lebih besar. Sebaliknya, volume lingkungan tumbuh yang kecil akan menghasilkan jumlah
umbi lebih banyak, namun dengan ukuran umbi lebih kecil. Proses pertumbuhan umbi berakhir bila
seluruh daun telah berwarna kuning.

Kebutuhan Iklim

a. Daerah dengan curah hujan rata-rata 1500 mm/tahun sangat sesuai untuk
membudidayakan kentang. Daerah yang sering mengalami angin kencang tidak cocok
untuk budidaya kentang.
b. Lama penyinaran yang diperlukan tanaman kentang untuk kegiatan fotosintesis adalah 9-
10 jam/hari. Lama penyinaran juga berpengaruh terhadap waktu dan masa
perkembangan umbi.
c. Suhu optimal untuk pertumbuhan adalah 18-21 derajat C. Pertumbuhan umbi akan
terhambat apabila suhu tanah kurang dari 10 derajat C dan lebih dari 30 derajat C.
d. Kelembaban yang sesuai untuk tanaman kentang adalah 80-90%. Kelembaban yang
terlalu tinggi akan menyebabkan tanaman mudah terserang hama dan penyakit, terutama
yang disebabkan oleh cendawan.

Media Tanam

a. Secara fisik, tanah yang baik untuk bercocok tanaman kentang adalah yang berstruktur
remah, gembur, banyak mengandung bahan organik, berdrainase baik dan memiliki
lapisan olah yang dalam. Sifat fisik tanah menjamin ketersediaan oksigen dalam tanah.
b. Tanah yang memiliki sifat ini adalah tanah Andosol yang terbentuk di area pegunungan.
c. Keadaan pH tanah yang sesuai untuk tanaman kentang bervariasi antara 5,0-7,0,
tergantung varietasnya. Untuk produksi yang baik pH yang rendah tidak cocok ditanami
kentang. Pengapuran mutlak diberikan pada tanah yang memiliki nilai pH sekitar 7.

Ketinggian Tempat

Daerah yang cocok untuk menanam kentang adalah dataran tinggi/daerah pegunungan, dengan
ketinggian antara 1.000-3.000 m dpl. Ketinggian idealnya berkisar antara 1000-1300 m dpl. Beberapa
varitas kentang dapat ditanam di dataran menengah (300-700 m dpl).

Sistem Pengelolaan (Budidaya)

 Pembibitan

Bibit tanaman kentang dapat berasal dari umbi, perbanyakan melalui stek batang dan stek tunas
daun.

17
1. Umbi

a. Umbi bibit berasal dari umbi produksi berbobot 30-50 gram. Pilih umbi yang cukup
tua antara 150-180 hari, umur tergantung varietas, tidak cacat, umbi baik, varitas
unggul.
b. Umbi disimpan di dalam rak/peti di gudang dengan sirkulasi udara yang baik
(kelembaban 80-95%). Lama penyimpanan 6-7 bulan pada suhu rendah dan 5-6
bulan pada suhu 25 derajat C.
c. Pilih umbi dengan ukuran sedang, memiliki 3-5 mata tunas.
d. Gunakan umbi yang akan digunakan sebagai bibit hanya sampai generasi
keempat saja.
e. Setelah bertunas sekitar 2 cm, umbi siap ditanam.
f. Bila bibit diusahakan dengan membeli, (usahakan bibit yang kita beli bersertifikat),
berat antara 30-45 gram dengan 3-5 mata tunas. Penanaman dapat dilakukan
tanpa dan dengan pembelahan. Pemotongan umbi dilakukan menjadi 2-4 potong
menurut mata tunas yang ada. Sebelum tanam umbi yang dibelah harus direndam
dulu di dalam larutan Dithane M-45 selama 5-10 menit. Walaupun pembelahan
menghemat bibit, tetapi bibit yang dibelah menghasilkan umbi yang lebih sedikit
daripada yang tidak dibelah. Hal tersebut harus diperhitungkan secara ekonomis.

2. Stek batang dan stek tunas

Cara ini tidak biasa dilakukan karena lebih rumit dan memakan waktu lebih lama. Bahan
tanaman yang akan diambil stek batang/tunasnya harus ditanam di dalam pot.
Pengambilan stek baru dapat dilakukan jika tanaman telah berumur 1-1,5 bulan dengan
tinggi 25-30 cm. Stek disemaikan di persemaian. Apabila bibit menggunakan hasil stek
batang atau tunas daun, ambil dari tanaman yang sehat dan baik pertumbuhannya.

 Pengolahan Media Tanam

Lahan dibajak sedalam 30-40 cm sampai gembur benar supaya perkembangan akar dan
pembesaran umbi berlangsung optimal. Kemudian tanah dibiarkan selama 2 minggu sebelum
dibuat bedengan.

Pada lahan datar, sebaiknya dibuat bedengan memanjang ke arah Barat-Timur agar memperoleh
sinar matahari secara optimal, sedang pada lahan berbukit arah bedengan dibuat tegak lurus
kimiringan tanah untuk mencegah erosi. Lebar bedengan 70 cm (1 jalur tanaman)/140 cm (2 jalur
tanaman), tinggi 30 cm dan jarak antar bedengan 30 cm. Lebar dan jarak antar bedengan dapat
diubah sesuai dengan varietas kentang yang ditanam. Di sekeliling petak bedengan dibuat saluran
pembuangan air sedalam 50 cm dan lebar 50 cm.

 Teknik Penanaman

Pemupukan Dasar

a) Pupuk dasar organik berupa kotoran ayam 10 ton/ha, kotoran kambing sebanyak 15 ton/ha
atau kotoran sapi 20 ton/ha diberikan pada permukaan bedengan kurang lebih seminggu
sebelum tanam, dicampur pada tanah bedengan atau diberikan pada lubang tanam.
b) Pupuk anorganik berupa SP-36=400kg/ha.

18
Cara Penanaman

a. Bibit yang diperlukan jika memakai jarak tanam 70 x 30 cm adalah 1.300-1.700 kg/ha
dengan anggapan umbi bibit berbobot sekitar 30-45 gram.
b. Jarak tanaman tergantung varietas. Dimanat dan LCB 80 x 40 sedangkan varietas lain 70
x 30 cm.
c. Waktu tanam yang tepat adalah diakhir musim hujan pada bulan April-Juni, jika lahan
memiliki irigasi yang baik/sumber air kentang dapat ditanam dimusim kemarau. Jangan
menanam dimusim hujan. Penanaman dilakukan dipagi/sore hari.
d. Lubang tanam dibuat dengan kedalaman 8-10 cm. Bibit dimasukkan ke lubang tanam,
ditimbun dengan tanah dan tekan tanah di sekitar umbi. Bibit akan tumbuh sekitar 10-14
hst.
e. Mulsa jerami perlu dihamparkan di bedengan jika kentang ditanam di dataran medium.

 Pemeliharaan Tanaman

Penyulaman

Untuk mengganti tanaman yang kurang baik, maka dilakukan penyulaman. Penyulaman dapat
dilakukan setelah tanaman berumur 15 hari. Bibit sulaman merupakan bibit cadangan yang
telah disiapkan bersamaan dengan bibit produksi. Penyulaman dilakukan dengan cara
mencabut tanaman yang mati/kurang baik tumbuhnya dan ganti dengan tanaman baru pada
lubang yang sama.

Penyiangan

Lakukan penyiangan secara kontinyu dan sebaiknya dilakukan 2-3 hari sebelum/bersamaan
dengan pemupukan susulan dan penggemburan. Jadi penyiangan dilakukan minimal dua kali
selama masa penanaman. Penyiangan harus dilakukan pada fase kritis yaitu vegetatif awal
dan pembentukan umbi.

Pemangkasan Bunga

Pada varietas kentang yang berbunga sebaiknya dipangkas untuk mencegah terganggunya
proses pembentukan umbi, karena terjadi perebutan unsur hara untuk pembentukan umbi dan
pembungaan.

Pemupukan

Selain pupuk organik, maka pemberian pupuk anorganik juga sangat penting untuk
pertumbuhan tanaman. Pupuk yang biasa diberikan Urea dengan dosis 330 kg/ha, TSP
dengan dosis 400 kg/ha sedangkan KCl 200 kg/ha. Secara keseluruhan pemberian pupuk
organik dan anorganik adalah sebagai berikut:

a. Pupuk kandang: saat tanam 15.000-20.000 kg.


b. Pupuk anorganik
i. Urea/ZA: 21 hari setelah tanam 165/350 kg dan 45 hari setelah tanam
165/365 kg.
ii. SP-36: saat tanam 400 kg.
iii. KCl: 21 hari setelah tanam 100 kg dan 45 hari setelah tanam 100 kg.

19
c. Pupuk cair: 7-10 hari sekali dengan dosis sesuai anjuran.
d. Pupuk anorganik diberikan ke dalam lubang pada jarak 10 cm dari batang tanaman
kentang.

Pengairan

Tanaman kentang sangat peka terhadap kekurangan air. Pengairan harus dilakukan secara
rutin tetapi tidak berlebihan. Pemberian air yang cukup membantu menstabilkan kelembaban
tanah sebagai pelarut pupuk. Selang waktu 7 hari sekali secara rutin sudah cukup untuk
tanaman kentang. Pengairan dilakukan dengan cara disiram dengan gembor/embrat/dengan
mengairi selokan sampai areal lembab (sekitar 15-20 menit).

 Hama dan Penyakit

Keberhasilan peningkatan produksi sayuran selama ini tidak dapat disangkal juga diikuti oleh dampak
negatif penggunaan pestisida berlebih. Salah satu dampak negatif tersebut adalah semakin resistennya
hama/penyakit terhadap pestisida serta semakin menurunnya ketersediaan dan keragaman berbagai
organisme berguna. Sampai saat ini, hama penyakit masih merupakan kendala utama produksi
kentang, karena dapat menyebabkan kehilangan hasil dengan kisaran 25-90%. Hama penting pada
kentang diantaranya adalah Pthorimaea operculella, Myzus persicae dan Thrips spp. Leaf miner oleh
Liriomyza huidobrensis yang pada awalnya merupakan hama sekunder juga mulai berkembang
sebagai hama utama. Hama lain yang juga harus mulai diperhatikan adalah Bemesia tabaci and
nematoda.

Berikut ini adalah beberapa hama penyakit penting kentang serta hasil identifikasi tim survai JICA
(2003) di beberapa propinsi penghasil kentang di Indonesia.

Hama

a. Ulat grayak (Spodoptera litura)

Gejala: ulat menyerang daun dengan memakan bagian epidermis dan jaringan hingga
habis daunnya.

b. Kutu daun (Aphis Sp)

Gejala: kutu daun menghisap cairan dan menginfeksi tanaman, juga dapat menularkan
virus bagi tanaman kedelai.

c. Orong-orong (Gryllotalpa Sp)

Gejala: menyerang umbi di kebun, akar, tunas muda dan tanaman muda. Akibatnya
tanaman menjadi peka terhadap infeksi bakteri.

d. Hama penggerek umbi (Phtorimae poerculella Zael)

Gejala: pada daun yang berwarna merah tua dan terlihat adanya jalinan seperti benang
yang berwarna kelabu yang merupakan materi pembungkus ulat. Umbi yang terserang
bila dibelah, akan terlihat adanya lubang-lubang.

20
e. Hama trip ( Thrips tabaci )

Gejala: pada daun terdapat bercak-bercak berwarna putih, selanjutnya berubah menjadi
abu-abu perak dan kemudian mengering. Serangan dimulai dari ujung-ujung daun yang
masih muda.

Penyakit

a. Penyakit busuk daun

Penyebab: jamur Phytopthora infestans. Gejala: timbul bercak-bercak kecil berwarna hijau
kelabu dan agak basah, lalu bercak-bercak ini akan berkembang dan warnanya berubah
menjadi coklat sampai hitam dengan bagian tepi berwarna putih yang merupakan
sporangium. Selanjutnya daun akan membusuk dan mati.

b. Penyakit layu bakteri

Penyebab: bakteri Pseudomonas solanacearum. Gejala: beberapa daun muda pada


pucuk tanaman layu dan daun tua, daun bagian bawah menguning. Pengendalian:
dengan cara menjaga sanitasi kebun, pergiliran tanaman.

c. Penyakit busuk umbi

Penyebab: jamur Colleotrichum coccodes. Gejala: daun menguning dan menggulung, lalu
layu dan kering. Pada bagian tanaman yang berada dalam tanah terdapat bercak-bercak
berwarna coklat. Infeksi akan menyebabkan akar dan umbi muda busuk. Pengendalian:
dengan cara pergiliran tanaman , sanitasi kebun dan penggunaan bibit yang baik.

d. Penyakit fusarium

Penyebab: jamur Fusarium sp. Gejala: infeksi pada umbi menyebabkan busuk umbi yang
menyebabkan tanaman layu. Penyakit ini juga menyerang kentang di gudang
penyimpanan. Infeksi masuk melalui luka-luka yang disebabkan nematoda/faktor
mekanis. Pengendalian: dengan menghindari terjadinya luka pada saat penyiangan dan
pendangiran. Pengendalian kimia dengan Benlate.

e. Penyakit bercak kering (Early Blight)

Penyebab: jamur Alternaria solani. Jamur hidup disisa tanaman sakit dan berkembang
biak di daerah kering. Gejala: daun terinfeksi berbercak kecil yang tersebar tidak teratur,
berwarna coklat tua, lalu meluas ke daun muda. Permukaan kulit umbi berbercak gelap
tidak beraturan, kering, berkerut dan keras. Pengendalian: dengan pergiliran tanaman.

f. Penyakit karena virus

Virus yang menyerang adalah: (1) Potato Leaf Roll Virus (PLRV) menyebabkan daun
menggulung; (2) Potato Virus X (PVX) menyebabkan mosaik laten pada daun; (3) Potato
Virus Y (PVY) menyebabkan mosaik atau nekrosis lokal; (4) Potato Virus A (PVA)
menyebabkan mosaik lunak; (5) Potato Virus M (PVM) menyebabkan mosaik
menggulung; (6) Potato Virus S (PVS) menyebabkan mosaik lemas. Gejala: akibat

21
serangan, tanaman tumbuh kerdil, lurus dan pucat dengan umbi kecil-kecil/tidak
menghasilkan sama sekali; daun menguning dan jaringan mati. Penyebaran virus
dilakukan oleh peralatan pertanian, kutu daun Aphis spiraecola, A. gossypii dan Myzus
persicae, kumbang Epilachna dan Coccinella dan nematoda. Pengendalian: tidak ada
pestisida untuk mengendalikan virus, pencegahan dan pengendalian dilakukan dengan
menanam bibit bebas virus, membersihkan peralatan, memangkas dan membakar
tanaman sakit, memberantas vektor dan pergiliran tanaman.

Table 17 Hama dan penyakit kentang di 9 propinsi di Indonesia


Propinsi Hama dan Penyakit Pestisida yang digunakan
Aceh • Myzus persicae - Tamaron
• Agrotis ipsilon - Ridomil MZ 8/64 WP
• Empoasca spp
• Thrips spp
• Phthorimaea operculella
• Gryllotalpa spp.
• Phytophthora infestans
• Erwinia carotovora
• Fusarium spp
• Potato leaf roll virus (PLRV)
• Alternaria solani
• Ralstonia solanacearum
Sumatera Utara • Liriomyza huidobrensis - Curacron 500 EC
• Thrips spp - Hostathion 40 EC
• Agrotis ipsilon - Marshal 200 EC
• Chrysodeixis arichalcea - Bestox 50 EC
• Aphis spp - Topsin M 70 WP
• Phthorimaea operculella - Prevecur N
• Gryllotalpa spp - Atabron 50 WP
• Holotricia spp - Orthene 75 WP
• Phytophthora infestans - Dithane M-45 80 WP
• Ralstonia solanacearum - Antracol 75 WP
• Alternaria solani - Ridomil MZ 8/64 WP

Sumatera Barat • Aphis spp - Curacron 500 EC


• Thrips spp - Confidor 200 SL
• Liriomyza huidobrensis - Metindo 25 WP
• Phytophthora infestans - Decis 2,5 EC
• Mosair virus - Buldok 25 EC
• Ralstonia solanacearum - Dithane M-45 80 WP
• Fusarium spp - Antracol 75 WP

Jambi • Liriomyza huidobrensis - Mipcin 50 WP


• Aphis spp - Winder
• Agrotis ipsilon - Dithane M-45 80 WP
• Spodoptera litura - Curzate 8/64 WP
• Phthorimaea operculella - Antracol 75 WP
• Myzus persicae
• Thrips spp
• Phytophthora infestans
• Ralstonia solanacearum
• Fusarium spp

22
Propinsi Hama dan Penyakit Pestisida yang digunakan
Jawa Barat • Liriomyza huidobrensis - Curacron 500 EC
• Thrips spp - Marshal 200 EC
• Myzus persicae - Arrivo 30 EC
• Agrotis ipsilon - Spontan 400 WSC
• Empoasca spp - Decis 2,5 EC
• Phthorimaea operculella - Confidor 200 SL
• Henosepilachna sparsa - Regent 50 SC
• Gryllotalpa spp - Rugby 10 G
• Holotricia spp - Dithane M-45 80 WP
• Spodoptera litura - Curzate 8/64 WP
• Aphis spp - Ridomil MZ 8/64 WP
• Phytophthora infestans - Oktanil 75 WP
• Ralstonia solanacearum - Daconil 75 WP
• Fusarium spp.
• Alternania solani
• Potato leaf roll virus (PLRV)
• Streptomyces scabies
• Meloidogyne spp

Jawa Tengah • Agrotis ipsilon - Acrobat 50 WP


• Thrips spp. - Sevin 85 SP
• Liriomyza huidobrensis - Buldok 25 EC
• Myzus persicae - Pegiasus 500 SL
• Phthorimaea operculella - Curacron 500 EC
• Gryllotalpa spp - Daconil 75 WP
• Holotricia spp - Curzate 8/64 WP
• Phytophora infestans - Dithane M 45 80 WP
• Ralstonia solanacearum
• Alternaria solani
• Potato leaf rol virus (PLRV)
• Meliodogyne spp

Jawa Timur • Liriomyza huidobrensis - Dursban 20 EC


• Myzus persicae - Curacron 500 EC
• Agrotis ipsilon - Bancol 50 WP
• Gryllotalpa spp - Ambush 2 EC
• Chrysodeixis arichalcea - Decis 2,5 EC
• Phthorimaea operculella - Padan 50 SP
• Aphis spp - Spontan 400 WSC
• Bemesia tabaci - Curzate 8/64 WP
• Spodoptera litura - Maneb
• Henosepilachna sparsa - Dithane M-45 80 WP
• Phytophthora infestans - Antracol 70 WP
• Erwinia carotovora - Daconil 75 Wp
• Ralstonia solanacearum - Cymaxon
• Fusarium spp. - Manzate 200
- Simoxan

Sulawesi Utara • Liriomyza huidobrensis - Decis 2,5 EC


• Agrotis ipsilon - Arrivo 30 EC
• Myzus persicae - Fastac 15 EC
• Empoasca spp - Furadan 3 EC
• Aphis spp - Daconil 75 WP
• Phthorimaea operculella - Agrimec 18 EC
• Thrips spp

23
Propinsi Hama dan Penyakit Pestisida yang digunakan
• Henosepilachna sparsa
• Chysodeixis arichalcea - Agrifos 400 AS
• Phytophthora infestans - Dithane M-45 80 WP
• Ralstonia solanacearum - Manzate 200
• Fusarium spp
• Alternaria solani
• Potato Leaf roll virus (PLRV)
• Stroptomyces scabies
• Erwinia carotovora
• Meloidogyne spp

Sulawesi Selatan • Liriomyza huidobrensis - Decis 2,5 EC


• Agrotis ipsilon - Arrivo 30 EC
• Myzus persicae - Fastac 15 EC
• Empoasca spp - Furadan 3 EC
• Aphis spp - Daconil 75 WP
• Phthorimaea operculella - Agrimec 18 EC
• Thrips spp
• Henosepilachna sparsa
• Chysodeixis arichalcea - Agrifos 400 AS
• Phytophthora infestans - Dithane M-45 80 WP
• Ralstonia solanacearum - Manzate 200
• Fusarium spp
• Alternaria solani
• Potato Leaf roll virus (PLRV)
• Stroptomyces scabies
• Erwinia carotovora
• Meloidogyne spp

Tabel 17 menunjukkan adanya perbedaan penggunaan pestisida di beberapa propinsi penghasil


kentang yang diamati. Hasil observasi memberikan gambaran bahwa:
- Di Nanggroe Aceh Darussalam, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah
sekitar 12 kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Tamaron dan
Ridomil MZ 8/64 WP;
- Di Sumatera Utara, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 12-14
kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan antara lain adalah Curacron 500 EC,
Hostathion 40 EC, Marshal 200 EC, Bestox 50 EC, Topsin M 70 WP, Prevecur N,
Atabron 50 WP, Orthene 75 WP, Dithane M-45 80 WP, Antracol 75 WP and Ridomil
MZ 8/64 WP;
- Di Sumatera Barat, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang rata-rata adalah 16
kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Curacron 500 EC, Confidor 200
SL, Metindo 25 WP, Lannate 25 WP, Decis 2,5 EC, Buldok 25 EC, Dithane M-45 80
WP and Antracol 75 WP;
- Di Jambi, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 14 kali per
musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Mipcin 50 WP, Winder, Dithane M-45
80 WP, Curzate 8/64 WP and Antracol 75 WP;
- Di Jawa Barat, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 20 kali per
musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Curacron 500 EC, Marshal 200 EC,
Arrivo 30 EC, Spontan 400 WSC , Decis 2,5 EC, Confidor 200 SL, Regent 50 EC,

24
Rugby 10 G, Dithane M-45 80 WP, Curzate 8/64 WP, Ridomil MZ 8/64 WP, Oktanil 75
WP, Daconil 75 WP and Antracol 70 WP;
- Di Jawa Tengah, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 10-14
kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Acrobat 50 WP, Sevin, Buldok
25 EC, Pegasus 500 SL, Curacron 500 EC, Daconil 75 WP, Curzate 8/64 WP and
Dithane M-45 80 WP;
- Di Jawa Timur, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 15-20 kali
per musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Dursban 20 EC, Curacron 500 EC,
Bancol 50 WP, Ambush 2 EC, Decis 5,5 EC, Padan 50 SP, Spontan 400 WSC,
Curzate 8/64 WP, Maneb, Dithane M-45 80 WP, Antracol 70 WP, Daconil 75 WP,
Cymaxon, Manzate 200 and Simoxan;
- Di Sulawesi Utara, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 8-10
kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Decis 2,5 EC, Arrivo 30 EC,
Fastac 15 EC, Furadan 3G, Daconil 75 WP, Agrimec 18 EC, Agrifos 400 AS, Dithane
M-45 80 WP and Manzate 200; and
- Di Sulawesi Selatan, aplikasi pestisida pada pengusahaan kentang adalah sekitar 10-
12 kali per musim. Jenis pestisida yang digunakan adalah Dursban 20 EC, Agrimec 18
EC, Confidor 200 SL and Ridomil MZ 8/64 WP.

 Panen

Ciri dan Umur Panen

Umur panen pada tanaman kentang berkisar antara 90-180 hari, tergantung varietas tanaman.
Pada varietas kentang genjah, umur panennya 90-120 hari; varietas medium 120-150 hari; dan
varietas dalam 150-180 hari.

Secara fisik tanaman kentang sudah dapat dipanen apabila daunnya telah berwarna kekuning-
kuningan yang bukan disebabkan serangan penyakit; batang tanaman telah berwarna
kekuningan dan agak mengering. Selain itu tanaman yang siap panen kulit umbi akan lekat
sekali dengan daging umbi, kulit tidak cepat mengelupas bila digosok

Cara Panen

Waktu memanen sangat dianjurkan dilakukan pada waktu sore hari/pagi hari dan dilakukan
pada saat hari cerah. Cara memanen yang baik adalah sebagai berikut: cangkul tanah
disekitar umbi kemudian angkat umbi dengan hati hati dengan menggunakan garpu tanah.
Setelah itu kumpulkan umbi ditempat yang teduh. Hindari kerusakan mekanis waktu panen.

 Pascapanen

Penyortiran dan Pengkelasan

Umbi yang baik dan sehat dipisahkan dengan umbi yang cacat dan terkena penyakit. Kegiatan
ini akan mencegah penularan penyakit kepada umbi yang sehat. Kentang di sortir berdasarkan
ukuran umbi (tergantung varitas).

25
Penyimpanan

Simpan umbi kentang dalam rak-rak yang tersusun rapi, sebaiknya ruangan tempat
penyimpanan dibersihkan dan disterilisasi dahulu agar terbebas dari bakteri. Simpan di tempat
yang tertutup dan berventilasi.

Pengemasan dan Pengangkutan

Alat pengemas harus bersih dan terbuat dari bahan yang ringan. Pengemas harus berventilasi
dan di bagian dasar dan tepi diberi bahan yang mengurangi benturan selama pengangkutan.

Pembersihan

Petani konvensional hampir tidak pernah membersihkan umbi. Untuk memasarkan kentang di
pasar swalayan/ke luar negeri, kentang harus dibersihkan terlebih dulu. Bersihkan umbi dari
segala kotoran yang menempel dengan lap. Lakukan perlahan-lahan jangan sampai
menimbulkan lecet-lecet. Selain itu umbi dapat dibersihkan dengan cara dicuci di air mengalir
yang tidak terlalu deras kemudian dikering-anginkan. Umbi yang bersih akan memperpanjang
keawetan umbi selain itu juga akan menarik konsumen

VII. Analisis finansial usahatani

• Analisis finansial produksi kentang konsumsi

Secara umum, kentang dapat dikategorikan sebagai tanaman yang memiliki karakteristik:
membutuhkan masukan tinggi, menghasilkan luaran tinggi dan mengandung risiko pengusahaan tinggi
(a high-input, high-output, high-risk crop). Respon hasil yang tinggi terhadap masukan, misalnya bibit
berkualitas baik, pupuk, pestisida dan tambahan tenaga kerja, memotivasi petani untuk menggunakan
masukan lebih tinggi pada tanaman kentang dibandingkan dengan tanaman sayuran lain. Sementara
itu, tingkat produktivitas yang relatif tinggi dari tanaman kentang, periode pertumbuhan yang relatif
pendek, dan tingginya nilai pasar komoditas bersangkutan menyebabkan usahatani kentang, terutama
di negara-negara berkembang, dapat menghasilkan tingkat pengembalian per hektar dan per hari yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lain. Namun demikian, perlu pula diperhatikan bahwa
tanaman kentang ini rentan terhadap serangan hama penyakit, cekaman kelembaban serta perubahan
cuaca ekstrim. Kerentanan tersebut cenderung menyebabkan produksi kentang memiliki variabilitas
yang lebih tinggi dibandingkan dengan tanaman lainnya. Variabilitas hasil, fluktuasi harga serta biaya
input tinggi menyebabkan usahatani kentang termasuk jenis usaha yang berisiko tinggi, namun masih
relatif lebih stabil jika dibandingkan dengan tanaman lainnya.

Komersialisasi usahatani kentang pada dasarnya tercermin dari proporsi hasil panen yang sebagian
besar dijual ke pasar. Struktur hubungan harga pasar yang terbentuk berdasarkan keterkaitan antara
petani, surplus hasil dan pasar, akan sangat berpengaruh terhadap alokasi masukan usahatani.
Sebelum memulai usahatani kentang, untuk konsumsi meja maupun bibit, sangatlah penting untuk
mempertimbangkan berbagai komponen biaya yang berkaitan erat dengan operasionalisasi usaha.
Tabel 18 menunjukkan komposisi biaya berbagai komponen masukan pada usahatani kentang di salah
satu sentra produksi penting di Indonesia.

26
Pola serupa yang dapat diamati dari komposisi biaya di berbagai sentra produksi lainnya adalah
kontribusi komponen bibit dan pestisida yang relatif tinggi. Tingginya kontribusi bibit terhadap biaya
produksi merupakan salah satu implikasi ekonomis reproduksi tanaman kentang melalui cara vegetatif
(berbeda dengan tanaman yang menggunakan benih). Pengeluaran untuk material pertanaman
menjadi lebih tinggi, jika bibit yang digunakan berasal dari impor. Sementara itu, besarnya komponen
biaya pestisida secara tidak langsung mencerminkan masih tingginya ketergantungan petani terhadap
cara pengendalian kimiawi. Pencegahan dan resiko kegagalan panen merupakan pertimbangan utama
yang mendorong petani melakukan penyemprotan rutin dan bahkan pencampuran pestisida.

Secara teoritis, setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan keuntungan maksimal dari bidang
usaha yang dipilihnya. Keuntungan maksimal ini dapat diperoleh dengan meminimalkan biaya produksi
pada tingkat output tertentu, atau sebaliknya memaksimalkan ouput pada tingkat biaya produksi
tertentu. Selain itu, keuntungan maksimal juga dapat diperoleh melalui substitusi faktor produksi yang
satu dengan lainnya, sepanjang nilai yang dikeluarkan untuk input pengganti lebih kecil dibandingkan
dengan nilai input yang digantikan (pada tingkat output yang sama). Pelaku ekonomi akan terus
meningkatkan produksinya sepanjang penerimaan dari setiap unit ouput masih lebih besar
dibandingkan dengan biaya produksinya (Colman and Young, 1989).

Dalam pengambilan keputusan seperti di atas, pelaku ekonomi membutuhkan indikator kelayakan yang
dapat diperoleh dari analisis biaya dan pendapatan (ABP). ABP dapat mencerminkan perencanaan fisik
dan finansial operasionalisasi suatu usahatani pada periode waktu tertentu. ABP merupakan teknik
sederhana yang paling banyak digunakan dalam analisis ekonomi untuk membantu pengelola dalam
mengambil keputusan usahatani yang dapat memaksimalkan keuntungan (Dillon & Hardaker, 1980).

Komponen biaya untuk sarana produksi berkisar antara 60-80% mendominasi biaya produksi usahatani
kentang. Komponen biaya untuk bibit berkisar antara 20-30%, sedangkan untuk pestisida bahkan dapat
berkisar antara 20-40%. Sementara itu, biaya pupuk organik dan pupuk buatan relatif hampir
seimbang, berkisar antara 8-11%. Komponen biaya tenaga kerja juga relatif tinggi, yaitu berkisar antara
15-21%. Informasi input-output yang dihimpun pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nisbah
benefit/biaya > 0 (indikasi bahwa usahatani tersebut memperoleh keuntungan dan layak secara
finansial). Namun demikian, indikator tersebut perlu diinterpretasikan secara hati-hati, karena besaran
nisbah penerimaan/biaya sangat sensitif terhadap perubahan harga (terutama harga luaran). Fluktuasi
harga kentang seringkali menghadapkan petani pada tingkat harga di bawah titik impas, sehingga
peluang mengalami kerugian yang secara eksplisit tidak tergambarkan pada Tabel 18 sebenarnya juga
cukup tinggi.

27
Tabel 18 Contoh kasus biaya produksi dan pendapatan usahatani kentang per hektar
Pangalengan, Jawa Barat, 2003 Pangalengan, Jawa Barat, 2004
Uraian Bibit G6 Bibit G5
Jumlah Nilai % Jumlah Nilai %
(Rp. 000) (Rp. 000)
A. Sarana Produksi 18 350 67,3 80,0
Bibit 1 500 kg 7 500 27,5 1 500 kg 6 000 20,2
Pupuk Organik 12 ton 2 400 8,8 16 000 kg 3 200 10,8
Pupuk Buatan 2 200 8,1 9,0
• NPK 700 kg 2 100
• ZA 600 kg 630
• SP-36 700 kg 1 085
• KCl 300 kg 510
• PPC/GIARO 10 l 100 20 tablet 480
Pestisida 6 250 22,9 40,0
• Insektisida 25 l 2 500 35 l 3 850
• Fungisida 75 kg 3 750 70 kg 8 050
B. Tenaga Kerja 20,9 14,9
• Mencangkul 170 hok 1 190 170 hok 1 190
• Meratakan tanah 14 hok 98
• Membuat lubang tan. 14 hok 98
• Mengangkut ppk & bibit 14 200 kg 710 45 hok 315
• Memasang ppk kandang 12 000 kg 120
• Memasang pupuk buatan 10 hok 70
• Melakukan sortasi bibit 6 hok 42
• Menanam 60 hok 300 75 hok 487,5
• Menyiang 50 hok 250
• Menimbun ke 1 30 hok 210 80 hok 520
• Melakukan pengobatan 60 hok 420 60 hok 420
• Memasang ajir 14 hok 98
• Mengikat 28 hok 140
• Menimbun ke 2 30 hok 210 40 hok 260
• Melakukan pemangkasan 14 hok 98
• Melakukan pemanenan 100 hok 500 185 hok 1 245
• Melakukan sortasi hasil 20 hok 140
• Melakukan pengepakan 10 hok 70
• Mengangkut hasil 18 000 kg 900
• Menimbang hasil 3 hok 21
C. Lain-lain 11,8 5,1
Transportasi petani 20 kali 200
Penyusutan alat 250
Sewa lahan 1 ha 2 100 1 ha 1 500
Perekat 10 l 200
Karung 540 lbr 432
Tali rafia 4 kg 40
Biaya Total 27 257 100,0 29 742,5 100,0
• Harga (Rp/kg) 2 000 2 000
• Produktivitas (kg/ha) 18 000 25 000
• Σ kentang konsumsi (kg) 16 000 25 000
• Σ kentang bibit (kg) 2 000

Pendapatan Kotor 34 000 50 000


Pendapatan Bersih 6 743 20 257,5
B/C 0,25 0,68

28
• Analisis finansial perbanyakan cepat bibit kentang bebas virus

Proses pembibitan dimulai dari in-vitro plantlet yang digunakan untuk memproduksi tuberlets dalam
rumah plastik atau untuk memproduksi mother plants yang merupakan sumber dari stek batang.
Analisis finansial mencakup satu siklus produksi bibit (G0 sampai G4) sebagai berikut:

plantlets cuttings screen-house G0

G0 tubers screen-house G1

G1 tubers open field G2

G2 tubers open field G3

G3 tubers open field G4

Jadwal tentatif/hipotetis penanaman dan panen adalah sebagai berikut:


Bibit Lokasi tanam Tanam Panen Bibit siap jual atau tanam
Plantlet Screen Okt 2003 Jan 2004 Apr 2004
Tanam G0 Screen Apr 2004 Agu 2004 Nov 2004
Tanam G1 0.28 ha Nov 2004 Feb 2005 Jun 2005
Tanam G2 0.56 ha Jun 2005 Sep 2005 Jan 2006
Tanam G3 0.93 ha Jan 2006 Apr 2006 Agu 2006

Target produksi dan komposisinya (kg)


Generasi Produksi total Kehilangan Busuk Kentang Bibit
hasil konsumsi Ditanam kembali Dijual
G0 13 000 tblts - 650 tblts - 7 410 tblts 4 940 tblts
G1 1 650 148 45 165 904 388
G2 4 520 384 115 678 1 337 2 006
G3 8 910 713 214 1 782 1 860 4 341
G4 12 610 1 115 335 3 720 - 7 440

Tabel berikut ini menggambarkan tahapan penghitungan B/C ratio (Benefit Cost Ratio), NPV (Net
Present Value) dan IRR (Internal Rate of Return).

29
A. Investasi dan Modal Kerja

1 Investasi
• Screen/rumah plastik (120 m2) 3 000 000
• Peralatan (sprayer, cangkul, dll.) 500 000
Sub total 3 500 000
2 Modal Kerja
• Sewa tanah 3 x 0.012 x 2 500 000 90 000
0.10 x 2 500 000 250 000
0.28 x 2 500 000 700 000
0.56 x 2 500 000 1 400 000
0.93 x 2 500 000 2 325 000

• Perlengkapan untuk aktivitas di rumah plastik 3 x 750 000 2 250 000


dan lapangan

• Gaji pengawas 3 x 12 x 300 000 10 800 000

Sub total 17 815 000


Total 21 215 000

B. Sumber Pendanaan

1 Kredit pinjaman dari Bank dengan tingkat bunga 10% per tahun 9 000 000
2 Dana yang dihimpun dan dimiliki kelompok 12 215 000
Total 21 215 000

C. Perencanaan Produksi

Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3


Bibit (G0) (tuberlets) 4 940
Harga jual (Rp./tuber) 1 000
Nilai (Rp.) 4 940 000

Bibit (G1) (kg) 388


Harga jual (Rp./kg) 13 500
Nilai (Rp.) 5 238 000

Kentang konsumsi (kg) 165


Harga jual (Rp./kg) 2 000
Nilai (Rp.) 330 000

Bibit (G2) (kg) 2 006


Harga jual (Rp./kg) 11 000
Nilai (Rp.) 22 066 000

30
Kentang konsumsi (kg) 678
Harga jual (Rp./kg) 2 000
Nilai (Rp.) 1 356 000

Bibit (G3) (kg) 4 341


Harga jual (Rp./kg) 8 000
Nilai (Rp.) 34 728 000

Kentang konsumsi (kg) 1 782


Harga jual (Rp./kg) 2 000
Nilai (Rp.) 3 564 000

Bibit (G4) (kg) 9 709


Harga jual (Rp./kg) 5 000
Nilai (Rp.) 48 545000

Kentang konsumsi (kg) 3 720


Harga jual (Rp./kg) 2 000
Nilai (Rp.) 7 440 000

D. Biaya Produksi

Biaya variabel

Tahun Bibit Input Lain Tenaga Kerja Macam-macam Sub total


(Rp.) (Rp.) (Rp.) (Rp.) (Rp.)

1 7 710 000 1 775 000 2 130 000 400 000 12 015 000

2 26 911 000 6 720 000 3 360 000 840 000 37 831 000

3 14 880 000 7 440 000 3 720 000 930 000 26 970 000

Total 76 816 000

Biaya tetap

Tahun Pemeliharaan Macam-macam Total


(fasilitas dan peralatan) (Rp.) (Rp.) (Rp.)

1–3 1 800 000 600 000 2 400 000

31
E. Analisis Finansial

Anggaran Implementasi

Sumber Dana Utilisasi


1. Pinjaman Rp. 9 000 000 • Investasi Rp. 3 500 000
• Screen/rumah plastik
• Peralatan (sprayer, cangkul, dll.)

2. Kelompok Rp. 12 215 000 • Modal Kerja Rp. 17 815 000


• Sewa lahan
• Perlengkapan untuk mendukung aktivitas di rumah
plastik dan lapangan
• Pengawas

Total Rp. 21 215 000 Total Rp. 21 215 000

Pembayaran pinjaman dan bunga

Tahun Utama Cicilan Tahunan Bunga (10%/thn)

1 9 000 000 3 000 000 900 000


2 6 000 000 3 000 000 600 000
3 3 000 000 3 000 000 300 000

32
Analisis Laba/Rugi

No Tahun
1 2 3

A Penerimaan

Bibit (G0) 4 940 000

Bibit (G1) 5 238 000


Kentang konsumsi 330 000

Bibit (G2) 22 066 000


Kentang konsumsi 1 356 000

Bibit (G3) 34 728 000


Kentang konsumsi 3 564 000

Bibit (G4) 48 545000


Kentang konsumsi 7 440 000

Penerimaan Total 10 508 000 61 714 000 55 985 000

B Biaya-biaya Operasional

Biaya tetap

• Pengawas 3 600 000 3 600 000 3 600 000


• Sewa lahan 340 000 2 100 000 2 325 000
• Perlengkapan 750 000 750 000 750 000
• Pemeliharaan 600 000 600 000 600 000
• Macam-macam 200 000 200 000 200 000

Biaya variabel

• Bibit 7 710 000 26 911 000 14 880 000


• Input Lain 1 775 000 6 720 000 7 440 000
• Tenaga Kerja 2 130 000 3 360 000 3 720 000
• Macam-macam 400 000 840 000 930 000
• Bunga Modal (10%) 900 000 600 000 300 000

Biaya Operasional Total 18 405 000 45 681 000 34 745 000

C Benefit - 7 897 000 16 033 000 21 240 000

D Pajak (20%) 0 3 206 600 4 248 000

E Net Benefit - 7 897 000 12 826 400 16 992 000

33
Analisis Benefit/Cost

No Tahun
1 2 3
A Penerimaan

Bibit (G0) 4 940 000

Bibit (G1) 5 238 000


Kentang konsumsi 330 000

Bibit (G2) 22 066 000


Kentang konsumsi 1 356 000

Bibit (G3) 34 728 000


Kentang konsumsi 3 564 000

Bibit (G4) 48 545000


Kentang konsumsi 7 440 000

Penerimaan Total 10 508 000 61 714 000 55 985 000

B Biaya-biaya

Investasi 3 500 000

Biaya tetap

• Pengawas 3 600 000 3 600 000 3 600 000


• Sewa lahan 340 000 2 100 000 2 325 000
• Perlengkapan 750 000 750 000 750 000
• Pemeliharaan 600 000 600 000 600 000
• Macam-macam 200 000 200 000 200 000

Biaya variabel

• Bibit 7 710 000 26 911 000 14 880 000


• Input lain 1 775 000 6 720 000 7 440 000
• Tenaga kerja 2 130 000 3 360 000 3 720 000
• Macam-macam 400 000 840 000 930 000
• Bunga modal (10%) 900 000 600 000 300 000

Cicilan utama 3 000 000 3 000 000 3 000 000

Biaya Total 24 905 000 48 681 000 37 745 000

C Benefit - 14 397 000 13 033 000 21 240 000

D Pajak (20%) 0 2 606 600 4 248 000

E Net Benefit - 14 397 000 10 426 400 16 992 000

34
F. NPV pada DF (10%), (40%) and (55%)

Tahun Penerimaan Biaya Pajak Net Benefit DF=10% NPV pada Discounted Discounted
DF=10% Benefit Biaya

(1) (2) (3) (4) = (5) (6) = (7) = (8) =


(1)-(2)-(3) (4) x (5) (1) x (5) (2+3)x(5)

1 10 508 000 24 905 000 0 - 14 397 000 0.909 - 13 086 873 9 551 772 18 170 910

2 61 714 000 46 681 000 2 606 600 10 426 400 0.826 8 612 206 50 975 764 28 462 969

3 55 985 000 37 745 000 4 248 000 16 992 000 0.751 12 760 992 42 044 735 35 669 947

8 286 325 102 572 271 82 303 826

Tahun DF=40% NPV pada DF=55% NPV pada


DF=40% DF=55%

(9) (10) = (11) (12) =


(4) x (9)
(4) x (11)

1 0.714 - 10 279 458 0.645 - 9 286 065

2 0.510 5 317 464 0.416 4 337 382

3 0.364 6 185 088 0.268 4 553 856

1 223 094 - 394 827

Beberapa temuan yang dapat ditarik dari analisis ini adalah:

• Metode NPV menggunakan biaya oportunitas modal sebagai discount rate. NPV biasa digunakan
untuk memeriksa kelayakan suatu usaha dengan menerima semua jenis usaha yang NPVnya
sama dengan atau lebih besar dari nol. Namun demikian, besaran NPV ini harus didiskon dengan
biaya oportunitas modal yang memadai. Pada kasus usaha perbenihan kentang ini, NPV pada
DF(10%) sama dengan 8 286 325 (positif). Hal ini mengimplikasikan bahwa net benefit yang akan
diterima dalam tiga tahun ke depan (Rp. 13 021 400) akan bernilai Rp. 8 286 325 pada saat ini,
dengan tingkat bunga 10% per tahun. Oleh karena NPVnya lebih besar dari nol, maka opsi
memproduksi benih kentang bebas virus secara finansial dapat diterima/layak.

• Suatu usaha perbenihan akan mengacu pada kriteria komersial normal (yaitu insentif finansial atau
motif keuntungan maksimal) yang mensyaratkan tingkat penerimaan lebih besar daripada biaya
yang dikeluarkan. B/C ratio adalah rasio antara semua tambahan benefit tahunan yang telah
didiskon, dengan semua biaya yang dikeluarkan untuk opsi tertentu. Besaran ini menggambarkan
benefit yang dihasilkan oleh suatu proyek/usaha per unit biaya dari proyek tersebut yang
diekspresikan dalam nilainya saat ini. Suatu usaha tidak akan mampu membayar tingkat bunga
yang dapat menyebabkan B/C ratio lebih kecil dari satu, karena keuntungan yang diperoleh tidak
akan dapat menutupi biaya awal. Dengan kata lain, nilai saat ini dari biaya melampaui nilai saat ini

35
dari benefit. Hasil analisis mengindikasikan bahwa B/C ratio = 102 572 271/82 303 826 = 1.25 > 1.
Hal ini mengimplikasikan bahwa proyek pembibitan kentang bebas virus dapat dikategorikan
sebagai opsi yang layak dan dapat direkomendasikan sebagai “go” proyek.

• Tingkat pengembalian internal (internal rate of return/IRR) adalah tingkat peminjaman maksimum
atau tingkat bunga maksimum yang dapat dibayarkan oleh suatu unit usaha untuk menutupi semua
investasi dan biaya operasional. Titik impas pengembalian terjadi pada saat nilai sekarang dari
aliran penerimaan atau benefit sama dengan nilai sekarang dari aliran biaya (capital outlay).
Dengan kata lain, IRR adalah tingkat pengembalian yang memungkinkan nilai sekarang dari
keseluruhan aliran benefit dan biaya sama dengan nol (NPV=0). Hasil analisis menunjukkan bahwa
IRR dari proyek pembibitan kentang adalah:
IRR = 40% + [(1 223 094)/{(1 223 094) – (-394 827)}] [55% - 40%]
= 40% + [(1 223 094/1 617 921)] [15%]
= 40% + 11.34%
= 51.34%

Hal ini mengandung arti bahwa jika biaya modal dari usaha pembibitan kentang didanai dari
peminjaman ke bank dengan tingkat bunga lebih besar dari 50% (tingkat bunga aktual diasumsikan
10% per tahun), maka usaha tersebut masih dapat menerima pendapatan yang cukup membayar
pinjaman dan bunga. Hasil evaluasi finansial menyarankan bahwa proyek pembibitan kentang
bebas virus dapat dikategorikan sebagai opsi yang layak dan dapat direkomendasikan sebagai “go”
proyek.

VIII. Perkembangan plasma nutfah/benih dan penelitian

Tabel 19 Koleksi plasma nutfah kentang Balitsa


No No LV No No LV No No LV No No LV
• RPTP Plasma Nutfah • Sujoko Sahat
1 36 51 3153 101 Atlantic 149 Berolina
2 80 52 44 102 Atlantik 150 Kennebec
3 41 53 AH 11 103 Vanda 151 Serrana Inta
4 19 54 YP 90-103 104 Merbabu 152 MF II
5 21 55 AH 12 105 Desiree 153 385130. II/FLS-5
6 42 56 YP 89-070 106 Granola L 154 Segunung
7 40 57 53 107 Sumbar
8 3 58 AH 50 108 TS 2
9 38 59 5170 109 Erika
10 RP 60 65 110 Crespo
11 7 61 AH 5 111 Coliban
12 33 62 42 112 Agria
13 30 63 56 113 Akira
14 27 64 49 114 Ultra
15 31 65 68 115 CIP 7
16 8 66 59 116 Klon 3
17 9 67 51 117 Klon 5
18 10 68 56 118 Klon 9
19 42 69 VANDA 119 Klon 10
20 21 70 94 120 Klon V2
21 35 71 58 121 Klon V3

36
22 16 72 10 122 Klon PI
23 5A 73 15 123 YP 89 – 070
24 G0 74 KERINCI L 124 YP 90 – 103
25 26 75 KERINCI B
26 39 76 MC • Asih Kartasih
27 54 77 31 125 Atlantik
28 49 78 Ps Giham 126 Ingabire
29 28 79 Harto 127 Sante
30 36 80 22 128 No. 676068/I. 1085
31 24 81 AH 15 129 Atzimba
32 45 82 GB 130 Russet Burbank
33 27 83 12 131 No. 095
(HertaxFLS-17)
34 50 84 8 132 No. 239
(HerthaxKlon 17)
35 32 85 34 133 Desiree
36 11 86 Dunja 134 Granola
37 34 87 Granola 135 LBr-40
38 13 88 AH 3 136 Akira
39 25 89 50 137 Agria
40 35 90 J8 138 Pimpernel
41 37 91 No 37 139 DTO-33
42 60 92 39 140 Cosima
43 23 93 AH 45 141 38455.8.10/FBA-4
44 Atlantik 94 47 142 720050/Kikondo
45 62 95 32 143 Merbabu-17
46 Desire aust 96 No 8 144 Latif
47 57 97 14 145 Cipanas
48 5220 98 2 146 Amoedra
49 5169 99 AH 4 147 Manohara
50 5189 10 G–0 148 Batang hitam
0

Penelitian kentang yang telah dilaksanakan oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran dalam dua dekade
terakhir, secara ringkas diuraikan berdasarkan disiplin ilmu serta topik penelitian. Uraian ini pada
dasarnya merupakan sintesis dari laporan hasil penelitian kentang yang dipublikasikan dan tidak
dipublikasikan.

Pemuliaan

Penelitian pemuliaan dan plasma-nutfah kentang periode 1980-2000 yang telah dipublikasikan
sebanyak 93 artikel. Tabel-tabel dibawah ini memperlihatkan sebaran topik, jumlah artikel, varietas,
asal serta ekosistem tempat penelitian pada masing-masing bidang Penelitian Pemuliaan Tanaman,
Perbenihan dan Plasma-nutfah. Beberapa catatan umum yang dapat ditarik adalah :

a. Topik penelitian pemuliaan ada 26 artikel dengan proporsinya sebesar 28%, penelitian
perbenihan/perbanyakan ada 65 artikel dengan proporsinya sebesar 70% dan penelitian plasma-
nutfah ada 2 artikel dengan proporsinya sebesar 2%.
b. Materi penelitian yang digunakan dalam penelitian pemuliaan dan plasma nutfah berjumlah 197
varietas/klon/nomor silangan. Jenis kultivar yang dominan digunakan dalam penelitian pemuliaan
dan plasma nutfah adalah Granola (27 penelitian).

37
c. Introduksi varietas kentang berasal dari beberapa lembaga penelitian internasional seperti: CIP dan
AVRDC. Selain itu juga introduksi dari beberapa negara seperti: Belanda, Jerman, Amerika Serikat,
Australia, Filipina dan Srilangka.
d. Ekosistem yang digunakan untuk penelitian kentang adalah dataran tinggi 85% (terdiri dari
penelitian di lapangan,rumah kaca dan laboratorium), dataran medium 14% (semua penelitian
dilaksanakan di lapangan), serta dataran rendah 1% berupa penelitian lapangan.

Hasil penelitian pemuliaan tanaman kentang berdasarkan topik diuraikan secara singkat di bawah ini:

1. Persilangan tanaman kentang termasuk pembungaan, pembuahan dan pembijiannya (3 artikel):

• Varietas E 1282-19 dapat menghasilkan 14 buah/tanaman dengan perlakuan 40 ppm asam


giberelat dan setiap buah dapat menghasilkan 200 biji.
• Persilangan Solanum phureja yang bersifat haploid (2x=24) adalah sebagai donor. Bila
disilangkan dengan tetraploid (4x) maka turunannya akan bersifat tetraploid hibrida (4x) yang
relatif mantap dan komersial.
• Penggunaan umbi bibit dengan ukuran besar (55-60 g) disertai penyemprotan 40 ppm GA-3
dan pemangkasan pucuk yang ditinggalkan 3 klaster dapat meningkatkan jumlah bunga dan
buah.
• Varietas kentang yang sulit berbunga pada kondisi pembentukan bunga, buah dan biji dengan
cara penanaman di atas batu bata atau sobekan plastik.
• Tanaman semaian pada umur 3,4 dan 5 minggu setelah semai tidak berpengaruh terhadap
hasil umbi tanaman kentang asal biji botani pada progeni Atzimbax DTO-28 ataupun HPS 7/13.
• Kultivar Red Pontiac menghasilkan jumlah bunga terbanyak dan bersifat sterilitas tertinggi
dibandingkan kultivar Cipanas dan Granola.

2. Seleksi klon pada kentang sebanyak (1 artikel).

• Pengujian klon seleksi kentang di Lembang menunjukkan bahwa hasil bobot umbi varietas
Thung 151-2/29 (27,9 t/ha) dan Rapan 106-4/5 (27, 6 t/ha).

3. Introduksi dari beberapa lembaga penelitian internasional (CIP dan AVRDC) dan beberapa negara
(1 artikel).

• Spunta merupakan varietas introduksi yang mempunyai harapan untuk dikembangkan lebih
lanjut untuk umbi bibit maupun konsumsi.
• Varietas agria, Remaka, Diamant dan Desiree dapat beradaptasi di Indonesia dengan hasil
bobot dan ukuran umbi lebih tinggi dibandingkan kontrol (Granola).

4. Uji adaptasi di dataran tinggi, medium dan rendah (9 artikel).

• Varietas kondor dapat beradaptasi di dataran tinggi dengan hasil 20,0 t/ha sebanding dengan
kontrol Cipanas dengan hasil 17,6 t/ha selanjutnya diikuti Red Pontiac, Sebago, Diamant,
Draga, Cosima dan Spunta.
• Varietas kentang yang mempunyai adaptasi baik di dataran medium adalah Katella, Cipanas
dan TD 84/166.
• Klon TD 84-166, MH 6802 merupakan klon harapan menjadi varietas unggul baru yang
sebanding dengan kontrol klon Thung 151 C.

38
• Klon Rapan 106 dan Rapan 181 mempunyai daya hasil cukup tinggi masing-masing 33,0 dan
31,6 t/ha.
• Adaptasi 6 kultivar kentang di dataran medium menunjukkan bahwa DTO-33 mempunyai daya
adaptasi terbaik dengan ditandai pertumbuhan dan bobot umbi tertinggi (38,1 t/ha).
Selanjutnya diikuti CV. Desiree. Diamant, Cosima, Granola dan Cipanas.
• Adaptasi 6 progeni tuberlet asal biji botani di dataran medium menunjukkan progeni No. 71240
dapat memberikan hasil bobot umbi yang tidak berbeda nyata dengan kontrol varietas Granola
(10,0 t/ha) dan Cipanas (8,0 t/ha).
• Red Pontiac, Cosima dan Monza yang berasal dari tuberlet merupakan varietas yang
beradaptasi dengan baik di dataran medium dan memberikan hasil bobot umbi (14,6 – 15,5
t/ha) lebih baik dibandingkan Cipanas (10,1 t/ha) dan Berolina (8,5 t/ha).
• Uji adaptasi 5 kultivar kentang di dataran tinggi Pangalengan menunjukkan bahwa varietas
Morene, Mondial, DTO-33 dan Cruza sebanding dengan varietas Granola (kontrol).
• Varietas Granola dapat beradaptasi lebih baik di dataran medium kabupaten Simalungun
dibandingkan varietas Santhe, Hertha, Agria, HPS dan AtzxDTO-28 dengan memberikan hasil
umbi tertinggi yaitu 14 t/ha.
• Varietas Desiree, DTO-33 dan Cosima dapat beradaptasi di dataran medium pada musim
penghujan dengan hasil bervariasi berkisar 7,7-15,1 t/ha.

5. Uji daya hasil klon/progeni kentang (5 artikel).

• Uji daya hasil 11 progeni tanaman kentang dari biji menunjukkan sebanyak 3 progeni (PAS-
4012, PAS-4004 dan E 1282/19) memberikan hasil bobot dan kualitas umbi cukup tinggi
dibandingkan progeni lainnya.
• Klon BPH 902102 (25,0 t/ha) dan BPH 902105 (23,1 t/ha) merupakan klon harapan yang
berpotensi menjadi varietas unggul baru.

6. Uji resistensi terhadap Phytophthora infestans, Psedomonas solanacearum dan toleran panas (5
artikel).

• Varietas Rapan 106 resisten terhadap P. infestans, makin tua umur tanaman akan makin
rentan.
• Uji daya hasil dan resistensi varietas kentang terhadap Phythophthora infestans menunjukkan
bahwa varietas Gelda dapat toleran sehingga perlu dipertahankan sebagai bahan pemuliaan
untuk hibridisasi.
• Evaluasi plasma nutfah kentang untuk ketahanan terhadap penyakit layu bakteri menunjukkan
5 klon harapan yaitu 380592.19, 380592.23, 380592.48, 382017.1 dan 382041.1 mempunyai
ketahanan tinggi terhadap layu bakteri dan potensi hasil bobot umbinya tinggi.
• Skrining toleransi panas pada 3 spesies diploid kentang menunjukkan Solanum bulbocastanum
menunjukkan kerusakan yang paling rendah di rumah kaca,tetapi setelah perlakuan panas
sebaliknya Solanum chacoense, Red Pontiac dan DTO-33 menunjukkan kerusakan lebih
sedikit.
• Pengujian resistensi 9 klon kentang terhadap penyakit busuk daun menyimpulkan 2 klon (HPS
7/13 dan AtzimbaxR/126) termasuk tahan dan 2 klon (10412.LB.OP dan AtzimbaxDTO-28)
termasuk toleran.

39
7. Bioteknologi molekuler pelaksanaannya dilakukan di luar negeri (2 artikel).

• Penggunaan prober DNA padi yang dilabel dengan cara non radioaktif dilakukan terhadap n
DNA dari 33 klon kentang tetraploid, 9 klon kentang dihaploid, 8 klon transgenik dan 2 klon
diploid. Hasil elektroforesis yang dideteksi pada negetif sinar x, ternyata DNA yang direstriksi
dengan enzim Eco RI dan kemudian dihibridisasi dengan probe r DNA padi yang dilabel
menunjukkan garis-garis yang terpisah jelas merefleksikan pola DNA yang berbeda.
• Prosedur isolasi protoplasma dari mesofil daun pada 4 galur spesies diploid kentang Solanum
chacoense 2, S. chacoense 8, S. microdatum 5 dan S. bulbocastanum 187.21 menunjukkan
bahwa penggunaan benziladenin dan asam giberelat tidak menambah kualitas pertumbuhan
tunas pucuk in vitro maupun protoplasmanya. Tunas pucuk yang ditumbuhkan dalam media
dengan level sukrosa lebih rendah (0,1%) menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik.

Tabel 20 Topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem penelitian pemuliaan tanaman
periode 1980 – 2000.
No. Topik Jumlah Varietas Asal Ekosistem
Artikel

1. Persilangan 3 3 (4x/4x) DT (2)


1 (4x/2x)
1 (2x/4x)
1 (2x/2x)
5 (OP/OP)
Desiree
Baraka
Diamant
Granola
Cipanas
Red Pontiac
2. Seleksi 1 Rapan 106/3/5 DT
Rapan 106/4/5
Thung 151-2/3
Thung 151-2/29
Amerika 169 a/4
Amerika 169 a/5
Belanda 652/10
Belanda 652/11
Rapan 106
Thung 151
Desiree
Katella
Rapan 104
3. Introduksi 1 Ajak Belanda DT
Cardinal Belanda
Desiree Belanda
Estima Belanda
Diamont Belanda
Draga Belanda
Gigant Belanda
Kondor Belanda
Morene Belanda
Nocola Belanda
Nordstern Jerman
Red Pontiav USA
Sebago Australia
Squoio Belanda
Spunta Belanda
Thung 151 Indonesia
Rapan 106 Indonesia

40
Cipanas Indonesia
Cosima Jerman
Katella Indonesia
4. Persilangan 9 Katella DT (7)
1282/19
TD 84/126
Cipanas (5)
TD 84/166
Baraka DT (2)
Donata
Desiree (4)
Draga
Estima
Exodus
Marijke
Mirka
Edbad
Siro
Renova
Spunta (2)
Katela (2)
Rapan 106
Rapan 181
Thung 151 C (2)
Cosima (5)
Aquila
Nicola
Red Pontiac (@)
Segunung
Nordstern
Morene
Cardinal
Red la Soda
Granola (6)
TD-152
800941
Katahdin
381064.7
Diamant
DTO-33 (3)
BPH 902101
BPH 902102
BPH 902103
BPH 902104
BPH 902105
Berolina
Monza
Morene
Mondial
Cruza
Santhe
Hertha
Agria
HPS
AtzxDTO28
5. Uji daya hasil 5 MH 6802 (2) DT (4)
TD 84-166 (2) DM (1)
Thung 151C (2)
Nordstern (2)
Sequoia (2)
Cipanas (3)
Katella (2)
Cosima (2)
B78597.1 CIP
B71240.2 CIP
B81064.7 CIP
B81064.10 CIP

41
B81064.12 CIP
AVRDC1287.12 CIP
1931 CIP
M51C.2 CIP
Aula
Amelia
Dunya
Ynivita
Planta
Secura
Secala
Gelda
Desiree
Vangoch
Diamant
Agria
Remaka
Bevamba
Granola

6. Uji resistensi 2 (Pi) Cosima RK (2)


Pi=Phytophthora 1 (ht) Draga Lab (1)
Ht=heat tolerant Rapan 106
Bw=Bacterial wilt Desiree
Katella
2 (Bw) 381064. 3x490 Filipina DT (2)
381064. 3xDTO 33
381064. 3xAVR DC
381064. 3x7xy 13
381064. 12xDTO 33
381064. 12x7xy
Conchitaxkufri Jyoti Peru
385263
385334
385335
385338
Seri 382
Seri 384
Amalia Eropa
Aulaa
Scala
Scura
Semene
Erntestolz
Planta
Dunja
Rex
152/2
Univita
Isna
Clarisa
Granola (3)
Desiree
PI275187
PI275196
PI320286
PI320304
DTO 33
Red Pontiac
Cipanas
HPS. 7/13
10412LB. OP
AtzimbaxDTO28
AtzimbaxR. 126
Monza
Herta
Atlantic

42
7. Bioteknologi 1 (bm) 33 tetraploid Lab (2)
molekuler 9 dihaploid
8 transgeni
2 diploid
1 (Pr) S. chacoense2
S. chacoense8
S. microdontum
S. bulbocasnum

Hasil penelitian perbenihan dan perbanyakan kentang melalui umbi, stek dan kultur meristem, secara
ringkas diuraikan di bawah ini.

1. Perlakuan umbi untuk bibit (14 artikel).

• Pembelahan umbi bibit besar menjadi 2-4 bagian tidak memberikan perbedaan hasil yang
nyata dibandingkan dengan yang ditanam dari umbi utuh.
• Waktu pembelahan umbi bibit kentang sebaiknya dilakukan segera setelah panen, agar kalus
yang terbentuk tebal dan merata. Selanjutnya pembelahan umbi bibit kentang yang berukuran
>60 g dapat dianjutkan dibelah menjadi 2 bagian.
• Bibit kentang yang berasal dari kultur jaringan menghasilkan jumlah tunas utama dan bobot
umbi lebih banyak dibandingkan dengan bibit yang berasal dari pertanaman lapang.
Selanjutnya bibit yang berukuran besar (>30 g) memberikan hasil umbi yang lebih banyak.
• Ukuran bibit dan jarak tanam pada kultivar Knebbec G-3 tidak berpengaruh terhadap jumlah
umbi mini pertanaman. Untuk memperoleh jumlah umbi mini bibit sebanyak-banyaknya, maka
jarak tanam sempit (5x5 cm) paling sesuai digunakan.
• Varietas Granola memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan Cipanas, semakin besar ukuran
umbi bibit yang digunakan semakin tinggi hasil yang diperoleh.
• Pemberian daun albizia, gliricidia, sekam padi dan serbuk gergaji dengan dosis 250 g/7 kg
umbi kentang Granola satu bulan setelah panen dapat mempercepat pematahan proses
dormansi satu bulan lebih awal dibandingkan kontrol selama penyimpanan di gudang.

2. Perbanyakan melalui kultur meristem (4 artikel).

• Media MC-2 dan MC-4 dapat dipergunakan sebagai media kultur meristem pada varietas
Desiree, Cipanas, Cosima dan Katella walaupun jumlah planlet yang dihasilkan berbeda.
• Penambahan konsentrasi media Murashige dan Skoog dapat meningkatkan pembentukan
tunas pada varietas Rapan 106, Thung 151 dan TD 84-152.
• Respon pertumbuhan shoot tip kentang varietas Granola terbaik pada media basal Gamborg.
• Penambahan Benzil Amino Purin 0,2 ppm pada media Murashige dan Skoog padat dan lama
penggelapan 1 minggu dapat meningkatkan jumlah daun, tinggi tanaman dan jumlah tunas.
• Jaringan meristem kultivar Granola yang ditumbuhkan pada media MS dengan penambahan
hormon GA-3, NAA dan BAP dapat meningkatkan pertumbuhan eksplan sebesar 60-100%.

3. Perbanyakan umbi untuk bibit melalui stek (31 artikel).

• Media sub soil + kompos dan sub soil + pupuk kandang baik digunakan dalam produksi stek
kentang dengan kerapatan 400-1000 tanaman/m2.
• Stek yang ditumbuhkan selama 3 minggu di pembibitan menghasilkan bobot umbi dan jumlah
umbi tertinggi.

43
• Aplikasi stek lengkap (pucuk + batang) adalah yang terbaik digunakan sebagai bahan
perbanyakan kentang asal in vitro, karena dapat meningkatkan panjang akar dan tinggi
tanaman.
• Umur tanaman induk mempengaruhi pertumbuhan dan ketahanan stek di tempat pengumbian.
• Sukrose dan GA-3 diperlukan untuk menumbuhkan tunas. Dengan sukrose 30 g/it dapat
menghasilkan jumlah nodus dan tunas tertinggi.
• Cara sterilisasi tanah dengan matam sodium (vapam) dapat menekan serangan layu bakteri.
• Cara sterilisasi tanah dengan metam sodium diberi perlakuan penyemprotan streptomisin dan
penguapan memberi harapan baik terhadap penekanan serangan penyakit layu pada tanaman
stek dirumah kaca.
• Kultivar kentang berpengaruh terhadap jumlah stek/batang, jumlah stek/umbi dan jumlah
btang/umbi. Kultivar Segunung dengan umbi ukuran besar (4-6 g) menghasilkan bobot dan
jumlah umbi/pot yaitu 178,3 g dan 44,3 umbi lebih baik dibandingkan kultivar Berolina. Cipanas
dan DTO-33.
• Waktu pemindahan stek kentang varietas Granola yang terbaik adalah ditumbuhkan selama 2
minggu di pembibitan dengan hasil bobot umbi/tanaman sebanyak 316,0 g, dimana
pertumbuhan dan produksi umbi dari tunas dan stek batang tidak berbeda nyata.
• Perlakuan terbaik lama pengakaran untuk stek sebelum di tanam di lapangan adalah 2 minggu
dapat menghasilkan bobot umbi/tanaman tertinggi (98,6g) pada kultivar Granola.
• Tidak ada interaksi antar perlakuan pemupukan melalui daun dan kultivar kentang terhadap
tanaman induk, tanaman dapat distek, jumlah stek/tanaman.
• Pemangkasan pucuk batang tanaman induk pada umur 18 hari memberikan hasil bobot umbi
tertinggi (363,0 g atau 8,8 umbi).
• Kultivar Berolina maupun DTO-33 hanya menghasilkan stek/tanaman berkisar (0,8-1,43 stek)
dengan bobot umbi mini/pot berkisar (29, 8-41, 2 g).
• Stek pucuk dan stek batang pada kultivar Berolina dengan jarak tanam 70x15 cm memberikan
bobot umbi/petak tertinggi (2,5 dan 3,6 kg/4 m2).
• Stek tunas umbi memberikan jumlah dan bobot umbi/petak lebih tinggi dibandingkan stek
batang dan stek buku tunggal pada kultivar Granola.
• Sumber tanaman induk (umbi mini, stek pucuk in vitro dan stek pucuk in vivo) pada kultivar
Segunung dan Granola tidak berinteraksi terhadap persentase tanaman tumbuh, tanaman
dapat distek dan jumlah stek/tanaman. Jumlah stek/tanaman dapat mencapai 3.86 pada
tanaman induk asal umbi mini.
• Kerapatan dan pemberian pupuk daun Tress, Atonik, Greenzit Baytolan dan Urea tidak
berinteraksi terhadap persentase tanaman tumbuh, tanaman dapat distek dan tinggi tanaman
semakin rapat tanaman induk, semakin kecil ukuran dan jumlah umbi yang dihasilkan.
• Pemberian Auksin, Sitokinin dan GA-3 pada eksplan pucuk tanaman kentang kultivar Granola
dapat mamacu pertumbuhan “multishoot” menjadi 10 buah dengan jumlah akar 3 setiap buku
dan setiap buku tumbuh 1 tunas.

4. Biji botani/TPS (20 artikel)

• Umur persemaian yang terbaik untuk penanaman kentang dari biji botani adalah 4 minggu,
dimana progeni F1 SE-11x16/1785B dapat memberikan hasil tertinggi yaitu 35,5 t/ha.
• Uji daya hasil progeni kentang mempunyai potensi hasil bobot umbi berkisar 27,9-44,5 t/ha.
• Uji adaptasi 12 progeni kentang di dataran medium menunjukkan bahwa progeni Sitax 7XY-1
menghasilkan bobot umbi tertinggi (18,6 t/ha).
• Evaluasi 5 progeni TPS pada ketinggian 900 m dpl menunjukkan bahwa progeni
AtzimbaxDTO-28 menghasilkan bobot dan jumlah umbi tertinggi (13,3 t/ha).

44
• Progeni kentang sebanyak 8 nomor diuji sumber bibit dari umbi dan biji memperlihatkan
pertumbuhan dan hasil bobot umbi yang berasal dari umbi lebih tinggi dibandingkan sumber
bibit dari biji pada progeni yang sama.
• Progeni kentang asal bibit botani SerrenaxDTO-28 memberikan bobot umbi tertinggi (4,8 t/ha)
di tanah sawah dataran medium, tetapi tidak berbeda nyata dengan 4 progeni lainnya.
• Uji daya hasil 11 progeni kentang asal biji botani menunjukkan bahwa bobot umbi progeni
Atzimbax104-12 LB (50,0 t/ha), progeni AtzimbaxR-128,6 (42,6 t/ha) dan progeni CFK-69. 1xR-
128.6 (36.2 t/ha).
• Ketinggian tempat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil umbi kentang asal biji botani.
• Progeni AtzimbaxDTO-28 dan HPS 7/13 merupakan progeni yang bersifat stabil dan
memberikan hasil umbi lebih tinggi dibandingkan progeni AtzxR-128.6. SerrenaxDTO-28 dan
AtlanticxLT-7 pada lokasi dan musim yang berbeda.
• Progeni AtzimbaxDTO-28 dan HPS 7/13 dimana umur panen tanaman semaian pada musim
sebelumnya tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil umbi pada musim berikutnya.
• Umbi semaian kecil dengan dosis benih 0,75 t/ha pada progeni HPS 7/13 cenderung
memberikan hasil umbi lebih tinggi (16,8 t/ha) dibandingkan AtzimbaxDTO-28 (11,8 t/ha).

5. Uji perkecambahan dan vigor (2 artikel)

• Perendaman biji kentang dalam GA-3 1000 ppm dan mixtalol 1 ppm memberikan daya
kecambah terbaik, tetapi tidak berpengaruh terhadap daya muncul kecambah di lapangan.

Tabel 21 Topik, jumlah artikel, varietas, asal dan ekosistem penelitian perbenihan/per-banyakan
tanaman periode 1980-2000.
No. Topik Jumlah Varietas Asal Ekosistem
Artikel

1. Perlakuan umbi 15 Rapan 181 DT (14)


Untuk bibit Katella (2) DM (1)
Desiree (2)
Draga
Rapan 106
Marita
Cosima (3)
Granola (4)
DTO-33
Knebbec
Cipanas
2. Kultur Meristem 4 Desiree Lab (4)
Cosima
Cipanas
Katella
Rapan 106 (2)
Thung 151 (2)
TD 84-152 (2)
Granola
3. Perbanyakan 31 1931 (3) CIP RK (20)
Melalui stek AVRDC1287.19 (2)
AVRDC1287.12 DT (8)
LT 1 Lab (4)
Desiree (3)
DTO-28
Cosima (2)
Cipanas (6)
Segunung (4)
Diamant

45
Granola (9)
DTO-33 (4)
371240.2 Filipina
378597.1 Filipina
Berolina (3)
4. Biji botani (TPS) 20 DTO-33 DT (17)
AtzimbaxR128 (7) DM (3)
SeranaxDT028 (3)
AtzimbaxDT028 (9)
Cosima
TD-1284
Cipanas (2)
Rapan 106
E-1282/19 (3) DT (14)
PAS 4032 DM (1)
PAS 4015
PAS 4014
PAS 4012
PAS 4005
PAS 4004
PAS 4002
PAS 3064
PAS 3063
Desiree
OP12/1085b
OP260/39b
OP16/1785b
FISE11x16/1785b
Tolacanx260/39 b
260/39bx16/1785b
AtzimbaxDTO 28 (2)
Esca P/7
SerenaxDTO28
AtlanticxLT7 (4)
88 EX 2
82-11 self Indonesia
7/0 self Indonesia
OP 260 Srilangka
Sitax7xy1 Srilangka
SitaxOP260 Srilangka
HPS 2/67
HPS 2/13
HPS 11/67
HPS 11/13
HPS 1/67
HPS 1/13
HPS 1/13 (6)
No. 71240
4 IDI OP (2)
104.12LB.OP (3)
Atzimbax7XY1 (3)
Granola
BR63.74xR128
Cruza148x140 12.LB
SerenaxLT7 (3)
I. 931xAVRDC
Hi Alta
CFK69xR128.6
CFK69xDT028
4. Uji perkecambahan 2 W 639 X Lab (2)
dan vigor Merry Mech
AtzimbaxDT028
SerenaxLT7
AtlanticxLT7

46
Agronomi

Tabel 1. menunjukkan sebaran topik, varietas, serta ekosistem pada penelitian agronomi selama kurun
waktu 1982-2002. Beberapa catatan umum yang dapat ditarik dari Tabel 1 adalah:

• Topik penelitian pemupukan proporsinya mencapai diatas 50% dibandingkan topik penelitian
agronomi lainnya
• Jenis kultivar yang dominan digunakan adalah Granola (44) dan Cipanas (11)
• Ekosistem yang digunakan untuk penelitian kentang adalah dataran tinggi (64), dataran medium
(19), rumah kasa (11), dan dataran rendah (1)

Tabel 22 Topik, varietas dan ekosistem penelitian agronomi 1982-2002

No Topik Varietas Ekosistem Sumber

1. Penggunaan pupuk tunggal N Granola, Cipanas, dt (4); rk; dm BPH 21 (3), 22 (1),1992;
(7 artikel) DTO-33 24 (4), 1993
J.Hort. 8(1), 1998

2 Penggunaan pupuk tunggal P Granola, Desiree dt (3), rk BPH 21 (1), 1991; 23 (3), 1992;
(3 artikel) J.Hort.7(4), 1998

3 Penggunaan pupuk tunggal K Granola (3), Berolina, dt (3), rk BPH 24 (1), (2), 1992;
(4 artikel) DTO-33 dm J.Hort. 1(4),1991; LHP 1995/96

4 Penggunaan pupuk N + P Katella (3), Cosima dt (4), rk BPH 15 (1),(2), 1987; 18(1), 1989
(4 artikel)

5 Penggunaan pupuk majemuk Granola (3), DTO-33 dt (5),rk BPH 19(4), 1990; 20(3),(4),1991;
(5 artikel) Cipanas, Berolina 24 (3), 1993; J. Agr.12(3),2001

6 Penggunaan pupuk N+P+K Granola (3), dt (3) BPH 12 (1),1985; 23 (1), 1992;
(5 artikel)
Cipanas, dm (2) J.Hort.8(1),1998; 11(1), 2001
DTO-33
7 Penggunaan pupuk daun Granola (2), Cipanas dt (3), rk BPH 20(1), 1990; 24(3), 1993;
(3 artikel) Segunung 27 (2), 1995

8 Penggunaan pupuk organik Granola (3), Cosima dt (4) BPH 9(1),(3), 1982; 11 (2), 1984;
(6 artikel) Katella, Cipanas 18(1),1989;J. Hort. 8(2), 1998;
dm (2) 12(3),2002

9 Penggunaan ZPT Granola (4), Draga dt (4), dm BPH 10 (3), 1983;20(3), 20(4),
(5 artikel) 1991;J.Hort.9(1),1999;9(4),2000

10 Perlakuan pengapuran Granola (2), Cosima, dt (5), dm BPH 9 (4), 1982; 11 (1), 1984; 25
(6 artikel) Cipanas (3) (3), 1993
11 Residu Mg Katella Dt BPH 11 (2), 1984
(1 artikel)

12 Perlakuan kerapatan tanam Cosima, DTO-33, dt (7), rk, dm BPH 10(3), 1983; 11(2), 1984;
(10 artikel) Granola (4), Rapan 181, (2), dr 15(2), 1987; 19(4),1990; 20(1),
Red Pontiac, Knebbec, 1990; 23 (1), 1992; 25 (4), 1993; 27

47
E-1282/19, Desiree, (2), 1995; LHP 1993/
Atzimba x R-128.6 1994

13 Perlakuan tumpangsari Granola (12) dt (6), dm (6) BPH 20(3), 21(1), 1991; 24(2),
(12 artikel) 1992;24(4),25(1), 1993; J.Hort.
1(2), 1(4), 1991;7(2),1997;8(3),
1998; LHP 2001-2002

14 Perlakuan cara tanam Granola (3), Draga, dt (4), dm (3) BPH 9(4),1982; 10(1)(3), 1983;
(7 artikel) Desiree, Katella, Red 15(2)(3), 1987; 22(3), 1992;
Pontiac, Cipanas J. Hort. 8 (1), 1998

15 Penggunaan bibit Granola (3), Desiree dt (5) BPH 13(2), 1986;18(4), 1989;
(5 artikel) Cipanas (2), Rapan 106, 19 (4), 1990;24(2), 1992; J. Hort. 5
Cipanas (2), Rapan 106, (5), 1996
Maritta, Cosima,
Segunung, Diamant
16 Perlakuan umur stek Granola (2) dt (2) BPH 22(2),1992;25(1), 1993
(2 artikel)

17 Perlakuan umur panen Desiree dt BPH 20(2), 1990


(1 artikel)

Hasil penelitian per topik sampai dengan tahun anggaran 2002 adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan pupuk N

• Biji kentang progeni Atzimba x DTO-28, dt/Lembang, mh, 180 kg P2O5/ha, 120 kg K2O/ha:
o Pemberian 225 kg N/ha dengan waktu pemberian empat kali yaitu 90 kg N/ha
(saat tanam) dan 45 kg N/ha (masing-masing umur 20, 30 dan 40 hst)
memberikan hasil umbi bibit tertinggi (45.000 t/ha dengan jumlah 5.512.000
umbi)

• Granola, dm, mk:


o Urea (sumber Nitrogen) mempunyai tingkat kerusakan umbi kentang lebih
tinggi daripada ZA, tetapi pupuk Urea berpengaruh baik terhadap umbi
kentang berukuran besar (> 60 g).
o Kombinasi antara dosis pupuk N-Urea 25 kg/ha dan N-ZA 50 kg/ha
memberikan hasil umbi total terbaik

• Pemberian pupuk chilean nitrate sangat berpengaruh terhadap produksi umbi kentang baik
jumlah maupun bobot umbi. Produksi umbi terbaik dicapai dengan dosis 250 kg N/ha dari
sumber Potash Nitrate, Chilean Potash Nitrate dan Chilean Sodium Nitrate

• Granola, dm/Pacet, Aluvial, mh, 150 kg P2O5/ha, 150 kg K2O/ha:


o Dosis 300 kg N/ha menghasilkan bobot umbi > 60 g dan bobot umbi total per
tanaman terbaik, sedangkan waktu pemupukan (sekaligus pada saat
tanaman, dua kali pemberian: saat tanam dan 30 hst) tidak berpengaruh nyata
terhadap hasil umbi kentang

• Cipanas, dt/rk, NPK (15-15-15) 1 t/ha:

48
o Sumber (Urea dan ZA) dan dosis pupuk N (50, 100, 150, 200 kg N/ha) tidak
berpengaruh nyata terhadap produksi stek tanaman kentang.

• Cipanas, DTO-33, dt, rk:


o Semakin sering dipupuk urea 1 % (5 hari sekali) melalui daun semakin tinggi
jumlah umbi per pot untuk varietas Cipanas maupun DTO-33.

• Cipanas, DTO-33, dt, rk:


- Sebagai sumber nitrogen, Urea dan ZA mempunyai pengaruh yang sama
terhadap produksi stek kentang. Berdasar aplikasinya semakin sering dipupuk
nitrogen 1 persen, maka jumlah umbi per pot semakin tinggi (Cipanas dan
DTO-33)

2. Penggunaan pupuk P

• Desiree, dt/Lembang:
- Efisiensi tertinggi pupuk P dicapai pada dosis 150 kg P2O5/ha untuk hasil umbi
kentang di dataran tinggi Lembang

• Granola, dt, Latosol:


- Pemupukan fosfat sampai dosis 90 kg P2O5/ha dapat meningkatkan
pertumbuhan dan hasil umbi kentang di Ciwidey sedangkan dosis optimum
pengapuran (dolomit) untuk tanaman kentang dicapai pada takaran 1,2 t/ha .

• Introduksi Philifina, dt, rk:


o Tidak ada interaksi antara penggunaan kutivar dengan pemupukan P (TSP)
terhadap persentase tanaman induk yang tumbuh, persentase tanaman yang
dapat distek, panjang buku stek dan produksi stek per tanaman. Perbedaan
pengaruh hanya terjadi antar kultivar, sedangkan pemupukan tidak ada
pengaruhnya terhadap parameter yang diamat.

3. Penggunaan pupuk K

• Granola, dt, mh:


o Dosis 200 kg K2O/ha memberikan pengaruh yang baik terhadap hasil umbi
klas (30<C<45 g), sedangkan antara umbi yang bertunas empat dengan yang
utuh tidak berbeda nyata pengaruhnya terhadap hasil umbi.

• Granola, dt/Berastagi:
o 170 kg K2O/ha merupakan dosis optimum untuk pemupukan kentang dengan
hasil kentang maksimum 32,06 t/ha, sedangkan dosis optimum untuk busukan
ikan adalah 615 kg/ha.

• Granola, dm, tanah sawah:


o Dosis 50 kg K2O/ha pada saat umur 30 hst selain memberikan jumlah umbi
terbanyak juga meningkatkan umbi ukuran besar (20 t/h pukan, 45 kg N/ha
dan 90 kg P2O5/ha).

• Berolina, DTO-33, dt:

49
o Tidak ada pengaruh yang nyata baik antar varietas, sumber pupuk kalium (ZK,
KCl, Kamas) maupun interaksinya terhadap persentase tanaman dapat
distek, produksi stek per pot/per tanaman maupun produksi umbi mini per pot

4. Penggunaan pupuk N dan P

• Cosima, Net house/dt:


- Pemupukan N (0, 100, 200 kg N/ha) dan P (0, 120, 180 kg P2O5/ha) tidak
berpengaruh nyata terhadap jumlah tanaman hidup 30 hst dan jumlah umbi
per tanaman. Namun, pupuk N berpengaruh terhadap peningkatan bobot
umbi per petak, sedangkan pupuk P hanya berpengaruh terhadap jumlah
tanaman hidup 70 hst.

• Katella, dt:
o Pupuk Nitrogen 100 kg N/ha (½ Urea + ½ ZA) dengan pemupukan fosfat 120
kg P2O5/ha lebih konsisten dalam meningkatkan kadar karbohidrat, kadar vit.
C, penurunan KA serta peningkatan tk. kekerasan atau ketahanan umbi
kentang, meskipun dapat bervariasi tergantung dosis pemberian pupuk fosfat
(60, 120, 180, 240 kg P2O5/ha).

• Katella, dt:
o Penggunaan pupuk ZA 100 kg N/ha dengan pemupukan fosfat (TSP) 120 kg
P2O5/ha menghasilkan serapan total P yang tinggi dibandingkan dengan Urea,
meskipun pengaruh pupuk ZA atau kombinasi (Urea + ZA) tidak jelas
meningkatkan ketersediaan P pada tanah Andosol.

• Katella, dt:
o Dari aspek peningkatan hasil dan tk. Kerusakan umbi yang rendah,
penggunaan pupuk nitrogen ( ¼ Urea + ¾ ZA) dengan pemupukan fosfat 60
kg P2O5/ha lebih baik dibandingkan dengan Urea tunggal.

5. Penggunaan pupuk majemuk

• Granola, Katella, dt, mk:


- Interaksi antara dosis NPK (15-15-15) dengan dua varietas berpengaruh
terhadap jumlah batang dan grading umbi per tanaman, jumlah umbi dan
bobot umbi per tanaman.
- Penggunaan varietas Granola dan dosis pupuk NPK (15-15-15) 12,5 g per
tanaman menghasilkan jumlah umbi dan bobot umbi tertinggi

• Granola, dt:
o 900 kg NPK (15-15-15)/ha menghasilkan bobot umbi per tanaman, bobot umbi
per petak dan bobot umbi per hektar (17,89 ton) tertinggi dan berbeda nyata
dengan perlakuan dosis pupuk lainnya.

• Cipanas, dt, rk:


o Dosis pupuk NPK (15-15-15) terendah (12,5 g/polybag) memberikan rata-rata
tinggi tanaman, jumlah daun, bobot umbi dan jumlah umbi per tanaman
tertinggi asal stek

50
• Granola, dt, Lembang, mk:
- Ada interaksi antara dosis dan waktu pemberian pupuk NPK terhadap jumlah
batang pada umur 44 hst. Dosis pupuk NPK ( 500, 750, 1000 kg/ha) tidak
berpengaruh nyata terhadap hasil umbi kentang, sedangkan waktu
pemupukan 4 minggu setelah tanam merupakan waktu aplikasi paling tepat.

• Berolina, Cipanas, dt, rk:


o Perlakuan dosis pemupukan NPK (15-15-15) terendah (12,5 g/polybag)
menghasilkan rata-rata jumlah umbi per tanaman tertinggi 5,48 knol/tanaman
dan bobot umbi per tanaman tertinggi 51,38 g/tanaman. Kultivar Berolina
mempunyai potensi hasil lebih tinggi dari Cipanas

6. Penggunaan pupuk N, P dan K

• Dataran Medium
o DTO-33, dm, Magelang, Regosol:
 Pemupukan berimbang (N, P dan K) pada tanaman kentang tidak
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan hasil kentang. Dosis
100 kg Urea + 200 kg ZA + 200 kg KCl + 1000 kg dolomit per hektar
memberikan hasil yang terbaik (26,95 kg/20 m2) dan secara nyata
menghasilkan ukuran umbi yang lebih besar dari pada perlakuan
pemupukan lainnya yang tanpa dolomit.

• Cipanas, dm, Malang, Andosol:


o Paket pemupukan N, P dan K tidak mempengaruhi pertumbuhan dan hasil
umbi kentang, walaupun ada kecenderungan pada paket yang menggunakan
kalium tinggi memberikan hasil yang lebih tinggi. Untuk pembibitan, 400 kg N
+ 150 kg TSP + 150 kg KCl per hektar menghasilkan umbi ukuran bibit lebih
besar.

• Dataran Tinggi
o Biji kentang DTO-33, dt:
o N : P : K = 150 kg N : 150 kg P2O5 : 150 kg K2O/ha

• Granola, dt,Lembang, mh:


o Perlakuan 360 kg CAN (Calcium Amonium Nitrat) + 250 kg SP-36 + 150 kg
KCl per hektar paling menguntungkan dengan tingkat pengembalian marginal
paling besar (3.301,5%) dibandingkan dengan perlakuan kombinasi pupuk
lainnya.

• Granola, Paket pemupukan berimbang di Pangalengan:


- Penggunaan nitrogen lebih rendah dari dosis nitrogen pada pemupukan
berimbang memperlihatkan populasi imago yang lebih rendah, tetapi populasi
larvanya lebih tinggi serta kerusakan tanamannya lebih tinggi.
- Pertumbuhan tanaman kentang yang baik pada pemupukan berimbang dan
pemupukan dengan ¾ dosis N mampu mendorong telur dan larva dari
jaringan daun.
- Dalam kondisi kekeringan modifikasi pemupukan berimbang tidak efektif dan
tidak menunjukkan perbedaan hasil umbi kentang yang nyata dengan dosis

51
pemupukan berimbang serta hasil umbi yang dihasilkan sangat rendah dan
berukuran kecil (B dan C).

1. Penggunaan pupuk daun

• Konsentrasi pupuk daun Bayfolan 1 cc/l dengan waktu penyemprotan seminggu sekali
merupakan perlakuan paling efisien dalam meningkatkan bobot umbi kentang
• Penggunaan pupuk daun Gandasil, Bayfolan, Greenzit dan Urea tidak berbeda
pengaruhnya terhadap produksi stek dan umbi mini kentang varietas Cipanas maupun
Segunung
• Penggunaan Thress, Atonik, Greenzit, Bayfolant dan Urea pada tanaman kentang tidak
berpengaruh terhadap produksi stek tanaman kentang.

2. Penggunaan pupuk organik

• Cosima, dt, Andosol:


o Pemberian pupuk kandang 15 t/ha, dolomit 3 t/ha dan cara pemberian dalam
jalur menghasilkan umbi kentang tertinggi

• Granola, dt, Lembang:


o Pupuk kandang kuda 20 t/ha atau pupuk kandang sapi/domba 25 t/ha
diperlukan untuk meningkatkan hasil kentang di dt.

• Granola, dm, Magelang


o Tidak terjadi interaksi antara waktu aplikasi pupuk nitrogen dengan pupuk
organik. Aplikasi nitrogen (½ saat tanam dan ½ umur 15 hst) memberikan
hasil lebih baik terhadap tinggi tanaman, bobot umbi per petak, bobot umbi per
hektar (12,79 t/ha) dan tk. kerusakan umbi per petak lebih kecil dibanding
100% N saat tanam maupun 100% N umur 15 hst.
o Pupuk kandang masih merupakan pupuk organik yang terbaik dibanding
kompos jerami maupun kompos rumput.

• Granola, dm, Magelang:


o Pupuk kandang kambing 20 t/ha memberikan hasil yang tertinggi
dibandingkan perlakuan kompos jerami padi, kompos jerami legum, dan
kompos jerami jagung.

• Katella, dt, Sumberbrantas, Andosol:


o Interaksi pukan 20 t/ha dan 180 kg N/ha berpengaruh nyata meningkatkan
kualitas dan kuantitas produksi umbi kentang.

• Cipanas, dt, Lembang:


o Berat kering akar dan batang, luas daun dan indeks luas daun berkorelasi
positif dengan berat kering umbi sehingga meningkatkan hasil umbi kentang
secara nyata pada pertanaman kentang yang dipupuk 20 t pukan/ha.

3. Penggunaan zat pengatur tumbuh

• Granola, dt, Lembang, mh :

52
o Konsentrasi Atonik 0,5 – 1,0 cc/l dua kali seminggu berpengaruh paling baik
terhadap hasil kentang per tanaman dan per petak

• Draga, dt, Lembang, mk:


o Dosis optimum GA3 untuk merangsang pembungaan tanaman kentang kultivar
Draga yaitu 102,82 ppm tetapi primordia bunga yang dihasilkan gugur
sebelum antesis
o Kalsium karbida (karbit) dan 2,4-D tidak efektif untuk merangsang
pembungaan kentang kultivar Draga

• Granola, dt, Lembang:


o Tidak terjadi gejala fitotoksisitas, klorosis dan gejala abnormal lainnya pada
tanaman kentang kultivar Granola yang disemprot larutan mepiquat klorida.
Mepiqut klorida 8 ml/l yang disemprotkan dua kali dapat meningkatkan hasil
umbi sebesar 30,4%.

• Granola, dm, Maja:


o Tidak terjadi gejala fitotoksisitas, klorosis dan gejala abnormal lainnya pada
tanaman kentang kultivar Granola yang disemprot larutan mepiquat klorida.
Mepiqut klorida 4-16 ml/l yang disemprotkan satu atau dua kali mereduksi luas
daun 17-37%, meningkatkan hasil umbi sebesar 14-25%. Hasil umbi tertinggi
diperoleh pada mepiquat klorida 6 ml/l satu kali aplikasi pada 42 hst.

• Granola, dt, Lembang :


o Penggunaan Hydrasil 1,5 ml/l menghasilkan bobot umbi tertinggi sebe-sar
282,22 g per tanaman dan bobot umbi kelas A terbesar 134,72 g.

4. Perlakuan pengapuran

• Granola, dm, Magelang:


- Pemberian dolomit dengan dosis 500 kg/ha merupakan perlakuan terbaik
dengan hasil kentang 22,86 kg/20 m2.
- Dosis kalium terbaik untuk hasil umbi kentang adalah 50 kg K2O/ha.

• Granola, dt/Lembang, Andosol:


o Pemberian dolomit 1,5 t/ha nyata meningkatkan hasil dan kualitas hasil
kentang. Penggunaan dolomit pada tanah Andosol dapat membantu
mengatasi masalah kekurangan kalsium dan magnesium yang sudah muncul
pada beberapa tanaman sayuran di lapangan.

• Cipanas, dt, Andosol:


o Pemberian kapur tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan analisis
tumbuh tanaman kentang
o Pemberian kapur sampai dengan 100 % kebutuhan kapur (untuk menaikkan
pH 4,6 sampai 6,0) tidak merubah hasil dan bahan kering, bahkan melebihi
dari kebutuhan (150% kk) akan menurunkan hasil dan bahan kering.
o Pukan 20 t/ha dapat meningkatkan hasil dan bahan kering tanaman kentang,
index luas daun.

• Cosima, dt, Andosol, mh:

53
 Pemberian trachit 1,5 t/ha dan terak baja 1,5 t/ha dapat meningkatkan hasil
kentang secara nyata.

11. Perlakuan Residu pupuk Mg

• Katella, dt, Andosol:


- pupuk Mg 150 kg/ha yang diberikan dua musim tanam seblmnya masih efektif
dalam meningkatkan hasil dan kekerasan umbi kentang. Dolomit sebagai
sumber Mg lebih menonjol pengaruhnya dibandingkan dengan MgO, MgSO4
dan terak baja.

12. Perlakuan kerapatan tanaman

• Red Pontiac, dr/Muara, + mulsa:


 Jarak tanam dalam guludan dengan dua baris tanaman ( 50-60)x(25-30) cm
dapat digunakan untuk jenis kentang dataran rendah.

• Granola, dt, Banaran:


 Untuk tujuan pembibitan kentang di dataran tinggi dapat dilakukan penanaman
rapat (20 cm dalam barisan) dengan pemupukan 100 kg N/ha.

• Granola, dm, Magelang :


 Penggunaan jarak tanam 80 cm x 40 cm dan 70 cm x 30 cm tidak
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kentang dan tidak
mengakibatkan perbedaan persaingan antara tanaman, sehingga hasil per
tanaman tidak berbeda nyata.

• Knebbec, dt, Cipanas:


 Jarak tanam sempit (5 cm x 5 cm) paling sesuai digunakan untuk
memperoleh jumlah umbi mini yang tinggi.

• Cosima, dt, rk :
 Satu stek per lubang menghasilkan persentase tanaman hidup lebih tinggi
daripada dua stek per lubang. Penanaman stek 100 per m2 menghasilkan
umbi bibit yang tinggi (1,97 kg/m2).

• DTO-33, dt:
 Semakin lebar jarak tanam (30 cm dalam barisan) semakin tinggi persentase
tanaman tumbuh, tetapi semakin rapat jarak tanam (25 cm) semakin banyak
jumlah umbi berukuran kecil yang dihasilkan.

• Rapan 181, dt, Lembang:


 Jarak tanam yang rapat (70 cm x 15 cm) merupakan jarak tanam terbaik
dalam menghasilkan umbi bibit kentang, sedangkan untuk ukuran umbidapat
digunakan ukuran besar yaitu 45 g.

• Granola, dm, lahan sawah:


 Penggunaan jarak tanam 50 cm x 30 cm yang digunakan dalam tumpangsari
kentang dan bawang daun dapat menekan persaingan hara dari kedua
tanaman tersebut.

54
• Granola, dt, Lembang:
 Jarak tanam yang tepat untuk pertumbuhan dan hasil kentang adalah 60 cm x
30 cm, sedangkan umur tanaman induk yang baik sebagai sumber stek
batang adalah 17 hari.

• Atzimba x R-128.6, Desiree, E-1282/19, dt,Lembang:


 Penggunaan jarak tanam 15 x 70 cm dan ditanam 3 tanaman per lubang untuk
Atzimba x R-128.6 dan E-1282/19 menghasilkan umbi 25 dan 10 t/ha,
sedangkan Desiree dengan jarak tanam yang sama hanya 0,6 t/ha.

13. Perlakuan Tumpangsari

• Dataran Medium

o Waktu tanam kentang dua minggu setelah tebu dikepras dan cara tanam dua jajar per
guludan dengan pola tanam diselang dapat dipertimbangkan untuk sistem pola
tumpangsari tebu (Granola, dm)

o Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap hasil kentang pada pertanaman
tumpangsari di 4 lokasi dataran medium (Magelang, Gondanglegi, Kapanjen dan
Baturiti).

o Tumpangsari Kentang + ubijalar dan kentang + jagung di Magelang meningkatkan


produktivitas lahan (LER = land equivalent ratio) masing-masing sebesar 29% dan
27%. Kentang monokultur maupun kentang tumpangsari dengan palawija
memberikan nilai uang yang lebih tinggi daripada tanaman lainnya.

o Hasil kentang tumpangsari secara nyata lebih rendah dari monokultur jika kentang
dan ubijalar ditanam bersamaan atau kentang satu minggu lebih dahulu. Sedangkan
hasil kentang secara nyata tidak dipengaruhi jika kentang ditanam 2-4 minggu
sebelum ubijalar.

o Tanaman tumpangsari maupun pupuk yang diberikan kepada tanaman tumpangsari


tidak berpengaruh nyata terhadap hasil umbi kentang per tanaman dan hasil umbi
sehat baik total maupun untuk masing-masing ukuran (>60 g, 30-60 g, dan <30 g).

o Sistem tumpangsari dengan bersamaan tidak berbeda hasilnya antara kentang var.
Granola yang ditumpangsarikan dengan ubijalar, jagung atau kacang panjang, tetapi
jika kentang ditanam tujuh hst tanama kacang panjang (dan jagung) memberikan hasil
lebih baik dari pada kentang + ubijalar.

• Dataran Tinggi

o Peranan tumpangsari ercis dan kentang selang barisan menurunkan hasil kentang
11,54-20,00%. Sedangkan ercis dan kentang yang ditanam dalam satu barisan
secara bersamaan, hasil kentang per tanaman masih seimbang dengan tanaman
tunggalnya.

55
o Ercis dan kentang yang ditanam dalam satu barisan pada saat bersamaan
menghasilkan umbi kentang ukuran besar (750 g per umbi) lebih banyak 18,22%
daripada tanaman tunggal. Produktivitas lahan bertambah 73% bila ercis dan kentang
ditanam dalam satu barisan pada saat bersamaan.

o Pemberian Sitozim 1,2 cc/l meningkatkan hasil polong muda ercis per tanaman
sebesar 48,5% dan hasil kentang sebesar 4,9%, sedangkan pemberian Sitozim 0,6 –
1,8 cc/l pada tumpangsari ercis dan kentang yang ditanam dalam barisan
meningkatkan produktivitas lahan 90 – 93%.

o Penanaman ganda kentang dan ercis dalam barisan dengan menanam dua ercis
diantara tanaman kentang pada saat bersamaan memberikan hasil kentang per petak
maupun per tanaman lebih tinggi dari monokrop, namun hasil kentang per tanaman
nyata lebih rendah dari penanaman ganda selang barisan, sedangkan hasil per petak
lebih tinggi. Produktivitas lahan pada penanaman ganda ini sebesar 99%.

o Granola, dt, Pangalengan:


 Tan. Kentang paling baik ditumpangsarikan dengan tanaman cabai dengan
sistem tan. Kentang 2 baris di pinggir, cabai 1 baris di tengah ditinjau dari segi
hasil umbi kentang. Hasil umbi kentang terendah terjadi apabila sistem tan.
Kentang 2 baris di pinggir, tomat 1 baris di tengah.

o Granola, dt, Pangalengan:


 Rotasi tanaman dengan tanaman yang sama pada dua musim secara
berurutan tidak dianjurkan untuk tan. Tomat dan kentang. Tan. Kentang
dianjurkan tidak ditanam pada lahan bekas tan. Kentang itu sendiri maupun
tan. Lain yang masih satu famili dengan tan. Kentang

14. Perlakuan cara tanam

o Arah guludan dan penggunaan mulsa


o Untuk mengurangi erosi dan menghasilkan umbi kentang dengan ukuran > 60 g dapat
dilakukan dengan guludan searah kontur dengan menggunakan mulsa (Granola,
dt/Batur).

o Perlakuan Tinggi guludan


o Varietas Desiree menghasilkan umbi dua kali lebih tinggi dari pada Draga dan Katella,
sedangkan tinggi guludan 20 cm dan 40 cm tidak memberikan hasil yang berbeda
pada tanaman kentang di dt, kuningan pada mk.

o Perlakuan mulsa, kedalaman tanam dan baris tanaman:


o mulsa jerami, kedalaman tanah 10 cm dan penggunaan 2 baris tanaman pada guludan
dapat memperbaiki pertumbuhan dan hasil umbi kentang red pontiac di dm Sukabumi.

o Perlakuan naungan dan mulsa


o Granola, dm/Cisarua-Bogor: Pemberian naungan kasa plastik hingga 15 persen tidak
berpengaruh nyata terhadap penurunan hasil umbi tanaman kentang. Pemberian
naungan dapat diberikan paling cepat empat minggu setelah bertunas. Mulsa
meningkatkan hasil umbi kentang (terutama umbi ukuran besar).

56
o Cipanas, dt/Lembang: Naungan tanaman jagung pada tanaman kentang tidak
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan maupun hasil kentang, tetapi kentang yang
ditanam 20 dan 10 hst serta bersamaan tanam jagung memberikan hasil yang rendah.
mulsa jerami 20 t/ha menghasilkan pertumbuhan tanaman yang lebih subur, tetapi
tidak memberikan perbedaan hasil umbi kentang yang nyata.

o Cipanas, dt/Lembang: Peubah pertumbuhan yang berperanan nyata terhadap hasil


umbi kentang yang mendapat perlakuan mulsa + naungan jagung adalah berat kering
(bk) total tan. 55 hst, bk daun 55 dan 70 hst, bk batang 40 hst, bk akar 70 hst dan luas
daun 55 hst.

o Bibit dari kultur meristem, latosol, Cianjur:


o Penggunaan mulsa jerami meningkatkan hasil umbi kentang per tanaman dan per
petak tertinggi di DM.

15. Penggunaan Bibit

• Ukuran bibit besar (> 30 g) menghasilkan umbi kentang tertinggi. Sumber bibit
(Pangalengan dan Ngablak) maupun varietas (Cipanas dan Granola) tidak berpengaruh
nyata terhadap hasil umbi bibit, tetapi varietas Cipanas berasal dari Ngablak memiliki
persentase tertinggi umbi bibit ukuran 20-30 g dan secara nyata mempunyai ukuran umbi >
30 g lebih tinggi dari pada Granola.

• Bibit asal kultur jaringan sangat berpengaruh baik terhadap jumlah tunas utama,
persentase serangan virus maupun hasil umbi.

• Bibit yang berukuran besar (> 30 g/umbi) menghasilkan jumlah dan bobot umbi lebih tinggi
dari pada bibit yang berukuran kecil (< 30 g/umbi), baik yang berasal dari kultur jaringan
maupun pertanaman di lapangan.

• Terjadi interaksi antara ukuran bibit dengan dosis NPK (15-15-15) terhadap tinggi tanaman
(44 hst) dan diameter batang (30 hst). Bobot dan jumlah umbi per tanaman tidak
dipengaruhi oleh ukuran bibit, tetapi dipengaruhi oleh dosis pupuk NPK. Dosis 1000 kg
NPK/ha merupakan dosis terbaik (dt,Andosol, mk).

• Kultivar Segunung dengan umbi ukuran besar (4-6,5 g) menghasilkan bobot dan jumlah
umbi per pot tertinggi yaitu 178,33 g dan 44,33 umbi.

• Rata-rata jumlah stek batang tertinggi dicapai pada umbi ukuran kecil (1-1,4 g), sedangkan
kultivar kentang berpengaruh terhadap jumlah stek per batang, jumlah stek per umbi,
jumlah batang per umbi.

16. Perlakuan umur stek

 Umur stek 2 minggu di pembibitan menghasilkan pertumbuhan dan produksi umbi paling
tinggi, sedangkan jenis stek (stek tunas umbi atau stek batang) tidak menunjukkan
perbedaan terhadap pertumbuhan maupun produksi umbi.

57
 Umur 18 hari merupakan waktu yang paling tepat untuk melakukan pemangkasan pucuk
batang induk tanaman dan pada perlakuan tersebut menunjukkan produksi umbi paling
tinggi (363 g/tanaman)

17. Perlakuan umur panen

• Pertambahan bobot umbi dipengaruhi oleh umur tanaman, yaitu antara umur 7 – 11
minggu , sedangkan setelah umur 11 minggu pertambahannya konstan. Pertambahan
bobot umbi rata-rata (bulking rate) sekitar 378 kg per hektar per hari. Oleh karenanya
untuk bibit umur panen yang paling tepat adalah umur 12 minggu.

Hama Penyakit

Penelitian hama-penyakit kentang, khususnya yang telah dipublikasikan dari tahun 1982 – tahun 2002
diperlihatkan pada Tabel 1. Ekosistem yang digunakan pada umumnya adalah dataran tinggi dan
hanya sebagian kecil (4%) yang dilaksanakan di dataran medium. Beberapa catatan umum yang dapat
ditarik dari Tabel 1 adalah sebagai berikut :
• Topik penelitian hama proporsinya sama besar dengan penyakit.
• Jenis kultivar kentang yang dominan digunakan adalah Granola.
• Ekosistem yang digunakan untuk penelitian kentang adalah ekosistem dataran tinggi, medium
dan laboratorium. Dari ketiga ekosistem tersebut yang paling dominan adalah dataran tinggi
(93%).

Tabel 23 Topik, varietas dan ekosistem penelitian hama penyakit 1982-2002

No. Topik ∑ Artikel/ Komp. Pengendalian Varietas Lokasi


Laporan ∑ Artikel

1. Phthorimaea 16 artikel Kimiawi (6) Granola (15) DT (15),


operculella Tanaman resisten (3) Cipanas, Katela, DM (1)
Biorasional (3) Desirie, Rapan 109,
P. biologi (1) Cosima, Thung 151 C,
Sexferomon (1) Arka, Baroka, Sequoia
Ambang pengend. (2) dan Grandifolia.

2. Thrips palmi Karny 6 artikel Kimiawi + Kultur teknik (1) Granola (5), Cipanas, DT (6)
Ambang pengend. (2) Rapan 104, Fumosa,
Biorasional (2) Atzinba xf X yi,
Tanaman resisten (1) Muziran, cruza X
104.12 LB,

3. Myzus persicae 5 artikel Kimiawi (2) Granola (5), Cipanas, DT (3),


Kultur teknik (1) Rapan 104, Famosa, DM (1),
Resurgensi (1) Atzinba xf X yi, Lab (1)
Tanaman resisten (1) Muziran, cruza X
104.12 LB.

4. Liriomyza huidobrensis 3 artikel Tanaman resisten (1) Granola (3), CIP 387- DT (2),
Kultur teknik (1) 315-15, K 419.8 GT, K Lab,
Ekobiologi (1) 421.2 GT, CIP 2-43,3, Rumah
CIP I 1085. kaca

5. Gryllotalpa hirsuta 1 artikel Kimiawi/efikasi (1) Thung 151 C DT


Burn

58
6. Meloidogyne sp 4 artikel P. kimiawi (2) Granola (4), Cipanas, DT (3),
(nematoda) Ambang kerusakan (1) Rapan 181, Rapan Lab,
Tanaman resisten (1) 109, Rapan 106, Rumah
Cosima, Kennebec, kaca
Thungisic, Renova,
Ridosa, Gretta, Baroha,
Nahdo, Colibron,
Draga.

7. Phytopthora infestans 12 artikel Kimiawi/Efikasi (8) Granola (12), Cosima, DT (11),


Ekobiologi (1) Rapan 106, Draga, Lab.
Tanaman resisten (1) Desirie, Katella.
PHT (1)
Pemantauan (1)

No. Topik ∑ Artikel/ Komp. Pengendalian Varietas Lokasi


Laporan ∑ Artikel

8. Pseudomonas 8 artikel Kimiawi (1) Granola (7), Cipanas, DT (6),


solanacearum Deteksi bakteri (2) Rapan 104, Fomosa DM (1),
P. Eradikasi (1) Atzinba xf X yi, Lab, dan
P. Biologi (2) Muziran, cruza X Rumah
Tanaman resisten (2) 104.12 LB, Serana X kaca
LT7, LT9 X TS3,
Katella, Cosima,
Clauster, Lola Marita,
Rapan 106, Atzinba X
DT0-33, Seraka X DT0-
33.

9. Virus 8 artikel Eradikasi & kimiawi (1) Granola (8), Cosima, DT (6),
Kultur teknis (2) MH 6802. Lab, dan
P. anti serum (2) R. kaca (2)
Pengend. Fisik (1)
Degenerasi umbi (1)
Pemantauan (1)

10. Gulma 3 artikel Kimiawi (2) Granola, Nahdo, DT.


P. Mekanik (1) Desirie.

11. OPT utama 4 artikel Survei (1) Granola (2), Lola, DT.
Kultur teknis (2) Clauster
PHT (1)

Jumlah 71 artikel

Hasil penelitian per topik dari tahun 1982 sampai dengan tahun 2002 adalah sebagai berikut :

1. Phthorimaea operculella

• Pengendalian Kimiawi

• Dari 15 artikel yang menyoroti topik ini dapat dibagi menjadi 6 kelompok pengendalian. Dari
keenam kelompok tersebut yang paling dominan adalah kegiatan penelitian efikasi insektisida
kimiawi (33,3%). Adapun insektisida yang diuji sebagai berikut :

59
o Di lapangan : Sipermetrin 5 EC, Asetat 75 SP, Profenofos 500 EC, Decis 2,5
EC dan Thuricide.
o Di gudang : Sevin 85 S, Supracide 40 EC, Symbush 5 EC, Ekalux 25 EC,
Marlete 50 WP, Lannate 25 WP, Lannate 2% (dust) dan Baygon 50 WP.

• Ambang Pengendalian

• Penggunaan insektisida (dalam hal ini Sepermetrin) tidak diperlukan pada saat populasi larva
P. operculella dan intensitas serangannya rendah.
• Penelitian ini perlu diulang pada saat populasi P. operculella tinggi.

• Tanaman Resisten

• Preferensi P. operculella terhadap kultivar Desirie dan Cipanas rendah, dan hasil umbinya
tinggi, sehingga kultivar Desirie dan Cipanas termasuk kultivar yang relatif tahan.
• Preferensi P. operculella terhadap kultivar Cosima cukup tinggi, tetapi mampu menghasilkan
umbi cukup tinggi, sehingga kultivar Cosima termasuk toleran.
• Kultivar Thung 151 C dan Katella termasuk rentan terhadap P. opercelulla. Segunung (1984).
• Varietas Cosima, Cipanas, Katella dan Grandifolia relatif tahan terhadap P. operculella, dan
tingkat ketahanannya relatif sama. Pangalengan (1988).

• Pengendalian Bioligi (entomophatogen)

• Phthorimaea operculella Granulasis Virus (POGV) dengan konsentrasi 40 Le/l + talk efektif
dalam mrenekan serangan P. operculella pada umbi kentang di gudang. Tingkat
penekanannya mencapai 90% dibanding dengan kontrol (tanpa perlakuan).

• Pengendalian Biorasional (Pestisida Nabati)

• Penggunaan daun kering Lantana camara bunga putih, orange dan ungu serta Anona muricata
dengan dosis 0,2 kg/10 kg umbi, dapat menekan kerusakan umbi kentang oleh P. operculella
di gudang.
• Penggunaan serbuk daun kering Tephrosia candida, Azadirachta indica dan Lantana camara
dengan dosis 0,2 kg/10 kg umbi, dapat menekan kerusakan umbi bibit oleh P. operculella di
gudang. Diantara ketiga serbuk daun tersebut yang paling efektif adalah T. candida dan
sebanding dengan insektisida karbaril.
• Perbandingan Azadirachta indica 8 kg : Simbopogon nardus 6 kg : Alpinia galangga 6 kg
(Agonal 8:6:6 kg/ha) efektif untuk mengendalikan P. operculella di lapangan.
• Strategi pergiliran antara Agonal dengan insektisida kimia (insektisida kimia : Agonal : Agonal :
insektisida kimia), dengan interval penyemprotan seminggu sekali efektif mengendalikan P.
operculella dan dapat mengurangi penggunaan insektisida kimia sebesar 50 % dibanding
penggunaan insektisida yang secara terus menerus dalam satu musim tanam kentang.

• Sex feromoid

• Sex feromoid Phthorimaea operculella cukup baik untuk digunakan sebagai dasar pengambilan
keputusan penggunaan insektisida. Hasil tangkapan sex feromaid berkisar antara 100-285
ekor ngengat jantan/trap/minggu.

60
2. Thrips palmi Karny

• Kombinasi Kimiawi dengan Kultur Teknis

• Kombinasi perlakuan insektisida Ambus 2 EC/l air + tumpangsari satu baris jagung – satu baris
kentang – satu baris jagung – satu baris kentang, dapat menekan populasi hama T. palmi
sebesar 33,7%.
• Produksi rata-rata pertanaman kentang yang ditumpangsarikan dengan jagung tidak berbeda
nyata dengan pertanaman kentang yang ditanam monokultur.

• Pola Sebaran Populasi dan Ambang Pengendalian

• Pola sebaran populasi hama T. palmi mengelompok.


• Ambang pengendalian T. palmi dengan insektisida imidoklorepid adalah 10 nimva –
imago/daun. Ambang pengendalian tersebut dapat mengurangi penggunaan insektisida
sebesar 50% dibanding pengendalian rutin satu minggu sekali.
• Produksi kentang yang disemprot insektisida berdasarkan AP 10 nimva – imago/daun tidak
berbeda nyata dengan produksi kentang yang disemprot insektisida secara rutin.

• Tanaman Resisten

• Belum dapat disimpulkan, karena pada musim penghujan populasi T. palmi sangat rendah,
sehingga tingkat populasi dan serangan pada setiap varietas yang diuji relatif sama (tidak
berbeda nyata).

• Pengendalian Biorasional

• Perbandingan Azadirachta indica 8 kg : Simbopogon nardus 6 kg : Alpinia galangga 6 kg


(Agonal 8:6:6 kg/ha) efektif untuk T. palmi di lapangan.
• Strategi pergiliran antara Agonal dengan insektisida kimia (insektisida kimia : Agonal : Agonal :
insektisida kimia), dengan interval penyemprotan seminggu sekali efektif mengendalikan P.
operculella dan dapat mengurangi penggunaan insektisida kimia sebesar 50 % dibanding
penggunaan insektisida yang secara terus menerus dalam satu musim tanam kentang.

3. Myzus persicae

• Pengendalian Kimiawi

• Insektisida Aldicorb 10G dan Acephate 75 SP hanya menekan populasi M. persicae koapteri,
tetapi tidak efektif terhadap M. persicae alate. Pemberian temik 10G baik yang sekaligus pada
waktu tanam (40 kg/ha) maupun 2 kali pada umur 0 dan 30 hst masing-masing ½ dosis, efektif
terhadap M. persicae dan memperlihatkan produksi yang tinggi.

• Status Resurgensi

• Dalam skala laboratorium M. persicae yang dipelihara pada tanaman kentang yang disemprot
dengan azimposmetic lebih “subur” (banyak anak), dan dalam jangka 60 hari kelipatan
perkembangan populasi harian menunjukkan 4 kali lebih tinggi dibandingkan kontrol (tanpa
penyemprotan insektisida).

61
• Tanaman Resisten

• Belum dapat disimpulkan, karena pada musim penghujan populasi M. persicae sangat rendah,
sehingga tingkat populasi dan serangan pada setiap varietas yang diuji relatif sama (tidak
berbeda nyata).

• Kultur Teknis

• Tumpangsari antara kentang dan bawang daun dapat menekan serangan M. persicae dan
dapat mempertahankan hasil panen kentang sebesar 19 ton per hektar.
• Tumpangsari antara kentang dan bawnag daun dapat meningkatkan pendapatan kotor.

4. Liriomyza huidobrensis

• Ekobiologi
• L. huidobrensis menyerang tanaman kentang sejak umur 3 MST dan mencapai puncak pada
umur 4, 6 dan 8 MST. Hama ini lebih memilih daun bawah dan tengah sebagai tempat
peletakkan telur.
• Lingkungan abiotik seperti suhu, kelembaban dan angin serta keberadaan kompetitor
mempengaruhi fluktuasi populasi L. huidobrensis.
• Keberadaan populasi musush alami (H. voricornis) yang rendah tidak mampu menekan
serangan L. huidobrensis.

• Kimiawi

• Insektisida Bensulfat 50 WP cukup efektif terhadap L. huidobrensis

• Tanaman Resisten

• Klon CIP 387-315-15, K 419.8 GT, K 421,2 GT, CIP I-1085 dan varietas Ritek kurang disenangi
untuk peletakkan telur L. huidobrensis.
• Klon CIP 387-315-15, CIP I-1085 dan CIP 2-43.3 agak tahan terhadap L.
huidobrensis.
• Klon CIP 387-315-15 menunjukkan produksi yang paling tinggi.

• Kultur Teknik

• Tinggi bedengan/guludan 40-60 cm dapat menekan tingkat/populasi larva dibandingkan


dengan tinggi 20 cm.
• Penggunaan mulsa plastik hitam perak dapat menekan populasi larva dan imago L.
huidobrensis dan memperoleh hasil umbi kentang lebih tinggi dibanding tanpa mulsa plastik
hitam perak.

5. Gryllotalpa hirsuta Burn

• Pengendalian Kimiawi (efikasi)

• Insektisida yang diuji Sevidol 4/4 G, Sevidol 20/20 G, Agrolene 26 WP dan Teknik 10 G.
Semua insektisida yang diuji efektif terhadap G. hirsuta.

62
6. Meloidogine sp (Nematoda)

• Tanaman Resisten

• Klon 6-2-9 tahan terhadap M. incognita ras 1, dan agak tahan terhadap M. javanica.
• Varietas Cipanas, Rapan 181 dan klon 12-2/3 setengah tahan terhadap M. incognita ras 1,
dan agak tahan terhadap M. javanica.
• Varietas Cosima, Arpatid, Arka, Kennebec, Multa, Nicola dan Ridosa agak tahan terhadap
kedua jenis (species) Meloidogine tersebut.
• Varietas Granola, Borola, Calibpon, Gretta, Rapan 109, Rapan 106/3/s, Renova, Tasman dan
Thungisi 151 agak tahan terhadap M. incognita, tetapi peka terhadap M. javanica.
• Tingkat patogenitas M. javanica lebih tinggi dibanding M. incognita.

• Ambang Kerusakan

• Ambang kerusakan M. incognita ras 1 pada pertanaman kentang adalah sekitar 400 larva/kg
tanah (skala mitroplot).
• Hubungan antara kerapatan populasi awal (M. incognita ras 1 dengan hasil kentang mengikuti
korelasi yang negatif.

7. Phytopthora infestans

• Pengendalian Kimiawi (Efikasi)

• Dari 12 tulisan yang menyoroti topik ini dapat dibagi menjadi 5 kelompok pengendalian. Dari
kelima kelompok tersebut yang paling dominan adalah kegiatan penelitian efikasi insektisida
kimiawi (mencapai 72,7%). Adapun fungisida yang diuji sebagai berikut : Daconil 500 F,
Dithane M-45, Kocide 77 WP, Dimetamorph, Chlorotalonil, Mancozeb, Ridomil 2 G (Metalaksil),
Trimangol 80 WL dan Tri Miltox Forte.

• Dinamika Populasi (Ekobiologi)

• Tingkat kerusakan tanaman kentang oleh P. infestans tergantung pada banyaknya curah
hujan.
• Tingkat kerusakan tanaman kentang oleh P. infestans pada bulan Juni, Agustus 1980 dan
Februari 1981 tidak berbeda nyata.
• Banyaknya spora P. infestans yang tertangkap paling banyak pada bulan Januari.
• Posisi daun yang memperoleh kesempatan terbesar terinfeksi P. infestans adalah daun-daun
tengah.

• Pemantauan

• “Vertikal Sticry Cylinder” pada ketinggian 20 cm di atas permukaan tanah mempunyai harapan
baik utnuk dikembangkan sebagai alat pemantau P. infestans.

• Tanaman Resisten

• Varietas yang resisten terhadap P. infestans adalah Rapan 106, baik di rumah kaca maupun
di lapang.

63
• PHT

• Dengan pengendalian secara terpadu berdasarkan pengamatan bercak aktif penyakit hawar
daun untuk menentukan langkah penggunaan Fungisida. Jumlah penyemprotan dapat
dikurangi.
• Penelitian perlu diulang.

8. Pseudomonas solanacearum

• Pengendalian Kimiawi (Efikasi)

• Bakterisida Agrimisina 15/1,5 WP (Streptomisina 15% + Aksitetrasiklina 1,5%) pada dosis 100
ppm mampu menekan serangan P. solanacearum pada tanaman kentang sebesar 16%
dibanding kontrol.

• Deteksi P. solanacearum pada Ukuran Umbi dan Umur Panen

• Tingkat serangan P. solanacearum pada tanaman kentang di lapangan tidak dipengaruhi oleh
ukuran umbi, melainkan oleh kesehatan umbi bibit saat ditanam.
• Umur panen mempengaruhi jumlah tanaman yang terserang layu bakteri. Semakin dini umur
panen semakin tinggi serangan layu bakteri pada musim tanam berikutnya. Serangan bakteri
layu pada tanaman yang berasal dari umbi yang dipanen pada umur 80, 100 dan 120 HST
berturut-turut 17,5%; 10,2% dan 3,9%.

• Tanaman Resisten

• Varietas Katella dan klon Cruza x 104.12 LB resisten terhadap P. solanacearum, dan
menunjukkan hasil panen umbi kentang yang tertinggi.
• TPS yang agak tahan terhadap P. solanacearum adalah Serana x LT 7 & LT 9xTS 3.

• Pengendalian Bilogi

• Skala laboratorium
• Secara in-vitro : P. solanacearum “avirulen”, Trichoderma sp dan Penicillium spp dapat
menekan perkembangan P. solanacearum, masing-masing sebesar 0,8 cm, 0,8 cm dan 0,7
cm, sedangkan kontrol (tanpa M.A) 0 cm.
• Secara semi in-vitro : pada 30 hari setelah infeksi P. fluorescens, Penicillium spp, P.
solanacearum “avirulen” dan Trichoderma spp dapat menekan populasi P. solanacearum
berturut-turut sebesar : 60%, 56%, 40% dan 36% dibanding kontrol.
• Skala rumah kaca : P. fluorescens, Penicillium spp, P. solanacearum “avirulen” dan
Trichoderma spp dapat menekan tanaman layu bakteri berturut-turut sebesar 43%, 39%, 33%,
dan 21% dibanding kontrol.
• Di lapangan : Perendaman umbi bibit dengan P. solanacearum “avivulent” dapat
menyelamatkan hasil umbi kentang sebesar 10,4% dibanding kontrol.

• Sterilisasi tanah (Eradikasi)

• Skala rumah kaca : cara sterilisasi tanah dengan penguapan 1 kali + streptomiloksi tetrasiklin)
atau perlakuan pemberian metan sodium + penyemprotan streptomicin dapat menekan
serangan penyakit layu pada tanaman stek kentang.

64
9. Virus

• Pemantauan Virus

• Umbi bibit hasil produksi petani di beberapa sentra produksi kentang di Pulau Jawa terinfeksi
virus sebesar 12,04%. Jenis virusnya adalah PLRV, PVY dan sedikit PVA.

• Deteksi Virus

• I96 dan enzim Conjugate PLRV dapat digunakan untuk pengujian rutin dengan menggunakan
uji Elisa. Pengenceran Conjugate terbaik yang dapat bereaksi baik dengan PLRV (1:40) adalah
1:3200 kali, dan pengenceran Conjugate terbaik yang masih bereaksi dengan PLRV (1:80)
adalah 1:1600 kali.
• Pemurnian virus PLRV dengan menggunakan daun kentang relatif lebih baik dibandingkan
daun P. floridona yaitu pada ratio A260/A280 = 1,71.
• Partikel PLRV yang ditemukan berbentuk bulat dengan diameter 24 nm yang termasuk ke dlam
kelompok Ivteo virus.
• Titer anti cerum yang diperoleh cukup tinggi bereaksi sampai pengenceran (1:1024).

• Eradikasi dan Kimiawi

• Pemusnahan batang dan pemberian insektisida Aldicorb 10G dan Acepat 75 SP tidak dapat
membersihkan PLRV pada umbi yang dihasilkan, tetapi hanya dapat mengurangi kandungan
PLRV.
• Pengaruh roguing terhadap degenerasi bibit baru akan nampak pada pertanaman musim
berikutnya. Bibit asal stek yang induknya ditanam di ruang terisolasi (Rumah kaca)
memperlihatkan insiden virus terendah dibandingkan dengan bibit yang berasal dari tanaman
induk yang ditanam di ruang terbuka.

• Pengendalian Fisik

• Terapi panas pada suhu 36°C selama 40 hari dapat menekan jumlah tanaman yang
memperlihatkan gejala serangan PLRV dan kerusakan umbi.
• Semua level pemanasan yang dicoba tidak berpengaruh terhadap gejala mosaik, roset dan
necrosis.

• Pengendalian Kultur Teknik

• Penggunaan caisim sebagai tanaman pinggiran pada lahan pertanaman kentang dapat
menghambat insiden virus atau menekan kandungan virus pada umbi bibit. Caisim merupakan
perangkap yang paling baik bagi Myzus persicae sebagai vektor virus. Alternatif kedua adalah
kubis.

10. Gulma

• Pengendalian Kimiawi (Efikasi)

• Sencor 70 WP dan 2,4 D efektif terhadap gulma. Sencor 70 WP diberikan 2 minggu setelah
tanam kentang, 2,4 D diberikan pada saat tanam kentang.

65
• Kedua herbisida tersebut dapat menekan kehilangan hasil umbi kentang oleh gangguan gulma.
Gulma yang paling dominan di lahan percobaan Balitsa di Lembang adalah Galensoga
parviflora, Polygonum alatum dan Eleunsina indica, sedang jenis gulma lainnya yaitu Bareria
latifolia, Commelina diffusa, Cyperus rotundus dan Drymania cordata.

• Pengendalian Mekanik

• Pengendalian gulma dengan penyiangan pada umur 1 dan 2 bulan setelah tanam kentang
lebih efektif dibandingkan penggunaan herbisida (secara kimiawi).

11. Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) Utama Kentang

• Survei/Infentarisasi (1990/1991)

• Hama utama tanaman kentang di propinsi Jatim adalah P. operculella, T. palmi dan M.
persicae.
• Penyakit utama kentang di propinsi Jatim adalah cendawan P. infestans, Alternaria solani,
Fusarium solani, Pseudomonas solanacearum dan bermacam-macam virus.
• Nematoda parasit utama kentang di propinsi Jatim adalah Meloidogyne sp (bengkak akar),
Pratylenchus spp (peluka akar) dan Rotylenchulus neniparnus.

• Pengendalian secara Kultur Teknik

• Jarak kentang yang lebih rapat (60 x 25 cm) dari anjuran (70 x 30 cm) tidak mempengaruhi
tingkat populasi dan kerusakan tanaman oleh hama/penyakit serta bobot hasil kentang.
• Tanaman jagung sampai dengan 2 baris dapat berfungsi sebagai barier hama/penyakit.
• Penggunaan mulsa plastik tidak berpengaruh terhadap tingkat populasi M. persicae, T. palmi
dan serangan penyakit P. infestans, tetapi pada stadia tanaman tertentu dapat menekan
tingkat kerusakan daun dan umbi oleh hama P. operculella.
• Penggunaan mulsa plastik hitam perak dapat meningkatkan serangan bakteri layu P.
solanacearum dan menurunkan hasil umbi terpasarkan sebesar 15-33%.
• Pemulsaan dengan jerami berpengaruh positif dan dapat meningkatkan hasil umbi kentang
terpasarkan sampai sekitar 23%. Peningkatan dapat mencapai 36% apabila mulsa jerami di
kombinasikan dengan sanitasi.
• Sanitasi pratanam mampu mengurangi intensitas serangan P. solanacearum, tetapi tidak
mampu menekan serangan P. operculella.
• Sanitasi pratanam dapat meningkatkan hasil umbi kentang terpasarkan sampai 23%.
• Perlu penelitian lebih lanjut perlakuan pemulsaan dan sanitasi pratanam untuk menekan OPT
utama pada tanaman kentang.

• PHT (ARM 1990/1991)

• Teknologi PHT kentang dapat meningkatkan hasil kentang terpasarkan hingga 3 x lipat dari
hasil yang dicapai teknologi petani kentang setempat.
• Teknologi PHT kentang dapat menekan infetasi serangan hama dan penyakit yang merupakan
OPT kentang setempat.

Evaluasi terhadap hasil penelitian memberikan gambaran umum menyangkut status, perkembangan
dan peluang perbaikan program.

66
a) Secara umum, hasil-hasil penelitian terlihat masih kurang tajam dan tidak tuntas. Banyak topik
penelitian yang memerlukan penelitian lanjutan, tetapi terhenti begitu saja.
b) Proporsi penelitian lebih didominasi oleh kegiatan efikasi (pengujian) pestisida, yaitu penelitian
yang hanya membandingkan efektivitas berbagai jenis pestisida terhadap hama/penyakit
sasaran. Dari 3 judul tulisan yang menyoroti 5 topik hama, ternyata 32% merupakan kegiatan
penelitian efikasi. Dari 28 judul tulisan yang menyoroti 3 topik penyakit, ternyata 36%
merupakan kegiatan penelitian efikasi.
c) Program penelitian perlu diperbaiki agar lebih terfokus pada prioritas permasalahan dan
berkelanjutan sampai permasalahan tersebut benar-benar tuntas ditinjau dari segi efektivitas,
aplikatif, nilai ekonomis dan dampaknya terhadap lingkungan baik biotik maupun abiotik.
d) Di dalam penelitian pengujian (efikasi) pestisida, sebaiknya diikuti dengan pengujian potensi,
resistensi OPT terhadap pestisida, terbunuhnya musuh alami dan terjadinya resurgensi OPT.
e) Penelitian mengenai dampak pestisida terhadap ekosistem termasuk berapa nilai ekonomis
untuk memulihkan kerusakan ekosistem tersebut, perlu lebih diperhatikan. Hal ini dapat
digunakan sebagai data/pendukung yang kuat untuk menyarankan pengguna pestisida agar
lebih berhati-hati.
f) Penelitian-penelitian yang berorientasi untuk mengurangi penggunaan pestisida (musuh alami,
bio pestisida, pestisida nabati, PHT) harus lebih ditingkatkan lagi. Namun demikian, penelitian
ini harus didukung oleh penelitian bio-ekologi OPT maupun musuh alami agar
pengembangannya dapat dilakukan secara lebih terarah.
g) Penelitian yang bersifat observasi dan atau inventarisasi OPT serta musuh alami, sebaiknya
dilakukan secara rutin, tetapi harus termasuk OPT sekunder agar peledakan OPT utama, atau
munculnya OPT utama baru dapat diantisipasi lebih dini.

Pasca Panen

Catatan Umum :

 Pada teknik prapanen belum ditemukan teknik yang dapat meningkatkan karakter fisikokimia umbi
yang berkaitan dengan kualitas olah.

 Seluruh penelitian panen yang sudah dilakukan umumnya menggunakan indikator umur tanaman
(HST). Di lain pihak indikator tersebut rentan terhadap perubahan kultivar, ketinggian tempat,
kesuburan tanah, musim, dan teknik budidaya lainnya. Sehingga hasilnya sangat spesifik. Teknik
penentuan panen dengan cara menggabungkan 2 atau lebih indikator akan lebih representatif.

 Penelitian perawatan umbi konsumsi umumnya diarahkan pada penekanan pertumbuhan tunas.
Dari penggunaan bahan kimia, pelapis lilin merupakan hasil terbaik, yakni bisa menekan sampai
0% pada penyimpanan 3 bulan. Untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensinya diperlukan kajian
lebih lanjut.

 Penelitian penyimpanan umbi bibit masih terbatas kepada penggunaan gudang terang. Sedangkan
untuk penyimpanan umbi konsumsi terbatas pada penggunaan box bambu dan suhu dingin,
sehingga kurang aplicable, terutama pada skala besar.

 Penelitian pengolahan masih terbatas pada pembuatan dan pengawetan kripik. Indikator kualitas
olah ini pula yang selama ini digunakan untuk menentukan kualitas olah umbi kentang.

67
 Hasil identifikasi mutu dan penanganan pascapanen secara umum sudah terangkum oleh hasil
survey ke sentras produksi dan pasar. Namun akan lebih lengkap bila diperoleh data jumlah
permintaan dan karakter fisikokimia umbi kentang berdasarkan pemanfaatannya.

Tabel 24 Topik, varietas dan ekosistem penelitian pasca panen 1982-2002

No Topik Varietas Sumber

1 Pra Panen
Perlakuan MH 2 mg sebelum panen Granola Setelah disimpan 6 bulan, MH tidak efektif dalam J. Hort 5 (5) :
menekan pertumbuhan tunas. 13-16, 1996

Penggunaan Nitrogen dan porasi Atlantic Kualitas olah umbi kentang Atlantik tidak dipengaruhi LHP 2002
serta Azospirillum. oleh perlakuan dosis nitrogen, porasi dan Azospirillum
2 Panen
Umur panen dan lama Granola • Umbi kentang (Varietas Granola) umur panen 100 J. Hort 8(3) :
penyimpanan (3) HST dapat disimpan 2 hari dengan kualitas 1208-1216
kentang goreng yang masih disukai panelis. LHP 2002
• Panen pada umur 70 HST menghasilkan mutu
kentang dengan kulitas fisik rendah ( kulit ari
terkelupas dan hasil gorengnya banyak
mengalami kerusakan).
• Panen pada umur 80 –90 HST dapat memperoleh
umbi kentang bermutu baik dengan produksi yang
masih dapat dipertahankan.
• Penyimpanan dalam suhu ruang tidak
memberikan perbedaan dalam kualitas umbi
goreng dibandingkan dengan penyimpanan suhu
dingin.
• Umur panen lebih dari 90 HST jumlah umbi besar
meningkat 4 – 15%.
• Varietas Atlantik dan umur panen 100 hari
menghasilkan kualitas terbaik dibandingkan
dengan varietas dan umur panen lainnya baik dari
warna,kerenyahan, rasa maupun penampakan
irisan umbi kentang setelah digoreng.

3 Perawatan umbi segar


Penggunaan MH pada umbi Granola • Pemberian 2500-3500 ppm MH tidak memberikan BPH X (4) :
pengaruh berbeda terhadap kadar pati. 1983 : 25-30
Penggunaan pelapis lilin Granola • Pemberian lilin Brogdex no. 551 (merk dagang) LPH
konsentrasi 4 % dapat mempertahankan kualitas 1998/1999
Penggunaan Dimethylnapthalene Granola umbi kentang selama penyimpanan dengan LPH
pertunasan 0%, TSS rendah, pati tinggi, 1997/1998
kekerasan tinggi, dan penampakan yang masih
tetap disukai panelis.
• Pemberian Dimethylnapthalene tidak memberikan
perbedaan yang nyata dalam menekan
pertunasan pada kentang selama 3 bulan
penyimpanan.
4 Penyimpanan umbi bibit
Penyimpanan di ruang terang (2) Granola • Penyimpanan umbi bibit diruang terang dapat BPH 14 (2).
menaikkan hasil umbi basah kentang antara 16,9- 1986 : 27-32
26%, dari hasil tanaman menggunakan bibit hasil BPH 20 (2).
penyimpanan di ruang gelap. 1993 : 7-12
• Penyimpanan di ruang terang menghasilkan bibit
yang kuat dengan tunas pendek (X 2,08 cm), dan
dapat mengurangi kehilangan berat 4-8%.

5 Penyimpanan umbi konsumsi

68
Cara penyimpanan kentang Granola • Penyimpanan umbi kentang konsumsi dengan box J. Hort 6(2) :
konsumsi (2) bambu cenderung lebih baik dibanding dengan 192-195
Pengaruh perlakuan suhu dan box dengan dua lapis dinding yang diisi sekam. LHP 2002
fungisida • Cara penyimpanan kotak bambu dengan ukuran BPH 14 (1)
(PLT) 60 x 50 x 36 cm, dengan jarak antar sekat 3 1986 : 15-27
– 5 cm menunjukkan kualitas irisan umbi goreng
paling baik ditinjau dari hasil penilaian panelis.
Kultivar Atlantik menunjukkan kualitas olah yang
lebih baik dibandingkan dengan Vanda.
• Perlakuan penyimpanan suhu dingin (3-8°C)
dapat memperlambat pertunasan, menekan susut
berat, mencegah kebusukan dan
mempertahankan mutu fisik dan kimia, karena
kentang yang disimpan disuhu kamar mengalami
penurunan mutu terlalu cepat.
• Penggunaan Benlate 500 dan 1000 ppm tidak
memberikan pengaruh yang positif.

6 Pengolahan

Suhu dan lama pengeringan • Perlakuan suhu 40°C dengan lama pengeringan J. Hort 8(2) :
Jenis kemasan plastik dan minyak 16 jam paling disukai panelis. 1122-1129
goreng • Penggunaan plastik poliproetilen dengan BPH XII (1),
Cara penyimpanan keripik kentang ketebalan 0,07 mm baik 1992. 26-38
dibandingkan dengan polietilen. Minyak bimoli baik LHP 2002
dibanding Vetco & Barco.
• Keripik kentang yang disimpan di suhu ruang
dengan kemasan plastik Polietilen 0,10 mm masih
disukai konsumen sampai penyimpanan 4 minggu.
terbukti dengan penilaian aroma, rasa dan tekstur
yang masih disukai panelis.

7 Identifikasi Mutu dan Penanganan


Pascapanen
Perngujian kultivar/klon terpilih (2) 18 klon Terdapat 2 klon kentang yang mempunyai potensi untuk LHP
dikembangkan sebagai kentang prosesing yaitu klon 1999/2000
952108.3 dan 952146.1

Survey cara penyimpanan kentang Umur panen, cara panen dan gudang penyimpanan LHP
petani dapat menimbulkan kehilangan sampai 25%, 1998/1999
kehilangan petani kecil dan petani besar. BPH XX (1)
1990 : 1-7
Identifikasi penanganan Petani : LHP 2001
pascapanen • Panen dilakukan dengan cara manual.
• Pemangkasan daun 7 hari sebelum panen (
menghindari serangan penyakit daun dan menjaga
kulit umbi agar tidak mudah lecet).
• Petani melakukan Curing, sortasi, dan grading.
• Kentang yang baru digali dibiarkan terkena panas
matahari sampai tanah yang menempel pada kulit
umbi terkelupas.
• Sortasi dan grading dilakukan manual.
• Kemasan yang digunakan karung jala kapasitas
30 – 40 kg.

Pedagang pengumpul :
• Penyimpanan dilkukan dengan cara menumpuk 3
– 5 lapis. dengan lama penyimpanan menunggu
sampai jumlah mencukupi untuk diangkut.
• Curing, sortasi dan grading dilakukan kembali
apabila umbi terkena hujan.
• Kondisi fisik dan kimia umbi belum terjadi
perubahan yang signifikan.

Pedagang grosir :
• Penyimpanan dilakukan dalam kemasan karung

69
jala yang ditumpuk 5 – 7 lapis.
• Kondisi fisik dan kimia umbi belum terjadi
perubahan yang berarti.

Karakteristik mutu beberapa produk • Keripik kentang mengandung kadar air 7,59%, LHP 2001
olahan kentang kadar pati 40,87% dan warna keripik putih – krem.
• Dodol kentang mengandung kadar air 21,35%,
kadar pati 7,096%, warna dodol hijau muda.

Agro Ekonomi

Penyebaran topik serta ekosistem dari penelitian agro-ekonomi selama kurun waktu 1980- 2001
memberikan gambaran umum sebagai berikut:
• Topik penelitian ekonomi produksi proporsinya lebih dominan dibandingkan dengan topik penelitian
agro-ekonimi lainnya.
• Mayoritas ekosistem yang digunakan untuk penelitian kentang adalah dataran tinggi (31) dan
hanya sebagian kecil yang dilaksanakan di dataran medium (2).

Tabel 25 Topik, varietas dan ekosistem penelitian agro-ekonomi 1982-2002

No. Topik Jlh. Laporan./ Ekosistem Sumber


Artikel
1. Studi diagnostik atau lini dasar 3 dt (3) JH (1); LHP (2)

2. Studi ekonomi produksi 16 dt (14), dm (2) BPH 8 (2); 8 (3); 9 (5); 12 (3); 13 (1);
15 (1); 16 (3); 18 (3); 20 (3); 26 (4)
JH 1 (2); 9 (3); 10b (2)
LHP 98/99

3. Studi pemasaran dan analisis 6 dt (6) BPH 26 (3); 26 (4)


harga JH 7 (3); 8 (2); 10 (1); 11 (4)

4. Studi konsumen 6 dt (6) BPH 25 (2)


JH 7 (4); 8 (3); 9 (3)
LHP 97/98

5. Studi respon petani terhadap 1 dt BPH 27 (2)


teknologi Balitsa

6. Studi pengembangan/ 1 dt BPH 27 (3)


pewilayahan

Total 33

Keterangan :
dt = dataran tinggi
dm = dataran medium
BPH = Buletin Penelitian Hortikultura
JH = Jurnal Hortikultura
LHP = Laporan Hasil Penelitian

70
Hasil penelitian per topik sampai dengan tahun anggaran 2001 adalah sebagai berikut :

1. Studi diagnostik atau lini dasar

• Komponen biaya produksi pengendalian hama penyakit kentang di Pangalengan cenderung


meningkat dengan cepat.
• Secara berurutan, organisme pengganggu utama tanaman kentang (a) Liriomysa sp. (lalat), (b)
Phythophtora infestan (busuh daun), (c) Pseudomonas solanacearum (layu), dan (d) Thrips
palmi (pengisap daun).
• Sistem pengetahuan lokal menunjukkan (a) petani secara lengkap dapat mengiden-tifikasi
gejala serangan serta faktor-faktor penyebab dan stimulan keempat jenis hama tersebut, dan
(b) petani melakukan kegiatan pemantauan secara intensif serta melaksanakan pengendalian
mekanis serta kultur teknis.
• Akibat faktor risiko kegagalan panen dan terbatasnya alternatif pengendalian yang tersedia,
petani memiliki ketergantungan terhadap pengendalian secara kimiawi dan penggunaan
pestisida cenderung berlebih.
• Komponen strategi lokal yang berpotensi mendukung perbaikan pengendalian adalah system
pemantauan yang lebih intensif, penentuan ambang kendali/kerusakan dan perlakuan antar
musim.

2. Studi ekonomi produksi

• Di dataran tinggi (Lembang)


o Besarnya biaya produksi kentang (varietas Katela) adalah: (a) bahan (bibit, pupuk
dan pestisida) – 73,51%, (b) tenaga kerja – 15,03%, dan (c) bunga modal dan lain-
lain – 11,46%. R/C rasio 1,42 lebih tinggi dibanding varitas Donata (1,10), Thung
(1,05) dan Draga (0,99).
o Komposisi biaya produksi kentang (varietas Rapan 106): (a) bibit – 33,10%, (b)
pupuk – 30,01%, (c) pestisida – 9,86%, (d) tenaga kerja – 14,23%, (d) bunga
modal dan lain-lain – 12,79%. R/C rasio 1,01.

• Di dataran tinggi (Pangalengan)


o Penambahan penggunaan input tenaga kerja wanita masih dapat meningkatkan
produksi kentang di daerah Pangalengan meskipun pengaruhnya sangat kecil,
sedangkan penggunaan tenaga kerja pria harus dikurangi.
o Penggunaan luas lahan garapan masih sangat nyata dapat ditingkatkan
efisiensinya.
o Pada luasan 0,3 hektar, penggunaan umbi bibit kentang ukuran kecil (15–30 gram)
diperlukan 246 kg, sementara penggunaan umbi bibit ukuran sedang (30-40 gram)
diperlukan 514 kg.
o Secara ekonomis, penggunaan umbi bibit ukuran sedang relatif lebih efisien, yaitu
dengan R/C rasio lebih tinggi (1,50) dibandingkan dengan umbi kecil (1,47).
o Besarnya biaya produksi kentang di Pangalengan Rp. 3.189.948. Biaya terbesar
untuk tenaga kerja (26,50%), pestisida (26,35%), dan bibit (26,27%). Biaya pupuk
(15,23%), bunga modal (5,66%), dan sewa lahan (4,79%).
o Pada tingkat hasil 13.644,5 kg kentang konsumsi dan 1.167 kg kentang bibit
dengan harga jual Rp. 255/kg dan Rp. 700/kg, pendapatan usahatani adalah Rp.
4.301.324. R/C rasio 1,34.

71
• Di dataran tinggi (Sukabumi)
o Keuntungan bersih usahatani kentang musim kemarau nyata lebih tinggi (Rp.
1.202.021,77/ha) dibandingkan dengan musim hujan (Rp. 546.954,90 /ha).
o Musim kemarau: produktivitas lahan relatif lebih baik (14.817,61 kg/ha), harga
output lebih tinggi dan biaya produksi per-kilogram kentang lebih rendah.

• Di dataran tinggi (Jawa Barat)


o Alokasi penggunaan input produksi kentang belum berada pada tingkat yang
optimal, penggunaan lahan garapan dan pupuk kandang perlu ditingkatkan,
sementara bibit, pestisida, tenaga kerja dan pupuk buatan penggunaannya harus
dikurangi.

• Di dataran tinggi (Malang)


o Komposisi biaya produksi kentang pada lahan sawah di Pujon-Malang adalah: (a)
tenaga kerja – 23,90%, (b) bibit – 21,23%, (c) pupuk (kandang dan buatan) –
20,94%, sewa tanah – 18,59%, pestisida – 12,21% dan bunga modal – 3,13%.
o Pada harga jual normal/rata-rata Rp. 275/kg, harga minimum Rp. 190/kg,
dan harga maksimum Rp. 325/kg, serta dengan sasaran pendapatan petani Rp.
500.000 per-musim tanam, maka luas minimum usahatani kentang berturut-turut
sebesar 0,277 hektar, 0,470 hektar, dan 0,223 hektar.
o Dengan nilai kendala/keterbatasan tanah, modal dan tenaga kerja, luas optimum
usahatani kentang pada lahan sawah di Pujon-Malang adalah 0,247 hektar
yang memberikan pendapatan sebesar Rp. 631.906

• Di dataran tinggi (Wonosobo)


o Perbaikan pendidikan dan pengalaman masih berpeluang untuk meningkatkan
produksi kentang petani di Wonosobo.
o Kapasitas pengelolaan belum diterapkan secara optimal, sehingga proses
produksi masih bersifat “increasing return to scale”.

• Di dataran medium (Kuningan)


o Secara finansial, teknik pertanaman kentang + bawang daun di dataran medium
Kuningan paling menguntungkan.
o Dengan total penerimaan kentang Rp. 24.320.000 + bawang daun Rp.
16.544.000, serta total biaya produksi Rp. 20.178.638/ hektar (R/C rasio = 2,03)
lebih tinggi dibandingkan dengan kentang monokultur (1,90), kentang + kubis
(1,55) dan kentang +ubi jalar (1,11).

• Di dataran medium (Magelang)


o Di dataran medium Magelang, teknik pertanaman kentang + bawang daun secara
finansial paling menguntungkan.
o Dengan total biaya produksi Rp. 18.558.282 dan total penerimaan Rp.
40.616.000/hektar, R/C rasionya 2,19. Selanjutnya diikuti Kentang + kubis (1,76),
kentang monokultur (1,58), dan kentang + ubi jalar (1,04).

• Kultur jaringan kentang


o Biaya variable/botol plantlet in-vitro @ 10 plantlet Rp. 2.312.
o Bila harga jual Rp. 3.500/botol, BEP 11.791 botol plantlet/tahun.
o Bila harga jual Rp. 5.000/botol, BEP 5.2111 botol plantlet/tahun
o Produksi umbi bibit mini melalui stek batang secara finansial menguntungkan.

72
o Pada tingkat produksi rendah 1,4 umbi mini/tanaman dengan proporsi hasil 44%
berukuran sekitar 5 gram, diperoleh nilai NPV Rp. 465.500.
o Jika produksi meningkat 2 umbi mini/tanaman dengan 50% hasil berukuran 5
gram, nilai NPV meningkat menjadi Rp. 900.000.
o Masih perlu dikembangkan komponen teknologi untuk meningkatkan jumlah dan
ukuran hasil umbi mini asal stek.

• Pertumbuhan produksi kentang


o Tingkat pertumbuhan rata-rata produksi kentang dalam periode 1969-1995 adalah
11,3%.
o Dari tahun ke tahun pola pertumbuhannya cenderung meningkat
o Faktor dominan sumber pertumbuhan adalah peningkatan areal tanam dan bukan
produktivitas. Dengan demikian perlu strategi pendekatan pengembangan yang
lebih memberikan penekanan pada peningkatan akselerasi pertumbuhan produksi
kentang berbasis peningkatan produktivitas atau inovasi teknologi.

3. Studi pemasaran dan analisis harga

• Analisis harga kentang


o Berdasarkan hubungan harga di tingkat petani dan harga di tingkat eceran,
terdapat indikasi bahwa jenis penyebaran harga kentang adalah marjin absolut
tetap (fixed absolut margin).
o Pasar di tingkat produsen merupakan sumber informasi harga yang lebih penting
dibandingkan dengan pasar grosir maupun pasar eceran.
o Pasar grosir dan pasar eceran kurang efisien dalam mencerminkan informasi baru.
o Pasar eceran lebih cepat dalam melakukan penyesuaian terhadap informasi harga
yang baru dibandingkan dengan pasar di tingkat grosir.
o Pasar di tingkat grosir kurang berperan dalam proses penentuan harga.
o Variasi kesalahan dalam peramalan harga kentang yang sebagian besar
diterangkan oleh inovasi harga di tingkat pasar eceran, menunjukkan bahwa pasar
ini bersifat “exogenous”.
o Setiap perubahan pada sistem yang terjadi baik dari sisi penawaran maupun
permintaan kentang, akan terasa pengeruhnya setelah tanggang waktu satu
bulan,
o Masih diperlukan pengkajian lebih lanjut mengenai peranan serta efektivitas pasar
grosir dalam proses penentuan harga.

• Marjin tataniaga kentang


o Selama periode 1985-1995, marjin tataniaga kentang di Jawa Barat dan Sumatera
Utara cenderung terus meningkat.
o Bagian petani dari harga kentang yang dibayarkan konsumen berkisar antara 70-
91%.
o Selama periode 1985-1995, secara umum bagian yang diterima petani relatif lebih
stabil dibandingkan dengan marjin tataniaga.

4. Studi konsumen

• Preferensi konsumen (Lembaga)


o Bentuk umbi bulat lonjong/oval, ukuran sedang-besar, kedalaman mata dangkal,
warna kulit coklat muda dan rasanya agak manis, tidak getir, bertekstur empuk

73
merupakan faktor-faktor kualitas yang sesuai dengan preferensi konsumen hotel,
restoran dan rumah sakit.
o Meskipun warna daging, kepadatan umbi dan jumlah mata kurang
dipertimbangkan, namun konsumen hotel lebih menyukai warna daging putih
kekuningan, umbi yang padat dan jumlah mata sedikit.
o Sistem pasokan kentang untuk konsumen lembaga dilakukan melalui jasa
pemasok (sistem kontrak) atau dengan pembelian langsung dari pasar.

• Preferensi konsumen (Rumah Tangga)


o Tidak terdapat perbedaan antara konsumen perkotaan dan pedesaan dalam hal
menilai kualitas kentang.
o Petunjuk kualitas yang diperhatikan konsumen dalam menilai kualitas kentang
adalah bagian dalam dan rasa.
o Idiotipe kualitas yang disukai oleh konsumen rumah tangga berturut-turut adalah
tekstur umbi yang empuk, rasa umbi agak manis, tidak getir, dan warna daging
kekuningan.
o Persepsi konsumen menyangkut kualitas produk dan pendapatan merupakan dua
faktor terpenting yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam
menentukan harga maksimal yang sanggup dibayarkan konsumen untuk membeli
kentang.
o Dalam menentukan harga maksimal yang sanggup dibayarkan untuk membeli
kentang, konsumen lebih bersifat peduli harga (faktor harga lebih dominan dalam
menentukan keputusan pembelian).

• Preferensi kentang olahan


o Konsumen lebih memilih keripik kentang karena konsumen cenderung
mempersepsi keripik kentang memiliki citra produk yang lebih baik atau bergengsi
dibandingkan dengan keripik singkong.
o Frekuensi pembelian paling dominan 1-2 kali/bulan, dalam bentuk digoreng-
dikemas (siap santap).
o Semakin tinggi tingkat pendapatan, semakin sering konsumen membeli keripik
kentang dalam kemasan 200 gram, serta semakin jarang konsumen memperoleh
keripik kentang dari pasar umum.
o Berkaitan dengan kandungan gizi, keputusan konsumen untuk membeli keripik
kentang seringkali didasarkan pada suatu persepsi, bukan berdasarkan kenyataan
yang sebenarnya.
o Analisis petunjuk kualitas memberikan gambaran umum bahwa chitato (produk
skala besar) adalah jenis keripik yang paling disukai dibandingkan dengan Karya
Umbi – asli dan keju, Lay’s dan Pringle.
o Aspek rasa merupakan petunjuk kualitas utama yang menjadi pertimbangan
konsumen dalam memilih/membeli keripik kentang.
o Implikasinya perlu perhatian pengolah terhadap pemahaman persepsi dan
pengembangan citra produk, khususnya untuk produk keripik kentang skala kecil.

5. Studi respon petani terhadap teknologi Balitsa

• TPS (True Potato Seed) belum sepenuhnya diterima/diadopsi petani, karena beberapa
progeni TPS yang ada masih kurang sesuai dengan kondisi petani.

74
• Petani mengharapkan progeni TPS harus memiliki karakteristik : (a) produksi tinggi, (b)
bentuk umbi seragam, (c) stolon tidak panjang, (d) umur panen kurang dari 100 hari, (e)
tahan layu, (f) tahan busuk di gudang, dan (g) produksi yang tinggi.
• Varietas/klon kentang No. 902127 merupakan temuan Balitsa yang paling disenangi oleh
petani (skor = 2,3), hampir sama seperti petani menyenangi Granola (skor = 2,6).
• Kelemahan klon No. 902127 umbi banyak yang pecah dan warna mata merah, sehingga
masih perlu perbaikan.

6. Studi pengembangan/pewilayahan

• Daerah pengembangan TPS (True Potato Seed) telah dilakukan ke seluruh propinsi
Indonesia.
• Pengembangan TPS di pulau Jawa menempati urutan pertama, yaitu sekitar 45%, diikuti
Sumatera 35%, dan pulau lainnya 20%.

X. Kendala pengembangan dari sisi tekno-sosio-ekonomis

Analisis data tahunan produksi dan areal tanam kentang mencakup periode waktu 1969-2002
menunjukkan bahwa tingkat pertumbuhan rata-rata produksi kentang di Indonesia adalah 4,35%
dengan pola pertumbuhan produksi yang bersifat meningkat dari tahun ke tahun. Kontribusi
peningkatan dari komponen areal tanam dan produktivitas terhadap pertumbuhan produksi kentang
secara berturut-turut adalah 2,89% dan 1,46%. Dengan demikian, sumber dominan yang menyebabkan
peningkatan produksi kentang selama periode 1969-2002 adalah peningkatan areal tanam. Pola
pertumbuhan produksi yang didominasi oleh peningkatan areal tanam (kontribusi areal tanam lebih
besar dibandingkan dengan kontribusi produktivitas), mengindikasikan beberapa kendala
pengembangan sebagai berikut:
• Inovasi teknologi/penelitian yang ada belum dapat memacu pertumbuhan produksi berbasis
peningkatan produktivitas. Salah satu diantaranya adalah belum adanya varietas baru kentang
yang dikategorikan lebih unggul daripada Granola dan telah banyak digunakan di tingkat
petani.
• Komponen teknologi budidaya yang tersedia secara umum belum dapat memacu peningkatan
produktivitas Granola. Salah satu komponen vital adalah masih rendahnya ketersediaan bibit
kentang berkualitas serta relatif terbatasnya akses petani untuk memperoleh bibit berkualitas
tersebut.
• Program penyuluhan, terutama dikaitkan dengan proses alih teknologi di tingkat petani, belum
berjalan secara optimal.
• Keragaman areal tanam menunjukkan kontribusi yang lebih tinggi terhadap ketidak-stabilan
produksi kentang secara umum, dibandingkan dengan keragaman produktivitas. Dengan
demikian, probabilitas terjadinya fluktuasi pasokan relatif lebih tinggi.

Hubungan positif antara pendapatan dan konsumsi kentang di negara berkembang juga
mengindikasikan bahwa pada tingkat pendapatan per kapita yang relatif rendah, konsumsi kentang
ternyata masih jauh dari titik saturasi. Pertumbuhan konsumsi kentang per kapita juga dipengaruhi oleh
harga relatif, ketersediaan bahan substitusi, selera, preferensi serta berbagai faktor demografis dan
kultural. Dari sisi konsumsi, diversifikasi pemanfaatan yang relatif masih rendah dan terbatas pada
pemanfaatan untuk pangan (bahkan bukan bahan pangan pokok), serta harga kentang yang relatif
mahal, menyebabkan perkembangan permintaan kentang relatif lambat. Hal ini pada gilirannya dapat
dikategorikan sebagai salah satu faktor pembatas pengembangan produksi kentang di Indonesia.

75
Indikator bagian petani (farmer's share) sebesar 81,8% dari harga eceran dan keragaman atau fluktuasi
harga yang relatif lebih stabil dibandingkan dengan jenis sayuran major lainnya serta minimalnya campur
tangan (pasar) pemerintah, memberikan gambaran bahwa struktur pasar domestik kentang dapat
dikategorikan bersaing sempurna dan keragaannya cukup efisien. Namun demikian, hal ini tidak terjadi
pada pasar kentang ekspor. Data ekspor menunjukkan penurunan yang cukup signifikan sejak 1997.
Kentang dari Indonesia kurang dapat bersaing dengan kentang yang berasal dari China, Vietnam dan
Australia di pasar Singapura dan Malaysia. Kemudahan administrasi ekspor serta keuntungan demografis
ternyata tidak dapat dimanfaatkan secara optimal karena untuk spesifikasi dan kualitas kentang yang
hampir serupa, kentang dari Indonesia dijual lebih mahal dibandingkan dengan kentang dari Cina. Dugaan
bahwa kentang Indonesia kurang dapat bersaing karena biaya produksi yang lebih tinggi perlu diklarifikasi
lebih lanjut.

Harga kentang relatif lebih stabil dibandingkan dengan harga sayuran lain, misalnya tomat, kubis dan
siampo. Namun demikian, koefisien variasi harga kentang di tingkat sentra produksi secara konsisten
ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan di tingkat grosir. Hal ini mengimplikasikan bahwa produsen
harus menghadapi risiko harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan pedagang besar/grosir. Selama
periode 1997-2001, pola musiman harga kentang di tingkat petani dan tingkat pedagang besar
menunjukkan pola yang serupa, yaitu harga kentang terendah terjadi pada bulan Pebruari, sedangkan
harga kentang tertinggi tercapai pada bulan November. Walaupun kentang pada dasarnya dapat
ditanam sepanjang tahun pola perilaku harga kentang secara eksplisit menunjukkan adanya pola
musiman penanaman kentang (peak and low season).

Sampai saat ini, hama penyakit masih merupakan kendala biotis utama produksi kentang, karena dapat
menyebabkan kehilangan hasil dengan kisaran 25-90%. Kendala biotis penting pada kentang
diantaranya penyakit jamur (terutama late blight), penyakit bakteri (terutama bacterial wilt), penyakit
virus (terutama PVX, PLRV, PVY, PVA, PVM dan PVS) serta insek (terutama Myzus persicae dan
Thrips spp). Leaf miner atau Liriomyza huidobrensis yang pada awalnya merupakan hama sekunder
juga terkadang berkembang sebagai hama utama. Hama lain yang juga harus mulai diperhatikan
adalah Bemesia tabaci and nematoda.

Intensitas penggunaan input yang tinggi pada penanaman kentang menyebabkan usahatani ini
dikategorikan sebagai jenis usaha berbiaya tinggi. Oleh karena itu, pendanaan atau permodalan
seringkali merupakan kendala produksi kentang. Banyak petani kecil yang menghadapi kesulitan untuk
bertahan, terutama karena relatif terbatasnya akses kredit serta ketidak mampuan petani untuk
menanggung risiko peminjaman modal tersebut. Intensitas penggunaan input tinggi, terutama pestisida,
bahkan tidak saja berimplikasi terhadap tingginya biaya usahatani (tingkat kebersaingan produk), tetapi
juga terhadap semakin terganggunya keseimbangan ekosistem.

Produksi kentang secara agronomis terkadang juga masih terkendala oleh buruknya kesuburan tanah,
kondisi iklim yang kurang mendukung serta sistem pola tanam yang belum tertata. Di daerah/area
tertentu dimana perlakuan agronomi tidak lagi dapat mengatasi permasalahan, maka diperlukan
varietas-varietas baru kentang yang toleran terhadap berbagai kondisi lingkungan. Sampai saat ini,
berbagai varietas alternatif yang dibutuhkan tersebut ternyata masih belum tersedia. Sementara itu,
ada pula beberapa karakteristik biologis kentang yang dapat menjadi kendala pengembangan:
• Tingkat multiplikasi benih yang relatif rendah
• Kesulitan serta biaya tinggi yang diperlukan untuk memelihara kualitas bibit melalui berbagai
metode perbanyakan, sebab kentang suseptibel terhadap penyakit tular tanah dan udara
• Kebutuhan bibit kentang yang relatif bulky, yaitu 1-2 ton/ha

76
Sistem perbenihan kentang masih didominasi oleh sistem informal petani (menyisihkan sebagian hasil
panen untuk bibit musim tanam berikutnya). Sampai saat ini, Indonesia masih belum memiliki sistem
perbenihan yang terorganisasi baik dan viabilitasnya berkesinambungan. Penghambat dari kondisi ini
adalah kombinasi dari keterbatasan kemampuan teknis sumberdaya manusia, kemampuan manajerial
di sektor publik, serta kendala kebijakan dan kelembagaan, sehubungan dengan prioritas
pengembangan.

XI. Prospek, kebijakan dan strategi pengembangan

Berbagai indikator di atas (pertumbuhan produksi, konsumsi, stabilitas harga dan kelayakan finansial)
memberikan gambaran bahwa prospek pengembangan komoditas kentang di Indonesia masih cukup
baik. Gambaran tersebut secara implisit juga menunjukkan bahwa prospek peranan kentang dalam
sistem pangan Indonesia akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor dan perubahan demografis,
ekonomi, politis serta lingkungan. Beberapa faktor penentu utama diantaranya adalah pertumbuhan
penduduk, tingkat urbanisasi, tingkat pendapatan serta penurunan/peningkatan daya beli konsumen.
Perlu pula diperhatikan bahwa perubahan diet, liberalisasi pasar dan perdagangan serta
tekanan/proteksi terhadap basis sumberdaya alam juga akan mempengaruhi penawaran dan
permintaan kentang di masa depan. Berbagai perubahan ini cenderung mendorong produsen dan
konsumen untuk memproduksi dan mengkonsumsi lebih banyak kentang dengan cara, utilisasi dan
penggunaan teknologi baru.

Sejak awal dibudidayakan, kentang ditanam di daerah atau ekosistem dataran tinggi. Kendala utama
peningkatan produksi kentang di tingkat usahatani adalah penurunan kesuburan tanah, serangan hama
penyakit serta keterbatasan ketersediaan bibit kentang berkualitas. Penggunaan bibit kentang generasi
lanjut yang biasanya sudah rentan terhadap hama/penyakit juga berperan terhadap relatif rendahnya
produktivitas dan tingginya variasi produktivitas antar usahatani. Sementara itu, varietas baru yang dapat
digunakan sebagai alternatif Granola juga belum berkembang optimal. Oleh karena itu, isu penting yang
perlu diantisipasi berkenaan dengan strategi pengembangan kentang adalah aspek keberlanjutan
usahatani secara keseluruhan. Perlu penelitian interdisiplin berupa studi dampak pengelolaan intensif
usahatani kentang terhadap sustainabilitas ekosistem, terutama dataran tinggi. Beberapa topik penelitian
yang juga perlu dipertimbangkan diantaranya adalah status kesuburan tanah dan pola tanam, status hama
penyakit, preferensi petani terhadap varietas, bahkan kelayakan pengembangan kentang di dataran
medium.

Keterbatasan lahan untuk ekspansi serta ekspektasi tinggi untuk meningkatkan produktivitas cenderung
mengarah pada penggunaan input, terutama pupuk dan pestisida, secara berlebih. Hal ini pada gilirannya
telah meningkatkan biaya produksi dan mengurangi kebersaingan komoditas kentang, terutama untuk
pasar ekspor. Sementara itu, observasi lapang mengindikasikan bahwa rekomendasi PHT kentang masih
belum banyak diadopsi petani, karena risiko kehilangan hasil dari teknologi tersebut masih dipersepsi
tinggi. Rendahnya adopsi ini tidak saja berlaku untuk komponen PHT, tetapi juga untuk berbagai
komponen teknologi lainnya, misalnya varietas baru. Oleh karena itu, kaji ulang untuk berbagai teknologi
kentang perlu dilakukan sebagai bahan masukan untuk program pengembangan.

Beberapa usulan kebijakan dan strategi pengembangan yang bersifat generik dapat dikemukakan sebagai
berikut:

77
a. Perlu dipertimbangkan pelaksanaan studi dampak berkenaan dengan teknologi usahatani
kentang yang ada sekarang terhadap status kesuburan tanah, hama penyakit dan sistem
pertanaman atau sistem usahatani untuk mendapatkan assessment apakah teknologi
yang ada cenderung lebih memberikan solusi atau justru lebih menimbulkan masalah.
Penelitian dan pengembangan komoditas kentang perlu diarahkan untuk menciptakan
teknologi tepat guna yang memiliki karakteristik sebagai pengurang tingkat risiko. Secara
implisit, hal ini juga mencakup teknologi yang menghasilkan output di bawah tingkat
produksi maksimal dan bertumpu pada pemanfaatan proses biologis serta sumberdaya
yang renewable.
b. Penataan kelembagaan dan kebijakan yang diarahkan untuk memberikan fasilitas kredit
serta memperbaiki sistem pembibitan formal maupun informal merupakan langkah
penting yang perlu segera diinisiasi agar keragaan dan efektivitas pengembangan
kentang dapat terus ditingkatkan.
c. Dalam rangka memperlambat degradasi lingkungan di dataran tinggi, berbagai komponen
teknologi yang mengarah pada integrated crop management (teknologi yang
mempertimbangkan sensitivitas lingkungan, viabilitas ekonomis, pendekatan keseluruhan
usahatani, teknologi moderen, efifiensi penggunaan input, produk berkualitas sesuai
kebutuhan konsumen dan strategi jangka panjang) perlu lebih dipacu perancangannya.
Komponen teknologi tersebut perlu pula didukung oleh kebijakan pemerintah yang jelas
menyangkut pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem dataran tinggi. Disamping itu,
berbagai kemungkinan pengembangan kentang ke dataran medium juga perlu dijajagi
kembali kelayakan teknis, ekonomis dan sosialnya secara lebih komprehensif.
d. Keragaan pasar kentang dengan segala permasalahannya perlu mendapat perhatian
yang lebih besar dari pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah perlu terus didorong untuk
memfasilitasi pasar persaingan sempurna (melalui penerbitan regulasi pasar standar,
pemberian jasa informasi pasar serta perbaikan infrastruktur pasar). Khusus untuk pasar
ekspor, kebersaingan kentang Indonesia dalam jangka panjang perlu ditingkatkan melalui
upaya pengurangan biaya produksi. Upaya tersebut dapat ditempuh melalui perbaikan
kualitas bibit kentang konsumsi dan kentang prosesing serta perbaikan budidaya yang
mengikuti prinsip keberlanjutan.

Daftar Pustaka

Adamowicz, W. L.., S. O. Baah, and M. H. Hawkins. 1984. Pricing efficiency in hog markets.
Canadian J. of Agr. Econ., 32(2): 462-477.
Adiyoga, W. 1996. Marjin tataniaga dan bagian petani untuk kentang, kubis dan tomat di Jawa Barat
dan Sumatera Utara. Jurnal Hortikultura 7(3): 840-851
Adiyoga, W. 1998a. Pola pertumbuhan produksi beberapa jenis sayuran di Indonesia. Laporan Hasil
Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang
Adiyoga, W. 1998b. Hubungan kausal antara harga sayuran di tingkat produsen dan konsumen.
Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang
Adiyoga, W. 1998c. Alternatif model ARIMA (Autoregressive-integrated-moving average) untuk
peramalan harga kentang. Jurnal Hortikultura 8(2): 1131-1136
Adiyoga, W. 1999a. Perkembangan ekspor-impor dan ketidak-stabilan penerimaan ekspor komoditas
sayuran di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang

78
Adiyoga, W., R. Suherman, A. Asgar and Infansyah. 1999b. Potatoes in West Java: A rapid appraisal
of production, marketing, processing and consumer preferences. International Potato Center (CIP),
Lima, Peru.
Ameriana, M ., W. Adiyoga., L. Sulistyowati dan D. Makmun ., 1998. Perilaku konsumen rumah tangga
dalam menilai kualitas kentang. J. Hort 7(4) : 944 - 951.
Bessler, D. A. and J. A. Brandt. 1982. Causality tests in livestock models. Amer. J. of Agr. Econ.,
64(4): 512-516.
Bessler, D. A. and L. F. Schrader. 1980. Measuring leads and lags among prices: Turkey products.
Agr. Econ. Res., 32(6): 1-7.
Bisaliah, S. 1986. Soybean development in India: A methodological frame. In CGPRT. Socio-
economic research on food legumes and coarse grains: Methodological issues. CGPRT No. 4.
Bogor, Indonesia.
Bottema, T., P. U. Hadi and M. Ferrari. 1991. Potato in Indonesia: Recent development. In the
Proceeding of Symposium on Development in Potato Processing and Storage in Asia. June 17-18,
Bandung, Indonesia.
CIP. 1998. CIP potato facts: Growth in production accelerates. Available in CIP website at
http://www.cipotato.org/
CIP. 2000. Potato and sweet potato as sources of food. Available in CIP website at
http://www.cipotato.org/market/belgtech/sources.htm
Colman, D & Young, T. 1989. Principles of agricultural economics: Markets and prices in less
developed countries. Cambridge University Press, Great Britain.
Colclough, W. G. and M. D. Lange. 1982. Empirical evidence of causality from consumer to wholesale
prices. J. of Econometrics, 19(3): 379-384.
Dahl, D. C. and J. W. Hammond. 1977. Market and price analysis: The agricultural industries.
McGraw-Hill Book Company, New York.
Dillon, J. L. & Hardaker, J. B. 1980. Farm management research for small farmer development. Food
and Agriculture Organization Agricultural Services Bulletin, Rome.
Faminov, M. D. and M. E. Sarhan. 1980. Meat pricing systems in the United States. Canadian J. of
Agr. Econ., 24(4): 100-109.
FAO. 1998. Potato: Production, utilization and consumption. FAOSTAT (June, 1998)
Ferrari, M. F. 1994. 20 years of horticulture in Indonesia: The vegetable subsector. Working Paper
No. 15. The CGPRT Center, Bogor, Indonesia
Hazell, P. B. R. 1984. Sources of increased instability in Indian and US cereal production. Amer. J. of
Agr. Econ., 66(2): 302-311.
Higginson, N., M. Hawkins, and W. Adamowicz. 1988. Pricing relationships in inter-dependent North
American hog markets: The impact of the countervailing duty. Canadian J. of Agr. Econ., 36(1):
501-518.
Horton, D. 1980. Potato marketing in developing countries. Social Science Department Training
Document. International Potato Center, Lima, Peru.
Horton, D. 1987. Potatoes: Production, marketing, and programs for deve-loping countries. Westview
Press, Boulder, USA.

79
Miller, S. E. 1980. Lead-lag relationships between pork prices at the retail, wholesale and far levels.
Southern J. of Agr. Econ., 62(3): 73-76.
Roche, F. 1988. Sustainable farm development in Java's critical lands: Is a green revolution really
necessary? Internal Paper. University of Stanford.
Setiadi, T. 1995. Peluang pasar kentang di Indonesia. Makalah disampaikan pada Seminar Agribisnis
Kentang, Agribusiness Club, 18-19 Januari 1995, Jakarta.
Silver, J. L. and T. D. Wallace. 1980. The lag relationship between wholesale and consumer prices. J.
of Econometrics, 12(4): 375-387.
Sosnick, S. 1968. Toward a concrete concept of effective competition. American Journal of
Agricultural Economics 50:827-853.
Steenkamp, J. E. B. M., B. Wierenga dan M. T. G Meulenberg., 1986. Analysis of food quality
perception processes. Netherlands Journal of Agricultural Science 34 : 227 - 230.
Steenkamp, J. E. B. M dan J. C. M van Trijp., 1988. Determinants of food quality perception and their
relationships to physico-chemical characteristics : An Application to meat. Netherlands Journal of
Agricultural Science 36 : 390 - 395.
Susilowati, S.H., M. Ariani dan G.S. Hardono. 1997. Trend dan permasalahan impor pangan di
Indonesia. Dalam A. Suryana, T. Sudaryanto dan S. Mardianto (Penyunting). Kebijakan
Pembangunan Pertanian: Analisis Kebijaksanaan Antisipatif dan Responsif. Monograph Series No.
17. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian.
Timmer, C. P. 1974. A Model of Rice Marketing Margins in Indonesia. Food Research Institute Studies
13(2):145-167.
Ward, R.W. 1982. Asymmetry in retail, wholesale, and shipping point pricing for fresh vegetables.
Amer. J. of Agr. Econ., 64(2): 205-212.
Woolfe, J. A. 1987. The potato in the human diet. Cambridge University Press

80

You might also like