You are on page 1of 51

Sejarah dan Pengertian Kota Perkotaan berasal dari kata kota yang berarti pusat permukiman dan kegiatan

penduduk yang bercirikan oleh batasan administratif yang diatur dalam peraturan perundangan serta didominasi oleh kegiatan produktif bukan pertanian, kota juga dapat dikatakan sebagai leburan dari bangunan dan penduduk (Spiro Kostof:1991.) Perkotaan dapat diartikan sebagai suatu permukiman bukan pedesaan yang berperan di dalam suatu wilayah pengembang dan atau wilayah nasional sebagai simpul jasa, menurut pengamatan tertentu. Kota (city) adalah permukiman, berpenduduk relatif besar, luas areal terbatas, pada umumnya bersifat non agraris, kepadatan penduduk relatif tinggi; tempat sekelompok orang-orang dalam jumlah tertentu dan bertempat tinggal bersama dalam suatu wilayah geografis tertentu , cenderung berpola hubungan rasional, ekonomis dan individualistis. Beberapa Pengertia Kota: 1. Kota merupakan suatu wilayah yang sebagian besar arealnya merupakan hasil budaya manusia, tempat pemusatan penduduk yang tinggi, dan sumber mata pencarian di luar sektor pertanian. Dan disamping itu kota juga dicirikan oleh adanya prasarana perkotaan, seperti bangunan pemerintahan, rumah sakit, sekolah, pasar, taman dan alun-alun yang luas serta jalan aspal yang lebar. 2. Mayer melihat kota sebagai tepat bermukim penduduknya : baginya yang penting dengan sendirinya bukan rumah tinggal, jalan raya, rumah ibadat, kantor, kanal dan sebagainya, melainkan penghuni yang menciptakan segalanya itu. 3. Max Weber memandang suatu tempat itu kota, jika penghuninya sebagian besar telah mampu memenuhi kebutuhannya lewat pasar setempat. 4. Haris dan Ullman melihat kota sebagai pusat untuk permukiman dan pemanfaatan bumi oleh manusia. 5. Prof. Drs. R. Bintarto Kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistik. 6. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri RI No. 4 tahun 1980 menyebutkan bahwa pengertian kota terdiri dari 2 macam yaitu: a. Kota sebagai suatu wadah yang memiliki batasan administratif sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.

b. Kota sebagai suatu lingkungan kehidupan perkotaan yang mempunyai ciri non agraris, misalnya ibu kota kabupaten, ibu kota kecamatan, serta berfungsi sebagai pusat pertumbuhan dan permukiman.

Ciri-ciri kota : 1. Kota merupakan tempat bermukim, tempat bekerja, tempat kegiatan ekonomi, pusat pemerintahan, dan pusat kegiatan lain yang telah mengalami banyak kemajuan pembangunan fisik. 2. Kota yang telah berkembang maju mempunyai peranan yang lebih besar, antara lain: sebagai pusat permukiman penduduk (tempat tinggal), pusat perputaran modal dan keuangan, pusat kegiatan transportasi, pusat kegiatan konsumsi dan produksi, pusat kegiatan pemasaran dan perdagangan, pusat perindustrian, pusat kegiatan sosial budaya, pusat kegiatan kesenian, dan pusat pendidikan. 3. Pusat fasilitas-fasilitas masyarakat yang lain seperti kesehatan, lembaga-lembaga sosial dan keahlian, kegiatan politik, dan administrasi pemerintahan juga berada di kota. Masyarakat kota lebih mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan sosial yang disebabkan oleh adanya pengaruh keterbukaan dari daerah luar. 4. Masyarakat kota lebih bersifat individual, dimana kepentingan individu lebih menonjol, jika dibandingkan dengan sikap solidaritas dan gotong royong. Setiap kota memiliki dinamika pertumbuhan masing-masing. Ada kota yang lambat berkembang, tetapi ada pula yang sangat pesat perkembangannya. Hal ini karena kota dipengaruhi oleh lokasi dan keadaan morfologi dan bentuk lahannya. 5. Pusat-pusat kegiatan di kota sering mengalami perubahan daya tarik. Keramaian yang ada di kota tergantung pada beberapa faktor yaitu: a. Kemampuan daya tarik dari bangunan dan gedung-gedung sebagai tempat menyalurkan kebutuhan hidup sehari-hari b. Tingkat kemakmuran warga kota yang dilihat dari daya belinya c. Tingkat pendidikan dan kebudayaan yang cukup baik d. Sarana dan prasarana dalam kota yang memadai e. Pemerintahan dan warga kota yang dinamis.

Pada mulanya, kota merupakan konsentrasi rumah tangga di pinggir-pinggir sungai yang diorganisasi mengelilingi penguasa atau biasanya pemimpin agama atau pendeta gereja yang kemudian diteruskan oleh kelompok pendeta yang menyelenggarakan

pengendalian yang sistimatis dan kontinyu terhadap panen, tenaga kerja dan lain-lain. Masih dapat juga ditelusuri bahwa kota modern di barat pada abad pertengahan dan bahkan sebelum revolusi industri umumnya masih tergantung dari sistem pertanian yang notebene belum memakai alat mesin disamping beberapa kota yang sekaligus memang menjadi pusat perdagangan Nasional dan Internasional. Keadaan tersebut menjadi sebab kota berkembang sangat terbatas dan bila kota bertumbuh di luar batas kemampuan suplai hasil pertanian (makanan) dari hinterland (daerah sekitarnya) maka kota tersebut akan mengalami kesulitan makanan ; dan untuk mempertahankan eksistensi pertumbuhan tersebut sering diperlakukan penaklukan daerah sekeliling atau daerah lain demi memperbesar suplai bahan makanan. Keadaan inilah yang sering dilakukan oleh penguasa kota di Romawi dan Yunani dahulu. Setelah revolusi industri, kota di barat berkembang dengan sangat pesat dan merupakan asal-usul urbanisasi yang paling berarti. Penduduk kota bertambah dengan drastis dan penduduk desa, terutama yang dekat kota berkurang. Sebelum revolusi industri, pertumbuhan dan perkembangan kota lambat dan bahkan konstan. Setelah revolusi industri pertambahan penduduk bagaikan meledak hingga untuk pertama kalinya kota-kota di barat melebihi kemampuan kota yang real, yaitu mulai dari penyediaan perumahan yang layak, sarana pendidikan, lapangan kerja dan tempat rekreasi dan lain-lain. Dari peninjauan sejarah perkembangan dan pertumbuhan kota secara spesifik diperoleh gambaran mengenai hal-hal yang menyangkut : proses perkembangan dan pertumbuhan kota, faktor-faktor penggerak perkembangan dan pertumbuhan kota, dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipakai didalam usaha pengarahan dan penyusunan arah dan besarnya perkembangan dan pertumbuhan kota. Studi sejarah perkembangan dan pertumbuhan kota yang spesifik ini jelas akan merupakan bagian yang penting didalam penentuan kebijaksanaan dan pertimbangan didalam perencanaan untuk perkembangan kota tersebut dimasa mendatang. Dari sejarah mengenai perkembangan dan pertumbuhan kota dapat dianalisa apakah pola kecendrungan perkembangan dan pertumbuhan yang berlaku sekarang itu mempunyai nilai yang negatif ataukah positip untuk perkembangan kota selanjutnya. Apabila sifat dari pola dan kecenderungan perkembangan dan pertumbuhan kota itu negatif maka didalam kebijaksanaan perencanaannya perlu pengarahan kearah lain sedemikian rupa sehingga perkembangan dan pertumbuhannya dapat diarahkan kepada usaha-usaha perbaikan. Perkembangan kota secara umum menurut Branch (1995) sangat dipengaruhi oleh stuasi dan kondisi internal yang menjadi unsur terpenting dalam perencanaan kota secara

komprehensif. Namun beberapa unsur eksternal yang menonjol juga dapat mempengaruhi perkembangan kota. Beberapa faktor internal yang mempengaruhi perkembangan kota adalah: a. Keadaan geografis mempengaruhi fungsi dan bentuk fisik kota. Kota yang berfungsi sebagai simpul distribusi, misalnya perlu terletak di simpul jalur transportasi, dipertemuan jalur transportasi regional atau dekat pelabuhan laut. Kota pantai, misalnya akan cenederung berbentuk setengah lingkaran, dengan pusat lingkaran adalah

pelabuhan laut. b. Tapak (Site) merupakan faktor-faktor ke dua yang mempengaruhi perkembangan suatu kota. Salah satu yang di pertimbangkan dalam kondisi tapak adalah topografi. Kota yang berlokasi didataran yang rata akan mudah berkembang kesemua arah, sedangkan yang berlokasi dipegunungan biasanya mempunyai kendala topografi. Kondisi tapak lainnya berkaitan dengan kondisi geologi. Daerah patahan geologis biasanya dihindari oleh perkembangan kota. c. Fungsi kota juga merupakan faktor yang mempengaruhi perkembangan kota-kota yang memiliki banyak fungsi, biasanya secara ekonomi akan lebih kuat dan akan berkembang lebih pesat dari pada kota berfungsi tunggal, misalnya kota pertambangan, kota yang berfungsi sebagai pusat perdagangan, biasanya juga berkembang lebih pesat dari pada kota berfungsi lainnya; d. Sejarah dan kebudayaan juga mempengaruhi karekteristik fisik dan sifat masyarakat kota. Kota yang sejarahnya direncanakan sebagai ibu kota kerajaan akan berbeda dengan perkembangan kota yang sejak awalnya tumbuh secara organisasi. Kepercayaan dan kultur masyarakat juga mempengaruhi daya perkembangan kota. Terdapat tempat-tempat tertentu yang karena kepercayaan dihindari untuk perkembangan tertentu. e. Unsur-unsur umum seperti misalnya jaringan jalan, penyediaan air bersih berkaitan dengan kebutuhan masyarakat luas, ketersediaan unsur-unsur umum akan menarik kota kearah tertentu.

Struktur ruang kota 1. Teori Konsentris dari Ernest W. Burgess (1929), bahwa wilayah kota dibagi enam zona, yaitu : a. Zona Pusat Wilayah Kegiatan (Central Bussines Districts), didalamnya terdapat pusat pertokoan besar, gedung perkantoran yang bertingkat, bank, hotel, restoran, dan sebagainya.

b. Zona Peralihan atau zona transisi, zone peralihan merupakan konsentrasi penduduk miskin. Sering ditemui wilayah kumuh (slum area). c. Zona Pemukiman Kelas Proletar, didiami oleh para pekerja yang berpenghasilan kecil atau buruh dan karyawan kelas bawah. Ditandai oleh adanya rumah susun sederhana. d. Zona Pemukiman Kelas Menengah (Residental Zone) merupakan kompleks perumahan karyawan kelas menengah yang memiliki keahlian tertentu. e. Wilayah Tempat Tinggal Masyarakat Berpenghasilan Tinggi ditandai dengan kawasan elit. Sebagian besar penduduknya merupakan kaum eksekutif. f. Zona Penglaju (Commuters) merupakan wilayah yang memasuki wilayah belakang (Hinterland) atau merupakan wilayah batas desa-kota. Penduduknya bekerja di kota tetapi tinggal di pinggiran kota.

Keterangan model teori konsentrik menurut Teori Konsentris Dari Ernest W. Burgess (1929): Zona pusat wilayah kegiatan Zona peralihan Zona permukiman kelas proletar. Zona permukiman kelas menengah. Zona penglaju.

2. Teori Sektoral (Sector Theory) dari Homer Hoyt, bahwa kota tersusun sebagai berikut : a. Pada lingkaran dalam terletak pusat kota (CBD) yang terdiri dari atas bangunan kantor, hotel, bank, dan pusat perbelanjaan. b. Pada sektor tertentu terdapat kawasan industri ringan dan perdagangan

Dekat pusat kota dan dekat sektor pada nomor 2, terdapat sektor murbawisma, yaitu tempat tinggal kaum buruh.

c. Agak jauh dari pusat kota dan sektor industri serta perdagangan, terletak sektor madyawisma, yaitu permukiman golongan menengah. d. Lebih jauh lagi terdapat sektor adiwisma, yaitu kawasan tempat tinggal golongan atas.

Keterangan Teori Sektoral (Sector Theory) dari Homer Hoyt : Zona 1: Zoona pusat wilayah kegiatan. Zona 2: Zona dimana terdapat grossier dan manufactur. Zona 3: Zona wilayah permukiman kelas rendah. Zona 4: Zona permukiman kelas menengah. Zona 5: Zona permukiman kelas tinggi.

3. Teori Inti Berganda (Multiple Nuclei) dari C. D. Harris dan E. L. Ullman (1945) Strutur ruang kota meliputi: Pusat kota (CBD), Kawasan niaga dan industri ringan, Kawasan murbawisma, tempat tinggal berkualitas rendah, Kawasan madyawisma, tempat tinggal berkualitas menengah, Kawasan adiwisma, tempat tinggal berkualitas tinggi, Pusat niaga berat, Pusat niaga/perbelanjaan lain di pinggiran, Upakota (suburban), untuk kawasan madyawisma dan adiwisma, Upakota (suburban), untuk kawasan industri.

Keterangan: Zona 1: Zona pusat wilayah kegiatan, Zona 2: Zona wilayah terdapat terdapa para grossier dan manufactur, Zona 3: Zona wilayah ilayah permukiman kelas rendah, Zona 4: Zona permukiman kelas me menengah, Zona 5: : Zona permukiman kelas tinggi, Zona 6: Zona manufactur berat, Zona 7: Zona wilayah di luar ar pusat wilayah Kegiatan (PWK), Zona 8: Zona wilayah permukiman suburb, Zona 9: Zona wilayah industri suburb. suburb

Teori Kota, Perumahan dan Permukiman Kota a. Teori Eco Housing Eco housing merupakan rumah yang berwawasan lingkungan yang hemat energi dengan senantiasa memperhatikan potensi lingkungan yang ada pada suatu daerah dimana rumah itu dibangun. Konsep eco housing atau sering disebut rumah hijau memiliki beberapa tujuan utama antara lain untuk mengurangi penggunaan energi yang berlebihan sebagai usaha untuk mengurangi isu-isu isu isu lingkungan yang berkembang saat misalnya pemanasan global, melindungi kesehatan penghuninya, penghuninya, mengurangi kerusakan lingkungan dan terbilang ekonomis dari pembangun sampai digunakan sebagai hunian.

Dengan menerapkan konsep eco housing pada bangunan tempat tinggal ataupun kawasan perumahan kita akan dapat menghemat penggunaan energi listrik, dan kenyamanan yang didapatkan pun akan lebih baik. Selain itu dengan konsep eco housing maka penataan suatu kawasan akan lebih rapi, indah dan asri. Penghematan energi dengan menggunakan konsep dari eco housing misalnya dengan mengoptimalkan bukaan-bukaan dan lubang-lubang ventilasi pada bangunan rumah yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan energi listrik yang digunakan untuk penerangan dan sirkulasi udara. Selain itu, dengan bentuk bangunan yang cenderung terbuka dan menyatu dengan alam ini kita akan memperoleh kualitas hunian yang sehat tentunya. Selain itu pengaplikasian eco housing dapat kita lihat pula pada penggunaan roof garden dan green roof. b. Roof Garden & Green Roof Green roof adalah layer atau lapisan struktur konstruksi hijau yang terdiri dari media pertumbuhan/tanah dan media Tanaman diatas sebuah bangunan. Green Roof menutupi bidang atap dengan tanaman dimana atap dilapisi dengan bahan yang dapat menyerap air untuk pertumbuhan tanaman. Green Roof ini berfungsi sebagai atap yang berupa tanaman dengan berbagai manfaatnya antara lain mengurangi penggunaan AC sebab roof garden dapat mengurangi panas yang dipancarkan sinar matahari serta dapat menyerap air saat terjadi hujan. Roof garden merupakan area publik dalam bentuk Taman yang memiliki fungsi sebagai penutup/penghalang dari sinar matahari terhadap bangunan secara langsung. Roof garden dapat menciptakan lingkungan yang sehat, nyaman, ramah lingkungan bagi masyarakat disekitarnya. Roof Garden ini dapat berupa taman yang ditanami dengan berbagai macam tumbuhan yang berada diatas bangunan.

Perumahan adalah kumpulan rumah sedangkan permukiman adalah kumpulan rumah ditambah dengan sarana dan prasarana. Prasarana yang dimaksud adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan yang memungkinkan lingkungan tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya, dan sarana lingkungan adalah berupa fasilitas penunjang yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan dan mengembangkan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Dalam pengertian lebih lanjut permukiman adalah suatu lingkungan hidup (misalnya perkotaan ataupun pedesaan) yang berada di luar kawasan lindung yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan dimana permukiman lebih memberi kesan terhadap bentuk

bukan fisik yaitu manusianya(human) beserta sikap prilakunya, sedangkan pengertian perumahan sendiri adalah kumpulan dari rumah yang memiliki fungsi sebagai tempat tinggal atau lingkungan hunian yang telah dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, dimana perumahan lebih menitik beratkan pada bentuk fisik atau benda mati yaitu house and land settlement. Permukiman merupakan sebuah kawasan tertentu yang berfungsi sebagai tempat tinggal/hunian dari manusia. Manusia biasa membangun perumahan perumahan yang berdekatan satu sama lain, hal ini dikarenakan karena pola dari interaksi manusia sebagai makhluk sosial. Pola permukiman biasanya tergantung dari kondisi geografis suatu wilayah, namun secara umum, pola permukiman dibagi menjadi 3 yaitu: a. Pola Memanjang (Linier) Pola permukiman penduduk dikatakan linier bila rumah - rumah yang dibangun membentuk pola yang berderet memanjang. Pola ini biasanya ditemukan pada kawasan sepanjang jalan raya, tepi sungai, maupun garis pantai. Pola ini dapat terbentuk karena memungkinkan kawasan tersebut memakai pola tersebut, karena jalan raya, pantai, dan sungai bersifat memanjang sehingga masyarakat akan membangun rumah memanjang di sekitar kawasan tersebut. b. Pola Terpusat (Nucleated) Pola terpusat merupakan pola permukiman penduduk dimana rumah-rumah yang dibangun memusat pada satu titik. Pola ini dapat ditemukan di daerah pegunungan dimana penduduknya hanya memusat pada satu kawasan tertentu. c. Pola Tersebar (Dispersed) Dalam pola ini perumahan dibangun di kawasan luas dan bertanah kering yang menyebar sehingga satu rumah dengan rumah yang lain memiliki interval. Pola ini biasanya ditemukan di kawasan yang luas dan kering. Pola ini dapat terbentuk karena penduduk mencoba membangun rumah di kawasan kawasan bermukim yang dekat dengan sumber air, terutama air tanah.

Pola linier di sepanjang jalan raya merupakan dampak dari perkembangan zaman dimana jalan merupakan transportasi yang cepat dan praktis. Jalan raya yang ramai akan memacu pertumbuhan ekonomi penduduk yang tinggal di sekitarnya sehingga penduduk membangun perumahanperumahan di sepanjang jalan guna meningkatkan perekonomian dari penduduk sekitar. Kemudian pola linier di sepanjang tepi sungai terbentuk karena air merupakan suatu kebutuhan yang sangat berharga bagi manusia. Air selain digunakan

sebagai sarana transportasi juga digunakan sebagai pemenuhan kebutuhan hidup seperti air bersih, mandi cuci kakus (MCK), dan sebagainya.

Pengertian Perkembangan Kota Menurut Ilhami (1988) sebagian besar terjadinya kota adalah berawal dari dari desa yang mengalami perkembangan yang pasti. Faktor yang mendorong perkembangan desa menjadi kota adalah karena desa berhasil menjadi pusat kegiatan tertentu, misalnya desa menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, pusat pertambangan, pusat pergantian transportasi, seperti menjadi pelabuhan, pusat persilangan/pemberhentian kereta api, terminal bus dan sebagainya. Pengertian kota menurut Dickinson (dalam Jayadinata, 1999) adalah suatu pemukiman yang bangunan rumahnya rapat dan penduduknya bernafkah bukan pertanian. Suatu kota umumnya selalu mempunyai rumah-rumah yang mengelompok atau merupakan pemukiman terpusat. Suatu kota yang tidak terencana berkembang dipengaruhi oleh keadaan fisik sosial.

Pola-Pola Perkembangan Kota Sesuai dengan perkembangan penduduk perkotaan yang senantiasa mengalami peningkatan, maka tuntutan akan kebutuhan kehidupan dalam aspek ekonomi, sosial, budaya, politik dan teknologi juga terus mengalami peningkatan, yang semuanya itu mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan ruang perkotaan yang lebih besar. Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota (fringe area). Gejala penjalaran areal kota ini disebut sebagai invasion dan proses perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar disebut sebagai urban sprawl (Northam dalam Yunus, 1994). Secara garis besar menurut Northam dalam Yunus (1994) penjalaran fisik kota dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut : a. Penjalaran fisik kota yang mempunyai sifat rata pada bagian luar, cenderung lambat dan menunjukkan morfologi kota yang kompak disebut sebagai perkembangan konsentris (concentric development).

b. Penjalaran fisik kota yang mengikuti pola jaringan jalan dan menunjukkan penjalaran yang tidak sama pada setiap bagian perkembangan kota disebut dengan perkembangan fisik memanjang/linier (ribbon/linear/axial development).

c. Penjalaran fisik kota yang tidak mengikuti pola tertentu disebut sebagai perkembangan yang meloncat (leap frog/checher board development).

Jenis penjalaran fisik memanjang/linier yang dikemukakan oleh Northam sama dengan Teori Poros yang dikemukakan oleh Babcock dalam Yunus (1994), yaitu menjelaskan daerah di sepanjang jalur transportasi memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga perkembangan fisiknya akan lebih pesat dibandingkan daerah-daerah di antara jalur transportasi. Pola pemekaran atau ekspansi kota mengikuti jalur transportasi juga dikemukakan oleh Hoyt dalam Daldjoeni (1998), secara lengkap pola pemekaran atau ekspansi kota menurut Hoyt, antara lain, sebagai berikut :

a. Perluasan mengikuti pertumbuhan sumbu atau dengan kata lain perluasannya akan mengikuti jalur jalan transportasi ke daerah-daerah perbatasan kota. Dengan demikian polanya akan berbentuk bintang atau star shape. b. Daerah-daerah hinterland di luar kota semakin lama semakin berkembang dan akhirnya menggabung pada kota yang lebih besar. c. Menggabungkan kota inti dengan kota-kota kecil yang berada di luar kota inti atau disebut dengan konurbasi.

Senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Northam dalam Yunus (1994), mengenai perkembangan fisik kota secara konsentris, Branch (1995) mengemukakan enam pola perkembangan fisik kota, secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :

Selanjutnya berdasarkan pada kenampakan morfologi kota serta jenis penjalaran areal kota yang ada, menurut Hudson dalam Yunus (1994) mengemukakan beberapa model bentuk kota, yaitu sebagai berikut : a. Bentuk satelit dan pusat-pusat baru. Bentuk ini menggambarkan kota utama yang ada dengan kota-kota kecil di sekitarnya terjalin sedemikian rupa, sehingga pertalian fungsional lebih efektif dan lebih efisien. b. Bentuk stellar atau radial. Bentuk kota ini untuk kota yang perkembangan kotanya didominasi oleh ribbon development.

c. Bentuk cincin, terdiri dari beberapa kota yang berkembang di sepanjang jalan utama yang melingkar. d. Bentuk linier bermanik, pertumbuhan areal-areal kota hanya terbatas di sepanjang jalan utama dan pola umumnya linier. Pada pola ini ada kesempatan untuk berkembang ke arah samping tanpa kendala fisikal. e. Bentuk inti/kompak, merupakan bentuk perkembangan areal kota yang biasanya didominasi oleh perkembangan vertikal. f. Bentuk memencar, merupakan bentuk dengan kesatuan morfologi yang besar dan kompak dengan beberapa urban centers, namun masing-masing pusat mempunyai grup fungsi-fungsi yang khusus dan berbeda satu sama lain.

Berdasarkan pendapat para ahli yang dikemukakan di atas, tentang pola-pola perkembangan fisik kota, pada dasarnya memiliki banyak persamaan. Namun secara umum pola perkembangan fisik kota dapat dibedakan menjadi perkembangan memusat, perkembangan memanjang mengikuti pola jaringan jalan dan perkembangan meloncat membentuk pusat-pusat pertumbuhan baru.

Dalam mengkaji perkembangan fisik suatu kota, menurut Hagget (1970) dapat mengacu pada teori difusi atau teori penyebaran/penjalaran yang mempunyai dua model yang masing-masing memiliki maksud yang berbeda. Model-model tersebut adalah model difusi ekspansi dan model difusi relokasi, dengan penjelasan berikut ini : a. Model difusi ekspansi (expansion diffusion) adalah suatu proses penyebaran informasi, material dan sebagainya yang menjalar melalui suatu populasi dari suatu daerah ke daerah lain. Dalam proses difusi ekspansi ini informasi atau material yang didifusikan tetap ada dan kadang-kadang menjadi lebih intensif di tempat asalnya. Salah satu contoh proses difusi ekspansi adalah terjadinya pertambahan jumlah penduduk dalam kurun

waktu tertentu yang dibedakan dalam dua periode waktu. Dengan demikian dalam ekspansi ruang terdapat pertumbuhan jumlah penduduk, material dan ruang hunian baru. b. Model difusi yang lainnya adalah difusi relokasi (relocation diffusion) adalah suatu proses yang penyebaran keruangan, yaitu informasi atau material yang didifusikan meninggalkan daerah asal dan berpindah ke daerah yang baru.

Faktor-Faktor Penyebab Perkembangan Kota Menurut Sujarto (1989) faktor-faktor perkembangan dan pertumbuhan yang bekerja pada suatu kota dapat mengembangkan dan menumbuhkan kota pada suatu arah tertentu. Ada tiga faktor utama yang sangat menentukan pola perkembangan dan pertumbuhan kota : a. Faktor manusia, yaitu menyangkut segi-segi perkembangan penduduk kota baik karena kelahiran maupun karena migrasi ke kota. Segi-segi perkembangan tenaga kerja, perkembangan status sosial dan perkembangan kemampuan pengetahuan dan teknologi. b. Faktor kegiatan manusia, yaitu menyangkut segi-segi kegiatan kerja, kegiatan fungsional, kegiatan perekonomian kota dan kegiatan hubungan regional yang lebih luas. c. Faktor pola pergerakan, yaitu sebagai akibat dari perkembangan yang disebabkan oleh kedua faktor perkembangan penduduk yang disertai dengan perkembangan fungsi kegiatannya akan menuntut pola perhubungan antara pusat-pusat kegiatan tersebut.

Pengembangan Wilayah - Alternatif Bentuk Kota Wilayah (region) dalam pengertian geografi menurut Jayadinata (2000:13), merupakan kesatuan alam, yaitu alam yang serba sama atau homogen atau seragam dan

kesatuan manusia, yaitu masyarakat serta kebudayaannya yang serba sama yang mempunyai ciri yang khas, sehingga wilayah tersebut dibedakan dari wilayah lain. Wilayah geografi dapat mengandung wilayah geologi (geological region), wilayah tubuh tanah (soil region), wilayah ekonomi (economic region) dan sebagainya. Batas wilayah geografi ini tidak berimpit, sehingga batsnya dapat dibuat dengan tepat. Wilayah geografi ini sering disebut sebagai wilayah formal (formal region).

Gambar Beberapa Alternatif Bentuk Kota Sumber : Yunus, 2001:133-141

Selain istilah wilayah formal terdapat istilah wilayah fungsional (functional region), yang didefinisikan sebagai suatu bagian dari permukaan bumi, di mana beberapa keadaan alam yang berlawanan memungkinkan timbulnya bermacam-macam kegiatan, yang hasilnya berbeda dan saling mengisi dalam keperluan kehidupan penduduk. Kadang-kadang wilayah seperti ini sering disebut wilayah organik, misalnya pada suatu pegunungan, penduduk dari suatu gunung hidup dari kehutanan, di lerengnya dari perkebunan dan pertambangan, di kakinya dari pertanian dan peternakan dan di dataran dari perdagangan, industri dan pelayanan, sehingga masing-masing penduduk wilayah tersebut dapat saling mengisi kebutuhan hidupnya.

Belum ada kesamaan pandangan para ahli tentang perbedaan pengertian wilayah dan kota, namun pengertiannya akan lebih jelas jika dilihat dari karakteristik fungsional dari wilayah dan kota itu sendiri. Kota lebih dicirikan oleh penduduknya yang heterogen dengan dominasi mata pencaharian pada sektor non pertanian, sedangkan wilayah lebih dilihat dari unit fungsionalnya yang bersifat homogen, misalnya wilayah perkotaan, yang di dalamnya termasuk kota itu sendiri dengan wilayah hinterlandnya, wilayah pertanian dan sebagainya. Perencanaan dan pengembangan suatu wilayah biasanya berkaitan dengan pertumbuhan perekonomian wilayah tersebut, ini menurut teori resource endowment (Perloff, 1960). Dalam teori ini dinyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah tergantung pada sumber daya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumber daya itu, yang dalam jangka pendek merupakan asset untuk memproduksi barang dan jasa. Menurut North (1955), pertumbuhan wilayah dalam jangka panjang bergantung pada kegiatan industri ekspornya, sedangkan menurut Myrdal (1957), terdapat dua kekuatan yang bekerja pada pertumbuhan ekonomi, yaitu backwash effect dan spread effect. Kekuatan efek penyebaran (spread effect) mencakup penyebaran pasar hasil produksi bagi wilayah yang belum berkembang, kekuatan efek balik negatif (backwash effect) biasanya melampaui efek penyebaran dengan ketidakseimbangan aliran modal dan tenaga kerja dari daerah tidak berkembang ke daerah berkembang. Berdasarkan teori pengembangan wilayah, ada dua pendekatan yang umum dipakai, yaitu konsep pengembangan wilayah dari atas (development from above) dan konsep pengembangan dari bawah (development from below). Konsep pengembangan dari atas paling banyak digunakan, baik secara ekonomis maupun praktek. Tujuan dari strategi ini adalah pembangunan pada sektor-sektor utama (terpilih) pada lokasi tertentu, sehingga akan menyebarkan kemajuan ke seluruh bagian wilayah. Konsep Pengembangan dari Bawah adalah suatu proses pembangunan yang menyeluruh dari berbagai kesempatan yang ada untuk individu, kelompok sosial dan kelompok masyarakat secara teritorial pada skala menengah dan kecil, memobilisasi sepenuhnya kemampuan dan sumber daya yang ada untuk memperoleh keuntungan bersama dalam ekonomi, sosial dan politik. Konsep ini merupakan kebalikan dari konsep pengembangan dari atas. Keterkaitan antara pusat dan hinterland terdapat hubungan simbiosis dan mempunyai fungsi yang spesifik, sehingga keduanya tergantung secara internal. Pusat berfungsi sebagai pusat permukiman, pelayanan, industri dan perdagangan, sedangkan wilayah hinterland

berfungsi sebagai penyedia barang dasar, daerah pemasaran dan pusat pertanian. Wilayah tersebut mempunyai hierarkhi berdasarkan jumlah penduduk, jumlah fasilitas dan pelayanan.

Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kota Penataan ruang kota merupakan proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Tata ruang sendiri adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang wilayah nasional, ruang wilayah kabupaten/kotamadia, yang mencakup perkotaan dan perdesaan, baik direncanakan maupun tidak yang menunjukkan adanya hirarki dan keterkaitan pemanfaatan ruang. Secara umum prinsip -prinsip penataan ruang BWK adalah sebagai berikut: 1. Azas penataan ruang: a. Pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan; b. Keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. 2. Tujuan penataan ruang: a. Meningkatkan peran kota dalam pelayanan yang lebih luas agar mampu berfungsi sebagai pusat pembangunan dalam suatu pengembangan wilayah; b. Memberikan kejelasan pemanfaatan ruang yang lebih akurat dan berkualitas; c. Mempercepat pembangunan secara tertib dan terkendali; d. Terselenggaranya peraturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budidaya; e. Tercapainya pemanfaatan ruang yang akurat dan berkualitas untuk: Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya guna, berhasil guna, dan tepat guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia; Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur dab sejahtera; Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan; Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan keamanan.

Secara khusus konsep struktur tata ruang kota menunjukkan hal-hal sebagai berikut: a. Penetapan tingkat pengembangan masing-masing wilayah secara proporsional

kecenderungan pengembangan fungsional yang sedang berlangsung. b. Mengatur hirarki fungsi dalam bentuk pembagian intensitas fisik, dan mengatur pengembangan wilayah secara merata dan proporsional, agar tidak terjadi akumulasi kegiatan yang melebihi batas daya dukungnya. c. Memberikan pedoman dalam pola pemanfaatan lahan terutama dalam penyediaan fasilitas sosial dan utilitas yang dibutuhkan.

Konsep peruntukan lahan pada dasarnya merupakan usaha untuk menampung berbagai kegiatan/fungsi yang telah, sedang dan akan berkembang di bagian wilayah kota tersebut. Berbagai fungsi/kegiatan tersebut adalah: 1. Permukiman perkotaan 2. Perkantoran 3. Perdagangan dan Jasa 4. Pendidikan 5. Konservasi 6. Jaringan prasarana dan utilitas

Dari berbagai jenis dan macam kegiatan masing-masing memiliki persyaratan tertentu untuk pemilihan lokasi, baik untuk kepentingannya sendiri maupun hubungan dengan fungsi lain (antar fungsi). Persyaratan tersebut antara lain: 1. Permukiman Daerah permukiman cenderung memilih daerah datar dan dekat dengan jaringan jalan dan transportasi umum serta fasilitas pelayanan kota. 2. Perkantoran Daerah perkantoran pada lahan relatif datar, bebas genangan, dekat akses jalan utama dan cenderung berada ditengah kegiatan lainnya yang berkaitan. 3. Perdagangan dan Jasa Lahan relatif datar, dekat dengan akses ke jalanjalan utama kota dan luar kota, sehingga menjamin arus keluar masuk barang dan dekat dengan fungsi-fungsi lain yang berkaitan, seperti pergudangan, terminal/ stasiun.

4. Pendidikan Berada pada kawasan yang tenang dan jauh dari gangguan kegiatan yang dapat mengurangi semangat maupun mangganggu proses kegiatan belajar-mengajar. 5. Daerah Lindung/Konservasi Daerah lindung ini meliputi lindung setempat dan lindung karena daerah di bawahnya, yang meliputi garing sempadan sungai, daerah rawan bencana dan daerah dengan kelerengan di atas 40%. 6. Jaringan Prasarana dan Utilitas Membentuk jaringan transportasi yang menguhubungkan berbagai daerah fungsional dan bebas genangan banjir. Untuk terminal tipe B dan tipe C berada dimungkinkan berada ditengah-tengah permukiman, sedangkan untuk terminal tipe A diharapkan berada di pinggir kota sehingga mudah dicapai dari luar kota dan dalam kota.

Terdapat beberapa perbedaan bentuk dan cara penggunaan lahan di pedesaan dan perkotaan. Ciri-ciri lahan pedesaan sebagai berikut: a. Areal lahan cukup luas b. Lahan masih bersifat alami c. Lahan belum banyak dikemas dengan teknologi d. Penggunaan lahan pedesaan, antara lain untuk perkebunan, peternakan, perhutanan, tempat wisata alam, dan perikanan.

Ciri-ciri lahan perkotaan sebagai berikut: a. Areal lahan perkotaan relatif sempit b. Lahan sudah banyak diubah c. Lahan sudah dikemas dengan kemajuan teknologi d. Penggunaan lahan perkotaan, antara lain untuk permukiman, perkantoran, perdagangan, industri, dan jasa.

Pembangunan yang cepat membawa perubahan situasi lingkungan perkotaan. Di beberapa tempat dijumpai gedung-gedung baru yang akan dibangun tanpa mengindahkan rencana peruntukan lahan. Kawasan yang seharusnya digunakan bagi kegiatan permukiman kini banyak berubah menjadi kawasan perkantoran, pendidikan, industri, dan perdagangan. Akibatnya, timbul beberapa masalah lingkungan, seperti kebisingan, makin berkurangnya ruang terbuka, kemacetan lalu lintas, dan meningkatnya kadar pencemaran udara.

Perubahan penggunaan lahan juga terjadi di wilayah non urban. Akibat tekanan penduduk kota yang tinggi, banyak area pertanian yang subur di pedesaan berubah fungsi menjadi pemukiman baru, kawasan industri, prasarana jalan, dan bendungan. Dalam mencari dan memilih tempat tinggal manusia pasti akan memilih lokasi dan kondisi lingkungan yang baik dan dianggapnya sesuai. Permukiman penduduk sangat tergantung pada keadaan alamnya sehingga persebarannya di permukaan bumi berbedabeda. Dilihat dari bentuknya, pola atau peta persebaran permukiman menurut Bintarto dapat dibedakan sebagai berikut. a. Bentuk Pemukiman Mengelilingi Fasilitas Tertentu Bentuk pemukiman ini berada di dataran, mengolah dan memiliki fasilitas umum berupa mata air, waduk, danau, dan lain-lain.

b. Bentuk Permukiman Memanjang Mengikuti Alur Sungai Bentuk permukiman ini umumnya terdapat di daerah/plain yang susunan desanya mengikuti jalur-jalur arah sungai. c. Bentuk Permukiman Memanjang Mengikuti Jalur Jalan Raya Penyebaran permukimannya di kanan kiri jalur jalan raya. Pada masa kini manusia lebih senang memilih pola mengikuti jalan raya.

d. Bentuk Permukiman Memanjang Mengikuti Garis Pantai Permukiman ini umumnya berada di pesisir laut. Penduduk di daerah ini sebagian besar bermata pencaharian di sektor perikanan.

e. Bentuk Permukiman Terpusat Bentuk permukiman yang memusat umumnya terdapat di desa, yaitu pada wilayah pegunungan dan dihuni oleh penduduk yang berasal dari satu keturunan yang sama. Biasanya semua warga masyarakat di daerah itu adalah keluarga atau kerabat. Dusundusun yang terdapat di desa yang bentuknya terpusat biasanya sedikit, yaitu sekitar 40 rumah.

Persebaran Lokasi Pemukiman Kota Kota merupakan tempat berlangsungnya semua kegiatan sehingga diperlukan sarana dan prasarana yang memadai. Akan tetapi, karena adanya ketimpangan antara kebutuhan sarana dan prasarana dengan bertambahnya penduduk maka timbul berbagai masalah sosial, ekonomi, dan budaya.

Dalam membahas pengertian kota, ada beberapa istilah yang berhubungan dengan kota, antara lain sebagai berikut. a. Urban adalah suatu bentuk yang memiliki suasana kehidupan dan penghidupan yang modern. b. City adalah pusat wilayah kota. c. Bown adalah kota kabupaten atau pemerintah kota. d. Bown skip adalah kota kecamatan atau kota kawedanan.

Kota dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berikut. a. Kota wisata, merupakan kawasan pariwisata. b. Kota pelajar, merupakan kota kawasan pelajar karena banyak berdiri sekolah-sekolah. c. Kota industri, merupakan daerah kota kawasan industri yang banyak pabrik-pabriknya. d. Kota satelit, yaitu kota yang letaknya dekat dengan kota besar, warganya mendapat penghidupan wilayah hukum kota kecil tersebut. e. Kota perdagangan, yaitu kota yang terletak pada kawasan perdagangan. Di Amerika Serikat, kota pusat-pusat perdagangannya disebut CDB (Central Business District), sedangkan di Inggris pusat kota perdagangan disebut Central Area.

Adapun pola pemekaran kota dibedakan menjadi tiga macam, yaitu sebagai berikut: a. Pola Konsensus Pola ini awalnya berasal dari suatu tempat karena makin padat penghuninya lalu berkembang ke daerah tepi atau pinggiran. Perkembangan tersebut sebagai akibat semakin maraknya kegiatan di tempat tersebut. Akhirnya, lokasi awal tersebut menjadi pusat bisnis dan wilayah sekitarnya menjadi wilayah pendukung. b. Pola Sektoral Pola ini berkembang dari sektor kegiatan yang menjadi bagian dari suatu kota yang akan berkembang. Perkembangan setiap sector tersebut akan membawa dampak terhadap pola keruangan di kota. c. Pola Pusat Kegiatan Ganda Pola seperti ini berkembang dari kondisi lingkungan yang berbeda. Masing-masing lingkungan berkembang dan menjadi pusat kegiatan. Kota yang berkembang dengan pola seperti ini biasanya kota yang berada di tepi pantai.

Kota sebagai tata ruang harus merupakan lingkungan yang dinamis sehingga membutuhkan daya dukung bagi penghuninya. Oleh sebab itu, timbul sifat-sifat yang berbeda dengan permukiman pedesaan. Sifat-sifat tersebut, antara lain sebagai berikut: a. Penduduk kota adalah anonim, artinya satu dengan yang lain tidak saling mengenal. b. Sifat tidak peduli terhadap orang lain.

Persyaratan yang harus dipenuhi bagi kelangsungan kehidupan kota adalah: a. Adanya suasana dan rasa aman pada warga kota; b. Adanya suasana tertib setiap warga masyarakat sehingga mampu menempatkan dirinya masing-masing; dan c. Adanya usaha untuk membina suasana sehat dan bebas dari segala penyakit menular.

Persebaran Lokasi Permukiman Desa Pemilihan tempat tinggal pasti mencari lokasi yang baik, strategis, aman, bebas banjir, warganya rukun, dan lain-lain. Seorang ahli sosiologi pedesaan bernama Pane H. Landis mengemukakan tipe persebaran lokasi pemukiman (desa) yang dibedakan sebagai berikut: a. The Arranged Isolated Farm Type Tipe desa yang penduduknya bermukim di sepanjang jalan utama desa yang terpusat pada pusat perdagangan dan lahan pertanian berada di sekitar permukiman. Masingmasing unit keluarga terisolasi. Jarak antara satu rumah dengan rumah yang lain tidak terlalu jauh. Pola permukiman di sepanjang sungai dan pantai merupakan contoh desa tipe ini. b. The Pure Isolated Type Tipe desa yang penduduknya tinggal tersebar secara terpisah dengan lahan pertanian dan masing-masing berpusat pada suatu pusat perdagangan. Tipe ini terjadi di daerah yang tanahnya memiliki tingkat kesuburan tidak sama. c. The Nebulous Farm Tupe Tipe desa yang sebagian besar penduduknya tinggal bersama di suatu tempat dengan lahan pertanian di sekitarnya. Sebagian kecil penduduk tersebar di luar permukiman pokok. Sebenarnya the nebulous farm sama dengan tipe the farm village, tetapi karena terlalu padatnya permukiman itu, ada beberapa penduduk yang terkumpul di luar permukiman pokok.

Alasan Penduduk Bermukim di Berbagai Bentang Lahan Penyebaran pemukiman penduduk menempati berbagai macam bentang lahan. Manusia mempunyai alasan bermukim di tiap bentang lahan yang berbeda karena setiap bentang lahan memiliki ciri khas berbeda yang berpengaruh bagi kehidupan manusia. Untuk itu penyebaran pemukiman merupakan wujud adaptasi menusia terhadap lingkungan. Adapun berbagai alasan penduduk memilih bermukim di berbagai bentang alam diuraikan sebagai berikut: 1. Permukiman Penduduk di Daerah Pegunungan Daerah sekitar pegunungan mempunyai keunggulan tanah yang subur, udara sejuk dan panorama indah, dan seringkali dijadikan kawasan objek wisata. Dengan demikian, pola pemukiman yang terbentuk mengelompok di sekitarnya. Tanah di daerah pegunungan yang subur cocok untuk usaha pertanian dan perkebunan sehingga banyak penduduk yang berminat tinggal di daerah tersebut. Permukiman penduduk di daerah pegunungan juga tersebar di kanan kiri jalan raya, berkaitan dengan kemudahan dalam prasarana transportasi. 2. Permukiman Penduduk di Daerah Dataran Rendah Dataran rendah banyak diminati sebagai kawasan tempat tinggal karena berbagai alasan berikut: a. Pesatnya pembangunan fisik di daerah datarah rendah karena wilayahnya yang datar. b. Merupakan daerah yang subur sebagai lahan pertanian dengan cadangan air yang cukup banyak. c. Dataran rendah merupakan kawasan industri dan perdagangan. d. Dataran rendah biasanya merupakan kota-kota besar yang lengkap dengan prasaran jalan, gedung, dan industri. 3. Permukiman Penduduk di Daerah Pantai Daerah pantai adalah daerah batas antara daratan dan lautan. Mata pencaharian penduduk daerah pantai pada umumnya menggantungkan pada usaha eksploitasi laut, seperti nelayan, usaha tambak atau membuat garam. Pada zaman sekarang beberapa daerah pantai merupakan daerah maju karena banyak yang berkembang menjadi kota besar seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Berbagai alasan penduduk bermukim di daerah pantai sebagai berikut: a. Daerah pantai merupakan tanah kelahiran dan tanah leluhur, artinya penduduk sudah tinggal di lokasi tersebut turun temurun. Dengan demikian mempunyai ikatan emosional (batin) yang kuat dengan daerah tersebut.

b. c. d.

Ada keterkaitan dengan mata pencaharian (pekerjaan). Daerah pantai kaya sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan. Daerah pantai yang merupakan objek wisata banyak diminati karena panoramanya yang indah dan iklimnya sesuai.

Kepadatan penduduk atau densitas penduduk ialah perbandingan rata-rata antara jumlah penduduk di suatu daerah dengan luasnya daerah tersebut dihitung setiap km2, sedangkan kepadatan penduduk agraris, yang dihitung hanya penduduk petaninya saja dan tanah yang dihitung hanya tanah yang produktif. Jadi, lahan tidur, lapangan udara, dan sungai tidak dihitung.

Beberapa pengertian tentang kepadatan penduduk sebagai berikut. a. Kepadatan penduduk absolut atau mutlak, ialah keadaan negara/daerah yang sebagian besar penduduknya masih sulit mencukupi kebutuhan pokoknya, biasanya melanda negara yang sedang berkembang dan negara miskin. b. Kekurangan penduduk, terjadi bila suatu negara jumlah penduduk sedemikian kecilnya sehingga sulit untuk mengolah kekayaan alam guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Jadi, baik kepadatan penduduk dan kekurangan penduduk sama-sama kurang menguntungkan bagi negara. c. Kepadatan penduduk optimum, yaitu kepadatan penduduk yang sebaikbaiknya. Jumlah penduduk yang ada di negara itu cukup untuk meng olah kekayaan alam yang ada di negaranya guna mencukupi kebutuhan hidup.

Teori Pusat Pertumbuhan Pusat pertumbuhan dapat terbentuk di suatu wilayah. Terbentuknya pusat pertumbuhan dapat terjadi secara alami atau dengan perencanaan. Beberapa teori mengenai pusat pertumbuhan atau perkembangan wilayah berikut:

1. Teori Polarisasi Ekonomi Teori polarisasi ekonomi dikemukakan oleh Gunar Myrdal. Menurut Myrdal, setiap daerah mempunyai pusat pertumbuhan yang menjadi daya tarik bagi tenaga buruh dari pinggiran. Pusat pertumbuhan tersebut juga mempunyai daya tarik terhadap tenaga terampil, modal, dan barang-barang dagangan yang menunjang pertumbuhan suatu lokasi. Demikian terus-menerus akan terjadi pertumbuhan yang makin lama makin pesat atau akan terjadi polarisasi pertumbuhan ekonomi (polarization of economic growth). Teori polarisasi ekonomi Myrdal ini menggunakan konsep pusat-pinggiran (coreperiphery). Konsep pusat-pinggiran merugikan daerah pinggiran, sehingga perlu diatasi dengan membatasi migrasi (urbanisasi), mencegah keluarnya modal dari daerah pinggiran, membangun daerah pinggiran, dan membangun wilayah pedesaan. Adanya pusat pertumbuhan akan berpengaruh terhadap daerah di sekitarnya. Pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh positif dan negatif. Pengaruh positif terhadap perkembangan daerah sekitarnya disebut spread effect. Contohnya adalah terbukanya kesempatan kerja, banyaknya investasi yang masuk, upah buruk semakin tinggi, serta penduduk dapat memasarkan bahan mentah. Sedangkan pengaruh negatifnya disebut backwash effect, contohnya adalah adanya ketimpangan wilayah, meningkatnya kriminalitas, kerusakan lingkungan, dan lain sebagainya. 2. Teori Kutub Pertumbuhan Konsep kutub pertumbuhan (growth pole concept) dikemukakan oleh Perroux, seorang ahli ekonomi Prancis (1950). Menurut Perroux, kutub pertumbuhan adalah pusat-pusat dalam arti keruangan yang abstrak, sebagai tempat memancarnya kekuatankekuatan sentrifugal dan tertariknya kekuatan-kekuatan sentripetal.

Pembangunan tidak terjadi secara serentak, melainkan muncul di tempat-tempat tertentu dengan kecepatan dan intensitas yang berbeda. Kutub pertumbuhan bukanlah kota atau wilayah, melainkan suatu kegiatan ekonomi yang dinamis. Hubungan kekuatan ekonomi yang dinamis tercipta di dalam dan di antara sektor-sektor ekonomi. 3. Teori Pusat Pertumbuhan Teori pusat pertumbuhan dikemukakan oleh Boudeville. Menurut Boudeville (ahli ekonomi Prancis), pusat pertumbuhan adalah sekumpulan fenomena geografis dari semua kegiatan yang ada di permukaan Bumi. Suatu kota atau wilayah kota yang mempunyai industri populasi yang kompleks, dapat dikatakan sebagai pusat pertumbuhan. Industri populasi merupakan industri yang mempunyai pengaruh yang besar (baik langsung maupun tidak langsung) terhadap kegiatan lainnya.

4. Teori Tempat Sentral Teori tempat sentral dikemukakan oleh Walter Christaller (1933), seorang ahli geografi dari Jerman. Teori ini didasarkan pada lokasi dan pola persebaran permukiman dalam ruang. Dalam suatu ruang kadang ditemukan persebaran pola permukiman desa dan kota yang berbeda ukuran luasnya. Teori pusat pertumbuhan dari Christaller ini diperkuat oleh pendapat August Losch (1945) seorang ahli ekonomi Jerman. Keduanya berkesimpulan, bahwa cara yang baik untuk menyediakan pelayanan berdasarkan aspek keruangan dengan menempatkan aktivitas yang dimaksud pada hierarki permukiman yang luasnya meningkat dan lokasinya ada pada simpul-simpul jaringan heksagonal. Lokasi ini terdapat pada tempat sentral yang memungkinkan partisipasi manusia dengan jumlah maksimum, baik mereka yang terlibat dalam aktivitas pelayanan maupun yang menjadi konsumen dari barang-barang yang dihasilkannya. Tempat-tempat tersebut diasumsikan sebagai titik simpul dari suatu bentuk geometrik berdiagonal yang memiliki pengaruh terhadap daerah di sekitarnya. Hubungan antara suatu tempat sentral dengan tempat sentral yang lain di sekitarnya membentuk jaringan sarang lebah seperti yang kamu lihat pada gambar samping.

Menurut Walter Christaller, suatu tempat sentral mempunyai batas-batas pengaruh yang melingkar dan komplementer terhadap tempat sentral tersebut. Daerah atau wilayah yang komplementer ini adalah daerah yang dilayani oleh tempat sentral. Lingkaran batas yang ada pada kawasan pengaruh tempat-tempat sentral itu disebut batas ambang (threshold level).

Konsep dasar dari teori tempat sentral sebagai berikut: 1. Population threshold, yaitu jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk melancarkan dan kesinambungan dari unit pelayanan. 2. Range (jangkauan), yaitu jarak maksimum yang perlu ditempuh penduduk untuk mendapatkan barang atau jasa yang dibutuhkannya dari tempat pusat. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: a. Range selalu lebih besar dibanding daerah tempat population threshold. b. Inner limit (batas dalam) adalah batas wilayah yang didiami population threshold. c. Outer limit (batas luar) adalah batas wilayah yang mendapatkan pelayanan terbaik, sehingga di luar batas itu penduduk akan mencari atau pergi ke pusat lain.

Perhatikan gambar berikut:

Tempat sentral memiliki batas-batas pengaruh. Batasbatas itu melingkar dan komplementer dengan tempat sentral tersebut. Suatu tempat sentral dapat berupa kotakota besar, pusat perbelanjaan, rumah sakit, ibu kota provinsi, dan kota kabupaten. Masing-masing tempat sentral tersebut menarik penduduk yang tinggal di sekitarnya dengan daya jangkau yang berbeda-beda. Teori Walter Christaller dapat diterapkan secara baik di suatu wilayah dengan syarat-syarat sebagai berikut: 1. Topografi dari wilayah tersebut relatif seragam, sehingga tidak ada bagian yang mendapat pengaruh lereng atau pengaruh alam lainnya dalam hubungannya dengan jalur angkutan.

2. Kehidupan

atau

tingkat

ekonomi

penduduk

relatif

homogeny

dan

tidak

memungkinkan adanya produksi primer yang menghasilkan padi-padian, kayu, atau batu bara.

Tiga asas tempat sentral menurut Christaller sebagai berikut: a. Tempat Sentral Menurut Asas Pasar (K3) Merupakan pusat pelayanan berupa pasar yang responsif terhadap ketersediaan barang dan jasa atau sering disebut dengan kasus pasar optimal. Para konsumen di tempat-tempat yang lebih kecil terbagi menjadi tiga kelompok yang sama besarnya, jika berbelanja ke tiga tempat lebih besar yang letaknya terdekat.

b. Tempat Sentral Menurut Asas Transportasi (K4) Tempat sentral memberikan kemungkinan jalur lalu lintas yang paling efisien kepada daerah sekitarnya. Para konsumen di tempat-tempat yang lebih kecil terbagi menjadi dua kelompok yang sama, jika berbelanja ke dua tempat lebih besar yang terdekat.

c. Tempat Sentral Menurut Administrasi (K7) Tempat sentral ini memengaruhi seluruh bagian wilayah sekitarnya dan wilayah itu sendiri. Pembangunan tempat sentral ini tidak berorientasi pada sektor ekonomi, tetapi pada sektor sosial dan politik. Contohnya kota pusat pemerintah. Para

konsumen di tempat-tempat yang lebih kecil berbelanja ke tempat-tempat yang lebih besar yang letaknya terdekat.

Pengertian dan Faktor Pusat Pertumbuhan Setiap wilayah mempunyai potensi untuk dapat tumbuh dan berkembang. Perkembangan suatu wilayah menjadi pusat pertumbuhan terjadi karena beberapa faktor. Pusat-pusat pertumbuhan yang muncul telah melahirkan teori pusat pertumbuhan wilayah. Selain itu, pusat pertumbuhan yang dibangun di Indonesia, seperti kawasan pengembangan ekonomi terpadu (KAPET) misalnya, diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Perkembangan wilayah diawali dengan munculnya pusat pertumbuhan. Pusat pertumbuhan merupakan suatu wilayah yang berkembang secara pesat khususnya kegiatan ekonomi sehingga menjadi pusat pembangunan daerah. Pusat pertumbuhan akan mendorong perkembangan wilayah sekitarnya. Pusat pertumbuhan yang muncul di suatu wilayah dipengaruhi oleh karakteristik wilayahnya. Perkembangan pusat pertumbuhan di suatu wilayah ditentukan oleh faktor-faktor sebagai berikut. a. Sumber Daya Alam Daerah yang mempunyai kekayaan sumber daya alam berpotensi menjadi pusat pertumbuhan. Sebagai contoh, penambangan bahan tambang yang bernilai ekonomi tinggi di suatu wilayah merangsang kegiatan ekonomi, memberikan kesempatan kerja, dan meningkatkan pendapatan daerah serta berpengaruh terhadap munculnya kegiatan ekonomi penunjang. b. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia sangat berperan dalam pembentukan pusat pertumbuhan di suatu wilayah. Tenaga kerja yang ahli, terampil, andal, kapabel, dan profesional

dibutuhkan untuk mengelola sumber daya alam. Pusat pertumbuhan akan berkembang dan pembangunan berjalan lancar apabila tersedia sumber daya manusia yang andal. c. Kondisi Fisiografi/Lokasi Kondisi fisiografi/lokasi memengaruhi perkembangan pusat pertumbuhan. Lokasi yang strategis memudahkan transportasi dan angkutan barang, sehingga pusat pertumbuhan berkembang cepat. Sebagai contoh, daerah dataran rendah yang berelief rata memungkinkan pusat pertumbuhan berkembang lebih cepat dibanding daerah pedalaman yang berelief kasar atau berpegunungan. d. Fasilitas Penunjang Pusat pertumbuhan akan lebih berkembang apabila didukung oleh fasilitas penunjang yang memadai. Beberapa fasilitas penunjang antara lain jalan, jaringan listrik, jaringan telepon, pelabuhan laut dan udara, fasilitas air bersih, penyediaan bahan bakar, serta prasarana kebersihan.

Batas Wilayah Pertumbuhan Batas wilayah pertumbuhan merupakan batas pengaruh terluar suatu wilayah yang mengalami pertumbuhan. Suatu wilayah yang sedang tumbuh memiliki batas-batas pengaruh yang berbeda-beda. 1. Penentuan Batas Wilayah Pertumbuhan Sebuah pusat pertumbuhan memiliki daerah pengaruh yang jumlahnya lebih dari satu. Hal ini disebabkan pusat pertumbuhan menawarkan berbagai jenis barang dan pelayanan. Pengaruh pusat pertumbuhan terhadap daerah sekitarnya berkurang seiring dengan jarak. Semakin jauh jaraknya maka semakin kecil pengaruhnya dan semakin rendah tingkat pelayanannya. Di Inggris, untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kota terhadap daerah sekitarnya dilakukan dengan menyusun indeks. Indeks tersebut menunjukkan keterkaitan kota dengan daerah di sekelilingnya. Indeks tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut. a. b. c. d. e. f. g. Distribusi surat kabar lokal dengan daerah sekitarnya. Pelayanan transportasi umum. Penjualan barang dengan eceran di kecamatan oleh pedagang besar di kota. Persebaran sekolah-sekolah tertentu. Banyaknya pelajar dan jauh dekatnya jarak asal para pelajar tersebut. Wilayah cakupan pelayanan dari rumah sakit pusat. Wilayah persebaran berita atau hiburan lewat siaran radio.

Selain berdasarkan indeks di atas, untuk menentukan batas wilayah pertumbuhan dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. a. Secara Kualitatif Penentuan batas wilayah pertumbuhan secara kualitatif, antara lain dilakukan dengan melakukan survei langsung atau kunjungan. Dengan begitu akan mengetahui secara langsung batas-batas pertumbuhan wilayah. Misalnya dengan mengunjungi perbatasan kota, desa, atau provinsi. Selain itu, penentuan batas pertumbuhan secara kualitatif juga dapat dilakukan dengan interpretasi foto udara atau citra satelit. Penentuan batas pertumbuhan didasarkan pada warna, rona, tekstur, dan pola yang ada dalam foto udara atau citra satelit. b. Secara Kuantitatif Penentuan batas wilayah pertumbuhan secara kuantitatif, merupakan cara penentuan batas wilayah berdasarkan ukuranukuran dari variabel tertentu. Penentuan ini dapat dilakukan dengan perhitungan matematis, antara lain dengan rumus teori titik henti. Model ini dikemukakan oleh William J. Reilly. Teori ini dapat digunakan untuk menentukan lokasi unit usaha ekonomi, sarana kesehatan, atau sarana pendidikan. Rumus model titik henti:

2. Interaksi Wilayah Pertumbuhan Berdasarkan data empiris (pengamatan di lapangan), apabila dua wilayah pertumbuhan saling berinteraksi maka salah satunya mempunyai pengaruh yang lebih kuat. Interaksi yang terjadi antarwilayah pertumbuhan dapat dilihat dari beberapa aspek. Interaksi antarwilayah pertumbuhan dapat dilihat dari tiga aspek sebagai berikut:

a. Aspek Ekonomi Jaringan jalan yang menghubungkan dua wilayah pertumbuhan menjadikan transportasi lancar, sehingga merangsang kegiatan ekonomi di kedua wilayah itu. Wilayah pertumbuhan A menjadi produsen barang-barang yang dibutuhkan di wilayah pertumbuhan B, sehingga barangbarang dari A dikirim ke B. Lalu lintas yang lancar antarwilayah pertumbuhan akan menekan harga kebutuhan di kedua wilayah. Wilayah pertumbuhan A dapat menjadi pasar bagi barangbarang yang diproduksi di wilayah pertumbuhan B dan sebaliknya. b. Aspek Sosial Mobilitas dari berbagai latar belakang sosial ekonomi dan berbagai tujuan yang berbeda terjadi antarwilayah pertumbuhan. Tenaga kerja dari luar wilayah pertumbuhan yang bekerja dan mencari nafkah di suatu wilayah. Kepadatan penduduk yang tinggi menyebabkan penduduk bermigrasi ke wilayah pertumbuhan lain. Kebutuhan bahan baku dan hasil industri menyebabkan terjadinya interaksi antarwilayah pertumbuhan. c. Aspek Budaya Mode pakaian dan gaya berpakaian dari salah satu wilayah pertumbuhan banyak ditiru di wilayah lain. Penyebaran seni dan budaya melalui media komunikasi ke wilayah pertumbuhan lainnya. Budaya konsumtif dari suatu wilayah pertumbuhan mudah menular ke wilayah lain. Penemuan bidang teknologi dari suatu wilayah pertumbuhan dapat diterapkan untuk kemajuan wilayah lainnya.

Dari aspek-aspek di atas tampak bahwa pengaruh yang disebabkan oleh interaksi antarwilayah pertumbuhan dapat memberikan pengaruh positif maupun negatif bagi masing-masing wilayah.

Fungsi, Konsep dan Pengaruh Wilayah Pusat Pertumbuhan Di Indonesia 1. Fungsi Pusat Pertumbuhan Bagian-bagian dari wilayah di permukaan bumi itu tidak tumbuh bersama-sama secara teratur, tetapi disengaja atau tidak disengaja ada bagian-bagian yang tumbuh dan maju atau berkembang lebih cepat dari bagian lain. Cepatnya pertumbuhan di tempat ini dapat menjadi pendorong bagi bagian lain yang tingkat pertumbuhannya kurang cepat. Secara umum fungsi pusat pertumbuhan, yaitu sebagai berikut. a. Memudahkan koordinasi dan pembinaan. b. Melihat perkembangan wilayah maju atau mundur. c. Meratakan pembangunan di seluruh wilayah. 2. Konsep Dasar Wilayah Pusat Pertumbuhan Istilah pertumbuhan dalam geografi yang dimaksud, yaitu pertumbuhan pembangunan, baik pembangunan fisik wilayah maupun pembangunan sosial budaya. Dalam kerangka pendekatan perwakilan, Indonesia dapat dibagi menjadi beberapa wilayah pembangunan. Setiap wilayah pemba ngunan mempunyai sebuah kota yang menjadi pusat pertumbuhan yang disebut juga kutub pertumbuhan (growth pole). Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya wilayah pusat pertumbuhan antara lain sebagai berikut. a. Faktor alam: pegunungan, dataran tinggi, dataran rendah, cuaca, iklim, rawa-rawa, dan kesuburan tanah. b. Faktor ekonomi: perbedaan kebutuhan antara tempat yang satu dengan yang lain. c. Faktor industri: kebutuhan tenaga kerja, tempat tinggal, dan peralatan rumah. d. Faktor sosial: pendidikan, pendapatan, dan kesehatan. e. Faktor lalu lintas: jenis transport, kondisi jalan, dan fasilitas lalu lintas. 3. Kaitan Wilayah Pusat Pertumbuhan dan Pengaruh Pusat Pertumbuhan Pengaruh Pusat-pusat Wilayah Pertumbuhan Terhadap Pemusatan dan Persebaran Sumber Daya. Kemunculan pusat pertumbuhan akan menarik jumlah tenaga kerja yang banyak, dapat dilihat dari arus mobilitas dan migrasi penduduk dari desa ke kota maupun antarprovinsi. Arus migrasi penduduk dari pedesaan menuju kota besar maupun kota kecil di Indonesia, menunjukkan angka yang terus meningkat sejalan dengan pesatnya pertumbuhan kota.

Konsep-Konsep Pengembangan Wilayah a. Pusat-Pusat Pertumbuhan b. Pengembangan Ekonomi Lokal c. Strategi Pengembangan Ekonomi Location Quotient Analysis (LQ) Shift-Share Analysis d. Pembangunan Ekonomi Berbasis Wilayah e. Pengembangan Wilayah Berbasis Kompetisi

Strategi pengembangan pusat-pusat pertumbuhan merupakan strategi yang didasarkan pada pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang/merata. Dalam konteks pengembangan wilayah, pendekatan berdasarkan strategi ini paling banyak digunakan baik secara ekonomis maupun praktek. Tujuan dari strategi ini adalah pembangunan pada sektor-sektor utama pada lokasi-lokasi tertentu, sehingga akan menyebarkan kemajuan ke seluruh wilayah. Ada beberapa strategi pengembangan wilayah dengan konsep pusat-pusat

pertumbuhan ini (Parr, 1999), yaitu: a. Membangkitkan kembali daerah terbelakang (depressed area) Daerah terbelakang dipandang sebagai daerah yang memiliki karakteristik tingginya tingkat pengangguran, pendapatan perkapita rendah, kesejahteraan penduduk di bawah rata-rata, serta rendahnya tingkat pelayanan fasilitas dan utilitas yang ada. Strategi ini dilakukan untuk menciptakan struktur ruang wilayah yang lebih kompetitif. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan mengkombinasikan antara pergerakan modal secara inter-regional. Tujuannya adalah mencegah modal ke luar wilayah, serta mencegah tingginya populasi di daerah tersebut. Hasil yang kemudian diharapkan adalah berupa transformasi struktur ruang ekonominya. b. Mendorong dekonsentrasi wilayah Strategi ini dilakukan guna menekan tingkat konsentrasi wilayah, serta bertujuan untuk membentuk struktur ruang yang tepat, khususnya pada beberapa bagian dari wilayah non-metropolitan. Artinya, pengembangan yang dilakukan adalah pada wilayah non-metropolitan, untuk menekan perannya yang sudah terlalu besar. Hal yang perlu diperhatikan di sini adalah perlunya mempertimbangkan faktor lokasi pengembangan, bahwa tidak semua lokasi layak dijadikan sebagai pusat pertumbuhan.

c. Memodifikasi sistem kota-kota Tujuan strategi ini adalah untuk mengontrol urbanisasi menuju pusat-pusat pertumbuhan, yaitu dengan adanya pengaturan sistem perkotaan yang memiliki hierarkhi yang terstruktur dengan baik dan diharapkan akan dapat mengurangi migrasi penduduk ke kota besar. d. Pencapaian terhadap keseimbangan wilayah Strategi ini muncul akibat kurang memuaskannya struktur ekonomi inter-regional yang biasanya dengan mempertimbangkan tingkat kesejahteraan, serta yang

berhubungan dengan belum dimanfaatkannya sumber daya alam pada beberapa daerah.

Selanjutnya ia mengungkapkan beberapa karakteristik dari strategi pusat-pusat pertumbuhan tersebut, yaitu sebagai berikut : a. Mendorong pertumbuhan lapangan kerja dan populasi dalam suatu wilayah pada sebagian lokasi atau pusat yang telah direncanakan pada satu periode tertentu, b. Dibutuhkan pembatasan jumlah lokasi-lokasi atau pusat-pusat yang dirancang sebagai pusat, c. Diperlukan seleksi/diskriminasi keruangan di antara lokasi-lokasi yang ada, d. Modifikasi struktur keruangan terhadap lapangan pekerjaan dan populasi dalam wilayah.

Selanjutnya terdapat beberapa kerangka batasan dalam pembuatan keputusan dalam kaitannya dengan perencanaan ekonomi wilayah, batasan-batasan tersebut adalah sebagai berikut (ibid) : a. Diagnosis yang harus hati-hati terhadap permasalahan wilayah serta artikulasi yang jernih terhadap konsistensi tujuan berdasarkan perencanaan yang realistis, juga berdasarkan pada keterbatasan yang menyangkut kelayakan ekonomi dan teknis, ketersediaan sumber daya dan penerimaan secara politik, b. Mengetahui secara mendalam tentang aktivitas ekonomi dalam wilayah, termasuk mengetahui sejauh mana struktur hubungan antara sektor ekonomi dengan struktur ruang wilayahnya, c. Apresiasi terhadap pertumbuhan eksisting serta antisipasi terhadap penyebaran pertumbuhan, apakah itu di antara wilayah dalam lingkup nasional, antara kawasan dengan wilayah atau dalam suatu sistem kota, d. Identifikasi yang memadai terhadap instrumen kebijakan yang ada, termasuk kapasitas dari struktur administrasi,

e. Penelitian yang hati-hati terhadap resiko dan kemungkinan kesuksesan yang berhubungan dengan aspek sektoral dan keruangan, f. Pengertian terhadap operasional dari keterkaitan dan interaksi di antara beberapa elemen yang terkait.

Kemudian ada 3 (tiga) dasar rasional yang mempengaruhi kinerja pusat pertumbuhan secara keseluruhan : 1. Konsentrasi prasarana kota pada pusat pertumbuhan Pemusatan prasarana kota pada pusat-pusat pertumbuhan didefinisikan dalam konteks yang luas yang dimaksudkan untuk mendukung tujuan utama ekonomi dan tujuan sosial. Dalam konteks belanja publik ada sebuah justifikasi terhadap hal tersebut, yaitu tipe prasarana yang dibatasi pada fasilitas yang memiliki skala pelayanan yang luas. Untuk prasarana transportasi termasuk di dalamnya pembangunan baru dan peningkatan jalan dengan fokus pada pusat pertumbuhan yang telah direncanakan, atau dengan kata lain yang menghubungkan pusat pertumbuhan dengan daerah-daerah belakangnya. Prasarana yang berskala luas ini akan menimbulkan eksternalitas, sehingga akan membuat daerah menjadi lebih atraktif bagi perusahaan dalam konteks lokasi dan menstimulasi masuknya investasi ke dalam pusat pertumbuhan. Untuk melengkapi prasarana tersebut harus didukung oleh kebijakan pembangunan yang dikeluasrkan oleh pemerintah daerahnya. 2. Konsentrasi aktivitas perekonomian (aglomerasi) Konsentrasi / aglomerasi aktivitas perekonomian di pusat pertumbuhan terutama industri yang memiliki keterkaitan ke depan (forwad linkage) dan kaitan ke belakang (backward linkage). Hal ini akan dipengaruhi oleh aliran investasi yang masuk langsung ke dalam pusat pertumbuhan dan dikaitkan dengan eksploitasi aglomerasi ekonomi. Konsentrasi aktivitas ekonomi ini sangat bergantung pada kelengkapan prasarana kota. 3. Kutub yang direncanakan berdasarkan keunggulan komperatifnya Hal ini terutama didasarkan pada kebijakan spasial untuk mengembangkan pusat pertumbuhan dengan melihat aspek keunggulan komperatif daerah, kependudukan dan kinerja ekonomi daerah. Bagaimanapun juga rasionalitas dari strategi pusat pertumbuhan memunculkan dua pola yang berbeda, pertama adalah struktur ruang wilayah mengalami perubahan yang radikal dengan pertumbuhan pada kutub yang direncanakan yang disertai oleh redistribusi utama dari populasi dan pekerja dengan gaji murah (low-cost labor) ke dalam pusat dan dengan menimbulkan efek ke sektor lainnya, yaitu

perdagangan dan jasa. Semua itu akan mendorong masuknya investasi ke dalam pusat pertumbuhan dan meningkatkan kinerja ekonomi wilayahnya.

Pengertian dan Fungsi Rumah Menurut John F.C. Turner (1976:151), rumah memiliki dua arti, yaitu sebagai kata benda (produk/komoditi) dan sebagai kata kerja (proses/aktivitas). Rumah sebagai kata benda menunjukan bahwa tempat tinggal (rumah dan lahan) sebagai suatu bentuk hasil produksi atau komoditi, sedangkan sebagai kata kerja menunjukan suatu proses dan akttifitas manusia yang terjadi dalam pembangunan maupun selama proses menghuninya. Pengertian rumah sebagai produk atau komoditi lebih diarahkan pada kriteria pengukuran standar-standar fisik rumah sedangkan dalam pengertian rumah sebagai proses aktivitas kriteria pengukurannya adalah faktor kepuasan. Kemudian Turner (1976, 212213), juga mengidentifikasikan tiga fungsi utama rumah sebagai tempat bermukim, yaitu : a. Rumah sebagai penunjang identitas keluarga, yang diwujudkan pada kualitas hunian atau perlindungan yang diberikan oleh rumah (the quality of shelter provide by housing). Kebutuhan akan tempat tinggal dimaksudkan agar penghuni dapat memiliki tempat berlindung/berteduh agar terlindung dari iklim setempat. b. Rumah sebagai penunjang kesempatan (opportunity) keluarga untuk berkembang dalam kehidupan sosial, budaya dan ekonomi atau fungsi pengaman keluarga. Fungsi ini diwujudkan dalam lokasi tempat rumah itu didirikan. Kebutuhan berupa akses ini diterjemahkan dalam pemenuhan kebutuhan sosial dan kemudahan ke tempat kerja guna mendapatkan sumber penghasilan. c. Rumah sebagai penunjang rasa aman dalam arti terjaminnya keadaan keluarga di masa depan setelah mendapatkan rumah. Jaminan keamanan atas lingkungan perumahan yang ditempati serta jaminan berupa kepemilikan rumah dan lahan (the form of tenure).

Fungsi ketiganya berbeda sesuai dengan tingkat penghasilan, bagi golongan berpenghasilan tinggi atau menengah keatas faktor identity menjadi tuntutan utama, sedangkan pada masyarakat golongan menengah faktor security yang diprioritaskan, pada golongan berpenghasilan rendah atau menengah kebawah faktor opportunity merupakan yang terpenting. Rumah merupakan salah satu kebutuhan dasar (basic need) manusia, sesudah pangan dan sandang. (Budihardjo, 1994:57) menguraikan tingkat intensitas dan arti penting dari

kebutuhan manusia terhadap rumah berdasarkan hirarki kebutuhan dari Maslow, dimulai dari yang terbawah sebagai berikut : a. Rumah memberikan perlindungan terhadap gangguan alam dan binatang, berfungsi sebagai tempat istirahat, tidur, dan pemenuhan fungsi badani. b. Rumah harus bisa menciptakan rasa aman, sebagai tempat menjalankan kegiatan ritual, penyimpanan harta milik yang berharga, menjamin hak pribadi. c. Rumah memberikan peluang untuk interaksi dan aktivitas komunikasi yang akrab dengan lingkungan sekitar : teman, tetangga, keluarga. d. Rumah memberikan peluang untuk tumbuhnya harga diri, yang disebut Pedro Arrupe sebagai : Status Conferring Function, kesuksesan seseorang tercermin dari rumah dan lingkungan tempat huniannya. e. Rumah sebagai aktualisasi diri yang diejawantahkan dalam bentuk pewadahan kreativitas dan pemberian makna bagi kehidupan yang pribadi.

Menurut Undang-Undang RI No. 4 tahun 1992, tentang perumahan dan permukiman, arti rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Perumahan adalah hal yang langsung menyangkut berbagai aspek kehidupan dan harkat hidup manusia. Beberapa faktor yang berpengaruh pada pembangunan perumahan saat ini adalah : kependudukan, pertanahan, daya beli masyarakat, perkembangan teknologi dan industri jasa konstruksi, kelembagaan, peraturan dan perundang-undangan, swadaya dan swakarsa serta peran serta masyarakat dalam pembangunan perumahan (Yudhohusodo, 1991:85-96). Faktor perubahan nilai-nilai budaya masyarakat juga sangat berpengaruh pada pembangunan perumahan, hal ini jelas terlihat pada masyarakat perkotaan, karena sifatnya yang dinamis dan pluralistis, masyarakat kota mempunyai ciri budaya yang beraneka ragam. Dalam membuat keputusan tentang rumah, manusia akan memperhitungkan antara nilai rumah yang ada dengan kebutuhan masing-masing individu, meliputi : prosedur, barang dan pelayanan. Hal yang paling penting adalah tentang lokasi dan akses kepada masyarakat dan tempat-tempat lain, biaya sewa dan kemudahan untuk dipindah tangankan, serta privasi dan kenyamanan (Turner, 1976 : 64).

Kriteria Pembangunan Perumahan Berdasarkan petunjuk Rencana Kawasan Perumahan Kota yang disusun oleh Departemen Pekerjaan Umum tahun 1997, suatu kawasan perumahan selayaknya

memenuhi persyaratan dasar untuk pengembangan kota, yakni : a. Aksesibilitas, yakni kemungkinan pencapaian dari dan ke kawasan perumahan dalam bentuk jalan dan transportasi. b. Kompatibilitas, yakni keserasian dan keterpaduan antara kawasan yang menjadi lingkungannya. c. Fleksibilitas, yakni kemungkinan pertumbuhan fisik/pemekaran kawasan perumahan dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana. d. Ekologi, yakni keterpaduan antara tata kegiatan alam yang mewadahinya.

Sedangkan prasarana dan sarana yang perlu disediakan adalah :


Prasarana Air bersih dan listrik. Pembuangan air hujan dan air kotor (limbah) Jalan lingkungan. Pembuangan sampah Sarana Pendidikan, mulai dari TK, SD, SMP dan SMA Kesehatan, seperti : Balai pengobatan, RS Bersalin (BKIA), Puskesmas, praktek dokter dan apotik. Perniaagaan dan industri. Pemerintahan dan pelayanan umum Kebudayaan dan rekreasi. Peribadatan Olahraga dan taman

Sumber: Dep. PU: Standar-standar Rencana Perkampungan, 1984 dan Pedoman Perencanaan Lingkungan, 1983.

Identifikasi Faktor dalam Menentukan Lokasi Perumahan Perumahan mempunyai fungsi dan peranan yang penting, Rees dalam Yeates dan Garner (1980:291) berpendapat bahwa terdapat tiga elemen yang mempengaruhi keputusan seseorang atau sebuah keluarga dalam menentukan pilihan lokasi tempat tinggal, yaitu: a. Posisi keluarga dalam lingkup sosial, mencakup status sosial ekonomi (pendidikan, pekerjaan dan penghasilan). b. Lingkup perumahan, mencakup: nilai, kualitas dan tipe rumah. c. Lingkup komunitas. d. Lingkup fisik atau lokasi rumah.

Hubungan antara perilaku manusia di dalam area perkotaan dengan ruang sosial di perkotaan telah banyak diteliti, sampai saat ini para ahli geografi telah mengidentifikasikan bahwa gaya hidup, status sosial, dan tingkat kehidupan sangat berpengaruh di dalam hubungan antar tingkah laku individu dengan lingkungan spasial. (Golledge & Stimson, 1990:267). Perpindahan manusia dari satu lokasi ke lokasi lain di perkotaan memegang peranan penting dalam membentuk area sosial perkotaan. Penilaian lokasi perumahan antara individu pasti berbeda, hal ini disebabkan latar belakang tingkat kebutuhan dan kepentingan yang berbeda-beda. (Knox, 1989:171-173). Pengetahuan tentang lokasi perumahan diperoleh dari interaksi antar individu, setelah berproses, informasi yang diperoleh tersebut akan mempengaruhi pandangan tentang populasi dan pendapat/persepsi tempat tinggalnya. Individu tersebut akan membentuk kelompok yang membentuk variasi kluster. Kluster dari individu-individu yang mempunyai persamaan di dalam ekonomi, sosial dan politik akan mempunyai referensi yang sama tentang lokasi tempat tinggal. Kerangka dari referensi ini merupakan hasil dari beberapa faktor termasuk usia, latar belakang sosial, kepercayaan (agama) dan latar belakang etnis. Menurut H.R. Koestoer (1997:24), bahwa faktor sosial dan fisik sangat menentukan dalam pilihan terhadap lokasi tempat tinggal. Dalam studi pengambilan keputusan keluarga terhadap pilihan daerah, ditemukan bahwa faktor aksesibilitas merupakan pengaruh utama dalam pemilihan lokasi tempat tinggal, yaitu kemudahan transportasi dan kedekatan jarak. Faktor lain seperti kaitan tali kekeluargaan (kinship), juga turut mempengaruhi pengambilan keputusan pemilihan tempat tinggal. Sementara itu para ahli geografi mengembangkan model-model tingkah laku rumah tangga dalam memilih lokasi rumahnya, yang diklasifikasikan menjadi dua kategori: a. Asumsi pertama adalah pilihan lokasi tempat tinggal dapat dijelaskan di dalam pengertian trade off antara biaya transportasi dan harga rumah. b. Asumsi kedua adalah model perilaku makro, aksesibilitas bukan syarat utama tetapi kenyamanan lingkungan, sosial ekonomi, psikologi dan waktu adalah syarat utama untuk memilih lokasi tempat tinggal.

1. Faktor Karakteristik Keluarga Analisa mengenai kepuasan terhadap tempat tinggal terpusat pada kepuasan sebagai konsekuensi dari karakteristik keluarga, namun hal ini bukan satu-satunya variabel yang memberi efek rasa puas terhadap tempat tinggal, akan tetapi faktor fisik

lingkungan juga turut berpengaruh terhadap rasa puas. Faktor-faktor yang menjadi latar belakang rasa puas terhadap tempat tinggal (Morris & Winter, 1978:156-157): a. Faktor demografi dan sosial ekonomi, meliputi: tingkat kehidupan, status sosial ekonomi dan struktur keluarga. b. Ketidakpuasan terhadap tempat tinggal yang lama. c. Pengaruh dari kondisi perumahan.

Hubungan dari ketiga faktor tersebut dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Faktor demografi dan sosial ekonomis dipengaruhi oleh tingkat kehidupan, status sosial dan struktur keluarga, maksudnya adalah semakin tinggi tingkat kehidupan seseorang, dengan sendirinya akan mempengaruhi status sosial ekonominya, sehingga individu tersebut akan melalukan penyesuaian perumahan untuk mencocokan dengan status sosial ekonominya. Penyesuaian ini bisa juga dipengaruhi oleh struktur keluarga maksudnya adalah semakin bertambah anggota keluarga maka individu akan menyesuaikan kondisi perumahannya. Penyesuaian juga akan dilakukan apabila individu tersebut merasa tidak puas dengan tempat tinggal yang lama atau bisa juga karena pengaruh dari kondisi disekeliling perumahan. 2. Faktor Karakteristik Lingkungan Kualitas lingkungan mencerminkan kualitas hidup manusia yang ada di dalamnya. Menurut Amos Rapoport (1977:60-61) komponen kualitas lingkungan dapat dibagi menjadi:

a. Variabel lokasi: jarak ke pusat pelayanan, iklim dan topografi. b. Variabel fisik: organisasi ruang yang jelas, udara bersih dan tenang. c. Variabel psikologis: kepadatan penduduk dan kemewahan. d. Variabel sosial ekonomi: suku, status sosial, tingkat kriminalitas dan sistem pendidikan.

Faktor lokasi rumah yang dekat dengan daerah industri juga menjadi pertimbangan, karena masyarakat lebih menyukai tinggal di daerah yang jauh dari daerah industri. Selain itu menurut Drabkin (1980:68) ada juga beberapa faktor yang berpengaruh terhadap pemilihan lokasi perumahan, yang secara individu berbeda satu sama lain, yaitu: a. Aksesibilitas, yang terdiri dari kemudahan transportasi dan jarak ke pusat kota. b. Lingkungan, dalam hal ini terdiri dari lingkungan sosial dan fisik seperti kebisingan, polusi dan lingkungan yang nyaman. c. Peluang kerja yang tersedia, yaitu kemudahan seseorang dalam mencari pekerjaan untuk kelangsungan hidupnya. d. Tingkat pelayanan, lokasi yang dipilih merupakan lokasi yang memiliki pelayanan yang baik dalam hal sarana dan prasarana dan lain-lain.

Faktor lingkungan yang juga menjadi pertimbangan di dalam memilih lokasi perumahan menurut (Bourne,1975:205) adalah: a. Aksesibilitas ke pusat kota: jalan raya utama, sekolah dan tempat rekreasi. b. Karakteristik fisik dan lingkungan permukiman: kondisi jalan, pedestrian, pola jalan dan ketenangan. c. Fasilitas dan pelayanan: kualitas dari utilitas, sekolah, polisi dan pemadam kebakaran. d. Lingkungan sosial: permukiman bergengsi, komposisi sosial ekonomi, etnis dan demografi. e. Karakteristik site rumah: luas tanah, luas bangunan, jumlah kamar dan biaya pemeliharaan.

Berkaitan dengan pemilihan lokasi, Luhst (1997:128) menyebutkan bahwa kualitas kehidupan yang berupa kenyamanan, keamanan dari suatu rumah sangat ditentukan oleh lokasinya. Daya tarik dari suatu lokasi ditentukan oleh dua hal yaitu aksesibilitas dan lingkungan. Aksesibilitas merupakan daya tarik ditentukan oleh kemudahan dalam

pencapaian ke berbagai pusat kegiatan seperti pusat perdagangan, pusat pendidikan, daerah industri, jasa pelayanan perbankan, tempat rekreasi, pelayanan pemerintahan, jasa profesional dan bahkan merupakan perpaduan antara semua kegiatan tersebut.

Perkembangan Kota dan Penentuan Lokasi Perumahan a. Perkembangan Kota Kota adalah kawasan permukiman yang jumlah dan kepadatan penduduk yang relatif tinggi, memiliki luas areal terbatas, pada umumnya bersifat non agraris, tempat sekelompok orang-orang dalam jumlah tertentu dan bertempat tinggal bersama dalam suatu wilayah geografis tertentu, cenderung berpola hubungan rasional, ekonomis dan individualistis (Kamus Tata Ruang, 1997 : 52). Menurut Budihardjo (1996:11) kota merupakan hasil cipta, karsa dan karya manusia yang paling rumit dan muskil sepanjang sejarah Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa begitu banyak masalah bermunculan silih berganti di perkotaan, akibat pertarungan kepentingan berbagai pihak yang latar belakang visi, misi dan motivasinya berbeda satu sama lain. Kota merupakan suatu permukiman yang relatif besar, padat dan permanen, dengan penduduk yang heterogen kedudukan sosialnya (Daljoeni, 1998 : 28). Secara teoritis terdapat tiga cara perkembangan kota, (Zahnd, 1994:24) yairu : Perkembangan horisontal, artinya daerah bertambah sedangkan ketinggian bangunan dan intensitas lahan terbangun (coverage) tetap sama. Perkembangan vertikal, artinya daerah pembangunan dan kualitas lahan terbangun sama, sedangkan ketinggian bertambah. Perkembangan interstial, artinya daerah dan ketinggian bangunan-bangunan rata tetap sama, sedangkan kuantitas lahan terbangun (coverage) bertambah.

Perkembangan kota pada umumnya terdiri dari dua faktor yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal merupakan suatu kekuatan yang terbentuk akibat kedudukan kota dalam kontelasi regional atau wilayah yang lebih luas, sehingga memiliki kemampuan untuk menarik perkembangan dari daerah sekitarnya yang selanjutnya diakomodasikan dalam kekuatan ekonomi kota. Faktor internal adalah kekuatan suatu kota untuk berrkembang dan ditentukan oleh keuntungan geografis, letak, fungsi kota. (Branch, 1996:40). Daldjoeni (1998:203) juga mengemukakan bahwa proses berekspansinya kota dan berubahnya struktur tata guna lahan sebagian besar disebabkan oleh adanya daya

sentrifugal dan data sentripetal pada kota. Yang pertama mendorong gerak ke luar dari penduduk dan berbagai usahanya, lalu terjadi dispersi kegiatan manusia dan relokasi sektor-sektor dan zone-zone kota, yang kedua mendorong gerak ke dalam dari penduduk dan berbagai usahanya sehingga terjadilah pemusatan (konsentrasi) kegiatan manusia. Sujarto (1996:81), mengatakan bahwa perkembangan kota dan pertumbuhan kota sangat dipengaruhi oleh faktor manusia, faktor kegiatan manusia dan faktor pola pergerakan manusia antar pusat kegiatan. Kota merupakan pusat perkembangan dalam suatu wilayah dimana pusat kota tumbuh dan berkembang lebih pesat dibandingkan dengan daerah sekelilingnya. (Edger, M. Hoover, 1977:85). Pada umumnya suatu kota tumbuh dan berkembang karena kegiatan penduduknya, perkembangan kota dapat ditinjau dari beberapa aspek yang dapat menentukan pertumbuhan dan perkembangan suatu kota, yaitu : Perkembangan penduduk perkotaan menunjukan pertumbuhan dan intensitas kegiatan kota. Kelengakapan fasilitas yang disediakan oleh kota dapat menunjukan adanya tingkat pelayanan bagi masyarakatnya. Tingkat investasi kota dimana hasilnya dapat menunjukan tingkat pertumbuhan kota yang dapat tercapai dengan tingkat ekonomi yang tinggi.

Perkembangan kota juga dapat ditinjau dari peningkatan aktivitas kegiatan sosial ekonomi dan pergerakan arus mobilitas penduduk kota yang pada gilirannya menuntut kebutuhan ruang bagi permukima, karena dalam lingkungan perkotaan, perumahan menempati presentasi penggunaan lahan terbesar dibandingkan dengan penggunaan lainnya, sehingga merupakan komponen utama dalam pembentukan struktur suatu kota. Menurut Horton dan Reynold dalam Bourne (1982:159), perkembangan kota selain dilihat dari perkembangan geografis, dapat juga dilihat dari sisi Behavior approach artinya melihat dari sisi pengambil keputusan, yang dimaksud dalam permasalahan ini adalah pengembang. Dalam hal memilih lokasi untuk perumahannya pengembang lebih menekankan pada unsur mencari keuntungan, tanpa memikirkan akibat yang terjadi di kemudian, sehingga perkembangan kota dapat saja mengikuti kemauan pengembang. b. Penentuan Lokasi Perumahan Persepsi perumahan lebih banyak dikaitkan dengan tingkat pendapatan dan lokasi perumahan menurut masyarakat. Menurut teori struktur internal perkotaan dari Burgess, dijelaskan bahwa faktor lokasi sangat penting bagi tingkat penghasilan. Pilihan lokasi

akan hunian umumnya akan berusaha mendekati lokasi aktivitasnya, namun dalam perkembangan penggunaan lahan di perkotan lebih dititik beratkan pada segi ekonomis lahan. Karena semakin dekat dengan pusat aktivitas maka semakin tinggi tingkat aksesibilitas lokasi, guna lahan yang berkembang diatasnya juga akan semakin intensif, yang akibatnya sangat mempengaruhi peruntukan lahan bagi perumahan. Setiap kegiatan manusia memerlukan ruang tertentu, seseorang yang ingin memiliki lahan yang baik dan kondisi lingkungan yang baik serta dekat dengan tempat yang lain untuk kepentingan tertentu, sangat bergantung kepada harga lahan, harga lahan menentukan permintaan atas lahan serta mempengaruhi intensitas persaingan untuk mendapatkan lahan. c. Aktor Pembangunan Perumahan Selama ini yang dianggap sebagai pemeran utaama pembangunan perumahan adalah tiga besar, yaitu pemerintah swasta dan masyarakat. Menurut Menurut Budihardjo (1998:45), pembangunan perumahan dilaksanakan oleh dua sektor yaitu sektor formal dalam hal ini pemerintah, swasta dan hibrida, dan sektor informal yaitu masyarakat dan hibrida, sedangkan aktor-aktor yang terkait dalam pembangunan perumahan adalah seperti tabel dibawah ini:

Dari tabel diatas terlihat bahwa sektor swasta kurang banyak terlibat dalam pembangunan perumaahan untuk kelompok berpenghasilan rendah dan sangat rendah, namun pembangunan perumahan telah dilakukan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan perumahan seluruh lapisan masyarakat dari kelas atas sampai kelas paling rendah.

Sampai saat ini belum jelas apa kriteria dan persyaratan pembangunan perumahan oleh real estate, dalam praktek begitu banyak kejanggalan seolah-olah real estate hanya memberi prioritas bagi warga yang berduit, memberi keuntungan berlipat ganda bagi para spekulan tanah secara langsung dan tidak langsung menggusur rakyat kecil dari permukiman semula (Marbun, 1990:80), sedangkan menurut Gallion (1992-153) bahwa dalam prakteknya, real estate menganggap tanah sebagai suatu komoditi untuk dibeli dengan harga rendah dan dijual dengan harga tinggi. Menurut Budihardjo (1997:24), bila lahan dibiarkan sebagai komoditi ekonomi yang ditarungkan secara bebas, maka mayoritas masyarakat berpenghasilan rendah di perkotaan akan semakin terpuruk dan semakin tidak mampu menjangkau atau memiliki rumah yang layak, yang dibangun oleh pihak swasta, dan jika hal tersebut dibiarkan maka pembangunan perumahan dan permukiman dalam skala besar di perkotaan selalu dihadapkan pada masalah tanah yang makin mahal dan langka serta perlu dikendalikan. (Lukita, 1992). Dalam pemilihan tempat untuk lokasi perumahan, developer/pengembang akan mencari lokasi bangunan yang sesuai dengan cara menyeleksi beberapa tempat. Dari banyak kriteria yang mempengaruhi pemilihan tempat, menurut Catanese (1996:296) yang paling utama adalah : Hukum dan lingkungan, akankah hukum yang berlaku mengijinkan didirikannya gedung dengan ukuran tertentu, persyaratan tempat parkir, tinggi maksimum gedung, batasan-batasan kemunduran dan berbagai kendala lain yang berkaitan. Sarana, suatu proyek membutuhkan pemasangan air, gas, listrik, telepon, tanda bahaya (alaram), jaringan drainase. Faktor teknis, artinya bagaimana keadaan tanah, topografi dan drainase yang mempengaruhi desain tempat atau desain bangunan. Lokasi, yang dipertimbangkan adalah pemasarannya, aksesibilitas, dilewati kendaraan umum dan dilewati banyak pejalan kaki. Estetika, yang dipertimbangkan adalah view yang menarik. Masyarakat, yang dipertimbangkan adalah dampak pembangunan real estate tersebut terhadap masyarakat sekitar, kemacetan lalu lintas dan kebisingan. Fasilitas pelayanan, yang dipertimbangkan adalah aparat kepolisian, pemadam kebakaran, pembuangan sampah, dan sekolah. Biaya, yang dimaksud dengan biaya adalah harga tanah yang murah.

DAFTAR PUSTAKA

Branch, Melville, 1955. Perencanaan kota Komprehensif, pengantar dan penjelasan (terjemahan) Bourne, L.S., Internal Structure of the City - Readings on Space and Environment, Oxford University Press. Inc., Oxford, 1975 Bourne, L.S., Internal Structure of the City - Readings on Urban Growth and Policy, Oxford University Press. Inc., Oxford, 1982 Budihardjo, Eko, Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Perkotaan, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1998 Budihardjo, Eko, Tata Ruang Perkotaan, Penerbit Alumni, Bandung, 1997 Catanese, Anthony J. Snyder. James. C 1992. Perencanaan kota. Penerbit erlangga. Jakarta. Chapin. F. Stuart. Jr. and Kaiser. Edward. J. 1979, urban land use planning, University of illionis Press. Daldjoeni, 1992. Geografi baru, organisasi keruangan dalam teori dan praktek. Penerbit Alumni, bandung. Daldjoeni, N. 1998, Geografi Kota dan Desa. Penerbit Alumni, Bandung. Drabkin, Haim Darin, Land Policy and Urban Growth, Great Britain, Pergamen Press, 1980 Fitri Susanti, Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Karakteristik Perkembangan Kota Air Molek, Pematang Reba Dan Rengat (Magister Perencanaan Kota dan Daerah (MPKD-UGM Tahun 2003), Tesis Gallion, Arthur, B. & Simon Eisher, Pengantar Perancangan Kota, Erlangga, Jakarta, 1992 Golledge, Reginald George & Stimson Robert J., Analytical Behavioral Geography. Routledge, 1990 Hagget, Peter. 1970, Geography, A Modern Synthesis. 3rd Edition, Harper and Row Publisher, London.

Hoover, Edgar, An In Introduction to Regional Economics, Second Edition, Alfret A., 1977 Ilhami. 1990, Strategi Pembangunan Perkotaan di Indonesia. Penerbit Usaha Nasional, Surabaya Jayadinata, Johara T. 1992, Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Kota dan Wilayah. Penerbit ITB, Bandung Jayadinata, Johara T, 1999. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Perdesaan, Perkotaan dan Wilayah, ITB Bandung Koestoer, Raldi Hendro, Dimensi Keruangan Kota, Teori dan Kasus, UI Press, Jakarta, 2001 Knox, Paul, Urban Social Geography, Longman Scientific & Technical, 1989 Luhst. K. M., Real Estate Evaluation, Principles Aplication Press,USA, 1997 Lukita Enggartiasto, Sistem Penyediaan Perumahan Di Perkotaan Khususnya Jakarta, Makalah Seminar Nasional Information On Urban Housing Jurusan Arsitektur dan Program Studi Real Estate Universitas Tarumanegara, Jakarta, 1992 Marbun. B. N., Kota Indonesia Masa Depan, Masalah dan Prospek, Erlangga, Jakarta 1990 Morris Earl W. & Winter Mary, Housing, Family and Society, Jhon Willley & Sons Inc. 1978 Myrdal, Gunnar, Economic Theory In Underdeveloped Regions, Duckworth London, 1957 Nawanir, Hanif (2003), Studi Pengembangan Ekonomi dan Keruangan Kota Sawahlunto Pascatambang, Tesis Program Pascasarjana Universitas Diponegoro (2003) Parr, John B, Growth Pole Strategies in Regional Economic Planning : A Retrospective View, Carfax Publishing 1999. Perlof, HS, ES Dunn, EE Lampard and RF Muth, Regions, Resources and Economic Growth, Resources of The Future Inc. John Hopkins Press, Baltimore 1960.

R. Nuzulina Ilmiaty Ismail, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Perumahan Di Jakarta Selatan (Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah Dan Kota Universitas Diponegoro Semarang), Tesis Rapoport, Amos, Human Aspects Of Urban Form, Pergamon Press, 1977 S. Djoko. Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990. Tesis Sujarto, Djoko, Penataan Ruang Dalam Pengembangan Kota Baru, BPPT, Jakarta, 1996 Sujarto, Djoko. 1989, Faktor Sejarah Perkembangan Kota Dalam Perencanaan Perkembangan Kota. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB, Bandung Sujarto, Djoko. 1992, Perkembangan Perencanaan Tata Ruang Kota di Indonesia. Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan ITB, Bandung Turner, John F., Housing By People - Towards Autonomy In Building Environments, Marion Boyars Publishers Ltd, London, 1976 Yeates, Maurice & Garner Barry, The North American City, Harper & Row Publisher, New York. 1980 Yunus, Hadi Sabari. 1994, Teori dan Model Struktur Keruangan Kota. Fakultas Geografi UGM, Yogyakarta Yunus, Hadi Sabari. 2000, Struktur Tata Ruang Kota. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Yudohusodo, Siswono, Rumah Untuk Seluruh Rakyat, Yayasan Padamu Negeri, Jakarta. 1991 Zahnd, Markus, Perancangan Kota Secara Terpadu, Kanisius, Yogyakarta, 1999

Kebijakan dan Peraturan Petunjuk Perencanaan Kawasan Perumahan Kota, Dep. PU, Jakarta, 1977 Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1992, Tentang Perumahan Dan Permukiman. Kamus Tata Ruang, Dirjen Cipta karya, Dep. PU dan IAP, Jakarta. 1977

Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 2010 Rencana Tata Ruang Wilayah Jakarta 1985-2005 Jakarta Planing Atlas, Dinas Tata Kota DKI Jakarta, 1995 Jakarta Selatan Dalam Angka, BPS, 2001 RP4D Jakarta Selatan, Dinas Perumahan DKI Jakarta, 2002 http://ssbelajar.blogspot.com/2012/12/pengertian-pusat-pertumbuhan.html

You might also like