You are on page 1of 2

HUBUNGAN INDONESIA DAN MALAYSIA

Dalam suatu realitas suatu hubungan, baik hubungan personal maupun interpersonal, nasional maupun internasional, memiliki beberapa keterkaitan dan ketergantungan satu sama lainnya. Keterkaitan tersebut memberikan kontribusi yang sangat kuat bagi hubungan pihak-pihak yang bersangkutan. Namun, ketika kita memahami suatu hubungan antar negara satu dengan lainnya yang diartikan sebagi hubungan internasional ini, hal-hal yang mempengaruhi baik dari segi positif maupun negatifnya masih cukup banyak. Entitas Globalisasi membuat negara-negara menjadi satu dan bergabung membentuk wadah organisasi yang mana tujuan kedepannya ialah agar dapat tercapainya suatu bentuk kerjasama regional maupun keamanan bersama. Masa Orde baru di Indonesia yang dipimpin oleh Presiden RI ke-2 Soeharto, memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap hubungan luar negeri Indonesia saat itu. Ketika kita memahami Hubungan Indonesia dengan wilayah negara-negara di Asia Tenggara pada masa orde baru, suatu bentukan organisasi yang dianggap mampu mendapat respon yang cukup baik bagi politik luar negeri RI dan sebagai rekonstruksi pembangunan di sektor ekonomi Indonesia, yang kemudian dikenal dengan ASEAN atau Association of South-East Asian Nations. Dimana wadah organisasi ini dipelopori oleh 5 negara pendiri yakni: Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Hubungan Indonesia Malaysia yang pertama kali dikenal dalam konstelasi politik regional, diawali dengan konfrontasi Indonesia vs Malaysia. Persamaan rumpun (melayu), sejarah, letak geografis serta persamaan bahasa yang sama tidak menjadikan Indonesia dan Malaysia menjalin hubungan yang sangat baik dan berlangsung secara harmonis, bahkan hubungan Indonesia sangatlah buruk ketika itu]. Perbedaan sejarah kolonialisasi membuat Rezim Soekarno atas ketidakpuasan terbentuknya negara Malaysia pada dekade tahun 1960an. Penyebarluasan imperialisme barat yang dinilai Soekarno memberikan pengaruh negatif terhadap kelangsungan negara-negara Asia Tenggara akhirnya membentuk suatu persepsi dan hubungan yang kurang baik dengan Malaysia. Pemulihan Hubungan Indonesia-Malaysia atas konfrontasi yang dibuat oleh Soekarno, diakhiri pada tahun 1967 dan sekaligus menggantikan posisi pemerintahan Soekarno yang jatuh karena pemberontakan G-30S PKI, kemudian berganti menjadi pemerintahan Soeharto yang sekaligus merupakan awal mula dari pemerintahan Orde baru ini. Utamanya Indonesia belakangan ini gencar disinggung oleh klaim budaya melalui propaganda pariwisata Malaysia. Kemudian, isu Terorisme yang gencar dibicarakan. Isu-isu perbatasan wilayah (Sipadan dan Ligitan, Ambalat, Sabah dan Serawak), Dari hal inilah terlihat bahwa hubungan yang terjalin antara Indonesia-Malaysia tidak berjalan secara harmonis dan tidak mencerminkan suatu hubungan timbal-balik dalam lingkup geografis yang dapat menghasilkan kerjasama dari sektor perekenomian maupun militer. Dalam kehidupan politik saat ini terdapat masalah hukum yang membuat
perpolitikan Indonesia tidak stabil dan tumbuh tidak sehat. Masalah hukum itu dapat dijadikan bargaining politik bagi siapapun pelaku politik negeri ini. Budaya yang tidak sehat inilah yang membuat pertentangan politik di Indonesia semakin tidak berkualitas. Hal inilah yang membuat kontrapoduktif dalam bangsa ini. Budaya buruk politik ini selain tidak berkualitas juga dapat membuat bangsa ini hanya didominasi pertentangan tidak cerdas pada topik tidak berkualitas yang menutupi pikiran membangun bangsa. Masalah politik di Indonesia erat hubungannya dengan masalah-masalah penegakan supremasi hukum yang lemah karena feodalisme lembaga-lembaga hukum terhadap pemegang kekuasaan. Hal ini juga dipicu oleh masalah ekonomi partai maupun kepentingan golongan.

HUBUNGAN INDONESIA DAN VIETNAM Hubungan dan ikatan diplomatik Indonesia sudah terjalin selama lima puluh tahun. Keduanya memiliki konsesus bersama untuk sepakat meningkatkan hubungan dan kerja sama di segala bidang, termasuk kerja sama keamanan dan penanggulangan bajak laut di perairan Selat Malaka serta mengungkapkan saling dukung sebagai dewan keamanan tidak tetap PBB. Hubungan indonesia dan Vietnam utamanya dilandaskan pada aspek kultural dan sosial. Landasan utama hubungan diplomatik kultural Indonesia-dan Vietnam diimplementasikan ke dalam fram sejarah kebudayaan misalnya dengan mlakukan penelitian arkeologi bersama bertajuk Kebudayaan Dong Son dan Persebarannya di masing-masing negara, penelitian reguler bertajuk Consultative Workshop Archeology and Environmental Study on Dong Son Culture yang mempertemukan peneliti arkeologi dari Vietnam dan Indonesia dengan dihadiri oleh penijau dari negara lain. Namun jika ditilik dari kacamata sejarah dan pergolakan pasca perang dunia II dan perang dingin, maka hubungan diplomatik Indonesia dan Vietnam memiliki akar kuat ketika masingmasing negara dipimpin oleh Soekarno dan Ho Chi Minh yang mana pada saat itu isu-isu seputar komunisme dan pembentukan politik poros-porosan menjadi kajian utama menjalin kerja sama dan membangun ikatan dekat. Indonesia sebagai salah satu aktor penting di ASEAN pada masa pergolakan Vietnam dan Kamboja, menggagasi solusi perdamaian bagi keduanya utamanya menyangkut saran kepada Vietnam untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Kamboja dalam bentuk apapun khususnya bantuan politik maupun militer pada salah satu kubu yang sedang berseteru. Indonesia menggagasi supaya rakyat Kamboja diberikan kebebasan penuh dan kesempatan untuk memilih pemimpin untuk mengarahkan revolusi Kamboja ke arah yang dikehendaki. Masalah Politiknya, model demokrasi yang menekankan kesadaran pluralitas, menjadi semangat berbasis egalitarianisme-isi prasyarat dan sangat kompleks. Dengan kata lain, jika kita akan mempertahankan konsepsi politik negara dalam bentuk wacana integratif atau kita mengubahnya menjadi bentuk negara-pluralisti seperti yang kita merenungkan feredartif bentuk negara. Pada tingkat tersebut yang, di masa depan ketika kita benar-benar memasuki perubahan bahwa "kita tidak mengenal". Dalam konteks ini, klaim bahwa Indonesia adalah budaya kekerasan (budaya kekerasan) adalah klaim politik yang dapat digunakan untuk membenarkan kembalinya penguasa yang otoriter dan kekerasan negara berikutnya. Apalagi jika kita melihat keragaman budaya, sebagai modal sosial, maka kita melihat bahwa hetrogenitas ia menawarkan jalur baru hari yang akan datang akan memberikan alternatif cara reformasi politik di Indonesia. Meski begitu, di bawah bias interpretasi penuh semangat yang demokratis dan pluralistik pembaharuan adalah pilihan yang sangat sulit untuk hidup di negara ini.

You might also like