You are on page 1of 10

Sesuai Undang-undang No 5 Tahun 1999 menjelaskan bahwa tugas dan wewenang Komisi Pengawas Persaingan Usaha adalah sebagai

berikut:

Wewenang: 1. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 2. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat 3. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh Komisi sebagai hasil penelitiannya; 4. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 5. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; 6. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang dianggap mengetahuipelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini; 7. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi; 8. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini; 9. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan; 10. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak pelaku usaha lain atau masyarakat; 11. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat; 12. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.

Secara garis besar PERMA Nomor 01 Tahun 2003 tersebut berisi sebagai berikut:

1. Keberatan atas Putusan KPPU hanya diajukan melalui Pengadilan Negeri. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa upaya keberatan atas Putusan KPPU menjadi kompetensi Pengadilan Negeri. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 44 ayat (2) UU No.5 Tahun 1999. 2. KPPU merupakan pihak. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa di dalam proses upaya keberatan di lembaga peradilan, KPPU dijadikan pihak yang berperkara sehingga kedudukannya dianggap sejajar dengan pihak Terlapor. 3. Putusan KPPU bukan merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) menurut UU Nomor 5 Tahun 1986. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa Putusan KPPU bukanlah obyek perkara Tata Usaha Negara (TUN) sehingga tidak dapat diperkarakan di Peradilan Tata Usaha Negara. 4. Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan dan KPPU. Ketentuan tersebut menegaskan mengenai jangka waktu pengajuan keberatan oleh Terlapor yang sebenarnya telah ditentukan secara tegas dalam Pasal 44 ayat (2) UU No.5 Tahun 1999. 5. Dalam hal keberatan diajukan oleh lebih dari 1 (satu) pelaku usaha untuk putusan yang sama tetapi berbeda tempat kedudukan hukumnya, KPPU dapat mengajukan permohonan tertulis kepada MA untuk menunjuk salah satu PN memeriksa keberatan tersebut dan jangka waktu pemeriksaannya dihitung sejak Majelis Hakim menerima berkas perkara yang dikirim oleh PN lain yang tidak ditunjuk oleh MA. Ketentuan tersebut menegaskan mengenai pengadilan yang berwenang memeriksa perkara keberatan yang diajukan apabila terdapat beberapa Terlapor dengan kedudukan hukum yang berbeda. 6. KPPU wajib menyerahkan Putusan dan berkas perkaranya ke PN yang memeriksa. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa apabila terdapat upaya keberatan atas Putusan KPPU maka KPPU harus menyerahkan Putusan dan berkas perkaranya ke PN yang memeriksa. 7. Pemeriksaan keberatan dilakukan hanya atas dasar Putusan dan berkas perkara. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa lingkup pemeriksaan atas upaya keberatan hanya pada Putusan KPPU dan berkas perkaranya. 8. Adanya mekanisme pemeriksaan tambahan yaitu pemeriksaan yang dilakukan KPPU sehubungan dengan perintah Majelis Hakim yang menangani keberatan apabila Majelis Hakim menganggap perlu.

9. Pengajuan penetapan eksekusi untuk perkara yang diajukan keberatan dilakukan melalui Pengadilan Negeri yang memutuskan perkara tersebut, sedangkan atas perkara yang tidak dilakukan melalui proses keberatan maka diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kedudukan hukum pelaku usaha (Terlapor). berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 3 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan Terhadap Putusan KPPU, hanya Terlapor. Guna melengkapi kajian yuridis terhadap kasus yang terjadi di lapangan, ditinjau pula peraturan pelaksanaan yang lain di bidang hukum persaingan, antara lain adalah Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha, serta Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di Komisi Pengawas Persaingan Usaha terhadap dugaan pelanggaran Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999.

Contoh Kasus: 1. Putusan Perkara No. 01/KPPU-L/2000 Tender Pengadaan Casing dan Tubing PT. Caltex: Pada tanggal 20 April 2001, KPPU mengeluarkan putusan suatu perkara untuk pertama kalinya. Putusan tersebut mengenai terjadinya pelanggaran yang dilakukan dalam proses tender untuk pengadaan casing dan tubing di PT. Caltex Pacific Indonesia (PT. CPI). Perkara dimulai ketika PT. CPI melakukan diskriminasi kepada peserta tender sebagai akibat adanya perubahan persyaratan tender yang diberlakukan oleh PT. CPI dan persekongkolan antara sesama peserta tender untuk menentukan pemenang tender. Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Majelis Komisi, maka Majelis Komisi menetapkan bahwa pelanggaran yang dilakukan oleh PT. CPI adalah melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999 mengenai persekongkolan dalam menentukan pemenang tender. Pada tanggal 20 April 2001 diambil putusan terhadap perkara tersebut melalui Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2000 dan dibacakan di muka umum. Putusan yang diambil oleh KPPU adalah: a. Menyatakan pengadaan Casing dan Tubing yang dilakukan oleh PT. Caltex Pacific Indonesia terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang No. 5/1999, karena penentuan pemenang tender dihasilkan melalui persekongkolan antar sesama peserta tender.

b. Memerintahkan kepada PT. Caltex Pacific Indonesia untuk menghentikan kegiatan pengadaan Casing dan Tubing berdasarkan tender No. Q-034210-0000-0000-52 selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak PT. CPI menerima pemberitahuan putusan. Sebagai lanjutan terhadap putusan KPPU, PT. CPI menyatakan menerima putusan dan akan melaksanakan putusan tersebut, yang dilaksanakan melalui surat pemberitahuan dari PT. CPI kepada KPPU. Untuk memonitor putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2000 tersebut, KPPU telah membentuk Tim Monitoring Putusan KPPU No. 01/KPPU-L/2000. PT. Caltex Pacific Indonesia yang menerima putusan KPPU dan tidak mengajukan keberatan kemudian melakukan tender ulang untuk memenuhi putusan KPPU tersebut.

2. Putusan Perkara No. 07/KPPU-L-I/2001 Tender Pengadaan Bakalan Sapi: Sebuah organisasi pengusaha di Jawa Timur yang ikut menjadi peserta Tender Pengadaan Sapi Bakalan Impor dari Australia dalam Proyek Pembangunan dan Pembinaan Petemakan di Kabupaten/Kota se-Jawa Timur Tahun Anggaran 2000 Dinas Peternakan Jawa Timur. Terlapor adalah Koperasi Pribumi Jawa Timur (KOPI Jatim). Dari pemeriksaan terungkap bahwa telah terjadi persekongkolan dan atau kerjasama antara Terlapor dengan Panitia Pelelangan dan atau pihak yang berhubungan dengan Panitia Pelelangan. Persekongkolan dan atau kerjasama tersebut terjadi dalam mengatur, menentukan, dan mengarahkan proses lelang untuk kepentingan Terlapor melalui perlakuan eksklusif (khusus) dan keringanan persyaratan pelelangan terhadap Terlapor yang berbeda dengan peserta lelang yang lain. 3. Putusan Perkara No. 02/KPPU-L/2006 Penunjukan Langsung Logo Baru Pertamina: Adanya pelanggaran berkaitan dengan proyek penunjukan langsung terhadap perubahan logo PT PERTAMINA (Persero). Inti laporan tersebut yaitu bahwa PT PERTAMINA

(Persero) telah melakukan pelanggaran ketentuan yang berlaku dalam melakukan perubahan logonya dengan menunjuk langsung LANDOR tanpa melalui proses tender sehingga mendiskriminasikan pelaku usaha lain. Kebijakan PT PERTAMINA (Persero) dalam proyek perubahan logo diduga telah mengakibatkan kerugian bagi Negara. 4. Putusan Perkara No. 44/KPPU-L/2008 Pakaian Dinas Kabupaten Karanganyar: Dugaan pelanggaran pada perkara ini terjadi dalam tender pengadaan pakaian dinas harian Sekretariat Daerah Kabupaten Karanganyar tahun anggaran 2007. Berdasarkan hasil

pemeriksaan, maka pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran dan ditetapkan sebagai Terlapor adalah sebagai berikut : 1. CV. Sejati (Terlapor I) 2. CV. Sinar Baru (Terlapor II) 3. Panitia Pengadaan Barang/Jasa Sekretariat Daerah Kabupaten Karanganyar Tahun 2007 (Terlapor III) Sesuai tugas Komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 35 huruf e UU No. 5/1999, maka Majelis Komisi dalam putusannya merekomendasikan kepada Komisi untuk meminta kepada atasan langsung Panitia untuk menjatuhkan sanksi administratif kepada Terlapor III sesuai dengan peraturan dan atau ketentuan yang berlaku. Terlapor I, Terlapor II, Terlapor III, terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 5. Putusan Perkara No. 05/KPPU-L/2004 Tender Jasa Pengamanan Perkara ini diawali dari laporan ke KPPU yang menyatakan bahwa terdapat dugaan terjadi persekongkolan antara PT. Thames Pam Jaya (TPJ) dengan PT. Interteknis Surya Terang (IST) dalam tender security services yang diselenggarakan oleh TPJ. Atas laporan tersebut, KPPU menindaklanjutinya dengan membentuk Tim Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan. Dalam perkara ini, PT. Thames Pam Jaya (TPJ) ditetapkan sebagai Terlapor I dan PT. Interteknis Surya Terang (IST) ditetapkan sebagai Terlapor II. Berdasarkan temuan-temuan selama pemeriksaan perkara, Majelis Komisi menilai bahwa tidak ada keseriusan dari TPJ untuk menyelenggarakan tender security service tersebut. TPJ dan IST telah melakukan persekongkolan untuk memenangkan IST dalam tender ini. Akhirnya, berdasarkan bukti-bukti yang telah dihasilkan dari pemeriksaan dan penyelidikan atas perkara ini, Majelis Komisi memutuskan TPJ dan IST terbukti melanggar Pasal 22 UU no. 5/1999. 6. Putusan Perkara No. 07/KPPU-L/2005 Tender Jasa Outsourcing Bank BTN Syariah: Perkara ini berawal dari laporan yang diterima oleh Komisi tanggal 18 Februari 2005 tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap Pasal 22 UU No. 5/1999 berkaitan dengan Tender PJOTIB BTN Syariah yang dilakukan oleh PT. Bank Tabungan Negara (Persero) dan PT. Sigma Cipta Caraka.

Berdasarkan fakta serta kesimpulan yang diperoleh dalam proses pemeriksaan, serta dengan mengingat ketentuan Pasal 43 ayat (3) UU No. 5/1999, pada tanggal 24 Oktober 2005 Majelis Komisi memutuskan bahwa Terlapor I PT. Bank Tabungan Negara (Persero) dan Terlapor II PT. Sigma Cipta Caraka secara sah dan meyakinkan tidak melanggar ketentuan Pasal 22 UndangUndang No. 5/1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 7. Putusan Perkara No. 20/KPPU-L/2007 Pengadaan Alat Kesehatan RSUD Brebes: Perkara yang bermula dari adanya laporan ini berkaitan dengan Tender Pengadaan Alat Kesehatan RSUD Brebes Tahun Anggaran 2006. Bahwa adanya Persekongkolan Horizontal (antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya) dan Vertikal (antara pelaku usaha dengan panitia tender atau panitia lelang), melanggar Pasal 22 Undang-undang Nomor 5 tahun 1999 tentang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 8. Pengadaan Alat Kesehatan dan Perbekalan dalam rangka wabah flu burung tahun 2006-2007 di Kemenkes: Pelanggaran hukum itu karena PT Rajawali sebagai pemenang tender, telah mensubkontrakkan proyek ke PT Prasasti Mitra milik Bambang Rudijanto Tanoesoedibjo yang merupakan kakak kandung dari bos Media Nusantara Citra (MNC) Hary Tanoesoedibjo.

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Kegiatan Persekongkolan dalam Tender yang mengakibatkan persaingan usaha yang tidak sehat merupakan salah satu hal yang dilarang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Persekongkolan tersebut terjadi bilamana ada kerjasama antara dua orang atau lebih dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu. Pasal 22 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyatakan bahwa Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang usaha tidak sehat. tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan

Sumber: 1. Katalog Putusan KPPU Periode 2000 September 2009. http://www.kppu.go.id/docs/buku/katalog_putusan2009.pdf 2. Undang-undang No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. http://prokum.esdm.go.id/uu/1999/uu-5-1999.pdf

Rekomendasi: 1. Apa yang harus dihindari dan lakukan oleh PT. agar terhindar dari dugaan melakukan persaingan usaha yang tidak sehat KPPU dalam mengadakan Tender ?? Menghindari Persekongkolan Persekongkolan adalah kerjasama antara pelaku usaha dengan pihak lain, atas inisiatif siapapun dan dengan cara apapun dalam upaya memenangkan peserta tender tertentu. Dalam konteks pengadaan barang/jasa pemerintah, pelaku usaha adalah peserta pelelangan atau peserta seleksi atau peserta pemilihan langsung atau penyedia barang/jasa yang diundang dalam penunjukan langsung dan pengadaan langsung. Persekongkolan bisa terjadi diantara pelaku usaha atau antara satu/beberapa pelaku usaha dengan para pihak dalam Pengadaan Barang/Jasa.

Dalam panduan yang diterbitkan oleh KPPU, unsur persekongkolan terdiri dari: a. Kerjasama antara dua pihak atau lebih; b. Secara terang-terangan maupun diam-diam melakukan tindakan penyesuaian dokumen dengan peserta lain; c. Membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan; d. Menciptakan persaingan semu; e. Menyetujui dan/atau memfasilitasi terjadinya persekongkolan; f. Tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu.

Memperhatikan unsur persekongkolan yang sangat luas tersebut, maka menghindari persekongkolan perlu peran aktif pelaku usaha untuk menghindari hal-hal yang merupakan indikasi adanya persekongkolan. Indikasi adanya persekongkolan bisa terjadi dalam seluruh rangkaian pengadaan mulai dari tahap perencanaan sampai penetapan pemenang. Contoh Kasusnya: 1. Putusan Perkara No. 01/KPPU-L/2000 Tender Pengadaan Casing dan Tubing PT. Caltex 2. Putusan Perkara No. 07/KPPU-L-I/2001 Tender Pengadaan Bakalan Sapi 3. Putusan Perkara No. 02/KPPU-L/2006 Penunjukan Langsung Logo Baru Pertamina Menghindari pertentangan kepentingan Menghindari pertentangan kepentingan merupakan salah satu etika pengadaan yang diatur dalam pasal 6 huruf e. Pada penjelasan pasal 6 huruf e dinyatakan bahwa untuk menghindari pertentangan kepentingan, maka para pihak dilarang memiliki peran ganda atau terafiliasi. a. Yang dimaksud dengan peran ganda misalnya : 1. Dalam suatu Badan Usaha, seorang anggota Dewan Direksi atau Dewan Komisaris merangkap sebagai anggota Dewan Direksi atau Dewan Komisaris pada Badan Usaha lainnya yang menjadi peserta pada pelelangan/seleksi yang sama. 2. Dalam pekerjaan konstruksi, konsultan perencana bertindak sebagai pelaksana pekerjaan atau konsultan pengawas pekerjaan yang direncanakannya, kecual idalam pelaksanaan Kontrak Terima Jadi (turn key contract) dan Kontrak Pengadaan Pekerjaan Terintegrasi. 3. Pengurus koperasi pegawai dalam suatu K/L/D/I atau anak perusahaan pada BUMN/BUMD yang mengikuti Pengadaan dan bersaing dengan perusahaan lainnya, merangkap sebagai anggota ULP/Pejabat Pengadaan atau pejabat yang berwenang menentukan pemenang Pelelangan/Seleksi. b. Yang dimaksud dengan afiliasi adalah keterkaitan hubungan, baik antar Penyedia Barang/Jasa, maupun antara Penyedia Barang/Jasa dengan PPK dan atau anggota ULP/Pejabat Pengadaan, antara lain meliputi :

1. Hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai dengan derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal. 2. PK/Pejabat Pengadaan baik langsung maupun tidak langsung mengendalikan atau menjalankan perusahaan Penyedia Barang/Jasa. 3. Hubungan antara 2 (dua) perusahaan yang dikendalikan langsung maupun tidak langsung oleh pihak yang sama yaitu lebih dari 50% (lima puluh perseratus) pemegang saham dan/atau salah satu pengurusnya sama. Contoh Kasusnya: 1. Putusan Perkara No. 20/KPPU-L/2007 Pengadaan Alat Kesehatan RSUD Brebes 2. Putusan Perkara No. 13/KPPU-L/2008 Tender Gedung Politeknik Medan

2.Peraturan-peraturan yang mengatur tentang Sub-Kontrak Pasal 87 ayat 3 (perpres no. 70 2012): Penyedia Barang/Jasa dilarang mengalihkan pelaksanaan pekerjaan utama berdasarkan Kontrak, dengan melakukan subkontrak kepada pihak lain, kecuali sebagian pekerjaan utama kepada penyedia Barang/Jasa spesialis. Pasal 104 ayat 1 (perpres no. 70 2012): Perusahaan asing dapat ikut serta dalam Pengadaan Barang/Jasa dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dengan nilai diatas Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah); b. untuk Pengadaan Barang/Jasa Lainnya dengan nilai diatas Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah); dan c. untuk Pengadaan Jasa Konsultansi dengan nilai diatas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 104 ayat 2 (perpres no. 70 2012): Perusahaan asing yang melaksanakan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat [1], harus melakukan kerja sama usaha dengan perusahaan nasional dalam bentuk kemitraan, sub-Kontrak

dan lain-lain, dalam hal terdapat perusahaan nasional yang memilki kemampuan dibidang yang bersangkutan.

You might also like