You are on page 1of 17

TINJAUAN PUSTAKA

A. PANSITOPENIA Pansitopenia adalah kondisi dimana terdapat penurunan jumlah sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit. Penurunan jumlah sel darah merah dikenal dengan anemia (Hb <13.5 g/dl untuk pria, dan <12 g/dl), leukopenia (<4.0 x 109/L), trombositopenia (<150x109/L). Pansitopenia bukanlah diagnosis melainkan kumpulan gejala yaitu

trombositopenia, leucopenia, dan anemia. Penyebab pansitopenia tersering disebabkan oleh gangguan pembentukan atau produksi sel darah merah dari sumsum tulang. Contohnya adalah pada penyakit anemia aplastik dan sindrom myelodisplasia yang merupakan diagnosis banding pada pasien dalam kasus ini.

1. Anemia Aplastik a. Definisi Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang (Young et al., 2000). Pada anemia aplastik terjadi penurunan produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia, granulositopenia,

monositopenia dan trombositopenia (Shadduck, 2007). Istilah anemia aplastik sering juga digunakan untuk menjelaskan anemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun. Sinonim lain yang sering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif, aleukia hemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik (William, 1993). b. Epidemiologi Anemia aplastik jarang ditemukan. Insidensi bervariasi di seluruh dunia, berkisar antara 2 sampai 6 kasus persejuta penduduk pertahun (Salonder, 2001). Analisis retrospektif di Amerika Serikat memperkirakan insiden anemia aplastik berkisar antara 2 sampai 5 kasus persejuta penduduk pertahun (Shadduck, 2007). The Internasional Aplastic Anemia and Agranulocytosis Study dan French Study memperkirakan ada 2 kasus persejuta orang pertahun (Shadduck, 2007; Salonder, 2000). Frekuensi tertinggi anemia aplastik terjadi pada orang berusia 15 sampai 25 tahun; peringkat kedua terjadi pada usia 65 sampai 69 tahun. Anemia aplastik lebih sering terjadi di Timur Jauh, dimana insiden kira-kira 7 kasus persejuta

penduduk di Cina, 4 kasus persejuta penduduk di Thailand dan 5 kasus persejuta penduduk di Malaysia. Penjelasan kenapa insiden di Asia Timur lebih besar daripada di negara Barat belum jelas (Shadduck, 2007). Peningkatan insiden ini diperkirakan berhubungan dengan faktor lingkungan seperti peningkatan paparan dengan bahan kimia toksik, dibandingkan dengan faktor genetik. Hal ini terbukti dengan tidak ditemukan peningkatan insiden pada orang Asia yang tinggal di Amerika (Niazzi et al., 2007). c. Klasifikasi Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut: A. Klasifikasi menurut kausa (Salonder, 2000): 1. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus. 2. Sekunder : bila kausanya diketahui. 3. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnya anemia Fanconi. B. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis (Bakshi, 2008; Shadduck, 2007; Smith et al., 2005): Anemia aplastik berat - Seluraritas sumsum tulang <25% atau 25-50% dengan <30% sel hematopoietik residu, dan - Dua dari tiga kriteria berikut : netrofil < 0,5x109/l trombosit <20x109 /l retikulosit < 20x109 /l Anemia aplastik sangat berat Sama seperti anemia aplastik berat kecuali netrofil <0,2x109/l Anemia aplastik bukan berat Pasien yang tidak memenuhi kriteria anemia aplastik berat atau sangat berat; dengan sumsum tulang yang hiposelular dan memenuhi dua dari tiga kriteria berikut : - netrofil < 1,5x109/l - trombosit < 100x109/l - hemoglobin <10 g/dl

d. Etiologi

Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia. Akan tetapi, kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti

penyebabnya tidak diketahui (Young et al., 2000; Paquette et al., 2007). Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain.

Klasifikasi Etiologi Anemia aplastik (Supandiman, 2003; Young, 2007) Anemia Aplastik yang Didapat (Acquired Aplastic Anemia) Anemia aplastik sekunder Radiasi Bahan-bahan kimia dan obat-obatan Efek regular Bahan-bahan sitotoksik Benzene Reaksi Idiosinkratik Kloramfenikol NSAID Anti epileptik Emas Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya Virus Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa) Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G) Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia) Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat) Penyakit-penyakit Imun Eosinofilik fasciitis Hipoimunoglobulinemia Timoma dan carcinoma timus Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi Paroksismal nokturnal hemoglobinuria Kehamilan Idiopathic aplastic anemia Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)

Anemia Fanconi Diskeratosis kongenita Sindrom Shwachman-Diamond Disgenesis reticular Amegakariositik trombositopenia Anemia aplastik familial Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.) Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

Radiasi Aplasia sumsum tulang merupakan akibat akut yang utama dari radiasi dimana stem sel dan progenitor sel rusak. Radiasi dapat merusak DNA dimana jaringanjaringan dengan mitosis yang aktif seperti jaringan hematopoiesis sangat sensitif (Young, 2007; Young et al., 2000). Bila stem sel hematopoiesis yang terkena maka terjadi anemia aplastik. Radiasi dapat berpengaruh pula pada stroma sumsum tulang dan menyebabkan fibrosis (Salonder, 2001). Efek radiasi terhadap sumsum tulang tergantung dari jenis radiasi, dosis dan luasnya paparan sumsum tulang terhadap radiasi. Radiasi berenergi tinggi dapat digunakan sebagai terapi dengan dosis tinggi tanpa tanda-tanda kerusakan sumsum tulang asalkan lapangan penyinaran tidak mengenai sebagian besar sumsum tulang. Pada pasien yang menerima radiasi seluruh tubuh efek radiasi tergantung dari dosis yang diterima. Efek pada sumsum tulang akan sedikit pada dosis kurang dari 1 Sv (ekuivalen dengan 1 Gy atau 100 rads untuk sinar X). Jumlah sel darah dapat berkurang secara reversibel pada dosis radiasi antara 1 dan 2,5 Sv (100 dan 250 rads). Kehilangan stem sel yang ireversibel terjadi pada dosis radiasi yang lebih tinggi. Bahkan pasien dapat meninggal disebabkan kerusakan sumsum tulang pada dosis radiasi 5 sampai 10 Sv kecuali pasien menerima transplantasi sumsum tulang. Paparan jangka panjang dosis rendah radiasi eksterna juga dapat menyebabkan anemia aplastik (Hillman et al., 2005).

Bahan-bahan Kimia Bahan kimia seperti benzene dan derivat benzene berhubungan dengan anemia aplastik dan akut myelositik leukemia (AML). Beberapa bahan kimia yang lain seperti

insektisida dan logam berat juga berhubungan dengan anemia yang berhubungan dengan kerusakan sumsum tulang dan pansitopenia (Hillman et al., 2005).

Obat-obatan Anemia aplastik dapat terjadi atas dasar hipersensitivitas atau dosis obat berlebihan. Praktis semua obat dapat menyebabkan anemia aplastik pada seseorang dengan predisposisi genetik. Yang sering menyebabkan anemia aplastik adalah

kloramfenikol. Obat-obatan lain yang juga sering dilaporkan adalah fenilbutazon, senyawa sulfur, emas, dan antikonvulsan, obat-obatan sitotoksik misalnya mieleran atau nitrosourea (Salonder, 2001). Obat-obatan yang menyebabkan Anemia Aplastik (Shadduck, 2007) Kategori Analgesik Anti aritmia Anti artritis Anti konvulsan Garam Emas Karbamazepin, hidantoin, felbamat Resiko Tinggi Resiko Menengah Resiko Rendah Fenasetin, aspirin, salisilamide Kuinidin, tokainid Kolkisin Etosuksimid, Fenasemid, primidon, trimethadion, sodium valproate Klorfeniramin, pirilamin, tripelennamin Captopril, methyldopa Penisillamin, fenilbutazon, oksifenbutazon Kloramfenikol Diklofenak, ibuprofen, indometasin, naproxen, sulindac Dapsone, metisillin, penisilin, streptomisin, -lactam antibiotik Amfoterisin, flu itosin Kuinakrine Klorokuin, mepakrin, pirimetamin

Anti histamin

Anti hipertensi Anti inflamasi

Anti mikroba Anti bakteri

Anti fungal Anti protozoa Obat Anti neoplasma Alkylating Busulfan,

agen

cyc ophosphamide, melphalan, nitrogen mustard

Anti metabolit Fluorourasil, mercaptopurine, methotrexate Antibiotik Sitotoksik Anti platelet Anti tiroid Daunorubisin, doxorubisin, mitoxantrone Tiklopidin Karbimazol, metimazol, metiltiourasil, potassium perklorat, propiltiourasil, sodium thiosianat Klordiazepoxide, Klorpromazine (dan fenothiazin yang lain), lithium, meprobamate, metiprilon Numerous sulfonamides Acetazolamide Klorothiazide, furosemide Klorpropamide, tolbutamide

Sedative dan tranquilizer

Sulfonamid dan turunannya Anti bakteri Diuretik Hipoglikemik Lain-lain

Allopurinol, interferon, pentoxifylline Catatan : Obat dengan dosis tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang disebut resiko tinggi. Obat dengan 30 kasus dilaporkan menyebabkan anemia aplastik merupakan resiko menengah dan selainnya yang lebih jarang merupakan resiko rendah.

Infeksi Anemia aplastik dapat disebabkan oleh infeksi virus seperti virus hepatitis, virus Epstein-Barr, HIV dan rubella. Virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering. Pansitopenia berat dapat timbul satu sampai dua bulan setelah terinfeksi hepatitis. Walaupun anemia aplastik jarang diakibatkan hepatitis akan tetapi terdapat hubungan antara hepatitis seronegatif fulminan dengan anemia aplastik.. Parvovirus B19 dapat menyebabkan krisis aplasia sementara pada penderita anemia hemolitik

kongenital (sickle cell anemia, sferositosis herediter, dan lain-lain). Pada pasien yang imunokompromise dimana gagal memproduksi neutralizing antibodi terhadap Parvovirus suatu bentuk kronis red cell aplasia dapat terjadi (Young et al., 2007; Young, 2007; Hillman, 2005). Infeksi virus biasanya berhubungan dengan supresi minimal pada sumsum tulang, biasanya terlihat neutropenia dan sedikit jarang trombositopenia. Virus dapat menyebabkan kerusakan sumsum tulang secara langsung yaitu dengan infeksi dan sitolisis sel hematopoiesis atau secara tidak langsung melalui induksi imun sekunder, inisiasi proses autoimun yang menyebabkan pengurangan stem sel dan progenitor sel atau destruksi jaringan stroma penunjang (Young et al., 2000).

Faktor Genetik Kelompok ini sering dinamakan anemia aplastik konstitusional dan sebagian dari padanya diturukan menurut hukum mendell, contohnya anemia Fanconi. Anemia Fanconi merupakan kelainan autosomal resesif yang ditandai oleh hipoplasia sumsung tulang disertai pigmentasi coklat dikulit, hipoplasia ibu jari atau radius, mikrosefali, retardasi mental dan seksual, kelainan ginjal dan limpa (Salonder, 2001).

Anemia Aplastik pada Keadaan/Penyakit Lain Pada leukemia limfoblastik akut kadang-kdang ditemukan pansitopenia dengan hipoplasia sumsum tulang (Salonder, 2001). Paroxysmal Nocturnal Hemoglobinuria (PNH). Penyakit ini dapat

bermanifestasi berupa anemia aplastik. Hemolisis disertai pansitopenia mengkin termasuk kelainan PNH (Salonder, 2001). Kehamilan. Kasus kehamilan dengan anemia aplastik telah pernah dilaporkan, tetapi hubungan antara dua kondisi ini tidak jelas. Pada beberapa pasien, kehamilan mengeksaserbasi anemia aplastik yang telah ada dimana kondisi tersebut akan membaik lagi setelah melahirkan. Pada kasus yang lain, aplasia terjadi selama kehamilan dengan kejadian yang berulang pada kehamilan-kehamilan berikutnya (Shadduck, 2007).

e. Patogenesis Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang diturunkan (inherited aplastic anemia), terutama anemia Fanconi disebabkan

oleh ketidakstabilan DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan (acquired aplastic anemia) disebabkan kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel (Paquette et al., 2007). Anemia Fanconi barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering karena bentuk inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya, pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelodysplastic sindrom (MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait dengan kanker payudara). Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti (Paquette et al., 2007). Kerusakan oleh agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapat disebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA (Paquette et al., 2007). Kehancuran hematopoiesis stem sel yang dimediasi sistem imun mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik. Walaupun

mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel. Pembunuhan langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel, yang kemudian terjadi perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis) (Paquette et al., 2007).

f. Gejala dan Pemeriksaan Fisik Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul adalah akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoe deffort, palpitasi cordis, takikardi, pucat dan lain-lain. Pengurangan

elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organorgan.7 Pada kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan (William, 1993). Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi. Terlihat bahwa pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering dikemukakan. Keluhan Pasien Anemia Apalastik (n=70) (Salonder, 2001)
Jenis Keluhan Pendarahan Lemah badan Pusing Jantung berdebar Demam Nafsu makan berkurang Pucat Sesak nafas Penglihatan kabur Telinga berdengung % 83 80 69 36 33 29 26 23 19 13

Pemeriksaan fisis pada pasien anemia aplastik pun sangat bervariasi. Pada tabel terlihat bahwa pucat ditemukan pada semua pasien yang diteliti sedangkan pendarahan ditemukan pada lebih dari setengah jumlah pasien. Hepatomegali, yang sebabnya bermacam-macam ditemukan pada sebagian kecil pasien sedangkan splenomegali tidak ditemukan pada satu kasus pun. Adanya splenomegali dan limfadenopati justru meragukan diagnosis (Salonder, 2001). Pemeriksaan Fisis pada Pasien Anemia Aplastik (Salonder, 2001)
Jenis Pemeriksaan Fisik Pucat Pendarahan Kulit Gusi Retina % 100 63 34 26 20

Hidung Saluran cerna Vagina Demam Hepatomegali Splenomegali

7 6 3 16 7 0

g. Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Darah Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan poikilositosis (Salonder, 2001). Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat (Salonder, 2001; Shadduck, 2007). Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal. Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic anemia). Pada beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan (Shadduck, 2007). Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik konstitusional (Salonder, 2001). Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis, termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid. Kadar

Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi (Shadduck, 2007).

b. Pemeriksaan sumsum tulang Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit, sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah (Shadduck, 2007). Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular. Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena area fokal residual hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsi dianjurkan untuk mengklarifikasi diagnosis (Shadduck, 2007; Young, 2007). Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30% sel pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang berumur lebih dari 60 tahun (Young et al., 2007). International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari 30% sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang (Shadduck, 2007).

h. Penatalaksanaan Anemia berat, pendarahan akibat trombositopenia dan infeksi akibat granulositopenia dan monositopenia memerlukan tatalaksana untuk menghilangkan kondisi yang potensial mengancam nyawa ini dan untuk memperbaiki keadaan pasien (Shadduck, 2007). Manajemen awal anemia aplastik adalah sebagai berikut:

Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi penyebab anemia aplastik.

Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan. Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.

Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat. Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-CSF.

Assessment

untuk

transplantasi

stem

sel

allogenik

pemeriksaan

histocompatibilitas pasien, orang tua dan saudara kandung pasien. Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid (Shaddukc, 2007). Terapi standar untuk anemia aplastik meliputi imunosupresi atau transplantasi sumsum tulang. Faktor-faktor seperti usia pasien, adanya donor saudara yang cocok (matched sibling donor), faktor-faktor resiko seperti infeksi aktif atau beban transfusi harus dipertimbangkan untuk menentukan apakah pasien paling baik mendapat terapi imunosupresif atau transplantasi sumsum tulang. Pasien yang lebih muda umumnya mentoleransi transplantasi sumsum tulang lebih baik dan sedikit mengalamai GVHD (Graft Versus Host Disease). Pasien yang lebih tua dan yang mempunyai komorbiditas biasanya ditawarkan terapi imunosupresif. Suatu algoritme terapi dapat dipakai untuk panduan penatalaksanaan anemia aplastik (Solander, 2006).

a. Pengobatan Suportif Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan penyakit kardiovaskular. Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah 20.000/mm3 sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit donor acak.

Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat pendek (Solander, 2006).

b. Terapi Imunosupresif Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte

globulin (ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATG atau ALG diindikasikan pada (Solander, 2006) : Anemia aplastik bukan berat Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebih dari 200/mm3 Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan stimulasi langsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis (Solander, 2006). Karena merupakan produk biologis, pada terapi ATG dapat terjadi reaksi alergi ringan sampai berat sehingga selalu diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid.15 Siklosporin juga diberikan dan proses bekerjanya dengan menghambat aktivasi dan proliferasi preurosir limfosit sitotoksik (Solander, 2006). Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi sebesar 46% (Solander, 2006). Pemberian dosis tinggi siklofosfamid juga merupakan bentuk terapi imunosupresif. Pernyataan ini didasarkan karena stem sel hematopoiesis memliki kadar aldehid dehidrogenase yang tinggi dan relatif resisten terhadap siklofosfamid. Dengan dasar tersebut, siklofosfamid dalam hal ini lebih bersifat imunosupresif daripada myelotoksis. Namun, peran obat ini sebagai terapi lini pertama tidak jelas sebab toksisitasnya mungkin berlebihan yang melebihi dari pada kombinasi ATG dan siklosporin (Shadduck, 2007). Pemberian dosis tinggi siklofosfamid sering disarankan untuk imunosupresif yang mencegah relaps. Namun, hal ini belum dikonfirmasi.

Sampai kini, studi-studi dengan siklofosfamid memberikan lama respon leih dari 1 tahun. Sebaliknya, 75% respon terhadap ATG adalah dalam 3 bulan pertama dan relaps dapat terjadi dalam 1 tahun setelah terapi ATG (Solander, 2006).

c. Transplantasi sumsum tulang Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien (hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi imunosupresif karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD) (Solander, 2006). Pasien dengan usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yang lebih jelek dibandingkan pasien yang berusia muda (Shadduck, 2007; Smith et al., 2005). Pasien yang mendapatkan transplantasi sumsum tulang memiliki survival yang lebih baik daripada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif (Smith et al., 2005). Pasien dengan umur kurang dari 50 tahun yang gagal dengan terapi imunosupresif (ATG) maka pemberian transplantasi sumsum tulang dapat

dipertimbangkan (Solander, 2006). Akan tetapi survival pasien yang menerima transplanasi sumsum tulang namun telah mendapatkan terapi imunosupresif lebih jelek daripada pasien yang belum mendapatkan terapi imunosupresif sama sekali (Shadduck, 2007; Smith, 2005).

2. Sindrom Myelodisplasia Sindroma Dismielopoetik (SDM) primer adalah suatu sindrom yang di tandai oleh displasi darisistem hemopoetik (dysmyelopoesis, dyserthoropoesis, dan dysthrombopoesis), baik tunggalmaupun campuran, disertai dengan gangguan maturasi dan diferensiasi yang sebelumnya belumdiketahui. Jika penyebabnya diketahui disebut SDM sekunder, misalnya defisiensi vitamin B 12 atau defisiensi asam folat, pengobatan sitostatik, dan sebagainya.SDM pada umumnya terjadi pada usia lanjut dengan rerata umur 60-75 tahun; laki-laki sedikitlebih sering daripada perempuan dan penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui.SDM primer ini meliputi penyakit-penyakit yang sebelumnya disebut

sebagai preleukemia, smouldering leukemia, oligoblastic leukemia, hemopoetic dysplasia, sindrom mielodisplastik, primary acquired sideroblastic anemia. Manifestasi klinisnya disebabkan karena adanyasitopeni, baik tunggal maupun kombinasi, yaitu keluhan-keluhan anemi yang membangkang, perdarahan karena

trombopeni, dan adanya granulositopeni dengan segala akibatnya. SDM sering ditemukan pada pasien usia lanjut antara umur 60-75 tahun, dan pada sebagiankasus pada umur < 50 tahun; laki-laki sedikit lebih sering daripada perempuan. Keluhan dangejala secara umum lebih dikaitkan dengan adanya sitopenia. Umumnya pasien datang dengankeluhan cepat lelah, lesu yang disebabkan anemia. Perdarahan karena trombositopenia daninfeksi atau panas yang dikaitkan dengan leukopenia/neutropeni juga dapat menjadi keluhan pasien walaupun sedikit kurang sering. Pada sebagian kecil dan sangat jarang dari pasien terjadisplenomegali atau hepatomegali. Diagnosis SDM dipertimbangkan untuk setiap pasien dewasa yang disertai gejala-gejala sebagai berikut : 1. Anemi dan/perdarahan-perdarahan dan/febris yang tidak jelas sebabnya dan refrakter terhadap pengobatan. 2. Pemeriksaan darah tepi menunjukkan adanya sitopeni dari satu atau lebih sistem darah. 3. Adanya sel-sel muda/blas dalam jumlah sedikit (< 30%) dengan atau tanpa monositosis darah tepi. 4. Sumsum tulang dapat hipo, normo, atau hiperselular dengan disertai displasi sistem hemopoesis (anomali Pelger-Huet, perubahan megaloblastik, peningkatan ringan sel-sel blas dan sebagainya) 5. Namun gambaran-gambaran tersebut tidak dapat dimasukkan dalam diagnosis yang jelas dari penyakit-penyakit lain seperti ITP, leukemi, anemi aplastik, dan lain-lain. Diagnosis SDM ditetapkan bila ada butir 1 ditambah paling sedikit tiga dari butir 2. Sebenarnya untuk diagnosis SDM perlu dibantu dengan pemeriksaan pembiakan sel-sel sumsum tulang dan pemeriksaan sitogenetik. Sitogenetik sumsum tulang dapat memberikan informasi prognosis dan adanya abnormalitas kromosom yang merupakan kunci untuk membedakan SDM primer dan sekunder. Kromosom abnormal sumsum tulang ditemukan pada 30 50 % pasien SDM de novo. Berbagai kelainan sitogenetik pada SDM termasuk delesi, trisomi, monosomi dan anomali struktur. Penggolongan SDM menurut kriteria FAB adalah Refractory Anemia (RA), Refractory Anemia with Ringed Sideroblast (RARS), Refractory Anemia with Excessive

Blast (RAEB), RAEB in Transformation to Leukemia (RAEBt), dan Chronic MyeloMonocytic Leukemia (CMML). Penggolongan lain yang diusulkan WHO untuk SDM adalah Refractory

Anemia (RA), Refractory Anemia with Ringed Sideroblast (RARS), Refractory Cytopenia with Multilineage Dysplasia (RCMD), Refractory Anemia with Excessive Blast (RAEB-type 1 = 5 9 % blast in blood or marrow and RAEB-type 2 = 10 19 % blast in blood or marrow), 5q-syndrome, therapy-related syndrome unclassified. SDM seharusnya dibedakan dengan myeloproliferative disorder yang lain dan beberapa variasi dari SDM sekunder termasuk defisiensi nutrisi, proses infeksi, efek obat dan toxic exposures. Beberapa regimen terapi telah digunakan pada pasien SDM, tetapi sebagian besar tidak efektif di dalam merubah perjalanan penyakitnya. Karena itu pengobatan pasien SDM tergantung dari usia, berat ringannya penyakit dan progresivitas penyakitnya. Pasien dengan klasifikasi RA dan RAEB pada umumnya bersifat indolent sehingga tidak perlu pengobatan spesifik, cuma suportif saja. myelodysplastic syndrome, dan Myelodysplastic

Cangkok Sumsum Tulang (Bone Marrow Transplatation) Cangkok sumsum tulang alogenik merupakan pengobatan utama pada SDM terutama dengan usia < 30 tahun, dan merupakan terapi kuratif, tetapi masih merupakan pilihan < 5% dari pasien.

Kemoterapi Pada fase awal dari SDM tidak dianjurkan untuk diberikan kemoterapi, umumnya diberikan pada tipe RAEB, RAEB-T, CMML. Sejak tahun 1968 pengobatan ARA-C dosis rendah yang diberikan pada pasien SDM dapat memberikan response rate antara 50 75 % dan respons ini tetap bertahan 2 14 bulan setelah pengobatan. Dosis ARA-C yang direkomendasikan adalah 20 mg/m2/hari secara drip atau 10 mg/m2/hari secara subkutan setiap 12 jam selama 21 hari.

GM-CSF atau G-CSF Pada pasien SDM yang mengalami pansitopeni dapat diberikan GM-CSF atau G-CSF untuk merangsang diferensiasi dari hematopoetic progenitor cells. GM-CSF diberikan

dengan dosis 30 500 mcg/m2/hari atau G-CSF 50 1600 mcg/m2/hari (0,1 0,3 mcg/kgBB/hari/subkutan) selama 7 14 hari.

Lain-lain Piridoksin, androgen, danazol, asam retinoat dapat digunakan untuk pengobatan pasien SDM. Piridoksin dosis 200 mg/hari selama 2 bulan kadang-kadang dapat memberikan respon pada tipe RAEB walaupun sangat kecil. Danazol 600 mg/hari/oral dapat memberikan response rate 21 33 % setelah 3 minggu pengobatan. Faktor resiko untuk berkembangnya MDS antara lain, Usia. Studi populasi di Inggris menemukan bahwa secara kasar insiden meningkat dari 0,5 dalam 100.000 populasi yang berusia dibawah 50 tahun menjadi 89 dalam 100.000 populasi pada orang yang berusia 80 tahun atau lebih. Predisposisi genetik. Sindrom familial telah dilaporkan, namun jarang. Paparan lingkungan. Khususnya dengan Benzene dan pelarut kimia lainnya. Terapi sebelumnya. Termasuk pengobatan radiasi dan agen kemoterapi lainnya.

You might also like