You are on page 1of 17

Keuntungan dan kerugian Release-nya PP no.

51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian bagi para Apoteker


Keuntungan : Kita sebagai anggota keluarga besar farmasi di Indonesia patut berbahagia dengan terbitnya atau release-nya PP no 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, karena dibalik itu semua apoteker saat ini mendapatkan banyak keuntungan dari segi pengakuan oleh pemerintah serta masyarakat sampai segi bisnis dan pendapatan yang bila disertai tanggung jawab besar dan keberanian akan membuahkan hasil maksimal. Salah satu keuntungan dapat dilihat dari upaya pemerintah dalam memajukan dunia kefarmasian dengan mengharuskan tenaga teknis kefarmasian seperti Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Asisten Apoteker untuk di registrasi oleh Menteri Kesehatan dan mempunyai STRTTK yang direkomendasikan oleh apoteker di tempat kerja bila ingin melakukan pekerjaan kefarmasian. Apoteker sekarang harus ada di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian seperti apotek, instalasi farmasi, puskesmas, klinik, dan praktek bersama; Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi meliputi Industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat tradisional dan pabrik kosmetika; serta Fasilitas Distribusi atau penyaluran sediaan farmasi. pasal ini juga merupakan suatu kemajuan yang baik karena memang di tempat-tempat seperti puskesmas, klinik dan praktek bersama saat ini tidak selalu ada apoteker di sana, padahal di tempattempat tersebut terdapat kegiatan pelayanan kefarmasian. Ketentuan ini sangat

menguntungkan masyarakat sebagai pengguna layanan kesehatan tersebut karena masyarakat akan mendapat pengobatan yang tepat. selain itu, apoteker dengan farmakoekonomi dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan pengobatan yang lebih ekonomis namun rasional. Dengan adanya pasal ini secara tidak langsung, lapangan pekerjaan bagi para apoteker semakin luas. Adanya ketentuan bahwa Penyerahan obat dari resep dokter harus dilakukan oleh apoteker memberi konsekwensi pada apoteker untuk selalu ada ketika suatu apotek dan instalasi farmasi itu buka untuk melakukan pelayanan resep. Oleh karena itu, lebarnya peluang lapangan pekerjaan harus diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan seorang apoteker. Pada pasal 24 (b), Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau mengganti obat merek dagang satu dengan merek dagang

lainnya dengan persetujuan dokter dan / atau pasien. ketentuan ini sangat membantu pasien yang kurang mampu ketika harus memperoleh pengobatan yang rasional namun biaya obatnya mahal karena menggunakan obat merek dagang. Keuntungan financial pasca terbitnya PP no 51 tahun 2009 Pada saat ini, pengetahuan dan tingkat ekonomi masyarakat sudah semakin meningkat, konsekwensinya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan pun menjadi semakin tinggi, termasuk pelayanan informasi obat yang dirasa masih kurang. Di sisi lain produk obat semakin bervariasi dan lebih poten tetapi minim informasi atau malah informasinya menyesatkan sehingga peran apoteker sangat dibutuhkan sebagai drug informer yang memang mempunyai pengetahuan dan keahlian dibidang itu, ditambah lagi apoteker memiliki legalitas kewenangan yang sah menurut peraturan undang-undangan yang berlaku. Tetapi kenyataannya hal itu sulit dilakukan karena apotek-apotek yang ada sekarang kebanyakan bukan dimiliki oleh apoteker melainkan orang awam (pemilik sarana apotek) yang notabene lebih berorientasi profit dan seringkali tidak mempedulikan hak masyarakat akan informasi obat. Maka sudah saatnya apoteker mengambil alih bisnis apotek agar fungsi utama apotek sebagai salah satu sarana kesehatan yang bertanggung jawab dalam pelayanan informasi obat kepada masyarakat dapat berjalan dengan baik. Idealnya memang apotek seharusnya hanya boleh didirikan, dimiliki dan dikelola oleh seorang apoteker. Asumsinya adalah jika apotek dipegang oleh orang yang berkompeten di bidangnya maka fungsi apotek dapat berjalan sebagaimana mestinya, yakni sebagai sarana kesehatan, bukan sekedar bisnis semata. Ini adalah pelaksanaan murni dari PP No. 25 Tahun 1980. Boleh saja apoteker bekerja sama dengan pemilik sarana apotek tetapi apotek tetap menjadi milik dan atas nama apoteker. Memang saat ini di dalam Surat Izin Apotek (SIA) disebutkan izin apotek diberikan kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA), tetapi karena ada PSA di dalamnya, kenyataan yang terjadi adalah apotek dianggap milik PSA sedangkan APA hanya sebagai pengelola (baca: karyawan). Mengubah hal ini memang membutuhkan perjuangan yang mungkin akan memakan waktu yang lama karena pasti banyak ditentang dari kalangan bisnis yang sudah terbiasa mendapat keuntungan dari bisnis apotek. Maka solusi yang terbaik saya rasa untuk saat ini adalah dengan mendirikan apotek sendiri, jadi APA sekaligus PSA. Dengan semakin

banyaknya apoteker yang terjun langsung ke bisnis apotek maka dengan sendirinya atmosfer apotek yang beraroma bisnis semata akan berubah. Bahkan bisa memaksa pemain lain untuk mengikuti trend yang kita ciptakan jika ternyata masyarakat lebih menyukai apotek yang memberikan pelayanan informasi obat yang prima (karena dikelola langsung oleh apoteker). Tantangannya sekarang adalah Beranikah kita? Seharusnya kita berani, mengingat manfaatnya yang luar biasa besar, baik bagi apoteker sendiri, profesi, pemerintah maupun masyarakat. 1. Manfaat bagi apoteker: 1. Sumber penghasilan 2. Lebih profesional dalam bekerja 3. Lebih dihargai masyarakat (kebanggaan profesi) 2. Manfaat bagi profesi 1. Profesi Apoteker mendapat tempat terhormat di mata masyarakat 2. Profesi Apoteker akan diakui dan disegani oleh profesi kesehatan lainnya. 3. Manfaat bagi pemerintah 1. Membantu program pemerintah 2. Mencegah pelanggaran distribusi obat. 3. Mencegah meluasnya penyalahgunaan obat dan penggunaan obat yang salah yang pada gilirannya akan menurunkan biaya kesehatan dan meningkatkan derajat

kesehatanmasyarakat. 4. Manfaat bagi masyarakat 1. Mendapatkan informasi obat yang benar.

2. Swamedikasi yang benar karena dibimbing oleh apoteker. 3. Mencegah resistensi, efek samping, dll akibat penggunaan obat yang salah 4. Mengurangi beban biaya kesehatan masyarakat karena semakin paham tentang obat. Untuk memulai usaha ini, jangan didahulukan dengan bertanya berapa omzetnya, berapa resep yang akan masuk, dapat untung atau tidak. Jika yang muncul di awal adalah pertanyaan semacam ini maka kita tidak akan pernah berani membuka apotek. Beberapa hal ini sering dianggap sebagai kendala bagi apoteker untuk memulai bisnis apotek: 1. Permodalan yang terkesan memberatkan. Untuk mengatasi kendala permodalan yang besar dapat kita manfaatkan relasi yang ada sehingga peluang untuk bekerja sama dengan pemodal dapat ditemukan. 2. Takut rugi/tidak laku. Untuk yang satu ini penulis punya rumus sederhana yaitu omzet > 5 kali biaya operasional. Artinya jika biaya gaji karyawan, sewa tempat (tidak ada jika milik sendiri), listrik, dan telepon sekitar 6 juta, maka omzet minimal agar impas adalah 30 juta perbulan (cuma 1,2 juta perhari), lebih dari itu sudah untung. 3. Apotek sudah menjamur, sehingga takut bersaing. Menurut saya apotek yang memberikan informasi obat yang prima belum menjamur alias masih langka. 4. Kurangnya pengetahuan tentang masalah resep dan manajemen apotek. Berdasarkan pengalaman, dengan bekal keilmuan kita, apoteker hanya butuh paling lama satu bulan untuk menguasai ilmu resep. 5. Kurang memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Dengan memberanikan diri sering berkomunikasi dengan pasien pasti lambat laun bisa. Beberapa poin ini mungkin dapat memotivasi kita: 1. Pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjalankan profesi sudah kita dapatkan di bangku kuliah.

2. Pengalaman kerja sudah kita dapatkan minimal pada praktek kerja profesi (PKL) Orang lain saja (PSA) mampu menggaji apoteker bahkan sampai apoteknya berkembang, mengapa kita yang mengerti obat tidak bisa. 3. Agar lebih mantap sebaiknya kita juga belajar ilmu kewirausahaan. Kerugian : Dalam hal ini bukan kerugian secara absolute yang akan dibahas tetapi Beberapa Hal yang Perlu diperjuangkan dan diperjelas dari PP no 51 tahun 2009 agar lebih memantapkan langah kedepannya : 1. Rahasia kefarmasian dan kedokteran hanya dapat dibuka untuk kepentingan pasien, memenuhi permintaan hakim dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien dan/atau berdasarkan peraturan perundang-undangan. dalam pasal ini tidak disebutkan pembukaan informasi (rahasia) kefarmasian atau kedokteran untuk kepentingan ilmiah. 2. Banyak pasal dan ketentuan yang harus diperjelas dengan peraturan menteri, hal ini perlu menjadi catatan tersendiri bagi penentu kebijakan dan organisasi profesi untuk segera memperjelas hal-hal yang belum diatur tersebut. Jika PP no 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian ini sudah diterapkan dengan baik, maka kesempatan Apoteker untuk melakukan pekerjaan kefarmasian semakin luas dan mempunyai daya tawar yang tinggi. oleh karena itu organisasi profesi sebagai pembina dari seorang apoteker diharapkan dapat memberikan advokasi dalam hal ini.

Baru baru ini muncul peraturan pemerintah no.51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian yang dapat dijadikan sebagai payung hukum bagi pelaksanaan pekerjaan kefarmasian, namun seperti peraturan lainnya banyak muncul pro dan kontra atas penerbitan PP ini, saya bersama teman2 di kampus mencoba berdiskusi dan mencoba menganalisa bahwa dengan adanya PP ini akan memberikan beberapa keuntungan juga kerugiannya, yaitu Keuntungan : 1. Apoteker yang telah melakukan registrasi akan mendapatkan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) sehingga memudahkan mapping untuk apoteker seluruh indonesia (Pasal 1 (20), pasal 39 (1) dan (2)). 2. Posisi yang harus diisi Apoteker di Industri farmasi bagian pemastian mutu/quality assurance (QA) (Pasal 9 (1)). Sebelum PP 51 : posisi QA boleh non-farmasi. 3. Industri Obat Tradisional (IOT) dan pabrik kosmetika harus memiliki minimal 1 orang apoteker sebagai penanggung jawab (Pasal 9 (2)). Sebelum PP 51 : tidak diharuskan penanggung jawab seorang apoteker.

4. Apoteker dapat menjalankan pelayanan kefarmasian di Puskesmas (Pasal 19). Kondisi tersebut memungkinkan bagi Apoteker yang bekerja di Puskesmas untuk meningkatkan jabatannya menjadi Kepala Puskesmas. Sebelum PP 51 : tidak mengatur pelayanan kefarmasian di Puskesmas. 5. Keberadaan Apotek Rakyat (yang berada di sekitar jalan Pramuka) bisa menjadi ilegal karena bertentangan dengan PP 51 Pasal 21 (1) dan (2), pasal 51 (1). 6. Apoteker dapat mengangkat seorang apoteker pendamping sehingga pelayanan kefarmasian dapat terjaga kualitasnya sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (Pasal 24). Sebelum PP 51 : tidak ada apoteker pendamping. 7. Peluang pekerjaan bagi apoteker bertambah dengan adanya poin 2, 3 dan 4. 8. Masuknya Apoteker asing ke Indonesia harus menjadi motivasi dalam meningkatkan pelayanan kefarmasian. Kerugian : 1. Kewajiban mengurus STRA menambah pengeluaran bagi setiap apoteker (Pasal 39). 2. Dokter dan dokter gigi masih melakukan dispensing pada daerah terpencil (Pasal 22). Definisi daerah terpencil harus diperjelas supaya dispensing yang dilakukan dokter dan dokter gigi menjadi tepat. 3. Substitusi obat merek dagang dengan obat merek dagang lainnya akan menciptakan monopoli perdagangan (Pasal 24 (b)). 4. Masuknya Apoteker asing ke Indonesia akan mempersempit lahan pekerjaan (Pasal 42). 5. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaa pekerjaan Kefarmasian tidak melibatkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) (Pasal 58). Besar harapan saya teman2 bisa memberikan sedikit komentar dengan munculnya PP ini, dan kembali kita berdiskusi melalui blog ini, terimakasih

Keuntungan dan kerugian apoteker dengan keluarnya PP 51 tahun 2009


dengan keluarnya pp 51 yang baru di sahkan beberapa bulan yang lalu.. telah memunculkan banyak kontroversi. apoteker sendiri banyak mendapat keuntungan tetapi ad juga kerugiannya. keuntungan dan kerugian yang di dapat oleh seorang apoteker adalah.. Keuntungan : 1. Apoteker yang telah melakukan registrasi akan mendapatkan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) sehingga memudahkan mapping untuk apoteker seluruh indonesia (Pasal 1 (20), pasal 39 (1) dan (2)). 2. Posisi yang harus diisi Apoteker di Industri farmasi bagian pemastian mutu/quality assurance (QA) (Pasal 9 (1)). Sebelum PP 51 : posisi QA boleh non-farmasi. 3. Industri Obat Tradisional (IOT) dan pabrik kosmetika harus memiliki minimal 1 orang apoteker sebagai penanggung jawab (Pasal 9 (2)). Sebelum PP 51 : tidak diharuskan penanggung jawab seorang apoteker. 4. Apoteker dapat menjalankan pelayanan kefarmasian di Puskesmas (Pasal 19). Kondisi tersebut memungkinkan bagi Apoteker yang bekerja di Puskesmas untuk meningkatkan jabatannya menjadi Kepala Puskesmas. Sebelum PP 51 : tidak mengatur pelayanan kefarmasian di Puskesmas. 5. Keberadaan Apotek Rakyat bisa menjadi ilegal karena bertentangan dengan PP 51 Pasal 21 (1) dan (2), pasal 51 (1). 6. Apoteker dapat mengangkat seorang apoteker pendamping sehingga pelayanan kefarmasian dapat terjaga kualitasnya sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (Pasal

24). Sebelum PP 51 : tidak ada apoteker pendamping. 7. Peluang pekerjaan bagi apoteker bertambah dengan adanya poin 2, 3 dan 4. 8. Masuknya Apoteker asing ke Indonesia harus menjadi motivasi dalam meningkatkan pelayanan kefarmasian. Kerugian : 1. Kewajiban mengurus STRA menambah pengeluaran bagi setiap apoteker (Pasal 39). 2. Dokter dan dokter gigi masih melakukan dispensing pada daerah terpencil (Pasal 22). Definisi daerah terpencil harus diperjelas supaya dispensing yang dilakukan dokter dan dokter gigi menjadi tepat. 3. Substitusi obat merek dagang dengan obat merek dagang lainnya akan menciptakan monopoli perdagangan (Pasal 24 (b)). 4. Masuknya Apoteker asing ke Indonesia akan mempersempit lahan pekerjaan (Pasal 42). Pembinaan dan pengawasan pelaksanaa pekerjaan Kefarmasian tidak melibatkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) (Pasal 58).

ndang-Undang Kefarmasian PP 51
Keuntungan dan kerugian Release-nya PP no.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian bagi para Apoteker Keuntungan : Kita sebagai anggota keluarga besar farmasi di Indonesia patut berbahagia dengan terbitnya atau release-nya PP no 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian, karena dibalik itu semua apoteker saat ini mendapatkan banyak keuntungan dari segi pengakuan oleh pemerintah serta masyarakat sampai segi bisnis dan pendapatan yang bila disertai tanggung jawab besar dan keberanian akan membuahkan hasil maksimal. Salah satu keuntungan dapat dilihat dari upaya pemerintah dalam memajukan dunia kefarmasian dengan mengharuskan tenaga teknis kefarmasian seperti Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Asisten Apoteker untuk di registrasi oleh Menteri Kesehatan dan mempunyai STRTTK yang direkomendasikan oleh apoteker di tempat kerja bila ingin melakukan pekerjaan kefarmasian. Apoteker sekarang harus ada di Fasilitas Pelayanan Kefarmasian seperti apotek, instalasi farmasi, puskesmas, klinik, dan praktek bersama; Fasilitas Produksi Sediaan Farmasi meliputi Industri farmasi obat, industri bahan baku obat, industri obat tradisional dan pabrik kosmetika; serta Fasilitas Distribusi atau penyaluran sediaan farmasi. pasal ini juga merupakan suatu kemajuan yang baik karena memang di tempat-tempat seperti puskesmas, klinik dan praktek bersama saat ini tidak selalu ada apoteker di sana, padahal di tempat-tempat tersebut terdapat kegiatan pelayanan kefarmasian. Ketentuan ini sangat menguntungkan masyarakat sebagai pengguna layanan kesehatan tersebut karena masyarakat akan mendapat pengobatan yang tepat. selain itu, apoteker dengan farmakoekonomi dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan pengobatan yang lebih ekonomis namun rasional. Dengan adanya pasal ini secara tidak langsung, lapangan pekerjaan bagi para apoteker semakin luas. Adanya ketentuan bahwa Penyerahan obat dari resep dokter harus dilakukan oleh apoteker memberi konsekwensi pada apoteker untuk selalu ada ketika suatu apotek dan instalasi farmasi itu buka untuk melakukan pelayanan resep. Oleh karena itu, lebarnya peluang lapangan pekerjaan harus diikuti dengan peningkatan kualitas pelayanan seorang apoteker.

Pada pasal 24 (b), Apoteker dapat mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau mengganti obat merek dagang satu dengan merek dagang lainnya dengan persetujuan dokter dan / atau pasien. ketentuan ini sangat membantu pasien yang kurang mampu ketika harus memperoleh pengobatan yang rasional namun biaya obatnya mahal karena menggunakan obat merek dagang. Keuntungan financial para apoteker pasca terbitnya PP no 51 tahun 2009 Pada saat ini, pengetahuan dan tingkat ekonomi masyarakat sudah semakin meningkat, konsekwensinya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan pun menjadi semakin tinggi, termasuk pelayanan informasi obat yang dirasa masih kurang. Di sisi lain produk obat semakin bervariasi dan lebih poten tetapi minim informasi atau malah informasinya menyesatkan sehingga peran apoteker sangat dibutuhkan sebagai drug informer yang memang mempunyai pengetahuan dan keahlian dibidang itu, ditambah lagi apoteker memiliki legalitas kewenangan yang sah menurut peraturan undang-undangan yang berlaku. Tetapi kenyataannya hal itu sulit dilakukan karena apotek-apotek yang ada sekarang kebanyakan bukan dimiliki oleh apoteker melainkan orang awam (pemilik sarana apotek) yang notabene lebih berorientasi profit dan seringkali tidak mempedulikan hak masyarakat akan informasi obat. Maka sudah saatnya apoteker mengambil alih bisnis apotek agar fungsi utama apotek sebagai salah satu sarana kesehatan yang bertanggung jawab dalam pelayanan informasi obat kepada masyarakat dapat berjalan dengan baik. Idealnya memang apotek seharusnya hanya boleh didirikan, dimiliki dan dikelola oleh seorang apoteker. Asumsinya adalah jika apotek dipegang oleh orang yang berkompeten di bidangnya maka fungsi apotek dapat berjalan sebagaimana mestinya, yakni sebagai sarana kesehatan, bukan sekedar bisnis semata. Ini adalah pelaksanaan murni dari PP No. 25 Tahun 1980. Boleh saja apoteker bekerja sama dengan pemilik sarana apotek tetapi apotek tetap menjadi milik dan atas nama apoteker. Memang saat ini di dalam Surat Izin Apotek (SIA) disebutkan izin apotek diberikan kepada Apoteker Pengelola Apotek (APA), tetapi karena ada PSA di dalamnya, kenyataan yang terjadi adalah apotek dianggap milik PSA sedangkan APA hanya sebagai pengelola (baca: karyawan). Mengubah hal ini memang membutuhkan perjuangan yang mungkin akan memakan waktu yang lama karena pasti banyak ditentang dari kalangan bisnis yang sudah terbiasa mendapat keuntungan dari bisnis apotek. Maka solusi yang terbaik saya rasa untuk saat ini adalah dengan mendirikan apotek sendiri, jadi APA sekaligus PSA. Dengan semakin banyaknya apoteker yang terjun langsung ke bisnis apotek maka dengan sendirinya atmosfer apotek yang beraroma bisnis semata akan berubah. Bahkan bisa memaksa pemain lain untuk mengikuti trend yang kita ciptakan jika ternyata masyarakat lebih menyukai apotek yang memberikan pelayanan informasi obat yang prima (karena dikelola langsung oleh apoteker). Tantangannya sekarang adalah Beranikah kita? Seharusnya kita berani, mengingat manfaatnya yang luar biasa besar, baik bagi apoteker sendiri, profesi, pemerintah maupun masyarakat. 1. Manfaat bagi apoteker: a. Sumber penghasilan b. Lebih profesional dalam bekerja c. Lebih dihargai masyarakat (kebanggaan profesi) 2. Manfaat bagi profesi a. Profesi Apoteker mendapat tempat terhormat di mata masyarakat b. Profesi Apoteker akan diakui dan disegani oleh profesi kesehatan lainnya. 3. Manfaat bagi pemerintah

a. Membantu program pemerintah b. Mencegah pelanggaran distribusi obat. c. Mencegah meluasnya penyalahgunaan obat dan penggunaan obat yang salah yang pada gilirannya akan menurunkan biaya kesehatan dan meningkatkan derajat kesehatanmasyarakat. 4. Manfaat bagi masyarakat a. Mendapatkan informasi obat yang benar. b. Swamedikasi yang benar karena dibimbing oleh apoteker. c. Mencegah resistensi, efek samping, dll akibat penggunaan obat yang salah d. Mengurangi beban biaya kesehatan masyarakat karena semakin paham tentang obat. Untuk memulai usaha ini, jangan didahulukan dengan bertanya berapa omzetnya, berapa resep yang akan masuk, dapat untung atau tidak. Jika yang muncul di awal adalah pertanyaan semacam ini maka kita tidak akan pernah berani membuka apotek. Beberapa hal ini sering dianggap sebagai kendala bagi apoteker untuk memulai bisnis apotek: 1. Permodalan yang terkesan memberatkan. Untuk mengatasi kendala permodalan yang besar dapat kita manfaatkan relasi yang ada sehingga peluang untuk bekerja sama dengan pemodal dapat ditemukan. 2. Takut rugi/tidak laku. Untuk yang satu ini penulis punya rumus sederhana yaitu omzet > 5 kali biaya operasional. Artinya jika biaya gaji karyawan, sewa tempat (tidak ada jika milik sendiri), listrik, dan telepon sekitar 6 juta, maka omzet minimal agar impas adalah 30 juta perbulan (cuma 1,2 juta perhari), lebih dari itu sudah untung. 3. Apotek sudah menjamur, sehingga takut bersaing. Menurut saya apotek yang memberikan informasi obat yang prima belum menjamur alias masih langka. 4. Kurangnya pengetahuan tentang masalah resep dan manajemen apotek. Berdasarkan pengalaman, dengan bekal keilmuan kita, apoteker hanya butuh paling lama satu bulan untuk menguasai ilmu resep. 5. Kurang memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Dengan memberanikan diri sering berkomunikasi dengan pasien pasti lambat laun bisa. Beberapa poin ini mungkin dapat memotivasi kita: 1. Pengetahuan yang dibutuhkan untuk menjalankan profesi sudah kita dapatkan di bangku kuliah. 2. Pengalaman kerja sudah kita dapatkan minimal pada praktek kerja profesi (PKL) Orang lain saja (PSA) mampu menggaji apoteker bahkan sampai apoteknya berkembang, mengapa kita yang mengerti obat tidak bisa. 3. Agar lebih mantap sebaiknya kita juga belajar ilmu kewirausahaan. Kerugian : Dalam hal ini bukan kerugian secara absolute yang akan dibahas tetapi Beberapa Hal yang Perlu diperjuangkan dan diperjelas dari PP no 51 tahun 2009 agar lebih memantapkan langah kedepannya : 1. Rahasia kefarmasian dan kedokteran hanya dapat dibuka untuk kepentingan pasien, memenuhi permintaan hakim dalam rangka penegakan hukum, permintaan pasien dan/atau berdasarkan peraturan perundang-undangan. dalam pasal ini tidak disebutkan pembukaan informasi (rahasia) kefarmasian atau kedokteran untuk kepentingan ilmiah. 2. Banyak pasal dan ketentuan yang harus diperjelas dengan peraturan menteri, hal ini perlu menjadi catatan tersendiri bagi penentu kebijakan dan organisasi profesi untuk segera memperjelas hal-hal yang belum diatur tersebut. Jika PP no 51 tentang Pekerjaan Kefarmasian ini sudah diterapkan dengan baik, maka kesempatan

Apoteker untuk melakukan pekerjaan kefarmasian semakin luas dan mempunyai daya tawar yang tinggi. oleh karena itu organisasi profesi sebagai pembina dari seorang apoteker diharapkan dapat memberikan advokasi dalam hal ini Diposkan oleh ahmad fauzan di 05.37

3......................... e search terms are highlighted:


keuntungan pp 51 tentang pelayanan kefarmasian

Materi Kuliah Apoteker


[Kumpulan Materi Kuliah Apoteker Universitas Islam Indonesia]

Home Saepudin.S.si.,M.si.,Apt Medscape Dunia Farmasi Download Winrar 4.0 Download PDF 10.0.1

Grab this Headline Animator

Yok Diskusi tentang PP 51 Kuliah Etika dan Undang-Undang Farmasi


Posted by Aji Wibowo in Jumat, 25 Maret 2011

Keberadaan PP 51 yang katanya dapat dijadikan sebagai payung hukum bagi pelaksanaan pekerjaan kefarmasian, namun seperti peraturan lainnya banyak muncul pro dan kontra atas penerbitan PP ini, Apa sih Keuntungannya ?? Lalu apa ada Kerugiannya ??

Keuntungan : 1. Apoteker yang telah melakukan registrasi akan mendapatkan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) (penjelasan dari pak elvi) sehingga memudahkan mapping untuk apoteker seluruh indonesia (Pasal 1 (20), pasal 39 (1) dan (2)). 2. Posisi yang harus diisi Apoteker di Industri farmasi bagian pemastian mutu/quality assurance (QA) (Pasal 9 (1)). Sebelum PP 51 : posisi QA boleh non-farmasi. (posisi Direksi ga ada aturannya harus Apt hahahaha....) 3. Industri Obat Tradisional (IOT) dan pabrik kosmetika harus memiliki minimal 1 orang apoteker sebagai penanggung jawab (Pasal 9 (2)). Sebelum PP 51 : tidak diharuskan penanggung jawab seorang apoteker. (Alhamdulillah,...) 4. Apoteker dapat menjalankan pelayanan kefarmasian di Puskesmas (Pasal 19). Kondisi tersebut memungkinkan bagi Apoteker yang bekerja di Puskesmas untuk meningkatkan jabatannya menjadi Kepala Puskesmas. Sebelum PP 51 : tidak mengatur pelayanan kefarmasian di Puskesmas. (Josss !!) 5. Keberadaan Apotek Rakyat (yang berada di sekitar jalan Pramuka) bisa menjadi ilegal karena bertentangan dengan PP 51 Pasal 21 (1) dan (2), pasal 51 (1). (Harusnya Pemerintah Tegas dg Apotek Pramuka itu) 6. Apoteker dapat mengangkat seorang apoteker pendamping sehingga pelayanan kefarmasian dapat terjaga kualitasnya sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (Pasal 24). Sebelum PP 51 : tidak ada apoteker pendamping. 7. Peluang pekerjaan bagi apoteker bertambah dengan adanya poin 2, 3 dan 4. Masuknya Apoteker asing ke Indonesia harus menjadi motivasi dalam meningkatkan pelayanan kefarmasian. Kerugian : 1. Kewajiban mengurus STRA menambah pengeluaran bagi setiap apoteker (Pasal 39). 2. Dokter dan dokter gigi masih melakukan dispensing pada daerah terpencil (Pasal 22). 3. Definisi daerah terpencil harus diperjelas supaya dispensing yang dilakukan dokter dan dokter gigi menjadi tepat. 4. Substitusi obat merek dagang dengan obat merek dagang lainnya akan menciptakan monopoli perdagangan (Pasal 24 (b)). 5. Masuknya Apoteker asing ke Indonesia akan mempersempit lahan pekerjaan (Pasal 42). 6. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaa pekerjaan Kefarmasian tidak melibatkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) (Pasal 58) ada juga Kebaikan yang berkomentar tentang PP51 seperti ini

1. pelayanan asuhan kefarmasian dapat dijalankan dengan sempurna dengan didukung PP ini

2. berharap

tidak

ada

lagi

dokter

yang

dispensing

3. mudah mudahan tenaga apoteker dapat bekerja dengan penuh waktu di apotek bukan sebagai nama saja 4. dengan adanya PP ini para Asisten apoteker/tenaga teknis kefarmasian sangat berlega hati karena para apoteker bekerja penuh waktu dan tentu siap didampingi sebagai mitra serumpun kan

keburukan: 1. pada ketentuan umum pasal 19 tidak menyebutkan organisasi untuk Asisten Apoteker/Tenaga Teknis Kefarmasian yaitu PAFI, tentunya harus disebutkan 2. pasal 38 (4)dan pasal 47 (c) tentang rekomendasi dan kemampuan yang diberikan untuk tenaga Teknis Kefarmasian diberikan oleh Apoteker. Hal ini dapat menimbulkan efek efek tidak positif seperti: perilaku dari Apoteker itu sendiri ( mempunyai sikap senang dan tidak senang ) dan bukankah kemampuan /Asessment hanya bisa dinilai oleh organisasi profesinya sebagai pembina (PAFI) bersama lembaga lain yang memang terakreditasi/diakui seperti BNSP, MTKI/MTKP lalu sekarang pertanyaannya adalah bagaimana menurut teman-teman ? persoalan PP 51 ini katanya buat bahan diskusi pak suriyanto dan pak elvi pada pertemuan kuliah ETIKA dan UNDANG-UNDANG FARMASI

Diskusi Panel PP 51 Tentang Pekerjaan Kefarmasian


Posted by : fmunpad on Thursday, Oct 29th, 2009 in Berita JATINANGOR-12/10/09. Disahkan dan diterbitkannya PP 51 mengundang reaksi dari Civitas Akademika Fakultas Farmasi, Unpad sehingga telah dilaksanakan Diskusi panel dan membahasnya. Diskusi panel ini dihadiri oleh Dekan Fakultas, para Pembantu Dekan, Dosen dan Mahasiswa tingkat profesi. Hasil diskusi panel menghasilkan beberapa poin keuntungan dan kerugian sebagai berikut : Keuntungan : 1. Apoteker yang telah melakukan registrasi akan mendapatkan Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA) sehingga memudahkan mapping untuk apoteker seluruh indonesia (Pasal 1 (20), pasal 39 (1) dan (2)). 2. Posisi yang harus diisi Apoteker di Industri farmasi bagian pemastian mutu/quality assurance (QA) (Pasal 9 (1)). Sebelum PP 51 : posisi QA boleh non-farmasi. 3. Industri Obat Tradisional (IOT) dan pabrik kosmetika harus memiliki minimal 1 orang apoteker sebagai penanggung jawab (Pasal 9 (2)). Sebelum PP 51 : tidak diharuskan penanggung jawab seorang apoteker. 4. Apoteker dapat menjalankan pelayanan kefarmasian di Puskesmas (Pasal 19). Kondisi tersebut memungkinkan bagi Apoteker yang bekerja di Puskesmas untuk meningkatkan jabatannya menjadi Kepala Puskesmas. Sebelum PP 51 : tidak mengatur pelayanan kefarmasian di Puskesmas.

5. Keberadaan Apotek Rakyat (yang berada di sekitar jalan Pramuka) bisa menjadi ilegal karena bertentangan dengan PP 51 Pasal 21 (1) dan (2), pasal 51 (1). 6. Apoteker dapat mengangkat seorang apoteker pendamping sehingga pelayanan kefarmasian dapat terjaga kualitasnya sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (Pasal 24). Sebelum PP 51 : tidak ada apoteker pendamping. 7. Peluang pekerjaan bagi apoteker bertambah dengan adanya poin 2, 3 dan 4. 8. Masuknya Apoteker asing ke Indonesia harus menjadi motivasi dalam meningkatkan pelayanan kefarmasian. Kerugian : 1. Kewajiban mengurus STRA menambah pengeluaran bagi setiap apoteker (Pasal 39). 2. Dokter dan dokter gigi masih melakukan dispensing pada daerah terpencil (Pasal 22). Definisi daerah terpencil harus diperjelas supaya dispensing yang dilakukan dokter dan dokter gigi menjadi tepat. 3. Substitusi obat merek dagang dengan obat merek dagang lainnya akan menciptakan monopoli perdagangan (Pasal 24 (b)). 4. Masuknya Apoteker asing ke Indonesia akan mempersempit lahan pekerjaan (Pasal 42). Pembinaan dan pengawasan pelaksanaa pekerjaan Kefarmasian tidak melibatkan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) (Pasal 58).

4.. Tata Cara Memperoleh SIPA, SIKA, dan SIKTTK Pasal 21 (1) Untuk memperoleh SIPA atau SIKA, Apoteker mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 6 terlampir. (2) Permohonan SIPA atau SIKA harus melampirkan: a. fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN; b. surat pernyataan mempunyai tempat praktik profesi atau surat keterangan dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran; c. surat rekomendasi dari organisasi profesi; dan d. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4 sebanyak 2 (dua) lembar; (3) Dalam mengajukan permohonan SIPA sebagai Apoteker pendamping harus dinyatakan secara tegas permintaan SIPA untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, atau ketiga. (4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIPA atau SIKA paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 7 atau Formulir 8 terlampir. Pasal 22 (1) Untuk memperoleh SIKTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat pekerjaan kefarmasian dilaksanakan dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 9 terlampir. (2) Permohonan SIKTTK harus melampirkan: a. fotokopi STRTTK; b. surat pernyataan Apoteker atau pimpinan tempat pemohon melaksanakan

pekerjaan kefarmasian; c. surat rekomendasi dari organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan d. pas foto berwarna ukuran 4 x 6 sebanyak 2 (dua) lembar dan 3 x 4 sebanyak 2 (dua) lembar (3) Dalam mengajukan permohonan SIKTTK harus dinyatakan secara tegas permintaan SIKTTK untuk tempat pekerjaan kefarmasian pertama, kedua, atau ketiga. (4) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota harus menerbitkan SIKTTK paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 10 terlampir. Bagian Ketiga Pencabutan Pasal 23 (1) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat mencabut SIPA, SIKA atau SIKTTK karena: a. atas permintaan yang bersangkutan; b. STRA atau STRTTK tidak berlaku lagi; c. yang bersangkutan tidak bekerja pada tempat yang tercantum dalam surat izin; d. yang bersangkutan tidak lagi memenuhi persyaratan fisik dan mental untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian berdasarkan pembinaan dan pengawasan dan ditetapkan dengan surat keterangan dokter; e. melakukan pelanggaran disiplin tenaga kefarmasian berdasarkan rekomendasi KFN; atau f. melakukan pelanggaran hukum di bidang kefarmasian yang dibuktikan dengan putusan pengadilan. (2) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikirimkan kepada pemilik SIPA, SIKA, atau SIKTTK dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan organisasi profesi atau organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian Bagian Keempat Pelaporan Pasal 24 (1) Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota wajib melaporkan pelaksanaan pemberian SIPA, SIKA, dan SIKTTK serta pencabutannya setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. (2) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi wajib melaporkan rekapitulasi pemberian SIPA, SIKA, dan SIKTTK serta pencabutannya setiap 6 (enam) bulan sekali kepada Direktur Jenderal. BAB IV KOMITE FARMASI NASIONAL Pasal 25 (1) Untuk meningkatkan dan menjamin mutu tenaga kefarmasian dalam melakukan pekerjaan kefarmasian, Menteri membentuk KFN. (2) KFN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan unit non struktural yang bertanggung jawab kepada Menteri melalui Direktur Jenderal. Pasal 26 KFN mempunyai tugas: a. sertifikasi dan registrasi; b. pendidikan dan pelatihan berkelanjutan; dan c. pembinaan dan pengawasan. Pasal 27 (1) Susunan organisasi KFN terdiri dari:

a. Divisi Sertifikasi dan Registrasi; b. Divisi Pendidikan dan Pelatihan Berkelanjutan; dan c. Divisi Pembinaan dan Pengawasan. (2) Anggota KFN ditetapkan oleh Menteri berdasarkan usulan Direktur Jenderal berjumlah 9 (sembilan) orang yang terdiri atas unsur-unsur yang berasal dari: a. Kementerian Kesehatan 2 (dua) orang; b. Badan Pengawas Obat dan Makanan 1 (satu) orang; c. Organisasi profesi 3 (tiga) orang; d. Organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian 1 (satu) orang; e. Perhimpunan dari Perguruan Tinggi Farmasi di Indonesia 1 (satu) orang; dan f. Kementerian Pendidikan Nasional 1 (satu) orang.

5. Tata Cara Memperoleh Surat Tanda Registrasi Pasal 12 (1) Untuk memperoleh STRA, Apoteker mengajukan permohonan kepada KFN dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 1 terlampir. (2) Surat permohonan STRA harus melampirkan: a. fotokopi ijazah Apoteker; b. fotokopi surat sumpah/janji Apoteker; c. fotokopi sertifikat kompetensi profesi yang masih berlaku; d. surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik; e. surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi; dan f. pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar. (3) Permohonan STRA dapat diajukan dengan menggunakan teknologi informatika atau secara online melalui website KFN. (4) KFN harus menerbitkan STRA paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 2 terlampir. Pasal 13 (1) Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan dapat memperoleh STRA secara langsung. (2) Permohonan STRA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh perguruan tinggi secara kolektif setelah memperoleh sertifikat kompetensi profesi 2 (dua) minggu sebelum pelantikan dan pengucapan sumpah Apoteker baru dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 3 terlampir. Pasal 14 (1) Untuk memperoleh STRTTK, Tenaga Teknis Kefarmasian harus mengajukan permohonan kepada kepala dinas kesehatan provinsi dengan menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 4 terlampir. (2) Surat permohonan STRTTK harus melampirkan: a. fotokopi ijazah Sarjana Farmasi atau Ahli Madya Farmasi atau Analis Farmasi atau Tenaga Menengah Farmasi/Asisten Apoteker; b. surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktik;

c. surat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian; d. surat rekomendasi kemampuan dari Apoteker yang telah memiliki STRA, atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian; dan e. pas foto terbaru berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar dan ukuran 2 x 3 cm sebanyak 2 (dua) lembar. (3) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi harus menerbitkan STRTTK paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap menggunakan contoh sebagaimana tercantum dalam Formulir 5 terlampir. Bagian Kelima Registrasi Ulang Pasal 15 (1) Registrasi ulang dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 atau Pasal 14 dengan melampirkan surat tanda registrasi yang lama. (2) Registrasi ulang harus dilakukan minimal 6 (enam) bulan sebelum STRA atau STRTTK habis masa berlakunya. Bagian Keenam Pencabutan STRA dan STRTTK Pasal 16 (1) STRA atau STRTTK dapat dicabut karena: a. permohonan yang bersangkutan; b. pemilik STRA atau STRTTK tidak lagi memenuhi persyaratan fisik dan mental untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian berdasarkan surat keterangan dokter; c. melakukan pelanggaran disiplin tenaga kefarmasian; atau d. melakukan pelanggaran hukum di bidang kefarmasian yang dibuktikan dengan putusan pengadilan. (2) Pencabutan STRA disampaikan kepada pemilik STRA dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan organisasi profesi. (3) Pencabutan STRTTK disampaikan kepada pemilik STRTTK dengan tembusan kepada Direktur Jenderal, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian.

6....

You might also like