You are on page 1of 16

SOSIOLOGI POLITIK HUBUNGAN SIPIL-MILITER

Dosen Pengampu : Nur Hidayah, M. Si.

Oleh Wachas Prayogi Muchammad Azmi Syafieq Suhartantri Puji Utami Anggun Dwijayanti

: (10413244015) (10413244031) (10413244033) (10413244038)

PENDIDIKAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2013

BABI PENDAHULUAN A. LatarBelakang Di Indonesia hububgan sipil-militer sangat menonjol terwujud tidak hanya dalam batas-batas yang tegas atas peran dan fungsi masing-masing tetapi juga dalam kerjasama yang harmonis antara keduanya, khususnya dalam upaya merealisasikan cita-cita nasional. Setelah reformasi merupakan titik balik bagi kehidupan sosial politik di Indonesia. Hubungan sipil-militer yang perlu diurai dan dicari solusinya berkisar pada bagaimana membangun keserasian hubungan antara sipil dan militer dan meletakan hubungan tersebut dalam kerangka kerja sebuah sistem politik di Indonesia. Pada zaman orde baru, ada istilah Civilian inferiority complex yang merujuk pada persoalan hubungan sipil-militer. Persoalannya adalah ketimpangan peran antara militer ddan sipil dalam segala bidang kehidupan hingga menyebabkan dominasi militer terhadap sipil. Ketidakberdayaan sipil merupakan hasil dari ketimpangan tersebut, yang di dalamnya mengandung dan menumpuk berbagai masalah sosial, budaya, dan politik yang teredam tetapi tidak terselesaikan sama sekali. Dengan kata lain, militer yang memiliki peran besar dalam politik cenderung selaras dengan kediktatoran dan personalisme politik. B. RumusanMasalah 1. Apakah yang dimaksud dengan hubungan sipil-militer? 2. Bagaimana dinamika perkembangan hubungan sipil-militer di Indonesia? 3. Bagaimana peranan hubungan sipil-militer terhadap perkembangan politik di Indonesia? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud hubungan sipil-militer? 2. Untuk mengetahui perkembangan hubungan sipil-militer di Indonesia?

3. Untuk mengetahui peranan hubungan sipil-militer terhadap perkembangan politik di Indonesia? BAB II PEMBAHASAN A. Hakekat Hubungan Sipil-Militer Secara garis besar hubungan sipil-militer ini dapat didefinisikan sebagai interaksi antara lembaga militer di satu sisi dengan pengambil keputusan negara/pemerintah , LSM, pemimpin opini publik dan masyarakat disisi lain. Hubungan sipil-militer umumnya mengacu pada interaksi antara angkatan bersenjata sebagai Lembaga dan masyarakat yang mereka milik. Dalam hal definisi umum, sipil-militer demokratis hubungan berdiri untuk pengelolaan yang efisien keamanan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi serta dari lembaga pemerintah terkait dengan bidang yang disebutkan di atas. Negara maju, dengan beberapa pengecualian telah mampu mempertahankan demokrasi Hubungan Sipil-Militer, sistem di mana elit sipil memiliki kekuatan untuk membuat keputusan akhir. Hubungan sipil militer tidak terlepas dari latar belakang sejarah dan perkembangan bangsa dan negara. Dalam masa perang warga sipil ikut terlibat secara aktif melakukan perlawanan bersenjata, sedangkan masa damai pihak militer turut aktif dalam pembangunan di segala aspek kehidupan bangsa. Sipil maupun militer senantiasa berjuang dalam mengatasi segenap hakikat ancaman yang dihadapi bangsa dan negara. Hubungan sipil militer dalam penyelenggaraan surut. Hubungan yang cukup sensitif bagi negara yang menuju proses demokrasi dan berpeluang menimbulkan isu-isu yang cukup hangat tetapi tidak sensitif bagi negara yang sudah melewati transisi demokrasi. Suka atau tidak suka di-era kontemporer ini tumpuan pokok konsolidasi hubungan sipil-militer akan menjadi beban Departemen Pertahanan. Menjadi pertanyaan besar bagi negeri ini, bagaimana seharusnya standar format hubungan sipilnegara tersebut sesuai dengan perjalanan waktu, mengalami fluktuasi. Kedangkala keserasian hubungan tersebut mengalami pasang, dan kadang kala mengalami

militer. Barangkali masih sulit dicarikan jawabannya, meski tuntutan demokrasi, tuntutan kontrol sipil atas militer menjadi salah satu prasyarat negara yang demokratik. Hubungan sipil-militer yang berkembang serasi pada akhirnya akan menyumbangkan banyak manfaat, bukan hanya bagi perkembangan Indonesia tetapi juga merupakan perwujudan nyata dari prinsip-prinsip Ketahanan Nasional. Upaya untuk membangun format baru hubungan sipil-militer dalam masyarakat demokratis memerlukan landasan yang lebih fundamental, pra syarat yang penting adalah terbentuknya pemerintahan demokratis yang mencakup rule of law, akuntabilitas publik dalam kaitan delicate balance tentang otonomi militer dalam kebijakan personel, penentuan tingkat kekuatan, masalah pendidikan dan doktrin militer. Dalam rangka mencari dan merumuskan hubungan baru Sipil-Militer yang harmonis harus ada kemauan dari semua komponen bangsa (sipil-militer) yang berlandaskan kepada nilai moral dan sikap mental yang saling menghormati dan menghargai (mutual respect) dan saling bekerja sama untuk mewujudkan Indonesia Baru berdasarkan prinsip yang ditetapkan sesuai otoritas pengambilan keputusan. B. Dinamika Perkembangan Hubungan Sipil-Militer di Indonesia Sejarah hubungan sipil-militer Indonesia dapat ditelusuri sejak awal kemerdekaan. Perkembangan tersebut nampak tidak bergerak linier, melainkan mengalami pasang surut. Perubahan-perubahan yang berlangsung dalam sejarah politik Indonesia modern secara umum dapat dibagi dalam empat periode, yaitu : 1. Era Revolusi Fisik Hubungan sipil-militer di Indonesia terwujud sejak tahun pertama kemerdekaan pada saat rakyat mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia. Hubungan kerjasama antar rakyat dan pemerintah serta eks-tentara KNIL mewujud dalam bentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). TKR merupakan cikal bakal Tentara Naional Indonesia (TNI). Praktis pada era ini hubungan sipil-militer dalam penyelenggaraan atau pengelolaan negara berlangsung tanpa masalah.

2. Era Demokrasi Liberal dan Terpimpin Dalam era ini hubungan sipil-militer mulai dihadapkan pada persoalan-persoalan pembagian dan pelibatan peran masing-masing pihak dalam pengelolaan negara. Di satu pihak, perkembangan politik menunjukkan bahwa urusan-urusan politik dan negara merupakan bagian-bagian pokok dari tugas dan tanggung jawab sipil. Di lain pihak, militer yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan mewujudkan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak dapat begitu saja dibebaskan dari tugas dan tanggung jawab pengelolan negara. Beberapa peristiwa politik mencerminkan keberadaan hubungan sipil-militer tersebut. Yang terungkap antara lain gerakan politik yang dilakukan oleh pimpinan serta perwira militer yang dikenal dengan peristiwa 17 Oktober 1952. Pada peristiwa ini, militer berupaya menuntut Presiden Soekarno untuk membubarkan DPRS karena dipandang telah merugikan pihak militer. Secara umum, dapat dikatakan bahwa periode ini merupakan masa awal keterlibatan langsung militer dalam kehidupan sosial politik di Indonesia. Pada akhir periode ini, ketika polarisasi politik semakin menajam, militer menjadi salah satu kutub dalam segitiga politik, yaitu Soekarno, PKI, dan Militer. Ketika terjadi peristiwa G30S/PKI militer menjadi satu-satunya kekuatan politik yang mendominasi kehidupan politik tanpa ada kekuatan penyeimbang. 3. Era Orde Baru Hubungan sipil-militer dan lebih tepatnya peran politik-militer pada masa orde baru memiliki pengaruh penting terhadap perkembangan kehidupan demokrasi Indonesia. Dalam praktek kehidupan sosial politik keseharian dominasi militer dapat dilihat pada lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif. Pada lembaga eksekutif, data tahun 1980 memperlihatkan tingginya presentase anggota ABRI yang menduduki jabatan-jabatan sipil, yaitu : duta besar 44,4% ; gubernur 70% ; bupati 56,6% . Sementara dalam lembaga

legislatif militer memiliki 100 orang wakil yang duduk di kursi DPR tanpa harus mengikuti pemilu. Peran politik-militer dalam kehidupan negara dan bangsa selama orde baru dapat dikategorikan sesuai dengan kategorisasi S.E.Finer berikut ini : a. Penguasaan langsung-terbuka (direct rule-open) b. Penguasaan langsung-kuasi sipil (direct rule-quasi civilianized) c. Dwi penguasaan (dual rule) d. Penguasaan tidak langsung-terus menerus (indirect rule-continuous) e. Penguasaan tidak langsung-terputus-putus (indirect rule-intermittent) Lemahnya kontrol terhadap implementasi prinsip ini selain menciptakan sistem politik yang semakin otoriter dan tidak terbuka, telah menimbulkan berbagai akses dari perlibatan politik-militer. Tidak saja militer menjadi sangat dominan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat dan negara, tetapi juga menunjukkan kecenderungan yang sangat kuat bahwa pada akhirnya militer hanya menjadi alat penguasa untuk mengejar kepentingan-kepentingan politiknya. Keserasian hubungan sipil-militer tidak terbangun sama sekali. Dominasi militer semakin meluas dan cenderung menguasi berbagai sektor dan bidang kehidupan masyarakat serta negara. Perkembangan seperti ini tampaknya bukan hanya merusak hubungan sipil-militer itu sendiri, tetapi juga menurunkan citra dan kedribilitas militer sebgai kekuatan pertahanan keamanan yang seharusnya bukan membela kepentingan-kepentingan sempit penguasa dan kelompoknya. 4. Era Reformasi Orde baru dianggap gagal, dan reformasi menjadi simbol baru yang memberikan semangat terhadap berbagai bidang-bidang kehidupan masyarakat dan negara. Tuntutan reformasi juga sejalan dengan tuntutan yang dibawa oleh arus globalisasi. Selain tuntutan dalam penyesuaian sistem ekonominya, globalisasi mengumandangkan demokratisasi

terhadap setiap sistem politik totalitarian. Di sisi ini tuntutan reformasi tampak sangat relevan bukan hanya untuk mewujudkan demokratiasi dan HAM, tetapi juga secara lebih khusus memperbaharui hubungan sipil militer agar menjadi ekual dan harmonis. Reformasi cukup tajam menyoroti posisi ABRI baik sebagai kekuatan HANKAM maupun sebagai kekuatan sosial politik. Secara konkrit, perubahan yang dilakukan dalam rangka megembangkan demokrasi dalam kehidupan politik nasional dinyatakan dalam pengurangan jumlah kursi ABRI di DPR dari 100 menjadi 75, dan dari 75 menjadi 38 kursi atas dasar undang-undang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD yang baru. Pemisahan POLRI dari ABRI yang dilaksanakan pada tanggal 1 April 1999 merupakan upaya untuk mempertajam fungsi masing-masing sehingga diharapkan POLRI dan TNI semakin profesional. Distorsi hubungan sipil-militer Di negara-negara barat, pada umumya pengendalian sipil atas militer terbentuk dari budaya politik negara-negara tersebut khususnya sejak abad ke-18. Di sini peran militer adalah bagaimana membantu aspirasi masyarakat di bawah pengendalian sipil dapat tersalur dengan baik. Demikian pula terdapat upaya untuk menarik garis pemisah yang tegas antara fungsi eksternal dan internal militer. Fungsi eksternal mejelaskan tugas dan tanggung jawab utama militer, yakni membela dan mempertahankan eksistensi negara dari ancaman dan serangan dari luar. Sedangkan fungsi internal menjelaskan peran militer dalam keikutsertaan memelihara keamanan di dalam negeri. Tetapi, fungsi internal seringkali menyeret militer dalam urusan-urusan politik. Karena itu dalam pelaksanaannya, pemisahan yang tegas tersebut sulit diwujudkan terutama karena kepentingan-kepentingan politik dan pragmatis baik dari individu maupun kelompok untuk memanfaatkan keuntungan-keuntungan dari hubungan sipil-militer dengan karakter utama. Pengalaman di Indonesia dalam hubungan sipil-militer juga tidak lepas dari distorsi sebagai kekuatan sosial politik. ABRI seharusnya melaksanakan fungsi sosial politik yaitu berperan sebagai stabilisator dan dinamisator dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Berbagai pengalaman tersebut mestinya menjadi pelajaran yang berharga bagi Indonesia. Salah satu yang perlu diingat adalah apabila pembangunan ekonomi yang berhasil tetapi tidak diimbangi dengan pembangunan dan pemberdayaan lembagalembaga sosial dan politik. Pada dasarnya ketimpangan tersebut merupakan potensi bagi apa yang secara luas dikenal sebagai political decay, yang pasti bukan merupakan kondisi yang kondusif bagi perkembangan masyarakat umumnya dan pengembangan hubungan sipil-militer yang serasi. Permasalahan yang muncul dalam penyelenggaraan negara selama ini tampaknya masih diwarnai oleh kebijakan pimpinan tertinggi negara yang selalu cenderung untuk tetap berkuasa dengan mengabaikan moral dan nilai-nilai luhur kepribadian dan kebudayaan bangsa. Di samping itu, kita selama ini terobsesi oleh pandangan negara-negara tertentu dan konsepsi atau pemikiran orang-orang tertentu yang pada dasarnya dalam kaitan penyelenggaraan negara terdapat dua dasar, ialah cara militer (military way) atau dengan cara civil society. Dari kedua cara tersebut memang dapat dibedakan secara tegas, akan tetapi konotasi hubungan sipil-militer yang terbentuk saat ini adalah permasalahan profesi militer dan profesi sipil, sehingga menimbulkan kecemburuan yang berlebihan di antara komponen bangsa tersebut dikarenakan adanya aturan main yang menyimpang dari aturan yang telah disepakati sebelumnya. C. Peran, Kontribusi Dan Tanggung Jawab Sipil- Militer Dalam Penyelenggaraan Negara Hubungan sipil militer tidak terlepas dari latar belakang sejarah dan perkembangan bangsa dan negara. Dalam masa perang warga sipil ikut terlibat secara aktif melakukan perlawanan bersenjata, sedangkan masa damai pihak militer turut aktif dalam pembangunan di segala aspek kehidupan bangsa. Sipil maupun militer senantiasa berjuang dalam mengatasi segenap hakikat ancaman yang dihadapi bangsa dan negara. Hubungan sipil militer dalam penyelenggaraan surut. negara tersebut sesuai dengan perjalanan waktu, mengalami fluktuasi. Kedangkala keserasian hubungan tersebut mengalami pasang, dan kadang kala mengalami

Proses penyelenggaraan negara sangat dipengaruhi oleh hubungan sipil dan militer disamping keberadaan lembaga- lembaga negara. Apabila sipil terlalu kuat mengontrol militer akan melemahkan profesionalisme militer dan hanya sebagai alat politik, sedangkan apabila militer terlampau dominan proses demokratisasi akan terhambat. Penyelenggaraan negara menunjukkan bahwa peran, kontribusi dan tanggung jawab sipil militer sebenarnya saling melengkapi satu dengan yang lain. Disamping itu bentuk perwujudan peran sipil militer dalam penyelenggaraan ini senantiasa sangat dipengaruhi oleh tuntutan perkembangan zaman yang berpedoman pada paradigm nasional yaitu pancasila, UUD 45, wawasan nusantara dan ketahanan nasional. 1. Peran Sipil- Militer

Peran sipil terhadap militer merupakan suatu proses yang terus berlanjut dan akan berlangsung optimal di negara- negara dengan kematangan demokrasi dan nilai- nilai moral yang dijunjung tinggi. Peran sipil- militer dalam penyelenggaraan negara bukanlah merupakan dikotomi, tetapi harus saling mengisi kekurangan masing- masing.

Peran sipil dapat formal dan informal apabila ditinjau dari lembaga dan sifatnya. Peran formal dalam penyelenggaraan negara melalui lembaga perwakilan rakyat, peradilan, pemerintahan dan pengawasan. Sedangkan peran informal misalnya oleh organisasi kemasyarakatan, partai politik, organisasi profesi dan keagamaan, dan LSM.

Peran militer dalam penyelenggaraan negara adalah di dalam organisasi militer, walaupun di negara- negara tertentu militer dapat diberikan tugas di lingkungan sipil. Militer adalah bagian dari sistem politik nasional yang berperan di bidang pertahanan dan keamanan. Namun dibeberapa negara termasuk Indonesia, militer juga berperan di bidang

sosial politik. Peranan hubungan sipil- militer sangat penting untuk mengantisipasi berbagai tantangan dari dalam dan luar negeri.

Dalam konteks reformasi yang lebih umum, peran sipil- militer mungkin saja diterjemahkan dalam usaha- usaha bersama memperlancar proses reformasi secara damai melalui pendekatan social budaya dan anti kekerasan.

2.

Kontribusi Sipil- Militer

Dalam masa perang dan damai sipil dan militer telah memberikan kontribusinya dalam penyelenggaraan Negara. Sejarah bangsa menunjukkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia, dari awal kemerdekaan dalam kondisi yang seadanya sampai dengan bentuknya yang relative mapan saat ini terbentuk lewat perjuangan. Pengabdian militer dan sipil terhadap bangsa bersama- sama memberikan kontribusi yang sangat berarti dan saling mengisi. Pada era revolusi fisik beberapa orang gubernur yang berasal dari sipil telah menjabat gubernur militer, sedangkan anggota militer banyak membantu pemerintahan sipil.

Kontribusi militer dapat ditunjukkan dalam berbagai hal dan kegiatan. Kemampuan dan keahlian dalam bidang- bidang teknik, misalnya, dalam situasi khusus dapat membantu departemen terkait dalam menyelenggarakan fungsinya antara lain bidang perhubungan darat, laut dan udara, telekomunikasi, konstruksi, kesehatan dan sebagainya. Pejabat

militer yang bertugas di lingkungan sipil berarti dibebastugaskan dari dinas aktif militer sehingga loyalitas hanya kepada Negara, bukan kepada panglima angkatan bersenjata. Demikian juga organisasi militer merupakan organisasi yang paling siap melaksanakan SAR di darat dan di laut dan kemudian dilaksanakan bersama- sama instansi sipil dan masyarakat. Kemampuan pengerahan pasukan secara cepat dapat melaksanakan tugas SAR (search and Rescue) dalam situasi bencana alam atau musibah lain, tugas mengisi kekosongan daerah terpencil di bidang pendidikan, kesehatan dan lingkungan , dan tugastugas lain dalam rangka bhakti militer untuk meringankan penderitaan masyarakat sipil dan untuk berkomunikasi secara simpatik.

Kontribusi sipil dapat dijabarkan dan atau terwujud dalam fungsi dan peran yang mendukung dan mengembangkan organisasi profesionalisme militer. Secara khusus dapat disebutkan bahwa sipil dapat memberikan kontribusi dalam menyebarluaskan pengetahuan yang berada dalam lingkup ilmu dan budaya militer maupun ilmu pertahanan dan keamanan. Ini bukan hanya membantu militer mensosialisasikan nilainilai yang diembannya, tetapi sekaligus membantu masyarakat umum dalam berupaya memahami dan mengerti seluk- beluk militer dan pertahanan keamanan. Pusat kajian militer di perguruan tinggi misalnya, jelas merupakan contoh yang pas untuk menunjukkan upaya- upaya sipil dalam memahami militer pada umumnya. Pusat kajian seperti ini dapat memberikan kontribusi yang positif bagi hubungan sipil- militer terutama karena kegiatannya mencakup pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat ilmu- ilmu yang berkaitan dengan masalah pertahanan dan keamanan.

Sementara itu kontribusi sipil diberikan melalui beragam profesi dalam kiprahnya dalam berbagai bidang kehidupan Negara dan masyarakat baik politik, ekonomi, social budaya maupun pertahanan keamanan.

3.

Tanggung Jawab Sipil- Militer

Secara umum, sipil dan militer memiliki tanggung jawab bersama yang tidak dapat dipisahkan dalam rangka menciptakan suatu bangsa dan Negara yang terintegrasi secara kuat dengan mengupayakan penciptaan suasana aman, adil dan makmur. Tanggung jawab ini merupakan tanggung jawab bersama yang dilakukan dan diwujudkan secara holistic, tidak parsial.

Pada masa damai misalnya, baik sipil maupun militer mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam mengupayakan terwujudnya cita- cita nasional yang umumnya tertuang dalam konstitusi Negara. Memelihara dan memperkokoh persatuan nasional, mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan social, dan menciptakan dan memelihara ketertiban umum dan keamanan masyarakat maupun ikut serta menciptakan perdamaian dunia merupakan bagian- bagian utama dari tanggung jawab sipil- militer baik secara sendiri- sendiri maupun bersama- sama.

Tanggung jawab sipil diwujudkan dalam usaha- usaha nyata menciptakan dan mengembangkan system nasional yang meliputi sub- sub system politik, ekonomi, social budaya dan pertahanan keamanan yang membuka peluang dan kesempatan yang sama bagi setiap warga Negara terlibat aktif dalam proses- proses politik, ekonomi, social budaya dan petahanan keamanan. Sementara pada saat yang sama, tanggung jawab militer dimanifestasikan dalam upaya- upaya menciptakan dan memelihara suasana yang kondusif bagi bekerjanya system nasional secara fungsional dan efektif sehingga memungkinkan kelancaran upaya- upaya bersama mewujudkan cita- cita nasional.

Secara bersama- sama, tanggung jawab sipil- militer terwujud dalam upaya- upaya bersama menjaga, mempertahankan dan menjamin kedaulatan bangsa dan wilayah Negara. Kedaulatan bangsa tidak lain adalah persatuan masyarakat yang kokoh yang didasarkan atas toleransi dan saling kepercayaan diantara anggota-anggotanya.

TEORI YANG RELEVAN DALAM HUBUNGAN SIPIL MILITER

1. Teori Struktural Fungsional Fungsionalisme struktural atau lebih popular dengan struktural fungsional merupakan hasil pengaruh yang sangat kuat dari teori sistem umum di mana pendekatan fungsionalisme yang diadopsi dari ilmu alam khususnya ilmu biologi, menekankan pengkajiannya tentang cara-cara mengorganisasikan dan mempertahankan sistem. Dan pendekatan strukturalisme yang berasal dari linguistik, menekankan pengkajiannya pada hal-hal yang menyangkut pengorganisasian bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme struktural atau analisa sistem pada prinsipnya berkisar pada beberapa konsep, namun yang paling penting adalah konsep fungsi dan konsep struktur. Dalam hubungan sipil-militer ketika keduanya fungsi dari komponen militer maupun sipil harus seimbang dalam suatu Negara, karena ketika ada salah satu yang mendominasi atau tidak sesuai porsinya maka akan timbul banyak masalah. Dibuktikan pada masa orde baru dimana militer mendominasi dan ABRI punya dwifungsi, hal tersebut membuat rakyat merasa tertindas lalu kemudian pemerintahan pada saat itu digulingkan secara paksa lalu muncul reformasi. 2. Teori Peranan Wirutomo (1981 : 99 101) mengemukakan pendapat David Berry bahwa dalam peranan yang berhubungan dengan pekerjaan, seseorang diharapkan menjalankan

kewajiban-kewajibannya yang berhubungan dengan peranan yang dipegangnya. Peranan didefinisikan sebagai seperangkat harapan-harapan yang dikenakan kepada individu yang menempati kedudukan social tertentu. Peranan ditentukan oleh normanorma dalam masyarakat, maksudnya kita diwajibkan untuk melakukan hal-hal yang diharapkan masyarakat di dalam pekerjaan kita, di dalam keluarga dan di dalam peranan-peranan yang lain. Kaitannya dengan hubungan sipil-militer ini, diharapkan dari masing-masing pihak dari militer dan sipil hendaknya memang menjalankan peran sesuai dengan statusnya masing-masing. Selain itu diharapkan pula pihak sipil dan militer bias menjalankan tugas masing-masing sesuai dengan norma yang ada di dalam masyarakat, tidak ada tumpang tindih tugas, dan tidak pula salah satu mendominasi. Bekerjasama dalam penyelenggaraan negara.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

Penataan hubungan sipil-militer yang demokratis, harus melibatkan sipil dalam memikirkan dan merumuskan serta menentukan kebijakan di bidang pertahanan. Hubungan sipil-militer yang harmonis harus dibangun dalam kerangka demokrasi dan adanya saling percaya dan saling bekerja sama guna membangun Indonesia Baru. Seluruh komponen bangsa baik sipil maupun militer harus saling berdampingan dan saling menghormati dalam profesi masing-masing serta wadah demokrasi. Perbedaan sipil militer akan tidak relevan lagi dibicarakan oleh kedua belah pihak, apabila mereka masih saling curiga satu sama lain dan diharapkan pula pada masa yang akan datang tidak ada yang merasa lebih atau superior dalam pengabdian terhadap nusa dan bangsa.

Untuk

memperoleh

kejelasan

peran,

kontribusi

serta

tanggung

jawab

sipil-

militerdiperlukan keterbukaan dialog yang terus menurus untuk bersepakat bersama. Oleh karena itu para elit sipil dan militer harus kembali kepada pemihakan pada rakyat banyak sebagai upaya moral untuk mengatasi krisis nasioal yang dapat melanda suatu Negara.

B. Daftar Pustaka George Ritzer, Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Kencana Soejono, D. 1978. Penegakan Hukum dalam Sistim Pertahanan Sipil . Bandung: PT. Karya Nusantara. Tim Penyusun Lemhanas. 1999. Hubungan Sipil-Militer. Jakarta: Grasindo. http://id.ixarticle.com/articles/305502/ (diakses pada tanggal 19 Februari 2013, pukul 21.30 WIB) http://kaghoo.blogspot.com/2010/11/pengertian-peranan.html (diakses pada tanggal 19 Februari 2013, pukul 21.40 WIB)

You might also like