You are on page 1of 15

Kriminologi- Paradigma dan Pembaharuan Soal No.

1 : Mengenai Paradigma Kriminologi, kita sebaiknya mencermati sejarahnya, dari Klasik hingga Kritis. Aliran klasik, mulai berkembang di Inggris pada akhir abad ke 19 dan kemudian meluas ke negara-negara lain di Eropa dan Amerika, dasar dari mazhab ini adalah hedonistic-psycology dan metodenya ArmChair (tulis menulis). Psikologi mejadi dasar aliran ini , sifatnya adalah individualistis, intelectualistis dan voluntaristis, aliran ini berpandangan adanya kebebasan kehendak sedemikain rupa, sehingga tidak ada kemungkinan untuk menyelidiki lebih lanjut sebab-sebab kejahatan atau usaha-usaha pencegahan kejahatan. Contoh yang sederhana adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, sangat sederhana, namun pandangan ini berhasil menjadi tulang punggung hukum pidana dan merupakan doktrin yang berpengaruh hingga sekarang. Menurut aliran ini orang yang melanggar undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang sama tanpa mengingat umur, kesehatan jiwa, kaya miskinnya, posisi sosial dan keadaan-keadan lain. Hukuman dijatuhkan harus berat, namun propossional, dan untuk memperbaiki, dan lain-lain. Meskipun aliran ini kurang mampu menjelaskan mengapa seseorang berperilaku jahat, namun hingga sekarang mencengkram kuat dan mempengaruhi terhadap pemberian makna penjahat. Penjahat adalah mereka yang dicap demikian oleh undang-undang, merupakan pengaruh nyata terhadap pola berfikir banyak ahli (hukum) di Indonesia. Aliran positivis muncul sebagai proses ketidak puasan dari jawaban-jawaban aliran klasik, aliran ini berusaha menjelaskan mengapa seseorang bisa bertindak jahat. Aliran ini bertolak pada pandangan bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktorfaktor di luar kontrolnya, baik yang berupa faktor biologik maupun kultural. Ini berarti bahwa manusia bukan makhluk yang bebas untuk berbuat menuruti dorongan keinginannya dan intelegensinya, akan tetapi makhluk yang dibatasi atau ditentukan oleh perangkat biologiknya dan situasi kulturalnya. Lambroso, yang dianggap sebagai pelopor mazhab ini pada pertengahan abad ke 19 secara tegas mengetengahkan apa yang disebut Born Criminal (penjahat sejak lahir), bahwa penjahat sejak lahirnya merupakan tipe khusus, dengan kalsifikasi khusus misalnya pencuri, pembunuh atau penjahat-penjahat lainnya memiliki tanda atau ciri yang berbeda-beda, Aliran biologis yang dipeloporinya ini meskipun mendapat kritikan dari beberapa ahli kriminologi, namun sampai saat ini pengaruh dari Lombroso masih terasa, misalnya seseorang akan dicurigai apabila

menampilakan ciri-ciri biologis berambut gondrong, berdahi lebar, seperti satau atau dua jumlah uyeng-uyeng di kepala bayi yang baru dilahirkan, dll. Kemudian muncul aliran yang memperluas dari individu (biologis) kepada kondisi-kondisi yang dapat menghasilkan penjahat. Kejahatan merupakan produk sistem sosial, yang menekankan pada struktur kesempatan yang berbeda atau diffrential opartunity structure, kemiskinan, rasisme dan lain-lain, sebagai faktor penyebab yang penting. Tercatat beberapa tokoh teori ini seperti Tarde, Lacasagne, WA Bonger dan Sutherland. Ketidak puasan terhadap aliran-aliran di atas kemudian menampilkan perspektif baru dalam melihat mengapa seseorang dapat menjadi jahat, sebagai hasilnya muncul apa yang disebut denagan perspektif aliran kriminologi baru yang memiliki pemikiran-pemikiran kritis dan radikal. Munculnya aliran ini, tidak luput dari perkembangan atau konteks perubahanperubahan sosial di Amerika Serikat sekitar tahun 1960, dan dibagian-bagian dunia setelah redanya perang dingin, muncul apa yang disebut dengan kriminologi kritis sampai radikal., bahwa pengungkapan terhadap kejahatan harus lebih kritis, selektif dan waspada. Wawasan kriminologi ini disebut kriminologi baru. Munculnya kriminologi baru ini salah satunya dan di mulai dengan munculnya teori Labbeling (labelling theory), dikemukakan Howard Becker yang mengatakan pada dasarnya kejahatan merupakan suatu proses dalam konteks, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi sosial. Perkembangan selanjutnya, perbuatan jahat (kejahatan) ditafsirkan sebagai hasil dari keadaan disorganisasi sosial dan kejahatan diakibatkan dari berbagai hal yang bersifat sosial seperti Industrialisasi, perubahan sosial yang cepat dan modernisasi. Kejahatan bukanlah kualitas perbuatan yang dilakukan oleh orang, melainkan sebagai akibat diterapkannya peraturan dan sanksi oleh orang-orang lain kepada seorang pelanggar. Oleh karena itu teori labelling ini telah merubah konteks studi kriminologi, yaitu dari penjahat kepada proses terjadinya kejahatan, meskipun istilah pertamanya teori ini muncul dalam bukunya Frank Tannenbaun, dan E.M Lemert, Disusul kemudian oleh teori-teori yang dikemukakan Austin Turk, Ralf Dahrendorf Chambliss dan Seidman, dengan teori Konflik,aliran ini disebut pula dengan aliran Kriminologi radikal. Bagi aliran-aliran kriminologi baru penyimpangan adalah normal , dalam pengertian manusia terlibat secara sadar dalam penjara-penjara yang sesungguhnya dan masyarakat yang juga merupakan penjara, dalam menyatakan kebhinekaan

mereka. Tugas ahli kriminologi bukanlah sekedar mempermasalahkan stereotype atau bertindak sebagai pembawa-pembawa alternatif phenomenological realities, kewajiban ahli kriminologi adalah untuk menciptakan suatu masyarakat di mana kenyataan-kenyataan keragaman personal, organik dan sosial manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa. Munculnya aliran baru kriminologi sebenarnya merupakan kritik terhadap perkembangan kriminologi itu sendiri, disaat kriminologi tradisional atau oleh Taylor disebut dengan istilah Orthodoks kriminologi, tidak mampu memuaskan jawabanjawabn terutama terhadap mengapa mereka melakukan perbuatan-perbuatan jahat. Terlebih lagi studi yang dilakukan masih tradisional, fokus kejahatan hanyalah terhadap apa yang disebut dengan kejahatan jalanan. Terutama di Indonesia, hal ini telah menyita tenaga dari sistem peradilan pidana sehingga kejahatan-kejahatan dengan klasifikasi lain atau kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang memiliki kekuasaan menjadi tidak tersentuh, sehingga lahirnya aliran-lairan baru dalam kriminologi, apabila ditempatkan dalam konteks paradigma Thomas Kuhn, maka proses ini bisa disebut sebagai Lompatan Paradigmatik, bahwa Ilmu pengetahuan itu hidup karena revolusi bukan akumulasi. Menurut Mardjono,lahirnya Kriminologi yang non konvensional memberikan analisa berbeda, dilihat dari kacamata kriminologi yang non konvensional itu maka apa yang disajikan oleh kriminologi konvensional adalah menyesatkan, dengan dua hal yang menjadi sangat penting; bahwa angka kriminalitas yang tidak dilaporkan dan tidak tercatat cukup besar (the dark number of crime), dan ;di samping kejahatan jalanan masih terdapat kejahatan korporasi (Corporate crime) dan kejahatan-kerah putih/orang berdasi (White Collar Crime), yang jarang diketahui, dilaporkan dan dicatat. Pada intinya aliran baru mengecam statistik kriminalitas yang tidak mampu memberikan data akurat, dan menjelaskan kejahatan secara faktual. Seorang kriminolog Indonesia yaitu Paul Moedikdo, memberikan komentar terhadap pandangan aliran-aliran kriminologi baru ini, menurutnya kadar kebenaran dan nilai praktis teori kritis dapat bertambah apabila hal itu dikembangkan dalam situasi kongkret demi kepentingan atau bersama-sama mereka yang diterbelakangkan, guna memperbaiki posisi hukum atau pengurangan keterbelakangan mereka dalam masyarakat. Akan tetapi bahaya praktek pengalaman yang terbatas adalah adanya penyempitan kesadaran dan diadakannya generalisasi terlalu jauh jangkauannya. Mereka sampai kepada perumusan-perumusan tentang kejahatan dan perilaku

menyimpang yang tidak dapat dipertahankan oleh karena adanya generalisasi yang berlebihan bahwa delik-delik adalah pernyataan dari perlawanan sadar dan rasional terhadap masyarakat yang tidak adil yang hendak menyamaratakan orang menjadi objek-objek pengaturan oleh birokrasi ekonomi. Ini kemudian dipertegas oleh Soedjono bahwa, dengan kata lain kriminologi baru melupakan sama sekali adanya street crime yang konvensional dan tradisional yang berkait dengan tatanan birokratis yang ada, maka dapat dikatakan catatan atau kritik terhadap kriminologi baru ini bahwa, perspektif baru memang diperlukan dalam meluruskan pandangan sempit dari kriminologi konvensional, namun rumusannya tentang kejahatan dan generalisasinya mengenai teori kejahatan dan perilaku menyimpang terlalu jauh, sehingga justru melahirkan pertentangan pendapat yang berkepanjangan dan dapat memecah belah para kriminologi ke dalam dua kubu. Paul Moedikdo juga memberikan komentarnya terhadap Ian Taylor dll, yaitu bahwa rumusan kewajiabn ahli kriminologi untuk berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana kenyataan-kenyataan kebhinekaan manusia tidak menjadi korban kriminalisasi penguasa adalah rumusan yang keliru. Bukan kekuasaan untuk mengkriminalisasi kajahatan yang harus dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip egalitarian dan kooperatif, bukan berdasarkan hierarkhikal dan eksploitatif. Suatu kritik dilontarkan pula terhadap teori Labelling bahwa, teori ini bersifat deterministik dan menolak pertanggungjawaban individual, dan teori ini tidak berlaku untuk semua jenis kejahatan, bahkan meurut Hagan, teori labeling yang selalu berangapan bahwa setiap orang melakukan kejahatan dan nampak bahwa argumentasinya adalah cap, dilekatkan secara random. Kenyataannya bahwa hanya kejahatan yang sangat serius memperoleh reaksi masyarakat atau cap. Namun apabila kita lihat pandangan-pandangan atau kritik yang dikemukakan oleh Paul Modikdo dan Soejono terhadap Kriminologi baru itu, nampaknya banyak yang tidak tepat, meski bisa dipertimbangkan (sebagai scientific device). Hanya saja kritik tersebut terkesan umum (tidak cermat) serta kurang memiliki landasan cukup tajam terhadap pandangan-pandangan kriminologi baru, apalagi kritik itu lebih bersifat kehati-hatian daripada melihat substansi teori yang dikembangkan, pemikiran kritis sering dicap sebagai bagian yang harus diwaspadai dalam pengertian negatif, apalagi pandangan yang dikemukakan aliran kritis/radikal sering bersinggungan dengan konteks kekuasaan atau bentuk perlawanan, sehingga apabila dibaca dalam paradigma kekuasaan yang pada waktu itu sangat dominan (Rezim Orde Baru begitu

alergi terhadap pandangan-pandangan kritis dan perlawanan, sehingga aliran-aliran kritis sering dicurigai). Saat ini penafsiran terhadap kejahatan mengalami suatu perubahan cukup mendasar, yang timbul akibat perubahan besar disegala bidang kehidupan, sehingga kalau boleh saya jelaskan bahwa kritik terhadap kriminologi baru yang dikemukakan kedua pakar krimonolog di atas adalah kritik yang kering interpretasi, tidak melihat konteks. Hanya perlu diperhatikan mengenai kritik dari Paul Meodikdo, tentang generalisasi yang terlau jauh dari jangkauannya, untuk kategori ini kita memang harus berhati-hati karena penyamarataan itu memang akan menyesatkan mengenai pandangan kita tentang kejahatan. Bahwa aliran aliran baru terutama kritis dan radikal, dalam menguraikan teori mereka didasarkan kepada kemampuan apa yang disebut dengan motif-motif berfikir kritis dengan melihat tembus melihat dibalik (adegan), dengan kata lain untuk tidak menerima apa adanya Take for Granted. Sebagai contoh, hal ini bisa dilihat dari uraian Steven Box , mengenai hubungan kejahatan dengan kekuasaan, dengan menguraikan suatu analisis bahwa Undang-Undang Percobaan usaha kriminal (Criminal Attemps Act), 1981, dimaksudkan untuk mencabut hukum-hukum sus yang banyak dikutuk orang. Akan tetapi penguatan hukum usaha percobaan bisa direntangkan sebagai akibat dari undang-undang ini, untuk mencakup usaha pencurian materi yang tidak di kenal oleh orang-orang tidak dikenal, serta usaha untuk mencuri mobil yang sedang diparkir. Sekedar keberadaan (kehadiran), terutama kalau wajah anda tidak sesuai, atau warna kulit anda kurang layak di sebuah jalan dengan sebuah mobil yang sedang diparkir, dimata polisi bisa di anggap sebagai suatu usaha percobaan pencurian mobil. Melalui undang-undang ini wewenang polisi telah ditambah dan bukannya dikurangi. Demikian pula dengan undang-undang polisi dan Bukti Kriminal, (police and Criminal Evidence Bill 1982 ) adalah contoh lain dari usaha negara untuk mendapatkan kekuasaanya. Ini hanya sekedar satu di dalam satu deretan manuver legal yang konsekuensi latennya, tidak peduli apapun maksud yang dinyatakan, adalah untuk meningkatkan kekuasan polisi untuk menyerang privasi individu dan menunda mereka sampai bukti ditemukan, bisa dibayangkan efek yang timbul. Tengok pula bagaimana di Indonesia kejahatan mengalir tanpa hambatan melalui legalisasi peraturan perundang-undangan. Apabila kita melihat seadanya maka nampak, bahwa terbitnya undang-undang itu merupakan rasa peduli pemerintah dan kekhawatiran pemerintah, terhadap warganegaranya, namun pemerintah sendiri telah menciptakan opini publik yang

berlebihan tentang kejahatan (warungan) melalui media-media, dan menciptakan setan rakyat, dari para pengemis, pencuri jaminan sosial. Pada gilirannya pemerintah kemudian tampak responsif terhadap keprihatinan publik, sementara pada kenyataanya tujuannya adalah untuk menanamkan kedisiplinan dan rasa takut akan penganggur yang menerima keuntungan negara, karena mereka bukan golongan menegah yang terhormat atau yang secara potensial rusak. Aliran-aliran kriminologi baru ( Taylor dll ) mengakui secara jujur bahwa gambaran yang diromantisasikan merupakan suatu formulasi yang kasar dan bahkan salah, serta lebih banyak merupakan pemujaan dari pada analisa perbuatan menyimpang yang dikagumi penyusun-penyusun teori seperti perilaku hippi, pemakaian narkotik, vandalisme dan sabotase industri. Namun harus diakui apa yang ditawarkan oleh aliran kriminologi baru, kritis dan radikal adalah alternatif pemikiran yang mencoba membuka pemahaman kita akan realitas kejahatan serta memberikan kegairahan perkembangan pemikiran kejahatan dalam konteks kriminolog. Soal No.2 : Relativitas Kejahatan, sosiologi berpendapat bahwa kejahatan disebabkan karena kondisi-kondisi dan proses-proses sosial yang sama, yang menghasilkan perilaku-perilaku sosial lainnya. Analisis terhadap kondisi-kondisi dan proses-proses tersebut menghasilkan dua kesimpulan, yaitu pertama yang terdapat hubungan antara variasi kejahatan dengan variasi organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi. Tinggi rendahnya angka kejahatan berhubungan erat dengan bentuk-bentuk dan organisasi-organisasi sosial di mana kejahatan tersebut terjadi, maka angka-angka kejahatan dalam masyarakat, golongan-golongan masyarakat dan kelompok-kelompok sosial mempunyai hubungan dengan kondisikondisi dari proses-proses misalnya gerak sosial, persaingan dan penentangan kebudayaan, ideologi, politik, agama, ekonomi. Dengan cara inilah sosiologi memandang arti sebuah kejahatan. Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan oleh karena itu di mana ada manusia, pasti ada kejahatan Crime is eternal-as eternal as society. Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik, baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini. Maka pengertian kejahatan adalah relativ tak memilki batasRelativitas kejahatan dan aspek yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum semata-mata,

sekalipun memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal) tidaklah mudah untuk ditafsirkan. karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam seperti itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari semuanya itu. Relativitas jelas akan berpengaruh terhadap penggalian faktor sebab musababnya yang pada gilirannya berpengruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada umumnya. Tentunya relativitas kejahatan memerlukan atau bergantung kepada ruang dan waktu, serta siapa yang menamakan seuatu itu adalah kejahatan.Misdaad is benoming yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai jahat oleh manusiamanusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai penjahat. Meskipun kejahatan itu relatif, ada pula perbedannya antara mala in se dengan mala in prohibita.Mala in se adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan. Sedangka Mala in prohibita, adalah suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam Undang-undang. Siapakah sebenarnya penjahat itu. Apakah cukup mereka yang dinyatakan melakukan perbuatan yang dilarang dan diberi sanksi hukum yang tercantum dalam pasal undang-undang disebut sebagai penjahat? Dalam KUH-Pidana (kita) tidak ada satu pasal pun yang mengatakan bahwa penjahat adalah..., dan KUH-Pidana kita tidak menyebutkan siapakah orangnya yang menyandang gelar penjahat. Akan tetapi mereka hanya dicap sebagai penjahat dengan sebutan barang siapa (Yesmil Anwar. 2004:5), tentunya penjahat itu merupakan label atau stigma dari undang-undang. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ternyata aliran klasik atau aliran positif tidak dapat bertahan lama, aliran-aliaran ini kembali mendapat kritikan dari aliran atau mazhab sosiologis. Dalam lapangan kriminologi, aliran ini paling banyak melahirkan variasi-variasi dan perbedaan-perbedaan analisa dari sebab musabab kejahatan. Pokok pangkal dari ajaran ini adalah kelakuan-kelakuan jahat yang dihasilkan dari proses-proses yang sama seperti kelakuan-kelakuan sosial lainnya. Bukan suatu penjungkirbalikan terhadap paham klasik, positivistik, namun merupakan sebuah perkembangan yang begitu dasyat dalam lapangan kriminologi. Edwin Hardin Sutherland (1883-1950), boleh kita sebuat sebagai seorang berani tampil beda dalam menelaah kejahatan, the white collar crime adalah suatu hal yang bagus, yang ia hasilkan, bahwa kejahatan tidak hanya dilakukan orang-orang kelas

bawah, namun kejahatan dilakukan juga oleh orang-orang kelas atas. J.E Sahetapy menyebut hal ini sebagai kejahatan dalam kemasan baru. Kejahatan dalam tataran seperti yang Sutherland kemukakan adalah merupakan educated criminals. Dalam pandangannya, Pelaku kejahatan adalah orang-orang yang berasal dari kelas-kelas sosial dan ekonomi yang rendah, kejahatan tersebut itu berupa, perampokan, pencurian, dan kekerasan lainya hal ini menunjukan bahwa kejahatan merupakan fenomena yang dapat diketemukan juga dalam kelaskelas masyarakat yang lebih tinggi, yang penyebabnya tidak dapat dijelaskan secara tradisional, seperti kemiskinan, atau fakto-faktor patologik yang bersifat individual. Soal No.3 : Analisa kasus Malpraktik yang dilakukan Dokter Dalam pandangan hukum perilaku malpractice tidak dapat dituntut dengan Undang-undang (UU) Kesehatan No. 23 tahun 1992. Karena dalam UU tersebut tidak memberikan aturan tentang malpractice, ditambah lagi UU tersebut menuntut adanya pembuatan 29 Peraturan pemerintah (PP) yang mengatur lebih terinci hal-hal yang belum diatur dalam UU tersebut, sementara yang baru dibuat hanya 4 PP yang kesemuanya pun tidak secara tegas memberikan perlindungan terhadap konsumen. Diantaranya kelemahan peraturan yang ada adalah tidak adanya definisi yang jelas tentang malpractice, sehingga akan sulit ketika akan mengugat. Kelemahan yang lain Undang-undang No 23 tahun 1992 menjadi tidak efektif ketika pemberlakuan otonomi daerah, karena kantor-kantor wilayah kesehatan ditiadakan sebagai konsekuensi dari otonomi daerah. Maka jika tuntutan terhadap perkara malpractice ini, biasanya hakim kembali menggunakan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sifatnya lebih umum. Dalam KUHP untuk perkara ini biasanya dikenai pasal 359 mengenai kelalaian yang mengakibatkan kematian3. Akan tetapi dari sudut pandang kriminologi perbuatan malpractice yang dilakukan dokter termasuk dalam kejahatan, karena kejahatan dipandang sebagai Tiap kelakuan yang merugikan (merusak) dan asusila, yang menimbulkan kegoncangan sedemikian besar dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu berhak mencela dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa terhadap pelaku perbuatan tersebut . Selain itu Sellin mengatakan Kriminologi tidak hanya mempelajari perbuatan yang melawan hukum, tetapi juga perbuatan yang melawan norma. Jadi walaupun perbuatan tersebut tidak termasuk sebagai perbuatan kejahatan menurut pandangan

hukum, akan tetapi jika sudah menyinggung norma dan merugikan dapat dikatakan sebagai perbuatan yang jahat. Dalam perbuatan malpractice yang dilakukan dokter walaupun tidak ada peraturan yang mengatur secara tegas, akan tetapi perbuatan tersebut sudah termasuk kejahatan, karena sudah merugikan pasien. Model proses pidana yang berlaku Dokter sebagai pelaku dalam perbuatan ini, menurut pandangan sistem sosial masyarakat Indonesia adalah golongan masyarakat yang memiliki status sosial yang tinggi. Hal ini dikarenakan kehadiran dokter bisa diibaratkan sebagai dewa Penolong yang sanggup menyembuhkan seseorang dari penyakit yang dideritannya. Kesempatan untuk menjadi dokter juga sangat sulit, karena harus ditempuh dengan pendidikan yang lama dan cukup sulit serta mahal. Status sosial yang tinggi ini menjadikan banyak anak-anak ketika ditanyakan kepadanya tentang cita-cita, mereka akan menjawab ingin jadi dokter. Selain status sosial yang tinggi dokter juga dianggap cant do wrong, karena kemampuan keilmuan dan keahlian yang mereka miliki, sehingga hampir semua yang disarankan oleh dokter akan dituruti oleh pasiennya. Bahkan ada anekdot5 yang menyatakan bahwa ada dua orang yang susah dinasehati yaitu kiai dan dokter ( karena pekerjaannya menasehati orang lain). Proses peradilan dalam kasus malpractice yang menjadikan dokter sebagai tersangka akan menemui banyak sekali kesulitan. Ketiadaan undang-undang/peraturan yang mengatur tentang malpractice sudah menjadi suatu persolan cukup rumit, sehingga kebanyakan kasus-kasus tersebut hanya dikenai pasal 359 KUHP, dan tidak menjurus pada pokok permasalahan tentang adanya malpractice. Padahal menurut Ketua YPPKI, dr. Marius Widjajarta, SE yang disebut malpractice adalah seorang profesional yang tidak melakukan pekerjaannya secara professional. Menurut pengertian lain Malpractice dikatakan sebagai : Profesional misconduct or unreasonable lack of skill, failure of one rendering profesional service to exercise that degree of skill and learning commonly applied under all circumstances in the comunity by the average prudent member of the profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of these services or to those entitle to rely upon them (Black,1968:111)6 Dapat diambil suatu pengertian bahwa pelaku malpractice ini adalah orang yang berkompeten dalam bidangnya tetapi tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan Standart Operating Procedure (SOP) yang telah ditetapkan. Peristiwa malpactice yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya sebenarnya lebih tepat

digolongkan kedalam White Collar Crime yang menurut Sutherland adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki pengetahuan dan status tinggi dan dilakukan denngan kaitannya dengan pekerjaannya. Dalam proses peradilan kasus ini biasanya model peradilan pidana yang berlaku adalah Due Process Model, ini dikarena pelaku yang memiliki status sosial tinggi. Filosofi dasar dari model ini adalah menghargai sekali akan hak-hak tersangka sehingga, misalnya dalam melakukan pengkapan terhadap tersangka harus memperhatikan prosedur baku, serta lebih mementingkan efektifitas dari pada efisiensi8. Kenyataan ini dalam sistem peradilan pidana ternyata sangat nyata seperti pada kasus Tommy Soeharto yang ternyata memiliki hak-hak lebih di dalam Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Walaupun dalam konstitusi kita secara tegas dikatakan Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahanan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya seperti termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27, tetapi pada kenyataannya pengecualian dalam praktek hukum masih saja terjadi. Walaupun sebenarnya tidak berarti berlakunya Due Process Model dikarenakan adanya status sosial yang tinggi, akan tetapi karena watak dasarnya model ini yang lebih mementingkan proses formal sehingga terkesan hanya dilakukan pada tersangka pelaku perbuatan pidana yang memiliki status sosial tinggi. Kekhususan istilah yang dimiliki dalam ilmu kedokteran juga menyulitkan pembuktian kasus malpractice, satu-satunya cara adalah harus mendatangkan saksi ahli yang juga seorang yang berprofesi dokter. Karena hanya orang yang menekuni bidang tersebutlah yang mengetahui proses dan cara kerjanya. Akan tetapi dampak yang patut diperkirakan disini kemudian muncul sentimen-sentimen primordialisme jabatan, yang mengakibatkan adanya usaha saling melindungi diantara para dokter tersebut. Hal ini dapat terjadi mengingat dalam kode etik baik kedokteran (umum) maupun kedokteran gigi terdapat kewajiban dokter kepada teman sejawatnya yang harus memperlakukan teman sejawatnya tersebut dengan perlakuan yang ingin dia terima dari temannya tersebut10. Jika kode etik ini disalah tafsirkan maka tidak mungkin usaha-usaha melindungi dokter lain yang terkena perkara tersebut dalam upaya menghindari pencemaran nama baik jabatan. Pidana yang paling sesuai untuk para tersangka Menentukan hukuman yang tepat dalam setiap kasus kejahatan memang sangat sulit. Pemberian hukuman biasanya tergantung dari pandangan/paradigma

yang umumnya berkembang dalam institusi peradilan pidana. Hukuman yang paling sesuai bagi tersangka pelaku kejahatan dalam kasus malpractice yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya juga sulit unutk ditentukan. Ada pembelaan sebagian dokter yang menyatakan bahwa belum tentu setiap kasus malpractice ini karena kesalahan dokter, bisa juga dari pasien karena ketidak memberikan keterangan yang benar tentang keadaan dirinya ketika akan didiagnosa (anamnesa), sehingga dokter tidak mengetahui secara tepat kondisi pasien. Selain itu ada pandangan miring sebagian dokter terhadap SOP yang ditetapkan oleh institusi yang berwenang, telah menghambat kemajuan ilmu kedokteran sendiri. Dengan membatasi prosedur penanganan suatu penyakit dengan serangkaian aturan yang sudah baku, apalagi jika SOP tersebut sudah ketinggalan jaman. Terlepas dari itu semua setiap perbuatan pidana harus diberikan hukuman. Hukuman yang diberikan juga harus mempunyai tujuan tertentu yang harus dapat dicapai melalui penghukuman tersebut. Untuk kasus malpractice teori penghukuman yang paling tepat mungkin utilitarian prevention. Karena dokter dalam melakukan pekerjaannya selalu berhubungan dengan manusia, dalam hal ini bahkan nyawa manusia. maka dengan adanya efek deterrence diharapkan dokter akan lebih berhatihati dalam menjalankan tugasnya. Bentuk hukuman ini lebih ditekankan pada hukuman yang berat, dengan asumsi akan memberikan efek deterrence yang lebih kuat. Berhubungan dengan hambatan di tersebut, hukuman ini akan memberikan efek bagi dokter lain untuk lebih menggali keterangan dari pasien dengan lebih mendetail dan memperhatikan apabila ada keterangan-keterangan yang ganjil dan menelusurinya agar lebih jelas. Pandangan yang memandang miring SOP juga harus dirubah, karena dalam menangani nyawa manusia tidak bisa dilakukan dengan sembarangan dan harus hati-hati. Kasus malprctice yang dilakukan oleh Dokter semakin marak diketahui oleh masyarakat, mungkin hal ini dikarenakan semakin mengertinya masyarakat tentang hukum. Akan tetapi ternyata hal ini tidak diimbangi dengan regulasi yang mengatur tentang perbuatan tersebut. Sehingga banyak kasus malpractice ini yang sampai menyebabkan kematian pasien hanya dituntut dengan pidana yang ringan (maksimal penjara lima tahun dan kurungan maksimal satu tahun-menurut pasal 359 KUHP) karena adanya unsur kelalaian dalam perbuatan tersebut.Dalam proses peradilan pidana yang berlangsung juga banyak dipengaruhi oleh sistem sosial masyarakat yang memandang status dokter sebagai status yang tinggi dan anggapan dokter tidak pernah

salah. Selain itu juga adanya solidaritas diantara dokter yang biasanya mengganggu pula proses pembuktian kasus ini, karena banyak istilah-istilah yang hanya dimengerti oleh sesama dokter. http://melitanotlonely.multiply.com/journal/item/16/Kriminologi_Paradigma_dan_Pembaharuan

Kekerasan Anak dalam Perspektif Kriminologi Kepala Pusat Informasi Humas Depdiknas menuding manajerial kepala sekolah yang patut diperbaiki, mengingat munculnya permasalahan kekerasan yang dilakukan oleh pelajar di lingkungan sekolah merupakan tanggung jawab kepala sekolah selaku pimpinan tertinggi dalam institusi tersebut. Kepala sekolah harusnya memiliki kebijakan bersifat preventif untuk menanggulangi kekerasan yang dilakukan oleh pelajar dalam lingkungannya. Kebijakan tersebut dapat berupa melarang siswanya membawa handphone saat mengikuti pelajaran, atau melarang membawa handphone dalam lingkungan sekolah. Lain halnya dengan pengamat pendidikan, yang tak perlu disebut namanya. Permasalahan utama terletak pada labilnya emosi pelajar sehingga kekerasan muncul dan secara kebetulan ada media untuk merekam dan mempublikasikannya. Jadi adanya kebijakan yang dilakukan dengan melarang membawa handphone ke lingkungan sekolah tidak mencegah permasalahan utama yang terjadi, melainkan hanya mencegah efek publikasinya saja. Kekerasan yang dilakukan pelajar tetap tidak teratasi. Lain halnya kalo berkaitan dengan video porno yang beredar dikalangan pelajar melalui handphone. Untuk mencegah pelajar melihat video porno melalui handphone, kepala sekolah bisa membuat kebijakan melarang muridnya membawa handphone di lingkungan sekolah plus razia berkala untuk upaya kontrolnya. Perspektif diantara keduanya sangat berbeda, dan tidak ketemu kalo diperbincangkan, karena di satu sisi menekankan pada kebijakan yang tidak tepat sasaran, di sisi lain penekanannya pada pembinaan mental pelajarnya. Perspektifku berbeda dari keduanya, walaupun ada kecenderungan mengarah pada kondisi psikologis pelajar, tapi bukan pembinaan mental solusinya. Menurutku, dengan menggunakan tinjauan kriminologis, para pelajar yang melakukan kekerasan bukan merupakan fenomena baru dan menarik. Dari zaman saya menjadi pelajar, baik menengah pertama maupun atas, kurang lebih 10 sampai 15 tahun yang lalu, kekerasan pelajar sudah merupakan hal yang lumrah. Bedanya, 10 sampai 15 tahun yang lalu, informasi kekerasan pelajar hanya menular dari mulut ke mulut sedangkan sekarang dari bluetooth ke bluetooth. Itu saja, tidak perlu kita besarbesarkan. Akan tetapi yang menarik dan perlu dikaji dengan perspektif kriminologis adalah, mengapa para pelajar tersebut melakukan kekerasan. Kalau kita bertanya mengapa para pelajar melakukan kekerasan, jelas perspektif Kepala Pusat Informasi Humas Depdiknas tidak menjawab permasalahan

tersebut. Manajerial seperti apa yang dapat menyelami kondisi psikologis siswa? Apakah pembinaan moral yang kurang? Melalui apa pembinaan moralnya dan seperti apa bentuk kontrolnya? Jelas perspektif itu tidak tepat sasaran. Sedangkan perspektif sang pengamat pendidikan lebih dekat sasaran. Mengapa pelajar melakukan kekerasan? Karena labilnya mental pelajar? Pertanyaan berikutnya, kenapa mental tersebut labil dan bagaimana mengatasinya? Pembinaan mental sebagai solusi yang ditawarkanpun dirasa kurang lengkap, atau tidak cukup. Dalam perspektif kriminologis, permasalahan tersebut dapat terjawab. Mengapa pelajar melakukan kekerasan? Kriminologi menjawabnya dengan teori pembelajaran social (social learning theory). Seseorang dalam melakukan suatu tindakan akan dipengaruhi oleh dua hal, yaitu pengamatan dan pengalaman. A. Bandura dan Gerrard Patterson menyebutnya sebagai observational learning dan direct experience learning. Kekerasan yang dilakukan oleh pelajar menurut teori ini, disebabkan karena mereka mengamati hal-hal disekitarnya, orang tuanya melakukan KDRT atau tontonan televisi dan film yang mengumbar kekerasan serta mungkin ada pengalaman kekerasan langsung yang dilakukan terhadap mereka, baik melalui orang tua (KDRT) ataupun lingkungan pertumbuhannya. Social Learning Theory ini didukung pula dengan teori perkembangan moral atau Moral Development Theory yang dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Menurut teori ini, perkembangan moral manusia berlangsung selama tiga tahap: 1.preconventional stage (usia 9- 11 tahun) 2.conventional level (usia 12-20 tahun) 3.postconventional level (usia >21 tahun) pelajar menengah pertama atau atas termasuk dalam kategori conventional level dimana dalam tahapan ini seorang individu meyakini dan mengadopsi nilai yang berkembang di masyarakat atau lingkungan sekitarnya. Jika lingkungan itu buruk, maka pengaruh yang buruk akan dengan mudah terserap oleh individu itu. Jadi, usia pelajar adalah usia yang rentan untuk melakukan apapun sesuai dengan apa yang dipelajarinya melalui pengamatan dan pengalaman yang terjadi di sekitarnya. Terlepas dari permasalahan manajerial dan pembinaan moral, ada suatu unsure baru yang masuk dan perlu dipertimbangkan, yaitu kualitas tontonan usia pelajar di televisi sebagai salah satu sumber informasi. Jika kita perhatikan, kualitas sinetron, langsung saja saya menjudge sebagai bentuk pembodohan. Kenapa gitu? Kalau kita perhatikan, unsure kekerasan dan percintaan adalah unsure yang

mendominasi selain unsure mistis yang semakin membawa pemuda kita ke zaman kegelapan kembali. Entah apa yang ada di dalam pikiran para produser sinetron itu, suatu hal yang tak kumengerti dalam Republik ini. Kekerasan yang dipertunjukkan dalam sinetron saya anggap memiliki sumbangsih yang besar terhadap tingkah laku para penontonnya, dalam hal ini pelajar yang berada dalam tahapan conventional stage sehingga mereka berdasarkan observational learning merekam setiap adegan dan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam benak mereka, karena itu diperbolehkan ditelevisi sebagai salah satu penyebar informasi, maka dianggapnya itu adalah hal yang tidak dilarang di masyarakat. Akibatnya, terjadilah dalam dunia nyata apa yang seharusnya tidak terjadi, bahkan di dunia film. Permasalahan merekam dalam kamera handphone merupakan suatu bentuk antisocial baru yang berkembang dalam masyarakat. Mereka tidak perduli dengan kekerasan itu, bahkan mengabadikannya dalam sebuah media untuk ditonton dan disebarluaskan. Cara-cara yang biasanya ada di televisi-televisi melalui sinetron bodoh, yang ditonton oleh masyarakat yang ingin menjadi bodoh. Suatu bentuk imitasi sempurna yang dilakukan oleh pelajar kita. Permasalahan KDRT sebagai pengalaman yang mungkin dialami oleh pelajar, undang-undang sudah menjadi alat preventif maupun represif. Bagaimana dengan persoalan sinetron pembodohan itu? Komisi Penyiaran Indonesia santai-santai aja melihat muatan pembodohan itu. Lembaga sensor tutup mata, tutup telinga dan tutup mulut persis seperti monyet kebajikan. Lalu siapa yang akan menyelamatkan anak bangsa dari moral penuh kekerasan? Majelis Ulama kah? Atau Front Pembela Islam (FPI) kah? Suatu hal yang semakin tak kumengerti dalam Republik ini Posted by Te Effendi at http://te-effendi-kriminologi.blogspot.com/

You might also like