Professional Documents
Culture Documents
KABUPATEN BOGOR
Tim Penyusun :
Lala M. Kolopaking Kadarwan Soewardi Linawati Hardjito Ernan Rustiadi Taryono Kodiran Siti Nursyiah Prastowo Odang Carman Yoyoh Indaryanti Dyah Ita Mardiyaningsih Nuning Koesumowardani Muhamad Alif Razi Eka Hermawan Susanto Dewi Setyawati Johan
Kerjasama BADAN PERENCANAN PEMBANGUNAN DAERAH
KATA PENGANTAR
karunia-Nya Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor ini dapat diselesaikan. Kegiatan ini merupakan hasil kerjasama antara PSP3 - LPPM IPB dengan BAPPEDA Kabupaten Bogor berdasarkan Surat Kuasa Melaksanakan Pekerjaan Swakelola Kajian Akademis oleh Perguruan Tinggi. Dokumen Masterplan Minapolitan Kabupaten Bogor ini merupakan bentuk Laporan Akhir dari pertanggungjawaban PSP3-IPB dalam pelaksanaan kegiatan Penyusunan
Masterplan Minapolitan di Kabupaten Bogor. Laporan ini dibuat berdasarkan data dan informasi yang diperoleh melalui beragam pendekatan dari wawancara mendalam, observasi langsung, survey terhadap stakeholder terkait maupun diskusi kelompok terarah pada beragam tingkatan. Selain itu, laporan ini dilengkapi dengan masukan-
masukan yang diterima oleh Tim pada saat kegiatan ekspose Laporan Pendahuluan dan Laporan Antara. Dalam laporan antara ini sudah dipaparkan rencana pengembangan
kawasan minapolitan di Kabupaten Bogor dengan beberapa indikasi program yang perlu dilakukan dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Paparan rencana pengembangan kawasan minapolitan ini masih belum sempurna sehingga diharapkan masukan dan saran untuk mendapatkan satu dokumen Master Plan Minapolitan Kabupaten Bogor yang baik.
Terima kasih
Tim Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.2. Tujuan dan Sasaran 1.2.1. Tujuan 1.2.2. Sasaran 1.3. Ruang Lingkup Kegiatan II. KONSEP DAN KERANGKA TEORU PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLTAN 2.1. Pengertian dan Ciri Kawasan Minapolitan 2.1.1. Pengertian umum 2.1.2. Kriteia Kawasan Minapolitan 2.2. Rencana Pengembangan Kawasan Minapolitan 2.2.1. Komoditi Unggulan 2.2.2. Prinsip, Tujuan dan Perencanaan Pengembangan Kawasan Minapolitan 2.2.3. Konsep Rencana Tata Ruang Kawasan Minpolitan 2.2.4. Kedudukan Rencana Tata Ruang Minapolitan dalam Sistem Pengembangan Wilayah Kabupaten/Kota 2.2.5. Konsep Kelembagaabn Minapolitan 2.3 Tujuan Minapolitan 2.4. Sasaran Minapolitan III. TINJAUAN KEBIJAKAN 3.1. Kebijakan Nasional Minapolitan 3.2. Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten iii
iii iv v v I-1 I-1 I-2 I-3 I-3 I-3 II-1 II-1 II-1 II-2 II-3 II-3 II-4 II-7 II-8 II-9 II-12 II-12 III-1 III-1 III - 3
DAFTAR TABEL
Nomor 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 5.1. 5.2. Lokasi Kegiatan di 4 Kecamatan
Teks
Kerangka Pendekatan Penyusunan Masterplan Pengembangan Minapolitan Alat Perencanaan Kriteria Penilaian Kelayakan Kawasan untuk Wisata Penilaian Akseptibilitas Masyarakat Presentase Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Per Kecamatan di Zona IV PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Kawasan Jabodetabek dan Sekitarnya Tahun 2000 dan 2008 Total PDRB, Julah Penduduk dan PDRB per Kapita Kabupaten/Kota di Kawasan Jabodetabek dan Sekitarnya Tahun 2006 Jumlah dan Luas Daerah Irrigis Se-Kabupaten Bogor Luasan Masing-masing Penggunaan Lahan di Kabupeten Bogor Tahun 2006 Jumlah RTP Pembudidaya, Luas Areal dan Total Produksi Ikan Air Tawar di Kabupaten Bogor Produksi Perikanan Per-kecamatan menurut Jenis Ikan Jenis dan Harga Produk Olahan Ikan di CV. Bening dan CV. Bintang Anugerah di PIH Cibinong Hasil Analisi Neraca Air untuk Budidaya Perikanan Hasil Analisis Debit Bulanan (Lt/Dtet) di Cogrek (53 Hal) Status Jalan dan Panjang di Kabupaten Bogor Penilaian Kelayakan Kawasan Bogor sebagai Minawisata vi
5.3. 5.4. 5.5 6.1. 6.2. 6.3. 6.4. 6.5. 6.6. 6.7.
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 4.1. 4.2. 4.3. 5.1. 5.2. 6.1. 6.2. 6.3. 6.4. 6.5. 6.7. 6.7. 6.8. 6.9. 6.10 6.11. 6.12
Teks Konsepsi Pengembangan Minapolitan Keterkaitan Pusat Kawasan Minapolitan Deskripsi Kawasan Minapolitan Keterkaitan Usaha dan Pelakunya di Wilayah Studi Peta Lokasi Kegiatan Sistem Agribisnis Perikanan Tahapan Studi Peta Lokasi Kabupaten Bogor Peta Wilayah Zona IV Kaki naga (VegiFish) (kiri) dan Nuget (kanan) Industri Rumah Tangga Lele Asap dan Pengasapan Lele Aktifitas Penjualan Benih Ikan di Pasar Benih Ciseeng Lokasi Pasar Benih Ikan di Ciseeng Lokasi BP3K, Ciseeng Kolam di Lokasi BP3K CV. Bening dan CV Bintang Anugerah Grafik Curah Hujan Andalan dan Kebutuhan Air Untuk Budidaya Perikanan Skema Daerah Irigasi Cibeuteung-1 Skema Daerah Irigasi Saak BSK3 Skema Daerah Irigasi Curug Serpong Peta Kecamatan Kemang viii
Hal II-6 II-7 II-9 II-10 IV-2 IV-6 IV-13 V-1 V-9 VI-5 VI-6 VI-8 VI-8 VI-8 VI-8 VI-10 VI-12 VI-13 VI-14 VI-15 VI-19
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Produksi Perikanan Lampiran 2. Peta Rumah Tangga Perikanan Lampiran 3. Peta Sarana dan Prasarana Lampiran 4. Peta Lokasi Obyek Wisata Minapolitan Lampiran 5. Tabel Indikasi Program Pengembangan Kawasan Minapolitan
Dapus & Lamp-3 Dapus & Lamp-4 Dapus & Lamp-5 Dapus & Lamp-6 Dapus & Lamp-7
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Bogor merupakan salah satu kabupaten yang ditunjuk oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Republik Indonesia (RI) sebagai lokasi Pengembangan Minapolitan. Kebijakan tersebut seirama dengan Kebijakan Revitalisi Petanian dan Pedesaan (RP3) Kabupaten Bogor yang menerapkan pendekatan pengembangan pertanian berdasarkan zonasi. Prinsip Zonasi Pengembangan RP3 ditujukan agar di Kabupaten Bogor ada percepatan pembangunan pertanian dalam arti luas melalui pengembangan komoditas unggulan di masing-masing zona. Selaras dengan RP3 tersebut, prinsip pangembangan minapolitan oleh KKP juga menekankan pengembangan komoditas perikanan unggulan di masing-masing wilayah berdasarkan kluster wilayah. Program minapolitan merupakan upaya untuk menjadikan sektor perikanan sebagai sektor unggulan dalam pembangunan daerah yang kawasannya memiliki potensi perikanan. Program yang dapat dikembangkan di Zona 4 dan 2 selaras dengan upaya pemerintah (KKP-RI) untuk menjadikan sektor perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan daerah. Oleh karena itu, pemilihan produk atau komoditas menjadi sangat penting karena nantinya diharapkan dapat merupakan branding bagi Kabupaten Bogor, yang dapat membedakan dengan produk-produk dari daerah lain dan juga memiliki daya saing yang tinggi. Dalam perkembangannya program minapolitan ini tidak hanya mampu menggerakkan sektor perikanan saja, melainkan harus berdampak pada pertumbuhan ekonomi masyarakat secara umum di wilayah tersebut. Program minapolitan ini merupakan bagian dari strategi besar (grand strategy) KKP dengan slogan Revolusi Biru dalam rangka peningkatan produksi perikanan, dan peningkatan pendapatan nelayan serta pembudidaya ikan untuk menjadi pendorong pembangunan daerah. Dalam strategi besar ini, kebijakan RP3 Kabupatern Bogor memiliki arah yang bersinergi dengan gagasan atau kebijakan KKP-RI dengan menempatkan perikanan budidaya faktor penggerak pembangunan daerah serta berkotribusi signifikan tehadap pembangunan perikanan nasional. Sebagaimana dicatat bahwa Program Minapolitan tersebut merupakan direncanakan akan diwujudkan mulai tahun 2011. strategi besar KKP-RI yang
pengembangan
Kabupaten Bogor yang menjadi hinterland Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan wilayah pemasok pasar produk perikanan baik nasional maupun internasional. Hingga saat ini, beberapa komoditas perikanan budidaya sudah berkembang di Kabupaten Bogor, diantaranya ikan nila dan ikan Lele, Gurame, dan lain-lain. Namun demikian, dalam kerangka minapolitan budidaya, tidak semua komoditas perikanan budidaya tersebut harus menjadi komoditas pengembangan budidaya perikanan. Oleh karena itu, dalam kerangka minapolitan budidaya, di mana satu bentuk/jenis kegiatan budidaya perikanan satu komoditas unggulan, maka harus ada prioritas komoditas perikanan budidaya yang akan dikembangkan untuk masing-masing jenis kegiatan budidaya perikanan. Hal-hal penting yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengembangan minapolitan budidaya tersebut adalah bahwasannya pengembangan minapolitan budidaya harus terintegrasi dan memperhatikan kebijakan-kebijakan terkait yang sudah ada di Kabupaten Bogor, diantaranya kebijakan tata ruang dan daya dukung wilayah. Selain itu, proses pengembangannya harus bertumpu pada pemberdayaan masyarakat dengan melakukan inovasi kebijakan di dalam pembiayaan usaha perikanan dengan membangun kerjasama dengan pihak-pihak yang memiliki sumber pendanaan (baik secara Blending maupun Hybrid Financing). Oleh karena itu, dalam rangka mematangkan konsep minapolitan budidaya perikanan Kabupaten Bogor yang meliputi kesiapan manajemen, finansial, teknologi, komoditas unggulan, kelembagaan dan pemasaran, perlu disusun upaya-upaya teknis untuk mematangkan konsep minapolitan budidaya perikanan tersebut. Dalam rangka menyusun upaya-upaya teknis dan strategis untuk mematangkan konsep minapolitan tersebut disusun rencana induk atau master plan pengembangan minapolitan di Kabupaten Bogor.
1.2.
1.2.1. Tujuan Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari kegiatan ini adalah memperoleh dan menganalisa data-data untuk merancang penyusunan dokumen rencana induk atau masterplan pengembangan minapolitan di Kabupaten Bogor. Data-data tersebut diolah
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
I- 2
I- 3
2.1.
2.1.1. Pengertian Umum Secara bahasa, minapolitan berasal dari kata Mina (perikanan) dan politan (poli (multi) dan tan (kegiatan)) yang dapat diartikan sebagai kluster kegiatan perikanan yang meliputi kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran dalam sistem agribisnis terpadu di suatu wilayah atau lintas wilayah perikanan dengan kelengkapan sarana prasarana serta pelayanan seperti di perkotaaan (kelembagaan, sistem permodalan, transportasi, dan lain-lain). Lengkapnya adalah kluster perikanan yang tumbuh dan berkembang seiring berjalannya sistem dan usaha agribisnis yang mampu melayani, mendorong, menarik dan menghela kegiatan pembangunan perikanan di wilayah tersebut dan sekitarnya. Adapun secara makna, ada beberapa definisi minapolitan, yaitu: 1. kawasan perdesaan yang disiapkan mempunyai kelengkapan sarana dan prasarana dan pelayanan perkotaan (infrastruktur termasuk transportasi dan energi), dengan dukungan sistem permodalan yang tepat guna. 2. kawasan yang dikembangkan melalui pembentukan titik tumbuh suatu kluster kegiatan perikanan dengan sistem agribisnis berkelanjutan yang meliputi produksi, pengolahan dan pemasaran, sampai jasa lingkungan sebagai sistem kemitraan di dalam satu wilayah. 3. kawasan terintegrasi sebagai kluster kegiatan perikanan dimana masyarakatnya tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan kelembagaan usaha yang didukung sumberdaya manusia berkualitas melalui pendidikan yang maju. Program minapolitan ini pada prinsipnya merupakan suatu program kegiatan yang berupaya untuk mensinergiskan kegiatan produksi bahan baku, pengolahan dan pemasaran dalam satu rangkaian kegiatan besar dalam satu kawasan atau wilayah.
kesesuaian lahan dan RTRW. Sedangkan Kriteria khusus pengembangan kawasan perikanan budidaya antara lain adalah: 1. 2. Memiliki kegiatan ekonomi yang dapat menggerakkan pertumbuhan daerah; Mempunyai sektor ekonomi unggulan yang mampu mendorong kegiatan ekonomi sektor lain dalam kawasan itu sendiri maupun di kawasan sekitarnya; 3. Memiliki keterkaitan kedepan (daerah pemasaran produk-produk yang dihasilkan) maupun ke belakang (suplai kebutuhan sarana produksi) dengan beberapa daerah pendukung; 4. Memiliki kemampuan untuk memelihara sumber daya alam sehingga dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan mampu menciptakan kesejahteraan ekonomi secara adil dan merata bagi seluruh masyarakat. 5. Memiliki luasan areal budidaya eksisting minimal 200 Ha.
b. Persyaratan Kawasan Minapolitan Suatu kawasan dapat dikembangkan menjadi kawasan minapolitan jika memenuhi persyaratan sebagai berikut:
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
II - 2
2.2.
2.2.1. Komoditi Unggulan Kawasan Minaploitan Komoditi unggulan adalah produk pilihan yang dihasilkan oleh sektor perikanan atau pariwisata berbasis perikanan yang mempunyai nilai jual dan jaminan prospek masa depan karena memiliki daya saling (competitive advantages) yang tinggi. Kawasan minapolitan tidak saja berfungsi sebagai pemasok komoditi unggulan yang dihasilkan, tetapi juga menghasilkan suatu produk olahan dari produksi pertanian yang siap dipasarkan dan menjadi ciri khas daerah yang bersangkutan. Keunggulan produk yang dihasilkan dari industri yang mengolah komoditi unggulan tersebut akan memberikan nilai tambah yang besar karena produk yang dihasilkan mempunyai nilai jual yang stabil dibandingkan dengan produk perkebunan atau pertanian tanpa melalui pengolahan.
II - 3
bekerjasama secara efektif, efisien dan berdaya saing; 4. Mengembangkan sistem ketahanan pangan yang berbasis pada keragaman sumber daya perikanan budidaya dan budaya lokal; 5. Mempercepat pembangunan ekonomi daerah dengan memberdayakan para pelaku sesuai dengan semangat otonomi daerah; 6. Mempercepat pembangunan pedesaan dalam rangka pemberdayaan
masyarakat daerah (khususnya pembudidaya ikan) dengan kepastian dan kejelasan hak dan kewajiban semua pihak; dan 7. Memaksimalkan peran pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau seluruh kegiatan pembangunan di daerah.
II - 4
minapolitan jangka panjang perlu dilakukan dengan mempertimbangkan potensi sumberdaya lahan dan perkembangan kawasan. Strategi pengembangan kawasan minapolitan meliputi pembangunan sistem dan usaha agribisnis berorientasi kekuatan pasar (market driven) yang diarahkan untuk menembus batas kawasan (bahkan mencapai pasar global); pengembangan saranaprasarana publik untuk memperlancar distribusi hasil pertanian dengan efisiensi dan resiko yang minimal; dan deregulasi yang berhubungan dengan penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha dan perekonomian daerah. Suatu kawasan sentra perikanan budidaya yang sudah berkembang harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut (lihat Gambar 2.1.): 1) Sebagian besar kegiatan masyarakat di kawasan tersebut di dominasi oleh kegiatan perikanan budidaya dalam suatu sistem yang utuh dan terintegrasi mulai dari: a. Subsistem minabisnis hulu (up stream minabusiness) yang mencakup: penelitian dan pengembangan, sarana perikanan, pemodalan, dan lain-lain; b. Subsistem usaha perikanan budidaya (on farm minabusiness) yang mencakup usaha: pembenihan ikan, pembesaran ikan dan penyediaan sarana perikanan budidaya; c. Subsistem minabinis hilir (down stream minabusiness) yang meliputi: industriindustri pengolahan dan pemasarannya, termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor, d. Subsistem jasa-jasa penunjang (kegiatan yang menyediakan jasa bagi minabisnis) seperti: perkreditan, asuransi, transportasi, pendidikan, penyuluhan, infrastruktur, dan kebijakan pemerintah.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
II - 5
berkembangnya usaha budidaya dan minabisnis seperti penyediaan sarana perikanan antara lain: modal, teknologi, informasi, peralatan perikanan dan lain sebagainya; 3) Kegiatan sebagian besar masyarakat di kawasan tersebut didominasi oleh kegiatan perikanan budidaya, termasuk didalamnya usaha industri (pengolahan) produk perikanan, perdagangan hasil-hasil perikanan (termasuk perdagangan untuk kegiatan ekspor), perdagangan minabisnis hulu (sarana perikanan dan permodalan), minawisata dan jasa pelayanan; dan 4) Infrastruktur yang ada dikawasan diusahakan tidak jauh berbeda dengan di kota.
Desa Minapolitan
PASAR/GLOBAL
Desa Minapolitan Desa Minapolitan
Keterangan : Pengahsilan Bahan Baku Pengumpul Bahan Baku Sentra Produksi Kota Kecil / Pusat Regional Kota Kecil / Pusat Regional Kota Sedang / Besar (outlet) Jalan Dan Dukungan Sapras Batas Kaw. Minapolitan
Suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi suatu kawasan perikanan budidaya harus dapat memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Memiliki sumberdaya lahan dan perairan yang sesuai untuk mengembangkan komoditi perikanan budidaya, yang dapat dipasarkan atau telah mempunyai pasar (selanjutnya disebut komoditi unggulan);
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
II - 6
Kawasan 1
Jalan Nasional
Kawasan 2
Keterangan :
Jalan Kabupaten
Jalan Kabupaten
Pusat Kegiatan
Dalam penyusunan rencana tata ruang, perumusan konsep, perencanaan dan pengembangan kawasan-kawasan yang akan dibangun sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah dengan melaksanakan konsultasi publik. Beberapa hal yang sifatnya sektoral masih mendapatkan masukan dari sektor atau dinas terkait. Proses perencanaan clan pengembangan kawasan minapolitan menuntut hal utama untuk diperhatikan yaitu
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
II - 7
ekonomi. Berdasarkan penelusuran terhadap sejumlah konsep tentang kelembagaan, kelembagaan pengelola sumberdaya menunjukan konsepsi multidimensi yang
diantaranya merepresentasikan konsep peran (roles) dan aturan (rules); sistem norma, panduan, kaidah formal dan informal (termasuk nilai budaya, dan adat istiadat) bagi
II - 8
pengelolaan sumberdaya setidaknya mencakup dua hal pokok yaitu (a) organisasi atau institusi pengelola (player of the game) dan (2) aturan-aturan (rules of the game) yang dapat menjamin organisasi/institusi pengelola dapat bekerja secara efektif melaksanakan aktivitas pengelolaannya.
Desa Hiterland
SentraProduksi
Kawasan Minapolita
JalanPrimer
Dua elemen pokok tersebut diatas menjadi kebutuhan elementer, sehingga perlu dirumuskan melalui mekanisme yang dapat diterima oleh seluruh pemangku kepentingan pengelolaan kawasan Minapolitan Kabupaten Bogor. Upaya-upaya kelembagaan secara fokus perlu diarahkan pada usaha-usaha untuk menghasilkan bentuk-bentuk
II - 9
Berdasar Gambar 2.4., hubungan yang harus dibangun semestinya bersifat mutualisme, dimana antar pihak yang saling berinteraksi harus mendapatkan keuntungan optimum untuk mendukung kelangsungan usahanya. Kegagalan dalam satu pelaku usaha, akan mendorong terjadinya efek domino pada kegiatan lainnya yang dapat menghancurkan sistem yang telah berkembang. Akan tetapi perlu dipahami bahwa dalam sistem ini, sebagai tulang punggung adalah sistem usaha on-farm yaitu proses budidaya yang meliputi aktivitas pembenihan, pendederan dan pembesaran. Relasi antara pembudidaya dan pelaku usaha sarana produksi budidaya bersifat cukup kental. Pada pabrik pakan, mempunyai beberapa pemasaran dan perwakilan pemasaran (agen pakan) yang berada pada tingkat komunitas. Adanya kebijakan pemasaran yang dikembangkan oleh produsen pasar, mendorong adanya relasi yang lebih kuat antara petani dan agen pakan. Pada beberapa kasus, agen pakan seringkali juga merupakan petani ikan setempat. Relasi ini sudah terjadi cukup lama, dan melibatkan transaksi jual beli dengan nilai uang yang cukup besar, sehingga cukup kuat. Sampai pada cakupan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
II - 10
pemasaran (pakan) tidak bersifat cash and carry. Pola ini juga terjadi pada pola hubungan antara petani dengan pemasok obat-obatan. Dalam proses on farm pola keeratan relasi juga terjadi antara petani dengan pembenih atau pemasok benih walaupun dengan intesitas yang berbeda.Demikian selanjutnya
antara pembenih atau pemasok benih dengan pembesar. Relasi yang berkembang biasanya didasarkan pada kebiasaan setempat mulai dari pola pembayaran, distribusi barang sampai kesepakatan lain termasuk resiko kematian benih. Relasi berikutnya terjadi antara sisi on-farm dengan off-farm pemasaran. Dimana biasanya sudah terjadi relasi yang cukup erat antara produsen pembesaran dengan pembeii. Dalam transaksi ini disepakati harga, pola pembayaran, distribusi dan resikoresiko yang ditanggung kedua belah pihak. Pola relasi antara on-farm dengan off-farm pengolahan sekarang ini belum terjadi. Mengingat bahwa pengolah hasil perikanan di Kecamatan Parung sekarang ini justru mengolah ikan laut. Sementara itu, untuk mendukung kegiatan usaha tersebut juga telah dilakukan fasilitasi oleh para petugas lapangan dan penyuluh dari dinas teknis baik Kabupaten Bogor. Petugas ini memberikan fasilitasi transfer pengetahuan pada bidang teknologi budidaya, pengelolaan usaha sampai kerjasama kelompok. Sehingga penyuluh merupakan kelembagaan dari sisi pelaku (player of the game) yang merupakan pendukung dari kegiatan ini. Perlu diperhatikan bahwa pada kenyataannya, di samping penyuluh, juga terdapat kelembagaan keuangan yang sekarang ini telah berinteraksi dalam penyediaan jasa permodalan bagi pelaku usaha budidaya. Kelompok jasa keuangan ini meliputi lembaga keuangan bank maupun bukan bank. Secara umum bisa disarikan bahwa secara kelembagaan, sekarang ini di lokasi terdapat pelaku-pelaku usaha (baik individual maupun kelompok) yang perlu diperhitungkan yang meliputi : A. On-farm meliputi : a.Pelaku pembenihan b.Pelaku Pendederan c. Pelaku pembesaran B. Off-farm meliputi : a. Pembeli/pedagang ikan konsumsi
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
II - 11
2.3.
Tujuan Minapolitan
Tujuan dari penerapan program minapolitan ini adalah: 1. Untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat serta pendapatan asli daerah. 2. Untuk memfasilitasi pembangunan kawasan melalui pembentukan titik tumbuh agribisnis perikanan berkelanjutan berbasis masyarakat. 3. Untuk meningkatkan keterkaitan desa dengan kota melalui jaringan usaha.
2.4.
Sasaran Minapolitan
Sasaran program minapolitan yaitu: 1. Terwujudnya kawasan perdesaan dengan fasilitas perkotaan didukung kluster kegiatan perikanan yang dikembangkan bersama masyarakat, sehingga masyarakat tumbuh dan berkembang seiring dengan kemajuan agribisnis yang menjadi penghela kegiatan pembangunan perikanan dari kawasan/wilayah tersebut. 2. Terbentuknya sistem dan usaha agribisnis perikanan berkelanjutan (tidak merusak lingkungan), terdesentralisasi (wewenang berada pada pemerintah daerah dan masyarakat), dan menjadi titik tumbuh yang menciptakan lapangan kerja, dan membawa kemakmuran/kesejahteraan bagi masyarakat tersebut. dari kawasan/wilayah
II - 12
Yoeti (2008) mengemukakan, dalam perkembangan industri sebuah kawasan wisata, sebuah perencanaan yang baik sangat penting dibutuhkan agar pengembangan wisata tersebut sesuai dengan apa yang telah dirumuskan dan berhasil mencapai sasaran yang dikehendaki, baik itu ditinjau dari segi ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan hidup. Pariwisata menurut Damanik dan Weber (2006) adalah kegiatan rekreasi di luar domisili untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain. Pariwisata semakin berkembang sejalan perubahan-perubahan sosial, budaya, ekonomi, teknologi dan politik. Sebagai suatu aktifitas manusia, pariwisata adalah fenomena pergerakan manusia, barang dan jasa yang sangat kompleks. Yoeti (2008) menyatakan bahwa pariwisata merupakan sebuah perjalanan untuk bersenang-senang. Perjalanan tersebut baru dapat dikatakan sebagai perjalan wisata jika telah memenuhi empat kriteria di bawah ini, yaitu: 1. Perjalanan dilakukan dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan dilakukan di luar tempat kediaman dimana orang itu biasanya tinggal. 2. Perjalanan dilakukan minimal 24 jam atau lebih kecuali bagi excursionist (kurang dari 24 jam). 3. Tujuan perjalanan hanya untuk bersenang-senang (to pleasure) tanpa mencari nafkah di negara, kota atau DTW (Daerah Tujuan Wisata) yang dikunjungi. 4. Uang yang dibelanjakan wisatawan tersebut dibawa dari negara asalnya dimana dia tinggal atau berdiam dan bukan diperoleh karena hasil usaha selama dalam perjalanan wisata yang dilakukan. Pariwisata di daerah pariwisata dan rekreasi dapat menimbulkan masalah ekologis yang khusus dibandingkan dengan kegiatan ekonomi lain mengingat bahwa keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama. Bila suatu wilayah dibangun untuk tempat rekreasi, biasanya fasilitas-fasilitas pendukung lainnya juga berkembang dengan pesat. Sebagai kegiatan rekreatif, pariwisata merupakan sarana pemenuhan hasrat manusia untuk bereksplorasi guna mengalami berbagai perbedaan. Perbedaan tersebut mencakup perbedaan fisik, seperti bangunan, lingkungan alam, benda-benda, hewan, tumbuhan dan manusia. Perbedaan non-fisik, seperti perbedaan suhu dan kelembaban udara, suara, rasa makanan dan minuman serta suasana, dan juga perbedaan-perbedaan lain yang mengarah pada perilaku manusia termasuk adat-istiadat, kesenian, cara berpakaian dan lain sebagainya (Simatupang 1999).
II - 13
TINJAUAN KEBIJAKAN
3.1.
Seiring dengan perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia, pengesahan Undangundang (UU) No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang kemudian digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 telah menciptakan paradigma baru dalam pembangunan daerah. Pergeseran sistem pemerintahan dari sentralistik menjadi terdesentralistik
merupakan peluang sekaligus tantangan bagi pemerintah daerah. Salah satu implikasi perubahan kebijakan tersebut adalah Pemerintah Daerah harus mampu mengelola sumber dana untuk membiayai pembangunan daerahnya. Peran Pemerintah Pusat yang semula bersifat sektoral secara bertahap beralih ke Pemerintah Daerah, khususnya Kabupaten/Kota, sehingga kelembagaan lokal dalam pembangunan ekonomi daerah akan semakin penting dan diakui keberadaannya. Desentralisasi menuntut pembangunan dikelola berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan dan pengambilan manfaatnya; 2. Masyarakat sebagai pengambil keputusan dan menentukan sistem pengusahaan dan pengelolaan yang tepat; 3. Pemerintah sebagai fasilitator dan pemantau kegiatan; 4. Kepastian dan kejelasan hak dan kewajiban semua pihak; 5. Kelembagaan pengusahaan ditentukan oleh masyarakat atau rakyat; dan 6. Pendekatan pengusahaan didasarkan pada keanekaragaman hayati dan
keanekaragaman budaya. Kewenangan pemerintah daerah dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan adalah sangat luas, antara lain adalah: a) Menetapkan target pertumbuhan; b) Menetapkan tahap dan langkah pembangunan kawasan sesuai dengan potensi yang dimiliki;
Dalam rangka memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang ada khususnya yang terkait dengan pengembangan perikanan dalam arti luas maka diupayakan suatu pendekatan melalui produk yaitu perencanaan pengembangan kawasan perikanan budidaya (Minapolitan). Konsepsi mengenai pengembangan kawasan perikanan budidaya dalam penataan ruang lebih diarahkan kepada bagaimana memberikan arahan pengelolaan tata ruang suatu wilayah perikanan, khususnya kawasan sentra produksi perikanan nasional dan daerah. Perencanaan pengembangan kawasan perikanan budidaya (minapolitan) merupakan suatu upaya untuk memanfaatkan lahan/potensi yang ada dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam pengelolaan dan penataan ruang perikanan di pedesaan. Pengelolaan ruang perikanan budidaya adalah arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang yang diperuntukkan bagi kegiatan perikanan dan usaha-usaha berbasis perikanan lainnya dalam skala nasional, sedangkan pengelolaan ruang kawasan sentra produksi perikanan nasional dan daerah merupakan arah kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang bagi peruntukan perikanan secara umum. Berikut ini adalah peraturan-perundangan yang mendasari kebijakan Minapolitan secara nasional : 1) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004; 2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil; 3) 4) Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas UU no. 32 tentang Pemerintahan Daerah; 5) Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; 6) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan;
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
III - 2
10) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2009 tentang Penetapan Lokasi Minapolitan; 11) Peraturan Menteri Dalam Negeri No 29 Tahun 2008 tentang Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah; dan 12) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.24/MEN/2002 tentang Tata Cara dan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Lingkungan Departemen Kelautan dan Perikanan.
3.2.
Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor : Perda No.19 tahun 2008
Secara legal, Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 19/2008 tentang Rencana tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025 pasal 7 menyebutkan bahwa strategi untuk mewujudkan pola kebijakan penataan ruang wilayah Kabupaten Bogor diantaranya mencakup strategi pengembangan pola ruang wilayah. Pengembangan pola ruang wilayah (pasal 12) didasarkan pada (a) strategi pengembangan kawasan lindung, (b) strategi pengembangan kawasan budidaya dan (c) strategi pengembangan kawasan strategis. Strategi pengembangan kawasan budidaya dilakukan dengan meningkatkan keterpaduan dan keterkaitan antar kegiatan budidaya, pengendalian perkembangan
budidaya agar tidak melampaui daya dukung dan pengembangan fasilitas perkotaan agar mendukung perkembangan perdesaan. Perbandingan antara kawasan budidaya dan kawasan lindung masing-masing sebesar 55,31% dan 44,67%. Di mana kawasan budidaya di luar hutan termasuk didalamnya ditujukan untuk pertanian dengan kegiatan perikanan. Kawasan perikanan dikembangkan pada wilayah/kawasan yang secara teknis, sosial dan ekonomi memiliki potensi untuk kegiatan perikanan, kolam air tenang, air deras, pembenihan, kolam ikan hias/aquarium, dan budidaya ikan di perairan umum. Kawasan perikanan ini, berdasarkan peraturan daerah ini terletak di sebagian wilayah kecamatan tertentu. Hal yang dipikirkan adalah bahwa sebagian wilayah kecamatan yang telah ditunjuk tersebut juga digunakan untuk peruntukan pemanfaatan yang lainnya.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
III - 3
pengembangan pola ruang. Kebijakan pengembangan struktur ruang Kabupaten Bogor, meliputi : 1) Peningkatan akses pelayanan perkotaan dan pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang merata dan berhierarki; dan; 2) Peningkatan kualitas dan jangkauan pelayanan jaringan prasarana transportasi, telekomunikasi, energi, dan sumberdaya air yang terpadu dan merata di seluruh wilayah daerah. Sedangkan kebijakan pengembangan pola ruang, meliputi : a. kebijakan pengembangan kawasan lindung, meliputi : 1) pemeliharaan dan perwujudan kelestarian fungsi lingkungan hidup; dan 2) pencegahan dampak negatif kegiatan manusia yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup. b. kebijakan pengembangan kawasan budidaya, meliputi : 1) perwujudan dan peningkatan keterpaduan dan keterkaitan antarkegiatan
budidaya; dan 2) pengendalian perkembangan kegiatan budidaya agar tidak melampaui daya dukung dan daya tampung lingkungan; c. kebijakan pengembangan kawasan strategis, meliputi : 1) Pengembangan kawasan strategis Puncak sebagai kawasan strategis lingkungan hidup yang berperan sebagai kawasan andalan pariwisata melalui pembatasan pemanfaatan ruang yang lebih selektif dan efisien; 2) Pengembangan kawasan strategis industri sebagai kawasan strategis sosial ekonomi melalui penataan dan pemanfaatan ruang serta pembangunan jaringan infrastruktur yang mendorong perkembangan kawasan; 3) Pengembangan kawasan strategis pertambangan sebagai kawasan strategis lingkungan hidup yang berperan sebagai kawasan andalan sumber daya alam melalui konservasi bahan galian; dan 4) Pengembangan kawasan strategis lintas administrasi kabupaten sebagai kawasan strategis sosial ekonomi melalui sinkronisasi sistem jaringan.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
III - 4
III - 5
permukiman pedesaan diluar kawasan yang berfungsi lindung (PD 1) dan permukiman pedesaan yang berada di dalam kawasan lindung di luar kawasan hutan (PD 2); dan (2) permukiman perkotaan terdiri dari permukiman perkotaan kepadatan tinggi (Pp 1), permukiman perkotaan kepadatan sedang (Pp 2) dan permukiman perkotaan kepadatan rendah Pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budidaya terdiri dari : a. Pengelolaan Kawasan Lindung, meliputi : Pengelolaan kawasan lindung di dalam kawasan hutan dan arahan pengelolaan kawasan lindung di luar kawasan hutan. Pengelolaan kawasan perlindungan setempat. Pengelolaan kawasan suaka alam. Pengelolaan kawasan rawan bencana alam. Pengelolaan kawasan lindung lainnya.
b. Pengelolaan Kawasan Budidaya, mencakup : 1) Pengelolaan kawasan Budidaya di dalam kawasan lindung, di luar kawasan hutan dilakukan pada kawasan hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap, meliputi :
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
III - 6
2) Pengelolaan Kawasan Budidaya di Luar Kawasan Lindung, meliputi: Pengelolaan kawasan perdesaan. Pengelolaan kawasan perkotaan. Pengelolaan kawasan strategis.
Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) juga mewadahi pengembangan sistem prasarana wilayah yang terdiri dari : A. Pengembangan sistem transportasi jalan 1) Pengelolaan jalan yang ada dilakukan melalui program peningkatan, rehabilitasi dan pemeliharaan rutin untuk ruas-ruas jalan Nasional, jalan Provinsi, jalan Kabupaten, dan jalan Kota, terdiri dari : Jaringan jalan Nasional, meliputi : (1) Jaringan jalan arteri primer (2 ruas jalan). (2) Jaringan jalan arteri sekunder (1 ruas jalan). (3) Jaringan jalan kolektor primer I (10 ruas jalan). (4) Jalan tol Jakarta Bogor Ciawi (Tol Jagorawi). Jaringan jalan provinsi (kolektor primer II) (10 ruas jalan) Pengelolaan jaringan jalan kabupaten (lokal sekunder, lokal I, lokal II dan lokal III) dan jalan desa (lingkungan), dilakukan terhadap seluruh jalan kabupaten dan desa di wilayah Kabupaten Bogor, yang jaringan jalannya terlampir pada Dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah. 2) Pengembangan jalan baru dilakukan untuk menghubungkan antar wilayah dan antar pusat-pusat permukiman, industri, pertanian, perdagangan, jasa dan simpulsimpul transportasi serta pengembangan jalan penghubung antara jalan tol dan bukan jalan tol, terdiri dari :
III - 7
B. Pengembangan sistem transportasi perkeretaapian Rencana pengembangan sistem transportasi perkeretaapian meliputi pengelolaan jalur perkeretaapian, pengembangan prasarana transportasi kereta api untuk keperluan penyelenggaraan perkeretaapian komuter, dry port, terminal barang, serta konservasi rel mati, meliputi : 1) Rencana pengembangan jalur kereta api perkotaan meliputi pengembangan jalur kereta api ganda dan penataan jalur kereta api yang beroperasi saat ini (3 jalur dan 1 stasiun). 2) Rencana pengembangan jalur kereta api antarkota pada ruas tertentu, disesuaikan dengan rencana pengembangan jaringan kereta api (rail way master plan) nasional (3 jalur). C. Pengembangan sistem transportasi udara Sistem transportasi udara, terdiri dari lapangan udara dan ruang udara di sekitar udara yang dipergunakan untuk operasi penerbangan. Lapangan udara yang terdapat di wilayah Kabupaten Bogor, adalah : (1) lapangan udara untuk pertahanan keamanan (Hankam), Atang Senjaya di Kecamatan Kemang; (2) lapangan udara untuk penelitian, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) di Kecamatan Rumpin; dan (3) lapangan udara untuk pendidikan/pelatihan, Sekolah Polisi Negara (SPN) Lido di Kecamatan Cigombong.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
III - 8
perwujudan struktur ruang kawasan; dan (3) kriteria teknis lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengembangan sistem jaringan
telekomunikasi dapat juga dilakukan melalui kerjasama antar daerah serta peran masyarakat dan dunia usaha. E. Pengembangan sistem prasarana sumberdaya energi Pengembangan energi baru dan terbarukan oleh Pemerintah Kabupaten Bogor, meliputi energi mikrohidro di Kecamatan Leuwiliang dan energi panas bumi di Kecamatan Pamijahan. Pengembangan sistem jaringan tenaga listrik harus memperhatikan kapasitas yang telah terpasang dan kebutuhan jangka panjang, dilakukan berdasarkan kriteria teknis sebagai berikut: (1) meminimalkan dampak negatif terhadap kesehatan dan keselamatan masyarakat; (2) mendukung perwujudan struktur ruang kawasan; dan (3) kriteria teknis lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengembangan sistem jaringan tenaga listrik dapat dilakukan melalui kerjasama antar daerah, pera masyarakat dan dunia usaha. F. Pengembangan sistem prasarana sumberdaya air 1) Pengelolaan sumberdaya air. 2) Pengembangan Prasarana Pengairan. G. Pengembangan sistem prasarana migas Rencana pengembangan prasarana migas adalah jaringan/ distribusi minyak dan gas bumi melalui pipa di darat, kereta api dan angkutan jalan raya. Rencana
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
III - 9
III - 10
3.3.
Kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bogor 2008-2013 : Perda No.7 Tahun 2009
RPJM Daerah Kabupaten Bogor 2008-2013 merupakan pedoman bagi seluruh pemangku kepentingan, baik Pemerintahan Daerah, masyarakat dan dunia usaha di dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan pembangunan daerah Kabupaten Bogor. RPJM Daerah Kabupaten Bogor 2008-2013 selain memuat visi, misi, dan strategi juga memuat kebijakan pembangunan Kabupaten Bogor lima tahun ke depan. Kebijakan Pembangunan merupakan penjabaran tujuan dan sasaran pada Misi serta strategi pembangunan yang telah dijelaskan sebelumnya. Kebijakan Pembangunan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
III - 11
dikelompokkan ke dalam Urusan Pemerintahan maupun menurut Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). a. Kebijakan Pembangunan Kabupaten Bogor Kebijakan Pembangunan urusan pemerintahan yang termuat dalam okumen RPJM Daerah Kabupaten Bogor 2008-2013 adalah : Kebijakan pembangunan urusan pendidikan Kebijakan pembangunan urusan kesehatan Kebijakan pembangunan urusan pekerjaan umum Kebijakan pembangunan urusan perumahan dan permukiman Kebijakan pembangunan urusan penataan ruang Kebijakan pembangunan urusan perencanaan pembangunan Kebijakan pembangunan urusan perhubungan Kebijakan pembangunan urusan lingkungan hidup Kebijakan pembangunan urusan kependudukan
- Kebijakan pembangunan urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak Kebijakan pembangunan urusan sosial Kebijakan pembangunan urusan ketenagakerjaan Kebijakan pembangunan urusan koperasi dan UKM Kebijakan pembangunan urusan penanaman modal Kebijakan pembangunan urusan kebudayaan Kebijakan pembangunan urusan kepemudaan dan olahraga Kebijakan pembangunan urusan kesatuan bangsa dan politik dalam negeri
- Kebijakan pembangunan urusan pembangunan otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah, perangkat daerah, kepegawaian dan persandian Kebijakan pembangunan urusan pemberdayaan masyarakat desa Kebijakan pembangunan urusan kearsipan dan perpustakaan, Kebijakan pembangunan urusan komunikasi dan informasi Kebijakan pembangunan urusan pertanian Kebijakan pembangunan urusan energi dan sumber daya mineral III - 12
b. Kebijakan pembangunan urusan pertanian Berikut ini adalah Kebijakan pembangunan urusan pertanian : 1. Peningkatan ketersediaan pangan secara berkelanjutan melalui peningkatan produksi pertanian dan peternakan khususnya untuk memenuhi karbohidrat dan protein; 2. Pemberian pola insentif dalam rangka peningkatan produksi pertanian secara berkelanjutan dalam rangka ketersediaan pangan maupun agribisnis; 3. Peningkatan produksi hasil perikanan yang berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan; 4. Peningkatan produksi hasil hutan dengan tetap menjaga kelestarian dan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan serta rehabilitasi lahan kritis; 5. Pelaksanaan revitalisasi pertanian dalam arti luas melalui penguatan sistem agribisnis dan penerapan hasil inovasi serta teknologi terkini dalam lingkup pertanian; 6. Pengembangan industri agro yang tersebar di pedesaan untuk meningkatkan nilai tambah produk pertanian dan menyerap tenaga kerja. 7. Peningkatan, pencegahan dan penanggulangan penyakit tanaman, ternak dan ikan. Dalam RPJM Daerah Kabupaten Bogor 2008-2013 terkait dengan pengembangan perikanan, program yang akan dilaksanakan adalah : 1. Program Pengembangan Sistem Penyuluhan Perikanan; 2. Program Optimalisasi Pengelolaan dan Pemasaran Produksi Perikanan; . 3.4. Peraturan Terkait Minapolitan
Peraturan terkait dengan Minapolitan saat ini secara pokok meliputi peraturan tentang tata ruang wilayah, peraturan yang terkait dengan kebijakan pemilihan lokasi dan komoditas dan kebijakan/peraturan terkait dengan minapolitan itu sendiri. Peraturan terkait dengan tata ruang wilayah adalah peraturan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 19/2008 tentang Rencana tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025. Peraturan ini
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
III - 13
Minapolitan di Kabupaten Bogor. Dalam Peraturan Bupati (Perbub) nomor 84/2009, menyebutkan bahwa ruang lingkup revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan mencakup 6 komoditi unggulan yaitu usaha tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Program direncanakan baik pada sisi on-farm, off-farm maupun yang tidak didasarkan usaha pertanian (non-farm) serta infrastrukturnya.Terkait dengan minapolitan, Pasal 9 menyebutkan bahwa komoditi unggulan perikanan mencakup jenis-jenis ikan : mas, gurame, nila, hias, patin dan lele. Maka pengembangan perikanan kolam air tenang
(komoditi mas, nila, mujair, gurame, tawes, patin dan lele) bertumpu pada target produksi di kawasan Zona IV yang meliputi kawasan kecamatan Tahurhalang, Kemang, Rancabungur, Parung, Ciseeng dan Gunung Sindur. Peraturan lain yang terkait dengan pengembangan Minapolitan di Kabupaten Bogor seperti yang sudah disebutkan di atas adalah Keputusan Bupati Bogor nomor 523.31/227/Kpts/Huk/2010 tentang penetapan lokasi pengembangan kawasan
minapolitan di Kabupaten Bogor. Dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa lokasi minapolitan terletak pada 4 kecamatan yaitu (1) Kecamatan Ciseeng, (2) Kecamatan Parung, (3) Kecamatan Gunung Sindur dan (4) Kecamatan Kemang yang meliputi 28 desa. RP3. Hal lain yang lebih mendasar, secara kewilayah adalah adanya peraturan daerah tentang rencana tata ruang wilayah. Pasal 37 perda ini ini menyebutkan bahwa kawasan industri mencakup bentuk (a) kawasan industry estate, (b) zona industri dan (c) sentra industri kecil. Sebagian dari wilayah kecamatan yang menjadi zona industri (pasal 37) juga
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
III - 14
III - 15
III - 16
METODOLOGI
4.1.
Perencanaan kawasan minapolitan sebagai salah satu tujuan wisata edukasi dan rekreasi ini direncanakan dilakukan pada empat wilayah pengembangan yaitu di empat (4) kecamatan yang terdiri dari 27 desa yaitu :
Tabel 4.1. Lokasi Kegiatan di Empat Kecamatan No. 1 Kecamatan Ciseeng Desa Babakan Parigi Mekar Putat Nutug Ciseeng Cibentang Cibeuteung Udik Cibeuteung Muara Cihoe 2 Parung Bj. Indah Cogreg Bj. Sempu Waru Jaya Waru Pamegar Sari Iwu 3 Gunung Sindur Pangasinan Cibinong Gunung Sindur Curug Cidokom Pabuaran 4 Kemang Pabuaran Kemang Tegal Pondok Udik Bojong Jampang Luas (ha) 283.00 63.20 245.00 80.30 105.00 203.00 225.00 105.00 90.00 280.00 76.00 45.00 36.00 24.00 56.00 35.00 56.00 32.00 22.00 22.00 25.00 210.00 82.00 18.00 15.00 151.00 8.00
Pelaksanaan kegiatan Penyusunan Masterplan Minapolitan di Kabupaten Bogor dilakukan selama 45 hari kerja dari bulan Oktober hingga Desember 2010.
4.2.
4.2.1. Pendekatan Penyusunan Master Plan Penyusunan Masterplan Pengembangan Minapolitan Budidaya pada dasarnya
merupakan penyusunan model-model dan program-program pembangunan yang akan dilakukan serta indikator kinerja untuk masing-masing model tersebut yang bersifat operasional, implementatif, spesifik lokasi dan berbasis masyarakat, sehingga
penyusunan masterplan dilakukan dengan berbagai pendekatan, perkiraan, analisis mendalam dan komprehensif terhadap berbagai aspek, antara lain aspek sumberdaya alam dan lingkungan, sumberdaya manusia, sosial ekonomi, pengembangan infrastruktur wilayah, dan aspek kelembagaan. Pendekatan studi penyusunan Masterplan Pengembangan Minapolitan Budidaya dilakukan dengan beberapa tahapan, yang mencakup pengumpulan data dan informasi (primer dan sekunder), serta pengkajian terhadap data dan informasi (termasuk review hasil-hasil studi sejenisnya atau sebelumnya, jika ada). Disamping itu terdapat proses
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
IV - 2
pemanfaatannya juga menimbulkan berbagai isu dan permasalahan. Untuk mewujudkan suatu lokasi sebagai sebuah kawasan minapolitan, maka perlu disusun kebijakankebijakan yang mampu memberikan arahan dan ketetapan pengembangan kawasan serta mendapat legitimasi dari seluruh stakeholder melalui proses pembuatan kebijakan yang partisipatif. Kebijakan-kebijakan itu dituangkan dalam bentuk konsepsi, visi, misi dan strategi pengembangan kawasan yang kemudian menjadi arahan bagi rencana induk masing-masing sub kawasan pengembangan. Hasil akhir yang diharapkan adalah terciptanya kawasan minapolitan sebagai kawasan pertumbuhan baru berbasis sumberdaya perikanan yang mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan secara berkelanjutan. Secara skematis, kerangka pendekatan penyusunan masterplan ini dapat dilihat pada Gambar 4.2.
Calon Kawasan Minapolitan Budidaya
Identifikasi: a.Potensi SDA, SDM, dan Kelembagaan b.Infrastruktur pendukung perikanan budidaya c. Isu & permasalahan perikanan budidaya
Rencana Induk Pengembangan Minapolitan Budidaya (Konsepsi Visi, Misi, dan Strategi) Rencana Induk Pengembangan Minapolitan Budidaya
Pertumbuhan Ekonomi dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Berbasis Budidaya Perikanan Secara Berkelanjutan
IV - 3
kesejahteraan rakyat banyak (bukan kesejahteraan individu atau kelompok) berdasarkan keadilan. 2) Prinsip swadaya: bimbingan dan dukungan kemudahan (fasilitas) yang diberikan harus mampu menumbuhkan sikap keswadayaan dan kemandirian (bukan menciptakan ketergantungan). 3) Prinsip Kemitraan: peran pelaku agribisnis perikanan diperlakukan sebagai mitra kerja pembangunan yang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan, sehingga dapat menjadikan mereka sebagai pelaku dan mitra kerja yang aktif dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan. 4) Prinsip bertahap dan berkelanjutan: pembangunan dilaksanakan secara bertahap dan sesuai potensi dan kemampuan masyarakat setempat serta
memperhatikan kelestarian lingkungan. 5) Prinsip Keadilan Pemerataan: manfaat yang diperoleh dari kegiatan minapolitan dapat terdistribusi secara merata dan berkeadilan bagi semua pelaku yang terlibat. Di samping prinsip-prinsip tersebut, dalam pengembangan Minapolitan juga harus dilandasi dengan minapolitan adalah: 1. Bahwa dalam pengembangan minapolitan secara nasional untuk komoditas yang sama tidak boleh terjadi kompetisi antar daerah. Jika ada lebih dari satu daerah mengembangkan minapolitan dengan komoditas unggulan yang sama dengan target pasar yang sama harus ada pengaturan tentang kuota yang adil. 2. Dalam pengembangan Minapolitan harus dapat menjamin terciptanya pertumbuhan ekonomi di kawasan tersebut. Namun pertumbuhan ekonomi yang tercipta harus dinikmati masyarakat setempat khususnya masyarakat pelaku agribisnis perikanan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
IV - 4
berfungsi pengawasan atau pendampingan terhadap semua proses pengembangan bisnis di kawasan minapolitan. 4.2.3. Pendekatan Agribisnis dalam Pengembangan Minapolitan Kawasan minapolitan merupakan kawasan perikanan yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis perikanan serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan lainnya di wilayah sekitarnya. Kawasan minapolitan terdiri dari pusat kawasan perikanan dan desa-desa sentra produksi perikanan yang ada disekitarnya, dengan batasan yang tidak ditentukan oleh batasan administratif pemerintahan, tetapi lebih ditentukan dengan memperhatikan skala ekonomi kawasan yang ada. Di samping itu, setiap pengembangan usaha dari suatu sub sektor ekonomi di suatu kawasan harus dikaitkan dengan program pengembangan wilayah dan pengembangan masyarakat. Kalau tidak maka hal tersebut akan menimbulkan kerusakan pada
lingkungan (sumberdaya alam dan ekosistem) dan masalah sosial (pemerataan kesempatan kerja dan berusaha, kecemburuan sosial serta friksi sosial). Dengan demikian, upaya untuk mengembangkan minapolitan hendaknya ditempuh melalui penciptaan atau pengembangan kegiatan-kegiatan ekonomi yang bersifat berkelanjutan (sustainable economic basis). Dalam hal ini, yang dimaksud dengan
sustainable economic basis adalah bahwa kegiatan ekonomi termaksud hendaknya secara sosial-ekonomi menguntungkan masyarakat lokal dan secara ekologis aman, sehingga dapat memenuhi kebutuhan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan serta aspirasinya (Dahuri 1999) Dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan, maka pengembangan minapolitan di Kabupaten Bogor hendaknya dilaksanakan melalui pendekatan sistem sumberdaya (resources system). Pendekatan ini mengartikan bahwa suatu kegiatan pembangunan (ekonomi) merupakan kombinasi yang terpadu dan holistik
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
IV - 5
potensi sumberdaya yang dapat dikembangkan untuk kemudian dicari solusi optimalnya berdasarkan pendekatan sistem agribisnis perikanan yang terpadu dan holistik seperti diperlihatkan pada Gambar 4.3. Suatu sistem agribisnis perikanan (baik usaha
penangkapan maupun budidaya) meliputi empat subsistem utama, yaitu: (1) sumberdaya ikan dan habitat/lingkungannya, (2) produksi, (3) pengolahan (teknologi pasca panen), dan (4) pemasaran termasuk konsumennya; dan empat sub-sistem pendukung, yaitu: (1) prasarana dan sarana, (2) keuangan, (3) hukum dan kelembagaan, dan (4) sumberdaya manusia beserta iptek.
SEKTOR PRIMER SEKTOR SEKUNDER SEKTOR TERSIER
PRODUKSI * * BUDIDAYA
PENGOLAHAN
PEMASARAN
KEUANGAN
Berdasarkan gambar di atas terlihat bahwa ada 3 (tiga) kegiatan besar dalam kegiatan industri perikanan, yaitu sektor primer sektor sekunder dan sektor tersier, dimana ketiga sektor tersebut saling terkait antara satu dengan yang lainnya. Selama ini kebijakan pengembangan perikanan hanya terfokus pada satu sektor saja, yaitu sektor primer yaitu produksi tanpa melihat sektor lainnya seperti pemasaran dan pengolahan, sehingga sering kali terjadi permasalahan pada saat produksi melimpah, yaitu harga produk turun dan penghasilan masyarakat akan turun.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
IV - 6
4.3.
4.3.1. Pendekatan Perikanan Budidaya Data yang digunakan pada kegiatan ini adalah data primer yang diperoleh dari wawancara stakeholder yang terlibat dan data sekunder dari Dinas peternakan dan Perikanan (Disnakan) Kabupaten Bogor. Data yang akan diambil meliputi: 1. Sumber daya manusia (Pendidikan, jumlah, anggota keluarga, umur, pekerjaan lain, latar belakang usaha, lama usaha, dan kepemilikan usaha); 2. Input produksi (sumber input, jenis input, kuantitas input produksi, permodalan, dan fasilitas produksi); 3. Produksi Lele di wilayah Minapolitan (4 kecamatan) per bulan; 4. Proses produksi perbenihan ; 5. Proses produksi pembesaran (lama produksi, dan teknologi yang digunakan);
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
IV - 7
c) Teknologi Pengolahan; teknologi yang diterapkan untuk pengolahan lele adalah teknologi zero waste (bebas limbah). Hasil samping akan digunakan untuk memproduksi pupuk organik untuk budidaya hortikultura. d) Jaringan Pemasaran; produk akan dipasarkan ke berbagai konsumen seperti PSH (Pusat Jajanan Sehat) disekolah-sekolah, catering, dan lain-lain bekerjasama dengan asosiasi jasa boga, sekolah, mini market serta (Pusat ikan Higienisa) dan hotel. potensi pasar yang lain seperti PIH
IV - 8
sungai, saluran irigasi dan air tanah khususnya untuk pemebenihan dan pengolahan. Untuk sungai dan saluran irigasi akan dihitung debit air baik pada musim kemarau maupun hujan dengan demikian dapat diketahui fluktuasi antara kedua musim tersebut. Sedangkan untuk air tanah akan dilakukan pengukuran dengan metode tersendiri. Data ketersediaan air tersebut nantinya akan dibandingkan dengan data kebutuhan air untuk setiap unit dari setiap kegiatan pembenihan, pembesaran maupun pengolahan. Oleh karena itu akan dilakukan juga perhitungan kebutuhan air untuk setiap unit kegiatan per musim dan per tahun. Secara rinci data hidrologi yang diamati meliputi parameter sebagai berikut: o o o o o o Jaringan dan tata air diwilayah calon minapolitan Kapasitas suply aiar,musimhujan dan kemarau untuk kebutuhan budidaya Cadangan air tanah Kebutuhan air untuk budidaya , perbenihan dan pengolahann Water budget di wilayah calon minapolitan Konsep jaringan irigasi perikanan budidaya lele
4.3.4. Pendekatan Kelembagaan dan Sosial Ekonomi Perikanan Pengertian kelembagaan mencakup banyak pengertian yang diajukan oleh para ahli. Secara umum kelembagaan mencakup segala suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian prilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama (Djogo et.all, 2003).
IV - 9
Aturan yang mendasari meliputi aturan pemerintah (pusat dan daerah), aturan antar pelaku (stakeholder langsung) terkait dengan hal-hal yang menyangkut implementasi minapolitan. Metode pengambilan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi pustaka pada dokumen yang mendukung. Dari aspek sosio-ekonomi perikanan data yang akan amati meliputi jaringan pemasaran ikan baik yang segar maupun olahan, potensi pasar khususnya ikan olahan. Disampingpemasaran ikan segar olahan, system jaringan pemasaran input produksi khususnya benih merupakan hal penting untuk dikaji. Baik usaha ikan pembenihan, pembesaran maupun olahan semuanya akan dilakukan analisis finansialnya. Sedang peluang pengembangan pasar baik segar maupun olahan akan di kaji untuk melihat prospek bisnisnya di masa mendatang. 4.3.5. Pendekatan Pengembangan Wilayah Pada prinsipnya dalam pendekatan pengembangan wilayah akan diidentifikasi kondisi existing calon kawasan minapolitan di empat kecamatan yakni Kemang, Ciseeng, Parung dan Gunung Sindur dari segi akses dan keterkaitan satu daerah dengan yang lain serta antara daeran produksi dan pemasaran. Di samping itu potensi lahan budidaya dan penyebarannya serta sebaran pemukiman di kawasan minapolitan dapat dipetakan
dalam peta GIS. Jadi secara rinci akan dapat dihasilkan beberapa jenis peta yang meliputi: Peta administrtatif keempat kecamatan secara detail Kondisi eksisting jaringan jalan dengan ukuran lebar dan panjang Jaringan akses jalan produksi,pemasaran Kondisi existing kolam budidaya dan pembenihan Potensi lahan budidaya dan distribusinya dalam peta Konsep pengembangan wilayah untuk Minapolitan agar tercapai efisiensi dalam pendistribusan input maupun output produksi Peta jaringan irigasi maupun sungai di kawasan minapolitan Tata ruang serta perda yang ada untuk wilayah minapolitan IV - 10
maupun
b) Data Penelitian Data yang digunakan pada kegiatan ini adalah telihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3. Spesifikasi Data Lanskap No 1. Peta : Peta Administrasi 2. 3. Peta RTRW Peta Rupa Bumi, skala 1 : 50.000 Peta Tata Guna Tanah BPN dan Peta Vegetasi Kawasan Peta Jaringan jalan dan telekomunikasi, skala 1 : 100.000 Peta jalur eksisting transportasi, skala 1 : 500.000 Peta sebaran sungai, skala 1 : 1.000.000 Data/Informasi Sumber Jenis Data
BAPPEDA
Sekunder
Kondisi Fisik: Ekologi, Iklim : Curah Hujan, dll Potensi Kawasan : a. Produksi perikanan b. Wisata Mina Sosial : a. Jumlah Penduduk b. Mata Pencaharian c. Pendapatan Stakeholder: Pemerintah, Masyarakat, Pihak Swasta, LSM
Sekunder
Primer
4.
BPS
Sekunder
5.
Primer
IV - 11
berkelanjutan. Pendekatan wisata dilakukan melalui penentuan kawasan yang berpotensi memiliki obyek dan atraksi wisata. Sedangkan, pendekatan masyarakat (stakeholder) dilakukan melalui analisis stakeholder yang bersumber dari data kuisioner, wawancara dan studi pustaka. d) Prosedur Pelaksanaan Proses yang dilakukan dalam melaksanakan studi lanskap, terdiri dari empat tahapan yaitu tahap pengumpulan dan klasifikasi data (persiapan), analisis dan sintesis, konsep disain perencanaan serta tahap perancangan. Keempat tahap tersebut diuraikan sebagai berikut: Tahap 1. Pengumpulan dan Klasifikasi Data Tahap pengumpulan dan klasifikasi data ini dilakukan dengan mengumpulkan data primer maupun data sekunder di lapangan yang berkaitan dengan studi ini baik melalui survey langsung ke lokasi studi ataupun melalui dinas yang terkait. Tahap 2. Analisis dan Sintesis a. Identifikasi dan Analisis Tapak dan Wilayah a.1 Data Data yang diperlukan dalam menganalisis potensi wilayah yang akan direncanakan untuk pengembangan minapolitan yaitu data tentang sumberdaya dan potensi perikanan yang terdapat di kecamatan yang dipilih berdasarkan potensi wisata dan objek yang ada. a.2 Metode Analisis Kawasan wisata minapolitan dapat dinilai dari beberapa parameter untuk mengetahui kesesuaian kawasan tersebut dengan analisis pembobotan dan skoring beberapa faktor kriteria penilaian kelayakan kawasan untuk wisata (Tabel 4.4).
IV - 12
Peta Digital
Tahapan analisis dan Sintesis
Survey Lapangan
Studi Pustaka
Identifikasi
Potensi Kawasan
Stakeholder
Produksi Perikanan
Analisis Stakeholder
Pembobotan dan Skoring Zona Potensi Pengembangan Wisata Minapolitan Aturan Pemerintah (RTRW)
IV - 13
1. 2.
10 25
3.
25
Hanya terdapat di tapak Tersedia dalam kondisi sangat baik < 0.5 km Jalan aspal, ada kendaraan umum
4.
Fasilitas Pendukung
15
5. 6.
15 10
Keterangan : Fljr = faktor letak dari jalan raya Fek = faktor estetika dan keaslian Fatr = faktor atraksi Fta = faktor transportasi dan aksesibilitas = titik ke 1 hingga ke 5 Ffp = faktor fasilitas pendukung Fka = faktor ketersediaan air bersih
Penentuan klasifikasi tingkat kelayakan kawasan untuk wisata adalah sebagai berikut : Klasifikasi Tingkat Potensi = N Skor maksimal N Skor minimal...................... (1) N Tingkat Klasifikasi
IV - 14
atraksi wisata yang tersedia tidak potensial untuk dilakukan pengembangan dan penataan kawasan wisata. Perlu perlakuan yang khusus dan mahal untuk meningkatkan kualitas menjadi sangat potensial b. Identifikasi dan Analisis Potensi Tapak Data yang digunakan dalam analisis potensi tapak ini adalah dilihat dari data produksi perikanan, data akses dan transportasi untuk menuju kawasan wisata minapolitan, data infrastruktur serta adanya peluang untuk rekreasi pada masingmasing kecamatan yang akan dikembangkan menjadi kawasan wisata minapolitan. c. Identifikasi dan Analisis Keikutsertakan Stakeholder c1. Data Data yang digunakan dalam analisis stakeholder ini adalah data kesediaan
masyarakat tentang pengembangan wisata pesisir melalui penyebaran kuisioner dengan sampling. metode pengambilan contohnya menggunakan metode purposive
IV - 15
1. 2. 3. 4. 5.
Pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan wisata Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat Peran aktif masyarakat dalam pariwisata Keuntungan kegiatan wisata Keberadaan wisatawan
Penilaian akseptibilitas masyarakat untuk faktor tertentu di tiap desa didasarkan pada penghitungan : Fx desa ke-p = (4 x n)+(3 x n)+(2 x n)+(1 x n) Dimana, Fx p n = total nilai faktor tertentu = desa tertentu = jumlah orang yang memilih
Aksesibilitas Masyarakat =
Keterangan : Pdtw = Pengembangan kawasan sebagai daerah tujuan wisata Ppkw = Pengelolaan kawasan wisata oleh masyarakat Ppmp = Peran aktif masyarakat dalam pariwisata
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
IV - 16
Setelah dihitung skor masing-masing parameter, maka dilakukan pembobotan dan dikategorikan dalam kelas kesesuaian : S1 (Sangat Sesuai) S2 (Cukup Sesuai) S3 (Sesuai Marginal) N (Tidak Sesuai) = Nilai = Nilai = Nilai = Nilai 163 200 125 162 87 124 49 86
d. Penentuan Zona Potensial untuk Pengembangan Wisata Minapolitan Pembuatan zonasi ini dilakukan dengan menggunakan bantuan AutoCad dan Adobe Photoshop untuk tehnik overlay sehingga hasil analisis tapak/wilayah dan potensi wilayah serta hasil peta akseptibilitas masyarakat dapat dispasialkan. e. Peraturan Analisis mengenai regulasi dilakukan berdasarkan RTRW yang ada sehingga diterapkan pada masing-masing kecamatan yang akan dikembangkan. Menurut RTRW Kabupaten Bogor tahun 2005 2025, kawasan perikanan akan dikembangkan pada wilayah/kawasan yang secara teknis, sosial dan ekonomi memiliki potensi untuk kegiatan perikanan, kolam air tenang, air deras, pembenihan, kolam ikan hias/aquarium, dan budidaya ikan di perairan umum. Tahap 3. Konsep dan Perencanaan Kawasan Minapolitan Tahap konsep dan perencanaan ini merupakan hasil dari perencanaan wisata yang dikembangkan dari zona potensial. Dari zona tersebut kemudian ditentukan akfititas, fasilitas dan sirkulasi wisata yang disesuaikan dengan peraturan daerah (RTRW) ada pada. Dari hasil perencanaan wisata tersebut maka dilakukan pembuatan konsep yang sesuai dengan analisis dan sintesis yang telah dilakukan. Dengan demikian diperoleh rencana lanskap kawasan minapolitan. Rencana lanskap kawasan wisata minapolitan berdasarkan zona kesesuaian wisata yang merupakan hasil analisis di beberapa kecamatan di Kabupaten Bogor, yaitu dalam bentuk: a. Konsep pengembangan dan penataan ruang yang akan dilaksanakan adalah kawasan wisata minapolitan yang berkelanjutan. Konsep ini diilustrasikan dalam
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
IV - 17
4.4.
Pelaporan
Laporan yang dibuat sebagai pertanggung jawaban kegiatan ini terdiri dari: 1. Laporan Pendahuluan, antara lain berisi pemahaman dan tanggapan dalam Penyusunan Masterplan Minapolitan beserta metodologi Masterplan Minapolitan. pengerjaan Penyusunan
Pendahuluan akan diserahkan 1 minggu setelah terbitnya Surat Perintah Mulai Kerja. 2. Laporan Antara, berisi data-data hasil survei primer maupun sekunder dan hasil pengolahan data, serta berisikan hasil analisis awal Masterplan Minapolitan, yang memuat antara lain: kondisi dan potensi perikanan air tawar, isu dan permasalahan dalam pengembangan budidaya perikanan air tawar, rumusan konsepsi
pengembangan kawasan minapolitan, penentuan lokasi dan komoditas unggulan, pengembangan lahan budidaya dan infrastruktur pendudkung, pengembangan penyediaan benih/bibit dan pakan, pengembangan sistem pemasaran dan
pengolahan, pengembangan sistem kelembagaan dan rumusan program/kegiatan pengembangan kawasan minapolitan dalam jangka waktu lima tahun. Laporan Antara akan diserahkan 5 minggu setelah terbitnya Surat Perintah Mulai Kerja. 3. Laporan Akhir, merupakan penyempurnaan terhadap Laporan Antara yang telah dibahas dengan instansi terkait. Laporan Akhir ini akan dilengkapi dengan Executive Summary dan peta kawasan minapolitan, dibuat luxury dan berwarna. Laporan Akhir dan Executive Summary akan diserahkan pada akhir pekerjaan atau 45 hari kerja setelah terbitnya Surat Perintah Mulai Kerja.
IV - 18
5.1.
Kabupaten Bogor yang merupkan bagian dari Provinsi Jawa Barat beribukota Cibinong. Kabupaten Bogor secara geografis terletak antara 6.19o-6.47o Lintang Selatan dan 106o1107o103 Bujur Timur. Wilayah Kabupaten Bogor di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tangerang (Banten), Kota Depok, Kota Bekasi, dan Kabupaten Bekasi. Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Karawang. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Banten), sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi.
5.2.
Kondisi Demografi
Kabupaten Bogor dengan luas wilayah sebesar 2.237,09 km2 merupakan salah satu wilayah administratif terluas (keenam) di Provinsi Jawa Barat setelah Kabupaten
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jumlah Keterangan:
*) Lain-lain = pengrajin dan pekerja tambang. Sumber : Data Susda Kab. Bogor 2007 dalam BAPPEDA Kabupaten Bogor & PSP3-IPB (2009)
5.3.
Sebagai wilayah hinterland dari Kota Bogor maupun sebagai bagian dari kawasan megapolitan Jabodetabek, Kabupaten Bogor berfungsi sebagai pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku, pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan commuting (menglaju), serta daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur. Dilihat dari penerimaan total Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Kabupaten Bogor mengalami kenaikan sebesar 145% dari tahun 2000 hingga 2006, yaitu
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
V- 2
PDRB PER KAPITA (Rp/Jiwa) 2000 27,011,027 17,297,753 12,310,363 5,030,082 4,910,174 4,152,983 4,434,197 3,507,687 2,815,218 2,992,669 2,973,353 2,644,342 2006 55,361,136 33,265,824 24,031,381 11,202,090 10,623,985 9,718,210 8,190,222 7,428,605 6,435,121 5,882,538 5,874,341 4,595,988
PDRB per kapita di Kabupaten Bogor pada tahun 2006 adalah Rp.10.623.985/jiwa (meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun 2000), yang diperoleh dengan cara membagi total PDRB dengan jumlah penduduknya. Tabel 5.3. menyajikan data
mengenai total PDRB, jumlah penduduk dan PDRB per kapita masing-masing kabupaten/kota di Kawasan Jabodetabek dan sekitarnya tahun 2006. Ditinjau dari peranan masing-masing sektor terhadap perekonomian di Kabupaten Bogor, dapat diketahui bahwa sektor industri pengolahan memberikan kontribusi paling besar terhadap total PDRB dengan persentase sebesar 59.85% (tahun 2000) dan 64.30% (tahun 2006). Sedangkan urutan kedua dan ketiga ditempati oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran (dengan persentase sekitar 15%), dan sektor pertanian (dengan persentase 7.74% pada tahun 2000, dan menurun menjadi 4.69% pada tahun 2006).
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
V- 3
5.4.
Secara biofisik khususnya dalam hal ketersediaan air, Kabupaten Bogor relatif memiliki ketersediaan air yang cukup memadai yang didukung oleh irigasi yang cukup baik.
sebagai gambaran ,luas daerah irigasi di Kabupaten Bogor adalah 47.121 ha terdiri atas daerah irigasi Pemerintah (PU), daerah irigasi desa dan daerah irigasi PIK. Meskipun irigasi pada awalya ditujukan untuk pengembangan pertanian sawah, namun dalam perkembangannya kegiatan budidaya perikanan memerlukan dukungan irigasi yang
memadai. Jumlah dan daerah irigasi di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 5.4. Di samping irigasi yang luas, di Kabupaten Bogor didukung oleh sumber air yang mengalir diwilayah kabupaten ini. Di Kabupaten Bogor mengalir enam sungai besar yang memiliki cabang-cabang sangat banyak hingga 339 cabang, yaitu meliputi Daerah Aliran Sungai : 1. DAS Cisadane, dengan Sub-DAS : Cisadane Hulu, Ciapus, Ciampea, Cihideung, Cianten, Citempuan. Wilayah-wilayah yang tercakup dalam DAS Cisadane ini adalah kecamatan Caringin, Ciawi, Cijeruk, Ciomas, Dramaga, Ciampea,
Cibungbulang, Pamijahan, Leuwiliang, Nanggung, Kemang, Parung, Rumpin, dan sebagian besar Cigudeg bagian timur.
V- 4
Jasinga Parung Panjang Tenjo Nanggung Sukajaya Cigudeg Jumlah UPTD wilayah Jasinga Leuwiliang Leuwiliang Ciampea Cibungbulang Pamijahan Leuwisadeng Tenjolaya Taman Sari Jumlah UPTD teknis Leuwiliang Ciawi Ciomas Dramaga Cijeruk Ciawi Cisarua Megamendung Caringin Cigombong Jumlah UPTD wilayah Ciawi Parung Parung Ciseeng Kemang Gunung Sindur Bojonggede Ranca Bungur Tajur Halang Rupin Jumlah UPTD wilayah Parung Cibinong Cibinong Citeureup Babakan Madang Sukaraja Gunung Putri Jumlah UPTD wilayah Cibinong Jonggol Cileungsi Klapa Nunggal Jonggol Sukamakmur Cariu Tanjungsari Jumlah UPTD wilayah Jonggol Jumlah seluruh UPTD teknis pengairan
V- 5
(Cibarengkok, Cibodas, Cipajutah). Wilayah-wilayah yang terdapat dalam DAS ini adalah Kecamatan Citeureup, Cileungsi, Gunung Putri, dan sebagian kecamatan Jonggol bagian barat. 6. DAS Citarum, dengan Sub-DAS : Cipamingkis, Cibeet. Wilayah-wilayah yang tercakup dalam DAS ini adalah Kecamatan Jonggol dan Cariu. Ketersediaan air dari mata air di Kabupaten Bogor cukup banyak dan hampir semuanya mengalir sepanjang tahun dengan debit yang bervariasi. Secara garis besar wilayah Kabupaten Bogor memiliki tiga kelompok daerah resapan air sebagai berikut : daerah resapan air tanah utama antara lain daerah Parung, Sawangan, Cileungsi, Gunung Putri, Citeureup, Cibinong, dan Gunung Sindur. Sedangkan dari segi ata guna lahan, meskipun sektor pertanian menempati urutan ketiga dalam kontribusinya terhadap total PDRB kabupaten Bogor, berdasarkan luasan penggunaan lahan pada tahun 2006 sebagian besar lahan di Kabupaten Bogor digunakan sebagai areal persawahan (sawah irigasi + sawah tadah hujan), kebun campuran dan hutan. Sampai tahun 2006 Kabupaten Bogor masih memiliki areal persawahan kurang lebih seluas 65.000 ha. Hal ini menandakan bahwa Kabupaten Bogor masih mengandalkan sektor pertanian untuk menopang perekonomian di wilayahnya. Cukup berkembangnya sektor pertanian di Kabupaten Bogor, terutama disebabkan karena karakteristik lahan dan kondisi geobiofisik wilayah yang sesuai untuk pengembangan pertanian.
V- 6
Luas (ha) 26,025.70 524.20 27,045.60 1,590.00 53,499.30 11,805.90 85,001.70 19,001.80 62,306.40 43.10 17.00 1,217.90 4,936.10 5,263.20 298,277.90
Persentase (%) 8.73 0.18 9.07 0.53 17.94 3.96 28.50 6.37 20.89 0.01 0.01 0.41 1.65 1.76 100.00
Dalam pengembangan penggunaan lahan tidak terbatas hanya untuk pertanian budidaya, kehutanan dan kebun campuran, namun dengan perkembangan kegiatan perikanan budidaya yang cukup pesat penggunaan lahan untuk kolam meningkat, bahkan sebagian lahan pertanian juga ada yang digunakan untuk berbudidaya ikan. Budidaya Ikan cukup
berkembanga terutama di Zona IV dan II karena potensi sumberdaya air yang ada di Kabupaten Bogor cukup banyak.
5.5.
Kondisi Perikanan
Dalam perikanan budidaya (khususnya budidaya ikan air tawar), secara historis Kabuapten Bogor dan sekitarnya merupakan daerah sentra produksi di samping Sukabumi, Tasikmalaya, Cianjur, Subang dan Purwakarta. Selain dikenal sebagai
produsen benih (kegiatan pembenihan), pembudidaya ikan di Kabupaten Bogor banyak berkontribusi dalam memproduksi ikan-ikan ukuran konsumsi (kegiatan pembesaran). Selama tiga dekade terakhir, beberapa catatan penting dalam kegiatan perikanan budidaya di Bogor antara lain: (1) Di tahun 80-an sistem budidaya ikan mas di kolam air deras berkembang pesat di daerah Cibening, Pamijahan, Cibuntu, Cihideung dan sekitarnya. Diduga jumlahnya paling banyak dibanding daerah sentra produksi lainnya di Jawa Barat. Pada saat
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
V- 7
pembesaraanya akhirnya tersisihkan oleh daerah lain seperti Purwokerto, Blitar dan Tasikmalaya. (3) Pada kurun waktu dua dekade terakhir Bogor dikenal sebagai sentra produksi berbagai spesien ikan hias. Tidak kurang dari 30 spesies ikan hias baik lokal
maupun yang berasal negara lain, banyak dihasilkan oleh pembudidaya ikan di daerah Cibuntu dan sekitarnya, Ciseeng dan Parung. (4) Di tahun 90-an hingga sekarang, kegiatan perikanan budidaya yang secara lokal maupun nasional masih dianggap memegang peran penting adalah bahwa Bogor sebagai produsen benih ikan patin, bawal, dan gurame serta produsen ikan lele ukuran konsumsi dengan produksi sekitar 40 ton per hari. Beberapa kondisi yang menunjang dan diduga telah mendorong berkembangnya kegiatan perikanan budidaya di Kabupaten Bogor adalah bahwa: (1) Kabupaten Bogor dengan iklim yang dimilikinya (kelayakan lahan dan air, kisaran suhu, curah hujan, dan sebagainyan) telah menunjukkan kesesuaian yang cukup tinggi untuk digunakan sebagai lahan usaha budidaya berbagai spesies ikan, baik ikan konsumsi maupun ikan hias. Dengan kata lain, hampir semua spesies ikan budidaya air tawar yang dipelihara dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. (2) Para pembudidaya ikan di Kabupaten Bogor secara relatif memiliki kemampuan teknis budidaya yang cukup baik dibanding daerah sentra produksi lainnya, mengingat historis yang cukup panjang dan akses terhadap inovasi maupun teknologi baru yang lebih mudah. (3) Kabupaten Bogor dengan lokasinya yang tidak jauh dari Jakarta memiliki keunggulan komparatif dalam hal penyediaan sarana produksi seperti peralatan, pakan buatan dan obat-obatan, di samping akses pasar, baik ditinjau dari potensi kuota permintaan, maupun akses sarana dan prasarana pendistribusian. Misalnya, peran bandara Soekarno-Hatta dalam hal distridusi antar pulau atau untuk ekspor.
V- 8
Gambar 5.2. Peta Wilayah Zona 4 Selain memiliki potensi perikanan, zona 4 juga memiliki potensi pariwisata, terutama di Kecamatan Ciseeng yang memiliki kawasan wisata pemandian air panas. Masyarakat yang berkunjung di area wisata ini cukup beragam dan tidak hanya dari daerah Bogor namun ada yang dari Jakarta, Tangerang, Depok dan beberapa kota lain Jabodetabek. Memperhatikan perjalanan perikanan budidaya di Bogor selama ini, pengembangan
kegiatan perikanan budidaya di masa-masa mendatang dapat memberi kontribusi nyata dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha dan meningkatkan kegiatan perekonomian. Kegiatan produksi perikanan menunjukkan skecenderungan semakin meningkatl. Jumlah produksi perikanan kolam air tenang di Kabupaten Bogor pada tahun 2009 adalah 24.072,98 ton yang tersebar merata di 40 kecataman yang terdapat Kabupaten Bogor. Produksi Perikanan terbesar terdapat di
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
V- 9
kecataman Tenjo dengan produksi mencapau 15,43 ton. Sementara itu jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kabupaten Bogor berjumlah 6.605 orang yang tersebar ke 40 kecamatan. Jumlah RTP terbanyak terdapat di Gunung Sindur yaitu sebanyak orang 493, jumlah RTP yang kedua adalah Kecamatan Ciseeng dengan jumlah 463 orang RTP dan Kecamatan Parung dengan jumlah RTP 449 orang. Luas areal total Kolam air tenang yang terdapat di di Kabupaten Bogor seluas 1.075,94. Kecamatan paling luas adalah Kecamatan kemaang dengan luas areal budidaya seluas 145 ha sedangkan luas paling kecil adalah Kecamatan Tenjo dengan luas areal kolam seluas 0,71 ha.
V - 10
6.1.
Potensi produksi ikan air tawar di Kabupaten Bogor cukup tinggi, untuk seluruh jenis ikan yang dibudiyakan mencapai 24.072.98 ton per tahun pada tahun 2009 (Tabel 6.1.) atau sekitar 66.85 ton per hari. Jumlah jenis ikan air tawar yang dibudidayakan ada 10 jenis ikan antara lain mas, gurame, nila, lele, tawes, tambakan, mujair, nilem, patin dan bawal (Lampiran 1). Jenis lain yang jumlahnya cukup banyak adalah ikan hias dan lobster air tawar. Kedua jenis ikan yang terakhir tersebut tidak diikutkan dalam pembahasan karena dalam pengembangan produk tersebut tetap harus mendapat perhatian khusus karena memiliki prospek yang baik. Sedangkan ditinjau dari penyerapan tenaga kerja, produk perikanan menyerap tenaga kerja cukup besar mencapai sekitar 6.605.00 RTP (rumahtangga perikanan) (Tabel 6.1.).
Tabel 6.1. Jumlah RTP Pembudidaya, Luas Areal dan Total Produksi Ikan Air Tawar di Kabupaten Bogor Zona KOLAM AIR TENANG Pengembangan Jumlah RTP Luas Areal Produksi (orang) Zona I 699.0 947.0 933.0 2203.0 582.0 358.0 680.0 203.0 6.605.00 (Ha) 167.8 121.5 124.0 503.8 44.9 40.6 58.3 15.0 1.075.94 (Ton)/hari 309.9 1577.6 1566.6 19179.5 278.7 278.0 460.1 422.6 24.072.98
Zona II Zona III Zona IV Zona V Zona VI Zona VII Zona VII TOTAL
Dalam program Revitalisasi Pembangunan Pertanian dan Perdesaan (RP3), wilayah di Kabupaten Bogor telah diklasifikasikan menjadi 8 zona pembangunan. Dari kelapan zona tersebut Zona 4 memiliki produktivitas perikanan tertinggi dikuti dengan Zona 2 dan 3. Kecamatan yang termasuk ke dalam Zona 2, 3 dan 4 adalah : Zona 2 : Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Cibungbulang, Pamijahan
ton/tahon), ikan Nila (1946.43 ton/tahun) dan Gurame (1092.59 ton/tahun) (lihat Tabel 6.2.). Sedangkan jenis yang lain produkdsinya masih jauh lebih rendah.
zona
112.7 764.7 479.8 328.0 88.7 73.7 80.7 38.0 1966.17 163.85 5.46 =
78.8 248.3 286.9 167.4 50.7 36.1 57.9 166.5 1092.59 91.05 3.03
27.3 133.9 585.7 1086.3 39.6 24.2 38.4 11.0 1946.43 162.20 5.41
71.6 214.1 71.1 17383.5 64.9 81.4 219.3 207.1 18312.86 1 526.07 50.87
3.7 31.4 9.2 16.8 5.0 0.0 4.3 0.0 70.44 5.87 0.20
1.2 12.6 0.0 3.3 0.0 0.0 2.2 0.0 19.31 1.61 0.05
4.4 6.8 0.0 4.7 0.0 0.0 10.2 0.0 26.22 2.19 0.07
0.1 0.0 0.0 1.6 0.0 0.0 0.2 0.0 1.80 0.15 0.00
10.2 122.4 0.0 86.6 7.8 15.4 31.2 0.0 273.58 22.80 0.76
0.0 43.4 133.9 101.4 21.9 47.2 10.7 0.0 358.36 29.86 1.00
zona II zona III zona IV zona V zona VI zona VII zona VII TOTAL Prod/bln Prod/Hari
Skor
Sumber : Diolah dari data Disnakan (2009) Keterangan : Untuk Tahun 2010 produksi lele mencapai 70 ton/hari
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa di antara komoditas perikanan yang ada di Kabupaten Bogor, lele merupakan komoditas dengan produksi tertinggi yakni sekitar 18312,86/tahun atau sekitar 50,87 ton/hari pada tahun 2009. Produksi ini semakin hari semakin meningkat, dan pada akhir tahun 2010 produksi ini mencapai 70 ton/hari (Lihat Tabel 6.3.)
VI - 2
1670
230
1900
Pada keadaan tertentu jumlah ikan BS bisa mencapai 30% dari jumlah ikan Daging
180
30
210 3
TOTAL(Ton/Bulan)/ TOTAL(Ton/Hari)
Sumber: Data Survai Lapang (2010)
1850 62
260 8
2113 70
VI - 3
Potensi pasar ikan air tawar cukup besar, di samping dipasarkan di Bogor, pemasaran terbesar adalah di Jakarta dan Tangerang. Khususnya untuk komoditas ikan lele. Potensi pasar Lele di Jakarta dan Tangerang mencapai sekitar 80-100 ton per hari (diprediksi dai jumlah pakan yang terjual). Dari potensi pasar tersebut Kabupaten Bogor memasok sekitar 40-50 ton per hari, sisanya dipasok utama dari Indramayu. Pasar ikan Lele
tersebut adalah warung tenda (pecel lele), sedangkan Gurame, Mas dan Nila umumnya dipasarkan ke restoran. Dengan berkembangnya produksi ikan lele dari tahun ke tahun maka perlu diantisipasi akan terjadinya kejenuhan pasar. Untuk mengantisipasi kejenuhan pasar, program minapolitan diharapkan dapat memberikan solusi dengan adanya pengolahan produk ikan Lele. Dengan adanya program pengolahan yang dikembangkan di Minapolitan, paling tidak dapat menyerap produk ikan Lele BS (ukuran besar > 6 ekor/kg) dengan harga yang memadai. Dengan demikian diharapkan keuntungan pembudidaya dapat lebih ditingkatkan.
6.3.
6.3.1. Permasalahan Perbenihan a) Permasalahan utama dalam perbenihan adalah rendahnya produktivitas yang dicerminkan dengan rendahnya tingkat kelangsungan hidup (SR= Survival Rate) atau tingginya tinggkat kematian benih .Penyebab utama permasalahan tersebut dididuga disebabkan rendahnya kualitas induk. Kualitas induk yang tidak stabil (akibat faktor genetik induk dan teknik pemeliharaan induk). Secara genetik, masih banyak petani yang menggunakan indukan lele asal yang diperoleh dari lele konsumsi yang telah matang gonad, bukan dari lele unggul yang dikususkan menjadi parent stock, secara teknis pemeliharaan induk, pemberian pakan induk sering tidak mencukupi sehingga kualitas telur dan anakan menjadi rendah. b) Ketersediaan pakan alami sangat terbatas baik dari segi kuantitas dan kualitas. Pakan alami antara lain yang berupa cacing sutera dan insekta air tidak
mencukupi. sebagian besar masih tergantung produksi alami yang berasal dari sungai-sungai besar di Jakarta dan Tangerang yang kaya akan bahan organik, sedangkan budidaya cacing sendiri sebenarnya sudah dapat dilakukan tetapi
masih sangat terbatas karena teknologinya belum dapat dikuasai, dan belum
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VI - 4
cacing sungai menjadi ancaman serius bagi petani lele, sedangkan sumber cacing lain dari sawah dan selokan tidak mencukupi kebutuhan cacing untuk budidaya lele. Strategi yang digunakan petani pembenih saat ini ialah mempersingkat hanya
selama 3-10 hari yang sebelumnya 15 hari, kemudian dipindahkan ke kolam yang telah dipupuk, hal ini cukup efektif dalam mengatasi kekurangan cacing, namun hal ini berpengaruh terhadap kelangsungan hidup (SR) benih lele yang ditebar. c) Kurangnya pengetahuan khususnya terkait penanganan terhadap penyakit juga merupakan permasalahan bagi pembenih ikan. Penyakit yang paling umum menyerang pembenih lele ialah lele gantung dan moncong putih d) Permasalahan yang lain yang dihadapi pembenih adalah lemahnya pengetahuan tentang pengelolaan keuangan sehingga masih terjadi pemborosan atau kurang efisien dalam mengelolaan usahanya. 6.3.2. Permasalahan di Tingkat Pendeder Pendeder adalah adalah orang yang melakukan pemeliharaan dari ukuran larva atau ukuran 3-4 cm menjadi ukuran yang siap ditebar untuk pembesaran (7-12 cm). Perbedaan dengan pembenih adalah tidak dilakukannya pemijahan sendiri, tetapi hanya membeli larva atau benih ukuran kecil dari pembenih. Permasalahan yang dihadapi pendeder antara lain: a) Kualitas dan kuantitas benih yang tidak stabil akibat tidak stabilnya kualitas benih dari segmen pembenihan. b) Kurangnya pengetahuan sumberdaya manusia khususnya terkait penanganan terhadap penyakit dan manajemen keuangan usaha. 6.3.3. Permasalahan di Tingkat Pembesaran Permasalahan dalam budidaya ikan lele tidak hanya terjadi di pembenihan tetapi juga terjadi pada tingkat pembesaran. Permasalahan tersebut diantaranya adalah: a) Harga jual dan pasar yang fluktuatif, terutama jika masuk lele dari jawa, jika lele ditahan dijual, akan mengakibatkan persentase BS meningkat yang berujung pada kerugian usaha.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VI - 5
tambahan seperti limbah pabrik maupun budidaya ayam. Sehinga sebagian masyarakat masih memandang bahwa ikan lele merupakan produk yang kurang bersih. h) Permodalan usaha dan kesulitan memperoleh input produksi. i) Kurangnya informasi khususnya mengenai teknologi budidaya, penangan penyakit bahkan harga ikan. j) Terbatasnya ketersediaan pakan alami dari benih pada stadia. Selama ini benih lele pada stadia awal diberikan cacing suter atau dahnia yang diperoleh secara alami. Dengan meningkatnya produksi benih, sering terjadi kekurangan pakan alami.
6.4.
Lele merupakan komoditas unggulan Kabupaten Bogor karena beberapa alasan yaitu memiliki potensi terbesar dibanding jenis ikan lainnya, budidaya dilakukan oleh kelompok UMKM, harga lele sebagai bahan baku produk olahan terjangkau sehingga meningkatkan daya saing olahan. Lele sebagai bahan baku lebih mudah dijaga kesegarannya sehingga dapat menghasilkan produk olahan berkualitas. Kandungan gizi lele yang bagus dapat meningkatkan konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia. Berdasarkan data yang disediakan oleh PEMDA BOGOR, daerah produksi lele meliputi empat kecamatan yaitu Kecamatan Ciseeng, Parung, Gunung Sindur dan Kemang. Pada tahun 2008 total produksi lele per tahun 41.93 ton atau sekitar 11 ton/hari. Lele dapat diolah menjadi berbagai produk antara yaitu filet, surimi dan produk siap saji yaitu bakso, sosis, nugget, kaki naga, serta produk kering seperti krupuk, crakers dan lainnya.
VI - 6
6.4.1. Jenis Pengolahan Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan oeh team budidaya diperoleh data produksi lele mencapai 40 ton per hari untuk empat kecamatan dengan jumlah lele BS sekitar 15 % atau 6 ton /hari. Hasil survey lanjutan pada tanggal 9 Nopember 2010, diperoleh informasi industri rumahtangga produk olahan ada 4. Produk lele asap yang
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VI - 7
Gambar 6.2. Industri Rumah Tangga Lele Asap dan Pengasapan Lele
6.4.2. Permasalahan Pengolahan Hasil observasi menunjukkan masih ditemukan isu dan permasalahan terkait dengan pengembangan olahan lele, antara lain : 1. Lele belum menjadi bahan baku olahan produk bakso, nuget, kakinaga, kecuali lele asap. Hal ini disebabkan karana harga lele (filet) jauh lebih mahal dibandingkan dengan bahan baku ikan yang selama ini digunakan yaitu tetelan kakap, marlin, tuna. 2. Persepsi sebagian masyarakat yang negatif tentang lele. Lele masih dianggap sebagai ikan yang kurang bersih cara hidupnya.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VI - 8
6.5.
Pemasaran
6.5.1. Pemasaran Ikan Segar Pemasanan ikan segar khusunya Lele di Kabupaten Bogor sudah berjalan rutin dan hampir tidak ada permasalahan dalam proses penjualannya. Sistem pembesaran ikan segar dilakukan melalui rantai pemasaran mulai dari pembudidaya, pedang pengumpul an kemudian konsumen. Konsumen utama produk ikan segar khususnya ikan Lele ke restoran dan
adalah warung tenda yang menjual pecel lele dan sebagian lain
cetering. Penjualan ke konsumen hampir seluruhnya dilakukan oleh pedagang pengumpul. Hampir tidak ada penjualan dari pembudidaya langsung ke konsumen. Hal ini disebabkan karena konsumen menginginkan kontinuitas produk baik dalam periode harian, mingguan maupun bulanan. Sedangkan pembudidayaan lele memerlukan waktu sekitar 2 bulan, jadi hampir tidak mungkin pembudidaya skala kecil dapat memenuhi pemintaan konsumen. Pembudidaya yang dapat memenuhi konsumen dalam hal kontinuitas produk hanya pembudidaya skala besar. Pembudidaya skala besar dengan jumlah anggota banyak dapat mengatur pola tanam sesuai dengan kebutuhan pasar. Harga lele di tingkat produsen atau pembudidaya untuk ukuran sedang berkisar antara Rp 10.000,- sampai dengan Rp11.000,- tergantung banyak atau sedikitnya jumlah lele di pasaran. Namun rata-rata harga lele saat ini adalah Rp. 10.500,-.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan harga VI - 9
karena itu keuntungan yang diperoleh pembudidaya akan ditentukan berapa besar proporsi ukuran konsumsi yang dipanen pertama kali dan berapa lama total
pemeliharaan sisanya sapai mencapai ukuran konsumsi. Hal tersebut sangat ditentukan oleh pemehaman pembudidaya dalam hal teknolgi, strategi pemeliharaan, sumber induk atau benih dan strategi pemberian pakan. 6.5.2. Pemasaran Ikan Olahan Hasil survey, diperoleh informasi industri rumahtangga produk olahan ada empat. Produk lele asap yang terletak di Gunung Sindur, Kelompok Usaha Lele Asap Citra Dumbo (Gambar 6.2.) yang dimiliki oleh Bapak Suaep dengan kapasitas produksi per hari antara 150-200 kg lele segar ukuran 10-12 ekor/kg. Dengan pengasapan menggunakan kayu bakar selama 2 hari dihasilkan produk lele asap 37.5-50 kg. Selanjutnya produk dipasarkan di Pasar Senen Jakarta dengan harga Rp. 65.000/kg. Selain itu terdapat industri olahan lele asap di Citayam (akan di survey lanjut). Terdapat 2 industri rumah tangga di kecamatan Parung CV. Bening dan CV. Bintang Anugerah (Gambar 6.7). Keduanya memproduksi olahan ikan seperti bakso, nugget, lumpia,
ekado, kaki naga. CV. Bening menggunakan bahan baku tetelan kakap, tuna marlin dengan kapasitas produksi 150-200 kg/hari bahan baku. CV. Bintang Anugerah menggunakan bahan baku tetelan tuna denga kapasitas produksi 700 kg bahan baku/hari. Harga bahan baku berkisar antara Rp. 12.000-15.000/kg. Sistem pemasaran yang diterapkan kedua perusahaan tersebut adalah gerobak dorong dengan jumlah gerobak 30 untuk CV. Bening dan 60 untuk CV. Bintang Anugerah dengan pemasaran di kawasan Jabotabek. CV. Bening selain melaui gerobak jalan juga memasarkan produknya di Pasar Ikan Higienis Cibinong Daftar harga produk disajikan pada Tabel 6.3.
VI - 10
Gambar 6.7. CV. Bening dan CV. Bintang Anugerah Tabel 6.3. Jenis dan harga produk olahan ikan di CV Bening dan CV Bintang Anugerah di PIH Cibinong No. 1. 2. 3. 4. 5. Jenis produk Filet kakap Filet tuna Filet dori Filet tenggiri Cucut Harga 35.000/kg 45.000/kg 38.000/kg 35.000/kg 18.000/kg Lokasi PIH Cibinong PIH Cibinong PIH Cibinong PIH Cibinong PIH Cibinong
Gambar 6.8. Produk ikan CV. Bening : Bakso Ikan (kiri)dan Lumananpia Ikan (kanan)
6.6.
6.6.1. Neraca Air Analisis neraca air dilakukan untuk mengetahui kondisi surplus/deficit neraca air secara alamiah, yaitu dengan cara membandingkan antara ketersediaan air hujan dengan kebutuhan air untuk budidaya perikanan. Ketersediaan air hujan diperhitungkan sebagai curah hujan andalan dengan peluang kejadian 80%, sedangkan kebutuhan air merupakan kehilangan air berupa evaporasi dan kebutuhan untuk penggantian air kolam. Hasil analisis neraca air disajikan pada Tabel 6.4. dan Gambar 6.5. Dari tabel dan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VI - 11
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember
CH rata-rata 334,1 428,7 270,5 240,7 293,3 203,9 130,1 193,5 228,1 329,4 356,8 569,0
Catatan : 1) CH andalan dihitung dengan peluang 80% dari data curah hujan harian di daerah Kahuripan, Cimulang dan Curug Serpong 2) Kebutuhan air dihitung dari hasil analisis evaporasi ditambah kebutuhan air untuk penggantian air
Pada kondisi defisit neraca air, kebutuhan air untuk budidaya perikanan dipenuhi dari sistem irigasi yang telah ada, yaitu Daerah Irigasi (DI) Sasak untuk wilayah Parung dan Ciseeng, DI Cibeuteung untuk wilayah Kemang, dan DI Curug Serpong untuk wilayah Gunung Sindur. Meskipun pada awalnya jaringan irigasi tersebut tidak dirancang secara khusus untuk budidaya perikanan, namun secara umum dapat dimanfaatkan untuk
suplai air irigasi perikanan dengan sistem budidaya ikan tawar kolam biasa, dengan aliran air berkecepatan rendah. Sistem ini dilengkapi dengan tanggul tanah dan pintu air, untuk mengatur masuk dan keluarnya air segar sekitar 5 10 % dari volume kolam per hari. Debit air keluar dialirkan kembali ke jaringan irigasi.
VI - 12
Gambar 6.5. Grafik Curah Hujan Andalan dan Kebutuhan Air untuk Budidaya Perikanan
6.6.2. Layanan Daerah Irigasi Pada kondisi defisit neraca air di wilayah studi, kebutuhan air untuk budidaya perikanan dipenuhi dari sistem irigasi yang telah ada, yaitu Daerah Irigasi (DI) Sasak untuk wilayah Parung dan Ciseeng, DI Cibeuteung-1 untuk wilayah Kemang, dan DI Curug Serpong untuk wilayah Gunung Sindur. Meskipun pada awalnya jaringan irigasi tersebut tidak dirancang secara khusus untuk budidaya perikanan, namun secara umum dapat
dimanfaatkan untuk suplai air irigasi perikanan dengan sistem budidaya ikan tawar kolam biasa, dengan aliran air berkecepatan rendah. Sistem ini dilengkapi dengan tanggul tanah dan pintu air, untuk mengatur masuk dan keluarnya air segar sekitar 5 10 % dari volume kolam per hari. Debit air keluar dialirkan kembali ke jaringan irigasi Hasil analisis debit intake irigasi disajikan pada Tabel 6.5. dan Lampiran 3. Kondisi debit di daerah irigasi tersebut berfluktuasi sepanjang tahun, serta relatif mencukupi untuk mengairi kolam-kolam yang ada. Namun demikian pada bagian hilir daerah irigasi, baik di tingkat sekunder maupun tersier, diperlukan pengaturan yang lebih baik karena debit intake pada musim kemarau cenderung berkurang. Dari skema jaringan irigasi yang disajikan pada Lampiran 1, dapat diprakirakan nilai satuan ketersediaan air irigasi, yaitu masing-masing sebesar 1-5 lt/det/ha di DI Sasak, 3-10 lt/det/ha di DI Curug Serpong, dan > 10 lt/det/ha di DI Cibeuteung-1. Nilai ini relatif lebih besar dari nilai rata-rata satuan kebutuhan air untuk perikanan darat, yaitu sekitar 1 lt/det/ha.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VI - 13
Kolam ikan dengan aliran air kecepatan rendah dan pengembangbiakan di sawah tidak membutuhkan prasarana bangunan air secara khusus. Pembiakan ikan dalam keramba di saluran tidak dianjurkan, karena dapat mengganggu aliran dan merusak tanggul saluran. Kolam dengan air tenang dapat diberi air dari saluran tersier, dengan pemberian air secara terus-menerus. 6.6.3. Kinerja Jaringan Irigasi Untuk memperoleh data dan informasi lapangan mengenai kondisi fisik jaringan, pengaturan air irigasi, dan kecukupan air di tingkat usahatani, telah dilakukan observasi lapang di 4 (empat) lokasi berikut: 1) Petak Tersier CBTS 7 ki; DI Cibeuteung-I; Desa Pabuaran, Kecamatan Kemang 2) Petak Tersier TP5 ki , DI Sasak, Desa Nutug, Kecamatan Ciseeng 3) Petak Tersier SK 8 ki , DI Sasak, Desa Cihowe, Kecamatan Ciseeng 4) Petak Tersier TP1 ka, DI Sasak, Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng Rangkuman hasil observasi lapang secara rinci disajikan pada Lampiran 4. Pola aliran air dari pintu sadap menuju petakan kolam dan sawah seperti pada Lampiran 4 menunjukkan bahwa lokasi kolam menyebar di sebelah hulu hamparan sawah. Air drainase dari kolam bagian hulu pada umumnya digunakan kembali sebagai air irigasi untuk areal di bagian hilir. Aliran air pada kolam pembibitan umumnya dari kolam ke
VI - 14
bangunan talang, serta tidak terdapat bangunan box bagi tersier. Selain itu juga terjadi pengendapan lumpur di saluran tersier, serta tertutupnya saluran di bagian hilir oleh sampah dan rumput. Sebagian bangunan sadap atau pengambilan umumnya masih berfungsi untuk pengaturan air, namun saluran di bagian hilir tidak berfungsi dengan baik karena tertutup oleh rumput dan terjadi pendangkalan. Pada lokasi tertentu, bangunan pengambilan kurang berfungsi terutama pada musim kemarau, sedangkan pada musim hujan saluran tersier masih befungsi untuk penyaluran air namun pada musim kemarau terdapat hambatan dalam pengaturan air. Ditinjau dari kecukupan airnya, pola tanam yang banyak diterapkan oleh petani adalah kolam ikan sepanjang tahun; pada lahan dekat sumber air (saluran atau bangunan sadap), atau yang mendapat suplesi dari areal di bagian atas seperti dari perbukitan/kebun sawit, atau memiliki sumur bor. Sistem perkolaman terdiri dari kolam penyuntikan, kolam pembibitan dan kolam pembesaran. Pada beberapa lokasi, kolam penyuntikan terdapat di halaman rumah. Pola tanam yang lain adalah kolam-kolam-padi diterapkan pada lahan yang relatif agak jauh dari sumber air, umumnya berupa kolam pembibitan, serta padi-padi-palawija; pada lahan yang relatif jauh dari sumber air. Pada areal tertentu seperti di areal petak tersier TB 5 ki, air irigasi selalu cukup meskipun di musim kemarau karena muka airtanah yang tinggi (istilah setempat: lahan balong). Dalam kondisi air cukup, petani pada umumnya beralih dari budidaya padi ke budidaya ikan, namun apabila air irigasi terbatas/kurang, terutama pada musim kemarau, petani cenderung mengurangi luas kolam yang diusahakan (kolam dikosongkan). Luas garapan kolam rata-rata berkisar antara 200 m2 hingga 1 ha per petani, namun demikian pada lokasi tertentu terdapat juga kompleks perkolaman seluas sekitar 12 ha yang dimiliki oleh seorang petani. Petani yang memiliki kolam dengan garapan luas umumnya petani yang memiliki lapak di pasar. Perbandingan antara luas kolam ikan dan sawah di petak tersier sekitar 30-50% (kolam) dan 50-70% (lahan sawah). Di areal Petak Tersier TP1 ka, Desa Babakan, Kecamatan Ciseeng, perbandingan antara luas kolam ikan dan sawah sekitar 95% : 5% atau sebagian besar adalah petani ikan. Kelembagaan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VI - 15
o o
Dari uraian hasil observasi lapang di atas, dapat diperoleh gambaran bahwa infrastrukur irigasi yang telah ada tidak sepenuhnya dapat memberikan pelayanan air irigasi yang memadai. Beberapa bangunan air memerlukan rehabilitasi dan peningkatan fungsi jaringan. Pada tahap awal pengembangan minapolitan ini, diusulkan beberapa segmen saluran yang memerlukan perbaikan, seperti tertera pada Tabel 6.7.
VI - 16
e. Sal Tersier BSK 4 f. Sal Tersier BSK 8 3 D.I. Curug Serpong : a. Sal Induk
4 5
o Galian lumpur, 4000 m o Pasangan lining, 400 m o Galian lumpur, 1500 m o Pasangan lining, 600 m
6.7.
Peraturan terkait dengan Minapolitan saat ini secara pokok meliputi peraturan tentang tata ruang wilayah, peraturan yang terkait dengan kebijakan pemilihan lokasi dan komoditas dan kebijakan/peraturan terkait dengan minapolitan itu sendiri. Peraturan
terkait dengan tata ruang wilayah adalah peraturan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor No. 19/2008 tentang Rencana tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025. Peraturan ini secara garis besar berisikan : (1) ketentuan umum, (2) Ruang lingkup, (3) asas, tujuan, kebijakan dan strategi penataan ruang wilayah, (4) rencana strukur dan pola ruang wilayah, (5) rencana pemanfaatan wlayah, (6) arahan pengendalian pemanfaatan ruang dan (7) hak, kewajiban dan peran serta masyarakat dan kelembagaan. Hal yang paling penting dari peraturan ini adalah bahwa lokasi pengembangan minapolitan yang
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VI - 17
minapolitan di Kabupaten Bogor. Pada Peraturan Bupaten No.84/2009 secara umum berisikan program revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan. Isi pokok dari peraturan bupati ini adalah usaha untuk memberdayakan kembali sektor-sektor pertanian serta fungsi kawasan perdesaan. Secara garis besar, maka wilayah Kabupaten Bogor dibagi dalam 8 zona. Ruang lingkup revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan mencakup 6 komoditi unggulan yaitu usaha tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Program direncanakan baik pada sisi on-farm, off-farm maupun yang tidak didasarkan usaha pertanian (non-farm) serta infrastrukturnya.Terkait dengan minapolitan, bahwa peraturan bupati ini menyebutkan bahwa perikanan termasuk komoditas unggulan yang akan diprogramkan, dengan 6 komoditas komoditas utama yaitu mas, gurame, nila, patin, lele dan ikan hias. Keputusan Bupati Bogor nomor 523.31/227/Kpts/Huk/2010 tentang penetapan lokasi pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Bogor, menyatakan bahwa lokasi minapolitan terletak pada 4 kecamatan yaitu (1) Kecamatan Ciseeng, (2) Kecamatan Parung, (3) Kecamatan Gunung Sindur dan (4) Kecamatan Kemang yang meliputi 28 desa. Lokasi tersebut merupakan sebagian wilayah dalam zona 4 revitalisasi pertanian dan pembangunan perdesaan (RP3). Bila diteaah lebih jauh sudah terjadi harmonisasi, dimana dalam kebijakan revitalisasi pada zona 4 juga diprioritaskan untuk
pengembangan budidaya perikanan. Sedangkan dari sisi kebijakan minapolitan, telah dikeluarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. KEP : 32/MEN/2010 tentang penetapan kawasan minapolitan. Dalam keputusan ini, Kabupaten Bogor merupakan 1 dari 197 kabupaten/kota seluruh Indonesia yang telah ditetapkan sebagai daerah pengembangan kawasan minapolitan. Kabupaten Bogor merupakan satu dari 11 kabupaten yang terpilih d Propinsi Jawa Barat. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. PER : 12/MEN/2010 tentang minapolitan, memuat tentang konsepsi minapolitan. Minapolitan didefinisikan sebagai suatu bagian
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VI - 18
6.8.
Berdasarkan kondisi kelembagaan serta hubungan antar pelaku usaha (baik individu maupun kelompok), maupun antara pendukung kegiatan ini dijumpai beberapa permasalahan sebagai berikut. A. Relasi antar pelaku usaha atau organisasi a. Kepastian relasi yang menguntungkan antar kelompok, b. Bangunan kepercayaan (trust) antar kelompok, c. Komunikasi yang produktif, dan d. Bentuk kelembagaan pengelolaan. B. Aturan Main (Rules of The Game) a. Peraturan yang menjamin kepastian pola hubungan dan transaksi yang menguntungkan, b. Peraturan yang menjamin kepastian lokasi dari interaksi potensi pemanfaatan wilayah lainnya, dan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VI - 19
6.9.
Potensi Minawisata
Pengembangan minawista meliputi perencanaan yang mengakomodasikan seluruh aktifitas yang direncanakan dalam suatu kawasan minapolitan. Perencanaan tersebut didasari oleh konsep utama, yaitu untuk menciptakan kawasan wisata minapolitan yang berkelanjutan dengan mengembangkan wisata edukasi yang didasarkan pada potensi lingkungan yaitu perikanan yang potensial untuk melindungi sumberdaya alam dan kualitas lingkungan serta kesejahteraan masyarakat lokal. 6.9.1. Infrastruktur Wilayah Kondisi infrastruktur yang ada di sekitar kawasan perencanaan cukup baik. Beberapa data infrastruksur tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.8. dan Lampiran 5.
Tabel 6.8. Status Jalan dan Panjang Jalan di Kabupaten Bogor Status Jalan a) Jalan Nasional b) Jalan Provinsi c) Jalan Kabupaten d) Jumlah Panjang (m) 121.487 129.989 1.506.565 1.758.041
6.9.2. Identifikasi dan Analisis Potensi Wisata Kawasan Minapolitan Kondisi kawasan yang terletak di perkampungan dan suasana perdesaan yang kental merupakan daya tarik tersendiri meskipun potensi masing-masing kecamatan relatif sama namun karakter yang ada cukup berbeda. Beberapa lokasi telah menjadi obyek wisata dan dapat dilihat pada peta obyek wisata, Lampiran 6.
A. Kecamatan Kemang
VI - 20
Meskipun produksi ikannya paling sedikit diantara keempat kawasan minapolitan, akan tetapi Kecamatan ini memiliki akses yang cukup baik sebagai jalur penghubung antara kawasan minapolitan dengan Kota Bogor maupun Jakarta. Dari luas wilayah sebesar 6369. 99 Ha, potensi perikanan yang dimiliki oleh Kecamatan ini sekitar 484 Ha. Cukup kecil dibandingkan dengan kecamatan yang lain sehingga, namun di Kecamatan ini memiliki situ yang cukup strategis, dengan akses yang mudah dan tidak terlalu jauh (10 m) dari Jalan raya Bogor-Parung. Situ ini memiliki pemandangan yang indah dan sudah ada trotoar di tepi danau serta tumbuhan yang rindang. Namun demikian kondisi wisata belum digarap secara baik, khususnya kondisi trotoar dan jalan , serta tepi situ beum terpelihara. Sedangkan dari segi Wisata Edukasi, kecamatan Kemanga memiliki kekhususan dalam pembenihan ikan gurame dan sebagin juga ada perbenihan Lele serta pembesaran Akses ke area perbenihan maupun budidaya sangat mudah dengan kondisi jalan cukup baik.
VI - 21
Disamping situ Kemang, di kecamatan ini juga terdapat potensi wisata Situ Cilaya yang terletak didesa Jampang. Lokasi situ Cilaya terletak diperbatasan Kecamatan Kemang dan Kecamatan Ciseeng. Lokasi wisiata ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi kerena akses yang mudah dan dekat dengan jalan raya Ciseeng (150 m) dan tidak jauh dengan jalan raya Bogor Parung. Situ ini sekarang telah ada akvtivitas wisata pemancingan. Namun jika diberdayakan dengan sarana dan prasarana yang cukup maka kondisi Situ Cillala ini sangat potensial untuk menjadi obyek wisata unggulan. Kondis Situ Cilalal disajikan dalam gambar berikut ini:
B. Kecamatan Ciseeng Kecamatan ini merupakan kecamatan yang cukup luas areanya dan memiliki barbagai kegitan budidaya yang beragam dari mulai perbenihan, pembesaran pengolahan serta wisata. Secara uumum Keunggulan Kecamatan ini adalah :
1. Terletak relatif di tengah dari empat kota kecamatan wilayah minapolitan 2. Akses jalan menuju ke sentra produksi cukup memadai 3. Akses jalan menuju Jakarta sebagai pusat pemasaran cukup memadai 4. Jaringan listrik dan telekomunikasi cukup tersedia 5. Terdapat pasar benih ikan dan pasar yang menyediakan kebutuhan sehari-hari
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VI - 22
Pada kecamatan ini terdapat Desa Babakan yaitu desa yang menjadi pusat pembenihan ikan lele yang cukup besar baik di skala rumah tangga maupun industri.
Selain desa Babakan yang dikenal sebagai sentra pembenihan, di Kecamataan Ciseeng ini juga terdapat Pasar Benih Ikan Ciseeng yang ramai pada hari-hari tertentu dimana pedagang benih menjual benih ikannya dalam jumlah sedikit maupun banyak.
VI - 23
Ikan hias juga merupakan salah satu komoditas unggulan selain ikan lele, pada Kecamatan Ciseeng ini terdapat suatu kawasan budidaya yang cukup luas yaitu adanya danau buatan yang digunakan sebagai keramba ikan hias berbagai jenis sehingga menarik untuk dijadikan potensi minawisata.
Kawasan BP3K merupakan salah satu aset pemerintah daerah yang digunakan sebagai unit pengembangan untuk tanaman pangan maupun perikanan yang berpotensi dapat dikembangkan sebagai tempat pelatihan berbagai kegiatan karena area yang cukup luas dan sudah tersedia kolam-kolam yang dapat dimanfaatkan sebagai percontohan
perbenohan maupun budidaya serta didukuang dengan akses yang relative mudah.
Gambar 6.13. Kondisi Kawasan BP3K (Balai Penyuluhan Pertanian, perikanan, Peternakan dan Kehutanan)
Disamping
potensi
wisata yang lain yakni Situ Iwul yang terletak didesa Iwul. Situ ini lokasinya tidak jauh dari pasar Ciseeng dan juga relative dekat dengan Parung. Situ ini memiliki nilai keindahan yang memadai untuk suatu obyek wisata, disamping akses yang mudah dan kondisis
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VI - 24
C. Kecamatan Parung
Parung merupakan kecamatan dengan potensi perikanan yang cukup besar, dengan luas kecamatan sebesar 7.376,59 ha, lahan yang berpotensi untuk perikanan adalah sebesar 607 ha. Pada kecamatan ini terdapat adanya area-area pembesaran ikan lele yang sudah cukup besar.
VI - 25
Obyek wisata yang terdapat di kecamatan ini dan sudah cukup dikenal oleh masyarakat adalah wisata Tirta Sanita. Pada hari-hari libur wisata yang merupakan pemandian air panas ini banyak dikunjungi oleh pengunjung.
Potensi komoditas lain disini adalah adanya pusat budidaya lobster. Luasan kawasan bangunan sekaligus kolam budidaya adalah sekitar 3,5 ha. Berbagai jenis lobster telah dibudidayakan dengan baik disini sehingga menarik untuk dikunjungi.
Industri pengolahan ikan juga sudah maju di Kecamatan Parung adalah Bening Food dan CV Bintang Anugerah yaitu pabrik pengolahan ikan berasal dari skala rumahtangga.
Gambar 6.19. Pengolahan ikan Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VI - 26
Adanya tambang pasir dan kendaraan besar terdapat di sepanjang jalan di Kecamatan Gunung Sindur ini menyebabkan jalan atau akses menjadi tidak nyaman karena panas dan berdebu. Namun ada masih terdapat juga kolam pemancingan yang banyak diminati oleh masyarakat sekitar.
Pengolahan ikan yang cukup terkenal di wilayah kecamatan Gunung Sindur ini adalah adanya pengolahan lele asap. Proses pengasapan yang menggunakan cara yang masih tradisional ini menghasilkan lele asap dengan rasa yang khas sehingga dapat menjadi salah satu objek menarik (lihat gambar 6.2).
VI - 27
kecamatan yang ada cukup potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan minawisata. Kecamatan Ciseeng memiliki nilai paling besar untuk menjadi potensial dikarenakan kondisinya yang masih alami dengan kolam-kolam pembenihan yang menjadi objek menarik untuk dikunjungi. Selain itu, keragaman objek yang dapat dijadikan sebagai atraksi wisata juga merupakan faktor pendukung untuk menjadikan Ciseeng sebagai kawasan sentra dari minapolitan. Obyek dan atraksi yang terdapat pada tapak memperkuat komponen untuk melakukan wisata, seperti yang dinyatakan oleh Gunn (1994), alasan sebuah kawasan yang dikembangkan untuk wisata karena terdapat atraksi sebagai komponen dan suplay. Atraksi dapat berbentuk ekosistem, landmark atau satwa.
Tabel 6.9. Penilaian Kelayakan Kawasan Bogor sebagai Minawisata Desa a) Letak dr jln raya b) Estetika dan keaslian c) Atraksi d) Fasilitas pendukung e) Ketersediaan air bersih f) Transportasi dan aksesilitas g) Nilai Keterangan
Sumber : Hasil Olahan Data, 2010
VI - 28
Berdasarkan Kebijakan Revitalisasi Pertanian dan Pembangunan Pedesaan (RP3P) di Kabupaten Bogor yang sudah disinkronkan dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) Kabupaten Bogor tahun 2005-2025, wilayah Kabupaten Bogor dibagi menjadi delapan zona pengembangan pertanian dan perdesaan. Kedelapan zona
pengembangan pertanian dan perdesaan tersebut dapat dilihat pada pada Gambar 7.1 dan Tabel 7.1 Kecamatan-kecamatan yang masuk ke dalam zona yang sama lokasinya saling berdekatan antara satu dengan lainnya, sehingga diharapkan dapat mencerminkan kondisi agroekosistem yang sama. Pengelompokkan berdasarkan agroekosistem
tersebut penting karena suatu kondisi agroekosistem tertentu cocok bagi pengembangan komoditas pertanian tertentu pula. Dengan demikian, di zona tersebut dapat
dikembangkan suatu klaster industri (industrial cluster) bagi komoditas-komoditas tertentu pula.
Gambar 7.1 Delapan Zona Pengembangan Pertanian dan Perdesaan Kabupaten Bogor
VII - 2
merupakan kawasan yang layak menjadi kawasan kegiatan Minapolitan di Kabupaten Bogor. Setelah dianalisis lebih mendalam berdasarkan (i) aspek potensi lahan/area
untuk kegiatan perikanan budidaya, (ii) produktvitas dan (iii) jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP), hanya empat kecamatan dan 27 desa yang layak menjadi kawasan Minapolitan di Kabupaten Bogor, yaitu Kecamatan Gunung Sindur dengan 6 desa, dan
Kecamatan Parung dengan 7 desa, Kecamatan Ciseeng dengan 8 desa, Kecamatan Kemang dengan 6 desa.
Potensi lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di kawasan minapolitan Kabupaten Bogor adalah seluas 2.592,5 Ha yang tersebar di empat kecamatan kawasan pengembangan yaitu Kecamatan Ciseeng seluas 1.309,5 Ha, Kecamatan Parung seluas 607 Ha, Kecamatan Gunung Sindur seluas 192 Ha dan Kecamatan Kemang 484 Ha. Selengkapnya luas potensi lahan untuk kegiatan perikanan budidaya di kawasan minapolitan Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 7.2. dan Lampiran 7. Kecamatan Ciseeng, Parung, Gunung Sindur dan Kemang saat ini merupakan sentra kawasan kegiatan perikanan budidaya di Kabupaten Bogor. Komoditas perikanan
budidaya yang dikembangkan di keempat kecamatan tersebut adalah Lele, Gurame Ikan Hias dan beberapa jenis lainya. Dari keempat kelompok komoditas yang dikembangkan di kawasan tersebut, komoditas lele menjadi komoditas yang banyak dibudidayakan kemudian Gurame, Ikan Hias dan kemudian jenis ikan lainnya. Luas lahan yang
digunakan untuk kegaitan budidaya Lele di kawasan tersebut adalah 649, Gurame 114 Ha, Ikan Hias 10 Ha dan untuk ikan jenis 23 Ha lainnya. Total produksi perikanan budidaya yang dapat dikembangkan di kawasan Minapolitan adalah 2.538,464 Ton. Komoditas Lele mempunyai priduktifitas paling besar yaitu Produksi perikanan budidaya di
sebesar rupakan komoditas paling 16.772,14 ton. Kawasan Minapolitan dapat dlihat apda Tabel 7.4.
VII - 3
Tabel 7.3. Luas Lahan Eksisting untuk Kegiatan Budidaya Perikanan di Kawasan Minapolitan Komoditas Lele Gurame Ikan Hias Jenis Lain Luas per Kecamatan (Ha) Ciseeng 368 75 1 11 Parung 157 25 5 8 Gunung Sindur 88 10 1 2 Kemang 36 4 3 2
VII - 4
7.2.
Seperti telah dijelaskan pada Bab sebelumnya, bahwa pengembangan kawasan minapolitan pada prinsipnya adalah membangun industri produk jadi yang berbasis pada komoditi unggulan. Komoditi unggulan adalah produk pilihan yang dihasilkan oleh sektor perikanan dan atau pariwisata berbasis perikanan yang mempunyai nilai jual dan jaminan prospek masa depan karena memiliki daya saling (competitive advantages) yang tinggi. Kawasan minapolitan tidak saja berfungsi sebagai pemasok komoditi unggulan yang dihasilkan, tetapi juga menghasilkan suatu produk olahan dari produksi perikanan yang siap dipasarkan dan menjadi ciri khas daerah yang bersangkutan. Keunggulan produk yang dihasilkan dari industri yang mengolah komoditi unggulan tersebut akan memberikan nilai tambah yang besar karena produk yang dihasilkan mempunyai nilai jual yang stabil dibandingkan dengan produk tanpa melalui pengolahan. Sementara itu salah kriteria sebagai Kawasan Minapoliti adalah terdapatnya kegiatan yang terintegrasi dari hulu sampai hilir yang meliputi kegiatan pembenihan, Dengan demikian, penetapan komoditi
unggulan pada kawasan minapolitan harus mempertimbangkan aspek-pasek tersebut, yaitu aspek pembenihan, pembesaran, pengolahan serta pemasaran. Penentuan komoditi unggulan dianalis dengan menggunakan beberapa parameter yang berkaitan dengan aspek pembenihan, pembesaran, pengolahan dan pemasaran. Analisis dilakukan pada beberapa komoditi yang selama ini sudah berkembang di lokasi kawasan Minapolitan yaitu antara lain Ikan Mas, Gurame, Lele, Nila, Patin, Bawal Tawes dan Tambakan.
VII - 5
(Tinggi) dan skor 5 (sangat tinggi). Sedangkan skoring untuk parameter yang berkaitan dengan aspek Pengolahan penilaiannya dapat dilihat pada Tabel 7.5. Selengkapnya hasil analisis skoring penentuan komoditi Unggulan untuk kegiatan Minapolitan di Kabupaten Bogor dapat di lihat pada Tabel.7.6
Tabel 7.5. Parameter Penilaian Pengolahan NILAI RATING 1=sangat rendah 2=rendah 3=sedang 4=tinggi 5=sangat tinggi KETERANGAN Rendemen 5 = >40% 4 = 30-35% 3 = 25-30% 2 = 20-25% 1 = <20% Keragaman jika bisa diolah (4) = 5 (3) = 4 (2) = 3 (1) = 2 jika tidak bisa diolah = 1
Tabel 7.6. Skor Penentuan Komoditas Unggulan Ikan Air Tawar di Kabupaten Bogor
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 INDIKATOR BUDIDAYA (Pembenihan, pembesaran dan pemasaran) Produksi Produktivitas Potensi pasar Jumlah pelaku Harga Lama pemeliharaan Margin/ m2/ tahun Persyaratan kualitas air INDIKATOR PENGOLAHAN 9 10 11 Rendemen fillet (2 ekor/kg) Harga bahan baku Keragaman produk olahan (surimi dan turunannya, asap produk konvensional dan produk kering) TOTAL 33 31 38 51 38 28 24 23 1 3 2 3 1 2 4 4 5 4 4 5 5 5 5 2 5 2 1 2 2 1 3 2 KOMODITAS IKAN KONSUMSI Mas 3 3 4 3 4 4 3 3 Gurame 3 2 3 4 5 2 2 4 Nila 2 3 5 3 3 4 2 3 Lele 5 5 5 5 3 5 5 5 Patin 1 4 2 2 2 3 4 5 Bawal 1 3 2 3 2 3 2 3 Tawes 1 2 2 1 5 2 3 3 Tambakan 1 2 1 1 3 2 3 4
Pada Tabel 7.6. memperlihatkan bahwa, setelah dilakukan analisis penentuan komoditi unggulan dengan menggunakan analisis skoring, maka dapat dlihat bahwa komoditi Ikan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VII - 6
dibandingkan dengan jenis komiditi perikanan lainnya. Produktivitas Lele cukup tinggi dibandingkan dengan komoditi lainya sehingga masyakarat hampir tidak ada kesulitan yang berarti dalam mengembangkan kegiatan budidaya Lele. Persayaratan kualitas air yang menjadi prasyarat utama bagi kegiatan budidaya ikan secara umum tidak terlalu ketat, karena Ikan Lele bisa hidup pada perairan yang masih dibawah standar rata-rata. Sementara itu pasar lele saat ini juga masih cukup menjajikan, permintaan lele dari tahun ke tahun semakin meningkat seiring dengan meningkatnya daya konsumsi ikan serta masih banyak keunggulan lainnya dari Ikan Lele. Salah satu kelemahan Ikan Lele adalah masih ada image di sebagian masyarakat yang mengangaga Ikan Lele jorok, tetapi kelemahan itu dapat bisa diatasi dengan melakukan deversifikasi produk olahan dari bahan baku Ikan Lele.
7.3.
Pengembangan kawasan minapolitan adalah pembangunan sistem dan usaha agribisnis berorientasi kekuatan pasar (market driven) yang diarahkan untuk menembus batas kawasan (bahkan mencapai pasar global); pengembangan sarana-prasarana publik untuk memperlancar distribusi hasil perikanan dengan efisiensi dan resiko yang minimal; dan deregulasi yang berhubungan dengan penciptaan iklim yang kondusif bagi pengembangan usaha dan perekonomian daerah. Dalam hal minapolitan di kabupaten bogor, khususnya dengan komoditas unggulan Lele, maka kawasn minapolitan harus dapat meningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan
khususnya pelaku usaha yang terdiri pembenih, pembudidaya dan Pengolah ikan. Kegiatan pembenihan dan budidaya sudah berjalan cukup baik, sehingga yang perlu ditingkatkan adalah produktivitas dan efiiensinya. Kegiatan pemebnihen dan budidaya tidak dapat disentralisasi karena telah tercipta keterkaitan produsen dan pasar sesuai dengan mekanisme pasar. Kegiatan yang masih belum berkembang adalah kegiatan .pengolahan prduk perikanan. Oleh karena itu agar terbuka pasar yang baru maka kegiatan pengolahan sebaiknya di sentralisasi. Atas dasar pemikiran tersebut tersebut, maka kawasan minapolitan Bogor harus mempunyai sentra kawasan terutama untuk VII - 7
VII - 8
Berdasarkan Tabel 7.7 diatas prioritas calon lokasi sentra minapolitan dari yang tertinggi sampai terendah adalah Situ Cilala (7,9), BP3K (7,3), Pasar Ciseeng (5,8) dan Situ Iwul (4,5).
7.4.
oleh hubungan keterkaitan sentra kawasan dengan kawasan-kawasan pengembangan lainya, keterkaitan antar kawasan itu sendiri, dan keterkaitan kawasan pengembangan dengan kawasan di luar kawasan minapolitan. Stuktur keterkaitan kawasan
pengembangan minapolitan didasari oleh keterkaitan kegiatan antara kawasan yang satu dengan kawasan lainnya yaitu berdasarkan hubungan agribisnis perikanan, mulai proses pembenihan, pembesaran, pengolahan sampai pada pemasaran.
VII - 9
kawasan Ciseeng dengan kecamatan- kecamatan lainya didasari oleh pola hubungan sistem pengolahan komoditi hasil perikanan, sistem informasi dan pendidikan dan pelatihan serta sistem pemasaran. Dalam sistem pengolahan hasil perikanan, Kecamatan Ciseeng menjadi pusat atau sentra pengolahan bagi kawasan-kawasan lainnya. Dengan demikian bahan baku yang digunakan dalam pengolahan produk perikanan yang dilakukan di Sentra Ciseeng diperoleh dari kawasan-kawasan minapolitan lainnya, yaitu dari Kecamatan Parung, Kecamatan Kemang dan Kecamatan Gunung Sindur. Ikan lele,yang berukuran besar (>5 ekor per kg) tidak dipasarkan sebagai ikan konsumsi dan harganya lebih rendah dari harga ikan konsumsi yang berukuran 6 ekor s/d 12 ekor per kg. Oleh karena itu ikan Lele yang berukuran besar tersebut
merupakan bahan baku bagi produk olahan. Sehingga Sentra pengolahan ikan tersebut dapat menerima bahan baku dari pembudidaya dari berbagai lokasi di kawasan minapolitan maupun di luar kawasan minapolitan Dalam hubunganya dengan pengolahan hasil perikanan, sentra Ciseeng juga diarahkan sebagai pusat pemasaran hasil-hasil pengolahan hasil perikanan. Produkproduk yang sudah dihasilkan dari kegiatan pengolahan dipasarkan di sentra
Ciseeng, sehingga masyarakat dapat langsung melakukan transaksi hasil olahan dari komoditi kegiatan monapilitan di Sentra Ciseeng. Selain pusat sistem pengolahan dan pemasaran, sentra Ciseeng juga diarahkan menjadi kawasan pusat informasi dan pendidikan kegiatan minapolitan. Segala kegiatan yang berhubungan dengan informasi baik itu informasi investasi, pemasaran, komoditi, dan informasi lainya yang berkaitan dengan kegiatan minapolitan dipusatkan di sentra Ciseeng. Sentra Ciseeng juga diarahkan menjadi pusat pendidikan dan pelatihan bagi pengembangan kegiatan minapolitan di Kabupaten Bogor. Pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan pembenihan, pembesaran serta pengolahan dilakukan di
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VII - 10
B. Struktur Keterkaitan antar Kawasan Pengembangan Struktur hubungan keterkaitan antar kawasan pengembangan minapolitan yang satu dengan yang lainya didasarkan pada kegiatan pembenihan. Suatu desa di kawasan minapolitan yang diarahkan sebagai kawasan pembenihan berfungsi sebagai suplier benih ke beberapa pendederan dan pembesaran ikan Lele pada beberapa desa baik dalam satu kecamatan maupun di luar kecamatan. Keterkaitan antar kawasan
pengembangan ini bersifat dinamik, artinya bahwa pola keterkaitan/hubungan antara desa satu dengan yang lainya tidak bersifat tetap, tetapi bisa berubah-rubah sesuai dengan mekanisme pasar perbenihan. Pola hubungan keterkaitan antar kawasan pengembangan dapat dilihat pada Lampiran 8. C. Stuktur Keterkaitan Antara Kawasan Pengembangan dengan Kawasan Diluar Kawasan Minapolitan Stuktur keterkaitan antara kawasan pengembangan dengan kawasan di luar kawasan Minapolitan ini biasanya terjadi karena adanya pola hubungan perdagangan hasil produksi ikan Lele. Setiap kawasan atau desa pada kawasan minapolitan yang
berfungsi sebagai pengembangan kegiatan budidaya menjual hasil panennya selain ke sentra kawasan di Ciseeng sebagai bahan baku untuk produk olahan, hasil panen juga dijual ke luar kawasan minapolitan untuk ikan konsumsi. Penjualan hasil panen selain dijual di dalam wilayah Bogor juga banyak dijual ke luar wilayah Bogor seperti Jakarta. Struktur keterkaitan antara kawasan pengembangan dengan kawasan diluar kawasan Minapolitan dapat dilihat pada Lampiran 8.
7.5.
Arahan pengelolaan dan pengembangan kegiatan budidaya harus diorientasian pada peningkatan produktivis dan efisiensi produksi agar diperoleh peningkatan keuntungan uang lebih besar. Peningkatan produksi juga perlu dilakukan namun harus tetap
VII - 11
7.6.
Kegiatan perbenihan di wilayah minapolitan di arahkan pada peningkatan kualitas dan kuantitas input produksi dan perbaikan teknologi produksi benih, yang diharapkan berujung pada peningkatan produktivitas dan kesejahteraan para pembenih lele. Peningkatan kualitas input dan kuantitas input produksi dapat dilakukan dengan peningkatan kualitas dan kuantitas induk unggul seperti lele sangkuriang, peningkatan kualitas dan kuantitas cacing sutera dan pencarian pakan alternative pengganti cacing sutera. Perbaikan teknologi produksi benih dapat dilakukan dengan perbaikan manajemen induk (prosedur pemberian pakan induk, seleksi dan pembatasan umur induk, dan program penyuntikan perbulan dengan pembagian kolam induk), perbaikan manajemen kualitas air (penggunaan probiotik, penggunaan tempat penampungan air) dan program pencegahan penyakit (pengaturan padat tebar, penggunaan vitamin c dan multivitamin pada pakan, dan treatment pakan alami sebelum digunakan) untuk mengurangi penggunaan antibiotik pada pembenihan lele.
7.7.
produk olahan dan pengembangan teknologi pengolahan dalam rangka memperluas pasar produk perikanan, menIngkatkan nilai tambah dan untuk meningkatkan daya saing. Sepert halnya produk budidaya , produk olahan yang dihasilkan oleh minapolitan Bogor harus memiliki kehususan sendiri yakni : a) bebas bahan pengawet b) bebas bahan additive atau bahan tambahan yang berbahaya , c) memiliki nilai gizi yang tinggi d) proses pengolahan yang hiegenis. Produk olahan minapolitan Bogor hendaknya tidak
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VII - 12
terkontrol kualitasnya dan dapat mengatur output produksi tepat waktu dan jumlah serta mutu yang terjamin. Disamping sentra produksi pengolahan produk perikanan, produksi pengolahan rumah tangga juga perlu dikembangkan bersinergi dengan industri pengolahan. Industri rumah tangga perlu dikembangkan dan dibina agar dapat manghasilkan produl olahan sesuai dengan stAndar indusri. Untuk itu sentra indusri pengolahan juga harus melakukan program pelatihan dan penyuluhan terhadapa masyarakat. 7.7.1 Pengembangan Produk Olahan
Bahan baku yang digunakan untuk produk olahan adalah filet dari lele segar. Untuk produk siap saji seperti bakso, sosis, nugget, kaki naga (VegiFish) dibuat surimi terlebih dahulu. Kapasitas bahan baku ditentukan dari kapasitas produk lele segar BS BS (lele berukuran besar 5-1 ekor/kg) yaitu sekitar 6 ton lele segar/hari. Dari jumlah tersebut 1 ton/hari akan digunakan untuk produksis lele asap utuh seperti yang telah ada. Sedangkan yang 5 ton untuk diversikasi produk olahan. Rencana kapasitas produksi disajikan pada Tabel 7.8. Dibandingkan dengan produk sejenis yang ada di pasaran saat ini (CV. Bening dan CV. Bintang Anugerah), produk olahan bakso, nugget, kaki naga diyakini tidak dapat berkompetisi bila memasuki pasar yang sama. Produk yang mungkin dikembangkan adalah perluasan lele asap dengan mencari pasar baru, sosis, filet lele asap, filet segar, burger, makanan ringan chiki/crackers. Produk olahan bakso, nugget, kaki naga masih bisa diproduksi dengan menciptakan segmen pasar yang berbeda, dijual dalam bentuk makanan kesehatan. Contoh produk olahan lele yang diformulasikan bersama rumput laut, chitosan dan lainnya ( Gambar 7.2).
VII - 13
Kapasitas bahan baku ( kg/hari) 500 lele segar 4500 (total dari semua jenis ikan),
Kapasitas olahan (kg/hari) 300 1260 ( 260 kg untuk filet segar) 50 720 150 150 150 300 120 120
Potensi pasar Pesantren, lembaga pemasyarakatn Supermarket, jasaboga, hotel, restoran dan bahan baku produk olahan Supermarket, restoran Bahan baku produk turunan bakso, dll Restoran, jasaboga, supermaket Restoran, supermarket Restoran, supermarket Restoran, supermaket supermaket Supermaket supermarket
8-12 2 ekor/kg
3 3 3 4 5 6 7 8 9
100 filet 900 filet 100 surimi 100 100 200 60 60 100
Teknologi yang akan diterapkan untuk mengolah lele adalah teknologi bebas limbah (produk samping). Tahapan pengolahan dimulai dari pembuatan filet lele, pembuatan surimi untuk produk gel, dan pengolahan surimi atau filet sesuai dengan produk akhir yang ditetapkan. Untuk menghindari masalah lingkungan semua limbah (produk samping) akan diolah menjadi produk turunan yang bernilai ekonomis. Teknologi pengolahan yang akan diterapkan meliputi : 1. Pembuatan filet dan pemanfaatan hasil samping 2. Pembuatan filet asap 3. Pembuatan surimi
VII - 14
7.7.2 .7.2 PengembanganTeknologi Pengolahan Bahan baku lele akan difilet kemudian dibuat surimi untuk selanjutnya dipakai sebagai bahan baku produk bakso, nugget, dll. Kulit dikeringkan untuk bahan baku kolagen yang dapat diapliaksikan di produk kosmetik. Tulang dan sisa daging dikeringkan, dibubuk kemudian difermentasi untuk menghasilkan pupuk organik berkulitas tinggi dengan kandungan asam amino (growth factor), mineral, dll. Pupuk organik akan dipakai untuk budidaya hortikultura seperti caisin, kaIlan, parkcoi, selada, timun, tomat, cabe, bayam, kangkung, dan lain-lain. Skema proses masing-masing kegiatan pengolahan dapat dilihat pada Gambar 7.3. pada Tabel 7.9. Sementara itu, fasilitas dan peralatan yang digunakan dapat dilihat
Pengeringan (70%)
Pemotongan kepala, pemberishan isi perut, pelepasan kulit kulit
Filet lele (30%) Gambar 7.3. Skema Produksi Filet dan Pemanfaatn Hasil Samping
VII - 15
Filet lele
Pencampurandenganbumbu
Pengasapan
Filet asap
VII - 16
Filet lele
Grinding
Pencucian
Surimi
Gambar 7.5. Proses Pembuatan Surimi Tabel 7.11. Fasilitas dan Peralatan untuk Produksi Surimi No. 1. 2. 3. 4. 5. Grinder (SS) Wadah penampung daging ikan (SS) Wadah pencampur bumbu dan cryoprotectan Vakum sealer Freezer Fasilitas dan Nama Alat
VII - 17
Bumbu2+ ektrakrumput
pencampuran
Pencetakan
pemasakan
Tabel 7.12. Fasilitas yang Diperlunan untuk Proses Produkan Surimi No 1 2 3 4 5 6 7 8 10 11 Fasilitas dan nama alat Mixer (SS) Pencetak bakso (SS) Pencetak sosis (SS) Pencetak burger (SS) Penggorengan (SS) Steamer (SS) Pemasak (SS) Oven Extruder Vakum sealer
VII - 18
VII - 19
31,750.22/kg ( filet lele). Bila harga bahan baku naik menajdi Rp. 10,000/kg, maka harga pokok filet lele akan menjadi Rp. 39,289 /kg.
Tabel 7.13. Perhitungan HPP Lele Tanpa Kepala dan Filet Lele Komponen Biaya Keterangan Harga lele Rp. 8000/kg Investasi alat dan fasiltas (diluar gedung) Biaya penyusutan/hari Bahan baku Tenaga kerja 5000 kg 1000/kg headless 1500/kg filet sub-total Utilities ( listrik, air) pemeliharaan TOTAL BIAYA PRODUKSI HPP headless lele (Rp) HPP filet lele (Rp) 300 kg lele tanpa kepala 1260 filet lele 5% 5% 275,500,000 115,463 40,000,000 300,000 1,890,000 42,305,463 2,115,273 2,115,273 46,536,009 21,576.68 31,750.22 115,463 50,000,000 300,000 1,890,000 52,305,463 2,615,273 2,615,273 57,536,009 26,576.68 39,289.90 harga lele 10000/kg
Untuk produk olahan bakso, sosis, nuget dan lainnya kebutuhan biaya investasi adalah sebesar Rp. 400,000,000 (lampiran 3). Harga pokok produksi (belum termasuk
keuntungan) adalah sekitar Rp. 42.000/kg. Detail perhitungan disajikan pada Tabel 7.13.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VII - 20
7.8.
Arahan
mengakomodasikan minapolitan. A.
Konsep Perencanaan Minawisata utama adalah untuk menciptakan kawasan wisata minapolitan yang
Konsep
potensi lingkungan yaitu perikanan yang potensial untuk melindungi sumberdaya alam dan kualitas lingkungan serta kesejahteraan masyarakat lokal. Berdasarkan analisis pengembangan kawasan minawisata di kawasan Bogor,
Kecamatan Ciseeng sangat potensial untuk dijadikan kawasan sentra dari minawisata. Selain memenuhi persyaratan ekologis, memiliki potensi perikanan yang potensial serta alam yang alami dengan suasana perdesaan, masyarakat disekitar kecamatan ini juga bersedia untuk menerima pengembangan minapolitan didaerahnya. B. Pengembangan Tapak Isu pengembangan tapak dikaitkan dengan perencanaan lanskap yang dilakukan di kawasan minapolitan dilihat dari kondisi lingkungan cukup baik. Hal ini dikarenakan
VII - 21
Masyarakat setuju dan mendukung adanya program minapolitan ini, karena dengan adanya pembangunan tersebut masyarakat dapat berperan aktif serta lapangan pekerjaan untuk mereka juga akan bertabah. E. Akses Jalan
Jalan yang terdapat di kawasan minapolitan ini dinililai kurang memadai untuk mendukung program ini. Hal ini dikarenakan jalan yang kurang lebar serta kerusakan yang ditimbulkan oleh kendaraan dengan kapasitas yang besar. Maka, diperlukan perluasan jalan di kawasan yang akan digunakan untuk minapolitan, menambah jalan atau sirkulasi sekunder dan tersier untuk mendukung aktifitas minawisata seperti jalur sepeda maupun pedestrian untuk pejalan kaki. Konsep Ruang dan Sirkulasi Minawisata Konsep ruang minawisata disesuaikan dengan kondisi eksisting lingkungan. Ruang wisata dibagi menjadi tiga yaitu ruang penerimaan (Welcome area), ruang transisi dan ruang wisata utama. Pada tiap ruang wisata terdapat aktifitas dan fasilitas yang mendukung tema dan tujuan dari ruang wisata tersebut. Welcome Area merupakan area penerimaan yang ada sebagai pintu masuk ke objek di tiap kecamatan pada kawasan minapolitan. Area ini berisi fasilitas parkir serta ruang informasi agar wisatawan lebih mengerti dan mudah untuk melakukan aktifitas wisata.
VII - 22
Pada lokasi sentra minapolitan alternatif 1 ini, desain yang ditawarkan berupa siteplan dengan tapak kawasan BP3K. Bangunan yang terdapat pada rencana ini berupa area parkir, diikuti dengan pusat informasi, restoran kemudian display area dari alur budidaya lele ini sendiri yang terdidir dari pembenihan, pembesaran,
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VII - 23
Gambar 7.8. Lokasi Eksisting dan Desain Alternatif 1 Sentra Minapolitan (BP3K)
VII - 24
VII - 25
Gambar 7.12. Lokasi Eksisting dan Desain Alternatif 2 Sentra Minapolitan (Desa Babakan)
7.9.
Dalam pengembangan minawisata, salah satu upaya untuk meningkatkan daya tarik obyek wisata adalah dengan memperbaiki lanskap kawasan wisata dan infrastruktur (jalan, padestrian, fasilitas wisata) agar memiliki nilai jual wisata. Beberapa contoh pengembangan infrastruktur wisata disajikan pada gambar berikut.
VII - 26
Gambar 7.15. Gambar Existing dan Pengembangan Jalan Obyek Wisata Lele (Desa Babakan)
Gambar 7.16 Gambar Existing dan Pengembangan Gerbang Masuk Kawasan Wisata
Gambar 7.17. Gambar Existing dan Pengembangan Kawasan Wisata Ikan Hias Telaga Biru, Ciseeng
VII - 27
Pembentukan/penguatan
kelembagaan
masyarakat
Penyusunan
kelembagaan pengelola kawasan minapolitan, Arahan pengembangan kelembagaan diuraikan sebagai berikut. A. Pembentukan/Penguatan Kelembagaan Masyarakat Sesuai dengan konsep tentang minapolitan, maka pembentukan dan atau penguatan kelembagaan masyarakat ditujukan untuk meningkatkan jaminan
distribusi manfaat adanya kawasan minapolitan secara adil bagi seluruh stakeholder. Hal ini secara eksplisit dituangkan dalam Permen No.12/MEN/2010 tentang minapolitan, mempunyai tujuan salah satunya sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah. Seementara itu, salah satu sasarannya adalah meningkatkan sector kelautan dan perikanan menjadi penggerak ekonomi regioanal dan nasional diantaranya berupa pengembangan sistem ekonomi berbasis wilayah,
pengembangan kawasan ekonomi kelautan dan perikanan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi lokal dan pemberdayaan kelompok usaha kelautan dan perikanan di sentra produksi, pengolahan dan/atau pemasaran. Dalam rumusan peraturan ini juga dicantumkan bahwa pengembangan kawasan minaploitan dimulai dari pembinaan unit produksi, pengolahan dan/atau pemasaran yang terkonsentrasi di sentra produksi , pengolahan dan/atau pemasaran di suatu kawasan yang diproyeksikan menjadi kawasan minaploitan yang akan dikelola secara terpadu. Oleh karena itu, pembentukan dan/atau penguatan kelembagaan masyarakat diarahkan pada kelompok-kelompok unit produksi yang ada atau yang diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan pemenuhan tujuan minapolitan. Sesuai dengan kondisi yang ada sekarang, usaha perikanan yang dilakukan dilokasi calon kawasan minapolitan mencakup usaha budidaya, pengolahan dan pemasaran. Pada usaha budidaya ikan, tersegmentasi menjadi usaha pembenihan, pendederan, pembesaran. Dalam rangkaian budidaya ini, terdapat usaha pengumpulan dan pendistribusian benih dari satu tahapan budidaya ke tahapan lainnya. Misalnya usaha pengumpulan benih untuk proses tahap selanjutnya pada budidaya. Berdasarkan informasi terdapat 68 kelompok dibawah UPP untuk seluruh jenis ikan. Input cacing juga mempunyai kelompok berupa pencari cacing dan ketua adalah pengumpul, tetapi belum ada organisasi. Berdasarkan kejelasan pasar dan sedikit bantuan input/modal.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VII - 28
terjadi karena adanya ketua kelompok merupakan penjamin pasar (pedagang pengumpul). Sehingga anggota kelompok mempunyai jaminan pasar, terutama ketika terjadi oversupply. Demikian juga pada kelompok pembesaran, pola ini juga terjadi. Pola lain, adalah bahwa ketua kelompok juga menjadi pemasok input utama seperti pakan atau benih. Ketua kelompok ini menjadi pembeli produk lele yang dihasilkan. Mengingat pola organisasi kelompok seperti tersebut diatas, maka pembentukan dan atau penguatan kelompok diarahkan pada kelompok masing-masing segmen dan kelompok antar segmen budidaya. Tujuan penguatan kelompok meliputi dua hal pokok yaitu (a) peningkatan efisiensi organisasi kelompok dan (b) peningkatan kualitas anggota kelompok. Peningkatan efisiensi organisasi kelompok diantaranya meliputi : i. Peningkatan kohesivitas kelompok
ii. Peningkatan kemampuan managerial organisasi kelompok iii. Peningkatan kemampuan komunikasi antar kelompok iv. Pembentukan asosiasi kelompok dalam satu segmen (perbenihan,
pembesaran, pengolahan atau pemasaran) dan atau pembentukan asosiasi antar segmen. Sedangkan usaha peningkatan kualitas anggota kelompok diantaranya meliputi : I. II. Peningkatan jiwa kewirausahaan anggota kelompok Peningkatan kemampuan perencanaan usaha
III. Peningkatan kemampuan komunikasi anggota kelompok. B. Penyusunan Kelembagaan Kawasan Minapolitan Pengelolaan sumberdaya termasuk kawasan minapolitan Kaupaten Bogor, adalah mengelola harapan (ekspektasi) manusia terhadap fungsi-fungsi minapolitan untuk
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VII - 29
dalam satu kelompok. Secara umum lembaga ini dapat disebut sebagai bentuk kelompok social (social groups). Lembaga-lembaga tersebut dapat meliputi lembaga-lembaga formal maupun informal. Masing-masing lembaga tersebut berinteraksi, yang pada akhirnya menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang dapat diterima oleh masing-masing pihak. Kelompok-kelompok yang melakukan kesepakatan tersebut sebenarnya membawa misi untuk mengimplementasikan ekspektasi-ekspektasi tersebut antar anggotanya. hal ini juga
Sehingga
ketika
kesepakatan-kesepakatan
diambil,
menunjukan pemenuhan terhadap harapan setiap anggotan dalam memanfaatkan sumberdaya. Hanya saja, implementasi terhadap misi atas harapan masyarakat tersebut tidak selamanya bisa disandarkan pada mekanisme kesepakatan yang bersifat kognitif, tetapi perlu direpresentasikan dalam format yang tangible dalam struktur yang jelas. Fenomena ini tidak hanya diperlukan pada level kesepakatan antar anggota dalam satu lembaga, tetapi diperlukan juga dalam membangun mekanisme antar lembaga. Hal ini terutama ditujukan untuk menjamin konsistensi dalam menjaga kesepakatan-kesepakatan antar elemen dalam masing-masing lembaga maupun antar lembaga. Misalnya, untuk menjamin kelestasrian kawasan minapolitan, maka kemudian dibangun kesepakatan untuk mengeksploitas
sebagian kawasan maksimum pada tingkat daya dukungnya. Kesepakatan ini perlu dikembangkan tidak hanya pada tataran pemahaman antar anggota masyarakat saja sehingga bersifat kognitif, tetapi perlu dibangun struktur untuk menjamin konsistensi implementasi kesepakatan ini. Sehingga kelompok mengembangkan tindakan untuk memberi hukuman atas pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya misalnya pengenaan denda atau pengucilan secara social. Mekanisme pemberian sangsi, besarnya denda, lamanya sanksi social dan ha-hal lain yang terkait dengan usaha untuk menjamin kesepakatan dituangkan dalam satu kesepakatan (baik tertulis maupun tidak tertulis) sehingga secara nyata dapat dilihat wujud kesepakatan tersebut. Inilah yang kemudian mengarah pada terbentuknya
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VII - 30
mensyaratkan adanya pembangunan lembaga (institution) baik formal maupun informal yang kuat serta pengembangan aturan main (baik kognitif maupun structural) yang secara efektif dapat diimplementasikan. Setidaknya terdapat beberapa alasan mengapa kelembagaan yang kuat dan efektif perlu dibangun untuk pengelolaan sumberdaya seperti : a. Secara alamiah sifat dasar manusia sebagai makhluk social. Interaksi antar individu adalah kebutuhan mutlak, sehingga berkelompok menjadi kebutuhan. b. Kelompok tidak hanya menggambarkan identitas indvidu anggotanya, tetapi juga diperlukan untuk menjaga perilaku anggota yang menggambarkan identitas kelompok tersebut. Bila satu nilai tertentu telah diadopsi sebagai nilai kelompok (yang sebaiknya melalui mekanisme kesepakatan), maka biasanya individu yang telah menyamakan identitasnya dengan kelompok tersebut akan mengimplementasikannya dalam aktivitas individualnya. Kelembagaan yang kuat dan efektif menggambarkan mekanisme menghasilkan kesepakatan yang baik dan bentuk kesepakatan yang diterima (baik kognitif maupun structural), yang secara efektif akan dijalankan oleh anggotanya serta lembaga juga mempunyai mekanisme menjaga konsistensi implementasinya. Bila kesepakatan terkait dengan pengelolaan sumberdaya sudah disetujui, maka baik secara individual maupun kolektif kelembagaan, setiap individu terikat untuk melaksanakan kesepakatannya.
VII - 31
menggambarkan adanya interaksi antar individu dalam mencapai tujuan bersama serta usaha-usaha untuk menjamin bahwa harapan-harapan atau kepentingan mereka tetap terakokmodasi. Jadi ada usaha kolaboratif menggabungkan beberapa kepentingan serta representasi dari nilai-nilai yang disepakati antar anggotanya. Konsepsi kelembagaan secara teoritis sangat bervariasi tergantung pada tinjauannya. Tinjauan konsepsi kelembagaan bekembang mulai dari pendekatan sosiologis, organisasi ekonomis sampai dengan politik/kebijakan. North (1990) menyatakan aturan main di dalam suatu kelompok sosial dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik. Institusi dapat berupa aturan formal atau dalam bentuk kode etik informal yang disepakati bersama. North membedakan antara institusi dari organisasi dan mengatakan bahwa institusi adalah aturan main sedangkan organisasi adalah pemainnya. Uphoff (1986) menyatakan kelembagaan sebagai suatu himpunan atau tatanan norma norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama. Institusi ditekankan pada norma-norma prilaku, nilai budaya dan adat istiadat. Williamson (1985) melihat dalam perspektif ekonomi dan mempelopori analisis ekonomi kelembagaan menyatakan bahwa
kelembagaan mencakup penataan institusi (institutional arrangement) untuk memadukan organisasi dan institusi. Penataan institusi adalah suatu penataan hubungan antara unitunit ekonomi yang mengatur cara unit-unit ini apakah dapat bekerjasama dan atau berkompetisi. Dalam pendekatan ini organisasi adalah suatu pertanyaan mengenai aktor atau pelaku ekonomi di mana ada kontrak atau transaski yang dilakukan dan tujuan utama kontrak adalah mengurangi biaya transaksi. Sehingga secara sederhana, kelembagaan dapat berupa organisasi atau wadah (players of the game) dan aturan main (rules of the game) yang mengatur kelangsungan organisasi maupun kerjasama antara anggotanya untuk mencapai tujuan bersama (Ostorm, 1985; Ostorm 1986; Doward, 1997; Doward et.all, 1998 dalam Kartodiharjo dan Jamhani, 2006). Wadah atau organisasi dan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk menjalankan organisasi menjadi hal yang tidak terpisahkan, perlu mendapat perhatian yang sangat besar dalam pengembangan tidak hanya kelembagaan mendasarkan yang pada efektif. Artinya
pengembangan
kelembagaan
pembentukan
institusi/organisasi seperti halnya yang sering dipahami sekarang ini, tetapi juga
VII - 32
aspirasi/pemikiran
pengelolaan kawasan minapolitan c. Menjadi wadah untuk merumuskan aturan-aturan operasional yang terkait dengan pengelolaan kawasan Minapolitan sesuai dengan rujukan hirarki peraturan yang lebih tinggi. d. Menjadi wadah untuk merumuskan dan memfasilitasi koordinasi dan partisipasi pemangku kepentingan dalam pengelolaan kawasan minapolitan. Kebutuhan akan kelembagaan bersifat berjenjang. Merujuk pada Ostrom (1999) tentang pengambilan keputusan (choice) pada pengelolaan sumberdaya temasuk kawasan minapolitan Bogor, maka pengambilan keputusan bersifat berjenjang dalam bentuk hirarki. Secara hirarkial dari atas ke bawah secra vertical adalah pengambilan keputusan pada aras konstitutional, kolektif dan operasional. Keputusan constitutional memerlukan kelembagaan pembuat keputusan terkait aturan dasar. Pada level ini keputusan pemerintah daerah yang melibatkan pihak eksekutif dan legislative merupakan tingkat kelembagaan yang paling tinggi. Sebab dengan adanya kesepakatan yang tertuang dalam bentuk peraturan daerah merupakan peraturan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VII - 33
Gambar 7.18. Hirarki Pengambilan Keputusan Pengelolaan Sumberdaya Kawasan Minapolitan Bogor (Sumber : Modifikasi Ostrom, 1999)
Pada tingkat dibawahnya adalah keputusan yang bersifat kolektif. Representasi kolektifitas ini ditunjukan keputusan yang bisa mengikat seluruh elemen stakeholder pengelolaan kawasan minapolitan. Bentuk kelembagaan juga mengikuti pola ini, dimana kelembagaan yang menghasilkan keputusan ini juga merupakan lembaga yang bisa mengikat stakeholder pengelolaan minapolitan. Bentuk keputusan ini misalnya adalah keputusan atau peraturan bupati yang dikeluarkan oleh bupati setempat. Dalam hirarki ini, keputusan atau peraturan bupati tunduk pada peraturan pemerintah daerah. Sedangkan keputusan operasional meliputi keputusan operatif yang
mengimplementasikan keputusan kolektif. Keputusan operasional ini dihasilkan oleh kelembagaan operasional, yang bersifat pelaksana terhadap pengelolaan kawasan minapolitan. Pola ini harus dibangun secara bersama. Dalam hirarki vertical, maka keputusan ini tidak boleh bertentangan dengan keputusan kolektif. Sehingga secara ringkas, setidaknya dibutuhkan 3 tingkatan kelembagaan yaitu pada tingkat konstitutional, kolektif dan operasional. Tidak semua kelembagaan tersebut harus berangkat pada titik nol (zero point), khususnya pada tingkat kelembagaan konstitutional dan kolektif. Karena kelembagaan-kelembagaan yang ada sekarang bisa menghasilkan keputusan-keputusan konstitional dan kolektif terkait dengan operasionalisasi kawasan minapolitan. Pola aliran keputusan ini pada faktanya bisa bersifat dua arah (reversible) baik dari atas (top down) maupun dari bawah (bottom up). Pengertiannya adalah apabila pada tingkat constitutional sudah dirumuskan menjadi keputusan
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
operasional. Sebaliknya proses-proses yang terjadi pada tingkat konstitutional juga harus melihat dinamika pada tataran masyarakat yang nantinya akan member masukan pada keputusan politik yang akan diputuskan. Hubungan antara keputusan dan proses
pembentukan kelembagaan pengelola kawasan minapolitan dapat dilhat dalam Gambar 7.19.
Pada sisi substantive, pembentukan kelembagaan melewati proses-proses pemahasan tentang hal-hal elementer tentang kelembagaan seperti kewenangan dan kewajiban (Gambar 7.20) Kewenangan dan kewajiban kelembagaan ini ditentukan setelah diputuskan rencana induk kawasan, sehingga lebih jelas apa yang akan dilakukan dalam kawasan tersebut. Dalam konteks kawasan Minapolitan Bogor, arahan rencana induk merujuk pada kegiatan perikanan baik dari sisi on-farm (budidaya) sampai dengan pengolahan dan pemasaran secara integral. Pembentukan kelembagaan ini didasarkan pada produk-produk legal (baik pusat atau daerah) sesuai hirarkinya mulai undangundang, peraturan pemerintah, peraturan/keputusan presiden, peraturan/keputusan menteri dan peraturan operasionalnya. Sedangkan pada produk legal daerah meliputi peraturan daerah, peraturan/keputusan bupati dan aturan operasionalnya.
Gambar 7.20. Tahapan Substantif Pembentukan Kelembagaan Operasional Pengelolaan Kawasan Minapolitan
VII - 35
kelembagaan pada tingkat pengarah (steering) yang merupakan kelembagaan koordinasi antar stakeholder terutama antara satuan kerja pemerintah daerah (SKPD).
Kelembagaan sentra minaploitan, merupakan kelembagaan yang mengelola aset-aset yang terdapat pada sentra minapolitan. Sedangkan kelembagaan periferi atau masyarakat merupakan kelembagaan tingkat masyarakat baik pada tingkat
pembudidaya, pengolah maupun pemasaran. Hal yang krusial untuk dibahas adalah kelembagaan pada tingkat sentra minapolitan, karena terkait dengan pengelolaan aset-aset yang dibangun, baik aset bergerak (alat transportasi) maupun aset tidak bergerak (gedung, kolam, mesin dan peralatan pengolahan). Pilhan bentuk kelembagaan dalam bentuk daftar panjang (long list) kelembagaan pengelolaan kawasan sentra minapolitan dapat dilihat dalam Tabel 7.15.
VII - 36
2. Pemerintah
3. Pemerintah 4. Pemerintah
5. Masyarakat
Uraian dan penjelasan baik menyangkut filosofi dan/atau dasar hukum alternatif kelembagaan tersebut dapat dilihat dalam uraian sebagai berikut. A. Kelembagaan Berbasis Pemerintah
1. Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Daerah Sesuai dengan UU No.41/2007 tentang organisasi perangkat daerah, UPTD-daerah merupakan satu lembaga teknis yang terdapat dalam organisasi pemerintah daerah yaitu dinas teknis daerah. Besaran organisasi perangkat daerah ini disesuai dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah dan besarnya APBD. Berdasarkan pada undang-undang ini, besaran organisai perangkat daerah kabupaten/kota berbedabeda jumlahnya menurut nilai skor daerah. Semakin tinggi jumlah skor daerah, semakin besar jumlah organisasi perangkat daerah yang diijinkan dibentuk di suatu daerah. Sementara UPTD Unit pelaksana teknis pada dinas terdiri dari 1 (satu)
VII - 37
VII - 38
No.61/2007, sumber pendanaan BLUD juga mencakup (d) hasil kerjasama dengan pihak lain, (e) APBN dan (f) lain-lain pendapatan yang syah. Menurut Permendagri No.61/2007, pendapatan selain dari pendapatan hibah yang tidak mengikat, dapat dikelola langsung untuk membiayai pengeluaran BLUD sesuai dengan RBA. Pertanggungjawaban dari pemanfaatan sumber pendanaan berbedabeda menurut sumbernya.Pemanfaatan sumber pendanaan dari APBD dan APBN, maka pertanggungjawaban mengikuti mekanisme pemanfaatan dana APBD. Sedangkan pungutan jasa dan hasil kerjasama dengan pihak lain akan masuk menjadi penerimaan daerah yang mengikuti pola yang ada. Sementara
pertanggungjawaban yang bersifat hibah sesuai dengan peruntukannya. Berdasarkan peraturan yang ada, struktur pengelola unit BLUD dapat berasal baik dari pegawai negeri sipil (PNS) maupun non-PNS. Remunerasi pada intinya dapat fleksible sesuai dengan profesionalisme, tanggung jawab dan resikonya. Bila personalia pengelola BLUD merupakan PNS, disamping menerima gaji pokok dan tunjangan sesuai ketentuan tentang PNS, juga mendapatkan tambahan remunerasi sesuai dengan profesionalisme, tanggung jawab dan resikonya. Hal yang perlu dicatat adalah bahwa struktur organisasi BLUD meskipun ada keluluasaan administrasi keuangan dan program, pada faktanya sebagian besar personalia dari pengelola BLUD sekarang ini merupakan aparatur pemerintah (PNS). Sehingga terjadi peluang bahwa dari sisi kebutuhan organisasi membutuhkan
dukungan operasional yang tinggi tetapi dari sisi personalia tidak memungkinkan karena statusnya sebagai PNS. Persoalan ini menjadi catatan penting dari sisi kinerja kelembagaan. Hal lain yang perlu dicatat adalah bila BLUD menjadi bentuk SKPD tersendiri, maka berpotensi untuk mengarah pada benturan dengan jumlah SKPD yang diijinkan menurut peraturan yang ada. Bila pada kondisi jumlah SKPD sudah memenuhi ketentuan maksimal jumlah SKPD, maka pembentukan SKPD ini juga berpotensi untuk meniadakan salah satu SKPD yang sudah ada sekarang ini.
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VII - 39
bahwa keuntungan dari PD merupakan salah satu sumber PAD (pasal 7). Bila merujuk pada aturan yang ada, maka pemanfaatan keuntungan dari PD harus masuk melalui mekanisme PAD yang menjadi bagian APBD. Artinya tidak semuanya dapat digunakan untuk rekapitulasi usaha bila tidak disertai peraturan khusus dari kepala daerah tentang pemanfaatan ini. Pasal 25 ayat 4 menyatakan bahwa penggunaan laba untuk cadangan umum bilamana telah tercapai tujuannya dapat
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VII - 40
kerjasama perusahaan daerah dengan pihak ketiga. Kerjasama ini diantaranya dalam bentuk kerjasama manajemen, kontrak, pembelian saham, obligasi dari PT, keagenan, pemakaian dan penyaluran, penjualan saham dan obligasi (go public) maupun bentuk-bentuk kombinasinya. Tetapi dengan diterbitkannya No.4/2000 yang mencabut Permendagri No.4/1990, termasuk Permendagri Permendagri
No.4/1995 tentang petunjuk pelaksanaanyya. Sehingga PD tidak diperbolehkan lagi untuk bekerjasama dengan pihak ketiga dalam bentuk seperti yang disebutkan diatas. 4. Perseroan Terbatas (PT) Seperti halnya PD, Perseroan Terbatas (PT) juga merupakan salah bentuk BUMD (Permendagri No.3/1998), yang tunduk pada undang-undang tentang PT. Permendari No.3/1998 bahkan menyebutkan bahwa kepala daerah (termasuk Bupati) dapat merubah bentuk hukum Perusahaan Daerah (PD) menjadi PT. Dimana saham dalam PT yang terbentuk dapat dimiliki oleh Pemerintah Daerah, Perusahaan Daerah, swasta dan masyarakat (pasal 8). Namun peraturan ini menyebutkan bahwa bagian terbesar dari saham Perseroan Terbatas dimiliki oleh Pemerintah Daerah dan Perusahaan Daerah. Artinya harus selalu diusahakan bahwa porsi kepemilikan saham pemerintah merupakan saham mayoritas (pengendali) dengan jaminan pada pengendalian arah kebijakan perusahaan. Sesuai dengan UU No.40/2007 tentang perseroan terbatas, dimana PT berhak untuk menerbitkan saham untuk mendapatkan tambahan modal, maka sebagai
konsekuensinya adalah komposisi ini bisa berubah ketika saham diluar kepemilikan pemerintah menjadi lebih besar. Bila kepemilikan saham diluar pemerintah lebih
VII - 41
Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) adalah suatu kelembagaan yang dibentuk dan dikembangkan berdasarkan inisiatif dari masyarakat. Pada PBM ini, pengambilan keputusan dilakukan pada tingkat komunitas/masyarakat yang mempunyai hak pada bidang pengelolaan sumberdaya termasuk kawasan sentra minaploitan. Pola
kelembagaan ini memunculkan dua kemungkinan yaitu berjalan efektif bahkan sebaliknya berjalan sangat tidak efektif dan berpotensi terjadi salah pengelolaan (mismanagement). Salah satu bentuk badan hukum pengelolaan kawasan sentra minapolitan dengan semangat ini adalah koperasi Secara praktis, pengelolaan akan berjalan efektif dan lebih baik bila didrive dari kebijakan yang benar yang diturunkan dalam kebijakan operatif yang memadai. Hal ini akan bisa dilakukan bila didasarkan pada input pengambilan kebijakan yang valid, kuat dan visioner. Pada PBM, persoalan ini menjadi sangat krusial mengingat bahwa kapasitas masyarakat seringkali tidak memadai baik secara individual maupun kolektif. Bahkan tidak jarang yang terjadi, walaupun terdapat tokoh individual yang memenuhi kriteria tersebut tetapi tidak mendapatkan dukungan dari komunita lainnya juga tidak bisa berjalan dengan baik. Bodin and Crona (2007) menyatakan bahwa adanya modal sosial dan kepemimpinan merupakan prasyarat penting dalam pengelolaan sumberdaya. Keengganan masyarakat untuk melaporkan terjadinya pelanggaran pada pengelolaan sumberdaya walaupun tingkat modal sosial yang menggambarka jejaring sosial menjadi salah satu faktor kegagalan ini. Pada sisi lain, homogenitas pandangan individu-individu
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VII - 42
pembentukan ini mulai diintroduksi ketika sistem sosial komunitas (pesisir termasuk nelayan) masih mengerucut dengan tingkat ketokohan lokal yang kuat. Sehingga, pengambilan keputusan mempunyai legitimasi yang kuat secara sosio-kultural. Namun demikian, bentuk Walaupun pada tataran operasional hal ini diduga masih sulit dilakukan pada kasus pengelolaan kawasan lindung Pamurbaya, tetapi semangat dan filosofi ini perlu dikembangkan dalam pengelolaan. Hal ini dilakukan dengan mengadopsi konsep keterlibatan masyarakat, tetapi tidak dalam kondisi penuh atau maksimal.
VII - 43
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kutub pengelolaan sumberdaya dapat bergerak pada dua titik ekstrim, yaitu masyarakat secara penuh pada satu sisi dan pemerintah secara penuh pada sisi yang lain. Implementasi pola pengelolaan seperti telah disebutkan diatas membutuhkan dukungan dan kapasitas kelembagaan (perangkat peraturan dan organisasi) yang sangat kuat. Bila prasyarat ini tidak dipenuhi, biasanya sulit mendapatkan hasil maksimal. Interaksi antar dua kutub tersebut menghasilkan pola kelembagaan interaktif masyarakat dan pemerintah yang disebut ko-manajemen. Bentuk interaksi ini menghasilkan tingkat sharing (kekuatan dan dukungan) yang bervariasi seperti diuraikan oleh beberapa ahli seperti Pomeroy (1995), Berkes et.al. (1991), Carlson and Berkes (2005). Pada faktanya, konsepsi tentang co-management pun bervariasi tergantung pada posisi tawar serta kapabilitas masing-masing stakeholder yang beinteraksi yaitu pemerintah dan masyarakat. Bentuk-bentuk ini bervariasi dari mulai sekedar informatif, konsultatif yang condong pada kutub government base, kemudian komunikasi, kerjasama, sampai bentuk joint action pada tingkat posisi tawar dan kapabilitas yang sama ataupun bergerak ke communication control dan inter area coordination yang condong ke masyarakat (lihat gambar berikut). Noble (2000) menyatakan bahwa terdapat 6 prinsip secara kelembagaan yang mendukung efektivitas co-management pengelolaan sumberdaya yaitu (1) adanya organisasi yang interaktif, (2) Kuatnya kontrol lokal, (3) Dukungan komunitas, (4) Proses yang terencana, (5) keberagaman substansi dan benefit bagi stakeholder, dan (6) Penataan kelembagaan yang menyeluruh (holism). Pilihan bentuk kelembagaan pengelolaan kawasan minapolitan perlu diarahkan untuk mendorong persyaratanpersyaratan tersebut dipenuhi. Prinsip-prinsip tersebut perlu menjadi catatan, ketika bentuk co-management menjadi pilihan, agar proses interaksi antara pemerintah dapat berjalan dengan baik dan mendukung efektivitas dan efisiensi pengelolaan. Walaupun dalam beberapa kasus aka sulit dilakukan, tetapi semangat melibatkan masyarakat lokal dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan, akan bermuara pada dukungan komunitas lokal yang baik. Hal ini bisa diperoleh bila gain adanya kawasan tersebut dapat terdistribusi dengan baik kepada stakeholder, bukan hanya sekelompok stakeholder. Oleh karena itu, penataan
VII - 44
Permasalahan muncul terkait dengan akuntabilitas bila pengelolaan berbasis anggaran pemerintah setempat. Pelibatan masyarakat dalam struktur kelembagaan perlu dilakukan dengan hati-hati, mengingat bahwa sistem pelaporan terhadap pemanfaatan APBD mempunyai struktur baku. Dimana perwakilan masyarakat akan ditempatkan sesuai dengan level hirarki co-management yang aka diaplikasikan. Hal ini tentunya memnbutuhkan asesmen kesiapan baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat. D. Kerjasama Pemerintah Swasta (Public Private Partnership Operation )
Kerjasama Operasi Swasta-Pemerintah (PPP = Public-private partnership operation), ditujukan untuk memberikan ruang bagi swasta untuk berpartisipasi terhadap prosesproses pembangunan. PBB (2008) menyatakan bahwa adanya PPP menggeser resiko yang biasanya ditanggung oleh pemerintah kepada sector swasta, sehingga mendorong swasta untuk berhati-hati dan bekerja dengan efisien. Pengertian Public-Private Partnerships (Kerjasama Pemerintah dengan
Swasta/KPS)Suatu Perjanjian Kerja Sama (PKS) atau Kontrak, antara instansi pemerintah dengan badan usaha/pihak swasta, dimana : a) pihak swasta melaksanakan sebagian fungsi pemerintah selama waktu tertentu, b) pihak swasta menerima
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VII - 45
banyak penelaahan terutama dari sisi legal. Misalnya bentuk-bentuk penyertaan aset pada pengelolaan, pertanggung jawaban, monitoring dan evaluasi sampai pada bentuk kelembagaan operasionalnya. Berdasarkan polanya, terdapat beberapa bentuk operasi PPP (UNECE, 2008) seperti Buy-Build-Operate (BBO), Build-Own-Operate (BOO), Build-Own-Operate-Transfer
(BOOT), Build-Operate-Transfer (BOT), Build-Lease-Operate-Transfer (BLOT), DesignBuild-Finance-Operate (DBFO), Finance Only, Operation & Maintenance Contract (O & M), Design-Build (DB), Operation License. Spektrum model PPP termasuk sebagian dari bentuk-bentuk PPP dapat dilihat dalam gambar berikut. Seperti halnya kebijakan public lainnya, PPP harus juga memenuhi standar-standar good governance yang dipersyaratakan seperti partisipasi, santun (decency), transparansi, akuntabilitas, keadilan, efisiensi dan pembangunan berkelanjutan. Sehingga prinsipprinsip dalam PPP harus memenuhi standar-standar tersebut, dan UNECE telah menyusun prinsip-prinsip tata kelola (good governance) PPP sebagai berikut (UNECE, 2008) : 1. Bersandar pada kebijakan (policy) 2. Pengembangan Kapasitas (capacity building) baik skill, kelembagaan maupun pelatihan. 3. Meningkatkan Legal Framework (Improving legal framework) dalam pengertian fewer, simpler dan better. 4. Risk Sharing yang mencakup nilai cooperative sharing dan mutual support
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VII - 46
2.
BLUD
1. Struktur dan eselonisasi pejabat jelas (rujukan legal 2. Kejelasan sumber anggaran belanja pokok 3. Ketersediaan personalia pendukung dari aparatur pemerintah 4. Fleksibilitas perencanaan dan pemanfaatan anggaran lebih baik dari UPTD
3.
Perusahaan Daerah
1. Struktur dan eselonisasi pejabat jelas (rujukan legal 2. Kejelasan sumber anggaran belanja pokok 3. Ketersediaan personalia pendukung dari aparatur pemerintah 4. Fleksibilitas perencanaan dan pemanfaatan anggaran lebih baik dari SKPD/UPTD 1. Fleksibilitas perencanaan dan
4.
Perseroan Terbatas
VII - 47
5.
PBM (Koperasi)
1. Dukungan masyarakat dan stakeholder tinggi. 2. Keterjangkauan program berdasar kebutuhan pengelolaan dan masyarakat sekitar 3. Pengambilan keputusan bisa lebih cepat bila kapasitas masyarakat (koperasi) cukup.
6.
Co-management
1. Dukungan stakeholder tinggi (baik pemerintah maupun masyarakat) 2. Arahan pengelolaan bisa menjadi lebih baik bila ada sumber atau pihak yang mempunyai kapasitas lebih baik. 3. Kontrol dan monitoring lebih baik, baik dari pemerintah maupun masyarakat. 4. Adanya dukungan anggaran pemerintah pada programprogram dasar sesuai perencanaan daerah 1. Keterlibatan masyaarakat/swasta tinggi. 2. Operasional pengelolaan bisa lebih akuntable, dan efisien bila partner mempunyai kapasitas yang cukup. 3. Beban pembiayaan bisa sharing pemerintah dengan swasta. 4. Pengambilan keputusan bisa cepat dan rasional
7.
1. Akuntabilitas pemilihan partner harus baik, dan dilakukan secara akuntabel dan transparan untuk mengindari klaim dari pihak lain. 2. Perlu ketetapan jangka waktu tertentu dan review atas kerjasama 3. Kontrol terhadap pengelolaan aset perlu kuat dan mengikuti rambu-rambu peraturan dan tujuan pengembangan kawasan minapolitan. 4. Kebiasaan yang terjadi di Indonesia masih didasarkan pada kerjasama bidang infrastruktur.
Sesuai dengan analisis pada tabel diatas serta dikaitkan dengan azas, tujuan dan semangat pengembangan kawasan minaploitan, maka pilihan alternatif kelembagan pengelola sentra minapolitan meliputi bentuk-bentuk : Perusahaan daerah (PD), perseroan terbatas (PT), BLUD dan Koperasi. Pilihan-pilihan tersebut memerlukan catatan tersendiri dalam bentuk tindakan kebijakan pimpinan daerah untuk
VII - 48
1.
2.
Koperasi
3.
BLUD
4.
Catatan untuk untuk bentuk kelemmbagaan adalah pilihan tersebut harus tetap mengikuti rambu-rambu peraturan yang ada sehingga tidak menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari, serta tetap menjamin tujuan dan fungsi kawasan minapolitan secara umum.
VII - 49
8.1.
Visi merupakan ungkapan keinginan atau harapan atau pandangan masa depan yang ingin dicapai semua pihak yang terkait (stakeholders) terhadap pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Bogor. Dengan visi ini diharapkan kawasan minapolitan dapat bermanfaat secara optimal dan berkelanjutan yang ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat dan menjadi kebanggaan bagi masyarakat Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil penggalian aspirasi dan hasil agregasi potensi, isu dan permasalahan dari data sekunder dan penelitian lapang, maka pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Bogor adalah : TERWUJUDNYA KAWASAN MINAPOLITAN SEBAGAI PUSAT PENGEMBANGAN KEGIATAN PERIKANAN BUDIDAYA UNTUK KESEJAHETRAAN MASYARAKAT Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa : Pusat Kegiatan Perikanan Budidaya berarti bahwa diharapkan kawasan minapolitan di Kabupaten Bogor menjadi pusat kegiatan perikanan budidaya dari mulai pembenihan, pendederan, pembesaran, pengolahan sampai pada pemasaran. Minapolitan diharapkan juga menjadi pusat sarana informasi, pendidikan dan pelatihan kegiatan perikanan budidaya. Kesejahteraan Sejahtera berati bahwa pengembangan kawasan minapolitan selain harus meningkatkan pendapatan dari pembudidaya dan pengolah ikan , hendaknya juga dapat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat lainnya yang berada dalam kawasan tersebut melalui kegiatan-kegitan lain baik yang terkait secara langsung maupun yang tidak langsung dengan minapolitan. Disamping itu
pengembangan kawasan minapolitan juga harus dapat menjadi rujukan maupun pendorong bagi pengembangan sector-sektor lain didaerah tersebut. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut maka misi yang akan dijalankan adalah: 1) Mengembangkan Sentra Produksi Komoditi Unggulan
merk/branding lele bogor dengan kualitas sebagai berikut: (i) bebas antibiotik; (ii) bebas bau lumpur; (iii) dipelihara tanpa menggunakan kotoran, dan lain-lain. Dengan demikian daya saing lele Bogor dapat meningkat dan mempermudah pemasaran lele Bogor. c. Program Peningkatan Kapasitas Sumberdaya Manusia, latar belakang keluarnya program ini adalah karena selama ini kualitas sumberdaya manusia yang bergerak
Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan INSTITUT PERTANIAN BOGOR
VIII - 2
Jaringan Pemasaran Berbasis Teknologi Informasi adalah : a. Program Pengembangan Pusat Informasi Pasar b. Program Pengembangan Sumberdaya manusia 8.2.3. Strategi Pengembangan Kawasan Minapolitan sebagai Kawasan Wisatamina Pengembangan kawasan minapolitan tidak hanya terfokus pada kegiatan pengembangan perikanan budidaya, tetapi juga ditunjang oleh kegiatan lain yang sinergis dengan kegiatan perikanan budidaya, yaitu kegiatan wisatamina. Aktivitas program
pengembangan ini meliputi perencanaan paket wisata kawasan minapolitan yang diarahkan pada edutourism (wisata pendidikan) dan wisata kuliner. Pakat wisata
pendidikan meliputi kegiatan budidaya (pembenihan dan pembesaran lele) sampai pada kegiatan pengolahan lele baik ditingkat sentra pengolahan maupun industri rumah tangga. Paket wisata kuliner ditujukan kepada pengunjung yang ingin menikmati hasil olahan lele. Kegiatan pengembangan minawisata ini juga didukung dengan
pengembangan wisata perikanan lain yang berada di kawasan minapolitan. Berikut ini adalah beberapa program yang dapat dijalankan yang berikaitan dengan Strategi Pengembangan Kawasan Minapolitan Sebagai Kawasan Wisatamina:
VIII - 3
8.2.4. Strategi Pengembangan Pengolahan Produk Ikan Lele Strategi pengembangan pengolahan produk Ikan Lele diarahkan untuk meningkatkan mutu dan kualitas serta deversifikasi produk komoditi unggulan yaitu Ikan Lele. Strategi lainya adalah peningkatan daya saing produk lele minapolitan dengan peningkatan kualitas produksi dan pembentukan merk/branding lele bogor dengan kualitas sebagai berikut: (i) bebas antibiotik; (ii) bebas bau lumpur; (iii) dipelihara tanpa menggunakan pakan limbah, dan lain-lain. Dengan demikian daya saing lele Bogor dapat meningkat dan mempermudah pemasaran Lele Bogor. Program-program yang dapat dilakukan dalam rangka untuk menjawab strategi pengembangan pengolahan hasil budidaya lele adalah sebagai berikut a. Program Pengembangan Industri Rumah Tangga b. Program Pengembangan Industri Berbasis Sumber Daya Lokal c. Program pengembangan produk olahan ikan dengan mengunakan lele sebagai bahan substitusi. 8.2.5. Strategi Pengembangan Pusat Pelayanan Kawasan (Sentra Minapolitan) Dalam rangka untuk menjalan fungsi sebagai pusat pelayanan kawasan (minapolis) di Kecamatan Ciseeng diperlukan beberapa program untuk mendukung strategi tersebut, yaitu: a. Program pengembangan sentra kawasan minapolitan lele, program ini meliputi sentra perkantoran, training center, guest house, VIC, showroom, caf dan restoran serta fasilitas pendukung lainnya. b. Program pengembangan sebagai pusat pendidikan dan pelatihan, program pengembangan kegiatan pendidikan dan pelatihan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan informal mengenai bagaimana proses pembenihan yang baik, proses kegiatan budidaya yang baik serta menyusun modul dan kurikulumnya.
VIII - 4
adalah pembentukan bank budidaya/koperasi budidaya : petani yang kesulitan input produksi dapat meminjam input produksi dari bank budidaya yang berkoordinasi dengan penjual input produksi dengan jaminan pembayaran sesudah panen (bank memiliki tim survey untuk memastikan apakah petani benar-benar membutuhkan input produksi atau tidak). Bank membantu pembiayaan namun untuk pengadaan barang tetap berasal dari penjual input produksi. Bank memperoleh keuntungan berupa bunga (sistem bank
VIII - 5
8.3.
Indikasi Program
Berdasarkan arahan dan strategi pengembangan program minapolitan, maka dapat disusun table indikasi program yang perlu dilakukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahunan. Indikasi program tersebut dapat terlihat pada Tabel 8.1.
VIII - 6
d. Pembangunan Test farm Program Pengembangan Jaringan Pemasaran Berbasis Teknologi Informasi a. b. Program Pengembangan Pusat Informasi Pasar Program Pengembangan Sumberdaya manusia
Program Pengembangan Minawisata Lele a. Pembangunan dan peningkatan fasilitas umum pendukung kegiatan minawisata b. c. d. e. Perencanaan dan pengembangan atraksi paket minawisata Pembangunan dan pemeliharaan jalan wisata dan jalan produksi Promosi paket minawisata Pengembangan home industry pendukung kegiatan minawisata
Program Pengembangan Pengolahan Hasil Budidaya Lele a. b. c. d. e. f. g. h. Pembangunan fisik gedung pabrik Pembangunan kolam penampungan bahan baku Pembangunan unit pemanfaatan hasil sampingan kegiatan pengolahan (kebun hortikultura organik, pakan, kolagen) Pembangunan fasilitas umum Pengadaan peralatan pengolahan (mesin pengolah ikan) Uji coba peralatan dan mesin produksi Uji coba produksi dan pemasaran (skala terbatas) Pengembangan pemasaran hasil produksi olahan ikan
Program Pengembangan Sentra Kawasan Minapolitan Lele a. b. c. d. e. Pembangunan kantor Pembangunan showroom, caf dan restoran Pembangunan training center Pembangunan VIC Pembangunan guest house
f. Pembangunan fasilitas umum (parkir area) Program Pengembangan Infrastruktur Dasar Dan Infrastruktur Perikanan a. b. c. Peningkatan kualitas dan pelayanan sarana dan prasarana transportasi Peningkatan kualitas pelayanan jaringan irigasi, meliputi : Peningkatan Sarana Pelayanan Pendukung Kegiatan bisnis Perikanan
Program Pengembangan Kelembagaan a. b. Penyusunan kelembagaan pengelola sentra/kawasan minapolitan Penyusunan/penguatan kelompok pembudidaya ikan, pengolah dan pemasaran
VIII - 7
VIII - 8
VIII - 9
LAMPIRAN
Lamp- 1
Lamp- 2
BCBTS BTP 5 ki Aliran ke D I 1) Petak Tersier TP5 ki; DI Sasak 2) Petak Tersier CBTS 7 ki; DI Cibeuteung-I BSK 8 ki Kolam BTP 1 3) Petak Tersier TP1 ka; DI Sasak Kolam Sawah 4) Petak Tersier SK 8 ki; DI Sasak
Lamp- 3
CBTS 1 KA
70 Ha
7 Ha
90 Ha
Lamp-4
BSK 3
BTP 12 TG 24 Ha 6 Ha BTP 11 Ka BTP 1 Ka BTP 2 Ka BTP 3 Ka BTP 9 Ka 38 Ha 11 Ha 10 Ha BTP 4 Ka 3 Ha 6 Ha BTP 6 Ka 10 Ha BTP 12 Ka BTP 7 Ka 2 Ha 4 Ha 3 Ha Lamp-5
BSK 4 Ki 23 Ha BSK 4
BSK 5 Ki 32 Ha BSK 6
BSK 6 Ki 11 Ha BSK 7
BKP 1 Ki 45 Ha BKP 1
BKP 2 Ki 57 Ha
BKP 6 Ki 7 Ha
BKP 8 7 Ha
BSK 5
BKP 2
BKP 3
BKP 4 Ka 3 Ha
BKP 5 Ka 4 Ha
BKP 7 Ka 5 Ha
BKP 9 Ka 5 Ha
KEC. CISEENG BSK 10 Keterangan : 8 Ha BSK 11 6 Ha BCG 1 Ki BSK 12 6 Ha 16 Ha SALURAN SEKUNDER COGREG BSK 14 40 Ha Skema Daerah Irigasi Sasak BSK4 Lamp-6 2 Ha BCG 2 Ka BCG 3 Ki 9 Ha BCG 3 Ka 13 Ha KEC. PARUNG
BKP 10 Ka 37 Ha 14 Ha BKP 10 Ki BKP 11 Ka 10 Ha BKP 12 Ki 5 Ha BKP 13 Ki 4 Ha BKP 14 Ki 15 Ha BKP 15 Ka 25 Ha BKP 16 Ki 29 Ha BKP 17 Ka 20 Ha Skema Daerah Irigasi Sasak BSK4 (lanjutan) Lamp-7 77 Ha BKP 18 Ka 25 Ha BKP 19 Ki 50 Ha BKP 19 TG
Ds.Rw. KALONG
Ds.PENGASINAN
PROPINSIBANTEN
15 Ha
26 Ha
25 Ha
SITU
SALINDUKCURUGSERPONG
KALIANGKE
L / dt
32 Ha
25 Ha
3 Ha
L / dt
BCS 10 Ka
Ds.CURUG
Ds.RAWAKALONG
Keterangan : Luas areal : 1550 Ha Skema Daerah Irigasi Curug Serpong Panjang saluran : 5800 m Lamp-8
17 Ha
2 Ha
BCS 10 te
BCS 1 Ka
BCS 8 K
L / dt
Lamp-9
Alternatif1
Lamp-10
Alternatif 2
Lamp-11
Lamp-12
Lamp-13