You are on page 1of 8

Potensi Kayu Apu (Pistia stratiotes L.

) Sebagai Agen Fitoremediasi Limbah Fenol


Muhamad Taufik Saputra, Ersyi Arini Valmelina Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Institut Teknologi Indonesia Jalan Raya Puspitek Serpong Tangerang Selatan, Telp: (021) 756 0545 e-mail: Thoviex_minerva@ymail.com , ersyiarinivalmelina@gmail.com ABSTRAK Fitoremediasi didefinisikan sebagai teknologi pembersih, penghilangan atau pengurangan polutan berbahaya, seperti logam berat, peptisida dan senyawa organik beracun dalam tanah atau air, dengan memanfaatkan tanaman. Tanaman yang umumnya digunakan untuk fitoremediasi adalah berasal dari golongan gulma di perairan, tanaman tersebut harus memiliki kemampuan menyerap senyawa yang menjadi polutan khususnya di perairan. Penelitian kali ini memanfaatkan tanaman kayu apu (Pistia stratiotes L) sebagai agen fitoremediator untuk mengurangi konsentrasi fenol. Penelitian dilakukan dalam reaktor batch yang terbuat dari kaca, yang dilengkapi dengan aerator untuk aliran udara dan berfungsi juga sebagai pengaduk. Fenol dilarutkan ke dalam reaktor yang berisi 40 L air, dengan konsentrasi fenol yang bervariasi dari 0 mg/L, 15 mg/L, 30 mg/L serta 45 mg/L. Tanaman kayu apu seberat 125 gram dimasukkan ke dalam larutan fenol. Perlakuan dilakukan dengan cara tanpa penambahan nutrisi dan dengan penambahan nutrisi. Pengamatan penurunan konsentrasi fenol dilakukan setiap 3 jam dan konsentrasinya diukur dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Hasil penelitian tanpa penambahan nutrisi menunjukkan bahwa penurunan konsentrasi fenol yang signifikan untuk konsentrasi awal 15 mg/l setelah 12 jam dengan pengurangan sebesar 46,45 % dan setelah 27 jam pengurangan konsentrasi fenol menjadi 83,3% .Untuk konsentrasi awal fenol 30 mg/l dan 45 mg/l, terjadi penurunan konsentrasi sebesar 40,73 dan 49,71% setelah 18 jam dan menjadi 83,2 serta 90% setelah 39 jam. Sedangkan untuk penambahan nutrisi penurunan konsentrasi fenol untuk 15 mg/L terjadi setelah 15 jam dengan pengurangan sebesar 42,97% dan setelah 42 jam pengurangan konsentrasi fenol menjadi 93,92% .Untuk konsentrasi fenol 30 dan 45 mg/L, terjadi penurunan konsentrasi masing-masing sebesar 24,44% dan 55,18% setelah 24 jam dan menjadi 80,85%, serta 91,49% setelah 42 jam. Kata kunci: fitoremediasi fenol, kayu apu (Pistia stratiotes L). Phytoremediation is defined as the cleaner technology, omission or reduction of harmful pollutants, such as heavy metals, peptisida and toxic organic compounds in the soil or water, utilizing plants. The plant is generally used for fitoremediasi is derived from the weeds in the waters, the plants should have the ability to absorb the pollutants, especially the compounds in the waters. Research this time utilizing plant of kayu apu (Pistia stratiotes l.) as a fitoremediator agent to reduce the concentration of phenol. Research carried out in a batch reactor made of glass, which comes with an aerator for airflow and serves also as a mixer. Phenol dissolved into the reactor which contains 40 L of water, with the concentration of phenol which vary from 0 mg/L, 15 mg/L, 30 mg/L as well as 45 mg/l. Plant weighing 125 grams of kayu apu is put into a solution of phenol. Treatment is carried out in a manner without the addition of nutrients and with the

addition of nutrients. A decrease in the concentration of phenol conducted observations every 3 hours and the concentration is measured using a spectrophotometer UV-Vis. Research results without the addition of nutrition shows that a significant decrease in the concentration of phenol to early concentration 15 mg/l after 12 hours with the reduction of 46,45% reduction and after 27 hours of concentration of phenol into 83,3%.For the initial concentration of phenol 30 mg/l and 45 mg/l, the decline of concentration and 40,73 49,71% after 18 hours and being as well as 90% after 83,2 39 hours. As for the addition of nutrients decreased concentration of phenol to 15 mg/L after 15 hours with the reduction of 42,97% and after 42 hours of phenol concentration reduction be 93,92%.For phenol concentration of 30 and 45 mg/L, there was a decrease in the concentration of each of 24,44% and 55,18% after 24 hours and be 80,85%, as well as 91,49% after 42 hours. Key word: Phytoremediation phenol, kayu apu (Pistia stratiotes L.)

Pendahuluan Semakin pesatnya perkembangan industri yang berpotensi menghasilkan berbagai jenis limbah, maka perlu dipelajari dan dikembangkan metode yang efektif untuk menanggulangi limbah tersebut agar tidak mencemari lingkungan. Salah satu penyebab utama pencemaran lingkungan di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, adalah banyaknya jenis limbah sebagai hasil dari berbagai industri baik industri kimia maupun industri barang jadi (manufacturing). Salah satu komponen limbah yang dihasilkan oleh industri kimia adalah fenol. Menurut Ahmed dan Hameed (1997) yang dikutip dari Sample dan Cain (1996), beberapa industri yang menghasilkan limbah fenol pada proses produksinya, antara lain adalah industri peleburan logam, industri plastik dan polimer, industri farmasi, industri cat, industri pengolahan kayu (kayu lapis), industri pestisida organik, dan industri pulp dan kertas. Fenol (C6H5OH) adalah senyawa yang sangat beracun, sulit didegradasi serta menyebabkan rasa dan bau pada air (Linsebigler, et.al., 1995). Batas konsentrasi fenol yang masih bisa diterima manusia adalah 0,002 mg/L dengan waktu kontak sepuluh jam per

hari. Fenol juga dapat mencemari rasa ikan jika kadarnya di air mencapai 0,1 1,0 ppm (Kirk and Othmer, 1982). Menurut Arisandi (2002), fenol terakumulasi secara tetap di lingkungan. Pembuangan limbah bahan ini secara terus menerus memungkinkan adanya akumulasi limbah, sehingga kadarnya potensial melampaui nilai ambang batas dan dapat membahayakan mahluk hidup. Fitoremediasi memiliki potensi untuk membantu penanganan polutan lingkungan beracun dan berbahaya bagi mahluk hidup. Fitoremediasi didefinisikan sebagai teknologi pembersih, penghilangan atau pengurangan polutan berbahaya, seperti logam berat, peptisida dan senyawa organik beracun dalam tanah atau air, dengan memanfaatkan tanaman (Rismana, 2001). Pada penelitian sebelumnya telah diketahui bermacammacam jenis tanaman yang berpotensi sebagai agen fitoremediasi, yaitu enceng gondok (Eichornia crassipes) yang dapat menjadi agen fitoremediasi sampai dengan konsentrasi fenol 100 ppm (Purwaningsih, dkk., 2008), carex (Carex brunnea Thunb) dapat memulihkan lahan tercemar hidrokarbon petroleum dengan proses fitoremediasi (Purwaningsih, 2009) dan ada juga

gulma air jenis lain yaitu kayu apu (Pistia stratiotes L) yang berpotensi sebagai agen fitoremediasi limbah fenol. Tumbuhan kayu apu merupakan tumbuhan air yang mengapung pada permukaan air. Kayu apu ini banyak ditemui pada daerah rawa atau sungai. Tumbuhan ini berakar serabut dan akar rimpang yang bergantungan dalam air dengan panjang 20-40 cm tumbuhan ini didominasi oleh warna daun yang hijau, cerah dengan tekstur tebal serta berambut halus menyerupai beludru. Kayu apu mempunyai akar menyerupai rambut yang tumbuh tepat di bawah roset daunnya. Perbanyakan kayu apu dilakukan dengan memotong batang kecil yang menjalar (Sari, 1999). Pada penelitian terdahulu (Ariefianto, 2003), mempelajari tentang pengaruh berat kayu apu terhadap penyerapan logam Zn oleh kayu apu (Pistia stratiotes, Linn) diketahui bahwa penyerapan Zn terbesar pada berat kayu apu 100 gram dengan konsentrasi optimum 10 ppm. Seperti halnya enceng gondok (Eichornia crassipes) yang mampu digunakan sebagai agen fitoremediasi logam berat dan senyawa organik (fenol), kayu apu (Pistia stratiotes, Linn) juga memungkinkan memiliki potensi sebagai agen fitoremediasi senyawa organik (fenol) dimana sebelumnya kayu apu (Pistia stratiotes, Linn) dapat digunakan sebagai agen fitoremediasi logam berat Zn. Tinjauan Pustaka Fenol dan banyak komponen fenolik sintetik merupakan komponen polutan umum pada lingkungan yang berasal dari karbonasi batu bara, tekstil, farmasi, industri gas, industri berbasis petroleum, pabrik kimia dan peptisida, pabrik penghasil tinta dan limbah rumah tangga . Selain itu senyawa fenol juga ditemukan pada kawasan rawa atau gambut. Air yang berwarna gelap pada

tanah gambut dan rawa menandakan adanya senyawa fenol pada air tersebut (Sudaryanto, 2004). Nilai ambang batas fenol untuk baku mutu air minum sebesar 0.001 ppm, mutu buangan industri sebesar 0,3 ppm. Berbagai cara telah dilakukan untuk menanggulangi limbah fenol, baik secara fisika , kimia, maupun biologi. Beberapa metoda pengolahan tersebut memiliki kelemahan , antara lain diperlukan media pengencer yang banyak, bahan kimia lain untuk mengolah, tambahan peralatan serta waktu yang lama jika digunakan mikroba untuk mendegradasi fenol. Dari beberapa penelitian terdahulu (OKeeffe et. al., 1987; Rismana, 2001; Aiyen, 2004), diperoleh informasi bahwa, beberapa tanaman mampu menjadi agen penyerap polutan. Teknik penanggulangan limbah dengan prinsip ini disebut fitoremediasi Beberapa keuntungan dari kegiatan fitoremediasi dibandingkan metoda lain telah dilaporkan (EPA,2000) yaitu : Mengembalikan struktur dan tekstur media tercemar ke keadaan semula, sumber energi utama berasal dari sinar matahari, biayanya rendah, dan potensi proses remediasi relatif cepat. US EPA (2001) telah meneliti bahwa waktu yang dibutuhkan tanaman untuk membersihkan polutan menggunakan fitoremediasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu: a. Tipe dan jumlah tanaman yang digunakan, b. Tipe dan jumlah zat kimia berbahaya yang ada, c. Luas area yang tercemar, dan d. Tipe air atau tanah dan kondisinya . Pada penelitian sebelumnya telah diketahui bermacam-macam jenis tanaman yang berpotensi sebagai agen fitoremediasi, yaitu enceng gondok (Eichornia crassipes) yang dapat menjadi agen fitoremediasi sampai dengan konsentrasi fenol 100 ppm (Purwaningsih, dkk., 2008), carex (Carex brunnea Thunb) dapat

memulihkan lahan tercemar hidrokarbon petroleum dengan proses fitoremediasi (Purwaningsih, 2009) dan ada juga gulma air jenis lain yaitu kayu apu (Pistia stratiotes L) yang berpotensi sebagai agen fitoremediasi limbah fenol. Dalam penelitian ini, digunakan Kayu Apu (Pistia stratiotes L) sebagai remediator. Kemampuan tumbuhnya luar biasa. Penelitian terdahulu (Ariefianto, 2003), mempelajari tentang pengaruh berat kayu apu terhadap penyerapan logam Zn oleh kayu apu (Pistia stratiotes, Linn). Seperti halnya enceng gondok (Eichornia crassipes) yang mampu digunakan sebagai agen fitoremediasi logam berat dan senyawa organik (fenol), kayu apu (Pistia stratiotes, Linn) juga memungkinkan memiliki potensi sebagai agen fitoremediasi senyawa organik (fenol), dimana penelitian dengan kayu apu dalam menyerap senyawa organik belum banyak dijumpai. Cara Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kayu apu yang diperoleh dari kolam ikan di daerah Ciseeng, Kabupaten Bogor dan fenol. Kayu apu berwarna hijau dan memiliki 10-16 helai daun. Kayu apu memiliki diameter tanaman 14-16 cm, dengan panjang daun sekitar 6-8 cm. Akar kayu apu berwarna coklat muda dan merupakan jenis akar serabut. Sebelum digunakan kayu apu dicuci dan dibersihkan dari kotoran yang melekat dan selanjutnya dimasukkan ke dalam sebuah wadah yang berisi air untuk diaklimatisasi selama 7 hari. Rangkaian alat yang digunakan seperti tertera pada Gambar 1 berikut.

Kayu apu

Reaktor batch Larutan fenol Aerator

Gambar 1. Susunan Alat Penelitian Selanjutnya setiap run percobaan digunakan kurang lebih 125gram kayu apu yang dimasukkan ke dalam reaktor. Semuanya ada 4 buah reaktor yang di run secara simultan dengan mevariasikan konsentrasi larutan fenol, masing-masing 0, 15, 30 dan 45 mg/l. Setiap interval waktu tertentu, sampel dianalisis dengan spektrofotometer UV pada panjang gelombang 269,5 nm untuk menentukan kadar fenol yang tersisa dalam reaktor. Pengambilan sampel dihentikan jika konsentrasi fenol dalam larutan relatif tetap. Sebagai variabel yang lain adalah penambahan nutrisi, pada media yang diremediasi.Sebagai nutrisi digunakan pupuk NPK sebanyak 1 mg/liter. Hasil dan Pembahasan Hasil penelitian fitoremediasi air tercemar fenol dengan kayu apu disajikan dalam beberapa gambar dan tabel berikut.. Gambar 2 menyajikan hubungan kosentrasi awal fenol terhadap pengurangan jumlah fenol dalam larutan dan tabel 1 menunjukkan laju remediasi fenol oleh kayu apu pada berbagai konsentrasi larutan fenol. Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa semakin lama waktu kontak maka konsentrasi fenol semakin berkurang. Pengaruh konsentrasi fenol terhadap kemampuan kayu apu menyerap fenol ditunjukkan pada Gambar 2 dapat dilihat bahwa semakin lama waktu kontak maka konsentrasi fenol akan semakin berkurang, kecuali pada blangko (konsentrasi fenol 0 ppm). Penurunan

konsentrasi yang signifikan untuk konsentrasi fenol awal 15 mg/L terjadi setelah 12 jam dengan pengurangan sebesar 46,45 % dan setelah 27 jam pengurangan konsentrasi fenol menjadi 83,2%. Untuk konsentrasi fenol 30 dan 45 mg/L, terjadi penurunan konsentrasi sebesar 40,73 dan 49,71% setelah 18 jam dan menjadi 83,2 serta 90% setelah 39 jam.

kayu apu dalam menyerap fenol. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramadhan dan Kholyda (2012) bahwa mikroba berperan dalam proses fitoremediasi. Sedangkan hal ini berbanding terbalik dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Purwaningsih, dkk. (2008), yang dilakukan dengan menggunakan tanaman eceng gondok dengan variabel konsentrasi 50 mg/L, 100 mg/L dan 150 mg/L, dimana pada konsentrasi 150 mg/L fenol memiliki tingkat toksisitas terhadap eceng gondok yang tinggi sehingga menyebabkan kemampuan remediasi enceng gondok terhadap fenol akan semakin berkurang dibandingkan dengan konsetrasi 50 mg/L dan 100 mg/L. Hal ini mungkin dikarenakan konsentrasi fenol yang digunakan pada penelitian Purwaningsih jauh lebih besar dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan kali ini, sehingga toksisitas fenol terhadap tanaman jauh lebih besar dan mempengaruhi proses remediasi. Dari hasil penelitian, terlihat bahwa laju remediasi fenol pada konsentrasi 45 mg/L, lebih tinggi dibandingkan dengan laju remediasi pada konsentrasi fenol di bawahnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian OKeeffe et al. (1987) yang menyatakan bahwa semakin besar konsentrasi fenol maka kecepatan remediasi akan lebih tinggi. Berdasarkan Tabel 1, dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi fenol, maka kecepatan remediasi oleh kayu apu akan semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dengan terjadinya penurunan konsentrasi fenol yang cukup tinggi pada konsentrasi fenol awal 45 mg/L, dibandingkan dengan penurunan konsentrasi fenol pada konsentrasi awal fenol 15 dan 30 mg/L. Konsentrasi fenol juga mempengaruhi kondisi fisik kayu apu. Ciri luar yang ditunjukkan sifat racun fenol adalah terjadinya perubahan warna daun yang

Gambar 2. Hubungan konsentrasi fenol terhadap waktu kontak tanpa penambahan nutrisi. Tabel 1. Laju remediasi fenol oleh kayu apu pada berbagai konsentrasi awal fenol tanpa penambahan nutrisi Konsentrasi (mg/L) 0 15 30 45 Laju Remediasi (mg/L.jam) 0,000 2,034 2,068 3,075

Dapat dilihat penurunan konsentrasi fenol lebih besar ditunjukkan pada konsentrasi fenol 45 mg/L, dibandingkan dengan konsentrasi fenol 15 dan 30 mg/L. Hal ini kemungkinan karena adanya peranan mikroba dalam mendegradasi fenol disetiap perlakuan, sehingga pada konsentrasi 45 mg/L penurunan konsentrasi fenol terlihat lebih tajam karena fenol telah terdegradasi terlebih dahulu sehingga memudahkan

semula hijau menjadi kekuningan, bagian ujung daun yang menjadi kering dan berwarna kehitaman, menyusut dan rapuhnya daun, akar yang semula berwarna coklat muda menjadi berwarna kehitaman dan rapuh (putus) dan bagian pangkal daun berwarna hitam. Penelitian ini dilanjutkan dengan menambahkan nutrisi, ke dalam larutan fenol pada berbagai konsentrasi. Hasil penelitian disajikan pada gambar 3 serta tabel 2. Dari gambar dan tabel tersebut terlihat bahwa perbandingan laju remediasi fenol oleh kayu apu dengan menambahkan nutrisi pada media terlihat perubahan yang signifikan. Dengan adanya nutrisi yang mengandung unsur nitrogen dan pospor dalam media, maka kayu apu mampu hidup lebih baik walau dalam habitat yang bersifat toksik.

Pada perlakuan penambahan nutrisi, kayu apu sudah dapat langsung menurunkan konsentrasi fenol, berbeda dengan perlakuan tanpa penambahan nutrisi yang memerlukan waktu adaptasi sebelum menurunkan konsentrasi fenol. Hal ini mungkin dikarenakan, pupuk NPK sudah dapat dimetabolisme dengan baik oleh kayu apu. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Purwaningsih, dkk. (2008), pada 24 jam pertama, penurunan konsentrasi fenol dengan penambahan nutrisi sama dengan penurunan konsentrasi fenol tanpa perlakuan. Hal ini dikarenakan pupuk NPK sebagai nutrisi yang diberikan belum dimetabolisme dengan baik oleh enceng gondok. Dari Tabel 2 terlihat bahwa semakin besar konsentrasi fenol, maka laju remediasi fenol oleh kayu apu akan semakin tinggi. Sama halnya seperti pada perlakuan tanpa penambahan nutrisi, laju remediasi tertinggi terjadi pada konsentrasi awal fenol 45 mg/L. Hal ini sesuai dengan penelitian Purwaningsih (2002), yang menyatakan adanya penambahan nutrisi memberikan pengaruh terhadap kemampuan fitoremediasi fenol. Pengaruh yang terlihat dengan adanya penambahan nutrisi bahwa semakin besar konsentrasi awal fenol, maka kecepatan remediasi fenol oleh enceng gondok akan semakin besar pula. Kondisi ini juga disebabkan adanya kemungkinan metabolisme fenol menjadi catechol atau benzoquinone. perlakuan tanpa penambahan nutrisi terjadi perubahan warna daun yang semula berwarna hijau menjadi kuning dan hijau kekuningan pada bagian ujung daun. Selain itu, ada juga daun yang membusuk serta rapuh. Sedangkan kondisi kayu apu untuk perlakuan dengan penambahan nutrisi, warna daun tetap hijau akan tetapi pada bagian ujung daun terlihat mulai mengering dan berwarna kehitaman. Perbedaan kondisi fisik

Gambar 3. Hubungan konsentrasi fenol dan waktu dengan penambahan nutrisi pada berbagai konsentrasi awal fenol Tabel 2. Laju remediasi fenol oleh kayu apu pada berbagai konsentrasi awal fenol dengan penambahan nutrisi Dengan Nutrisi Konsentrasi Laju Remediasi (mg/L) (mg/L.jam) 0 0,000 15 0,901 30 0,933 45 1,546

tersebut membuktikan bahwa dengan penambahan nutrisi sebanyak 1 mg/L kedalam larutan sampel dapat mempengaruhi pertumbuhan dan ketahanan hidup kayu apu. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih (2009) yang menyatakan bahwa pemberian pupuk NPK akan memberikan tambahan nutrisi bagi enceng gondok sehingga enceng gondok dapat tumbuh lebih baik dan membantu metabolisme tanaman sehingga mampu berkembang biak. Kesimpulan 1. Laju Kayu apu (Pistia stratiotes L.) dapat menurunkan konsentrasi fenol. Penurunan konsentrasi fenol tertinggi untuk perlakuan tanpa penambahan nutrisi sebesar 90% dengan waktu kontak selama 39 jam, sedangkan untuk penambahan nutrisi penurunan konsentrasi fenol tertinggi sebesar 93,92% dengan waktu kontak selama 42 jam. 2. Semakin tinggi konsentrasi fenol, maka laju remediasi akan meningkat. 3. Penambahan nutrisi berpengaruh terhadap kemampuan penyerapan fenol oleh kayu apu dan memberikan ketahanan hidup yang lebih lama bagi kayu apu. Ucapan Terima Kasih Kami menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan laporan ini, sangatlah sulit bagi kami untuk menyelesaikan laporan ini. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih kepada: 1. Ir. Is Sulistyati P., SU., PhD. dan Dr. Ir. Kudrat Sunandar, M.T., selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan kami dalam penyusunan laporan ini;

2. Orang tua dan keluarga kami yang telah memberikan bantuan dukungan material dan moral; 3. Sahabat yang telah banyak membantu kami dalam menyelesaikan laporan ini. Daftar Pustaka 1. Ahmed, S. dan Hameed, A. 1997. Biotreatment of Phenolic Waste Water from a Typical Pharmaceutical Plant, di dalam: Ahmed, N., Qureshi, F.M., Khan, O.Y., Industrial and Environmental Biotechnology. Aiyen. 2004. Ilmu Remediasi untuk Atasi pencemaran Tanah di Aceh dan Sumatra Utara, http://www.kompas.com/kompasceta k/0503/04/ilpeng/ 1592821.htm, 5 Mei 2012. Arisandi, Prigi. 2004. Limbah Aneka Kimia Musnahkan Kehidupan Biota Air, http://www.terranet.or.id/tulisandetil .php?id=1376, 4 Mei 2012. EPA. 2001. A Citizens Guide to Phytoremediation, http://www.cluin.org/download/cityz en/citphyto.pdf, 5 Mei 2012. Linsebigler, Amy L., et.al. (1995). Photocatalysis on TiO2 surface: Principles, mechanisms, and selected results, Chem Rev., 95, 735-758. OKeeffe, D.H., et.al. 1987. Uptake and Metabolism of Phenolic Compounds by The Water Hyacinth, di dalam: Saunders, J.A., KosakChanning, L., Conn, E.E., Recent Advances in Phytochemistry, Vol. 21, New york and London Plenium Press, New York. Purwaningsih, I. S. 2009. Pengaruh Penambahan Nutrisi Terhadap Efektifitas Fitoremediasi

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Menggunakan Tanaman Enceng Gondok (Eichhornia crassipes) Terhadap Limbah Orto-Klorofenol. Riau: Fakultas Teknik Kimia, Universitas Riau. 8. Purwaningsih, I. S., Evelyn,Wanda Mulfariana dan Yusmanely. 2008. Laju Uptake Fenol oleh Enceng Gondok (Eichhornia crassipes) pada Proses Fitoremediasi. Riau: Fakultas Teknik Kimia, Universitas Riau. Ramadhan, Adelia dan Kholida Hafni H. 2012. Pengaruh Penambahan Amoxicillin Pada Fitoremediasi Fenol Oleh Enceng Gondok (Eichornia crassipes). Serpong: Institut Teknologi Indonesia. (Dalam Tahap Penyusunan Laporan Penelitian).

9.

10. Sari, P. M. (1999). Studi Pemanfaatan Kayu Apu (Pistia stratiotes, L) untuk menurunkan COD, N dan P pada Air Limbah Pabrik Tahu, Tugas Akhir, Teknik Lingkungan-FTSP, ITS, Surabaya.

You might also like