You are on page 1of 36

BAB I PENDAHULUAN

Sebagai penyakit, asma bronkial telah lama dikenal namun menjadi problem kesehatan masyarakat baru 35 tahun lalu. Dulu asma dianggap sebagai penyakit yang disebabkan oleh spasme otot polos, saat ini asma adalah suatu proses inflamasi komplek yang mengendalikan perubahan klinis dan fisiologi. Menurut The American Thoracic Society, asma bronchial adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon bronkus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari pengobatan. Sedangkan menurut NHLBI (Expert Panel Report 3: Guidelines for the Diagnosis and Management of Asthma 2007) asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran nafas dimana banyak sel yang berperan terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel. Pada individu yang rentan, proses inflamasi tersebut dapat menyebabkan wheezing berulang, sesak nafas, dada rasa penuh, dan batuk terutama malam dan atau menjelang pagi. Gejala tersebut terkait dengan hambatan aliran udara yang luas tetapi variabel yang sering reversibel spontan atau dengan pengobatan. Inflamasi juga menyebabkan peningkatan hiperesponsif saluran nafas terhadap berbagai stimuli. Reversibilitas hambatan aliran udara bisa inkomplit pada beberapa pasien asma.[1]

BAB II LAPORAN KASUS

Lembar 1 Seorang perempuan Nn. P 27 tahun, datang ke UGD RS Pertamina pagi dini hari dengan wajah pucat pasi mengeluh sesak nafas yang mulai timbul pukul 01.00 WIB, pasien terbangun tengah malam karena sesak, sudah berusaha memakai obat untuk mengurangi sesak tapi sesak tidak berkurang.

Lembar 2 Riwayat penyakit sekarang: Nn. P mulai merasakan sesak-sesak hilang timbul sepulang berlibur dari luar kota 2 hari sebelumnya, setelah itu badan mulai meriang, bersin-bersin, dan batuk-batuk serta pilek namun sesak hilang bila minum obat penghilang sesak. Semalam saat tertidur pukul 01.00 WIB pasien tiba-tiba terbangun karena sesak yang dirasakan makin memberat padahal sudah minum obat pengurang rasa sesak. Sesak disertai bunyi ngiik-ngiik. Pasien kemudian diantar kakaknya ke rumah sakit. Tidak ada batuk darah dan nyeri dada, pasien penyayang binatang dan memelihara kucing anggora. Memang sejak kecil sudah sering sesak-sesak, tetapi menjelang usia 12 tahun hilang sendiri. Tetapi sejak usia 19 tahun kambuh lagi. Sekarang yang dirasakan adalah kadangkadang timbul rasa jantung berdebar-debar terutama setelah minum obat/ menghirup obat sesak. Sesak sering kumat-kumatan, sesak timbul tersering kalau tercium bau obat nyamuk, tercium bau-bau aneh dan bergadang. Ia sudah berobat ke berbagai dokter maupun secara tradisionil, termasuk secara kebathinan, tetapi terasa semakin sering kambuh dan setiap kali semakin parah serangannya.

Riwayat penyakit dahulu:

Waktu kecil pasien sering mengi, bersin, batuk, dan timbul eksim di lipat siku kedua lengan.

Riwayat penyakit keluarga: Nenek penderita asma, Ayah sering bersin, Ibu gatal-gatal setelah makan ikan laut. Adik bungsunya mengalami gejala yang sama dengan pasien.

Lembar 3 Pemeriksaan fisik: Keadaan umum Kesadaran TD Nadi RR Suhu Mata Hidung : tampak sesak, gelisah, duduk membungkuk : compos mentis : 160/90, saat inspirasi 120/90 : 120x/ menit : 32x/ menit, ekspirasi memanjang : 38C : tidak pucat, tidak ikterik : obstruksi +/+, sekret +/+, sedikit nyeri tekan pada

os.zygomaticus (dextra>sinistra) Pharynx drip (+) Leher Thorax : KGB tidak membesar, kaku kuduk (-), JVP +1cm H2O : : dinding belakang tak rata/ kasar, agak hiperemis, post nasal

Inspeksi suprasternal

: simetris, tampak pengguanaan otot bantu nafas dan retraksi

Palpasi Perkusi

: vocal fremitus normal dextra/ sinistra : paru sonor

Batas jantung kiri : intercostalis V 1 jari medial midclavicularis; kanan : midsternal, atas intercostalis III kirir parasternal, batas paru hati: intercostalis VI, peranjakan normal, batas bawah paru belakang : kiri Th. X, kanan 1 jari lebih tinggi

Auskultasi gallop (-).

: suara nafas vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing ++/++

inspirasi dan ekspirasi. Bunyi jantung I-II normal, reguler, murmur (-),

Abdomen

: datar, supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), tumor (-),

hepar, lien, ginjal tidak teraba besar, shifting dullness (-), bising usus normal. Ekstremitas ada : edema (-), refleks fisiologis normal, refleks patologis tidak

Lembar 4 Pemeriksaan penunjang: Darah: Hb Ht Leukosit Hitung jenis Trombosit : 12 gr% : 46% : 12.000/L : 0/10/4/76/9/1 : 200.000/L

LED GDS Ureum Kreatinin SGOT SGPT

: 25 mm/jam : 150 mg% : 40 mg/dl : 1,2 mg/dl : 45 u/L : 40 u/L : arus puncak ekspirasi (APE) 58%

Spirometri Analisa gas darah: PH pCO2 pO2 BE HCO3 SpO2

: 7,20 : 59 : 66 : -2,5 : 28 : 88

EKG: Sinus rhythm, QRS rate 100x/ menit, normo axis, gel.P normal, PR interval 0.14, QRS duration 0.06, morfologi QRS normal. Perubahan segmen ST dan gelombang T (-).

Foto thoraks:

BAB III PEMBAHASAN KASUS

IDENTITAS PASIEN Nama Umur Alamat Jenis kelamin :p : 27 tahun :: Perempuan

MASALAH Keluhan utama yang membuat pasien ini datang ke RS adalah adanya sesak nafas yang mendadak pada dini hari, sehingga ia terbangun dari tidurnya, dan rasa sesak ini tidak hilang dengan obat pengurang rasa sesak. Didapatkan pula keterangan bahwa sesaknya ini mulai timbul sejak 2 hari sebelumnya, setelah berlibur dari keluar kota, namun pada saat ini sesak yang dirasakan semakin berat dan disertai bunyi ngiik-ngiik. Lalu, didapatkan pula riwayat sesak ini sudah terjadi sejak kecil, dan menghilang saat usia 12 tahun namun kambuh kembali saat usia 19 tahun. Rasa sesak ini muncul saat mencium bau-bauan seperti bau obat nyamuk dan bau-bau aneh. Selain itu, pada pasien ini juga didapatkan riwayat terjadinya alergi saat waktu kecil dan didukung pula adanya riwayat atopi pada keluarganya.

PATOFISIOLOGI SESAK Terjadinya sesak merupakan interaksi antara efferent (output motorik yang berasal dari otak) dan afferent (input sensorik menuju otak). Penyakit pada saluran pernapasan menyebabkan meningkatnya kerja otot pernapasan. Meningkatnya output neural dari motor korteks akan dikirim ke otot pernapasan untuk meningkatkan kerja dan ke korteks sensorik sehingga menyebabkan persepsi intensitas dan kualitas sesak. Hipoksemia, hiperkapnia, academia, dapat merangsang kemoreseptor yang berada di carotid dan medulla sehinga meningkatkan ventilasi. Mekanoreseptor di paru apabila terangsang oleh spasmus bronkus, akan menyebabkan rasa kencang pada dada. Perubahan dari tekanan arteri pulmonalis juga dapat menyebabkan meningkatnya ventilasi.
Pusat

Metaboreseptor yang terletak di ototpernapasan skelet, diduga teraktivasi apabila ada perubahan biokimia dari kontraksi otot saat olahraga sehingga menyebabkan ketidaknyamanan saat bernafas.[2]
kemoresept or mekanorese ptor metaboresep tor Korteks sensorik Feedback Feedforward Error signal Otot pernapasan Korteks motorik

Intensitas dan kualitas dispnea

HIPOTESIS Keluhan utama pda kasus adalah sesak nafas dini hari pada saat tidur yang sifatnya mendadak, akut, dan darurat. Keluhan tambahannya meskipun sudah minum obat tetap tidak berkurang. Keluhan awal akut mungkin disebabkan adanya gangguan fisiologis akut, seperti serangan asma akut, emboli paru, pnemotoraks atau infark miokard. Serangan berkepanjangan selama berjam-jam dan berhari-hari lebih sering disebabkan oleh eksaserbasi penyakit paru yang kronik atau pengembangan proses sedikit demi sedikit seperti pada efusi pleura atau gagal jantung kongestif. Gejala yang menyertai biasanya nyeri dada yang kemungkinan disebabkan oleh emboli paru, infark miokard, atau penyakit pleura. Jika ada batuk yang disertai sesak biasanya karena infeksi nafas atau proses radang kronik. Demam dan menggigil mendukung adanya infeksi. Jika ada hemoptisis bisa berarti adanya rupture kapiler/ vascular misalnya karena emboli paru, tumor, atau radang saluran nafas. Bisa juga karena terpajan dengan keadaan lingkungan atau obat tertentu. Alerghen seperti serbuk, jamur, atau zat kimia, atau bahan lain yang bisa merangsang reaksi hipersensitivitas pada pasien ini bisa menyebabkan sesak karena adanya bronkospasme. [3] Secara umum hipotesis penyebab terjadinya sesak dapat dibagi menjadi: [2][3] 1. Respiratorik
8

Sesak yang berasal dari sistem respiratorik dapat terjadi akibat adanya masalah pada pertukaran gas (parenkim), saluran pernapasan, dan sebab lain yang dapat memicu reseptor di paru sehingga menyebabkan sesak. Contoh penyakit sistem respiratorik yang dapat menyebabkan sesak ialah Pneumonia Infeksi pada parenkim paru menyebabkan gangguan pada pertukaran gas sehingga pernapasan terganggu dan terjadi sesak Asma bronkial Pada asma terjadi hiperresponsif dari saluran nafas seperti edema mukosa dan hipersekresi mukus. Hal ini menyebabkan obstruksi parsial atau total lumen saluran pernapasan sehingga oksigen yang masuk ke dalam paru berkurang dan terjadi sesak. Penyakit paru obstruktif kronis Pada penyakit paru obstruktif kronis terjadi proses inflamasi kronik irreversible yang menyebabkan obstruksi pada saluran nafas. Edema paru Edema pada jaringan interstitial paru dapat diakibatkan oleh perubahan tekanan hidrostatik ataupun onkotik pada kapiler darah di paru.

2. Kardiovaskular Sesak yang diakibatkan oleh sistem kardiovaskular dapat disebabkan oleh Disfungsi diastolik Disfungsi diastolic yang disebabkan hipertensi, stenosis aorta, atau hipertrofi ventrikel dapat menyebabkan sesak apabila dipicu oleh kerja fisik Penyakit jantung koroner atau iskemik miokard
9

Pada penyakit jantung koroner dimana terjadi penyempitan pembuluh darah yang mensuplai miokard sehingga terjadi iskemik, dapat menyebabkan sesak dan nyeri atau angina pektoris. Perikarditis konstriktif Terjadinya proses inflamasi pada perikardium akibat infeksi dapat menyebabkan sesak apabila dipicu oleh kerja fisik. Gagal jantung kongestif Pada penyakit gagal jantung kongestif, terjadi peningkatan tekanan arteri pulmonalis sehingga reseptor yang berada di paru terangsang dan menyebabkan sesak. pada pesien ini dimana pasien kemungkinan terbangun secara tiba-tiba karena sesaknya. Untuk mempersempit hipotesis dapat dilakukan anamnesis lebih lanjut.

ANAMNESIS Riwayat penyakit sekarang Sejak kapan mulai merasa sesak? Bagaimana deskripsi sesak apakah seperti tertindih beban atau tidak? Apakah sesak hilang timbul atau terus menerus? Apakah ada demam menggigil atau hanya demam biasa atau tidak? Apakah disertai batuk khususnya pada malam hari dan pilek? Apakah nafas disertai bunyi ngik ngik (mengi) ? Apakah ada nyeri otot, pusing, malaise, dan gejala estra pulmonal lain? Apakah ada nyeri dada yang tumpul ataupun tajam? Apakah sesak timbul setelah olahraga atau kerja fisik?
10

Apakah mudah lelah jika melakukan aktivitas sehari-hari? Apakah ada hal yang biasanya memicu sesak seperti debu atau bulu hewan dan lainlain? Riwayat penyakit dahulu Apakah ada riwayat atopi atau alergi saat kecil? Apakah pasien pernah didiagnosa asma? Apakah penderita sering timbul gatal-gatal atau eksim pada kulit? Berapa banyak bantal yang digunakan pasien saat tidur? Apakah ada riwayat hipertensi?

Riwayat Kebiasaan Bagaimana lingkungan pekerjaan pasien dan tempat tinggal pasien. Apakah banyak polusi atau tidak? Apakah pasien merokok? Bagaimana asupan sehari-hari?sering mengkonsumsi yang bergaram?

Riwayat Penyakit Keluarga Apakah ada keluarga yang menderita alergi?

Riwayat Medikamentosa Obat apakah yang dikonsumsi pasien untuk mengatasi sesak? Sudah berapa lama?apakah teratur?

Hasil anamnesis Riwayat penyakit sekarang:


11

Nn. P mulai merasakan sesak-sesak hilang timbul sepulang berlibur dari luar kota 2 hari sebelumnya, setelah itu badan mulai meriang, bersin-bersin, dan batuk-batuk serta pilek namun sesak hilang bila minum obat penghilang sesak. Semalam saat tertidur pukul 01.00 WIB pasien tiba-tiba terbangun karena sesak yang dirasakan makin memberat padahal sudah minum obat pengurang rasa sesak. Sesak disertai bunyi ngiik-ngiik. Pasien kemudian diantar kakaknya ke rumah sakit. Tidak ada batuk darah dan nyeri dada, pasien penyayang binatang dan memelihara kucing anggora. Memang sejak kecil sudah sering sesak-sesak, tetapi menjelang usia 12 tahun hilang sendiri. Tetapi sejak usia 19 tahun kambuh lagi. Sekarang yang dirasakan adalah kadangkadang timbul rasa jantung berdebar-debar terutama setelah minum obat/ menghirup obat sesak. Sesak sering kumat-kumatan, sesak timbul tersering kalau tercium bau obat nyamuk, tercium bau-bau aneh dan bergadang. Ia sudah berobat ke berbagai dokter maupun secara tradisionil, termasuk secara kebathinan, tetapi terasa semakin sering kambuh dan setiap kali semakin parah serangannya.

Riwayat penyakit dahulu: Waktu kecil pasien sering mengi, bersin, batuk, dan timbul eksim di lipat siku kedua lengan.

Riwayat penyakit keluarga: Nenek penderita asma, Ayah sering bersin, Ibu gatal-gatal setelah makan ikan laut. Adik bungsunya mengalami gejala yang sama dengan pasien. Kesimpulan: Ada riwayat atopi pada keluarga Pengobatan asma tidak terkontrol Tidak ada nyeri dadaasma kardiale dapat disingkirkan Ada riwayat asma pada pasien saat kecil
12

Terdapat banyak factor pencetus seperti hewan peliharaan, infeksi virus Kemungkinan obat yang dikonsumsi pasien adalah bronkodilator adrenergik, contohnya epinefrin yang efek sampingnya menimbulkan aritmia pada pasien

Tidak ada batuk darahpnemonia dapat disingkirkan

Dari hasil anamnesis yang kami lakukan, kami menegakkan hipotesis awal pada pasien ini adalah asma bronkiale.

PEMERIKSAAN FISIK Pemeriksaan fisik pasien dilakukan dengan menggunakan seluruh pancaindra dokter dan alat-alat sederhana seperti thermometer, tensimeter, dan stethoskop. Pemeriksaan fisik dilakukan secara berurutan yaitu inspeksi (memeriksa dengan melihat), palpasi (memeriksa dengan meraba), perkusi (memeriksa dengan mengetuk), dan auskultasi (memeriksa dengan mendengar melalui bantuan stethoskop). Oleh karena itu, pemeriksaan fisik harus dilakukan di tempat yang tidak bising, terang, dan menjamin privasi. Pemeriksaan fisik pasien harus dilakukan secara sistematis mulai dari kepala sampai ekstremitas bawah dan dilakukan secara teratur. Yang harus diperiksa yaitu keadaan umum, tanda vital, kulit, kelenjar getah bening, kepala, leher, thorax, abdomen, genitalia eksterna, anus dan rectum, serta ekstremitas atas dan bawah. Perlu diingat bahwa pemeriksaan fisik untuk diagnosis penyakit paru tidak terbatas pada pemeriksaan thorax saja, karena kelainan yang ditemukan pada organ-organ lain seringkali dapat membantu mengungkapkan diagnosis penyakit paru yang dihadapi ataupun diagnosis diferensialnya. Pada keadaan umum, hal pertama yang harus ditemukan adalah perihal kesadaran pasien, apakah baik atau terganggu. Dari segi paru, bila ditemukan gangguan kesadaran perlu diingat kemungkinan adanya hiperkapnia dan hipoksemia akut.

Keadaan umum

: Tampak sesak, gelisah, duduk membungkuk


13

Hal ini kemungkinan terjadi karena adanya kesulitan ekspirasi pada pasien. Kesadaran Tanda vital[4] Tekanan darah : 160/90, saat inspirasi: 120/90 Kategori tekanan darah normal Tekanan darah Sistolik < 120 120-139 : Compos mentis

Kategori Diastolik Normal Dan < 80 Prehipertensi Atau 80-89 Tekanan darah tinggi Hipertensi tingkat 1 140-159 Atau 90-99 Hipertensi tingkat 2 > 160 Atau > 100 Jika ada perbedaan grade antara sistolik dan diastolic, maka grade lebih tinggi yang dipakai.

Nadi Pernapasan Suhu

: 120 kali/menit : 32 kali/menit, ekspirasi memanjang : 38C

Tekanan darah tergolong dalam tekanan sistolik yang tinggi. Nadi pasien ialah takikardia dengan batas normal nadi 60-100 kali/menit, di mana takikardia merupakan kompensasi jantung ketika ada kelainan paru dan oksigen tidak terdistribusi dengan baik. Pernapasan pasien ialah takipnoe dengan batas normal 16-20 kali/menit, yang meningkat dikarenakan upaya tubuh untuk memperoleh oksigen lebih banyak. Suhu pasien ialah subfebris dikarenakan ia sebelumnya telah mengalami infeksi. Mata Hidung zygomaticus (dextra > sinistra) Menunjukkan adanya hipersekresi mukus pada saluran napas. Nyeri tekan zygomaticus menandakan adanya infeksi saluran napas yang sudah mencapai daerah sinus. Pharynx drip
14

: Tidak pucat, tidak ikterik : Obstruksi +/+, sekret +/+, sedikit nyeri tekan pada os

: Dinding belakang tak rata/ kasar, agak hiperemis, post nasal

(+) Menunjukkan adanya infeksi saluran pernapasan akut. Leher Toraks Inspeksi Palpasi Perkusi : Simetris, tampak penggunaan otot bantu napas dan retraksi suprasternal : Vocal fremitus normal dextra/sinistra : Paru sonor Batas jantung kiri: ICS V 1 jari medial midclavicularis Batas jantung kanan: Midsternal, atas ICS III kiri parasternal Batas paru hati: ICS VI, peranjakan normal Batas bawah paru belakang: Kiri Th X, kanan 1 jari > tinggi Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, ronki +/+, wheezing ++/++ inspirasi dan ekspirasi Bunyi jantung I-II normal, regular, murmur (-), gallop (-) Penggunaan otot bantu napas dikarenakan adanya ekspirasi memanjang dan sulitnya pasien melakukan ekspirasi, sehingga dia tak bisa bernapas seperti biasa. Ronki terdengar karena ada hipersekresi mukus dan mukus tersebut menyebabkan aliran udara kurang lancar, dan adanya wheezing merupakan akibat dari proses bronkokonstriksi dalam perjalanan penyakit pasien ini. Abdomen lien, ginjal tidak teraba besar, shifting dullness (-), bising usus normal Ekstremitas ada : Edema (-), refleks fisiologis normal, refleks patologis tidak : Datar, supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), tumor (-), hepar, : KGB tidak membesar, kaku kuduk (-), JVP +1 cm H2O

PEMERIKSAAN PENUNJANG Darah[5] Hasil Pemeriksaan Hb: 12,0 gr% Nilai Normal 12-16 Interpretasi Dbn
15

Ht: 46% Leukosit: 12000/Ul Basofil: 0 Eosinofil: 10 Netrofil batang: 4 Netrofil segmen: 76 Limfosit: 9 Monosit: 1

37-43 5000-10000 0-2 0-6 0-5 40-70 20-50 4-8

Meningkat Leukositosis karena adanya inflamasi dbn Meningkat pada reaksi alergi Menurun Meningkat karena terjadi inflamasi Menurun karena digunakan dalam inflamasi Menurun berdiferensiasi karena menjadi

Trombosit: 200000/Ul LED: 25 mm/jam GDS: 150 mg% Ureum: 40 mg/dl Kreatinin: 1,2 mg/dl SGOT: 45 u/L SGPT: 40 u/L

150000-450000 1-10 150 <40 <1,4 12-38 7-41

makrofag dbn Meningkat pada inflamasi dbn dbn dbn Meningkat, tidak spesifik hepar dbn

Menurut hasil pemeriksaan lab darah, didapatkan adanya hipereosinofilia yang merupakan tanda khas adanya proses alergi dalam tubuh pasien, hal ini mendukung hipotesis kami sebelumnya yaitu asma bronkiale. Asma bronkiale merupakan penyakit golongan hipersensitivitas tipe I yang melibatkan eosinofil dan IgE. Asma dapat diawali oleh infeksi pernapasan, seperti yang dialami pasien ini, sehingga didapatkan leukositosis dan peningkatan LED. Spirometri[6] Arus puncak ekspirasi (APE): 58% APE biasanya menurun pada penyakit paru obstruktif. Pada pasien ini, kadar APE telah mencapai di bawah 60% dan digolongkan sebagai asma berat. Hal ini menyebabkan terjadinya air trapping dan kapasitas paru berubah. Selain untuk menentukan derajat asma, APE juga digunakan untuk mengevaluasi keadaan pasien setelah diterapi. Jika setelah diterapi kadar APE meningkat lebih dari 15%, hal ini menunjukkan bahwa obstruksi napas pasien bersifat reversible dan merupakan tanda dari asma bronkiale.
16

Analisa Gas Darah Hasil Pemeriksaan pH: 7,20 pCO2: 59 Nilai Normal 7,4 0,02 40 2 Interpretasi Menurun, terjadi asidosis

respiratorik Meningkat, ada peningkatan kadar CO2 karena kesulitan ekspirasi Menurun, gangguan

pO2: 66

95 5

karena inspirasi

ada pula

BE: -2,5 HCO3: 28 SpO2: 88

0 2,5 24 + 2 97 2

karena proses air trapping dbn Meningkat, sebagai kompensasi asidosis Menurun

Dari hasil pemeriksaan AGD, didapatkan bahwa pasien mengalami asidosis respiratorik yang telah terkompensasi, dilihat dari kadar pCO2 dan HCO3. Adanya asidosis respiratorik juga mendukung diagnosis asma bronkiale, karena pada asma terjadi hipersekresi mukus dan bronkokonstriksi yang menyebabkan adanya air trapping, sehingga CO2 susah dibuang dan menumpuk kadarnya dalam darah. EKG Sinus rhythm, QRS rate 100 kali/menit, normo axis Gelombang P normal, PR interval 0,14, QRS duration 0,06, morfologi QRS normal Perubahan segmen ST dan gelombang T (-)

Dari hasil EKG dalam batas normal, oleh karena itu asma kardiale bisa disngkirkan Foto Toraks

17

Penilaian foto toraks: 1. Foto di atas kurang layak dibaca, dengan alasan tidak adanya identitas jelas yang tercantum pada foto, dan tidak ada keterangan foto di ambil dari arah mana. 2. Lapangan paru tampak hiperlucent, karena banyaknya udara yang terperangkap di dalam paru akibat proses air trapping. 3. Corakan bronkovaskular terlihat sedikit sekali, karena tertutup oleh gambaran hiperlucent. 4. Jarak sela iga melebar dikarenakan adanya kesulitan ekspirasi dan pasien terus menerus melakukan inspirasi, isi paru semakin penuh dan membesar. 5. Diafragma tampak mendatar (normal di costae VI) karena hampir mencapai sela iga VII, merupakan akibat dari proses air trapping dan pembesaran rongga paru. 6. Jantung terlihat tidak lagi menempel pada diafragma dan gambarannya menggantung (teardrop) karena diafragma yang mendatar dan jantung tertinggal. Seluruh penilaian foto toraks di atas mendukung diagnosis asma bronkiale. Diagnosis Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang berupa pemeriksaan darah lengkap dan radiologi, kami membuat diagnosis kerja pada pasien ini yaitu asma bronkiale. Hal tersebut didukung oleh hal-hal sebagai berikut.

Berdasarkan anamnesis, ditemukan: 1. Sesak hilang timbul setelah keluar kota.


18

2. Ada wheezing. 3. Pelihara hewan peliharaan. 4. Sesak sering kumat terutama setelah mencium bau-bauan. 5. Ada exzema yang menunjukkan riwayat dermatitis atopi. 6. Riwayat atopi pada keluarga.

Berdasarkan pemeriksaan fisik, ditemukan: 1. Penggunaan otot bantu napas dikarenakan adanya ekspirasi memanjang dan sulitnya pasien melakukan ekspirasi, sehingga dia tak bisa bernapas seperti biasa 2. Ronki terdengar karena ada hipersekresi mukus dan mukus tersebut menyebabkan aliran udara kurang lancar 3. Adanya wheezing merupakan akibat dari proses bronkokonstriksi dalam perjalanan penyakit pasien ini. Berdasarkan pemeriksaan penunjang, ditemukan: 1. Lapangan paru tampak hiperlucent, karena banyaknya udara yang terperangkap di dalam paru akibat proses air trapping. 2. Corakan bronkovaskular terlihat sedikit sekali, karena tertutup oleh gambaran hiperlucent. 3. Jarak sela iga melebar dikarenakan adanya kesulitan ekspirasi dan pasien terus menerus melakukan inspirasi, isi paru semakin penuh dan membesar. 4. Diafragma tampak mendatar (normal di costae VI) karena hampir mencapai sela iga VII, merupakan akibat dari proses air trapping dan pembesaran rongga paru. 5. Jantung terlihat tidak lagi menempel pada diafragma dan gambarannya menggantung (teardrop) karena diafragma yang mendatar dan jantung tertinggal. 6. EKG normal 7. Dari AGD terdapat asidosis respiratorik 8. Terdapat hipereosinofilia pada pemeriksaan darah

19

Patofisiologi Kasus (Hipersensitivitas) Adanya pajanan alergen pertama kali, akan merangsang sistem imun tubuh, sehingga terjadi ikatan antara APC dan alergen. Salah satu yang termasuk APC adalah makrofag, yang terangsang untuk memfagosit antigen yang masuk. Pada kasus, didapatkan hasil monosit yang menurun, kemungkinan dikarenakan monosit yang merupakan cikal bakal terjadinya makrofag banyak terpakai untuk mengatasi alergen yang masuk. Selanjutnya, ikatan alergen-APC tersebut akan dipresentasikan ke naive CD4+ T cell, yang selanjutnya sel T tersebut akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel Th2. Kemudian, sel Th2 akan menghasilkan IL-4 yang akan mempengaruhi sel B untuk melakukan IgM isotype switching menjadi IgE. Pada kasus juga didapatkan hasil limfosit yang menurun, kemungkinan dikarenakan banyaknya limfosit T dan limfosit B yang terpakai untuk mengatasi alergen ini. Selanjutnya, IgE akan merangsang degranulasi sel mast, sehingga terjadi ikatan TgE fcRI di sel mast, maka terjadilah proses sensitisasi. Lalu, pada kasus didapatkan adanya faktor pencetus yaitu adanya ISPA, rhinitis, sinusitis, bulu hewan peliharaan, dan bau-bauan yang menyebabkan teraktivasinya sel mast. Kemudian sel mast akan bergranulasi dan menyebabkan eksositosis granula yang mengeluarkan vasoaktif amin (histamin) dan protease. Histamin tersebut akan menyebabkan dilatasi vaskular dan kontraksi otot polos bronkus (bronkokonstriksi), sehingga menyebabkan timbulnya gejala oedem mukosa dan sesak nafas. Selain itu, sel mast yang teraktivasi juga akan menyebabkan metabolisme asam arachidonat yang akan mensekresikan mediator lipid. Lalu, mediator lipid ini akan menghasilkan protaglandin yang menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan leukotriens yang menyebabkan kontraksi otot polos. Sel mast yang teraktivasi juga akan menghasilkan sitokin seperti TNF yang menyebabkan terjadinya inflamasi, sehingga leukosit di darah meningkat. Lalu, dikarenakan sel neutrofil segmen banyak di perifer dan sudah dalam keadaan mature, maka akibat adanya inflamasi ini ditemukan segmen yang meningkat di darah. Lalu, sel TH2 juga akan terangsang untuk menghasilkan IL-5 yang akan menghasilkan eosinofil, sehingga ditemukan eosinofilia. Selain itu, TH2 juga akan mengeluarkan IL-13 di sel epitel saluran nafas yang akan menstimulasi pengeluaran mukus, sehingga menyebabkan lumen bronkus akan semakin sempit dan terjadilah wheezing serta ekspirasi memanjang.
20

Selain itu, akibat adanya inflamasi, aliran darah juga akan meningkat sehingga pada foto rontgen didapatkan gambaran corakan bronchovaskular yang meningkat. Stimulasi pengeluaran mukus juga akan menyebabkan terjadinya air trapping sehingga kapasitas residu fungsional meningkat dan didapatkan adanya otot bantu nafas. Adanya oedem mukosa, kontraksi otot polos, serta sekresi mukus menyebabkat peningkatan resistensi pernafasan sehingga terjadi gangguan ventilasi (hipoventilasi), kerja nafas yang meningkat (RR meningkat), dan saat ekspirasi memerlukan peningkatan tekanan. Hipoventilasi dapat terlihat dari hasil pCO2 yang menurun, yang akan menyebabkan hipoksia (pO2 menurun dan spO2 menurun), sehingga akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah paru yang nantinya bisa menyebabkan hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan. Lalu, kerja nafas yang meningkat akan menyebabkan terjadinya dispnea atau sesak. Adanya peningkatan tekanan ekspirasi akan menyebabkan penekanan pada bronkus sehingga ekspirasi menjadi lebih sulit dan menyebabkan pengembangan paru menjadi berlebihan dimana hal ini terlihat dari hasil rontgen dengan gambaran yang emfisema. Kerja nafas yang meningkat juga akan menyebabkan alir balik vena meningkat, sehingga volume sekuncup meningkat dan cardiac output juga meningkat sehingga terjadi kenaikan tekanan darah. Selain itu, pengeluaran histamin juga akan merangsang kontrol intrinsik secara berlebih, sehingga jari-jari arteriol membesar dan terjai peningkatan resistensi perifer total yang akan mengakibatkan peningkatan tekanan darah pula.[7]

PENATALAKSANAAN Berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, serta nilai APE yang kurang dari 60%, maka kelompok kami menyimpulkan bahwa pasien masuk pada serangan asma berat. Penanganan pasien ini dibagi atas dua, yaitu: Medika Mentosa 1. Jangka Pendek

21

a. Agonis 2. Agonis 2 berperan sebagai bronkodilator, menghambat vpelepasan substansi bronkokonstriksi sel mast, stimulasi adenilsiklase dan sintesis cAMP di jaringan saluran napas, meningkatkan transport mukosilier, serta menghambat kebocoran mikrovaskuler. Pemberian agonis 2 dapat diberikan secara inhalasi nebulasi atau secara intravena. b. Kortosteroid. Kortikosteroid berperan sebagai anti inflamasi dan bukan bronkodilator. Kerja steroid dalam pengobatan awal ini dapat menghambat cytokine inflamasi serta menghambat hiperreaktivitas saluran napas. Pemberian steroid ini dilakukan secara intravena. c. Pemerian O2 sebanyak 1-3 L/menit. d. Setelah terapi awal, dilakukan evaluasi terapi. Apabila pasien berespon baik(APE >70%, SpO2 >90%), maka pasien dipulangkan. Apabila pasien memberikan respon tidak lengkap (APE 50-70%, SpO 2 tetap), maka pasien sebaiknya dirawat. Apabila pasien memberikan respon yang buruk (APE <30%, PCO2 >45%, PO2 <60%) , mak.a pasien sebaiknya dirawat di ruang ICU 2. Jangka Panjang a. Agonis 2. Agonis 2 dalam terapi jangka panjang diberikan secara inhalasi. b. Kortosteroid. Kortikosteroid dalam terapi jangka panjang diberikan secara inhalasi. Non- Medika Mentosa 1. Edukasi a. Menghindari allergen pencetus asma. b. Pemantauan ventilasi yang baik. 2. Tes sensitisasi

22

KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien ini menurut kelompok kami antara lain : 1. Hipoksia 2. Infeksi saluran pernapasan bawah 3. Emfisema 4. Pneumothorax 5. Status asmatikus

PROGNOSIS Ad vitam : ad bonam

Ad fungsionam : ad bonam Ad sanasionam : dubia ad bonam

BAB IV
23

KESIMPULAN Dari pemeriksaan yang telah kami lakukan, semuanya menguatkan hipotesis kami yaitu asma bronkiale. Penderita asma ini tidak bisa sembuh dan dalam kasus ini ditunjang adanya riwayat asma pada saat kecil. Dan terjadi pada dini hari karena pada jam-jam tersebut, siklus hormone steroid tubuh dalam kadar yang terendah sehingga mudah terjadi eksaserbasi.

BAB V TINJAUAN PUSTAKA


24

ASTHMA I.Definisi Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbasan aliran udara yang reversible dan gejala pernapasan. II.Etiologi Akhir-akhir ini makin banyak terungkap perihal faktor-faktor yang dapat mencetuskan serangan asthma. Disamping itu diketahui bahwa pada penderita asthma didapatkan suatu peningkatan kerentanan terhadap berbagai faktor pencetus. Kombinasi antara faktor pencetus dan kerentanan akan menimbulkan obstruksi bronkeolus karena kontraksi otot polos, edema mukosa dan hipersekresi yang menghasilkan lendir dalam saluran pernapasan yang kental, lengket dan `ulet (tenacious) sehingga akan menutupi lumen saluran pernapasan. akibat akhir napas yang akan disertai suara napas tambahan ngiik-ngiik (wheezing). Yang dimaksud dengan faktor penyebab yang dapat menimbulkan asthma adalah bahan-bahan ataupun keadaan-keadaan tertentu yang secara langsung dapat menyebabkan seseorang menderita penyakit asthma. Kadang-kadang faktor ini dapat berdiri sendiri, artinya menjadi penyebab tunggal (single causative agent), misalnya beberapa alergen yang ditemukan dalam udara. Kadang-kadang bahan ataupun keadaan tertentu ini hanya merupakan landasan untuk memungkinkan terjadinya penyakit asthma, misalnya semua keadaan yang yang akan mampu menimbulkan inflamasi saluran pernapasan. Faktor pencetus adalah suatu bahan ataupun keadaan tertentu yang akan dapat menimbulkan serangan asthma, tanpa yang bersangkutan betul-betul menderita penyakit tersebut, dengan lain perkataan serangan asthma memang ada, tetapi penderita saat itu belum menderita penyakit ini dan dengan meniadakan faktor pencetus ini, maka serangan juga akan hilang sendiri, dan tak akan timbul lagi selama penderita menghindarinya selalu. contoh yang khas adalah pemakaian obat hipertensi golongan beta blocker yang tidak kardioselektif pada mereka yang rentan terhadap penyakit asthma.

25

Akhir-akhir ini makin banyak diketahui hal-hal baru yang tadinya sama sekali tak terduga, tetapi karena bagaimanapun juga apa yang dahulu telah diketahui tentang patogenesis asthma (pandangan klasik), sampai sekarang juga masih relevan, maka pembahasan akan dimulai dengan pandangan klasik terlebih dahulu, yaitu alergen sebagai penyebab dan pencetus asthma. Beberapa alergen yang dikenal dapat menimbulkan serangan asthma antara lain: Didapatkan dari udara -Debu rumah tangga dan kutu rumah (dermatophagoides pteronysimus) Sejak penelitian VOORHORST (1967), Yang dikutip ROOSENBOOM (1979), kutu rumah dan debu rumah ternyata adalah identik dan merupakan alergen rumah tangga yang utama. Belakangan diketahui bahwa sebenarnya debu rumah mengandung banyak sekali faeces dermatophagoides dalam bentuk pelet dan inilah alergen yang sebenarnya (CHAPEL & HAENEY,1993). Yang dikenal jahat sekali adalah debu yang berasal dari karpet dan jok kursi (terutama yang berbulu tebal dari karpet lama yang tak dibersihkan), juga dari tumpukan koran-koran/buku-buku/pakaian lama.

-Spora-spora jamur Semakin lembab suatu kamar/rumah, maka semakin banyak spora jamur (Aspergillus) yang berada dalam udara setempat dan dengan demikian dapat merupakan faktor alergen.

Didapatkan dalam makanan/minuman (food allergens) Walaupun tak terlalu sering dapat mencetuskan serangan asthma, tetapi beberapa penderita mengeluh bahwa makanan-makanan dan minuman-minuman tertentu bagi mereka betul-betul merupakan faktor pencetus. dalam konteks ini dapat dikemukakan berbagai makanan dari serta laut (berbagai beberapa ikan,udang,kerang),kacangbuah-buahan yaitu kacangan,telur,susu,

tomat,strawberry,mangga,durian,dan sebagainya.
26

Ada zat-zat lain yang bukan alergen yang dapat pula menyebabkan terjadinya sekresi mediator sekunder, dengan akibat timbulnya serangan asthma. Pada umumnya faktor-faktor ini hanyalah bersifat sebagai faktor pencetus saja. Zat-zat yang dimaksud antara lain adalah: Golongan obat-obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) Zat-zat golongan obat-obat anti-inflamasi nonsteroid (NSAID) ini dipakai secara luas sebagai obat untuk meredam rasa nyeri serta demi efek anti-inflamasinya, seperti asetosal,indometasin,asam mefenamat dan sebagainya, juga lain-lain molekul yang mirip seperti tetrasin (pewarna kuning untuk bahan makanan) serta beberapa preservatif (bahan pengawet makanan). Semua zat-zat ini akan menghambat sintesa PG secara umum, tetapi rupanya lebih kuat terhadap PGE1 dan PGE2 sehingga efek PGD2 dan PGF2- sekarang akan menjadi lebih dominan. Golongan obat-obat penyekat beta atau beta blocker Bila seseorang penderita asthma memakai obat-obat penyekat beta, maka tentunya efek adrenalin akan dihambat, termasuk dalam hal ini efek dilatasi bronkiolus, sehingga dengan demikian efek mekanisme-mekanisme lain yang mempunyai efek konstriksi bronkiolus sekarang akan lebih dominan, dan penderita akan mendapatkan serangan asthma, tanpa diperlukan adanya degranulasi sel mast. efek yang tak dikehendaki ini akan menjadi semakin jelas pada pemakaian obat-obat penyekat beta yang non kardioselektif, seperti propanolol,nadolol,oxprenolol,pindolol dan sebagainya. Faktor keturunan Sejak lama telah diketahui bahwa ada predisposisi untuk mendapatkan penyakit asthma walaupun tidak mutlak. Kalau kedua orang tua mempunyai riwayat alergi, hampir 50% dari anak-anaknya mempunyai kecenderungan alergi pula (dalam hal ini asthma). Kalau hanya satu orang tua saja, kecenderungan ini hanya sekitar 35%. Sebaliknya sekitar 15% anak-anak orang yang orang tua nya sama sekali tidak mempunyai riwayat alergi masih dapat juga terserang. Sampai sekarang mekanisme faktor keturunan ini belum jelas (ROITT,1984).
27

III.Patofisiologi Triger (pemicu) yang berbeda-beda dapat menyebabkan ekserbasi asma oleh karena inflamasi saluran napas atau bronkhospasme akut atau keduanya. Sesuatu yang dapat memicu serangan asthma ini sangat bervariasi antara satu individu dengan individu yang lain dan dari satu waktu ke waktu yang lain. Beberapa hal diantaranya adalah allergen,polusi udara,infeksi saluran napas,kecapaian,perubahan cuaca,makanan,obat atau ekspresi emosi yang berlebihan. Faktor lain yang kemungkinan dapat menyebabkan ekserbasi ini adalah rinitis,sinusitis bakterial,poliposis,menstruasi,refluks gastro esofagal dan kehamilan. Mekanisme keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini bervariasi sesuai dengan rangsangan. Allergen akan memicu terjadinya bronkokonstriksi akibat dari pelepasan Ig-E dependent dari sel mast saluran pernapasan dari mediator,termasuk diantaranya histamin,prostaglandin,leukotrin sehingga akan terjadi kontraksi otot polos. Keterbatasan aliran udara yang bersifat akut ini kemungkinan juga terjadi oleh karena saluran pernapasan pada pasien asma sangat hiper responsif terhadap bermacam-macam jenis rangsangan. Pada kasus asma akut mekanisme yang menyebabkan bronkokonstriksi terdiri dari kombinasi antara pelepasan mediator sel inflamasi dan rangsangan yang bersifat lokal atau refleks saraf pusat. Akibatnya keterbatasan aliran udara timbul oleh karena adanya pembengkakan dinding saluran napas dengan atau tanpa kontraksi otot polos. peningkatan permeabilitas dan kebocoran mikrovaskuler berperan terhadap penebalan dan pembengkaan pada sisi luar otot polos saluran pernapasan. Penyempitan saluran pernapasan yang bersifat progresif yang disebabkan oleh inflamasi saluran pernapasan dan atau peningkatan tonus otot polos bronkioler merupakan gejala serangan asthma akut dan berperan terhadap peningkatan resistensi aliran,hiperinflasi pulmoner dan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi (V/Q). Apabila tidak dilakukan koreksi terhadap obstruksi saluran pernapasan ini, akan terjadi gagal napas yang merupakan konsekuensi dari peningkatan kerja pernapasan,inefisiensi pertukaran gas dan kelelahan otot-otot pernapasan. Interaksi kardiopulmoner dan sistem kerja paru sehubungan dengan obstruksi saluran napas. Obstruksi aliran udara merupakan gangguan fisiologis terpenting pada asma akut. gangguan ini akan menghambat aliran udara selama inspirasi dan ekspirasi dan dapat dinilai dengan tes fungsi paru yang sederhana Peak Expiratory Flow Rate (PEFR) dan FEV
28

(Force Expiration Volume). Ketika terjadi obstruksi aliran udara saat ekspirasi yang relatif cukup berat akan menyebabkan pertukaran aliran udara yang kecil untuk mencegah kembalinya tekanan alveolar terhadap tekanan atmosfer maka akan terjadi hiperinflasi dinamik. Besarnya hiperinflasi dapat dinilai dengan derajat penurunan kapasitas cadangan fungsional dan volume cadangan. Fenomena ini dapat pula terlihat pada foto thoraks yang memperlihatkan gambaran volume paru yang membesar dan diafragma yang mendatar. Hiperinflasi dinamik terutama berhubangan dengan peningkatan aktivitas otot pernapasan, mungkin sangat berpengaruh terhadap tampilan kardiovaskuler. Hiperinflasi paru akan meningkatan after load pada ventrikel kanan oleh karena peningkatan efek kompresi langsung terhadap pembuluh darah paru.

Pertukaran Gas Hipoksemia tingkat ringan-sedang, hipokapnea dalam jangka lama dan alkalosis respiratorik merupakan hal yang umum dijumpai pada pemeriksaan analisa gas darah (AGD) pada pasien dengan serangan asma akut berat. Jika obstruksi aliran udara sangat berat dan tak berkurang, mungkin akan berkembang cepat hiperkapnea dan asidosis metabolik. Awalnya akan timbul kelelehan otot dan ketidakmampuan untuk mempertahankan ventilasi alveolar secara adekuat. Akhirnya akan terjadi produksi laktat. Ketika pasien asimptomatis FEV1 cenderung menjadi sekurang-kurangnya 40-50% dari prediksi. Ketika tanda-tanda fisik menghilang, FEV 1 berkisar antara 60-70% dari prediksi atau lebih tinggi lagi. Karena fungsi paru dan AGD menilai dua perbedaan mekanisme patofisiologis, sehingga tidak aneh bahwa hubungan antara FEV 1 dan PaCO2 atau PaO2 sangat lemah. Kombinasi antara hiperkapnea akut dan tingginya tekanan intratorakal pada pasien dengan asthma akut berat akan menyebabkan tekanan intrakranial yang bermakna. DIAGNOSIS Diagnosis asthma akut merupakan kegawatdaruratan medis yang harus segera didiagnosis dan diobati. Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Riwayat Penyakit
29

Tujuannya untuk menentukkan waktu saat timbulnya serangan

dan beratnya

gejala,terutama untuk membandingkan dengan eksaserbasi sebelumnya,semua obat yang digunakan selama ini,riwayat di RS sebelumnya,kunjungan kegawatdarurat,riwayat episode gagal napas sebelumnya (intubasi,penggunaan ventilator) dan gangguan psikiatrik atau psikologis. Tidak ada riwayat asma sebelumnya terutama pada psien dewasa, harus dipikirkan diagnosis banding lainnya seperti gagal jantung kongestif, PPOK dan lainnya. Pemeriksaan Fisis Perhatian terutama ditujukan kepada keadaan umum pasien. Pasien dengan kondisi sangat berat akan duduk tegak. Penggunan otot-otot tambahan untuk membantu bernapas juga harus menjadi perhatian, sebagai indikator adanya obstruksi yang berat. Adanya retraksi otot sternokleidomastoideus dan supra sternal menunjukkan adanya kelemahan fungsi paru. Frekuensi pernapasan Respiratory Rate (RR) > 30X/menit, takikardi > 120X/menit atau Pulsus paradoxus > 12 mmHg merupakan tanda vital adanya serangan asthma akut berat. Lebih dari 50% pasien dengan asthma akut berat, frekwensi jantungnya berkisar antara 90-120 X/menit. Umumnya keberhasilan pengobatan terhadap obstruksi saluran pernapasan dihubungkan dengan penurunan frekwensi denyut jantung, meskipun beberapa pasien tetap mengalami takikardi oleh karena efek bronkotropik dari bronkodilator. Pulse oximetry Pengukuran saturasi oksigen dengan pulse oximetry (SpO2) perlu dilakukan pada seluruh pasien dengan asthma akut untuk mengeksklusi hipoksemia. Pengukuran SpO 2 diindikasikan saat kemungkinan pasien jatuh ke dalam gagal napas dan kemudian memerlukan penatalaksanaan yang lebih intensif. Target pengobatan ditentukan agar pengobatan SpO2 > 90% tetap terjaga. Analisa Gas Darah Keputusan untuk dilakukan pemeriksaan AGD jarang diperlukan pada awal penatalaksanaan. Karena ketepatan dan penggunaan pulse oximetry, hanya pasien dengan terapi oksigenasi yang SpO2 tak membaik sampai > 90%, perlu dilakukan pemeriksaan AGD. Meskipun sudah diberikan terapi oksigen tetapi oksigenasi tetap tidak adekuat perlu dipikirkan kondisi lain yang memperberat seperti adanya pneumoni.
30

Foto Thoraks Foto thoraks hanya dilakukan hanya pada pasien dengan tanda dan gejala adanya pneumothoraks (nyeri dada pleuritik, emfisema sub kutis,intabilitas kardiovaskular atau suara napas yang asimetris), pada pasien yang secara klinis dicurigai adanya pneumoni atau pasien asma yang setelah 6-12 jam dilakukan pengobatan secara intensif tetapi tidak respons terhadap terapi. Monitor Irama Jantung Elektrokardiografi tidak diperlukan secara rutin, tetapi monitor secara terus menerus sangat tepat dilakukan pada pasien lansia dan pada pasien yang selain menderita asthma juga menderita penyakit jantung. Irama jantung yang biasanya ditemukan adalah sinus takikardi dan supra ventrikular takikardi. Jika gangguan irama jantung ini hanya disebabkan oleh penyakit asthmanya saja, diharapkan gangguan irama tadi akan segera kembali ke irama normal dalam hitungan jam setelah ada respons trapi terhadap penyakit asthmanya. Respons terhadap terapi Pengukuran terhadap perubahan PEFR atau FEV 1 yang dilakukan setiap saat mungkin merupakan salah satu cara terbaik untuk menilai pasien asthma akut dan untuk memperkirakan pasien apakah pasien perlu dirawat atau tidak. Respons terhadap terapi di awal di IGD merupakan prediktor terbaik tentang perlu tidaknya pasien dirawat , bila dibandingkan dengan tampilan beratnya eksaserbasi. Respon awal terhadap pengobatan (PEFR atau FEV1 pada 30 pertama), merupakan prediktor terpenting terhadap hasil terapi. Variasi nilai PEFR di atas 50 L/menit dan PEF > 40 % normal yang diukur 30 menit setelah dimulainya pengobatan, merupakan prediktor yang baik bagi hasil akhir pengobatan yang baik pula. Penatalaksanaan Target pengobatan asthma meliputi beberapa hal, diantaranya adalah menjaga saturasi oksigen arteri tetap adekuat dengan oksigenasi,membebaskan obstruksi saluran pernapasan dengan pemberian bronkodilator inhalasi kerja cepat (2-Agonis dan antikolinergik) dan mengurangi inflamasi saluran pernapasan serta mencegah kekambuhan dengan pemberian kortikosteroid sistemik yang lebih awal.
31

Oksigen Karena kondisi hipoksemia dihasilkan oleh ketidakseimbangan V/Q, hal ini biasanya dapat terkoreksi dengan pemberian oksigen 1-3 L/menit dengan kanul nasal atau masker. Meskipun demikian, pengggunaan oksigen dengan aliran cepat tidak membahayakan dan direkomendasikan pada semua pasien dengan asthma akut. Target pemberian oksigen ini adalah dapat mempertahankan SpO2 pada kisaran 92%. 2-Agonis Inhalasi 2-agonis kerja pendek merupakan obat pilihan untuk pengobatan asthma akut. onset aksi obat tadi cepat dan efek sampingnya bisa ditoleransi. Salbutamol merupakan obat yang banyak dipakai di instalasi gawat darurat (IGD). Onset aksi obat ini sekitar 5 menit dengan lama aksi 6 jam. Onat lain yang juga sering digunakan adalah metaproterenol,terbutalin dan fenoterol. Obat dengan aksi kerja panjang tidak direkomendasikan, untuk pengobatan kegawatdaruratan. Levarbuterol mempunyai efikasi yang lebih baik dan efek toksik yang minimal bila dibandingkan dengan albuterol recemik. Pemberian epinefrin sub kutan jarang dilakukan oleh karena memicu timbulnya efek samping pada jantung. Obat ini hanya berfungsi sebagai cadangan saat pasien tidak mendapatkan keuntungan dengan pemakaian inhalasi. Efek samping pemakaian selektif 2-agonis diperantai melalui reseptor pada otot polos vaskular (takikardi dan takiaritmia),otot rangka (tremor,hipokalemi oleh karena masuknya kalium ke dalam sel otot) dan keterlibatan sel dalam metabolisme lipid dan karbohidrat (peningkatan kadar asam lemak besar dalam darah, insulin,glukosa dan piruvat). Stimulasi 2-adenoreseptor juga berperan terhadap patogenesis asidosis laktat selama serangan asthma akut berat, terutama pada pasien yang mendapatkan 2-agonis secara intravena. Antikolinergik Penggunaan antikolinergik berdasarkan asumsi terdapatnya peningkatan tonus vagal saluran pernapasan pada paien asthma akut, tetapi efeknya tidak sebaik 2-agonis. Penggunaan ipratropium bromida (IB) secara inhalasi digunakan sebagai bronkodilator awal pada pasien asthma akut. Kombinasi pemberian IB dan 2-agonis diindikasikan sebagai terapi pertama pada pasien dewasa dengan eksaserbasi asthma berat. Dosis 4 X
32

semprot (80 mg) tiap 10 menit dengan MDI atau 500 mg setiap 20 menit dengan nebulizer akan lebih efektif. Kortikosteroid Pemberian kortikosteroid secara sistemik harus diberikan pada penatalaksanaan kecuali kalau derajat eksaserbasinya ringan. Agen ini tidak bersifat bronkodilator tetapi secara ekstrem sangat efektif dalam menurunkan inflamasi pada saluran napas. Pemberian hidrokortison 800 mg atau 160 mg metilprednisolon dalam 4 dosis terbagi dalam setiap harinya, umumnya sudah memberikan efek yang adekuat pada kebanyakan pasien. Teofilin Penggunaan teofilin sebagai obat monoterapi, efektivitasnya tidak sebaik obat golongan 2-agonis. Pemberian aminophilin dikombinasi dengan 2-agonis per inhalasi, tidak memberikan efek samping seperti tremor,mual,cemas dan takiaritmia. Berdasarkan beberapa hasil penelitian akhirnya dibuat kesepakatan dan keputusan untuk tidak merekomendasikan pemberian teofilin secara rutin untuk pengobatan asthma akut. Obat ini boleh digunakan hanya jika pasien tidak respon dengan terapi standar. Pada kasus ini pemberian loading dose 6 mg/kg dan diberikan falam waktu > 30 menit dilanjutkan secara per infus dengan dosis 0.5 mg/kg BB/jam. Kadar teofolin dalam darah yang direkomendasikan berkisar antara 8-12 mg/ml. Antagonis Leukotrin Ada beberapa penelitian yang dilakukan untuk menguji efektivitas penggunaan obat ini. Pada satu penelitian, pemberian dua macam obat zafirlukast secara oral (20 mg dan 160 mg) pada pasien asthma akut yang datang ke IGD, memperlihatkan adanya perbaikan fungsi paru dan skor sesak napasnya menjadi berkurang. Pada pasien asthma akut refrakter yang sudah mendapatkan terapi 2-agonis, pemberian montelukast secara intravena akan meningkatkan FEV1 secara cepat, meskipun perubahannya hanya sedikit bila dibandingkan dengan plasebo. Komplikasi Deformitas Toraks

33

Bila serangan sesak sambung menyambung, maka dada penderita anak akan dapat mengambil bentuk seperti dada burung dara (Pigeon Chest), dan pada dada penderita dewasa rongga dada akan membentuk seperti tong (Barrel Chest). Untung sekali deformitas ini reversible, yaitu bila penderita tak lagi sering mendapat serangan sesak, maka dada penderita akan kembali normal. Bronkitis Kronis Kembali karena adanya hipersekresi maka kemungkinan sekali bronkitis kronis secara sekunder besar sekali pada penderita asthma, sehingga akhirnya sulit sekali untuk membedakan kedua penyakit ini pada orang yang sudah berusia lanjut. Emfisema paru dan cor pulmonale Dengan mekanisme yang sama seperti diatas, lama kelamaan beberapa alveolus akan membesar dan septum interalveoler akan pecah dan dengan demikian akan terbentuk suatu rongga (acinus), demikian pula beberapa acinus akan menjadi satu rongga pula, sehingga akhirnya akan timbul suatu emfisema paru dengan akibat-akibat sekunder seperti cor pulmonale,pneumothoraks dan sebagainya. Pnemothoraks Mengingat bahwa inspirasi selalu masih saja dapat dilakukan, padahal ekspirasi sudah susah dilakukan, karena sudah ada timbunan udara dalam paru (air-trapping), maka makin sering seseorang mendapatkan serangan sesak, serta semakin parah sesaknya, pada suatu saat tekanan udara intrapulmonal akan begitu meningkat sehingga terjadilah ruptura pleura visceralis yang merupakan dinding alveolus atau acinus. Dengan lain perkataan terjadilah pneumothoraks.

Prognosis Saat ini telah diketahui bahwa penderita asthma yang mulai mendapat serangan sesak semasa kanak-kanak mempunyai prognosis yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita yang mulai mendapat serangan sesak pada usia setengah umur.

34

Penderita astma yang disertai dengan rhinitis allergica dan/atau eczema mempunyai prognosis yang kalah baik dibandingkan dengan penderita yang hanya menderita asthma saja. Juga dapat dimengerti bahwa bila faktor-faktor pencetus tetap mengancam seseorang penderita asthma, maka prognosisnya akan sangat jelek, karena bukan saja serangan asthmanya akan semakin sering, tetapi juga akan semakin berat. Keadaan ini akan semakin diperberat dengan makin besarnya kemungkinan timbulnya efek samping obat-obat yang dipakai mengingat dosisnya selalu akan memerlukan ekskalasi agar khasiatnya masih dapat terasa. Dengan telah diketahuinya patogenesis asthma dan dengan penanganan yang tepat, sebetulnya saat ini seorang penderita asthma sudah akan dapat dihindarkan dari serangan sesak untuk jangka waktu yang lama (bahkan kadang-kadang dapat selamanya), dengan catatan bahwa harus ada kerjasama yang erat antara penderita tersebut dengan dokter yang menanganinya. Namun harus selalu diingat bahwa predisposisi seseorang tak dapat dihilangkan begitu saja, sehingga seseoeang eks penderita asthma, walaupun sudah bebas serangan bertahun-tahun, tetapi kalau terpapar terus menerus dengan faktor-faktor pencetusnya, maka akan dapat timbul serangan baru setiap saat.

35

BAB VI DAFTAR PUSTAKA

1. Maranatha D. Asma bronkial. In: Wibisono MJ, Winariani, and Hariadi S, editors. Buku ajar ilmu penyakit paru 2010. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo; 2010. p. 55. 2. Schwartzstein RM. Dyspnea and pulmonary edema. Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, et al, editors. In: Harrisons principles of internal medicine. 17th ed. US: McGrawHill; 2008. p. 221-23. 3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi A, K Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
4. NHLBI. Categories for Blood Pressure Level in Normal Blood. [cited 2011 April

3]. Available: http://www.nhlbi.nih.gov/hbp/detect/categ.htm 5. Priyana A. Patologi Klinik. Jakarta; Penerbit universitas trisakti. 2007. 6. Sherwood L. Fisiologi manusia dari sel ke sistem. 2nd ed. Jakarta: EGC; 2001. p. 256-287. 7. Helbert M. Flesh and Bones of Immunology. Spain: Mosby; 2006.

36

You might also like