Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
The Directorate General of Taxes (the DGT) has a very important role in the State's revenue collection. Hence,
the DGT needs to have a high commitment in applying Good Governance principles. Better implementation of
Good Governance in practice will in turn improve the State's revenue as well as increase the country's tax
ratio. This paper proposes two different methods to increase the successful implementation of Good
Governance principle in the DGT. Firstly, we can use the 7's Mc Kinsey method since we can show that this
particular method has been able to increase the organization’s productivity towards Good Governance.
Secondly, in addition to the previous method, we also propose David Osborne and Ted Gaebler's Enterprising
Bureaucracy Method since this method is very effective in banishing the bureaucracy chain that hinders the
implementation of Good Governance. However, prior to applying Good Governance practice, we need to
perform SWOT analysis and implement Good Governance Scorecard to select which parameters are critical in
order to have a successful implementation of Good Governance in the DGT.
Key Word: Good Governance, 7’s Mc. Kinsey, Mewirausahakan Birokrasi, Enterprising Bureaucracy.
I. LATAR BELAKANG
Krisis moneter yang terjadi sejak pertengahan Juli 1997 telah membuat carut marut perekonomian di
beberapa negara di Asia. Kondisi makro ekonomi Indonesia sangat terpuruk. Mata uang rupiah yang pada
bulan Juli 1997 masih berkisar pada angka Rp 2.400,-/US$ terpuruk menembus level Rp 16.000,-/US$ pada
bulan Januari 2000. Tingkat pertumbuhan ekonomi yang pada tahun 1996 masih 7% anjlok drastis
menembus level -13% pada tahun 1998 (lihat gambar 1.1.). Berdasarkan data dari Bank Dunia, inflasi
Indonesia sempat naik menembus dua digit pada tahun 2001 (12.55%) dan tahun 2003 meskipun
membaik baru mencapai 6.09% jauh di atas rata-rata inflasi negara-negara berkembang di seluruh dunia
(4%). Country risk Indonesia tahun 2002 sebesar 13.6% (sumber data: Badan Pusat Statistik). Sedangkan
berdasarkan data dari Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM), investasi asing di Indonesia pada
tahun 2003 berada di bawah level 5% terhadap PDB Indonesia (padahal pada tahun 1995, investasi asing
di Indonesia mencapai level 40% terhadap PDB).
15%
10%
5%
0
50 52 54 56 58 60 62 64 66 68 70 72 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 96 98 00 01 02
-5%
-10%
-15%
3.2 Organ Direktorat Jenderal Pajak yang terkait dengan Good Governance
Organ khusus yang secara spesifik menangani prinsip reward and punishment di Direktorat Jenderal Pajak
dilaksanakan oleh Bagian Organisasi dan Tata Laksana serta Bagian Kepegawaian. Sedangkan prinsip
punishment diterapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 30
Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Sementara itu Menteri Keuangan juga telah membentuk Komite Kode Etik yang bersifat ad-hoc pada
Tahun 2002 untuk mengawasi kode etik di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak terutama di Kanwil Wajib
Pajak Besar dan KPP Wajib Pajak Besar yang mengadministrasikan 299 wajib pajak besar. Komite kode etik ini
dibentuk dalam rangka meningkatkan transparansi dan akuntabilitas di Direktorat Jenderal Pajak yang baru
diimplementasikan pada Kanwil Wajib Pajak Besar dan KPP Wajib Pajak Besar tersebut di atas. Rencananya di
masa yang akan datang, komite kode etik ini akan diimplementasikan untuk seluruh KPP di seluruh Indonesia.
Komite kode etik ini dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan yang strukturnya berada di luar
institusi Direktorat Jenderal Pajak untuk menjamin transparansi, akuntabilitas dan independensi. Ketua komite
kode etik dijabat oleh pejabat Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan.
IV. PEMBAHASAN
Berdasarkan struktur organisasi dan karakteristik kegiatan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
Direktorat Jenderal Pajak merupakan organisasi non-profit (nirlaba) yang kegiatan utamanya mengumpulkan
penerimaan negara. Karakteristik ini menimbulkan keunikan tersendiri bagi Direktorat Jenderal Pajak. Sebagai
bagian dari struktur pemerintahan (berada di bawah Departemen Keuangan) sudah jelas Direktorat Jenderal
Pajak merupakan organisasi nirlaba yang melakukan pelayanan kepada masyarakat. Sebagai organisasi nirlaba
tentu Direktorat Jenderal Pajak tidak bertujuan untuk mencari keuntungan. Akan tetapi kegiatan utamanya
adalah mengumpulkan penerimaan negara (memperoleh pendapatan). Kegiatan memperoleh pendapatan
biasanya dilakukan oleh organisasi yang bersifat profit. Keunikan ini memerlukan perhatian khusus dalam
melakukan pembahasan analisis pelaksanaan good governance.
1 1991/1992 9,580.4 9,727.0 101.5 8,926.1 9,145.9 102.5 874.6 944.4 108.0 302.6 298.8 98.7 19,683.7 20,116.1 102.2
2 1992/1993 10,930.0 12,516.3 114.5 11,032.2 10,742.3 97.4 990.6 1,106.8 111.7 354.5 252.4 71.2 23,307.3 24,617.8 105.6
3 1993/1994 14,848.5 14,758.9 99.4 11,682.6 13,943.5 119.4 1,320.1 1,484.5 112.5 363.8 283.4 77.9 28,215.0 30,470.3 108.0
4 1994/1995 18,350.1 18,764.1 102.3 14,086.8 16,544.8 117.4 1,632.1 1,647.3 100.9 302.5 301.9 99.8 34,371.5 37,258.1 108.4
5 1995/1996 20,520.0 21,012.0 102.4 18,350.0 18,519.4 100.9 1,924.0 1,893.9 98.4 510.0 452.8 88.8 41,304.0 41,878.1 101.4
6 1996/1997 25,496.2 27,062.1 106.1 20,393.2 20,351.2 99.8 2,280.0 2,413.2 105.8 570.0 590.7 103.6 48,739.4 50,417.2 103.4
7 1997/1998 28,458.2 34,388.3 120.8 24,501.0 25,198.8 102.8 2,655.0 2,640.9 99.5 530.0 477.8 90.2 56,144.2 62,705.8 111.7
8 1998/1999 49,714.3 55,943.5 112.5 28,385.7 27,789.8 97.9 3,163.0 3,566.0 112.7 462.4 413.0 89.3 81,725.4 87,712.3 107.3
9 1999/2000 54,940.5 59,682.7 108.6 32,981.5 33,087.1 100.3 3,650.0 4,070.4 111.5 568.5 568.6 100.0 92,140.5 97,408.8 105.7
10 2000 57,615.4 57,078.8 99.1 31,525.2 35,041.7 111.2 3,824.4 4,472.2 116.9 1,013.6 892.1 88.0 93,978.6 97,484.8 103.7
11 2001 92,767.2 94,461.2 101.8 55,840.8 55,857.3 100.0 6,289.4 6,663.9 106.0 1,669.5 1,591.5 95.3 156,566.9 158,573.8 101.3
12 2002 103,313.9 101,873.5 98.6 67,800.0 65,153.0 96.1 7,530.7 7,827.7 103.9 1,455.2 1,469.3 101.0 180,099.8 176,323.5 97.9
13 2003 122,448.3 114,832.3 93.8 75,862.7 76,760.7 101.2 10,723.6 10,906.1 101.7 1,752.7 1,654.6 94.4 210,787.3 204,153.7 96.9
Sumber: Nota Keuangan dan Direktorat Jenderal Anggaran yang disadur dari Direktorat P2SP.
5. Menurut Balim (2001:93-95), adanya kesan penilaian masyarakat yang kurang terpuji terhadap
kualitas moral dan integritas aparat Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini diperkuat dengan sikap dan
perilaku kehidupan aparat Direktorat Jenderal Pajak di lingkungannya masing-masing selalu ingin
terlihat menonjol dan tidak mau membaur dengan masyarakat sekitarnya.
6. Masyarakat juga memandang bahwa terjadinya surplus realisasi penerimaan hanya hitung-hitungan di
atas kertas belaka dimana angkanya tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Banyak publik yang
merasa dirugikan ketika mendekati akhir masa anggaran (31 Desember) karena Direktorat Jenderal
Pajak memaksa wajib pajak untuk segera membayar pajak yang seharusnya belum terutang atau
mencoba mencari-cari kesalahan wajib pajak agar ada denda yang dibayar oleh wajib pajak sehingga
rencana penerimaan pajak menjadi terealisasi atau bahkan terlampaui. Hal ini memperlihatkan
lemahnya kualitas perencanaan di Direktorat Jenderal Pajak dalam memperhitungkan parameter
asumsi untuk menentukan target pajak.
7. Kemampuan Direktorat Jenderal Pajak dalam menggali potensi pajak masih rendah sehingga banyak
terjadi kebocoran-kebocoran potensi yang seharusnya dapat direalisasikan menjadi penerimaan. Data
yang ada di Direktorat Jenderal Pajak memperlihatkan bahwa dari total penduduk Indonesia sebesar
lebih dari 210 juta jiwa, yang memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan efektif patuh
melaksanakan kewajiban perpajakannya baru sebanyak 3.5 juta jiwa (sumber: Direktorat Informasi
Perpajakan data per bulan Agustus 2004). Artinya, Direktorat Jenderal Pajak belum betul-betul
mampu melaksanakan ekstensifikasi perpajakan.
Selain pandangan-pandangan miring tentang kinerja aparat Direktorat Jenderal pajak, terdapat harapan
atas kinerja Direktorat Jenderal Pajak. Harapan pemerintah kepada instansi Direktorat Jenderal Pajak adalah
agar instansi ini mampu berperan dalam merealisasikan kemandirian pembiayaan negara (APBN Mandiri
2007), bisa menjadi instansi vital pemerintah yang dapat dibanggakan, dan mampu berperan sebagai
instrumen kebijaksanaan pemerintah yang efektif. Sedangkan harapan publik atas kinerja aparat serta institusi
Direktorat Jenderal Pajak yang berhasil dikumpulkan dari Klipping Pamorku Nomor 1431 tanggal 14 Juli 2004
yang diterbitkan oleh Direktorat Penyuluhan Perpajakan adalah sebagai berikut:
1. Masyarakat mengharapkan agar mendapatkan pelayanan sebaik mungkin dan memuaskan serta
mendapatkan kemudahan dalam melaksanakan berbagai kewajiban perpajakannya. Mereka
mengharapkan agar kewajiban perpajakan dapat dilaksanakan dengan mudah, murah, dan cepat,
serta adanya transparansi di dalam proses perhitungan beban pajak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku sehingga ada kejelasan, keadilan dan kepastian
hukum.
2. Perlakuan yang sopan dan hormat sesuai dengan predikat bahwa sesungguhnya para pembayar pajak
(wajib pajak) adalah warga negara yang terhormat yang ikut menyumbang untuk tetap tegaknya
pemerintahan negara ini.
3. Kemudahan dan kecepatan penyelesaian urusan perpajakan.
4. Tersedianya cukup alternatif cara dan prosedur penyelesaian berbagai urusan perpajakan yang dapat
Analisis Penerapan Good Governance di Direktorat Jenderal Pajak
12
dipilih dan paling cocok dengan situasi dan kondisi wajib pajak.
5. Mendapatkan kepastian secara tepat, cepat dan akurat mengenai beban pajak atau tunggakan pajak
yang harus dibayar sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
A. Kekuatan (Strength)
a. Adanya komitmen Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan prinsip-prinsip good governance
dengan dibentuknya komite kode etik pada pertengahan Juli 2002 yang bertugas melakukan review
dan survey atas kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh aparat Direktorat Jenderal Pajak (terutama
pada kantor pelayanan pajak modern). Komite kode etik ini tidak berada di bawah Direktur Jenderal
Pajak tapi langsung berada di bawah Menteri Keuangan yang diketuai langsung oleh Sekretaris
Jenderal Departemen Keuangan. Namun demikian implementasi kegiatan Komite Kode Etik sampai
saat ini belum sesuai harapan Menteri Keuangan. Review dan audit masih dilakukan oleh Inspektorat
Jenderal Departemen Keuangan.
b. Adanya keinginan Direktur Jenderal Pajak agar setiap aparatnya selalu memahami dan melaksanakan
slogan “Know Your Tax Payers” dengan dibentuknya Account Representative (AR) pada masing-masing
kantor pelayanan. AR bertugas sebagai mediator antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Wajib
Pajak. AR juga bertugas sebagai penyuluh dimana satu AR membina dan membimbing dua sampai tiga
wajib pajak secara intensif.
c. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang terus menerus dilaksanakan secara kontinyu tiap
tahun berupa pendidikan, pelatihan, kursus, seminar dan lain-lain baik di dalam atau di luar negeri.
d. Peningkatan peranan pajak terhadap penerimaan dalam negeri (lihat tabel 3.2.). Pada tahun 2002
realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 204.2 Trilyun (57.8%) dari total penerimaan dalam negara,
realisasi penerimaan pajak tahun 2003 sebesar Rp 204.2 Trilyun (60.7%), dan target penerimaan pajak
tahun 2004 sebesar Rp 231.8 Trilyun (66.4%). Disini terlihat peningkatan peran Direktorat Jenderal
Pajak dalam hal penerimaan negara dari sektor perpajakan sangatlah besar. Sehingga tidaklah naif jika
Direktur Jenderal Pajak pada pidatonya tanggal 11 Mei 2004 menyatakan bahwa jajaran Direktorat
Jenderal Pajak siap mewujudkan APBN Mandiri 2007.
e. Biaya pemungutan pajak (cost of tax collection) yang semakin menurun. Biaya ini merupakan salah
satu indikator tingkat efisiensi pemungutan pajak. Cost of tax collection (lihat tabel 3.1.) adalah
perbandingan antara besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mengumpulkan pajak dengan besarnya
penerimaan pajak. Semakin rendah rasio ini menunjukkan semakin efisiennya proses pemungutan
pajak suatu negara.
B. Kelemahan (Weakness)
a. Banyaknya grey area pada peraturan perpajakan sehingga kalau dilihat dari sisi Direktorat Jenderal
Pajak akan menimbulkan potential lost penerimaan perpajakan sedangkan dilihat dari sisi wajib pajak
hal ini sangat menguntungkan karena akan terjadi penghematan pajak perusahaan tanpa harus
melanggar peraturan perpajakan yang berlaku.
b. Kurang seragamnya pemahaman aparat Direktorat Jenderal Pajak terhadap peraturan perpajakan
yang ada sehingga membingungkan pelaksanaan peraturan perpajakan di lapangan. Sebagai ilustrasi
sering terjadi atas pemeriksaan terhadap wajib pajak yang dilakukan oleh KPP dan KARIKPA pada
substansi yang sama tapi berbeda penjelasan atas peraturan perpajakan yang sama dan terkesan ada
gap antar aparat pajak.
c. Inkonsistensi antara sistem peraturan perpajakan dengan organisasi Direktorat Jenderal Pajak.
Sebagai contoh, organisasi KPP modern dibagi menjadi KPP Wajib Pajak Besar (LTO), KPP Wajib Pajak
Madya (MTO) dan KPP Wajib Pajak Pratama (STO) sedangkan dalam rancangan amandemen undang-
undang pajak 2004 hanya mengenal istilah pengusaha besar dan pengusaha kecil.
C. Tantangan (Opportunity)
d. Jangka Pendek
Meningkatkan citra institusi Direktorat Jenderal Pajak dengan meningkatkan moral dan integritas
aparat perpajakan dan mengubah sikap dari sikap penguasa menjadi sikap abdi masyarakat yang
menghayati hak wajib pajak serta berkeinginan memberikan pelayanan yang terbaik kepada
masyarkat, jujur, bersih dan berwibawa.
Mengamankan rencana penerimaan tahun 2004 jangan sampai keterlambatan realisasi target
pajak tahun 2002 dan 2003 terulang pada realisasi target pajak tahun 2004.
Analisis Penerapan Good Governance di Direktorat Jenderal Pajak
13
Meningkatkan kemampuan Direktorat Jenderal Pajak dalam penguasaan dan penggalian potensi
perpajakan.
Melakukan reformasi perpajakan dengan menyempurnakan peraturan perpajakan yang dapat
menyesuaikan dengan perkembangan aspirasi masyarakat dan perubahan sosial, politik, ekonomi
serta lebih memberikan kepastian hukum.
Adanya opini masyarakat bahwa rancangan amandemen undang-undang perpajakan yang baru
tidak memihak kepada usaha mikro, kecil dan menengah.
Penyempurnaan organisasi (re-organisasi) Direktorat Jenderal Pajak yang baru dilakukan pada
bulan Juni 2004. Re-organisasi ini dimaksudkan agar masing-masing kantor pajak tidak timpang
dalam menangani potensi perpajakan di wilayahnya. Kantor pajak yang potensi perpajakannya
terlalu besar dipecah menjadi beberapa kantor pajak. Dengan dilakukan re-organisasi Direktorat
Jenderal Pajak diharapkan dapat digali lebih banyak lagi penerimaan pajak negara sehingga tax
ratio akan menigkat. Selain itu dengan re-organisasi ini diharapkan akan mampu mengakomodasi
tuntutan akuntabilitas Direktorat Jenderal Pajak dan sekaligus meningkatkan pelayanan kepada
semua pihak.
Membangun sistem kantor pelayanan pajak modern dengan dibentuknya KPP Wajib Pajak Besar
(LTO), KPP Wajib Pajak Madya (MTO) dan KPP Wajib Pajak Pratama (STO). Dengan sistem kantor
pelayanan pajak modern ini diharapkan tax compliance ratio akan semakin meningkat karena
sistem ini semakin memperkecil kemungkinan kebocoran.
e. Jangka Panjang
Merealisasikan sistem self assesment. Tugas Direktorat Jenderal Pajak adalah melakukan
penyuluhan, pelayanan dan pengawasan kepatuhan wajib pajak.
Meningkatkan tax ratio, tax coverage ratio dan tax compliance ratio sehingga sejajar dengan
negara-negara tetangga lainnya.
Menciptakan sistem manajemen perpajakan yang modern dan akurat didukung dengan sistem
informasi yang handal berbasis teknologi informasi yang terkini.
Mampu berperan dalam mendukung terealisasinya kemandirian pembiayaan negara pada (APBN
Mandiri).
Membentuk tenaga-tenaga profesional yang bermoral tinggi dan mampu melaksanakan tugas
yang semakin kompleks.
Modernisasi sarana dan prasarana penunjang dengan memanfaatkan perkembangan teknologi
yang tepat dan terkini untuk menyetarakan kualitas dengan institusi atau lembaga swasta
maupun pemerintah yang bersifat internasional.
Menyediakan sistem pelayanan wajib pajak dengan orientasi kepuasan pelanggan dengan
sasaran peningkatan pemahaman wajib pajak atas segala hak dan kewajibannya serta
menyediakan kemudahan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
D. Hambatan (Threat)
Hambatan yang dihadapi Direktorat Jenderal Pajak dapat diidentifikasi sebagai berikut:
a. Perubahan/perkembangan sosial dan ekonomi yang sangat cepat dengan tingkat ketidakpastian yang
cukup tinggi. Struktur sosial masyarakat Indonesia yang semakin konsumtif didukung dengan makin
banyaknya pusat-pusat perbelanjaan merupakan perubahan yang harus sesegera mungkin diantisipasi
oleh Direktorat Jenderal Pajak.
b. Semakin terbuka dan semakin rentannya Indonesia terhadap pengaruh globalisasi menyebabkan
pandangan masyarakat semakin terbuka. Dengan semakin terbukanya arus informasi, maka
masyarakat wajib pajak Indonesia akan semakin memahami hak dan kewajiban perpajakan mereka.
c. Perekonomian Indonesia yang belum pulih betul. Diperburuk dengan meningkatnya ketergantungan
APBN terhadap pinjaman luar negeri.
d. Pelaksanaan UU nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU nomor 25 tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang menyebabkan banyak daerah yang meminta
porsi penerimaan pajak (PPh, PPN dan PTLL) lebih besar.
e. Pengetahuan dan kesadaran perpajakan masyarakat Indonesia masih rendah yang mengakibatkan
menurunnya tingkat kepatuhan wajib pajak.
f. Kondisi keamanan di beberapa daerah Indonesia sangat tidak bagus. Adanya isu disintegrasi dan
kekacauan unsur SARA yang masih berkecamuk di beberapa daerah di Indonesia sangat mengganggu
penerimaan pajak. Banyaknya isu bom juga sangat mengganggu terealisasinya penerimaan pajak
seperti yang terjadi pada tahun 2002 dan 2003. Hal ini disebabkan banyak pengusaha menunda
Analisis Penerapan Good Governance di Direktorat Jenderal Pajak
14
pelaksanaan kewajiban perpajakannya untuk mempertahankan cash flow.
4.5 Penerapan Prinsip Good Governance dalam Implementasi Strategi di Direktorat Jenderal Pajak
Prinsip-prinsip good governance di Direktorat Jenderal Pajak sebenarnya terlihat pada strategi
masing-masing misi. Pada misi fiskal, Direktorat Jenderal Pajak mengembangkan strategi sbb:
a. Tingkatkan penguasaan aparat Direktorat Jenderal Pajak atas subjek dan objek pajak.
b. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Tingkatkan pengetahuan perpajakan masyarakat.
d. Tingkatkan kepatuhan perpajakan masyarakat.
Dari strategi di atas terlihat jelas keinginan Direktur Jenderal Pajak untuk menerapkan prinsip-prinsip
good governance pada misi fiskalnya. Strategi pada poin (b) penyempurnaan peraturan perundang-
undangan perpajakan merupakan implementasi prinsip Rule of Law (UNDP, 1997) dimana prinsip ini
mengandung arti berupa jaminan kepastian hukum. Penyempurnaan peraturan perundang-undangan
perpajakan dapat dilihat dengan dilakukannya beberapa kali reformasi peraturan undang-undang pajak
pada tahun 1983, 1985, 1994, 1997, 2000 dan rencana amandemen undang-undang pajak tahun 2007.
Strategi misi fiskal poin (c) meningkatkan pengetahuan perpajakan masyarakat merupakan
implementasi prinsip transparency (OECD dan UNDP 1997) dimana prinsip ini mengandung arti adanya
suatu informasi yang terbuka dalam rangka kebebasan aliran informasi yang akurat, tepat waktu, jelas dan
dapat diperbandingkan. Dengan prinsip transparency membuat pihak-pihak yang terkait akan dapat
melihat dan memahami bagaimana dan atas dasar apa keputusan-keputusan perpajakan dibuat. Strategi
ini diimplementasikan dengan dibentuknya Direktorat Penyuluhan Perpajakan yang tugasnya adalah
menyiapkan perumusan kebijakan standardisasi dan bimbingan teknis, evaluasi dan pelaksanaan di bidang
penyuluhan perpajakan.
Implementasi nyata prinsip transparansi ini adalah dengan diterbitkannya majalah dua mingguan
Berita Pajak. Dalam majalah Berita Pajak ini terdapat suplemen peraturan perpajakan yang keluar pada
periode dua minggu sebelumnya sehingga diharapkan majalah ini akan menjadi sarana bagi masyarakat
wajib pajak dalam mendapatkan peraturan perpajakan terbaru. Selain itu, majalah ini juga memberikan
informasi seputar kegiatan Direktorat Jenderal Pajak. Konsep penyuluhan sebenarnya sudah dilakukan
juga secara on-line lewat internet www.pajak.go.id, namun demikian penyebaran informasi peraturan
perpajakan lewat internet belum ter-update dengan baik. Terdapat beberapa alamat website di bidang
perpajakan yang dikelola oleh swasta yang selalu meng-update peraturan perpajakan terbaru, yaitu:
www.klikpajak.com
www.infopajak.com
www.kiospajak.com
www.pajak.net
www.pajak.or.id
Untuk mengakses peraturan perpajakan lewat website ini biasanya dikenakan biaya. Kedepannya
diharapkan Direktorat Penyuluhan Perpajakan memiliki website tersendiri yang berisi seluruh peraturan
perpajakan yang ter-update hal ini sangat penting sehingga masyarakat wajib pajak bisa mendapatkan
peraturan perpajakan terbaru dengan mudah dan cepat.
Kegiatan penyuluhan lainnya adalah memasang iklan di televisi dimana terdapat lebih dari tiga jenis
iklan pajak di televisi. Juga ada acara bincang-bincang televisi “Tac Tic Tax” yang menghadirkan pejabat
Direktorat Jenderal Pajak bersama wakil dari wajib pajak yang membahas masalah perpajakan dan
implementasinya di lapangan. Selain itu terdapat acara “Tax On Location” yang menghadirkan Pejabat
Analisis Penerapan Good Governance di Direktorat Jenderal Pajak
16
Direktorat Jenderal Pajak menjelaskan peraturan perpajakan pada suatu kegiatan usaha tertentu.
Sedangkan strategi misi fiskal poin (d) meningkatkan kepatuhan perpajakan merupakan implementasi
prinsip responsibility (OECD) dimana prinsip ini mengandung arti untuk memastikan dipatuhinya
peraturan-peraturan serta ketentuan yang berlaku sebagai cermin dipatuhinya nilai-nilai sosial.
Pada misi ekonomi, Direktorat Jenderal Pajak mengembangkan strategi diantaranya berkoordinasi
dengan instansi terkait untuk mengembangkan kebijakan perpajakan yang mendukung pengembangan
usaha kelompok ekonomi kecil. Strategi ini merupakan implementasi prinsip keadilan dan persamaan
(equity and fairness) yang mengandung arti adanya perlakuan kesetaraan terhadap seluruh kepentingan
masyarakat wajib pajak sesuai dengan kriteria dan proporsi yang seharusnya. Implementasi Direktorat
Jenderal Pajak pada prinsip ini adalah dengan dikembangkannya peraturan perundang-undangan
perpajakan yang selalu memisahkan kewajiban perpajakan untuk wajib pajak pengusaha kecil dengan
wajib pajak perusahaan besar. UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang perubahan kedua UU Nomor 8 Tahun
1983 memisahkan dengan jelas antara pengusaha kecil dengan pengusaha besar. Yang dimaksud dengan
pengusaha kecil berdasarkan undang-undang tersebut adalah jika peredaran usahanya kurang dari
Rp.600.000.000,- untuk barang kena pajak atau Rp.300.000.000,- untuk jasa kena pajak. Sedangkan
menurut Rancangan UU PPh terlihat jelas bahwa tarif PPh untuk pengusaha kecil adalah 10% (syarat
pengusaha kecil adalah dengan peredaran usaha sampai dengan Rp1.8 milyar dan jumlah aset di luar
tanah dan bangunan sampai Rp200 juta), sedangkan tarif PPh untuk perusahaan besar adalah 30%.
Pada misi kelembagaan, dikembangkan strategi dimana Direktorat Jenderal Pajak harus mampu
mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan-perubahan lingkungan serta aspirasi masyarakat dan
membangun dirinya secara terus menerus terhadap kualitas sumberdaya manusia, sarana dan prasarana,
organisasi, dan sistem serta prosedur kerja dengan sejauh mungkin memanfaatkan teknologi terkini
sehingga senantiasa dapat meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelaksanaan seluruh misi menuju
tercapainya visi Direktorat Jenderal Pajak. Dari misi kelembagaan ini terlihat jelas keinginan untuk
menerapkan prinsip efektifitas dan efisien (UNDP, 1997) serta prinsip responsiveness. Prinsip
responsiveness dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan mengubah batasan penghasilan tidak
kena pajak (PTKP) dari Rp 2.880.000,- per tahun menjadi Rp 12.000.000,- per tahun. Selain itu berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2003, wajib pajak (karyawan) yang pendapatannya di bawah Rp
2.000.000,- per bulan, pajak atas penghasilan yang Rp 1.000.000,- per bulan ditanggung oleh negara.
Angka-angka ini merupakan masukan dari para karyawan perusahaan (wajib pajak) sehingga pajak tidak
terlalu membebani karyawan.
Pada tingkat implementasi strategi lainnya, prinsip-prinsip good governance di Direktorat Jenderal
Pajak dikembangkan sebagai berikut:
a. Prinsip visi strategi (UNDP,1997) dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan melakukan
reformasi struktur pelayanan yaitu mengembangkan sistem kantor pajak modern dengan
membangun Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar dan KPP Wajib Pajak Besar sejak tanggal 1 Juli
2002. Prinsip visi strategi ini dilakukan dalam rangka memilih perspektif yang luas dan jangka panjang
tentang penyelenggaraan pemerintah yang baik (good governance) dan pembangunan manusia
(human development).
Struktur organisasi Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar dan KPP Wajib Pajak Besar merupakan
prototipe kantor pelayanan pajak di masa datang. Berbeda dengan struktur kantor pelayanan pajak
reguler dimana seksi-seksi dikembangkan berdasarkan jenis pajak, struktur KPP Wajib Pajak Besar
dikembangkan berdasarkan fungsinya. Perkembangan selanjutnya pada bulan Juni 2004 sudah
disiapkan dan dididik tenaga-tenaga profesional Direktorat Jenderal Pajak dalam rangka membangun
kantor dengan sistem dan struktur seperti Kanwil DJP Wajib Pajak Besar yang diperluas dengan KPP
Wajib Pajak Madya dan KPP Wajib Pajak Pratama.
Kanwil DJP Wajib Pajak Madya merupakan hasil pengembangan kantor wilayah pajak yang ada
yaitu Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus dan Kantor Wilayah DJP Jakarta I. Sedangkan KPP Wajib
Pajak Madya dan KPP Wajib Pajak Pratama yang dalam waktu dekat akan dikembangkan adalah KPP
yang berada di wilayah kerja kedua kanwil di atas, yaitu KPP BUMN, KPP PMA Satu, KPP PMA Dua, KPP
PMA Tiga, KPP PMA Empat, KPP PMA Lima, KPP Perusahaan Masuk Bursa, KPP Badora, KPP
Kemayoran, KPP Cempaka Putih, KPP Gambir Satu, KPP Gambir Dua, KPP Gambir Tiga, KPP Menteng
Satu, KPP Menteng Dua, KPP Sawah Besar, KPP Senen, KPP Tanah Abang Satu dan KPP Tanah Abang
Dua. Dari semua KPP yang akan dikembangkan menjadi KPP Wajib Pajak Madya dan KPP Wajib Pajak
Pratama tersebut, sebagian sudah terealisasi sejak tanggal 1 September 2004.
Berdasarkan data sampai dengan 30 April 2003, Kanwil DJP Wajib Pajak Besar telah
Analisis Penerapan Good Governance di Direktorat Jenderal Pajak
17
mengadministrasikan 299 wajib pajak besar. Pada tahun 2002, Kanwil DJP Wajib Pajak Besar telah
mengumpulkan penerimaan negara sebesar RP 27.8 Trilyun (18.3% total penerimaan pajak nasional)
dan tahun 2003 mengumpulkan penerimaan negara sebesar Rp 33.6 Trilyun (21% total penerimaan
pajak nasional) sedangkan rencana tahun 2004 adalah Rp 48.7 Trilyun (23.4% total penerimaan pajak
nasional). Sampai dengan 16 Juli 2004, total penerimaan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar mencapai Rp
25.9 Trilyun atau sekitar 54% dari rencana penerimaan.
Dari hasil inspeksi yang dilakukan oleh komite kode etik secara acak kepada dua wajib pajak besar
ternyata tidak ditemukan adanya penyimpangan kode etik pada Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan KPP
Wajib Pajak Besar, hal ini dipertegas dengan hasil investigasi yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal
Departemen Keuangan yang mendapatkan hasil serupa (sumber: Majalah Berita Pajak Nomor
1520/Tahun XXXV/1 Agustus 2004, hal 5). Sehingga keberadaan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan KPP
Wajib Pajak Besar ini diharapkan menjadi prototipe kantor pajak masa depan yang lebih baik yang
selalu bekerja dengan menjungjung tinggi prinsip-prinsip good governance.
b. Prinsip reward and punishment dan law enforcement dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak
dengan menyiapkan organ yang bertugas mengawasi dan mengevaluasi kinerja aparat Direktorat
Jenderal Pajak dengan dibentuknya komite kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak (terutama di
Kanwil DJP Wajib Pajak Besar dan KPP Wajib Pajak Besar) yang anggotanya berada langsung di bawah
Menteri Keuangan (dari luar struktur organisasi Direktorat Jenderal Pajak). Diharapkan komite kode
etik itu dapat menjalankan reward and punishment bagi aparat Direktorat Jenderal Pajak sehingga
mereka akan bekerja secara profesional dan bersih. Penerapan prinsip reward and punishment juga
dilaksanakan secara langsung oleh pembina kepegawaian masing-masing unit kerja dan secara
sentralistik oleh Direktur Jenderal Pajak.
Sejak dicanangkannya reformasi moral, etika dan integritas pada tanggal 22 Juni 2002, Direktur
Jenderal Pajak telah memberikan sanksi disiplin kepada 822 orang aparat pajak dimana 49 orang
diantaranya diberhentikan dengan tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil (data diambil dari
Majalah Berita Pajak No. 1514/Tahun XXXVI/1 Mei 2004, hal 11). Selain sanksi disiplin, Direktur
Jenderal Pajak juga memberikan reward kepada aparat pajak berprestasi. Reward fakultatif yang
diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak baru-baru ini adalah pemberian penghargaan kepada petugas
KPP Cibinong, KPP Tangerang, da KPP Banjarmasi atas keberhasilannya dalam mengungkapkan kasus
Faktur Pajak fiktif penggelapan PPh Badan.
Prinsip law enforcement di Direktorat Jenderal Pajak selalu diterapkan dengan tegas. Sampai
dengan Juni 2004 Direktorat Jenderal Pajak telah memiliki 655 penyidik pajak (PPNS) dimana
penyidikan pajak telah dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak sejak tahun 1981 (sumber: Majalah
Berita Pajak No. 1518/Tahun XXXVI/1 Juli 2004, hal. 11). Tahun 2004 saja telah dilakukan penyidikan
terhadap empat kasus tindak pidana perpajakan. Pertama kasus faktur pajak fiktif yang merugikan
negara sebesar Rp 11.1 Milyar di wilayah kerja KPP Cibinong. Kedua, kasus faktur pajak fiktif yang
merugikan negara sebesar Rp 8.3 Milyar di wilayah kerja KPP Tangerang. Ketiga, kasus faktur pajak
fiktif yang merugikan negara sebesar Rp 13.4 Milyar yang kasusnya sudah diserahkan ke Kejaksaan
Tinggi DKI Jakarta. Terakhir, kasus penggelapan PPh Badan yang merugikan negara sebesar Rp 10.2
Milyar di wilayah kerja KPP Banjarmasin.
c. Prinsip rule of law (UNDP, 1997) mengandung arti bahwa good governance harus menjamin kepastian
hukum dan rasa keadilan wajib pajak terhadap setiap kebijakan publik yang ditempuh. Pelaksanaan
prinsip ini dilakukan dengan dibentuknya Badan Pengadilan Pajak (BPP) berdasarkan Undang-Undang
No. 14 Tahun 2002 sejak bulan April 2002. BPP yang dibentuk berada di luar institusi Direktorat
Jenderal Pajak. Keberadaan BPP yang berada di luar organisasi Direktorat Jenderal Pajak adalah untuk
menjamin prinsip independensi.
d. Rancangan undang-undang pajak merupakan salah satu bukti nyata keinginan mendasar Direktur
Jenderal Pajak untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip good governance. Sebelum diserahkan
kepada Sekretaris Negara, rancangan ini sudah disosialisasikan terlebih dahulu ke berbagai kalangan,
asosiasi profesi, asosiasi industri dan masyarakat wajib pajak lainnya sehingga rancangan ini
mengandung prinsip partisipasi dan responsiveness (UNDP, 1997).
e. Untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor perpajakan, Direktorat Jenderal Pajak telah
melakukan ekstensifikasi, intensifikasi dan pembangunan bank data perpajakan. Selain itu, Direktorat
Jenderal Pajak juga sedang mengusulkan kepada pemerintah untuk membangun SIN (Single
Identification Number) bagi seluruh wajib pajak Indonesia, diharapkan dengan SIN seluruh transaksi
masyarakat Indonesia akan tercatat pada basis data SIN yang dapat diakses oleh Direktorat Jenderal
Analisis Penerapan Good Governance di Direktorat Jenderal Pajak
18
Pajak. SIN merupakan integrasi nomor-nomor pada kartu indentitas kependudukan yang sudah ada
seperti KTP, SIM, NPWP, SIUP, SITU, NIP, NRP, paspor, sertifikat tanah, BPKP, STNK, rekening listrik,
rekening koran, dan lain-lain sehingga jika terjadi pemindahan kepemilikan atas suatu aset atau
penambahan kekayaan wajib pajak akan segera dapat terlacak oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Perkembangan terakhir rencana pembangunan SIN, diterbitkannya Keputusan Presiden tentang Single
Identification Number.
4.6 Kekuatan dan Kelemahan Penerapan Good Governance di Direktorat Jenderal Pajak
Untuk menilai kekuatan dan kelemahan penerapan prinsip-prinsip good governance, perlu dilihat
apakah konsep masing-masing prinsip good governance sudah dikembangkan dan dilaksanakan dengan
baik di tingkat aparat pajak.
Prinsip Partisipasi dan Daya Tanggap (Participation dan Responsiveness)
Sejak reformasi perpajakan tahun 2000 yang ditandai dengan dikeluarkannya lima undang-undang
perpajakan baru tentang KUP, PPh, PPN dan PPnBM, PPSP serta BPHTB, Direktur Jenderal Pajak sudah
berkeinginan untuk menerapkan prinsip partisipasi dan daya tanggap (UNDP, 1997). Dalam setiap
menerbitkan peraturan perpajakan baru telah diimplementasikan dengan cara:
Adanya organ (fungsional) tenaga pengkaji pada struktur Direktorat Jenderal Pajak yang tugas
utamanya menerima masukan dari masyarakat untuk penyempurnaan peraturan perpajakan. Tenaga
fungsional pengkaji merupakan pejabat eselon-II.
Adanya hot-line telepon untuk menerima keluhan dan keberatan mengenai pelaksanaan peraturan
perpajakan.
Adanya semacam forum komunikasi yang anggotanya terdiri dari berbagai kalangan, asosiasi profesi,
asosiasi industri, pengusaha asing ataupun domestik yang selalu memberikan masukan kepada
Direktorat Jenderal Pajak untuk penyempurnaan peraturan perpajakan yang ada. Beberapa peraturan
perpajakan yang merupakan usulan dari forum komunikasi ini diantaranya Keputusan Direktur
Jenderal Pajak No. Kep-220/PJ./2002 tanggal 18 April 2002 tentang pemakaian handphone
perusahaan yang dapat dikurangkan sebagai biaya perusahaan 50% dari total pemakaiannya,
Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang penurunan tarif PPnBM atas penjualan barang elektronik
dan telepon genggam pada bulan Februari 2003, serta isi rancangan amandemen undang-undang
pajak 2004, dan lain-lain.
Disini terlihat bahwa implementasi prinsip partisipasi dan daya tanggap merupakan kekuatan bagi
Direktorat Jenderal Pajak dalam menuju pelaksanaan good governance. Namun demikian, terdapat
kelemahan implementasi prinsip partisipasi dan daya tanggap ini karena anggota forum komunikasi belum
menjangkau masyarakat marjinal yang merupakan mayoritas penduduk Indonesia. Sehingga ada
peraturan pajak yang belum memihak masyarakat marjinal (penjelasan lebih detil dapat dilihat pada
pembahasan kekuatan-kelemahan prinsip equity and fairness).
Prinsip Aturan Hukum (Rule of Law)
Prinsip aturan hukum sudah dilakukan dengan baik oleh Direktorat Jenderal Pajak dan merupakan
kekuatan Direktorat Jenderal Pajak dalam menerapkan prinsip-prinsip good governance. Peraturan
perpajakan selalu diperbaharui untuk memberikan kepastian hukum kepada masyarakat wajib pajak.
Berdasarkan data yang ada (Pandiangan, 2002:2-8), undang-undang pajak sudah dilakukan perbaikan dan
perubahan beberapa kali, yaitu pada tahun 1983, 1985, 1994, 1997, 2000 dan rencana amandemen
undang-undang pajak tahun 2004. Penerapan prinsip aturan hukum atau rule of law ini dimaksudkan agar
terjaminnya kepastian hukum bagi wajib pajak sehingga akan terbentuk masyarakat yang patuh dan taat
melakukan kewajiban perpajakannya yang pada akhirnya akan meningkatkan penerimaan negara dari
pajak.
Prinsip Transparansi (Transparency)
Sejak reformasi perpajakan pertama tahun 1983, Direktur Jenderal Pajak selalu berupaya untuk
meningkatkan prinsip transparansi di lingkungannya. Beberapa upaya yang telah dilakukan:
Adanya organ Direktorat Penyuluhan Perpajakan (Penpa) yang tugas utamanya memberikan
penyuluhan kepada masyarakat wajib pajak. Direktorat Penyuluhan Perpajakan dalam tugas sehari-
harinya melakukan penyuluhan dalam berbagai macam media baik di televisi, majalah, billboard
ataupun penyuluhan langsung ke masyarakat wajib pajak seperti ke sekolah-sekolah. Penyuluhan juga
dilakukan melalui majalah dua mingguan Berita Pajak.
Adanya organ Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan di tingkat lapangan yang
tugasnya melakukan urusan penyuluhan, konsultasi perpajakan dan membantu KPP dan KPPBB dalam
Analisis Penerapan Good Governance di Direktorat Jenderal Pajak
19
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Kelemahan prinsip transparansi ini adalah belum adanya laporan tahunan rutin yang dikeluarkan
Direktorat Jenderal Pajak sehingga masyarakat belum mengerti seberapa bagus kinerja Direktorat Jenderal
Pajak. Untuk meningkatkan prinsip transparansi, Direktorat Jenderal Pajak harus menyusun laporan
tahunan yang berisi pengungkapan penuh (full disclosure) tentang kinerja, laporan penerimaan pajak,
serta laporan akuntabilitas untuk dimuat di media masa nasional sehingga masyarakat luas mengerti akan
kinerja Direktorat Jenderal Pajak pada tahun anggaran tersebut. Ini sangat diperlukan untuk menghindari
adanya asymmetric information antara agen (Direktorat Jenderal Pajak) dengan public principal
(masyarakat).
Sampai saat ini, tidak banyak masyarakat yang tahu berapa pajak yang sudah dikumpulkan oleh
negara dalam suatu tahun anggaran dan apakah rencana penerimaan pajak yang ditargetkan pemerintah
bersama DPR dapat dipenuhi atau tidak. Sehingga laporan tahunan yang diaudit sangat diperlukan untuk
mendukung prinsip transparansi di Direktorat Jenderal Pajak. Berdasarkan data Direktorat P2SP, laporan
tahunan terbaru yang sudah disusun Direktorat Jenderal Pajak adalah Laporan Tahunan 2001 (unaudited)
sedangkan laporan tahunan 2002 masih dalam proses. Kelemahan lain pada prinsip transparansi adalah
ketidaktahuan masyarakat Indonesia pada peraturan pajak yang baru terutama pada Peraturan
Pemerintah, Keputusan Menteri Keuangan dan Ketetapan Direktur Jenderal Pajak. Sehingga perlu dibuat
mekanisme sosialisasi peraturan perpajakan yang efektif, handal dan mudah diakses masyarakat.
Mekanisme yang memungkinkan adalah secara on-line dalam bentuk website. Harus ada link khusus pada
website Direktorat Jenderal Pajak yang berisi peraturan-peraturan baru yang di-update tiap bulan.
Prinsip Pelayanan
Direktorat Jenderal Pajak sudah membuat sistem agar pelayanan dapat dilaksanakan dengan
sederhana, mudah, murah dan cepat. Pembangunan sistem tersebut dikembangkan dari sisi peraturan
dan teknologi. Secara peraturan, sistem pelayanan Direktorat Jenderal Pajak sudah baik dimana seluruh
jenis pelayanan sudah ada aturannya dan memiliki standar mutu pelayanan. Sedangkan secara teknologi,
sistem pelayanan sudah dikembangkan secara on-line. Dengan sistem on-line, diharapkan masyarakat
tidak perlu datang ke kantor pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Sistem ini membuat
pelayanan wajib pajak dapat dilakukan dengan dengan sederhana, mudah dan cepat. Kedepannya
direncanakan seluruh kantor pelayanan pajak akan dibuat secara on-line seperti sistem pada KPP Wajib
Pajak Besar yang kemudian dikenal dengan istilah e-system. Kelemahan pada sistem pelayanan terjadi
pada sistem pelayanan manual di kantor pelayanan pajak regular. Meskipun standar mutu pelayanan
sudah dibuat aturannya oleh Direktur Jenderal Pajak, namun pelaksanan pelayanan di lapangan masih
sangat jauh dari harapan.
Prinsip Persamaan dan Keadilan (Equity and Fairness)
Dari pengamatan terhadap beberapa peraturan perpajakan yang ada belum mencerminkan prinsip
equity and fairness. Banyak peraturan-peraturan perpajakan yang tanpa disadari lebih memihak kelompok
pengusaha besar dan golongan orang kaya. Pada rancangan amandemen undang-undang pajak
penghasilan, tarif pajak penghasilan diubah dari tarif progresif menjadi tarif tunggal yaitu 30% untuk
pengusaha besar dan 10% untuk pengusaha kecil. Tarif 10% diberlakukan bagi pengusaha kecil dengan
syarat memiliki peredaran usaha tidak lebih dari Rp1.8 Milyar dan memiliki aset di luar tanah dan
bangunan tidak lebih dari Rp200 Juta. Banyak pengusaha kecil yang memiliki aset lebih dari Rp200 Juta.
Bila ketentuan ini tidak diubah, pengusaha kecil akan membayar pajak sama besar dengan pajak
pengusaha besar.
Sebagai ilustrasi, misalnya pengusaha kecil memiliki keuntungan Rp50 Juta. Dia membayar PPh Badan
sebesar Rp15 Juta (jika asetnya lebih dari Rp200 Juta) atau membayar PPh Badan sebesar Rp5 Juta (jika
asetnya kurang dari Rp200 Juta) padahal berdasarkan ketentuan lama pengusaha tersebut hanya
membayar PPh Badan sebesar Rp5 Juta berapapun aset yang dia miliki. Ilustrasi lain mengenai kurangnya
prinsip equity and fairness adalah permohonan wajib pajak untuk mendapat pengurangan PBB mengacu
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 362/KMK.04/1999 Tentang Pemberian Pengurangan PBB.
Disebutkan bahwa golongan veteran memperoleh pengurangan sebesar 75% sedangkan golongan tidak
mampu memperoleh pengurangan paling besar 75%. Pada dua ketentuan ini terlihat bahwa pembedaan
statemen sebesar dan paling besar sangat tidak mencerminkan prinsip equity and fairness. Fakta di
lapangan berdasarkan data yang ada di KPPBB Jakarta Pusat Dua, bahwa sebagian besar golongan veteran
adalah golongan orang kaya. Mereka secara otomatis akan mendapat pengurangan sebesar 75%
sedangkan golongan wajib pajak tidak mampu biasanya hanya diberi pengurangan sebesar 30-50%.
100.0
80.0
60.0
40.0
20.0
0.0
94/95 95/96 96/97 97/98 98/99 99/00 2000 2001 2002 2003 2004
4,000,000
3,500,000
3,000,000
2,500,000
2,000,000
1,500,000
1,000,000
500,000
0
1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
5.1 Kesimpulan
1. Direktorat Jenderal Pajak telah memiliki komitmen yang tegas untuk melaksanakan good governance
seperti yang termaktub pada visi, misi dan strategi. Pada misi kelembagaan Direktorat Jenderal Pajak
dikembangkan strategi yang mampu mengantisipasi dan beradaptasi pada perubahan-perubahan
lingkungan serta aspirasi masyarakat dan membangun dirinya secara terus menerus terhadap kualitas
sumberdaya manusia, sarana dan prasarana, organisasi, dan sistem serta prosedur kerja dengan
5.2 Saran
1. Untuk meningkatkan kualitas penerapan good governance di Direktorat Jenderal Pajak perlu disusun
kerangka strategi yang mengarah pada rancangan dan evaluasi penerapan good governance,
menetapkan tolok ukur penilaian serta menganalisis bagian mana yang masih memerlukan
penyempurnaan. Kerangka strategi dalam bentuk Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang harus
ditaati dan dipatuhi oleh seluruh aparat pajak yang secara khusus mengatur penerapan good
governance di Direktorat Jenderal Pajak. Perlu dibuat suatu sistem manajemen penyelenggaraan
pemerintah yang baik dan handal yang selalu diawasi oleh pimpinan puncak Direktorat Jenderal Pajak
yakni manajemen yang kondusif, responsif, adaptif, efektif dan efisien dengan menjaga sinergi
interaksi yang konstruktif diantara unsur-unsur domain pemerintah sebagai regulator dan katalisator,
Direktorat Jenderal Pajak, serta sektor swasta dan masyarakat madani
2. Perlu dibentuk suatu organ khusus di dalam struktur Direktorat Jenderal Pajak yang dipimpin pejabat
setingkat eselon-III yang bertanggung jawab untuk memantau pelaksanaan good governance pada
seluruh unit kerja Direktorat Jenderal Pajak di seluruh Indonesia. Penegakan prinsip reward and
punishment bagi aparat Direktorat Jenderal Pajak dapat lebih diintensifkan sehingga tidak ada lagi
pandangan masyarakat bahwa datang ke KPP (reguler) malah akan dipersulit oleh aparat pajak yang
ada. Penerapan prinsip reward and punishment perlu lebih ditegakkan sehingga aparat pajak dapat
melakukan pelayanan sesuai dengan standar mutu pelayanan Direktorat Jenderal Pajak.
3. Beberapa peraturan-peraturan perpajakan yang lebih menguntungkan sebagian golongan tertentu
harus diganti dengan peraturan yang lebih bersifat universal dan mencerminkan prinsip equity and
fairness.
4. Perlu disusun dan diumumkan pada media massa secara nasional laporan tahunan Direktorat Jenderal
Pajak yang diaudit sehingga masyarakat mengetahui kinerja Direktorat Jenderal Pajak dan tingkat
pencapaian penerimaan negara yang dikumpulkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Hal ini sangat
penting untuk meningkatkan citra Direktorat Jenderal Pajak di mata masyarakat wajib pajak. Sehingga
diharapkan dengan meningkatnya citra Direktorat Jenderal Pajak di mata masyarakat wajib pajak akan
mampu meningkatkan tingkat kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
5. Untuk meningkatkan kinerja aparat pajak yang pada akhirnya meningkatkan penerimaan negara dari
sektor pajak sebaiknya Direktorat Jenderal Pajak harus mampu menerapkan prinsip mewirausahakan
birokrasi yang dikembangkan oleh David Osborne dan Ted Gaebler (1992:16). Prinsip yang dapat
dianut adalah prinsip catalytic government, competitive government, mission driven government,
result oriented government, customer driven government, enterprising government dan market
oriented government.
Balim. 2001. “Thesis: Balanced Scorecard Sebagai Suatu Sistem Pengendalian dan Pengukuran Kinerja di
Direktorat Jenderal Pajak”, Jakarta: Magister Akuntansi UI.
Analisis Penerapan Good Governance di Direktorat Jenderal Pajak
26
Baron, David P. 2003. Business and Its Environment, New York: Prentice Hall.
Boediono, B. 2003. Pelayanan Prima Perpajakan, Cetakan Kedua, Jakarta: Rineka Cipta.
Direktorat Jenderal Pajak. 2002. Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2001, Jakarta.
Direktorat Jenderal Pajak. 2000. Visi, Misi dan Strategi Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta.
Djalil. Sofyan. 2000. Good Corp. Governance, (www.nccg_indonesia.org/lokakarya/surasofyan.html).
Gunadi. 2004. Reformasi Administrasi Perpajakan Menuju Good Governance, Pidato Pengukuhan Guru Besar
Luar Biasa, Jakarta: Universitas Indonesi.
Niven, Paul R. 2002. Balance Scorecard Step-By-Step: Maximizing Performance and Maintaining Results, New
York: John Wiley & Son Inc.
Osborne, David, and Peter Plastrik. 1997. Banishing Bureaucracy: The Five Strategic for Reinventing
Government, New York: Perseus Books Publishing.
Osborne, David, and Ted Gaebler. 1992. Reinventing Government: How Entrepreneurial Spirit is Transforming
Government The Public Sector, New York: A William Patric Book.
Sedarmayanti. 2004. Good Governance, Bagian Kedua, Bandung: Mandar Maju.
Soemarjono. 2003. Tata Usaha Perpajakan, Jakarta: Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perpajakan.
Solomon, Jill, and Aris Solomon. 2004. Corporate Governance and Accountability, New York: John Wiley & Son.
Sumarto, Hetifah Sj. 2004. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance: 20 Prakarsa Inovatif dan Partisipatif di
Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
UNDP. 1997. Governance for Sustainable Development – A Policy Document, New York.
YPPMI, 2002. Good Corporate Governance: Konsep dan Implementasi Perusahaan Publik dan Korporasi di
Indonesia, Jakarta: YPPMI Sinergy Comm.
________. “Amandemen UU Perpajakan Untuk Menampung Perkembangan Sosial Ekonomi dan Teknologi”,
Berita Pajak, No. 1517/Tahun XXXVI/15 Juni 2004.
________. “Aparat KPP Cibinong Berhasil Bekuk Pemalsu Faktur Pajak Fiktif Rp 11 Milyar”, Berita Pajak, No.
1514/Tahun XXXVI/1 Mei 2004.
________. “Berkas Perkara Pengguna Faktur Pajak Fiktif Diserahkan Ke Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta”, Berita
Pajak, No. 1516/Tahun XXXVI/1 Juni 2004.
________. “Diharapkan RUU Perpajakan Menyentuh Hati Wajib Pajak”, Berita Pajak, No. 1517/Tahun
XXXVI/15 Juni 2004.
________. “Ditjen Pajak Targetkan: Tahun 2007 Sebagai Tahun APBN Mandiri”, Berita Pajak, No. 1516/Tahun
XXXVI/1 Juni 2004.
________. “Dua Tahun Perjalanan Kanwil WP Besar: Menkeu Bangga Kanwil WP Besar Bisa Menjawab Sinisme
Masyarakat”, Berita Pajak, No. 1520/Tahun XXXVI/1 Agustus 2004.
________. “KPP Tangerang Juga Berhasil Menangkap Penjual Faktur Pajak Fiktif”, Berita Pajak, No. 1514/Tahun
XXXVI/1 Mei 2004.
________. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 362/KMK.04/1999 Tentang Pemberian Pengurangan Pajak
Bumi dan Bangunan, 1999.
________. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 ttg Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil, 1980.
________. “RUU Perpajakan Diharapkan Selesai Tepat Pada Waktunya”, Berita Pajak, No. 1514/Tahun XXXVI/1
Mei 2004.
________. “UU Pajak Yang Pertama Kali Inputnya Berasal Dari Dalam dan Luar Negeri”, Berita Pajak, No.
1517/Tahun XXXVI/15 Juni 2004.
________. “WP KPP PMA Empat: Cukup Baik Pelayanan Namun Menunggu Sistem LTO Berjalan”, Berita Pajak,
No. 1516/Tahun XXXVI/1 Juni 2004.
________. 2000. Undang-Undang Pajak Indonesia 1983-2000, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak.
Analisis Penerapan Good Governance di Direktorat Jenderal Pajak
27