You are on page 1of 28

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK I DETEKSI DINI PEKEMBANGAN BALITA

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak I Dosen Pengampu: Puji Purwaningsih, Skep., Ns

Disusun oleh: 1. Ismaya Setiafiid 2. Kurnia Dewi 3. Sahrun 4. Vyna Anggraeny DS (010601065) (010601073) (010601100) (010601113)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NGUDI WALUYO UNGARAN 2008

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas ridho dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Deteksi Dini Perkembangan Balita. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Puji Purwaningsih Skep., Ns dan kepada semua pihak yang turut membantu menyelesaikan makalah ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saran dan kritik yang sifatnya membangun, penulis harapkan demi perbaikan makalah ini. Dan semoga penulisan ini dapat memberikan manfaat kepada penulis pada khususnya dan semua pembaca pada umumnya.

BAB II PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap orang tua menginginkan anak mereka tumbuh dengan sehat dan berkembang dengan optimal. Hanya saja dewasa ini banyak anak-anak yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang kurang optimal, dan menjadi sangat disayangkan adalah kurangnya perhatian orang tua terhadap anak. Padahal dalam perkembangan anak terdapat masa kritis, dimana diperlukan rangsangan atau stimulasi yang berguna agar potensi berkembang (Soetjiningsih, 1995). Perkembangan anak akan optimal bila interaksi sosial diusahakan sesuai dengan kebutuhan anak pada berbagai tahap perkembangnnya, bahkan sejak bayi masih dalam kandungan. Perkembangan sosial sangat dipengaruhi oleh lingkungan dan interaksi anak dengan orang tuanya/ orang dewasa lainnya. Sedangkan lingkungan yang tidak mendukung akan menghambat serta menimbulkan penyakit-penyakit yang potensial dapat mengakibatkan gangguan perkembangan anak (Soetjiningsih, 1995). Sayangnya, banyak ahli kesehatan yang percaya bahwa tidak banyak yang dapat dikerjakan untuk mengatasi kelainan ini dan mereka percaya pula bahwa kelainan yang ringan dapat normal dengan sendirinya. Sikap seperti ini dapat menghambat pemulihannya, bahkan pada kasus-kasus tertentu dapat mengakibatkan cacat yang permanen yang tidak seharusnya dapat dihindari (Soetjiningsih, 1995). Pada saat ini berbagai metode deteksi dini untuk mengetahui gangguan perkembangan anak telah dibuat. Karena deteksi dini kelainan perkembangan anak sangat berguna, agar diagnosis maupun pemulihannya dapat dilakukan lebih awal, sehingga tumbuh kembang dapat berlangsung seoptimal mungkin (Soetjiningsih, 1995).

B. Tujuan 1. Tujuan Umum Setelah mengikuti seminar diharapkan mahasiswa mampu menjelaskan deteksi dini perkembangan balita 2. Tujuan Khusus a. Mampu mengetahui deteksi dini perkembangan balita serta instrumen yang digunakan b. Mampu c. Mampu menjelaskan melaksanakan peran upaya perawat deteksi dalam upaya deteksi balita perkembangan perkembangan menggunakan DENVER II dan KPSP (Kuisioner Pre Screening Perkembangan)

BAB II TINJAUAN TEORI A. Pengertian Tumbang Pertumbuhan dan perkembangan adalah suatu proses yang berlangsung terus menerus pada berbagai segi dan saling berkaitan, dan terjadi perubahan pada individu semasa hidupnya. Pertumbuhan dan perkembangan adalah proses dari maturasi dan pembelajaran (Suruadi dan Yulianni; 2006) Pertumbuhan adalah Proses bertambahnya ukuran/dimensi akibat bertambah banyaknya sel-sel dan atau bertambah besarnya sel-sel serta bertambahnya jaringan interseluler (http://edwintohaga.wordpress.com/2008/04//3/deteksi-dini-tumbuh-kembanganak-kita/) Pertumbuhan berhubungan dengan perubahan pada kuantitas yang maknanya terjadi perubahan pada jumlah dan ukuran sel tubuh yang ditunjukkan dengna adanya peningkatan ukuran dan berat seluruh bagian tubuh (Whaley dan Wong, 2000). Pertumbuhan (growth) berkaitan dengan masalah perubahan dalam besar, jumlha, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu, yang bias diukur denghan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran pangjang (meter dan sentimeter), umur tulang dan keseimbangan metabolic (retensi kalsium dan nitrogen tubuh) (Soetjiningsih, 1995) Perkembangan (development) adalah bertambahnya kemapuan (skill) dalam struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Di sini menyangkut adanya proses diferensiasi dari sel-sel tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan system organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual dan tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsih; 1995, 1).

Perkembangan berhubungan dengan perubahan secara kualitas, diantaranya terjadi peningkatan kapasitas individu untuk berfungsi yang dicapai melalui proses pertumbuhan, pematangan dan pembelajaran (Whaley dan Wong; 2000) Perkembangan sebagai peningkatan ketrampilan dan kapasitas anak untuk berfungsi secara bertahap dan terus-menerus. Jadi perkembangan adalah suatu proses untuk menghasilkan peningkatan kemampuan untuk berfungsi pada tingkat tertentu (Marlow; 1988). B. Deteksi Dini Tumbuh Deteksi dini tumbuh adalah kegiatan/pemeriksaan untuk menemukan secara dini adanya penyimpangan tumbuh kembang pada balita dan anak pra sekolah. Semakin dini maka intervensinya akan dapat semakin cepat. Jenis deteksi dini yaitu deteksi dini penyimpangan pertumbuhan, deteksi dini perkembangan, deteksi dini penyimpangan mental emosional. Deteksi dini perkembangan bertujuan untuk mengetahui perkembangan anak normal atau adanya penyimpangan. (http://edwintohaga.wordpress.com/2008/04//3/deteksi-dini-tumbuh-kembanganak-kita/) C. Cara Deteksi Tumbuh Kembang Anak 1. Penilaian Pertumbuhan Anak a. Ukuran Antropometrik Tergantung umur (age dependence) BB terhadap umur, TB terhadap umur, lingkar kepala terhadap umur, lingkar lengan atas terhadap umur.

Interpretasi: BB terhadap umur: Menurut Gomez > 90 % = normal 90%-75% = malnutrisi ringan (grade I) 75 %-61% = malnutrisi sedang (grade II) < / = 60% = malnutrisi berat (grade III)

Menurut Jelliffe 110 % - 90% = normal 90% - 81% = malnutrisi ringan (grade I) 80% - 61% = malnutrisi sedang (grade II dan III) < / = 60% = malnutrisi berat (grade IV) percentil ke 50 3 = normal percentil < / = 3 = malnutrisi

Menurut WHO

Klasifikasi di Indonesia Menggunakan modifikasi Gomez pada KMS, kemudian kenaikan BB dicatat pada KMS. Bila terdapat kenaikan tiap bula adalah normal, bila tidak terjadi kenaikan maka resiko tinggi terjadinya gangguan pertumbuhan. TB terhadap umur: Menurut Kanawati dan McLaren >/= 95%: normal 95-90%: mal nutrisi ringan 90-85%: mal nutrisi sedang 85%: mal nutrisi berat >/= 90%: normal < 90%: stunted/mal nutrisi kronis

CDC/WHO

BB terhadap TB: McLaren/Read NCHS persentil ke 75-25: normal persentil ke 10-5: mal nutrisi sedang < persentil ke 5: mal nutrisi berat 110-90%: normal 90-85%: mal nutrisi ringan 85-75%: mal nutrisi sedang <75% dengan/tanpa edema: mal nutrisi berat 110-90%: normal 90-80%: mal nutrisi ringan 80-70%: mal nutrisi sedang <70%: mal nutrisi berat 85-80%: mal nutrisi sedang <80%:wasting/mal nutrisi akut

Waterlow

CDC/WHO

Lingkar lengan atas WHO dan Shakir >85% atau >14 cm: normal <76% atau > 12,5 cm: mal nutrisi berat

Tidak tergantung umur BB terhadap TB, LLA terhadap TB Lainnya Lingkaran dada, lingkaran perut dan lingkaran leher

b. Pemeriksaan Fisik Keseluruhan fisik

Dilihat bentuk tubuh, perbandingan bagian kepala, tubuh dan anggota. Juga diperhatikan apa ada edema atau tidak Jaringan otot Pertumbuhan otot diperiksa pada lengan atas, pantat dan paha dengan cara cubitan tebal. Jaringan lemak Diperiksa pada kulit di bawah trisep dan subskapula dengan cara cubitan tipis. Rambut Yang diperiksa adalah pertumbuhannnya, tidak). Gigi-geligi Saat erupsi gigi susu, saat tanggal, dan erupsi gigi permanen. c. Pemeriksaan Laboratorium Terutama pemeriksaan darah, yaitu antara lain, kadar Hb, serum protein (albumin dan globulin), hormon, dll d. Pemeriksaan Radiologis Untuk menilai umur biologis, yaitu umur tulang (bone age), biasanya dilakukan apabila ada kecurigaan adanya gangguan pertumbuhan. (Soetjiningsih, 1995) 2. Penilaian Perkembangan Anak a. Tahap-Tahap Penilaian Perkembangan Anak Anamnesis Melakukan anamnesis lengkap, karena kelainan perkembangan dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Dengan anamnesis yang teliti maka salah satu penyebabnya dapat diteliti. Skrining gangguan perkembangan anak warna, diameter (tebal/tipis), sifat (keriting/lurus), dan akar rambut (mudah dicabut/

Pada tahap ini dianjurkan digunakan instrument-instrumen untuk skrining guna mengetahui kelainan perkembangan anak. Misalnya dengan menggunakan DDST, tes IQ, atau tes psikologi lainnya. Evaluasi lingkungan anak Melakukan evaluasi lingkungan anak misalnya dengan menggunakan HSQ (Home Screening Quetionnaire). Evaluasi pendengaran dan penglihatan anak Untuk anak umur < 3 tahun dengan tes fiksasi, anak 2,5 3 tahun dengan kartu gambar dari Allen, dan di atas 3 tahun dengan huruf E, juga diperiksa apakah ada strabismus dan selanjytnya periksa korne dan retinanya. Melalui anamnesis atau menggunakan audiometer kalau ada alatnya. Evaluasi bicara dan bahasa anak Untuk mengetahui apakah kemampuan anak berbicara maz dalam batas-batas yang normal atau tidak. Pemeriksaan fisik Untuk melengkapi anamnesis agar diketahui kelainan fisik yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Pemeriksaan neurology Untuk mengetahui secara dini adanya palsi cerebralis menggunakan pemeriksaan neurologi Evaluasi penyakit-penyakit metabolic integrasi dari hasil penemuan Pembuatan suatu kesimpulan diagnosis dari gengguan perkembangan tersebut. (Soetjiningsih; 1995) b. Tes Perkembangan Menurut Denver (Denver Developmental Screening Test/DDST )

Pengertian DDST adalah salah satu dari metode skrining terhadap kelaianan perkembangan anak, tes ini bukanlah tes diagnostic atau tes IQ (Soetjiningsih;1995). Denver II adalah revisi utama dan standararisasi ulang dari Denver Development Screning Test (DDST) dan reviced Denver Developmental Screening Test (DDST-R). Denver II ini berbeda dari test skrining sebelumnya dalam bagian-bagian yang meliputi bentuk, interpretasi dan rujukan seperti tes, tes ini juga mengkaji motorik kasar, bahasa, motorik halus, adaptif dan perkembangan social personal pada anak-anak dari 1 bulan sampai 6 tahun (Donna L. Wong; 2003) Manfaat Denver II Pada penilaian Denver II menilai perkembangan anak dalam empat faktor, sebagai berikut: 1. Personal social ( social personal ) Penyesuaian diri dengan masyarakat da perhatian terhadap kebutuhan perorangan. 2. Fine motor adaptive (motorik halus adaptif) Koordinasi mata tangan, memainkan atau menggunakan bendabenda kecil pemecahan masalah 3. Language (bahasa) Mendengar, mengerti, dan menggunaka bahasa. 4. Gross motor (motorik kasar) Duduk, jalan, melompat, dan gerakan-gerakan umum otot besar. Tujuan DDST II 1. 2. Untuk menilai perkembangan anak sesuai usia Memantau anak yang tampak sehat, umur dari lahir sampai dengan enam tahun

3. 4. 5.

Menjaring anak tanpa gejala terhadap kemungkinan adanya kelainan perkembangan Memastikan apakah anak dengan persangkaan ada kelainan, apakah benar-benar ada kelainan. Memonitor anak dengan resiko perkembangan

Petunjuk Pelaksanaan DDST II 1. Cara pemeriksaan DDST II (a) Tentukan umur anak pada saat pemeriksaan (b) Tarik garis pada lembar DDST II sesuai dengna umur yang telah ditentukan (c) Lakukan pengukuran pada anak setiap komponen dengan batasan garis yang ada mulai dari motorik kasar, bahasa, motorik halus dan personal sosial. (d) Tentukan hasil penilaian apakah normal, meragukan, dan abnormal Keterlambatan (abnormal) apabila terdapat keterlambatan / lebih pada 2 sektor atau bila dalam 1 sektor didapat 2 keterlambatan lebih ditambah 1 sektor atau lebih terdapat 1 ketrlambatan. Meragukan apabila 1 sektor terdapat 2 keterlambatan/ lebih, atau 1 sektor/lebih didapatkan 1 keterlambatan. Dapat juga dengan menentukan ada tidaknya keterlambatan pada masing-masing sector bila menilai tiap sector atau tidak menyimpulkan gangguan perkembangan keseluruhan. (Hidayat; 2005). 2. Alat untuk DDST II (a) Benang sulaman merah (b) kismis atau permen (c) Kerincingan dengan pegangan (d) Kubus kayu berwarna (2,5 cm) 8-10 buah

(e) Botol kaca bening yang dapat dibuka (f) Lonteng kecil (g) Pensil warna (h) Boneka dan botol kecil (i) Bola tennis (j) Cangkir plastik dengan pegangan (k) Kertas kosong Cara menghitung umur dan menggambar garis Contoh: Indah dibawa oleh ibunya ke poliklinik tumbang RSU Ungaran. Tanggal lahir 5 april 2000, tanggal pemeriksaan 14 november 2003. Hitung umur indah dan ganbar garis umurnya? Jawab: Tahun Tgl tes Tgl lahir Umur 2003 2000 3 Bulan 11 4 7 Hari 14 5 9

Kemudian buat garis umur dan cantumkan tanggal pemeriksaan pada format DDST HAL HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN Lakukan test dari sector yang kurang aktif terlebih dahulu : personal social, motorik halus, bahas dan motorik kasar. Mulailah dari yang mudah dilakukan , jika anak kurang tepat melakukannya beri stimulus dan lakukan test ulang. Test yang menggunakan alat yang sama dilakukan secra berurutan Test dilakukan untuk setiap sector, dan mulailah dari sebelah kiri garis umur terus kekanan

BILA ADA RESIKO PERKEMBANGAN Lakukan paling sedikit 3 test yang paling dekat disebelah garis umur serta tiap test yang ditembus garis umur pada setiap sektor Bila anak tidak mampu untuk melakukan salah satu pertama (gagal, menolak, no Opportunity) lakukan test tambahan kesebelah kiri pada sektor yang sam sampai anak dapat melewati 3 test BILA ANAK LEBIH RELATIF KEMAMPUAN Pada setiap sektor dilakukan paling sedikit 3 test yang paling dekat kesebelah kiri garis umur dan test yang ditembus garis umur Lanjutkan test kekanan dari setiap test yang dalam satu sektor hingga tercapai 3 gagal Tiap test dilakukan 3 kali sebelum ditentukan gagal SKOR YANG DIPAKAI DALAM DDST II P: Pas/lewat Anak melakukan test dengan baik Ibu atau pengasuh memberi laporan L, tepat atau dapat dipercaya bahwa anak dapat melakukan F: Fail/Gagal Anak tidak dapat melakukan test dengan baik. Ibu atau pengasuh memberi laporan tepat, bahwa anak tidak dapat melakukan dengan baik. NO: No Opportunity/ Tidak ada kesempatan Anak tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan test karena ada hambatan. R: Refusal/Menolak Anak menolak untuk malakukan test.

KODE PENILAIAN F R = Fail (Gagal) = Refusal (Menolak)

= Pass (Lewat)

NO = No Opportunity (tidak ada kesempatan)

INTERPRETASI DARI NILAI DDST II A. ADVANCED/PENILAIAN LEBIH Melewati pokok secara lengkap ke kanan dari garis usia (dilewati pada <25% anak pada usia yang lebih besar dari anak tersebut). AGE LINE

B. NORMAL Melewati, gagal atau menolak pokok yang di potong berdasarkan garis usia antara persentil ke-25 dan ke-75. AGE LINE

Apabila anak gagal/menolak tugas pada item disebelah kakan garis umur AGE LINE P F

Apabila anak lulus, gagal/menolak tugas dimana garis umur berada antara 25%-75% (warna putih). C. CAUTION /PERINGATAN Gagal atau menolak pokok yang dipotong berdasarkan garis usia di atas atau di antara persentil ke-75 dan ke-90. AGE LINE

Apabila anak gagal/menolak tugas pada item dimana pada garis umur berada diantara 75%-90% (warna kelabu) d. Kuisioner Resived Pre Screening Developmental (KPSP) Kuisioner Resived Pre Screening Developmental atau Kuisioner Pre Skrining Perkembangan (KPSP) adalah revisi dari PDQ yang asli. Keuntungan dari Kuisioner Resived Pre Screening Developmental (RPDQ) meliputi penambahan dan pengaturan bagian-bagian agar menjadi lebih tepat usia, menyederhanakan penilaian orang tua dan mempermudah perbandingan dengna norma-norma Denver

Developmental Screening Test (DDST). R-PDQ adalah pra skrining yang dijawab orang tua yang terdiri dari 105 pertanyaan dari DDST, meskipun hanya subset pertanyaan yang diajukan untuk setiap kelompok usia. Pada orang tua yang

pendidikannya kurang, format mungkin perlu dibacakan oleh pemberi asuhan. BAB III FENOMENA Kekerasan terhadap Anak di Sekitar Kita KITA pernah tersentak oleh berita-berita mengenai kekerasan terhadap anak yang seringkali berada di luar akal sehat. Contohnya awal tahun ini ada berita seorang ibu membakar dua anak kandungnya sendiri yang masih berusia 3 tahun dan 11 bulan. Si sulung akhirnya meninggal dunia karena luka bakarnya sangat parah, sedangkan adiknya harus menjalani perawatan cukup lama di rumah sakit. Ada pula seorang ibu yang menganiaya anak angkatnya. Bertahun-tahun barulah kasus tersebut terungkap berkat tetangganya yang curiga sering mendengar suara tangisan. Ketika ketahuan si anak sudah telanjur mengalami derita lahir dan batin amat berat. Ada banyak bekas luka di sekujur tubuhnya. Sebenarnya sangat banyak kasus kekerasan terhadap anak namun tidak terekspos oleh media massa karena berbagai alasan. Bisa karena kasusnya tidak tragis sehingga dianggap kurang bernilai sebagai berita, bisa pula akibat sengaja ditutuptutupi. Sebuah hasil penelitian menyebutkan 90% pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang dewasa. Bahkan kebanyakan orang terdekat korban, misalnya orang tua atau wali, kerabat, serta guru. Kekerasan pada anak bisa berupa kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi. Faktor individu si pelaku sering menjadi pendorong atau pemicunya. Kebanyakan penyebabnya adalah kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis serta kesulitan ekonomi. Anak-anak kemudian menjadi pelampiasan. Data Komisi Nasional Perlindungan Anak menyebutkan tahun 2004 ada 544 kasus kekerasan terhadap anak dan 2005 meningkat menjadi 736 kasus. Jumlah sebenarnya diyakini lebih banyak lagi mengingat banyak yang tidak dilaporkan atau sengaja dirahasiakan karena dianggap aib baik oleh korban,

keluarga, maupun masyarakat. Sebenarnya cakupan kekerasan terhadap anak sangat luas. Unicef menyebutkan beberapa fakta yang cukup memprihatinkan. Diperkirakan sekitar 60% anak balita Indonesia tidak memiliki akta kelahiran. Lebih dari 3 juta anak terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya. Sekitar sepertiga pekerja seks komersial berumur kurang dari 18 tahun, sedangkan 40.000-70.000 anak lainnya menjadi korban eksploitasi seksual. Masih ditambah sekitar 100.000 wanita dan anak-anak diperdagangkan setiap tahun. Lalu ada sekitar 5.000 anak yang ditahan dan 84% di antaranya ditempatkan di penjara untuk orang dewasa. Masalah lain yang tak kalah memprihatinkan adalah pelecehan terhadap anak, terutama anak-anak dan wanita yang tinggal di daerah konflik atau bekas bencana. Kekerasan terhadap anak sering terjadi di sekitar kita tetapi barangkali kita tidak menyadari karena kurang peka, menganggap sebagai hal biasa, atau bahkan abai. Kasus itu bisa terjadi dalam keluarga dan sekolah. Contohnya seorang ibu atau ayah memukuli anaknya dengan alasan untuk mendisiplinkan. Di sekolah sudah dianggap sebagai kewajaran jika guru menghukum muridnya yang melakukan kesalahan atau lalai dengan cara berdiri di depan kelas. Bahkan bagi murid yang dianggap ''nakal'' hukumannya bisa lebih berat, yakni dijemur di halaman sekolah atau diminta membersihkan kamar mandi. Sepintas hukuman semacam itu dianggap lumrah, tetapi sebenarnya merupakan tindak kekerasan juga meskipun kadarnya lebih ringan. Di lingkungan keluarga kekerasan terhadap anak lebih disebabkan oleh paradigma keliru orangtua. Mereka beranggapan anak adalah miliknya dan bebas diperlakukan apa saja. Dalam kadar yang ringan si anak diberi hukuman berupa pukulan atau tugas lain, serta dilecehkan jika tidak melakukan sesuatu yang diinginkan. Misalnya karena nilai-nilai rapornya jelek si anak dimarahi dan mendapat sebutan ''goblog'', ''bloon'', ''idiot'', dan sebagainya. Termasuk kekerasan kategori agak berat dan berat antara lain diminta bekerja tanpa mengenal waktu untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.

Bahkan yang sangat memilukan adalah kenyataan tak sedikit anak-anak yang semestinya menikmati keriangan dunia bermain bersama temannya dijual dan dijadikan pekerja seks komersial. Di sekolah anak-anak yang kurang pandai atau prestasinya tertinggal dari temannya serta mendapat cap ''nakal'' sering diperlakukan kurang layak oleh gurunya. Ada yang dilecehkan dengan sebutan atau perlakuan yang bersifat merendahkan dan bagi yang dianggap ''nakal'' memperoleh hukuman. Para orang tua dan guru yang melakukan kekerasan itu mungkin tidak menyadari tindakannya bisa berdampak panjang bagi si anak. Pelecehan dan hukuman akan membekas pada benak si anak dan bisa mempengaruhi perkembangan kejiwaannya. Agresif Bagi yang sering dilecehkan kemungkinan besar menjadi pribadi yang kurang percaya diri, minder, peragu, dan bergantung pada orang lain. Anak yang kerap menerima tindak kekerasan secara fisik berupa hukuman ketika dewasa bisa tumbuh menjadi pribadi yang agresif dan suka melakukan kekerasan. Mereka mendapat contoh kekerasan di masa kecilnya sehingga pola dan cara hidup mereka akan dijalani dengan kekerasan pula, bukan dialog atau diskusi. Jika kita masih menganggap anak-anak merupakan generasi masa depan bangsa, marilah sejak sekarang kita hentikan kekerasan terhadap mereka, baik yang ringan maupun berat. Seringan apapun jenis kekerasan yang dilakukan tetaplah sebuah kekerasan yang bisa berdampak terhadap perkembangan anak-anak kita. Anakanak tersebut mempunyai hak disayangi, memperoleh pendidikan yang baik, dihidupi secara layak, berkreasi, kebebasan, bahkan hak untuk ''nakal''. Butuh penyadaran pada masyarakat luas untuk menghindarkan tindakan kekerasan fisik, psikologis, ekonomi, dan sosial terhadap anak. Kita telah memiliki UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak untuk menjamin anak-anak di seluruh Tanah Air memperoleh perlakuan yang layak.

Meski harus diakui tidak mudah, perlu dibentuk norma sosial dan budaya baru yang bersifat melindungi serta menghormati anak-anak. Sekecil apapun tindak kekerasan terhadap anak harus mendapat perhatian dari masyarakat. Bisa dengan cara saling mengingatkan atau kalau tidak, melapor ke polisi. Penegakan hukum yang buruk sehingga kasus-kasus kekerasan, termasuk kekerasan pada anak tidak ditangani sebagaimana mestinya harus diperbaiki. Ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk menekan atau bahkan menghilangkan kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Pertama, menyosialisasikan tindakan-tindakan yang tergolong sebagai kekerasan terhadap anak beserta peraturan-peraturannya. Caranya dengan menyebar stiker atau melakukan penyuluhan langsung kepada masyarakat bekerja sama lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli pada anak-anak. Dalam konteks ini peran media massa baik cetak maupun elektronik cukup penting. Liputannya diharapkan tidak hanya mengutamakan nilai berita. Namun lebih dari itu juga perlu mempertimbangkan misi memerangi kekerasan terhadap anak, sehingga tidak mengedepankan hal-hal yang tragis atau bombastis. Hak-hak korban tindak kekerasan mesti dilindungi dan dihormati, khususnya jika berupa kekerasan seksual kategori berat. Kedua, memberi dorongan kepada para korban kekerasan untuk melaporkan kasus yang menimpanya kepada pihak berwajib. Di sinilah LSMLSM, media massa, dan kelompok-kelompok masyarakat yang peduli pada anakanak memegang peran amat penting. Selain kasusnya dilaporkan, para korban perlu ditampung, didukung, dan direhabilitasi kondisi fisik serta kejiwaannya. Bekerja sama dengan pemerintah dan instansi terkait perlu didirikan rumah penampungan bagi korban kekerasan terhadap anak hingga ke daerah-daerah. Ketiga, para penegak hukum harus lebih serius menindaklanjuti laporanlaporan kasus kekerasan terhadap anak hingga tuntas. Bukan hanya pada kekerasan yang termasuk kategori berat, melainkan juga yang ringan dan mungkin dianggap sebagai kewajaran oleh sebagian orang.

Para pelakunya diproses dan diberi hukuman yang setimpal. Langkah tersebut diharapkan menjadi semacam shock theraphy sehingga orang akan berpikir ulang untuk melakukan. Memang anak. Butuh proses dan waktu serta kerja keras karena hal tersebut berhubungan erat dengan persoalan norma sosial dan budaya yang sudah mengakar kuat di masyarakat.Empat serangkai, yakni pemerintah-penegak hukum-LSM-media massa mesti bahu-membahu dan terus bekerja sama untuk mewujudkan itu. Jika kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan terhadap perempuan telah memperoleh perhatian selayaknya, kini saatnya kekerasan terhadap anak juga demikian. Ke depan, kita menginginkan tidak lagi ada orang tua atau guru menghukum anak atau muridnya dengan cara apapun walau beralasan untuk mendisiplinkan, memperbaiki perilaku, dan sebagainya. Ada cara-cara ''menghukum'' yang lebih mendidik dan manusiawi tanpa mencederai fisik atau kejiwaan si anak yang bisa berdampak sangat panjang. Bagi pelaku kekerasan terhadap anak kategori berat, antara lain memperdagangkan, melacurkan, dan menganiaya hingga luka parah atau bahkan meninggal, tak ada pilihan lain kecuali dihukum berat.(Bambang Tri Subeno-27) (Suara Merdeka, 16 Oktober 2006) tidak segampang membalikkan telapak tangan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang mau melindungi dan menghormati anak-

BAB IV PEMBAHASAN Periode penting dalam tumbuh kembang anak adalah masa balita. Karena pada masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak selanjutnya. Pada masa balita ini perkembangan kemampuan berbahasa, kreatifitas, kesadaran sosial, emosional, dan intelegensia berjalan sangat cepat dan merupakan landasan perkembangan berikutnya. Perkembangan moral serta dasar-dasar kepribadian juga dibentuk pada masa ini. Bahkan ada sarjana yang mengatakan bahwa The child is the father of the man. Sehingga setiap kelainan/ penyimpanagn sekecil apapun apabila tidak terdeteksi apalagi tidak ditangani dengan baik, akan mengurangi kualitas sumber daya manusia kelak kemudian hari. Masalah tumbuh kembang anak merupakan masalah yang perlu diketahui atau dipahami sejak konsepsi hingga dewasa yang menurut WHO sampai usia 18 tahun, sedang menurut Undang-Undang Kesejaheraan Anak RI No 4 Tahun 1979 sampai dengan usia 21 tahun sebelum menikah. Beberapa masalah tumbuh kembang anak hyang perlu dijadikan acuan dalam pemndeteksian diantaranya: 10% anak akan mencapai kemampuan pada usia dini, 50% anak akan mencapai kemampuan kemudian, 75% anak akan mencapai kemampuan lebih kemudian, 90% anak akan sudah harus dapat mencapai kemampuan pada batas usia paling lambat masih dalam batas normal dan 10% anak dimasukkan dalam katagori terlambat apabila belum bias mencapai kemampuannya. Secara umum terdapat beberap ciri anak yang memiliki kelainan dan perlu pendeteksian diantaranya apabila pada usia 1-1,5 bulan belum bias tersenyum

secara spontan, anak usia lebih 3 bulan masih menggenggam dan belum bersuara, usia 4-5 bulan belum tengkurap dengan kepala diangkat, pada usia 7-8 bulan anaka belum bias disusukkan tanpa bantuan, pada usia 12 bula belum bisa menjepit, pada usia 15 bulan belum berjalan, pada usia 18 bulan anak belum mampu mengucapkan 4-5 kata, pada usia 2 tahun anak belum bisa menyebut nama sendiri, pada usia 30 bulan anak belum bisa menggambar, pada usia 3 tahun anak belum bisa berpakaian, pada usia 3,5 tahun anak belum bisa mengenal warna, pada usia 4 tahun anak belum bisa manggambar orang 3 bagian dan pada usia 4,5 tahun anak belum bisa bercerita maka perilaku di atas perlu dilakukan pendeteksian untuk mengenal berbagai masalah tumbuh kembang anak. Begitu banyak fenomena kekerasan pada anak/ balita yang tercatat pada tahun 2006. kekerasan terhadap anak merupakan salah satu penyebab dari timbulnya masalah perkembangan anak/ balita. Kekerasan pada anak bisa berupa kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan ekonomi. Kebanyakan penyebabnya adalah kehidupan rumah tangga yang tidak harmonis serta kesulitan ekonomi. Sehingga anak menjadi pelampiasan. Banyak anak dibawah umur yang terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya bahkan pekerja seks komersial yang merupakan pelecehan terhadap anak. Di lingkungan keluarga kekerasaan terhadap anak lebih disebabkan oleh paradigma keliru orang tua, yaitu mereka beranggapan bahwa anak adalah miliknya dan bebas diperlakukan apa saja. Misalnya memberi hukuman berupa pukulan atau tugas lain bahkan si anak dimarahi dan mendapat sebutan goblok,bloon, dan sebagainya. Hal ini berdampak panjang bagi si anak karena bisa mempengaruhi perkembangan kejiwaannya misalnya anak menjadi pribadi yang kurang percaya diri, minder, peragu, dan bergantung pada orang lain bahkan ketika dewasa bisa tumbuh menjadi pribadi yang agresif dan suka melakukan kekerasan. Jadi apapun jenis kekerasan yang dilakukan tetaplah sebuah kekerasan yang bisa berdampak terhadap perkembangan anak, padahal anak mempunyai hak disayangi, memperoleh pendidikan yang baik, dihidupi secara layak, berkreasi, kebebasan bahkan hak untuk nakal sehingga masalah perkembangan dapat dihindari

Dalam rangka menanggulangi masalah atau gangguan perkembangan anak, perawat mempunyai tugas yang sangat penting. Dengan pendekatan interdisiplin, perawat melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan keluarga serta anggota tim kesehatan lainnya. Keluarga adalah mitra perawat, sehingga harus terbina dengan baik, tidak hanya saat perawat membutuhkan informasi dari keluarga saja, melainkan seluruh rangakaian proses perawatan anak harus melibatkan keluarga secara aktif (Supartini; 2004). Untuk membantu mengatasi masalah perkembangan anak, pada saat ini berbagai metode deteksi dini untuk mengetahui gangguan perkembangan anak. Demikian pula dengan skrining untuk mengetahui penyakit-penyakit yang potensial dapat mengakibatkan gangguan perkembangan anak. Karena deteksi dini kelainan perkembangna anak sangat berguna, agar diagnosis maupun pemulihannya dapat dilakukan lebih awal, sehingga tumbuh kembang anak dapat berlangsung seoptimal mungkin (Soetjiningsih; 1995). Untuk menilai perkembangan anak, pertama yang dapat dilakukan adalah dengan wawancara tentang faktor kemungkinan yang menyebabkan gangguan dalam perkembangan, kemudian melakukan tes skrining perkembangan anak dengan DDST (DENVER II), tes IQ dan tes psikologi lainnya. Selain itu juga dapat dilakukan tes lainnya seperti evaluasi dalam lingkungan anak yaitu interaksi anak selama ini, evaluasi fungsi penglihatan, pendengaran, bicara, bahasa, serta melakukan pemeriksaan fisik lainny, seperti pemeriksaan neurologis, metabolik , dan lain-lain. Dengan melakukan beberapa tes tersebut diharapkan resiko masalah perkembangan anak dapat terdeteksi lebih dini dan dapat diatasi lebih awal. Karena Denver II dan tes-tes lainnya mencakup penilaian terhadap personal sosial, motorik halus, bahasa, dan motorik kasar. Untuk mendukung hal ini, maka diperlukan anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik yang teliti dan pemeriksaan penunjang lainnya agar diagnosis dapat dibuat, supaya intervensi dan pengobatan dapat dilakukan sebaik-baiknya. Dengan kerja sama tenaga kesehatan dan lembaga sosial lainnya (misalnya, LSM, pemerintah, dan lain-lain) diharapkan gangguan perkembangan

anak, seperti gagal tumbuh, gangguan makan, gangguan tidur, enuresis fungsional, enkopresis fungsional, gagap, mutisme efekti, gangguan perkembangan spesifik, autisme, hiperaktif, bahkan sampai gangguan dalam fungsi fungsional, yaitu retardasi mental dapat dihindari (Hidayat; 2005). BAB V PERAN PERAWAT dalam UPAYA DETEKSI PERKEMBANGAN BALITA Perawat adalah salah satu anggota tim kesehatan yang bekerja dengan anak dan orang tua. Beberapa peran penting seorang perawat anak, yaitu sebagai pembela (advocacy), pendidik, konselor, koodinator, pembuat keputusan etik, perencana kesehatan, pembina hubungna terpeutik, pemantau, evaluator, dan peneliti. Perawat dituntut sebagai pembela bagi anak atau keluarganya pada saat mereka membutuhkan pertolongan, tidak dapat mengambil keputusan/ menentukan pilihan, dan meyakinkan keluarga untuk menyadari pelayanan yang tersedia, pengobatan, dan prosedur yang dilakukan dengan cara melibatkan keluarga. Perawat berperan sebagai pendidik, baik secara langsung dengan memberi penyuluhan/ pendidikan kesehatan pada orang tua anak maupun secara ridak langsung dengan menolong orang tua/ anak memahami pengobatan dan perawatan anaknya. Kebutuhan orang tua terhadap pendidikan kesehatan dapat mencakup pengertian dasar tentang penyakit anaknya, perawatan anak selama anak dirawat di rumah sakit, perawatan lanjut untuk persaiapan pulang ke rumah. Tiga domain yang dapat diubah oleh perawat melalui pendidikan kesehatan adalah pengetahuan, ketrampilan, serta sikap keluarga dalam hal kesehatan, khususnya perawatan anak sakit. Suatu waktu anak dan keluarganya mempunyai kebutuhan psikologis berupa dukungan / dorongan mental. Sebagai konselor, perawat dapat memberi konseling keperawatan ketika anak dan orang tuanya membutuhkan. Hal inilah yang membedakan layanan konseling dengan pendidikan kesehatan. Dengan cara

mendengarkan segala keluhan, melakukan sentuhan, dan hadir secara pisik, perawat dapat saling bertukar pikiran dan pendapat dengan orang tua anak tentang masalah anak dan kelurganya, dan membantu mencarikan alternatif pemecahannya. Dengan pendekatan interdisiplin, perawat melakukan koordinasi dan kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain, dengan tujuan terlaksananya asuhan yang holistik dan komprehensif. Perawat berada pada posisi kunci untuk menjadi koordinator pelayanan kesehatan karena 24 jam berada disamping pasien. Keluarga adalah mitra perawat. Oleh karena itu kerja sama dengan keluarga juga harus terbina dengan baik, tidak hanya saat perawat membutuhkan inpormasi dari kelurga saja, melainkan seluruh rangkain proses perawatan anak harus melibatkan keluarga secara aktif. Perawat dituntut untuk dapat berperan sebagai pembuat keputusan etik dengan berdasarkan pada nilai moral yang diyakini dengan penekanan pada hak pasien untuk mendapat otonomi, menghindari hal hal yang merugikan pasien, dan keuntungan asuhan keperawatan yaitu meningkatkan kesejahteraan pasien. ditingkat kebijakan. Perawat harus mempunyai suara untuk di dengar oleh para pemegang kebijakan dan harus aktif dalam gerakan yang bertujuan untuk meningkatkatkan kesejahteraan anak. Perwat yang paling mengerti tentang layanan keperawatan anak. Oleh karena itu perawat dapat meyakinkan pemegang kebijakan bahwa usulan tentang perencanaan pelayanan keperawatan yang di ajukan dapat memberi dmpak terhadap peningkatan kualitas pelayanan kesehatan anak. Akhirnya sebagai peneliti, perawat anak membutuhkan keterlibatan penuh dalam upaya menemukan masalah masalah keperawatan anak yang harus diteliti, melaksanakan penelitian langsung, dan menggunakan hasil penelitian kesehatan / keperawatan anak dengan tujuan meningkatkan kualitas praktik / asuhan keperawatan pada anak. Untuk peran ini diperlukan kemampuan berpikir kritis dalam melihat fenomena yang ada dalam layanan asuhan keperawatan anak sehari- hari dan menelusuri penelitian yang telah dilakukan serta menggunakan literatur untuk memvalidasi masalah penelitian yang ditemukan. Pada tingkat

kualifikasi tertentu, perawat harus dapat melaksanakan penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas praktik keperawatan anak.

BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Deteksi dini tumbuh adalah kegiatan/pemeriksaan untuk menemukan secara dini adanya penyimpangan tumbuh kembang pada balita dan anak pra sekolah. Peran perawat dan orang tua maupun petugas kesehatan lainnya sangatlah penting dalam upaya mewujudkan pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal, khususnya apda masa balita. Penilaian pertumbuhan anak meliputi antropometri, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratirium dan radiologis, tapi yang paling digunakan untuk menentukan keadaan pertumbuhan adalah antropometri Untuk mendukung perkembangan anak yang optimal maka dilakukan tes yang dikenal dengan nama DDST II (Denver II) yang menilai empat faktor, diantaranya penilaian terhadap personal sosial, motorik halus, bahasa, dan motorik kasar. B. Saran Untuk mengatasi gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan pada balita, maka perawat sebaiknya melakukan deteksi dini perkembangan balita.

DAFTAR PUSTAKA Hidayat, A,Aziz Alimul. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I Edisi I. Jakarta: Salemba Medika. Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC. Supartini, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakart: EGC. Suriadi dan Rita Yuliani. 2006. Asuhan Keperawatan pada Anak. Jakarta: CV. SAGUNG SETO. Wong, Dona L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4. Jakarta: EGC. (http://edwintohaga.wordpress.com/2008/04//3/deteksi-dini-tumbuh-kembanganak-kita/) (http://suaramerdeka.com)

You might also like