You are on page 1of 19

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Obyek Eksaminasi Penegakan hukum (law enforcement) yang seharusnya memperlihatkan tegaknya sendi-sendi hukum dan terwujudnya keadilan sebagai tujuan utama dari hukum, ternyata tidak selamanya berjalan lurus sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan seringkali penegakan hukum itu mempertontonkan fakta yang sebaliknya, yaitu terlanggarnya kaidah-kaidah hukum yang dilakukan oleh penegak hukum itu sendiri. Hal ini seolah-olah semakin menunjukkan kepada publik bahwa penegakan hukum hanyalah suatu proses formal yang hasilnya sangat bergantung pada subyektivitas dan keberpihakan para penegaknya. Bila demikian, maka hal itu telah mengenyampingkan makna filosofis dari penegakan hukum itu sendiri. Begitu banyak kasus-kasus dalam pengujian undang-undang (judicial review), yang dalam putusannya menimbulkan multi tafsir sehingga mencerminkan tidak tegaknya hukum. Seperti halnya permohonan hak-hak konstitusional Warga Negara Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945, yang harus dilindungi apabila hak-hak konstitusional tersebut dirugikan. Sementara dilain pihak dalam peradilan Pidana di Indonesia, seringkali terjadi adanya pemidanaan terhadap orang-orang yang sebenarnya tidak bersalah, bukankah ada adagium yang menyatakan bahwa lebih baik melepas sepuluh orang yang bersalah dari pada harus menghukum satu orang yang tidak bersalah?. Pada dasarnya Kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi : Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: Menguji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Memutus pembubaran partai politik, dan Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Apabila produk Undang-undang yang dirasa merugikan hak

konstitusional seorang warga Negara, yang bertentangan dengan UndangUndang Dasar Tahun 1945, maka sudah memenuhi syarat, bagi setiap warga Negara untuk mengajukan judicial review kepada mahkamah Konstitusi. Hukum tidak secara otomatis menghasilkan keadilan, atau justru sebaliknya menciptakan ketidakadilan. Kaidah hukum yang terurai dalam peraturan perundang-undangan, hanya dapat hidup dan bekerja apabila digerakkan oleh para pelaksananya. Pada kondisi tersebut, hukum lebih cenderung digunakan secar keliru atau menyimpang dari fungsi dan tujuan asasinya. Mestinya hukum ditentukan dan dilaksanakan berdasarkan itikad yang otentik, dan hal ini banyak dikaji dalam teori sosiologi hukum bahwa hukum bukan hanya peraturan, melainkan juga komitmen, perilaku, dan structural social. Semangat reformasi untuk menegakkan supremasi hukum, masih jauh dari harapan karena belum dikelola oleh manusia pilihan yaitu hakim, yang seharusnya memiliki integritas dan komitmen moral yang tinggi. Dalam kasus Komjen Susno Duadji, yang sekarang merupakan mantan pejabat penting di lingkungan intitusi penegak hukum yaitu Kepolisian Republik Indonesia, yang telah mengawali untuk membongkar adanya kejahatan korupsi dan mafia hukum yang terjadi secara sistematis dan terstruktur ditubuh Kepolisian Republik Indonesia, membuka mata setiap orang. Bukan hanya publik Indonesia tetapi juga masyarakat Internasional, batapa rendahnya hukum di bangsa Indonesia ini, sehingga segala sesuatu dapat dibeli dengan uang oleh mereka atau penguasa yang memiliki jabatan. Pembongkaran adanya kejahatan korupsi dan mafia hukum oleh Bapak Susno Duadji ditubuh Kepolisian patutlah membanggakan, bahwasannya beliau yang merupakan pejabat penting di institusi penegak hukum tersebut

berani membongkar kejahatan di dalam tubuh Kepolisian yang merupakan tempat dimana beliau mengabdi, untuk menciptakan Kepolisian yang jujur, adil dan bersih dari korupsi. Sehingga apa yang telah dilakukan Bapak Susno Duadji haruslah mendapatkan perlindungan dari Negara sebagai saksi pelapor. Tetapi dalam hal ini tidak pada kenyataanya bahwa setelah Bapak Susno Duadji membongkar kejahatan tersebut, kemudian Polri meningkatkan status beliau menjadi tersangka dan melakukan penangkapan, penahanan dan penyidikan terhadap beliau atas perkara yang dilaporkan Bapak Susno Duadji yaitu Tindak Pidana korupsi/suap pada PT. Salmah Arwana Lestari dan selanjutnya beliau ditempatkan di rumah tahanan Negara Jakarta Pusat di Mako Korp Brimob Polri. Kedudukan beliau yang sebelumnya adalah saksi pelapor dan telah meminta perlindungan hukum sebagai saksi pelapor di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban namun secara tiba-tiba telah dijadikan tersangka dan sekaligus dengan seketika telah dilakukan tindakan penahanan, adalah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konstitusionalnya, karena kedudukannya sebagai saksi dapat dijadikan tersangka dalam kasus yang sama, sehingga haknya untuk mendapat perlindungan menjadi hilang. Oleh karena itu Bapak Susno Duadji yang diwakili oleh kuasanya mengajukan permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan berdasarkan permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 42/PUUVIII/2010 yang dalam Amar Putusannya mengadili Untuk menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Fakta diatas menunjukkan bahwa kasus ini tidak hanya sekedar menarik perhatian masyarakat tetapi sangat kompleks. Dan putusan ini sangat menentukan bagi langkah hukum selanjutnya. Bukan hanya bagi penyelesaian kasus itu sendiri, lebih dari itu bagi peradaban hukum dan HAM di negeri ini.

Untuk itu, perlu dilakukan analisis (eksaminasi) terhadap putusan hakim tersebut, dari proses pemeriksaan di persidangan, pembuktian, sampai pada pertimbangan majelis hakim sehingga berkesimpulan untuk menolak permohonan judicial review dari Pemohon. Peradilan yang berfungsi untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat tanpa membedakan status sosial dan status politik seseorang, haruslah dipandang sebagai sarana yang memberikan perlindungan bagi korban, keluarga dan masyarakat secara luas, karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law). Eksaminasi atas kasus ini sangat penting sebagai bentuk kepedulian public atas terwujudnya penegakan hukum yang adil dan bermartabat. B. Tujuan dan Manfaat Eksaminasi 1. Tujuan Eksaminasi a. Tujuan pokok dari Eksaminasi ini adalah untuk mengetahui dan menganalisa hasil keputusan atau penetapan pengadilan,mengkritisi serta memberikan penambahan-penambahan pendapat dalam bentuk laporan eksaminasi yang berupa gabungan dari legal annotation yag untuk kemudian akan diseminarkan, sebagai syarat menempuh study di fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang b. Kasus ini adalah kasus publik, sehingga masyarakat perlu diberi ruang untuk menilai produk peradilan tersebut,mengingat proses peradilan dengan sistem acara di Mahkamah Konstitusi tidak memungkinkan mesyarakat berperan lebih jauh. c. Eksaminasi ini diharapkan dapat menjadi alat kontrol terhadap proses hukum selanjutnya, baik proses beracaranya maupun substansi hukumnya. d. Eksaminasi ini diharapkan juga mendorong upaya hukum dapat berjalan fair, transparan, dan cerdas, sehingga dapat mengungkap kasus ini secara tuntas, adil dan bermanfaat.

2. Manfaat Eksaminasi a. Manfaat Teoritis 1) Diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi yang berminat mendalami pengetahuan tentang ilmu hukum dan prosedur beracara dalam peradilan Mahkamah Konstitusi 2) Memberikan kontribusi bagi perkembangan hukum nasional Indonesia terutama dalam hal supremasi hukum yang mendasarkan pada asas keadilan. 3) Sebagai upaya pengembangan pendidikan dan penulisan di bidang ilmu hukum b. Manfaat Praktis 1) Sebagai tambahan bahan bagi publik dalam rangka melakukan penilaian terhadap produk-produk lembaga peradilan, terutama berkaitan dengan hasil putusan suatu perkara. 2) Diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai produk hukum, dalam hal ini berkenaan dengan putusan suatu perkara agar dapat mencermati dan memahami produk-produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga peradilan. C. Kasus Posisi dan Fakta Hukum Berdasarkan putusan MK nomor 42/PUU-VIII/2010, yang didaftarkan di Kepanitraan MK pada hari rabu tanggal 16 Juni 2010, yang telah diperbaiki dan di terima di Kepanitraan Mahkamah Pada tangga 8 Juli 2010 atas nama Drs. Susno Duadji, SH, MS.c yang selanjutnya disebut pemohon. Putusan tersebut memeriksa, mengadili dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian UU. Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap UUD Negara RI tahun 1945. Pemohon memohon agar MK melakukan pengujian terhadap Pasal 10 ayat (2) UU nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, karena pemohon adalah perseorangan WNI yang hak-hak konstitusionalnya

telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 10 ayat (2) UU nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Seorang saksi dan korban yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan dimana pemohon melaporkan adanya kejahatan. Dalam pengajuan permohonan uji materi yang didaftarkan Tim Advokat Susno, isi dari permohonan provisi antara lain adalah meminta MK untuk memerintahkan kepada Polri untuk menghentikan proses penyidikan atas perkara PT Salmah Arwana dengan nomor laporan polisi LP/272/IV/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas tersangka Susno Duadji, setidak-tidaknya sampai adanya putusan MK yang berkekuatan hukum tetap. Selain itu, dalam provisi juga terdapat permohonan agar MK memerintahkan kepada Polri untuk membebaskan pemohon (Susno Duadji) dari tahanan dan menyerahkan pemohon kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai saksi yang dilindungi. Sedangkan dalam pokok perkara, Tim Advokat Susno meminta MK menerima dan mengabulkan permohonan pengujian UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap UUD 1945. Permohonan dalam pokok perkara secara detail adalah meminta MK menyatakan Pasal 10 ayat (2) UU No 13/2006 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya. Dan apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain dan menganggap Pasal 10 ayat (2) UU nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berlaku, mohon agar Majelis Hakim Konstitusi dapat memberikan tafsiran konstitusional terhadap Pasal 10 ayat (2) UU nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mana tafsir tersebut, dengan pengertian

bahwa seorang saksi yang juga menjadi tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana tersebut, harus dimaknai bahwa kedudukan sebagai tersangka ditetapkan terlebih dahulu sebelum saksi tersebut memberikan kesaksian dalam perkara tersebut. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Kasus yang menimpa mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komjen Pol Susno Duadji dinilai bisa membuat para whistleblower (pengungkap suatu kasus kejahatan) lainnya akan ketakutan dan tidak berani melapor, membuat para whistleblower tidak lagi berani melapor bila mereka mengetahui adanya tindak pidana kejahatan yang sedang terjadi. Faktanya Bapak Susno telah menjadi whistleblower antara lain dalam kasus : Tindak pidana dan pencucian uang yang diduga dilakukan oleh tersangka Gayus Tambunan. Tindak pidana korupsi/suap pada kasus PT. Salmah Arwana Lestari Penggunaan anggaran di Mabes Polri dan Polda-polda seluruh Indonesia. Yang telah dilaporkan kepada Satgas Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (SATGAS) pada tanggal 18 Maret 2010 dan tanggal 12 april 2010, dan kepada komisi III DPR RI pada tanggal 8 April 2010 Bapak Susno juga melaporkan : Tindak pidana dan pencucian uang yang diduga dilakukan oleh tersangka Gayus tambunan. Tindak pidana korupsi/suap pada kasus PT. Salmah Arwana lestari. Dan sebelumnya pemohon juga telah memberikan kesaksian di media massa baik cetak maupun elektronik tentang dugaan tindak pidana korupsi yang secara sistematis dan terstruktur juga melibatkan oknum aparat hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan dan oknum Hakim di Pengadilan Setelah pelaporan tersebut pemohon mengajukan permohonan perlindungan saksi kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan korban pada

tanggal 4 Mei 2010 terhadap kasus-kasus yang telah pemohon laporkan kepada DPR dan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum, dan selanjutnya telah dibuatkan Perjanjian Perlindungan Nomor PERJ-007/I.3/LPSK/05/2010 antara LPSK dengan Pemohon. Atas laporan pemohon tentang tindak pidana korupsi.suap pada PT. Salmah Arwana Lestari, penyidikan pihak Kepolisian, pemohon telah dipanggil oleh BARESKRIM POLRI sebagai saksi atas laporan Polisi Nomor Pol :LP/272/IV/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 dengan surat panggilan Nomor S.Pgl/234/IV/2010/Pidkor&WCC yaitu pada tanggal 30 April 2010 dan berdasarkan surat Panggilan Nomor S.Pgl/283/V/2010/Pidkor&WCC tanggal 7 Mei 2010. Dan pada tanggal 11 Mei 2010 yaitu pada saat beliau memenuhi panggilan Kepolisian sebagai saksi, selanjutnya Polri meningkatkan status beliau menjadi tersangka dan melakukan penangkapan, penahanan dan penyidikan terhadap beliau atas perkara yang dilaporkan Bapak Susno Duadji yaitu Tindak Pidana korupsi/suap pada PT. Salmah Arwana Lestari dan selanjutnya beliau ditempatkan di rumah tahanan Negara Jakarta Pusat di Mako Korp Brimob Polri, sejak tanggal 11 Mei 2010. Bahwa kedudukan beliau yang sebelumnya adalah saksi pelapor dan telah meminta perlindungan hukum sebagai saksi pelapor di Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban namun secara tiba-tiba telah dijadikan tersangka dan sekaligus dengan seketika telah dilakukan tindakan penahanan, adalah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak konstitusionalnya, akibat berlakunya Pasal 10 ayat (2) undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, karena kedudukannya sebagai saksi dapat dijadikan tersangka dalam kasus yang sama, sehingga haknya untuk mendapat perlindungan menjadi hilang. Orang yang memberikan kesaksian terlebih dahulu sebelum dijadikan sebagai tersangka seharusnya mendapat perlindungan dan bukannya malah ditahan seperti yang terjadi pada bapak Susno.

Dan sebelumnya Bapak Susno telah menandatangani berbagai persyaratan yang diminta oleh LPSK, seharusnya Bapak Susno saat ini dilindungi LPSK secara langsung dan bukannya masih ditahan di Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, Depok.

10

BAB II PERMASALAHAN HUKUM Dalam Putusan Judicial review ini banyak permasalahan hukum yang terjadi. Kekuatan surat permohonan yang dibuat oleh kuasa hukum masingmasing adalah faktor utama putusan tersebut diterima atau ditolak oleh Hakim MK. Penulis disini membahas permasalahan hukum sebagai berikut: 1. Apakah dasar MK dalam menolak uji materi terhadap Pasal 10 ayat (2) UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sudah tepat? 2. Bagaimanakah tinjauan terhadap Putusan Putusan MK 42/PUU-VIII/2010 untuk kepentingan pengungkapan kasus tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana khusus yang sifatnya istimewa?

11

BAB III METODE PENDEKATAN DAN BAHAN HUKUM A. Metode Pendekatan Dalam penyusunan eksaminasi ini maka kami menggunakan metode pendekatan yuridis normatif. Artinya bahwa dalam pengerjaannya, penulis eksaminasi akan menggunakan hukum normatif yang berlaku dan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan-permasalahan hukum yang kami hadapi sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sistematis, serta akademis. Analisis dengan metode pendekatan yuridis normatif merupakan metode yang paling tepat menurut kami. Hal ini dikarenakan bahan-bahan atau sumber yang kita peroleh dari literatur buku dan Undang-Undang yang berkenaan dengan pokok materi yang dikaji sangat tepat dengan putusan yang dijatuhkan bila dikaitkan dengan sumber-sumber buku yang didapatkan penulis. Dengan menganalisis dari Undang-Undang dan berbagai sumber buku maka penulis mendapatkan beberapa anggapan atau kajian dari hakim yang memutus perkara ini tidak memenuhi kaedah atau norma-norma yang berlaku menurut undang-undang dan buku yang penulis kaji. Dengan metode ini pula pembahasan akan menjadi lebih mudah karena peraturan yang sudah ada dikaitkan dengan putusan dari hakim akan menuju ke titik kesimpulan. B. Bahan Hukum Dalam penyusunan eksaminasi ini kami selaku penulis menggunakan beberapa bahan yang kami nilai cukup representatif untuk kemudian kami pakai sebagia panduan untuk mengkaji lebih dalam permasalahan ini. Bahan yang dipergunakan penulis, khususnya yang berkaitan dengan perkara penolakan uji materiil UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor 42/PUU-VIII/2010. Oleh karena itu, secara otomatis dalam penulisannya banyak kita temukan perundang-undangan yang secara tegas mengatur tentang hal tersebut. Selain

12

juga beberapa referensi buku yang turut membantu penulis untuk menyelesaikan eksaminasi ini dalam hal menambah pengetahuan penulis dalam bidang hukum sehingga dalam pengerjaannya penulis lebih memiliki kematangan dalam meneropong kasus ini secara mendalam.

13

BAB IV PEMBAHASAN Susno Duadji yang diwakili oleh kuasanya mengajukan permohonan Pengujian Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan berdasarkan permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan Nomor 42/PUU-VIII/2010 yang dalam Amar Putusannya mengadili Untuk menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Penolakan uji materi Pasal 10 ayat 2 UU LPSK yang dimohonkan Susno Duadji tersebut didasarkan pada pertimbangan MK bahwa peraturan itu tidak melanggar konstitusi sebab kesaksian seseorang tidak menghapus kesalahan yang pernah dilakukannya. Alasan putusan ini, menurut MK adalah norma dari Pasal 10 yang terdiri atas 3 ayat harus dimaknai sebagai ketentuan hukum untuk melindungi saksi, korban dan pelapor. Bukan saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama dan bukan pelapor yang tidak beritikad baik. Perlindungan hukum tersebut sebagai penghargaan atas partisipasi saksi, korban dan pelapor selaku warga negara yang baik dalam membantu penegakan hukum dalam mengungkap terjadinya tindakpidana. Perbedaannya pada penghargaan. Saksi yang juga tersangka mendapatkan penghargaan. Sedangkan saksi, korban dan pelapor yang tidak beritikad baik dapat dituntut secara hukum tetapi tidak mendapat penghargaaan. Maka Pasal 10 ayat (2) UU No 13 Tahun 2006 tentang LPSK tidak bertentangan dengan UUD 1945. Menurut MK, partisipasi saksi yang juga tersangka, apabila dalam proses hukum sangkaan tersebut terbukti secara sah dan meyakinkan, saksi demikian tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana. Kesaksiannya akan mendapatkan penghargaan yaitu sebagai hal yang dipertimbangkan dalam pengurangan masa hukuman pidananya.

14

Menurut pendapat MK, Putusan MK 42/PUU-VIII/2010 itu, kasus tersebut lebih pada pengaduan konstitusional atau constitutional complaint, karena sangat berkait dengan kasus in concrito yang dihadapi Susno. Dalam memeriksa dan mengadili permohonan Susno, kewajiban Mahkamah untuk menegakkan hukum dan keadilan, serta pencapain tujuan keadilan sosial dan kemaslahatan umum, adalah prinsip yang harus menjadi landasan pijak utama bagi Mahkamah. Ada tiga aspek fundamental yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah, yaitu prinsip keadilan bagi setiap warga negara serta prinsip mendahulukan kepentingan dan kemaslahatan umum dan kejahatan korupsi sebagai extra ordinary crime dan organized crime. Menurut MK, pemberian perlindungan saksi/pelapor dalam kasus seperti yang terjadi terhadap Pemohon, tidak harus memberikan impunitas terhadap pelaku kejahatan (pelanggaran atas prinsip non-impunity), dan tidak pula merupakan pelanggaran atas prinsip equality before the law. Hal inilah yang menjadi landasan MK dalam mengeluarkan putusan yang menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 10 ayat (2) UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Penulis disini berupaya menganalisis lebih lanjut penolakan terhadap uji materi tersebut, dimana Susno Duaji mengajukan permintaan kepada MK untuk uji materi terhadap Pasal 10 ayat (2) UU nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, karena pemohon adalah perseorangan WNI yang hak-hak konstitusionalnya telah dirugikan oleh berlakunya Pasal 10 ayat (2) UU nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Seorang saksi dan korban yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan dimana pemohon melaporkan adanya kejahatan. Pasal ini memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1) Seorang saksi dan korban yang juga tersangka dalam kasus yang sama 2) Tidak dapat dibebaskan dari tuntuan pidana

15

3) Apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, akan tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan 4) Dimana pemohon melaporkan adanya kejahatan Dari unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal tersebut, memang dapat dibenarkan bahwa Pasal tersebut berupaya menjunjung azas Equality Before the Law. Keadilan untuk semua pihak, dimana seorang saksi, korban, dan juga tersangka dalam kasus yang sama tetap tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Sekilas, tampak bahwa Pasal ini menunjukkan adanya keadilan dimana perbuatan baik yang dilakukan oleh seseorang tidak dapat serta merta menghapuskan keterlibatannya dalam tindak pidana serupa. Namun, apabila diterapkan dalam penyidikan atau pengungkapan suatu tindak pidana, maka akan terjadi fenomena dimana pelaku (atau individu yang terlibat dalam tindak pidana tertentu) tidak akan memberikan keterangan yang bisa mengungkap keterlibatan individu-individu lain dalam perkara tindak pidana tersebut. Hal ini dikarenakan tidak ada keuntungan baginya dalam melakukan hal tersebut. Proses hukum masih tetap berjalan atas dirinya dan justru sikapnya yang membuka keterlibatan individu-individu lain dalam kasus yang ia hadapi berpotensi untuk membahayakan dirinya. Dari perspektif seorang terdakwa, hal yang dapat ditawarkan atas dirinya, yang mana kurang lebih bisa menjadikannya bersedia bekerjasama untuk membantu pengungkapan kasus yang menimpa dirinya (termasuk juga keterlibatan individu lain dalam kasus tersebut) antara lain adalah: 1. Penghapusan status individu sebagai terdakwa 2. Penangguhan penahanan 3. Pengurangan masa pidana Apalagi dalam tindak pidana korupsi yang merupakan tindak pidana khusus dan memiliki keistimewaan. Seringkali terdakwa yang tertangkap dalam tindak pidana korupsi adalah bagian dari suatu korporasi raksasa yang mana kesaksiannya memungkinkan akan mengungkap pelaku yang melakukan korupsi

16

lebih besar lagi. Kesediaannya untuk bersaksi inilah yang menjadi kunci untuk pengungkapan secara menyeluruh tindak pidana korupsi tersebut. Namun dengan adanya hambatan sebagaimana yang tampak pada UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, maka tampak jelas tidak adanya keuntungan bagi terdakwa untuk bertindak sebagai saksi memberatkan bagi individu lain karena hal tersebut juga tidak menghentikan atau bahkan mengurangi proses pidana atas dirinya. Meskipun mungkin ada, namun hal tersebut tidak disampaikan secara tersurat dalam Undang-Undang, melainkan tergantung pada kebijaksanaan dari Majelis Hakim yang mengurus perkara pidana yang ia hadapi. Dari analisis tersebut, maka jelaslah bahwa keberadaan Pasal 10 ayat (2) UU No.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ini justru akan menjadikan terdakwa enggan bertindak sebagai saksi guna mengungkap tindak pidana yang tengah ia hadapi. Apabila kita melihat dan membaca secara cermat terdapat ruang yang kemudian dapat menimbulkan tafsir ganda. Orang akan enggan melaporkan kasus korupsi karena berhadapan dengan kakuatan besar baik dalam struktur kekuasaan maupun penegak hukum. Dalam kasus yang dialami Pemohon yakni Susno Duaji, UU ini tidak bisa memproteksi saksi. Pasal ini juga bisa menimbulkan kekeliruan dalam penerapan. Seorang saksi maupun pelapor bisa dijadikan tersangka. Apabila merujuk pada azas perundang-undangan mengenai kejelasan dan rumusan pasal yang menegaskan tidak boleh memiliki banyak tafsir, maka Pasal 10 ayat (2) bisa menjadi gugur karena memiliki tafsir ganda. Pasal a quo bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945 yang menjamin atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Pasal tersebut juga tidak memberikan manfaat dalam skala besar pemberantasan korupsi. Pasal ini membuat saksi dan korban takut memberikan keterangan. Apabila saksi yang dengan berani melaporkan tindak pidana, memberikan kesaksian dan keterangan dapat diancam pidana juga, maka hal ini melanggar Hak Asasi Manusia.

17

Apa yang diungkapkan penulis dalam analisis tersebut, sesuai dengan yang dinyatakan oleh salah satu Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva. Menurut Hamdan Zoelva ada tiga hal yang menjadi dasar mengapa seharusnya MK mengabulkan permohonan Susno. Yang pertama aspek keadilan. Menurut Hamdan, kebijakan menetapkan pemohon sebagai tersangka yang diikuti dengan tindakan penangkapan adalah bentuk tindakan yang mengancam kebebasan pemohon untuk terus mengungkap kasus korupsi. Kedua adalah prinsip kemaslahatan. Pemohon telah memberikan manfaat yang sangat besar dalam upaya memberantas kejahatan korupsi. Sedang yang ketiga. Hamdan menganggap kejahatan korupsi hanya dapat diungkap dengan cara-cara yang luar biasa. Salah satu cara umum yang dikenal dalam mengungkap kejahatan jenis ini adalah dengan menarik keluar salah satu mata rantai jaringannya dan memberikan perlindungan dan jaminan keamanan kepadanya.

18

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan Dari beberapa analisis yuridisi atas putusan MK secara sederhana dapat disimpulkan bahwa: 1. Penolakan Uji Materi Pasal 10 ayat (2) UU No.13 tahun 2006 sesuai yang dinyatakan dalam Putusan MK 42/PUU-VIII/2010 akan menimbulkan ekses negatif dalam pengungkapan berbagai tindak pidana yang lebih besar, terutama untuk tindak pidana korupsi. 2. Dari analisis penulis, keberadaan Pasal 10 ayat (2) UU No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban bersifat ambigu karena dapat menimbulkan tafsir ganda, oleh karena itu tidak sesuai dengan apa yang diamanatkan Pasal 28D UUD 1945 yang menjamin atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

B. Rekomendasi Dalam kasus ini, semestinya Majelis Hakim MK mendukung Hamdan Zoelva yang memandang permasalahan yang lebih besar dibandingkan sekedar penerapan suatu hukuman secara adil. Adanya kompensasi yang seimbang terhadap pengungkap suatu tindak pidana, meskipun ia statutsnya juga adalah tersangka pada tindak pidana yang sama, akan memberikan efek positif berupa dukungan yang diperlukan aparat hukum untuk mengungkap tindak pidana tersebut secara tuntas. Hal ini bisa jadi jauh lebih penting dibanding penerapan secara kaku azas keadilan dalam hukum, Equality Before the Law.

19

DAFTAR PUSTAKA UU Perlindungan Saksi Berpotensi Langgengkan Praktik Korupsi. Artikel. Dokumen tanggal 20 Agustus 2010. www.mkonline.com/284/art.html. MK Tak Undang Susno Duadji Hadiri Sidang Putusan UU LPSK. Artikel. Dokumen tanggal 24 Agustus 2010. www.detiknews.com/485/htm. Susno tetap Tersangka Kasus Korupsi. Artikel. Dokumen tanggal 25 September 2010. www.waspada.co.id/susno+tetap+tersangka.htm. Kasus Susno dianggap Unik oleh Hakim MK. Artikel. Dokumen tanggal 24 September 2010. www.waspada.co.id/kasus+susno.html.

You might also like