You are on page 1of 15

Persalinan Normal 1.

Pengertian Persalinan Normal

Partus normal adalah persalinan spontan pada kehamilan cukup bulan pada ibu yang sehat melalui vagina dengan letak belakang kepala / ubun-ubun kecil, tanpa memakai alat / pertolongan istimewa, janin sehat serta tidak melukai ibu maupun bayi (kecuali episiotomi), berlangsung dalam waktu kurang dari 18 jam. 2. Inisiasi Persalinan

Beberapa teori yang menjelaskan dimulainya partus 1. Faktor humoral Plasenta menjadi tua sesuai dengan tuanya kehamilan, vili korealis mengalami perubahanperubahan sehingga kadar estrogen dan progesteron menurun. Progesteron merupakan penenang bagi otot-otot uterus. Menurunnya kadar kedua hormon ini terjadi kira-kira 1-2 minggu sebelum partus dimulai. 1. Pengaruh prostaglandin Kadar prostaglandin meningkat mulai pada usia kehamilan 15 minggu hingga aterm, terutama sewaktu partus. 2. Uterus dan nutrisi Keadaan uterus yang terus membesar dan menjadi tegang mengakibatkan terjadi iskemia otot-otot uterus, mengakibatkan terganggunya sirkulasi uteroplasenta sehingga plasenta mengalami degenerasi dan nutrisi pada janin akan berkurang. Berkurangnya nutrisi pada janin mengakibatkan hasil konsepsi akan segera dikeluarkan. 3. Penekanan saraf Penekanan pada ganglion servikale dari pleksus Frankenhauser akan membangkitkan kontraksi uterus. 4. Tindakan

Dengan berbagai tindakan, persalinan dapat pula dimulai, sepert: merangsang fleksus Frankenhauser dengan memasukkan beberapa gagang laminaria dalam kanalis servikalis, pemecahan ketuban, penyuntikan oksitoksin, pemkaian prostaglandin dan lain-lain.

Keberhasilan suatu persalinan ditentukan oleh 3 faktor P, yaitu: 1. Power His (kontraksi ritmis otot polos uterus), kekuatan mengejan ibu, keadaan kardiovaskular respirasi metabolik ibu. 2. Passage atau Keadaan jalan lahir. 3. Passanger Keadaan janin (letak, presentasi, ukuran/berat janin, ada/tidak kelainan anatomik mayor. Ditambah dengan faktor-faktor P lainya : Psikologi, Penolong dan Posisi.

3.

His dan Tenaga Lain Dalam persalinan

Uterus terdiri atas 3 lapisan otot polos, yaitu lapisan longitudinal, lapisan dalam sirkular dan dantara dua lapisan ini terdapat lapisan dengan oto-otot yang beranyam tikar. Berbeda dengan otot polos lain, pemendekan otot rahim lebih besar, tenaga dapat disebarkan ke segala arah dan karena susunannya tidak terorganisasi secara memanjang hal ini memudahkan pemendekan, kapasitas untuk meningkatkan tekanan dan menyebabkannya tidak bergantung pada letak atau presentasi. His dikatakan sempurna jika terdapat: (1) kontraksi yang simetris, (2) kontraksi paling kuat atau adanya dominasi di fundus uteri, (3) sesudah itu terjadi relaksasi. Otot-otot uterus tidak pernah mengadakan relaksasi sampai 0, akan tetapi masih mempunyai tonus, sehingga tekanan di dalam ruang amnion masih terukur antara 6-12 mmHg. Pada tiap kontraksi tekanan tersebut terus meningkat, disebut amplitudo atau intensitas his yang mempunyai dua bagian: bagian pertama peningkatan tekanan yang agak cepat dan bagian kedua penurunan tekanan yang agak lamban. Frekuensi his adalah jumlah his dalam waktu tertentu. Amplitudo dikalikan dengan frekuensi his dalam 10 menit menggambarkan keaktifan uterus dan ini diukur dengan unit Montevideo.

Jika amplitude 50 mmHg, frekuansi his 3x dalam 10 menit, maka aktivitas uterus adalah 50x3 = 150 mmHg unit Montevideo. Nilai yang adekuat untuk terjadinya persalian adalah 150 250 unit Montevideo. Tiap his dimulai sebagai gelombang dari salah satu sudut di mana tuba masuk ke dalam dinding uterus yang di sebut sebagai pace maker tempat gelombang his berasal. Gelombang bergerak ke dalam dan ke bawah dengan kecepatan 2 cm tiap detik sampai ke seluruh uterus. His paling tinggi di fundus uteri yang lapisan ototnya paling tebal dan puncak kontraksi terjadi simultan di seluruh bagian uterus. Sesudah tiap his, oto-otot korpus uteri menjadi lebih pendek daripada sebelumnya yang disebut sebagai retraksi. Oleh karena serviks kurang mengandung otot, servik tertarik dan terbuka (terjadi penipisan dan pembukaan), lebih-lebih jika ada tekanan oleh bagian janin yang keras, misalnya kepala. Aktivitas miometrium dimulai saat kehamilan. Pada seluruh trimester kehamilan dapat dicatat adanya kontraksi ringan dengan amplitudo 5 mmHg yang tidak teratur. His sesudah kehamilan 30 minggu terasa lebih kuat dan lebih sering. Sesudah 36 minggu aktivitas uterus lebih meningkat lagi sampai persalinan mulai. Jika persalinan mulai, yakni pada permulaan kala I, frekuensi dan amplitudo his meningkat. Amplitudo uterus meningkat terus sampai 60 mmHg pada akhir kala I dan frekuensi his menjadi 2 sampai 4 kontraksi setiap 10 menit, durasi ini terus meningkat dari hanya 20 detik pada permulaan partus sampai 60-90 detik pada akhir kala I atau pada permulaan kala II. His yang sempurna dan efektif bila ada koordinasi dari gelombang kontraksi, sehingga kontraksi semetris dengan dominasi di fundus uteri dan mempunyai amplitudo 40-60 mmHg yang berdurasi 60-90 detik, dengan jangka waktu antara kontraksi 2 sampai 4 menit, dan pada relaksasi tonus uterus kurang dari 12 mmHg. Jika frekuensi dan amplitudo his lebih tinggi, maka dapat mengurangi pertukaran oksigen. Terjadilah hipoksia janin dan timbul gawat janin yang secara klinik dapat ditentukan dengan antara lain menghitung detak jantung janin ataupun dengan pemeriksaan karditokografi. His menyebabkan pembukaan dan penipisan di samping tekanan air ketuban pada permulaan kala I dan selanjutnya oleh kepala janin yang semakin masuk ke rongga panggul dan sebagai benda keras yang mengadakan tekanan pada serviks hingga pembukaan menjadi lengkap.

Pada kala II ibu menambah kekuatan uterus yang sudah optimum dengan adanya peningkatan tekanan intaabdomen akibat ibu melakukan kontraksi diafragma dan otot-otot dinding abdomen, dengan demikian kepala/bokong janin didorong membuka difragma pelvis dan vulva, setelah anak lahir kekuatan his tetap ada untuk pelepasan dan pengeluaran uri. Pada kala III yang berlangsung 2 sampai 6 menit, amplitudp his masih tinggi 60-80 mmHg, tetapi frekuensinya berkurang. Hal ini disebabkan aktivitas uterus menurun. Sesudah 24 jam pasca persalinan intensitas dan frekuensi his menurun.

4.

Pembagian Fase / Kala Dalam Persalinan

Berdasarkan hasil penelitian oleh FRIEDMAN, persalinan dibagi menjadi 3 stadium : Persalinan kala I , berawal sejak adanya kontraksi uterus yang teratur sampai dilatasi servik lengkap. Terbagi menjadi 2 fase : fase laten ( dilatasi sampai dengan 3 4 cm ) dan fase aktif ( dilatasi servik 4 cm sampai lengkap ). Fase aktif dibagi lagi menjadi 3 subfase yaitu fase akselerasi, fase dilatasi maksimal dan fase deselerasi. Persalinan kala II, sejak dilatasi servik lengkap sampai anak lahir Persalinan kala III, kala persalinan plasenta.

KALA 1 PERSALINAN :
Dimulai Berakhir

pada waktu serviks membuka karena his pada waktu pembukaan serviks telah lengkap (pada periksa dalam, bibir porsio

serviks tidak dapat diraba lagi). Selaput ketuban biasanya pecah spontan pada saat akhir kala I. Terdapat 2 fase pada Kala 1 ini, yaitu : 1. 2. Fase laten : pembukaan sampai mencapai 3 cm, berlangsung sekitar 8 jam. Fase aktif : pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung sekitar (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4 cm.

6 jam. Fase aktif terbagi atas :


Fase akselerasi Fase dilatasi

maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm sampai 9 cm.

Fase deselerasi

(sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai lengkap (+ 10 cm). pematangan dan pembukaan serviks (cervical effacement)

Perbedaan
Pada

proses

pada primigravida dan multipara : primigravida terjadi penipisan serviks lebih terlebih dahulu sebelum terjadi pembukaan, sedangkan pada multipara serviks telah lunak akibat persalinan sebelumnya, sehingga langsung terjadi proses penipisan dan pembukaan.
Pada

primigravida, ostium internum membuka terlebih dahulu daripada ostium eksternum

(inspekulo ostium tampak berbentuk seperti lingkaran kecil di tengah), sedangkan pada multipara, ostium internum dan eksternum membuka bersamaan (inspekulo ostium tampak berbentuk seperti garis lebar)
Periode

Kala 1 pada primigravida lebih lama (+ 20 jam) dibandingkan multipara (+14

jam) karena pematangan dan pelunakan serviks pada fase laten pasien primigravida memerlukan waktu lebih lama.
Sifat

His pada Kala 1 :

Timbul tiap 10 menit dengan amplitudo 40 mmHg, lama 20-30 detik. Serviks terbuka sampai 3 cm. Frekuensi dan amplitudo terus meningkat. Terjadi peningkatan rasa nyeri, amplitudo makin kuat sampai 60 mmHg, frekuensi 2-4 kali / 10 menit, lama 60-90 detik. Serviks terbuka sampai lengkap (+10cm).
Peristiwa

penting Kala 1 :

Keluar lendir / darah (bloody show) akibat terlepasnya sumbat mukus (mucous plug) yang selama kehamilan menumpuk di kanalis servikalis, akibat terbukanya vaskular kapiler serviks, dan akibat pergeseran antara selaput ketuban dengan dinding dalam uterus. Ostium uteri internum dan eksternum terbuka sehingga serviks menipis dan mendatar. Selaput ketuban pecah spontan (beberapa kepustakaan menyebutkan ketuban pecah dini jika terjadi pengeluaran cairan ketuban sebelum pembukaan 5 cm). KALA 2 PERSALINAN :

Dimulai pada saat pembukaan serviks telah lengkap dan berakhir pada saat bayi telah

lahir lengkap.

Pada Kala 2 ini His menjadi lebih kuat, lebih sering, dan lebih lama. Selaput ketuban

mungkin juga sudah pecah/ baru pecah spontan pada awal Kala 2 ini. Rata-rata waktu untuk keseluruhan proses Kala 2 pada primigravida 1,5 jam, dan multipara 0,5 jam.

Sifat His : Amplitudo 60 mmHg, frekuensi 3-4 kali / 10 menit. Refleks mengejan terjadi juga akibat stimulasi dari tekanan bagian terbawah janin (pada persalinan normal yaitu kepala) yang menekan anus dan rektum. Tambahan tenaga meneran dari ibu, dengan kontraksi otot-otot dinding abdomen dan diafragma, berusaha untuk mengeluarkan bayi. Peristiwa penting pada Kala 2 : Bagian terbawah janin (pada persalinan normal : kepala) turun sampai dasar panggul. Ibu timbul perasaan/ refleks ingin mengedan yang semakin kuat. Perineum meregang dan anus membuka (hemoroid fisiologis) Kepala dilahirkan lebih dulu, dengan suboksiput di bawah simfisis (simfisis pubis sebagai sumbu putar/ hipomoklion), selanjutnya dilahirkan badan dan anggota badan. Kemungkinan diperlukan pemotongan jaringan perineum untuk memperbesar jalan lahir (episiotomi).

Gerakan-gerakan utama dari mekanisme persalinan adalah: 1. Engagement Engagement merupakan masuknya kepala ke dalam pintu atas panggul (PAP). Masuknya kepala ke dalam PAP biasanya dengan sutura sagitalis melintang dan dengan fleksi yang ringan. Masuknya kepala melewati PAP dapat dalam keadaan sinklitismus yaitu bila sutura sagitalis terdapat ditengah tengan jalan lahir. Pada sinklitismus os parietal depan dan belakang sama tingginya. Jika sutura sagitalis agak kedepan mendekati simfisis disebut asinklitismus anterior atau jika agak ke belakang mendekati promontoriuum disebut asinklitismus posterior. 2. Desensus (kepala terus turun) Desensus merupakan proses penurunan kepala masuk ke pelvis. Desensus terjadi sepanjang kala I (fase deselerasi) hingga kala II. Pada nulipara masuknya bagian presentasi terjadi

sebelum awitan persalinan dan penurunan lebih lanjut mungkin belum terjadi sampai awitan kala II. Pada wanita multipara penurunan biasanya terjadi bersama masuknya bagian presentasi janin ke panggul. Desensus terjadi akiabat satu atau lebih empat gaya berikut: (1) tekanan cairan amnion, (2) tekanan langsung fundus pada bokong saat kontraksi, (3) upaya mengejan dengan otot abdomen dan (4) ekstensi dan melurusnya tubuh janin. 3. Fleksi Pada awal persalinan, kepala bayi dalam keadaan fleksi yang ringan. Dengan majunya kepala biasanya fleksi juga bertambah. Pada pergerakan ini dagu dibawa lebih dekat kearah dada janin sehingga ubun-ubun kecil lebih rendah dari ubun-ubun besar, hal ini disebabkan karena adanya tahanan dari dinding serviks, dinding pelvis dan lantai pelvis. Dengan adanya fleksi, diameter suboksipitobregmatika (9,5 cm) menggantikan posisi suboksipitofrontalis (11cm) sampai di dasar panggul, biasanya kepala janin berada dalam keadaan fleksi maksimal. Ada beberapa teori yang menjelaskan mengapa fleksi bisa terjadi. Fleksi ini disebabkan Karena anak didorong maju dan sebaliknya mendapat tahanan dari servik, dinding panggul dan dasar panggul. 4. Rotasis dalam (putaran paksi dalam) Putaran paksi dalam adalah pemutaran dari bagian depan sedemikian rupa sehingga bagian terendah dari bagian depan janin memutar ke depan ke bawah simfisis. Pada presentasi belakang kepala, bagian yang terendah adalah daerah ubun-ubun kecil dan bagian inilah yang akan memutar ke depan kearah simfifis. Rotasi dalam penting untuk menyelesaikan persalinan, karena rotasi dalam merupakan suatu usaha untuk menyesuaikan posisi kepala dengan bentuk jalan lahir, khususnya bidang tengah dan pintu bawah panggul. 5. Ekstensi Sesudah kepala janin sampai di dasar panggul dan ubun-ubun kecil berada di bawah simfisis, maka terjadilah ekstensi dari kepala janin. Hal ini disebabkan karena sumbu jalan lahir pada pintu bawah panggul mengarah ke depan dan ke atas sehingga kepala harus mengadakan ekstensi untuk melewatinya. Jika kepala yang fleksi penuh pada waktu mencapai dasar panggul tidak melakukan ekstensi maka kepala akan tertekan pada perineum dan dapat

menembusnya. Subocciput yang tertahan pada pinggir bawah simfisis akan menjadi pusat pemutaran (hypomochlion) maka lahirlah berturut-turut pada pinggir atas perineum: ubunubun basar, dahi, hidung, mulut, dagu bayi dengan gerakan ekstensi. 6. Rotasi luar (putaran paksi luar) Kepala yang sudah lahir selanjutnya mengalami restitusi yaitu kepala bayi memutar kembali kea rah punggung anak untuk menghilangkan torsi pada leher yang terjadi karena putaran paksi dalam. Bahu melintasi pintu dalam dalam keadaan miring. Di dalam rongga panggul bahu akan menyesuaikan diri dengan bentuk panggul yang dilaluinya, sehingga di dasar panggul setelah kepala bayi lahir, bahu mengalami putaran dalam, dimana ukuran bahu (diameter bisa kromial) menempatkan diri dalam diameter anteroposterior dari pintu bawah panggul. 7. Ekspulsi Setelah putaran paksi luar, bahu depan sampai di bawah simfisis dan menjadi hypomochlion untuk kelahiran bahu belakang. Setelah kedua bahu lahir, selanjutnya seluruh badan bayi dilahirkan searah dengan sumbu jalan lahir. KALA 3 PERSALINAN :
Dimulai

pada saat bayi telah lahir lengkap, dan berakhir dengan lahirnya plasenta. plasenta : lepasnya plasenta dari insersi pada dinding uterus, serta pengeluaran plasenta dari insersinya : mungkin dari sentral (Schultze) ditandai dengan

Kelahiran

plasenta dari kavum uteri.


Lepasnya

perdarahan baru, atau dari tepi / marginal (Matthews-Duncan) jika tidak disertai perdarahan, atau mungkin juga serempak sentral dan marginal.
Pelepasan

plasenta terjadi karena perlekatan plasenta di dinding uterus adalah bersifat

adhesi, sehingga pada saat kontraksi mudah lepas dan berdarah.


Pada

keadaan normal, kontraksi uterus bertambah keras, fundus setinggi sekitar / di atas His :

pusat.
Sifat

Amplitudo 60-80 mmHg, frekuensi kontraksi berkurang, aktifitas uterus menurun. Plasenta dapat lepas spontan dari aktifitas uterus ini, namun dapat juga tetap menempel (retensio) dan memerlukan tindakan aktif (manual aid). KALA 4 PERSALINAN : Dimulai pada saat plaenta telah lahir lengkap, sampai dengan 1 jam setelahnya. Hal penting yang harus diperhatikan pada Kala 4 persalinan : Kontraksi uterus harus baik Tidak ada perdarahan pervaginam atau dari alat genital lain Plasenta dan selaput ketuban harus sudah lahir lengkap Kandung kencing harus kosong Luka-luka di perineum harus dirawat dan tidak ada hematoma Keadaan umum ibu dan bayi.

Persalinan Abnormal Persalinan abnormal ( distosia ) adalah persalinan yang berjalan tidak normal. Seringkali pula disebut sebagai partus lama, partus tak maju , disfungsi persalinan atau disproporsi sepalo pelvik (CPD ). JENIS PERSALINAN ABNORMAL : INDIKASI Fase Laten Memanjang Kala II rata-rata Kala II memanjang tanpa (dengan) anestesi epidural Protracted dilation Protracted descent Arrest of dilation* Arrest of descent* Kala II memanjang Nulipara > 20 jam 50 menit > 2 jam (>3 jam) <1.2cm / jam <1> <2> <2> > 30 menit Multipara > 14 jam 20 menit >1 jam (>2 jam) <1.5cm/jam> <2> <2> <1> >30 menit

Secara umum, persalinan abnormal adalah merupakan akibat dari beberapa faktor berikut: Power ( kontraksi uterus ) ; pada kala II, selain gangguan kontraksi uterus juga dapat disebabkan oleh gangguan kemampuan meneran. Passage ( jalan lahir ) , jalan lahir keras ( tulang panggul ) atau jalan lahir lunak ( organ sekitar jalan lahir ) Passanger ( janin ) , besar janin, letak, posisi dan presentasi janin.

PATOFISIOLOGI Fase laten memanjang dapat disebabkan akibat oversedasi atau menegakkan diagnosa inpartu terlampau dini dimana masih belum terdapat dilatasi dan pendataran servik. Diagnosa adanya hambatan atau berhentinya kemajuan persalinan pada fase aktif lebih mudah diotegakkan dan umumnya disebabkan oleh faktor 3 P. P yang pertama , komponen power , frekuensi kontraksi uterus mungkin memadai namun intensitas nya tidak memadai. Adanya gangguan hantaran saraf untuk terjadinya kontraksi uterus misalnya adanya jaringan parut pada bekas sectio caesar, miomektomi atau gangguan hantaran saraf lain dapat menyebabkan kontraksi uterus berlangsung secara tidak efektif. Apapun penyebabnya, gangguan ini akan menyebabkan kelainan kemajuan dilatasi dan pendataran sehingga keadaan ini seringkali disebut sebagai distosia fungsionalis. Kekuatan kontraksi uterus dapat diukur secara langsung dengan menggunakan kateter pengukur tekanan intrauterine dan kekuatan kontraksi uterus dinayatakan dalam nilai MONTEVIDEO UNIT. Nilai kekuatan kontraksi uterus yang adekwat adalah 200 MVU selama periode kontraksi 10 menit. Diagnosa arrest of dilatation hanya bisa ditegakkan bila persalinan sudah dalam fase aktif dan tidak terdapat kemajuan selama 2 jam serta berlangsung dengan kontraksi uterus yang adekwat ( > 200 MVU ). P yang kedua, adalah passage ( atau kapasitas panggul ) , kelainan pada kapasitas panggul (kelainan bentuk, luas pelvik ) dapat menyebabkan persalinan abnormal. Baik janin maupun kapasitas panggul dapat menyebabkan persalinan abnormal akibat adanya obstruksi mekanis sehingga seringkali dinamakan dengan distosia mekanis. Harus pula diingat bahwa selain tulang

panggul , organ sekitar jalan lahir dapat pula menyebabkan hambatan persalinan (soft tissue dystocia akibat vesica urinaria atau rectum yang penuh) P yang ketiga, adalah passanger (janin ) , kelainan besar dan bentuk janin serta kelainan letak, presentasi dan posisi janin dapat menyebabkan hambatan kemajuan persalinan.

a.Abnormalitas Persalinan Kala I Fase Laten Pemanjangan persalinan fase laten jarang sekali terjadi dan umumnya disebabkan oleh kesalahan dalam menegakkan diagnosa inpartu. Diagnosa pemanjangan fase laten ditegakkan bila pada nulipara batas 20 jam atau pada multipara batas 14 jam dilampaui. Etiologi : 1. Kontraksi uterus hipertonik 2. Pemberian sedatif yang terlampau dini dan berlebihan 3. Kontraksi uterus hipotonik Identifikasi keadaan etiologi pemanjangan fase laten umumnya tidak sulit dan dapat dilakukan dengan melakukan palpasi untuk menentukan kualitas kontraksi uterus. Outcome persalinan untuk ibu dan anak umumnya baik PENATALAKSANAAN : Tergantung pada etiologi Pemanjangan fase laten akibat pemberian sedasi atau analgesik yang berlebihan dan terlampau dini akan berakhir setelah efek obat mereda Kontraksi uterus hipertonik diatasi dengan istirahat dan diberikan terapi sedatif dan analgesic Kontraksi uterus hipotonik diatasi dengan akselerasi persalinan dengan infus oksitosin.

b.Abnormalitas Persalinan Kala I Fase Aktif Pada multipara, kecepatan dilatasi servik 1.5 cm / jam dan pada nulipara 1.2 cm / jam Etiologi :

CPD Kelainan letak / posisi Kontraksi uterus hipotonik

c.Abnormalitas Persalinan Kala II Kala II memakan waktu kurang dari 30 menit dan Berkaitan dengan mortalitas dan morbiditas janin tenaga kesehatan harus berhati-hati bila lebih dari satu jam, tetapi dapat sangat berbeda-beda pada nulipara dapat 50 menit dan 20 menit pada multipara. Dalam literature lain dinyatakan, Satu jam pada multipara dan dua jam pada nulipara. Rata rata lamanya kala II persalianan menurut ACOG yaitu 30 menit pada multipara dan satu jam pada primipara. Dari beberapa hasil penelitian tidak bermasalah berapa lamanya kala II persalinan sehingga lamanya kala II ini tidak dapat menjadi pertimbangan dalam melakukan intervensi selama kondisi ibu dan janin baik lamanya kala II ini dapat berlanjut hingga lebih dari satu jam. Pada seorang wanita dengan paritas lebih tinggi dengan perineum teregang dengan beberapa kali daya dorong mungkin dapat menyelesaikan persalinan. Sebaliknya, pada seorang wanita dengan panggul sempit atau janin besar, atau ada gangguan daya dorong kala II dapat menjadi abnormal lama. Lamanya kala II ini berkaitan dengan APGAR score yang lebih rendah pada menit pertama setelah kelahiran namun tidak berbeda pada manit ke lima dan sepuluh. Perbedaan nilai APGAR signifikan pada kala II lebih dari 4 jam, Sedangkan asidosis pada bayi tidak berhubungan dengan lamanya kala II. Sedangkan menurut feinstein dkk 2001, Kala II lama berkaitan dengan penurunan APGAR score pada menit pertama dan kelima tetapi tidak signifikan dengan peningkatan mortalitas perinatal. Kala II yang memanjang berkaitan dengan kerusakan muscular dan neuromuscular dasar panggul, incontinensia alvi, incontinensia urin, dan meningkatnya

risiko perdarahan post partum. Berdasarkan univariat analisis risiko tersebut timbul pada kala II lebih dari dua jam, dengan perdarahan rata-rata 500cc dan penurunan hemoglobin 1,8 g/dl serta meningkatkan risiko terjadinya atonia uteri. Episiotomi untuk mempercepat kala II tidak rutin dilakukan karena tidak mencegah terjadinya kerusakan m.sfingter ani justru menambah risiko terjadinya kerusakan tersebut,dari data yang didapat khususnya episiotomi mediana harus dihindari pada kala II memanjang karena dapat menambah kerusakan dasar panggul yang berat. Sebuah RCT di Canada menyatakan bahwa menghindari melakuakan episiotomi mengurangi trauma perineum dan episiotomi meningkatkan resiko inkontinensia fecal pada tiga dan enam bulan postpartum. Episiotomi mediana tidak efektif dalam perlindungan daerah perineum selama persalianan. Pada nuliparitas masase perineum beberapa minggu sebelum persalianan dapat mencegah trauma perineum. Dan tidak ada bukti yang menunjang dilakukan masase perineum pada kala II pesalinan. Ekstraksi Vakum dan persalianan spontan dapat mengurangi trauma sfingter ani di bandingkan dengan ekstraksi forsep. Dorongan pada fundus selama persalinan dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan uterus dan abdomen.serta dorongan yang terus menerus dapat menyebabkan penurunan oksigenisasi bagi bayi dan tidak mengurangi lamanya kala II persalinan. Melambatnya denyut jantung janin yang diinduksi kompresi kepala sering terjadi pada waktu kompresi dan upaya ibu untuk mendorong. Bila pemulihan denyut jantung cepat setelah kontraksi dan setelah upaya ekspulsi tersebut maka pesalinan dapat dilanjutkan. Tetapi tidak semua pelambatan denyut jantung janin tersebut didsebabkan oleh kompresi kepala. Daya yang kuat yang timbul didalam uterus waktu kontraksi dan daya mengejan ibu dapat menurunkan perfusi plasenta yang cukup besar. Turunnya janin melalui jalan lahir dan berkurangnya volume uterus sebagai akibatnya dapat mencetuskan derajat pelepasan plasenta prematur, sehingga kesejahteraan janin terancam. Turunnya janin lebih mungkin mengencangkan lilitan tali pusat disekeliling janin terutama dileher sehingga dapat menyumbat aliran darah umbilical. Mengejan yang berkepanjangan dan tidak henti-hentinya dapat membahayakan janin. Takikardi ibu, yang sering terjadi pada kala II jangan disalah artikan sebagai bunyi jantung janin yang normal.

Dua puluh RCT (Randomized Controlled Trial ) membandingkan monitoring bunyi jantung janin secara elektronik dan auskultasi, dilaporkan peningkatan section sesarea dan persalinan operatif pervaginam. Adanya monitoring secara elaktronik ini tidak menambah keuntungan bagi bayi.Pada salah satu penelitiannya didapat penurunan angka kejadian kejang pada neonatus dan fetal asidosis dengan menggunakan continous monitoring electronic namun tidak ada perbedaan hasil setelah satu tahun pemantauan perkembangan bayi. Kelahiran kepala dengan perasat Ritgen, pada waktu kepala meregangkan perineum dan vulva kontraksi cukup untuk membuka introitus vagina sekitar 5 cm, perlu memasang duk dengan satu tangan untuk melindungi introitus dari anus dan kemudian menekan ke depan pada dagu janin melalui perineum tepat didepan koksigis, sementara tangan lainnya memberi tekanan diatas pada oksiput. Setelah kepala dilahirkan, untuk mengurangi kemungkinan aspirasi debris cairan amnion dan darah yang mungkin terjadi setelah dada lahir dan bayi dapat menarik nafas, wajah cepat-cepat diusap dan nares serta mulut bayi diaspirasi. Selanjutnya jari hendaknya menuju leher untuk memastikan apakah ada lilitan tali pusat. Lilitan terjadi pada sekitar 25 % persen kasus, bila terdapat lilitan hendaknya ditarik diantara jari-jari dan kalau cukup longgar dilepaskan dari kepala bayi. Bila lilitan mencekik erat dileher sehingga susah dilepaskan dari kepala, hendaknya dipotong diantara dua klem dan bayi cepat dilahirkan. Setelah lahir bayi ditempatkan setinggi introitus vagina atau dibawahnya selama tiga menit dan sirkulasi fetoplasenta tidak segera disumbat dengan klem, kira kira 80 ml darah dapat berpindah dari plasenta ke janin. Satu keuntungan dari transfusi plasenta tersebut bahwa hemoglobin dari 80 ml darah plasenta memberikan 50 mg besi sebagai simpanan bayi untuk menghindari anemia defisiensi besi pada masa bayi. Lavase atau manual eksplorasi pada uterus setelah bayi lahir tidak dianjurkan karena dapat menimbulkan trauma servik dan uterus serta dapat menimbulkan infeksi.

d.Abnormalitas Persalinan Kala III Bila plasenta belum lepas setelah melakukan penatalaksanaan aktif perslinan kala III dalam waktu 15 menit, ulangi pemberian oksitosin 10 unit IM, periksa kandung kemih, lakukan kateterisasi bila penuh, kala III dilakukan terus hingga 15 menit berikutnya. Setelah lahirnya plasenta harus diperiksa kelengkapannya dan masase uterus dilakukan untuk merangsang kontraksi uterus serta periksa perineum dari perdarahan aktif. Pada prinsipnya pencegahan perdarahan post partum yaitu dengan meningkatkan kontraksi uterus dan mempercepat kala II persalinan ini. Tatalaksana kala III persalinan berbeda pada setiap center kesehatan, seperti di Eropa masih menggunakan "expectant management" yaitu menunggu terlepasnya plasenta dan membiarkan plasenta terlepas spontan. "Cochrane systematic review" menganalisa lima RCT ( Rendomized Controlled Trials ) untuk membandingkan akspectant management dan managemen aktif didapat bahwa " managemen aktif berkaitan dengan menurunnya risiko perdarahan postpartum lebih dari 500cc, menghindari kala III yang memanjang dan komplikasi serius lainnya, tetapi juga dikaitkan dengan efek samping penggunaan uterotonik " Penggunaan syntrometrin intamuskular sebagai uterotonik profolaksis rutin pada kala III mengurangi risiko perdarahan postpartum dibandingkan dengan oksitosin intramuskular.Namun risiko terjadinya perdarahan postpartum yang berat pada penggunaan oksitosin intramuskular tidak meningkat. Beberapa penelitian klinis menyarankan penggunaan misoprostol 400-600 mikrogram oral sama efektifnya dengan penggunaan oksitosin dan sintimetrin dan pada penelitian lain menemukan sama efektifnya dengan oksitosin namun berhubungan dengan peningkatan suhu dan mengigil. Sedangkan pada Penelitian multisenter RCT dari WHO didapat, Pada penggunaaan misoprostol (prostaglandin E1) untuk mencegah perdarahan postpartum secara oral maupun rectal kurang efektif dibandingkan injeksi oksitosin.Hal ini berkaitan dengan lamanya mencapai kadar puncak dalam plasma setelah pemberian oral maupun rectal sehingga tidak direkomendasikan digunakan secara rutin pada kala III.

You might also like