You are on page 1of 338

PEMETAAN

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

DIREKTORAT JENDERAL INFORMASI DAN KOMUNIKASI PUBLIK KEMENTERIAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA

PEMETAAN

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Ismail Cawidu Nurlaili 1. Rosmiati 2. Lukman Hakim 3. Marulak Simangunsong 4. Enung Dahliawati 5. Fera Setia Nurana 6. Yudi Syahrial Design / Layouter

7. Dewi Farida Simatupang 8. Aditya Ranadireksa 9. Wasi Andono 10. Triani Setyowati 11. Rokayah 12. Sri Mulyani Suprawoto Nursodik Gunarjo : M. T. Hidayat

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

SAMBUTAN

pabila buku ini sampai di tangan pembaca, setidak-tidaknya upaya kami untuk mendokumentasikan hasil diskusi para ahli di bidang seni tradisi sebagian sudah sampai pada tujuan. Kami selaku Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, sampai saat ini sudah berusaha memberikan ruang dengan cara mementaskan seni tradisi komunikatif di berbagai tempat di Indonesia, baik di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua. Dalam setiap pementasan, antusiasme masyarakat untuk menonton seni tradisi masih sangat tinggi. Terbukti setiap pementasan selalu dipenuhi penonton sampai pertunjukan selesai. Namun apakah antusiasme penonton tersebut akan tetap bertahan dan langgeng? Kumpulan hasil diskusi ahli di bidang seni tradisi ini sengaja kami bukukan agar bisa memberikan informasi, dan siapa tahu justru menumbuhkan gairah untuk memberikan perhatian lebih terhadap seni tradisi, sehingga bisa tetap menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Buku ini tentunya tidak akan terwujud tanpa kontribusi bebe-rapa pihak. Untuk itu kami perlu menyampaikan terima kasih, utamanya kepada para narasumber Diskusi Pemetaan Media Tradisional yang Komunikatif di lima kota, yakni Solo (Jawa Tengah), Denpasar (Bali), Bukittinggi (Sumatera Barat), dan Mataram (Nusa Tenggara Barat).
i

Demikian juga kepada para seluruh peserta diskusi yang menunjukkan antusiasme yang sangat tinggi selama diskusi berlangsung. Tidak lupa kami sampaikan terima kasih kepada rekan-rekan di Monumen Pers Solo, kawan-kawan Dinas Infokom dan Humas serta Balai Monitoring yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Kerja keras kawan-kawan semua ikut menyukseskan pelaksanaan dikusi yang menjadi bahan penyusunan buku ini. Khusus rekan-rekan di Sekretariat dan Biro Umum Kementerian Komunikasi dan Informatika, terima kasih atas dukungan dalam pelaksanaan diskusi ahli. Tiada gading yang tak retak. Kritik dan saran demi perbaikan penerbitan buku selalu kami harapkan.

Jakarta, September 2011 Direktur Jenderal ender e al a Informasi dan Komunikasi Publik muni ni n ikasi s Pu

Freddy ddy y H. Tulung Tu

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

PENGANTAR

ndonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau, 485 suku bangsa dan 583 bahasa daerah. Kenyataan itu sungguh sangat fantastis. Dengan begitu beragamnya suku bangsa, bahasa, dan adat istiadat, setiap masyarakat memiliki keunikan tersendiri. Sebagaimana dinyatakan Louise Grenier (1998), setiap masyarakat memiliki kearifan lokal yang secara tradisional terus dipelihara dan dikembangkan untuk mempertahankan diri ketika menghadapi perubahan dan tantangan dari lingkungannya. Dalam kearifan lokal itu biasanya terdapat sistem informasi dasar yang memfasilitasi komunikasi dan pengambilan keputusan komunitas atau masyarakat. Sistem informasi tersebut umumnya bersifat dinamis karena dipengaruhi kreativitas internal maupun pembelajaran masyarakat terhadap pengetahuan eksternal yang disosialisasikan secara berkesinambungan dari satu generasi ke generasi berikutnya (Flavier et al. 1995: 479). Sejalan dengan perkembangan teknologi, tantangan terbesar adalah bagaimana membangun sistem komunikasi yang berkualitas dengan memadukan tiga aspek yang disebut Giddens dalam The Constitution of Society (1980) menjadi bagian tak terpisahkan dalam masyarakat saat ini, yaitu globalisasi, detradisionalisasi, dan social reexivity.
iii

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Globalisasi menghubungkan manusia di seluruh dunia pada setiap aspek kehidupan. Komunikasi dan transportasi telah meng-hubungkan manusia di mana pun ia berada. Telepon dan internet membuat orang bertemu tanpa susah payah bertatap muka. Detradisionalisasi bukan berarti hilangnya tradisi. Tradisi masih ada bahkan diciptakan, tetapi tradisi bukan lagi satu-satunya dasar pembuatan keputusan. Kalau orang menemukan bahwa konsultasi dengan tradisi tidak memuaskannya, ia dapat berpaling dan memakai pertimbangan dari sumber lain. Hal terakhir berkaitan dengan social reexivity merupakan pro-ses pengambilan keputusan. Manusia modern menghadapi banyak informasi, akan tetapi juga bebas menyeleksi informasi mana yang dibutuhkan. Arus (tepatnya: banjir) informasi memang membuat bingung, namun individu dapat menolak sebuah informasi semata-mata karena ia tidak suka atau tidak cocok. Inilah sebagian kenyataan yang dihadapi semua seni dan media tradisional di Indonesia saat ini. Menjadi tugas kita bersama untuk senantiasa berupaya meningkatkan kualitas pemanfaatan seni dan media tradisional agar bisa berpadu dengan perkembangan teknologi serta dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Media tradisional komunikatif diharapkan dapat mengambil peran dalam posisi ini. Dalam perkembangan sebelumnya peran media tradisional komunikatif demikian besar. Bagaimana perkembangan saat ini dan ke depan perlu pembahasan yang mendalam. Oleh karena itu, kami mencoba menghadirkan para pakar di bidang seni pertunjukan tradisional dalam merumuskan sinergi dan pemanfaatan media tradisional yang komunikatif. Kepada para pakar yang telah berkenan memberikan sumbangan pemikiran dalam bentuk tulisan serta wacana dalam diskusi kami sampaikan terima kasih. Buku ini sengaja kami hadirkan untuk memantik pemikiran baru guna lebih memberikan sumbangan terhadap pengembangan media tradisional yang komunikatif. Jakarta, September 2011 Suprawoto Editor
iv

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

DAFTAR ISI
SAMBUTAN ................................................................... PENGANTAR EDITOR ................................................................... DAFTAR ISI ........................................................................... PENDAHULUAN .......................................................................... Meningkatkan Peran Media Tradisional ........................... SINERGI SENI TRADISI DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI UNTUK PENDIDIKAN PUBLIK ....................... Prof. Dr. Musa Asyarie, anggota Dewan Pengawas TVRI Mencari Model Pertunjukan Seni Tradisi dengan Teknologi dan Komunikasi untuk Pendidikan Publik ........................... v vii ix 1 3 9 11

Prof. Endang Caturwati, MS, Pakar Pertunjukan dan Kajian Budaya STSI Bandung Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Diseminasi Informasi di Wilayah Jawa Barat ........................................................ 17 Prof. Dr. Sri Hastanto, S.Kar, Pakar Etnomusikologi ISI Surakarta Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Diseminasi Informasi di Wilayah Jawa Timur ........................................................

43

F. Hari Mulyatno, S.Kar, M.Hum, Pakar Bidang Akademis Seni Tari, Dosen ISI Surakarta Peran Seni Budaya Tradisional Kalimantan dalam Dimensi Informasi/Komunikasi Pembangunan ................... 55 Prof. Dr. Darsono, M.Sn. Pakar Ilmu Estetika Ketua LPPM Dosen ISI Surakarta Peran Seni tradisi Komunikatif dalam Diseminasi Informasi di Wilayah Jawa Tengah dan DI Jogjakarta ........................

71

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

MENGGUBAH SENI TRADISI DAN PERTUNJUKAN YANG KOMUNIKATIF UNTUK PERCERDASAN RAKYAT ................. Dr Ni Made Wiratini, SST, MA, Ahli Seni Tari, Dosen ISI Denpasar Mencerdaskan Rakyat dengan Seni Tradisi dan Pertunjukan Komunikatif .................................................. Dr I Nyoman Catra, SST, MA, Ahli Seni Pertunjukan, Dosen ISI Denpasar Seni Pertunjukan Populer sebagai Media Pencerdasan Rakyat: Potensi Tari Topeng dan Teater Bali .................................... Dr I Nyoman Suarka M Hum, Pakar Sastra, Dosen Sastra Universitas Udayana Aktivitas Pasantian dan Sastra Bali sebagai Media Pencerdasan Rakyat .............................................. I Nyoman Murtana, S Kar, M Hum, Dosen Kajian Budaya Universitas Udayana Pertunjukan Wayang Kulit Bali: Media Komunikasi Pencerdasan Rakyat ......................................................... I Nyoman Windha, S Kar, MA, Komposer, Ahli Seni Karawitan, Dosen ISI Denpasar Seni Musik Bali dan Gamelan Gong Kebyar sebagai Media Pencerdasan Rakyat .................................. MENGEMAS SENI TRADISI SUMATERA UNTUK MEDIA KOMUNIKASI SOSIAL ........................................... Prof. Dr. Daryusti, M.Hum, Ketua STSI Padang Panjang Ragam Kemasan Seni Tradisi Sumatera Barat dalam Komunikasi Sosial Rakyat dan Pemerintah ............. Sulaiman Juned, S.Sn., M.Sn, Dosen Jurusan Seni Teater STSI Padang Panjang Seni Tradisi Populer Aceh sebagai Media Komunikasi Sosial ................................................. Drs. Hajizar, M.Sn, Dosen Jurusan Seni Karawitan STSI Padang Panjang Penggunaan Seni Tradisi dalam Media Komunikasi Sosial di Sumatera Utara vi

91 93

107

123

135

145 159 161

181

....................

197

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Nirwana Murni, S.Kar., M.Pd, Dosen Jurusan Seni Tari STSI Padang Panjang Strategi Kemasan Seni Tradisi sebagai Media Komunikasi Sosial di Sumatera Barat ..................... Asril, Muchtar S.Kar., M.Hum, Dosen Jurusan Seni Karawitan STSI Padang Panjang Upacara Tabuik dan Tabot di Pesisir Barat Sumatra .......... MENGEMAS SENI TRADISI NUSA TENGGARA UNTUK MEDIA KOMUNIKASI SOSIAL ........................................ Kongso Sukoco, Ketua Dewan Kesenian Provinsi NTB Memfungsikan Teater Tradisi Amaq Abir sebagai Media Komunikasi Tradisional ............................. Mustakim Biawan, Mantan Kepala Taman Budaya NTB Seni Tradisi NTB dalam Proses Kreatif Menuju Media Komunikasi Sosial ...................................... Dr. Kadri M.Si, Pakar Komunikasi IAIN Mengemas Seni Tradisional Komunikatif NTB untuk Media Komunikasi Sosial ........................................

221

235 255 257

277

293

PENUTUP ...................................................................................... 305 Lestarikan Media Tradisi ..................................................... 307 Nasib Seni Tradisi Senjakala Sang Penenang Kalbu ............................................ 317

vii

PENDAHULUAN

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Meningkatkan Peran Media Tradisional

ndonesia memiliki keragaman budaya yang sangat luas. Dalam masing-masing sistem budaya tersebut terdapat pola kesenian, media kesenian, dan posisi seniman yang beragam. Seniman misalnya, ada yang profesional atau menjadikan seni sebagai profesi namun ada pula seniman yang memiliki profesi-profesi lain, seperti petani, nelayan, pedagang, guru dan pemuka adat. Keragaman itu juga mempengaruhi bentuk maupun isi. Oleh karena itu, seni tradisional tidak bisa dilihat hanya dari satu pendekatan atau hanya berdasar pada prinsip umum (universal) yang diberlakukan untuk semua. Untuk melihat makna dan fungsi suatu kesenian, harus dilakukan pendekatan sesuai dengan karakteristik masyarakat di mana kesenian dan tradisi itu hidup dan berkembang (Limbeng, 2009). Konsep media tradisional seringkali dipertukarkan dengan seni tradisi atau bahkan seni pertunjukan tradisional. Padahal, media komunikasi pada dasarnya merupakan sarana yang dipergunakan untuk memproduksi, mereproduksi mendistribusikan atau menyebarkan dan menyampaikan informasi (Suranto, 2005). Sementara seni tradisi jauh lebih luas dari media komunikasi, meskipun fakta menunjukkan bahwa sebagian seni tradisional bisa digunakan dan seringkali dikembangkan menjadi media komunikasi. Kesenian tradisional pada dasarnya memiliki pola atau pakem yang
3

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

membuat kesenian itu menjadi khas, berbeda dari kesenian jenis lainnya. Akan tetapi, pakem tersebut bukanlah suatu aturan mati, melainkan potensi yang dapat berkembang, berubah, dan bercampur satu sama lain. Walhasil, seni tradisi secara alami mampu mengakomodasi perubahan isi sesuai dengan kepentingan situasi. Oleh karena pemanfaatan seni tradisi sebagai sebuah media komunikasi akan sangat berkaitan dengan aspek (1) bentuk, pola, atau pakem, (2) daya atau potensi untuk berubah, dan (3) muatan-muatan atau pesan-pesan yang berisikan pendidikan kultural, spiritual, dan komentar sosial. Dalam tiga aspek itulah sesungguhnya terletak kapabilitas seni tradisi sebagai media ungkap atau ekspresi keindahan, yang pada gilirannya memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media komunikasi tradisional.

Menggali Potensi Dari inventarisasi yang telah disusun tahun 1978-1979 oleh Direktorat Penerangan Rakyat, Departemen Penerangan, terdapat 118 jenis kesenian tradisional yang telah dibuat deskripsi singkatnya dan kurang lebih 292 jenis yang diketahui namanya tanpa diketahui deskripsinya (Siswojo, 1984). Hanya saja sejak Departemen Penerangan dibubarkan, kini tidak ada lagi instansi pemerintah yang secara bersungguhsungguh menangani media tradisional ini. Akibatnya, pemberdayaan dan pengembangan kesenian-kesenian tradisional menjadi terabaikan. Realitas seperti itu sangat dirasakan oleh para kelompok seni pertunjukkan tradisional, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayahwilayah pedesaan. Inisiatif Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, sejak tahun 2008, untuk memberikan bantuan sosial bagi maestro seni tradisi dengan kriteria tertentu, mungkin bisa memberikan dukungan moral dan nansial bagi para seniman. Akan tetapi, berkesenian atau unjuk seni tradisi tidak hanya bergantung pada seniman semata, melainkan pada pesan moral atau nilai tradisi, pemilihan media dan khalayak yang menjadi penikmat atau peminat seni tradisi tersebut. Sebagai media komunikasi tradisional yang telah populer, seni pertunjukkan rakyat mampu menciptakan hubungan antara komunikan dan komunikator. Melalui pertunjukkan ini terdapat pertemuan langsung antara komunikan dan komunikator, dimana komunikator dapat mengungkapkan ide dan gagasannya kepada komunikan melalui cerita-ceri4

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

ta yang dibawakannya. Seperti pada beberapa pertunjukkan wayang, seorang dalang dapat menyebarluaskan gagasan dan pesan informasi dari pemerintah melalui cerita-cerita yang telah ada. Kendatii demikian, kita mengakui bahwa tidak semua seni pertunjukkan rakyat dapat menjadi media penyaluran pesan informasi secara efektif dan komunikatif. Mungkin hanya media tradisional yang verbal dan komunikatif-dialogis saja yang cocok dalam penyampaian pesan kepada khalayak. Seni tradisi yang lain, misalnya yang mengandalkan gerak atau nyanyian dalam batas tertentu sulit digunakan sebagai media penyampai informasi. Oleh karena itu dibutuhkan pemetaan seni tradisi yang bisa digunakan sebagai media penyampaian pesan dan media informasi yang komunikatif.

Melestarikan Media Tradisional Tantangan yang dihadapi dalam menghadirkan media tradisional adalah bagaimana menempatkannya di antara konstelasi proses mediasi masyarakat. Hal ini penting, karena keberadaan media tradisional tidak dapat dilepaskan dari masyarakat/komunitas budaya pendukungnya. Tanpa adanya dukungan warga, keberadaan media tradisional tidak ada artinya. Ciri dari setiap media tradisional adalah partisipasi warga, melalui keterlibatan sik atau psikis. Media tradisional tidak hanya sebagai obyek hiburan (spectacle) dalam fungsi pragmatis untuk kepentingan sesaat, tetapi dimaksudkan untuk memelihara keberadaan dan identitas suatu masyarakat. Budaya tradisional pada hakekatnya berfungsi dalam memelihara solidaritas suatu masyarakat budaya, karenanya bersifat eksklusif. Setiap masyarakat budaya memiliki mitos yang khas yang menjadi perekat kelompok/komunitas. Perlunya mengangkat suatu budaya tradisional sekaligus dengan media yang mengampunya, adalah untuk fungsi konservasi. Sementara untuk mengusung suatu media tradisional dalam dalam konteks lintas budaya, secara praktis hanya dapat dilakukan jika secara substansial budaya dan media dimaksud sudah mengalami transformasi sebagai spectacle. Dalam formatnya yang asli, media tradisional hanya relevan secara eksklusif bagi masyarakat budaya pendukungnya. Begitu pula pemanfaatan media tradisional sebagai wahana bagi isu-isu kontemporer bagi
5

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

suatu masyarakat budaya pendukungnya, akan relevan manakala media tersebut sudah tidak lagi sebagai sumber mitos budaya tertentu. Pertanyaan yang harus dijawab adalah, dalam konteks penyebaran informasi, sudahkah kesenian tradisional di Indonesia saat ini benarbenar diposisikan sebagai media, bukan sekadar sebagai spectacle? Pertanyaan ini sangat penting, karena dalam banyak kasus, sulit menempatkan dua fungsi (hiburan dan media penyebaran informasi) secara berimbang. Jika kesenian tradisional terlalu dipaksakan untuk berfungsi sebagai media penyebaran informasi aktual, maka ia akan kehilangan karakteristik utamanya sebagai sumber mitos bagi masyarakat. Sebaliknya, jika porsi hiburan terlalu banyak, maka fungsinya sebagai media penyebaran informasi dengan sendirinya akan menurun. Pertanyaan lain yang tak kalah penting adalah, sudahkah media tradisional mentransformasikan diri sebagai spectacle yang bisa dinikmati masyarakat di luar komunitas pendukungnya? Seperti diketahui, salah satu kendala dari media tradisional adalah sifatnya yang eksklusif dan lingkupnya yang lokal, sehingga cenderung hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu dalam jumlah yang terbatas. Karakteristik eksklusif semacam ini tentu kurang menguntungkan apabila ditinjau dari teori media, karena salah satu ciri dari media yang baik adalah kemampuannya menjangkau massa dalam jumlah besar. Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana mentrasformasikan media tradisional agar bisa menjadi general spectacle, tontonan yang bisa dinikmati dan diterima oleh masyarakat dalam jumlah lebih besar dan dalam wilayah teritorial yang lebih luas. Inovasi dalam hal ini bisa dilakukan, sepanjang tidak mendekonstruksi wujud dan karakter asli dari kesenian tradisional dimaksud.

Tentang Buku Ini Pemetaan media tradisonal yang komunikatif ini dilakukkan dengan tiga tahapan, pertama tahapan pengumpulan data awal, kedua tahapan diskusi ahli, ketiga tahapan penulisan laporan dan penyu-sunan buku. Secara keseluruhan kegiatan akan berlangsung mulai bulan Maret hingga Juni 2010. Kegiatan pertama atau pengumpulan data awal mencakup penjajagan dan penelusuran dokumen untuk mengidentikasi aspek dan unsur kebijakan komunikasi serta pemetaan potensi seni tradisional yang
6

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

ada di Indonesia. Untuk kebutuhan kegiatan ini, akan dibagi dalam tiga wilayah, yakni Indonesia Barat, Indonesia Tengah dan Indonesia Timur. Kedua, diskusi ahli adalah kegiatan yang dikemas dalam bentuk diskusi kelompok terbatas yang melibatkan para ahli, pengamat seni tradisional, pegiat seni tradisi, pemuka pendapat, serta unsur pemerintah daerah. Kegiatan ini diarahkan untuk mendapatkan gambaran opini dan ekspektasi stakeholders seni tradisi tentang potensi seni dan media komunikasi tradisional, pada masa dulu, sekarang dan yang akan agar dapat digunakan untuk kepentingan pendidikan publik dan komunikasi sosial. Tahapan ketiga penulisan laporan yang merupakan kompilasi dari hasil pemetaan, diskusi terbatas (focus group discussion), serta rekomendasi kegiatan diskusi. Hasil kompilasi juga akan dibukukan dengan kemasan ilmiah populer agar dapat dijadikan sebagai acuan pemanfaatan seni tradisional.*

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

SINERGI SENI TRADISI DENGAN TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI UNTUK PENDIDIKAN PUBLIK

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Prof.Dr. H. Musa Asyarie adalah seorang losof, cendikiawan, budayawan, sekaligus seorang pengusaha. Ia adalah pencetus gagasan Revolusi Kebudayaan Tanpa Kekerasan. Musa Asyarie dilahirkan tanggal 13 Desember 1951, di desa Pekajangan Pekalongan, sebuah desa yang kental dengan budaya santri yang entrepreneurship. Ia besar dalam lingkungan masyarakat pengusaha. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di SD Muhammadiyah Ambukembang, Ia melanjutkan ke SMPMuhammadiyah di Pekajangan, namun tidak sampai selesai. Ayahnya memindahkan Musa ke pondok pesantren Tremas Pacitan Jawa timur. Lingkungan pondok pesantren inilah mengubah sikap dan cara pandangnya dalam menapaki kehidupan. Setelah menyelesaikan pendidikan di lingkungan pondok pesantren, Musa menempuh pendidikan kesarjanaannya di Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta jurusan Filsafat. Musa menikah dengan Muslihah teman kuliah satu fakultasnya di IAIN Sunan Kalijaga. Sebagai Guru Besar Filsafat Islam UIN Yogyakarta, sekaligus birokrat dan pengusaha ikut mewarnai pemikirannya bahwa berpikir an sich adalah bebas sebebas-bebasnya. Berpikir yang salah bukan suatu kejahatan, tidak kriminal, sehingga tidak perlu ditakuti. Dalam disertasinya Konsep Manusia Sebagai Pembentuk Kebudayaan dalam Alquran yang dipertahankannya dalam ujian disertasi 26 Januari 1991, Musa Asyarie menolak pandangan dualisme (jasmani dan rohani) manusia yang selama ini mempengaruhi cara berpikir mayoritas umat Islam. Guru Besar Filsafat Islam, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta ini pernah menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika, bidang Sosial Budaya dan Peran Masyarakat, Kabinet Indonesia Bersatu. Saat ini menjadi anggota Dewan Pengawas Televisi Republik Indonesia. 10

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Mencari Model Pertunjukan Seni Tradisi dengan Teknologi dan Komunikasi untuk Pendidikan Publik
Prof. Dr. Musa Asyarie,
Anggota Dewan Pengawas TVRI

eni adalah karya keindahan. Bicara tentang keindahan, manusia juga merupakan bentuk keindahan karya agung Tuhan. Jika dilihat dari dalam pemikiran lsafat, seni adalah perwujudan kreatif nilai-nilai estetika. Kesenian berkaitan dengan semua aspek kehidupan masyarakat, baik itu seni suara, tari, patung , arsitektur, politik, dan bahkan seni agama. Banyak hal seni punya besar dalam kehidupan agama terutama jika bersentuhan dengan nilai rasa keindahan karena Tuhan juga memiliki nilai keindahan. Jika tuhan diabaikan dalam keindahan maka akan ada fenomena radikalisme. Sayangnya ada stagnasi kalau kita bicara seni agama. Ajaran agama seringkali mempengaruhi hal ini. Misalnya yang kita percayai bahwa dalam Islam melukis benda bernyawa itu tidak boleh. Boleh melukis tapi jangan sampai seperti hidup. Namun secara umum seni dan agama saling mendukung. Seni juga masuk ke seluruh kehidupan. Di dekat kekuasan juga ada seni, misalnya cerita 1001 malam, ada Abunawas yang bisa mengemas kritik dalam bentuk seni. Di sini kita bisa melihat bahwa kemasan seni itu bisa melakukan kritik. Saya kira berkaitan dengan seni tradisi dan soal teknologi ini adalah persoalan membangun model. Dalam perspektif kebudayaan nilai-ni11

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

lai itu merupakan wujud kesatuan dari (1) nilai logika, atau yang menyangkut benar dan salah, (2) berkaitan dengan pemikiran atau nilai etika yakni baik dan buruk, dan (3) berkaitan dengan perilaku atau nilai estika yaitu indah dan jelek. Seni pada dasarnya berkaitan dengan perasaan atau rasa atau emosi. Oleh karena itu, dalam setiap karya seni tidak bisa dilepaskan dari aspek nilai logika dan etika. Kebenaran dan kebaikan menyatu dalam karya estetika. Bahkan mendasarinya. Oleh karena itu, aspek nilai seni tak boleh dipisahkan dari logika etika dan estetika. Artinya semua bentuk seni ini jadi dasar bagaimana mengemas sosialisasi melalui seni. Dalam Kisah Baratayudha misalnya, dialog antara Puntadewa dengan Arjuna itu adalah dialog yang menarik bagaimana bisa memisahkan pikiran dan rasa. Jika diterapkan dalam kehidupan masa kini, juga masih relevan. Misalnya bagaimana dialog tentang pembangunan dan kemiskinan? Di situ ada dampak buruk, tapi jika kemanfaatan lebih banyak dari hal yang buruk, maka diambil kemaslahatan yang banyak. Jadi saya kira, dalam pandangan saya, seni tidak bisa dipisahkan dari logika dan etika. Kesenian tradisional juga menyampaikan etika dan nilai. Karya seni menyatu dengan etika dan logika. Pertautan itu membuat seni berperan dalam peradaban. Puncak pengalaman religius adalah estetis dalam dunia su. Dimensi estetik merupakan dimensi tertinggi dalam pengalaman religius. Komunikasi seni dalam masyarakat pada dasarnya hendak menyampaikan nilai kebenaran yang berkembang dalam dunia ilmu pengetahuan. Nilai kebaikan yang berkembang dalam adat istiadat, moral dan agama, lantas diekspresikan melalui karya keindahan. Sehingga pesan kebenaran dan kebaikan akan terasa indah untuk diresapi dan dihayati oleh publiknya. Di situ dapat dilihat bahwa seni punya publiknya sendiri. Kita ketahui bahwa logika berpikir orang itu punya tingkatan. Nanti kita bisa lihat bagai segmentasi masyarakat akan berkaitan dengan kemampuan untuk menerima seni ini. Sedangkan tradisi adalah kebiasaan atau adat istiadat yang dilestarikan secaraturun temurun dalam suatu kehidupan masyarakat tertentu. Oleh karena itu kita bisa menemukan tradisi masyarakat agraris, industri, pedalaman, kota, akademik, kelas bawah hingga tradisi masyarakat elit. Jika bicara tradisi, semua punya tradisi. Misalkan masyarakat aga12

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

raris dan kota. Bagaimana tradisi kota? Bagaimana tradisi masyarakat industri? Ada pula masyarakat kota, desa dan akademik. Memakai toga, itu misalnya bagian dari tradisi akademik. Di kampus dipertahankan, karena kalau tidak pakai toga terasa hambar meski kita tak tahu apa di balik toga itu. Permasalahan terjadi jika kesatuan nilai-nilai itu tidak tercermin lagi dalam karya estetika. Sehingga karya seni terlepas dari konteks nilai yang dianut oleh masyarakat. Dampaknya karya seni tidak bisa dimengerti secara utuh oleh masyarakatnya sendiri sehingga komunikasi karya estetika itu terputus dari masyarakatnya. Oleh karena itu, pembaharuan dalam karya seni tidak bisa dilepaskan dari pembaharuan nilai dalam kehidupan masyarakat. Setiap tradisi memiliki masing-masing karakter dan publiknya sendri dan tradisi pedalaman dan pesisiran misalnya untuk orang-orang pinggiran dan elit untuk kalangan keraton. Saya kira semua masyarakat punya tradisi. Tradisi ini hendak dipetakan dan sudah dipetakan bagaimana tradisi yang dipetakan oleh Kominfo harus punya nilai logika, etika dan estetika. Saya pernah ikut acaranya Kementerian Kominfo di Gunung Kidul. Ada pertunjukan wayang yang disiarkan oleh RRI dan TVRI. Kalau pejabat dari Kominfo sedang menyanyi di tengah acara limbukan wayang, itu bisa jadi saingannya Mus Mulyadi. Tapi satu hal yang menarik adalah bahwa sms yang masuk dari masyarakat cukup banyak. Jadi itu efektif sekali untuk menyampaikan informasi. Persoalannya sekarang adalah bagaimana tiga hal itu dan dikemas jadi satu kesatuan? Karena ketika masyarakat berubah, maka logika itu yang harus diubah dan dinaikkan sesuai dengan perubahan masyarakat. Demikian pula dengan estetika, ya harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat. Sementara etika diaktualisasikan sesuai dengan kebutuhan jaman. Setiap seni dikemas dengan baik agar tak menyinggung orang. Yang ingin saya katakan adalah bahwa perlu kreativitas untuk bisa mengemas agar sesuai dengan tradisi masyarakat. Sehingga diketahui mana yang komunikatif bagi masyarakat dan mana yang tidak komunikatif terkait pesan yang disampaikan. Saya kira perlu ada pembaruan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Perlu kreativitas atau seni tradisi akan ditinggalkan dan hanya akan dikenang. Tapi jika bisa dikemas dengan baik, seni tradisi mung13

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

kin juga bisa memacu perubahan sosial. Dalam masyarakat seperti ini, kemasan logikanya seperti apa? Dalam masyarakat pesisir itu logikanya seperti apa? Kreativitas juga termasuk bagaimana memasukkan etika dan logika dalam kemasan estetika? Tentu akan menyesuaikan dengan kondisi penontonnya. Saya kira dalang yang pentas di Mahkamah Konstitusi atau RRI, juga akan mengemas dengan logika yang berbeda. Itu tingkat etika dan logikanya jadi tinggi dan waktunya pun menyesuaikan dengan kondisi penontonnya. Ada yang cuma dua atau tiga jam, bukan lagi semalam suntuk. Di media konvergensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) faktor waktu juga penting. Ada kelas, ada tradisi yang ada. Hal penting kalau dilihat dalam sisi komunikasi adalah bicaralah pada masyarakat sesuai dengan kadar akalnya. Logikanya harus bertahap, ini yang perlu dilakukan secara kreatif. Kalau itu dikemas, peran seni akan luar biasa. Persoalannya kembali pada bagaimana karya estetik diberi ruh dengan logika dan etika. TIK adalah produk ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasis pada nilai logika. TIK lahir dari proses perkembangan masyarakat agraris menuju masyarakat industri dan membentuk masyarakat informasi. Dalam kaitan dengan karya estetika telah terjadi perkembangan pula estetika agraris berkembang dalam estetika industri menuju estetika informasi. Di sinilah kemudian muncul problem. Karena kalau gunakan TIK yang kini konvergen, maka ruangnya jadi beda. Selama ini seni dipanggungkan di tengah lapangan bola, misalnya. Namun ketika bergabung dengan TIK, maka bukan lagi menggunakan alun-alun tapi menggunakan ruang maya, dinamis dan tidak simpel. Persoalan mengemasnya juga menjadi tidak sederhana. Dalam masyarakat informasi, model pertunjukan seni tradisi, mau tidak mau, pasti berubah. Dalam era konvergensi TIK, pertunjukan seni tradisi tidak lagi berada dalam ruang sik yang dibatasi dinding atap dan kaca, akan tetapi bergerak dalam ruang maya yang berlangsung cepat dan dinamis. Bahkan bisa disebarluaskan dari suatu wilayah ke wilayah yang lainnya. Melalui benda kotak yang menyatukan dunia yang sarat pluralitas, konik, perubahan dan pembaharuan. Ini saya kira pekerjaan yang harus dilakukan oleh Kominfo. Bagaimana TIK jadi forum pengembangan kreatitas resmi yang
14

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

gabungkan etika dan estetika. Misalkan Wayang Suket Slamet Gundono, bisa ditampilkan berapa jam? Kalau dengan TIK jadi kemasan yang perlu kreativitas tinggi. Di TVRI, wayang kulit semalam suntuk tidak bisa ditampilkan begitu saja. Apalagi jamnya ketat dan menyesuaikan dengan layar dan waktu. Namun pengemasannya pun tak boleh lepas dari etika dan logika. Karena kalau lepas dari itu maka tak bisa membentuk peradaban. Pertunjukan seni tradisi harus mencari model yang dinamis sesuai perkembangan masyarakat, entah itu pada kategori masyarakat agraris, industri, dan informasi. Dalam masyarakat Indonesia, ketiga masyarakat itu tetap ada dan tidak saling menakan. Sehingga model pertunjukan seni tradisi seharusnya menyesuaikan dengan realitas masyarakatnya. Tetapi di Indonesia ketiga kategori masyarakat itu masih ada. Di Wonogiri model masyarakat seperti itu masih ada, di Solo juga ada. Mungkin kemasan itu yang akan menyesuaikan. Model itu menyesuaikan dengan kondisi masyarakat. Tentu waktunya akan berubah, semua memerlukan kemasan tersendiri. Dan untuk mengemas itu adalah pekerjaan luar biasa yang harus tetap menjaga bahwa karya seni tak boleh dilepaskan dari etika logika dan estetika. Jika ruangnya TIK, maka harus menjadi dasar penyesuaian. Hal itu harus dilakukan terus-menerus agar seni tetap hidup. Kecende-rungan sekarang ini, sebagian seni tradisi mulai ditinggalkan dengan pertumbuhan masyarakat lantaran tak semua seni tradisi bisa menjawab perubahan. Saya kira masyarakat perlu model yang tepat untuk pengemasan seni tradisi. *

15

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Prof. Dr. Endang Caturwati, S.ST. M.S dilahirkan di Bandung, 25 Desember 1956. Lulus S-3 Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Program Studi Pengkajian Seni Rupa dan Seni Pertunjukan, tahun 2006, merupakan doktor pertama di STSI Penulis (kedua dari kiri) bersama Tati Saleh penari JaiBandung dan Guru Besar bidang pongan, Gugum Gumbira pencita Jaipongan, dan Sistriarji Seni Pertunjukan Indonesia di Sutradara Longser STSI Jawa Barat (2007). Aktivitasnya sebagai pengajar mata kuliah Seni Pertunjukan Indonesia, Sejarah Tari, Literatur Tari, Sosiologi Seni, Kapita Selekta, Kajian Gender, dan Manajemen Objek Daya Tarik Wisata Daerah, baik, di STSI, UPI (Pariwisata), UNPAD, maupun beberapa perguruan tinggi lainnya, juga aktif menulis artikel di beberapa mass media, Jurna Ilmiahl dan buku. Buku-buku karyanya antara lain berjudul: Tata Rias Busana Tari Sunda; Tjetje Somantri Tokoh Pembaru Tari Sunda; Lokalitas, Gender dan Seni Pertunjukan di Jawa Barat, ed; Seni dalam Dilema Industri, Kariaan: Tari Anak-anak di Daerah Subang Jawa Barat, Pengantar Seni Pertunjukan Indonesia; Tari di Tatar Sunda; Gugum Gumbira dari Jaipongan ke Cha Cha, ed., Tari Anak-anak dan Permasalahannya, ed, Pesona Perempuan dalam Sastra dan Seni Pertunjukan, ed., dan Tradisi Sebagai Tumpuan Kreativitas Seni, ed. , Sinden Penari di Atas dan Di Balik Panggung. Jabatan yang pernah diemban antara lain, Kepala Pengabdian Masyarakat; Sek Hubungan Kelembagaan; dan Ka Humas, Protokoler dan Penerbitan. Sebagai Kepala Humas Endang mempromosikan Lembaganya tidak saja di tingkat regional, tetapi juga ke berbagai manca negara di antaranya Malaysia, Jepang, India, Thailand, China, Itali, Australia, dan Belanda. Kesibukan lainnya, selain sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STSI Bandung, masih disibukkan sebagai Pimpinan Redaksi Jurnal Ilmiah Seni dan Budaya Panggung STSI Bandung (terakreditasi), Pimpinan Penerbitan Sunan Ambu Press, Dewan Redaksi di beberapa Penerbitan Jurnal Ilmiah dan Artikel Ilmiah di Jawa Barat dan Jakarta, serta Organisasi Seni dan Budaya, dan Organisasi Sosial Masyarakat Sunda hingga masa kini. Beruntung, penulis pernah menjadi pelaku pada grup-grup seni tradisi yang dipimpin para tokoh seni terkenal, seperti Mang Koko (Ganda Mekar 1973-1978), Nano.S, (Gentra Madya (1973-1978), Dadang Sulaeman (Mayang Binekas 1973-1978), baik sebagai penari, pemain pada drama suara atau sebagai penabuh Degung. Antara lain Gending Karesmen dengan lakon Si Kabayan, Pahlawan Samudra dan Gondang Samagaha pada Grup Ganda Mekar: Degung pada Grup Mayang Binekas, Gentra Madya, Longser Grup STSI Bandung (2005-2008), dan beberapa seni pertunjukan tradisional lainnya.* 16

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Diseminasi Informasi di Wilayah Jawa Barat
Endang Caturwati,
Pakar Pertunjukan dan Kajian Budaya STSI Bandung

awa Barat dikenal dengan berbagai seni pertunjukan dengan berbagai bentuk serta fungsi, baik sebagai upacara ritual, hiburan, maupun penyajian estetis. Di berbagai daerah bermunculan proses reinterpretasi, seleksi, dan eksperimentasi seni, serta melahirkan berbagai genre seni pertunjukan yang terbukti mampu bertahan terhadap kuatnya arus perubahan dinamika sosial dan budaya masyarakat. Kondisi ini bisa diamati dari kehadiran berbagai genre seni pertunjukan, antara lain dengan munculnya berbagai seni pertunjukan yang didukung oleh para elite birokrat, serta berbagai pertunjukan yang tidak saja berkembang di kalangan rakyat, akan tetapi juga di kalangan masyarakat menak serta pengusaha dan petani kaya, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Bentuk seni tradisi yang banyak difungsikan masyarakat, selain untuk kepentingan ritual, hiburan, dan tontonan atau apresiasi estetis. Seiring dengan berjalannya waktu, berperan juga sebagai sarana pendidikan, penerangan, penyebaran agama, atau media politik, ajang gensi, ajang prestise, bahkan kini telah banyak yang menjadikan sebagai ajang ekonomi sebagai seni industri. Pada dasarnya seni pertunjukan memang mempunyai fungsi primer dan sekunder. Fungsi primer, dalam arti, bahwa seni pertunjukan memiliki tiga fungsi, yaitu (1) sebagai sarana upacara; (2) sebagai ungka17

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

pan pribadi; dan (3) sebagai presentasi estetis1. Adapun fungsi sekunder apabila seni pertunjukan bertujuan bukan untuk dinikmati, tetapi untuk kepentingan yang lain, atau multifungsi, antara lain sebagai pengikat kebersamaan, media komunikasi, interaksi, ajang gengsi, ajang bisnis dan mata pencaharian. Sebagai media komunikasi, seni pertunjukan memiliki progresivitas dalam berkembangnya ragam dan format sajian untuk mendekatkan diri dan berkomunikasi dengan masyarakat pendukungnya. Progresivitas seni pertunjukan sebagai media komunikasi dapat diamati dengan pelebaran wilayah pertunjukan. Artinya format sajian disesuaikan dengan fungsi dan kondisi, atau fungsi sosial yang belum tentu abadi dari waktu ke waktu2. Memang, pada dasarnya setiap seni pertunjukan yang otentik, adalah tumbuh sebagai ekspresi masyarakat pendukungnya, yang bisa memenuhi sebuah fungsi sosial, berarti nilai kualitatifnya tidaklah lenyap di dalam fungsinya3. Seni pertunjukan yang berkembang di Jawa Barat, pada kenyataannya banyak yang tumbuh sebagai ekspresi masyarakat, yang lebih komunikatif serta sarat dengan interaktif, terutama pada kesenian rakyat seperti sandiwara, longser, wayang golek, pantun, calung, reog, beluk, kemudian gending-gending kreasi baru atau wanda anyar karya Mang Koko, kemudian karya Nano dan garap tari dan Karawitan Jaipongan karya Gugum Gumbira, yang berkembang tidak saja di wilayah Priangan, tapi menyebar ke wilayah Jawa Barat, dan kemudian muncul para generasi penerus para koreogra muda dan komposer muda yang akhir-akhir ini semakin variatif coraknya, menunjukkan kecenderungan dalam melakukan reinterpretasi, seleksi dan eksperimentasi budaya berbasis pada tradisi seni pertunjukan lokal. Mereka melahirkan karya-kaya kreatif yang bersumber dari lokal 4 . Bahkan muncul berbagai pertunjukan yang merupakan langkahlangkah baru dalam konsep penciptaan, dengan berbagai medium,
1 2 3 4 R.M. Soedarsono, Metode Penelitian Seni Pertunjukan (Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001), 170. Anya Peter Royce, The Antropology of Dance (Bloomington and London: Indiana University Press, 1980), 57. Arnold Hauser, The Sociology of Art (Chicago and London: The University Of Chicago Press, 1985), 308. Bambang Pudjasworo, Dialektika Seni Pertunjukan Tradisi, Seminar Revitalisasi, Transformasi, dan Globalisasi Seni, Dewan Kesenian Kabupaten Sleman Yogyakarta, 2004, 3.

18

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

berbagai kolaborasi, baik antara etnik, atau negara lain yang disajikan tidak saja di gedung pertunjukan atau tempat pertunjukan seperti pendapa, amphyteater, atau berupa helaran (arak-arakan). Akan tetapi juga kini banyak pertunjukan yang tampil di tepi sungai, di sawah, di terminal, di halaman, di tempat sampah, hutan, candi, danau, dan tempat-tempat lain sesuai dengan konsep dari sang seniman, yang lebih banyak menghabiskan dana daripada memperoleh dana, serta hanya dalam waktu temporer (tidak berlaku ulang atau dipertunjukkan kembali di tempat yang sama). Dalam hal ini dapat dibedakan, seniman-seniman yang menyajikan karyanya, dalam rangka sesaat untuk ekspresi diri, tanpa memperhitungkan dana yang diperoleh, serta seniman-seniman seni pertunjukan yang memikirkan seni bukan hanya sekadar ekspresi, tetapi juga sebagai tuntutan ekonomi, yang harus memperhitungkan nilai uang. Akan tetapi dalam proses globalisasi, sebagian dari sistem lama yang berlaku dalam masyarakat perlu mendapatkan penafsiran kembali untuk mendukung tumbuh dan berkembangnya budaya baru. Dalam persaingan budaya dan kepentingan masyarakat semakin beragam, diperlukan suatu sintesa agar kelangsungan hidup seni pertunjukan etnik bisa tetap survive. Sebagaimana yang sering diungkapkan oleh para sesepuh Sunda, bahwa urang kudu bisa ngigel, ngigelkeun, jeung ngigeulan zaman (kita harus bisa menari, menarikan, dan merespon tarian zaman). Terlebih dengan zaman yang sarat dengan informasi, yang lebih menuntut hal-hal yang komunikatif, tanpa harus meninggalkan nilai-nilai etika dan estetika.

Kondisi Masa Lalu Seni pertunjukan, adalah bagian dari totalitas kehidupan, yang menjadi ciri manusia sebagai makhluk khusus, dan karena itu sekaligus merupakan wilayah kegiatan yang bisa merasuk pada penggalian nilainilai manusia yang tidak akan pernah habis. Berdasarkan dari hasil-hasil penelitian yang ada, di Jawa Barat selama masa Orde Baru berkuasa hingga Orde Reformasi mengisyaratkan, bahwa seni pertunjukan tradisional, merupakan sesuatu yang bukan hanya diartikan sebagai sekadar media hiburan atau alat komunikasi, melainkan sebagai ekspresi diri dan sumber inspirasi gerakan spriritual

19

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

sebuah komunitas lokal5. Pada tahun 1960-an, Jawa Barat dikenal dengan berbagai seni pertunjukan yang menjadi prestise para pejabat dan dapat berkembang di masyarakat, baik berupa seni tari, karawitan, drama, maupun arak-arakan atau helaran. Seni pertunjukan tersebut, tetap masih mempertahankan nilai-nilai edukatif, etika, dan estetika. Kendatipun di dalamnya bermuatan pesan-pesan agama, pendidikan, nilai-nilai moral, spriritual, informasi pemerintah berupa penanggulangan kesehatan dan pertanian, atau komentar sosial, tetap saja dikemas melalui simbol-simbol, baik verbal maupun non verbal secara etis dan estetis. Bentuk seni pertunjukan tersebut dapat dibedakan menjadi tiga wilayah, yaitu wilayah Priangan, wilayah Cirebon dan Indramayu, dan wilayah Pantai Utara atau dikenal dengan sebutan Pantura. Masingmasing wilayah memiliki ciri khas, sesuai dengan tradisi daerah para pendukungnya, yang bisa dilihat dari bentuk, gaya, bahasa, serta busana yang dikenakan. Seni tradisi yang berkembang di Jawa Barat, memang unik dan spesik.

1. Wilayah Priangan Di wilayah Priangan dikenal dengan berbagai pertunjukan tradisional yang di dalamnya bermuatan media dialog, lagu, gerak tari, bahkan pencak dan lawak. Masing-masing bentuk sajiannya memiliki kekhasan yang sangat unik, baik busana, cengkok lagu, gerak tari, iringan musik, properti, maupun stuktur pertunjukannya. Pertunjukan yang memiliki unsur bertutur, baik dialog ataupun syair lagu, antara lain sebagai berikut: 1) Sandiwara Sunda (Priangan) Sandiwara Sunda merupakan pertunjukan yang berkembang di kalangan rakyat dengan ceritera yang diambil dari ceritera Wayang, Roman (kehidupan sehari-hari), Babad, dan Ceritera Desik (atau kisah-kisah dari ceritera seribu satu malam seperti Sang Kuntala, Lampu Aladin). Adanya muatan pesan-pesan pendidikan sangat dominan dengan ditampilkannya tokoh, protagonis, antagonis dan tritagonis, serta suasana eros dan chaos, dengan tidak menggurui, tetapi sifatnya menghibur.
5 Jeninfer Linsay , Cultural Policy an Performing Arts in Soteasst Asia, dalam Biddragen, 151.

20

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Yang paling menarik, adalah setting layar dan kostum disesuaikan dengan tema. Sebagai contoh, ketika menampilkan ceritera Wayang, kostum, dialog, serta gerak, sebagaimana tokoh dan adegan dalam pewayangan. Begitu pula pada cerita Babad sebagaimana tokoh dalam ceritera sejarah Sangkuriang, atau sejarah Pajajaran, dan lain-lainnya. Media komunikasi antara pemain dengan penonton sangat dominan, dari dialog-dialog para pemain dan lagu-lagu yang dilantukan penyayi. Grup yang paling dikenal pada tahun 1960-an di kota Bandung, antara lain, Sri Murni dan Sri Mukti. 2) Wayang Golek (Jawa Barat) Wayang Golek merupakan pertunjukan teater boneka yang sangat popular di Jawa Barat. Wayang Golek memiliki lakonlakon galur dan carangan yang bersumber dari ceritera besar Ramayana dan Mahabrata. Bahasa yang digunakan dalah bahasa Sunda dan diringi gamelan Sunda berlaras Pelog dan Salendro, dengan vokal yang dibawakan oleh sinden. Pertunjukan wayang golek sangat menarik, karena pada tahun 1960-an pernah terjadi adanya peran dalang yang tergeser oleh sinden yang kemudian dikenal sebagai sinden legendaris Titim Fatimah, dan Upit Sarimanah yang bisa mengubah struktur pertunjukan menjadi dominan penampilan sinden dengan saweran uang. Perkembangan selanjutnya, kemudian beralih menjadi pertunjukan yang mandiri tanpa dalang dan wayang, sebagai Kliningan Bajidoran yang dominan menampilkan sinden yang juga menyanyi dan menari, tidak hanya satu atau dua orang sinden, tapi 10 hingga 20 orang sinden, yang kini masih berkembang di daerah Subang dan Karawang sebagai seni hiburan yang menjadi andalah daerahnya. Adapun Wayang Golek mulai bangkit kembali setelah kehadiran Dalang Asep Sunandar Sunarya sekitar tahun 1980-an dengan kemasan baru, terutama dengan munculnya tokoh si Cepot sebagai ikon dominan pada setiap pertunjukannya dengan dialog-dialog dan gerak yang lucu. Pertunjukan Wayang bahkan menjadi pertunjukan prestise di daerah-daerah tertentu dengan dalang-dalang favorit setempat, antara lain untuk daerah Cilangkap Sumedang Dalang Asep
21

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Sunandar Sunarya, daerah Buah Dua Sumedang Dalang Dede Amung, dan lain-lainnya. Pada musim pemilihan umum dan pencalonan Presiden, Wayang Golek sering dijadikan sebagai media kampanye yang pesan-pesannya dititipkan melalui dialog tokoh Wayang. 3) Gending Karesmen (Priangan) Gending Karesmen (Drama Suara) merupakan drama yang dialognya berupa syair yang dilagukan, yang terkadang diselingi dengan gerak tari. Lakon-lakon yang ditampilkan pada umumnya dari kisah sejarah atau legenda. Gending karesmen yang terkenal di Jawa Barat, antara lain lakon Pangeran Jayakarta, Si Kabayan, Nyai Dasimah, Gesan Ulun, Lutung Kasarung, Samagaha, Pahlawan Samudra, Raja Kecit, dengan sutradara seniman yang piawai dalam bidangnya, yaitu Koko Koswara. Ceritera yang dibawakan mengenai pesan moral dan sosial yang tentu saja bermuatan pendidikan. Gending Karesmen, pernah berjaya di tahun 1970-an, kendatipun awalnya diiringi dengan gamelan pelog-salendro yang lengkap, akan tetapi yang berkembang di masyarakat terutama pada perayaan-perayan HUT Proklamasi Indonesia, berupa drama suara minimalis dengan diiringi kecapi, kendang dan gong. 4) Degung (Priangan) Degung merupakan sajian karawitan (musik tradisi) dan vokal dengan diringi gamelan degung. Pada awalnya lagu-lagu Degung berupa instrumental yang sangat khas yang tabuhannya sangat unik, dinamakan Lagu-lagu Ageng, seperti Pajajaran, Bima Mobos, Galatik Manggut, Kinteul Buek, Beber Layar, Manintin, dan lain-lainnya. Perkembangan selajutnya degung berkembang menjadi lagu-lagu sawilet seperti Catrik, Kulu-kulu yang bias mengiringi berbagai lagu dengan syair yang sarat dengan pesan-pesan atau informasi mengenai pendidikan, cinta tanah air, cinta ibu, menabung, dan lain-lain. Degung sering ditanggap pada acaraacara resmi atau hajatan-hajatan pernikahan dan sunatan. Grup-grup yang terkenal pada tahun 1970-an adalah Parahiayangan pimpinan E Tjarmedi, Ganda Mekar pimpinan Mang
22

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Koko, Mayang Binekas pipmpinan Dadang Sulaeman, Gentra Madya pimpinan Nano. S, Dewi Permanik pimpinan Euis Komariah, Grup Ujang Suryana, Damas (Daya Mahasiswa Sunda), serta grup-grup di tingkat daerah, sekolah-sekolah dan Perguruan Tinggi. Yang tidak kalah penting, adalah Nano. S dengan grup Gentra Madyanya, membuat banyak lagu Degung dengan introduksi dan arasement tersendiri yang dapat menaikkan omset rekaman kasetnya, seperti lagu Kalangkang, Anjen, Cinta Ketok Magic, oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1984 dan 1986). Bahkan pada tahun 1980-an di luar Indonesia, pengembangan Degung dilakukan oleh perguruan tinggi Seni dan beberapa musisi, antara lain Lingkung Seni Pusaka Sunda University of California (Santra Cruz-USA); musisi Lou Harrison (USA) beserta para mahasiswanya; Rachel Swindell (London-Inggris); Paraguna (Jepang); Evergreen dan John Sidal (Kanada). 5) Longser (Bandung) Longser merupakan teater rakyat, selain menyajikan ceritera rakyat, unsur yang disukai oleh penonton adalah hadirnya bodoran atau lawakan serta para penari Ketuk Tilu Ci-keruhan dan Pencak Silat. Gerak tari yang sangat khas, adalah gerak uyeg pada Ketuk Tilu dengan sebutan khas keplok cendol yang dibawakan oleh para penari perempuan yang disebut ronggeng. Kesenian ini sebagai perkembangan dari pertunjukan Doger dan Ketuk Tilu yang mulai tidak disukai oleh masyarakat yang muncul sebagai teater keliling dengan penyajian di arena terbuka, kebun bambu, tanah lapang atau tempat-tempat yang berhalaman luas dengan penerangan oncor (obor) berkaki lima yang diletakkan di tengah arena pertunjukan. Sebagai pertunjukan rakyat Longser memiliki fungsi sosial, terutama karena setiap pertunjukannya, masyarakat dari berbagai tempat bertemu di satu tempat untuk bersama-sama menyaksikan cerminan dari kehidupan mereka sendiri. Konsep melodramatik mendasari ceriteta-ceritera tersebut karena selalu diakhiri dengan happy ending. Selain media komunikasi berupa dialog, gerak dan syair lagu yang diiringgi gamelan salendro. Yang sangat menarik adalah,
23

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

adanya dialog interaktif dengan penonton. Dalam hal ini untuk lebih menghidupkan suasana penonton diajak terlibat pada adegan-adegan tertentu. Selain dialog, sindiran yang termuat pada syair sinden pun merupakan pesan yang handal untuk media komunikasi, berupa pesan spriritual, maupun sosial. Lagu yang sangat komunikatif pada masyarakat Jawa Barat, adalah lagu Kulu-kulu Sadunya dan Es Lilin, karena syairnya sangat eksibel dapat diisi dengan berbagai muatan pesan dan informasi, sebagai berikut. Contoh syair Lagu

Kulu-Kulu Sadunya: Kulu-Kulu Sedunia

Dewi Sinta Dewa-dewa Rama Kasasarmah di alas roban, geuning Mikacinta-mikacinta ka sasama Hiji dasar kabangsaan Indonesia, Pancasila Jaya (Dewi Sinta Dewa-dewa Rama Yang kesasar di hutan rimba Mencitai-mencintai kepada sesama Satu dasar kebangsaaan Indonesia, Pancasila Jaya)
Lagu Senggot:

Lagu Es Lilin Es lilin mah ceuceu kalapa muda Dibantunmah ceceu ke Kota Bandung Jangan lupa ceceu dan anak muda Narkoba sangat merusak penerus bangsa
Longser yang paling dikenal pada zamannya tahun 1960-an adalah Longser Bang Tilil dan Longser Ateng Japar. Bang Tilil menguasai pertunjukan di daerah kota Bandung ( Stasiun, Alunalun, Tegal Lega, Cikawao, Cicadas dan wilayah kota Bandung), Sedangkan Longser Ateng Japar menguasai daerah Bandung Selatan, Pangalengan, Cililin, Banjaran, Soreang, serta daerah sekitarnya). 6) Beluk (Cianjur, Bandung, Bogor, Ciamis) Beluk, ialah satu jenis Tembang Sunda yang mempergu24

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

nakan nada-nada tinggi, dan biasa diselenggarakan pada waktu syukuran bayi berumur 40 hari. Beluk dibawakan oleh 4 orang dan dibantu seorang juru ilo dan diselenggarakan pada malam hari. Setiap penyanyi berusaha melantunkan suaranya yang paling nyaring, tinggi, melengking, serta enak didengar, sebab itulah yang menjadi ukuran terbaik. Sehubungan banyak para penyanyi Beluk yang tidak bisa membaca, maka naskah dibacakan oleh juru ilo, kemudian dinyanyikan oleh penyayi Beluk. Lagu yang dibawakan, antara lain menggunakan pupuh Asmarandana, Dangdanggula, Sinom, dan Kinanti. Antara pembaca naskah dan penyayi terkadang tidak sama misalnya Ada raja mengembara dinyanyikan menjadi Ada raja tidak bercelana. Hal ini supaya penonton ketawa dan kantuknya hilang, Perkembangan berikutnya Beluk sering ditanggap pada acara-acara syukuran di perkawinan, atau sebagai pertunjukan. Namun demikian semenjak populernya radio dan adanya TV, populasi Beluk kian hilang. Pada masa kini di Jawa Barat hanya tinggal beberapa kelompok grup yang masih hidup. 7) Gondang (Jawa Barat) Merupakan seni pertunjukan yang berkembang di masyarakat dengan tampilan drama suara mini. Adapun unsur pertunjukan yang mendukung, adalah properti lesung dan alu diiringi kacapi, kendang dan gong, tampilan para mojang (gadis) menumbuk padi dan para jajaka yang mencari cinta. Irama dentuman lesung para mojang yang membentuk irama atraktif, menjadikan para jejaka (pemuda) datang memburu. Tampilan para jajaka sangat kocak dan terjadi dialog yang terkadang romantis, kocak, dan segar. 8) Reog (Jawa Barat) Pertunjukan Reog, merupakan pertunjukan yang dimainkan oleh para laki-laki dengan membawa alat tepuk berupa dogdog yang dilitkan di bagian perutnya, mulai dari mulai ukuran besar hingga kecil, yang dibawakan oleh lima orang. Perkembangan berikutnya dilakukan pula oleh para pemain Reog perempuan, terutama dengan adanya festifal-festifal Reog bermunculan grupgrup yang berada di wilayah Jawa Barat. Penyajian pertunjukan
25

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Reog kolaborasi antara dialog, vocal dan gerak tari. Dialog yang dibahas seputar fenomena masyarakat, khususnya isu-isu penting di selingi dengan bodoran segar. Reog sering dijadikan sebagai media penerangan hal-hal yang penting oleh pemerintah. 9) Calung (Jawa Barat) Calung merupakan pertunjukan Sunda dengan menyajikan alat waditra (instrumen) bambu yang dijinjing oleh lima orang pemain, sebagai prototipe angklung, dengan nada pentatonis pelog atau salendro. Bedanya cara membunyikannya tidak digoyang seperti angklung, akan tetapi dipukul dengan tabuh stik bambu. Pertunjukan Calung diilhami dari pertunjukan Reog yang memadukan unsur-unsur dialog, tabuh, gerak, dan lagu. Lima orang pemain, masing-masing mempunyai peran sebagai melodi, pengisi ritme, bas, kenong, dan goong. Perkembangan Calung di Jawa Barat begitu pesat dengan adanya festival-festival Calung, baik di tingkat daerah, maupun perguruan tinggi, terutama Universitas Padjadjaran (UNPAD) merupakan lembaga yang mensosialisasikan pertunjukan Calung sebagai seni pertunjukan yang sarat hiburan dan informasi (penyuluhan). Perkembangan selanjutnya pada penyajiannya. Selain waditra Calung ada penambahan beberapa alat musik, seperti kosrek, kacapi, piul (biola) bahkan organ dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga bermunculan vokalis Calung terkenal seperti Adang Cengos dan Hendarsonya. (Darso). Perkembangan masa kini pertunjukan Angklung lebih dominan lagu-lagu vokalnya daripada dialognya. 10) Pantun (Ciamis, Bandung, Bogor) Seni Pantun, adalah seni yang berusia cukup tua. Dalam naskah Siksa Kandang Karesian, yang ditulis pada 1518 M, disebutkan babwa Pantun telah digunakan sejak zaman Langgalarang, Banyacatra, dan Siliwangi. Ceritera Pantun pun berkisar pada kisah-kisah Anggalarang, Banyacatra, dan Siliwangi. Perkembangan berkutnya lakon yang disajikan ditambah dengan naskah yang dianggap bernilai tinggi, antara lain ceritera Lutung Kasarung, Ciung Wanara, Mundinglayadikusumah, Sumur Bandung,
26

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Ratu Bungsu Kamajaya, dan lain-lainnya. Seni pantun disajikan oleh juru Pantun berupa ceritera tutur dengan diiringi oleh kacapi berlaras pelog, perkembangan selanjutnya banyak yang menggunakan laras salendro. Ada dua bentuk seni Pantun yang biasa disajikan oleh masyarakat Sunda, sebagai sajian hiburan dan acara ritual (ruwatan). Dalam sajian hiburan ceritera yang diambil dari salah satu ceritera pantun yang dikuasai Juru pantun atau atas permintaan penanggap, sedangkan untuk acara ruwatan, (tolak bala), ceritera yang ditampilkan sama dengan pertunjukan Wayang, seperti Batara Kala, Kama Salah Murwakala. Sebagai seni yang hidup di tatar Sunda sejak zaman Hindu sampai Islam dan menjadi anutan masyarakat, tak heran jiga ungkapan dan ajaran (petuah) ki juru Pantun, adalah merupakan pembauran kedua zaman tersebut. Selain terdapat kata isthigfar (islam), tertangkap juga ucapan ka dewata, ka pohaci, para karuhun, para buyut, nama raja, dan lain-lain. 11) Blantek (Parung Bogor) Blantek adalah sebutan dari pertunjukan Sandiwara Rakyat Parung Bogor, dengan iringan rebana, tahyan dan kecrek. Ceritera-ceritera yang dipertunjukkan antara lain: Bodoh pinter, Ketiban Duren, Salah Colek, Si Jampang Jago Betawi. Lagu-lagu yang dibawakannya adalah yang bernafaskan Islam, antara lain lagu Al Fiah, Aisyah, dan Maulana, sedangkan lagu-lagu, antara lain Bangket, Kicir-Kicir, dan Jali-jali, Lagu Karawangan, antara lain Oncom Lele, Balo-balo, dan Lagu Bogor, antara lain Paleredan, Rendeu, dan Sang Bango. Blantek merupakan perpaduan seni daerah Bogor, Karawang dan Jakarta. Para pelawak Topeng Blantek di Bogor yang dikenal masyarakat, Acung, Koyok, Kedung, Tompel. Selain jenis pertunjukan-pertunjukan yang telah diuraikan, di atas terdapat berbagai pertunjukan yang komunikatif, dalam arti menggunakan media komunikasi verbal, baik dialog dan lagu serta gerakan tari yang atraktif, yang pernah mengalami kejayaan pada masanya, antara lain adalah Ronggeng Gunung (Ciamis), Beluk, Ubrug, Reak, Surak Ibra, Angklung Bungko, Dogdog Lojor, dan Topeng Cisalak. Pertunjukan-petunjukan tersebut pada
27

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

masa kini masih berkembang, tapi secara frekuensi pertunjukannya semakin jarang tampil karena jarang ditanggap atau difungsikan oleh masyarakat pendukungnya.

2. Di Wilayah Cirebon dan Indramayu


1) Tarling Tarling merupakan pertunjukan yang menggunakan paduan gitar, suling, kendang dan gong, serta penyayi sinden (perempuan) atau penyayi laki-laki. Oleh karena instrumen yang mendominasi gitar dan suling, jadi nama pertunjukan diambil dari kedua alat tersebut. Perkembangan Tarling pada tahun 1960-an cukup pesat dengan lagu andalan Kiser (lakon yang dinyanyikan), seperti Saida-Saeni, Pegat Balen, Lahir Batin, juga lagu Banyu Mata, Mbrebes mili, Padang Wulan, Pasrah Mati Njaluk Urip. Grup Tarling yang paling terkenal di Cirebon pada tahun 1966, adalah grup Tarling Nada Budaya dan Putra Sangkala, dengan ciptaan lakon drama, seperti Marta Bakrun, Baridin, Saida Saini, dan lain-lain. 2) Sintren Sintren merupakan pertunjukan yang unik, dengan adanya properti kurungan ayam, yang pemainnya (perempuan) dimasukkan pada kurungan ayam dengan mata ditutup kain, serta mengenakan kacamata hitam. Sintren pada awalnya digunakan sebagai media dalam upacara tertentu, seperti ruwatan, nebus weteng, naeken suhunan, bersih desa, ngunjung. Beberapa makna yang mampu memberikan kekuatan, terdapat pada kesenian Sintren antara lain, makna mistis karena memiliki hubungan dengan perolehan magi simpatetis, yang tercermin lewat lagu-lagu yang disajikannya dengan monoton dan sederhana. Makna teatrikal Sintren yang digambarkan, ialah dengan tampilnya pawing, sintren dan kurungan, yang membuat adegan simultan. Musik pengiring Sintren, adalah buyung, lodong bambu, kecrek (dari sapu lidi), hihid (sekarang diganti oleh karet bahan sandal), dengan lagu Turun Sintren, Kembang Tarate, Simbar Pati, dan lain-lain,
28

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

yang dilantunkan oleh Sinden. Ditengah-tengah pertunjukan sering ditampilkan bodoran/lawakan, dengan dialog-dialog yang lucu tapi bermuatan sosial. 3) Topeng Cirebon Grup Penari Topeng dari desa Slangit Palimanan, lebih tepat apabila disebut grup keluarga. Bermula dari Pak Krian seorang dalang Topeng, diturunkan kepada anaknya Arja (1879-1954). Pada Arjalah Topeng Slangit mulai dikenal, selain lengkap koreogranya, gerakannya lebih indah dibanding daerah lain di Cirebon. Para penarinya juga dapat menabuh waditra. Arja pernah mendapat surat pengangkatan sebagai penari Kraton Cirebon, dan semua anak-anaknya bisa menari yang kemudian sebagai penerus generasi, seperti Sutia, Suparta, Suparti, Sujaya, Sujana, dan Keni. Kini yang masih melanjutkan Topeng Cirebon gaya Slangit tinggal Keni, (yang lainnya sudah almarhum) dan anakanak Keni (Yono, Nunung), serta Inu Kertapani anak Sujana. Pertunjukan Topeng Cirebon sarat dengan pendidikan dan budi pekerti, Penggunaan lima buah kedok (berwarna merah, jingga, kuning, gading, putih), yaitu Klana, Jingga Anom, Tumenggung, Rumiang, Pamindo, Panji, dengan tingkatan karakter, menggambarkan sifat manusia (lima nafsu). Topeng terdapat beberapa gaya sesuai dengan nama daerah di antaranya, Topeng Losari, Topeng Palimanan, Topeng Dermayon (Indramayu). Dalam pertunjukannya, dimulai dengan menampilkan tari Panji, dilanjutkan dengan Pamindo, Rumiang, Tumenggung, kemudian Klana. Di tengah- tengah pertunjukan biasanya diselingi dengan bodoran si Pentul atau Tembem dengan dialog yang segar dan lucu, berisi muatan pendidikan dan masalah sosial. 4) Wayang Kulit Cirebon dan Indramayu Wayang Kulit Cirebon dan Indramayu pada dasarnya tidak banyak bedanya dengan Wayang Kulit Jawa, Perbedaannya yang menonjol hanya pada bahasa yang digunakan. Hanya saja di daerah Indramayu, dikabarkan sejarahnya, Wayang sering dipakai sebagai media dakwah Wali Sunan Kalijaga atas perintah Sunan Gunung Jati. Salah satu fungsi pertunjukan Wayang di Indramayu
29

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

dan Cirebon, adalah sebagai sarana Ngaruat, yaitu membersihkan dari hal-hal yang dapat mencelakakan manusia. 5) Sandiwara Cirebon Sandiwara Cirebon di kalangan masyarakat Jawa Barat dikenak dengan sebutan Masres. Pada tahun 1970-an Sandiwara Cirebon mengalami masa kejayaannya, maka tidak heran, jika pada masa itu bermunculan grup-grup Sandiwara di setiap desa dan kecamatan. Sebagaimana juga Sandiwara Sunda, Sandiwara Cirebon juga menyajikan kesenian yang lebih menonjolkan unsur dialog dengan bahasa Cirebon. Adapun ceritera yang disajikan mengambil dari babad Cirebon, antara lain Nyi Mas Gandasari, Walangsungsang, Ki Gede Trusmi, Tandange Ki Bangus Rangin, dan Pusaka Golok Cabang. Pertunjukannya dilakukan pada malam hari, dengan strutur pertunjukan, sebagai berikut: musik pembuka (sebagai tatalu); adegan gimmick (surprise dengan trik panggung kembang api); tarian pembuka; pertunjukan lakon; penutup dengan musik dan epilog pimpinan sandiwara. 6) Sandiwara Indramayu Perkembangan Sandiwara di Indramayu tidak terlepas dari perkembangan Ketoprak dan Sandiwara Cirebon. Bedanya menggunakan bahasa Cirebon, serta banyak menggunakan spectacle-spectacle dan musik Dangdut Cerbon-Dermayon. Grup Sandiwara yang jadwal panggungnya penuh dan dikenal di masyarakat, adalah Grup Darma Saputra, Aneka Tunggal, Gema Nusantara, Sang Putra Darma, dan Panca Tunggal.

3. Di Wilayah Pantai Utara (Pantura) 1)Kliningan Bajidoran (Jaipongan Pantura) Kliningan Bajidoran, adalah sajian pertunjukan hiburan kalangenan dengan menampilkan sinden-penari dan sinden-penyanyi sebagai media pertunjukannya. Pertunjukan model ini merupakan perkembangan dari pertunjukan yang menyajikan unsur karawitan (musik tradisi) dengan menggunakan gamelan Pelog-Salendro, yang kemudian berkembang dengan adanya tarian hiburan, yang selanjutnya dikenal dengan nama Kliningan
30

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Bajidoran, yang mengutamakan adanya interaksi sinden-penari atau penyanyi dengan para pengibing. Pertunjukan ini sangat digemari oleh masyarakat, dan difungsikan sebagai tanggapan yang wajib disajikan pada hajatan masyarakat Subang, sebagai ajang prestise, ajang interaksi, ajang komunikasi, bahkan ajang ekonomi, baik bagi seniman, penanggap, dan para pedagang yang selalu hadir di manapun Bajidoran idolanya ditanggap. Di Subang tercatat pada tahun 1999 terdapat 158 grup. Namun demikian semenjak adanya musik Organ Tunggal dan Dangdut, populasi tersebut makin berkurang, terutama dengan munculnya grup-grup Kliningan Bajidoran yang dipimpin oleh para perempuan. 2)Topeng Banjet Karawang Topeng Banjet , adalah Tetater khas Karawang dengan cirri yang paling dominan pada gerak tari yang cenderung erotis, yang kemudian banyak dikenal dengan sebutan Goyang Karawang , yaitu goyang pinggul dan bokong yang aduhai. Selain tariannya yang erotis, juga lawakannya cenderung lugu, apa adanya. Ceritera yang dimainkanpun sangat akrab, merupakan persoalan masyarakat Karawang. Banjet identik dengan dengan Doger, yang menunjuk pada sebuah tontonan yang menampilkan ronggeng dan diringi gamelan yang dinamis. Sebagaimana umumnya teater rakyat, Banjet memiliki waktu pertunjukan yang hampir sama dengan tetaer lainnya (Longser, Sandiwara Sunda, Sandiwara Indramayu, Matres, dll). Pertujukannya dimulai sekitar pukul 21.00 hingga pukul 05.00 dini hari, dengan menggunakan iringan gamelan yang sederhana (mudah dibawa) serta bahasa Sunda yang dicampur dengan bahasa Indonesia dialog Betawi. Topeng Banjet hingga sekarang masih dipertunjukan oleh masyarakat Karawang terutama di desa-desa sebagai sarana pelengkap upacara hajat Bumi, atau upacara perputaran waktu, yaitu waktu musim turun nyambut (membajak sawah), nyambut cai (menjemput air dari irigasi), juga syukuran seperti hajat perkawinan, sunatan, dll. Banjet mempunyai sebaran yang cukup luas, antara lain ke Bekasi, Bogor Utara, Purwakarta, Subang, bahkan, Priangan.
31

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Kelompok Banjet sebagaimana juga pertunjukan Longser, dalam perjalanan sejarahnya (sebelum tahun 1960-an) aktif mengalami tradisi ngamen, dari daerah-ke daerah. Walaupun kemudian terjadi pasang-surut. Tokoh Banjet, antara lain Bang Seli (Tambun), bang Enjin (Subang), Bang Nasmi Pagaden Subang, Bang Jiun dan Mak Kinang (Cijantung), Mang Dalih (Cimanggis Bogor), Bang Kacrit (Bekasi) serta Bang Ali Syaban dan Bang Awing (Karawang). Sejalan dengan perkembangan zaman Kelompok yang bertahan dan cukup popular, antara lain Kelompok Topeng Banjet Asmu atau Pendul (sekarang Pendul Putra), Dasim menjadi Topeng Banjet Reman, Topeng Banjet Tinggal menjadi Topeng Banjet Baskom, Topeng Banjet Sapar menjadi Topeng Banjet Alisyaban (sekarang menjadi dua, yakni Kelompok Ijem dan Askin)

Kondisi Masa Sekarang Pada era komunikasi yang serba canggih, masyarakat Jawa Barat dihadapkan pada banyak pilihan. Faktor-faktor yang terjadi didasari pertimbangan, dalam menentukan pilihan, di antaranya: selera, status, prestise, dan sebagainya. Dalam hal ini, masih banyak seni pertunjukan lokal yang hanya dipandang sebelah mata oleh masyarakat yang menyebut dirinya sebagai masyarakat modern. Tidak dapat dimungkiri, dalam era globalisasi, seni pertunjukan tradisional di Jawa Barat banyak mengalami perubahan. Sebagian di antaranya ada yang berubah fungsinya, sementara yang lain mengalami perubahan bentuk, atau bahkan orientasi nilai budaya. Bahkan banyak yang hilang seiring dengan bergulirnya zaman. Namun demikian beberapa seni pertunjukan yang hingga kini masih berkembang dan difungsikan oleh masyarakat pendukungnya, bahkan dijadikan ajang prestise, adalah, sebagai berikut:
1) Wayang Golek, Wayang Golek masih difungsikan di masyarakat, kendatipun secara frekuensi pertunjukannya tidak sebanyak pada tahun 1960an dan tahun 1990-an pada masa Dalang Asep Sunandar Sunarya, Ade Kosasih (alm), serta Dede Amung. Kondisi diakibatkan berbagai faktor, terutama juga tarif yang tinggi atau terlalu mahal.
32

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Untuk para dalang-dalang kahot, seperti Asep Sunandar Sunarya, dan Dede Amung (untuk dalang Asep Sunandar Sunarya berkisar Rp 50 juta rupiah, dan Dede Amung berkisar Rp 40 juta rupiah). Pada masa kini masyarakat perkotaan dan perdesaan sebagaian besar berpikir praktis dan ekonomis, daripada Rp 50 juta hanya untuk sebuah pertunjukan Wayang Golek, lebih memilih untuk menambah membeli mobil atau ibadah Haji, dll. Hanya orang-orang yang berduit serta beberapa kelompok organisasi parpol (sebagai ajang kampanye), dan lembaga-lembaga tertentu yang masih mampu menanggap dalang-dalang kahot. Akan tetapi dengan munculnya para dalang muda seperti Hedi Riskonda, Asep Koswara Dede Amung, Wawan Dede Amung Sutarsa, Dadan Sunandar Sunarya (putra Asep Sunandar Sunarya), serta Deden Sunandar Kosasih (putra Ade Kosasih Sunandar Sunarya) yang tarifnya berkisar Rp 20 juta (dalam kota), Wayang Golek dengan dalang-dalang muda ini masih bertahan digunakan untuk masyarakat-masyarakat tertentu. 2) Longser (Bandung) Adapun Longser yang masih bertahan, antara lain adalah, di daerah Bandung selatan pimpinan putra Ateng Japar, Longserlongser yang berkembang pada masa kini adalah, Longser Antar Pulau yang para pemainnya para alumni STSI Bandung, serta Longser Sasagon campuran Alumni STSI Bandung yang melahirkan artis-artis yang sering manggung di TV seperti Sule, Rina, Argo, Ki Daus dll. 3)Teater Sunda Kiwari (Bandung) Kelompok Teater yang menggunakan bahasa Sunda,didirikan tahun 1975 dengan koordinator Hidayat Suryalaga. Ceritera yang ditampilkan naskah karya Saini KM, Wahyu Wibisana, Yosep Iskandar yang diterjemahkan oleh Eti RS ke dalam bahasa Sunda. Stuktur pertunjukan sebagaimana pertunjukan Teater berbahasa Sunda lainnya. 4) Calung dan Reog Adapun seni Calung dan Reog, pada masa kini mulai kem33

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

bali digalakkan dengan cara diselenggarakannya ajang festival antar daerah se Jawa Barat yang diikuti oleh Grup Reog laki-laki dan Grup Reog Perempuan Calung Remaja. Grup Reog Gembol Perempuan dari Kota Bandung yang mendapat juara, sering mendapat tawaran manggung pada acara-acara pesta rakyat. Selain seni-seni tradisi, bermunculan pula seni-seni baru, pengembangan dari seni tradisi yang sifatnya menghibur, antara lain: 5) Glamor Glamor, asal kata dari, gerak, lagu, dan humor. Tampilannya sungguh memukau karena dialognya yang kocak, diiringi tampilan lagu-lagu daerah Sunda, Batak, Minang, Jawa, dll, yang dikolaborasikan dengan lagu pop Indonesia dan Barat, Dangdut, Keroncong, serta geraknya tarinya yang membuat geli serta dialog plesetan yang membuat suasana segar. Penyajiannya diringi kecapi elektrik, biola, kendang dan gong, bertangga nada diatonis, salendro dan pelog dengan pemain enam orang, dan pemusik empat orang. Glamor berdomisili di Kota Bandung dengan pimpinan Atang Warsita, di Jalan Buah Batu Bandung. Pada acara kampanye parpol, Glamor sering diminta untuk manggung keliling daerah dengan tarif lokal berkisar Rp 10 - 15 juta. 6) Jenaka Sunda Grup Jenaka Sunda Kanca Panglima, merupakan kelompok seni pertunjukan yang bergerak di bidang seni komedi, dengan menitikberatkan pada garap vokal tradisi Sunda dan dilengkapi dengan dengan garap vokal kekinian. Keunikan grup ini adalah pada vokal yang dijanyikan oleh Tarjo yang bernada tinggi, mengelu-ngelu sebagai duplikasi kesenian Beluk yang hampir punah (karena salah satu vokalisnya (mang Ukok) yang telah almarhum), serta gerak dan mimik ekspresi muka yang lucu dari para pemainnya membuat para penonton terhibur. Grup Jenaka Sunda dimainkan oleh lima orang pemain serta 3 orang pemain musik kacapi, kendang dan gong, dengan memasang tarip lokal berkisar Rp 10 juta. Grup Jenaka Sunda Panglima beralamat di Bandung pimpinan Lili Suparli, di Komplek Panyileukan Bandung.
34

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Adapun di wilayah Pantura hingga saat ini seni pertunjukan yang masih eksis antara lain: 1) Kliningan Bajidoran atau Jaipongan Pantura Pertunjukan model ini di daerah Subang dan Karawang masih menjadi primadona. Bahkan dengan munculnya grup-grup yang dipimpin oleh perempuan, kini secara populasi lebih banyak grup yang dipimpin oleh perempuan yang banyak manggung daripada yang dipimpi laki-laki, antara lain Kliningan Bajidoran di daerah Subang, Grup Giler Kameumeut, Ati Grup, Cineur Grup, Cabe Rawit, Cicih Cangkurileung, Ipah Gebot, Titin Dongkrak, Linda Grup, dan Euis Oray. Untuk daerah Karawang Suwanda Grup, Namin Grup, dan Euis Dongkrak. 2) Topeng Banjet Topeng Banjet yang masih bertahan pada masa kini, adalah Kelompok Ijem dan Askin, itupun hanya ditanggap pada hajatanhajatan perkawinan di kampung-kampung, serta lembaga-lembaga seni dan budaya sebagai apresiasi Seni masyarakat.

Budaya Lokal dan Tantangan Masa Depan Barangkali bisa dijadikan referensi, di beberapa negara maju seperti Jepang, selain industrinya terdepan dibandingkan dengan negaranegara lain, ternyata penghargaan masyarakat terhadap seni pertunjukan tradisionalnya (teater tradisional) Kabuki, dapat diacungi jempol. Selain Kabuki, seni sastra serta seni lukisnya pun maju. Begitu pula nilai-nilai etika yang masih sangat dijunjung tinggi. Selain Jepang, negara yang masih menjujung tinggi budayanya antara lain adalah China. China dikenal memiliki berbagai Gedung Seni Pertunjukan yang representatif yang ditangani secara profesional dengan melibatkan 200 orang seniman, baik berupa seni pertunjukan Opera, juga seni Pertunjukan Akrobatik dengan kolaborasi teknologi canggih. Selain dikenal dengan peninggalan budaya, seni pertunjukan dan bangunan-bangunan bersejarah, China pun dikenal dengan ramu-ramuan pengobatan tradisional. Dan yang paling dikenal dunia, serta dapat di temui di belahan dunia manapun, adalah makanan tradisional khas China. Malaysia, memiliki gedung Seni Pertunjukan yang modern lengkap
35

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

dengan panggung sistem hidrolik (lighting, artistik, dll), dengan seniman tari, musik, dan seniman lainnya, sekitar 250 orang. Pertunjukan pun disajikan secara periodik, baik pada festival-festival; lomba-lomba balap mobil, sepeda, dll; TV-TV Swasta dan Pemerintah; Wisuda perguruan tinggi yang wajib diiringi gamelan, serta radio-radio yang menyiarkan musik tradisional (di antaranya juga Keroncong Indonesia). Bahkan di Malyasia, dalam arena balap sepeda, selain digelar pertunjukan budaya Malaysia juga digelar pertunjukan Indonesia hampir di setiap antar Kota, seperti tari Kuda Lumping, tari Piring, tari Rantak Minang, serta pertunjukan Angklung, yang dikunjungi masyarakat pewisata baik negara asal, maupun mancanegara. Lambat-laun dunia mengakui, bahwa penyajian seni pertunjukan tersebut, adalah milik negara Malaysia, karena di negara asalnya Indonesia jarang ditemui dalam event/event terbuka. Amerika Serikat sebagai negara adikuasa, ternyata masyarakatnya sangat menghargai musik rakyat, sastra, dan produk kesenian rakyat lainnya. Demikian pula dengan Jerman, Inggris, dan Perancis, selain mengedepankan teknologi juga tidak mengesampingkan seni pertunjukan milik negaranya. Masyarakat Indonesia, terutama Jawa Barat agaknya justru menjauhi seni tradisi, dan cenderung mengedepankan teknologi dan ekonomi kemasan yang baru (yang sebelumnya tidak ada). Atas dasar uraian yang telah dipaparkan, akhirya dapat disimpulkan, bahwa tantangan masa depan seni pertunjukan tradisional dapat dipilah menjadi dua, yaitu : (1) Sumber Daya Manusia (SDM seniman yang kreatif), serta (2) Motivasi berbagai pihak terkait untuk memberdayakannya (memfungsikan). Kebijakan pemerintah dalam menumbuhkembangkan seni pertunjukan tradisional sebagai kekuatan lokal, hendaknya bersifat simbiotis. Begitu pula program-program konservasi, pengembangan dan pembinaan seni perunjukan tradisional, haruslah bersifat komprehensif dan berkesinambungan. Bukan hanya bersifat kesementaraan dengan hanya berpedoman SPJ, atau menghabiskan dana proyek daripada hangus. Tidak adanya ruang 6 publik yang dapat digunakan sebagai ajang kreativitas para seniman, serta mensosialisasikan dengan dana yang murah , merupakan salah satu kendala untuk berkembangnya seni tradisi di Jawa Barat. Padahal kesenian yang paling lokal, jika benar-benar merupakan ekspresi artistik dan mengungkapkan kedalaman naluri manusia, akan memiliki daya tarik yang universal.
6 Ruang, tidak berarti hanya sekadar tempat, tetapi juga aktivitas-aktivitas seni pertunjukan.

36

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Terlepas dari itu semua kini diperlukan bukan hanya melihat satu persatu, atau ruang-ruang yang terpisah, akan tetapi merupakan tanggungjawab kita semua. Kita perlu memiliki kesadaran global, yakni pemahamam (pengakuaan, kepercayaan) terhadap kesalinghubungan semua pihak yang terkait, tanpa sekat-sekat ruang komunikasi. Semua tersebut di atas dapat terwujud apabila ada kerjasama teks dan konteks, serta adanya Ruang bagi seniman dan karya seni pertunjukan lokal. Semua lokal merupakan bagian dari global, dan sebaliknya dunia yang berupa bola (globe) menuntut kepedulian lokal-lokal. Kerjasama yang dimaksud, secara teks dan konteks, antara lain sebagai berikut. 1. Kerjasama semua pihak antara pemerintah, pihak swasta, dan lembaga-lembaga terkait, serta masyarakat; 2. Kebijakan Pemerintah untuk menyusun Perda, khususnya dengan makin banyaknya mall, supermaket, dan hotel berbintang, diwajibkan adanya ruang, selain menyajikan makanan tradisional, interior tradisional, kerajinan tradisional, juga pertunjukan tradisional, baik yang mewakili daerah khususnya, Indonesia pada umumnya; 3. Adanya sinergi, khususnya program-program konservasi, pengembangan, serta pembinaan seni dan budaya, dari lembaga terkait, sesuai dengan kebutuhan di lapangan; 4. Kurikulum yang sinergis, khususnya materi terapan untuk kepentingan konservasi budaya serta kepentingan pengembangan, dan pembinaan budaya /kepentingan masyarakat (STSI, STISI, UPI-Jurusan Sendratasik UPI, Program studi Pariwisata, Sekolah-sekolah Pariwisata, UNPAD program studi Pariwisata dan Budaya) ; 5. Kurikulum Muatan Lokal (Seni) di sekolah-sekolah yang disosialisasikan secara menyeluruh; 6. Penulisan buku-buku serta penelitian seni tradisi yang didanai khusus oleh lembaga-lembaga terkait, 7. Diadakannya berbagai Festival Seni Tradisi oleh lembaga-lembaga terkait; 8. Pembuatan lm dokumenter sebagai arsip kekayaan daerah; 9. Difungsikan oleh masyarakat, atau pihak-pihak terkait dengan dipertunjukkannya pada acara-acara penting di berbagai event,
37

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

terutama acara-acara penting, baik di daerah regiaonal, maupun nasional. 10. Dibuatnya undang-undang dan didanai khusus, setiap lembaga pemerintah atau swasta untuk mempertunjukkan seni tradisi minimal 1 tahun 2 kali pertunjukan.

Penutup Dengan demikian, apabila semua itu telah terwujud, berarti masyarakat Jawa Barat atau lembaga-lembaga terkait telah memahami arti dari pelestarian dan pengembangan budaya dengan makna yang sesungguhnya. Pelestarian seni tradisi sebagai warisan budaya bangsa yang bukan hanya merupakan obsesi, untuk menghantarkan kembali masyarakat ke koridor sejarah masa lalu. Keyakinan historis, bahwa tradisi merupakan akar budaya serta kekuatan lokal, serta Ekspresi Budaya Lokal tidak hanya sekadar memberikan kebanggaan, tetapi juga kesetiaan untuk memelihara dan merekayasa nilai-nilai luhur dan tradisi besar bangsanya. Sebagaimana julukan Indonesia yang dikenal di dunia sebagai bangsa yang sangat berbudaya. Itu berarti, bahwa kebudayaan nasional yang dibangun harus berfungsi sebagai instrumen yang mengakomodasi masa kini dan membuka pintu masa depan, bahkan sepanjang zaman. Sebagaimana yang tersurat dalam Amanat Galunggung yang berbunyi: Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana mangke, aya ma beuheula, aya nu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang, hana ma tunggulna aya tu catangna. Ada dahulu ada sekarang, tidak ada dahulu tidak ada sekarang; ada masa lalu ada masa kini, bila tidak ada masa lalu tidak ada masa kini; ada pokok kayu ada batang, tak ada pokok kayu tak akan ada batang; bila ada tunggulnya tentu ada cabangnya (Saleh Danasasmita, dkk., 1987: 130).
Daftar Pustaka Brandon, James R. Theatre in Southeast Asia. Cabridge, Massachusetts: Havard University Press, 1967. Endang Caturwati, Pertunjukan Indonesia, Bandung: Sunan Ambu STSI Press 2007.
38

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

_______________, ed. Seni dalam Tumpuan Tradisi, Bandung: Sunan Ambu Press, 2009. Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya Jakarta: Pustaka Jaya, 2000. Harian Pikiran Rakyat, 7 Januari, 2008. Hauser, Arnold. The Sociology of Art ( Chicago and London: The University Of Chicago Press, 1985). Heikkila, Lori Waltz, http.www.centralhome.com/ballroomcountry/wallz.htm ,copyright.1996-2004. Pudjasworo, Bambang. Dialektika Seni Pertunjukan Tradisi, Seminar Revitalisasi, Transformasi, dan Globalisasi Seni, Dewan Kesenian Kabupaten Sleman Yogyakarta, 2004. Soedarsono, R.M. Metode Penelitian Seni Pertunjukan . Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001.

39

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

ALAMAT KELOMPOK SENI TRADISI JAWA BARAT No 1 Nama Grup Jenis Seni Alamat Seni Jenaka Sunda Hiburan Lagu, Komplek Bumi Kanca Panglima dialog dan Panyileukan Blok humor FI No 11 RT 01 RW 05 Bandung Glamor Gerak , Lagu Jalan Buah Batu dan Humor Bandung Beluk Tembang & Ciapus Banjaran Tutur Bandung Longser Antar Teater Tradisi Jalan Buah Batu Pulau Bandung Topeng Aninin- Topeng Cire- Desa Slangit grum bon Klangenan Cirebon Topeng Panji Topeng Cire- Desa Slangit Asmara bon Klangenan Cirebon Jati Suara Wayang Kulit Kalianyar Cirebon Arjawi-nangun Cirebon Langgeng Putra Topeng Cire- Desa Slangit bon Klangenan Cirebon Sandiwara Dhar- Sandiwara Dr Cangkring ma Samudra Cirebon Kec. Plered Cirebon Wayang Golek Wayang Jl. Mohamad Hedi Putra Golek Sunda Toha Pimpinan Lili Suparli

2 3 4 5

Atang Warsita Oyib Herman Efendi Keni Arja

Inu Kertapati Amud

Sanija

Umar Karsiyan Hedi Riskonda

10

40

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

11

12

Prakpilinkung (Keprak, Kecapi, Suling, Ang-klung) Longser Pancawarna

Hiburan Lagu, Jl. Moh Toha dialog dan humor Teater Tradisi Banjaran Bandung Karawang Alamat Bandung Ujung Berung Bandung Bandung Bandung

Nano. S.

13 Banjet Ijem No Nama Grup Seni 14 Calung Darso 15 16 17 Reog Gembol Asep Dede Amung Muda Wawan Dede Amung Muda

Teater Tradisi Jenis Seni Musik, dialog, lagu, Humor Reog Perempuan Wayang Golek Wayang Golek

Areng Japar Putra Ijem Pimpinan Darso Euis Gembol Asep Koswara Wawan Dede Amung Sutarsa Dadan Sunandar Sunarya Deden Sunandar Kosasih

18

Dadan Asep Sunandar Muda Deden Ade Kosasih Muda

Wayang Golek Wayang Golek

Jelekong Bandung Jelekong Bandung

19

41

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Prof. Dr. Sri Hastanto. S.Kar. Pria kelahiran Jombang, 22 Desember 1946 ini adalah Guru Besar Jurusan Etnomusikologi ISI Surakarta. Lulusan S3 Etnomusikologi University of Durham Inggris (1985) ini pernah menjadi Direktur Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta (19861988), Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta (19881997), Direktur Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (19982000), Direktur Jenderal Nilai Budaya Seni dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI (20002006), Chairman ASEAN bidang Culture and Information (COCI) pada tingkat nasional Indonesia (20032006) dan tingkat regional ASEAN (20052006). Sejak tahun 2009 aktivitasnya lebih banyak mengajar di Program Pendidikan Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta (sejak 2009). Alamat Kantor : Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta. Jln. Ki Hadjar Dewantara 19 Kentingan, Jebres, Surakarta 57126. Telepon/Faks : 0271-647658; 638974 / 0271-638974. Alamat Rumah : Jln. Bimasakti III/1 Kaplingan RT 05 RW 20 Jebres Surakarta 57126. Telepon/HP: 0271-664014 / 0813-88808037; 0813-29954762. E-mail : tanto47@isi-ska.ac.id 42

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Peran Seni Tradisi Komunikatif dalam Diseminasi Informasi di Wilayah Jawa Timur
Sri Hastanto
Pakar Etnomusikologi ISI Surakarta

akalah dengan judul seperti tertera di atas (judul pemberian panitia) itu ditulis dalam rangka tema yang lebih besar yaitu: Sinergi Seni Tradisi dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Pendidikan Publik Tema sejenis pernah melandasi kegiatan yang diadakan oleh almarhum Departemen Penerangan pada masa itu. Pada saat itu, dan berkali-kali dalam berbagai kesempatan saya melontarkan kritik bahwasanya sinergi itu hanya berjalan sepihak yaitu: Hanya seni tradisi yang terus-menerus dijadikan wahana penerangan, tetapi tidak pernah kekuatan penerangan itu digunakan untuk menyelamatkan kehidupan seni tradisi. Saya sangat mengharapkan kali ini tidak seperti yang sudah-sudah. Satu sisi seni tradisi digunakan sebagai wahana penyampaian informasi untuk pendidikan publik, di sisi lain teknologi informasi dan komunikasi digunakan sebagai wahana penyelamat kehidupan seni tradisi yang notabene sebagai perangkat pendidikan publik. Saya percaya dengan demikian masing-masing akan memetik manfaatnya sehingga kegiatan itu akan dilaksanakan secara ikhlas.

Substansi Informasi Kita sadar semua bahwa kini masyarakat rawan melakukan demon43

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

strasi yang menurut perkiraan mereka sebagai wujud dari warga negara yang kritis. Tetapi sering gerakan unjuk rasa ini lebih dipicu oleh emosi dibandingkan oleh pikiran kritis. Hal ini perlu pendidikan publik. Kita juga sadar bahwa ditengah-tengah terengah-engahnya rakyat mencari nafkah untuk hidup, di sana ada berbagai tingkatan Pilkada yang juga sering berujung pada gejolak masa. Ini juga diperlukan pendidikan publik. Kita sadar pula gejolak masyarakat yang kini mengendap tetapi dapat meletus sewaktu-waktu berhubungan dengan lumpur Lapindo. Hal ini pemerintah harus benar-benar berpihak kepada rakyat dan keberpihakannya itu harus diinformasikan kepada rakyat dan sampai ke alamat yang dituju. Juga masalah-masalh yang berhubungan dengan terorisme dan lain sebagainya. Mungkin kesenian tradisi dapat pula ambil bagian dalam pendidikan publik sehubungan dengan hal ini. Substansi itu masih banyak lagi.

Sifat dan Matra Informasi Sifat informasi akan sangat menentukan matranya. Secara sederhana saya membagi matra ini ke dalam dua golongan, yang pertama adah matra yang bermuatan konsep; dan kedua matra yang bermuatan informasi ringan, sik, atau verbal. Masalah yang berkaitan dengan pilkada sampai dengan pemilihan presiden informasi pendidikan publiknya tidak cukup hanya dengan yang bersifat sik atau verbal. Misalnya menanamkan slogan-slogan jurdil, atau penjelasan tentang caranya menyontreng, atau pesan mengihindari serangan fajar dan lain sebagainya. Permasalahan ini juga diperlukan informasi untuk pendidikan publik yang bersifat konseptual, misalnya penjelasan tentang arti dan dampak legawa dan sebaliknya penjelasan tentang tidak legawa dan dampaknya. Kedua jenis matra tersebut dapat dibawakan oleh seni tradisi secara sabtun dan tidak vulgar tergantung seniman serta penikmatnya. Seni Tradisi Komunikatif Sebenarnya semua seni bila senimannya cukup matang dan penikmatnya cukup mempunyai bekal, maka semua seni adalah komunikatif. Tetapi dalam konteks tema besar tertera di atas seni tradisi komunikatif ini tentu diartikan khusus, yaitu seni tradisi yang dapat secara verbal menyampaikan informasi dengan substansi yang berkaitan dengan pen44

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

didikan publik. Di Jawa Timur seni tradisi semacam itu sangat banyak tetapi ada yang bersifat sangat lokal sepertimisalnya Remo di Madura, dan banyak pula yang sudah tidak bekegiatan alias mati. Untuk itu dalam rangka ini saya hanya akan mengutarakan empat jenis kesenian yang teba jangkauan penikmatnya cukup luas: Pertama Kentrung; kedua Wayang Kulit; ketiga Ludruk dan keempat Ngremo

Kentrung Setelah hampir 1 jam nyerocos menceritakan bagaimana kesaktian Patih Batik Madrim (ceritera Anglingdarmo) dengan diiringi kendang dan terbang mbah dalang kentrung yang umurnya merayap ke satu abad itu membuat selingan dengan masih diiringi kendang dan rebana trung ... trung ...trung. Selingan itu masih menggunakan metrum yang sama seperti induk ceritanya:
tontonen punggawa desa terampil ngopeni warga nggarap KTP gak tambah redana kabeh wis siap rampung sedina Lihatlah itu pamong desa terampil melayani warga Mengerjakan KTP tanpa tambah biaya Semua siap selesai dalam sehari Mendengar lantunan pujian terhadap punggawa desa itu ratusan penonton yang berkerumun di dekat panggung bergeredeng, dan tiba-tiba seorang penonton berteriak: ngapusi kuwi mbah (bohong itu mbah). Lho piye kok ngapusi (Lho bagaimana kok bohong), dalang kentrung balik bertanya dengan bahasa dialog biasa tidak dilagukan walaupun masih dibingkai dengan iringan kendang dan rebana. Wis sesasi KTP-ku ra dadi, mangka wis mbayar lho mbah (sudah sebulan KTP-ku belum jadi, padahal sudah bayar mbah) O kata dalang kentrung, lalu dilanjutkan dengan masih tanpa dilagukan. Kowe ki bakul apa buruh (Kamu itu pedagang atau buruh) tanya dalang kentrung. Aku nelayan je mbah (Aku seorang nelayan
45

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

mbah). Langsung dalang kentrung tertawa terkekeh, lalu ujarnya (kini menggunakan lagu mengikuti irama kendang dan rebana: Lha dhuwitmu mambu amis Lha wong ambumu iya amis wong nelayan dhuwitmu digondhol kucing KTP-mu ya digondhol kucing (Uangmu berbau amis Karena kamu juga amis maklum nelayan Uangmu digondol kucing KTP-mu juga digondol kucing) Spontan penonton tepuk tangan dan bersorak sebab dalang kentrung dengan sigap menanggapi respon penonton tadi sambil menyentil kelakuan punggawa desa yang senang berjudi. Kata kucing itu salah satu nama kartu cina yang dipakai berjudi mereka, artinya uang KTP itu telah ludes di meja judi. Dialog ini terjadi spontan dan tidak dirancang. Walaupun demikian karena jam terbang mbah dalang kentrung menghadapi publik telah sangat tinggi, maka dengan lancarnya ia menyusun teks spontan dan mengandung banyak muatan, muatan sastra, juga muatan kritik sosial. Itulah hebatnya kentrung. Seni kentrung adalah seni tutur yang dilagukan dibingkai dengan iringan bermatra metrik oleh kendang dan rebada. Ceritera yang dibawakan adalah berbagai legenda, dongeng, yang hidup di masyarakat. Kentrung dapat berceritera mulai dengan jenis Suminten Edan, sampai dengan Runtuhnya Majapahit. Dalam berceritera dalang kentrung sering melakukan selingan diantara babak satu dengan lainnya. Selingan itu dapat berupa apa saja, bahkan sering dalang kentrung membawakan current afair atau sekadar banyolan untuk meredakan ketegangan dan membuat refreshing perhatian penonton. Dengan keluwesannya itu kentrung sangat efektif untuk menyampaikan informasi ringan, atau hal-hal yang bersifat verbal lainnya. Seni Kentrung kini dalam keadaan sekarat dalang kentrung hanya tinggal tidak lebih dari jari sebelah tangan kita. Padahal kentrung mempunyai muatan yang sangat positif bagi bangsa ini. Ia dapat berfungsi sebagai agen transfer nilai-nilai, karena substansi yang dilantunkan adalah berbagai ceritera rakyat dan legenda yang sarat dengan nilai kehidupan manusia. Ia juga dapat berfungsi sebagai wahana kontrol sosial
46

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

secara santun, seperti yang telah dicontohkan di atas. Apa yang dapat kita perbuat. Sinergi seni tradisi dengan teknologi informasi dan komunikasi kiranya jangan hanya berjalan satu arah yaitu: Seni tradisi digunakan sebagai wahana penyampai informasi saja. Tetapi juga bagaimana teknologi informasi dan komunikasi ini dapat menyelamatkan seni tradisi yang nota bene sebagai wahana pendidikan publik seperti tema besar pertemuan ini, dalam hal ini menyelamatkan kentrung dari kepunahan. Dari berbagai berita bahwasanya beberapa radio swasta niaga telah berusaha mengadakan siaran kentrung walaupun terbatas pada setiap ulang tahunnya yang tentu saja tidak berbekas di hati masyarakat. Para petugas dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten dan Kota juga telah berusaha mementaskan kentrung tetapi sekali lagi sepi penonton. Jadi juga tidak berbekas. Perguruan tinggi Seni seperti Institut Seni Indonesia dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia mestinya kapabel melangsungkan kehidupan kentrung dengan konsep yang matang. Tetapi hal ini belum berhasil mendapatkan tanggapan dari yang berwenang untuk mendapatkan dana yang pantas. Saya percaya Kementerian Koninfo dan Pendidikan Tinggi Seni dapat saling bersimbiose mutualistis menghadapi hal-hal semacam ini. Sekali lagi hal ini dilandasi dengan semangat Sinergi Seni Tradisi dengan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Pendidikan Publik secara timbal balik jangan hanya berjalan satu arah yaitu: Seni tradisi digunakan sebagai wahana penyampai informasi saja. Tetapi juga bagaimana teknologi informasi dan komunikasi ini dapat menyelamatkan seni tradisi yang notabene sebagai wahana pendidikan publik.

Wayang Kulit Wayang kulit gaya Jawa Timuran relatif masih lebih murni dibanding dengan wayang kulit yang kini laku di Jawa Tengah. Wayang kulit Jawa Tengah banyak yang kini telah menjadi tontonan yang meladeni selera masyarakat. Jadi jika selera masyarakatnya rendah maka sajian wayang kulitnya juga menjadi dangkal. Sebagian besar waktunya hanya untuk banyolan kalau tidak cengengesan saat adegan LimbukCangik dan Goro-goro. Wayang Jawa Timuran belum tertular virus ini, porsi alur cerita masih merupakan prioritas.
47

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Pak Suleman dari Waru dan murid-muridnya seperti Mas Wardono dan kawan-kawan masih membatasi diri menyisipkan hiburan ringan. Dalam adegan punakawan memang sering ada hiburan ringan seperti pilihan pendengar. Pada adegan inilah pesan-pesan propaganda dangkal dan yang bersifat verbal dapat dilontarkan. . . . E thole mula pada diwaspada, yen ana wong anyar nyalawadi, apike enggal dilaporake marang sing berwajib, aja malah dipek mantu. Durung nganti putune lair kowe ganti sebutan, dadi maratuwane teroris. Apa ra cilaka. . . Pesan pendidikan publik semacam ini mudah sekali disipkan pada waktu yang tepat. Apa lagi bila teksnya disusun oleh seniman yang mempunyai wawasan luas, maka kadar kesantunan dan bobot informasinya akan dapat dipertanggungjawabkan Pesan semacam itu tentunya untuk konsumen masyarakat yang berpendidikan menengah ke bawah. Untuk para petinggi daerah tentunya harus disajikan masakan lain yang lebih bergizi. Celakanya kalau sang petinggi itu malah tidak dapat menerima informasi yang lebih bersifat konseptual tetapi sudah merasa bahagia dapat mencerna informasi dangkal semacam itu. Kalau hal itu terjadi sebenarnya sang petinggi belum saatnya jadi petinggi.. Berikut ini sebuah contoh informasi yang lebih bermartabat: Ketika Raden Narasoma (kelak ia bergelar Prabu Salya) masih muda, ia diculik oleh pendeta raksasa bernama Bagaspati. Ia nekat menculik Narasoma karena anaknya yang sangat cantik Dewi Pujawati, bermimpi bertemu dengan Narasoma dan jatuh cinta. Ia kemudian memaksa ayahnya mencari Narasoma sampai ketemu. Tadinya Narasoma menolak bahkan sempat perang tanding dengan Sang Begawan tetapi kalah. Setelah melihat kejelitaan Pujawawati iapun jatuh hati. Dinikahkanlah mereka. Dalam pakem diceritakan bahwa Narasoma kemudian malu mempunyai mertua seorang Raksasa, maka ia membunuh sang mertua. Kebetulan sang mertua mempunyai Aji Candhabirawa yang luar biasa kekuatannya, maka atas kehendak Bagaspati Aji Candhabirawa agar masuk ke dalam tubuh Nrasoma dan menjadi miliknya. Tetapi sebagai bagian dari kreatifas dalang berhak
48

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

melakukan sanggit cerita. Bagaspati tetap mati tetapi kandungan nulai dari peristiwa itu sangat berbeda. Inilah sanggit itu: Setelah malam pertama, Norasoma dipanggil Bagaspati, apakah dia mencintai Dewi Pujawati. Narasoma menjawab: Ya. Kalau demikian Narasoma sanggup tidak menterlantarkan Pujawati di kemudian hari. Narasoma menjawab Sanggup Seandainya Bagaspati mempunyai permintaan khusus apa Narasoma mau memenuhinya, Narasoma menjawab Ya, dengan segala kemampuanku. . . . Raden, aku minta engkau berkenan menerima warisan Aji Candhabirawa . . . Lalu Bagaspati menceritakan bagaimana kekuatan aji tersebut. Bagaspati juga berkata bahwa aji itu tidak lagi berguna bagi dirinya karena sudah tua dan sudah sepantasnya dimiliki oleh yang muda, agar dapat diamalkan untuk kebaikan manusia selanjutnya. Hati Narasoma bersorak, memang ia membutuhkan sipat kandel nanti setelah ia menjadi raja Mandaraka, maka jawabnya . . . Ya Bapa saya dengan senang hati akan aku terima warisan Bapa . . . Tetapi ada syaratnya Raden . . . Saya sanggup memenuhi syarat-syarat itu. Syaratnya Raden harus membunuh aku, sebab aji itu telah menyatu dalam tubuhku, hanya dengan kematianlah aku dapat mewariskannya kepada Raden. Karena telah sanggup. Dengan bercucur air mata Narasoma menghunus kerisnya dan dengan serta merta Bagaspati menubruk keris itu dan menghunjamkannya di ulu hatinya, mangkatlah Bagaspati, dan Aji Candhabirawa pindah raga yaitu raga Narasoma. Garapan seperti ini juga merupakan informasi untuk pendidikan publik, bagi mereka yang mempunyai bekal pengetahuan lebih luas. Informasi itu memberi pemahaman bagaimana seorang tua yang legawa kedudukannya dilengser oleh yang muda. Info itu bila dicerna cukup dalam akan mempermalukan mereka yang setelah merasakan enaknya duduk di kursi lalu tidak mau turun walaupun sebenarnya sudah waktunya. Dalam ingar-bingar pilkada di mana penjabat lama dipandang sudah waktunya turun, kiranya garapan ini relevan untuk disajikan. Demikian wayang kulit dapat menjadi wahana pendidikan publik agal-alus jadi tidak hanya pesan verbal saja. Di Jawa Timur sebe49

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

lum pergelaran wayang dilaksanakan biasanya didahului dengan Tari Ngremo oleh seorang penari tau lebih. Penari ini biasanya wanita yang nanti akan bertindak sebagai pesinden dalam wayangan semalam suntuk. Dalam Tari Ngremo selalu ada bagian yang disebut Nggandhang yaitu sang penari berhenti menari tetap dalam sikap tari dan melantunkan nyanyian yang disebut Kidungan. Dalam pertunjukan Ldruk juga demikian. Dalam tulisan ini akan dibahas kidungannya yanmg merupakan wahana ampuh untuk melontarkan infrormasi pendidikan publik yang ringan-ringan. Hal ini akan dibahas setelah pembahasan Ludruk.

Ludruk Tidak banyak yang dapat saya utarakan perihal Ludruk ini. Ludruk adalah teater daerah Jawa Timur dan yang terkenal adalah Ludruk Surabaya. Peranan wanitanya selalu dimainkan oleh pria (waria) yang biasanya sangat cantik. Hal itulah salah satu penyebab mengapa banyak orang menyenangi Ludruk. Ceriteranya bisa apa saja kalau perlu cerita Romeo and Juliet. Apapun ceriteranya sutradara berhak membuat sanggit seperti dalam wayang kulit tadi. Bedanya Ludruk lebih leluasa menggarap sanggit-nya. Sayangnya belum bayak kaum intelektual yang mau menggarap Ludruk sehingga pesan ceritanya dapat digunakan sebagai pendidikan publik yang memadai. Kidungan Seperti telah saya singgung bahwa kidungan terdapat di dalam pertunjukan Tari Ngrema yang sering mengawali pertunjukan Wayang Kulit maupun Ludruk. Teks dalam kidungan sering sekali menggunakan bahasa klise yang menyanjung program pemerintah secara vulgar. Misalnya: Pembangunan (dulur) kudu dipentingna Marga pembangunan kanggo kabeh kita Ayo kanca padha aja tidha-tidha Mbantu pemerintah urun tenaga
Tetapi bila si penari mempunyai latar belakang mendidikan yang memadai, kidungan ini dapat sangat efektif digunakan sebagai wahana pendidikan publik. Misalnya: Ketika kita sedang dipusingkan dengan adanya tawuran antar fakultas dan bahkan antar kampus di banyak kota
50

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

beberapa tahun yang lalu sempat disentil dalam kidungan oleh seorang penari ngrema pada sebuah hajatan di Mojokerto, sebagai berikut: Manuk cocak (dulur), ngoceh neng tegalan Ocehe panjang kaya huruf palawa Dadi tukang becak (dulur) aja seneng dha tukaran Yen seneng tukaran, ndhak kaya mahasiswa Sentilan ini luar biasa, kocak dan konyol tetapi tepat dan sempat membuat kaum menengah keatas berkir tentang ulah mahasiswa yang sudah keterlaluan. Si tukang kidung menempatkan martabat rekannya para tukang becak yang kala itu melihat pementasannya jauh lebih tinggi dibanding dengan martabat mahasiswa.

Sinergitas Seni Tradisi dan Kominfo Bagaimana seni tradisi dapat dijadikan wahana pendidikan publik telah saya paparkan di depan. Sekarang apa yang dapat dilakukan Koninfo untuk menghidupi partnernya itu. Pertanyaan ini biasanya dijawab dengan mengucuran dana. Tapi saya berpikir lain. Sebab kalau diberi dana maka kehidupan seni tradisi bagaikan mayat hidup, demikian dana habis, matilah mereka dan menyodorkan tangan lagi untuk meminta. Seperti kita ketahui bersama bahwa di dalam dunia seni tradisional belum tumbuh budaya kritik. Padahal fungsi kritik itu menyambung karya seni dengan penikmatnya yang kurang bekal. Dalam kritik dijelaskan apa yang kuat dan apa yang lemah sehingga penikmat akhirnya mengerti kesenian itu. Kritik bukannya mencela karya seni, tetapi kritik mendudukkan karya seni pada proporsi yang semestinya, sehingga dapat membantu penghayat menghayatinya untuk mendapatkan keluasan pandangan dan kekayaan imajinasi hayatan. Kritik seni adalah karya ilmiah yang berdiri di antara karya seni dan penghayat. Kepada penghayat kritik memberikan penjelasan hal-hal yang kurang jelas dan kepada karya seni kritik menginformasikan bagian mana dari karya itu yang kuat dan yang lemah, sehingga baik penghayat maupun seniman akan meningkat kualitasnya. Peningkatan kualitas baik penghayat maupun seniman inilah yang akan mendorong seni tradisi hidup, sebab konsumennya telah dipersiapkan oleh kritik. Saya akan berterus-terang sesuatu yang saya usulkan, berilah ru51

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

ang kepada intelektual seni untuk untuk menulis kritiknya dan dapat dibaca oleh banyak orang baik secara regional maupun nasional. Pertunjukan Kentrung di sudut kota Tuban akan merambah Jakarta, Medan Surabaya, Solo. Jogya dan sebagainya. Kidungan di pelosok Mojokerto juga akan dinikmati secara nasional. Berilah sebuah sudut untuk kritik seni tradisi di koran nasional, dan koran-koran daerah tentu saja dengan honornya yang memadai maka karya kritik seni tradisi akan bertumbuh dan itulah wujud sinergi yang sesungguhnya. Mangan kupat (dulur) lalape timun, Ditambah gula rujake degan Manawi lepat (dulur) lha nggih kajengipun Wong dhasare kula niku dhagelan.*

52

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

53

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

F. Hari Mulyatno S.Kar, M. Hum. Dosen Seni Tari ISI Surakarta ini akrab dipanggil Hari Genduk di kalangan komunitas seni. Saat ini tinggal di Bonoroto, Plesungan, Gondangrejo, Karanganyar. Aktif dalam berbagai organisasi antara lain Pendiri/Ketua Umum Lembaga MENTARI SEGARA ANAKAN, Pendiri/Anggota Lembaga SOLO KOBAR, Perintis Padepokan PANDAWA (kawasan wisata religius), Anggota MOYO TIRTO, Pengging dan Pendiri/Pemilik padepokan LESUNG, semua di Surakarta. Mahasiswa S3 Universitas Gadjah Mada Jurusan Kajian Budaya ini juga aktif dalam berbagai kegiatan penyadaran masyarakat melalui Seni Budaya Tradisional di Jawa Tengah, Jawa Timur, Bengkalis (Sumatera), Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Lulusan S2 UGM Jurusan Pengkajian Seni Pertunjukkan Indonesia juga pernah pentas di luar negeri untuk Unjuk Budaya yang dilakukan oleh Pura Mangkunegaran (Surakarta), Sardono Dance Company Jakarta, STSI/ ISI Surakarta, dan Pemda Kutai Barat dan Pemprop Kaltim. 54

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Peran Seni Budaya Tradisional Kalimantan dalam Dimensi Informasi/ Komunikasi Pembangunan
F. Hari Mulyatno, S.Kar, M.Hum
Dosen Seni Tari ISI Surakarta

Pengantar uji syukur kepada Tuhan Allah Yang Maha Bijaksana, bahwa pada hari ini saya diperkenankan menyampaikan pokok-pokok pikiran tentang Peran Seni Budaya Tradisional Kalimantan Sebagai Dimensi Informasi Publik. Saya juga berterima kasih kepada panitia/penyelenggara yang memberikan kesempatan untuk memberi masukan tentang seni dan budaya masyarakat Kalimantan-Indonesia yang majemuk kepada peserta diskusi dan pemerintah pusat, dalam hal ini jajaran Kementerian Kominfo, yaitu bagaimana seni dapat dipergunakan untuk menyampaikan informasi pembangunan, khususnya yang berada di wilayah peradapan masyarakat Kalimantan. Saya sadar bahwa sebenarnya kurang tepat bahwa saya yang duduk dan menyampaikan pandangan dan informasi tentang seni budaya Kalimantan yang begitu luas, dalam dan beragam. Saya menyadari bahwa sebagai salah satu pemerhati kebudayaan Kalimantan, merasa perlu dan mempunyai kepentingan tersendiri untuk menyampaikan pandangan pada forum diskusi pada hari ini dan pada Pemerintah Pusat, tentang peran seni budaya tradisional Indonesia khususnya dari belahan pulau Kalimantan untuk sama-sama mengkaji seni dalam Dimensi Informasi dan Komunikasi Pembangunan Indonesia. Pada kesempatan diskusi hari ini, apa yang saya sampaikan adalah

55

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

suatu pandangan dari hasil pengamatan dan pengalaman pribadi sebagai insan pemerhati Kalimantan dalam bingkai penguatan sikap kebangsaan dan ketahanan masyarakat Indonesia melalui media seni dan budaya tradisional di Kalimantan sejak tahun 2006 sampai sekarang, khususnya di Kaltim dan di Kalteng. Sedangkan Kalbar dan Kalsel baru dalam proses awal penjajagan, mulai awal 2009. Oleh sebab itu apabila pada kesempatan diskusi pada hari ini, apa yang saya sampaikan kurang atau tidak mencapai sasaran dari tujuan panitia, maka mohon maaf apabila naskah dan presentasi saya ini kurang atau tidak mencapai sasaran yang dikehendaki, dan saya bersedia melengkapi informasi-informasi atau data-data tambahan yang diperlukan setelah forum diskusi ini. Saya juga mohon tanggapan dan masukan dari peserta diskusi tentang pandangan saya terhadap peran seni dalam Dimensi Informasi (non estetis), untuk langkah kerja saya lebih lanjut di dalam mendarma baktikan kemampuan saya di bidang seni untuk penyadaran masyarakat yang bangga menjadi Warga Negara dan Bangsa Indonsia pada masyarakat Kalimantan khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Pandangan Umum tentang Seni Pada dasarnya seni adalah sarana komunikasi/sarana pengungkapan pengalaman dan kebutuhan jiwa manusia kepada sesama manusia, manusia kepada alam semesta raya dan manusia kepada makhluk yang dipercaya ada di alam lain. Blawing Barek, ketua Adat Besar Suku/ Etnik Bahau dan ketua Adat Besar Dayak-Borneo, menjelaskan bahwa seni budaya Kalimantan (Dayak) itu sarana komunikasi antara makhluk bumi dengan sesama makhluk bumi, dan komunikasi makhluk bumi dengan makhluk langit,serta komunikasi makhluk bumi dengan makhluk di atas langit. Artinya bahwa menurut pandangan masyarakat Kalimantan (Dayak), seni dipandang mampu menjadi sarana komunikasi lintas batas kemampuan akal pikir (rasional) manusia. Yang dimaksud makhluk langit yaitu para leluhur dan makhluk Tuhan yang pernah dilahirkan di bumi dan telah meninggal dunia, ataupun yang tidak pernah dilahirkan di bumi yaitu makhluk alam gaib yang masih dapat dijangkau. Makhluk di atas langit adalah kekuatan luar biasa yang tidak dapat dijangkau oleh indra manusia pada umumnya secara langsung seperti para Dewa, Malaikat dan Tuhan.
56

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Sifat ungkap atau komunikasi seni adalah sifat ungkap simbolik, jadi bukan komunikasi verbal. Kalaupun toh ada seni yang menggunakan media bahasa verbal, akan tetapi itu hanya materi ungkapan, bukan inti atau esensi komunikasi. Oleh sebab itu para seniman dan budayawan seyogyanya lebih bijaksana di dalam memaknai seni untuk dipergunakan sebagai media penyampaian pesan-pesan verbal. Apabila kita tidak bijaksana dalam mempergunakan seni untuk media propaganda atau seni sebagai penyampai informasi, bisa jadi sebaliknya dan masyarakat penonton tidak mengerti atau tidak paham inti pesan yang disampaikan, bahkan masyarakat bias menjadi apriori terhadap pesan-pesan penting melalui jasa seni, sehingga penyampaian pesan tidak dapat efektif, tidak esien dan tidak tepat sasaran. Hal ini memang tugas berat bagi kreator dan para motivator dan atau pemilik gagasan utama yang akan disalurkan melalui media seni. Kalau kita ingin menyampaikan informasi tanpa memerlukan proses penghayatan atau perenungan yang lebih mendalam, maka dari itu sebaiknya penyampaian informasi cukup menggunakan media bahasa verbal yaitu dengan bahasa lisan ataupun bahasa tulis saja, dan bukan bahasa kesenian

Bahasa Seni Bahasa seni itu bahasa simbolik, jadi suatu media ungkap yang efektif untuk menancapkan pesan yang sudah terlebih dahulu terekam di dalam pikiran, kemudian ditancapkan lebih lanjut ke dalam lubuk hati yang paling dalam untuk menjadikan sebuah perenungan, kemudian akan berlanjut pada pembentukan sikap dan perilaku yang bertanggung jawab bagi penghayat di kemudian hari, setelah mendapat sentuhan hati melalui media seni. Menurut saya lebih baik seni tidak untuk menyampaikan informasi yang bersifat verbal, tetapi informasi bersifat simbolik, sehingga setelah mendapatkan informasi yang terekam di pikiran kemudian informasi tersebut ditancapkan di dalam lubuk hati sanubari yang paling dalam (rasa), kemudian akan tumbuh sikap dan perilaku lanjutan pasca penghayatan seni yaitu menindaklanjuti pesan-pesan pendidikan dan pembangunan yang telah diterimanya dengan tulus melalui media seni tersebut. Artinya isi informasi disampaikan terlebih dahulu melalui media-media verbal, kemudian baru didalami lebih lanjut melalui media seni, agar isi informasi dapat terekam dengan baik, dan kemudian isi informasi tersebut akan diaplikasikannya dengan baik di
57

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Fungsi Seni Saya lebih suka memaknai fungsi seni dari pengertian seni untuk hidup. Oleh karena kebutuhan manusia itu beragam, maka fungsi seni juga beragam. Seni dapat dipergunakan sesuai konteks kebutuhan hidup manusia tersebut. Menurut saya, pada dasarnya kebutuhan hidup manusia itu meliputi kebutuhan jasmani (makan, minum, sehat), kebutuhan psikologis (tahu, mengerti, paham, senang, bangga) dan kebutuhan rohani/spiritual (nyes, plong, sreg, manteb dll). Seni budaya didalam konteks seni yang dipergunakan untuk sarana penyampaian informasi, ini berarti menempatkan seni sebagai sarana penyampaian pesan-pesan pendidikan dan pembangunan, dan bukan pesan-pesan estetik. Jadi dengan demikian masyarakat penonton atau pelaku seni menjadi lebih paham dan apa yang dipesankan melalui media seni tersebut, sehingga pesan dapat diterimanya secara tulus lahir dan batin. Cara Menghayati Seni Ada beberapa cara masyarakat di dalam menghayati dan menikmati seni, sesuai dengan situasi dan kondisi serta latar belakang kebudayaan masyarakat di daerah tersebut. Ada seni budaya yang cara menikmatinya dengan cara dilihat dan di dengar, ada pula yang dengan cara dilakukan sendiri, ada juga yang hanya mendengar atau melihat saja, dan ada yang melibatkan diri di luar pentas. Seni Film, Pentas Musik, Teater, Wayang, lebih tepat seni-seni tersebut dinikmati dengan cara dilihat dan didengar karya seni tersebut. Seni Tayub dan Musik Rock, dan seni-seni pergaulan lainnya, lebih tepat dinikmati dengan cara mengikuti atau melibatkan diri dengan cara menari-menyanyi atau berjingkrakjingkrak. Termasuk jenis-jenis seni religius cara penghayatannya dengan ikut serta menjadi pelaku seni secara aktif. Ada cara lain bagi masyarakat pangombyong atau anggota kesenian di wilayah kebudayaan lereng Merapi, Merbabu, Sindoro dan, Sumbing Jawa Tengah. Mereka didalam menghayati seni di lingkungan komunitasnya, dengan cara ikut serta mendatangi pergelaran pentas seni dari kelompok anggota/grup mereka. Masyarakat pangombyong tersebut di dalam sebuah peristiwa pergelaran seni tanpa melihat kesenian tersebut secara langsung, mere58

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

ka seperti orang berkenduri di dalam rumah sambil menunggui pemain yang sedang berhias. Pada umumnya para pangombyong atau anggota tersebut terdiri dari kaum laki-laki yang sudah tua dan mantan pemain kesenian tersebut. Oleh sebab itu dalam menggarap kesenian pada konteks seni sebagai sarana informasi, maka para motivator dan kreator seni harus pandaipandai memilih materi dan cara penggarapan seni yang sesuai dengan lingkungan budaya masyarakat setempat, yang dipilih untuk menjadi objek sasaran penyampaian informasi. Jadi dengan demikian antara subjek motivator dan kreator seni, dan pemilihan media seni yang akan digarap harus tepat sesuai dengan latar belakang budaya berkesenian masyarakat bagi tersebut. Apabila subjek penyampai informasi salah dalam memilih media dan tidak memperhitungkan latar belakang kehidupan masyarakat sebagai objek, maka akan dapat melenceng dari sasaran dan menjadi lebih boros biaya penyelenggaraan.

Bentuk Seni Bentuk seni-budaya tradisional di Indonesia pada umumnya dan di Kalimantan khususnya cukup beragam. Ada seni visual seperti seni tari, seni lukis, seni pahat, seni tato dan tindik, seni teater, dan seni pertunjukan. Ada pula seni audio berupa musik tradisional, seni pantun, dan seni vokal lainnya. Di Kalimantan khususnya bagi masyarakat etnik Dayak dan Melayu, kebiasaan berkesenian mereka berkaitan erat dengan tata upacara adat dari etnik-etnik tersebut. Seni yang dapat dipergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan itu bukan hanya seni komunikatif sejenis teater daerah dan wayang saja, melainkan semua seni dapat dipergunakan untuk menyampaikan pesan-pesan pembangunan secara efektif. Semua seni termasuk tari (gerak), musik (suara), teater daerah (wayang dan sejenisnya), lukisan, patung, adat istiadat dan upacara-upacara tradisional, semua itu dapat dipergunakan untuk media informasi dan komunikasi secara efektif apabila tepat didalam memilih media, untuk golongan masyarakat apresian tertentu. Hal ini sangat tergantung dari kemauan motivator (pemerintah-lembaga pemberi motivasi ) dan kepiawaian para kreator (penggarap), serta kekuatan ungkap aktor (daya pangaribawa pemain). Keberadaan masyarakat sebagai obyek termotivasi, latar belakang budaya masyarakat dan keberadaan patron sebagai pengukuh/penguat.
59

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Dalam konteks seni budaya sebagai media informasi/komunikasi yang perlu dipehatikan adalah kecerdasan kreator sebagai pribadi ataupun kreator tangan panjang dari pemerintah. Kepiawaian mereka tersebut adalah unsur utama dalam penggarapan seni untuk informasi pembangunan, jadi bukan bentuk keseniannya yang diutamakan sebagai media komunikasi. Oleh sebab itu para penggarap harus memperhitungkan akar budaya masyarakat setempat untuk menentukan bentuk seni macam apa yang tepat dan sesuai dengan sasaran objek yang dituju. Kemudian diperlukan pengukuh, baik itu dalam bentuk lembaga ataupun pribadi-pribadi yang kharismatik. Pengukuh tersebut sebaiknya berupa lembaga dan atau pribadi tokoh panutan yang sangat dikenal, misalnya lembaga kabupaten, propinsi, pemerintah pusat (Jakarta). Sosok pribadi yang dapat dipergunakan sebagai patron atau panutan masyarakat diantaranya; Seniman, Pendeta, Kyai, Ketua Adat/Ketua Suku, Pejabat Kepala Daerah, Raja dan orang-orang terpandang lainnya. Seni tradisional Indonesia, khususnya di Kalimantan merupakan bagian dari perilaku budaya masyarakat adat, dan biasanya seni terkait dengan upacara-upacara adat masyarakat setempat. Oleh sebab itu, menurut saya seni dan budaya dalam konteks pemanfaatan seni sebagai media informasi dan komunikasi itu harus melekat dengan adat istiadat setempat pula. Seni yang keluar dari rangkaian upacara adat biasanya seni tradisi yang sudah menjadi komersial, oleh sebab itu seyogyanya berhati-hati di dalam memperlakukan seni dan memilih bentuk seni yang tepat sesuai dengan sasaran yang akan dituju agar dapat menjadi lebih esien,efektif, dan tepat guna.

Seni Sebagai Media Informasi Seni budaya menempati salah satu fungsinya yaitu sebagai media informasi dan sebagai media pendidikan atau propaganda. Seni budaya seperti yang telah di sebutkan di depan, semua itu dapat menjadi efektif dan esien untuk dipergunakan menyampaikan pesan, apabila digarap dan diolah secara tepat, dan yang paling penting adalah keseimbangan antara subjek pemberi pesan, alat atau media penyampai pesan dan objek penerima pesan. Prasyarat penggunaan seni untuk sarana penyampaian pesan/informasi-informasi pembangunan adalah sebagai berikut : a. Pemilik ide (pemerintah, budayawan, negarawan, para pemikir)
60

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

b. Motivator, sebagai seniman yang menyalurkan pesan (aktivis) c. Kreator Seni, sebagai seniman penggarap seni untuk pesanan (seniman kreator) d. Aktor/bahan kesenian, sebagai alat untuk mewadai pesan dan mengeluarkan daya pesan (seniman pelaku) e. Masyarakat/penonton kesenian, sebagai penerima pesan dan aplikasi lanjutan (penghayat seni) f. Patron, sebagai pengukuh (penguat) g. Aplikasi Lanjutan sebagai bentuk tindakan nyata (dampak) Dengan demikian terjadilah proses penyampaian informasi yang efektif, dan yang tidak boleh dilupakan bahwa seni bukan untuk konsumsi penalaran atau akal pikir semata melainkan untuk konsumsi indra rasa/batin. Walaupun prosesnya tetap melalui penalaran tetapi penalaran bukanlah tujuan. Adapun tujuannya adalah menghantarkan sebuah perenungan dan aplikasi atas isi dan inti pesan pasca menikmati seni budaya.

Selayang Pandang tentang Kalimantan Kalimantan secara garis besar terbagi dalam tiga kawasan yang berbeda kedaulatan yaitu di sebelah utara dibawah kedaulatan Kesultanan Brunai Darussalam dengan doktrin kedaulatan negara Islami. Di bagian utara membentang dari barat ke timur pulau Kalimantan di bawah kedaulatan Negara Kerajaan Malaysia, yaitu di wilayah Malaysia Timur ialah sub Kerajaan Sabah dan Serawak. Masyarakat daerah ini di bawah doktrin Negara Islam Melayu, namun demikian di wilayah Sabah dan Serawak ini eksistensi masyarakat Dayak mendapatkan kemerdekaan yang lebih longgar. Di bagian Kalimantan sebelah selatan sampai tengah, bahkan lebih menjulang ke utara dari garis tengah Pulau Kalimantan di bawah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan doktrin Negara Pancasila dan UUD 45 . Di Negara Indonesia dengan doktrin Pancasila ini memberi warna tersendiri dan menjadi berbeda dengan warga Kalimantan di wilayah Malaysia Timur, dan warga di Kalimantan Brunai Darussalam. Kalimantan Indonesia secara garis besar dihuni oleh masyarakat mayoritas etnik Dayak dan etnik Melayu. Gambaran secara garis besar
61

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

etnik penghuni Kalimantan Indonesia ialah, Dayak 30%, Melayu 25%, Banjar 10%, Cina 5%, Jawa 10%, dan selebihnya adalah Bugis,Sunda, Madura, Batak, dan lain-lain sebanyak 20%. Masyarakat Dayak mayoritas hidup di daerah pedalaman, jauh dari keramaian kota dan jauh dari peradaban yang serba modern. Masyarakat Melayu mayoritas hidup di daerah pesisir pulau Kalimantan, masyarakat Jawa di kota-kota besar dan kota-kota kecil pedalaman dan daerah perkebunan (daerah transmigrasi). Etnis Jawa, Cina dan Melayu menguasai daerah perdagangan dan persawahan serta pemerintahan. Masyarakat Dayak menguasai daerah hutan dan perkebunan yang maha luas. Masyarakat Dayak tersebar di belantara Pulau Kalimantan dan terbagi dalam berbagai sub kultur Dayak, dan tidak kurang dari 500 anak sub kultur Dayak Kalimantan Indonesia, yang hidup berkelompok dalam ikatan kelompok-kelompok kecil dan kuat.

Seni Budaya Kalimantan Secara Garis Besar Secara garis besar kesenian Kalimantan tumbuh dan berkembang berdasarkan akar budaya asal dari masing-masing etnik. Seni dari akar masyarakat etnis Cina , Jawa dan Melayu tidak terlalu beragam.Artinya masih dapat dipahami seperti seni dalam bingkai budaya asalnya. Misalnya Reog Ponorogo Kalimantan, sama dengan Reog Ponorogo Jawa. Barongsai Kalimantan sama dengan Barongsai di Hongkong dan Cina. Zapin di Kalimantan sama dengan Zapin yang ada di Melayu Malaysia dan Sumatra. Berbeda dengan seni dalam bingkai budaya Dayak. Beda suku beda bentuk dan beda makna, karena beda bingkai dasar kebudayaannya. Kesenian dari etnik Dayak selalu berkaitan dengan upacara-upacara adat tradisi masyarakat setempat. Sebagai contoh Tari Hudoq berkaitan dengan upacara tanam padi. Tari Ngerangkau (Tari upacara kematian) berkaitan dengan upacara Kwangkai (Ritual kematian), tari Gantar berkaitan dengan upacara panen padi. Kesenian Barongsai di komunitas Cina khususnya masyarakat Kabupaten Singkawang Kalimantan Barat yang mayoritas di huni etnik Cina, pergelaran Barongsai ditampilkan pada waktu upacara tahun baru Cina. Dan upacara-upacara hari besar etnik Cina. Sedangkan seni-seni masyarakat etnik Jawa dan etnik Melayu lebih beragam fungsi dan waktu pergelarannya, terutama disajikan pada waktu-waktu jumpa komunitas seperti dalam acara pengajian, arisan, hajatan kemudian
62

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

di sajikan seni Rodad-Salawat-Zapin-Hapsi-Reog-Jathilan-Jaran Dor Sentherewe-Ledek dan lainnya. Kesenian masyarakat Cina-Melayu-Jawa dan etnik lainnya selain etnik Dayak memiliki pemain dan penonton. Maksudnya, ada seniman pemain/peraga, ada panitia penyelenggara, dan ada masyarakat penonton. Sedangkan seni dalam masyarakat adat Dayak hanya ada forum (adat/upacara) ada penyelenggara (lembaga adat) dan ada peserta (pelaku adat), jadi dengan demikian penontonnya adalah para pemain / pelaku adat itu sendiri. Oleh sebab itu dalam konteks seni untuk sarana infomasi pembangunan harus diperlakukan lebih arif dan bijaksana, serta tepat sesuai dengan bingkai kebudayaan mereka. Dengan demikian, bagi masyarakat Kalimantan pada umumnya, penggunaan seni sebagai media komunikasi lebih baik disusun sebuah karya kemasan khusus, yaitu garapan baru yang menggunakan perabot seni tradisi setempat untuk garapan kemasan seni propaganda untuk informasi publik.

Lembaga-Lembaga Potensial untuk Jaringan Penyampaian Seni Sebagai Media Informasi Lembaga-lembaga yang potensial untuk menjadi agen mitra kerja dalam penyampian informasi pembangunan dari pemerintah kepada masyarakat ada beberapa pilihan, tinggal pemilik ide / isi informasi (pemerintah) sebagai pemilik informasi, memilih lembaga jaringan mana yang dipandang cocok untuk dipergunakan sebagai mitra jaringan agar sesuai dengan program penyampaian informasi yang telah ditetapkan oleh lembaga (pemerintah) tersebut. Di Kalimantan ada dua lembaga besar yang potensial sebagai lembaga jaringan penyampai pesan, yaitu Lembaga Adat dan Kerajaan atau Kasultanan. Lembaga-lembaga adat di Kalimantan meskipun kecilkecil akan tetapi mereka memiliki ikatan yang kuat dengan lembaga besarnya, dalam jumlah sub kultur yang sangat banyak. Pemimpinnya biasa disebut Ketua Adat Besar dan Ketua Adat Besar ini memiliki kedudukan seperti seorang Raja di Jawa-Bali. Masyarakat etnik Melayu-Jawa dan Bugis lebih akrab dengan Instansi atau Lembaga Kerajaan bila dibandingkan dengan kedekatanya dengan masyarakat Adat. Oleh sebab itu Kerajaan atau Kasultanan adalah lembaga jaringan informasi yang potensial untuk diperankan sebagai lembaga jaringan informasi
63

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

melalui Seni Budaya. Lembaga Adat dan Kerajaan tersebut menduduki peringkat utama dalam menentukan jaringan penyampai informasi melalui Seni Budaya, dari pihak Pemerintah Pusat kepada masyarakat di daerah khususnya di daerah pedalaman yang susah dijangkau dengan transportasi dan jaringan komunikasi apapun. Adapun kegiatannya akan direalisasikan melalui gelar seni Budaya dan tata upacara-upacara adat/tradisi masyarakat setempat. Lembaga jaringan di peringkat kedua adalah Pemerintah Daerah, dalam hal ini Dinas Pendidikan dan Dinas Pariwisata ditingkat Kabupaten maupun tingkat Provinsi, Dinas Pendidikan memiliki jaringan siswa dan guru serta tenaga administrasi di sekolah yang sangat banyak dan mudah dikendalikan secara sistematis. Dalam satu jaringan dinas ini telah terikat ribuan manusia yang terkait di dalam sistem kelembagaan tersebut secara formal. Dinas Pariwisata memiliki jaringan Sanggar-sanggar Seni/Padepokan Seni, Kantong-kantong Seni dan termasuk Lembaga-lembaga Adat di wilayah kerja Dinas Pariwisata tersebut khususnya di tingkat kabupaten-kabupaten. Lembaga yang tidak kalah pentingnya untuk diperhitungkan adalah Lembaga Pendidikan Tinggi dan Pendidikan Tinggi Seni seperti Institut Seni, Akademi Seni dan Sekolah Tinggi Seni baik Negri maupun Swasta. Lembaga Perguruan Tinggi tersebut memiliki jaringan Dosen, Mahasiswa, Alumni, dan masyarakat daerah tempat penelitian-penelitiannya dilakukan di daerah-daerah pedalaman tersebut. Lembaga Pendidikan Tinggi memiliki potensi untuk menyambung jaringan dengan sesama Lembaga Pendidikan Tinggi di Indonesia, untuk melaksanakan program-program pengabdian masyarakat di Indonesia. Lembaga Pendidikan Tinggi ini, pada konteks tertentu dapat menempatkan diri atau ditempatkan oleh pihak Pemerintah menjadi lembaga penyambung jaringan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, dan lembaga-lembaga Adat di daerah pedalaman Kalimantan. Dalam hal ini posisi Perguruan Tinggi dapat sejajar dengan Lembaga Adat dan Keraton / Kasultanan. Lembaga jaringan pada peringkat ke-tiga adalah Gereja, Pondok Pesantren, Paguyuban Etnik pendatang dan Sanggar Seni. Lembagalembaga di peringkat ke-tiga ini meskipun kecil-kecil akan tetapi aktitas, kreatitas dan produktitas tergolong sangat tinggi apabila dibandingkan dengan lembaga-lembaga di peringkat pertama maupun yang
64

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

kedua. Produktitas kecil-kecil itulah yang dalam kurun waktu yang lama dan terus menerus berproduksi maka akan membentuk kristalkristal pemahaman.

Langkah-Langkah Strategis Pemanfaatan sebagai Media Informasi Pemerintah atau Lembaga yang memiliki gagasan untuk menyampaikan pesan-pesan pendidikan dan pembangunan melalui media seni budaya tradisional, perlu menentukan langkah-langkah strategis, agar maksud dan tujuan yang telah digagas sebelumnya dapat tersampaikan secara baik. Apabila tidak ditetapkan pilihan strategi yang telah ditentukan, tidak menutup kemungkinan nantinya justru mempersulit diri sendiri, misalnya akan munculnya gejala atau kecenderungan dari golongan masyarakat dan seniman tertentu, menempatkan program Penyadaran Masyarakat ini menjadi sebuah proyek yang ditunggu. Selain daripada itu, kegiatan kurang dapat bermanfaat dan pengelolaan dana / biaya akan menjadi lebih besar daripada capaian hasil yang hendak dituju. Menurut pendapat saya, ada beberapa langkah yang perlu di tetapkan untuk landasan strategis yaitu : 1) Penetapan isi informasi, yaitu suatu gagasan untuk menyampaikan informasi tertentu, sekaligus memperhitungkan harapan atau target capaian selama program itu dilakukan. 2) Menetapkan sasaran, yaitu pihak panitia penggagas melakukan pengelompokan-pengelompokan sasaran. Dari beberapa kelompok kategori sasaran, mana yang lebih dahulu di prioritaskan. Sasaran-sasaran yang dituju nantinya akan menjawab ide/gagasan awal. 3) Memilih dan menetapkan lembaga jaringan kerja sama, untuk melakukan tindakan teknis agar dapat esien, efektif dan tepat sasaran sesuai dengan yang hendak dituju, dan diharapkan pekerjaan dapat tercapai lebih ringan dan mencapai target yang telah ditetapkan. 4) Memilih dan menetapkan kreator seni sebagai agen penggarap media seni untuk penyampaian informasi publik melalui seni tradisi. Tentu saja pilihan seniman kreator ini berkaitan erat dengan materi seni apa yang akan dipergunakan untuk media informasi publik tersebut. 5) Memilih dan menetapkan media seni, yang dipandang sesuai
65

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

dengan konteks kebutuhannya. Tentu saja pilihan ini berkaitan dengan keadaan masyarakat sebagai objek dan kekuatan media seni yang tepat untuk menyentuh objek tersebut. 6) Memilih dan menetapkan materi seni dan seniman pelaku, untuk mewadahi isi pesan yang akan dituangkan melalui sebuah karya seni untuk menyentuh hati nurani masyarakat penonton (apresian). Pemilihan materi seni dan pemilihan peraga seni harus juga tepat, agar pesan dapat dengan mudah diterima masyarakat. 7) Memilih dan menetapkan lembaga kontrol sebagai tim pengamat, apakah langkah yang telah ditetapkan ini sudah sesuai atau tidak. Lembaga kontrol ini bertugas untuk mengkritisi dan memberikan penilaian kepada langkah kerja pemilik gagasan (pemerintah), dan lembaga ini seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang sejenis dengan programnya. 8) Memilih dan menetapkan waktu penyampaian informasi (gelar seni) agar masyarakat sasaran dapat terlibat lebih maksimal karena tidak terganggu kebutuhannya. Misalnya musim ujian sekolah, tidak tepat untuk melakukan kegiatan-kegiatan berkesenian yang berhubungan dengan siswa. 9) Membuat atau menyusun model bentuk media seni seperti apa yang cocok untuk suatu masyarakat tertentu, dan juga dapat dihayati masyarakat lain yang tidak di prioritaskan. Model-model ini dapat digarap di Perguruan Tinggi Seni kemudian disosialisasikan pada seniman daerah untuk dikaryakan di daerahnya tersebut. 10) Mengukur tingkat keberhasilan melalui kajian-kajian atau penelitian, apa betul program yang dulu dilakukan dapat mencapai sasaran atau tidak. Apabila pola kerja sudah dinilai betul, maka tinggal menindak lanjuti dan apabila salah akan segera dapat merevisi.

Forum Yang Paling Efektif untuk Penyampaian Informasi Melalui Seni Di Kalimantan pada umumnya, baik Kalimantan Indonesia, Malaysia maupun Brunai Darussalam memiliki forum berupa kegiatan budaya seperti upacara-upacara akbar yang melibatkan banyak hadirin sebagai peserta maupun penonton dalam upacara tersebut. Upacara66

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

upacara besar pada masyarakat Dayak dikenal nama-nama upacara yaitu Gawai Dayak, Dangai, Erau, Dahau yang artinya pesta dan upacara besar. Dalam acara ini berbagai etnik Dayak besar dan sub etnik Dayak, keluar tampil bersama-sama etnik Dayak yang lain untuk melakukan upacara dalam bentuk gelar seni budaya (seperti di Jawa, dikenal istilah Grebeg). Upacara-upacara besar tersebut belakangan ini sudah mulai dikemas menjadi objek seni wisata dan kemasan wisata oleh Pemerintah Daerah setempat, dalam hal ini Dinas Pariwisata tingkat Provinsi. Pada masyarakat etnik Melayu memiliki beberapa forum besar di antaranya lebaran Idul Fitri, lebaran Haji dan Seleksi Tilawatil Quran (STQ) di tiap-tiap kabupaten, kemudian seleksi ini akan dilanjutkan ditingkat propinsi dan akan dilanjutkan pada Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) tingkat nasional. Forum STQ-STQ tersebut mampu menghadirkan ribuan bahkan jutaan manusia yang hadir dalam forum akbar tersebut, dengan demikian Forum akbar ini dapat dibidik menjadi ajang penyaluran informasi publik melalui gelar seni. Gawai Dayak dan STQ tersebut dilakukan tiap tahun. Ditingkat Kabupaten dilakukan secara berpindah-pindah tempat pentasnya sesuai hasil rapat panitia tahun sebelumnya. Belakangan ini muncul forum sejenis STQ bagi masyarakat Kristiani yaitu Pusparawi / Pusparani yang juga mulai dibesarkan pada tiap tahunnya dengan disertai gelar seni budaya di acara pembukaan dan penutupan serta disela-sela acara kompetisi, demikian juga forum STQ bahwa gelar seni dilakukan untuk pembukaan dan penutupan serta disetiap hari menjelang gelar kompetisi.

Lembaga dan Pribadi Sebagai Agen Penyampai Pesan Di Kalimantan yang begitu luas tidaklah mudah untuk memilih lembaga atau pribadi yang mampu mewadahi gagasan-gagasan atau informasi melalui media seni untuk publik, namun demikian saya punya pandangan untuk langkah awal yang mungkin lebih efektif, untuk menjaring pribadi-pribadi sebagai agen penyampai pesan yaitu : 1. Blawing Barek, Ketua Adat Besar Suku Bahau dari alur keluarga Dayak Long Gelaat / Apo Kayan, dia juga diangkat oleh tokohtokoh adat Dayak Kalimantan (Dayak Borneo) untuk memimpin keutuhan suku-suku Dayak yang tersebar di Kalimantan besar. Blawing Barek adalah seorang tokoh adat yang kharismatik dan sebagai penari serta pemusik yang piawai. Anak-anak dan cucu67

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

cucunya juga seniman yang cukup disegani dilingkungan komunitasnya. Pengaruhnya melampaui lintas batas propinsi bahkan lintas batas Negara. Tokoh semacam ini potensial menjadi pribadi agen penyampai informasi publik melalui seni budaya. Dia tinggal di Jalur hulu sungai sampai Hilir sungai Mahakam Kalimantan Timur. Posisi rumah di hulu Mahakam di daerah Long Pahangai, di bagian tengah di kampung Melak Sendawar, sedangkan di hilir Mahakam ada di Samarinda. 2. Pangeran Muashidin Syah, Pangeran dari Kasultanan Kotawaringin, adik Sultan Alidin Syah yang memiliki kharisma kepemimpinan yang luar biasa. Dia sangat dihormati dan disegani oleh Raja-raja komunitas Kalimantan kemudian diangkat menjadi penasehat Kerajaan dan Kesultanan Kalimantan, belakangan ini juga di daulat untuk menjadi penasehat Asosiasi Raja dan Sultan (Rasul). Di wilayah Kalimantan dan Sumatra di Kalimantan membawahi lima belas (15) kerajaan dan di Asosiasi Raja dan Sultan membawahi enam belas(16) kerajaan Islam. Dapat dibayangkan berapa orang yang terjaring dalam ikatan garis karisma pribadinya tersebut. 3. Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, lembaga ini memiliki jaringan dengan UNS-UMS-UNISRI dan lain-lain, dan lembaga tersebut memiliki para ahli dan kreator seni yang patut diperhitungkan dan diperankan. Insan akademis baik itu dosen ataupun mahasiswa dan alumni dapat menjadi Tim Ahli dalam bidang olah seni dan gelar seni untuk penyadaran masyarakat .Lembaga ISI dapat menyentuh jalur Adat dan lembaga Kerajaan sekaligus menyentuh Sanggar-sanggar seni dan Komunitas seni di Kalimantan.

Intisari 1. Semua seni dapat diperankan sebagai media penyampai informasi publik. 2. Motivator dan kreator seni adalah unsur utama dalam program penyadaran masyarakat melalui seni. 3. Jaringan utama penyalur gagasan /informasi pada masyarakat Kalimantan adalah lembaga adat dan kerajaan. 4. Bahasa seni adalah bahasa simbol.
68

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

5. Fungsi seni untuk kehidupan manusia. 6. Ada tujuh prasarat ideal untuk memanfaatkan seni sebagai media informasi. Demikian sekelumit kata tentang seni sebagai media penyampaian informasi, semoga dapat menjadi bahan diskusi dan dapat menjadi masukan untuk menyumbang kebutuhan informasi di jajaran Kementerian Kominfo, khususnya mengenai seni tradisional dan adat budaya masyarakat Kalimantan.
Daftar Pustaka Frans Jiu Luai 2002 HUDOQ SEBUAH LEGENDA (TARIAN) HUDOQ PADA ADAT DAYA MODANG/ LUNG GELAAT, Airlangga Press, Surabaya Frans Jiu Luay 2009 Adat Nemlaai-Lung Gelaat, Pemda Kutai Barat,Serduwar Liah Luhat,S 2002 PAKAIAN ADAT (tradisional) KAYAAN MEKAAM (Bahau), Airlangga Press, Surabaya Pamung 2003 PELULUKNG, Tata Cara Pengesahan Perkawinan Orang Dayak Benoak, Airlangga Press, Surabaya Sujarni Alloy 2008 MOZAIK DAYAK, KEBERAGAMAN SUB SUKU DAN BAHASA DAYAK DI KALBAR, Ford Foundation-Insitut Dayakologi, Pontianak Yohanes Bonoh 2003 ADAT PERKAWINAN SUKU DAYAK TUNJUNG, Airlangga University. Surabaya.

69

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Prof. Dr. Dharsono, MSn (Sony Kartika), Guru besar Bidang Ilmu Estetika. Sebagai ilmuwan menawarkan beberapa konsep estetika sebagai alternatif penulisan kajian dan pengamatan seni budaya sebagai salah satu model penelitian dan penulisan karya ilmiah. Lahir di Klaten, 14 Juli 1951, mendapatkan gelar doktor pada Sekolah Pasca sarjana ITB 2005, Dosen Pasca Sarjana ISI Surakarta, Dosen Luar Biasa Pascasarjana Universitas Trisakti Jakarta Saat ini menjabat sebagai Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat ISI Surakarta; Ketua Lembaga Pengkajian dan Konservasi Budaya Nusantara di Surakarta; Ketua Litbang SNKI (Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia) Di Jakarta. Beberapa buku yang pernah dipublikasikan antara lain: Pengantar Estetika, Bandung: Rekayasa Sain 2004; Seni Rupa Modern, Bandung: Rekayasa Sain 2004; Budaya Nusantara (Kajian Pohon Hayat pada Batik), Bandung: Rekayasa Sain 2006); Estetika Barat dan Timur, Bandung: Rekayasa Sain 2007; Kritik Seni, Bandung: Rekayasa Sain 2007; Tinjauan estetika Nusantara, STSI Press, 2008 Tinggal di Jl.Pembangunan I/13 Perum UNS Jaten Karanganyar 57731. 08122656566, e-mail: kartikasony@yahoo.co.id

70

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Peran Seni tradisi Komunikatif dalam Diseminasi Informasi di Wilayah Jawa Tengah dan DI Jogjakarta
Dharsono (Sony Kartika)
Pakar Ilmu Estetika Ketua LPPM Dosen ISI Surakarta Seni tradisi dipakai dan dimanfaatkan oleh sistem sosial tertentu, maka muncul kelompok-kelompok penggagas budaya tertentu (perekayasa budaya) yang memanfaatkan kesenian tradisi sebagai alat propaganda politik maupun propaganda sosial, yang kemudian terkenal dengan media komunikasi dengan tujuan tertentu. Pemanfaatan seni tradisi sebagai media komunikasi akan sangat berkaitan dengan rekayasa yang dikemas lewat-lewat pesan-pesan sesuai dengan kebutuhan maesenas. Seni tradisi yang layak untuk diangkat dan dimanfaatkan sebagai media komunikasi yang efektif adalah seni tradisi yang dapat dikemas sebagai bentuk tontonan yang komunikatif-dialogis. Kesenian tradisi yang mampu mewadahi ungkapan gagasan dalam seni dan sekaligus cocok untuk digunakan sebagai media komunikasi untuk penyampaian pesan kepada khalayak sesuai dengan kebutuhan maisenas.

Pendahuluan ondisi kesenian tradisi kita, baik yang klasik maupun yangrakyat, disebut tradisi karena tradisi itu, telah terbingkai dalam satu pigura waktu. Adapun waktu tersebut adalah waktu yang telah menyelesaikan suatu putaran dialektika budaya. Musik dan tari Jawa terbingkai dalam sistem kekuatan monarki-absolut yang berdialektika dengan sistem-sistem lainnya di waktu itu. Sedang kesenian tradisi rakyat kita terbingkai dalam dialektika budaya masa

71

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

lampau kita di mana sistem ekonomi pertanian tradisi dan sistem sosial. Kini budaya kita terbingkai oleh pranata sosial yang bermuara pada industri kreatif, akibatnya kesenian tersebut akan dipakai dan dimanfaatkan oleh sistem sosial yang berorientasi pada industri kreatif, maka muncullah kelompok-kelompok kesenian yang memanfaatkan kesenian rakyat sebagai alat propaganda sosial, sebagai emplementasi globalisasi ekonomi dalam trasformasi kapitalisme konsumen. Penyajian karya seni merupakan salah satu bentuk aktivitas yang memberi kemungkinan terjadinya interaksi dialog tiga komponen antara seniman, karya dan pengamatnya, dalam menembus keterbatasan. Penyajian karya seni merupakan rekayasa yang dirancang dan disajikan untuk pengamat seni , secara lebih luas dan efektif dan diharapkan dapat menemukan maknanya yang hakiki, yang dirasakan baik oleh seniman maupun pengamatnya. Namun demikian, kenyataan yang terjadi dalam sebuah pertunjukan/sajian seni, kita dihadapkan kepada dua komunitas, yaitu komunitas pengamat dan penikmat (penonton). Proses pengamatan tidak sama dengan penikmatan. Pengamatan atau apresiasi cenderung dimensi logis, sedang penikmatan sebagai proses cenderung masuk pada demensi psikologis. Yang menjadi sasaran topik dalam makalah ini adalah bagaimana kita mensiasati penonton, dan kekaligus untuk diajak bersama-sama menangkap pesan yang disampaikan. Untuk itu perlu memetakan seni pertunjukkan tradisi yang mampu menjadi media penyaluran pesan informasi secara efektif dan komunikatif. Pemanfaatan seni tradisi sebagai media komunikasi akan sangat berkaitan dengan rekayasa budaya yang dikemas lewat pesan-pesan tertentu, sesuai dengan kebutuhan maisenasnya (dalam halini Pemerintah, dan atau lembaga pemesan tertentu). Namun demikian pelaku seni sebaiknya tetap diharapkan untuk menjaga kareakter, sesuai kapabilitas seni tradisi sebagai media ungkap atau ekspresi. Pemetakan seni tradisi seyogyanya dipilih terhadap kesenian tradisi yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media komunikasi yang efektif dan informatif.

Kesenian tradisi sebagai eksprsi kebudayaan Kondisi budaya Indonesia telah mengalami proses transformasi budaya sejak jaman prasejarah. Proses tersebut mencerminkan adanya
72

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

perkembangan budaya etnik (walaupun tidak semua). Adanya perkembangan budaya tersebut, terutama perkembangan sejarah kesenian Indonesia mempunyai ciri yang menonjol, yang kemudian merupakan cermin keragaman budaya, sebagai salah satu identitas dan jati-diri bangsa Indonesia. Ciri menonjol dari kesenian Indonesia ialah bentuk yang plu-ralistis yang tersebar hampir di kawasan Nusantara. Ciri-ciri tersebut mencerminkan keanekaragaman kebudayaan sesuatu bangsa yang mendiami daerah yang terpisah. Tiap daerah memiliki akar budaya prasejarah sebagai dasar dari tradisi kesenian Indonesia yang sampai sekarang ada yang masih dipertahankan (Wiyoso, 1996:1). Kebudayaan hasil ekspresi masarakat Jawa (sekarang Indonesia), dari berbagai macam budaya-seni menurut daerahnya masing-masing merupakan modal dasar pembangunan, perlu adanya kajian dan penggalian sebagai satu usaha pelestarian. Seni tradisi perlu dilestarikan keberadaannya, terutama untuk memberikan satu aset budaya dalam pembangunan dewasa ini. Usaha untuk mengenal kesenian Jawa termasuk mencoba untuk menggali latar belakang budaya masyarakat Jawa. Kebudayaan Jawa ini melahirkan berbagai bentuk seni klasik dalam bentuk karawitan, tari, keris, batik, arsitektur, interior, dan wayang dan sebagainya. Kesenian tradisi sebagai salah satu produk budaya sejak zaman dulu merupakan salah satu bentuk seni Jawa tradisional yang mengalami proses tranformasi. Misalnya wayang sebagai produk perkembangan kesenian Indonesia Hindu-Budha, merupakan proses perkembangan seni tradisi masa lalu. Proses perkembangan yang berkesinambungan antara budaya tradisi masa lalu dengan tradisi selanjutnya terus berlangsung hingga kini. Keempuan para Wali dan Raja dalam mengolah unsurunsur wayang; menghasilkan wayang baru. Ini mengisyaratkan terjadinya proses kesinambungan kesenian tradisi (terutama wayang ) dilihat dari aspek seni rupa maupun pertunjukannya (Wiyoso, 1993:41). Kesinambungan tradisi seni memang pernah terputus sehingga perintisan untuk mencapai bentuk kesenian baru terhalang bahkan terhenti sama sekali. Akibat dari kesenjangan proses perkembangan kesenian Indonesia hanya mengharapkan pelestarian tradisi seni semata-mata tanpa upaya pengembangan untuk mencapai tradisi baru. Kesenjangan itulah yang terjadi pada saat lesunya kebudayaan pada masa pemerintahan kolonial Hindia-Belanda, ketika pamor budaya kerajaan Indone73

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

sia-Islam mulai memudar. Di saat itulah kesadaran tradisi bangsa yang terjajah terdesak yang berakibat kurangnya daya cipta untuk menemukan bentuk ekspresi baru yang mencerminkan kekuatan tradisi seni masa lampau. Makin menipisnya kesadaran tradisi berakibat pula surutnya daya apresiasi seni karya cipta bangsa sendiri. Hanya di pusat-pusat kesenian lama kesadaran tradisi tersebut masih tersisa untuk sekadar melestarikan nilai seni yang diwariskan dari para pencipta pendahulunya. Salah satu bentuk kesenian lama yang sarat dengan nilai-nilai budaya yang masih sempat berkembang pada pemerintahan kolonial adalah wayang, baik dilihat dari sudut pertunjukan maupun dari seni rupa (Wiyoso, 1986:41). Namun kini kesenian tradisi diminati kembali sebagai salah satu alternatif sebagai sumber inspirasi penciptaan dan rekayasa budaya dan dimanfaatkan sebagai propaganda sosial. Hal ini dapat dikatakan sebagai bukti adanya proses kontinuitas dalam upaya pelestarian tradisi, dan merupakan salah satu cermin adanya transformasi budaya, dalam proses mencari format budaya Indonesia.

Kesenian sebagai media apresiasi Kegaiatan seni akan selalu dihadapkan oleh dua komunitas; komunitas pengamat dan komunitas penikmat. Sajian seni merupakan salah satu bentuk aktivitas yang memberi kemungkinan terjadinya interaksi dialog tiga komponen antara seniman, karya dan pengamat, dalam menembus keterbatasan. Sajian seni merupakan rekayasa yang dirancang dan disajikan untuk penghayat seni secara lebih luas dan efektif dan diharapkan dapat menemukan maknanya yang hakiki, yang dirasakan baik oleh seniman maupun penghayatnya. Sedang penikmatan yang di dalamnya sarat dengan demensi psikologi yang sangat subyektif dan mengabaikan dimensi logis. Itulah sebabnya sangat dibutuhkan hadirnya pengamat seni dan atau kritisi seni, yang mampu menterjemahkan beragam bahasa visual dalam ragam bentuk dan ragam makna yang terbentuk oleh pengalaman emosional. Proses pengamatan dalam pelaksanaannya adalah apresiasi. Apresiasi seni merupakan proses sadar yang dilakukan pengamat dalam menghadapi dan memahami karya seni. Apresiasi adalah proses untuk menafsirkan sebuah makna yang terkandung dalam karya seni. Seorang pengamat yang sedang memahami karya sajian maka sebenarnya ia ha74

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

rus terlebih dahulu mengenal struktur organisasi atau dasar-dasar penyusunan dari karya yang sedang dihayati. Apresiasi seni merupakan proses sadar yang dilakukan penghayat dalam menghadapi dan menghargai karya seni. Proses dalam pengenalan nilai karya seni, merupakan hasil tafsir makna (arti) yang terkandung di dalamnya. Apresiasi menuntut ketrampilan dan kepekaan estetik untuk memungkinkan seseorang mendapatkan pangalaman estetika dalam mengamati karya seni. Pengalaman estetik bukanlah sesuatu yang mudah muncul atau mudah diperoleh, karena untuk semua itu memerlukan pemusatan atau perhatian yang sungguh-sungguh. Pengalaman estetika dari seseorang dipersoalkan bagaimana seseorang pengamat menanggapi atau memahami suatu benda indah atau karya seni? Seseorang tidak lagi hanya membahas sifat-sifat yang merupakan kualitas dari benda estetik, melainkan juga menelaah kualitas abstrak dari benda estetik, terutama usaha menguraikan dan menjelaskan secara cermat, dan lengkap dari semua gejala psikologis yang berhubungan dengan karya seni (Liang Gie 1978:51). Penikmatan berbeda dengan pengamatan (pemahaman). Pengamatan atau pemahaman nerupakan proses dimensi logis, sedang penikmatan merupakan proses dimensi psikologis, proses interaksi antara aspek intrinsik seseorang terhadap sebuah karya estetik. Hasil dari interaksi proses tersebut merupakan ultimatum senang atau tidak senang terhadap keberlangsungan terhadap karya seni. Relativitas kajian tersebut tergantung dari tingkat relativitas seseorang dalam menghadapi sebuah karya sajian. Tingkatan relativitas tersebut juga tergantung dari tingkat intelektual seseorang dan latar budayanya. Tingkatan tersebut menurut Steppen C. Pepper dalam bukunya berjudul The Principles of Appreciation memberikan empat tingkatan ultimatum kesenangan berdasarkan tingkat relativitas seseorang. Tingkatan pertama disebut tingkat subyektif relativitas, dimana seseorang dalam memberikan ultimatum senang dan tidak senang karena adanya keputusan subjektivitas, misalnya; Saya senang karena lm itu dimainkan oleh ...., ultimatum tersebut berdasarkan keputusan yang berorientasi pada selera pribadi, lepas sebelum atau setelah menikmati karya tersebut. Keputusan senang dan tidak senang lahir dari akibat pengaruh aspek psikologis secara instrinsik. Tingkatan kedua disebut tingkat relativitas budaya, tingkat relativitas ini merupakan ultimatum senang atau tidak senang atas keputusan sikap psikologis karena ika75

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

tan latar belakang budaya. Tingkatan ini selalu berorientasi terhadap sikap budaya dimana mereka hidup. Misalnya: saya senang karena karya seni yang disajikan merupakan kebudayaan daerah .... Alasan yang menyangkut atas budaya kesukuan, kebangsaan, dan semua yang menyangkut tentang adanya orentasi budaya yang sepihak terhadap budayanya, akan mempengaruhi ultimatum senang dan tidak senang terhadap karya seni setelah ataupun sebelum karya seni tersebut dinikmati. Tingkatan ketiga disebut tingkat biological relativity, dimana ultimatum senang dan tidak senang didasari atas keputusan yang berdasarkan atas intrinsik yang muncul setelah menikmati karya tersebut. Ultimatum tersebut hampir mendekati proses apresiasi, namun masih banyak menggunakan aspek psikologis dibanding logika pemahaman estetik. Keputusan senang dan tidak merupakan proses penikmatan karya estetika yang sedang disajikan. Hal itu biasanya dilakukan pada penikmat yang tidak sepihak terhadap subyektivitas ataupun budaya simpatik. Tingkatan keempat merupakan tingkatan relativitas yang disebut absolut, artinya ultimatum senang atau tidak senang bukan dari intrinksik tetapi cenderung kepada sikap ekstrinsik. Ultimatum didasarkan atas pengaruh dari luar. Misal: Semua seni itu indah, tanpa berusaha menikmati dengan segala kekuatan aspek psikologis yang ia punyai. Semua tingkat relativitas tersebut menunjukkan adanya tingkat relativitas yang dipunyai oleh seorang penikmat. Tingkat tersebut merupakan proses interaksi psikologis seorang penikmat, sehingga untuk penyajian karya seni diperlukan penikmat atau penonton sesbagai audien pertunjukan. Ini yang oleh penggagas rekayasa seni budaya sebagai salah satu dasar untuk mampu membangun pertunjukan/kegiatan seni yang sarat akan pesan-pesan yang komunikatif tetapi tetap punya kapabilitas seni sebagai ekspresi dan berkarakter.

Seni tradisi sebagai rekayasa budaya Ketika seni tradisi dipakai dan dimanfaatkan oleh sistem sosial tertentu, maka muncul kelompok-kelompok kesenian yang memanfaatkan kesenian rakyat sebagai alat propaganda politik maupun propaganda sosial. Kesenian sebagai ajaran rokhani yang wigati (lihat seni sebagai tuntunan dan tontonan) terpinggirkan oleh kekuatan global secara vertikal horisantal. Ajaran kebudayaan yang telah berakar di bumi pertiwi yang kita cintai ini, telah tergadaikan dan tergantikan dengan kebuday76

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

aan asing akibat pendidikan populer. Kebudayaan populer yang menjadi ujung tombak menejemen kapitalisme konsumen mulai menggeser kearifan lokal yang menjadi ruh dari kebudayaan, mulai terancam krisis demensi. Politik, ekonomi, hukum, dan bahkan kesenian, agama, mulai tercabut dari akar kebudayan dan berjalan sendiri-sendiri, seperi kereta tanpa masinis. Jadi janganlah heran apabila antara politik, hukum, ekonomi, agama dan seni saling bertabrakan.

Rekayasa sebagai media budaya populer Seni budaya masa yang sering disebut budaya populer atau seni populer, merupakan rekayasa budaya yang berorientasi dari perluasan kontinuitas pada seni rakyat atau seni yang berkembang dari masyarakat. Seni rakyat berkembang dari arus bawah, sedang populer art atau mass culture (budaya massa) berkembang sesuai dengan rekayasa klas atas. dikatakan demikian karena produk budaya massa dibuat oleh teknisi-teknisi yang disewa oleh para pengusaha; audiennya merupakan konsumen yang pasif, partisipasinya bukan karena adanya ikatan nilai sosio-cultural seperti pada seni rakyat tetapi partisipan dihadapkan pada alternatif membeli atau tidak... Kini, masyarakat di mana pertumbuhan gaya hidup semakin meningkat, memikat dan mengundang hasyrat, seperti perkembangan terakhir ini. Masyarakat konsumen Indonesia mutakhir tampaknya tumbuh dan beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan trasformasi kapitalisme konsumen yang ditandahi dengan menjamurnya pusat pembelajaan bergaya semacam Shopping Mall, industri waktu luang, industri mode atau fayen, industri kecantikan, industri koliner, industri nasehat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, real estate, gencarnya iklan barang-barang supermakket dan liburan wisata ke luar negeri, berdirinya sekolah-sekolah mahal (dengan label plus), kegandrungan terhadap merek asing, makanan serba instan (fast food), telepon seluler (HP), dan serbuan gaya hidup lewat industri iklan dan telivisi yang sudah masuk ke ruang-ruang pribadi dan bahkan mungkin sudah masuk ke relung-relung jiwa kita yang paling dalam... (Idi Subandi 2007). Tak disangsikan lagi, bahwa yang bertindak sebagai agen public relation dari kaum selibritis adalah media populer dan terutama televisi. Telivisi dengan kuatnya pada aspek hiburan ini bagi sebagaian kalangan bahkan dianggap mengkolonisasi waktu luang. Saluran musik te77

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

livisi non-stop 24 jam seperti MTV tidak hanya menghibur anak muda diberbagai penjuru Asia dengan video klip lagu-lagu dari grup-grup yang lagi in, tetapi juga menghibur mereka dengan pesan-pesan komersial, dan ini secara tidak lasung menanamkan nilai dan kesadaran akan betapa bahagianya kalau dapat mengisi luang dengan dengan bersenang dan bersantai bersama keluarga. Sementara pabrik gaya hidup yang sekian lama didominasi iklan kini dipercanggih dengan lewat rekayasa citra yang melahirkan para praktisi public relation dalam dunia bisnis, tontonan, dan juga politik. Dalam abad media, citra adalah segalanya, bahkan untuk menjadi bintang, orang tidak perlu sehebat Gandhi, Soekarno. Untuk menjadi hero, orang tidak perlu susah melakukan hal-hal yang luar biasa atau mesti menciptakan karya besar. Orang-orang yang dianggap besar kini adalah orang-orang biasa yang tenar dan ditenarkan oleh media; selibriti menurut media jurnalistik sekarang lebih asyik tokoh, bintang atau selibriti, untuk kemudian sewaktu-waktu mengenyahkannya dan menggantikannya dengan yang baru. Seperti siklus mode atau fashion dalam dunia bintang. Akhirnya kita hanya mampu menggaruk-garuk kepala, betapa hebatnya dunia ini.

Rekayasa sebagai media komunikasi Kesenian tradisi rakyat yang pernah berkembang di daerah, perlu kita pikirkan sebelum punah dimakan jaman. Seni rakyat dengan berbagai ragam bentuk dan ragam budaya daerah yang merupakan kekayaan bumi nusantara perlu ada rekayasa kultural sesuai dengan perkembangan teknologi dan informasi yang semakin global. Peningkatan sumber daya manusia yang menitik beratkan pada kekayaan daerah, mau tidak mau akan menoleh terhadap ragam seni tradisi rakyat yang berkembang di daerah sebagai alternatif garap yang mengarah pada seni komoditas, itu tak mungkin dapat dielakkan. Selanjutnya kita harus berkir bahwa kesenian rakyat adalah merupakan aset budaya daerah, yang perlu dikembangkan dan dilestarikan dengan sebuah rekayasa budaya yang arif. Rekayasa yang punya kearifan, apabila sebuah pelestarian budaya merupakan upaya untuk mengangkat kembali warisan budaya lokal sebagai langkah nyata dari kelompok masyarakat dalam membangun kembali warisan budaya leluhurnya, serta menatap masa depan, dengan penuh keyakinan tentang kekuatan diri di tengah peradaban yang
78

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

kian mengglobal. Budaya tradisi lokal merupakan kesenian warisan yang menjadi unggulan daerah dan kemudian menjadi ikon daerahnya, maka perlu dilindungi dan dilestarikan keberadaannya, sebagai bentuk ketahanan budaya. Ketahanan budaya akan menjadi cermin atas ketahanan nasional. Maka sebaiknya pelestarian budaya sebaiknya dikonsentrasikan dengan mengambil ikon warisan budaya secara aktual. Aktualisasi terhadap karya-karya tersebut sebaiknya dibangun dengan basic warisan budaya yang disesuaikan dengan perkembangan kini tanpa meninggalkan nilai essensinya. Ketika seni tradisi dipakai dan dimanfaatkan oleh sistem sosial tertentu, maka muncul kelompok-kelompok penggagas budaya tertentu (perekayasa budaya) yang memanfaatkan kesenian tradisi sebagai alat propaganda politik maupun propaganda sosial, yang kemudian terkenal dengan media komunikasi dengan tujuan tertentu. Indonesia memiliki keragaman budaya yang sangat luas. Dalam masing-masing budaya tersebut terdapat pola kesenian, media kesenian, dan posisi seniman yang beragam. Keragaman itu juga mempengaruhi bentuk maupun isi. Oleh karena itu, seni tradisional tidak bisa dilihat hanya dari satu pendekatan atau hanya berdasar pada prinsip umum (universal) yang diberlakukan untuk semua. Untuk melihat makna dan fungsi suatu kesenian, harus dilakukan pendekatan sesuai dengan karakteristik masyarakat di mana kesenian dan tradisi itu hidup dan berkembang (Limbeng, 2009). Kesenian tradisi pada dasarnya memiliki pola atau pakem yang membuat kesenian itu menjadi khas, berbeda dari yang lainnya. Namun sebenarnya pakem tersebut bukanlah suatu aturan mati, melainkan punya potensi untuk dikembangkan, berubah, dan berkembang sesuai dengan kebutuhan, bahkan mampu mengakomodasi perubahan isi sesuai dengan kepentingan (misal: propaganda politik ataupun propaganda sosial), Ini yang kemudian dikatakan sebagai rekayasa budaya sebagai rekayasa kepentingan. Pemanfaatan seni tradisi sebagai media komunikasi akan sangat berkaitan dengan rekayasa yang dikemas lewat-lewat pesan-pesan sesuai dengan kebutuhan maesenas. Namun demikian tetap tergantung kapabilitas seni tradisi sebagai media ungkap atau ekspresi namun tetap memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media komunikasi lewat seni tradisi .
79

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Seni tradisi sebagai media komunikasi, maka perlu dipilih bentukbentuk seni tradisi yang telah populer, seni pertunjukkan rakyat yang punya kemampuan untuk menciptakan hubungan antara seni dan masyarakatnya. Maka melalui seni tradisi sebagai media komunikasi yang komunikatif adalah (di Jawa-Tengah) melalui pertunjukkan seni tradisi: wayang, teater tradisi (ketoprak, wayang orang). Kesenian tersebut mampu membangun dialog langsung antara pelaku dan komunitasnya. Pelaku seni. Para dalang dan pelaku seni dapat mengungkapkan ide dan gagasannya kepada komunitasnya, maka akan terjadi dialog interaktif disela-sela cerita-cerita yang dibawakannya. Seorang dalang atau sutradara dapat mengungkapkan gagasan dan sekaligus menyampaikan pesan yang dikemas sebagai bentuk informasi yang diracik dalam satu rangkaian cerita, maka ungkapan seni dan pesan dari maisenasnya secara holistik.

Pemetakan seni tradisi sebagai media komunikasi Pemetaan kegiatan Seni tradisi yang layak untuk diangkat dan dimanfaatkan sebagai media komunikasi yang efektif adalah seni tradisi yang dapat dikemas sebagai tontonan yang komunikatif-dialogis. Kesenian tradisi yang mampu mewadahi ungkapan gagasan dalam seni dan sekaligus cocok dalam penyampaian pesan kepada khalayak. Meski semua seni tradisi merupakan ajaran dan tontonan, namun tidak semua seni pertunjukkan tradisi dapat menjadi media penyaluran pesan informasi secara efektif dan komunikatif. Mungkin hanya media seni tradisi yang verbal dan komunikatif-dialogis saja yang cocok dalam penyampaian pesan kepada khalayak. Seni tradisi yang lain, misalnya yang mengandalkan gerak atau nyanyian dalam batas tertentu sulit digunakan sebagai media penyampai. Oleh karena itu dibutuhkan pemetaan seni tradisi yang bisa digunakan sebagai media penyampaian pesan dan media informasi yang komunikatif. Pemerintah dalam halini lewat Kementrian Komunikasi dan Informatika, Pemerintah daerah tingkat propinsi ataupun kabupaten/Kota diharapkan mampu mewadahi potensi kesenian tradisi tersebut sebagai satu daya untuk mendorong aktivitas budaya, dan sekaligus mampu dimanfaatkan sebagai media komunikasi.

80

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

1. Wayang Kesenian wayang, merupakan jenis kesenian yang pada dasarnya menggunakan sosok wayang sebagai tema, sumber dan gagasan. Penggunaan sosok tersebut dapat saja merupakan media ekspresi secara murni ataupun penggambaran tematik tertentu. Sehingga kesenian wayang ini juga dapat disebut sebagai pertunjukan dengan menggunakan wayang sebagai sosok utama. Sosok wayang tersebut dapat tidak terbatas pada wayang kulit, tetapi juga wayang beber, wayang golek, wayang reka (termasuk wayang suket (Pedepoan Wayang Suket), wayang kampung (Komunitas Wayang Kampung Sebelah) dan sebagainya dan sebagainya.
Wayang wahyu Wayang krucil wayang Wayang beber Wayang Reka Wayang golek Wayang purwa

Wayang kampung Wayang Suket Wayang bhuda Wayang suluh Wayang reka yang lain

81

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Wayang merupakan seni tradisi layak untuk diangkat dan dimanfaatkan sebagai media komunikasi yang efektif adalah seni tradisi yang dapat dikemas sebagai tontonan yang komunikatif-dialogis. Pemilihan kesenian wayang yang efektif dan komunikatif untuk wilayah JawaTengah dan DIJ, adalah wayang purwa, wayan kampung dan wayang suket Pilihan ini sudah digarap oleh keompok seni maupun komunitas peduli wayang. 1.1. Wayang Purwa Wayang Purwa, sebagai wayang klasik tradisional tersebut di atas merupakan karya local-genius yang kaya akan perlambangan kehidupan. Hal ini karena adanya pandangan kosmis-magis yang mendasari penciptaan wayang. Pengaruh kebudayaan dari luar tak menggoyahkan pandangan hidup itu, tetapi justru memperkaya kualitas yang tercermin lewat perlambangan pada setiap ujud rupa wayang. Hal tersebut membuktikan adanya kesinambungan bentuk wayang pada masa Indonesia Hindu dan Islam. Hal ini merupakan cerminan adanya kekuatan kosmologi yang mampu memberikan dasar dalam mengejawantahkan bentuk wayang sebagai perlambangan kehidupan manusia. Wayang dalam bentuknya realistis akibat pengaruh budaya India melalui agama Hindu, kemudian teradaptasi dengan budaya Jawa yang kental dengan kekuatan kosmis-magis dalam kosmologi Jawa. Perubahan bentuk realistis pada budaya Hindu kemudian menjadi bentuk non-realistik pada budaya Islam. Kekentalan kosmis-magis kemudian merupakan satu kekuatan yang menjadi landasan munculnya local-genius. Kelanjutan pada kebudayaan Islam, kekuatan perlambangan justru lebih memperkaya kualitas, yang tercermin pada setiap unsur rupa wayang. Wayang mulai meninggalkan kepengaruhan budaya India yang realistik ke bentuk non-realistik. Kemudian wayang kulit Purwa yang non realistik tersebut merupakan wayang kulit klasik tradisionil yang mampu memberikan jatidiri bangsa Indonesia. Sekaligus merupakan bukti munculnya local-genius bangsa Indonesia. Wayang purwa kemudian merupakan sarana dahwah agama islamiah , namun dilihat dari segi bentuknya maka nampak adanya kesinambungan bentuk wayang pada masa hindu dengan masa
82

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

agama Islam, hanya mengalami distorsi-stilasif pada wayang purwa. Hal ini merupakan pertimbangan para wali, sebagai sarana adaptasi seperti yang telah disinggung di depan. Kesinambungan tradisi mendorong para empu wayang untuk melestarikan dan mengembangkan wayang dengan fungsi yang sama yaitu sebagai media pendidikan dan sebagai sarana seni pertunjukan yang bersifat lokal. Wayang sebagai karya seni pertunjukan ini mengandung berbagai nilai karena sifatnya yang mixmedia

Pertunjukan Wayang Purwa Pertunjukan Wayang Purwa di halaman balai Kota Surakarta (Dokumen Komunitas Ronggo Winter Wisma Seni TBS Surakarta 2010)

Pertunjukan dengan menggunakan sosok wayang purwo di atas, merupakan pemanfaatan seni tradisi sebagai media komunikasi. Pertunjukan wayang tersebut akan sangat berkaitan dengan rekayasa yang dikemas lewat-lewat pesan-pesan sesuai dengan kebutuhan maesenasnya. Namun demikian pertunjukan tersebut tetap tergantung terhadap kapabilitas seni tradisi sebagai media ungkap atau ekspresi namun tetap memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media komunikasi 1.2. Wayang Reka Wayang Reka merupakan wayang alternatif garaf yang beorientasi pada konsepsi wayang purwo, tetapi dikonsentrasikan ga83

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

rap tematik dan mengacu pada funsi gara tertentu. Wayang reka ini di diJawa Tengah dan DIJ telah lahir karya wayang alternatif antara lain: wayang kampung, wayang budha, wayang suket, wayang suluh, dan lain sebagainya. 1.2. 1. Wayang Kampung Wayang kampung reka garapnya berorientasi terhadap wayang purwa. Apabila perjalanan wayang purwa kemudian merupakan sarana dahwah agama islamiah, wayang kampung direka dengan sosok orang kampung dan dufungsikan sebagai penebaran nilainilai kearifan lokal. Wayang kampung ini secara gur garap menyerupai wayang suluh, bedanya wayang suluh gur-gur yang dibangun berorientasi pada tokoh-tokoh pejabat tnggi waktu itu; bung Karno, Bung Hatta, Suharto, Nasution, para menteri, para Bupati dan sebagainya, dan berfungsi sebagai penyuluhan departemen Penerangan saat itu.

Pertunjukan Wayang Kampung Pertunjukan wayang kampung dengan ki Dalang Drs. Jliteng Suparman, Wayang Kampung Sebelah di Serambi Museum Radya Pustaka dan di halaman Kampung Baluwarti (Dokumen Komunitas Ronggo Winter Wisma Seni TBS Surakarta 2010)

Pertunjukan dengan menggunakan sosok wayang reka (wayang kampung) di atas, merupakan pemanfaatan seni tradisi alter84

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

natif sebagai media komunikasi. Pertunjukan wayang tersebut akan sangat berkaitan dengan rekayasa yang dikemas lewat-lewat pesan-pesan sesuai dengan kebutuhan maesenasnya. Namun demikian pertunjukan tersebut tetap tergantung terhadap kapabilitas penyaji sebagai media ungkap atau ekspresi dan sekaligus tetap memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media komunikasi. Sesuai dengan fungsinya yaitu untuk penebaran nilai kearifan lokal. 1.2.2. Wayang Suket Wayang Suket Slamet Gundono komunitas Wayang Suket merupakan pertunjukan wayang alternatif, secara eksitensi memang seolah lepas dari pakem, namun secara konsepsi masih berorientasi pada wayang konvensi pada wayang purwa Sosok wayang atau Boneka wayang yang dibuat dari kulit, yang biasa digunakan untuk pertunjukan wayang kulit, di tangan Slamet Gundono bisa diubah dengan apa saja. Pertunjukan wayang seperti itu, tentu saja sudah sangat menjauh dari pakem pertunjukan wayang kulit konvensional. Jika pertunjukan Slamet Gundono harus diberi istilah, dengan pertunjukan teater wayang. Dikatakan teater, karena pertunjukan ini juga melibatkan aktoraktor lain yang bermain di panggung, dan dalam beberapa adegan para aktor itu berinteraksi dengan wayang yang dimainkan. Pertunjukan gado-gado seperti itu sudah merebak di Tanah Air. Banyak yang melakukannya. Namun, ada satu kekuatan yang dimiliki Slamet dan kawan-kawannya sehingga pertunjukannya tetap memikat dan enak ditonton. Setidaknya ada empat unsur yang menjadi kekuatan dalam pertunjukan Slamet. Pertama, Slamet Gundono selalu memasukan unsur humor namun tidak dengan maksud melawak. Kedua, sebagaimana layaknya dalang konvensional yang pandai menembang, Slamet Gundono yang setiap kali pentas selalu ditemani ukulele, pandai menembang dengan suara yang merdu. kepandaiannya ini membuat narasi yang disampaikan, jadi lebih memikat, dengan tingkat penghayatan yang tepat. Ketiga, sekalipun lakon yang dibawakan bernuansa surealis, namun alur cerita yang dibangun masih ada benang merahnya, sehingga penonton dapat mengikuti jalan ceri85

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

ta yang dibentangkan. Keempat, Slamet selalu mengusahakan pertunjukannya berlangsung secara komunikatif. Ada interaksi antara pemain dengan penonton seperti yang terdapat dalam pertunjukkan teater tradisional, misalnya Lenong, Longser, Ludruk, Ketoprak, Makyong. (www.tamanismailmarzuki.com Garibabas Strange World 2009)

Pertunjukan Wayang Suket Beberapa adegan dalam wayang suket, dalang dan sutradara Slamet Gundono, Komunitas Wayang Suket Mojosongo Surakarta (Dokumen Esha Kardus ,2009)

Pertunjukan dengan menggunakan sosok wayang reka oleh Komunitas Wayang Suket (Slamet Gundono) dirakit seadanya Wayang suket merupakan teater tradisi alternatif sebagai media komunikasi antara aktor sekaligus dalang Slamet gundono. Pertunjukan wayang tersebut merupakan ekspresi seniman secara intuitif garap dan dikemas lewat-lewat pesan-pesan sesuai dengan kebutuhan maesenasnya. Namun demikian pertunjukan tersebut tetap tergantung terhadap kapabilitas penyaji sebagai media ungkap atau ekspresi dan sekaligus tetap memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media komunikasi.
86

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

2. Teater Tradisi Teater tradisi di Jawa (seperti; ketoprak, wayang orang, sandiworo), telah mengalami proses transformasi budaya sejak jaman prasejarah. Proses tersebut mencerminkan adanya perkembangan budaya etnik (kesenian rakyat). Adanya perkembangan teater tradisi, mempunyai ciri yang menonjol, yang kemudian merupakan, sebagai salah satu seni punya identitas dan karakter jati diri bangsa. Teater tradisi sebagai salah satu produk budaya merupakan salah satu bentuk seni Jawa tradisional yang mengalami proses tranformasi budaya. Seputar 1960-1970-an teater tradisi yang muncul sebagai budaya masa di tengah masyarakat (ketoprak, wayang orang, sandiworo radio), tidak hanya digemari tetapi sangat populer pada masyarakat. Kini ketoprak ataupun wayang orang (panggung) ditinggalkan penggemarnya dan beralih ke layar kaca, maka ketoprak dan wayang orang yang dulu mengalami kejayaan sebagai budaya populer. Ketoprak dan wayang orang kini menjadi budaya kelangenan.

Pertunjukan ketoprak Beberapa adegan dalam ketoprak, Parede ketoprak sse Jawa tengah dan DIJ, Taman Budaya Jawa-Tengah TBS Surakarta (Dokumen Esha Kardus, 2009)

Pertunjukan Ketoprak (di atas) merupakan pemanfaatan seni tradisi sebagai media komunikasi. Pertunjukan ketoprak terse87

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

but akan sangat berkaitan dengan rekayasa yang dikemas secara tematik garap.. Namun demikian pertunjukan tersebut tetap tergantung terhadap kapabilitas seni tradisi sebagai media ungkap atau ekspresi. Ketoprak sepert di atas ada peluang untuk tetap memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi media komunikasi. Penggagas ketoprak, ataupun wayang panggung, kini kurang diminati, tetapi sebenarnya masih punya penggemar yang baik. Kotoprak dan wayang orang kini mulai merambah ke gedung pertemuan, pendapa, di halaman-halaman, sebagai alternatif. Catatan terakhir muncul fragmen ketoprak/wayang orang, yang dikemas sebagai; fragmen wayang orang, wayang orang garap, ketoprak petilan, guyon maton, ketoprak gremeng, dan lain sebagainya.

Rekomendasi 1. Perlu diingat bahwa seni tradisi merupakan ajaran dan tontonan, maka maisenas dalam halini pemerintah (Kementrian Komunikasi dan Informatika, Pemerintah daerah ataupun lembaga lain) perlu selektif memilih seni tradisi dapat menjadi media penyaluran pesan informasi secara efektif dan komunikatif-dialogis saja yang cocok dalam penyampaian pesan kepada khalayak. Oleh karena itu dibutuhkan pemetaan seni tradisi yang bisa digunakan sebagai media penyampaian pesan dan media informasi yang komunikatif. 2. Seyogyanya para penggagas/pemrakarsa perlu memilih bentukbentuk seni tradisi yang telah populer, dan punya kemampuan untuk menciptakan hubungan antara seni dan masyarakatnya. Maka melalui seni tradisi sebagai media komunikasi tersebut mampu membangun dialog langsung antara pelaku dan komunitasnya. Sehingga para pelaku seni, dapat mengungkapkan ide dan gagasannya sekaligus mampu membangun dialog interaktif disela-sela ceritacerita yang disajikan. 3. Pemakaian dan pemanfaatan seni tradisi sebagai media komunikasi. Harus mampu membangun rekayasa budaya yang dikemas secara tematik garap, namun tetap berpegang terhadap kapabilitas seni tradisi sebagai media ungkap atau ekspresi, sehingga kesenian tersebut masih punya karakter.
88

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Daftar Pustaka Claire Holt; 1973 Art in Indonesia: Continuties and Change, New York Ithaca: Cornell University Press. Haryono Haryoguritno; 1993 Wayang Purwa Gagrak Surakarta Ditinjau dari Aspek Rupanya. Makalah Pengantar, Rupa Wayang dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia, Pameran Seni Rupa Kontemporer dalam Rangka Pekan Wayang Indonesia VI. The Liang Gie; 1976 Garis Besar Filsafat Keindahan, Yogyakarta: Penerbit Karya. Wiyoso Yodoseputro; 1993 Kesinambungan Tradisi dan Sumber Pengilhaman. Makalah Pengantar, Rupa Wayang dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia, Pameran Seni Rupa Kontemporer Pekan Wayang Indonesia VI. Wiyoso Yodoseputro; 1996 Seni Prasejarah di Indonesia, Diktat Kuliah, Bandung: Seni Rupa PPS-ITB. Adi Subandi Ibrahim (2007). Budaya Populer sebagai Komunikasi (Dinamika Popscape dan Mediascape di Indonesia Kontemporer). Jogyakarta:Jalasutra Dharsono (Sony Kartika) (2007), Estetika, Bandung: Rekayasa Sain Geertz, Clifford (1960), The Religion of Java. New York: The Free Press. Irianto, Asmujo J (1999), Kria Dalam Pendidikan Tinggi, Makalah Seminar Nasional Seni Rupa Tradisi Nusantara Topik: Implementasi Konsep Kriya dalam Pendidikan Tinggi Surakarta:STSI Jose an Miriam Arguelles (1972), Mandala, Boelder and London: Shambala Koentjaraningrt (1985), Javanese Culture. New York: Oxford University Press Mulder, Niel (1984), Kepribadian Jawa dan Pembangunan Nasional, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press Simuh, (1996), Susme Jawa: Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa., Yogyakarta, yayasan Bentang Budaya Subagyo, Rahmat, (1981), Agama Asli Indonesia, Jakarta, Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka Soedarsono, RM (1999), Seni Indonesia (kontinuitas dan Perubahan, Terjemahan Clare Holt dalam Art in Indonesian Continuities and Change, Corne; University (1967), Yogyakarta:ISI Sumardjo, Jakob, TTh, Memahami Seni. Bandung, Diktat PascaSajana ITB (tidak diterbitkan) Wiryamartana, I. Kuntara, 1990. Arjunawiwaha: Tranformasi Teks Jawa Kuna lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa, Yogyakarta, Duta Wacana University Press.
89

MENGGUBAH SENI TRADISI DAN PERTUNJUKAN YANG KOMUNIKATIF UNTUK PENCERDASAN RAKYAT

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Lahir di Singapadu, Bali, 12 April 1948. Mulai belajar menari pada usia 11 tahun dari ayahnya sendiri. Lulus Sarjana Muda dari ASTI Denpasar tahun 1973, kemudian, melanjutkan ke ASTI Yogyakarta, lulus tahun 1975, mendapatkan gelar PhD dari University of California, Amerika Serikat pada tahun 1992. juga mendapatkan gelar guru besar bidang koreogra dari STSI Denpasar pada tahun 1999. Sebagai penari, ia sering mengikuti pentas baik di dalam negeri maupun luar negeri. Lawatan pentasnya di luar negeri di lakukan antara lain di Iran (1969), Jerman (1975), Hongkong (1977), serta Singapura (1977). Sedangkan pentasnya di dalam negeri antara lain, Dramatari Calonarang Katundung Ratnamanggali(Yogyakarta, 1974), Dramatari Sunda Upasunda (Yogyakarta, 1975), Dramatari Cak Subali Sugriwa(Denpasar, 1975), Dramatari Cak DewaRuci(1982), Sendratari Abimanyu Gugur(Denpasar, 1976) dan Dramatari Apa(Denpasar, 1977). Pemimpin sanggar tari Bali Waturenggong di Denpasar ini, pernah bekerja sama dengan beberapa seniman tari, diantaranya dengan I Made Bandem MA, menyusun Dramatari Topeng Puputan Badung(Denpasar, 1977), dengan Ikranagara menata drama Rimba Triwikrama (Jakarta, 1978), serta dengan Keith Terry memproduksi tarian terkenal Tjak (1990). Beberapa buku pernah ia tulis, antara lain, Catatan Beberapa Seni Pertunjukan Bali(sebuah karya bersama ASTI Denpasar, 1977), Perkembangan Seni Tari Bali (Proyek Sasana Budaya Bali-Denpasar) dan Pengantar Karawitan Bali (ASTI Denpasar, 1978). Sering juga berkunjung ke berbagai lembaga pendidikan untuk bertukar pengetahuan tentang dunia seni khususnya seni tari, salah satu tempat yang ia kunjungi adalah Holy Cross College in Worcester, New England, Amerika Serikat. Baru-baru ini, bersama dengan beberapa seniman Bali, ikut memprotes pemerintah Malaysia atas klaimnya terhadap tari Pendet. 92

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Mencerdaskan Rakyat dengan Seni Tradisi dan Pertunjukan Komunikatif


I Wayan Dibia
Ahli Seni Tari, Dosen ISI Denpasar

Pengantar eni, apapun media ungkapnya, adalah suatu perwujudan ekspresi artistik yang diikat oleh nilai-nilai budaya. Lahir dari berbagai konsepsi yang dimiliki manusia tentang sesuatu yang ada di sekitar mereka, seni merupakan suatu sistem budaya. Dengan ini dimaksudkan bahwa seni tidak berdiri sendiri melainkan selalu terkait dengan unsur-unsur budaya lainnya1. Indonesia adalah negara multi-etnis yang memiliki beraneka ragam warisan kesenian. Setiap kelompok etnis, yang tersebar di seluruh tanah air, menggunakan kesenian tersebut dengan cara dan maksud yang berbeda-beda sesuai kebiasaan yang berlaku setempat. Di Bali, masyarakat Hindu Bali memperlakukan kesenian bukan saja sebagai sarana upacara ritual melainkan juga sebagai hiburan masyarakat. Dalam fungsinya sebagai persembahan kepada Tuhan (niskala) dan manusia (sekala), kesenian menjadi sarana komunikasi sekaligus edukasi bagi masyarakat. Belakangan ini, sajian kesenian di Bali, seperti yang juga terjadi di daerah lain, cenderung lebih mengutamakan unsur hiburan dan mengabaikan unsur pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa kesenian, seperti yang dikatakan Bambang Sugiharto (Dosen Universitas Katolik Parahy-

Clifford Geertz, Local Knowledge; Further Essays in Interpretative Anthropopogy, New York, Basic Books Inc, 1983, h.94-120.

93

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

angan) diadakan hanya untuk membuat hati senang dan pikiran tenang, membantu kita untuk sejenak melarikan diri dari persoalan.2 Untuk menyenangkan penonton dan membuat mereka tertawa, para seniman seringkali memasukkan adegan-adegan lucu, melalui sajian gerak dan dialog-dialog yang dapat memancing ketawa penonton. Tidak sedikit pelaku kesenian yang secara tidak sadar telah memasukan lelucon kasar dan vulgar, jorok dan porno, serta informasi-informasi lainnya yang tidak benar ke dalam sajian kesenian mereka. Walaupun mungkin bisa menghibur, kesenian seperti ini tidak akan mampu mencerdaskan masyarakat. Untuk menjadikan kesenian tradisi sebagai sistem budaya yang lebih strategis dalam kehidupan masyarakat kita, kiranya diperlukan adanya upaya-upaya revitalisasi terhadap unsur-unsur pendidikan di dalam kesenian tradisi yang ada. Dengan menjadikan kesenian tradisional Bali, khususnya seni pertunjukan, sebagai fokus, tulisan ini mencoba untuk membahas kondisi seni pertunjukan tradisional Bali dewasa ini serta mencari berbagai kemungkinan untuk mengembalikan keseimbangan muatannya, agar seimbang antara aspek tontonan dengan tuntutannya. Dengan menjadikan Arja, Topeng, Wayang Kulit, Gong Kebyar, dan Pesantian sebagai obyek material, tulisan ini bertu-juan untuk menjelaskan bahwa jika sajian kesenian sudah diseimbangkan muatan tontonan dan tuntunannya maka kesenian tersebut akan mampu memberikan pencerahan untuk mencerdaskan masyarakat.

Seni Tradisi dan Pertunjukan Komunikatif di Bali Di tengah-tengah pergeseran nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Pulau Dewata belakangan ini, sebagai akibat dari masuknya unsurunsur budaya global, sejumlah kesenian tradisional Bali masih tetap eksis dan bertahan di masyarakat. Arja, Topeng, Wayang Kulit, Gong Kebyar, dan Pesantian adalah beberapa kesenian tradisional Bali yang hingga kini masih memperoleh tempat cukup istimewa di dalam kehidupan masyarakat Hindu-Bali. Patut dipahami bahwa kesenian Bali, terutama seni pertunjukan dramatik, menawarkan komunikasi artistik berkualitas bayu-sabda-idep, yaitu sajian seni yang mampu secara holistik membangkitkan energi, bunyi, dan daya pikir. Secara singkat dapat dikatakan bahwa gerak dan
2 Ignatius Bambang Sugiarto, Seni, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban (Pidato Pengukuhan Guru Besar), Bandung, 16 Desember 2006, hal. 5

94

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

tari, termasuk unsur visual lainnya, yang bisa dicerap lewat mata, termasuk aspek bayu. Sajian bunyi-bunyian, musik (vokal dan instrumental), serta unsur-unsur aural lainnya, yang dapat dicerap dengan telinga, termasuk aspek sabda. Pesan-pesan etika dan moral, pandangan hidup maupun gagasan-gagasan lainnya, yang disajikan dalam bentuk lakon dengan berbagai narasinya, yang dapat merangsang pikiran penonton, termasuk aspek idep. Interaksi dan totalitas dari ketiga unsur inilah menghasilkan kenikmatan artistik yang berkualitas bayu-sabda-idep3. Keterkaitan yang dinamis dari ketiga aspek di atas dalam seni pertunjukan Bali dapat dituangkan ke dalam suatu bagan berupa lingkaran dalam segi tiga. Lingkaran di tengah adalah seni pertunjukan sedangkan segi tiga menggambarkan ke tiga aspek, bayu, sabda, dan idep, yang mengikat seni pertunjukan. Secara bergantian, masing-masing aspek bisa berada di atas untuk menunjukkan dominasinya terhadap kedua aspek yang lainnya. Ketika sajian gerak dan tari yang mendominasi suatu pertunjukan, maka bayu akan berada di atas. Ketika sajian musik yang mendominir maka aspek sabda akan berada di atas. Aspek idep akan berada di posisi atas ketika bagian-bagian suatu pertunjukan didominasi oleh sajian lakon dengan berbagai pesannya. Ketika satu aspek berada di atas, dua aspek lainnya tetap memberikan dukungan. Hal ini menunjukkan adanya interaksi total antara ke tiga aspek (gerak, bunyi, dan pesan) dalam suatu peristiwa pertunjukan Bali. Pada bagan di bawah ini, aspek bayu berada di atas, didukung oleh aspek sabda dan idep, untuk menunjukkan bagian seni pertunjukan Bali yang tengah didominasi oleh sajian gerak dan tari. Bayu

Idep

Sabda

Baca: I Wayan Dibia, Arja : A Sung Dance-Drama of Bali; A Study of Change and Transformation (disertasi) Los Angeles : University of California, Los Angeles (1992).

95

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Di Bali, kesenian merupakan produk budaya komunal yang lahir melalui hasil kerja bersama dan atau yang melibatkan banyak orang. Dengan demikian, kesenian bukan saja menjadi ekspresi artistik yang bersifat kolektif melainkan juga sebagai wadah interaksi dan komunikasi sosial di antara mereka yang ikut terlibat dan masyarakat penonton. Telah dikemukakan di atas bahwa sejumlah kesenian tradisional Bali seperti Arja, Topeng, Wayang Kulit, Gong Kebyar, dan Pesantian hingga kini masih digemari oleh masyarakat setempat. Kesenian-kesenian ini dapat digolongkan sebagai kesenian komunikatif karena oleh masyarakat kesenian-kesenian tersebut bukan saja dijadikan sarana untuk menyebarkan atau menyampaikan informasi melainkan yang lebih penting lagi adalah sebagai media komunikasi. 2.1 Arja dan Topeng Arja dan Topeng adalah dua dramatari tradisional Bali yang hingga kini masih digemari masyarakat Bali. Keduanya merupakan seni pertunjukan dramatik yang sangat dekat dengan masyarakat. Karena hidup dan mati kesenian ini sangat tergantung pada dukungan sosial dan nancial masyarakat, Brandon memasukkan kedua kesenian ini ke dalam seni pertunjukan rakyat4. Arja adalah sebuah dramatari yang menggunakan dialog berbentuk bahasa bertembang (tembang macapat). Lakon-lakon yang dibawakan pada umumnya bersumber pada cerita Panji (Malat) yang diajukan dalam seni drama yang tragic-komedi. Struktur pertunjukan Arja sangat diikat oleh prinsip rwa-bhineda; manis dan buduh, alus dan keras. Dramatari ini diperkirakan muncul pada tahun 1825, yaitu pada jaman pemerintahan raja Klungkung I Dewa Agung Sakti. Namun demikian belum ada data-data tertulis yang mengungkap secara pasti kemunculan dan keberadaan Arja pada zaman itu. Tiga fase penting yang mewarnai sejarah perkembangan Arja adalah munculnya Arja Doyong (tanpa iringan dan dimainkan oleh satu orang), Arja Gaguntangan (yang memakai gamelan Gaguntangan dengan jumlah pelaku lebih dari satu orang), dan Arja Gede (yang dibawakan oleh antara 10 sampai 11 orang pelaku dengan struktur pertunjukan yang sudah baku seperti yang ada
4 James R. Brandon, Theatre in Southeast Asia, Cambridge-Massachusetts, Harvard University Press, 1967, h.80.

96

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

sekarang. Lakon apapun yang dibawakan, Arja selalu menampilkan peran-peran utama (stock characters) yang meliputi inya, galuh, desak, limbur, liku, panasar (manis dan buduh), dan mantri (manis dan buduh). Agar pertunjukan Arja bisa lebih komunikatif, sudah menjadi kebiasaan para pemain untuk menyelipkan pesanpesan keagamaan, sosial, politik, dan ekonomi, ke dalam lakon yang dibawakan. Dengan selipan pesan-pesan aktual seperti ini masyarakat merasa dekat dengan kejadian-kejadian yang digambarkan dalam lakon. Topeng adalah dramatari yang semua pelakunya mengenakan topeng dengan cerita yang bersumber pada cerita sejarah yang lebih dikenal dengan Babad. Topeng (berwajah manusia) menjadi elemen utama dari dramatari ini, dan keberhasilan pertunjukan Topeng sangat tergantung dari kemampuan para pemainnya memainkan topeng yang digunakan. Diperkirakan dramatari ini muncul sekitar abad XVIII5. Dalam membawakan peran-peran yang dimainkan, para penari memakai topeng yang menutup seluruh bagian muka penari (topeng bungkulan), sebagian muka--dari dahi hingga rahang atas (topeng sibakan), dan yang hanya bagian tertentu seperti dahi, hidung, atau mulut (topeng kepehan). Semua tokoh yang mengenakan topeng bungkulan atau penuh tidak berdialog langsung, sedangkan semua tokoh yang memakai topeng sibakan dan topeng kepehan sebagian memakai dialog berbahasa Kawi dan Bali. Tokoh-tokoh utama yang terdapat dalam dramatari Topeng terdiri dari Pangelembar (topeng Keras dan topeng Tua), Panasar (Kelihanyang lebih tua, dan Cenikan yang lebih kecil), Ratu (Dalem dan Patih), dan Bondres (rakyat). Jenis-jenis Dramatari Topeng yang ada di Bali adalah: Topeng Pajegan yang ditarikan oleh seorang aktor dengan memborong semua tugas-tugas yang terdapat didalam lakon yang dibawakan, Topeng Panca yang dimainkan oleh empat atau lima orang penari yang memainkan peranan yang berbeda-beda sesuai tuntutan lakon, Topeng Prembon yang menampilkan tokoh-tokoh campuran yang di ambil dari Dramatari Topeng Panca dan beberapa dari
5 I Made Bandem and Frederik Eugene deBoer, Kaja and Kelod; Balinese Dance In Transition, Kuala- lumpur, Oxford University Press, 1981, h.49.

97

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Dramatari Arja, dan Topeng Bondres, seni pertunjukan topeng yang masih relatif muda yang lebih mengutamakan penampilan tokoh-tokoh lucu untuk menyajikan humor-humor yang segar. 2.2 Wayang Kulit Wayang Kulit adalah seni pertunjukan tradisional Bali yang hingga kini masih digemari oleh masyarakat setempat. Pertunjukan Wayang Kulit, terutama oleh dalang-dalang ternama, di kota maupun di desa, selalu dibanjiri oleh penonton. Dalam tradisi budaya Bali, pertunjukan wayang kulit diperkirakan sudah ada sejak abad IX. Dalam prasasti Bebetin yang berangka tahun caka 818 atau 896 Masehi, dari zaman pemerintahan Raja Ugrasena, diketemukan sejumlah istilah seni pertunjukan yang salah satunya adalah parbwayang yang diyakini berarti wayang atau pertunjukan wayang. Dalam prasasti Gurun Pai Desa Pandak Bandung, juga dikete-mukan beberapa istilah, salah satunya adalah aringgit yang berarti bermain wayang6. Berdasarkan wilayah geogra dan budayanya, seni pewayangan Bali dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu Bali Utara (Buleleng) dan Bali Selatan (Badung, Gianyar, Tabanan, dan lain-lain). Perbedaan cukup mendasar Wayang Kulit dari kedua wilayah ini terlihat dari status sosial dalangnya, bentuk wayangnya, jumlah pelakunya. Di Bali Utara, seorang dalang berstatus mangku dalang sehingga harus berbusana putih-putih sebagaimana layaknya seorang rohaniawan, lebih dari seorang seniman. Berbeda dengan dalang di Bali Selatan yang lebih diperlakukan sebagai seorang seniman. Dengan busana seperti ini, prilaku dalang di Bali Utara berada pada pertemuan dunia spiritual dan dunia seni (teatrikal), sementara dalang Bali Selatan lebih banyak di wilayah teatrikal. Di lihat dari bentuknya, secara umum dapat dikatakan bahwa ornamen ukiran Wayang Kulit Bali Utara lebih sederhana dari pada wayang-wayang Bali Selatan yang cenderung lebih rumit. Bentuk empat punakawan inti: Malen, Merdah, Delem, dan Sangut, di kedua wilayah budaya ini juga sangat berbeda. Perbedaan ini bisa dilihat, misalnya, pada bagian kepalanya; Malen Bali Selatan mengggunakan kuncir berbentuk tanduk, sedangkan
6 Lihat: Serba Neka Wayang Kulit Bali, (Denpasar: Proyek Pencetakan/Penerbitan NaskahNaskah Seni Budaya dan Pembelian Benda-benda Seni Budaya, Denpasar, 1975), h.. 5-6.

98

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Malen Bali Utara biasanya dengan kepala gundul. Pelaku pertunjukan Wayang Kulit di Bali Utara, seperti yang terlihat pada Wayang Parwa, pada umumnya terdiri atas 2 (dua) orang penabuh gender dengan seorang dalang. Di Bali Seletan, penabuh gender pada umumnya berjumlah 4 (empat) orang. Satu hal lagi, dalam tehnik olah vokal, suara ngelur atau jeritan keras oleh dalang, walaupun sama-sama menggunakan suara kerongkongan namun ada perbedaan dalam proyeksi suara. Jika di Bali Selatan suara ngelur diproyeksikan ke luar, di Bali Utara suara ngelur diarahkan ke dalam. 2.3 Gong Kebyar Gong Kebyar adalah sebuah ensambel yang diciptakan untuk memainkan musik-musik Kakebyaran. Sesuai dengan nama yang diberikan kepada barungan ini, yaitu Kebyar yang berarti suara keras dan menggelegar yang datang secara tiba-tiba, gamelan ini menghasilkan musik-musik keras yang dinamis. Hasil-hasil penelitian selama ini menunjukkan Gong Kebyar muncul di Bali Utara sekitar tahun 19157. Desa yang disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Gong Kebyar adalah Bungkulan walaupun kemudian Gong Kebyar Jagaraga yang lebih berkembang di Bali Utara. Perkembangan Gong Kebyar mencapai salah satu puncvaknya pada tahun 1925 dengan datangnya seorang penari Jauk yang bernama I Ketut Marya (Mario) dari Tabanan ke Bali Utara yang kemudian menciptakan sebuah tarian yang lebih banyak dilakukan dalam posisi duduk atau jongkok sambil memainkan instrumen terompong. Tarian ini kemudian disebut tari terompong (kebyar terompong). Secara estetik, musik Gong Kebyar adalah perpaduan antara Gender Wayang, Gong Gede, dan Palegongan. Baik rasa musikal maupun jalinan melodi serta tehnik pukulan Gong Kebyar ada kala- nya terasa Gender Wayang yang lincah, Gong Gede yang kokoh dan agung, atau Palegongan yang melodis. Pola gineman Gender Wayang atau pukulan Kakenyongan Gong Gede muncul dalam berbagai tabuh Gong Kebyar8.
7 8 Colin McPhee, Music in Bali; A Study in Form and Instrumental Organization in Balinese Orchestral Music, New Haven, Yale University Press, 1966, h. 328. Dalam album Bali 1928; Gamelan Gong Kebyar Blaluan, Pangkung, Busungbiu, oleh Edward Herbst 2009, rasa tabuh-tabuh Palegongan terasa sangat dominan dalam tabuh-tabuh Gong

99

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Dewasa ini Gong Kebyar merupakan kesenian yang paling populer di Bali. Hampir setiap sekolah, perguruan tinggi, dan kantor-kantor pemerintah memiliki gamelan ini, dan hampir setiap Kecamatan, jika tidak di semua desa pakraman, di Bali, memiliki sedikitnya satu barungan Gong Kebyar. Selain untuk mengiringi untuk mengiringi tari-tarian dan memainkan tabuh-tabuh kebyar, gamelan ini juga bisa digunakan untuk memainkan tabuh-tabuh lelambatan untuk mengiringi upacara adat dan agama. 2.4 Pesantian Pesantian adalah pembacaan (pertunjukan) karya-karya sastra klasik bertembang yang ditulis dalam metrum sekar agung dan sekar madya. Menyanyikan lagu-lagu pemujaan Tuhan (makidung) memang tidak pernah lenyap dari kegiatan upacara dewa yadnya, atau membacakan karya-karya sastra bermetrum sekar agung (makakawin) untuk manusa yadnya dan pitra yadnya, menyanyikan tembang-tembang macapat di luar konteks seni drama, merupakan suatu hal yang baru di Bali. Kini, semuanya itu bisa terdengar dalam pesantian. Belakangan ini masyarakat Bali, di desa maupun di kota, menjadi semakin bergairah terhadap aktivitas pesantian (dari kata santi yang berarti damai). Dewasa ini, hampir tidak ada upacara adat dan agama Hindu di Bali yang tanpa dimeriahkan oleh pesantian. Pada masa-masa sebelumnya, misalnya di tahun 1970an, sangat jarang sebuah upacara seperti tiga bulan bayi, upacara hari kelahiran, atau peminangan yang dimeriahkan oleh pesantian seperti yang terjadi belakangan ini. Fenomena seperti ini muncul bukan saja di kalangan masyarakat golongan menengah ke atas, melainkan juga di kalangan masyarakat bawah. Munculnya fenomena pesantian ini sedikit banyak didorong oleh adanya kerinduan terhadap nilai-nilai budaya masa lalu. Di sisi lain, semaraknya aktivitas pesantian seperti sekarang menunjukkan adanya revitalisasi dari berbagai jenis wirama, kidung, atau pupuh-pupuh yang selama ini hampir dilupakan masyarakat Bali modern. Untuk sekian lama, persepsi masyarakat terhadap pesantian,
Kebyar.

100

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

terutama makakawin/mawirama, ada lah kegiatan orang tua yang bermuka kriput, dengan tubuh yang sudah mulai bungkuk, sambil mengunyah sirih (nginang). Kar ena kegiatan ini melibatkan pembacaan pustaka-pustaka lontar yan g disucikan, banyak orang yang melihatnya sebagai sebuah keg iatan yang hanya boleh dilakukan oleh orang-orang yang telah memiliki proses penyucian serta kesiapan batin. Oleh sebab itu, para generasi muda cenderung menjauh dari aktivitas ini. Ken yataan yang ada sekarang sungguh sangat berbeda. Kini para pela ntun kakawin (juru baca) termasuk penerjemahnya (juru basa) adalah orang-orang dewasa setengah baya yang masih ganteng atau cantik dan bertubuh tegak, bahkan sering kali juga dari golongan remaja. Nampaknya kegiatan Utsava Dharma Gita, dan lomba-lomba makakawin, yang selama ini dilakukan oleh pem erintah dan masyarakat telah memberikan dampak yang cukup bes ar terhadap munculnya kegairahan pesantian ini. Akhir-akhir ini kegiatan pesantian sudah menjadi semakin meriah dan menarik untuk dinikm ati dengan digunakannya gamelan pengiring berupa ensambel kecil seperti Gender Wayang dan gamelan Geguntangan. Walaupun penggunaan iringan musik dari barungan kecil ini lebi h banyak sebagai ilustrasi (background), kehadirannya sangat mem perkaya aroma dan aural dari pesantian. Bagi warga masyaraka t yang ingin hiburan ringan yang sekaligus dapat memeriahka n suasana pelaksanaan dari upacara adat dan agama mereka laku kan, pesantian yang diiringi gamelan, baik Gender Wayang mau pun Geguntangan, menjadi pilihan yang sangat tepat. Masyarakat Bali pada umumnya sud ah tidak asing lagi dengan kesenian yang telah disebutkan di atas. Masyarakat setempat cukup tahu dengan struktur per tunjukan, tata penyajian dari masing-masing kesenian, serta bahasa yang digunakan oleh para pemainnya (bahasa Bali). Hal ini men unjukkan bahwa keseniankesenian tradisional tersebut di atas tela h memiliki jembatan komunikasi dengan masyarakat penont on. Potensi seperti ini, dari kesenian tradisional, patut dimanfaatk an dengan sebaik-baiknya untuk mencerdaskan masyarakat.
101

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Mencerdaskan Rakyat Dengan Kesenian Seni, apapun media ungkapnya, pada dasarnya adalah hasil sebuah kreativitas yang mengandung sekumpulan pengetahuan. Menurut Harold Taylor, pakar pendidikan, untuk memahami suatu produk karya seni dibutuhkan kemampuan otak untuk memikirkan konsep-konsep yang terkandung di dalamnya9. Ahli teater Barat, Robert Cohen, pernah mengatakan bahwa seni (teater) dapat mempertajam daya pikir dan menyatukan rasa10. Apa yang dikatakan Cohen dan Taylor menunjukkan bahwa kesenian sangat potensial untuk mencer-daskan rakyat (masyarakat). Kesenian yang mencerdaskan bukan saja yang mengibur melainkan yang mampu membangkitkan interaksi intelektual, kontemplasi estetis, kesadaran budaya (termasuk kepekaan rasa), kesadaran identitas dan jati diri, serta yang mampu meningkatkan keluhuran budi, baik pada masyarakat penonton maupun para pelakunya. Untuk membuat kesenian mereka mampu mencerdaskan rakyat, pelaku seni harus senantiasa berupaya untuk melakukan penggarapan dan pengkemasan terhadap beberapa bagian dari kesenian mereka. Pengkemasan terhadap kesenian-kesenian tradisional dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti menyehatkan muatan dramatik (lakon), memadatkan durasi pentas, memperkaya elemen pertunjukan, dan memperbarui teknik penyajian. Satu hal yang patut diingat bahwa upaya penggarapan dan pengkemasan ini harus dilaksanakan tanpa merusak identitas kesenian yang ada. Keberhasilan sebuah pertunjukan seni drama (Arja, Topeng) dan teater (Wayang Kulit) sering kali sangat bergantung kepada muatan dramatiknya yaitu lakon yang dibawakan. Masyarakat pada umumnya akan tertarik untuk menyaksikan sebuah pertunjukan jika mereka tahu adanya lakon baru yang akan dipentaskan. Oleh sebab itu, para seniman seni drama perlu terus berupaya untuk menampilkan lakon-lakon baru dalam sajian mereka. Para seniman Arja misalnya harus berani menampilkan lakon-lakon di luar cerita Panji, jika perlu mengambil lakon-lakon Barat atau mengangkat karya-karya sastra modern. Dalam membawakan suatu lakon, dari manapun sumbernya, para seniman harus senantiasa berpegang teguh kepada sumber literatur yang digunakan. Hal ini menjadi sangat penting ketika berhadapan dengan penonton
9 Harold Taylor, Art and The Intellectual, New York, The Museum of Modern Art, 1960, h.9. 10 Robert Cohen, Theatre (Third Edition), Mountain View-California, Mayeld Publishing Company, 1994, h. 16-17.

102

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

yang sudah mulai melek baca seperti masyarakat Bali di zaman modern ini. Ada kecenderungan bahwa dewasa ini penonton kurang tertarik dengan sajian seni drama yang terlalu serius. Mereka menjadi cepat bosan mendengar adegan-adegan serius yang dijejali oleh dialog-dialog bermuatan losos berat. Oleh sebab itu, muatan dramatik yang kiranya bisa diterima oleh penonton pada zaman ini adalah yang berisikan adegan-adegan serius dan lucu, antara yang mendidik dan menghibur, secara relatif berimbang, yang biasa disebut dengan pada misi. Durasi pentas merupakan salah satu unsur pertunjukan kesenian tradisional yang memerlukan penanganan yang serius. Masyarakat di zaman modern pada umumnya sudah sadar waktu sehingga mereka tidak bisa menghabiskan waktu terlalu lama untuk menyaksikan pertunjukan. Agar suatu pertunjukan kesenian tradisional seperti Arja, Topeng, atau Wayang Kulit, tidak sampai ditinggalkan penonton, maka dibutuhkan adanya pemadatan durasi pentas. Pementasan kesenian semalam suntuk kiranya sudah semakin jarang terjadi di zaman ini. Masyarakat cenderung tidak bisa menghadari pertunjukan seni dengan durasi pentas melebihi dari 3 sampai 4 jam. Oleh sebab itu, para pelaku kesenian tradisional harus rela menyesuaikan waktu pertunjukan mereka dengan kondisi yang ada. Salah satu cara yang dapat dilakukan adalah meniadakan pengulangan bagian-bagian pertunjukan yang terlalu sering diulang-ulang. Atau meniadakan bagian-bagian yang tidak penting. Namun demikian, pemadatan durasi pentas hendaknya jangan sampai menghilangkan bagian-bagian penting dari suatu kesenian. Bagian-bagian esensial dari suatu pertunjukan hendaknya tetap dipertahankan karena jika tidak akan bisa jadi pemadatan durasi akan justru merusak identitas kesenian yang bersangkutan. Gong Kebyar dan pesantian adalah dua kesenian tradisional Bali yang telah banyak melakukan pengayaan terhadap elemen-elemen pertunjukan. Dalam beberapa kali Festival Gong Kebyar se Bali, misalnya dalam rangka Pesta Kesenian Bali, kedua kesenian ini telah tampil dengan elemen-elemen pertunjukan yang baru. Dalam Gong Kebyar kita bisa melihat berbagai penambahan instrumen untuk melahirkan rasa musikal yang lebih menarik dan sesuai dengan selera zaman sekarang. Hal yang sama juga terlihat pada pesantian yang kini sudah biasa meng103

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

gunakan gamelan pengiring (Gender Wayang atau Gaguntangan). Di mata masyarakat luas, kesenian tradisional memiliki teknik penyajian yang sudah baku. Jika teknik pementasan itu dirubah maka akan menghilangkan jati diri dari kesenian yang bersangkutan. Anggapan seperti ini sesungguhnya tidak sepenuhnya benar. Dalam kenyataannya, semenjak tahun 1960-an, jika tidak sebelumnya, hampir semua kesenian tradisional Bali mengalami perubahan tehnik pementasan, dari kalangan tradisional yang berbentuk arena menjadi panggung tapal kuda atau semi proscenium. Dari yang menggunakan lampu petromak atau obor menjadi lampu elektrik yang modern, dari yang tidak menggunakan pengeras suara menjadi berpengeras suara. Seiring dengan kemajuan teknologi, teknik pementasan kesenian tradisional Bali sudah sepatutnya diperbaharui. Temuan-temuan teknologi baru di bidang tata cahaya, set dan dekorasi, kiranya dapat digunakan dalam pertunjukan tradisional. Namun demikian, penggunaan teknologi modern ini hendaknya diupayakan sedemikian rupa agar jangan sampai merupak unsur-unsur esensial dari kesenian yang bersangkutan. Sebagai contoh, bagaimana penggunaan tata lampu agar jangan sampai membunuh warna topeng yang digunakan penari Topeng, atau penggunaan microphone agar jangan sampai merusak tembang penari Arja.

Penutup Semua yang telah diurai di atas menunjukkan potensi besar dari kesenian tradisional dan pertunjukan komunikatif, yang dimiliki oleh bangsa ini, dalam mencerdaskan rakyat. Jika diberdayakan dengan baik dan benar, kesenian tradisi, yang selama ini hanya dipandang sebagai sumber hiburan, dapat digunakan sebagai sarana pencerdasan masyarakat. Agar upaya-upaya pencerdasan melalui kesenian ini bisa terwujud maka dibutuhkan upaya-upaya pengkemasan dari para pelaku dan pemilik kesenian itu sendiri. Bagi masyarakat seniman pertunjukan di Bali, mereka harus senantiasa berupaya untuk menyeimbangkan segisegi tontonan dan tuntunan dan memperhatikan konsep bayu-sabdaidep dalam sajian mereka. Hanya dengan cara seperti ini sajian kesenian mereka akan bermanfaat bagi upaya peningkatan kualitas kemanusiaan masyarakat kita.

104

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Bandem, I Made; deBoer, Frederik Eugene. 1981. Kaja and Kelod; Balinese Dance In Transition, Kuala Lumpur, Oxford University Press. Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Asia. Cambridge: Harvard University Press. Cohen, Robert .1994 [1981]. Theatre (Third Edition). Mountain View-California: Mayeld Publishing Company. Dibia, I Wayan. 1992. Arja : A Sung Dance-Drama of Bali; A Study of Change and Transformation (disertasi) Los Angeles : University of California, Los Angeles. Geertz, Clifford. 1983.Local Knowledge; Further Essays in Interpretative Anthropology. New York: Basic Books Inc. Publisher. Herbst, Edward. 2009. Bali 1928; Gamelan Gong Kebyar Blaluan, Pangkung, Busungbiu (CD), Arbiter. McPhee, Colin. 1966. Music in Bali; A Study in Form and Instrumental Organization in Balinese Orchestral Music. New Haven: Yale University Press. Proyek Pencetakan/Penerbitan Naskah-Naskah Seni Budaya dan Pembelian Benda-benda Seni Budaya. 1975. Serba Neka Wayang Kulit Bali, Denpasar: Proyek Pen-cetakan/Penerbitan Naskah-Naskah Seni Budaya dan Pembelian Benda-benda Seni Budaya. Sugiharto, Ignatius Bambang. 2006. Seni, Ilmu Pengetahun, dan Peradaban. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Katolik Parahyangan (Bandung). Taylor, Harold. 1960. Art and the Intellect. New York: The Museum of Modern Arts.

Daftar Pustaka

105

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

I Nyoman Catra. Lahir di Denpasar, 31 Desember 1954. Dosen Jurusan Pedalangan Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia Denpasarini lulus sarjana muda (BA) Seni Tari ASTI Denpasar Tahun 1987. Gelar S1 (SST) Seni Tari diselesaikan tahun 1983 di ASTI Yogyakarta. Sementara gelar master (MA) Teater diambil di Emerson Collega Boston USA (1996) dan memperoleh gelar Doktor Ethnomusicology dari Wesleyan University Middleton Connecticut USA (2005). Saat ini menjabat Sekretaris dan Ketua Jurusan Tari/Karawitan dan Pedalangan ASTI Denpasar. Sebelumnya juga pernah menjadi Pembantu Ketua I Bidang Akademis STSI Denpasar, Kapuslit Bidang Seni Tradisional LP2M ISI Denpasar, Sekretaris LP2M ISI Denpasar, dan ikut dalam Litbang Yayasan Saba Budaya Hindu Bali. Sejak tahun 2004 mengelola Sanggar Seni Citta Usadhi Kabupaten Badung sebagai ketua dan hingga kini memegang posisi ketua Himpunan Seniman Kabupaten Badung (HSKB). Alamat Rumah: Jalan Nangka, Gang Kenari VI No. 6 Denpasar Bali Tlp. (0361) 262193 HP. 081338265446 Alamat Kantor: Jalan Nusa Indah Denpasar Tlp. (0361) 227316 106

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Seni Pertunjukan Populer sebagai Media Pencerdasan Rakyat: Potensi Tari Topeng dan Teater Bali
I Nyoman Catra
Ahli Seni Pertunjukan, Dosen ISI Denpasar

Pendahuluan isteri kehidupan yang sering memunculkan kebingungan menyelimuti insani manusia - yang dikatakan sebagai mahluk tertinggi diantara mahluk hidup - dalam memahami tujuan hakiki menjalani hidup dan kehidupan ini, belum pernah mendapatkan jawaban tuntas. Menurut kepercayaan Hindu tujuan hidup manusia adalah untuk mencapai Moksartham Jagadhita ya ca Iti Dharma yakni pendakian pencapaian kebahagiaan abadi manunggal dengan sifat asali, di samping memperoleh kebahagiaan duniawi di dunia fana ini, dengan senantiasa mengedepankan dharma. Dalam kaitan berbangsa dan bernegara, pemerintah dalam meningkatkan kwalitas anggota masyarakatnya memiliki tujuan untuk membentuk Manusia Indonesia seutuhnya, sejahtera lahir batin dengan pemenuhan kebutuhan jasmani dan rohani secara berimbang, sebuah visi yang menjadi idaman bersama. Manusia sebagai perwujudan dunia kecil (mikrokosmos) beraviliasi dengan dunia besar/jagadraya (makrokosmos) berelemen dari panca maha bhuta yakni lima unsur yang terdiri dari; tanah (pertiwi), air (apah), sinar/panas (teja), angin (bayu), dan ether (akasa). Dari panca maha bhuta terlahirlah panca tan matra yakni lima unsur pendorong kehendak manusia yang terdiri dari sparsa, rasa, rupa, ganda, dan sabda.

107

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Digambarkan dalam mitos peredaran bumi bahwa Hyang Siwa menciptakan dunia dan alam semesta ini dengan tarian sakralnya sebagai wujud proses kreatif berkesinambungan. Tarian kosmik Hyang Siwa disebut dengan Siwanataraja. Dunia dan alam semesta ciptaan Beliau bergerak secara ritmis, indah dalam keteraturan. Unsur panca maha bhuta dipadu dengan sifat unsur panca tan matra, membentang luas pada perputaran kosmik, di bumi berputarnya seluruh penjuru mata angin dengan istana dewa dan dewinya, sifat bhuta, senjata, sastra, neptu, warna, suara, dan unsur lainnya (pangider bhuana), merupakan elemen pergolakan kreativitas dalam siklus; uttpeti, stiti, pralina (trikono) yang berproses secara alami terus menerus penuh intensitas dalam perjalanan peredaran waktu yang tak terhitung. Sepuluh fomulasi aksara suci (dasa aksara) yang terpilah menjadi dua dikenal denga panca tirta dan panca geni (Sa, Ba, Ta, A, I; Na, Ma Si, Wa, Ya), kedua formulasi ini bergolak mempengaruhi perangai manusia, yang dipercayai terlahir telah membawa karma dari hasil perbuatan manusia pada kehidupan sebelumnya (punarbawa). Disadari bahwa unsur-unsur tersebut sebagai elemen jasad dan jiwa perwujudannya dari bendawi yang kasatmata sampai pada yang bersifat maya termasuk jiwa dan sifat kehendak/ego manusia. Dua kekuatan sifat yang bertentangan ini yang dikenal dengan sebutan rua-bineda merupakan dialektik yang tak terpisahkan dalam alam raya ini termasuk pada diri manusia, yakni adanya sifat: baikburuk, sekalaniskala, purusapredana, cetanaacetana, positifnegatif, gelapterang, sukaduka, timurbarat, atasbawah, dan sifat lain yang bertentangan, senantiasa bergolak tarik-menarik, berpengaruh pada dinamika kehidupan setiap insan sebagai mahluk individu maupun dalam kaitannya sebagai mahluk sosial. Untuk memahami misteri kehidupan tersebut, manusia tumbuh dan berkembang mendapat pendidikan dari orang tua, pendidikan formal, pendidikan regulasi pemerintahan dan pendidikan masyarakat/alam lingkungannya. Pendidikan formal lebih menekankan pada pembentukan kecerdasan intelektual, pengasahan akan rasio dari kerja otak. Sementara pencerdasan yang dilakukan melalui pengalaman agama dan seni, lebih ditekankan pada pencerdasan rasa. Kecerdasan rasio dan rasa seyogyanya saling melengkapi dalam memahami hidup ini. Seni pertunjukan merupakan media ampuh untuk promosi penyampaian pesan, media
108

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

propaganda, yang berkaitan dengan logika berdasar pada rasa. Penggambaran dunia dengan berbagai permasalahannya didalam arena pentas, mereeksikan dunia kehidupan maya secara luas, baik yang menyangkut rentang waktu, sistem kehidupan, konik internal dan eksternal tokoh yang mengemuka tanpa batas, bertautan dengan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain pendidikan budi pekerti menjadi muatan isian dramatisasi seni pertunjukan, sebagai cermin pembekalan masyarakat tentang pemaknaan hidup, pada berbagai jenjang usia, status sosial, tugas dan kewajiban profesi. Mencerdaskan masyarakat mengandung pengertian sebagai upaya mengusahakan supaya sempurna akal budinya. Cerdas berarti sempurna perkembangan akal budinya (untuk berkir, mengerti dsb. (Kamus Besar BI: 164) Topeng dan berbagai jenis dramatari lainnya, wayang, sebagai varian genre seni pertunjukan, kehadirannya memiliki peran yang sangat penting, tidak saja sebagai pemberi hiburan juga sebagai pencerahan masyarakat penontonnya. Dikatakan penting mengingat kehadirannya memiliki tugas dan fungsi sebagai legitimasi keberhasilan sebuah ritual keagamaan. Sebagai kesenian popular kebanyakan seni pertunjukan dramatari Bali, memiliki format sajian yang sangat eksibel, adaptatif dengan situasi, dan kondisi.

Peran Tari Topeng dan Teater Bali di tengah masyarakatnya Masyarakat menyadari arti penting dan memberikan ruang kepada seni pertunjukan seperti topeng, wayang dan berbagai dramatari lainnya, sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam menjalani ritual keagamaan. Ritual keagamaan yang domainnya dikategorikan kedalam panca yadnya1, dimana dalam tingkatan tertentu seni pertunjukan topeng pajegan dan wayang lemah menjadikan bagian tak terpisahkan melengkapi kesempurnaan tatacara upacara yang digelar. Persembahan pengagungan karunia Tuhan melalui karma sandyasin melibatkan tatacara dan elemen persembahan yang megah, indah, lengkap walau tetap
1

Panca Yadnya: Lima domain peruntukan persembahan yadnya yang digelar oleh masyarakat Hindu yakni: Dewa Yadnya persembahan diperuntukkan kehadapan Tuhan dengan berbagai manifestasinya; Bhuta Yadnya, persembahan diperuntukkan membangun keharmonisan dengan alam semesta; Rsi Yadnya persembahan untuk menghormati para pendeta; Pitra Yadnya, persembahan diperuntukkan menghormati leluhur; dan Manusa Yadnya, persembahan untuk memuliakan manusia itu sendiri.

109

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

memperhatikan pada tingkatan kemampuan nista, madya, dan utama, merupakan upaya pembayaran hutang hidup (tri rnam). Fungsi kesenian berlakon di Bali seperti topeng, arja, calonarang, wayang, drama gong, dan sejenisnya, membentang dari keterkaitannya dengan peristiwa sakral (wali), utamanya sebagai pencerahan masyarakat dalam kategori bebeali, dan secara luas memiliki rambahan peruntukannya sebagai seni hiburan sekuler (balih-balihan). Oleh karenanya sangat strategis dan memiliki peran yang sangat potensial sebagai pencerahan masyarakat pemirsanya lewat sentilan-sentilan yang menghibur dengan nilai-nilai kebijaksanaan sebagai kandungan isian dramanya. Tujuan tontonan dan tuntunan, dua dimensi tujuan pergelaran yang saling melengkapi dibutuhkan dalam pengalaman estetik masyarakat penontonnya. Ketika sebuah upacara keagamaan digelar yang melibatkan anggota masyarakat secara luas; seniman seni pertunjukan (praregina/dalang2) yang ikut meligitimasi ritual tersebut memiliki peran yang sangat penting. Orang yang bertanggungjawab pelaksanaan upacara (yajyamana), orang ahli pembuat upakara (niniwedya), dan sang sulingih yang bertugas menghaturkan upakara tersebut sesuai tujuan dan peruntukannya dengan mengelar sang catur weda (yogiswara), tidak memiliki kuasa untuk memaparkan dan menerangkan kehadapan khalayak, berkenaan dengan makna dan arti dari tata upacara dan upakara beserta lsafat yang melatarbelakangi-nya. Seniman mempunyai ruang terbuka untuk memberi pemaknaan terhadap apa yang sedang berlangsung dan untuk tujuan apa upacara tersebut diselenggarakan. Seni pertunjukan dramatari Gambuh yang ditengarai sebagai sumber utama munculnya tari/dramatari lainnya di Bali. Gambuh sebagai sebuah dramatari yang menekankan pada kemegahan/keagungan pemerintahan raja-raja, memiliki seting penokohan yang besar dengan varian tingkatan hirarkinya. Koreogra tari yang komplek, tata struktur musik yang megah, dengan permaianan patet dari alunan ritmik aransemen instrumen perkusi, disamping melodis melankolis sapta nada dialunkan dengan sejumlah suling berukuran besar. Tata busana dan rias mencerminkan kemegahan regalia penampilan tokoh dari kalangan
2 Sebutan pragina diberikan kepada seseorang yang memiliki profesi sebagai seniman tari, baik sebagai penyaji pada tarian murni maupun para actor dalam dramatari Bali. Sebutan dalang diperuntukkan pada seniman yang piawi dalam memainkan wayang.

110

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

bangsawan. Sebagai sebuah dramatari total teater (Bandem & deBoer 1995: 27) gambuh memiliki kontribusi penting di dalam tarian Bali karena pengaruhnya pada bentuk dramatari lainnya pada perkembangan berikutnya; sebagai sumber dan model pada berbagai jenis perunjukan dramatari seperti Topeng, Wayang Wong, Arja, Legong, dan Baris Melampahan. Koreografer Bali moderen sangat kuat bertumpu pada Gambuh dalam pendekatan struktur, karakterisasi, arti dari dramatisasinya, elemen komposisi, busana, repertoar musikalnya, dan elemen lainnya. Secara tematis dan sajian dramatari gambuh memberikan reeksi kemegahan sebuah negara dan keindahan alunan lebut gerak tari tokoh protagonis yang mampu menaklukkan gerakan kasar dari tokoh antagonis dalam balutan kisah cinta dan kekuasaan. Dramatari gambuh masih didominasi dengan penggunaan bahasa Jawa Kuno (kawi) dan adanya pengulangan kata-kata sebagai korus kekuatan kebersamaan yang dewasa ini tidak banyak dimengerti kontent dan konteksnya. Gambuh yang mengambil kisah pengembaraan cinta dan kekuasaan, dimana tokoh Panji sebagai tokoh protagonis digambarkan sebagai pahlawan kebudayaan. Pendidikan seni kepada generasi penerus pelaku kesenian menuntut penguasaan pada unsur-unsur seni sebagai preservasi kekayaan khasanah bangsa. Seorang seniman setidaknya dituntut agar menguasai beberapa cabang ilmu seni untuk memperkuat identitas kesenimanannya. Terbuka luas pengusaan berbagai cabang seni yang sudah tentu memperkuatan profesi kesenimannnya. Wayan Dibia (2004: 119) memberikan identikasi wilayah kiprah pragina menekuni profesi berkeseniannya ke dalam: pragina nugur, pragina naduin, dan pragina ngerangkep. Tingkat penguasaan sebagai pemeran satu tokoh dengan baik/sempurna, dikategorikan sebagai pragina nugur. Seniman naduin untuk mereka yang memiliki kemampuan penguasaan lebih pada satu jenis kesenian yang sering juga disebut ngiwa. Sementara seniman ngerangkep diperuntukkan bagi seseorang yang memiliki multi talenta sebagai seniman serba bisa. Disamping penguasaan secara cabangnya yang demikian banyak seniman juga ditutut dalam kreativitas kemasan tari, gamelan, olah sastra, tembang dan retorika antawacana sebagai preservasi keragaman seni tradisi memperkokoh budaya bangsa. Dalam seni pertunjukan dramatri seperti: topeng, arja, calon arang,
111

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

wayang wong, termasuk wayang kulit, dimana peran penasar yakni adanya tokoh sisipan lokal genius yang selalu hadir sebagai panakawan, berpihak pada tokoh protagonis, antagonis, termasuk diantaranya menjadi pendamping tokoh tritagonis. Panakawan menggunakan bahasa daerah/lokal dengan varian dialeknya, menjadikan pertunjukan tersebut sebagai bagian dari kisah yang dialami masyarakat penikmatnya. Kendati ceriteranya mengambil dari kisah-kisah epos, legende, sejarah/ babad masa silam, dimana hadirnya tokoh utama kebanyakan berbahasa kawi, yang kurang dapat dipahami oleh kebanyakan masyarakat umum. Namun dengan hadirnya penasar yang bertugas sebagai penerjemah, komentator, pemberi wejangan, mengelaborasikan topik pembicaraan dan mengembangkannya dengan memasukkan petuah tentang nilai-nilai kebijaksanaan, menjadikan pertunjukan tersebut bisa dibuat bersentuhan langsung dengan persoalan masyarakat sekitar. Sambil melontar selingan lelucon yang mengundang gelak ketawa sebagai bukti perhatian penonton penuh terhadap dinamika dramatik adegan berlangsung, merupakan momen baik untuk menyisipkan pesan-pesan kebijaksanaan. Seniman praktisi menyadari bahwa penonton yang hadir dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa dan orang tua, yang sudah barang tentu memiliki kesenangan nutrisi kejiwaan yang berbeda. Oleh karenanya seniman dituntut secara sadar mempertimbangkan keragaman dialog panakawan (kandan penasar) yang dapat menutrisi masyarakat pengapresiasi pada tingkatan perbedaan umur, status sosial dan profesinya. Secara pemaknaan hidup, perwujudan gur penasar dalam wayang yakni Tualen, Merdah, Delem dan Sangut, secara losos memiliki aviliasi dengan ista dewata nawasanga dalam kosmik buana agung. Wayang Kayonan diposisikan di tengah, sementara keempat penasar diposisikan pada empat penjuru mata angin selaras dengan sifat dan karakterisasi tokoh. Sekala dan niskala cara pandang masyarakat Hindu pada kenyataan hidup ini, sehingga posisi wayang penasarpun dijadikan ikon sakral dalam pemaknaan hidup ini. Dalam Dharma Pewayangan (lihat Hooykass 1973: 130) posisi penasar dalam stananya menurut arah mata angin dibahas secara komprehensif. Dengan demikian penasar adalah tokoh misteri yang penuh dengan pemaknaan dan memiliki aviliasi dengan kanda pat berkaitan dengan paralel posisi tata letak baik di buana alit, maupun di buana agung.
112

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Tokoh Tualen yang secara kasat mata berwarna gelap/hitam beravilisasi dengan stana Wisnu berada di Utara. Namun secara lsafati sebagai purusa sumber asali dia dikatakan memiliki darah putih, beraviliasi dengan stana Dewa Iswara yang menempati posisi di Timur. Timur-laut adalah arah ke hulu (luanan) berada diantara warna hitam dan putih. Dalam penempatan warna pangider buwana arah di timurlaut ditandai dengan warna biru, adalah tune warna untuk jangkauan luas tak terbatas. Langit berwarna biru, laut berwarna biru, keduanya mencerminkan keluasan bidang yang ujungnya tak terjangkau oleh pandangan mata manusia, yang memiliki keterbatasan. Ada ke abu-abuan pemahaman kita dalam memandang arah manadala timur laut yang dikatakan sebagai arah hulu (luanan), arah menuju sorga. Ketiga tone warna ini (hitam, abu-abu, dan putih) adalah warna magis, sebagai pencerminan gelap, abu-abu, dan terang merupakan busana dari penasar Tualen. Kesedehanaan tokoh Tualen memliki simbolik yang sangat dalam. Oleh karenanya dalam upacara ruwatan, pembuatan air suci (ngarga tirta) dalam pertunjukan wayang upacara, tokoh Tualen seorang abdi kebanyakan yang sesungguhnya memiliki sifat asali, bersama tokoh Siwa, Acintya dan Kayonan dijadikan ikon untuk proses dimaksud. Pada masa pergolakan partai politik di tahun 1965an pertunjukan dramatari janger menjadi komuditas politik, corong partai ajang kompanye dalam pengumpulan masa. Yel-yel penggugah semangat masa dengan pekikan propaganda atform partai, dikumandangkan oleh korus kecak dan janger, sungguh menggugah, menjadikan kesenian populer ini seakan identik dengan kesenian partai politik. Lirik-lirik lagu janger membangkitkan semangat partisipan partai dan pengikutnya untuk mempersatukan masanya. Dominasi warna tertentu, formasi huruf, dan pembentukan lambang partai dengan gerak maknawi, menjadi kongurasi menarik mengangkat ideologi partai lewat simnol-simbol. Pada era pemerintahan Orde Baru, kesenian tradisional terutamanya yang memakai lakon dijadikan corong penerangan sosialisasi program pemerintah. Munculnya kesenian popular seperti Topeng Bondres mendominasi perhelatan politik di samping berbagai jenis kesenian tradisi lainnya seperti topeng, arja, prembon dan termasuk wayang, dijadikan wahana ampuh menyampaikan pesan-pesan pembangunan. Format yang sama masih terasa pada perhelatan pemilihan, anggota legislatif,
113

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

pimpinan politis pemerintahan pada masa reformasi, yang membutuhkan dukungan masa banyak. Dengan menyerap pesan yang ingin disampaikan dari institusi, kelompok ataupun perorangan yang bertindak sebagai tuan rumah (host) dicerna dan diformat ke dalam bahasa pentas oleh seniman penyaji. Ini membuktikan betapa peran kesenian memiliki arti strategis sebagai pencerdasan masyarakat akan kesadaran berpolitik, berbangsa dan bernegara.

Tari Topeng dan Teater Bali sebagai Media Pencerdasan Rakyat. Dalam format pertunjukan dramatari Bali konvensional tokoh penasar yang merupakan tokoh sisipan namun menjadi esensial gur selalu hadir pada setiap pertunjukan termasuk dalam pertunjukan wayang. Pertunjukan yang mengambil kisah dari dunia kedewataan, dunia mithos, epos, purana, kisah raja-raja pada jaman feodal, maupun kisah kerakyatan dari bentangan spektrum waktu tanpa batas, melalui peran penasar dapat diaktualisasikan menjadi kisah kekinian. Penasar yang berfungsi sebagai penerjemah bahasa tokoh utama yang kurang dipahami oleh kebanyakan penonton, sangat ampuh sebagai wahana mengakomudir pesan-pesan kebijaksanaan sebagai pencerahan dan menjembatani kisah dari dunia kedewataan, dunia dari alam gaib, yang seakan peristiwa tersebut berlangsung dewasa ini. Menjadi seorang pregina/dalang dituntut memiliki multi talenta untuk bisa mentranformasi diri tiga kali lebih besar dari dirinya. Transformasi diri menjadi tokoh yang diperankan, kemudian secara penguasaan isian drama menuntut kecerdasan dan berbekal dengan kedalaman sastra, ditambah lagi memiliki kekuatan karismatik penyatuan dengan kekuatan ekstasi magis sebagai tampilan yang memukau (mataksu). Transformasi tokoh dapat diwujudkan dengan estetika dan kaidah-kaidah gerak yang sesuai dengan karakterisasi. Agem, tandang, tangkis dan tangkep yang dibalut dengan olah wiraga, wirama, dan wirasa, menjadikan unsur-unsur yang akan mematangkan profesinya. Secara gura desain tubuh penari di arena pentas, membentuk desain-desain tubuh yang dinamis. Dengan posisi badan miring menjauh dari pusat gratasi dalam kemiringan kesamping, menjadi tuntutan wujud keindahan pakem tari. Ibarat bandul jarum metronum yang ayunmengayun, samping-menyamping, terus menerus, menjadi tuntutan yang mesti di capai melalui pelatihan panjang. Posisi badan yang terbi114

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

las dalam liukan postur tubuh, ditekuk pada bagian-bagian ruas angota badan, dengan tahanan berat badan pada tumpuan satu kaki secara bergantian, menentukan bobot keindahan bentuk. Estetika ini memberikan pandangan bahwa kemiripan pergolakan pencaharian keseimbangan dalam tari seperti mengingatkan kita pada kenyataan hidup yang saling tarik menarik dari dua kepentingan yang berlawanan. Menari dan juga hidup adalah upaya yang tak berkesudahan mencari keseimbangan di dalam ketidakseimbangan. Seorang penulis essay dramawan Barat Antonin Arturd yang hanya menyaksikan pertunjukan lawatan grup Bali di Paris tahun 1931 (1958: 61), memberikan pandangannya bahwa spektakuler dramatari Bali dibangun dari kompleksitas image murni panggung, menghadirkan secara komprehensif bahasa ungkap baru yang diciptakan para penari/ pregina memanipulasi pemanfaatan busana menyusunnya menjadi hidup melalui berbagai perubahan bentuk, hieroglyphs yang bergerak. Hieroglyphs3 tiga dimensional tersebut berubah menjadi brokat dengan sejumlah gesture, simbol yang mistirius, yang berhubungan dengan sesuatu yang tidak diketahui, menakjubkan, dan realitas tersembunyi yang menurutnya di dunia Barat hal seperti itu sepenuhnya ditindas. Pregina/dalang dituntut memiliki referensi yang cukup untuk dituang sebagai kandungan isian drama persembahannya. Alam semesta dan lingkungan hidup manusia sendiri sudah memberi materi isian drama yang tak pernah kering sebagai acuan pementasan. Terlebih lagi kedalaman sastra, baik satra tutur maupun sastra tulis kebijaksanaan, ajaran agama, disamping masalah pemerintahan, pendidikan dan sosial kemasyarakatan termasuk retorika politik merupakan teba luas dinamika perubahan dunia konik kehidupan. Seorang yogi, lsuf, seniman, memiliki kesamaan bahwa kerja kreatif menjadikan jantung kerisauannya dalam mengungkap misteri jagadraya ini. Para lsuf mengendapkan pikirannya lewat tulisan, para yogi mengembangkan sabda Tuhan dengan pencerahannya, sementara seniman membangun dunia panggung dengan konik permasalahannya sebagai reeksi gejolak konik dunia itu sendiri, merupakan pergolakan literatur hidup dengan mengusung hyang tiga jnyana yakni sanghyang guru reka, sanghyang saraswati dan sanghyang kawiswara sebagai pu3 Hieroglyphs Gambar atau simbul digunakan dalam tulis-menulis khususnya dalam sistem penulisan dari jaman Mesir Kuno (Websters Contemporary American Dictionary: of English Language :335)

115

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

saran kreatif. Sesungguhnya ceritera itu sendiri sudah memberikan gambaran pilihan yang mesti untuk disikapi dalam memahami diri. Secara tematik pergolakan dulisme baik buruk menjadi tema sentral kemasan pertunjukan dengan memberi peluang kepada penonton untuk memilih dan memilah yang mana baik dan yang mana buruk sebagai pedoman berkir, berucap dan bertindak menjalai swadarma. Kisah Ramayana yang menggambarkan perebutan kekuasaan dan keserakahan Raja Rahwana, memaksakan kehendak dengan menculik Dewi Sita untuk dijadikan istrinya, akhirnya mengorbankan seluruh kerajaannya yang amat terkenal mewah, menjadi hancur mendapat gempurna dari Ramadewa yang hanya berwadwakan pasukan kera. Epos Mahabharata memberikan gambaran penderitaan panjang Pandawa mesti dijalani untuk meperoleh kembali haknya yang dirampas secara kasar oleh saudara sepupunya sendiri yakni, Duryodana dengan satus Korawanya. Perang saudara tersebut mengorbankan seluruh keluarga Korawa, para Porohita kerajaan, Guru-rurunya, Raja-raja sahabat (prakanti); termasuk anak-anak kecil yang tidak berdosa ikut menerima akibat dari peperangan tersebut. Pada akhir perjalanan kisahnya di Sorgaloka pun, para Korawa tetap mengejek penderitaan para Pandawa yang terjerumus ke dalam kawah neraka sebagai pahala dari perbuatannya ketika masih hidup. Keadaan baru menjadi terbalik, ketika Yudistira menceburkan diri menemani saudara-saudaranya di dalam penderitaan luapan panas lahar neraka, yang berubah menjadi sorga, sementara para Korawa terjerumus ke dalam luapan panas kawah neraka. Secara keseluruhan alur ceritera mendidik kita bahwa kemenangan akhir dari perjalanan panjang mesti tetap diupayakan, dengan mengedepankan ajaran dharma. Secara episodik penggalan ceritera yang dijadikan lakon (bantang satwa) pada suatu pementasan juga mengakomudir pergolakan rua-bineda tersebut. Demikian juga halnya dengan ceritera-ceritera lainnya seperti Purana, ceritera Panji, ceritera Rakyat, Legenda, ceritera Binatang, pendikan moral menjadikan pilihan pencerahan akal budi sebagai cermin dalam menyikapi hidup ini yang penuh dengan persoalan. Pemenuhan tuntutan jasmani dan rohani manusia sebagai mahluk individu, muasal internal konik yang mesti diselaraskan. Terlebih lagi ketika manusia berkumpul sebagai komunitas kelompok sosial yang
116

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

sering juga memiliki kepentingan berbeda dengan kelompok sosial lainnya, menjadikan hidup ini penuh dengan ketegangan. Pada kenyataannya, sampai dewasa ini konik antar bangsa yang dicarikan solusi pemecahannya tidak jarang harus berhadapan dengan pernyataan perang yang tidak sedikit menelan korban jiwa. Mereka sesungguhnya sadar bahwa hidup rukun berdampingan dengan sesama menjadi idaman menjalani kehidupan ini. Namun atas nama martabat, kekuasaan, harta/ materialistis, cinta, dan tuntutan lainnya tidak bisa cair dari kebekuan sikap kukuhnya, sehingga konik seperti itu selalu ada. Gejala alampun dapat memporak porandakan kehidupan manusia akibat dari ekploitasi alam secra berlebihan sehingga ekosistem tidak seimbang. Hal-hal yang berkaitan dengan masalah seperti inilah yang menjadikan isian drama (dramatic content) pencerahan masyarakat penontonnya. Kritik tajam tentang sosial kemasyarakatan, tutur kebijaksanaan, yang dibalut dengan humoris dapat mengingatkan masyarakatnya sebagai pendidikan moral dan budi pekerti. Format seni pertunjukan konvensional Bali sangat eksibel untuk dimodikasi sesuai dengan kebutuhan lakon, casting penari, tujuan peruntukan pergelarannya, durasi waktu, tempat pementasan dan keadaan yang mesti diatasi. Dalam hal ini peran seniman yang dijuluki sebagai seorang guru loka dengan mengusung sanghyang tiga jnyana sebagai kebebasan kreativitas, merupakan kelenturan sifat dan penampilannya dalam membentuk drama. Cara ungkapnya yang spontan terkadang menjadi liar setelah menerima respond dari penonton. Yoga sebagai seorang pregina terletak pada kecerdasannya mengimbangi pasangan mainnya dalam pergulatan dialog. Oleh karenanya, bila ada pesanan sisipan yang mesti diakomudasi dalam pementasannya, bisa terealisasi dengan baik dengan tetap mempertimbangkan alur dramatiknya. Pesan-pesan sisipan seperti itu pada umumnya diolah dengan bahasa simbol yang memiliki image ganda dan dapat dimengerti oleh penontonnya. Ungkapan yang bersifat fulgar sebisanya dihindari, karena sering melenceng dengan babon ceritera, yang kiranya tidak cocok dengan plot lakon. Tidak demikian halnya dengan jenis pertunjukan bondres yang memang memiliki keterbukaan untuk dikisahkan secara kontemporer. Sajian solo seperti topeng pajegan, dalang wayang kulit, lebih memilih pada media topeng/wayang sebagai media ungkapnya untuk di117

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

sisipi pesan-pesan pencerdasan masyarakatnya. Pengujian di atas pentas untuk dialog antar tokoh oleh sejumlah pemain dalam membangun struktur drama menuntut kepekaan dan reek yang spontan dibingkai oleh estetika dan pakem-pakem yang tidak boleh dilanggar.

Penutup Pemahaman konsepsi simbol tampakdara (+) yang terbangun dari persilangan garis sederhana namun memiliki kedalaman makna sebagai lsafat kehidupan setiap individu dan kelompok masyarakat, menjadi landasan dasar kehidupan dalam mencapai keseimbangan. Swastika simbol agama Hindu berdasar kepada tampakdara yang pada implementasinya membentang pada bhuwana sarira, bhuwana alit dan bhuwana agung. Keseimbangan secara horizontal, membangun kedamaian hidup berdampingan dengan sesama, saling menghormati. Secara vertikal membangun kesadaran hubungan manusia dengan berbagai manifestasi Tuhan dan keEsaanNya, serta menjaga keharmonisan alam semesta sebagai ekosistem pemberi kehidupan dalam arti luas. Dalam memahami guliran perjalanan hidup, manusia membutuhkan penguasaan dan pemahaman intelektual, disamping bercermin pada tuntunan kehidupan yang digambarkan melalui kisah-kisah kehidupan dikemas dalam dunia estetik dalam berbagai bentuk dan tatacara sajiannya. Sarana upakara merupakan media mendekatkan diri dan menyatakan terima kasih akan kelimpahan karunia Tuhan, dibarengi dengan pemahaman secara losos dengan kedalaman jnyana, sehingga unsur sekala dan niskala tersebut menyatu dalam kerja karma. Seni pertunjukan memiliki akses luas pada penjabaran semua itu untuk lebih mudah difahami melalui menyimak gambaran kompleksitas dinamika kehidupan lewat kemasan seni pertunjukan seperti: tari, topeng, wayang dan teater lainnya. Pergolakan baik buruk perseteruan yang tak berkesudahan dari daya tarik menarik kepentingan sifat yang bertentangan, rua-bineda, perlu diseimbangkan sebagai sifat alami yang sulit ditampik oleh setiap orang. Secara tematik dunia seni pertunjukan selalu mengajarkan pergolakan dharma versus adharma yang pada kesimpulannya dimenangkan oleh dharma. Tiga kerangka yang mengkemas ajaran agama dengan berelemenkan kandungan lsafat (tatwa), etika dan tata cara (susila), dan sarana dan prasarana laku estetika (upakara/upacara) terbangun
118

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

pada mantra, tantra dan yantra tak terpisahkan dari konsepsi idep, sabda dan bayu, keseimbangan ide/gagasan, wujud/bentuk sajian, dan greget penampilan yang memukau mataksu merupakan kekuatan yang dicari oleh para penyaji dan masyarakat pengapresiasi. Pencerdasan masyarakat penikmat lebih ditekankan pada peningkatan olah rasa dalam memaknai kehidupan ini. Nilai-nilai ajaran kebijaksanaan lebih menjadi kandungan dramatik dari sebuah pementasan. Kewajiban seorang pragina, dalang, yang memangku tugas sebagai guru loka, lebih menuntun masyarakat pemirsanya dengan ajaran-ajaran pemahaman diri berkaitan dengan rasa syujud dengan Tuhan, pendidikan moral, kepemimpinan, termasuk gejolak sosial sebagai bagian tak terpisahkan dalam menjalani hidup dan kehidupan di dunia ini. Percepatan pergerakan dan konsumerisme masyarakat moderen seperti dewasa ini membuat setiap orang sibuk untuk mengejar materialistik pemenuhan kebutuhan hidupnya. Beberapa dekade belakangan ini ada kecendrungan pergeseran kecintaan masyarakat penonton pada jenis-jenis pertunjukan konvesnsional seperti arja, wayang, drama gong yang gelombang kehidupannya mengalami masa surut, dibanding pada era sebelumnya. Terobosan kreatif bagi seniman penyaji dituntut untuk merevitalisasi jenis kesenian seperti itu agar tetap eksis dengan nafas dan kemasan yang lebih segar. Kemajuan teknologi informasi seperti televisi, video, internet, belum banyak digarap sebagai media penyampaian pesanpesan kebijaksanaan yang dapat diakses ke rumah-rumah dengan jangkauan pemirsa yan sangat luas. Sebuah tantangan bagi seniman untuk menjawab masa depan tugas dan fungsi seni sebagai pencerdasan masyarakatnya.

Daftar Pustaka

Artaud, Antonin. 1958. The Theater and Its Double (translated from French by Mary Caroline Richards). New York: Grove Weidenfeld. Bandem, I Made dan Fredrick Eugene deBoer. 1995 [1981]. Balinese Dance in Trasition: Kaja and Kelod. Kualalumpur: Oxford University Press. Brandon, James R. 1974 [1967]. Theatre in Southeast Asia. Cambridge Massachusetts. Harvard University Press. Brett Hough. 1999. Education for the Performing Arts: Contesting and Mediating Identity in Contemporary Bali in Staying Local in the Global Village: Bali
119

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

in the Twentieth Century. (ed. by Raechelle Rubinstein & Linda H. Connor). Honolulu: University of Hawaii Press. Catra, Nyoman. 2005. Penasar: A Central Mediator in Balinese Dance Drama (unpublished dissertation). Middletown CT: Wesleyan University. Dibia, I Wayan. 2004. Pragina: Penari, Aktor dan Pelaku Seni Pertunjukan. Malang: Sava Media. Hooykass. C. 1973. Kama and Kala: Materials for Study Shadow Theater in Bali. Amsterdam, London: North Holland Publishing Company. Jenkins, Ron. 1994. Subversive Laughter: The Liberating Power of Comedy. New York: Free Press. Jenkins, Ron & I Nyoman Catra. 2008. The Invisible Mirror - Siwalatrikalpa: Balinese Literature in Performance Sastra Bali dalam Seni Pertunjukan. Denpasar: International Translation Center ISI Denpasar. Pendit, Nyoman S. 2009. Mahabharata. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Spies, Walter and Beryl deZoete 2002 [1938]. Dance and Drama in Bali. Hongkong Singapore: Periplus Editions. Subramania, Kamala.2004. Ramayana. Surabaya: Paramita. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa - Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990 [1988]. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. The American Heritage Dictionary (William Moris editor). Websters Contemporary American Dictionary: of the English Language. Woodbury, New York: Bobley Publishing Corp. Zurbuchen, Mary Sabina. 1987. The Language of Balinese Shadow Theater. Princeton, New Jersey: Princeton University Press.

120

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

121

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. aktif mentransliterasi lontar dari aksara Bali ke dalam tulisan latin Bahasa Kawi dan menerjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Laki-laki kelahiran Cekik-Berembeng, 12 Pebruari 1961ini mengasuh berbagai mata kuliah yang berkaitan dengan Sastra, Kesusastraan Hindu, Estetika, Stilistika, dan Sosiologi Sastra, pada Program Magister (S2) dan Program Doktor (S3) Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana dan Program Magister (S2) Ilmu Agama dan Kebudayaan, Universitas Hindu Indonesia. Doktor lulusan Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ( 2 0 0 7 ) bidang Ilmu Sastra dan Filologi juga menjadi pengajar di Fakulas Sastra Universitas Udayana, Jurusan PGSD Universitas Terbuka,Fakultas Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali dan STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI. Banyak karya ilmiah Ketua Tim Penyusunan Tema Pesta Kesenian Bali yang dipublikasikan, terutama yang berkaitan dengan sastra bali. Lulusan Program Pascasarjana UGM Yogyakarta (1997) ini juga aktig sebagai penatar bagi generasi muda Hindi dan calon Pinandita/Pemangku di Bali. PNS yang juga sering menjadi juri berbagai lomba ini saat ini menjabat Ketua Pusat Pengkajian dan Pelayanan Lontar, Fakultas Sastra Unud dan Sekretaris I Yayasan Sabha Budaya Hindu Bali, serta Sekretaris Umum Widyasabha Dharmagita Provinsi Bali Alamat kantor: Jl. Nias 13 Denpasar, Telp. 224121 Alamat rumah: Jl. Gunung. Lumut V/2A Denpasar Barat 80117 Telp. (0361) 734363 HP. 08123770885 e-mail: tuarik4@yahoo.com 122

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Aktivitas Pasantian dan Sastra Bali Sebagai Media Pencerdasan Rakyat


I Nyoman Suarka
Pakar Sastra, Dosen Sastra Universitas Udayana

Pengantar
Pangdening kali mrkaning jana wimoha matukar-arbut kawiryawn, Tan wring rtnya makol lawan bhratara wandhawa ripu kinayuh pakrayan, Dewdrwya wina dharma rinurah kabuyutan-inilan padhspi, Wyarthang patha suprasti linbur tkaping-adhama mrka ring jagat. Wwang mahyun ri kawehaning dana dardra krpana dumadak dhanewara, Wwang drtmaka drghajwita sirang sujana dumadak-alpakmrta, Wwang duila suila durnaya wiweka kujana sujanwibhgana, Sang rj siwiteng sushena ta ya sang madum-amilih-ulah wiparya. (Kakawin Nitisastra, IV, 1011)

Terjemahannya:
Dampak masa krisis telah menyebabkan manusia kebingungan, berkelahi, berebut kekuasaan. Manusia tidak lagi mengenal dunianya, bergulat sesama sanak saudara, dan lawan dijadikan kawan. Benda-benda suci dihancurkan, tempat ibadah leluhur dirusak, orang-orang dilarang ke tempat ibadah hingga sepi. Sumpah tak berguna, piagam perjanjian dilanggar oleh para penjahat di du-

123

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

nia. Orang-orang hanya ingin diberi uang, orang miskin mendadak menjadi orang kaya, Penjahat menjadi panjang umur, sedangkan orang saleh menjadi pendek usia, Orang jahat berlagak arif, orang bodoh berlagak pintar, bajingan berlagak saleh, mereka sulit dibedakan, Raja tunduk kepada panglima, pemegang keadilan cenderung berlaku tidak adil.

ilamana kita mencermati tanda-tanda zaman krisis yang dilukiskan seorang pujangga tak dikenal pada enam abad yang lampau, seperti tersebut di atas, dengan tanda-tanda zaman yang dialami masyarakat Indonesia saat ini, barangkali tidak jauh berbeda. Dulu bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang beradab, ramah, sopan, berbudi pekerti luhur. Namun kini, masyarakat kita sekan-akan telah kehilangan kendali dan cenderung bertindak biadab, kasar, sewenangwenang, destruktif, anarkis. Berbagai kasus ketidakadilan dan kasus suap yang dilakukan para markus di kalangan penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan kini mencuat ke permukaan. Para elite politik lebih banyak bertengkar bahkan saling adu jotos, lebih suka memamerkan diri daripada memikirkan nasib rakyat yang semakin melarat. Kerapkali sekelompok masyarakat cenderung bertindak arogan atas nama agama. Bencana alam pun datang silih berganti, mulai dari gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, angin puting beliung, dan sebagainya. Berbagai krisis politik, hukum, sosial, ekonomi, moral telah memberikan dampak negatif kepada perilaku masyarakat kita. Era krisis atau zaman Kali yang konon dipenuhi oleh Bhutakala membuat masyarakat kita mengalami kebutaan, bukan hanya buta aksara tetapi juga buta hati, membuat pikiran dan hati gelap (awidya). Guna mengantisipasi berbagai fenomena tersebut di atas, ada baiknya pada kesempatan ini kita mencoba memberdayakan potensi budaya, yakni pasantian dan sastra Bali sebagai sumber pembangkitan budi, pencerdasan pikiran, dan pencerahan nurani.

124

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Hakikat Pasantian Secara etimologis, kata pasantian berasal dari kata dasar nti yang berarti ketenangan, ketentraman, kedamaian pikiran (Zoetmulder, 1995:1017), dan mendapat konks ka-an menjadi pasantian, yang berarti tempat atau wadah untuk mendapatkan ketenangan, ketentraman, kedamaian pikiran. Karena itu, aktivitas pasantian dilakukan dan diarahkan dengan tujuan mendapatkan ketenangan, ketentraman, dan kedamaian bagi para pelakunya. Ada lima peran dalam aktivitas pasantian, yang sering disebut panca siksaning angaji, yaitu pendengar (pamiarsa), pembaca (pangwacen), penerjemah (paneges), penanya (pamitaken), dan nara sumber (narawakya). Masing-masing peran tersebut dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan yang cukup sesuai bidang masing-masing, dan semua peran menunjukkan adanya sikap bhakti. Pendengar (pamiarsa) yang dimaksud adalah pendengar yang baik, yang mendengarkan dengan setia setiap teks yang dilagukan, diterjemahkan, dan diulas oleh peran-peran yang lain. Pembaca yang baik adalah pembaca (pangwacen), yang dituntut memiliki kemampuan dan pengetahuan yang cukup dalam penguasaan pasang aksara Bali (tata tulisan Bali), bahasa teks (bahasa Jawa Kuna, bahasa Jawa Tengahan, bahasa Bali dalam berbagai tingkatan), dan kaidah metrum yang digunakan (sekar macapat, sekar madya, dan sekar ageng), serta kualitas suara yang memadai. Tanpa kemampuan dan pengetahuan yang cukup, seorang pembaca (pangwacen) akan merasa kesulitan membaca dan menembangkan teks yang dihadapi. Kesulitan pembaca bukan hanya berpengaruh kepada pembaca sendiri tetapi juga berpengaruh terhadap penerjemah (paneges) yang juga akan merasa kesulitan dalam menerjemah-kan teks. Jika pembaca (pangwacen) salah membaca, maka ada kemungkinan besar pula penerjemah mengalami kesalahan dalam menerjemahkan. Dengan demikian, peserta mabebasan secara keseluruhan pun pada akhirnya mengalami kesalahan dalam penafsiran teks. Sementara itu, penerjemah (paneges) juga dituntut kemampuan dan pengetahuan-nya seluas mungkin dalam penguasaan bahasa sumber dan bahasa sasaran. Di samping memahami kode sastra, penerjemah wajib memahami kode bahasa dan kode budaya teks yang sedang dibaca. Tanpa kemampuan dan pengetahuan yang cukup bagi penerjemah, ten125

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

tu akan merasa kesulitan dalam menerjemahkan dan menafsirkan teks sumber ke dalam bahasa sasaran. Sebagaimana diketahui bahwa setiap bahasa memiliki kaidah bahasa, kosa kata, dan kode budaya sendiri. Tidak setiap kata dalam bahasa sumber dapat dicarikan padanannya secara tepat dalam bahasa sasaran. Di sinilah dituntut kepekaan seni, kemampuan yang memadai, dan pengetahuan yang luas bagi penerjemah. Dengan demikian, maka semakin banyak penerjemah memiliki bekal pengalaman baca, maka ia akan semakin mudah melaksanakan tugasnya dan tentu pula akan membuahkan hasil yang semakin memuaskan. Penanya (pamitaken) juga dituntut memiliki kemampuan dan pengetahuan serta kepekaan sastra yang cukup. Apabila penanya (pamitaken) tidak memiliki kepekaan sastra, maka dapat dipastikan bahwa apa yang dibaca atau dilagukan oleh pembaca (pangwacen) dan apa yang diterjemahkan oleh penerjemah (paneges) akan menjadi sebuah dagelan, banyolan atau senda gurau belaka. Pasantian pun akan menjadi pasif, tidak ada dialog yang berarti. Teks yang dengan susah payah dibaca atau dilagukan oleh pembaca dan diterjemahkan oleh penerjemah akan hilang begitu saja tanpa meninggalkan bekas di dalam pikiran peserta pasantian. Oleh karena itu, seorang peserta atau pendengar dalam pasantian setidaknya dituntut memiliki horison harapan. Dengan berbagai horison harapan, pendengar akan dapat berperan aktif, menjadi dinamisator dalam aktivitas pasantian. Semakin kaya pendengar dengan horison harapan, maka semakin banyak hasil interpretasi yang muncul. Tercapai atau tidaknya horison harapan para peserta atau pendengar itu akan sangat mempengaruhi keberlangsungan aktivitas pasantian tersebut. Peran nara sumber (narawakya) sangat memegang peranan penting, terutama dalam menuntun peserta mabebasan untuk membaca, menerjemahkan, dan mengulas makna teks yang sedang diapresiasi. Nara sumber yang baik tentu dapat memberikan penjelasan-penjelasan yang memuaskan kepada setiap peran dalam aktivitas mabebasan. Oleh karena itu, nara sumber harus mempunyai kepekaan sastra yang cukup, memiliki penguasaan bahasa, dan keterampilan mengulas serta menguasai dengan baik materi yang sedang diapresiasi. Aktivitas pasantian meliputi tiga bidang, yaitu wirama, wiraga, dan wirasa. Wirama adalah kegiatan membaca teks sambil melagukannya
126

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

menurut kaidah metrum yang digunakan dalam teks, misalnya sekar alit, sekar madya, sekar agung, palawakya, dan sloka. Wiraga adalah aktivitas menerjemahkan teks dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran, yakni dari bahasa Kawi, bahasa Tengahan ke dalam bahasa Bali ataupun membuat parafrase jika teks sumber menggunakan bahasa Bali. Wirasa adalah aktivitas penghayatan dan apresiasi secara mendalam untuk mendapatkan makna teks yang dibaca melalui diskusi antar peserta. Lebih jauh dapat dipahami bahwa ketiga aktivitas pasantian itu pada hakikatnya tindakan belajar sambil bernyanyi atau bernyanyi sambil belajar (malajah sambilang magending, magending sambilang malajah). Dalam kegiatan pasantian, para peserta akan belajar mengenai bahasa, aksara, aturan metrum dan pupuh, konsep-konsep budaya dan yang terpenting adalah belajar menghayati nilai-nilai yang dikandung dalam naskah lontar. Pembaca (pangwacen) belajar aksara Bali (jenis dan pasang aksara Bali) karena teks ditulis dengan menggunakan aksara Bali. Di samping itu, pembaca (pangwacen) juga mempelajari bahasa (bahasa Kawi, Jawa Tengahan, bahasa Bali) serta mempelajari kaidah metrum (uger-uger guru laghu, pada lingsa, laras) dan memahami konsep-konsep yang terkandung dalam teks sambil bernyanyi atau melagukan teks. Demikian pula penerjemah (paneges) akan mempelajari bahasa teks dan kaidah bahasa sasaran (sor singgih basa, lelengutan basa) serta nilai-nilai yang tersurat dan tersirat di dalam teks. Dalam pasantian, di samping membaca (menembangkan, bernyanyi) dan menerjemahkan teks, para anggota pasantian mendiskusikan teks yang dibaca. Dalam diskusi itu dapat diciptakan kondisi yang memungkinkan berkembangnya penalaran dan logika interpretasi setiap peserta. Cerita yang dibaca bukan hanya dipahami sebagai sebuah cerita (satua), tetapi lebih sebagai sebuah metode penyampaian gagasan moral, ideide, norma-norma, nilai-nilai lewat karya sastra yang tokoh dan lakuannya dimaksudkan sebagai pelambang peri kehidupan yang sebenarnya (tattwa). Karena itu, penafsiran selalu dimungkinkan dengan hasil yang beraneka ragam sesuai dengan bekal pengalaman dan horison harapan peserta. Dengan demikian, maka akan terjadi keharmonisan antara kecerdasan pikiran (hasil belajar), kecerdasan emosional (hasil bernyanyi), dan kecerdasan sosial (hasil diskusi).

127

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Hakikat Sastra Bali Tradisi Bali memiliki keunikan dalam peristilahan sastra. Umumnya, penamaan sastra didasarkan pada bahasa yang digunakan dalam karya sastra, misalnya sastra Jawa adalah sastra yang menggunakan bahasa Jawa; sastra Sasak menggunakan bahasa Sasak; sastra Sunda menggunakan bahasa Sunda; sastra Melayu menggunakan bahasa Melayu; sastra Indonesia menggunakan bahasa Indonesia; sastra Inggris menggunakan bahasa Inggris; sastra Jepang menggunakan bahasa Jepang, dan lain-lain. Berbeda halnya dalam tradisi Bali, kita tidak bisa dengan mudah menyebutkan bahwa sastra Bali adalah sastra yang menggunakan medium bahasa Bali, seperti penamaan sastra di atas. Dalam tradisi Bali, istilah sastra tumpang tindih dengan aksara. Kata sastra dapat berarti sastra dan aksara atau huruf (Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Dati I Bali, 1990: 615). Hal itu dapat dibuktikan dengan munculnya istilah nyastra yang mempunyai arti segala aktivitas manusia Bali yang berhubungan dengan bahasa, sastra, dan aksara Bali. Lagipula, istilah nyastra melingkupi tradisi lisan dan tradisi tulisan secara sekaligus. Dalam tradisi nyastra, seolah-olah tidak ada perbedaan antara tradisi lisan dengan tradisi tulisan. Teks lisan ditulis ke dalam naskah, seperti terlihat pada naskah-naskah satua, dan sebaliknya teks tulisan dibacakan atau dipertunjukkan, seperti parwa, kakawin, kidung, gguritan, babad sebagai teks tulisan dibacakan atau dipertunjukkan dalam kegiatan mabbasan. Demikian pula, istilah aksara atau huruf dalam tradisi Bali bukan sekadar sebagai lambang bunyi tetapi merupakan simbol budaya. Aksara memiliki fungsi sebagai bagian integral dalam tindakan magis dan keagamaan masyarakat Bali. Karena itu, istilah kesusastraan Bali mempunyai ruang lingkup sangat luas, baik dilihat dari segi bahasa yang digunakan, jenis sastra, maupun aksara yang digunakan dalam menuliskan karya sastra. Dari segi bahasa yang digunakan dalam karya-karya sastra, kesusastraan Bali menggunakan bahasa Sanskerta, bahasa Jawa Kuna, bahasa Tengahan, bahasa Melayu, bahasa Sasak, dan bahasa Bali. Ditinjau dari aksara yang digunakan, kesusastraan Bali ditulis dalam aksara Bali dan aksara Latin. Aktivitas Pasantian dan Sastra Bali sebagai Media Pencerdasan Aktivitas pasantian berfungsi membentuk dan menumbuhkan budi
128

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

pekerti luhur (budi kaparamartan). Dalam Geguritan Purwasanghara dijelaskan bahwa untuk dapat mengarungi samudra zaman Kali (era keributan) yang penuh badai itu dapat ditempuh melalui kesusilaan budi, yakni keseimbangan antara akal budi dan kepekaan hati nurani. Dalam menyikapi berbagai situasi dan problema kehidupan, baik sebagai individu maupun masyarakat sosial, penggunaan akal budi harus diimbangi dengan kepekaan hati nurani. Salah satu cara untuk mengasah kepekaan rasa dan hati nurani adalah dengan membaca, menghayati, dan kemudian mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra karena karya sastra diciptakan berdasarkan rasa. Di dalam rasa terjadi sublimasi emosi dari tataran psikologis ke tataran estetik. Dalam proses sublimasi emosi itu, emosi individual ditransformasikan menjadi rasa, yakni pengalaman estetik non-individual, universal, mengatasi ruang dan waktu. Di situ, pengalaman estetik menjadi identik dengan pengalaman religius. Dengan demikian, karya sastra yang dibaca dalam aktivitas pasantian merupakan perpaduan antara nilai seni (estetik) dan nilai moral. Aspek estetis akan menyantuh budi. Karena itu, apabila pembacaan karya sastra melalui pasantian dilakukan dengan baik dan benar, maka akan dapat menggetarkan hati nurani yang paling suci (budi). Budi nurani suci akan dapat menguasai pikiran atau manah. Pikiran (manah) yang kuat akan mengendalikan nafsu keinginan (indria). Nafsu keinginan (indria) yang terkendali dengan baik akan dapat mengarahkan perbuatan kita untuk berpegang pada kebenaran (dharma). Perbuatan yang berpegang pada kebenaran (dharma) akan menghasilkan pahala mulia berupa kehidupan bahagia lahir dan batin (anandam). Jika demikian halnya, maka dapat dikatakan bahwa aktivitas pasantian dan sastra Bali dapat dijadikan salah satu media pencerdasan dan sekaligus sarana untuk mencapai ketenangan, ketentraman, dan kedamaian dalam mengarungi masa krisis sebagaimana dijelaskan dalam kutipan Kakawin Ramayana berikut.
Guh ptng tang mada moha kasmala, Maldi yolanya magng mahwisa, Wita sang wruh rikanang jurang kali, Kalinghaning stra suluh nikprabha.

129

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Artinya: Mabuk, bingung, dan segala jenis najis bagaikan goa gelap gulita, noda dan dosa ibarat ularnya yang besar dan berbisa, orang cerdas akan dapat melewati jurang dan kali dengan tenang, dan sastra adalah lampu penerangnya yang terang benderang. Pada kutipan di atas tampak jelas disebutkan bahwa fungsi sastra (kalinghaning stra) adalah sebagai lampu penerang yang terang benderang (suluh nikprabha) dalam meraih perkembangan akal budi yang sempurna atau menjadi manusia cerdas yang dapat berpikir dan mengerti (sang wruh) arti hidup dan kehidupan, sehingga kita dapat melewati berbagai terpaan dan pahit getir kehidupan ini (jurang kali) dengan tenang (wita). Di samping sebagai media pencerdasan, aktivitas pasantian juga dapat berfungsi atau berperan memberi vibrasi kesucian pada lingkungan. Zoetmulder (1985) menjelaskan bahwa kakawin diciptakan oleh penyair melalui beberapa tahapan. Sang kawi memulai karyanya dengan menyembah dewa pilihannya sebagai dewa keindahan, sebagai asal dan tujuan. Dewa itu dipandang menjelma dalam segala keindahan, baik di alam sakala, sakala-niskala, maupun alam niskala. Guna menemukan dewa keindahan yang menjelma di alam sakala, sang kawi mengembara, mengamati pertempuran, kecantikan wanita, menyusuri pantai, menjelajah gunung, hutan, sungai, dan lain-lain sambil berlaku tapa. Dewa keindahan yang berada di alam niskala, berhasil ditemukan berkat laku tapa atau samadi sang kawi. Dewa keindahan berkenan turun dan bersemayam di alam sakala-niskala, yakni di atas padma hati atau jiwa sang kawi. Sang kawi berupaya mempersatukan diri dengan dewa tersebut. Persatuan itu merupakan sarana, yakni dengan persatuan itu sang kawi bertunas keindahan sehingga ia mampu menciptakan kakawin, dan sekaligus tujuan, dengan menciptakan kakawin sang kawi berharap dapat mencapai kelepasan. Sejalan dengan itu, maka kakawin merupakan yoga sastra dan yoga keindahan. Dalam rangka yoga itu, kakawin merupakan yantra, sebagai candi tempat semayam dewa keindahan dan objek samadi bagi para pemuja dewa keindahan serta sebagai silunglung, bekal kematian sang kawi.
130

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Sebagaimana telah disebutkan di atas, karya sastra Bali tradisional diciptakan melalui proses perpaduan antara estetika dan religiusitas. Sementara itu, aktivitas pasantian bergulat dengan upaya apresiasi semendalam mungkin terhadap karya sastra Bali trandisional tersebut. Tujuannya adalah untuk mendapatkan ketenangan pikiran, ketentraman, dan kedamaian. Oleh karena itu, pasantian sebagai wujud tradisi lisan atau pelisanan teks-teks suci apabila dilakukan secara meluas dan berkesinambungan akan dapat menimbulkan vibrasi kesucian pada lingkungan. Lingkungan yang tervibrasi oleh kesucian akan dapat membawa masyarakat pada kehidupan yang harmonis dan dinamis dalam mewujudkan pembangunan manusia seutuhnya. Kecuali itu, aktivitas pasantian merupakan tempat menumbuhkan kepribadian dan jatidiri. Perlu dikemukakan bahwa masa sekarang sesungguhnya merupakan kelanjutan atau perpanjangan masa lampau. Apabila demikian halnya, maka berbagai persoalan pada masa kini akan sulit dimengerti atau dipahami jika tidak diketahui latar belakang sejarahnya. Sementara itu, dalam aktivitas pasantian teks-teks yang dibaca adalah teks-teks sastra lama yang terekam dalam naskah. Teks-teks itu merupakan perbendaharaan yang memuat berbagai persoalan, nilai-nilai luhur, buah pikiran, ide, gagasan, renungan, dan hal-hal mulia lainnya yang pernah dialami dan dilakukan serta dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat pada masa lampau, baik secara nyata maupun hanya dalam imajinasi. Oleh karena itu, dalam aktivitas pasantian, berlangsung pembacaan teks lama oleh pembaca masa kini. Di sinilah pasantian berperanan memediasi masa lampau dengan masa kini. Masa kini diberi tempat justru dalam hubungannya dengan masa lampau dan masa lampau dihargai dalam konteks kekiniannya. Dalam aktivitas pasantian pada prinsipnya dilakukan beberapa kegiatan, di samping kegiatan pembacaan, penerjemahan, dan pendiskusian. Dalam kegiatan pasantian dilakukan upaya pengenalan, penggalian, pemahaman, dan penghayatan nilai-nilai luhur yang tersurat dan tersirat di dalam teks yang dibaca. Pengenalan dan pemahaman nilainilai luhur itu akan dapat meningkatkan kualitas hidup, memperkuat kepribadian, mempertebal rasa harga diri, dan kebanggaan masyarakat. Kualitas hidup, kepribadian, rasa harga diri dan kebanggaan masyarakat, yang pada akhirnya dapat menumbuhkan kualitas hidup bangsa, memperkuat kepribadian bangsa, mempertebal rasa harga diri dan
131

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

kebanggaan nasional. Dalam konteks ini, pasantian merupakan usaha terus-menerus yang dilakukan untuk mengapresiasi dan menawarkan berbagai penafsiran baru dengan tanpa meninggalkan akarnya, yang mampu memperkaya jiwa dan semangat baru dalam menjawab tantangan zaman globalisasi. Lebih jauh, aktivitas pasantian merupakan wahana persatuan dan kesatuan. Secara sosiologis, peran-peran dalam pasantian itu dapat diperankan oleh sekelompok orang yang berasal dari berbagai stratikasi sosial maupun kelompok sosial yang ada dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat berdasarkan ke-wangsa-an maupun ke-warna-an peserta dalam pasantian. Anggota kelompok pasantian itu bisa saja berasal dari kalangan Brahmana, Ksatria, Wesia maupun Jaba atau juga berasal dari pedagang, petani, buruh, pejabat, ABRI, tokoh-tokoh masyarakat, pemuka agama, seniman, guru, karyawan, dan lain-lain. Dalam tataran inilah terlihat kenyataan bahwa pasantian merupakan wahana untuk menggalang persatuan dan kesatuan masyarakat. Pasantian sebagai wujud tradisi lisan di Bali menunjukkan ciri kelisanannya yaitu pentingnya kebersamaan, menekankan aspek pendengaran yang mempersatukan, yang mengakrabkan sidang pendengar. Dalam tradisi lisan, sastra dianggap sebagai milik bersama sehingga harus dibacakan, dipertunjukkan di hadapan sejumlah orang untuk dapat dinikmati bersama. Kebersamaan sangat penting artinya dalam menumbuhkan sikap kemitraan. Kemitraan akan dapat diwujudkan bila ada rasa toleransi, saling menghormati, dan gotong royong. Setiap anggota pasantian secara demokratis menunjukkan rasa toleransi dan sikap saling menghormati kepada sesama anggota. Hal ini terlihat pada proses berlangsungnya pasantian itu. Pembaca (pangwacen) akan menjalankan tugas dan peran semaksimal mungkin. Ketika pembaca masih aktif membaca atau melagukan teks, penerjemah tidak akan menyela atau memotongnya begitu saja, tetapi penerjemah mempersilakan pembaca sampai selesai membaca teks. Setelah pembaca selesai membaca, barulah penerjemah melaksanakan tugasnya. Demikian pula, peserta pasantian lainnya, akan senantiasa memberikan kesempatan kepada peserta lain, termasuk kepada pembaca dan penerjemah, untuk melaksanakan tugas masingmasing. Jalinan kemitraan dibina sedemikian rupa untuk menciptakan ke132

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

bersamaan dan keharmonisan. Kemitraan dan keharmonisan itu, pada akhirnya akan melahirkan persatuan dan kesatuan. Di sinilah pasantian menunjukkan cirinya sebagai wahana kemitraan, keharmonisan, menjalin persatuan dan kesatuan para anggotanya dengan penuh dinamika melalui lantunan irama dan keluwesan bahasa. Dengan kata lain, lewat pasantian sebagai wujud tradisi lisan dapat dibina atau dipertahankan solidaritas dan kebersamaan guna menumbuhkan semangat nasional.

Penutup Aktivitas pasantian merupakan kegiatan bersastra yang pada prinsipnya merupakan kegiatan olah rasa dan sekaligus olah pikiran. Karya sastra diciptakan melalui akal budi pengarang yang dijiwai perasaan yang halus dan indah. Karya sastra itu dibaca, dilagukan, dihayati, dan diapresiasi secara mendalam dalam aktivitas pasantian. Karena itu, aktivitas pasantian dapat menyempurnakan perkembangan akal budi masyarakat sehingga masyarakat mampu berpikir dan mengerti makna kehidupan.
Daftar Pustaka Suarka, I Nyoman. 1998. MABEBASAN: Wahana Pembauran. Denpasar. _______________. 2007. Kidung Tantri Picarana. Denpasar: Pustaka Larasan. Teeuw, A. 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya. Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jilid I dan II. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Zoetmulder, P.J. 1985. Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Jakarta: Djambatan.

133

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum. Lahir di Tabanan, 19 April 1958. Dosen STSI Surakarta ini tengah menyelesaikan pendidikan Doktor (S3) pada Program Studi Kajian Budaya Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar. Dasar kesenimanan bidang yang dikuasainya adalah pedalangan, tetapi mengembangkan juga keterampilan menari, teater, dan menabuh gamelan. Lulusan Program Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora Pengkajian Seni Pertunjukan (1996) ini juga berpartisipasi dalam pentas wayang kulit, teater, dan tari, baik di dalam maupun di luar negeri. Sejak tahun 1982 sering menyusun karya-karya baru wayang layar lebar berbahasa Indonesia dengan mengaplikasikan konsep pewayangan baru yang berbeda dengan pertunjukan wayang kulit konvensional, untuk berbagai kepentingan. Beberapa kali pentas seni di luar negeri, seperti di London, Skotlandia, Jepang, Australia, Thailand, dan Taiwan. Beberapa penelitian mandiri dan hibah yang dilakukan antara lain Ideologi Lakon Cupak Ke Swargan oleh Dalang I Made Jangga(2009); Konsepsi Kekuasaan Paku Buwana II Pada Kayon Gapuran (1998); Lakon Gareng Dadi Dewa: Sebuah tinjauan Sosiologis (2002) Konsepsi Segara-Gunung dalam Cerita Cupak-Grantang (2003) dan Nilai Ajaran Inkarnasi dalam Lakon Purba Sejati (2005). Banyak pula publikasi artikel ilmiah luluasan Akademi Seni Karawitan Indonesia Surakarta Pedalangan (1986) ini antara lain di Mudra, Jurnal Seni Budaya, LAKON Jurnal Jurusan Pedalangan STSI Surakarta; Dharmasmrti Jurnal Ilmu Agama dan Kebudayaan; Cakra Wisata Jurnal Pariwisata Budaya, Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat UNS Surakarta. Alamat : Jl. Durmo No. 193 Perum. RC. Ngringo. 57772 Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah. Telp. 0271-827708; HP: 081329088782. 134

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Pertunjukan Wayang Kulit Bali: Media Komunikasi Pencerdasan Rakyat


Dr. I Nyoman Murtana, S.Kar., M.Hum.
Dosen Kajian Budaya Universitas Udayana

Pengantar ertunjukan wayang kulit, adalah media komunikasi audiovisual, baik melalui bahasa verbal, bahasa visual, bahasa auditif maupun tanda-tanda simbolik lainnya. Bahasa verbal dalam pedalangan Bali tampak pada bahasa kawi, bahasa Bali, dan Bahasa Indonesia. Bahasa kawi digunakan oleh para raja, ksatria, pendeta, raksasa, dan dewa. Bahasa Bali dan bahasa Indonesia digunakan oleh para abdi, baik abdi perempuan maupun lelaki. Bahasa visual dapat dinikmati dari aneka bentuk rupa dan gerak seluruh gur wayang serta bayang-bayang yang ditimbulkan dari sorot lampu blencong yang bersuasana magis. Kelir, layar putih sebagai arena memainkan seluruh gur wayang kulit diandaikan sebagai panggung kehidupan. Selain itu, bahasa auditif dapat dinikmati dari berbagai suasana yang dibangun melalui suara gamelan yang mengiringi, irama antawacana, dan nyanyian dalang dalam berbagai suasana. Seluruh unsur budaya tersebut dipandang sebagai bahasa atau teks. Ia digunakan sebagai sarana untuk membangun satu pertunjukan wayang kulit yang menimbulkan citra estetik tertentu, Dengan cara itu pertunjukan wayang kulit menjadi menarik dan menggairahkan apresiator. Selain hal tersebut, cerita yang dimainkan oleh dalang dan seluruh anggota grup pendukung pertunjukan wayang kulit, juga mentransmisi-

135

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

kan berbagai nilai kehidupan manusia, seperti aspek solidaritas sosial untuk mengeksresikan nilai tolerans dan kebersamaan, aspek religius sebagai ekspresi rasa sujud terhadap Tuhan, aspek ideologi politik untuk mengekspresikan kepentingan manusia dalam memperjuangkan atau mempertahankan kekuasaan. Seluruh aspek tersebut diramu dengan berbagai problema sosial dan unsur-unsur budaya yang aktual, baik lokal maupun global, sehingga terbentuk sebuah lakon pertunjukan wayang kulit yang mampu menembus keterbatasan dunia lokal sehingga memancarkan sinar mulianya di dunia global. Berbicara tentang pertunjukan wayang kulit bagaikan membicarakan secara total kehidupan manusia. Oleh karena itu, pada tulisan ini akan dibicarakan aspek-aspek tertentu saja dari pertunjukan wayang kulit dalam fungsinya sebagai media pencerdasan rakyat.

Membangun Kecerdasan Struktur Sosial Pertunjukkan wayang kulit merupakan gambaran tentang kehidupan manusia yang terkait dengan kedudukan, peran, dan fungsi yang berbeda-bedadalam masyarakat. Ada peran raja, kesatria, pendeta, dan abdi atau rakyat. Masing-masing peran memiliki wilayah atau ranah kekuasaan yang berbeda-beda pula. Wilayah atau Ranah itulah yang diperebutkannya. Bourdieu (dalam Fashri, 2007:95), memandang ranah sebagai arena kekuatan yang di dalamnya terdapat upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber-sumber daya (modal) demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Dengan demikian, ranah menjadi arena pertarungan. Bagi mereka yang menempatinya dapat mempertahankan atau mengubah kongurasi kekuasaan yang ada. Struktur ranah membimbing dan memberikan strategi bagi penghuni posisi tertentu untuk melindungi atau meningkatkan posisi mereka dalam jenjang pencapaian sosial. Oleh karena itu, lakon yang digelar dalam pertunjukan wayang kulit sering merupakan kasus-kasus kekuasaan. Selain itu, semua unsur budaya Bali yang digunakan oleh dalang sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasan-gagasan dalam pertunjukan wayang kulit, seperti bahasa, rupa, gerak, instrumen musik tradisional (gender wayang), atau perangkat gamelan yang lain, dapat dimaknai sebagai aktivitas politik kebudayaan, terutama jika dikaitkan dengan upaya pelestarian.
136

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Membangun Kecerdasan Atas Konik Dalam pertunjukan wayang kulit selalu terdapat perang antara kelompok yang satu dengan yang lain. Perang tersebut merupakan ekspresi simbolik mengenai konik sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, bahwa problema sosial yang terjadi dalam masyarakat mewarnai proses penciptaan karya pedalangan. Lagi pula, pertunjukan wayang kulit merepresentasikan aneka konik kemanusiaan. Hal itu sesuai dengan pernyataan Constance Nash (Hamzah, 1985:122), bahwa konik, baik konik horizontal maupun vertikal merupakan kekuatan penggerak drama dan hati penonton. Konik horizontal menyangkut interaksi manusia dengan manusia dan manusia dengan alam, sedangkan konik vertikal menyangkut hubungan sistem keyakinan, baik profane maupun dengan yang sakral. Ketiga bentuk konik itulah yang diwacanakan dalam lakon pertunjukan wayang kulit melalui perbedaan-perbedaan karakteristik tokoh, pandangan hidup, dan perbedaan kepentingan yang tercermin dalam tindakan-tindakannya. Perbedaan sikap dan perilaku tokoh-tokoh cerita bisa sangat tajam, sehingga menyebabkan pertentangan yang hebat. Menurut Ratna (2004:179), bahwa dalam karya seni yang problematis, tokoh-tokoh cerita justru berfungsi sebagai oposisi ideologis terhadap subjek, bahkan juga sebagai pemberontak yang radikal. Akibat dari itu, sangat dimungkinkan bisa saling bunuh di antara sanak saudara, kerabat, teman atau kolega, sehingga pertunjukan wayang kulit menampakkan kekerasan simbolik mengenai kehidupan. Misalnya pertempuran Pandawa dengan Kurawa di Padang Kurukasetra untuk berebut kekuasaan. Cerita Dewaruci mengartikulasikan konik vertikal yang terkait dengan sistem keyakinan hingga Bima bisa bertemu dengan Dewaruci. Membangun Kecerdasan Humanis Dalam konik kehidupan selalu ada pihak-pihak yang kalah, dikalahkan, atau mengalah dan mau membuka komunikasi agar segalanya bisa dibicarakan secara baik-baik. Dengan cara tersebut konik-konik dapat dilerai dan semua pihak bisa mengarungi kelangsungan hidup. Hal ini berarti pihak yang kalah dapat menerima kekalahan sebagai kemenangan dan pihak yang memberi ampun adalah orang yang memiliki kesadaran historis terhadap masa lalu. Apabila dilihat dari lsafat perubahan dari Hegel (dalam Aiken, 2009:85-86) bahwa kesadaran his137

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

toris mampu memahami realitas sebagaimana adanya, yakni sebagai sebuah proses menjadi. Bagi Hegel, sejarah berarti perkembangan. Setiap proses historis adalah sesuatu yang baru. Tidak satu pun ada yang sama persis seperti keadaan sebelumnya. Hukum perubahan historis mana pun bukan sebagai rangkaian daur perubahan yang berputar terus secara abadi, tetapi sebagai perkembangan yang progresif bahwa setiap tahapan, atau yang oleh Hegel disebut momea, dipandang sebagai konsekuensi niscaya yang sepenuhnya berbeda dari tahapan sebelumnya. Hal ini berlaku bagi struktur masyarakat. Tiap-tiap individu berorientasi pada keselarasan. Mereka menemukan identitas diri di posisi yang tepat dalam tatanan masyarakat (Suseno (1992:247). Sikap mengalah itu menunjukkan implementasi ajaran Tat Twan Asi, yaitu ajaran normatif (Wesnawa, 2004:60) yang memancarkan sinar energi Tuhan dari sikap tokoh-tokoh pemaaf. Dengan begitu, Tat Twam Asi dimaknai sebagai ajaran perilaku humanis yang menerima kehadiran orang lain bagaikan menerima dan mencintai dirinya sendiri. Dalam konteks inilah konsep the othersyang lainmemancarkan nilai humanisme sosialnya yang mau peduli terhadap dan untuk orang lain serta tidak hanya berlaku untuk kelompok sosial tertentu, tetapi untuk semua. Hakikat Tat Twam Asi itu sesuai dengan yang dikatakan oleh Snijders (2008:106), bahwa aku dapat hadir pada diriku dengan reeksi. Aku terbuka untuk pikiran orang lain, dapat berkomunikasi dengan yang lain, dan dapat merasakan pikiran orang lain. Aku terbuka untuk sesama, untuk dunia, dan untuk Tuhan. Hal tersebut merupakan pemberitahuan dan ajakan kepada rakyat atau masyarakat untuk saling menghormati. Tiap individu berharap memperoleh kesatuan sosial dengan sesama anggota masyarakat yang lain, dengan dunia yang luas, dan berharap pula memperoleh kesatuan dengan kekuatan yang mahadahsyat dari maha pengasih dan penyayang segala makhluk, dan yang melebihi segala sesuatu yang ada di dunia, yaitu Tuhan. Tat Twam AsiAjaran cinta kasih yang mengedepankan sikap hidup toleran dan berorientasi demi kebaikan orang lain tersebut, mengingatkan manusia agar berhati-hati mengelola kekuasaansumber kebahagiaan yang sangat potensial menjadi penyebab kesengsaraan, meskipun dengan dalih meningkatkan kemakmuran. Semua itu merupakan pelajaran yang bernilai katarsis yang dalam tradisi ritual pemurnian jiwa di
138

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Bali disebut dengan istilah panglukatan, agar manusia dapat berpikir, berujar, dan bertindak dengan baik demi kebaikan dunia. Berdasarkan prinsip ke-Tuhan-an seperti itu, setiap bentuk kekuasaan tidak lagi dimaksudkan untuk memaksakan kehendak terhadap pihak lain dalam mencapai tujuan. Kekuasaan dibiarkan tersebar dan melekat secara otonomi pada semua yang hadir di alam semesta dengan pancaran energinya masing-masing. Seperti dikatakan oleh Bizawie (2002:66) bahwa kekuasaan adalah ungkapan energi illahi yang selalu kreatif meresapi seluruh kosmos. Kekuasaan bukanlah suatu gejala khas sosial yang berbeda dari kekuatan-kekuatan alam, melainkan kekuatan kosmis yang dapat memenuhi seluruh kosmos. Kekuasaan adalah realitas itu sendiri yang dapat dilihat dari kekuatan-kekuatan yang mengalir dari pada-Nya. Pertunjukan wayang kulit adalah salah satu wujud kebudayaan tradisi-onal. Menurut Suseno (1992:247) kebudayaan tradisional merupakan satu kesatu-an yang memiliki unsur-unsur kognitif (pengetahuan), normatif (harkat moral norma-norma sosial), dan ekspresif (estetis). Ketiga unsur tersebut didasarkan atas satu pandangan dunia yang hampir selalu ditentukan oleh agama. Fisher (1990:231 dan 233) menambahkan bahwa manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan, bermasyarakat, dan memiliki buah pikiran. Hakikat diri tidak hanya berfungsi sebagai proses sosial, tetapi juga bermula sebagai proses sosial; yakni individu hanya dapat mencapai perkembangan diri yang menyeluruh melalui interaksinya dengan orang lain.

Membangun Kecerdasan Religius Seorang dalang memformulasikan nilai-nilai keagamaan dalam pertunjukan wayang kulit. Dengan menghayati nilai-nilai itu masyarakat dapat memperbaharuai, melakukan revitalisasi, melestarikan kesadaran kultural dan kesatuan komunitas. Berkaitan dengan hal tersebut Fananie (1994:127) mengatakan, bahwa seni pada hakikatnya merangkum semua aspek kehidupan manusia. Menurutnya, bahwa peradaban yang meliputi pandangan, tingkah laku, moralitas, dan kepercayaan diawali dari sebuah karya seni. Eisseman, (1989: 322-32) dalam tulisannya yang berjudul Sekala & Niskala: Essays on Religion, Ritual, and Art, diuraikan tentang kehidupan agama, upacara, kesenian, dan pertunjukan wayang kulit. Dalang memiliki popularitas dan kedudu139

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

kan di masyarakat, menempatkan fungsi ritual dan edukasi pertunjukan wayang kulit bagi masyarakat Bali. Pernyataan Eisseman tersebut koheren karena hingga kini pertunjukan wayang kulit merupakan bagian yang sistemik dalam berbagai pelaksanaan upacara ritual keagamaan di Bali. Menurut Berata (almarhum), seorang dalang wayang kulit Parwa dari Desa Tunjuk, Tabanan menyatakan, bahwa pertunjukan wayang kulit dan sistem upacara keagamaan bagaikan pasangan suami istri yang dalam kehidupannya saling melengkapi satu sama lain. Pendeta mendoakan keselamatan dunia melalui sesaji dan doa-doa dan dalang menyelamatkan dunia dengan menjelaskannya perilaku baik-buruk tokoh-tokoh wayang dalam konsepsi rwabhineda dalam satu peristiwa lakon pertunjukan wayang kulit. Hal itu sesuai dengan pernyataan Kuntowijoyo (1987:51-52) yang me-ngatakan, unsur-unsur estetis hadir dalam sistem keagamaan dan sebaliknya unsur-unsur agama hadir dalam seni. Artinya, antara nilainilai keagamaan dan seni disinergikan dalam pertunjukan wayang kulit, sehingga memancarkan aspek sosial dan kultural yang menarik sebagai wahana komunikasi. Apabila diskemakan proses interaksi situasi sosial dan nilai budaya yang dipersiapkan sepanjang masa oleh seorang dalang adalah sebagai berikut.
3

Keterangan gambar 1. Satuan sosial budaya 2. Nilai-nilai kultural 3. Dalang/transformer 4. Masyarakat apresiator/simulasi

Kehadiran nilai-nilai keagamaan dalam pertunjukan wayang kulit merupakan kekuatan teatrikal bagi suatu daya pembangunan bangsa. Teater merupakan sarana yang efektif untuk menanamkan kepribadian. Perjalanan hidup teater wayang kulit yang melewati sekian zaman telah membuktikan diri sebagai barometer kepribadian yang telah berakar (Hamzah, 1985:114). Dengan demikian pandangan dunia yang diekspresikan dalam pertunjukan wayang kulit, bukan kerajaan-keraja140

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

an dan kekuasaan-kekuasaan dunia lahiriah semata yang tersaji dalam latar utama bagi tindakan manusia, melainkan dunia batiniah dari sentimen-sentimen dan hasrat-hasrat. Setiap orang harus bersikap seperti kesatria yang terus-menerus memerangi raksasa dan raksasi yang diandaikan sebagai simbol nafsu-nafsu yang menguasai hidup manusia. Kenyataan dicari bukan di luar diri, melainkan di dalamnya. Komunikasi manusia dengan Tuhan dilandasi tiga argumen, yaitu argumen kosmologis megungkapkan bahwa Tuhan harus ada karena kalau tidak akan ada rangkaian kausalitas yang tidak terhingga untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa. Argumen teologis mengungkapkan, bahwa dari struktur nal realitas dapat ditarik kesimpulan adanya Sang Pencipta yang menerapkan struktur tersebut. Adapun argumen ontologis mengemukakan bahwa Tuhan ada karena kita memikirkan dan memprediksi eksistensi terhadapnya (Khuzai, 2007:109). Oleh karena itu, pertunjukan wayang kulit bukanlah pementasan sebuah politik losos semata melainkan suatu psikologi metasis (Geertz, 1992:60-61). Wayang jika ditafsirkan secara psikologis dimaksudkan untuk memelihara kecenderungan untuk menemukan realitas tertinggi (Geertz 1983:362). Cara kerja skema transmisi nilai-nilai itu sesuai dengan identikasi yang dilakukan oleh Baudrillard (dalam Budiman, 2002:98) tentang masyarakat sebagai simulasi yang terjadi di era postmodern, yaitu sebuah era informasi dan tanda-tanda yang diatur oleh pelbagai macam model, kode dan sibernetik. Pertunjukan wayang kulit adalah model, kode dan sibernetik atau dunia maya yang mensimulasi nilai-nilai kultural yang divisualisasikan dalam wujud-wujud prilaku tertentu tokohtokoh pelaku cerita wayang. Simulasi wayang mempengaruhi sikap mental masyarakat. Perilaku tokoh-tokoh wayang kulit ditafsirkan sebagai referensi dalam kehidupan sosial. Dengan kata lain Kuntowijoyo (1987:135) menyatakan, bahwa realitas sosial yang diungkapkan lewat tokoh-tokoh imajiner dapat memberi gambaran yang hidup. Ditinjau dari proses itu, maka dalang adalah orang yang terpelajar atau intelektual. Gramsci menganggap penting para intelektual tradisional yang menempati posisi ilmiah, literer, losos dan religius di masyarakat, termasuk universitas, sekolah, media, lembaga-lembaga agama, medis, penerbit, dan rma-rma hukum. Mereka bisa datang dari latar seperti status, posisi dan fungsi yang berbeda dan indepen141

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

den, lepas dari komitmen kelas atau peran ideologis manapun (Barker, 2005:469). Hal itu sesuai dengan sikap masyarakat Bali yang mendudukkan dalang wayang kulit sebagai guru loka yang bersikap independen, karena ia menjadi guru bagi semua golongan sosial.

Simpulan Pertunjukan wayang kulit merupakan contoh dari salah satu unsur kebudayaan yang terjadi karena manusia hendak memuaskan kebutuhan nalurinya akan rasa keindahan dan menjadikan pengalaman estetik sebagai penyeimbang kondisi materiil. Di balik keindahan itu, pertunjukan wayang kulit menyiratkan ajakan untuk meningkatkan kecerdasan mengenai realitas kehidupan sosial yang antara lain menyangkut kecerdasan manusia terhadap struktur sosial sebagai ajang untuk melakukan interaksi sosial. Selain itu, pertunjukan wayang kulit juga mencerdaskan rakyat dalam mengelola konik kehidupan, membangun kecerdasan humanis, dan memiliki kecerdasan akal budi untuk menyadarkan manusia sebagai makhluk sosial dan individu yang berketuhanan. Saran Berdasarkan uraan di atas diperoleh pemahaman, bahwa pertunjukan wayang kulit berfungsi sebagai ajang peningkatan kecerdasan rakyat. Oleh karena itu, seyogyakan kesenian tersebut dijaga keberlangsungan hidupnya dengan cara memberi peluang tampil secara maksimal dalam berbagai kesempatan, dilakukan peningkatan kualitas teknis dan nonteknis secara berkelanjutan. Perlu pula dilakukan reaktualisasi isi garapan lakon dan memposisikan peran serta fungsinya pada struktur sosial budaya masyarakat, sehingga memperoleh daya hidup bersama masyarakat pendukungnya. Mengingat nilainilai edukasi yang terkandung di dalam pertunjukan wayang kulit demikian penting bagi kehidupan, maka para intelektual dan peneliti perlu mengkaji secara berkesinambungan pertunjukan wayang kulit yang hasilnya dapat dijadikan sarana pembelajaran bagi generasi berikutnya dan dapat diacu untuk mengembangkan pertunjukan wayang kulit sesuai konteks jamannya.

142

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Daftar Pustaka

Aiken, Henry D. 2009. Abad Ideologi: Kant, Fichte, Hegel, Schopenhouer, Comte, Mill Spencer, Marx, Mach Nietzsche, dan Kierkegaard. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Prakktik. Bandung: Bentang Budiman, Hikmat. 2002. Pembunuhan yang Selalu Gagal: Modernisme dan Krisis Rasionlaitas Menurut Daniel Bell. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bizawie, Zainul Milal. 2002. Perlawanan Kultural Agama Rakyat: Pikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam Pergugmulan Islam dan Tradisi (1645-1740). Yogyakarta: Samha. Eisman. Fred B. 1989. Sekala & Niskala: volume I. Essays on Religion, Ritual, and Art . Berkeley-Singepore: Periplus Edition Fananie, Zainuddin. 1994. Pandangan Dunia KGPAA Hamengkoenagoro I alam Babad Tutur: Sebuah Restruturisasi Budaya. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Fashri, Fausi. 2007. Penyingkapan Kuasa Simbol. Yogyakarta: Juxtapose. Fisher, B. Aubrey. 1990. Teori-Teori Komunikasi:Perspektif Mekanistis, Psikologis, Interaksional,dan Pragmatis. Penerjemah: Soejono Trimo, MLS. Bandung: Remaja Rosdakarya. Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan & Agama: Reeksi Budaya. Penerjemah: Prancisco Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius. Hamzah, A. Adjib. 1985. Pengantar Bermain Drama. Bandung: CV Rosda. Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra Dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme: Perspektif Wacana Naratif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Snijders, Adelbert. 2008. Antropologi Filsafat: Manusia Paradoks danSeruan. Yogyakarta: Kanisius. Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat Kebudayaan Politik:Buti-Butir Pemikiran Kritis. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wesnawa, Ida Bagus Putu. 2004. Revitalisasi Kebudayaan Hindu untuk Ketahanan Masyarakat Bali:Pokok-pokok Pikiran Ketua DPRD Bali tentang Pembinaan dan Pengembangan Kebudayaan Bali. Denpasar: Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Bali.

143

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

I Nyoman Windha merupakan salah satu musisi terkemuka dan komposer kontemporer musik gamelan Bali. Lahir di Banjar Kutri, Singapadu, Gianyar, Bali. Lulusan ISI Denpasar, Bali, ini telah menyusun puluhan komposisi untuk gamelan Bali dalam berbagai genre, tetapi terutama dalam gaya kebyar. Komposisi-Nya, seperti Puspanjali (1989), telah dimasukkan ke dalam repertoar standar kelompok pertunjukan Bali dan banyak yang telah memenangkan penghargaan di kompetisi tahunan gamelan Bali. Mengajar sejak tahun 1985, Windha terkenal dengan komposisi musik yang bermelodi indah, penggabungan bentuk-bentuk dan gaya dari gamelan Jawa, serta inovasi penggunaan 3/4 waktu. Penata iringan tari kebesaran ISI Denpasar Ciwa Nataraja ini telah melakukan perjalanan melintas dunia untuk menunjukkan kebolehannya, antara lain ke Australia, Hongkong, Jepang, Eropa dan Amerika. 144

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Seni Musik Bali dan Gamelan Gong Kebyar sebagai Media Pencerdasan Rakyat
I Nyoman Windha, SSKar, MA
Komposer, Ahli Seni Karawitan, Dosen ISI Denpasar

Pendahuluan usik Bali atau yang lazim disebut dengan Karawitan Bali adalah Seni Suara Vokal dan instrumental yang berlaras selendro dan pelog. Sama halnya dengan di Jawa seni suara vokal di Bali desebut Tembang atau Sekar, yang dapat dikolompokan menjadi 4 kelompok, yaitu: 1. Sekar Ageng (jenis kekawin), 2. Sekar Madia(jenis Kidung, 3. Sekar Alit ( jenis pupuh) dan yang ke 4. Sekar Rare (gending anak_anak). Sedangkan seni seuara instrumental adalah alat Gamelan. Berbicara tentang gamelan, di Bali terdapat sekaitar 30 jenis barungan gamelan, yang jika dilihat dari bahannya ada yang terbuat dari bahan bambu seperti gamelan Gambang, Rindik , Jegog dan gamelan gandrung dan gamelan yang terbuat dari bahan besi seperti gamelan selunding, yang terakhir gamelan yang dibuat dari bahan perunggu seperti, gender wayang, angklung, semarpagulingan, gong gede, gong kebyar dan gamelan semarandana. Masing-masing gamelan diatas memiliki fungsi, karakter dan bentuk gending yang berbeda-beda. Seperti misalnya gamelan Gong Gede yang memiliki karakter agung dan berwibawa yang dimainkan berkaitan dengan upacara dipura-pura. Gamelan Angklung dengan karakter sedih dan biasanya dimainkan pada saat ada upacara kematian. Diantara jenis-jenis gamelan diatas, gamelan Gong Kebyar memiliki multi-

145

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

fungsi. Gamelan yang tergolong baru ini sangat digemari oleh masyarakat Bali mulai dari kalangan anak-anak, dewasa dan kaum Ibu-ibu. Dan dia bahkan menjadi media pembelajaran dalam mengawali belajar bermain gamelan, dimana sebagian besar dari orang Bali mulai melajar megambel dari gamelan Gong Kebyar. Peranan gong kebyar tidak saja mampu mencetak bibit-bibi baru, tapi juga mampu mengadopsi ide-ide kreatif didalam usaha mewujudkan garapan-garapan kreasi baru kakebyaran baik dalam bentuk tari kreasi maupun tabuh kreasi baru.

Asal Mula dan Perkembangan Kebyar Istilah kebyar berasal dari bentuk permainan gamelan yang dipukul secara bersamaan yang menghasilkan suara menggelagar byar yang kemudian dipergunakan untuk memberi nama kepada ansambel baru dan tari kreasi baru dalam kesenian Bali yang memiliki cirriciri keras, dinamis, rumit dan tempo yang cepat. Kedua jenis kesenian ini, baik ansambel maupun tarinya menonjolkan pada pengungkapan emosi yang meluap-luap dan aksi dramatis yang menakjubkan. Ansambel yang baru ini desebut gamelan gong kebyar dan tari kreasi baru ini juga disebut tari kebyar. Gamelan gong kebyar dan tari kebyar ini tak bisa dipisahkan satu dengan dengan yang lain, keduanya merupakan ekspresi kesenian yang lahir pada awal abad 20. Gamelan gong kebyar adalah alat musik perkusi yang instrumentasinya terdiri dari: gong, gangsa, reong , terompong, kendang, kajar, jublag, jegogan, penyacah, suling dan rebab.. Kecuali suling dan rebab yang masing-masing merupakan alat tiup dan gesek, yang lainnya semua alat-alat dari gong kebyar adalan alat perkusi. Gamelan gong kebyar yang dimainkan oleh kurang lebih 25 orang musisi (penabuh) ini diperkirakan muncul pada awal abad ke 20 dan gamelan ini awalnya diciptakan hanya untuk lagu instrumental ( gending petegak). Namun dalam perkembangan selanjutnya berkembang menjadi musik iringan tari, dan tarinya pun disebut dengan tari kebyar. Tari kebyar merupakan sebuah ekspresi individu atau kelompok yang memilki ciri-ciri yang sama dengan gong kebyar. Kebyar di Masa Lampau Berdasarkan informasi yang ada bahwa untuk pertama kalinya gong kebyar muncul di Bali utara tepatnya didesa Bukulan Buleleng sekaitar
146

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

tahun 1914. Saat awal pemunculannya gamelan ini diciptakan untuk menyajikan gending-gending petegak atau lagu-lagu instrumental dan media bagi para pencipta lagu (komposer) untuk mengekspresikan diri, kebebasan mencipatakan lagu baru, membuat aransemen yang rumit sebagai ciri dari kreasi baru. Bentuk awal dari permainan gong kebyar pada saat awal pemunculannya adalah didesa Bungkulan, Buleleng. Para penabuh gamelan mulai memainkan ritme-ritme unisono bersama, yang disertai dengan entakan-entakan yang tajam, sinkopasi-sinkopasi yang jarang ditemukan pada jenis-jenis gamelan gong kuna. Mereka memasukan emosi dan aksi dramatis dalam permainan gamelan yang menjadi bentuk awal dari gong kebyar. Perjalanan gong kebyar selanjutnya diawali dari diperdengarkannya dipuri Subamya, Tabanan oleh seka gamelan dari desa bantiran (Buleleng) pada tahun 1919, dalam rangka upacara pelebon. Disini belum nampak ada indikasi bahwa gong kebyar itu digunakan untuk mengiringi tari. Awal munculnya tari kebyar adalah ketika I Maria diundang untuk mengajar tari di desa Busungbiu, disana dia menarikan sebuah lagu gong kebyar secara bebas yang berinteraksi dengan tukang kendang, menari dengan posisi jongkok yang kemudian menjadi cikal bakal tari Kebyar Duduk dan tari Kebyar Trompong. Baru tahun 1920 terciptalah tari Kebyar Duduk dan tahun 1925 menjadi tari Kebyar Trompong seperti yang kita lihat sekarang, yang konon tabuh pengiringnya diciptakan oleh I Wayan Sukra. Ketenaran I Maria sebagai penari Kebyar Duduk, masyarakat Bali hampir mulupakan bahwa kebyar itu adalah musik instrumental. Bahkan hampir tak ada lagi ciptaan instrumental baru dalam lagu gong kebyar. Pada tahun 1928 ditemukanlan rekaman komersial mengenai gamelan Bali, dan baru diketahui bahwa telah tercipta lagu-lagu kebyar seperti Kebyar Ding Sempati, gending Jerebu yang juga ditarikan oleh penari kebyar saat itu seperti I Maria dan murid-muridnya, seperti I Gusti Ngurah Raka dan I Nyong-nyong. Tari Kebyar saat itu masih berkiblat pada tari Kebyar Duduk dengan gerak bebas yang penuh improvisasi mengikuti aksen-aksen lagu gong kebyar. Demikian juga halnya dengan tari Kebyar Legong yang diciptakan oleh Pan Wandres dan I Gde Manik dari Jagaraga , Buleleng yang selanjutnya tari ini menjadi tari Taruna jaya. Selanjutnya pada era tahun 1930 an munculah Tari Kebyar yang
147

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

dibawakan oleh penari wanita. I Nyoman Kaler berhasil mencipatakan beberapa jenis tari kebyar seperti Panji Semirang, Mrgepati, Puspa Warna, Demang Miring, Candra Metu dan Bayan Nginte, yang masih mempergunakan konsep tari tunggal, kendatipun tariannya ditarikan oleh lebih dari seorang penari. Disini nampak terjadi perubahan yang sangat drastis, dimana orientasinya mengarah kepada wanita cantik. Sebagai dampaknya terjadilah perubahan estetika dari tarian yang bersifat improvisasi kebentuk tarian yang memiliki struktur yang ketat. Sehingga antara tari dan musik menjadi satu sebagai sebuah kesatuan. Selain mengalami perubahan struktur, kehadiran kebyar juga berdampak pada perubahan karakter. Munculah sebuah wadah estetika baru, dimana penari cantik membawakan tokoh laki-laki sepeti yang terlihat pada tari-tarian ciptaan I Nyoman Kaler. Kemudian berkumandanglah sebutan tari babancihan sebagai ciri khas tarian kebyar. Memasuki zaman kemerdekan mulai ada rasa aman, kebebasan berkreativitaspun muncul sehingg pada tahun 1951 terciptalah sebuah tarian baru yang berjudul tari Oleg Tambulilinagn, yang merupakan tari duet dengan tema percintaan. Tarian ini diciptakan oleh I Maria. Konsep tari kebyar telah berkembang dari konsep tari tunggal laki-laki dan wanita menjadi konsep tari duet laki-laki dan perempuan. Pada awal tahun 1960-an terjadi lagi sebuah pergeseran, dimana tema-tema kebyar yang semula berorientasi pada tari murni dan keindahan semata dan kini berubah menjadi tarian kebyar programatik, sebagai suatu respon perkembangan sosial politik di Indonesia. Pada dekade 1960 an lahirlah tari Tani dan tari Nelayan. Ekspresi realirtas kehidupan mulai diperkenalkan. Bentuk tari kelompok lebih diutamakan. Tokoh-tokoh seperti Ketut Merdana ( Buleleng) dan I Wayan Beratha (Denpasar) muncul sebagai generasi awal dalam katagori ini. Ada nafas baru yang juga muncul pada periode ini, yaitu perkembangan tari kebyar menjadi sendratari. Dalam rangka perayaan Hari Ulang Tahun yang pertama KOKAR Bali pada tqhun 1962 Bapak I Wayan Beratha menciptakan sebuah sendratari yang berjudul Jayaprana, yang idenya datang dari I Gusti Bagus Nyoman Panji, pimpinan KOKAR Bali saat itu. Penciptaan Sendratari ini distimulasi oleh munculnya sendratari Ramayana Prambanan pada tahun sebelumnya. Pada tahun 1960-an sudah tercipta 4 buah sendratari yaitu sendratari Ramayana, Ja-yaprana, Raja148

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

pala dan sendratari Maya Danawa. Disamping mengutamakan ungkapan pantomim dan programatik, sendratari ini juga diungkapkan lewat narasi dalang yang berfungsi sebagai komentator pergelaran itu. Era 1960 an adalah masa semaraknya pertumbuhan gong kebyar di Bali. Hal ini dikarenakan oleh adanya diplomasi kebudayaan oleh Presiden Republik Indonesia. Soekarno. Pengiriman kesenian keluar negeri seperti ke Thailand, Camboja, Pakistan, Filiphina, China, Korea, Eropa dan Word Fair di New York menjadi kebangaan bagi seniman Indonesia. Tari kebyar menjadi salah satu primadona dalam misi-misi tersebut. Kehidupan kebyar semakin semarak, ketika Pemerintah Daerah Bali menyelenggarakan pentas Gong Kebyar kedalam sebuah wadah Merdangga Utsawa (Festival Gong Kebyar) pada tahun 1968 yang dimotori oleh Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya) dalam usaha melestarikan dan mengembangkan kebudayaan Bali. Sebagai puncak dari keberhasilan pelestarian dan pengembangan kesenian Bali itu kemudian ditampung dalam sebuah festival seni yaitu Pesta Kesenian Bali (PKB). Oleh pencetusnya Prof. Dr. I.B. Mantra, PKB yang lahir pada tahun 1979 dijadikan strategi pembinaan dan pengembangan kebudayaan Bali. Dan sampai sekarang PKB sudah berjalan selama 31 tahun.

Kebyar Masa Kini Gong kebyar maupun tari kebyar sangat popular baik diluar maupun diluar negeri. Di Bali, gong kebyar tidak saja dimiliki oleh banjarbanjar akan tetapi dimiliki oleh perorangan, sehingga keberadaannya sudah mencapai lebih dari 1500 barung. Diluar negeri sekitar 100 barungan gong kebyar tersebar luas di Amerika Serikat, Inggris, Jepang, Australia, Spanyol, Kanada, India, Thailand dan belum terhitung gong kebyar yang dibawa oleh penduduk Bali yang bertransmigrasi keseluruh nusantara. Suatu hal yang menjadi alasan kenapa gong kebyar bisa menyebar luas di seluruh dunia. Barangkali suatu hal yang perlu diteliti kedepan. Kalau kita lihat dari instrumentasinya, sebagian besar terdiri dari alat perkusi. Kecuali Rabab dan suling. Perkusi merupakan jenis instrumen yang sifatnya sangat universal. Hampir diseluruh dunia memiliki alat musik perkusi, dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling rumit. Dalam dunia musik barat juga memiliki perkusi sehingga secara psikologis
149

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

para musisi barat merasa dekat dengan instrumen gong kebyar. Gong kebyar memiliki tangga nada pentatonik atau laras pelog lima nada dengan saih yang berbeda-beda, ada saih gede (tembung) dan ada saih cenik (selisir). Sejalan dengan tuntutan kreativitas kini muncul gamelah baru yang disebut dengan gamelan Semarandana, yang merupakan gabungan dari gong kebyar dan gamelan semar pagulingan, gamelan yang lahir tahun 1985 ini bentuk nya mirip dengan dengan gong kebyar, namun jumlah bilahnya lebih banyak yaitu 12 bilah. urutan nada-nadanya terdiri dari 5 nada dibagian bawah memakai laras pelog 5 nada, dan 7 nada dibagian atas memakai laras pelog 7 nada. Gamelan yang baru ini mampu memainkan lagu-lagu kekebyaran dan lagu-lagu semarpagulingan serta garapan-garapan baru lainnya. Tehnik permainan gong kebyar terdiri dari tehnik yang paling sederhana sampai pada tingkat kerumitan yang tinggi. Sebuah tehnik paniti atau nyacah yang dapat dimainkan oleh semua instrumen melodi yang kemudian dapat dikembangkan menjadi kotekan yang sangat rumit. Permainan trompong yang dapat dimainkan dengan tehnik ngempyung dan ngembat serta kekembangan yang selalu menjadi tantangan menarik bagi pemain gamelan. Instrumen kendang sebagai alat vital walaupun sudah memiliki pola yang baku, akan tetapi setiap saat bisa membangun improvisasi. Dan tehnik pukulan gangsa yang disebut dengan kotekan dengan berbagai sistem seperti kotekan telu dan kotekan pat dengan berbagai variasinya selalu menjadi tantangan utama bagi setiap pemain dan hal sangat menarik perhatian mereka untuk mempelajari gong kebyar. Para pemain Rock atau Jazz sangat menyenangi gamelan gong kebyar karena eksibelitasnya dalam bentuk maupun bunyi. Lagu-lagu gong kebyar yang sangat komplek dan kaya dengan ritme serta dinamis menjadi ketertarikan para pemusik kontemporer dunia dewasa ini. Pemahaman masyarakat dunia terhadap gong kebyar lebih terbantu dengan terbitnya buku buku berbahasa asing seperti DeToonkunst van Bali oleh Jaap Kunst (1925), buku Music in Bali oleh Colin McPhee(1966), buku Gamelan gong Kebyar; The Art of Twentieth Century Balinese Music oleh Michael Tenzer (2000). Demikian juga buku_buku tari Bali yang sering memberi deskripsi tari kebyar. Disamping itu rekaman-rekaman audio maupun VCD, DVD dari karya-karya maestro Bali kini mulai mudah diperoleh dan setidak ada 40 volume rekaman STSI Denpasar yang menjadi stimulasi tertariknya
150

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

masyarakat dengan kebyar. Dari uraian diatas lelas menunjukan bahwa pakem gong kebyar berbeda dengan gamelan lainnya di Bali, dan tersedianya rekaman-rekaman diatas menjadi akses untuk mempelajari gong kebyar . Dilihat dari tehnik permainan, kesederhanaan dan kerumitannya , menjadikan gong kebyar sebagai sebuah ansambel yang bisa menjadi jembatan dalam mempelajari gamelan lainnya di Bali. Dengan beberapa alasan diatas gong kebyar sudah menjadi milik bangsa yang sudah tersebar diseluruh penjuru dunia.

Kebyar Masa Depan 1. Kebyar Sebagai Wadah Kreativitas. Semula gong kebyar hanya memainkan lagu-lagu ostinato dengan aksen-aksen yang mengagetkan, kini mulai mengadopsi lagu-lagu dari gamelan lainnya seperti gender wayang dan gambang. Motif dan tehnik dari gamelan tersebut dijadikan bagian yang penting dalam permainan gong kebyar. Contohnya Gending merak ngelo, yang dijadikan bagian pokok gegenderan pada salah satu bagian dari kreasi kekebyaran, demikian juga gegambangan yang menjadi bagian akhir dari lagu kebyar. Selain gong kebyar, kedua motif lagu diatas juga dipergunakan dalam lagu semarpaguling dan pelegongan. Satu contoh lagi tari Kebyar Legong sebagai awal dari tari Taruna Jaya, mengambil bagian pengawak dari legong Kuntir menjadi bagian yang penting dari tarian tersebut. Dimasukannya pengawak Kuntir dalam tari Kebyar Legong untuk membuat perubahan dinamika. keterkaitan antara klasik dan kebyar tetap terpelihara dengan baik dan masyarakatpun tidak dikejutkan dengan perubahan-perubahan yang asing baginya. Bentuk-kreasi kebyar sebagai sajian musik instrumental seperti gending Gambang Suling, Ujan Mas, Kapiraja , Swabuana Paksa dan Kapiraja lebih menitikberatkan pada demonstrasi kelompok kelompok instrumen tertentu, seperti kendang, cengceng dan reong terutama didalam mengolah ritme. Namun belakangan ini hampir semua kelompok instrumen diberikan kesempatan untuk mendemonstrasikan kelompoknya. Bahkan dalam penyajian tabuh kreasi semua kelompok instrumen yang ada dalam gong
151

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

kebyar memiliki hak yang sama. Dan ini sangat tergantung dari kepiawian dari seorang komposer dalam menykapi hal tersebut. Kebyar merupakan sebuah ansambel yang sangat kaya dengan motif dan hiasan-hiasan, sehingga banyak lagu-lagu kebyar dimainkan dengan media gamelan lain, seperti lagu panyembrama, Mrgapati dan Cendrawasih dimainkan pada gemelan Angklung, Gending Tari Belibis dimainkan pada gamelan Joged dan Jegog, yang sudah barang tentu tehnik permaianannya disesuaikan dengan tehnik gamelan yang dipakai . Hal ini menunjukan bahwa kebyar menjadi sumber yang kaya bagi gamelan-gamelan lain untuk dipinjamkan lagu-lagunya kedalam tehnik yang baru. Tari Janger yang biasanya menggunakan iringan Batel dan suling , kini digarap dengan iringan gamelan Genta Pinara Pitu dengan membuat lagu-lagu baru sesuai dengan mode yang dimiliki oleh gamelan tersebut. Kebetulan penulis sendiri sebagai komposernya dan I Nyoman Catra sebagai koreografernya. Garapan Janger kreasi baru ini diciptakan pada tahun 1986. Dan sayang gamelan Genta Pinara Pitu yang satu-satunya di Bali saat itu, sekarang ada di Monash University ,Australia. Gong Kebyar telah banyak memberi kontribusi terhadap perkembangan gamelan yang lain seperti, angklung, gong suling, drama gong, sendratari dan lain-lain. Dan masih segar dalam ingatan kita, Adi Mrdangga yang diciptakan tahun 1984 oleh ASTI Denpasar saat itu. Adalah pengembangn dari gamelan Balaganjur yang dikolosalkan, sebagai pengganti Drum Band Barat dalam pembukaan PKB tahun 1984. Dalam Adi Mrdangga ini, selain menonjolkan angsel rumit yang berasal dari kebyar, beberapa motif ritme juga diambil dari Drum Band Barat. Disitulah letak eksibelitas gong kebyar yang bisa menerima dan mempengaruhi gamelan lain, sehingga dia dianggap sebagai sumber yang kaya akan melodi, rime, dinamika, harmoni dan aspek musikal lainnya. 2. Kebyar Menjadi Elemen Musik Dunia Kehadiran dari komposer-komposer barat yang pernah bela152

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

jar gamelan di Bali seperti. Michael Tenzer, Wayne Vitaly, Evan Ziporyn dan Andy Mc Graw, menorehkan sejarah baru bagi perkembangan gong Kebyar baik di Bali maupun di Luar Negeri. Michael Tenzer misalnya, dia seorang komposer barat yang lama tinggal di Bali. Pengalamannya tinggal di Bali dan belajar gamelan kebyar pada seniman-seniman andal di Bali seperti: I Gde Manik, I Wayan Tembres dan I Wayan Suweca, membuat dia tidak saja mampu memainkan gong kebyar dengan baik, tapi sebagai komposer dia sangat lihai memadukan elemen musik Barat dan musik India kedalam tabuh kreasi kebyar. Beberapa dari hasil karyanya yang pernah ditampilkan pada ajang PKB seperti, Situbanda, Banyuari, Talakalam dan Puser Belah. Demikian juga halnya dengan Wayne Vitaly , Evan Ziporyn dan Andy Mc Graw, mereka memperdalam Gamelan Gong kebyar baik secara teori maupun praktek, yang sudah barang tentu semua pengalaman yang mereka peroleh dapat memparkaya wawasan mereka dalam melakukan aktivitas musik. 3. Kolaborasi Dengan Musik Lain Dewasa ini, istilah kolaborasi menjadi istilah yang sangat ngetren. Banyak komposer yang mencoba membuat komposisi dengan memadukan beberapa alat musik dengan harapan dapat menghasil garapan yang bernafas baru. Dan hal ini banyak dilakukan oleh mahasiswa Jurusan Karawitan ISI Denpasar, saat mereka menempuh ujian akhir dikampus mereka. . Penulis sendiri pernah berkolaborasi dengan Evan Ziporyn dalam kreasi Kekembangan , disini Penulis dan Evan menggabungkan gamelan gong kebyar dengan alat musik barat Saxophone , ketika penulis mengajar grup gamelan Sekar Jaya padatahun 1989. Dan pada tahun 1998, Penulis mendapat undangan kekota Basel, Swis untuk membuat iringan tari modern dengan gong kebyar yang dipadukan dengan alat musik biola. Garapan ini dipentaskan di tiga Negara, Basel, Indonesia (Bali dan Jakarta) dan Singapura. Dan komposisi yang paling besar yang penulis lakukan adalah ketika penulis berkola-borasi dengan seorang komposer dari Kanada yang bernama Hose Evangelista dalam sebuah garapan yang berjudul Bali Simponi. Karya
153

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

ini mencoba menggabungkan ansambel gong kebyar dengan alat musik orkestra lengkap, yang dimainkan oleh grup Gamelan Sekar Jaya yang bergabung dengan California Simponi. Karya ini pentaskan untuk pertama kalinya di San Fransisico State University, pada tahun 2004. Pada pelaksanaan PKB tahun 2001 pernah terjadi sesuatu yang sedikit agak ekstrem khususnya dalam materi festival gong kebyar, dimana kretiria festival meharuskan mengguanakan instrumen tambahan khususnya pada materi tabuh kreasi baru dan penabuhnyapun harus campuran laki-laki dan perempuan dengan komposisi masing-masing grup diharuskan mempergunakan 10 orang penabuh wanita. Dan khusus pada materi tabuh kreasi seorang penabuh wanita harus memainkan instrumen kendang. Kebetulan pada saat itu penulis dipercaya oleh wakil Kota Denpasar untuk menggarap meteri tabuh kreasi baru. Dalam proses penggarapannya penulis mencoba mengusung teme persatuan dan semangat kebangsaan dengan memanfaatkan potensi lingkungan sekitar. Desa Sidakarya yang ditunjuk oleh kota Denpasar sebagai duta yang letakanya berdekatan dengan kawasan Suwung Batan Kendal sebagai kawasan etnik muslim dengan kesenian rodatnya yang khas, mengingatkan penulis pada peristiwa budaya terutama kegiatan upacara di puri Pemecutan Denpasar, yang selalu melibatkan kesenian Rodat dari desa SuwungPemogan. Hal ini disebabkan karena secara budaya masih ada kedekatan emosional dengan kerajaan Badung (Puri Pemecutan) sebagaimana juga terjadi di Karangasem antara keturunan muslim Sasak (Islam Waktu Telu) dengan Puri Karangasem. Situasi kerukunan hidup dengan sikap toleransi yang tinggi penting untuk dikemukakan. Ditengan-tengah suasana disintegrasi bangsa dan pergolakan politik yang kian carut marut. Penulis ingin menyingkapi persoalan bangsa itu dengan mengusung tema persatuan. Lekesan adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebutkan benda yang berisikan bermacam-macam unsur dikemas dalam satu ikatan. Dalam konteks garapan Lekesan adalah sebuah karya yang beranjak dari kelisahan menyikapi suatu fenomena sosial dalam wadah Negara kesatuan yang terancam oleh riak-riak disintegrasi bangsa. Sebagai penggarap penu154

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

lis melihat fenomena bahwa semboyan Bhineka Tunggal Ika sudah bergerak diluar relnya, serta perjalanannya mulai tanpa arah terseret arus perubahan. Akibatnya, keragaman suku, agama, ras, dan latar belakang budaya yang luhur mulai terkontaminasi oleh serakahnya kepentingan individu maupun golongan yang sarat dengan muatan politis. Ujung-ujungnya rasa persaudaraan dan tali pengikat persatuan mulai tercabik, benih yang tertanam mulai rapuh. Beranjak dari situasi seperti itu Penulis melalui konsepsi musikalitasnya ingin menawarkan solusi betapa perbedaan itu akan membentuk suatu kekuatan dan menjadikan hidup ini lebih indah dan bermakna dalam kehidupan, sebagaimana kekuatan keragaman ekspresi musikal bersatu padu membentuk harmoni kedamaian dan keindahan rasa dalam bingkai struktur komposisi yang saling mengisi satu sama lainnya . Esensinya penulis ingin menorehkan pesan keharmonisan hidup dalam wadah persatuan lewat karya sekaligus kritik terhadap fenomena faktual yang sedang berkembang. Dalam tabuh kreasi Lekesan ini penulis didalam mengekspresikan idenya tetap menggunakan barungan gong kebyar sebagai ansambel pokok yang diwajibkan, namun disana-sini ditambahkan beberapa instrumen perkusi sesuai dengan kebutuhan garapan. Adapun dalam Tabuh Kreasi Lekesan penulis, penulis menambahkan barungan gong kebyar dengan 5 buah rebana, 4 buah kendang angklung , 2 buah tamburin dan 10 buah suling. Diangkatnya instrumen bernuansa muslim dalam pada tabuh kreasi baru Lekesan tak terlepas dari sebuah upaya untuk mengusung tema diatas. 4. Kebyar Dipelajari di Seluruh Dunia Dijalur pendidikan formal keberadan gamelan gong kebyar sudah merambah keberbagai Universitas yang ada diseluruh dunia seperti, UCLA, CAL ART, MIT, dan banyak lagi gamelan gong kebyar diluar kampus seperti yang dimiliki oleh Kedutaan maupun Konsulat Indonesia yang ada di Amerika Serikat. Dal hal yang sama juga terjadi dinegara-negara lain seperti Jepang, Australia dan Eropa.
155

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Sebuah pertanyaan sering muncul kenapa orang-orang barat khususnya musisi-musisi dunia demikian tertarik dengan gamelan gong kebyar. Dari hasil pengamatan penulis yang pernah mengajar orang barat baik di Bali maupun diluar negeri, bahwasanya ada beberapa alasan yang menjadi pertimbangan mereka, yaitu gong kebyar memiliki karakter yang unik dan terbuka. Keunikan terletak pada tangga nadanya yang berlaras pelog lima nada dengan sistem pelarasan menggunakan sistem ngumbang-ngisep yang tidak dimiliki oleh alat-alat musik lainnya. Memiliki colotomic structure dimana masing-masing instrumen yang terdapat dalam barungan gong kebyar masing-masing memiliki fungsi yang berbeda. Seperti kendang misalnya yang berfungsi sebagai pemangku irama (conductor) dalam dalam musik klasik, instrumen ugal dan trompong berfungsi sebagai pemangku melodi, instrumen jublag dan jegogan berfungsi untuk mempertegas ruas-ruas lagu, instrumen reong dan gangsa berfungsi untuk mengelaborasi kalima lagu melalui teknik pukulan ngubit, ngotek, norot dan oncang-oncangan, instrumen kajar berfungsi intuk memegang mat lagu, cengceng untuk memperkaya hiasanhiasan lagu dan instrumen suling dan rebeb berfungsi untuk memaniskan lagu. Adanya teknik pukulan kebyar yaitu memukul gamelan secara serentak dengan aksi dramatis tanpa seorang conductor atau dirigen, aba-aba datang dari pemain ugal yang tidak ada pada musik dunia lainnya. Satu hal lain yang membuat para musisi barat kagum dengan gong kebyar adalah cara mengajarkan gamelan kepada penabuh yang memakai sistem meniru dan menghafal, dimana pelatih memberikan contoh dari depan dan penabuh mengikuti dan menghafalkan. Dengan menghafalkan semua elemen yang membentuk musik tersebut dan berusaha bernyanyi dalam hati sambil bermain, maka secara tidak langsung kita sudah bermain dengan perasaan dan jika perasaan dibarengi dengan penghayatan disanalah letak jiwa dari lagu yang sedang dimainkan.

Tantangan masa depan Untuk menjawab tantangan masa depan, sangat dibutuhkan pencip156

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

ta-pencipta yang unggul, mampu mencipta agar kebyar tidak menjadi musik yang ramai (baroque) tanpa melodi yang jelas. Karena melodi merupakan kekuatan dasar dalam permainan gamelan Bali. Perlu adanya keberanian untuk berinteraksi dan berkolaborasi dengan musisimusisi dari dunia lain seperti dari Amerika, Eropa, India dan Jepang yang sudah barang tentu memiliki aliran musik yang berbeda. Berani mengangkat kebyar menjadi musik kontemporer yang serius .
Daftar Pustaka

Bandem, I Made and Fredrik deBoer. Kaja and kelod Balinese Dance in Transition. Kuala Lumpur : Oxford University Press, 1981. Covarrubias, Miguel. Islang of Bali. New york: Alfred A. Knopf, 1942 Dibia, I Wayan and Rocina Ballinger. Balinese Dance. Drama and Music. Singapore: Periplus Editions, 2005. Mc Phee, Colin. Music in Bali. New Haven and London: Yale University Press, 1966. Tenzer, Michael. Gamelan Gong kebyar : The Art of Twentieth-Century Balinese Music. Chicago and London: The University of Chicago Press,2000 Zoete, Beryl and Walter Spies. Dance and Drama ini Bali. New York : Thomas Yoselof, 1958.

157

MENGEMAS SENI TRADISI SUMATERA UNTUK MEDIA KOMUNIKASI SOSIAL

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Prof. Dr. Daryusti, M.Hum. Lahir di Lubuk Basung, Agam, 28 Desember 1960. Ketua STSI Padangpanjang ini menyelesaikan program Doktor pada Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana Denpasar (2006). Sejak tahun 1987 menjadi staf Pengajar Jurusan Tari STSI Padangpanjang. Selain itu juga menjadi Pengajar Luar Biasa Akademi Bahasa Asing (AB) Bukittinggi. Penanggungjawab Pascasarjana STSI Padangpanjang ini telah cukup banyak melakukan penelitian dan membuat karya seni. Beberapa buku yang pernah diterbitkan antara lain Fleksibelitas Gerak Dalam Tari (1992), Interdependensi Seni Tari dengan Seni Lainnya (1996), Estetika Tari (1996), Beberapa Perspektif dalam Tari (2000), Kajian Tari dalam Berbagai Segi (2001), Sistem Penganalisisan dalam Tari (2003), Hegemoni Penghulu Dalam Perspektif Budaya (2006), Etnologi Tari (2006) dan Analisis Tari (2007). Tulisan dan karya ilmiah Prof. Daryusti juga banyak dipublikasikan di Majalah Berkala Penelitian Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Majalah Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, Jurnal IDEA Seni Pertunjukan BP. Fasper ISI Yogyakartadan Majalah Jurnal Penelitian STSI Padangpanjang. Peraih Tanda Kehormatan Satyalencana Karya Satya X Tahun (2006) ini pernah merebut penghargaan sebagai Dosen Teladan III ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) (1993) dan Dosen Teladan I STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Padangpanjang (1997).. Alamat Kantor: Jln. Bundo Kanduang No. 35 Padangpanjang Sumatera Barat. Alamat Rumah: Jln. Dr. Abu Hanifah No. 26 RT VIII Kel. Guguk Malintang Kec. Padangpanjang Timur Padangpanjang Sumatera Barat. 160

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Ragam Kemasan Seni Tradisi Sumatera Barat dalam Komunikasi Sosial Rakyat dan Pemerintah
Prof. Dr. Daryusti, M.Hum,
Ketua STSI Padang Panjang

Pendahuluan umatera Barat merupakan daerah administrasi pemerintahan Republik Indonesia. Daerah Sumatera Barat secara keseluruhan terdiri atas 19 kabupaten dan 7 kota. Masing-masing kota paling sedikit memiliki 2 kecamatan dan masing-masing kabupaten memiliki paling sedikit 8 kecamatan. Setiap kecamatan terdiri atau kelurahan atau nagari1. Setiap nagari memiliki seni tradisi. Daryusti (2006) mengatakan bahwa setiap nagari di Sumatera Barat mempunyai seni tradisi, setiap tradisi tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda. Dalam hal ini yang menyebabkan perbedaan fungsi tersebut disebabkan adanya faktor agama dan adat setempat. Perbedaan tersebut terlihat dalam masyarakat tradisional yang menempatkan kesenian sebagai sesuatu yang memiliki fungsi dan kedudukan yang penting terutama dalam upacara adat. Seni tradisi dikembangkan oleh masing-masing masyarakat pendukungnya. Warisan seni tradisi merupakan modal budaya masyarakat yang terus menerus dipertahankan untuk kepentingan sosial, karena seni mengandung nilai-nilai dan makna di dalamnya. Setiap seni tradisi akan dapat berkomunikasi sosial yang sesuai dengan ukuran pendukungnya, karena setiap orang daya serapnya terhadap seni akan ber-

Nagari adalah gabungan desa-desa yang mempunyai satu kesatuan sosial.

161

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

beda. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa seni hadir dalam kehidupan masyarakat sebagai pendukung merupakan bagian terpenting sesuai dengan kebutuhan hidup. Masyarakat sebagai pendukung seni tradisi dalam kehidupan seharihari selalu bertemu dengan berbagai gejala kehidupan dari segi keindahan untuk kepuasan batin. Secara berkelompok masyarakat sebagai pendukung seni tradisi akan bekerjasama untuk melestarikan seni yang berada di lingkungannya. Kerjasama tersebut dilakukan dengan komunikasi yang efektif melalui simbol dan kesepakatan antar individu dan kelompok. Komunikasi masyarakat atau para pendukung dalam lingkungan seni tradisi yang ada individu dan kelompok akan dihadapkan kepada masalah-masalah yang dalam situasi untuk disepakati, karena manusia turut serta menciptakan keberadaan seni tradisi di lingkungannya.

Kondisi Masa Lalu Secara umum ragam kemasan seni tradisi Sumatera Barat dalam komunikasi rakyat dan pemerintah dapat dibagi dua kelompok, yaitu seni pertunjukan dan seni rupa. Seni yang termasuk kelompok seni pertunjukan adalah seni tari, seni musik, dan seni teater. Seni yang termasuk kelompok seni rupa adalah terdiri dari seni kriya dan seni artistik. Amir M.S (1997) mengatakan bahwa ajaran tentang spiritismeanimisme adalah ajaran yang berhubungan dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang dan kepercayaan terhadap benda yang mempunyai roh. Kepercayaan tersebut memunculkan keanekaragaman bentuk tari di Sumatera Barat, yang sebagian besar berkembang di kalangan masyarakat. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa sesungguhnya bentuk seni di Sumatera Barat, dalam hal ini seni tari, lahir di dalam masyarakat dan oleh masyarakat. Mansoer dkk. (1970) menjelaskan bahwa Islam masuk dan berkembang di daerah Sumatera Barat dibawa oleh pedagang-pedagang dari Aceh pada akhir abad ke-16. Dengan masuknya Islam, Amir M.S. (1997) menjelaskan bahwa, baik secara eksplisit maupun implisit orang Minangkabau percaya akan adanya kekuatan gaib. Oleh karena itu, maka upacara-upacara yang berhubungan dengan seni pertunjukan, khususnya pertunjukan tari, yang mengandung unsur bukan Islam, yakni yang berupa mitos, sering dipentaskan. Sebagai contoh di Sumatera
162

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Barat pada masyarakat Padang Laweh mitos didasarkan kepada kepercayaan yang lebih dari fakta. Oleh karena mitos merupakan kesadaran langsung masyarakat tentang realitas yang dipercaya untuk menangkap dunia realitas dengan kepercayaan yang diyakini. Hal ini dapat dilihat pada pertunjukan tari Alang Suntiang Pangulu dalam masyarakat Padang Laweh. Tari Alang Suntiang Pangulu menurut kepercayaan masyarakat Nagari Padang Laweh merupakan tari yang dipertunjukkan untuk ritual upacara penobatan penghulu oleh kaum atau suku. Dalam hal ini diperkenankannya tari ini dipertunjukkan, yakni ditentukan oleh berbagai aturan. Pertama, sebelum tari Alang Suntiang Pangulu dipertunjukkan salah seorang kemenakan dari penghulu yang akan dinobatkan harus menyediakan sesaji atau jamba yang berisikan siriah langkok (sirih lengkap) dalam carano, dan diletakkan di depan penghulu yang akan dinobatkan. Syarat tersebut sudah merupakan keyakinan masyarakat Padang Laweh sampai saat ini. Dengan demikian, maka mitos dapat dikatakan tidak untuk diukur dan dijelaskan dengan ukuran kebenaran rasional manusia, tetapi untuk dipahami dan dihayati maknanya serta dipercaya. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan Imran dkk. (2002) bahwa pemikiran dalam mitos hanya dapat dibaca melalui pengkajian semiotik terhadap simbol-simbol yang digunakan. Kepercayaan terhadap mitos bercampur dengan agama Islam tertuang di dalam bentuk kesenian Sumatera Barat, khususnya seni tari. Hal ini dapat dilihat karena adanya sesaji atau jamba sebagai syarat untuk penyajian tari Alang Suntiang Pangulu. Sementara itu, sesaji atau jamba tersebut dibacakan doanya menurut syariat agama Islam. Uraian di atas menunjukkan bahwa adat dan agama di Sumatera Barat merupakan satu kesatuan yang saling menunjang dan kait-mengait. Said (2004) menyatakan bahwa adat adalah aturan-aturan tentang kehidupan manusia yang disepakati penduduk dalam suatu daerah tertentu untuk mengatur tingkah laku anggota masyarakat sebagai kelompok sosial. Selanjutnya, setiap manusia yang berada dalam lingkaran kehidupan adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari unit sosial, atau dengan kata lain seluruh mekanisme kehidupan sosial bagi semua anggota dijiwai oleh adat. Oleh karena itu, maka manusia telah menerima adat secara total sebagai sistem kehidupan sosialnya serta percaya bahwa hanya dengan berpedoman pada adatlah ketenteraman
163

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

dan kebahagiaan bagi setiap anggota masyarakat dapat terjamin. Di samping itu, adat bagi masyarakat Padang Laweh, yakni untuk mengatur kehidupan manusia dari hal yang sekecil-kecilnya sampai kepada masalah yang lebih luas dan besar. Kedua, aturan adat untuk bertingkah laku dalam perbuatan yang sekecil-kecilnya dapat dilihat dari tempat duduknya penghulu yang dinobatkan di rumah gadang (rumah adat) pada saat pertunjukan tari Alang Suntiang Pangulu. Penghulu yang dinobatkan diapit kiri kanan oleh penghulu lainnya. Sementara itu, adat yang mengatur pertunjukan tari Alang Suntiang Pangulu tentang hal yang lebih besar dan lebih luas, seperti mengatur besarnya kekuasaan penghulu terhadap tari Alang Suntiang Pangulu dalam masyarakat Padang Laweh. Dalam kekuasaan penghulu terdapat adat yang mengatur pentingnya mewujudkan persatuan masyarakat Padang Laweh dan tentang dapat atau tidaknya tari Alang Suntiang Pangulu dipertunjukkan. Penghulu yang dinobatkan duduk diapit penghulu lain; hal ini merupakan pernyataan rasa menghormati dan mencintai penghulu yang dinobatkan. Selain itu, hal ini juga mengatur tentang prinsip persatuan dan kesatuan untuk mencapai tujuan bersama, di samping telah memegang dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi yang disebut musyawarah dan mufakat. Perihal untuk kepentingan hidup manusia, Koentjaraningrat (1984) mengatakan bahwa agama erat hubungannya dengan upacara-upacara religius dan menentukan tata alur unsur-unsur acara serta rangkaian alatalat yang dipakai dalam upacara itu. Dalam hal ini Al-Quranul Karim sebagai sumber hukum dalam Agama Islam yang diwahyukan Allah melalui Jibril kepada Nabi Muhammad SAW berisi ajaran dan perintah Allah tentang mempelajari alam semesta untuk kepentingan hidup manusia, baik secara peribadi maupun secara mufakat. Pada masyarakat Padang Laweh dapat dilihat, baik secara peribadi maupun pada cara bermusyawarah saat tari Alang Suntiang Pangulu dipertunjukkan untuk penghulu yang dinobatkan dan didudukkan di antara penghulu lain. Dalam hal bermasyarakat pada umumnya, masyarakat Padang Laweh mengakui kekuasaan penghulu terhadap tari Alang Suntiang Pangulu. Berdasarkan uraian adat dan agama yang terkait dalam pertunjukan tari Alang Suntiang Pangulu, maka adat dan agama dalam pertunjukan tari tersebut pada masyarakat Padang Laweh mengandung ajaran pokok sebagai berikut.
164

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

1) Aturan yang mengatur tentang hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, yaitu adanya agama. 2) Aturan yang mengatur tentang hubungan antarsesama manusia, yaitu antara penghulu dengan kemenakannya. 3) Aturan yang mengatur tentang membina persatuan dalam masyarakat Padang Laweh. 4) Aturan tentang memegang teguh prinsip musyawarah dan mufakat antara sesama penghulu. 5) Selanjutnya, hubungan adat dan agama lebih lanjut dalam masyarakat Padang Laweh digambarkan dengan simbol kelengkapan berdirinya sebuah nagari. Simbol nagari adalah balai adat dan masjid. Tidak lengkap dan sempurna suatu nagari apabila salah satu dari dua institusi yaitu balai adat dan masjid tidak ada. Balai adat adalah lembaga kebudayaan tempat penghulu nagari mengadakan rapat atau musyawarah sesama penghulu dan masyarakat Padang Laweh. Masjid merupakan lembaga agama tempat sholat dan musyawarah penghulu dengan masyarakat Padang Laweh. Perpaduan antara keduanya kemudian melahirkan suatu pepatah Minangkabau yang berbunyi, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, artinya adat bersendikan agama, agama bersendikan kitab (Al Quran). Dengan demikian, maka tari Alang Suntiang Pangulu di Padang Laweh Sumatera Barat memiliki hubungan yang erat dengan agama Islam. Ketiga, para penari tari Alang Suntiang Pangulu menari di atas tikar yang dibentangkan dalam rumah gadang (rumah adat). Para penari tidak diperbolehkan keluar dari tikar selama menari dan tidak dibenarkan atau dilarang untuk melintasi arena pertunjukan. Apabila ada yang melintasi penari atau melanggar ketentuan ini, dikenakan denda seekor ayam singgang (daging ayam yang digulai dan dimasak hingga kental kuahnya). Tari ini biasanya dibawakan oleh dua orang, empat orang, atau pun enam orang laki-laki secara berpasangan. Penari yang berjumlah genap tersebut sudah mentradisi dalam masyarakat Padang Laweh. Di samping itu, pemilihan penari laki-laki dilandasi oleh pandangan perihal tabu bagi wanita untuk menari di depan umum. Di samping itu, tari Alang
165

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Suntiang Pangulu dibawakan dengan iringan musik. Alat musik yang dipergunakan untuk mengiringi tari Alang Suntiang Pangulu adalah adok, gandang (gendang), dan talempong pacik. Selain itu, tari ini diiringi dengan tepukan tangan dan dendang (vokal). Keempat, tari ini dapat dibawakan oleh masyarakat dalam lingkungan Nagari Padang Laweh. Seandainya ada penari di luar Nagari Padang Laweh yang berkeinginan untuk mempelajari tari Alang Suntiang Pangulu, tidak dibolehkan oleh para penghulu dan angku atau rang mudo (gelar yang diberikan kepada seseorang untuk bertukar pikiran dengan para penghulu, yakni pengangkatan angku tersebut sama dengan pengangkatan penghulu yang baru diangkat). Selanjutnya, seandainya ada di antara penari yang mengajarkan tari ini pada penari di luar Nagari Padang Laweh, tanpa seizin para penghulu dan angku, maka pengajar tari tersebut diusir dan dikucilkan dari nagarinya. Mengusir pengajar tari tersebut merupakan salah satu bentuk kekuasaan penghulu. Bahkan, faktor sejarah menunjukkan bahwa penghulu pernah mengusir atau mengeluarkan Inun Pakiah Bungsu, Wih Sutan Maralauik, dan Tara Jali Sutan Majo Kayo secara adat (pada 1970) karena mengajarkan tari Alang Suntiang Pangulu di ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) Padangpanjang dalam rangka pertunjukan di Jakarta Fair. Daryusti (2006) komunikasi akan berhubungan dengan manusia dan kepuasan terpenuhinya kebutuhan berinteraksi dengan manusia lainnya. Pada umumnya setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang lain. Kebutuhan akan terpenuhi melalui pertukaran peran dan pikiran yang dapat berfungsi sebagai jembatan untuk mempersatukan manusia. Dengan kata lain, orang yang tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain akan terisolasi. Interaksi terlihat pada cara-cara berhubungan. Hal ini tampak ketika orang perorang dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan tersebut. Dengan interaksi akan muncul proses sosial yang diartikan sebagai pengaruh timbal-balik antara pelbagai segi kehidupan bersama. Interaksi yang efektif sangat tergantung dari komunikasi antarindividu. Dalam hal ini, komunikasi akan tercapai atau sukses apabila bentuk-bentuk hubungan komunikasi menggambarkan upaya yang sadar dari kelompok yang berkomunikasi dengan tujuan mencapai kebutuhan untuk bersatu. Hal ini akan memperlihatkan keharmonisan sosial dalam masyarakat.
166

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Komunikasi terjadi jika ada unsur pesan dan penerima pesan. Dalam hal ini individu dan kelompok akan dihadapkan kepada masalah-masalah yang ada dalam suatu situasi karena suatu pesan harus disepakati dalam masyarakat. Dengan kata lain, integrasi dapat mempengaruhi orang yang berkomunikasi. Soekanto (1993) mengatakan bahwa suatu interaksi tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu adanya kontak sosial dan komunikasi. Secara harah, kontak sosial adalah bersama-sama menyentuh, sedangkan secara sik, kontak baru terjadi apabila terjadi hubungan badaniah. Sebagai gejala sosial, kontak tidak berarti hubungan badaniah. Orang dapat mengadakan hubungan dengan pihak lain tanpa menyentuhnya, seperti berbicara dengan pihak lain. Di samping itu, sesuai dengan perkembangan teknologi dewasa ini, orang-orang dapat berhubungan satu dengan yang lainnya melalui telepon, telegrap, radio, surat, dan lain-lain yang tidak memerlukan sentuhan secara sik. Davis (1960) mengatakan bahwa hubungan badaniah tidak perlu menjadi syarat utama terjadinya kontak. Dalam hal ini kontak diperlukan antara penghulu dengan angku atau rang mudo atau sesepuh tari Alang Suntiang Pangulu dengan penari dan masyarakat. Di samping itu, mereka telah mengetahui dan sadar akan kedudukannya masing-masing. Hal ini berarti bahwa masing-masing pihak siap untuk mengadakan interaksi sosial, yakni di satu pihak, dalam hal ini penghulu dan angku, memberikan instruksi kepada masyarakat, penari, dan pemusik. Kontak sosial pada penghulu dengan masyarakat dan penari akan dapat berlangsung dalam dua bentuk, seperti uraian berikut ini. a. Kontak sosial antara penghulu dengan penari, pemusik, dan masyarakat terkait dengan larangan mengajarkan tari Alang Suntiang Pangulu di luar Nagari Padang Laweh, Sumatera Barat. Apabila ada penari, pemusik, dan masyarakat yang mengajarkan tari ini di luar Nagari Padang Laweh akan diusir secara adat. b. Kontak sosial antara penghulu dengan angku. Angku adalah tempat penghulu berkonsultasi tentang kemajuan dan kejadiankejadian yang ditemui oleh penari, pemusik, dan masyarakat. Interaksi penghulu dengan kaum atau masyarakat mempunyai beberapa unsur pokok yang terkait dalam kehidupan masyarakatnya. Hal
167

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

ini berkaitan dengan rasa takut, rasa cinta, kepercayaan, pemujaan, dan kekuasaan tradisional. Desmawardi (2007) Musik Dikie sangat populer dikalangan yang menamakan dirinya kaum kuno di Sumatera Barat terutama dalam kabupaten Padang Pariaman. Pertunjukan Musik Dikie umumnya ditampilkan pada malam hari sesudah shalat Isya sampai menjelang masuk waktu Subuh. Sehingga Musik Dikie merupakan nyanyian malam kaum kuno. Teks-teks nyanyian bersumber dari kitab Maulud Sariful Anam berbahasa Arab, teks-teks tersebut bertemakan tentang pemujaan terhadap Allah SWT., dan kisah-kisah para nabi Allah terutama nabi Muhammad SAW. dan manyanjung nabi Muhammad SAW., yang diyakini sebagai pembawa ajaran Islam dimuka bumi ini. Pada mulanya Musik Dikie merupakan salah satu media untuk mengumpulkan segenap orang agar dapat mendengarkan syair-syair Arab yang bertemakan pemujaan kepada sang pencipta serta sanjungan terhadap nabi Muhammad SAW., dan setelah mereka terkumpul maka sang Ungku2 akan memberikan pelajaran-pelajaran tentang ajaran Islam. Syair-syair Dikie yang disajikan tersebut secara umum tidak dimengerti artinya (bahasa Indonesianya) baik sang si-seniman maupun si-pendengar. Mereka hanya meyakini bahwa yang didendangkan itu adalah hal yang baik dipandang secara ajaran Islam dan melodi yang dimainkan menyentuh jiwanya, sehingga menimbulkan rasa senang, puas, rasa aman dan nyaman, bahagia. Akibat dari perasaan itu sangat kuat, mereka terpaku, terharu, terpesona, serta keinginan untuk mengalami kembali perasaan itu, walaupun telah dinikmati berkali-kali, sehingga timbullah kesenian yang bernuansa Islam. Dalam pengembangan Islam di Sumatera Barat sering dimulai dari seni musik dan pada akhirnya menjadi musik tradisional Sumatera Barat yang bernuansa Islam. Pergeseran nilai menjadi hiburan dan kontemplasi terhadap sang pencipta akan menambah perbendaharaan seni pertunjukan Sumatera Barat Musik Dikie yang berkembang pada yang berkembang pada masyarakat kaum kuno ini disajikan dalam bahasa Arab tanpa memakai alat musik, mereka bernyanyi dalam bentuk bersahut-sahutan dan pada bagian-bagian tertentu berbentuk koor. Sebelum penyajian Musik Dikie, terlebih dahulu mereka berdoa yang dipimpin oleh seorang Ungku memohon kepada sang pencipta mengharapkan keridhaanNya. Dalam
2 Ungku adalah ulama dari kaum kuno atau ustaz 168

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

penyajian Dikie mereka selalu menekankan keharmonisan dalam kebersamaan. Dalam perjalanannya, Musik Dikie merupakan pencerminan dari suatu kultur yang berkembang dari masyarakat kecil yang saling mengenal secara akrab dan komunikatif. Seni tradisi bukan merupakan hasil kreativitas individu-individu, tetapi tercipta secara anonim bersama dengan sifat kreativitas masyarakat yang menunjangnya. Musik Dikie hanya dimainkan oleh para lelaki, dan keterlibatan kaum wanita hanya sebatas menyiapkan hidangan dengan berbagai bentuk dan jenis makanan sesuai dengan konteks penyajian waktu itu. Bila diperhatikan pada waktu penyajian Dikie dalam Maulud nabi, maka para ibu-ibu harus menyiapkan hidangan yang sangat mewah seperti nasi jamba, berbagai jenis kue dan segala macam jenis buah yang musim saat itu. Kue-kue tersebut dihiasi sangat indah sesuai dengan nilai seni yang dimiliki kaum ibu, begitu juga halnya dengan buah-buahan ditata dengan rapi, sehingga upacara maulud terkesan sangat mewah. Penyajian Musik Dikie tidak menuntut banyak penonton atau tidak menentukan siapa penontonnya. Para penonton akan datang dan pulang sesuai dengan kehendaknya sendiri-sendiri, mereka tidak diharuskan memakai pakaian tertentu, seperti orang menonton pertunjukan musik Jaz yang harus berpakaian rapi dan kapan perlu memakai dasi. Penonton Musik Dikie bebas saja mau duduk atau berdiri, mau ngobrol atau memang benar-benar memperhatikan apa yang dibaca dan dinyanyikan tukang Dikie, semua terserah penonton. Walau Musik Dikie dapat dimainkan secara individu dan dapat diiringi dengan alat musik, namun para penyaji musik dikalangan kaum kuno ini tidak membiasakan penampilannya secara individu, bahkan tak pernah mereka lakukan hal ini menggambarkan sifat kegotong royongan yang sangat kental antara sesama pemusik (seniman Dikie). Semakin larut malam penyajian Dikie, membuat suasana semakin melankolis dan konsentrasi pemain semakin tinggi, bahkan tak jarang terjadi mereka menangis bahkan ada yang sampai intren tak sadarkan diri. Menurut pengakuan para tukang Dikie apabila mereka telah mencapai klimaks dalam pertunjukannya, maka mereka akan menangis atau intren, karena saat itu seolah-olah mereka melihat segala kebesaran Ilahi. Pertunjukan Musik Dikie di kalangan kaum kuno biasa disajikan pada saat adanya peristiwa maulud nabi, dan peringatan hari-hari besar
169

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Islam lainnya kemudian peringatan 7 hari, 2 x 7, 40 hari bahkan 100 hari seseorang setelah meninggal dunia yang biasa disebut mandoa. (manujuah hari, manduo kali tujuah, maampek puluah, dan manyaratuih).

Seni Teater Pada Masa Lampau Randai suatu bentuk teater rakyat tradisional Sumatera Barat. Zulkii (1993) randai sebagai teater rakyat, randai hidup dalam kehidupan rakyat, dimainkan oleh rakyat untuk rakyat itu sendiri. Sebagai kesenian tradisional, randai hidup bersama tradisi-tradisi yang berlaku dalam masyarakatnya. Ia hadir atau ditampilkan dalam upacara-upacara tradisional, waktu pesta penen, helat perkawinan, helat batagak penghulu, dan helat- helat lainnya. Kehadiran randai dalam upacara-upacara itu hanya sebagai pelengkap dan penyemarak. Dengan arti kata, tanpa randai upacara-upacara tersebut masih bisa tetap dilaksanakan. Akan tetapi sebagai kesenian tradisional rakyat, randai jelas dapat mempertebal rasa ketradisian dan karakyatan terhadap upacara-upacara tradisional. Apabila diperhatikan penggarapan randai yang berbentuk teater, padanya terdapat unsur-unsur pokok yaitu, cerita, dialog dan akting, dendang yang disebut gurindam, dan galombang atao gerakan-gerakan tari bersumber pada gerakan-gerakan pencak silat tradisional Sumatera Barat yang dilakukan dalam formasi melingkar oleh pemain- pemainnya, maka ada benarnya jika randai dikatakan berasal dari andai atau handai, rantai, dan ravan-li-dai, karena pada kesenian tersebut terdapat unsur-unsur penceritaan yang bersifat kiasan atau pengandaian yang disampaikan oleh para pemain dalam bentuk dialog dan akting. Cerita yang disajikan dalam randai pada awalnya mengutamakan cerita yang berisi tentang pejaran-pelajaran adat istiadat Sumatera Barat yang bermanfaat untuk publik, penyampaian ajaran-ajaran tersebut dalam bentuk dialog dan akting pada penampilan randai dekat dengan pengertian dakwah dalam Islam. Gerakan-gerakan galombang yang dilakukan oleh para pemain randai dalam formasi melingkar dapat diinterprestasikan berbentuk lingkaran seperti rantai. Seni Arsitektur Pada Masa Lalu Rumah gadang (besar) Sumatera Barat dibangun di atas tiang, rumah
170

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

gadang mempunyai kolong yang tinggi. Atapnya yang lancip merupakan arsitektur yang khas serta membedakannya dengan bangunan suku bangsa lain di edaran garis khatulistiwa.

Arsitektur Sumatera Barat sebagai suku bangsa menganut falsafah alam terkembang jadi guru, menyelaraskan kehidupannya pada susunan alam yang harmonis tetapi juga dinamis, sehingga kehidupannya menganut teori dialektis, yang disebut bakarano bakajadian (bersebab dan berakibat), yang menimbulkan berbagai pertentangan dan keseimbangan. Bentuk dasar rumah gadang berbentuk segi empat yang tidak simetris yang mengembang ke atas. Garis melintangnya melengkung secara tajam dan juga landai dengan bagian tengahnya lebih rendah. Lengkung pada atapnya tajam seperti garis tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan rumah landai seperti badan kapal. Garis segi empat yang membesar ke atas dikombinasikan dengan garis yang melengkung rendah di bagian tengah secara estetika merupakan komposisi yang dinamis. Jika dilihat dari sebelah sisi bangunan, maka segi empat yang membesar ke atas ditutup, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan ajaran hidup. Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang dibangun menurut syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang merupakan satu kesatuan. Navis (1986) semua dinding rumah gadang dari papan, terkecuali dinding bagian belakang yang dari bambu. Papan dinding dipasang vertikal. Pada pintu dan jendela serta pada setiap persambungan papan pada paran dan bendul terdapat papan bingkai yang lurus. Semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran. Ada kalanya tiang yang tegak di tengah diberi juga sebaris ukiran pada pinggangnya. Ajaran falsafah Sumatera Barat yang bersumber dari alam terkembang, sifat ukiran nonguratif, tidak melukiskan lambang-lambang atau simbol-simbol. Pada dasarnya ukiran itu merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis melingkar atau persegi. Motifnya tumbuhan merambat yang disebut akar yang berdaun, berbunga, dan berbuah. Pola akar itu berbentuk lingkaran. Akar berjajaran, berhimpitan, ber171

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

jalinan, dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar itu berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas, dan ke bawah. Ada keluk yang searah di samping ada yang berlawanan. Seluruh bidang diisi dengan daun, bunga, dan buah. Akar itu bervariasi banyak, maka masing-masing diberi nama. Pemeberian nama itu tergantung garis yang dominan pada ukiran. Pada dasarnya nama yang diberikan ialah sebagai berikut. 1. Lingkaran yang berjajar dinamakan ular gerang karena lingkaran itu menimbulkan asosiasi pada bentuk ular yang sedang melingkar. 2. Lingkaran yang berkaitan dinamakan saluak (seluk) karena bentuknya yang berseluk atau berhubungan satu sama lain. 3. Lingkaran yang berjalin dinamakan jalo (jala) atau tangguak (tangguk) atau jarek (jerat) karena mernyerupai jalinan benang pada alat penangkap hewan. 4. Lingkaran yang sambung-bersambung dinamakan aka (akar), karena bentuknya merambat. Akar ganda yang paralel dinamakan kambang (kembang = mekar). 5. Lingkaran bercabang atau beranting yang terputus dinamakan kaluak (keluk). 6. Lingkaran yang bertingkat dinamakan salompek (selompat). Ukuran atau bentuk tingkatan lingkaran itu sama atau tidak sama. Nama ukiran geometri bersegi tiga pada umumnya disebut dengan pucuk rebung. Nama pucuk rebung diambil karena pucuk rebung memang runcing seperti segitiga maknanya adalah ajaran tentang orang yang berguna. Ukiran segi empat genjang dinamakan sayat gelamai karena bentuknya seperti potongan gelamai yang disayat genjang. Simbol potongan gelamai ini mengingatkan terhadap makanan khas dari Payakumbuh Sumatera Barat

Seni Kriya Pada Masa Lampau. Yuli (2008) Kelurahan Jalan Baru Pariaman memiliki masyarakat yang sangat kreatif dan inovatif memanfaatkan dan meningkatkan limbah lidi sebagai barang yang berfungsi serta bernilai tinggi, salah satunya cara adalah dengan mengolah bahan lidi dengan menggunakan
172

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

teknik anyaman sehingga menghasilkan benda-benda bernilai guna dalam kehidupan sehari-hari denagn berbagai bentuk yang unik dan menarik. Kemunculan anyaman lidi ini juga dilatar belakangi oleh tuntutan profesi dan tanggung jawab moril Syafruddin sebagai salah satu staf dinas perindustrian kota Pariaman. Lahirnya ide dalam membuat anyaman lidi merupakan satu anugrah yang sangat besar yang diilhamkan kepada Syafruddin oleh Allah SWT dan dibantu oleh doa dan restu anggota keluarga, sehingga usaha keluarga tersebut diberi nama Usaha Anyaman Lidi Ilham. Dengan semangat dan dukungan dari teman-teman seprofesi, usaha ini berjalan dan berkembang dengan pesatnya, terbukti baru beberapa bulan berjalan, kriya anyaman lidi milik Syafrudin sudah mendapat tempat di hati masyarakat, baik di dalam maupun di luar wilayah Pariaman. Benda anyaman lidi yang permukaannya berbentuk lingkaran, ini dapat dilihat dalam beberapa jenis produk antara lain piring, tudung saji, dan carano. a. Piring Piring yang dimaksud disini bukanlah bentuk piring yang sebenarnya seperti piring porselen yang biasa di temukan dalam kehidupan sehari-hari di meja makan, akan tetapi piring anyaman ini bentuknya miring layah menyerupai piring makan namun tidak bisa difungsikan seperti piring makan biasa, akan tetapi piring yang dimaksud digunakan sebagai alas (tadah) ketika kita akan makan nasi bungkus, seperti yang pernah dilakukan oleh sebagian penjual nasi sek (nasi tanpa lauk pauk dibungkas dengan daun sebanyak satu kepal) dipinggir pantai Pariaman dan sebagian penjual pecel lele Wong Solo baik yang ada di kota Pariaman maupun Wong Solo yang ada di kota Padang dan sebagian daerah yang ada di pulau Jawa. Piring-piring ini memiliki ukuran diameter 11 cm untuk alas dan 20 cm untuk badan sedangkan tinggi piring 2 cm untuk kaki, dan 3 cm untuk tinggi badan. Ada juga piring ini difungsikan sebagai tempat buah tergantung bagaimana si konsumen menempatkannya. Karena anyaman berbentuk piring ini pernah dipesan oleh Yosa Katering dari Padang, dimana benda tersebut digunakan sebagai wadah tempat buah pada meja tamu di setiap acara pesta.

173

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

b.

Tudung saji Tudung saji ini digunakan untuk menutup makanan di atas meja makan. Tudung saji pada umumnya terbuat dari bahan plastik dan anyaman rotan, hal itu sudah menjamur dipasaran. Tapi kali ini tudung saji dibuat dari bahan lidi. Tudung saji dibuat dengan ukuran berdiameter 40 cm dan tinggi 25 cm. Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990) istilah tudung berarti sesuatu yang diapakai untuk menutup atau melingkupi bagian sebelah atas. Dalam pada itu, masyarakat Padang Magek Sumatera Barat menyebut tudung atau penutup bagian atas dengan tuduang aia. Tuduang aia berguna sebagai penutup makanan dalam talam atau dulang tinggi. c. Carano Carano mepunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Sumatera Barat, yang digunakan sebagai tempat sirih dan perlengkapannya, yang disuguhkan pada setiap acara adat. Carano ini biasanya dibuat dari bahan logam atau kuningan, namun kali ini Syafrudin mencoba membuat carano dari anyaman lidi dengan pertimbangan karena keadaan krisis ekonomi semua bahan harganya sudah pasti naik, hal ini berimbasan pada harga jual carano yang terbuat dari logam. Dengan adanya carano dari bahan lidi dapat membantu meringankan beban masyarakat untuk memiliki carano, karena carano dari anyaman lidi harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan carano dari bahan logam atau kuningan. Carano (cerana), berisikan sesaji daun sirih, pinang, sadah, dan tembakau yang ditutup dengan dalamak untuk pertunjukan tari Alang Sentiang Pangulu. Dalam hal ini carano (cerana) yang digunakan untuk pertunjukan tari Alang Suntiang Pangulu dapat dikatakan sebagai penanda. Dalam kehidupan sehari-hari carano di Minangkabau, Sumatera Barat dikenal sebagai tempat daun sirih, pisang, gambir, sadah, dan tembakau. Carano terbuat dari logam atau pun kuningan dengan permukaan sebelah atas (mulutnya) bulat seperti piring dengan diameter 33,5 cm, memiliki leher agak panjang dan alasnya berbentuk bulat dengan diameter 30 cm, atau lebih kecil dari permukaan sebelah atas carano. Penghubung antara permukaan dengan alas carano (leher cerana)
174

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

dapat dipegang dengan tangan. Dalam adat Jawa, bentuk carano hampir sama dengan kecohan (tempat meludah). Sementara itu, di Bali carano hampir sama dengan istilah pengasapan yang digunakan untuk membakar dupa atau bubuk cendana oleh pedanda. Biasanya carano yang telah diisi lengkap ditutup dengan dalamak.

Kondisi Masa Sekarang Komunikasi sosial seni tradisi dengan pemerintah dapat dilihat pada saat fungsi tari Alang Suntiang Pangulu adalah untuk menyambut tamu agung yang datang ke Nagari Padang Laweh, pesta pernikahan, dan khitanan. Dalam hal ini untuk memproduksi tari Alang Suntiang Pangulu sebagai ritual khitanan, pesta perkawinan, dan penyambutan tamu agung diperlukan ongkos produksi (production cost). Pada umumnya ongkos produksi (production cost) dibebankan kepada panitia kegiatan. Sebagai contoh, tari Alang Suntiang Pangulu pertama kali disajikan untuk ritual adat dalam rangka memeriahkan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (1981) di Gedung Triarga Bukittinggi, yakni panitia pelaksananya diketuai oleh Jarmias Kasi Kebudayaan Kota Madya Bukittinggi. Dalam pada itu, tari Alang Suntiang Pangulu pada saat sekarang telah dapat disajikan sebagai sajian estetis.pada acara-acara di nagari masyarakat Padang Laweh dan di sekolah-sekolah sekitar nagari tersebut. Kehadiran Musik Dikie saat ini juga berfungsi sebagai alat komunikasi antara rakyat dan pemerintah. Pada malam penampilan Musik Dikie, diundanglah unsur-unsur pemerintah untuk menyaksikan penampilan Musik Dikie tersebut. Diwaktu penampilan Musik Dikie ini disampaikanlah apa yang dimaksudkan oleh masyarakat kepada unsur pemerintah ini melalui pantun-pantun atau dendang Dikie tersebut. Pantun itu seperti: Batang aua paantak sawah Pangkanyo sarang sipasin Pado bapak diadokan sambah Indak madok ka nan lain Ligundi di sawah landai Sariak indak babungo lado Karano jalan kami tabangkalai
175

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Bantulah apo ala kadarnyo (Batang aur penahan sawah Pangkalnya sarang si pasin Kepada bapak terhadap sembah Tidak menghadap pada yang lain Ligundi di sawah landai Sariak tidak berbunga lada Karena jalan kami belum siap Bantulah kami ada adanya) Keikutsertaan pemerintah Sumatera Barat membina dan mengembangkan kesenian randai mengakibatkan munculnya cerita randai yang berisikan pesan-pesan pembangunan seperti masalah KB, pertanian, K3, dan juga cerita yang mengandung nilai-nilai pendidikan Pancasila. Salah satunya dapat lihat dari usaha Dt Bandaro Putiah salah seorang pemuka adat di Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam yang menggunakan randai Cindua Mato sebagaimedia penyuluhan pendidikan pada masyarakat sekitarnya. Arsitektur tradisi Minangkabau khususnya bangunan rumah gadang, sekarang dipakai dalam bangunan kantor-kantor dengan memakai ciri atapnya yang berbentuk tanduk kerbau serta ada dinding atau palang atapnya dipakai dengan ukiran khas tradisi. Hal ini akan menampakkan ciri khas bangunan adat Sumatera Barat itu sendiri. Seni anyaman lidi yang diproduksi dalam berbagai bentuk, pada masa sekarang makin dikembangkan dan makin dipromosikan untuk memajukan industri kecil rumah tangga. Pada zaman dahulu yang dibuat dalam bentuk piring atau yang disebut senggan, pada saat sekarang dikembangkan dalam bentuk wadah-wadah seperti keranjang bunga atau keranjang buah. Sedangkan anyaman dengan bentuk tudung saji yang biasa dipakai untuk penutup makanan, juga sudah makin dikembangkan. Sekarang tudung saji dikembangkan dengan membuat hiasanhiasan dinding atau penutup makanan dengan berbagai variasi sehingga dapat berbentuk cendra mata yang cantik. Carano yang dikembangkan saat ini juga dikembangkan bentuk dan penggunaannya. Jika ada tamu-tamu resmi yang datang disuguhi dengan sirih di carano yang dalam perjalanannya sirih dapat diganti dengan permen. Carano juga sekarang sudah diproduksi dengan berbagai ben176

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

tuk yang dapat dijadikan sebagai cendramata sebagai ciri khas daerah Sumatera Barat.

Kemungkinan Pengembangan di Masa Yang Akan Datang Seni tradisi di Sumatera Barat seperti seni pertunjukan dan seni rupa hendaknya menyebar dari satu tempat ke tempat lain seiring dengan persebaran masyarakat pendukungnya yang juga tidak selalu menetap di daerahnya, karena sudah banyak juga para pelaku seni tersebut yang merantau ke daerah lain untuk mencari kehidupan yang sesuai menurut mereka. Dengan melihat pernyebaran masyarakat sebagai pendukung seni pertunjukan dan seni rupa sudah barang tentu kontak-kontak dengan masyarakat lain akan dialami. Upaya pembinaan seni dapat dilakukan dimana saja para pelaku seni tersebut berada. Sudah barang tentu penyebaran seni tersebut akan berkembang pemetaannya. Di samping itu pemerintah daerah sangat diharapkan peran sertanya untuk pengembangan seni tradisi dimasa datang. Terutama dibidang pembinaan dan pendanaan pada seni pertunjukan. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan frekwensi festival-festival atau keramaiankeramaian tentang seni, karena seni tradisi tersebut adanya di kantongkantong setiap nagari yang ada di Sumatera Barat. Pada seni rupa juga diperlukan peningkatan dan komitmen dalam aplikasi banguanan dan pengembangan industri-industri kecil dengan pemberian kredit-kredit untuk pengembangan industri tersebut sebagai modal, serta selalu menggali seni tradisi tersebut. Penutup Ragam kemasan seni tradisi Sumatera Barat dalam komunikasi sosial rakyat dan pemerintah dapat dibagi dua kelompok yaitu seni pertunjukan dan seni rupa. Seni pertunjukan pada umumnya di Sumatera Barat dapat dikatakan seni yang dipertunjukan untuk upacara ritual tertentu dalam kehidupan masyarakat. Namun demikian ada juga yang dipertunjukan sebagai penyemarak dalam upacara adat seperti randai. Sementara itu dalam seni rupa terutama dalam arsitektur dan seni kriya dapat dilihat dalam arsitek bangunan rumah gadang atau rumah adat Sumatera Barat yang saat ini digunakan pada bangunan-banguan kantor atau gedung-gedung pertemuan di Sumatera Barat. Dalam pada
177

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

itu seni kriya dapat ditemui dalam karajinan-krajinan rakyat yang pada saat sekarang banyak dikembang dalam industri-industri kecil dalam kehidupan masyarakat Sumatera Barat sehingga dapat menambah sumber penghasilan masyarakat pengrajin.
Daftar Pustaka Daryusti. 2006. Hegemoni Penghulu Dalam Perspektif Budaya. Yogyakarta : Pustaka. Davis, Kingsley. 1960. Human Society. New York: The macmillan Company. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Desmawardi. 2007. Musik Dikie : Antara Tradisi dan Nilai-Nilai Religius dalam Realitas Masyarakat Kaum Kuno di Nagari Ajo laweh Sumatera Barat, Jurnal Ekepresi Seni STSI Padangpanjang, volume 9,No.2. Imran, Amran., Idris, Asmaniar., Johan, Bahder., Nan Sabatang, Dt. Perpati., Hodgson, Geoffrei A., Hamka., Sumatera Barat, LKAAM., Mansoer, M.D., Hatta, Mohammad., Gani, Rizanur., Soekmono., dan RPSDM, Tim. 2002. Menelusuri Sejarah Minangkabau. Padang: Yayasan Citra Budaya Indonesia dengan LKAAM Sumatera Barat. Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. ______________. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia Jakarta Press. M.S, Amir. 1977. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang. Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Mansoer , MD., Imran, Amrin, Sofwan, Mardanas, Idris, Asmaniar, Buchari, Sidi I. 1970. Sejarah Minangkabau. Jakarta: Bharata. Navis, A.A. 1986. Alam Terkembang jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta : Pustaka Gratipers. Said, A. A. 2004. Simbolisme Unsur Visual Rumah Tradisional Toraja dan Perubahan Aplikasinya pada Desain Modern. Yogyakarta: Ombak. Yuli Marni. 2008. Deskripsi Kriya Anyaman Lidi di Kelurahan Jalan baru Pariaman Tengah, dalam Daryusti, ed. Seni Budaya Berkelanjutan Dalam Kehidupan Masyarakat, STSI Padangpanjang Pers. Zulkii. 1993. Randai Sebagai Teater Rakyat Minangkabau di Sumatera Barat: Dalam Dimensi Sosial Budaya. Tesis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

178

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

179

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

SULAIMAN JUNED Lahir di Gampong (desa) kecil Usi Dayah Kecamatan Mutiara Kab. Pidie, Nangroe Aceh Darussalam, 12 Mei 1965. Kini memiliki istri dan seorang putra laki-laki. Menetap di Padangpanjang, menekuni pekerjaan sebagai Seniman, dosen tetap Jurusan Seni Teater di ISI Padangpanjang Sumatera Barat, Dosen Ahli di FKIP/Bahasa dan Sastra Indonesia Daerah di Univ. Muhammadiyah Sumatera Barat, Guru teater di SMA Negeri 1 Sawahlunto Sumatera Barat, Guru teater di SMA Negeri 1 Padangpanjang Sumatera Barat, Guru Kesenian serta Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Sore Padangpanjang. Mulai menulis sejak tahun 80-an, ketika masih belajar di SLTP. Karya puisi, cerpen, esai, drama, reportase budaya, artikel, kolom di muat di media seperti; Serambi Indonesia, Kiprah, Aceh Post, Aceh Ekspres, Srambi Mekkah Post (ACEH). Analisa, Dunia Wanita, Waspada (MEDAN). Singgalang, Haluan, Mimbar Minang, Padang Ekspres, Postmetro, Jurnal Palanta, (SUMATERA BARAT). Riau Post, Metroexpres (RIAU). Indefendent (JAMBI). Lampung Post (LAMPUNG). Kedaulatan Rakyat, Majalah Seni Gong (YOGYAKARTA). Solo Pos dan Jawa Pos (JAWA TENGAH). Bali Post (BALI). Suara Karya Minggu, Republika, Media Indonesia, Kompas, Koran Tempo, Majalah Sastra Horison (JAKARTA). Majalah Bahasa dan Sastera (MALASYIA dan BRUNEI DARUSSALAM). Jurnal Aswara (MALASYIA). Antologi puisi tunggal berjudul Riwayat mendapat Juara III dalam Lomba Penulisan buku pengayaan sastra tingkat nasional pada Pusat Perbukuan Dinas Pendidikan Nasional (2007). Lelaki berkumis ini menyelesaikan studi S-1 di jurusan seni teater STSI Padangpanjang dengan yudisium Cumlaude, juga menyelesai Program Pascasarjana di Institut Seni Indonesia Surakarta dengan yudisium Cumlaude. Sering mengikuti seminar sastra, teater dan jurnalistik. Ia juga sering terlibat dalam dunia musik, sebagai pemusik dan pembaca puisi. Juga sebagai dramatug pertunjukan teater. Soel juga aktif dalam organisasi seni dan pers serta dipercayakan sebagai Dewan Penasehat Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Cabang Padangpanjang (2010-2015). Editor Novel Cinta di Kota Serambi Karya Irzen Hawer diterbitkan Kuet Publishing, Komunitas Seni Kuet Padangpanjang, Sumatera barat (Maret 2010). Soel sangat aktif dalam dunia teater, baik ketika masih di Aceh maupun kini bermukim di Padangpanjang, ia sudah memainkan 250 judul naskah lakon baik naskah luar negeri maupun dalam negeri, ia berperan jadi aktor menjadi tokoh yang tanpa dialog sampai menjadi tokoh utama. Sudah menyutradarai 152 judul naskah lakon baik dari karya penulis dunia-nasional-daerah. Dewasa ini Soel hanya mau menyutradarai naskah lakon yang ditulisnya atau naskah lakon yang diproduksi oleh rekan-rekannya di komunitas Kuet. Teater-Sastra-Jurnalistik telah membawanya mengelilingi Indonesia; dari Aceh hingga Irian Jaya. Kini menetap di Jl. Dr. A.Rivai No. 146 RT.11 Kampung Jambak, Kelurahan Guguk Malintang, Kecamatan Padangpanjang Timur, Padangpanjang Sumatera Barat. 180

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Seni Tradisi Populer Aceh sebagai Media Komunikasi Sosial


Sulaiman Juned
Dosen Jurusan Seni Teater STSI Padang Panjang

Pendahuluan eni tradisi adalah gambaran kebudayaan suatu masyarakat pada sebuah daerah. Indonesia memiliki keberagaman seni lokalitas yang sangat kaya dengan kearifan lokal. Kekayaan kultur budaya bangsa dalam seni tradisi secara tidak langsung memiliki karakter etnis yang sangat beragam dan berbeda. Karya-karya yang dipertunjukan oleh seniman-seniman tradisional, merupakan suatu bukti betapa beragamnya kultur-seni dan budaya masyarakat Indonesia. Berdasarkan itulah, ini kali penulis ingin membahas tiga seni tradisi Aceh sebagai media komunikasi sosial. kesenian Aceh rata-rata memiliki transformasi moral dan sosial. Tiga seni tradisi tersebut; Teater Tutur PM TOH, Sandiwara Keliling Gelanggang Labu, dan Biola Aceh. Ketiga bidang seni yang penulis paparkan ini, berangkat dari realitas Sastra Aceh (hikayat) menuju realitas seni pertunjukan. Dewasa ini tanpa sengaja berangkat dari perkembangan jaman kesenian tradisi mulai bergeser fungsinya, awalnya menjadi alat komunikasi dalam ruang sosial bagi kehidupan bermasyarakat di Aceh. Seni tradisi ini memang masih tetap bertahan di Aceh, walau terasa sudah mulai langka. Hal ini disebabkan oleh terjadinya konik bersenjata yang begitu panjang antara Gerakan Atjeh Merdeka dengan Negara Kesatuan Republik In-

181

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

donesia yang melahirkan kondisi psikologis terhadap masyarakat Aceh. Tindakan sosial yang terjadi di Aceh sebelum dilaksanakan perdamaian saling berinteraksi dan saling melahirkan kekejaman dari pihak-pihak yang bertikai, tentu melahirkan restrukturisasi terhadap tingkah laku masyarakat. Interaksi sosial melalui seni tradisi membuat prilaku masyarakat Aceh, terwujud dari keharusan normatif yang terlahir dari kesantunan, rasa persaudaraan, pemurah, peramah, dan setia terhadap siapapun. Namun kondisional ini menjadi lenyap karena terjadi tindakan sosial melalui kekerasan yang dilawan pula dengan kekerasan. Rakyat tersublima ketakutan dan kecemasan karena setiap detik menyaksikan pembunuhan, pemerkosaan, penculikan, pembakaran. Muaranya kesenian tradisi Aceh pun terancam punah. Kondisi inilah yang membuat seni tradisi Aceh terkesan sulit untuk mencarinya. Syukurlah dewasa ini telah di bentuk Qanun (hukum/aturan) di bidang seni, untuk menghidupkan kembali seni tradisional Aceh yang kaya nilai-nilai agama, adat, moralitas, dan sosial.

Teater Tutur Aceh: Adnan PM TOH Troubador yang Menulis di atas Angin Lima puluh tahun bersolo karier, (Almarhum) Teungku H. Adnan PM TOH berusaha mencari penggantinya agar kesenian Aceh yang disebut teater tutur ini memiliki penerusnya. Namun sayang sampai dengan Teungku Adnan menghadap sang khalik (meninggal dunia dalam usia 75 tahun, pada tanggal 4 Juli 2006), belum mampu menemukan penggantinya seperti beliau. Kesenian teater tutur berasal dari peugah haba yang berarti berbicara dengan bercerita semacam bakaba di Minangkabau. Sering juga disebut masyarakat Aceh poh tem berarti orang yang pekerjaannya bercerita. Ada juga yang menyebutnya dangderia seperti drama monolog atau berbicara sendiri. Teater Tutur ini menjadi menarik setelah dikembangkan Teungku Adnan dengan mempergunakan alat musik rapai, pedang, suling (ute), bansi (block ute) dan mempergunakan properti mainan anakanak serta kostum. Properti, alat musik serta kostum memperkaya teknik pemeranan seperti metode Brechtian yang memakai teknik multiple set (properti tangan yang banyak fungsinya), dan efek alinasi (memisahkan penonton dari peristiwa panggung, sehingga mereka dapat
182

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

melihat panggung dengan kritis). Teknik ini sekaligus memberi kekuatan dan dapat mengubah kejadian-kejadian peran menjadi seolah-olah, serta adanya intrupsi dari penonton. Teungku Adnan bermain sendiri, namun mampu menghadirkan beratus-ratus tokoh, dengan ekspresi dan karakter vokal yang berubahubah. Inilah kelebihan yang dimiliki Teungku Adnan, ia bermain sendiri di atas pentas, tetapi penonton laksana menyaksikan ratusan aktor sedang berada di pentas. Hal ini yang membuat Teungku Adnan dijuluki traubador dunia oleh Prof. Dr. John Smith seorang peneliti dari Amerika Serikat. Teungku Adnan dikenal juga sebagai seorang tokoh ulama oleh masyarakat pendukungnya, sedangkan pekerjaannya disamping sebagai seniman adalah penjual obat keliling Aceh. Kesenian (teater tutur) ini dinamakan PM TOH oleh Teungku Adnan. Asal muasal nama itu berangkat dari peristiwa yang sangat berkesan bagi saya, saya sering menaiki bus PM TOH ketika berpergian ke seluruh Aceh untuk berdagang obat, lalu bunyi klakson bus tersebut membuat saya terkesan. Maka dalam pertunjukan saya untuk selingan jual obat saya tampilkan poh tem, peugah haba, dan dangderia. Sembari memamerkan kebolehannya berteater itu, saya memulainya dengan menirukan bunyi klakson bus PM TOH, masyarakat Aceh sangat senang dengan penampilan saya itu. Setiap saya jual obat, penonton pasti ramai, dagangan saya laris tapi saya harus menampilkan Hikayat Malem Dewa. Akhirnya masyarakat Aceh setiap ketemu saya sering memanggil nama saya dengan sebutan Teungku Adnan PM TOH setelah saya pikirkan sepertinya nama teater tutur saya ini adalah PM TOH. (Wawancara dengan Teungku H. Adnan, 14 April 1999, di Blang Pidie-Aceh Selatan) Ternyata nama teater tutur PM TOH itu merupakan pemberian oleh masyarakat pendukungnya. Ini bukti bahwasannya sejak tahun 1970an nama itu telah dilekatkan kepada Teungku Adnan, dan ia diterima sebagai pembaharu teater tutur Dangderia yang pemanggungannya hanya ada satu bantal, pedang dari pelepah kelapa hanya mengandalkan kekuatan ekspresi dan kekayaan vokal dalam menyampaikan Hikayat. Sementara Teungku Adnan diterima oleh masyarakat pendukungnya, sehingga dimanapun masyarakat mendengar tentang kehadiran Teungku Adnan, mereka pasti ramai-ramai mendatanginya karena ingin menyaksikan pertunjukan PM TOH.
183

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Andaikan membicarakan tentang teater tutur Aceh, yang tampak adalah seorang penutur cerita penuh dengan nuansa teaterikal. Hal yang termaktub dalam teater tutur itu merupakan eksistensi kesusastraan Aceh hikayat yang tidak dapat lepas dari subtansinya. Bahkan, teks sastra hikayat menjadi dasar penceritaannya. Sama halnya dengan teater modern yang tidak terlepas dari teks naskah drama yang akan digarap sutradara menuju realita teater (pertunjukan). Hikayat dalam bahasa Aceh tidak diartikan arti asli yaitu kisah (cerita). Bukan saja roman-roman, dongeng keagamaan, pelajaran adat. Bahkan, buku bacaan serta cerita lainnya juga dinamakan hikayat jika bahan-bahannya telah dituliskan dalam bentuk sajak (puisi) di sebut hikayat, dan ini merupakan hasil sastra yang sangat luas dalam khazanah kesenian Aceh karena menjadi seni pertunjukan (Budiman Sulaiman, 1983:78). Hikayat ketika dipertunjukan oleh Teungku Adnan dengan menghadirkan berbagai karakter tokoh di atas pentas, baik perubahan suara (vokal), kostum. Dialog-dialog yang memperagakan cara-cara berperang, jika dalam cerita tersebut terjadi peperangan antar kerajaan. Sementara itu, sastra Aceh menyimpan peristiwa budaya, hampir setiap keluarga di Aceh mengetahui secara tradisional cerita-cerita dalam hikayat. Biasanya seorang ibu dari etnis Aceh pada masa lalu merasa berkewajiban untuk menceritakan hikayat-hikayat itu kepada anak-anaknya, adapun hikayat yang menyimpan peristiwa sejarah, diantaranya; Hikayat Malem Dewa, Prang Sabi, Malem Budiman, Raja Si Ujud, Malem Dagang dan lain-lain. Ada pula hikayat yang disebut dengan hikayat undang-undang seperti; sarakata Poteumeureuhom Meukuta Alam. Hikayat keagamaan, seperti; Nalam, Sipheut Dua Ploh. Tentang adat istiadat; Sanggamara. Hikayat tentang dongeng; hikayat Gumbak meueh, Indra Budiman, Raja Jeumpa (Muhammad Nur, 1988: 38). Adnan PM TOH melakukan pengembangan menakjubkan lewat teater tutur yang awalnya peugah haba atau dangderia. Ia sanggup menghafal 9 (sembilan) buah Hikayat-hikayat Aceh, lalu dituturkan kembali selengkapnya. Kalimat demi kalimat mengalir deras, seperti benang dibentangkan tak pernah habis. Teungku Adnan jika ada undangan lalu mempertunjukan PM TOH satu hikayat seperti Malem Dewa baru selesai dipertunjukan dalam durasi waktu 7 (tujuh) malam berturut-turut. Tuhan memang Maha Kuasa, Teungku Adnan diberikan kekuatan pada ingatan, beliau mampu menyampaikan pertunjukan yang
184

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

sama di tempat yang berbeda, namun beliau melakukan pertunjukan persis sama dengan pertunjukan sebelumnya, cerita yang sama dengan kata-kata yang relatif sama pula. Luar biasa. Guru Teungku Adnan adalah Mak Lapee, generasi kedua Teungku Ali Meukek. Namun pada masa itu, penyajian hikayat secara bertutur tak dapat dikategorikan seni pertunjukan (teater tutur), karena yang disajikan hanya membaca hikayat (peugah haba). Properti yang digunakan hanya sebilah pedang dan batal. Penampilan nyaris tanpa akting, dan agak sulit mengikuti alur cerita karena tidak terjadi perubahan karakter tokoh. Lain halnya dengan Teungku Adnan, berangkat dari ilmu yang diterima dari gurunya Mak Lapee (Seorang Ulama di Aceh Selatan yang lumpuh), lalu dikembangkan menjadi sebuah seni pertunjukan yang sangat menarik dan unik dengan inprovisasi yang sangat-sangat kaya. Menyaksikan teater tutur PM TOH, menyaksikan pentas yang dipenuhi aktor secara imajiner, padahal ia bermain sendiri. Teungku Adnan, andai membawakan Hikayat Malem Dewa yang menceritakan tentang anak raja yang mempersunting putri dari khayangan, yaitu Puteri Bungsu. Tengku Adnan bermain dengan teknik duduk, bermain musik sendiri. Meletakkan kotak (tong) dikiri dan disebalah kanan, di dalam tong ada pakaian (kostum) serta senjata mainan. Ketika menjadi raja, langsung memakai baju ala kerajaan yang telah tersusun di dalam kotak disesuaikan dengan alur cerita. Seketika pula Teungku Adnan menjadi raja dengan karakter watak dan karakter bahasa yang berbeda. Begitu pula ketika menjadi tentara (panglima), puteri, ahli nujum, rakyat kampung, sambil berinprovisasi dengan nyanyian Teungku Adnan menggantikan kostum, sehingga penonton tidak bosan. Setiap peran yang berubah, ekspresi wajahnya berubah (tipikalnya), vokalnya juga berubah sehingga penonton dengan mudah mengidentikasi tokoh yang diperankan Teungku Adnan. Kemampuan ini yang tidak dimiliki oleh tukang cerita yang lain seperti; Zulkii, Muda Belia bahkan Agus Nuramal. Kemampuan Teungku Adnan tak pernah tergantikan oleh siapapun. Seorang juru bicara penyihir yang mampu memberikan pesona seni peran. Suatu hari dalam Hikayat Malem Dewa ia berubah peran dengan sigap. Lima detik pertama ia mengekspresikan wajah genit, matanya berkedip-kedip. Mengenakan sepotong selendang, sebuah wig, ia pun menjelma menjadi tokoh Puteri Bungsu, putri yang jeli185

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

ta dari khayangan. Lima detik kemudian, ia berganti peran menjadi pemuda gagah siap bertempur memperebut Puteri Bungsu. Sepotong pedang terhunus di tangan, topi baja melekat di kepala. Sementara mulutnya tak putus-putus ia derukan kisah pemuda bernama Malem Dewa yang harus berangkat ke negeri di atas awan untuk menemui kekasihnya. Berbagai karakter dengan cepat saling berganti di tubuh dan suara Teungku Adnan. Ia dapat menjadi hulubalang, laskar Aceh, jadi nenek penjaga gubuk Buntul Kubu, pemuda yang mencuri baju sang puteri atau seorang anak yang merindukan sang ibu. Kekuatan yang paling mendasarkan dalam teater tutur PM TOH adalah daya improvisasi penyaji yang sangat tinggi. Gaya komedikalnya membawakan hikayat masa lalu dikaitkan dengan peristiwa masa kini. Kemampuan Teungku Adnan menyiasati pertunjukan ternyata dapat menghadirkan sejumlah tokoh di atas pentas dengan vokal yang berubah-ubah. Kini Sang Maestro, seniman Traubador Dunia meninggal dunia dalam usia 75 tahun, tanpa ada pengganti. Suatu waktu, ketika penulis masih di Aceh sempat berdiskusi dengan beliau; Soel, saya pernah tawarkan program regenerasi kepada Gubernur kita, dan Kakanwil Depdikbud Aceh, kita cetak buku tentang Hikayat-hikayat Aceh yang belum tersebar itu. lalu kita tuliskan bagaimana persiapan menjadi aktor PM TOH, setelah itu kita sebarkan ke sekolah dasar (SD). Di SD ada mata pelajaran Hikayat dan PM TOH, lalu setiap tahun kita adakan festival menulis hikayat dan PM TOH kalau ini dilakukan pasti akan muncul dan lahir penerus atau pengganti saya. Tapi apa jawab mereka, kita pertimbangankan, hanya jawaban basa-basi (Wawancara, Teungku Adnan PM TOH, 20 Januari 1989). Sekarang Teungku Adnan PM TOH telah meninggalkan kita tanpa mewariskan PM TOH kepada siapapun. Beliau tak akan berdosa dan berduka sebab beliau semasa hidupnya sudah pernah menawarkan ini kepada pihak Pemerintah Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD), tapi tidak ada respon sedikitpun. Benar Teungku Adnan, bukan hanya Aceh yang kehilangan Traubadur Dunia seluruh dunia juga merasa kehilangan Teungku Adnan, teungku memang tidak rugi. Aceh khususnya dan Indonesia umumnya yang rugi sebab tak mau merawat penerus pencerita Aceh. Abad ke-12 di Perancis Selatan lahir seorang Traubadur. Lalu 900 tahun kemudian
186

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

di seluruh dunia hanya di Aceh muncul kembali seorang traubadur dunia yakni Teungku Adnan, tapi sayang masyarakat dan pemerintah Aceh tidak mau peduli. Sekarang sang traubadur benar-benar sudah tiada, berapa ratus ribu tahun lagi kita harus menunggu untuk kelahiran seorang traubadur seni tradisi yang luar biasa itu. Kesenian Aceh mampu menjadi transformasi moral dan sosial bagi masyarakat Aceh.

Sandiwawara Keliling Gelanggang Labu Pemain sandiwara keliling gelanggang labu tidak pernah belajar dramaturgi, ilmu pemeranan, dan penyutradaraan secara formal, mereka memperoleh keahlian secara non-formal namun mampu mensugestif penonton.Luar biasa. Gelanggang Labu merupakan sandiwara keliling tradisional Aceh. Sandiwara ini keliling sudah ada sejak tahun 1950an. Sandiwara ini mulai tumbuh dari sebuah desa Gelanggang Labu Kecamatan Peukusangan dahulu kabupaten aceh utara sekarang kabupaten Biureun, NAD. Ketika teater ini mulai merakyat, dan diterima ditengah-tengah masyarakat, dijulukilah dengan istilah Gelanggang Labu. Awal tahun 70-an mulai menjamur grup-grup sandiwara di seluruh Aceh, diantaranya yang terkenal; Benteng Harapan, Jeumpa Aceh, Sinar Jeumpa, Sinar Desa, Sinar Harapan, Mutiara Jeumpa, Seulanga Dara, Cakradonya, dan Geunta Aceh. Ciri-ciri pertunjukan Gelanggang Labu memiliki kesamaan yang kontras dengan Komedi Stamboel yang dilakukan August Mahieu (1860-1906). Hal ini dapat dilihat dari reportoar yang dipilih, samasama mengangkat cerita 1001 malam dari hikayat-hikayat Aceh (haba), seperti; Buloeh Peurindu, Bawang Mirah Ngoen Bawang Puteh, Ahmad Rhangmanyang, Putroe Ijoe, dan lain-lain. Ciri-ciri yang mendasar, sebelum permainan dimulai para aktornya memperkenalkan diri sekaligus dengan peran apa yang dia mainkan. Pembagian babak atau episode dilakukan sangat longgar dengan adanya selingan antara babak yang diisi dengan nyanyian (band), lawak, serta tari-tarian. Adeganadengan gembira atau sedih dalam gelanggng labu memang dilakukan dengan dialog bukan dengan opera (nyanyian) seperti dalam komedi stamboel. Cerita-cerita yang akan dimainkan oleh pelakonnya hanya diceritakan secara garis besarnya saja kepada pemain (berbentuk wos), dan lebih banyak pemain yang melakukan improvisasi. Sebagai aktor di187

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

pentas sandiwara keliling harus mampu menjadi penyanyi, pelawak dan penari sekaligus. Sementara bentuk pemanggungannya, sandiwara keliling Gelanggang Labu sangat sederhana dengan konstruksi panggung berukuran 9X6 meter didirikan menggunakan drum kosong yang diatasnya diletakkan papan, seng sebagai atap, batang kayu sebagai penyangga, triplek untuk dinding, kain yang dilukis sebagai dekorasi sesuai tuntutan cerita dan lampu reektor kecil untuk penerang dan pengubah suasana. Lokasi pertunjukan biasanya dilakukan di tanah lapang, di tengah areal sawah setelah usai panen padi. Grup sandiwara ini hidup dan beranakpinak di dalam panggung tersebut (berumah), mereka melakukan keliling ke seluruh Aceh, dan berdiam (melakukan pertunjukan) di suatu daerah minimal dua bulan setelah melakukan perjalanan dan menetap di daerah lain. Umumnya pemain sandiwara keliling Gelanggang Labu tidak pernah memiliki atau mempelajari dramaturgi secara formal. Semuanya mengalir begitu saja dengan pengetahuan otodidak yang mereka miliki. Rata-rata latar belakang pendidikan mereka hanya sampai Sekolah Dasar. Maka tidak heran bila siang hari mereka bergaul dengan masyarakat dimana mereka melakukan pertunjukan, bahkan ada yang menjadi buruh kasar di tempat itu. Ibnu Arhas (sekarang mantan Anggota DPRD Kabupaten Pidie), seorang aktor yang pernah melakukan pertunjukan di Takengon, waktu siang hari ia berperan sebagai buruh pemetik kopi dengan pakaian kumal. Namun pada malam hari dia tampil sebagai mahabintang di atas panggung, dipuja-puji oleh penonton, setiap dia muncul selalu saja mendapat applaus dari penonton. Keterbatasan ilmu tentang bermain drama bukanlah suatu halangan bagi mereka untuk tetap terus bertahan. Umar Abdi, Ahmad Harun, Yusuf Syam, serta Idawati merupakan tokoh-tokoh teater keliling yang sadar betul atas kekurangan mereka, lalu melakukan pembaharuan agar masyarakat penonton tidak bosan. Mereka menciptakan tema-tema cerita baru yang digemari masyarakat, seperti tragedi rumah tangga, pengkhianatan, kemunakan, masalah ambisiusnya manusia. Ide atau gagasan rata-rata bertemakan sosial dengan mudah diperoleh sutradara teater keliling, sebab mereka dekat dengan masyarakat sehingga tahu persis tentang peristiwa yang muncul ditengah masyarakat. Sutradara
188

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

mengangkat realitas sosial yang tumbuh dan hidup dimana mereka melakukan pementasan, lalu diadopsi menjadi cerita yang menarik lewat kekuatan improvisasi para aktornya. Keunggulan inilah yang membuat teater keliling ini mampu bertahan hidup dan memperoleh sambutan hangat dari penonton di seluruh Aceh. Cerita yang ditampilkan selalu aktual dan kontekstual dengan daerah dimana mereka melakukan pertunjukan. Misalnya, cerita Cut Maruhoi diperankan Ahmad Harun (lelaki yang menjadi wanita) mengisahkan tentang seorang ibu mertua yang cerewet, jahat dan sadis. Ahmad Harun benar-benar mampu masuk ke dalam penokohan Cut Maruhoi, sehingga nama tersebut begitu melekat dan populer di tengah masyarakat Aceh. Bahkan dalam pergaulan sehari-hari Ahmad Harun sering dipanggil Cut Maruhoi. Namun gangguan keamanan di Daerah Istimewa Aceh (Sekarang NAD) yang mulai pecah pada tahun 1989, sangat terasa dampaknya bagi perkembangan insan seni untuk melakukan kreatitas berkesenian. Aceh yang memiliki teater tradisional atau teater tutur, seperti; PM TOH, Sandiwara keliling Gelanggang Labu, dan Biola Aceh, serta Didong mulai terusik untuk berproses. Kemandekan kehidupan panggung keliling sangat terasa karena sering di cekal oleh Pemda dengan cara tidak memberi izin pertunjukan, alasannya gangguan keamanan. Seruan ini dikeluarkan PEMDA Aceh karena beberapa pertunjukan sebelumnya di daerah-daerah rawan konik sering terjadi keributan. Pertunjukan sirkus di Lhoekseumawe pada tahun 1989 sempat menimbulkan kekacauan, dan panggung artis ibukota Dina Mariana pada tahun 1990 sempat dibakar oleh gerombolan tak di kenal. Mengigat hal itulah pertunjukan sandiwara keliling Geunta Aceh pimpinan Umar Abdi pada pertengahan tahun 1991 di desa Blang Malu Kecamatan Mutiara Pidie, batal melakukan pertunjukan karena izinnya dicabut. Juga karena adanya operasi militer malam. Maka, banyak panggung sandiwara keliling pada dekade 90-an terpaksa tutup sehingga pemainnya banyak yang menganggur. Sebagian terpaksa pulang kampung menjadi petani atau buruh kasar. Awal dekade 1992, kondisi keamanan mulai kondusif, empat tokoh seniman teater keliling; Umar Abdi, Yusuf Syam, Ahmad Harun, dan Idawati mencoba kembali membangun panggung keliling. Situasi semakin membaik, dan pertunjukan di beberapa kota Aceh Utara, Aceh
189

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Besar, Aceh Tengah dan Sabang mulai diizinkan untuk melakukan aktivitasnya. Suasana seperti itu, ternyata tidak bertahan lama. Tahun 1998 dengan berhasilnya gerakan reformasi yang dilakukan mahasiswa seluruh Indonesia untuk menumbangkan Orde Baru, kenyataannya menjadi lain. Daerah Istimewa Aceh kembali bergolak, dan GAM (Gerakan Atjeh Merdeka) kembali bergerak, mahasiswa serta ulama dayah seAceh menuntut referendum. TNI dan POLRI kembali menjalankan operasi. Kondisi Aceh kembali mencekam dan tak menentu, suasana yang tak menentukan itulah menyebabkan izin pertunjukan tidak dapat diberikan kepada sandiwara keliling Gelanggang labu, lagi-lagi dengan dalih keamanan. Nah, menurut amatan penulis dari tahun 1998 hingga sekarang 2009, tidak pernah terdengar di Aceh ada pertunjukan Sandiwara keliling Gelanggang Labu dipentaskan. Grup-Grup yang pernah jaya, seperti hilang di telan bumi, seniman-seniman panggung terpaksa beralih profesi, menjadi penjual ikan, petani, buruh kasar dan lain sebagainya demi menghidupi keluarganya. Kemandekan kehidupan panggung yang disebabkan oleh gangguan keamanan betul-betul membuat para pelakon, kru panggung dengan seluruh awaknya kehilangan pekerjaan tetap yang telah diyakininya berpuluh-puluh tahun pekerjaan itu mampu menghidupi keluarganya. Sekaligus mampu membangun realitas sosial bagi penontonnya. Sementara disisi lain, daerah Aceh secara tidak langsung telah memusnahkan kekayaan keseniannya. Betapa tidak, bila hal ini terjadi terus-menerus teater keliling Aceh hanya tinggal nama sebab tak ada lagi pewarisnya. Bila tak ada pemanggungannya secara otomatis para aktor panggung keliling semakin lanjut usia dan tak ada yang mampu mewarisinya untuk melanjutkan grup-grup sandiwara keliling. Sengketa yang terjadi di tanah rencong tidak hanya menelan korban manusia, namun yang lebih menyedihkan dapat menelan sisi kebudayaan dan kesenian.jangankan sandiwara keliling Gelanggang Labu, denyut nadi Taman Budaya Aceh juga ikut terkena imbasnya. Taman Budaya Aceh sejak tahun 1970-an sampai 1997 aktif melaksanakan pertunjukan teater modern Indonesia di Aceh tiap bulan, seperti; Teater Mata pimpinan Almarhum Maskirbi, Teater Bola pimpinan Almarhum Junaidi Yacob, Teater Gita Pimpinan Junaidi Bantasyam, Teater Kuala Pimpinan Yun
190

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Casalona, Teater Peduli Pimpinan Almarhum Nurgani Asyik, Teater Alam Pimpinan Din Saja, Sanggar Cempala Karya Pimpinan Sulaiman Juned, Teater Kosong Pimpinan T.Yanuarsyah. Namun awal 1998 pertunjukan teater Modern Indonesia di Aceh mulai hilang denyutnya. Hal ini disebabkan karena gangguan keamanan. Denyut nadi kesenian Aceh seperti terhenti. Taman Budaya sepi pertunjukan. Orang-orang tak lagi membicarakan kesenian, orang-orang lebih banyak membicarakan politik, kematian dan keadilan. Hanya seniman sastra (penyair) dan pelukis yang masih terus melakukan prosesnya. Para pekerja teater banyak yang beralih profesi, ada yang menjadi penyair, dan cerpenis. Sampai kapan hal ini terus terjadi. Andaikan situasi Aceh dibiarkan larut tanpa penyelesaian akhir, maka Aceh secara global akan kehilangan seni budayanya yang sangat kaya tersebut. Kita rindu tokoh Cut Maruhoi muncul di atas panggung, rindu lawakan yang menggelitik dari si Mae (Ismail) yang mampu melahirkan derai tawa. Rindu Idawati Sri panggung sandiwara keliling yang mampu menjadi aktris, penyanyi sekaligus pelawak bahkan mampu menari. Namun kini dimana mereka para punggawa sandiwara keliling Gelanggang Labu bermuara. Apakah mereka ikut terkena imbas konik panjang di Aceh, atawa mereka tergerus air raya (tsunami) beberapa tahun yang lalu pada 26 Desember 2004. Koniks-Tsunamisengketa tak pernah reda mengancam seni budaya Aceh pada nadir kepunahan.

Biola Aceh Kesenian biola Aceh telah hidup di tengah masyarakat semenjak jaman colonial Belanda. Namun berkembang di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Besar dan Pidie sejak tahun 50-an. Penamaan terhadap kesenian ini karena penggunaan instrumen biola sebagai instrumen utamanya. Di Kabupaten Aceh Utara kesenian ini diberi nama Mop-mop sedangkan di Aceh Besar dan Kaputen Pidie, biola Aceh ini di sebut Genderang Kleng. Biola yang digunakan adalah biola violin. Kesenian ini dimainkan paling banyak 5 (lima) orang pemain, masing-masing satu orang bertindak sebagai violis (syech) yang merangkap vokalis, pemimpin grup sekaligus sebagai sutradara yang menyusun dialog untuk menyanyi. Penabuh gendang, penyanyi, dan dua orang lagi sebagai penari dan pelawak, berperan sebagai Linto Baro dan Dara
191

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Baro (suami Istri atau marapulai kalau di Minangkabau) yang melakukan gerak tari dan banyolan sesuai irama Biola dan pukulan Rapai. Pertunjukannya membutuhkan panggung hanya 6 X 6 meter. Ciri khasnya adalah adanya tarian, cerita (dialog), nyanyian lewat berbalas pantun dengan ungkapan-ungkapan lucu, menggelikan, dan penuh humor, serta para pemainnya memakai pakaian yang warnanya kontras. Biola Aceh komunikasi disampaikan lewat kekuatan humor, dan secara tidak langsung terselip nilai kritik sosial melalui pantunnya yang kocak. Kesenian ini sampai sekarang masih mampu berinteraksi dengan masyarakarat. Ini terbukti dari setiap kali pertunjukannya mendapat sambutan meriah dari penonton, penyulut tawa adalah pantunnya yang jenaka, segar dan menggelitik terkadang terkesan porno. Meskipun pola dasarnya paduan musik dengan nyanyian, namun magnitumnya justru pada gerak tubuh dan tingkah pemainnya yang kocak membuat penonton bertahan sampai dini hari. Pantun dan nyanyian, serta dialog dari penari berisi cerita lucu tentang perkawinan, dan rumah tangga yang sarat dengan masalah sosial. Juga diselingi cerita mertua atau isteri yang cerewet. Kisah rumah tangga tentang wanita yang bersuami tetapi mencintai pria lain. Sebaliknya pria yang telah memiliki istri namun masih mencari wanita lain. Mari kita nikmati salah satu pantunnya:
Ta ek u glee tajak koh sigeudum Lam kayee ruhung umpung nggang dama Gajah di dumpek, rimueng di taum Loen dhoe geuliunyeueng, loen jak bak gata. Artinya: Mendaki gunung memotong pohon sigeudum Di lobang kayu, bangau bersarang Gakah menguak, harimau mengaum Ku tutu telinga, ku datang padamu.

Penonton turut terbahak-bahak menyaksikan bunyi biola yang terdengan sumbang, ditingkahi suara gendang, dan disahuti pantun yang jenaka. Apalagi dihadiri penari joget yang adalah lelaki berperan sebagai wanita. Tampil dengan dandanan menor dan mencolok, terkadang mengenakan rok dan blus, tak jarang memakai kebaya dengan selendang berwarna hijau atau merah menutup kepala. Sementara penari pria
192

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

mengenakan pakaian biasa, namun baju atau jasnya di pakai terbalik, terkadang juga memakai sepatu yang kebesaran. Jadi menyaksikan pertunjukan biola Aceh, menyaksikan pemain biola, penabuh gendang yang dikombinasikan dengan berpantun, menari, dan melawak. Kesenian biola Aceh, dalam proses adaptasi menyerap nilai-nilai budaya islam, tampak pada tekhnik memainkannya yaitu mengiringi vokal dengan mengikuti melodi vokal yang ditambah dengan nada hias. Melodi dasar lagu sama dengan melodi dasar biola, serta digarap secara bervariasi. Masyarakat Aceh yang menganut sistem feodal, namun dipengaruhi oleh unsur-unsur agama Islam, terjadi interaksi sosial yang memberikan dampak perubahan terhadap budaya. Bentuk perubahan tersebut adanya adaptasi, akulturasi, asimilasi, dan integrasi dengan kesenian ronggeng yang berasal dari Sumatera Timur. Proses adaptasi terjadi ketika terjadi pertandingan kesenian antara Aceh dengan Sumatera Timur di jaman Belanda. Sumatera Timur kesenian yang ditampilkan ronggeng. Aceh sepulang dari pertandingan tersebut, menciptakan kesenian yang hampir mirip ronggeng, diberinama Biola Aceh (Wawancara Syech Mae Pidie, 20 Januari 2005). Sampai saat ini masih hidup empat orang penggesek biola, yaitu Syech Abdul Gani Krueng Mane, Syech Maneh, dan Syech Mae (Ismail), serta Syech Ali Basyah. Menurut mereka, biola sebagai alat musik instrumen kesenian tradisi Aceh yang berasal dari Mesir, walau biola pertama sekali diperkenalkan di Italia tahun 1719. Sama persis seperti alat musik konvensional barat. Perbedaannya terletak pada metode dalam memainkannya, penggesek biola Aceh memainkan biolanya secara terbaik. Progresi melodi pada biola aceh membentuk harmoni vertikal dengan interval kwint. Teknik memainkannya sangat mirip dengan rabab di Minangkabau, satu nada ditahan sementara nada lainnya bergerak membentuk progesi melodi. Sudah selayaknyalah kesenian ini perlu dilestarikan. Perkembangan Biola Aceh selanjutnya memang jalan ditempat jika tidak mau dikatakan punah. Hal ini, disebabkan h terjadinya konik bersenjata dan tsunami di Aceh. Secara tidak langsung generasi muda mengalami fase a-history, dan kurangnya pengetahuan, bahkan banyak yang tidak mengenal tentang biola Aceh. Di samping itu, perkembangan musik modern mengakibatkan minat generasi muda terhadap biola Aceh menurun.
193

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Padahal, biola Aceh sebagai salah satu seni tradisi yang populer dapat menjadi media komunikasi sosial antara sesama etnis di Aceh yang multi-etnis.

Penutup Kesenian memang mampu menjadi perekat antar sesama. Teatermusik-tari dan kesenian lainnya membuat masyarakatnya luruh dalam kearifan lokal menghilangkan perbedaan, dan menumbuhkan kebersamaan. Manusia acap kali saling bersilang pendapat tentang idealisme yang mengakar dalam diri. Namun kesenian cenderung merekatkan keretakan manusia tersebut. Aceh kehilangan juru bicara. Indonesia kehilangan seniman besar. Teungku Adnan PM TOH-Cut MaharuhoiIdawati-Syech Abdul Gani Krueng Mane-Syech Mae-dan Syech Ali Basyah. Pasca konik dan tsunami, apakah seni-seni tradisional yang maha agung itu akan hidup, atau seni Aceh tersebut akan ikut terkubur bersama ratusan ribu rakyat Aceh yang entah dimana makamnya? Generasi muda Aceh sekarang ini pasti banyak yang tidak kenal lagi; Dangderia, Peugah Haba, Poh Tem, Dalupa, Pho, Didong, Guel, Biola Aceh, atau Sandiwara Gelanggang Labu. Seniman, pihak yang terkait, para intelektual seni, perlu duduk bersama bicarakan pentingnya menghidupkan kesenian tradisi. Tugas lembaga pendidikan tinggi seni, dinas pariwisata dan budaya, seniman, atau Kementerian Pendidikan Nasional berkenan menjadikan seni lokal menjadi kurikulum nasional agar seni tradisi populer dapat menjadi media komunikasi sosial. Lokalitas seni sebagai fenomena budaya diletakkan dalam perspektif kehidupan global untuk melakukan kontruksi indentitas diri. Konsep kultural dalam nilai etnisitas keacehan untuk mengidentikasikan masyarakat jadi ahli waris dari seni tradisi sekaligus sebagai pelaku bagi transformasi identitas lokal yang independen. Seni pertunjukan seperti teater tutur PM TOH, Sandiwara Gelanggang Labu, dan Biola Aceh memang kesepian dalam peti, tetapi tetap berinteraksi dengan jamannya. Sebab seni tradisi Aceh selalu bersentuhan secara aktual dan universal lewat konsep kebersamaan, dan mampu mengikuti kemajuan jaman. Seni tradisi Aceh, tak usah mempertentangkan konsepsi pertunjukan antara tradisi dengan kontemporer. Sebab pertunjukan seni tradisi Aceh sesungguhnya telah melaksanakan
194

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

konsepi pertunjukan dalam tataran kontemporer. Permasalahan yang perlu diselesaikan, bagaimana seni tradisi Aceh dapat dihidupkan kembali. Oleh karena itu, event-event kesenian bertaraf nasional dan internasional seperti; Pekan Kebudayaan Aceh, Festival Baiturrahman, dan Diwana Cakradonya perlu dikembangkan. Kegiatan ini mampu menumbuhkan seni-seni tradisi yang mulai punah. Jika ketiga seni ini hilang maka tanpa kita sadari budaya Aceh yang sarat dengan muatan penyadaran moral, agama, adat dan sosial terkikis dari kehidupan bermasyarakat. Kesenian tradisi di Aceh tidak hanya dianggap sebagai media hiburan semata-mata, tetapi mampu menjadi sebagai media komunikasi. Semoga seni tradisi Aceh ini tetap hidup dan berkembang. Semoga!
Daftar Pustaka A.Adjib Hamzah., 1984. Pengantar Bermain Drama. CV Rosda Bandung Agus Noor., 2006. Monolog, Aktor di Panggung Teater. Harian Kompas Jakarta: 26 Maret 2006 Basri Daham., 2007. Gelitik Biola Aceh Makin Langka. Serambi Indonesia Banda Aceh: 30 Agustus 2008 Budiman Sulaiman., 1988. Kesusastraan Aceh. Unsyiah Press Banda Aceh Efeendy., 1999. Ilmu Komunikasi; Teori dan Praktek. Bandung: Rosda Karya Herwanfakhrizal., 1996/1997. Ekspresi dalam Seni Teater. Jurnal Ekspresi Seni Program Studi Pascasarjana UGM, 1996/1997 Margaret J. Kartomi., 2005. dalam Asvi Warman Adam, Peneliti Musik Aceh Pasca Tsunami, Harian Kompas Jakarta: 18 Desember 2005 Mursal Esten., 1999. Kajian Transformasi Budaya. Bandung: Penerbit Angkasa Rahman Sabur., 2003. Pengantar Drama Monolog Enam Tuan Arthur S.Nalan Etno Teater Bandung Sahid, Nur (ed)., 2000. Interkulturalisme Teater. Yogyakarta: Tarawang Pers Santosa., 1993. Ancangan Semiotika dan Pengkajian Susastra. Bandung: Angkasa Sulaiman Juned., 1999. Teater Tutur Aceh: Adnan P.M.T.O.H Trobadour yang Menulis di atas Angin. Jurnal Palanta Padangpanjang: STSI Padang Panjang ---------------------., 2000. Konik di Aceh: Sandiwara Keliling Gelanggang Labu Terancam Punah. Jurnal Palanta Padangpanjang: STSI Padangpanjang VCD Hikayat Malem Dewa. Produksi Jurusan Teater STSI Padangpanjang, 1998
195

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

196

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Penggunaan Seni Tradisi dalam Media Komunikasi Sosial di Sumatera Utara


Drs. Hajizar, M.Sn
Dosen Jurusan Seni Karawitan STSI Padang Panjang

Pendahuluan embicarakan masalah penggunaan seni tradisi dalam media komunikasi sosial di Sumatera Utara merupakan obyek diskusi yang sangat luas, materi seni yang banyak, dan beratus konteks pertunjukannya, karena propinsi Sumatra Utara didiami oleh banyak etnis yang memiliki konsep budaya, bahasa, dan sistem komunikasi sosial yang spesik sesuai dengan latar belakang keturunan nenek moyang mereka masing-masing. Sungguh pun begitu, ketersediaan data pendukung yang penulis miliki, ditambah dengan pengalaman praktikal selama empat tahun menjadi pelaku seni di Sumatera Utara, baik seni Melayu, Minang, maupun aneka seni dari etnis-etnis Batak adalah cukup memberikan rasa optimis untuk merealisasikan sasaran minimal tema tulisan di atas. Berlatar kompleksnya sistem kehidupan masyarakatnya, dan bervariasi konsep seni yang dimiliki mereka membawa penulis untuk memilih pendekatan induktif untuk mengidentikasinya. Outline dasar yang menjadi fokus berkisar tentang fungsionalnya suatu genre seni sebagai mediasi untuk pencapaian niat atau maksud diadakannya suatu upacara atau acara yang berhubungan dengan religius/keagamaan, ritual adat, atau hiburan oleh suatu etnis di daerah Sumatera Utara. Setiap etnis asli Sumatera Utara menghendaki keharmonisan dan

197

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

kelanggengan sistem kemasyarakatan (kekerabatan) dan struktur sosial yang diwarisi mereka, serta tercapainya kebahagiaan hidup sesudah mati melalui sistem kepercayaan yang dianut, atau diperolehnya kesenangan batin melalui hiburan, maka wujudlah aneka upacara ritual adat, upacara religi/keagamaan, dan acara-acara sosial lainnya. Mayoritas wahana yang dipilih oleh etnis-etnis Sumatera Utara dalam rangka tercapainya pengharapan di atas adalah kesenian. Kesenian diapresiasi sebagai mediasi yang mujarab untuk menjembatani komunikasi horizontal antar individu, antar kelompok, dan komuniksi vertikal antara manusia dengan supranatural yang gaib, dengan Tuhan atau Sesuatu yang dianggap berperan sebagai Tuhan Yang Maha Kuasa penentu jalannya kehidupan di dunia dan hidup sesudah mati. Sudah sama dipahami, bahwa konteks upacara dan acara-acara seremoial merupakan suatu produk sosial dan salah satu komunikasi yang wujud di dalamnya adalah komunikasi sosial. Tulisan ini tidak secara gamblang membicarakan masalah komunikasi sosial secara konseptual, tetapi berdasarkan penggunaan dan berfungsinya suatu produk seni dalam suatu konteksnya berarti sudah menunjukkan keberhasilan suatu komunikasi, karena keyakinan tercapainya maksud atau niat pelaksana upacara, atau hiburan pada konteksnya adalah setelah terkoneknya maksud itu dengan resepsi obyek upacara tersebut. Dengan demikian, tulisan ini disajikan dalam empat bagian. Bagian pertama ini berposisi sebagai pembentukan frame pemikiran terhadap kelayakan tema ini menjadi sebuah informasi yang bermanfaat. Bagian kedua memperlihatkan sekilas demogra wilayah dan penduduk Sumatera Utara untuk menggambarkan keadaan hunian yang bersinerji dengan kompleksitas konsep sosial masyarakat yang menghuninya. Sedangkan bagian ketiga merupakan informasi masa silam yang difungsikan sebagai landasan penting untuk melihat kondisi kehidupan kesenian masyarakat Sumatera Utara masa sekarang. Bagian keempat menfokuskan diskusi kepada dinamika kehidupan masyarakat dan kreativitas seni yang terjadi dalam konteks perubahan di masa sekarang dan prospek keberlanjutannya di masa depan. Kemudian bagian kelima sebagai konklusi dari temuan yang diperoleh dari hasil keseluruhan deskripsi tulisan. Sekilas Demogra dan Wilayah Penduduk
198

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Sumatera Utara sebuah provinsi yang keempat terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Menurut hasil Sensus Penduduk (SP) tahun 2002, penduduk Sumatera Utara berjumlah 11,85 juta jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara pada tahun 2002 menjadi 165 jiwa per km. Selain geogras Propinsi Sumatera Utara yang terbentang dari daerah pesisir Timur ke pesisir Barat, dan juga meliputi 419 pulau yang berada di luar pulau Sumatera. Kepulauan Nias yang terletak di lepas pantai pesisir Barat Samudera Hindia merupakan pulau utama dan pulau-pulau kecil lain di sekitarnya. Kepulauan Batu yang terletak di Tenggara kepulauan Nias terdiri dari 51 pulau, di antara 4 pulau yang terbesar: Sibuasi, Pini, Tanah Bala, Tanah Masa. Selain itu terdapat beratus pulau lain di Samudera Hindia yang termasuk propinsi di Sumatera Utara, di antaranya pulau Imanna, Pasu, Bawa, Hamutaia, Batumakalele, Lego, Masa, Bau, Simaleh, Makole, Jake, dan Sigata, Wunga. Sedangkan pulau yang terluar dari sekian ratus pulau tersebut, ialah pulau Simuk (kepulauan Nias), dan pulau Berhala di Selat Malaka. Dengan begitu, kondisi alam Sumatera Utara pada dasarnya dapat dibagi atas: Pesisir Timur, Pegunungan Bukit Barisan, Pesisir Barat, Kepulauan Nias, dan Kepulauan Batu1. Berlatar luas daerah dan jumlah penduduk Sumatera Utara pada dasawarsa terakhir ini, serta diprovokasi oleh semangat otonomi daerah untuk memacu pertumbuhan pembangunan di segala bidang, maka Pemda Tingkat II di Sumatera Utara yang semula berjumlah sekitar 17 kabupaten/kota, telah dimekarkan menjadi 29 Kabupaten/kota (22 kabupaten, dan 7 kota): Kabupaten Angkola Sipirok, Asahan, Batubara, Dairi, Deli Serdang, Humbang Hasundutan, Karo, Labuhan Batu, Langkat, Mandailing Natal, Nias, Nias Selatan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Pakpak Bharat, Samosir, Serdang Bedagai, Simalungun, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, Toba Samosir; dan Kota Medan, Binjai, Padang Sidempuan, Pematang Siantar, Sibolga, Tanjung Balai, Tebing Tinggi. Potensi bumi Sumatera Utara yang luas dan subur telah mewujudkan perkebunan (karet, coklat, teh, kelapa sawit, kopi, cengkeh, kelapa, kayu manis, dan tembakau) dan pertambangan minyak bumi, gas alam, batu bara. PT. Inalum di Kuala Tanjung Kabupaten Asahan terdapat
1 Sumber Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

199

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

yang bergerak di bidang penambangan bijih dan peleburan aluminium yang merupakan satu-satunya di Asia Tenggara. PLTA Asahan yang merupakan terbesar di Sumatra terdapat di Kabupaten Toba Samosir. Di samping itu, bermunculan lagi beraneka pabrik di berbagai kota sehingga kota Medan telah menjadi kota industri utama di Sumatera. Kesemuanya ini telah mengundang pendatang dari etnis lain merantau, mengadu nasib masuk ke daerah Sumatera Utara dan berdomisili sesuai sentra-sentra aktivitasnya masing-masing. Sentra aktivitas pada berbagai lokasi ini yang bersentuhan langsung dengan sosio-budaya lokal yang beragam pula sebagai lingkungan kerja dan kehidupan mereka. Setiap etnis (asli dan pendatang) di Sumatera Utara menggunakan Bahasa Ibu masing-masing, dan komunikasi dalam pergaulan umum selalu menggunakan Bahasa Indonesia dialek Melayu. Namun, persoalan kepercayaan memiliki fenomena yang menarik dalam kehidupan masyarakat Sumatera Utara yang heterogen tersebut. Agama Islam menjadi agama mayoritas yang dianut oleh suku Melayu, Pesisir Sibolga, Mandahiling, Minang, Aceh dan Jawa; agama Kristen (Protestan dan Katolik) terutama dipeluk oleh suku Batak Toba, Batak Pakpak Dairi, Batak Simalungun, sebagian Batak Karo, dan suku Nias; Agama Hindu terutama dipeluk oleh keturunan India yang minoritas di perkotaan; Buddha terutama dipeluk oleh suku Tionghoa di perkotaan; Konghucu terutama dipeluk oleh suku Tionghoa di perkotaan. Bahkan sebagian suku Batak Toba dan Nias masih menganut kepercayaan Animisme yang bernama Pelebegu Parhabonaron. Begitu juga masih terdapat sejenis aliran kepercayaan bernama Parmalim yang dianut oleh sebagian suku Batak Toba yang berpusat di Huta Tinggi. Realita di atas telah menjadikan Sumatera Utara didiami oleh multietnis yang terdiri dari suku asli dan suku pendatang. Suku asli ialah 1) suku Melayu (Pesisir Timur Sumatera Utara); 2) Pesisir Sibolga (Pesisir Barat Sumatera Utara); 3) suku Batak (Toba, Karo, Simalungun, Pakpak Dairi, Angkola, dan Mandahiling); 4) suku Nias. Suku pendatang ialah Jawa, Minang, Aceh, Tionghoa, India Keling, dan lainnya. Dengan demikian, lengkaplah identitas Sumatera Utara sebagai propinsi multi etnis di Sumatera, dan tentu beraneka pula corak seni tradisional yang berfungsi membentuk komunikasi sosial dalam kehidupan kotakota di Sumatera Utara.

200

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Identikasi Sosio-Seni Warisan Etnis-Etnis Asli Sumatera Utara Berdasarkan identikasi terhadap tradisi sosial dan seni dari etnisetnis asli yang mendiami Sumatera Utara dijumpai beraneka ragam aktivitas, baik berbentuk sistem kemasyarakatan yang diwarisinya, maupun berbentuk upacara-upacara tradisional yang diadatkan dalam bentuk seremoni adat masing-masing sebagai konsekuensi dari sistem kemasyarakatan yang dianut mereka. Berikut ini, kita coba melihat sampel genre-genre seni utama dari etnis-etnis asli Sumatera Utara yang berhubungan dengan fungsinya sebagai pembangun komunikasi sosial tradisional dalam kelompok-kelompok etnis masyarakatnya masing-masing. Pertama, kedudukan musik tradisional Gondang Sabangunan bagi masyarakat Batak Toba dipakai dalam kepentingan upacara religius untuk mengatur hubungan antara peserta upacara dengan Tuhan dan dunia gaib, serta lingkungannya. Melalui penyajian Gondang Sabangunan disampaikan permohonan peserta upacara kepada Tuhan-Nya. Menurut Marpaung, bahwa salah satu contoh dari repertoar tersebut adalah Gondang Debata Sori yang dalam hal ini adalah nama salah satu dari Tuhan menurut Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di dalam masyarakat Batak Toba. Dengan demikian, gondang-gondang yang dimainkan pada kegiatan religius itu bersifat sakral, dan tidak dapat sembarangan dimainkan2. Begitu pun pada upacara adat, umumnya peranan Gondang Sabangunan berfungsi sebagai pengiring tarian (tortor) dari kelompok masyarakat yang mempunyai marga (clan) yang terkait sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu (Tungku Nan Tiga). Pada setiap upacara adat, gondang dan tortor selalu hadir menjadi alat mengekspresikan perasaan dan maksud. Nomor-nomor gondang yang disajikan selalu didahului dengan ungkapan-ungkapan tradisional yang disampaikan oleh partisipan upacara melalui tonggo-tonggo. Apabila dikaji secara seksama makna ungkapan-ungkapan tradisional tersebut sifatnya universal dan dapat bertahan sepanjang masa3. Ungkapanungkapan itu dapat mengakrabkan pergaulan sehari-hari para peserta
2 3 Banggal Marpaung, 1994. Ansambel Musik Gondang Sabangunan. Buku Buklet. Jakarta: Proyek Pembinaan Kesenian Depdikbud; hal 2. Banggal Marpaung, 1994. Ansambel Musik Gondang Sabangunan. Buku Buklet. Jakarta: Proyek Pembinaan Kesenian Depdikbud; hal 3.

201

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

upacara, bahkan menjadi sarana penguat identitas dan pembangun rasa solidaritas sesama antar individu dan antar kelompok masyarakat yang seatap dalam suatu upacara adat. Dalam masyarakat lokal-tradisional Batak Toba, Gondang (musik) memiliki peranan yang penting dalam aktivitas kehidupan mereka, tidak hanya dalam memenuhi berbagai kebutuhan sosialnya, tetapi juga meliputi berbagai hal terkait dengan hal yang bersifat spiritual. Gondang utamanya dimainkan dalam kaitannya dengan berbagai ritual maupun upacara keagamaan, disamping juga dipakai dalam konteks aktivitas seremonial adat. Pentingnya peranan ini dapat dilihat kaitannya dengan salah satu loso dasar masyarakat Batak Toba, dimana gondang dianggap menjadi alat utama untuk mencapai dan membangun hubungan antara manusia dan Sang Pencipta (Mulajadi Na Bolon)4. Tersirat di sini, bahwa seorang pemusik Batak Toba berfungsi sebagai mediator utama dalam menjalin hubungan antar dunia manusia dengan dunia para dewa. Tentu pemusik gondang dituntut untuk memahami sepenuhnya tentang struktur dan materi sebuah ritual/upacara yang sedang dimediasinya. Kedua, etnis Batak Karo memiliki ensambel musik tradisional utama disebut Gendang Lima Sendalemen. Kehadiran ensambel musik ini berlatar belakang sebuah mitos yang hidup dalam masyarakat Karo, bahwa: pada masa dahulu, manusia itu tidak mati-mati. Pada suatu kali terjadi angin topan, badai, kilat, dan banjir, maka matilah anak sang putri tersebut. Secara tiba-tiba bermunculan bermacam suara sebagaimana karakter dan warna suara yang dimiliki oleh Tung-tung, Katak, Kumbang, Cacing, Amphok (burung). Kemudian anak yang mati itu disuruh oleh ibunya untuk menirukan segala bunyi tadi. Tiruan bunyi itu akan mujarab untuk mencegah matinya segala manusia. Mitos tentang suara-suara inilah yang dipercayai masyarakat Karo untuk menemani kehidupan mereka yang diimitasikan melalui musikal instrumen Gendang Lima Sendalemen5. Menurut adat Karo, bahwa seorang anak boru berkewajiban untuk
4 5 Rithaony Hutajulu, 2002. Gondang: Kebudayaan Musik Batak Toba di Sumatera Utara. Makalah. Bandung: UPI; hal 3-4. Instrumentasi Gendang Lima Sendalemen terdiri dari sarune terbuat dari kayu selantam, lobangnya 7, dan batangnya dari gelondah berperan sebagai pembawa melodi; Gendang Indung Na, gendang Anak Na, dan ada juga garantung sebagai pembawa ritme variabel, sementara Gung, dan penganak berfungsi sebagai pembawa ritme konstan.

202

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

mempersiapkan suatu upacara adat pada waktu kematian. Dia harus tahu susunan struktur famili dari orang yang meninggal sewaktu diadakan seremonial upacara kematian lengkap dengan ensambel gendangnya. Bagi orang Karo, gendang berguna sebagai basis pengantar bagi suatu upacara kematian, yaitu mengundang rasa kemanusiaan dan rasa sedih bagi orang yang ikut upacara. Sebab gendang ini diiringi dengan nyanyian-nyanyian tradisi berjudul Lagu Pengangkat --mungkin jenazah ini diangkat ke sorga-- sebagai lagu tradisi untuk mengusung jenazah yang terdiri dari 48 lagu berturut-turut yang dikenal dengan istilah 50 - 2 yang semua teks lagunya berisi magis yang berkaitan dengan kepercayaan. Salah satu konteks sosial yang paling memasyarakat lagi populer untuk penyajian ensambel Gendang Lima Sendalemen ialah Pesta Guro-guro Aron yang diadakan pada setiap desa di tanah Karo. Guro-guro Aron bermakna suatu upacara syukuran panen bagi suatu desa, karena sewaktu padi berperut, remaja di desa merasa resah, dan agar keresahan itu tidak berlanjut, maka diadakanlah upacara Guro-guro Aron sambil berhibur oleh muda-mudi, sekaligus untuk memberi semangat terhadap para remaja di desa masing-masing. Ketiga, masyarakat Batak Mandahiling memiliki tiga jenis ensambel musik yang penting dalam tatanan kehidupan sosial mereka, yaitu Gordang Sembilan6, Gordang Lima7, dan Gondang dua8. Gordang Sembilan digunakan untuk menghormati Mayat Harimau, karena binatang ini dianggap hewan yang beradat. Sedangkan ensambel Gordang Lima memiliki dua fungsi: 1) berfungsi vertikal, untuk memanggil roh-roh melalui Sibaso/Sisaman (dukun). Apabila roh telah menghinggapi diri Sibaso, maka dia ditanyai tentang apa-apa yang perlu, sekaligus minta nasehat; 2) berfungsi horizontal, untuk menghormati raja-raja, boruboru, atau Dalihan Na Tolu. Begitu juga halnya tentang masalah hubungan timbal-balik antara musik dengan tor-tor dalam kehidupan masyarakat Batak Mandahiling.
6 7 8 2 buah Jangat 1 pemain, 2 buah Udong-Kudong 1 pemain, 2 buah Padua 1 pemain, 2 buah Patolu 1 pemain, 1 buah Enek-Kenek 1 pemain. Cabutan satu-satu buah dari 5 unit Gordang Sembilan. Sarune, Suling, Sordam, Salung sebagai pemegang melodi, Ritem Variabel : Gondang, Momongan, Tali Sasayap, sebagai ritme variabel, Gong, Doal sebagai ritem konstan. Penyanyinya diistilahkan dengan Parkolong-kolong.

203

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Terdapat suatu ungkapan masyarakat Mandahiling: Terter Mulani Gondang, Somba Mulani Tortor (apa kata gendang, itu kata tari). Secara fungsional tortor Mandahiling dibagi dua: 1. Berhubungan dengan kepercayaan kepada roh, karena segala sesuatu di dunia ini berasal dari roh. Penyajian tortor dan musik merupakan suatu kesatuan yang difungsikan untuk mengundang roh. Figur yang berperan menghubungkan manusia dengan roh ini adalah melalui perantaraan Bayo Dato (Sibaso). Repertoar yang biasa dimainkan berhubungan dengan kepercayaan ialah Alap-alap Tondi, Jolo-jolo Turun, dan Sarama Datu. 2. Berhubungan dengan adat-istiadat tentang urusan kehidupan dan kematian. Musik dan tortor dimainkan untuk urusan upacara suka-cita, seperti pesta kawin atau kelahiran (dimainkan repertoar Horja Sirizon), dan untuk upacara duka-cita, seperti kematian dimainkan repertoar Horja Silulutan. Horja dalam musik tradisional Batak Mandahiling dapat dibagi kepada: a. Tortor Suhut Sihabolon, yaitu tor-tor dan musik langsung berhubungan dengan pihak yang berpesta. b. Tortor Anak Boru, yaitu urusan pesta yang langsung berhubungan dengan famili isteri. c. Tortor Mora, yaitu urusan pesta yang berhubungan dengan pihak bapak. d. Naposo Bulung, yaitu urusan pesta para muda-mudi. Selain itu, bahwa pada masa dahulu dalam masyarakat Batak Mandahiling terdapat upacara Mahadongi Hamatian, yaitu orang-orang yang menangisi mayat secara bersama, dan waktu mayat berangkat ke kuburan, diiringi dengan repertoar gondang roto. Begitu juga pada upacara kematian raja, dipukul canang dan beduk yang terusmenerus dimainkan hingga seluruh famili datang ke rumah duka, dan di sini ditampilkan tortor. Berdasarkan beberapa sampel di atas, dapat disimpulkan, bahwa segala aspek kehidupan masyarakat Batak Mandahiling selalu diling-

204

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

kungi dengan tor-tor dan musik gondang atau gordang. Sewaktu lahir pakai gondang, kawin pakai gondang, dan waktu mati pakai gondang, serta memanggil roh dan menolaknya pun juga pakai gondang. Keempat, etnis Batak Pakpak Dairi terkenal dengan ensambel Gorci9, merupakan seperangkat alat musik yang pemakaiannya berhubungan dengan upacara adat istiadat. Klasikasi upacara adat-istiadat dipertimbangkan oleh Sulang Selima10 berdasarkan sumber penyebab wujudnya upacara tersebut; subyek upacara itu disebut dengan kerja yaitu kerja baik, dan kerja njahat, sebagaiman pengertian berikut: 1. Kerja Baik, yaitu pesta yang mempunyai perencanaan yang baik yang mempunyai makna dan cita-cita. Terbagi kepada tiga macam upacara: a. Mendeger Uruk yaitu suatu pesta atau kerja baik untuk meminta/memohon kepada Debata Guru (Tuhan) Beras Pati Tana dan Mungkeni Kula, agar seluruh masyarakat mendapat berkat dan tauk hidayat, hidup sentosa, sejahtera, adil dan makmur. Untuk upacara ini dipakai Gendrang 9. b. Merkata Sipitu yaitu suatu pesta yang diadakan sewaktu padi belum ditanam, agar mendapat hasil yang melimpah. Untuk upacara ini dipakai Gendrang 7. c. Mre Kemban yaitu suatu pesta yang diadakan untuk menyembah berhala, sebelum mengenal agama. Untuk upacara ini dipakai Gendrang 2. 2. Kerja Njahat, yaitu pesta sewaktu terjadi keliahan/kemalangan yang tanpa perencanaan sebelumnya, misalnya orang tua yang meninggal pada usia lanjut. Terbagi kepada dua macam upacara: a. Mase Sayur Matua dipakai Gendrang 5. b. Mangokal Tulan dipakai Gendrang 5. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip kehidupan sosial masyarakat Batak Pak Pak Dairi yang selalu dimediasi oleh ensambel gendrang Gorci cukup mirip dengan fungsi gordang dan gendang dari
9 Terdiri dari: Gendrang 9 (dengan 5 pemain), Gendrang 7 (dengan 3 pemain), Gendrang 5 (dengan 3 pemain), Gendrang 2, Gerantung, Kalondang, Kettuk, Gong, Cilat-cilat. 10 Sulang Selima yaitu unsur adat yang tertinggi sebagai adat yang menentukan paling akhir pada setiap pelaksanaan kerja dalam masyarakat Pak-Pak Dairi.

205

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

masyarakat Batak Mandahiling. Kelima, etnis Batak Simalungun menggunakan musik dan tari untuk kepentingan religi, adat, dan hiburan; tanpa musik, kepentingankepentingan itu tidak dapat dilakukan. Oleh sebab itu, musisi mendapat penghormatan yang tinggi dari masyarakat, sehingga musisi menempati strata yang terhormat dalam masyarakatnya, seperti Panarunai lebih tinggi kedudukannya, dan biasanya lebih tua dari penabuh lainnya. Secara adat, panarunai yang menjadi pimpinan rombongan diberi ayam, kelapa, dan beras pada setiap penampilannya sebagai simbol spirit kemasyarakatan mereka. Selain itu, masyarakat Batak Simalungun memiliki Topeng Huda yang penting sekali artinya bagi rakyat Simalungun. Topeng ini selalu dihadirkan pada setiap upacara kematian orang berumur tua yang diiringi dengan Gondrang Si Pitu-pitu. Tiga musisinya mengenakan kostum yang berbeda, yaitu desain pakaian menyerupai kuda, burung enggang. Repertoar musik Simalungun yang terkenal sebagai berikut: 1. Repertoar Dual Parahot yang khusus sebagai pembukaan upacara yang mempunyai hubungan dengan religi (roh jahat dan roh baik), artinya berguna untuk persembahan dan yang menari hanya roh-roh baik, sedangkan roh-roh jahat diusir (diiringi tari). Selain dari penabuh dual ini adalah tidak boleh menabuhnya. 2. Repertoar Dual Rambing-rambing yang diiringi dengan tari. Dahulu pada dual ini dipakai gondrang si dua-dua, tetapi sekarang sudah dipakai gondrang si pitu-pitu, merupakan repertoar pendahuluan sesudah repertoar pembukaan. Keenam, etnis Nias terkenal dengan musik vokal Ho Ho yaitu kesenian vokal yang teksnya berbentuk puisi. Nyanyian ini disajikan dalam konsep responsorial, dimana leader (disebut Sandroto) bernyanyi secara solo dengan melodi yang tidak banyak variasi, kemudian direspon oleh kelompok penyanyi Sono Yohi untuk menghiasi melodi Sondrono. Terdapat dua bentuk penyajian Ho Ho, sekaligus berfungsi untuk membedakan materi garapannya, yaitu 1) Ho Ho Ba Fetatoro (duduk); 2) Ho Ho Bame Sidi Ndo (berdiri). Dalam upacara kematian, biasanya dinyanyikan Ho Ho yang menceritakan riwayat hidup orang tua yang meninggal, sedangkan pada upacara ritual keagamaan dinyanyikan Fo Ere (nyanyian pendeta) yang langsung dipimpin oleh Ere (pen206

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

deta) yang memegang Fondrahi, yaitu sejenis gendang yang dipakai untuk menyampaikan sesuatu maksud dari pendeta. Ketujuh, upacara pesta perkawinan dan kesenian yang melekat padanya menjadi seremoni adat yang sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat Pesisir Sibolga dan sekitarnya. Pesta Perkawinan masyarakat Pesisir Sibolga dibagi atas tiga kelas: 1) pesta keturunan raja dengan memotong kerbau yang berhak memakai kain sampe gala 12; 2) pesta keturunan bangsawan dengan memotong sapi yang berhak memakai kain sampe gala 9; dan 3) pesta keturunan rakyat biasa dengan memotong kambing, tetapi tidak berhak memakai kain sampe gala. Ketiga kelas upacara pesta perkawinan ini tetap dilaksanakan selama 7 hari 7 malam. Walaupun pesta perkawinan dilaksanakan selama 7 hari dan 7 malam, tetapi puncak kemeriahannya terjadi pada malam ketiga. Menurut Fadlin, cs, bahwa upacara basanding duo diadakan pada malam ketiga, dan upacara ini dibuka dengan irama Kapri dan Tari Sapu Tangan, dilanjutkan dengan irama Kapulo Pinang dan Tari Payung, irama Lagu Duo serta Tari Salendang. Kemudian dengan iringan lagu Dampeng, pengantin laki-laki diarak masuk ke dalam ruangan tempat besanding yang langsung disandingkan dengan pengantin wanita yang sudah duduk menanti11. Biasanya hiburan musik Sikambang diadakan pada malam ketiga ini, dimana pengantin duduk di atas pelaminan untuk berinai, namun penggunaan musik Sikambang mesti mendapat persetujuan dari pengetua adat terlebih dahulu. Apabila seseorang anggota masyarakat Pesisir Sibolga ingin menggunakan musik Sikambang pada pesta perkawinan, maka pengetua adat akan mengatur pelaksanaannya sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditetapkan, dan telah memenuhi syarat-syaratnya antara lain sebagai berikut: 1. Menyampe, yaitu suatu tanda kelengkapan adat istiadat dalam bentuk selendang beraneka ragam warna yang dipasang pada langit-langit di atas pelaminan yang disangkutkan dengan bambu yang sudah ditata sesuai dengan perlengkapan pelaminan. 2. Galombang 12 adalah suatu permainan pencak silat oleh 24 orang pesilat yang dibagi atas dua kelompok. Kelompok per11 Fadlin, Fadlin, cs, 1985. Tata Cara Adat Perkawinan Pesisir Sibolga. Laporan Penelitian. Medan: USU; hal 7.

207

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

tama mendampingi pengantin pria sebagai panglima atau raja sehari dan kelompok kedua berfungsi sebagai pengawal dari pengantin wanita. Apabila pesta perkawinan akan disempurnakan dengan penyajian Galombang 12, maka pihak pengantin wanita/pria diharuskan menyembelih kerbau atau lembu sebagai persyaratan dalam peradatan. Ketangkasan bermain silat sewaktu penyambutan pengantin lakilaki diiringi dengan lagu dampeng. Lagu dampeng adalah lagu vokal yang dinyanyikan oleh laki-laki, yang dinyanyikan secara bersahutsahutan antara solo vokal yang teksnya berupa doa-doa kepada Tuhan dan disambut oleh orang ramai yang pada dasarnya menguatkan doa yang dinyanyikan oleh solo vokal12. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada waktu berhubungan dengan adat, musik Sikambang dimainkan di bawah langitlangit dan pelaminan. Ini merupakan arti tersirat yang tidak boleh dilanggar, kalau dilanggar adalah dianggap melanggar adat dan bagi pelanggar ada sangsi sosial bagi kelompok yang melanggar; jikalau tidak sanggup menghadirkan langit-langit dan pelaminan, sebaiknya tidak menampilkan kesenian Sikambang. Kedelapan, kesenian tradisional warisan etnis Melayu. Walaupun falsafah orang Melayu adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah tetapi cukup sarat produk sosial dan seninya dibarengi oleh unsurunsur kepercayaan kepada alam roh, jin, syetan, dewa, di samping kepercayaan kepada Allah YME. Misalnya, musik-musik sebelum Hindu/Islam digunakan untuk mengiringi teater-teater tradisional Melayu, seperti wayang kulit, makyong, menhora, mendu, bangsawan, dan lain-lain, sehingga aktivitas berkesenian memang banyak berhubungan dengan kuasa-kuasa gaib yang dimulai dengan jampi-jampi (mantera), lagu bertuah, untuk rasa perdamaian dengan kuasa gaib, seperti hantu jembalang tanah, jembalang laut, jin, puaka, mambang dan lain-lain, terutama dipakaikan pada alat-alat musiknya. menjauhkan bencana, mengusir hantu atau setan13. Salah satu contoh teater tradisi di sini ialah teater Bangsawan. Teater
12 Fadlin, Fadlin, cs, 1985. Tata Cara Adat Perkawinan Pesisir Sibolga. Laporan Penelitian. Medan: USU; hal 6. 13 Muhammad Takari, 2005. Musik Melayu: Akar Budaya, Akulturasi, Perubahan, dan Kontinuitas. Makalah. Medan: Etnomusikologi USU; hal 45.

208

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Bangsawan dikenal juga dengan istilah Opera Melayu. Di dalam cerita Bangsawan sudah dipakai cerita-cerita kejadian yang bersumber dari peristiwa-peeristiwa di negeri Barat. Bangsawan merupakan cikal-bakal terjadinya jenis teater peralihan ke teater modern dengan dua dimensi, dengan membawakan tema mengenai kesatriaan seorang tokoh. Pembukaan dan penutup dalam permainan teater Bangsawan juga dibarengi dengan mantera-mantera. Para pemain utama dengan ciri-cirinya sebagai berikut: 1. Tokoh Anak Muda yang berperan sebagai pahlawan. 2. Terdapat Sri Panggung yang menjadi primadona dalam cerita. 3. Terdapat Tukang Lawak yang selalu menghidupkan suasana panggung 4. Ada Jin Jahat yang berperan untuk merong-rong ide-ide dari tokoh. Hal yang menarik dalam teater Bangsawan, di mana Sri Panggung dan Anak Muda harus pandai bernyanyi dan menari. Pada daerah Melayu teater Bangsawan muncul secara berkelompok atau kumpulankumpulan, di antaranya yang terkenal adalah: 1. Kelompok Indra Ratu (Sultan Serdang) 2. Kelompok Stambul 3. Kelompok Dardanela Setelah jaman Jepang perkembangan teater Bangsawan menurun, tersingkirkan oleh sandiwara-sandiwara modern, karena: 1. Teater bangsawan mahal biayanya, karena sarat sekali dengan perlengkapan-perlengkapan yang harus dipersiapkan. 2. Dialog tidak bisa dipelajari dengan naskah, harus dipelajari dengan meniru tokoh dahulu secara oral tradisi. 3. Baik Anak Muda, maupun Primadona yang mempunyai karakater permainan yang baik, tetapi tidak bisa bertahan lama karena pemain yang berkualitas akan disabet oleh rombongan lain yang lebih kaya. Menjelang Perang Dunia II teater bangsawan sudah tidak bisa bersaing lagi dengan kemajuan teknologi (lm, TV), dan hilangnya lafal norma-norma bahasa Melayu.
209

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Kemudian, sampel seni dari etnis Melayu Sumatera Utara yang dipilih ialah lagu-lagu Melayu Deli yang langsung berhubungan dengan tarian. Bagi etnis Melayu Deli Irama berhubungan dengan pola ritem gendang yang sekaligus tersangkut di dalamnya pemahaman terhadap tempo permainan suatu lagu. Beberapa Irama atau Rentak Musik Melayu Deli sebagai berikut: 1. Rentak Senandung (Malaysia: Rentak Asli); adalah nyanyian hiburan yang umum dinyanyikan di daerah Asahan dan Labuhan Batu. Rentak Senandung berbirama 4/4 dengan tempo lambat (andante) tetapi siklus pola ritemnya 8/4. Irama ini diiringi dengan lagu yang memaki pantun nasib, bernada sedih tentang peruntungan yang malang; maka lagu ini sering dilagukan oleh pelaut/nelayan. Rentak Senandung berasal daripada lagu-lagu Senandung, yaitu lagu yang menurut keterangan orang-orang Melayu di Sumatera Timur (kini Sumatera Utara) berfungsi untuk memanggil angin di laut saat mereka mengalami mati angin sewaktu menangkap ikan. Beberapa lagunya yang terkenal, seperti Kuala Deli, Makan Sireh, Dendang Sayang, Damak, dan lain-lain. 2. Rentak Lagu Dua (Malaysia: Rentak Joget); sering disebut juga dengan Lagu Menari yang sangat digemari dalam tarian bebas, sebagaimana tempo Samba, dan Mambo. Berbirama 2/4 dengan membawakan tempo agak cepat, dan mengiringi lagu yang memakai pantun jenaka yang merupakan pantun anak muda. Beberapa lagunya yang terkenal ialah Dua Singapura, Tanjung Katung, Pancang Jermal dan lainnya. Pola ritem Rentak Lagu Dua sangat populer di tengah-tengah masyarakat Melayu. Tempo tercepat dari Rentak Lagu Dua ini diistilahkan dengan Rentak Pulau Sari yang difungsikan untuk pengiring Tari Serampang 12 yang diciptakan almarhum Guru Sauti dari daerah Perbaungan. Tarian Serampang 12 mengisahkan percintaan yang diakhiri dengan perkawinan dengan struktur gerak meliputi sejumlah 12 ragam: a. Ragam Permulaan yang artinya pertemuan pertama; b. Ragam Berjalan yang artinya cinta meresap; c. Ragam Pusing Tari yang artinya memendam rasa; d. Ragam Gila Kepayang yang artinya mabuk kepayang; e. ragam Berjalan yang artinya
210

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

bersifat isyarat tanda-tanda cinta; f. Ragam Gencat-gencat yang artinya balasan isyarat; g. Ragam Sebelah Kaki yang artinya menduga; h. Ragam Langkah Melonjak yang artinya masih belum percaya; i. Ragam Meloncat-loncat yang artinya jawaban sudah diterima; j. Ragam Datang Mendatangi yang artinya pinangan dilakukan; k. Ragam Rupa-rupa yang artinya mengantar penganten; l. Ragam Sapu Tangan yang artinya pertemuan kasih mereka. 3. Rentak Mak Inang (Malaysia: Rentak Inang); ialah nama yang diberikan kepada wanita pengasuh setengah baya yang mengepalai sejumlah dayang-dayang dan penari di Istana raja. Berbirama 4/4 dengan membawakan tempo cepat yang diiringi dengan lagu yang memakai pantun jenaka. Tarian Mak Inang biasa dibawakan oleh Mak Inang (dayang pengasuh keluarga kerajaan), yang kemudian dipergunakan pula oleh rakyat awam. Tempo rentaknya sedang (sekitar 100 ketukan dasar per menit), dan kemudian rentak ini diadopsi oleh penari dan pemusik seni pertunjukan ronggeng. Pada abad ke 20 rentak Mak Inang ini lebih dicepatkan dan lahirlah lagu dan tari Cek Minah Sayang yang memakai sapu tangan atau selendang untuk penampilannya. Beberapa di antaranya lagunya yaitu Mak Inang Pulau Kampai, Mak Inang Kayangan dan sebagainya. Tempo tercepat dari Mak Inang ialah rentak Patam-patam dengan memakai birama 4/4 dengan tempo cepat sekali, sehingga tidak diiringi dengan nyanyian/vokal manusia. Pada mulanya irama ini hanya berkembang pada daerah-daerah yang dipengaruhi oleh Batak Karo, karena dalam lagu tradisi Batak Karo juga ada lagu patam-patam, seperti daerah Langkat, dan Deli, serta Serdang. 4. Rentak Gubang berasal dari lagu Gubang yang terdapat di daerah Asahan. Irama ini mendapat pengaruh dari Arab yang bercampur dengan pengaruh suku Batak Perdambanan di hulu Sungai Asahan. 5. Rentak Ghazal berasal dari perkembangan/pengaruh dari India Utara yang dibawa oleh orang-orang Islam pada awal abad 19 ke Pulau Pinang terus ke Medan. Irama ghazal ini dipakai pada
211

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

nyanyian yang mempunyai syair-syair cinta, seperti kisah Laila, atau ada yang mengatakan Laila Majnun yang merupakan pengaruh dari Arab. 6. Rentak Chalti; merupakan pengaruh dari India Selatan. Berasal dari Irama Chalti inilah berkembangnya pola ritme gendang pop dangdut. 7. Rentak Kelantan; berasal dari daerah Malaysia Utara atau dari daerah Thailand Selatan yang berkembang sampai ke berbagai daerah Melayu. Biasanya irama Kelantan ini dipakai untuk kesenian dzikir yang berkembang di daerah Melayu Singapura. 8. Rentak Zapin; berkembang merata di seluruh wilayah alam Melayu Nusantara yang merupakan suatu ritme atau rentak atau irama yang merupakan pengaruh dari irama-irama Timur Tengah. Berbagai Rentak atau irama Melayu di atas dimainkan sesuai dengan ciri khas alat musik gendang yang dimiliki oleh masing-masing rentak di atas, seperti Rentak Senandung dilahirkan dengan gendang ronggeng, Rentak zapin dimainkan dengan gendang Marwas, dan lainnya. Sebetulnya, di antara kedelapan jenis rentak yang dimiliki etnis Melayu Deli ini telah menjadi master-piece pada tataran konteks hiburan dalam masyarakat Melayu Sumatera khususnya, dan Melayu Nusantara umumnya. Walaupun instrumentasi, konsep musikal dan konsep pertunjukan masing-masing rentak di atas telah mengadopsi konsep harmoni musik Barat, tetapi ciri-ciri khas dalam pembawaan lagu dan melodi tetap didominasi oleh karakter Melayu, bahkan karakter lagu dan melodi Melayu tersebut telah menuntut terjadinya pemodikasian progresi akord-akord musik Melayu Deli yang tidak lagi sepenuhnya mengaplikasikan konsep harmoni musik Barat (musik tonal). Dengan demikian, kedelapan jenis rentak Melayu Deli ini termasuk klasikasi musik modal yang masuk kategori musik tradisional etnis Melayu di Sumatera Utara.

Kondisi Kehidupan Kesenian Tradisional di Sumatera Utara Dewasa Ini (Perubahan dan Keberlanjutan) Dahulu areal kabupaten lebih merujuk kepada geogras yang didi212

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

ami suatu etnis, sekarang terjadi pemekaran pemerintahan yang beroreantasi kepada luas wilayah dan jumlah penduduk. Analoginya, akan terdapat etnis tertentu yang berada pada daerah kabupaten yang dominan didiami oleh etnis lainnya, dan dalam perjalanan waktu, di antara masyarakat dari delapan etnis asli Sumatera Utara juga pergi merantau ke kota-kota propinsi ini bergabung dengan para perantau yang berasal dari etnis di luar Sumatera Utara. Oleh karena itu, dijumpailah kondisi kehidupan kesenian pada masing-masing etnis secara homogen, dan kondisi kehidupan kesenian pada masyarakat kota-kota di Sumatera Utara yang heterogen dalam membangun komunikasi sosial mereka. Dengan demikian, secara garis besar pembicaraan bagian ini akan terfokus kepada tiga fokus utama terhadap penggunaan kesenian tradisional yang tetap dan yang berubah-- dalam komunikasi sosial kehidupan masyarakat Sumatera Utara dewasa ini, serta prospek keberlanjutannya di masa datang. Mengamati dinamika kehidupan delapan etnis asli Sumatera Utara dewasa ini, ternyata kondisi kesenian tradisional dalam sosio-kehidupan masyarakat dari etnis Batak Mandahiling, Batak Pak Pak Dairi, Batak Simalungun, Nias, Pesisir Sibolga, dan Melayu masih tetap dan belum mengalami perkembangan yang berarti. Penilaian ini didasarkan atas eksistensi kesenian itu di dalam etnisnya masing-masing, dan pengaruhnya terhadap penikmatan seni masyarakat heterogen di kotakota Sumatera Utara, bahkan pengaruhnya terhadap etnis lain di luar Sumatera Utara. Sebetulnya, posisi musik dan tari Melayu Deli yang didasarkan kepada konsep rentak sebagaimana pembicaraan di atas sangat potensial sebagai musik tradisi etnis Melayu yang bisa membangun komukasi sosial pada tataran pergaulan semua etnis (asli dan pendatang) Sumatera Utara di masa sekarang dan akan datang. Beberapa alasannya: 1) teks lagu-lagunya menggunakan bahasa Melayu yang beranalogi dengan bahasa Indonesia; 2) Instrumentasi dan konsep musikalnya telah mengadopsi unsur-unsur musik Barat; 3) konsep pertunjukannya telah meminjam cara-cara pertunjukan musik populer; 4) karakter lagu dan melodinya mudah dicerna dan diterima oleh semua etnis. Sehubungan dengan itu, sangat disayangkan bahwa potensi ini tidak dapat diraih oleh genre musik Melayu Deli ini, karena terjadi kemandekan kreativitas para senimannya, sehingga repertoar lagunya
213

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

masih nomor-nomor sediakala yang telah usang. Bahkan yang cukup mengiris perasaan, bahwa pertunjukan Musik Melayu Deli dewasa ini adalah dihidupkan oleh musisi-musisi yang sebagiannya berasal dari etnis Minang, Batak Karo, dan etnis lainnya, karena telah gagalnya semiman senior mewujudkan kaderisasi generasi mudanya. Perubahan kondisi kehidupan kesenian yang cukup fenomenal terjadi pada etnis Batak Toba dan Batak Karo, sehingga berdampak terhadap eksistensi kesenian etnis tersebut di tengah percaturan kesenian, baik di tengah kehidupan etnisnya sendiri, ataupun pada kehidupan kota-kota Sumatera Utara yang heterogen, maupun pada taraf nasional. Dalam hal ini, Rithaony Hutajulu menjelaskan proses perubahan eksistensi musik gondang dalam kehidupan etnis Batak Toba sebagaimana berikut, bahwa perubahan yang mendasar terjadi dalam dinamika keberlangsungan kehidupan tradisi seni gondang pada masyarakat Batak Toba dapat ditandai dengan masuknya agama kristen ke tanah Batak. Misionarisasi Kristen di tanah Batak dimulai sejak tahun 1860an. Sejak saat itu berbagai pertunjukan tradisi gondang secara praktis dibatasi (restricted) dan dalam beberapa kasus dilarang (prohibited). Pembatasan dan larangan ini khususnya dikenakan pada masyarakat Batak Toba yang telah beralih (converted) ke agama Kristen. Pembatasan biasanya dilakukan dengan adanya sejumlah kompromi; misalnya, musik gondang hanya boleh dimainkan pada acara-acara tertentu yang hanya berkaitan dengan aktivitas sosial, misalnya dalam upacara adat, perkawinan, dan harus minta izin pada gereja. Sedangkan hal yang sama sekali dilarang adalah berbagai elemen ritual atau upacara terkait dengan kepercayaan lama (pra-Kristen), khususnya dalam penyembahan roh (sipelebegu). Konsekuensi yang diterima bagi anggota masyarakat Batak Kristen yang tetap melakukannya, mereka akan dikeluarkan (ban) dari gereja. Sebaliknya, para misionaris Kristen memperkenalkan jenis ensambel musik tiup Barat (brass music) kepada masyarakat Batak Toba, terutama digunakan dalam aktivitas ritual keagamaannya14. Pada sisi lain, repertoir Gondang Sabangunan yang semata-mata untuk tujuan hiburan mempunyai garapan melodis yang lebih luas. Alat musik Gondang Sabangunan sering ditambah dengan musik ringan,
14 Rithaony Hutajulu, 2002. Gondang: Kebudayaan Musik Batak Toba di Sumatera Utara. Makalah. Bandung: UPI; hal 11-12.

214

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

sarunai etek (sarunai kecil), hasapi lagu (kecapi lagu), sulim (suling), garantung lagu dan garantung bass. Tangga nada yang dipakai jauh lebih luas. Gaya seperti ini lazim dipakai mengiringi lagu daerah Batak Toba dengan kombinasi garapan melodis dengan pendekatan modern. Contoh musik Gondang Sabangunan ditambah musik ringan mengiringi lagu-lagu disertai vokal dengan judul Alai Badogem15. Dengan demikian, masyarakat etnis Batak Toba telah menyikapi pergolakan sosio-seni yang terjadi dalam kehidupan beradat dan beragama mereka dari format lama ke dalam formulasi baru yang tidak menghilangkan konsep seni tradisinya yang asli, sebagaimana contoh berikut: Tiga macam klasikasi fungsi Gondang Batak Toba yang dahulu: 1. Margondang Pesta, untuk mengiringi pesta, upacara adat di Batak Toba. 2. Margondang Sibarang, untuk mengiringi orang mati, orang tidak punya anak, orang tidak kawin. 3. Margondang Mamele, untuk mengiringi upacara yang bersifat keagamaan. Tiga macam klasikasi fungsi Gondang Batak Toba yang sekarang, sebagai berikut: 1. Margondang Hiburan, untuk mencari dana pembangunan gedung, gereja dll. 2. Margondang Adat, untuk mengiringi upacara pemberian nama, kematian, perkawinan. 3. Margondang Religi, untuk pesta keagamaan/kepercayaan suku Batak Toba. Sebaliknya, bila berhubungan dengan selera populer, maka sesuatu modikasi dalam bentuk kreativitas bisa terjadi, tetapi nilai-nilai estetika tradisional masih tetap dipertahankan, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ritha Ony Hutajulu, bahwa fenomena lainnya bisa dilihat adalah kreativitas dari Nortir Simanungkalit, seorang pemusik/komposer Batak Toba, yang memiliki latar belakang musik Barat dengan karya eksperimentalnya, yakni menggabungkan/ mengakumulasikan semua jenis alat musik tradisi Batak Toba dalam format orkestra.
15 Banggal Marpaung, 1994. Ansambel Musik Gondang Sabangunan. Buku Buklet. Jakarta: Proyek Pembinaan Kesenian Depdikbud; hal 3-4.

215

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Beberapa hal yang ia kerjakan antara lain: 1) menstandardisasi laras/ tuning semua alat musik berdasarkan konsepsi musik diatonis Barat; 2) meluaskan peran musikal tiap alat musik berdasarkan peniruan standar orkestrasi Barat; misalnya, membuat formulasi alat musik hasapi, garantung, sarune etek dan sulim berdasarkan tingkatan soprano, alto, tenor dan bass; dan 3) memainkan lagu-lagu Barat dan populer Batak, tidak dalam kaidah tekstural heterofonis tradisional, tetapi dalam garapan harmoni Barat16. Selanjutnya, perubahan yang cukup mencengangkan juga terjadi pada kesenian tradisional Batak Karo. Seniman Gendang Lima Sendalemen etnis Batak Karo membuat sesuatu yang kontroversial dalam masalah penggunaan instrumen Kulcapi. Permainan Kulcapi secara manual yang diperkeras suaranya dengan bantuan mic dikembangkan dengan penggunaan spull mic yang langsung dipasangkan pada badan Kulcapi tersebut. Sebetulnya penggunaan spull-mic inipun sudah bermasalah terhadap originalitas akustik dari Kulcapi itu sendiri, sehingga karakter bunyinya sudah terbias oleh rambatan bunyi spull-mic tersebut. Terdorong oleh kemajuan tekonologi elektronik, maka seniman Kulcapi Karo yang terkenal bernama Jasa Tarigan membuat lompatan yang drastis dengan meninggalkan instrumen Kulcapi dan menukarnya dengan alat musik orgen yang mengadaptasikan karakter permainan melodi Kulcapi padanya, sehingga disebut dengan Kulcapi Orgen. Ironisnya, permainan Gendang Lima Sendalemen plus Kulcapi Orgen mendapat sambutan baik oleh masyarakat Batak Karo, baik dalam konteks upacara Guro-guro Aron dan upacara adat lainnya, maupun dalam konteks musik populer Karo. Pada sisi lain, terinspirasi oleh permainan Kulcapi Orgen, senimanseniman pop Karo mengembangkan lagi sayapnya dengan memadukan karakter melodi Kulcapi/Sarune Karo dengan karakter melodi Saluang Minang sebagai aransemen musik pengiring lagu-lagu pop Minang, sehingga lahirlah paket musik pop yang bernama Pop Karmina (Pop Karo Minang), bahkan kombinasi komposisi Kulcapi/Sarune Karo juga terjadi untuk musik Melayu Deli. Walaupun kreativitas ini masih berada pada tataran eksperimen, tetapi konsumen etnis Karo, Minang dan
16 Rithaony Hutajulu, 2002. Gondang: Kebudayaan Musik Batak Toba di Sumatera Utara. Makalah. Bandung: UPI; hal 16.

216

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Melayu cukup mengapresiasi kehadiran kaset-kaset tersebut. Dampak dari segala kreativitas seniman-seniman Batak Toba di atas, ternyata karya-karya musik populer Batak Toba yang masih memiliki sentuhan aransemen musiknya dengan instrumentasi Gondang Sabangunan, Gondang Hasapi dan Uning-uningan telah dikonsumsi oleh masyarakat urban kota-kota Sumatera Utara yang heterogen. Begitu juga lagu-lagu populer Batak Karo yang aransemen musiknya mendapat sentuhan Kulcapi Orgen dan Sarune Orgen walaupun kuantitasnya tidak sebanyak musik Batak Toba-- juga telah mendapat sambutan dari masyarakat urban kota di Sumatera Utara tersebut. Sehubungan hal di atas, sebetulnya usaha membangun komunikasi sosial antar etnis yang mendiami kota-kota di Sumatera Utara melalui kesenian tradisional telah digagas oleh Lembaga Kesenian Universitas Sumatera Utara (LK USU) dalam bentuk paket seni pertunjukan yang terdiri dari kombinasi nomor-nomor seni tradisional dari semua etnis (asli dan pendatang) yang mendiami kota Medan. Paket pertunjukan ini menghadirkan Gondang Sabangunan dan tot-tor dari Toba, Sordam dan Piso Surit dari Karo, Tari Martonun dari Simalungun, Gordang Sembilang dari Mandahiling, Gendrang Goci dari Pak Pak Dairi, Sikambang dari Pesisir Sibolga, tari Serampang 12 dari Melayu, Ratoh dari Aceh, dan Tari Rantak dari Minang. Paket ini cukup mendapat perhatian dari pihak pemerintahan, sehingga paket yang khas LK USU ini telah menjadi model bagi pihak pemerintah dalam mengadakan resepsi-resepsi kesenian, dan misi kesenian atas nama pemerintahan Sumatera Utara. Melalui model paket seperti ini, kesenian tradisional telah memberikan sumbangan yang cukup berarti terhadap bangunan komunikasi sosial, khususnya bagi heterogenitas kota Medan.

Kesimpulan Berdasarkan studi kasus seni tradisi dan poluler yang terjadi di Sumatera Utara dalam membangun media komunikasi sosial di Sumatera Utara, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Musik tradisional dari berbagai etnis asli Sumatera Utara yang tidak mengalami pergolakan kreativitas oleh seniman-senimannya ternyata eksistensinya masih tetap berada pada lingkaran kehidupan etnisnya sendiri sehingga tidak banyak diapresiasi oleh masyarakat urban kota-kota Sumatera Utara yang hetero217

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

gen, kecuali oleh etnisnya masing-masing yang merantau ke kota tersebut. 2. Etnis asli Sumatera Utara Batak Toba dan Batak Karotelah mengalami dinamika perubahan yang cukup fenomenal untuk era dewasa ini. Walaupun permasalahan agama (Kristen) telah mengintervensi eksistensi kesenian tradisional Batak Toba terhadap konteksnya yang religius, namun masyarakat Batak Toba telah menyikapinya dengan bijaksana. Etnis ini telah mengadakan peninovasian, penukaran instrumentasi dan konsep musikal ensambel musiknya terhadap konteks yang berhubungan dengan ibadah keagamaan sesuai dengan pengaruh visi dan misi tokoh-tokoh agama tersebut. Pada sisi lain, mereka masih tetap mempertahankan instrumentasi dan konsep musikal ensambel musiknya yang asli untuk keperluan yang berhubungan dengan upacara-upacara adat, dan melakukan penginovasian kesenian tradisinya untuk kepeluan hiburan masyarakatnya. 3. Paket-paket pertunjukan seni yang terdiri dari kombinasi materi seni dari etnis-etnis asli dan etnis pendatang di Sumatera Utara untuk mengisi berbagai jenis resepsi hiburan terutama kota-kota-- sebagaimana modelnya yang telah ditunjukkan oleh Lembaga Kesenian USU Medan, adalah memiliki potensi yang sangat ideal lagi strategis sebagai media pembangun komunikasi sosial bagi masyarakat Sumatera Utara yang heterogen.
Daftar Pustaka Banggal Marpaung, 1994. Ansambel Musik Gondang Sabangunan. Buku Buklet. Jakarta: Proyek Pembinaan Kesenian Depdikbud. Emmi Simangunsong, 1988. Fungsi Musik Gondang Sabangunan dalam Upacara Ritual Parmalim Sipaha Sada di Desa Lumban Gambiri, Kecamatan Silaen. Skripsi. Medan: Etnomusikologi USU. Fadlin, cs, 1985. Tata Cara Adat Perkawinan Pesisir Sibolga. Laporan Penelitian. Medan: USU. Fadlin, 1988. Studi Deskriptif Konstruksi dan Dasar-dasar Pola Ritem Gendang Melayu Sumaera Timur. Skripsi. Medan: Etnomusikologi USU. Hajizar, 1996. Musik Melayu Nusantara dalam Era Globalisasi (Pelestarian dan Pengembangan). Makalah. Shah Alam: UiTM Shah Alam, Malaysia. Muhammad Takari, 2005. Musik Melayu: Akar Budaya, Akulturasi, Perubahan,
218

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

dan Kontinuitas. Makalah. Medan: Etnomusikologi USU. ------------------------, 2004. Tari dalam Konteks Budaya Melayu. Makalah. Medan: Etnomusikologi USU. Rithaony Hutajulu, 2002. Gondang: Kebudayaan Musik Batak Toba di Sumatera Utara. Makalah. Bandung: UPI. Soegijo, 1987. Budaya Sumatera Utara dan Upaya Pembinaan-Pelestariannya. Makalah. Medan: Panitia Pesta Budaya Daerah Sumatera Utara. Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

219

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Hj. Nirwana Murni, S. Kar., M.Pd. Kelahiran Agam 17 Agustus 1952. Saat ini menjadi Dosen ISI Padang Panjang, Sumatera Barat dengan kepangkatan Lektor Kepala. Pernah menjadi Pembantu Ketua II ISI Padang Panjang. Aktif dalam penelitian dan pendiiakan mengenai Tari Minangkabau. 220

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Strategi Kemasan Seni Tradisi Sebagai Media Komunikasi Sosial di Sumatera Barat
Nirwana Murni, S.Kar., M.Pd.
Dosen Jurusan Seni Tari STSI Padang Panjang

Pendahuluan eni pertunjukan dengan beragam jenis dan bentuknya dapat terkait dan hadir di dalam bermacam-macam kesempatan. Ia tampil sebagai ungkapan kepentingan yang berlainan. Tontonan, upacara-upacara yang bersifat ritual merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Sampai saat ini masyarakat Indonesia juga mengadakan upacara-upacara dalam berbagai bentuk dan dalam rangka tertentu. Ada yang didahulukan dengan potong tumpeng disertai tepuk tangan dan nyanyian. Ada juga yang dilakukan secara khusuk, khidmat, tenang tanpa ada suara bergaung. Ada yang dilakukna dengan arak-arakan mengelilingi desa. Ada juga duduk bersama semalam suntuk sambil mendengarkan pantun atau puisi yang dilagukan. Mereka memiliki tradisi dan bentuk upacaranya sendiri sesuai dengan kebudayaan masing-masing. Tetapi diantara bentuk-bentuk upacara tersebut ada bentuk upacara yang tergolong seni pertunjukan. Seni pertunjukan yang diselenggarakan berkaitan dengan upacara masih dapat dijumpai di berbagai daerah. Antara daerah satu dengan daerah yang lainnya memiliki cirri khas kedaerahan yang berbeda-beda, dan hal ini disebut dengan seni tradisional. Seni tradisional dimaksud adalah tari. Palembang merupakan sebuah wilayah kota madya yang berada di

221

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Sumatera Selatan. Masyarakat di wilayah ini sebagian besar hidup dan mencari nafkah dalam pola budaya nelayan. Keberadaan pada upacaraupacara adat yang bersifat komunal maupun individual dianggap penting. Oleh karena itu hampir setiap penyelenggaraan upacara adat selalu dijumpai seni pertunjukan yang menyertai, seperti tari penganten, tari sitabih, tari sembah, dan tari gending sriwijaya. Palembang sebagai sebuah wilayah budaya di kenal dengan kerajaan Sriwijaya sebagai sebuah kerajaan maritim di Sumatera pada abad ke-7 dengan pusat kedatuannya terletak di Bukit Siguntang, yaitu suatu tempat di sekitar sungai musi di sebelah utara kota Palembang. Kedatuan ini dikenal dengan nama kedatuan bukit yang menjadi penguasa tunggal daerah sebelah barat Indonesia pada masa itu (Depdikbub, 1984: 13). Dengan lahirnya Kedatuan Sriwijaya lahir pula kesenian di kalangan bangsawan. Lingkungan istana mulai memelihara dan mengembangkan seni yang mengagungkan kebesaran raja, termasuk di dalamnya adalah tari Gending Sriwijaya. Tari Gending Sriwijaya yang dikenal sebagai tari adat oleh masyarakat Palembang merupakan peninggalan masa itu dengan Hindu Budha sebagai agama masyarakat. Pada tari ini unsur agama tersebut terlihat suasana keagamaan yang dibangun oleh gerak-gerak tari yang menggambarkan sebagai Budha tengah bersemadi (Leoni Wagirah, 1975: 3). Dari sisi koreogra tari Gending Sriwijaya merupakan sebuah sajian tari yang dilakukan oleh 9 orang penari putri dengan rincian; satu orang sebagai pembawa tepak (tempat berbentuk segi empat untuk sekapur sirih), dua orang pembawa peridonan kembar (tempat tepak) dan enam orang sebagai pengiring. Selain sembilan orang penari putri tersebut, tari ini didukung pula oleh dua orang pria/ garis panjang dan tombak, dan seorang lagi bertugas sebagai penyanyi. Struktur dan pola penyajian ini sangat teratur dan hierarkis. Gerak tari yang lembut mengalun perlahan ditunjang dengan tata rias dan busana penari seperti pengantin wanita Palembang memberikan sentuhan emosional tersendiri. Volume gerak tangan dan kaki terkontrol cenderung membangun sebuah ciri karakteristik dan gaya putri halus. Hirarki penari yang ditentukan berdasarkan kedudukan orang tua di dalam pemerintahan semakin menunjukkan bahwa nilai-nilai yang terdapat di dalam tari ini mempunyai makna tersendiri. Sebagaimana tari
222

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

budaya yang memiliki penamaan pada setiap pelaku tarinya, pada Gending Sriwijaya juga ditemukan perbedaan penamaan itu. Penari pada barisan pertama, kedua, dan ketiga yaitu penari nomor satu, dua, tiga, empat dan lima adalah penari tingkat Asean Gede. Mereka adalah putra putri dari raja. Pada baris berikutnya yaitu nomor enam dan tujuh adalah penari tingkat Asean Selendang Mantri, terdiri dari putri-putri menteri. Pada baris terakhir yaitu nomor delapan dan sembilan adalah tingkat Asean Pak Sangkang yaitu putrid pejabat biasa dalam pemerintahan (Leoni Wagirah, 1975: 32). Pada masa lampau penentuan pakaian pengantin ini terjadi pula di masyarakat umum artinya, mereka yang bukan keturunan raja umumnya tidak diperkenankan memakai pakaian pengantin Asean Gede (dadot Palembang). Ciri lain yang terdapat pada tari Gending Sriwijaya adalah properti yang dipakai yaitu tanggai. Tanggai adalah kuku panjang yang memakai rumbai disebut oncer. Tanggai ini dipakai di jari kelingking, manis, tengah dan telunjuk. Ibu jari tidak bertanggai. Bentuk tanggai yang melengkung ke atas melambangkan perahu. Sedangkan oncer melambangkan kekayaan yang melimpah dari sungai musi yang membelah kota Palembang. Tari ini disebut Gending karena lagu pengiringnya berjudul Gending Sriwijaya. Lagu ini melodinya diciptakan oleh M. Dahlan, sedangkan liriknya digubah oleh Mungcek A.R., menceritakan kejayaan Sriwijaya di masa lampau. Fungsi awal tari ini diyakini sebagai sajian pada waktu raja mengadakan pertemuan dengan seluruh kerabat sebelum melaksanakan pekerjaan berat, untuk ulang tahun raja, dan pesta perkawinan anak raja.

Tinjauan Historis Sekitar tahun 1659 Palembang jatuh ke tangan Belanda. Hal ini menyebabkan tari Gending Sriwijaya turut hilang bersama runtuhnya kesultanan ini. Mungkin karena kerajaan maritim, pusat kerajaan tidak begitu penting, sehingga tari bukan merupakan pusaka keratin yang tetap terjaga. Kuntowijoyo mengatakan bahwa pada masyarakat mungkin tipe-tipe kerajaan maritim dan komersial pusat kerajaan tidak begitu penting sehingga sulit dicari kesinambungan lembaga yang memproduksi kearifan simbolis (Kuntowijoyo, 1987: 13). Hal ini dimungkinkan karena pada masyarakat maritim di muara sungai dan laut
223

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

seperti umumnya kerajaan-kerajaan di semenanjung Malaysia, Sumatera, dan Kalimantan mempunyai cirri demokratis, karena perbedaan antara rakyat dengan penguasa pada dasarnya tidak besar. Golongan bangsawan, raja, dan rakyat ikut serta dalam perniagaan, bersama sama raja dan bangsawan memiliki modal (kapal) yang kadang-kadang berniaga sendiri atau mempercayakan modalnya kepada ahli-ahli perniagaan yang disebut syahbandar dengan hulubalang yang bertugas menjaga keamanan disebut Hang (Ensiklopedi Nasional Indonesia, 1990: 467). Dari sini dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan antara Kesultanan laut dengan Kerajaan agrarian yang melahirkan budaya keraton. Berbeda dengan kesultanan laut, di kerajaan agrarian kesatuan politik tetap ada selama masih ada pusaka-pusaka dan siti hinggil (tahta) masih berada di tempat suci. Dengan singkat dapat dikatakan bahwa selama ada keraton, kerajaan masih ada. Bahkan kerajaan yang fungsi politiknya telah dihapuskan seperti pada Sultan Hamengkubuwono VIII, Sultan masih tetap memegang teguh konsep kekuasaan Ratu Gung Binantahara atau raja yang di dewakan, dengan hanya dalam bidang budaya. Dari uraian tersebut dimungkinkan bila tari Gending Sriwijaya sebagai hasil budaya kesultanan Palembang turut hidup bersama runtuhnya kesultanan ini, karena selain tidak ada lagi lembaga budaya yang mewadahinya, pada tipe kerajaan maritim pusat kerajaan tidaklah begitu penting sehingga tari bukan merupakan pusaka keraton yang tetap terjaga. Tari ini muncul lagi pada masa penjajahan Jepang. Dengan politik halus, Jepang membentuk sebuah organisasi musisi kesenian bernama Hodohang beranggotakan orang Jepang dan masyarakat Palembang. Pada masa itu tari Gending Sriwijaya muncul lagi kepermukaan dan setelah kemerdekaan tari ini disahkan menjadi tari adat oleh pemerintah daerah. Sejak saat itu tari Gending Sriwijaya sebagai sebuah pertunjukan tari dipentaskan hanya pada penyambutan tamu agung dalam upacara kenegaraan sebagai ucapan selamat datang. Bila tidak diacara kenegaraan, maka pementasan tari ini harus mendapat izin khusus dari pemerintah. Perjalanan sejarah dan wujud yang indah dari tari Gending Sirwijaya semakin mengukuhkan tari ini dianggap merupakan hasil dari sebuah lembaga budaya kerajaan yang diyakini menghasilkan budaya yang halus, bernilai tinggi. Dari uraian di atas maka tidak mengher224

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

ankan apabila tari Gending Sriwijaya terpilih oleh penguasa daerah sebagai identitas yang ditunjukkan guna kebanggaan daerah, sebagaimana yang selalu didengungkan pada masa lalu sebagai puncak budaya daerah yang pada akhirnya dianggap sebagai kebudayaan nasional. Akan tetapi apakah usahan pensakralan yang dilakukan kaum birokrat telah pula menyentuh masyarakat Palembang sebagai penyangga budaya tersebut?. Hal ini dikarenakan bila dilihat secara umum, masyarakat Sumatera memiliki tradisi kuat untuk menghormati dan menjamu tamu sebagaimana seorang raja. Bagi mereka, merupakan aib apabila tidak dapat menjamu tamu sebaik mungkin. Hal ini disebabkan adanya anggapan bahwa orang yang seringkali didatangi tamu adalah orang yang sering dijadikan tempat bertanya bagi orang lain, sehingga ia terhormat karena ilmu yang dimilikinya atau karena kedudukannya yang menyebabkan tamu harus bertandang ke rumah tersebut. Pada sebuah perkampungan yang relatif sepi dalam rutinitas keseharian, kedatangan tamu merupakan suatu yang menjadi perhatian masyarakat sekitar. Orang asing akan selalu menarik perhatian dari sebuah lingkungan homogen yang cenderung saling mengenal satu sama lain sampai pada keturunan mereka. Pada masyarakat Sumatera Utara kebanggaan mereka menerima tamu diwujudkan dalam bentuk tari Serampang Duabelas, bahkan Serampang Duabelas dijadikan bomnya tari Melayu pada peresmian hari kemerdekaan Republik Indonesia I tahun 1945 di Istana Negara Jakarta yang diresmikan oleh Presiden Pertama Indonesia Soekarno. Di daerah Pariaman Sumatera Barat juga ditemui seni pertunukan yang mereka sebut galombang seabgai bagian upacara pengangkatan penghulu suku. Tradisi seni pertunjukan galombang khas orang Pariaman dapat ditemui hampir disetiap daerah dalam wilayah kebudayaan Pariaman. Kekhasan pertunjukan galombang dapat diamati dari dua sisi, pertama, galombang tamu dan kedua galombang tuan rumah. Keduanya dipertunjukkan serentak dalam bentuk berlawanan. Pertunjukan ini biasanya menjadi bagian atau menempati posisi sebagai bagian dari pesta yang berhubungan dengan pelantikan pemimpin (penghulu) (Mahdi Bahar, 1998: 24-25). Galombang ini di bawah 6 12 orang penari lakilaki dewasa dengan gerakan tertentu dan diiringi musik tambua, disajikan dalam bentuk menyongsong tamu. Tamu yang dimaksud adalah
225

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

setiap rombongan penghulu suku yang datang dari persukuan dalam kenagarian di daerah mana upacara diselenggarakan (Hartati, 1997: 52). Dari tradisi ini tidak mengherankan bahwa tari-tari yang mengiringi penyambutan tamu tumbuh subur di daerah Sumatera. Beberapa tari penyambutan tamu seringkali juga ditampilkan pada upacara perkawinan berkaitan dengan kenyataan bahwa kelompok besar adalah tamu yang datang dan masuk ke dalam lingkungan rumah dan keluarga besar, sehingga merupakan kelompok orang yang sangat dihormati. Kenyataan di dalam masyarakat yang mendudukkan seorang penerima tamu (tuan rumah) setara dengan tamu yang hadir di rumahnya barangkali yang menyebabkan tari Gending Sriwijaya mensyaratkan bahwa tamu yang datang harus pula setingkat Gubernur, sebagai seorang yang memiliki kedudukan tertinggi pada struktur lembaga pemerintahan tingka I sebuah propinsi. Dari sana terungkap kesan bahwa ada usaha dari pemerintah daerah untuk menempatkan diri pada posisi sebagai penguasa yang melegitimasi kedudukan mereka baik secara birokrat maupun simbolis. Tampaknya kita secara umum memasuki masyarakat baru, masyarakat teknoratis yang memerlukan sejumlah rekayasa simbolis yang dikerjakan oleh birokrasi. Ia memandang bahwa masyarakat teknokratis kita benar-benar sebagai sebuah masyarakat neo patrimonial, yang mengambil manfaat kearifan aktual dan kearifan simbolis yang menyatu (Kuntowijoyo, 1987: 14).

Strategi Kemasan Seni Tradisi Strategi pelestarian warisan budaya berkenaan dengan dua aspeknya, yaitu 1) kelembagaan, dan 2) sumber daya manusia. Disamping itu harus ditetapkan lebih dahulu apa tujuan dari pelestarian warisan budaya itu. Pelestarian mempunyai makna bahwa di dalamnya terdapat dua aspek sekaligus, yaitu pemertahan dan dinamika. Pendekatan lain yang perlu diambil untuk melestarikan warisan budaya adalah sosialisasi konsep-konsep, kaidah-kaidah, pola-pola, dan nilai-nilai harus dilakukan terus menerus dari generasi ke generasi agar itu semua dapat lestari. Namun dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa pelestarian tidak harus berarti pembekuan. Inovasi dan kreativitas perlu didampingkan dalam proses sosialisasi tersebut. Kreativitas di dalam tradisi harus tetap diberi ruang gerak. Hanya dengan membuka peluang untuk kreativitas dan inovasi itulah kebudayaan dapat tumbuh semakin kaya dan
226

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

canggih dan sekaligus lestari oleh sebab daya hidupnya (Edi Sedyawati, 2008: 208). Tari Gending Sriwijaya sebagai kebudayaan suku bangsa selalu berada dalam proses, di dalam kancah hubungan antar budaya yang selalu terjadi. Yang selalu harus dijaga oleh masyarakat pemilikinya, termasuk di dalamnya unsur pemerintah, adalah agar keseimbangan senantiasa dipertahankan; antara keberlanjutan dan perubahan, sedemikian rupa agar jati diri bangsa senantiasa tampil dengan jelas dan tidak ditenggelamkan. Oleh pengaruh asing tertentu. Berbagai upaya harus dilakukan yang memungkinkan berperannya tari Gending Sriwijaya adalah festival seni daerah pada perayaan 17 Agustus, tidak terkecuali dalam peristiwa seperti kedatangan pejabat pemerintah atau orang terkemuka lain ke desa mereka untuk maksud hiburan, rekreasi dan penilaian artistik. Kebutuhan yang sama juga muncul dari sektor turism, karena pemerintah bertujuan membangun sektor ini sebagai bagian dari kebijakan pembangunan regional dan nasional. Untuk mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan tersebut sisi artistik dari tari Gending Sriwijaya harus dipertimbangkan. Akibatnya, prinsip artistik dari seni pertunjukan seperti properti, konstum, pola lantai, gerak, iringan, dan tempat pertunjukan harus disorot. Sekadar latihan dasar pertunjukan tidak akan cukup. Latihan khusus dengan sentuhan professional dibutuhkan untuk menjamin pertunjukan dapat memenuhi standar artistic dan pada saat yang sama memberikan hiburan dan rekreasi. Ini berarti bahwa semakin banyak pelaku seni pertunjukan yang dibutuhkan. Untuk memenuhi kebutuhan ini adalah anggota masyarakat dalam berbagai perannya. Mereka yang merupakan pelaku dan penerus nilai-nilai (pemimpin, pendidik formal dan non formal). Disamping mereka yang berperan sebagai pelaku dalam penerusan warisan budaya, terdapat pula mereka yang berkedudukan sebagai penerima, yaitu khalayak ramai. Melalui jalur pendidikan dan media massa pulalah masyarakat luas dapat dilayani untuk membuat dirinya menjadi masyarakat yang sadar budaya dan sadar sejarah. Warga masyarakat yang demikianlah yang pada gilirannya mampu menjadikan bangsanya yang kuat juga dalam segi budaya. Tetapi masih ada pertanyaan yang tertinggal, siapa yang akan mulai yang mengkoordinasi semua tindakan yang diperlukan ini dan lewat mekanisme apa?.
227

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Prospek Masa Depan Dalam hubungannya dengan turisme, kita harus mempertimbangkan kebiasaan para turis dalam mengunjungi desa-desa. Beberapa turis lebih senang menikmati tamasya kultural di pedesaan, yang lain senang berpartisipasi dalam aktivitas kultural dan kehidupan sosial masyarakat lokal (Zeppel, 1992: 4 6). Dalam kaitannya dengan tari Gending Sriwijaya, tipe turis yang pertama biasanya tidak hanya menikmati aspek rekreasi dan hiburan dari tarian itu, tetapi juga momen-momen artistiknya, termasuk durasi pertunjukannya. Langkah menuju pada; 1) tiruan dari asliya, 2) singkat atau padat, 3) penuh variasi, 4) ditanggalkan dari nilai-nilai sacral atau magis dan simbolisme, serta 5) murah harganya (Soedarsono, 2003: 15 17) sudah menunjukkan tanda-tanda mulai dilakukan. Sedangkan bagi tipe kedua, elemen artistik tidaklah begitu penting, aspek hiburan, rekreasi dan keterlibatan dalam pertunjukan yang lebih penting bagi mereka. Kedua jenis kebutuhan ini harus dipenuhi dalam pengaturan paket turisme oleh masyarakat lokal di desa, untuk menarik lebih banyak lagi turis ke desa mereka. Untuk memungkinkan masyarakat desa dapat mengatur paket turis, penanganan hal yang berkaitan dengan elemen artistic seni pertunjukan tentu saja diperlukan. Dalam pandangan saya, bila paket turis diatur dengan baik, terutama yang berkaitan dengan warisan kultural penduduk lokal, turisme akan menjadi mekanisme efektif untuk melestarikan dan mengembangkan seni pertunjukan tradisional. Dari sudut pandang fungsional, bila tari Gending Sriwijaya akan dijadikan salah satu daya tari turis ke desa-desa dan akibatnya akan meningkatkan pendapatan masyarakat lokal serta kesejahteraan sosial ekonomi mereka, maka tari Gending Sriwijaya tersebut masih dapat berfungsi seperti masa lalu. Sebagai bagian dari upacara penyambutan tamu. Menurut Hermien Kusmayati, kontinuitas pelaksanaan seni pertunjukan ritual selain ditunjang oleh latar belakang yang berorientasi pada kebutuhan bersama juga dikuatkan oleh transmisi yang berlangsung. Proses transmisi atau penyampaian pola-pola seni pertunjukan dari satu generasi kepada generasi yang lain dapat terjadi dengan disengaja dan dapat pula berlangsung tanpa disadari. Aspek yang dialihgenerasi228

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

kan meliputi materi atau bentuk, pelaku dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya (Hermien Kusmayati, 1999: 10). Karenanya ritual tradisional seperti Gending Sriwijaya sangat menarik, misalnya pada saat penari berbaris dengan teratur dan hierarkis, ditunjang dengan tata rias dan busana penari seperti pengantin wanita Palembang memberikan sentuhan emosional tersendiri. Diyakini ritual ini dapat dikembangkan menjadi objek turisme yang menarik di Sumatera Selatan. Melalui turisme perkembangan Gending Sriwijaya dapat meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat lokal, sehingga secara perlahan-lahan akan mengurangi ketergantungan masyarakat lokal terhadap penggunaan sumber alam mereka secara ekstensif. Hal ini baik bagi upaya konservasi lingkungan. Perkembangan turisme sangat menarik bila ia memperhatikan dimensi lingkungan dan sosial budaya. Perkembangan seperti ini, juga akan meningkatkan penghargaan masyarakat lokal terhadap lingkungan alam serta warisan budaya mereka dan dapat meningkatkan kelestarian budaya dan konservasi lingkungan. Disamping dampak yang nyata dan nilai tambah ekonomis tersebut, adanya upaya pengemasan seni pertunjukan untuk tujuan-tujuan pariwisata sering dinilai menimbulkan ekses negative terhadap keberadaan dan kelangsungan seni pertunjukan itu sendiri. Ditinjau dari sisi karya seni pertunjukan, kehadirannya yang terkemas dikhawatirkan bisa menimbulkan citra bahwa seni pertunjukan tersebut hanya sedemikian saja kualitasnya. Mutu penampilan seni pertunjukan yang sudah mengalami pengalan-penggalan pada bagian-bagian tertentu tentunya tidak bisa diharapkan optimal. Apalagi, penampilan seadanya yang itu-itu juga menyebabkan kesan monoton merebak ke permukaan. Kalau keadaan ini tidak cepat diantisipasi, maka rasa bosan akan cepat menghinggapi pamain. Padahal bila ditampilkan secara utuh dengan durasi pementasan lebih panjang, susunan pemain dan pengiring yang lengkap, setting dan lokasi pementasan yang sepatutnya, serta dengan didukung oleh sarana musik dan penyiapan properti yang memadai, kualitas penampilan dan makna sacral yang terwujud tentu akan lebih baik pula.

Pariwisata dan Seni Pertunjukan Sebagai suatu perkembangan seni, diciptakannya bentuk baru seni pertunjukan bagi para wisatawan ini merupakan suatu dampak yang
229

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

positif. Hal ini mengisyaratkan adanya pertumbuhan yang menjawab tantangan untuk berkreasi bagi para seniman seni pertunjukan. Sedangkan bagi upaya pengemasan bentuk yang sudah ada, dapat dikaitkan dengan upaya rasionalisasi dalam rangka pemadatan yang bertujuan yakni melestarikan seni itu sendiri. Hanya masalahnya apakah hal itu perlu dilanjutkan kepada penciptaan bentuk-bentuk baru dengan keberanian untuk mengeksplorasi jenis-jenis seni pertunjukan yang selama ini belum tersentuh jamahan pariwisata. Misalnya, tari Gending Sriwijaya yang juga mempunyai potensi untuk digarap dan diperkenalkan kepada wisatawan yang datang dari jauh untuk menyaksikan sesuatu yang baru, unik dan asli. Hal ini perlu dipikirkan secara terpadu dengan sektor pariwisata terkait, sehingga dapat disusun program paket pariwisata yang tidak saja berdampak meningkatkan nilai ekonomis tetapi juga berorientasi kepada pengembangan dan revitalisasi kesenian rakyat dalam rangka pelestarian jenis-jenis seni tradisi yang ada. Disamping itu upaya tersebut juga diarahkan kepada pengungkapan kekayaan khasanah budaya seni pertunjukan di panggung internasional (bagi para wisman) dan juga di panggung nasional (para wisnu). Peningkatan martabat sumber daya manusia di sektor seni pertunjukan dalam kaitannya dengan iklim persaingan yang sehat perlu direnungkan dan ditindaklanjuti sebagai upaya untuk menghindari eksploitasi para seniman oleh para pengusaha industri wisata. Bila perlu, asosiasi seniman seni pertunjukan dibentuk. Kalau sudah ada, perlu dilembagakan aturan-aturan main atau kode etik dalam mengantisipasi pesan, dari manapun datangnya, dan menetapkan standar harga yang layak dan manusiawi bagi semua. Tantangan sekaligus juga harapan adalah bagaimana kita harus mempersiapkan alih generasi dalam rangka pewarisan semua yang telah kita miliki saat ini kepada anak cucu kita. Untuk itu, jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah melalui jalur pendidikan, baik formal maupun non formal. Apalagi dasarnya dampak teknologi canggih dalam bidang home entertainment yang menawarkan alternative seni budaya asing yang cukup menggoda bagi generasi penerus kita tampaknya mendesak untuk diantisipasi dengan cepat. Untuk jalur pendidikan formal, harus dimulai persiapan sejak Sekolah Dasar dengan memberikan masukan lebh kepada porsi pengetahuan
230

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

dan keterampilan kesenian yang ada, terutama pada pengisian mata pelajaran pilihan lokal di kurikulum pendidikan nasional, sejak Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah. Pada tingkat Sekolah Kejuruan dan Perguruan Tinggi, pemilihan topik studi, penelitian dan tugas akhir studi haruslah diarahkan kepada bidang kesenian rakyat tradisi. Sekali waktu, apresiasi siswa dapat ditingkatkan dengan mengadakan workshop dan pertunjukan di sekolah maupun di kampus-kampus. Kunjungan siswa sekolah non kesenian ke kampus-kampus kesenian yang lebih tinggi sebaiknya perlu dilakukan untuk memperluas wawasan kesenian itu sendiri. Pada jalur non formal, kursus keterampilan dan sistem sanggar perlu digalakkan. Meskipun hal ini merupakan masalah klasik dengan alternative solusi yang klasik dan terdengar klise, sejauh menyangkut masalah pendidikan formal dan non formal, tiada jalan lain yang mungkin dilakukan. Dalam kaitannya dengan pertunjukan rakyat, yang dilakukan adalah menghimbau para eksekutif penentu kebijakan agar dapat menciptakan suasana sadar kesenian rakyat di kalangan eksekutif penentu kebijakan politik kebudayaan, sehingga mendukung peningkatan apresiasi masyarakat. Kenyataan yang ada dan terjadi dalam lingkup seni pertunjukan Indonesia saat ini adalah hasil upaya antisipatif terhadap tuntutan yang ada dalam masyarakat yang terimplementasikan dalam bentuk-bentuk seni pertunjukan kemasan. Dampak yang timbul merupakan hasil proses sebab akibat, baik yang bermakna positif, maupun negatif. Penyikapan masalah ini harus dilandasi pemikiran maju yang berorientasi kepada pendekatan-pendekatan pragmatis bagi pemenuhan kepentingan segala pihak. Adanya dampak ekonomis dan tantangan untuk bersikap kreatif bagi pengembangan bentuk seni pertunjukan yang baru haruslah disyukuri dan ditingkatkan, sedangkan ekses negatif yang timbul ternyata berpulang kepada diri kita sendiri sebagai orang-orang kreatif yang terlibat. Dengan menyikapi adanya tuntutan tersebut, kita harus dapat lebih arif dan berupaya mencoba menghilangkan ekses tersebut. Apalagi, hal itu kait mengait dalam suatu lingkaran keadaan yang kurang kondusif bagi pengembangan kesenian yang layak, baik bagi pelaku, penikmat, dan pengelola industri itu sendiri. Suatu diskusi untuk mencari alternatif masalah tersebut perlu digalang agar tema-tema eksploitasi,
231

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Sapi Perahan, derajat, paling rendah, kurang bergengsi, dan semacamnya dapat dieliminasi dari lingkup seni pertunjukan yang kita cintai bersama ini, sehingga muncul ke permukaan adalah dampak positif saja. (Soerapto Soedjono, : ). Banyak karya tari baru yang dihasilkan oleh seniman-seniman besar mengambil ide dari tradisi rakyat dan menjadi sebuah garapan tari yang merangkai berbagai unsur-unsur motif gerak tari daerah secara semena-semena, tanpa izin dari pemilik asal atau niat kerja sama. Kemiskinan kreatitas ini tertutup oleh nama besar dan kesempatan yang telah didapat. Rakyat pemiliki kesenian itu sendiri hanya bisa melihat dari kejauhan, mungkin dari televisi atau foto-foto di koran. Nama-nama kesenian diambil tanpa rasa bersalah, kendati menepiskan makian. Konteks tradisi pun semakin pudar tanpa penghargaan. Bahkan, ketika beberapa karya tradisional mulai laku dijual yang ada hanyalah tiruan dari kemasan. Dalam kasus tari Gending Sriwijaya, kerja kreatif yang terjadi menjadi langka, karena di dalamnya terjadi suatu pertemuan yang menguntungkan kedua belah pihak. Melibatkan rakyat dalam ekspresi komunal mereka ternyata bisa dilakukan. Bahkan, ketika orientasi mereka berubah dari sebuah pertunjukan upacara adat ke format wisata seni, mereka dilibatkan untuk mengambil keputusan untuk menjual atau mempertunjukkan keseniannya.

Daftar Pustaka

Adat Istiadat Upacara Perkawinan Daerah Sumatera Selatan, 1984. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah. Deskripsi Tari Pangutan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kantor Wilayah Propinsi Sumatera Selatan: Proyek Pembinaan Kesenian Sumatera Selatan tahun 1990/ 1991. Ensiklopedi Nasional Indonesia jilid 4, 1990. Jakarta: Cipta Adi Pustaka. Hermien Kusumayati, Serial Seminar Seni Pertunjukan Indonesia di Gedung Teater Tertutup Sekolah Tinggi Seni Indonesia Surakarta tanggal 9 10 Mei 1999. Jajuk Dwi Sasanadjati, Senja Ulang Pertunjukan yang Menghibur. Ekspresi Jurnal Institut Seni Indonesia Yogyakarta: Seni: Kearifan dan Keunggulan Vol232

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

ume 14, tahun 5. 2005 Koentowijoyo, 1987. Budaya dan Masyarakat Yogyakarta: Tesis Wacana. Lintasan Sejarah Budaya Sumatera Selatan Pusat Penelitian Lembaga Sosial Budaya Penelitian Univesitas Sriwijaya tahun 1997. R. Diyah Larasati, Kecak Rina, Sardono W. Kusumo dan Arma (Kerja Kreatif Seniman Tradisional dan Modern), 1997. Jurnal Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia tahun VIII. Sedyawati Edi, 2008. Ke Indonesiaan Dalam Budaya, buku 2, Jakarta: Wedatama Widya Sastra. Soedarsono, 2003. Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soedarsono, 2003. Seni Pertrunjukan dari Perspektif Politik Sosial, dan Ekonomi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Soejono Soeprapto, 2006. Kenyataan dan Harapan: Dampak Industri Pariwisata Pada Seni Pertunjukan, Ekspresi, Jurnal Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

233

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Asril Muchtar adalah Sekretaris Program Pascasarjana dan dosen jurusan Karawitan Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang.

234

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Upacara Tabuik dan Tabot di Pesisir Barat Sumatra


Asril Muchtar, S.Kar., M.Hum.
Dosen Jurusan Seni Karawitan STSI Padang Panjang

Latar Belakang radisi ritual berskala besar dan kolosal yang dimiliki masyarakat pantai bagian Barat Sumatra adalah Upacara Tabuik dan Upacara Tabot. Upacara Tabuik terdapat di kota Pariaman, Sumatra Barat, sedangkan Upacara Tabot terdapat di kota Bengkulu. Kedua ritual ini sama-sama dilaksanakan pada awal hingga paroh pertama (1-10) Muharam dalam kalender tahun Hijriyah. Namun terjadi sedikit perbedaan, di Bengkulu Upacara Tabot masih tetap dilaksanakan dari tanggal 1-10 Muharram, sementara di Pariaman sudah terjadi pergeseran waktu pelaksanaan dengan tidak lagi berpatokan pada tanggal 1-10 Muharam, tetapi bisa menjadi dari tanggal 1-11,12,13, dan 14 Muharamdengan perhitungan hari puncak upacara jatuh pada hari minggu. Pergeseran ini agaknya ingin mengadopsi dua kepentingan yakni, kepentingan penyelenggara dan kepentingan masyarakat penikmat. Meskipun berada di tempat yang berbeda, tetapi kedua ritual ini berasal dari suatu peristiwa sejarah yang sama, yakni peristiwa perang Karbala Irak antara pasukan Yazid dari Bani Umayyah dengan rombongan Husein Bin Ali cucu Nabi Muhammad s.a.w.. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharam tahun 680 (61 H)1. Dalam peperangan ini Husein

Fazl Ahmad, Husein Sjahid Agung, Terj. Adam Saleh (Djakarta: PT Sinar Hudaya, 1972), 190191; Periksa H.A.R Gibb dan J.H Kamer (ed.), Shorter Encyclopaedia of Islam (Leiden: EJ Brill, 1974), 142; Periksa Asril, Pertunjukan Gandang Tambua dalam Upacara Ritual Tabuik di

235

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

dan pasukannya mati terbunuh kecuali beberapa perempuan dan anakanak. Husein bagi kalangan penganut Syiah dianggap Imam ketiga setelah ayahnya Ali Bin Abi Thalib, dan Hasan Bin Ali (kakak Husein). Kematian Husein meninggalkan duka yang mendalam bagi penganut Syiah. Kebesaran namanya dan penghormatan terhadapnya dilakukan oleh kalangan umat Islam dari penganut Syiah dari seluruh dunia, dan tak terkecuali juga dari Islam Sunni di berbagai kawasan Asia Tenggara, termasuk di berbagai tempat di Indonesia. Bentuk penghormatan itu di kawasan Timur Tengah diwujudkan dalam pertunjukan drama bergaya su yang menyajikan kronologi penderitaan yang dialami oleh Husein. Sementara di tempat lain ditafsir pula berdasarkan kekuatan budaya lokalnya, seperti yang masih dapat kita jumpai di kawasan pantai barat Sumatra adalah Upacara Tabuik dan Upacara Tabot. Uniknya, bentuk upacara dan perayaannya di masing-masing daerah tidak semata-mata bertolak dari peristiwa perang Karbala. Akan tetapi, mereka melakukan pemitosan sejarah perang Karbala dengan menafsirkannya sendiri rasa simpati terhadap Husein sesuai dengan versi daerah masing-masing. Peristiwa Karbala bisa menjadi seperti legenda. Penafsiran ini berimbas pada bentuk upacara, benda upacara (tabuik dan tabot), spirit upacara, dan pelaksanaan upacara. Misalnya, di Pariaman tabuik diwujudkan dalam bentuk sebuah benda atau menara yang dibuat setinggi sekitar 10-12 meter dan pada bagian tengahnya dibuat seekor buraq, yaitu patung kuda bersayap berkepala wanita yang dianggap sebagai kendaraan yang membawa arwah Husein. Benda ini kemudian disebut tabuik. Sementara di Bengkulu tabot ditafsir dari mimpi seorang leluhur keturunan tabot saat bermimpi di Karbala. Ia melihat bangunan istana raja berbentuk piramida. Mimpi itu kemudian diwujudkan dengan bentuk menara setinggi sekitar 5-6 meter, yang memiliki unsur seperti piramid--kemudian disebut tabot. Di Pariaman pelaksanaan Upacara Tabuik dilakukan oleh dua kelompok pendukung tabuik, yaitu tabuik pasa dan tabuik subarang. Masing-masing hanya menggunakan satu tabuik gadang (tabuik besar). Kedua kelompok ini seolah-olah menggambarkan dua kubu yang berperang. Di Bengkulu pelaksanaan Upacara Tabot juga terdiri atas dua kelompok tabot yaitu kelompok tabot berkas (tabot tuo) dan kelompok tabot bangsal. Akan tetapi, masing-masing kelompok tabot memiliki
Pariaman Sumatra Barat, Tesis S2 UGM Yogyakarta, 2002, 51.

236

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

pula anggota tabot pendukungnya, sehingga jumlah tabot yang digunakan dalam upacara bisa mencapai 12 buah atau lebih2. Kedua kelompok tabot di Bengkulu tidak secara tegas dan terbuka sebagai gambaran dua kubu yang sedang bertentangan. Upacara tabuik dan Upacara Tabot sudah menjadi identitas budaya bagi masing-masing daerah. Dalam setiap penyelenggaraan upacara ini di masing-masing kota, mampu memobilisasi masyarakat untuk menyaksikannya. Bahkan masyarakat yang menyaksikan upacara itu secara tidak langsung terlibat sebagai bagian dari pendukung upacara, sehingga menjadi kolosal. Di Pariaman misalnya, setiap perayaan upacara ini tidak kurang dihadiri oleh 200-an ribu orang dari berbagai daerah sekitarnya. Seiring dengan perkembangan zaman, perubahan kecenderungan selera dan perilaku masyarakat dan berbagai perkembangan politik, telah turut pula mewarnai wajah perkembangan upacara. Misalnya dari ritual ke sekuler, ataupun berubah secara parsial.

Interpretasi Masyarakat dari Perang Karbala ke Upacara Kendatipun Upacara Tabuik dan Upacara Tabot sama-sama berasal dari peristiwa perang Karbala, tetapi bentuk upacara, struktur atau kronologi upacara, pelaksanaannya, dan spirit yang dimunculkannya terdapat perbedaan-perbedaan yang signikan. Perbedaan ini muncul karena adanya interpretasi masyarakat terutama para pendukung dan keluarga tabuik dan tabot. Menurut Hamidy, upacara tabot pada awalnya merupakan upacara berkabung kaum Syiah yang dibawa ke Bengkulu orang Sipahi yang bekerja membangun benteng Marlborought. Mereka berasal dari Madras India, kemudian diwariskan kepada keturunan mereka dan keturunan mereka hasil asimilasi dengan warga setempat3. Versi lain menyebutkan, Margaret Kartomi berdasarkan legenda yang berkembang di Bengkulu menceritakan, bahwa upacara tabut berasal dari India dibawa ke Bengkulu oleh Imam Senggolo--seorang pemuka Islam yang dikenal pula dengan nama Syeikh Burhanuddin. Kemudian seorang to2 3 Badrul Munir Hamidy (ed.), Upacara Tradisional Daerah Bengkulu: Upacara Tabot di Kotamadya Bengkulu (Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud, 1991/1992), 13-14. Ibid., 61.

237

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

koh Islam yang bernama Kadar Ali membawa tabut itu ke Pariaman4. Snouck Hurgronje memperkirakan bahwa tabuik berasal dari India dan masuk ke Sumatra diperkirakan pada abad XIV, diduga karena hikayat Ali Hanayah yang menceritakan tentang kematian Husein, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu pada masa itu. Perkiraan kedua, tabuik masuk ke Sumatra pada akhir abad XVII, ketika Inggris membawa pasukan Sepoy India (orang Sipahi atau Cipai) yang berusaha menguasai pesisir pantai Barat Sumatra, dan untuk membantu menduduki bentengnya di Bengkulu5. Azyumardi Azra mencatat bahwa tabuik masuk ke pantai barat Sumatra antara tahun 1750-8256. Berdasarkan keterangan Snouck Hurgronje di atas, kuat dugaan tabuik diperkirakan masuk ke Pariaman pada akhir abad XVII, oleh karena baru pada abad XVI sampai XVIII, Iran membuat ikatan budaya yang kuat dengan India melalui berbagai penguasa Syiah di India Utara dan India Selatan. Masa kontak budaya ini menjadikan taziah atau tabut dari Iran, berkembang dan memiliki kesamaan dasar di India7. Melihat pada bentuk tabuik yang ada di Pariaman, salah satu ciri terpentingnya yang sangat berbeda sekali dengan tabot Bengkulu adalah buraq, sedangkan tabot Bengkulu tidak memiliki buraq. Buraq itu bentuknya seperti kuda bersayap berkepala wanita, dulu berambut panjang, sekarang berkembang pula dengan memakai jilbab yang diidentikkan seperti burung raksasa. Kecepatan terbangnya seperti kilat. Buraq termasuk binatang mitologi yang hanya ada dalam konsep pikiran saja. Cerita tentang buraq sering dikaitkan dengan peristiwa isra dan miraj Nabi Muhammad8. Bentuk yang seperti ini ditemui di India Selatan,
4 5 6 7 8 Margaret J. Kartomi, Tabut - a Shiah Ritual Tranplanted from India to Sumatra, dalam David P. Chandler dan M.C. Ricklefs (ed.) Nineteenth and Twentieth Century Indonesia. (Clayton: Centre of Southeast Asia Studies, Monash University, 1986), 142. Periksa Ph. S. van Ronkel, Nadere gegevens omtrent het HasanHoesain feest, diterjemahkan oleh Hartoyuwono, dalam Tijdschri ft voor Indische Taal--, Land--, en Volkenkunde (Batavia: Albrecht & Co., 1914), 334-335. Azyumardi Azra, Syiah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas (pengantar) dalam A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar (ed.), Syiah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian (Bandung: Mizan dan PPW-LIPI, 2000), 21. Kartomi, op. cit., l44. Michael Barry, et al., Color and Symbolism in Islamic Architecture: Eight Century of the Tile Makers Art (London: Thames and Hudson Ltd., 1996), 284; Periksa juga M. Th. Houtsma, et al., The Encyclopaedia of Islam: Dictionary of the Geography, Ethnography of Muhammadan

238

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

seperti di Dekkan, Lucknow, dan Delhi yang disebut pula dengan tabut atau buraq9. Jadi kemungkinan besar tabuik Pariaman berasal dari India Selatan tidak melalui Bengkulu. Atau mungkin saja masuknya tabuik ke Pariaman dan Bengkulu dalam kurun waktu yang bersamaan. Sebagai pertimbangan lain, antara tabuik Pariaman dengan tabot Bengkulu masing-masing memiliki mitos sendiri-sendiri, yang sangat berbeda. Mitos ini yang menjadi ilham dalam mewujudkan bentuk sik tabuik dan tabot itu. Adapun mitos tabuik Pariaman adalah sebagai berikut. Setelah Husein terbunuh dengan kondisi tubuh dicincang oleh pasukan Yazid bin Muawiyah, tiba-tiba datanglah sebuah arak-arakan dari langit yang terdiri dari para malaikat dan seekor buraq. Setelah arak-arakan itu mendarat di lokasi Husein terbunuh, para malaikat memasukkan bagian tubuh Husein ke dalam peti yang ada di punggung buraq, dan selanjutnya arak-arakan itu lepas landas menuju langit. Dalam perjalanan menuju langit, para malaikat mencium adanya bau manusia dalam rombongan tersebut. Rupanya mereka prajurit Husein yang selamat yang berasal dari Cipahi (Keling) bergantung pada arak-arakan itu, dan mereka memohon kepada malaikat ikut bersama jenazah Husein, tetapi malaikat tidak mengizinkannya. Kemudian malaikat itu memberikan nasehat agar orang Cipai itu dapat melaksanakan arak-arakan tersebut seperti yang dilihatnya, dan arak-arakan itulah kini yang disebut dengan tabuik10. Mitos di atas dimulai dari kematian Husein oleh pasukan Yazid bin Muawiyah, pada hal itu adalah fakta sejarah yang terjadi di Karbala. Setelah itu mayat Husein dan para pengikutnya dikuburkan di Karbala. Akan tetapi masyarakat Pariaman membuat rekayasa sendiri yang bersifat imajinatif, dengan datangnya arak-arakan para malaikat beserta buraq membawa jenazah Husein terbang ke langit, yang tidak bisa diPeoples (London: Luzac and Co., 1913), 793. 9 Ibid., 145-146. 10 Parsi Tanjung, Tabuik, Pesta Kolosal Anak Nagari Piaman, Singgalang Minggu, 26 Juni 1994); Periksa Asril, Pertunjukan Gandang Tambua dalam Upacara Ritual Tabuik di Pariaman Sumatra Barat, Tesis S2 UGM Yogyakarta, 2002, 63. Ungkapan mitos ini juga dimuat dalam leaet pariwisata Kabupaten Padang Pariaman, ketika Upacara tabuik masih dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten Padang Pariaman.

239

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

hubungkan dengan fakta. Namun ketika mereka membuat tabuik, mereka bisa mewujudkan arak-arakan malaikat dengan buraq dalam mitos itu seperti Upacara Tabuik yang ada sekarang. Berbeda pula dengan tabot Bengkulu, mitosnya juga berawal dari tragedi Karbala. Berdasarkan catatan yang dibuat oleh penguasa Belanda di Bengkulu pada akhir abad ke-19, mitos tabot dilukiskan sebagai berikut. Mayat Husein yang tanpa kepala ditinggalkan di padang Karbala. Seseorang yang bernama Natsal, pembantu Husein mengetahui bahwa di dalam ikat pinggang Husein tersimpan sebuah intan atau jimat yang berharga. Menurut Natsal lebih baik ia mengambil barang itu, dari pada diambil atau dirampas oleh orang lain. Ketika Natsal membuka pakaian Husein untuk mengambil barang itu, kedua tangan Husein bergerak-gerak menolak tangan Natsal. Natsal kemudian menebas tangan mayat Husein, akan tetapi pada saat yang sama ia mendengar guruh, kilat menyambar ke segala arah dengan suara yang menakutkan. Melihat kejadian itu Natsal berbaring di tanah. Dalam keadaan sadar Natsal melihat bagaikan dalam mimpi sebuah istana raja berbentuk piramida muncul di sepanjang tempat itu, disertai lantunan iramairama yang harmonis. Kemudian ia mendengar kata-kata; berilah jalan Nabi Adam, Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa, Siti Fatimah, dan Nabi Muhammad datang memberikan penghormatan kepada Husein. Natsal melihat wajah Nabi Muhammad, lalu Nabi menampar wajah Natsal dengan mengucapkan kata-kata, untuk memberi tanda perbuatan burukmu bukan hanya wajahmu yang tetap hitam, tetapi keturunanmu akan dilahirkan dengan wajah hitam. Setelah kejadian itu, Natsal menyesali perbuatannya, ia pergi ke Mekkah memohon ampunan dari Allah di Kabah atas perbuatan buruknya itu. Pada saat ia berdoa Jafar Ibnu Muhammad Siddik seorang ulama yang sedang mengelilingi Kabah, menemuinya dan menanyakan masalah apa yang dihadapi oleh Natsal. Natsal menjelaskan semua kejadian yang ia alami, lalu Jafar memberikan jawaban kepadanya, bahwa dosa Natsal bisa diampuni dengan syarat ia dan keturunannya setiap tahun harus mengenang dan memperingati kematian Husein melalui suatu
240

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

upacara yang khidmat11. Natsal yang disebut sebagai pembantu Husein hanyalah sebuah rekayasa saja, begitu juga mimpinya. Akan tetapi nama Natsal sangat dihormati oleh orang-orang Cipai Bengkulu termasuk para serdadu Cipai. Mereka menganggap Natsal sebagai leluhurnya, sehingga menjadi kewajiban bagi mereka melaksanakan upacara tabot secara khidmat setiap tanggal 1-10 Muharram setiap tahun, untuk menebus dosa-dosa Natsal. Mengenai bentuk tabot keturunan Natsal membuat seperti menara yang memiliki unsur piramida, sebagaimana bentuk tabot yang ada di Bengkulu saat ini, sebagai hasil penafsiran mereka terhadap mimpi Natsal di Karbala12. Berdasarkan mitos itu, tabot di Bengkulu tidak memiliki buraq, namun dalam perkembangan sekarang sudah ada pula tabot yang memakai buraq13. Berpedoman pada dua mitos di atas, memberikan gambaran bahwa orang-orang Cipai yang datang ke Bengkulu dan ke Pariaman, kemungkinan berasal dari daerah yang berbeda di India dan datang dalam kurun waktu yang sama atau berbeda.

Bentuk Upacara Upacara Tabuik dan Upacara Tabot terdiri atas beberapa ritus atau rangkaian upacara yang pada dasar memiliki kesamaan, meskipun ada beberapa perbedaan. Ritus-ritus yang terdapat dalam Upacara Tabuik adalah sebagai berikut. (1) Upacara maambiak tanah (mengambil tanah) merupakan prosesi ritual mengambil tanah ke sungai yang menggambarkan pengambilan mayat Husein yang masih tertinggal di Karbala. Upacara ini dilaksanakan pada tanggal 01 Muharam pada sore hari selesai salat Ashar. (2) Upacara maambiak batang pisang (mengambil batang pisang) merupakan prosesi ritual mengambil dan menebas batang pisang yang dilakukan di masing-masing tempat upacara, kemu11 O. L. Helfrich, et al., Het Hasan-Hosein of Taboet-Feest te Benkoelen, dalam Internationales Archiv fur Ethnographie (Leiden: Verlag von P. W. M. Trap, 1888), 192-193. 12 Ibid. 13 Zelly Marissa Haque, Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu, Skripsi (Padangpanjang: STSI, 2009), 22.

241

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

(3)

(4)

(5)

(6)

(7)

(8) (9)

dian dibawa ke daraga14. Upacara ini menggambarkan saat-saat Husein dipancung oleh tentara Yazid. Upacara ini dilaksankan pada tanggal 05 Muharam mulai dari sore hingga sekitar pukul 21.00. Upacara maradai merupakan prosesi yang bertujuan mengundang simpati masyarakat guna menyumbang dana atau apa saja yang bisa membantu biaya pembuatan tabuik. Upacara ini dilakukan pada tanggal 06 Muharam (dapat menyesuaikan dengan rentang waktu upacara) pada malam hari sekitar pukul 19.30. Upacara mahatam merupakan penurunan jari-jari dari rumah tabuik (keluarga tabuik), kemudian dibawa ke daraga. Upacara ini menggambarkan jari-jari Husein yang berserakan di Karbala, selanjutnya dikumpulkan di suatu tempat. Upacara ini dilaksanakan sekitar pukul 12.00-14.00. Upacara maarak jari-jari adalah upacara berupa prosesi mengarak jari-jari dengan melintasi berbagai kampung sebagai gambaran keganasan tentaraYazid. Upacara ini dilakukan pada malam hari setelah upacara mahatam. Upacara maarak sorban merupakan prosesi mengarak sorban (penutup kepala) sebagai gambaran setelah menemukan sorban Husein. Upacara ini dilaksanakan dua hari menjelang upacara puncak, pada malam hari (pukul 20.00-22.00). Upacara tabuik naiak pangkek adalah penggabungan pangkek 15 (bagian) bawah dengan pangkek atas badan tabuik yang sebelumnya dibuat secara terpisah. Upacara ini dilaksanakan pada pagi hari (subuh) pada hari puncak upacara. Upacara maoyak tabuik merupakan upacara puncak dari seluruh rangkaian Upacara Tabuik. Upacara ini dimulai dari pukul 11.00-16.00. Upacara tabuik dibuang ke laut merupakan upacara terakhir berupa prosesi membuang tabuik ke laut, sebagai gambaran

14 Daraga adalah areal yang dimitoskan sebagai tempat makam Husein. Jika lokasi memungkinkan, di sekitar daraga juga dibuat pondok tempat membuat tabuik yang disebut dengan kandang tabuik. Kandang tabuik dapat pula dibuat terpisah dari daraga. 15 Dalam pembuatan tabuik Pariaman dilakukan atas dua bagian, yaitu bagian atas dan bagian bawah. Setiap bagian disebut dengan pangkek. Pangkek bawah adalah kaki tabuik dan buraq, sedangkan pangkek ateh (atas) terdiri atas bungo salapan, puncak tabuik, biliak-biliak, dan lain sebagainya.

242

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

mengantarkan jenazah Husein ke pemakaman. Upacara ini dilaksanakan dari pukul 16.00-18.3016. Masa jeda antara upacara maambiak tanah dengan upacara maambiak batang pisang, di masing-masing rumah tabuik dan kandang tabuik dilakukan kegiatan pembuatan tabuik dan permainan gandang tasa (musik pendukung Upacara Tabuik). Pada masa lalu di Pariaman tanggal 2-4 Muharam disebut dengan hari gam, namun sudah banyak yang tidak tahu lagi tersebut. Adapun ritus-ritus yang terdapat dalam Upacara Tabot menurut Hamidy sebagai berikut. (1) Mengambiak tanah (mengambil tanah). Tanah yang diambil adalah tanah yang dianggap mengandung nilai magis. (2) Duduk penja (jari-jari). Penja adalah benda berbentuk telapak tangan manusia lengkap dengan jari-jarinya. Penja disebut juga dengan jari-jari. Penja menurut keluarga Sipai adalah benda keramat yang mengandung magis, maka harus dicuci dengan air bunga dan air limau [jeruk] setiap tahunnya. Setelah dicuci penja diletakkan di gerga17. (3) Menjara artinya mengandun atau berkunjung mendatangi kelompok tabot lain untuk beruji dol (bertanding membunyikan dol). Menjara dilakukan dua kali yaitu pada tanggal 05 Muharam oleh kelompok tabot bangsal ke kelompok tabot berkas, kemudian tanggal 06 Muharam kelompok tabot berkas mengunjungi kelompok tabot bangsal. Menjara dilakukan pada malam hari dari pukul 20.00-23.00. (4) Meradai, berjalan mengitari kampung dilakukan oleh anakanak usia 10-12 tahun dalam rangka pengumpulan dana untuk pembuatan tabot. Peserta meradai disebut jola. Meradai dilaksanakan pada tanggal 06 Muharam dari pagi sampai sore. (5) Arak penja: atau disebut juga arak jari-jari dilaksanakan pada tanggal 08 Muharam mulai pukul 19.00-21.00 dengan menempuh rute yang telah ditentukan. Acara dimulai di lapangan Merdeka Bengkulu (lapangan Tugu Propinsi) dan selesai kembali di lapangan Tugu Propinsi. Pelaku upacara adalah anakanak dan remaja. Tidak ada terjadi perkelahian.
16 Asril, Op cit., 66-67. 17 Gerga adalah pusat kegiatan tabot.

243

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

(6) Arak serban: dilakukan pada tanggal 09 Muharam pada malam hari dari pukul 19.00-21.00. Arak serban berupa prosesi membawa serban (sorban) putih yang diletakkan pada tabot coki (tabot kecil), dilengkapi dengan bendera atau panji-panji berwarna putih, hijau atau biru yang bertuliskan Hasan dan Husen dengan kaligra Arab. (7) Gam: yaitu masa tenang yang ditentukan tidak boleh ada kegiatan apapun yang berkaitan dengan tabot. Gam dimulai dari pukul 07.00-16.00. (8) Arak gedang: yaitu prosesi kelompok tabot yang dimulai dari markas masing-masing menuju Lapangan Merdeka. Menyatunya kelompok-kelompok tabot dalam satu arak-arakan ini disebut dengan arak gedang (pawai akbar). Sesampai di Lapangan Merdeka, tabot-tabot dibariskan seperti bershaf, sehingga disebut pula dengan tabot besanding. Upacara dimulai pada pukul 19.00-21.00. Selama acara tabot besanding berbagai hiburan dan kesenian rakyat ditampilkan untuk menghibur para pengunjung. (9) Tabot tebuang: upacara tabot tebuang dimulai dari Lapangan Merdeka, sekitar pukul 11.00 arak-arakan tabot menuju Padang Jati dan berakhir di kompleks pemakaman umum, Karabela. Di makam ini dimakamkan Imam Senggolo, pelopor upacara tabot. Upacara tabot tebuang dipimpin oleh dukun tabot dan dipandang bernilai magis. Selesai ritual tabto tebuang, tabot-tabot itu dibuang ke rawa-rawa di sekitar makam18. Di Bengkulu, hampir semua ritus upacara yang dilakukan menggunakan sesajen, berupa makanan, minuman, dan berbagai kembang dan limau (jeruk). Cara ini menampakkan bahwa di Bengkulu nilai ritual dan sakral masih dipertahankan, meskipun gerusan perubahan ke arah mempertipis nilai tetap saja terjadi. Upacara Tabuik termasuk upacara yang berdimensi keras dan bersifat kolosal. Pelaku utama upacara itu terdiri dua tabuik, yaitu tabuik pasa dengan pusat aktivitasnya di Kampung Perak, Pasir, dan pasar Pariaman (bekas nagari Pasar Pariaman), dan tabuik subarang dengan pusat aktivitasnya di Kampung Pondok, Kampung Jawa, Kampung Cina,
18 Hamidy, Op cit., 66-73.

244

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

dan Jawi-Jawi (bekas nagari Lima Koto Air Pampan). Kedua tabuik ini menggambarkan dua kelompok yang sedang berseteru. Bisa dianalogikan dengan pasukan Husein dan pasukan Yazid yang sedang berperang di Karbala. Walaupun sesungguhnya masing-masing pendukung tabuik itu sama-sama mengagungkan dan merayakan peringatan kematian Husein, dan tidak satu pun yang berperan sebagai pasukan Yazid. Akan tetapi antara satu dengan lainnya saling tuding menjadi lawannya. Ini memang aktivitas budaya yang direkayasa untuk itu. Bentuk-bentuk kekerasan itu muncul, seperti mengadu tabuik, caci maki dalam bahasa kasar, sindiran dalam bentuk sarkasme, dan perkelahian massal di antara kedua belah pihak. Namun sekarang sindiran dan caci makian dalam bahasa kasar sudah mulai hilang. Bentuk kekerasan itu muncul pada upacara maambiak batang pisang, maarak jari-jari, maarak sorban, dan tabuik dioyak. Perkelahian itu dianggap sebagai bagian penting dari upacara. Perkelahian merupakan luapan dan puncak atau klimaks dari konik-konik yang ada selama upacara. Tanpa ada perkelahian maka upacara dianggap dingin, karena bagian ini merupakan salah satu daya tarik pengunjung dan para perantau Pariaman untuk menyaksikan Upacara Tabuik. Bagi para pengunjung jika tidak melihat bagian upacara yang menyajikan permainan keras, dianggap belum menyaksikan Upacara Tabuik. Bagi mereka yang mengerti dengan Upacara Tabuik, dalam kerangka fantasi kirannya sudah terpola akan menyaksikan perkelahian dan bentuk permainan keras lainnya. Perkelahian massal itu setidaknya bisa terjadi dua kali, yaitu pada upacara maambiak batang pisang dan upacara maarak jari-jari atau maarak sorban. Meskipun dalam pelaksanaannya bisa saja tidak terjadi seperti itu, tetapi biasanya satu kali akan dilakukan, terutama pada upacara maambiak batang pisang, karena upacara maambiak batang pisang merupakan gambaran penebasan dengan pedang di peperangan. Pada masa lalu korban-korban perkelahian dalam Upacara Tabuik tidak merasa dendam dengan kejadian itu, walaupun mereka tahu orang mencedarainya. Mereka menerima dengan keikhlasan dan dianggap sebagai pengorbanan, yang belum seberapa nilainya jika dibandingkan dengan pengorbanan Husein. Mereka yang berjiwa seperti itu memiliki pemahaman dan penghayatan yang dalam terhadap upacara yang dilakukan. Selain itu, para ninik mamak dan tokoh masyarakat dapat meredam dan merangkul kedua belah pihak untuk berdamai, serta
245

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

memberikan pengertian tentang insiden yang terjadi merupakan bagian dari Upacara Tabuik. Bahkan setelah mereka berkelahi, lalu mereka berkumpul bersama, makan, dan minum bersama bagaikan tidak terjadi sesuatu. Upacara Tabuik yang bersifat kolosal terutama sekali dapat dilihat pada saat tabuik dihoyak dan tabuik dibuang ke laut. Kedua upacara itu dilaksanakan pada hari yang sama. Para pengunjung atau pelayat datang dari berbagai pelosok daerah menyaksikan upacara. Jumlah mereka diperkirakan sekitar 200-an ribu orang19, sehingga memadati areal wisata Pariaman seperti, Pantai Gandoriah, stasion kereta api, areal sekitar pasar Pariaman. Kartomi pada saat melakukan penelitian pada tahun 1982 pernah mencatat jumlah pengunjung atau pelayat yang menyaksikan Upacara Tabuik sekitar 200 ribu orang20. Merujuk pada mitos sebagai rujukan pembangun Upacara Tabot di Bengkulu, tampak pada tahap-tahap upacara tidak menyajikan upacara yang berdimensi keras yang mengarah ke perkelahian massal seperti yang terjadi pada Upacara Tabuik. Upacara yang dianggap keras dalam Upacara Tabot adalah upacara menjara (beruji dol). Inti dari upacara menjara adalah beruji dol, yaitu masing-masing kelompok tabot berusaha mengalahkan kelompok lain. Kelompok yang paling terampil memainkan dol 21 (dol dan tasa) dan paling sedikit dol pecah (robek membrannya) dianggap menang22. Kekerasan ditunjukkan dengan melampiaskan emosional pendukung upacara melalui pemain musik ke alat musik dol. Mereka secara pisik tidak melakukan persentuhan antar kelompok pendukung tabot, apalagi perkelahian. Beruji dol dilakukan di lapangan terbuka, sehingga dapat disaksikan oleh banyak orang. Bahkan beruji dol dianggap salah satu bagian upacara yang mampu menyedot banyak penonton. Dalam upacara beruji dol diadakan pula selingan pertunjukan tari-tarian dan musik tradisi sejenis gamat. Upacara menjadi meriah dengan hadirnya hiburan selingan ini. Beruji dol dilakukan di dua tempat yaitu, di kelompok tabot ber19 Asril, op cit., 69. 20 Ibid., 70 21 dol sejenis gendang bermuka satu berbentuk kettle drum, dengan ukuran diameter cukup besar antara 50-60 cm. Dol dimainkan sambil berdiri dengan cara diletakkan di lantai atau tanah. 22 Hamidy, Op cit., 89-90.

246

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

kas dan di kelompok tabot bangsal. Mereka saling mengunjungi secara bergantian selama dua malam. Lagu-lagu yang biasa dimainkan dalam beruji dol adalah Matam-matam, Suwena, dan Suweri. Ketiga lagu ini sama-sama mereka mainkan dalam waktu yang bersamaan. Lagu Suweri merupakan lagu andalan bagi masing-masing kelompok tabot dalam beruji dol. Masyarakat sangat mengetahui bahwa lagu tersebut amat disukai. Para pemusik biasanya memainkan lagu ini dengan penuh semangat hingga bermain dengan tenaga yang maksimal. Akibatnya sering terjadi kerusakan pada alat musik seperti pada kulit (membrane) robek, pemukul (stick) patah, resonator instrumen retak, dan lain-lain23. Akan tetapi ini muara yang ingin dicapai dari upacara beruji dol. Situasi ini sangat berbeda dengan Upacara Tabuik di Pariaman. Gandang tasa sebagai musik pendukung upacara justru digunakan untuk membangun semangat heroik dan patriotik di antara kedua kelompok tabuik. Lagu-lagu Oyak Tabuik dan Sosoh misalnya, dimanfaatkan untuk membangun emosional para pendukung tabuik, khususnya untuk membangun emosi ke arah perkelahian dan yang berdimensi keras.

Pelibatan Seni dalam Upacara Rentangan waktu yang cukup panjang dalam pelaksanaan Upacara Tabuik dan Upacara Tabot, dimanfaatkan dengan menampilkan berbagai kesenian tradisi setempat dan kesenian yang bernuansa Islami. Di Pariaman misalnya, pada malam hari yang tidak ada aktivitas upacara, panitia penyelenggara upacara menyajikan pertunjukan indang piaman, tari indang, gandang tasa, orkes gambus, dan jenis musik bernuansa Islami. Prinsip utamanya adalah memberikan hiburan kepada masyarakat atau pengunjung yang datang. Sementara di Bengkulu, hal yang sama juga dilakukan yaitu pertunjukan tari Ikan-ikan, kolintang, musik bernuansa Melayu seperti gamat, dan yang cukup menggembirakan sekarang adalah pertandingan atau festival dol kreasi. Para remaja Bengkulu mampu memainkan musik baru yang dikembangkan dari musik tradisi dol dengan atraktif24. Selain itu, juga ditampilkan berbagai tarian tradisi dan tari kreasi yang bersumber dari Upacara Tabot.
23 Hane, dkk., Musik Tabot dalam Beruji Dol di Bengkulu: Tinjauan Musikologis Laporan penelitian (Padangpanjang: ASKI, 1998), 45. 24 Haque, Op cit., 56-57.

247

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Perubahan dan Perkembangan Upacara Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada Upacara Tabuik dan Upacara Tabot berbeda bentuk dan jenisnya. Ada yang berubah dari aspek nilai ritual dan sakralnya, dan ada yang berkembang secara parsial dari aspek musiknya saja. Di Bengkulu upacara berkembang secara parsial, yakni dari aspek musiknya. Pada masa lalu, dol adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari Upacara Tabot. Dol hanya dapat dimainkan bersamaan dengan Upacara Tabot, sebagai musik pendukung upacara. Akan tetapi, pada tahun 1980-an dan 1990-an dol sudah dapat ditampilkan secara terpisah untuk penyambutan tamu pemerintah, meskipun masih dalam bentuk ansambel yang aslinya. Perkembangan yang cukup menggembirakan adalah ketika dol dijadikan sebagai sumber penataan musik kreasi untuk iringan tari baru (kreasi) dan untuk musik kreasi. Dalam penelitian Haque, ada tiga aspek perkembangan yang terjadi pada dol, yaitu: dol sebagai media seremonial di kota Bengkulu; dol dijadikan sebagai materi pembelajaran musik di sekolah dan di sanggar; dol sebagai sumber sebagai garapan komposisi baru. Dol sebagai media seremonial disajikan pada acara penyambutan tamu-tamu penting, acar ulang kota Bengkulu, acara yang bersifat umum lainnya, dan penggabungan dol dengan musik tradisi lainnya seperti gendang sarunai dan gamat yang digunakan untuk hiburan. Dol sebagai materi pembelajaran di sekolah, walaupun masih bersifat ekstrakurikuler, tetapi telah diajarkan di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas di berbagai daerah khususnya di kota Bengkulu. Perkembangan yang cukup menarik adalah dol dijadikan sebagai sumber penciptaan karya baru. Dol telah digabung dengan berbagai alat musik di luar tradisinya. Misalnya dengan menghadirkan gitar bass eletrik, kolintang, set rebana, dan cara memainkan dol pun lebih atraktif. Misalnya, dol tidak saja diletakkan di lantai, tetapi telah disandang dan dimainkan sambil berbuai atau berayun, bahkan sambil tidur. Pertunjukan ini pun kemudian disebut dengan dol buai25. Yang tak kalah menarik juga perkembangan yang terjadi dari aspek alat musiknya, berbagai jenis ukuran dol pun dibuat untuk keperluan perbedaan atau variasi warna bunyi. Para remaja Bengkulu sangat antusias memainkan
25 Ibid., 46-47, 48-49, 50,57.

248

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

dol kreasi ini. Di Pariaman perubahan yang terjadi adalah pada nilai sakral upacara dan juga dalam bentuk parsial. Upacara Tabuik tidak lagi dilaksanakan dari tanggal 1-10 Muharam, melainkan berubah menjadi tanggal 1-11, 12, 13, dan 14 Muharam, yang diperlukan upacara puncak maoyak tabuik jatuh pada hari minggu. Perubahan ini dilatarbelakangi oleh embel-embel pariwisata. Artinya jika upacara puncak dilakukan pada hari minggu maka akan banyak orang yang menyaksikannya. Dari satu sisi ada benarnya, memang banyak orang menyaksikan upacara maoyak tabuik. Imbas dari itu, ekonomi masyarakat juga terdongkrak, mulai dari penjual makanan, transportasi, pengelola parkir, hingga penginapan. Namun demikian, cara praktis ini ternyata telah menguburkan nilai-nilai sakral kesejarahan peristiwa Karbala sebagai titik tolak upacara. Oleh karena pada tanggal 10 Muharam 680 (61 H) adalah hari kematian Husein di Karbala. Lambat laun generasi berikutnya tidak akan tahu lagi makna 10 Muharam dalam Upacara Tabuik. Bentuk lain dari pengembangan Upacara Tabuik adalah perayaan Oyak Tabuik yaitu cuplikan dari salah satu rangkaian Upacara Tabuik. Biasanya yang diambil adalah upacara puncak, maoyak tabuik. Pelaksanaannya terbilang meriah, kolosal karena melibatkan ratusan bahkan ribuan orang warga Pariaman khususnya dan ditambah dengan warga partisipan. Akan tetapi pelaksanaannya sudah terlepas dari semua aspek ritual dan sakral, yaitu: (1). Tidak diharuskan pada bulan Muharam (tergantung hajatan); (2). Dilaksanakan di luar kota Pariaman (Padang, Pekan Baru, Batam, Jakarta, Padangpanjang, Bukittinggi, Payakumbuh, Darmasraya, bahkan di luar negri seperi Washington, dsb); (3). Tidak diperlukan benda-benda sakral (jari-jari, benda-benda prosesi, dsb); (4). Tidak diharuskan pelaksananya masyarakat dari bekas nagari Pasar Pariaman dan V Koto Air Pampan; (5). Tabuik yang diusung tidak mesti dua buah, satu saja dibolehkan; (6). Ukuran tabuik yang diusung pun relatif, tidak harus sama tingginya dengan tabuik yang digunakan di kota Pariaman (dapat saja ukurannya tinggi sekitar enam meter); (7). Setelah perayaan selesai, tabuik tidak perlu dibuang.

249

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Waktu pelaksanaan perayaan Oyak Tabuik tidak terikat lagi dengan bulan Muharam. Hal ini disebabkan karena tujuan dan makna perayaan Oyak Tabuik juga tidak terkait lagi dengan peringatan kematian Husein. Perayaan ditujukan untuk memeriahkan suatu event, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah maupun yang dilakukan sendiri oleh masyarakat Pariaman. Misalnya, perayaan hari kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus, perayaan festival Muharam, hajatan keluarga besar Persatuan Keluarga daerah Pariaman (PKDP), peresmian pengurus baru PKDP, dan lain sebagainya. Jadi, waktu pelaksanaan tergantung dari masyarakat Pariaman di perantauan. Pelaksanaannya pun tidak harus setiap tahun atau berkala secara periodik. Dalam hal ini organisasi PKDP di masing-masing daerah atau kotalah yang menentukan kapan mereka akan melaksanakan perayaan Oyak Tabuik. Mengenai tempat penyelenggaraan perayaan Oyak Tabuik dilaksanakan di luar kota Pariaman, maksudnya adalah karena perayaan ini juga tidak ditujukan untuk memperingati kematian Husein. Perayaan dimaksudkan untuk memeriahkan berbagai hajatan atau event. Siapa dan dimana tempat penyelenggaraan perayaan Oyak Tabuik juga tidak ada kesepakatan antara masing-masing organisasi PKDP. Ini amat tergantung dari animo masing-masing masyarakat Pariaman di suatu tempat. Misalnya, pada bulan Januari 2008, PKDP Kota Padangpanjang melakukan perayaan Oyak Tabuik. Pada bulan April 2008, masyarakat kota Padang melakukan perayaan Oyak Tabuik. Pada bulan Juli 2008, masyarakat Pariaman di kabupaten Darmasraya melakukan perayaan Oyak Tabuik, sedangkan kota Bukittinggi dilakukan perayaan Oyak Tabuik pada pertengahan tahun 2007. Tahun 2007 masyarakat Pariaman di Duri dan Pekan Baru melakukan perayaan Oyak Tabuik. Tahun 2006 masyarakat Pariaman di Batam melakukan perayaan Oyak Tabuik. Jadi tempat penyelenggaraan perayaan Oyak Tabuik dapat dilaksanakan di daerah atau kota mana saja, tergantung dari keinginan masyarakat setempat. Dalam setiap penyelenggaraan perayaan Oyak Tabuik tidak diperlukan benda-benda sakral untuk kekhidmatan perayaan. Misalnya, panja atau jari-jari sebagai simbol jari-jari Husein yang terlepas akibat tebasan pedang lawan, tidak perlu diarak melintasi kota atau mengelilingi daraga. Begitu juga dengan benda-benda lainnya sebagai lambang kebesaran Husein yang diarak pada saat mengambil tanah, mengarak jari-jari,
250

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

mengambil batang pisang, dan mengarak sorban juga tidak dilakukan. Oleh karena waktu, tempat, dan situasi perayaannya tidak sama dengan perayaan Upacara Tabuik pada bulan Muharam di Pariaman. Mengenai pelaku perayaan Oyak Tabuik, dilakukan oleh masyarakat Pariaman dimana perayaan Oyak Tabuik itu dilaksanakan. Pelakunya tidak harus didatangkan dari kota Pariaman yang biasa menjadi pelaku perayaan Upacara Tabuik. Namun biasanya masyarakat tempat penyenggara perayaan Oyak Tabuik minta bantuan untuk pemain gandang tasa yang mengiringi perayaan. Gandang tasa dapat saja didatangkan dari Pariaman sendiri atau dari kota lain. Kota-kota yang pernah melakukannya perayaan Oyak Tabuik, mereka adakalanya membuat dua tabuik untuk diusung dan dihoyak, dan pada saat tertentu hanya menggunakan satu tabuik. Misalnya, Padangpanjang melakukan perayaan Oyak Tabuik pada tahun 1993 menggunakan dua tabuik. Begitu juga dengan tahun-tahun sebelumnya. Payakumbuh pada masa lalu juga pernah menggunakan dua tabuik dalam perayaan Oyak Tabuik di kota itu. Akan tetapi, pada tahun 2008, di Padangpanjang hanya digunakan satu tabuik saja. Perayaan Oyak Tabuik di Bukittinggi tahun 2007 juga hanya menggunakan satu tabuik saja. Begitu juga dengan ukuran tinggi tabuik yang digunakan, tidak ada keharusan memiliki tinggi yang sama dengan yang digunakan di Pariaman. Baik dari jumlah dan ukuran tabuik, bahkan termasuk warna yang digunakan tampaknya tidak ada keharusan mengikuti cara yang digunakan di kota Pariaman pada bula Muharam. Penulis menyaksikan ukuran tabuik yang digunakan di Padangpanjang tahun 2008, hanya memiliki tinggi sekitar 6-6,5 meter dengan warna dominasi kuning. Padahal tinggi tabuik yang ideal adalah antara 10-12 meter, dan warna yang dominan adalah putih, merah, dan biru, sangat sedikit sekali yang menggunakan warna kuning. Satu hal lagi yang tidak umum dilakukan pada perayaan Oyak Tabuik adalah selesai perayaan Oyak Tabuik pada sore hari, tabuik tidak harus dibuang. Apalagi dibuang ke laut. Biasanya tabuik disimpan sebagai benda budaya asset pemerintah setempat. Bahkan saat sekarang sudah ada pula jasa penyewaan tabuik di Bukittinggi, yang khusus digunakan untuk perayaan tabuik. Setelah perayaan selesai, tabuik dibawa kembali oleh pemiliknya.
251

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Menurut Febrizal Sutan Sati, ia telah menyewakan tabuik yang dibuatnya ke Pekan Baru, Bukittinggi, dan Padangpanjang. Ia juga menyewakan satu grup gandang tasa lengkap dengan pemainnya untuk mengiringi perayaan Oyak Tabuik, jika suatu daerah menginginkan. Jumlah nominal sewa yang dipungutnya relatif, bergantung pada jauh dekatnya tempat perayaan26. Dari seluruh aspek penyelenggaraan perayaan Oyak Tabuik yang tidak lagi menggunakan cara-cara yang lazim pada perayaan Upacara Tabuik, seperti beberapa aspek sakral yang telah ditanggalkan merupakan perubahan yang terjadi pada Upacara Tabuik. Oleh karena waktu sakral, tempat sakral, benda-benda sakral, pelaku upacara atau perayaan tidak lagi memiliki kaitan langsung dari aspek makna dengan Upacara Tabuik, kecuali spirit kebersamaan dalam semangat yang dibangun dalam Upacara Tabuik. Begitu juga dengan tujuan dan maksud perayaan juga tidak lagi untuk memperingati kematian Husein27. Di luar megah dan meriahnya pelaksanaan Upacara Tabuik, yang tak kalah menarik juga diamati adalah semangat para masyarakat perantau Pariaman dalam mengekspresikan diri melaksanakan Oyak Tabuik. Mereka melakukannya secara totalitas dengan penuh pengorbanan pisik, mental, dan material. Identitas sebagai warga yang berasal dari Pariaman benar-benar mengapung ke permukaan. Melalui Oyak Tabuik momentum identitas dimunculkan.

Penutup Meskipun Upacara Tabuik dan Upacara Tabot berasal dari peristiwa yang sama (perang Karbala), tetapi dalam pengimplementasian upacara sangat banyak dipengaruhi oleh interpretasi masyakarat dengan cara pemitosan sejarah yang kemudian seolah-olah seperti legenda. Unsur-unsur budaya lokal dan kebiasaan mayarakat juga turut mempengaruhi bentuk upacara, spirit, dan pelaksanaannya. Bagian yang tak terelakkan juga ada perubahan yang terjadi pada kedua upacara tersebut bisa terjadi secara parsial dan penggerusan nilai sakral.
26 Febrizal Sutan Sati (60 thn), pimpinan grup gandang tambua dan randai Rabuang Kuniang Bukittinggi (wawancara: Bukittingi, Desember 2007; Padangpanjang, Januari 2008). 27 Asril, Upacara Tabuik dalam Dimensi Sosial Budaya Masyarakat Pariaman: Keberlangsungan dan Perubahannya (Padangpanajng: STSI, 2008), 74-79.

252

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Daftar Pustaka Ahmad, Fazl. Husein Sjahid Agung, Terj. Adam Saleh Djakarta: PT Sinar Hudaya, 1972. Asril, Upacara Tabuik dalam Dimensi Sosial Budaya Masyarakat Pariaman: Keberlangsungan dan Perubahannya Padangpanajng: STSI, 2008. __________. Pertunjukan Gandang Tambua dalam Upacara Ritual Tabuik di Pariaman Sumatra Barat, Tesis S2 UGM Yogyakarta, 2002. Azra, Azyumardi. Syiah di Indonesia: Antara Mitos dan Realitas (pengantar) dalam A. Rahman Zainuddin dan M. Hamdan Basyar ed. Syiah dan Politik di Indonesia: Sebuah Penelitian. Bandung: Mizan dan PPW-LIPI, 2000. Barry, Michael. et al., Color and Symbolism in Islamic Architecture: Eight Century of the Tile Makers Art. London: Thames and Hudson Ltd., 1996. Gibb, H.A.R dan J.H Kamer ed. Shorter Encyclopaedia of Islam. Leiden: EJ Brill, 1974. Hamidy, Badrul Munir. ed. Upacara Tradisional Daerah Bengkulu: Upacara Tabot di Kotamadya Bengkulu. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Depdikbud, 1991/1992. Hane, dkk., Musik Tabot dalam Beruji Dol di Bengkulu: Tinjauan Musikologis Laporan penelitian. Padangpanjang: ASKI, 1998. Haque, Zelly Marissa. Perkembangan Musik Dol di Kota Bengkulu, Skripsi. Padangpanjang: STSI, 2009. Helfrich, O. L. et al., Het Hasan-Hosein of Taboet-Feest te Benkoelen, dalam Internationales Archiv fur Ethnographie. Leiden: Verlag von P. W. M. Trap, 1888. Kartomi, Margaret J. Tabut - a Shiah Ritual Tranplanted from India to Sumatra, dalam David P. Chandler dan M.C. Ricklefs (ed.) Nineteenth and Twentieth Century Indonesia. Clayton: Centre of Southeast Asia Studies, Monash University, 1986. Ronkel, Ph. S. van. Nadere gegevens omtrent het HasanHoesain feest, diterjemahkan oleh Hartoyuwono, dalam Tijdschri ft voor Indische Taal--, Land--, en Volkenkunde. Batavia: Albrecht & Co., 1914. Tanjung, Parsi Tabuik, Pesta Kolosal Anak Nagari Piaman, Singgalang Minggu, 26 Juni 1994. The Encyclopaedia of Islam: Dictionary of the Geography, Ethnography of Muhammadan Peoples. London: Luzac and Co., 1913.

253

MENGEMAS SENI TRADISI NUSA TENGGARA UNTUK MEDIA KOMUNIKASI SOSIAL

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Kongso Sukoco, dikenal sebagai seniman dan penulis naskah \sandiwara, cerpen dan puisi. Saat ini menjabat Ketua Dewan Kesenian Nusa Tenggara Barat. Dikenal pula sebagai sutradara senior lokal Mataram.

256

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Memfungsikan Teater Tradisi Amaq Abir sebagai Media Komunikasi Tradisional


Kongso Sukoco
Ketua Dewan Kesenian Provinsi NTB

embicarakan teater tradisi sebagai media komunikasi, tentu tidak sekadar urusan menyampaikan pesan agar dapat diterima publik atau khalayak. Dan tidak melulu domain ketrampilan, meski keberhasilannya terkait dengan seni dan ketrampilan. Orang mulai memikirkan secara spesik bila proses komunikasi itu menimbulkan masalah, Bahwa dalam prosesnya harus dipahami, peristiwa teater (berlangsungnya komunikasi pertunjukan teater dan penontonnya) adalah peristiwa kebudayaan. Di dalamnya berlangsung reproduksi nilai, yakni pengolahan pesan dalam bingkai estetika teater dan di lain pihak berlangsung pencernaan makna yang dilakukan khalayak. Tontonan teater mempertemukan organisme hidup, antara seniman dan penonton. Komunikasi bersifat empiris. Dalam situasi ini komunikasi tidak melulu di tingkat isi pesan, tapi juga emosi dan bersifat situasional. Bagaimana proses pertemuan organisme hidup itu berlangsung sangat mempengaruhi efektitas penyampaian informasi. Dalam pertunjukan teater tradisi ada konvensi atau aturan main yang menjadi landasan berlangsungnya komunikasi. Pertunjukan teater berlangsung dalam lingkungan komunitas dengan warga penonton yang sharing terhadap idiom teater tradisi. Khalayak memahami idiom seninya, isi cerita, alur bahkan durasi dan bagaimana pertunjukan diakhiri. Memang bisa saja ada perubahan dalam pertunjukan seni tradisi namun
257

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

perubahan itu selalu dikenali karena ada pertautan dengan konvensi sebelumnya (bandingkan dengan teater modern yang sering tidak komunikatif dengan penontonnya karena tak pernah terjadi penyerasan konvensi tersebut). Konvensi -- termasuk konvensi artistik -- merupakan jaminan bahwa motivasi penonton primordial itu akan terpenuhi, bertolak dari motivasi ini mereka memiliki ekspektasi terhadap pesan yang akan diterimanya. Karena konvensi itu maka memfungsikan dan memanfaatkan teater tradisi sebagai sarana penyampai informasi pada khalayak primordialnya bisa sangat efektif. Sebab komukasi yang terbangun dalam teater tradisi adalah penyelarasan pemahaman karena adanya konvensi yang dipahami bersama. Harus diakui, sebelum era reformasi pemerintah menaruh perhatian besar dalam hal pemanfaatan seni tradisi, khususnya bentuk seni pertunjukan tradisi yang efektif sebagai media penyaluran pesan informasi. Kantor Wilayah Departemen Penerangan di tiap provinsi banyak menyelenggarakan pertunjukan rakyat. Di pelosok-pelosok desa sering kita jumpai mobil panggung pertunjukan rakyat milik Departemen Penerangan yang menggelar seni pertunjukan tradisi. Hal itu berpengaruh positif pada eksistensi seni pertunjukan tradisi. Meski ada catatan penting. Kalau kita menengok masa Departemen Penerangan dengan program Sosio-drama-nya, penyampaian isi pesan sangat mekanis. Salah satu sebabnya, pemberdayaan dan pengembangan teater tradisi termasuk seni tradisi lainnya yang dilakukan saat itu lebih memberatkan fungsinya sebagai alat untuk mengantarkan pesan. Prioritasnya semata-mata penyampaian kebijakan pembangunan pemerintah, dengan sedikit perhatian dalam mengintensifkan peristiwa komunikasi kultural. Hal itu seperti mengesampingkan pentingnya meningkatkan kualitas bentuk seni kelompok-kelompok seni tradisi yang sebenarnya justru menjadi faktor penting meningkatkan efektitas penyampateraian pesan. Banyak bentuk teater tradisi di Lombok yang bisa dikembangkan menjadi sarana atau media tradisional untuk penyampai informasi kebijakan pemerintah. Sebab telah terbangun kedekatan kultural kesenian itu dengan komunitas primordialnya. Ini faktor penting terjalinnya komunikasi yang efektif. Salah satu teater tradisi di Lombok adalah Teater Amaq Abir. Pili258

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

han untuk mendeskripsikannya karena alasan, bahwa Teater Amaq Abir sangat populer pada jamannya, bahkan berkembang di beberapa tempat di Lombok. Teater ini telah membangun penonton primordialnya yang meluas di beberapa wilayah di Lombok. Namun tidak seperti Teater Cupak Gurantang dan Kemidi Rudat yang bertahan dan tetap populer hingga kini, sebaliknya Teater Amaq Abir nyaris punah. Pembinaan yang dilakukan Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud (pertengahan tahun 80-an) berhasil menyelamatkannya, dan kini Teater Amaq Abir sekali tempo masih dimainkan kalangan generasi muda di Desa Marong, Lombok Tengah. Namun tetap saja, dengan minimnya pembinaan (kalau tidak dikatakan tidak ada sama sekali) dari pemerintah setempat, nasib kepunahan itu akan terulang kembali. Karena itu dipandang penting mendeskripsikannya untuk didiskusikan bersama dalam forum ini.

Teater Tradisi di Lombok a. Asal-usul Teater tradisi Sasak bisa digolongkan sebagai bentuk baru dalam jajaran khasanah seni tradisi yang tumbuh di Lombok. Masyarakat Sasak memiliki perjalanan seni tradisi yang panjang dan kaya seperti tradisi sastra, musik dan tari. Namun seni pertunjukan tradisi Sasak yang verbal dan dialogis yang menjadi salah satu ciri teater tradisi tumbuh belakangan. Ada yang menyebutnya setelah masa kemerdekaan atau sekitar tahun 5060an (meski Teater Amaq Abir dikenal di Desa Medana, Lombok Timur dikenal jauh sebelum jaman Jepang). Tumbuhnya seni pertunjukan yang verbal dan membangun komunikasi dialogis ini seiring kebutuhan masyarakatnya untuk lebih tersurat dan intens dalam mengkomunikasikan pesan moral dan paedagogik. Lebih dari itu ada kebutuhan menjalin komunikasi dengan publik yang melintasi batas komunitasnya. Tumbuhnya teater tradisi Sasak cepat mendapat dukungan luas. Saat pertunjukan seni sastra, musik dan tari tak memenuhi kebutuhan masyarakat untuk menjalin komunikasi dialogis, maka seni teater mendapat tempat khusus. Sampai tahun 70-an teater tradisi di Lombok mengalami masa keemasannya. Kalau kita temui jejak dan pengaruh dari Jawa-Bali dalam teater tradisi -- seperti kita temui pada seni budaya Lombok (ma259

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

syarakat Sasak) umumnya -- karena Lombok sempat menjadi persinggahan kerajaan Jawa dan Bali. Pada abad XI tercatat Anak Wungsu (Bali) datang ke Lombok, kemudian ekspedisi militer Majapahit yang dipimpin Mahapatih Gajah Mada pada abad XIV meninggalkan jejak budaya maupun kepercayaan yang jelas. Tapi paling kuat meninggalkan jejak sejarah adalah Kerajaan Karang Asem pada abad XVII-XIX (1692-1839) yang diteruskan oleh Kerajaan Mataram yang merupakan metamorfose Karang Asem sampai tahun 1894. Hingga kini jumlah komunitas Bali termasuk besar di Lombok, demikian pula budaya dan kepercayaan yang dianutnya terus tumbuh dan berkembang. Namun kebudayaan Jawa baik seni musik, teater maupun sastra lontar (Sastra Takepan), meninggalkan pengaruh paling kuat kuat pada masyarakat Sasak. Semua sastra lontar itu digubah dengan menggunakan Aksara Jejawen, yang merupakan turunan dari Aksara Jawa, Hanacaraka. Meski demikian, pengaruh sastra Jawa (Madya) yang dominan itu bukan satu-satunya. Kedatangan Kerajaan Gowa (Sulawesi Selatan) pada abad XVII, juga meninggalkan pengaruhnya pada corak seni budaya Sasak. Kerajaan Gowa yang lebih dekat dengan pengaruh Melayu, meninggalkan jejak seni budaya Rumpun Melayu. Wayang Sasak, Teater Amaq Amir, Teater Kayaq Sandongan, Teater Amaq Darmi, Cupak Gurantang dan Kemidi Rudat sangat populer di komunitasnya masing-masing. Memang hanya Cupak Gurantang dan Kemidi Rudat yang mampu bertahan lebih lama. Teater Cupak Gurantang bukan hanya menjangkau wilayah penonton yang lebih luas, tapi sekaligus mampu meluaskan sebaran bentuk teater tersebut di beberapa tempat. Hal yang sama juga terjadi pada Kemidi Rudat. Perlu diungkapkan disini. Dalam hal penguatan eksistensi perluasan publik seninya, yang patut mendapat perhatian khusus adalah Wayang Gerung dengan dalang legendaris Lalu Nasib. Di tangan Lalu Nasib, Wayang Sasak bukan hanya sanggup bertahan namun juga sangat populer di seluruh penjuru Lombok. Ini tak lepas dari kemampuan Lalu Nasib yang menjadi Wayang Sasak selalu kontekstual dengan publiknya.

260

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

b. Pengelompokan Secara umum pengelompokan teater tradisi di Lombok bisa dikelompokkan: 1. Teater Kayaq; teater tradisi yang bentuk penyajiannya melalui tembang dan tari (dramatari); 2. Teater Kemidi Rudat; 3. Teater Topeng; yang dialog-dialognya seperti percakapan sehari-hari dan pemainnya juga menari, menembang dengan iringan gamelan, semua pemainnya memakai topeng. Kalau teater yang berasal dari Rumpun Jawa-Bali (Teater Kayaq dan Terater Topeng) lebih sederhana, misalnya dalam konstum banyak yang memakai kostum sehari-hari. Tidak demikian dengan teater Rumpun Melayu (Kemidi Rudat) yang kostumnya mencolok ala Arab/Turki. Penokohan dalam lakon teater yang terakhir ini didasarkan pada jenis mahluk dan kedudukan; raja (Dari Baghdad dan Yaman), wasir, khadam, perampok, permaisuri, puteri, anak muda dan lain-lain. Pada Rumpun Bali Jawa tekanan diberikan pada pembawaan manusia. Struktur teater tradisi umumnya naratif, karena kebutuhannya untuk menampilkan cerminan keadaan dan persoalan masyarakat, yakni persoalan etika, moral maupun komentar-komentar sosial. Perwatakan dalam teater tradisi umumnya stereotip, hitamputih, sebab dalam masyarakat tradisi memerlukan pijakan yang jelas, kutub moral yang tidak kabur antara yang baik dan buruk. Pada Teater Cupak-Gurantang kita temukan watak Cupak yang rakus, penipu dan jauh dari nilai-nilai etis. Sebaliknya watak Gurantang mewakili watak mulia yaitu ihlas, tidak pendendam, penolong dan menjunjung watak-watak ksatria. Dari narasi-narasi yang diungkapkan teater tradisi, diharapkan masyarakatnya mampu memahami masalah yang dihadapi dan syukur kalau bisa menyelesaikannya. Pada Teater Amaq Abir yang semula dalam narasinya dibawakan dengan cara nembang (bekayaq) pada perkembangannya menggunakan menggunakan dialog verbal agar terbangun komunikasi intens dengan penonton. Generasi muda di Desa marong, Lombok Tengah kini memainkan Teater Amaq Abir dengan dialog yang dominan dari261

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

pada tembangnya. Ini dimaksudkan agar teater itu bisa lebih kontekstual, lebih leluasa berimprovisasi dalam mengomentari persoalan-persoalan sosial dan lebih dekat dengan persoalanpersoalan kekinian. Sebab cerita-ceritanya umumnya sudah diketahui penontonnya, tapi dari sinilah para orang tua melepaskan anaknya untuk menonton sebab tahu dalam tontonan tersebut ada nilai-nilai yang perlu diapresiasi. Dalam uraian berikut akan dideskripsikan lebih jauh tentang Teater Amaq Abir yang sempat sangat populer pada jamannya. Tapi kenapa bukan Cupak Gurantang atau Kemidi Rudat yang lebih eksis dan masih memiliki publik yang lebih jelas? Justru karena kemerosotan Teater Amaq Abir itu lebih kontekstual dibicarakan dalam forum ini.

Teater Amaq Abir Teater Topeng Amaq Abir merupakan salah satu bentuk teater tradisi Sasak yang pernah sangat populer pada jamannya. Tercatat pernah hidup di beberapa daerah di Lombok, tapi eksistensinya memprihatinkan. Di beberapa desa di Kabupaten Lombok Barat, seperti di Desa Tanjung dan Narmada, malah sudah punah. Di Kabupaten Lombok Timur kita dapati di Desa Mendana bisa dikatakan hidup segan mati pun tak mau. Tapi karena langkanya pertunjukan karena pelakunya mulai tak ada, bisa jadi sekarang sudah mati. Sedang di Kabupaten Lombok Tengah di Desa Marong masih sering tampil dalam acara-acara hajatan masyarakat. Khusus di Desa Marong, 41 km dari Mataram atau 13 km dari Praya, ibu kota Kabupaten Lombok Tengah, teater tradisi dari Marong ini pertama kali mendapat pembinaan dari Bidang Kesenian Kanwil Depdikbud (Sekarang Dinas Dikpora) melalui Proyek Pengembangan Kesenian pada tahun 1984, dan menampilkannya pada Festival Teater Daerah NTB. Teater Topeng Amaq Abir yang mendapat predikat terbaik, pada tahun itu juga dipentaskan di Jakarta dalam Pekan Teater Tradisi Tingkat Nasional. Waktu ditemukan untuk pembinaan saat itu, Teater Amaq Abir sudah 50 tahun tidak pernah mengadakan pementasan (jauh sebelum Jepang menduduki Lombok). Saat itu pemainnya rata-rata berumur 75-80 tahun. Sebagian perlengkapannya (terutama gamelan) telah dijual oleh
262

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

yang menyimpannya karena saat itu kemiskinan menghimpit masyarakatnya. Sebenarnya sejak mendapat pembinaan itu gairah menghidupkan teater tradisi di Marong mulai tumbuh. Apalagi dalam acara Pekan Teater Daerah, baik di Mataram maupun di Jakarta, yang ditampilkan adalah pemain-pemain dari generasi muda. Teater Amaq Abir tetap jarang tampil. Pada tahun 2008, pihak Taman Budaya NTB juga sempat mengundang untuk pentas melalui program pementasan rutinnya, kelompok teater topeng dari Marong itu memboyong pemain-pemain yang masih muda. Penggeraknya yang sekaligus menjadi pimpinan teater itu adalah Lalu Sahibi, yang pernah mengikuti kursus pelatihan di Padepokan Tari Bagong Kussudiardjo di Jogja tahun 1990-an. Sejak tahun 1996, sedikitnya kelompok teater asal Marong ini tampil sebanyak 20 kali di berbagai acara masyarakat desa. Generasi muda di Marong memang belum mampu sepenuhnya memfungsikan teater tradisi itu, namun mereka bisa memvitalkan jiwa dan semangat di dalamnya. Banyak nilai-nilai yang terkandung dalam teater topeng ini; nilai-nilai artistik, nilai-nilai paedagogis, sosial dan nilai-nilai luhur lainnya yang menjelma dalam keseluruhan batang tubuh teater topeng tersebut. a. Riwayat Pertumbuhan Arti Kata Beberapa informan yang ditemui di Desa Marong mengungkapkan, nama Amaq Abir yang terdiri dua kata Amaq dan Abir, yang dalam bahasa Sasak maksudnya; Amaq artinya Bapak, sedangkan Abir ada yang mengatakan dari bahasa Arab Akbar yang berarti besar. Tapi beberapa informan lain memberikan catatan, bahwa Abir dalam bahasa Sasak memang berarti Besar. Perbedaannya, yang terakhir lebih ditekankan dalam arti besar sik seseorang, sedang yang pertama pada kebesaran moral dan ahlak. Tapi yang jelas, kedua pengertian itu maksudnya sama yaitu sebutan Bapak Abir, maksudnya adalah tokoh yang mempunyai keunggulan ada keistimewaan. Sejarah Teater Topeng Amaq Abir tercatat pernah hidup di beberapa
263

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

desa di Lombok, misalnya di Desa Tanjung (Lombok Utara), di Desa Mendana (Lombok Timur) dan Desa Marong (Lombok Tengah). Tentu saja, kini di semua desa itu kehidupan teater tradisi itu nyaris punah (di beberapa desa lainnya benar-benar punah karena ditinggalkan para pelakunya.. - Di Desa Mendana Pada awal Lombok menerima ajaran Islam, ada seseorang yang berasal dari Sakra (sekitar 10 km dari Desa Mendana), Lombok Timur, pergi naik haji. Kembali dari Mekah ia dipanggil Haji Ali Batu. Untuk menyebarkan Islam di Lombok, ia membuat topeng dan memainkannya dengan pengikut-pengikutnya. Salah seorang pengikutnya adalah Amaq Nursalim, meninggal tahun 1980 dalam usia 125 tahun. Anaknya yang bernama Amaq Sitah kalau masih hidup berusia sekitar 75 tahun) menyimpan topeng-topeng itu dalam besek yang diletakkan di tempat khusus. Tiap hari Senin dan Jumat malam Amaq Sitah membakar kemenyan di bawah tempat topeng-topeng itu. Untuk melihat topengtopeng itu harus ada andang-andangnya, semacam sesajen yang terdiri dari beras, sirih, benang, uang kepeng (Cina), kelapa dan lain-lainnya. Untuk menurunkan topeng-topeng itu harus ada mantra-mantra khusus sebagai syarat minta izin. Ada lima karakter topeng yang disakralkan; Ida Bagus atau Datu, Amaq Tempenges, Amaq Abir (yang duplikat dan asli) dan topeng Haji. Topeng Amaq Abir yang asli jarang dikeluarkan untuk pementasan, yang dipakai hanya duplikatnya. Yang asli berwarna putih, sebelah matanya agak sipit, sedang duplikatnya berwarna merah jambu, kedua matanya normal. Konon, Amaq Sitah sering kedatangan orang yang sakit minta obat. Topeng Amaq Abir yang asli dimandikan dan airnya ditadah dan diminum oleh yang sakit. Hinga kini Amaq Sitah dikenal sebagai dukun desa yang banyak didatangi masyarakat untuk minta obat orang yang kesurupan, lumpuh dan penyakit lainnya yang berhubungan dengan guna-guna. Di Desa Mendana teater topeng ini memang disakralkan. Sebelum pertunjukan, biasanya untuk mengambil topeng selalu didahulu dengan persembahan andang-andang seperti disebut
264

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

di atas. Sedang di Marong, tiap akan dimulai pertunjukan selalu dengan acara doa bersama yang dipimpin oleh seorang ustadz. - Di Desa Marong Desa Marong sebagian besar penduduknya adalah petani, lebih tepatnya dua pertiga warganya adalah buruh tani. Desa ini sering mengalami kemarau panjang, sekitar tahun 1980-an warga desa sering terancam bahaya kelaparan karena daerah ini dulu termasuk dalam lingkaran daerah kritis Lombok Selatan. Sebenarnya di desa ini banyak tumbuh berbagai bentuk kesenian, tapi sekarang semuanya sudah banyak yang punah. Di Desa Marong teater topeng ini sama sekali tak disakralkan, dan tidak dihubungkan dengan suatu upacara agama, hal-hal gaib atau sebagai pelengkap upacara sehubungan dengan hidup seseorang, perputaran waktu dan sebagainya. Pementasannya semata-mata merupakan acara kesenian yang membawa pesan moral. Warga desa yang berusia lanjut di Marong mengungkapkan, asal-usul cerita Amaq Abir berasal dari Kerajaan Selaparang. Pengarang cerita Amaq Abir dipercayai sebagai waliullah Kerajaan Selaparang. Pada masanya cerita Amaq Abir ini sangat populer di beberapa desa di Lombok, termasuk di Desa Marong. Sekitar tahun 1800, seorang yang bernama Mamiq Jiring yang lahir dan dibesarkan di Marong mencoba mengangkat cerita itu ke dalam bentuk teater topeng. Amaq Abir adalah satu-satunya judul cerita yang pernah dipentaskan. Tapi versi lain menceritakan, yang pertama mengenalkan Amaq Abir adalah Datuk Somba, berasal dari Sakra (dekat Desa Mendana, Lotim) yang meninggal tahun 1800-an. Datuk Somba punya anak bernama Mamiq Rumintang, generasi kedua yang meneruskan usaha kedua orang tuanya. Datuk Somba diperkirakan keluarga atau pengikut Haji Ali Batu yang menyebarkan Islam ke Marong. Diperkirakan setelah usaha yang dilakukan Mamiq Rumintang, teater itu mengalami kelesuan, sebab sumber-sumber lisan yang ditemui tidak pernah menyebut upaya-upaya yang dilakukan anaknya. Tapi cucu Mamiq Rumintang, yaitu Lalu Darmaji, lahir sekitar tahun 1936, merupakan generasi keempat (setelah Datul Somba) yang kembali membangkitkan Teater Amaq Abir. Lalu
265

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Darmaji menjadi juru lakon (berfungsi semacam sutradara). Dalam organisasi Berkat Patuh yang terbentuk saat Kanwil Depdikbud NTB melakukan pembinaan tahun 1984, Lalu Darmaji dipercaya sebagai pimpinan organisasi teater itu. Selain diberi kesempatan pentas di Mataram dan Jakarta, grup teater itu juga mendapat bantuan seperangkat alat gamelan. Dalam pementasan di Taman Budaya NTB tahun 2008, organisasi kesenian dari Marong itu sudah beralih pada generasi muda. Hingga kini, meski intensitasnya menurun, Teater Amaq Abir mulai dipentaskan sebagai hiburan di berbagai acara. B. Bentuk Teater Amaq Abir Bentuk Teater Amaq Abir adalah teater topeng. Semua pemainnya mengenakan topeng. Meskipun dalam teater itu terdapat dialog-dialog tokoh-tokoh cerita, namun di Desa Mendana topeng yang dikenakan menutupi seluruh wajah. Berbeda dengan di Desa Marong, Lalu Sahibi yang memahami seni pertujukan yang memfungsikan vokal pemainnya, topengnya tidak sampai menutupi mulut (agar dialognya sampai ke penonton). Sebelumnya, seluruh pemainnya adalah laki-laki, termasuk untuk peran putri juga dimainkan laki-laki. Tapi setelah mendapat pembinaan, sekarang untuk memainkan tokoh putri sudah dibawakan oleh pemain perempuan. Dalam teater ini kita dapati unsur tembang (kayaq, Sasak), tari dengan diiringi alat musik seperangkat gamelan. Sebelum pementasan selalu diawali, di Desa Mendana selalu diawali dengan Tari Oncer sebagai pembukaan. Kalau di Desa Marong dibuka dengan Tari Satang lebih merupakan tari kreasi). Tokoh/karakter Baik di Desa Mendana atau di Marong, karakter atau tokoh ceritanya sama, hanya namanya berbeda. Di Desa Mendana ada tokoh-tokohnya, seperti: Topeng Haji Topeng Keliang Topeng Putri Topeng Papuk Dulahman
266

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Topeng Amaq Abir Topeng Amaq Ampes Topeng Raksasa Sedang di Desa Marong, tokoh-tokohnya adalah: Topeng Ida Bagus/Datu Topeng Putri Topeng Amaq Abri Topeng Amaq Tempenges Topeng Amaq Baris Topeng Amaq Beang Topeng Amaq Dante dan Inaq Danti Topeng Amaq Bangkol Topeng Inaq Randa Topeng Raksasa Di Desa Marong di bawah asuhan Lalu Sahibi memang lebih kratif. Toloh-tokoh baru banyak diciptakan untuk mengungkapkan persoalan-persoalan masyarakatnya dan membuat pertunjukan lebih segar. Baik di Mendana atau di Marong, tokoh Amaq Abir selalu digambarkan sebagai kstria berkuda. Konon, kuda ini sebagai simbol dari tokoh Jayengrana dengan kudanya yang bernama Sekardiu. Musik Pengiring Musik pengiri dalam Teater Amaq Abir adalah seperangkat gamelan, terdiri: Gong Gamelan Rincik Terompong Kendang Suling Petuk Jalan Cerita Baik di Mendana maupun di Marong ada kemiripan jalan
267

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

cerita, yang membedakan hanyalah nama-nama tokoh-tokohnya yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakatnya. Ceritanya berkisar tentang penguasa atau orang kaya di desa yang perangai maupun tingkah lakunya kurang terpuji. Tokoh ini sering berjudi (sabung ayam), mabuk-mabukan (minum tuak), serta tingkah laku lainnya yang bertentangan dengan kepatutan atau norma-norma yang berlaku di masyarakat. Tingkah laku ini sering mendapat kritikan dari pelayannya, dan disindir dengan cara menembang. Pelayannya yang dikenal berhati lurus ini juga sering membicarakan keburukan ini pada Putri atau anak penguasa atau orang kaya tersebut. Suatu hari, sang Putri ketika berjalan-jalan di taman sari diculik oleh raksasa. Gegerlah seluruh wilayah kedatuan. Pelayan pun mendapat tugas untuk mencari orang yang bisa menemukan dan membebaskan Putri dari cengkeraman raksasa. Akhirnya bertemulah pelayan tersebut dengan Amaq Abir yang sedang berdakwah. Amaq Abir pun berhasil mengalahkan raksasa dan membebaskan Putri. Penguasa atau orang kaya itu akhirnya menginsya kesalahannya setelah mendapat nasehat dari Amaq Abir.

Memfungsikan Teater Tradisi a. Memahami Konvensi Tehnik, isi cerita dan perkembangan bentuk-bentuk kesenian suatu komunitas (suatu bangsa) bisa dipahami secara utuh dalam hubungannya dengan pola psikologi aktual masyarakat yang bersangkutan. Kesimpulan itu pernah diungkapkan Sigfried Cracauer, ahli sejarah teoritikus lm. Kesimpulan itu bisa berlaku saat kita mencoba memahami kesenian (teater) tradisi dan modern, mungkin dengan sedikit perbedaan dalam intensitasnya. Perubahan-perubahan sosial politik, nilai-nilai budaya, perubahan status poleksosbud dari bangsa terjajah kemudian merdeka, kemudian beranjak dari cengkraman penguasa otoriter menuju era reformasi tapi kemudian tergerus oleh selera global, merupakan background sosial yang mempengaruhi dan membentuk pola psikologi aktual masyarakat saat berekspresi dalam bentuk-bentuk keseniannya. Karena itu, upaya memahami ma268

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

syarakat pelaku teater tradisi dan kemungkinan pengembangan nilai-nilai pesan yang disampaikannya memang harus paralel dengan background sosial yang dimaksudkan itu. Misalnya, kita selama ini memahami terdapat dua jenis bentuk teater yakni yang digolongkan sebagai teater tradisi dan teater modern. Dalam teater tradisi terdapat konvensi-konvensi yang mengikat penampilannya. Kesenian merupakan salah satu sarana menonjolkan komunalisme. Manusia dalam teater tradisi tidak dipisahkan dari gejala metasik-kosmik, hakekat drama sebagai gerakan mempertahankan tradisi. Teater tradisi menjadi sarana penting dalam sistem pewarisan nilai-nilai. Teater tradisi Sasak di Lombok -- seperti halnya seni tradisi lainnya -- berfungsi sebagai pranata masyarakatnya. Anggota masyarakat yang menjadi pendukung kesenian tersebut bisa menghayati dan mengungkapkan pengalamannya. Teater tradisi mengungkapkan nilai-nilai dengan cara tersirat dalam alur ceritanya serta pada penggambaran perwatakannya. Nilai-nilai artistik terungkapkan lewat tembang atau kidung, lewat teknik pembuatan topeng dan musik pengiring. Nilai-nilai paedagogis maupun nilai-nilai lainnya hingga kini masih dihayati masyarakat pendukungnya. Pertunjukan teater mengungkapkan nilai-nilai itu dan masyarakat mencocokkan dengan konvensi yang telah terbangun bersama, dan teater itu menjadi media komunal yang (antara lain) berfungsi penyampai informasi untuk mencocokkan nilai bersama tersebut. Sedang teater modern berusaha menggambarkan realitas obyektif dengan bahasanya yang analitik prosaik, menonjolkan individu sebagai entitas psikososial, dan konik sebagai hakekat drama. Ada baiknya kita merinci perbedaan antara teater tradisi dan teater modern;

269

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Teater Tradisi 1. Sering disebut sebagai sebagai teater total a. Menontonnya butuh totalitas akal, rasa dan kemauan b. Total secara kualitatif (tehnik dan naskah)

2. Penonton; - Manusia sik - Semua arwah - Mahluk dari dunia lain 3. Struktur; sirkuler (kosmologis masyarakat agraris) 4. Teatrikalisme; - bukan kenyataan obyektif tapi realitas Transcendental 5.Tokoh; Perwatakan bukan entitas psikologis, tapi lambang dari spiritual state (teater metasik). Tokoh dalam teater tradisi sadar akan ketergantungan tenaga kosmik dan spiritual 6. Musik dan Tari; merupakan bagian integral 7. Bahasa dan sastra sangat penting tapi berbeda kedudukannya bila dibandingkan dengan teater modern;

Teater Modern 1. a. Total dalam tehnik, secara kuantitatif b. Semata-mata menghidangkan; Salah satu kodrat manusia c. Bahasa bisa prosa, puisi dan nyanyian - Satu tema pokok - Satu gaya ekspresi - Satu macam bahasa; prosa atau puisi atau nyanyian (opera) 2. Penonton : - Manusia sik

3. Struktur; - Linier, konik sebagai hakekat drama 4. Realisme (teater ilusionis)

5. Tokoh sebagai entitas psikososial

8. Fungsi; - Pengikat solidaritas - Penjabar dan penyampai nilai-nilai - Pengayaan batin kolektif yang mengacu Kerangka pemikiran dan perasaan yang telah dibentuk secara kolektif

6. Musik dapat diabaikan dari watak tokoh dan adegan/suasana 7. Bahasa sebagai alat analisis, - bahasa tidak dominan , sejajar dengan musik dan tari - bahasa lebih formal, terikat pada fungsi artistik dan teatrikalnya 8. Kesetiaan individual, rasa ingin tahu, nilai alternatif diperhitungkan

270

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Perubahan dalam apa yang disebut pola psikologi aktual seperti disebut di atas, menyebabkan pergeseran, perubahan atau pengembangan dalam kesenian. Perubahan-perubahan nilai estetik pada gilirannya mempengaruhi nilai-nilai sosial dan moral. Sebagai catatan, apa yang dikatakan nilai itu, di kalangan ilmu sosial biasanya dianggap sebagai sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan. Atau lebih khusus, dunia simbolik dalam kebudayaan. Dunia simbolik adalah dunia yang menjadi tempat diproduksi dan disimpan muatan mental dan muatan kognitif kebudayaan baik berupa pengetahuan dan kepercayaan, makna maupun nilai dan norma dalam kebudayaan, Nilai estetik yakni anggapan tentang indah atau sebaliknya, apa yang pantas dan sebaliknya, adalah bagian dari dunia simbolik tersebut. Uraian yang membedakan yang tradisi dan yang modern/ baru itu untuk memperjelas, ada hubungan kuat antara konvensi teater dengan pandangan dunia. Dengan kata lain, pandangan dunia menentukan bentuk konvensi. Dan untuk memahami fungsi suatu konvensi perlu dipahami pandangan dunia masyarakat atau komunitas yang menopangnya. Pandangan yang religius-magis berusaha memahami realitas untuk menyesuaikan diri, atau hidup dalam harmoni. Sementara pandangan faustianistis ingin memahami realitas untuk mengendalikan atau menguasai dan memanfaatkannya (eksploitasi). Suatu bentuk kesenian, hanya dapat tetap mempertahankan eksistensinya bila memenuhi fungsinya sebagai pengungkap pengalaman suatu komunitas sosial. Ini berlaku bagi kesenian tradisi atau yang modern/baru. Sebab kesenian butuh dukungan masyarakatnya, sebab dari sana pengungkapan nilai-nilai simbolik itu butuh pengakuan. Dalam masyarakat tradisional, tiap perwujudan ekspresi seni anggota masyarakatnya dianggap menjadi bagian tak terpisahkan dari kesepakatan akan nilai-nilai bersama. Karena itu landasan pengalaman bersama harus ditemukan. Teater tradisi merupakan salah satu intitusi yang menjadi sarana pewarisan nilai-nilai dalam kebudayaan, karena itu (ada konvensi) harus menjaga harmoni dengan masyarakatnya. Di sana anggota masyarakat menghayati dan mengungkapkan pengalamannya; ada penjernih masalah, pendalaman dan perluasan
271

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

pengalaman. Dalam teater tradisi penonton sekaligus menemukan dua hal; Pertama, mereka akan melihat diri mereka dan kenyataan sosial, jadi apa yang mereka tonton merupakan (idealisasi) pengalaman hidup sehari-hari. Teater menawarkan keterlibatan secara psikis, dan pentas teater itu menjadi milik bersama. Kedua, mereka menemukan dan mencocokkan nilai-nilai yang selama ini dihayati bersama. Pemahaman tentang konvensi ini penting, misalnya bagi seniman-seniman teater baru yang mencoba mengambil idiom teater tradisi. Pemahaman sebelum melakukan penggalian nilainilai dari teater tradisi, maksuknya agar tidak kehilangan akar (tetap ada ruh tradisi), setidaknya untuk menjaga agar nilai-nilai itu tidak disalahtafsirkan. Idiom teater selayaknya tidak hanya dilihat dari daya tarik lahiriah saja. Kalau itu terjadi maka sebenarnya telah terjadi perampokan. Sebab bisa jadi ada nilai-nilai konvensi (dalam bentuk sik estetika) yang tak terpisahkan dari pandangan dunia yang menopangnya. Mengambil tanpa memahami esensi estetisnya, seperti kita mencampuradukkan faustianisme atau religious-magis, dua pandangan dunia yang bertentangan, yang menimbulkan resiko keracunan dalam memandang nilainilai kebudayaan. Catatan yang terakhir ini juga penting kalau hendak memberdayakan teater tradisi sebagai Media Komunikasi Tradisional. b. Media Komunikasi Tradisional Uraian tentang konvensi seni atau teater tradisi di atas untuk memberi gambaran tentang pentingnya memahami pandangan dunia tradisi yang melahirkan bentuk estetik dalam keseniannya. Namun harus juga dipahami, bahwa segala konvensi untuk mengidentikasi keindahan bentuk seni tradisi bukanlah aturan mati yang tak membuka diri dari kemungkinan berubah. Kesenian selalu memiliki kebutuhan mengembangkan potensinya agar mampu mengakomodasi perubahan isi pesan seninya untuk menjangkau pandangan dunia yang lebih dari batas-batas komunitasnya. Dan kenyataannya, seni atau teater tradisi saat ini tentu tidak
272

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

semata-mata ditopang komunitasnya dimana kesenian itu mulai tumbuh. Pertunjukan Wayang Gerung dengan dalang Lalu Nasib adalah contoh bagaimana seniman tradisi mampu menjelajah ruang nilai yang melintasi batas-batas komunitasnya. Tanpa kehilangan identitas Wayang Sasak-nya, dalang Lalu Nasib sangat memahami pola psikologi aktual masyarakat Kecamatan Gerung, Lombok Barat, yang sebenarnya menginginkan keseniannya bisa berkomunikasi dengan publik yang lebih luas. Hal ini merupakan bagian untuk mempertahan eksistensi seni (sebagai konkritisasi nilai-nilai) yang mampu bertandang dan diapresiasi oleh nilai-nilai di luar masyarakatnya. Teater Amaq Abir di Medana (Lombok Timur) yang terlanjur terikat dalam nilai religius-magis komunitasnya, akhirnya tak mampu mempertahankan eksistensinya. Berbeda dengan yang ada di Desa Marong, Lombok Tengah, teater topeng ini sama sekali tak disakralkan. Sejak awal pertumbuhannya Teater Amaq Abir bagi masyarakat buruh tani di Marong tidak dihubungkan yang berkaitan dengan upacara agama atau hal-hal gaib, tapi semata-mata dianggap sebagai acara kesenian yang membawa pesan moral. Mempertahankan eksistensi serta mengembangkan Teater Amaq Abir di Marong lebih memungkinkan, setidaknya teater tradisi tersebut memiliki potensi; pertama, penyesuaian bentuk seni-nya sebagai pengungkapan nilai estetik yang mampu menyesuaikan diri dengan apresiasi estetis publiknya; kedua, kemungkinan perubahan dan pengembangan bentuk seni Teater Amaq Abir terbukti sangat terbuka masuknya unsur tehnik teater modern (pembinaan yang dilakukan menjelang tampil dalam festival teater tradisi di Jakarta tahun 1986). Struktur, plot, pengadeganan, cerita maupun penokohan bisa dikembangkan sesuai kebutuhan; ketiga, dengan potensi untuk menyesuaikan diri tersebut maka Teater Amaq Abir dengan mudah membawa misi penyampai muatan-muatan nilai dan moral baru, atau lebih jauh lagi menjadi media komunikasi tradisional yang berfungsi sebagai penyampai pesan dan media informasi yang komunikatif pada komunitasnya atau pada publik yang lebih luas. Pada dasarnya fungsi tersebut juga bisa dilakukan teater tradisi yang lain yang kini masih eksis di Lombok, seperti Teater Cupak Gurantang
273

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

dan Kemidi Rudat yang masih mendapat tempat masyarakat Sasak. Tentu saja, memfungsikan teater tradisi sebagai media komunikasi tradisional, tentu tak harus mengurangi nilai estetiknya. Wayang Gerung-nya Lalu Nasib menyampaikan pesan-pesan pendidikan, moral atau komentas sosialnya melalu episode yang menampilkan tokoh-tokoh kocak seperti Amaq Amet, Amaq Locong, Amaq Kisiq dan kawannya-kawannya (tokoh-tokoh yang diciptakan dari personikasi orang Jawa, Bima dan bisa muncul dari etnis lainnya). Selebihnya Lalu Nasib masih memainkan wayangnya sesuai konvensi pewayangan Sasak. Keberhasilan Wayang Gerung memang tak lepas dari kesenimanan Lalu Nasib yang hingga kini belum ada duanya. Demikian juga seharusnya dalam memfungsikan teater tradisi di Lombok sebagai media komunikasi tradisional. Bentuk-bentuk seni yang menjadi konvensi estetiknya tak harus luntur, bahkan bila mungkin dipertajam. Unsur musik, tembang, topeng dalam Teater Amaq Abir perlu pembinaan teknis, termasuk teknis penggarapan pertunjukaan yang perlu sentuhan teater modern. Peningkatan nilai estetis itu justru menguatkan kemampuan dan efektivitasnya sebagai media komunikasi tradisional.

274

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

275

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Mustakim Biawan alias Musbiawan. Lahir di Sumbawa, 26 Juli 1940. Pendidikan : (Formal/ Non Formal) : SGA 3 th Kupang 1959 PGSLP 2 th jurusan Ilmu Pasti (BI) 1963 Cantrik angkatan I Padepokan Seni Bagong K. Yogya 1978/1979 Diklat Seni Tk. Nasional. Karier : Guru Ilmu Pasti/ Kesenian 21 tahun di SMP/SPG Kepala Kebudayaan Sumbawa 7 tahun. Kasi Bina Program Bid. Kesenian NTB 5 tahun. Kepala Taman Budaya Prop. NTB 4 tahun (pensiun). Ketua Umum Dewan Kesenian NTB 2 tahun. Direktur SKENARIO 1999-sekarang. Sebagai pembicara Budaya di tingkat Lokal, Regional, Nasional : Kongres Kebudayaan V di Bukit Tinggi, 2002. Seminar Seni Kawasan Timur Indonesia, Kalimutu 1994. Temu Ilmiah MSPI, Bali 1999. Seminar Seni Pertunjukan Indonesia STSI Solo, 1998. Temu Teater Nasional Yogya, 1999. Skenario Indonesia Masa Depan Komnas Ham, Bogor 2000. Seminar Wawasan Kebangsaan, Jakarta 2007. Beberapa lagu pop Sumbawa dan Hymne/ Mars Universitas Samawa/ KSB (sudah jadi NSP) pernah dibuatnya. Termasuk naskah sandiwara radio dan musik iringan tari. Namun Musbiawan mengaku masih ada sekitar 200 puisi yang jarang dipublikasikan. 276

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Seni Tradisi NTB dalam Proses Kreatif Menuju Media Komunikasi Sosial
Mustakim Biawan
Mantan Kepala Taman Budaya NTB

etika orientasi pembangunan masih menjadikan dimensi ekonomi dan politik jadi panglima. Ketika kita belum menganggap pendekatan kultural penting sehingga melahirkan generasi bringas yang mengira bahwa anarkhisme adalah solusi ampuh segala kekacauan musibah bangsa. Ketika teknologi membidani lahirnya media baru diktator baru yang mengubah hampir semua gaya hidup bangsa. Adanya kegiatan Pemetaan Seni Tradisi ini menjadi sangat penting dan harus diberi apresiasi. Mengapa? Karena sejatinya konik-konik multi dimensional yang melanda negara saat ini salah satu penyebabnya adalah mulai tersumbatnya komunikasi antar komponen bangsa. Tentu saja dengan selalu merujuk pada sikap bahwa geopolitik dan geokultural tidak ditentukan oleh satu pihak saja. Artinya keterlibatan rakyat sangat menentukan keberhasilan program.

Kondisi Masa Lalu Seperti yang secara umum terjadi di daerah lain, kehidupan seni tradisi di NTB pada masa lalu berkembang dengan baik dan sangat diminati oleh hampir seluruh anggota masyarakat. Hal ini dimungkinkan selain karena lembaga-lembaga adat sebagai pengawal keberadaan etnik masih berperan dan dihormati termasuk tokoh-tokoh lainnya, juga
277

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

oleh belum adanya serbuan budaya instant yang tidak lagi bersahabat dengan nilai-nilai masa lampau tersebut. Komedi Rudat, Cupak Gurantang, serta jenis-jenis teater tradisional lainnya di lima kabupaten/ kota di Lombok termasuk Wayang masih sangat diminati dan menjadi sumber belajar masyarakat lewat pesanpesannya yang penuh kearifan. Begitu juga yang terjadi di Sumbawa: Sakeco, sebuah musik tradisi yang melantunkan sastra lisan yang memuat pesan-pesan kearifan lokal lewat irama dan jenis pesan yang variatif sungguh jadi idola saat itu. Termasuk juga dongeng sebelum tidur yang dalam bahasa Sumbawa disebut BATUTIR (Bertutur), selalu ditunggu anak-anak sebelum berangkat ke dunia mimpi. Dongeng-dongeng tersebut membekas dalam kehidupan mereka hingga dewasa, sebab isinya penuh dengan pedoman kehidupan, ketauladanan dan gampang dicernakan. Dongeng tersebut ada dalam kehidupan ketiga etnik di NTB walaupun dalam versi yang disesuaikan dengan idiom lokal. Yang terjadi di Bima, dimana hidup suku Mbojo yang meliputi 2 kabupaten yaitu kabupaten Bima dan Dompu hampir sama dengan Sumbawa. Kalau di Sumbawa sangat populer Seni Sakeco, di Bima idola dan primadonanya adalah RAWA MBOJO (Nyanyian Bima), yaitu lagu tunggal yang diiringi oleh biola tunggal yang biasanya penyanyi adalah wanita dan pemain biola laki-laki. Lirik-lirik yang dipilih adalah lirik yang penuh dengan nasehat-nasehat yang bersumber dari PATU (Pantun) yang dipilih sesuai dengan konteks tempat dan waktu penyajian. Dan seperti juga semua seni radisi yang lain di NTB kadar komunikatifnya tetap selalu dijaga agar pesan yang akan disampaikan mencapai target. Tentu saja unsur hiburannya tetap dijaga dengan baik. a. Pada umumnya karena sikap paternalistik masyarakat rakyat banyak meniru ketauladanan yang ditunjukkan oleh petinggi pemerintah dalam semua tingkat yang selalu menanggap seni tradisi dalam hampir setiap event. Kita sepertinya sukar menentukan apakah rakyat sadar dalam mengikuti jejak bos-bos tersebut atau memang tanpa pengaruh merekapun rakyat memilih karena sudah mengakrabi kesenian tersebut cukup lama.
278

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

b. Ada saatnya terutama masa orde baru, pesan-pesan pembangunan disampaikan lewat semacam seni pertunjukan yang biasa disebut pertunjukan rakyat atau lebih dikenal dengan sosiodrama. Dalam proses kreatifnya terjadi penentuan pesan-pesan dari kalangan birokrasi lalu lewat kreativitas para seniman dimasukkan ke dalam sekwen, cerita yang kadang-kadang jadi karya yang cukup artistik tapi tidak jarang pula terjadi karya yang disuguhkan lebih mengutamakan pesan daripada aspek struktur teatrikal dan estetikanya. Hal ini berlangsung cukup lama apalagi setelah program KB mewarnai aspek hidup masyarakat. Ledakan jumlah penduduk yang menghantui masa depan kesejahteraan Indonesia harus segara diredam dengan berbagai cara. Salah satunya dengan pesan-pesan yang disampaikan lewat media tradisi yang diakrabi rakyat. Program-program tersebut dianggap berhasil disebabkan oleh beberapa hal antara lain : a. Dua buah intitusi birokrasi yaitu Deppen dan Depdikbud sangat solid dan gencar bekerjasama dalam proses pembentukan karyakarya seni pertujukan yang ampuh dan mampu memukau rakyat sekaligus menimbulkan kesadaran akan pentingnya ber KB (Penilik Kebudayaan dan Jupen sangat pegang peranan). b. Ditambah lagi dari kalangan tokoh agama dan masyarakat pada waktu itu cukup banyak memberi fatwa atau petuah yang mendukung program tersebut. c. Kepatuhan rakyat terhadap tokoh-tokoh (tomas) dan pemerintah yang masih terjaga dan dipelihara akibat adanya kearifan lokal yang mengemuka dalam kehidupan ketiga etnik : - Patut Patuh Pacu (Sasak) - Sabalong Samalewa (Samawa) - Maja Labo Dahu (Mbojo) Secara tidak langsung membantu keberhasilan program tersebut. Selain dari sukses-sukses tersebut, ada hal yang perlu dicatat yaitu catatan lisan tentang pemasungan kreativitas seniman. Sifat pemerintah pada saat itu yang otoriter menyebabkan seniman-seniman tradisional yang
279

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

ingin mengembangkan gagasan-gagasan baru di luar pakem apalagi memasukkan gaya yang mengeritik kebijakan pemerintah adalah hal yang mustahil. Jangankan media tradisi, seni modern ataupun yang kontemporer yang dengan kemampuannya yang tinggi dalam aspek kreativitas tidak jarang berhadapan dengan penguasa sebab karyanya yang menurut mereka cukup menggugah diterjemahkan oleh penguasa cukup menggugat sehingga diberangus. Keadaan ini dipelihara dengan cerdas oleh penguasa lewat Deppen yang merupakan corong tunggal kebijakan pemerintah tanpa dialog seimbang dengan rakyat. Kelahiran teknologi baru tehun 1962 yang bernama TVRI bukannya menambah wadah kreativitas sang seniman malahan cuma menambah alat penyampaian pesan pemerintah yang tanpa saingan apalagi ada seperti yang kelihatan sekarang dialog interaktif semacam SUARA ANDA di sebuah stasiun TV SWASTA. Barangkali ada benarnya seperti yang dikatakan oleh George Orwell yang mengemukakan bahwa media yang dikuasai oleh seorang tiran akan sangat melipat gandakan kekuatan dan kekuasaan untuk menindas dari Sang Tiran kepada rakyatnya. Kondisi ini cukup lama dipertahankan. Walaupun media tradisi cukup subur tumbuh di hampir semua daerah, termasuk di NTB, tapi pertumbuhannya lebih disebabkan oleh ketiadaan pilihan lain selain berkreasi dan mempertahankan asap dapur.

Kondisi Masa Sekarang Tumbangnya Orde Baru diganti Orde Reformasi tahun 1998, memberi kebebasan kepada warga untuk berkarya. Sebelum itu sekitar 1989 mulai bebas tumbuhnya stasiun TV Swasta dan aroma kebebasan berbicara mewarnai hampir semua aspek kehidupan tidak lalu menyebabkan media tradisi tambah berkembang sesuai arus globalisasi. Program baru menggiatkan pariwisata membuat NTB bergegas membenahi diri setelah ditetapkan sebagai salah satu DTW handal di Indonesia. Budaya instan tanpa pandang bulu melanda seluruh wilayah nusantara. Hal-hal baru yang diajarkan oleh sang diktator baru yang berjuluk Prof. Dr. Moh. Televisi menjadi pedoman sehari-hari sehingga
280

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

terjadi situasi yang tak terduga sebelumnya di saat mana masyarakat tidak peduli pada apapun yang tidak menghibur. Media tradisi nyaris tidak dapat tempat lagi. Pesan-pesan pembangunan lebih banyak Cuma jadi porsi TVRI sedangkan TV Swasta lebih banyak mengadakan berita sensasional iklan-iklan gosip-gosip sinetron yang lebih banyak jual mimpi dan mistik-mistik. Memang ada satu dua stasiun yang kelihatan peduli terhadap seni tradisi semisal Ketoprak Humor di RCTI Wayang di Indosiar dan TV Lokal NTB : Lombok TV. Tapi keadaan itu belum mampu membalikkan kejayaan seni tradisi masa Orde Baru. Keadaan di NTB pun demikian. Kondisi organisasi seni tradisi yang mengusung teater tradisional misalnya di Lombok Komedi Rudat sudah jarang ditanggap, anggota-anggotanya ada yang jadi TKI ke negeri Jiran, kalah bersaing dengan gemerlap layar kaca dan seni modern lainnya yang berkiblat pada daya bius budaya instant. Memang ada yang masih tetap bertahan karena adanya event musiman pariwisata atau karena kepiawaian seniman pendukungnya membaca tanda-tanda zaman semisal Cupak Gurantang, Wayang Sasak di Lombok, Sakeco di Sumbawa dan Rawa Mbojo di Bima dan Dompu. Tapi dibandingkan dengan masa lalu bila dilihat dari jumlah pertunjukan sudah berkurang intensitasnya. Apalagi dengan wajah kehidupan ekonomi masa kini yang cukup memprihatinkan. Hobby bermain mereka dalam seni tradisi secara perlahan ditukar dengan hobby baru yang tanpa pilihan : mencari penopang kehidupan lewat krya-karya baru di wilayah yang sangat asing dari aroma kesenian. Muatan-muatan atau pesan-pesan yang sebelumnya banyak mengandung unsur kearifan lokal (local wisdom) karena tuntutan zaman berubah menjadi pesan sebuah seni media yang cuma jadi aspirin yang tidak menyembuhkan permasalahan masyarakat tetapi mengarahkan manusia pada suatu mimpi, gaya hidup, bukan mendorong pemberdayaan masyarakat. Khusus di NTB masih terjadi sampai saat ini group-group seni tradisi menjadi korban para calo yang secara sepihak menentukan apa dan bagaimana group tersebut harus bermain dan berapa hak yang mereka dapat. Tentang honorarium tersebut sering terjadi ada calo yang nakal menyunat honor mereka dengan dalih macam-macam yang diamini begitu saja oleh anggota group yang memang lugu.
281

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Tetapi hal tersebut sudah mulai berkurang sejak adanya pembinaan organisasi seni yang diadakan oleh lembaga pemerintah maupun swasta. Dari kalangan pemerintah oleh Disbudpar dan Diskominfo dan kalangan swasta pada tahun 1999 oleh yayasan KELOLA yang dibiayai oleh Ford Fondation. Adanya hajatan besar Pemda NTB mengadakan VISIT LOMBOK SUMBAWA 2012 yang tujuan utamanya menjadikan NTB destinasi jempolan di Indonesia barangkali bukan cuma mimpi. Alam yang indah, budaya yang aneka, khas dan unik adalah potensi yang menjanjikan ke arah itu. Di dalam potensi tersebut ada seni tradisional yang perlu dipoles sebagai seni turistik sudah tentu tanpa menghilangkan roh tradisinya. Saat ini organisasi seni tradisi sudah mulai bergegas membenahi diri untuk menjadi salah satu barang dagangan pada ajang tersebut. Sudah tentu harus memenuhi kriteria layak tampil layak jual dan akhirnya layak dibayar. Kelihatannya mudah-mudahan senimanseniman tradisional akan banyak dapat peluang dalam berkarya akhirakhir ini. Pesan-pesan pembangunan yang diharapkan lebih tersosialisasi lewat media seni tradisional yang komunikatif dan unik akan dengan mudah menyebar dan diserap masyarakat ketimbang pidato panjang dan rumit elit-elit politik. Sejatinya oleh warga NTB terutama seniman ajang VLS 2012 diharapkan dapat sedikit memberi harapan kepada bangkitnya seni tradisi tentu saja yang komunikatif di tengah budaya asal jadi saat ini. Tetapi hajat kita lewat pemetaan saat ini bukan cuma sekadar menambah isi kocek sang seniman atau calo yang memperdaya mereka. Sumbatan-sumbatan komunikasi selama ini dirasakan antar komponen bangsa : antar pemerintah dan rakyat atau pemerintah dengan sesama pemerintah, atau bahkan antara rakyat dengan rakyat sehingga melahirkan konik berkepanjangan, harusnya menjadi cair dan mudah-mudahan saling mengerti dan memaafkan. Semoga!!

Prospek Pengembangan Masa Depan Pada dasarnya sebuah upaya pengembangan budaya adalah bagian dari pelestarian, yang mempunyai 3 aspek yaitu perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan. Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan seni tradisi untuk
282

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

jadi media komunikasi sosial, kita sebenarnya membicarakan pemanfaatan seni tersebut untuk tujuan pendidikan baik yang terstruktur maupun tidak terstruktur, formal maupun non formal atau pendidikan masyarakat. Pemanfaatan seni tradisi untuk tujuan pendidikan adalah sebagai substansi untuk disosialisasikan, demi berbagai tujuan yang lebih khusus, misalnya ; 1. Untuk memacu internalisasi nilai-nilai budaya yang dapat memperkuat integritas sebagai bangsa yang mampu menjunjung moral yang tinggi. 2. Untuk menumbuhkan kepekaan dan toleransi dalam pergaulan antar sesama. 3. Untuk tingkatkan dan tumbuhkan kesadaran sejarah. Merujuk kepada hal-hal tersebut dan TOR dari kegiatan ini, maka beberapa langkah yang dapat ditempuh dalam upaya pengembangan menjadikan seni tradisi yang komunikatif di NTB sebagai media komunikasi sosial adalah sebagai berikut : 1. Inventarisasi jenis-jenis seni tradisional yang komunikatif di seluruh wilayah NTB termasuk di dalamnya deskripsi lengkap tentang aspek-aspek : a. Bentuk, pola, atau pakem. b. Potensi untuk berubah. c. Jenis pesan atau muatan yang mengandung pendidikan kultural, spiritual dan komentar sosial. 2. Mengadakan upaya pengembangan lewat usaha kolaborasi antara seniman akademis dengan bakat alam atau tradisional. Dalam kegiatan ini harus dapat disepakati bahwa pakem-pakem yang ada pola-pola ataupun bentuk seni tradisi adalah sebuah produk seni dan bukan syahadat kita yang baru. Jadi artinya dapat dapat dan mungkin diubah. Sehubungan dengan hal tersebut, ada beberapa faktor pendukung kearah tersebut : 1. Potensi seni-budaya NTB beragam dan khas. 2. Masyarakat cukup terbuka terhadap pembaharuan. 3. Event-event yang mendukung kreativitas seniman cukup banyak. Contoh : BCB (Bulan Citra Budaya), Festival/ Lomba Seni
283

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Tradisi dan saat ini sedang giat menyiapkan diri terhadap kegiatan skala besar bidang pariwisata yaitu VISIT LOMBOK SUMBAWA 2012. Kita dapat menyatakan bahwa kemungkinan pengembangan di masa yang akan datang tidak akan mengalami banyak hambatan. Contoh upaya pengembangan :

1. Di Pulau Lombok Rata-rata seni tradisi di Lombok adalah seni kerakyatan, dipentaskan di arena terbuka dan mempunyai ciri khas dan unik serta komunikatif. Karena yang diharapkan dalam pemetaan ini adalah seni tradisional yang komunikatif, maka yang kita bicarakan dipersempit kepada jenis-jenis tersebut. Misalnya :
Komedi Rudat Dapat dikembangkan dengan memberikan nuansa humor yang dipelajari dari jenis humor masa kini (apakah lewat tv ataupun pentas terbuka) agar dapat lebih dihayati oleh audience tanpa menghilangkan roh cerita yang bernuansa Arab-Melayu. Juga fungsi hadam yang dominan dapat lebih dimaksimalkan dengan tambahan pesan-pesan cerdas tentang hal-hal factual yang terjadi, sudah tentu dengan tetap mengedepankan keutuhan cerita (unity) dan aspek artistik. Sebenarnya kalangan penonton yang kebanyakan sudah mulai bosan dengan pakem dan pesan yang sama dari tahun ke tahun datang menonton lebih disebabkan mau mendengar banyolan baru hadam karena pakem statis tak memberi nuansa segar. Begitu pula pola dan bentuknya. Wayang sasak Dengan mulai munculnya Dalang muda, harapan kita di NTB terhadap pengembangan seni tradisi cukup baik. Walaupun sebagian besar para Dalang masih asyik terjebak dalam pola-pola lama tanpa ingin menikmati kebebasan yang diberikan oleh reformasi tapi ada beberapa yang mencoba melawan tradisi den284

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

gan upaya-upaya kreatif. Ambil contoh misalnya Wayang Sasak Lalu Nasib (Panginang Robek). Lewat banyolan-banyolannya yang nyerempet wilayah pornogra yang khas sejak dekade 90an keatas cukup mendapat tempat di hati penonton, termasuk generasi muda. Jadilah dia tumpuan pesanan dari instansi pemerintah yang punya program yang harus disosialisasikan lewat media wayang. Dan upaya ini menambah asap dapur anggota groupnya. Walaupun saat ini pamornya sudah mulai memudar akibat banyolan-banyolannya kadang-kadang nyerempet hal-hal sensitif, tetapi sejarah mencatat bahwa dia berani meretas penghalang kreativitas dalam berkesenian. Apalagi serbuan-serbuan seni kontemporer lewat panggung-panggung glamour layar-layar kaca seakan-akan meminta media tradisi untuk segera undur diri dari panggung seni Indonesia. Syukurlah NTB masih memiliki rakyat yang memberi apresiasi tinggi terhadap seni wayang walaupun tanpa malu-malu menganggap budaya instan adalah segala-galanya sebagai pedoman kehidupan. Ada juga teater tradisional yang lain semacam Cupak Gurantang dan Topeng Amaq Abir yang mengambil cerita dari Serat Menak yang masih digandrungi masyarakat walaupun dalam jumlah terbatas karena wilayah pertunjukannya juga terbatas.

2. Di Sumbawa Etnik Samawa yang tersebar di dua Kabupaten yaitu Kabupaten Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat tidak memiliki teater tradisional dalam pengertian teater terstruktur seperti Komedi Rudat atau Wayang di Lombok. Di Sumbawa Cuma ada (smpai saat ini) teater mula berupa Ngumang, Balawas, Batutir, Bagesa, dll yang dalam takaran komunikatif agak kurang. Tetapi Sumbawa dalam khasanah seni musik tradisional cukup kaya. Yang paling populer saat ini ialah musik SAKECO. Sakeco adalah duet tradisional Sumbawa yang melantunkan LAWAS (Sastra Lisan Sumbawa) diiringi rebana dalam irama yang sangat variatif dan kelincahan duet yang rampak. Pesan285

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

pesan yang disampaikan berasal dari Lawas atau kejadian yang sedang IN yang dikemas dalam kadar komunikasi yang intens dengan audience. Dalam upaya pengembangan, yang perlu diperhatikan adalah : Perubahan irama harus lebih terasa. Artinya racik (irama yang mirip rap) harus lebih diperbanyak karena seperti dalam wayang racik adalah seolah-olah punakawan yang ditunggu banyolan segarnya. (ingat pameo Sumbawa Kurang racik kurang maras) Mengenai waktu penyajian yang biasanya semalam suntuk (sampai keluarnya Nasi Goreng) dapat dirancang agar lebih dipadatkan tanpa mengurangi daya pukaunya. Jenis-jenis pesan melalui lirik-lirik lawas atau cerita-cerita agar lebih diseleksi tanpa menghilangkan sifat khas Sakeco, yang segar dan sarat dengan variasi irama dan pesan. Selain Sakeco ada satu lagi seni tradisi Sumbawa yang layak dikembang jadi media komunikasi sosial yaitu NGUMANG : semacam penyampaian (ekspresi) seorang pria yang sambil memegang sebatang kayu berhias dengan suara giring-giring menggerak-gerakkan tubuhnya dalam gerak tari khas sambil menyampaikan lawas di hadapan gadis-gadis atau audience dalam event-event tertentu seperti Karapan Kerbau dan saat ini di dalam pawai, dll. Isi lawas sangat lentur dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Untuk pengembangan dapat ditambah jumlah orang sehingga vokal jadi lebih menarik, dibuat komposisi yang lebih baik dan pesan-pesan yang dipilih lebih pas dengan situasi. Saat ini (dalam kurun waktu 3 tahun terakhir) sudah dicoba kembangkan Sakeco wanita dan ternyata dapat sambutan yang lumayan baik dari masyarakat. Begitu juga RABALAS LAWAS atau sejenis BERBALAS PANTUN yang sudah sering dilombakan antar kecamatan. 3. Di Bima/ Dompu Etnik Mbojo yang mendiami Kab. Bima dan Dompu memiliki seni musik khas yang disebut RAWA MBOJO. Seperti juga yang
286

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

terjadi di Sumbawa, seniman-seniman di kedua daerah tersebut telah mencoba mengangkat Rawa Mbojo lewat persentuhan dengan irama yang merajai wilayah musik tanah air saat ini yang disebut DANGDUT. Daripada ditinggalkan pendukungnya, sneiman-seniman rawa Mbojo mengadakan perpaduan antara irama asli mbojo dengan gempitanya Dangdut yang lalu menghasilkan karya yang mulai digandrungi lagi oleh khalayak. Walaupun lirik-liriknya hampir sama dengan pesan-pesan yang sama, tetapi karena settingnya tidak lagi statis (panggungnya mulai dibenahi), kaidah-kaidah pentas sebagai sebuah seni pertunjukan mulai diakrabi, maka upaya pengembangannya cukup berhasil walaupun belum berhasil menggaet anak muda untuk berpaling dari dunia mereka : musik modern yang serba canggih mengasyikkan. Ada juga Kapatu yang sama dengan Rabalas Lawas di Sumbawa. Ada satu hal yang layak dikembangkan bagi ketiga etnik di NTB yaitu maraknya penciptaan lagu pop daerah yang sudah diproduksi secara besar-besaran dari tahun ketahun dan cukup diminati rakyat. Lomba cipta lagu pop sering diadakan terutama di Sumbawa. Prestasi nasional baru-baru ini sebagai penyanyi terbaik lagu pop daerah tingkat nasional di Jakarta memberi semangat kepada musisi pop daerah Sumbawa untuk berkarya. Karena lirik-lirik lagu tersebut kebanyakan berasal dari sastra lisan tradisional maka peluang penyampaian pesan-pesan moral cukup baik.

Penutup 1. Kesimpulan Media tradisional NTB masih punya potensi untuk menjadi media komunikasi sosial. Event-event pariwista dan festival atau lomba seni yang diadakan oleh pemerintah dan swasta cukup memberi peluang kepada para seniman atau pelaku seni untuk mengembangkan karya. 2. Saran-saran Dalam setiap usaha pengembangan agar selalu dijaga keseim287

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

bangan antara porsi pesan dan unsur artistik sehingga karya yang dihasilkan adalah karya unity yang dapat diterima secara ikhlas oleh pendukungnya. Kemajuan teknologi harus dimanfaatkan secara maximal untuk mengembangkan kreativitas seniman disertai peningkatan frekuensi festival/ lomba seni terutama seni tradisional. Agar seniman yang berprestasi mendapat apresiasi sesuai dengan mutu karya-karya dan pengabdiannya. Bagaimanapun hambatan-hambatan komunikasi yang akhirakhir ini terasa menjadi penghambat kemajuan bangsa, barangkali salah satu sebabnya adalah karena pembuat kebijakan belum begitu mengerti yang diinginkan rakyat disebabkan adanya barikade protokuler yang sengaja dibuat untuk mengurangi keakraban penguasa dengan rakyatnya. Otonomi daerah yang dihajatkan untuk memberi peluang maksimal bagi daerah dalam pengembangan segala kehidupan termasuk budaya jangan dijadikan ajang pemenuhan nafsu politik dan ekonomi semata.

Daftar Pustaka Edi Sedyawati, Prof. Dr. Peningkatan Pemanfaatan Tradisi Seni Budaya Sebagai Obyek Daya Tarik Pariwisata. Dialog Interaktif Bappeda NTB. Mataram, 2002. Fred Wibowo Seni Media dan Media Seni. Temu Teater Nasional Yogyakarta, 1999. Kerth Tester Media Cultural Morality. Juxtapose, 2003. Made Bandem Melacak Identitas di tengah Budaya Global. Temu Ilmiah MSPI. Tirtagangga, 1999 Mus Biawan Semangat Etnis Teater Kita.Temu Teater Nasional Yogyakarta, 1999. ______. Kekuatan Itu Dimulai Ketika Cinta Bau Bensin. Seminar Seni Pertunjukan Indonesia Seri I STSI Surakarta, 1998

288

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

LAMPIRAN DAFTAR KONTAK ORGANISASI SENI TRADISIONAL NTB


LOMBOK 1. Baluq Diarsa
Alamat Pimpinan Kontak Person Materi Garapan

: Dusun Karang Bliq, Desa Marong Kec. Paraya Timur Lombok Tengah NTB (didirkan tahun 1987) : Lalu Sahibi : Komang Restu (tlp : 0370 654706) : Teater Topeng Amaq Abir : : : : Dasan Agung Mataram M. Yusuf M. Yusuf Cupak Gurantang

2. Suanda Putra
Alamat Pimpinan Kontak Person Materi Garapan

3. Darma Kerti
Alamat Pimpinan Kontak Person Materi Garapan

: Dusun Batu Pandang, Desa Sapit Kec. Pringgabaya, Lombok Timur : Sukiman : : Topeng amaq Abir

4. Gema Karyawan : Depdikbud Kec. Gerung Lombok Barat Pimpinan : Nuradi Kontak Person : Materi Garapan : Wayang Sasak 5. Komedi Rudat Borok Alamat : Desa Buntiang, Kec. Sakra Lombok Timur. Pimpinan : Guru Bangka Kontak Person : Suhardi (Tlp : 0376 22454) Materi Garapan : Komedi Rudat
289
Alamat

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

6. Komedi Rudat Kembali Jaya Alamat : Penede Gandor Lombok Timur Pimpinan : Drs. Sahiruddin Kontak Person : Sukardi (Tlp. 0370 621209) Materi Garapan : Komedi Rudat 7. Wayang Lalu Nasib Alamat : Gerung Lombok Barat Pimpinan : Lalu Nasib Materi Garapan : Wayang Sasak 8. Purnama Ria Alamat : Gapuk Selatan Dasan Agung Mataram Pimpinan : Ramiun Kontak Person : Ramiun (tlp. 0370 622068) Materi Garapan : Teater tradisional, dll.
SUMBAWA

1. PLK Kab. Sumbawa Alamat : Kantor Budpar Kab. Sumbawa Pimpinan : Hasanuddin, S.Pd. Kontak Person : Hasanuddin, S.Pd. (Hp. 08123719063) Materi Garapan : semua jenis seni 2. Kemang Satange Alamat : Pelat, Kec. Sumbawa, Kab. Sumbawa. Pimpinan : Maladi, S.Pd. Kontak Person : Jemaan (tlp. 0371 22720) Materi Garapan : Sakeco 3. Doro Kumbe Alamat : Kec. Rasange Bima Pimpinan : H. Muhtar Kontak Person : Drs. Hilir Ismail (Tlp. 0374 42408) Materi Garapan : Musik Tradisional
290

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

4. Mada Duli
Alamat Pimpinan Kontak Person Materi Garapan

: : : : : : : :

Desa Kempu, Kec. Kempo, Kab. Dompu Zulkiy Adidin Rifai, SH (tlp. 0373 22807) Musik Tradisional Taliwang, Kec. Wera Bima H. Usman Drs. Hilir Ismail (tlp. 0374 42408) Musik Tradisi

84261

5. Ompu Nae
Alamat Pimpinan Kontak Person Materi Garapan

Sumber : Direktori Seni dan Budaya Indonesia, 2000. Editor dan penulis artikel Sapardi Djoko Damono. Diterbitkan oleh Yayasan Kelola atas bantuan Ford Foundation.

DUET SAKECO 1. Abdul Horin Cs. Alamat : Moyohilir Sumbawa 2. Syamsuddin/ Sukardi Alamat : Pamulung 3. Abd. Kahar/ Mustafa (Sambu) Alamat : Kec. Utan 4. Tini Cs (perempuan) Alamat : Kec. Utan 5. Darmiati/ Rukaiyah (perempuan) Alamat : Desa Seminar Kab. Sumbawa Barat 6. Harin Alamat : Kaiang Moyo Hilir Subawa
291

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

aram.

Dr. Kadri, M.Si. Pemerhati Komunikasi dan Dosen Ilmu Komunikasi IAIN Mat-

292

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Mengemas Seni Tradisional Komunikatif NTB untuk Media Komunikasi Sosial


Dr. Kadri, M.Si
Pakar Komunikasi IAIN Mataram

Pengantar eragaman seni dan budaya merupakan salah satu karakter bangsa Indonesia yang membedakannya dengan negara lain. Keragaman ini sekaligus menjadi kekayaan bangsa yang tak ternilai, untuk dilestarikan dan diwariskan kepada generasi-generasi berikutnya. Sungguh banyak nilai dan pelajaran yang dapat diambil dari setiap seni dan budaya tradisional untuk dijadikan sebagai referensi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun ekspektasi ideal tersebut di atas harus berhadapan dengan kecenderungan memudarnya seni dan budaya tradisional di setiap daerah. Seni dan budaya tradisional yang selama ini menjadi kebanggaan, kini tidak banyak lagi dikenal oleh generasi muda. Pada saat bersamaan mereka (generasi muda) tidak bisa melepaskan diri dari serangan budaya global yang terus menerpa. Sehingga tidak heran bila anak-anak lebih banyak mengenal nilai dan budaya asing ketimbang seni dan budaya sendiri. Oleh karena itu, upaya pelestarian dan pewarisan senibudaya tradisional menjadi tugas yang tidak mudah di tengah semakin terbukannya akses masyarakat untuk mempelajari seni dan budaya asing lewat kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi. Memang, upaya pelestarian dan penanaman kencintaan public (terutama generasi muda) terhadap seni dan budaya tradisional menjadi tugas

293

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

awal yang mesti direalisasikan, sebelum berbicara tentang pemanfaatan seni tradisional sebagai media komunikasi sosial. Selama ini seni dan budaya tradisional masih dimaknai sebatas karya seni pemuas naluri estetika setiap orang, sehingga belum banyak yang berpikir pemanfaatan hal tersebut sebagai sebagai media komunikasi untuk menyampaikan pesan social baik oleh pemerintah kepada publik secara vertical maupun secara horizontal di antara masyarakat. Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang didiami oleh tiga etnik mayoritas (Sasak, Samawa, dan Mbojo) serta etnik-etnik lainnya, memiliki seni dan budaya tradisional yang beragam. Di sisi lain, karakter geogras NTB yang kepulauan dan terdiri dari wilayah yang masih jauh dari pusat ibu kota provinsi dan kabupaten, mengharuskan pemerintah daerah untuk menggunakan media komunikasi yang beragam, di antaranya menjadikan seni tradisional sebagai media komunikasi sosial.

Eksistensi Seni Tradisional di tengah Media Modern Tidak mudah untuk mempertahankan eksistensi seni tradisional di tengah membanjirnya seni dan budaya global. Kondisi ini diperparah lagi dengan minimnya perhatian pemerintah untuk melestarikan seni dan budaya tradisional setiap daerah, meskipun belakangan mulai terlihat adanya perhatian pemerintah daerah, bersamaan dengan giatnya kampanye pariwisata di provinsi dan kabupaten yang ada di NTB. Namun harus diakui bahwa eksistensi seni dan budaya tradisional di NTB mengalami reduksi. Beberapa seni dan budaya tradisional yang selama ini menjadi produk dan pernah dihidupkan oleh rakyat Bumi Gora, saat ini sangat susah ditemukan. Budaya Gantao1 yang pernah semarak di Bima (suku Mbojo) misalnya kini sangat jarang lagi dipentaskan dalam setiap pesta budaya di Bima. Generasi muda pun tidak lagi menjadikan seni tradisional ini sebagai karya dan seni yang disenangi. Prosesi pernikahan dengan adat Mbojo pun sudah mulai disederhanakan dan mengikuti prosesi budaya modern. Satu-satunya yang masih tertinggal adalah gaung penganten yang menggunakan adat Mbojo. Belum lagi kita berbicara tentang cagar dan bangunan budaya, yang baru mendapat perhatian beberapa tahun terakhir. Rumah-rumah tradisional Bima seperti rumah panggung bukan lagi menjadi kebanggaan.
1 Gantao adalah sejenis permainan bela diri pencak silat yang melibatkan dua orang lelaki Bima dengan memperagakan adegan saling serang menggunakan kaki dan tangan untuk saling banting. Permainan ini diiringi dengan alunan musik tradisional Mbojo.

294

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Pada puluhan tahun silam, rumah panggung masih menjadi kebanggaan, dan bahkan menjadi mahar favorit yang disediakan oleh penganten pria. Kini keluarga baru sudah senang dengan rumah-rumah berarsitek modern. Bahkan orang tua pun tengah melakukan upaya pemudaran rumah panggung untuk diganti dengan rumah modern. Kecenderungan yang tidak terlalu beda juga terjadi di Sumbawa (suku Samawa), dan juga di komunitas Sasak. Rumah adat yang berjenis rumah panggung dan kayu bukan lagi menjadi rumah favorit. Dalam konteks seni tradisional juga mengalami reduksi peminat. Seni tradisional Sasak seperti Teater Cepung dan Teater Cupak Gerantang misalnya saat ini tidak lagi menjadi seni teater yang masif digandrungi. Banyak faktor yang menyebabkan fenomena pereduksian seni budaya tradisional terjadi. Salah satunya adalah pengaruh kehidupan global yang dimotori oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pengaruh ini terutama melanda generasi muda. Kemudahan mengakses informasi berkontribusi bagi entengnya mereka (generasi muda) untuk mengkonsumsi seni budaya apa saja dengan dukungan visualisasi dan audio mutakhir. Belum lagi kita berbicara tentang wajah televisi dan media massa kita (Indonesia). Sebagian besar acara dan isi tayangan media massa kita cenderung hedonis, dengan mempraktekkan dan mengajarkan gaya hidup bergelimang kemewahan dengan asesoris modern yang jauh dari identitas tradisional. Sangat susah ditemukan acara atau tayangan media massa tentang seni tradisional daerah tertentu. Pemanfaatan seni dan budaya tradisional yang minim tidak hanya dilakukan oleh rakyat atau media massa, tetapi juga oleh pemerintah. Dalam beberapa kebijakannya, pemerintah belum optimal mengupayakan pelestarian dan pengembangan seni tradisional. Sebagai contoh, belum banyak setiap pemerintah daerah yang ada di NTB mengadakan atraksi dan kompetisi seni dan budaya tradisional di tingkat pelajar. Kota Mataram mungkin dapat dikecualikan dalam generalisasi ini, meskipun apa yang dilakukan pemerintah kota Mataram belum maksimal. Di samping itu, pemerintah juga belum bisa mengoptimalkan eksistensi seni dan budaya tradisional sebagai media komunikasi sosial. Pemerintah daerah lebih senang menggunakan media modern seperti televisi, radio, surat kabar, dan baliho sebagai sarana kampanye program atau kampanye publik (public campaign). Selama ini sangat susat
295

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

terlihat (untuk mengatakan tidak pernah) seni tradisional dimanfaatkan sebagai sarana publikasi dan penyampai informasi pembangunan dan sosial lainnya dari pemerintah. Ketika pemerintah menjadikan seni tradisional sebagai media komunikasi sosial tentu akan memberikan keuntungan ganda, yakni melestarikan seni budaya tradisional sekaligus membantu kesuksesan program yang dilaksanakan. Di samping itu, pemerintah juga harus memanfaatkan amanah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, yang antara lain menganjurkan untuk mengakomodir sepuluh porsen (10% porsen) siaran berkonten lokal bagi televisi berjaringan nasional, dengan cara mendorong pegiat media dan penyiaran yang ada di NTB untuk menyiapkan paket seni buya tradisional untuk ditayangkan di media nasional. Momentum ini dapat dimanfaatkan sebagai wadah yang baik untuk mengkampanyekan atau mensosialisasikan seni dan budaya tradisional setiap daerah, sekaligus untuk mengimbangi serangan budaya global yang kian mengancam. Kita masih memiliki harapan karena proses reduksi seni budaya tradisional tidak berlangsung secara radikal (tidak menjadi gerakkan anti budaya tradisional secara massal). Ini berarti kita masih memiliki sisasisa ruang dan waktu untuk merevitalisasi seni tradisional di benak publik. Secara pelan tapi pasti setiap kalangan (pemerintah, pengusaha, dan masyarakat pada umumnya) harus membangun tekad yang sama untuk menjadikan seni dan budaya tradisional sebagai media komunikasi sosial sekaligus sebagai perekat ikatan sosial di antara warga se-etnik dan se-bangsa. Ketika hal ini dapat diwujudkan maka sedahsat apapun serangan informasi dan media global, tidak akan mampu menggoyahkan kecintaan anak bangsa terhadap seni dan budayanya sendiri.

Efektitas Komunikasi Melalui Seni Tradisional Salah satu ukuran efektif dan tidaknya komunikasi adalah ketika apa yang dimaksudkan oleh pengirim pesan, sama dengan apa yang dipahami oleh penerima pesan. Di samping itu, faktor media yang digunakan juga turut berkontribusi menciptakan komunikasi yang efektif. Ketepatan memilih media komunikasi dan kelihaian mengemas tampilan media yang telah dipilih merupakan kunci keefektifan komunikasi yang dilakukan. Komunikasi dalam konteks ini harus dimaknai secara luas, yang ti296

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

dak hanya sebatas komunikasi verbal tetapi juga yang nonverbal. Dengan pemaknaan yang luas seperti ini, maka dalam konteks seni dan budaya tradisional, komunikasi tidak hanya dimaknai dalam konteks seni pertujukan dan nyayian serta musik yang berbasis verbal, tetapi juga menyangkut seni dan budaya yang berdimensi nonverbal. Oleh karena itu, segala produk dan wujud seni mesti dimaknai sebagai bentuk pesan yang memiliki makna tersendiri. Suatu pesan akan diterima dengan baik antara lain ketika pesan tersebut memenuhi empat unsur, yakni; (1) pesan tersebut mendapat perhatian (Attention) sasaran pesan; (2) menarik perhatian (interest) yang menerimanya; (3) berkeinginan (desire) untuk menerimannya; (4) diambil keputusan (decide) untuk menerimannya; dan (5) dilaksanakan (action) sesuai dengan isi pesan. Apabila mengikuti alur komunikasi atau proses transfer pesan seperti di atas, maka prasyarat awal yang harus dilakukan dalam rangka menjadikan seni tradisional sebagai media komunikasi yang efektif (komunikatif) adalah bagaimana menjadikan atau mengemas seni tradisional sebagai suatu karya seni yang diperhatikan atau diminati oleh masyarakat agar mereka tertarik. Upaya ini penting ketika hendak menyelipkan pesan-pesan tertentu yang berkaitan dengan kegiatan sosial dan pembangunan yang akan melibatkan partisipasi publik untuk mensukseskannya. Suatu hal yang tidak kalah pentingnya adalah menjadikan seni tradisional sebagai suatu kebutuhan setiap individu. Ketika hal ini dapat diwujudkan maka proses transfer pesan sosial lewat seni tradisional menjadi relatif mudah. Dalam asumsi dasar teori uses and gratications 2 dikatakan bahwa penggunaan media yang dilakukan oleh seseorang bergantung kebutuhan dan ketertarikannya terhadap suatu pesan yang ditawarkan. Ketika seni tradisional telah diminati masyarakat dan dikemas secara menarik, tentu saja hal tersebut akan membuat seni tradisional dapat dengan mudah berperan sebagai media komunikasi sosial yang menjadi pilihan publik. Oleh beberapa pakar komunikasi, pada umumnya tradisi komunikasi orang Indonesia menggunakan jenis komunikasi konteks tinggi,
2 Teori ini pada dasarnya merupakan teori yang berkaitan dengan penggunaan media massa oleh khalayak. Lihat Effendy, 2000. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: Citra Aditya Bhakti

297

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

yakni cara berkomunikasi yang berbelit-belit, berputar-putar atau gaya komunikasi yang tidak simpel dan tidak langsung pada point dan sasaran utama. Kebanyakan orang Indonesia senang dengan gaya bertutur melalui proses panjang menuju sasaran. Tradisi komunikasi seperti ini lebih relevan dengan karakter seni tradisional yang ada (khususnya di NTB). Teater-teater tradisional seperti teater Cepung, Teater Cupak Gerantang (yang berasal dari suku Sasak), atau Teater Sakeco dan musik berpantun Bakelong (yang berasal dari suku Samawa) merupakan bentuk seni tradisional yang berkarakter dialogis dengan durasi waktu yang relatif lama. Esensi pesan yang terkandung di dalamnya pun tidak bisa diperoleh secara instan. Seni tradisional merupakan ikatan emosional yang dapat dijadikan sebagai perekat komunikasi sosial di antara masyarakat. Ikatan emosional atas persamaan sosial dan budaya menjadi faktor penting dalam kesuksesan komunikasi manusia. Salah satu prinsip komunikasi disebutkan bahwa semakin mirip latar belakang sosial budaya semakin efektiah komunikasi3. Prinsip komunikasi ini semakin mempertegas bahwa komunikasi yang efektif tidak terlepas dari adanya kesamaan nilai sosial dan budaya. Seni tradisional merupakan salah satu ikon kesamaan yang bisa menyatukan setiap perbedaan personal. Ketika ikon ini dapat dikemas dengan sebaik-baiknya menjadi media komunikasi sosial, maka proses transfer pesan lewat seni tradisional menjadi lebih efektif. Kesamaan sosial dan budaya bukan hanya dalam konteks kesamaan nilai dan seni yang dimiliki tetapi juga kesamaan latarbelakang etnik dan suku dari setiap peserta (orang yang terlibat dalam) komunikasi. Artinya, ketika orang yang ber-etnik sama membicarakan persoalan yang sama lewat media komunikasi yang sama, maka ada jaminan bahwa komunikasi tersebut akan berlangsung secara efektif, dan akan menghasilkan sesuatu yang lebih kontributif.

Menjadikan Seni Tradisional NTB sebagai Media Komunikasi Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, bahwa langkah awal yang harus dilakukan untuk menjadian seni tradisional NTB sebagai media komunikasi sosial yang efektif adalah dengan menjadikan hal tersebut sebagai hiburan atau karya seni yang digandrungi publik.
3 Lihat Deddy Mulyana, 2002. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: Rosda

298

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk merevitalisasi eksistensi seni tradisional di tengah tantangan global yang multi bentuk. Dibutuhkan kemasan yang serius dengan dukungan maksimal dari semua kalangan untuk mengkampanyekan atau mensosialisasikan seni tradisional agar mendapat tempat di hati rakyat. Hal yang lebih penting lagi adalah bagaimana menanamkan kencintaan terhadap seni dan budaya tradisional sejak usia dini. Usia dini merupakan waktu yang tepat untuk penanaman nilai dan tradisi tertentu dengan harapan akan membekas dan turut mewarnai aktivitasnya di masa yang akan datang. Penanaman nilai dan kecintaan terhadap seni tradisional dapat dilakukan lewat berbagai cara. Dua di antaranya adalah lewat pendidikan nonformal dan formal. Setiap momen apapun harus dimanfaatkan untuk mensosialisasikan seni tradisional. Hal yang sama dapat dilakukan di pendidikan formal dengan cara mereformasi kebijakan dan kurikulum Pendidikan SD sampai SMA. Kurikulum tentang seni dan budaya tradisional harus mendapat perhatian maksimal sebagai langkah akademik untuk menanamkan nilai dan kearifan lokal pada diri setiap anak. Permainan-permainan anak di PAUD dan TK formal harus direkonstruksi. Selama ini, anak kita banyak disuguhi dengan permainan modern yang tidak jelas asal usulnya, nyanyian-nyanyian yang tidak terlalu mendidik dan minim muatan lokal. Saatnya alat permainan edukatif (APE) lebih banyak menyuguhkan permainan dari bahan lokal dan bermuatan nilai lokal. Event-event seni budaya tradisional harus terus digalakkan di setiap jenjang pendidikan dasar dan menengah, agar anak cinta produk lokal, karya sendiri, dan seni serta budaya tradisional. Komitmen yang tinggi untuk menjadikan seni tradisional NTB sebagai media komunikasi sosial tidak cukup sampai penanaman kesadaran mencintainya. Proses penanaman kecintaan ini harus terus berjalan (tanpa terikat dengan waktu dan ruang), sambil mengambil upaya serius untuk mengemas seni tradisional yang ada agar menjadi produk atau karya yang diminati. Untuk kebutuhan optimalisasi performance seperti inilah, diperlukan identikasi menyeluruh terhadap karya dan jenis seni tradisional yang ada. Proses identikasi ini penting terutama untuk menentukan strategi pemanfaatan seni tradisional yang ada secara tepat dan efesien sehingga bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan yang diinginkan. Ben299

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

dasarkan identikasi sederhana terhadap seni tradisional di NTB, maka dapat dibagi dua jenis seni tradisional dalam konteks penggunaannya sebagai media komunikasi sosial, yakni: Pertama, seni tradisional yang dapat dijadikan sebagai media penghimpun massa. Yang dimaksud dengan kategori seni tradisional yang pertama ini adalah semua seni tradisional yang yang tidak berkarakter penyampai pesan secara langsung. Pada umumnya yang termasuk dalam kategori ini adalah karya seni non drama/teater, seperti musik tradisional, pergelaran pertunjukan tradisional, dan berbagai tari tradisional di provinsi NTB. Seni tradisional berkarakter seperti ini sangat berpotensi untuk mengumpulkan massa yang lebih banyak, apalagi bila dikemas dan dimodikasi semenarik mungkin. Momen berkumpulnya massa itulah yang dapat dimanfaatkan oleh siapapun untuk menyelipkan agenda-agenda tambahan terutama dalam menyampaikan pesan tertentu sesuai kebutuhan. Di samping itu, dalam pergelaran seni tari juga dapat dimodikasi sehingga dapat lebih komunikatif, dalam artian tidak hanya pesan nonverbal lewat gerakan anggota badan tetapi juga bisa dengan membuat improvisasi musik pengiring dengan lagu-lagu sarat pesan tertentu. Dalam seni tradisional Bima seperti Biola misalnya dapat diselipkan irama lagu perpantun yang mengandung pesan-pesan sosial tertentu. Selama ini dalam penghamatan saya, lirik lagu biola di Bima lebih banyak didominasi oleh lirik asmara dan percintaan. Tentu saja untuk mewujudkan hal ini membutuhkan sentuhan ide dan tangan kreatif seniman di setiap daerah, tanpa menghilangkan nilai historis dari setiap karya seni yang ada. Kedua, seni tradisional yang dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai media komunikasi sosial. Seni tradisional dalam kategori kedua ini adalah semua seni tradisional yang berbasis drama dan teater, seperti: a. Teater Cepung. Teater ini merupakan teater klasik yang berasal dari etnik Sasak, yang muncul tidak lama setelah penulisan lontar Tutur Monyeh oleh Jero Mihran, yakni sekitar tahun 1850an. Peran teater cepung di tengah masyarakat Sasak menyangkut berbagai aspek seperti politik, ekonomi, sosial, dan agama,

300

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

karena lontar Tutur Monyeh sebagai sumber teater Cepung yang berisi tentang nilai, yaitu pendidikan moral, kritik sosial, ritual, dan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat Sasak. Bahkan menurut penelitian Alfarisi4 b. Teater Sakeco. Teater ini adalah karya seni tradisional yang berasal dari suku Samawa, berisi tentang dialog komedi berpantun yang diiringi dengan alat musik tradisional seperti gendang dan rebana Kedua jenis teater di atas merupaka dua karya seni berbasis drama/ teater yang dapat dimanfaatkan secara langsung sebagai media komunikasi sosial. Alur cerita yang ada dalam teater tersebut sangat mungkin untuk dimodikasi dan diselipi dengan pesan-pesan tertentu yang penuh makna. Namun lagi-lagi, eksistensi kedua teater tersebut akan lebih bermakna sebagai media yang komunikatif ketika keduanya telah digandrungi oleh masyarakat. Sayang hingga saat ini, keberadaan keduanya tidak seperti saat awal keberadaannya. Karakter wilayah NTB dengan tingkat konik sosial yang relatif masih tinggi, sangat tepat untuk menjadikan seni tradisional seperti teater dan drama sebagai media komunikasinya. Sebagai bentuk apresiasi seni, teater dan drama memiliki posisi strategis dan dapat berperan sebagai forum penghilang ketegangan dan pencair perbedaan, apalagi aktor yang terlibat dalam teater itu adalah seluruh representasi masyarakat yang ada. Saya sangat tertarik dengan upaya yang dilakukan oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dari Eropa yang merekrut beberapa pelajar di wilayah konik di NTB untuk diajarkan atau dilatih drama bertema perdamaian/persamaan yang akan dipentaskan di depan saudara dan orang tua mereka. LSM ternama tersebut sadar benar bahwa karya seni seperti drama dan teater menjadi wadah yang efektif untuk menyampaikan pesan bermakna.

Penutup Gambaran panjang lebar di atas semakin mempertegas betapa pentingnya seni tradisional daerah NTB sebagai media komunikasi sosial.
4 Salman Alfarisi, 2010, Teater Cepung Lombok (Kajian Tekstual Seni Pertunjukan). Tesis. Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta

301

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Atas dasar kesadaran itulah dibutuhkan upaya serius semua kalangan untuk mengidentikasi dan memodikasi kemasan seni tradisional agar dapat dimanfaatkan sebagai media yang komunikatif dalam menyampaikan pesan sosial tertentu. Sosialisasi dan penanaman kesadaran berbudaya dan mencintai seni tradisional sendiri merupakan langkah awal yang baik menuju efektitasnya pemanfaatan seni tradisional NTB sebagai media komunikasi sosial. Lebih dari itu, pemerintah daerah harus memberi apresiasi (dukungan) yang serius untuk menyediakan fasilitas seni dan budaya sebagai wadah dan ruang ekspresi publik sekaligus sebagai benteng pelestarian budaya lokal.

302

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

303

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

304

PENUTUP

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

306

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Lestarikan Media Tradisi

Suprawoto
ulu ketika penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) belum seperti saat sekarang, informasi tentang kebijakan pemerintah bisa diketahui pemerintah daerah dengan cepat. Memang sistem yang dibangun waktu itu sangat sentralistik, demikian pula media massa berada dalam kontrol pemerintah. Ibaratnya komunikasi bisa dibangun seperti kontak listrik. Pemerintah tinggal menghidupkan saklar on/off-nya saja lantas semua infomasi dari atas bisa tersebar luas dan relatif seragam. Ketika reformasi bergulir. Sistem pemerintahan lebih memberikan otonomi yang luas, utamanya kepada pemerintah kabupaten/kota. Kondisi ini memicu terjadi paradoks, di tengah TIK yang makin berkembang tapi informasi tentang program pemerintah oleh masyarakat luas relatif sulit tersebar dan dipahami masyarakat. Sebaliknya, pasokan informasi dari pemerintah daerah pun relatif lambat dipahami oleh pemerintah pusat. Memang ada ironi di kalangan pemerintah, ketika TIK akses komunikasi menjadi semakin mudah, tapi komunikasi antar lembaga justru terasa tidak lancar? Ketidaklancaran tercermin dari betapa banyaknya kantor perwakilan pemerintah daerah yang berada di Jakarta. Di beberapa penjuru kota, dapat mudah kita temukan kantor perwakilan pemerintah kabupaten atau kota. Bayangkan jika separuh kabupaten/
307

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

kota punya perwakilan di Jakarta! Berapa ratus gedung harus dibangun? Berapa anggaran yang mesti dikeluarkan? Kalau perwakilan pemerintah provinsi mungkin masih sesuai dengan konteks pembagian kewenangan pemerintahan. Kantor perwakilan pemerintah provinsi dibutuhkan bisa menjembatani koordinasi kewenangan pengaturan pemerintah pusat dan daerah. *** Perlunya kebijakan pemerintah untuk dapat segera dipahami masyarakat luas, Kementerian Komunikasi dan Informatika mencoba mengembangkan komunikasi dan penyebaran informasi melalui berbagai media. Baik media mainstream (radio, televisi, dan cetak) hingga media baru bahkan media tradisonal yang komunikatif. Di beberapa kawasan Indonesia, ternyata media tradisional komunikatif seperti wayang kulit, ketoprak, wayang golek, wayang Bali, Dul Muluk, Peta Poang, dan sebagainya masih sangat digemari masyarakat. Terbukti setiap pementasan selalu dipenuhi pengunjung. Agar yang menikmati pertunjukan bukan hanya yang hadir di tempat pertunjukan diselenggarakan, maka juga disiarkan RRI atau radio lokal setempat dan juga siaran langsung/tunda di TVRI setempat atau nasional. Untuk itulah, mengingat seni tradisi komunikatif masih efektif untuk penyampaian pesan tentang kebijakan Pemerintah, maka pada tahun 2009, sewaktu Menteri Komunikasi dan Informatika (semasa dijabat M. Nuh) meminta mencoba untuk mencari masukan dari para ahli di bidangnya bagaimana ke depan dan sekaligus memetakan seni tradisi yang komunikatif dimaksud. Hal ini tentunya sesuai dengan salah satu tugas Kementerian Komunikasi dan Informatika, adalah melakukan penyebaran informasi atau diseminasi informasi dan komunikasi kepada masyarakat. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Penyebaran informasi saat ini betulbetul harus merupakan informasi untuk kepentingan masyarakat banyak. Bukan untuk kepentingan kelompok atau partai tertentu. Seperti kebijakan Pemerintah tentang kenaikan BBM, Penanggulangan HIV/ AIDS, penanggulangan Flu Burung, menghadapi Bencana dan lain sebagainya. Ada beberapa pengalaman menarik dalam menggunakan seni tradisi untuk diseminasi informasi kebijakan publik. Pertama, pengalaman
308

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

saat menjadi ketua tim sosialisasi MoU Helsinki di kalangan masyarakat Aceh juga menunjukkan betapa seni tradisi dapat berperan penting. Di Aceh kami gunakan seni tradisi semacam teater tutur poh tem , yang kalau di Jawa seperti Kentrung. Di setiap pertunjukkannya kemudian disiarkan RRI atau radio setempat. Seni itu efektif sekali untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang program Pemerintah khususnya mengenai infromasi tentang MoU Helsinki waktu itu. Karena dengan bahasa dan kesenian lokal masih lebih efektif untuk segera dipahami. Pengalaman kedua ketika diminta untuk menjelaskan mengenai kenaikan BBM dan program BLT (Bantuan Langsung Tunai). Salah satu media yang digunakan juga menggunakan seni tradisi. Di Jawa digunakan wayang kulit, ketoprak yang digelar di alun-alun kemudian disiarkan langsung oleh TVRI dan RRI. Ternyata luar biasa penontonnya. Selama ini Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menggelar ratusan kali pertunjukan seni tradisi komunikatif untuk menyampaikan kebijakan Pemerintah tersebut. Tentunya itu bukan satu-satunya cara untuk menjawab eksistensi seni tradisi komunikatif. Banyak tantangan yang dihadapi. Malah dalam prakteknya, melestarikan seni tradisi bukanlah hal mudah. Saat ini saja sudah terbukti, di Jawa misalnya, kini hanya ada satu seni tradisi yang pentas secara rutin, yakni Wayang Orang Sriwedari diSurakarta. Itupun penontonnya sangat sedikit dapat dihitung dengan jari. Malahan kadang-kadang sebagian besar turis asing. Di kota Surabaya sendiri, Ludruk tinggal satu yang pentas, yaitu yang di Wonokromo, namun itupun pentasnya hanya sekali seminggu. Seni ludruk keliling yang dulunya begitu banyak di Jawa Timur saat ini nasibnya sangat menyedihkan. Demikian juga Ketoprak yang dulunya sangat banyak group keliling, sekarang bisa dihitung dengan jari. Malahan Ketoprak Siswo Budoyo dari Tulung Agung yang demikian legendaris bagi masyarakat Jawa khususnya Jawa Timur sudah lama gulung tikar. Yang masih ada nasibnya kembang kempis. Seperti Ketoprak Suryo Budoyo di Kediri nasibnya tak jauh berbeda. Demikian kondisi pertunjuan seni tradisi saat ini. Di Jakarta sendiri, Wayang Orang Bharata yang dulunya demikian mendapat tempat di hati warga kota Jakarta saat ini pentas secara rutin hanya sekali seminggu. Demikian juga di Sumsel dan Riau Kepulauan, seni Dul Muluk tidak
309

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Seniman Ketoprak Mencoba Bertahan dalam Impitan (1)

Tiket Rp 2.000, Penonton Cuma 20


Hampir setahun ini Ketoprak Suryo Budoyo manggung di lapangan Desa Padangan, Kecamatan Kayen Kidul, Kabupaten Kediri. Suka duka sudah dilalui para seniman ketoprak itu, mulai dari sepinya penonton sampai guyuran hujan deras yang membatalkan pentas. Total kru ketoprak yang berdiri sejak 12 tahun silam 40 orang. Mereka ini selain seniman pemain juga para wiyogo atau penabuh gamelan serta kru pendukung lainnya. Bangunan tobong atau tonil tempat pemain ketoprak bermain juga sangat sederhana alias ala kadarnya. Bambu yang menjadi tiang penyangga terlihat sudah banyak yang lapuk. Termasuk para senimannya banyak yang tinggal di belakang tonil dengan membuat kamar-kamar darurat yang seringkali bocor saat diguyur hujan deras. Namun, semua halangan itu tak mampu memupus jiwa seni para pemain ketoprak pimpinan Ki Anang Sukardi yang memiliki nama panggung Pak Koyek. Beginilah kondisi kami serba sederhana. Kami tetap bertahan karena ingin melestarikan kesenian ini agar jangan sampai punah, ungkapnya. Diakui Anang Sukardi, saat ini kesenian ketoprak semakin tersisih serta kalah dengan pertunjukan sinetron dan lm yang banyak diputar di layar TV. Kesenian ketoprak juga termasuk kesenian padat karya yang melibatkan banyak pemain. Diakuinya kelompoknya sudah sering jatuh bangun, bahkan gulung tikar vakum kegiatan. Namun, karena para personel benar-benar memiliki jiwa seni, grup ini akhirnya tetap bertahan. Bagi kami, uang bukan segala-galanya. Uang memang penting tapi yang terpenting bagi kami adalah jiwa seni, tuturnya. Malahan, Anang mengungkapkan, grup ketopraknya selalu nrima ing pandum atau menerima apa adanya rezeki yang diperoleh dari bermain ketoprak. Sehingga baginya berapa pun jumlah penonton, pertunjukan ketoprak harus tetap jalan. Pernah suatu ketika jumlah penonton yang membeli tiket masuk hanya belasan orang. Namun, pertunjukan tetap berlangsung sampai selesai dengan durasi permainan sekitar tiga jam lebih. Setiap bulan puasa jumlah penonton sangat sepi, tapi kami tetap bermain berapapun penontonnya, tambahnya. Harga tiket masuk ketoprak Suryo Budoyo hanya dijual Rp 2.000 setiap pertunjukan. Jika penonton yang membeli karcis hanya 20 orang, berarti uang yang diperoleh hanya Rp 40.000. Padahal total jumlah kru pemain dan wiyogo mencapai Rp 40 orang (Surya 7 September 2011).
310

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

dipentaskan secara rutin. Dari fakta di atas, jelas bahwa pertunjukan seni tradisi semakin lama makin berkurang. Televisi memang masih ada yang mementaskan seni tradisi, sayang tidak ditayangkan pada jam-jam prime time. Dari latar belakang itulah, salah satu alasan Kemenkominfo tergerak menggunakan seni tradisi untuk mengkomunikasikan kebijakan pemerintah. Jika dulu pernah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru dan berhasil, apa salahnya sekarang dilakukan kembali. Tidak ada salahnya meniru yang baik. Apalagi ini terkait dengan upaya pelestarian budaya bangsa. Dengan catatan, kalau dulu diseminasi melalui seni tradisi komunikatif untuk kepentingan penguasa saat ini lebih ditekankan pada penyampaian program Pemerintah yang perlu segera dipahami dan untuk kepentingan publik. Oleh karena sejak Pemerintahan terdahulu penggunaan seni tradisi komunikatif telah dilakukan untuk penyampaian program Pemerintah, tentunya ada beberapa catatan dan dokumen tentang hal tersebut. Menurut catatan yang dapat ditelusuri, terakhir pada tahun 1974 waktu itu Departemen Penerangan melakukan pemetaan dan dibukukan dalam peta seni tradisi yang komunikatif. Kurun waktu 37 tahun tentunya telah terjadi prubahan dan pergeseran. Oleh sebab itu sekarang perlu di-up date lagi agar bisa menjadi salah satu referensi bagi kita semua. Utamanya di tengah perkembangan teknologi sekarang, yang menjadi pertanyaan terkait seni tradisi komunikatif ini dimana posisinya? Apakah masih bisa berada di dunia realitas ataukah bisa juga bertahan di tengah perkembangan teknologi yang sedemikian dahsyat dalam dunia yang seolah makin tanpa batas ini? Dalam konsep materialisme Thorstein Veblen, salah satu pemicu perubahan peradaban terjadi karena teknologi. Paradigma ini tentunya ada benarnya juga. Bagaimana teknologi telah memengaruhi dalam pertunjukkan seni tradisi komunikatif. Dulu kala ketika saya kecil, saat nonton wayang kulit yang dipentaskan semalam suntuk, blencong atau lampu penerangan untuk layar digunakan petromak. Sementara sekarang ini, sudah ada yang menggunakan lampu dan infokus (LCD Projector). Semua itu memengaruhi cara kita melihat dan menikmati wayang. Di Bali ada dalang wayang cengblong yang main pada saat bersamaan empat orang sekaligus. Kemudian di Jawa Barat ada Asep Sunarya yang bisa menampilkan efek tambahan yang menarik penon311

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

ton. Kalau adegan perang tanding, ada leher salah satu kepala wayang tertebas senjata hingga terpotong. Pak Asep bisa menampilkan cipratan darah karena bantuan teknologi. Thomas L. Friedman dalam buku The World of Flat bercerita tentang bagaimana dampak teknologi terhadap pergaulan dunia dan interaksi antar manusia. Saya melihat ini juga bisa dianggap jadi peluang bagi seni tradisi yang kita cintai. Misalnya dengan internet, rekaman pertunjukan seni tradisi begitu bisa kita upload dari Padang Panjang dan bisa dilihat di manapun juga. Kalau melihat sisi positip, ada peluang untuk itu. Dengan demikian Kementerian Kominfo mengharapkan masukan dari para ahli sekaligus setelah memetakan seni tradisi yang komunikatif, setidak-tidaknya bisa menjadi dasar kebijakan. Selanjutnya Kominfo bisa mengunakan seni tradisi itu untuk diseminasi kebijakan Pemerintah di seluruh Indonesia. Dengan demikian untuk seni tradisi ini, Kominfo tidak hanya melaksanakan diskusi saja, tapi mengupayakan agar Kominfo akan mendukung hidup seni tradisi yang ada dengan cara menggandeng untuk kegiatan sosialisasi kebijakan pemerintah. Makalah-makalah yang disajikan dalam diskusi ini sangat menarik. Banyak kegelisahan mengenai kelangsungan hidup seni tradisi yang menjadi perhatian berbagai pihak. Oleh sebab itulah, kemudian kami share kepada pembaca, agar menjadi kegelisahan kita semua, sekaligus memprovokasi untuk ikut mencari jalan keluarnya. *

312

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

313

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

KALIMANTAN SUAMTERA

JAKARTA JAWA

314

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

SULAWESI

MALUKU PAPUA

NUSA TENGGARA

315

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

316

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

Catatan Akhir

Senjakala Sang Penenang Kalbu


Nursodik Gunarjo
Butuh waktu satu jam lebih untuk menemukan rumah Suryadi di Desa Mireng, Kec Trucuk, Kab Klaten, Jateng. Kendati penulis sudah memberi keterangan tambahan bahwa nama yang dicari adalah Suryadi dalang Wayang Sadat, namun tak banyak warga Trucuk yang kenal. Yang namanya Suryadi di sini banyak, mas, tapi Suryadi dalang Wayang Sadat saya tidak tahu, kata Bambang (19 th), tukang ojek yang mengantarkan penulis menjelajahi Desa Mireng.

egitulah nasib Wayang Sadat, kesenian tradisional yang namanya pernah berkibar pada zaman Orde Baru. Kini, jangankan wujud keseniannya, namanya saja banyak yang tidak tahu. Saya malah baru tahu dari njenengan (andared) kalau ada wayang yang namanya Wayang Sadat. Kalau Wayang Kulit, Wayang Wong (Orang red), Wayang Golek, saya tahu. Tapi Wayang Sadat saya tidak pernah dengar, imbuh Bambang. Lelaki dua anak ini baru percaya Wayang Sadat benar-benar ada, ketika penulis akhirnya bertemu dengan Suryadi Wanasukarja BA, sang dalang yang dicari-cari. Anehnya, Bambang mengaku sudah kenal dengan Suryadi, namun yang ia tahu profesi Suryadi adalah guru, bukan dalang. Kalau Pak Suryadi yang ini sih saya sudah kenal sejak lama, tapi beliau seorang guru, bukan dalang Wayang Sadat, kilah Bambang. Suryadi hanya tersenyum kecut mendengar penuturan Bambang. Zaman memang telah menyilapkan kata Wayang Sadat dari pemaha317

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

man anak muda sepantaran Bambang. Padahal pada era 80-an, Suryadi adalah dalang Wayang Sadat terkemuka di Kabupaten Klaten. Mungkin waktu saya masih sering di-tanggap (pentasred) dulu, Mas Bambang belum lahir. Wajar jika sekarang ia tidak tahu apa itu Wayang Sadat, kata Suryadi. Ia lantas mengajak penulis ke salah satu ruang di rumahnya. Di sana masih ada seperangkat gamelan slendro-pelog lengkap, tabuh gamelan berbagai jenis, kelir dari kain putih, blencong atau lampu pertunjukan dan satu kotak wayang. Semuanya tampak berdebu, bahkan sudut bawah kotak wayang yang terbuat dari kayu tampak keropos. Sudah setahun lebih kotak wayang ini tidak dibuka. Moga-moga saja wayangnya tidak ikut dimakan rayap, tutur bapak empat anak ini sambil menghapus debu yang melekat di kotak wayang dengan kemoceng. Syukurlah, saat kotak dibuka, wayangnya masih utuh. Hanya catnya tampak kusam karena terbalut debu lumayan tebal. Penggiat seni ini lantas menjajarkan tokoh-tokoh Wayang Sadat di atas meja. Dengan hati-hati, wayang yang sepintas modelnya mirip dengan Wayang Kulit itu, ia dibersihkan dengan lap basah satu per satu. Terakhir saya membersihkan wayang ini bulan Februari 2008, sebelum latihan pentas di halaman rumah saya ini, tuturnya.

Sarana Dakwah dan Penyejuk Kalbu Berbeda dengan Wayang Kulit yang tokoh-tokohnya diambil dari cerita Ramayana dan Mahabharata, peraga Wayang Sadat diambil dari tokoh-tokoh sejarah Kerajaan Demak dan Babad Tanah Jawa. Jangan heran kalau nama tokohnya bukan Gatotkaca, Kresna atau Bima, melainkan Para sunan/wali penyebar agama Islam di Pulau Jawa seperti Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kalijaga dan lainnya yang jumlahnya sembilan orang (Wali Songo), ditambah tokoh-tokoh lain dari zaman Kerajaan Demak Bintoro. Pakaiannya berciri khas Islam yakni berjubah dan bersorbankecuali Sunan Kalijaga yang digambarkan mengenakan pakaian adat Jawasementara masyarakat umum digambarkan memakai ikat kepala, blangkon atau berpeci. Uniknya, semua tokoh yang ada dalam wayang ini mengenakan alas kaki, baik terompah, sepatu maupun sandal. Filosonya adalah para wali dan tokoh muslim lainnya dalam wayang ini selalu suci atau terjaga dari najis dan hadats, urai lelaki
318

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

berusia 63 tahun ini. Nama Sadat sendiri diambilkan dari akronim, Sarana Dakwah dan Tabligh. Nama ini juga berasosiasi dengan kalimat Syahadat yang merupakan ikrar kesaksian keesaan Allah dan pengakuan Rasulullah Muhammad sebagai utusan Allah. Sifat wayang ini memang sangat religius Islami, oleh karena itu pagelaran Wayang Sadat selain sebagai dakwah juga sebagai penyejuk kalbu penonton, kata Suryadi. Ia mengakui, secara umum Wayang Sadat sangat dipengaruhi oleh Wayang Kulit. Mulai gamelan, perangkat pentas, hingga karakter sungging (tatahan) wayang, semuanya mirip dengan Wayang Kulit. Jalannya pementasan juga tak beda jauh dengan Wayang Kulit. Gending-gending (musik pengiring) yang digunakan, suluk (candrared), antawacana (dialogred), dan sabet (gerakan wayangred), semua mirip dengan Wayang Kulit. Hanya di dalam Wayang Sadat ditambah dengan shalawat nabi, hadits, dan kutipan ayat-ayat Al-Quran, ujarnya. Selain itu, imbuh Suryadi, pentas wayang ini juga tidak semalam suntuk seperti Wayang Kulit, namun cukup empat jam. Karena pakelirannya padat, maka Wayang Sadar sering dipentaskan untuk mucuki (pentas pendahuluan) pagelaran Wayang Kulit.

Dalang Berjubah Berbeda dengan kebanyakan dalang yang mengenakan beskap, jarit, keris, dan blangkon, dalang Wayang Sadat justru mengenakan jubah biasa (seperti surjan) dan surban di kepalanya. Niyaga (penabuh gamelan) mengenakan baju muslim (baju koko), sedangkan waranggana (sinden/ pelantun tembang) mengenakan busana muslimah atau jilbab. Selama pergelaran Wayang Sadat, bacaan lafal Al-Quran kerapkali terdengar. Bacaan shalawat juga sering mengalun ketika tokoh Sunan Bonang atau para wali lainnya tampil. Wayang Sadat tidak memiliki pakem cerita baku seperti Wayang Kulit atau Wayang Golek yang berbabon kisah Ramayana dan Mahabarata. Ini memang termasuk wayang realis, menggabarkan kehidupan nyata masyarakat waktu itu, yakni penyebaran agama Islam khususnya pada zaman Demak Bintoro. Babon (sumber utama--red) cerita biasanya dari buku Babad Tanah Jawi, namun cerita carangan (kreasi--red)-nya bisa dibikin sendiri sesuai kebutuhan, ujarnya. Kapan Wayang Sadat lahir, Suryadi tidak bisa mengatakan den319

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

gan pasti. Ia hanya ingat, ayahnya menerima warisan wayang itu dari kakeknya. Sang kakeklah yang menciptakan wayang itu. Kakek dan ayahnya adalah dalang Wayang Sadat tenar pada zamannya. Bakat mendalang akhirnya menurun kepadanya. Meskipun ia tak pernah secara khusus belajar mendalang Wayang Sadat, namun karena sering diajak pentas, akhirnya ia bisa mendalang secara otodidak. Saya pentas di depan umum sejak tahun 1980-an. Berbeda dengan kakek dan ayah saya yang mengalami zaman keemasan, saya menjadi dalang pada saat pamor Wayang Sadat sudah mulai mbleret (suramred), kata Suryadi. Pensiunan guru SD ini mengaku, pada saat awal-awal menjadi dalang tahun 80-an, dalam sebulan ia bisa mendalang dua sampai empat kali. Undangan bukan saja datang dari Klaten, namun juga dari luar provinsi, bahkan ia pernah mendalang di lokasi transmigrasi di daerah Lampung dan Kalimantan Selatan. Ia juga rutin pentas di TVRI, televisi satu-satunya milik pemerintah saat itu. Tapi memasuki tahun 90-an, order pentas turun drastis. Bahkan mulai tahun 1995, Wayang Sadat tak pernah lagi ditanggap orang. Kalah sama sinetron dan kesenian modern lainnya, ujar Suryadi pendek.

Pasrah Menunggu Maut Kevakuman selama beberapa tahun tidak pentas membuat Suryadi kelimpungan. Maklum, mendalang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Sekitar tahun 1990-an, ia mengajukan proposal ke (saat itu) Kantor Departemen Penerangan Kabupaten Klaten agar mau mementaskan Wayang Sadat secara periodik, untuk mucuki pentas Wayang Kulit yang rutin digelar di alun-alun. Upayanya tak sia-sia, Kantor Deppen Kab Klaten bersedia mementaskan Wayang Sadat sebulan sekali. Tapi itu tak berlangsung lama, baru pentas tiga kali sudah dihentikan dengan alasan tidak ada dana. Lelaki berkumis ini pun putar otak agar kesenian yang digelutinya tak tenggelam ditelan zaman. Salah satu cara yang ia tempuh adalah menyelenggarakan gladhen (latihan) rutin sebulan sekali di halaman rumahnya. Tujuannya agar gairah kesenian bisa tersalurkan, selain itu juga untuk mencari bibit dalang baru dari kalangan pemuda. Alhamdulillah, usaha saya... gagal total. Satu-dua kali gladhen, setelah itu macet karena para niyaga sibuk dengan urusannya masing-masing, urainya
320

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

dengan wajah muram. Niat untuk mencari bibit dalang dari generasi muda juga pupus, lantaran tak seorang pemudapun berminat menjadi dalang Wayang Sadat. Bahkan anak saya sendiri nggak mau meneruskan profesi bapaknya jadi dalang Wayang Sadat. Penghasilannya nggak jelas katanya, ujar Suryadi terus terang. Bagi Suryadi, seni memang bukan untuk mencari uang. Karena itu, ia tak pernah memikirkan rugi-laba saat mementaskan Wayang Sadat. Bahkan menurut penuturannya, saat pentas lebih banyak rugi ketimbang untungnya. Rugi secara material, namun secara moral tetap untung karena saya mendapatkan kepuasan batin yang tidak terkira. Hal semacam inilah yang cengkah (bertentanganred) dengan pola pikir anak-anak muda zaman sekarang, imbuhnya. Ia pernah bercita-cita merevitalisasi Wayang Sadat menjadi Wayang Nusantara, dengan tokoh-tokoh yang disesuaikan dengan konteks kehidupan kenegaraan saat ini. Namun cita-cita itu tampaknya sulit menjadi kenyataan. Kendalanya apa lagi kalau bukan masalah dana. Ironisnya, berbagai pihak yang ia sodori proposal bantuan dana hanya menggelengkan kepala alias menolak dengan halus. Kini ia mengaku pasrah, menunggu saat kematian Wayang Sadat datang menjemput. Ia percaya, masa keemasan Wayang Sadat telah lewat. Wayang Sadat kini sudah berada pada masa senjakala. Kematian sepertinya sudah menjadi takdir yang tak terhindarkan, pungkasnya lirih.

Berubah atau Mati Ibarat manusia, kesenian tradisional memang telah memasuki masa uzur. Zaman keemasan dianggap telah lewat. Para penggiat seni tradisi, di mana-mana, mengeluhkan kondisi yang kian merapuh. Tak heran, mereka berharap ada tonikum yang bisa membuat seni tradisi bangkit kembali. Jika dalam olahraga tinju dikenal istilah kemenangan kedua (second win), petinju yang tiba-tiba segar dan kuat kembali setelah babak belur pada ronde-ronde sebelumnya, maka kesenian tradisional butuh kondisi semacam itu. Seni tradisi butuh tonikum itu agar kembali segar. Sudah jamak diketahui, bahwa seni tradisi mengalami lesu darah karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
321

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

Para pelaku seni tradisi cenderung terpaku pada teks yang statis, sehingga kehilangan konteks saat kesenian yang digelutinya dipaksa hidup dalam situasi masa kini yang serba dinamis. Penjagaan tradisi memang kadang harus menakan perubahan, karena perubahan bisa berarti hilangnya hakikat tradisi itu sendiri. Namun di sisi lain, menolak perubahan akan membuat seni tradisi kehilangan komunitas pendukungnya. Situasi dilematis semacam itu sering membuat para pelaku seni tradisi berhadapan pada pilihan yang serba sulit. Banyak seni tradisi mati, justru karena pelakunya bersikukuh memegang prinsip anti perubahan. Bagi mereka kematian lebih mulia, daripada harus mengingkari hakikat orisinalitas pakem seni tradisi yang sangat mereka junjung tinggi. Kematian adalah keniscayaan, karena zaman telah membuat seni tradisi berada di waktu dan tempat yang salah. Dan kita, bagaimanapun, harus menghormati mereka yang memilih jalan ini. Namun sebagian pelaku seni tradisi memilih jalan yang lebih moderat, mencoba berdamai dengan dinamika zaman agar bisa bertahan hidup lebih lama. Pakem atau teks asli tetap mereka pertahankan, namun konteks juga mereka perhatikan. Mereka tidak alergi pada perubahan, namun justru menempatkan perubahan itu sebagai motor penggerak revitalisasi. Kalau mau jujur, mayoritas seni tradisi yang mengalami second win adalah seni tradisi yang pelakunya rela mengisi teks seni dengan isuisu aktual yang ada di tengah masyarakat. Seni tak lagi terpaku pada pakem yang kaku, yang membuatnya berada jauh tinggi di awangawang, namun dikonstruksi sedemikian rupa agar dekat dengan aspek kehidupan masyarakat masa kini. Wayang Kulit adalah salah satu contoh terbaik, bagaimana kesenian tradisional bisa di-mutakhir-kan. Dengan mengadopsi isu-isu aktual dalam setiap pagelarannya, Wayang Kulit bisa bangkit dari keterpurukan, berdiri tegak, dan merangkul kembali audiensnya yang hilang. Semua seni tradisi memiliki peluang sama untuk bangkit kembali dan meraih kemenangan kedua. Kuncinya terletak pada sikap para pelaku seni terhadap dinamika perubahan zaman. Rumusnya memang hanya satu, change or die, berubah atau mati. Banyak yang memilih perubahan, namun ada juga yang memilih kematian... *

322

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

323

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

324

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

325

PEMETAAN MEDIA TRADISIONAL KOMUNIKATIF

326

LESTARIKAN TRADISI KELOLA KOMUNIKASI

327

Diterbitkan oleh DIrektorat Pengolahan dan Penyediaan Informasi Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Tahun 2011

You might also like