You are on page 1of 9

BUDAYA KERJA DALAM BINGKAI REFORMASI BIROKRASI Budaya tidak dapat dipelajari dengan ukuran baik-buruk.

Untuk meneliti budaya dengan menggunakan teori organisasi khususnya siklus organisasi menurut hukum alam.Setiap organisasi yang lahir harus mampu bersaing dengan organisasi lain, sedangkan organisasi yang cara kerjanya menurun, harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan. Birokrasi adalah syarat dalam kehidupan bersama. Birokrasi menjadi alat untuk menjaga konsistensi, keteraturan, keseragaman, kekompakan betapapun menjengkelkannya, orang sering merasakannya. Birokrasi melayani setiap orang sesuai dengan aturan main. Birokrasi bisa mengakomodasi hak dan kebebasan begitu banyak orang dan kepentingan, tanpa menjadi anarkis. Birokrasi bukan hanya dibutuhkan di negara otoriter, tetapi juga di negara demokratis. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (business prosess) dan sumber daya manusia aparatur. Reformasi Birokrasi diarahkan pada upayaupaya mencegah dan mempercepat pemberantasan korupsi, secara berkelanjutan, dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa (good governance), seperti yang diarahkan oleh Presiden SBY yaitu: laksanakan reformasi birokrasi, tegakkan dan terapkan prinsip-prinsip good governance, tingkatkan kualitas pelayanan publik menuju pelayanan publik yang prima; dan berantas korupsi sekarang juga mulai dari diri sendiri dan hindari perbuatan tindak pidana korupsi.

A. PENDAHULUAN Tahun ini suasana negara Indonesia belum ada tanda-tanda perbaikan dalam disibukkan dengan berita korupsi. Seperti data yang menangani kasus-kasus yang menjadikan sebagian masyarakat Indonesia menambah daftar keluarga miskin. Negara masih diungkap oleh Insititute for Management of Development, Swiss, World Competitiveness Book (2007), memberitakan bahwa pada tahun 2005, peringkat produktivitas kerja Indonesia berada pada posisi 59 dari 60 negara yang disurvei. Atau semakin turun ketimbang tahun 2001 yang mencapai urutan 46. Sementara itu negara-negara Asia lainnya berada di atas Indonesia seperti Singapura (peringkat 1), Thailand (27), Malaysia (28), Korea (29), Cina (31), India (39), dan Filipina (49). Urutan peringkat ini berkaitan juga dengan kinerja pada dimensi lainnya yakni pada Economic Performance pada tahun 2005 berada pada urutan buncit yakni ke 60, Business Efficiency (59), dan Government Efficiency (55). Lagi-lagi diduga kuat bahwa semuanya itu karena mutu sumberdaya manusia Indonesia yang tidak mampu bersaing. Juga mungkin karena faktor budaya kerja yang juga masih lemah dan tidak merata. Ada anggapan bahwa budaya kerja produktif di Indonesia, belum merata. Bekerja masih dianggap sebagai sesuatu yang rutin. Bahkan di sebagian karyawan, bisa jadi bekerja dianggap sebagai beban dan paksaan terutama bagi orang yang malas. Pemahaman karyawan tentang budaya kerja positif masih lemah. Hal ini pula yang kurang mendukung terciptanya budaya produktif. Alat ukur yang tepat dalam mengkategori kerja yang berkualitas belum ditemukan rumusnya sehingga masih berdasarkan hitungan kancing dan siapa yang berhenti pada kancing tersebut maka posisi kemenangan berpihak padanya. Begitulah sebagian pemimpin kita ketika memberi tugas kepada karyawannya tanpa melihat kemampuan yang dimiliki asal itu bisa membuat posisi sang manajer aman dan terkendali maka penumpukan beban tugas tidak seimbang dengan jumlah karyawan yang ada. Perusahaan maupun organisasi belum mengganggap sikap produktif sebagai suatu sistem nilai. Seolah-olah karyawan tidak memiliki sistem nilai dilaksanakan. Dampaknya dirasakan dimana sebuah perusahaan maupun organisasi mengabaikan kesejahteraan karyawan. Ditambah dengan rata-rata pendidikan karyawan yang relatif masih rendah maka produktivitas pun rendah. Karena itu tidak heran produktivitas kerja di Indonesia termasuk terendah dibanding dengan negara-negara lain di Asia. Mengapa bisa seperti itu? Hal demikian bisa dijelaskan lewat formula matematika sederhana. apa yang harus dipegang dan

Produktivitas kerja merupakan rasio dari keluaran/output dengan inputnya. Bentuk output dapat berupa barang dan jasa. Sementara input berupa jumlah waktu kerja, kondisi mutu dan fisik karyawan, tingkat upah dan gaji, teknologi yang dipakai dan sebagainya. Jadi output yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh faktor input yang digunakan. Dengan demikian produktivitas kerja di Indonesia relatif rendah karena memang rendahnya faktorfaktor kualitas fisik, tingkat pendidikan, etos kerja, dan tingkat upah dari karyawan. Hal ini ditunjukkan pula oleh angka indeks pembangunan manusia di Indonesia (gizi, pendidikan, kesehatan) yang relatif lebih rendah dibanding di negaranegara tetangga. Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai dan regulasi kepegawaian negara telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik masih jauh dari harapan. Masih belum tercipta budaya pelayanan publik yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaliknya, yang terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk mengalihkan birokrasi sebagai lahan pemerintahan hasrat dan kekuasaan (power culture). Karena itulah, kekecewaan masyarakat terhadap birokrasi terus terjadi dalam kurun waktu yang lama sejak kita merdeka. Ukuran kinerja suatu organisasi tidak dapat diukur dari para pelaksana pelayanan, tetapi justru dari penerima layanan. Hal ini dikarenakan kinerja itu pada dasarnya adalah output dan bukan input. Pihak yang dapat merasakan output bukanlah penyelenggara layanan (birokrasi) tetapi pengguna jasa layanan (masyarakat). Oleh karena itulah dalam pengukuran suatu kinerja mau tidak mau harus melibatkan konsumen yang berasal dari masyarakat pengguna jasa layanan. Untuk mendapatkan kinerja yang baik, maka sumber daya manusia yang ada pada lembaga kediklatan harus mempunyai kualitas yang baik pula. Jika kualitas sumber daya manusianya tidak baik, maka kinerjanya dalam melaksanakan tugas tidak akan sesuai dengan yang semestinya. Dalam hal ini diasumsikan kinerja pegawai dipengaruhi oleh faktor pelaksanaan birokrasi, disiplin kerja dan budaya kerja. Birokrasi Indonesia saat ini belum dapat menjawab atas tuntutan masyarakat, karena masih banyak kekeliruan dalam menjalankan birokrasi. Birokrasi Indonesia saat ini tidak bisa terlepas dari faktor sejarah. Sejarah telah menciptakan birokrasi patrimonial. Birokrasi ini mendasarkan pada hubungan atasan dan bawahan (patron client) sehingga segala yang dikerjakan bawahan hendaknya harus sesuai dengan keinginan pimpinan. Hal ini menimbulkan bawahan selalu tergantung pada atasan.

Budaya patronase menimbulkan rasa ewuh pakewuh yang berlebihan terhadap atasan.Reformasi birokrasi yang dicanangkan didalam butir good governance juga belum mampu menjawab permasalahan diatas.Sementara wajah birokrasi dari suatu penyelengaraan negara akan tercermin pada hasil produk yang berupa standar pelayanan terhadap publik atau masyarakat. Maka dari itu peran serta para pelaksana kebijakan merupakan andil yang diharapkan dalam melakukan perubahan secara drastis dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan dipertanggung jawabkan di depan masyarakat sebagai kelompok yang dilayani. Permasalahan yang dihadapi Kinerja pelayanan publik di Indonesia yang buruk sudah berjalan lama dan sudah menjadi rahasia umum. Sampai di era reformasi, pelayanan publik yang optimal di Indonesia hanya sebatas diwacanakan elite politik. Birokrasi kita memang mengidap penyakit mental yang korup. Semua urusan yang berhubungan dengan birokrasi selalu bersentuhan dengan adagium "kalau bisa dipersulit kenapa dipermudah". Hal ini terjadi karena beberapa hal misalnya Birokrasi masih didominasi birokrat bermental raja. Tipikal birokrat ini selalu memposisikan dirinya sebagai orang yang harus mendapatkan pelayanan dari para abdinya (masyarakat). Keinginan membalik paradigma birokrasi dari dilayani menjadi melayani masih sangat sulit, karena permasalahan ini sudah menjadi budaya di Indonesia. Dalam birokrasi masih dikembangkan mekanisme menutup aib sesama. "Kode etik" ini nampaknya sudah menjadi konsensus antar birokrat agar saling menutup jika di antara mereka tercium oleh publik atau birokrat bersih karena melakukan korup. Dalam kondisi begini, kondisi birokrasi akan semakin parah, terjadi hampir di semua lini dimana jaksa agung pasti melingungi. Seperti yang ungkapkan oleh presiden SBY bahwa ada bebrerapa faktor harus diperbaiki dari penyakit birokrasi yaitu : 1. Permasalahan korupsi terjadi disemua organisasi pemerintahan. Biasanya korupsi terjadi pada tiga aktifitas utama, yaitu bidang pelayanan administrasi, pelaksanaan proyek pembangunan dan terakhir penegakan hukum. Pada bidang pelayanan administrasi bisa dilihat pada kasus Gayus Tambunan. Pada bidang pelaksnaan proyek pembangunan kita bisa melihat pada kasus pembangunan wisma atlet sea games di Palembang ( kasus Nazaruddin) yang melibatkan Wafid Muharam. Pada kasus penegakan hukum kita bisa melihat pada kasus jaksa Urip, Cirus Sinaga dan juga terkhir kasus jaksa Sistoyo di Kejaksanaan negeri Cibinong Jabar. Dalam kasus

Hakim kita bisa lihat pada kasus hakim Imas, hakim Syarifuddin, belum lagi kasus yang melibatkan aparat kepolisian.Kasus-kasus diatas adalah contoh sebagian kecil dari beribu-ribu kasus korupsi sejenis yang terjadi di Indonesia yang melibatkan birokratnya. 2. Masalah efisiensi. Jumlah lembaga-lembaga pemerintahan baik di pusat dan didaerah sangat banyak, yang dampaknya memperbesar jumlah PNS yang harus mengisinya. Data yang adalah jumlah PNS di Indonesia saat ini adalah sekitar4,7 juta jiwa. Besarnya jumlah PNS, berdampak lurus dengan besarnya anggaran negara yang tersedot untuk membayar gaji mereka. 3. Masalah efektifitas, menyangkut manfaat dari pekerja pemerintah tersebut bagi masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelyanan birokrasi di Indonesia sangat lambat dan berbelit. Begitu pula masalah proyek-proyek pemerintah yang tidak tepat sasaran, sehingga tidak dirasakan manfaatnya. Kompetensi Para birokrat telah terasuk oleh kebijakan-kebijakan yang membingungkan, sehingga mereka kesulitan dalam menterjemahkan isi kebijakan tersebut ke dalam konteks pelayanan publik. Mereka terbelah dalam kekuatan yang pro dan kontra terhadap kebijakan. Mestinya kondisi ini tidak boleh terjadi. 4. Rekrutmen anggota birokrasi masih mengalami masalah. Penerimaan CPNS ternyata masih menyisakan masalah besar. Sehingga memunculkan keraguan tentang kualitas CPNS yang akan menjadi bagian dari birokrasi itu sendiri. Lebih parah lagi, birokrasi diisi oleh calon-calon yang tidak didasari oleh kompetensi tetapi diterima menjadi CPNS karena faktor kemanusiaan seperti lama bekerja, kelangkaan calon, atau bahkan karena hubungan kekerabatan dan sogokan alias produk KKN. 5. System penempatan aparatur dalam jabatan di birokrasi Indonesia belum menggunakan Analisis Jabatan sebagai acuan dalam menempatkan orang dalam posisi jabatan tertentu, yang terjadi adalah suka atau tidak suka, sepaham atau tidak sepaham dengan penguasa di Daerah, jadi bukan berdasarkan kompetensinya, sehingga jabatan struktural yang ada dipenuhi dengan orang-orang yang kurang tepat berdasarkan kompetensinya, jadi bukan the right man on the right place.1 Kekurang profesionalan PNS atau sumber daya aparaturnya pun, yang menjadi leverage berjalannya proses reformasi, belum memiliki standar kualitas yang bagus.
1

M. Aziz Satriya Jaya dalam tulisan Masalah SDM Birokrasi dan Solusinya yang diambil dari buku Administrasi Publik Teori dan

Aplikasi Good Governance (2008)

Meskipun telah dilakukan banyak pembinaan-pembinaan teknis dan perilaku, para PNS akan kembali ke kondisi awal ketika mereka kembali ke permanent system. Aparatur negara saat ini lebih dominan pada masalah ketatausahaan daripada masalah kegiatan-kegiatan perencanaan ataupun mengembangan manajemen. Harapan Reformasi Birokrasi Uraian di atas, menggambarkan bahwa kualitas SDM memegang peranan penting di dalam melakukan reformasi birokrasi. Namun tidak dapat dipungkiri ketatalaksanaan lembaga juga tidak bisa ditinggalkan untuk mendukung reformasi tersebut. Untuk mengkajinya perlu diperhatikan dua sudut pandang tentang birokrasi. Pertama sudut pandang Weber dan Hegel yang memandang birokrasi adalah adanya rasionalitas, efisiensi serta mampu menjadi medium yang mempertemukan rakyat dengan pemerintah. Sudut pandang kedua adalah milik Karl Marx yang menyebutkan bahwa birokrasi melayani kepentingan kelompok mayoritas masyarakat yang akan menguasai kelompok masyarakat lainnya. Pemikiran ini dikuatkan lagi oleh pendapat Heckscher dan Donellon bahwa birokrasi masa depan adalah apa yang disebut post bureaucratic organization yang memusatkan pada interkasi internal, eksternal dan sosial dalam pelaksanaannya

Dari dua sudut pandang tersebut tampaknya birokrasi Indonesia lebih condong ke sudut pandang kedua. Menelaah jenis birokrasi yang terjadi di Indonesia, ada dua strategi utama yang bisa diterapkan dalam reformasi birokrasi. Pertama strategi reformasi teknikal yang mencakupi perbaikan kinerja SDM, Kinerja organisasi dan mekanisme kinerja. Strategi ini bisa melalui assessments meliputi kompetensi teknik, managerial, sosial, strategik serta etika (SDM); pedoman akan tujuan sasaran dan strategi yang jelas (0rganisasi) serta mekanisme pengawasan dan kontrol yang baik (Mekanisme). Kedua adalah strategi reformasi spiritual yang berupa perubahan paradigma para birokrat dan masyarakat dalam melakukan reformasi. Meskipun strategi reformasi teknikal sudah sering di ulas,namun hal tersebut belum bisa dilaksanakan tanpa reformasi spiritual yang memunculkan sosok leader dalam proses reformasi ini. Maka dalam membangun budaya pemerintah hal perlu ditingkatkan adalah budaya output yang dibentuk dari budaya nilai dan vehicle, dimana input sebagai bahan baku, melalui proses budaya yang meliputi kontak nilai, seleksi nilai,pelembagaan nilai, aktualisasi budaya, kontrol budaya, perubahan budaya dan pewaris budaya.

Sementara itu budaya bekerja produktif mengandung komponen-komponen: (1) pemahaman substansi dasar tentang bekerja, (2) sikap terhadap karyawanan, (3) perilaku ketika bekerja, (4) etos kerja dan (5) sikap terhadap waktu. Pertanyaannya apakah semua kita sudah berbudaya kerja produktif? Seharusnya faktor-faktor tersebut perlu dikuasai secara seimbang agar para karyawan mampu mencapai produktivitas yang standar. Pendidikan dan pelatihan perlu terus dikembangkan disamping penyediaan akses teknologi. Kompetensi (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) karyawan menjadi tuntutan pasar kerja yang semakin mendesak. Dengan kata lain suasana proses pembelajaran plus dukungan kesejahteraan karyawan perlu terus dikembangkan. Reformasi birokrasi juga bisa dimaknai sebagai upaya-upaya strategis dalam menata kembali birokrasi yang sedang berjalan sesuai prinsip-prinsip birokrasi menurut Max Webber, yaitu span of control, division of labor,line and staff, rule and regulation and proffesional staff.2 sesuatu adalah hal terpenting dalam birokrasi yang benar. Seperti yang diungkap oleh (Robbins:1994) dalam teori Max weber (1864-1920) bahwa untuk mencapai tujuan suatu organisasi harus memiliki struktur ideal yang disebut dengan birokrasi. Struktur ideal tersebut dicirikan dengan adanya pembagian kerja, sebuah hirarki wewenang yang jelas, prosedur seleksi yang formal, peraturan yang rinci, serta hubungan yang tidak didasarkan atas hubungan pribadi (impersonal). Teori Weber ini menjadi ukuran hampir semua struktur organisasi yang ada sekarang ini. Birokrasi yang diperkenalkan Weber ini melahirkan disiplin dan disiplin lahir dari pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Namun birokrasi tidak tepat untuk dunia bisnis. Tetapi di negara berkembang organisasi birokrasi memegang peranan penting dibidang pembangunan, dibidang politik dan pemerintahan birokrasi tetap bertahan. Jadi organisasi pemerintahan adalah organisasi birokratik.

Tulisann ini merupakan hasil saduran dari Buku Tantangan Utama Reformasi Birokrasi oleh Tim Humas Sekretariat Jenderal

Kementerian Keuangan). Diakses di www.google.com tanggal 20 February 2011

Penutup Ada pepatah Jerman mengatakan " Apa gunanya kita lari-lari jika tidak berada di jalur yang benar?". Sebuah perusahaan tanpa falsafah yang jelas dan terfokus adalah seperti layaknya sebuah kapal tanpa kemudi. Ia akan tersesat dan menghancurkan dirinya sendiri di dalam percaturan masalah-masalah global. Falsafah tersebut harus memberi definisi yang sama mengenai mutu, cacat, pelayanan, pelanggan dan istilah-istilah lainnya. Falsafah mutu organisasi dikatakan misi sebuah oragnisasi. Misi ditulis bukan saja untuk menghiasi dinding atau diselipkan disalah satu selipan di dompet, untuk diambil sesekali seperti SIM. Akan tetapi ditanam didalam jiwa semangat kerja, contoh yang singkat dan mengena diambil dari Angkatan Bersenjata Filipna : "Do Good, Look Good, Feel Good". Sebuah maklumat misi haruslah menjadi "Undang-Undang Dasar" bagi perusahaan maupun organisasi, jauh lebih kuat dan kekal daripada siapapun. Tahun 2012 merupakan tahun penuh harapan, pembaharuan, perubahan dan juga penuh dengan rintangan, hambatan dan tantangan. Oleh sebab itu diperlukan semangat dan kerja keras, tahun yang memerlukan aksi-aksi baru, tindakan nyata, bukan ngobral janji. Yang dibutuhkan bukan janji tapi bukti nyata. Jika pada tahun-tahun sebelumnya semua upaya kita belum menunjukkan hasil yang maksimal, kini saatnya kita harus berani berbenah. Delete budaya santai, hindari budaya malas dan mulai beralih budaya kerja keras. Seperti pepatah jawa kuno Trisulawedha yang diterapkan oleh Raja Jayabaya, yang intinya antara lain mengajak umat manusia diwajibkan memiliki rasa, sikap dan sifat budi luhur yang disebutkan dalam istilah jejeg, bener dan jujur guna mewujudkan negara yang sejahtera. adil dan makmur.

DAFTAR BACAAN M. Aziz Satriya Jaya dalam tulisan Masalah SDM Birokrasi dan Solusinya yang diambil dari buku Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance (2008)Buku Tantangan Utama Reformasi.Birokrasi oleh Tim Humas Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan). Diakses di www.google.com tanggal 20 February 2011. Miftah Thoha, Ilmu Administrasi Publik Kontemporer, Kencana Media Prenada Group, Pandji Santosa, Administrasi Publik Teori dan Aplikasi Good Governance, Refika Aditama, 2008. Joriko N Kindangen SE.MAP.2009. Reformasi Kepegawaian di Indonesia. Powered by Joomla! valid XHTML and CSS. www.google xhtml, pada tanggal 23 April 2001.Modul. 2006. Budaya Kerja Organisasi Pemerintah, Balitbang Departemen Agama. Robbins.1994. Teori Organisasi Struktur,Desain dan Aplikasi.Jakarta:Arcan.

You might also like