You are on page 1of 175

Makam Para Pembangkang Cerpen: Indra Tranggono Sumber: Jawa Pos,Edisi 05/15/2005 TEMUILAH aku di bukti itu.

Jika engkau menyukai pendakian, engkau akan menjumpai aku. Bukit itu sangat dek at dengan nadimu. Tanpa engkau tahu, aku telah menunggumu sejak berabad-abad lal u. Datanglah, sebelum rindu cemasku membatu. Engkau tak perlu menakar keberanianmu untuk menempuh pendakianmu. Engkau pun ta k perlu memeras banyak keringatmu. Mungkin kau temui jalan sedikit berliku, tapi percayalah engkau akan disambut ramah bebatuan dan tanah. Di balik belukar, mem ang ada beberapa ular, namun engkau tak perlu khawatir. Mereka akan segera menyi ngkir sebelum engkau hadir. Abad demi abad telah berpacu-berlari, namun bukit itu tetap ada di sana, hanya selapis tipis dari impianmu. Jika selapis impianmu bisa kau terobos, maka engkau akan sampai di sana: Bukit Bayang. Tak lebih dari 1.000 meter engkau mendaki. T ak akan ada rasa nyeri merajam kaki. Engkau tak perlu khawatir untuk tergelincir . Para petani yang membajak tanah dengan hati atau para peladang yang berdada la pang, telah menyediakan jalan setapak itu kepadamu. Juga pohon-pohon akasia dan kemboja telah menyediakan rindang pendakian. Temuilah aku di bukit itu, sebelum rindu cemasku membatu, sebelum aliran darahm u membeku. Bukankah angin telah menyebarkan kabar itu kepadamu, hingga kerinduan ku pun luluh dalam detak nadimu. Hatiku pun terlonjak, saat angin dari utara mengabarkan kedatanganmu. Kau bawa jiwamu yang sepi dan menggigil. Kau bawa sumpah serapahmu kepada kota yang bengi s, kikir dan rakus. Kau bawa seluruh lukamu. Masuklah engkau kepadaku, masuklah. Kujabat jari-jemarimu, kudekap gigil jiwamu. Kuhapus keringat jiwa lelahmu. Kup adamkan api amarahmu dalam kubangan kesunyianku yang menggenang berabad-abad. Kurasakan getar jiwamu, saat engkau memasuki gerbang pemakaman bisu. Kurasakan pula degub jantungmu yang terpompa kecemasanmu. Namun, engkau gagal menarik kakimu surut ke belakang. Engkau terus melangkah. P erlahan. Daun-daun kering akasia dan kemboja yang kau injak menjelma suara risik , hingga seluruh ruangan itu tergetar. Engkau menatapku, menatap kami: tumpukan kaum batu putih terbalut lumut abadi: batu-batu nisan dan batu-batu yang menjelma benteng tanpa perekat, hingga begitu rapuh dan patah. Engkau mendekatiku, mendekati kami. Meraba. Menebak-nebak, ent ah untuk apa. Tapi aku suka. Kau baca urat-uratku, urat-urat kami bangsa batu, hingga keningmu berkerut-keru t. Engkau penasaran, ingin tahu berapa usiaku. Dari lipatan ingatanmu, engkau me ncoba membuka rumus-rumus penghitung waktu untuk membaca setiap tanda dalam tubu hku. Wajahmu mendadak sedikit murung, ketika ingatanmu gagal menjadi mesin pengh itung. Namun, aku tahu, engkau tak akan menyerah untuk menerka-nerka tentang sia pakah aku, siapa kami, kenapa dan untuk apa harus berada di sini. Ah, selidik ya ng mengusik dan membidik. Tapi aku suka. Baiklah. Sebagai tuan rumah yang baik, aku ingin bercerita kepadamu tentang seb uah zaman yang gelap dan pengap. Orang menyebut situs ini makam para pembangkang . Lihatlah, ada puluhan nisan yang terserak. Di pojok itu, di bawah nisan yang d

iapit dua pohon beringin, bersemayam Ki Dalang Panjang Mas. Jika engkau memutar pandanganmu sedikit ke kanan, engkau akan menjumpai lima nisan di atas tanah yan g agak tinggi. Tepat di tengahnya, bersemayam Nyai Panjang Mas, isteri ki dalang . Dia juga biasa dipanggil Ratu Malang. Sedangkan di samping bawah nisan Ratu Ma lang itu, terserak belasan nisan-nisan tanpa nama, nisan-nisan para penabuh game lan, sinden dan entah siapa lagi. Bagaimana mungkin dalang, isteri dalang, sinde n dan para penabuh gamelan serta sekotak wayang bisa binasa bersama? Apakah maut begitu kompak bekerja? *** Mataram telah menjelma kerajaan Jawa yang perkasa dan megah. Sunan Amangkurat P ertama, salah satu rajanya yang erat melekat pada pita ingatanku. Sosok raja itu tidak terlalu istimewa, bahkan biasa. Namun jika engkau menatap matanya, engkau akan menjumpai lorong panjang, begitu dalam dan gelap serupa sumur tanpa dasar. Tatapan matanya menjelma kekuatan kelam yang menghisap siapa saja, hingga merek a terpaksa menyediakan diri sebagai taklukan. Memasuki rongga matanya yang hitam pekat, engkau akan menjumpai ratusan bahkan ribuan mayat yang terserak, dengan kepala terpenggal atau leher membiru terjerat tali gantungan. Mereka terkubur dalam lipatan waktu, tanpa nisan untuk menjadi penyangga tahta gemerlapnya. Telah berbulan-bulan raja itu tak bisa tidur didera kecemasan. Bantal, guling, dan selimut daging tak mampu meredam kegaulannya, setiap ia mendengar suara Ki D alang Panjang Mas, suara gamelan dan kecrek wayang. Berulang kali ia mengutuk an gin yang sangat kurang ajar menerobos peraduannya, menerobos gendang telinganya mengabarkan cerita wayang, kisah-kisah perlawanan, dan gema gamelan. Ia bahkan t elah memerintahkan beribu prajurit untuk menjebak angin ke dalam penjara. Namun, setiap upaya itu dicoba, dia hanya menangkap ketololan ratusan prajuritnya. "Giring mereka menjauhi istana! Penjarakan mereka!" Amangkurat meradang. Ribuan prajurit kekar iu hanya saling memandang. Dan, esoknya, sinar matahari m enangkap tubuh-tubuh mereka tanpa kepala. Namun, perintah raja itu tidak berhent i karenanya. Ia terus memerintahkan ribuan prajurit untuk menggiring angin. "Angin tak bisa digiring, Kanjeng Sunan ." bisik salah seorang penasihat raja. "Mereka berani membangkang?! Katakan kepada pasukan angin, akulah yang menyuruh menangkap mereka!" "Kanjeng Sunan begurau?" "Kamu pikir aku ini badut?" Penasihat itu sontak diam. Dan esoknya, ia ditemukan tewas tanpa kepala. Setiap malam, Ki Dalang Panjang Mas menggelar cerita ke berbagai ceruk Mataram. Dalam ribuan malam, terhampar berbagai kisah perlawanan yang basah keharuan. Pa ra kawula Mataram pun merasa menemukan rongga udara dalam dada sesak mereka. Sep erti menghisap berkilo-kilo oksigen, mereka menyerap seluruh kisah, dari suluk, jejeran, perang kembang, gara-gara hingga tancep gunungan. Namun, gelaran kisahkisah itu telah menjelma tombak tajam bagi Kanjeng Sunan. Meskipun belum dirasak an mampu menggoyahkan tahtanya, kisah-kisah itu dirasakan menguliti jiwanya. Pul uhan prajurit pun disebar, serupa melempar jala. Ki dalang teringkus, tanpa daya . Di balairung istana, Ki dalang Panjang Mas menjadi pesakitan sekaligus keranjan g sampah untuk sumpah serapah Kanjeng Sunan Amangkurat. Tatapan raja serupa dua

bola api itu memanggangnya. Jantungnya berdetak cepat. Tubuhnya dingin dan basah . Di sampingnya, duduk isterinya, Nyai Panjang Mas. Perempuan itu menggenggam er at tangan suaminya, agar keberaniannya terpompa. "Kamu tahu, hukuman apa untuk seorang pembangkang?" ujar Amangkurat dengan suar a berat, penuh tenaga. Ki Dalang Panjang Mas terdiam. Tatapan mata Amangkurat dirasakan makin menghang uskan jiwanya. Ia merasa kulitnya terkelupas hingga telanjang. Rasa nyeri dan pe rih bergerak menuju puncak. "Kenapa diam? Kamu kan dalang pintar? Punya jutaan kata untuk berkilah?" Mata Kanjeng Sunan Amangkurat terus menghujam ke wajah pesakitan. Ia sangat sen ang menikmati gelepar jiwa musuhnya. Puluhan detik, ratusan detik, ia merajam ji wa tawanan itu dengan belati tatapan mata yang tajam. Ia tertawa terpingkal-ping kal melihat jiwa dalang itu meronta-ronta, mengerjat-ngerjat. Ia teruskan tikamtikaman belati itu hingga ke dasar sukma musuhnya. "Ternyata kamu tak lebih dari macan berdarah tikus!" Kepala ki dalang menunduk, makin dalam. Ruangan senyap. Suara serangga malam ya ng semula riuh, mendadak lenyap. "Lawan aku, Ki Dalang! Tunjukkan kesaktianmu!! Aku sangat rindu untuk bertarung . Dan kerisku kini sudah lama ingin mencicipi darah segar seorang dalang. Lawan aku, pecundang!" Dalang itu makin gemetar. Ia sama sekali tak menduga akan menemui penguasa seru pa raksasa, seperti dalam wayang yang selalu ia jungkirbalikkan. Dan, raksasa it u kini menelannya. Melihat musuhnya tak bernyali untuk melawan, raja itu mengalihkan pandangan kep ada Nyai Panjang Mas. Ia lepaskan beribu tikaman belati dari bola matanya. Matan ya terbimbing menyisir setiap lekuk tubuh kuning langsat dengan leher jenjang da n dada penuh perempuan itu. Darah lelakinya membuncah, terpompa jantung hingga w ajahnya terpahat gurat-gurat gairah. Pesona kecantikan perempuan itu menjelma ca haya yang mendadak menghisapnya. Kuat. Sangat kuat. Ia mendekati perempuan itu. Ia tatap lekat-lekat wajah bulan purnama. Ia menjum pai yang indah dan nyaris sempurna antara bentuk mata, hidung, bibir, pipi, dagu . Juga leher itu. Juga dada itu. Pelan-pelan ia jongkok, persis di depan Nyai Pa njang Mas. Kepalanya hampir menyentuh pipi perempuan itu. Gairahnya makin membun cah, seiring dengan tarikan nafas perempuan itu yang begitu jelas didengarnya. T arikan nafas yang cemas itu dirasakannya menjadi desah. Terhamparlah bayangan pe rcumbuan dan keriut ranjang. Tangan sang raja menyentuh dagu perempuan itu. Wajah bulan purnama itu terangka t, dengan mata tetap terpejam. Raja itu tersengat. Sengatan itu begitu dalam, be gitu kuat menjebol lipatan-lipatan ingatannya. Ia tergeragap. Ia menjumpai wajah ibunda tercintanya pada wajah isteri musuhnya itu. Hatinya sontak bergetar. Jut aan pori-porinya mengembang. Amangkurat menghela nafas. Tangan Amangkurat mendadak berkelebat seperti kilat. Ia tarik tangan perempuan itu, ia peluk dan ia cium. Perempuan itu meronta. Ker as. Sangat keras. Jeritan isterinya itu memompa api keberanian Ki Dalang Panjang Mas. Sontak ia b erdiri, menghunus keris dan langsung menikam dada sang raja. Namun, kelebatan ta ngannya itu terhadang tangan perkasa sang raja. Lalu tangan sang raja begitu cep

at berkelebat. Dalam hitungan detik, dalang itu merasakan dadanya dihujam benda tajam, hingga menembus jantungnya. Ia merasakan keperihan yang tak terukur. Ia m eraba. Dadanya basah. Darah muncrat dari jantungnya. Sekejap kemudian ruang seki tar terasa berputar. Pandangannya terasa padam. Gelap. Ia pun tumbang berderak, diiringi derai tawa sang raja dan jeritan panjang istreri tercintanya. Bulan di angkasa, terpejam. Senyum masam Amangkurat menggurat di bibirnya. Ia merasa telah menjadi laki-lak i jantan untuk merubuhkan musuhnya sekaligus merebut isterinya. Ia gelandang Nya i Panjang Mas ke dalam peraduan. Selebihnya adalah isyarat perintah lewat tangan dan mata. Selebihnya puluhan prajurit bergerak. Selebihnya keris-keris terhunus . Selebihnya dada-dada belasan penabuh gamelan tertancap. Selebihnya, puluhan ny awa mengambang di atas genangan darah. Lalu, sunyi pun mengunci. Pagi masih terang tanah. Puluhan laki-laki mengangkut mayat Ki Dalang Panjang M as dan mayat para penabuh gamelan ke puncak Bukit Bayang, di sebelah tenggara is tana Mataram. Kurasakan langit muram, ketika belasan atau puluhan lubang itu men erima dengan setia mayat-mayat itu. Tanah itu memeluk mayat-mayat dengan isak ta ngis. Juga batu-batu semacam kami yang menjadi nisan penanda bagi para pembangka ng atau menjadi benteng makam. Pohon-pohon akasia dan kemboja raksasa meneteskan guguran daun. Kami, bangsa batu, tak pernah lepas memeluk mayat mereka. Kami berikan kehangat an ala kadarnya agar mereka lebih tenteram di alam baka. Setiap malam, kami sela lu mendengar tangis dan jerit mereka. Sumpah serapah mereka. Tangan-tangan merek a terkepal. Wajah-wajah mereka memerah. Namun, itu tak berlangsung terlalu lama. Hampir setiap malam, dalam rongga kesunyian yang luas dan dalam, kami mendegar suara dalang menggelar ribuan cerita yang dianyam talu gamelan. Perlawanan tak b isa dipadamkan, bahkan oleh kematian. *** Jika mau bermalam di pemakaman ini, engkau akan mendegar suara kaki kuda meneba h tanah. Suara berdebam itu mengelilingi benteng ini. Berkali-kali. Aku mendenga r kabar, suara itu adalah derap kaki kuda Amangkurat. Ia selalu datang selepas s enja untuk menemui Nyai Panjang Mas. Ia memang sangat mencintainya. Namun, aku j uga mendengar kabar lain, suara itu sebenarnya derap kaki kuda Ki Dalang Panjang Mas. Ia tetap setia datang untuk membangunkan teman-teman sejawat buat berjaga di setiap zaman yang gelap dan pengap. Entah mana yang benar. Ah, mungkin engkau mulai bosan mendengarkan ceritaku. Barangkali juga, engkau m ulai menimbang-nimbang kebenaran kisahku. Tapi, bagiku itu tidak terlalu penting . Aku lega telah menceritakan kisah purba dan lapuk yang mengendap berabad-abad ini kepadamu, sebelum tubuhku hancur dirajam keperkasaan waktu.*** Bantul-Jogja Juli 2004 Guru Post:05/09/2005 Disimak: 343 kali Cerpen: Putu Wijaya Sumber: Jawa Pos,Edisi 05/08/2005 Anak saya bercita-cita menjadi guru. Tentu saja saya dan istri saya jadi shok.

Kami berdua tahu, macam apa masa depan seorang guru. Karena itu, sebelum terlalu jauh, kami cepat-cepat ngajak dia ngomong. "Kami dengar selentingan, kamu mau jadi guru, Taksu? Betul?!" Taksu mengangguk. "Betul Pak." Kami kaget. "Gila, masak kamu mau jadi g-u-r-u?" "Ya." Saya dan istri saya pandang-pandangan. Itu malapetaka. Kami sama sekali tidak p ercaya apa yang kami dengar. Apalagi ketika kami tatap tajam-tajam, mata Taksu n ampak tenang tak bersalah. Ia pasti sama sekali tidak menyadari apa yang barusan diucapkannya. Jelas ia tidak mengetahui permasalahannya. Kami bertambah khawatir, karena Taksu tidak takut bahwa kami tidak setuju. Istr i saya menarik nafas dalam-dalam karena kecewa, lalu begitu saja pergi. Saya mul ai bicara blak-blakan. "Taksu, dengar baik-baik. Bapak hanya bicara satu kali saja. Setelah itu terser ah kamu! Menjadi guru itu bukan cita-cita. Itu spanduk di jalan kumuh di desa. K ita hidup di kota. Dan ini era milenium ketiga yang diwarnai oleh globalisasi, a lias persaingan bebas. Di masa sekarang ini tidak ada orang yang mau jadi guru. Semua guru itu dilnya jadi guru karena terpaksa, karena mereka gagal meraih yang lain. Mereka jadi guru asal tidak nganggur saja. Ngerti? Setiap kali kalau ada kesempatan, mereka akan loncat ngambil yang lebih menguntungkan. Ngapain jadi gu ru, mau mati berdiri? Kamu kan bukan orang yang gagal, kenapa kamu jadi putus as a begitu?!" "Tapi saya mau jadi guru." "Kenapa? Apa nggak ada pekerjaan lain? Kamu tahu, hidup guru itu seperti apa? G uru itu hanya sepeda tua. Ditawar-tawarkan sebagai besi rongsokan pun tidak ada yang mau beli. Hidupnya kejepit. Tugas seabrek-abrek, tetapi duit nol besar. Lih at mana ada guru yang naik Jaguar. Rumahnya saja rata-rata kontrakan dalam gang kumuh. Di desa juga guru hidupnya bukan dari mengajar tapi dari tani. Karena pro fesi guru itu gersang, boro-boro sebagai cita-cita, buat ongkos jalan saja kuran g. Cita-cita itu harus tinggi, Taksu. Masak jadi guru? Itu cita-cita sepele bang et, itu namanya menghina orang tua. Masak kamu tidak tahu? Mana ada guru yang pu nya rumah bertingkat. Tidak ada guru yang punya deposito dollar. Guru itu tidak punya masa depan. Dunianya suram. Kita tidur, dia masih saja utak-atik menyiapka n bahan pelajaran atau memeriksa PR. Kenapa kamu bodoh sekali mau masuk neraka, padahal kamu masih muda, otak kamu encer, dan biaya untuk sekolah sudah kami sia pkan. Coba pikir lagi dengan tenang dengan otak dingin!" "Sudah saya pikir masak-masak." Saya terkejut. "Pikirkan sekali lagi! Bapak kasi waktu satu bulan!" Taksu menggeleng. "Dikasih waktu satu tahun pun hasilnya sama, Pak. Saya ingin jadi guru."

"Tidak! Kamu pikir saja dulu satu bulan lagi!" Kami tinggalkan Taksu dengan hati panas. Istri saya ngomel sepanjang perjalanan . Yang dijadikan bulan-bulanan, saya. Menurut dia, sayalah yang sudah salah didi k, sehingga Taksu jadi cupet pikirannya. "Kau yang terlalu memanjakan dia, makanya dia seenak perutnya saja sekarang. Ma sak mau jadi guru. Itu kan bunuh diri!" Saya diam saja. Istri saya memang aneh. Apa saja yang tidak disukainya, semua d ianggapnya hasil perbuatan saya. Nasib suami memang rata-rata begitu. Di luar bi sa galak melebihi macan, berhadapan dengan istri, hancur. Bukan hanya satu bulan, tetapi dua bulan kemudian, kami berdua datang lagi meng unjungi Taksu di tempat kosnya. Sekali ini kami tidak muncul dengan tangan koson g. Istri saya membawa krupuk kulit ikan kegemaran Taksu. Saya sendiri membawa se buah lap top baru yang paling canggih, sebagai kejutan. Taksu senang sekali. Tapi kami sendiri kembali sangat terpukul. Ketika kami tan yakan bagaimana hasil perenungannya selama dua bulan, Taksu memberi jawaban yang sama. "Saya sudah bilang saya ingin jadi guru, kok ditanya lagi, Pak," katanya sama s ekali tanpa rasa berdosa. Sekarang saya naik darah. Istri saya jangan dikata lagi. Langsung kencang mukan ya. Ia tak bisa lagi mengekang marahnya. Taksu disemprotnya habis. "Taksu! Kamu mau jadi guru pasti karena kamu terpengaruh oleh puji-pujian orang -orang pada guru itu ya?!" damprat istri saya. "Mentang-mentang mereka bilang, g uru pahlawan, guru itu berbakti kepada nusa dan bangsa. Ahh! Itu bohong semua! I tu bahasa pemerintah! Apa kamu pikir betul guru itu yang sudah menyebabkan orang jadi pinter? Apa kamu tidak baca di koran, banyak guru-guru yang brengsek dan b ejat sekarang? Ah?" Taksu tidak menjawab. "Negara sengaja memuji-muji guru setinggi langit tetapi lihat sendiri, negara t idak pernah memberi gaji yang setimpal, karena mereka yakin, banyak orang sepert i kamu, sudah puas karena dipuji. Mereka tahu kelemahan orang-orang seperti kamu , Taksu. Dipuji sedikit saja sudah mau banting tulang, kerja rodi tidak peduli t idak dibayar. Kamu tertipu Taksu! Puji-pujian itu dibuat supaya orang-orang yang lemah hati seperti kamu, masih tetap mau jadi guru. Padahal anak-anak pejabat i tu sendiri berlomba-lomba dikirim keluar negeri biar sekolah setinggi langit, su paya nanti bisa mewarisi jabatan bapaknya! Masak begitu saja kamu tidak nyahok?" Taksu tetap tidak menjawab. "Kamu kan bukan jenis orang yang suka dipuji kan? Kamu sendiri bilang apa gunan ya puji-pujian, yang penting adalah sesuatu yang konkret. Yang konkret itu adala h duit, Taksu. Jangan kamu takut dituduh materialistis. Siapa bilang meterialist ik itu jelek. Itu kan kata mereka yang tidak punya duit. Karena tidak mampu cari duit mereka lalu memaki-maki duit. Mana mungkin kamu bisa hidup tanpa duit? Yan g bener saja. Kita hidup perlu materi. Guru itu pekerjaan yang anti pada materi, buat apa kamu menghabiskan hidup kamu untuk sesuatu yang tidak berguna? Paham?" Taksu mengangguk. "Paham. Tapi apa salahnya jadi guru?"

Istri saya melotot tak percaya apa yang didengarnya. Akhirnya dia menyembur. "Lap top-nya bawa pulang saja dulu, Pak. Biar Taksu mikir lagi! Kasih dia waktu tiga bulan, supaya bisa lebih mendalam dalam memutuskan sesuatu. Ingat, ini soa l hidup matimu sendiri, Taksu!" Sebenarnya saya mau ikut bicara, tapi istri saya menarik saya pergi. Saya tidak mungkin membantah. Di jalan istri saya berbisik. "Sudah waktunya membuat shock therapy pada Taksu, sebelum ia kejeblos terlalu d alam. Ia memang memerlukan perhatian. Karena itu dia berusaha melakukan sesuatu yang menyebabkan kita terpaksa memperhatikannya. Dasar anak zaman sekarang, akal bulus! Yang dia kepingin bukan lap top tapi mobil! Bapak harus kerja keras beli in dia mobil, supaya mau mengikuti apa nasehat kita!" Saya tidak setuju, saya punya pendapat lain. Tapi apa artinya bantahan seorang suami. Kalau adik istri saya atau kakaknya, atau bapak-ibunya yang membantah, mu ngkin akan diturutinya. Tapi kalau dari saya, jangan harap. Apa saja yang saya u sulkan mesti dicurigainya ada pamrih kepentingan keluarga saya. Istri memang sel alu mengukur suami, dari perasaannya sendiri. Tiga bulan kami tidak mengunjungi Taksu. Tapi Taksu juga tidak menghubungi kami . Saya jadi cemas. Ternyata anak memang tidak merindukan orang tua, orang tua ya ng selalu minta diperhatikan anak. Akhirnya, tanpa diketahui oleh istri saya, saya datang lagi. Sekali ini saya da tang dengan kunci mobil. Saya tarik deposito saya di bank dan mengambil kredit s ebuah mobil. Mungkin Taksu ingin punya mobil mewah, tapi saya hanya kuat beli mu rah. Tapi sejelek-jeleknya kan mobil, dengan bonus janji, kalau memang dia mau m engubah cita-citanya, jangankan mobil mewah, segalanya akan saya serahkan, nanti . "Bagaimana Taksu," kata saya sambil menunjukkan kunci mobil itu. "Ini hadiah un tuk kamu. Tetapi kamu juga harus memberi hadiah buat Bapak." Taksu melihat kunci itu dengan dingin. "Hadiah apa, Pak?" Saya tersenyum. "Tiga bulan Bapak rasa sudah cukup lama buat kamu untuk memutuskan. Jadi, singk at kata saja, mau jadi apa kamu sebenarnya?" Taksu memandang saya. "Jadi guru. Kan sudah saya bilang berkali-kali?" Kunci mobil yang sudah ada di tangannya saya rebut kembali. "Mobil ini tidak pantas dipakai seorang guru. Kunci ini boleh kamu ambil sekara ng juga, kalau kamu berjanji bahwa kamu tidak akan mau jadi guru, sebab itu mema lukan orang tua kamu. Kamu ini investasi untuk masa depan kami, Taksu, mengerti? Kamu kami sekolahkan supaya kamu meraih gelar, punya jabatan, dihormati orang, supaya kami juga ikut terhormat. Supaya kamu berguna kepada bangsa dan punya dui t untuk merawat kami orang tuamu kalau kami sudah jompo nanti. Bercita-citalah y ang bener. Mbok mau jadi presiden begitu! Masak guru! Gila! Kalau kamu jadi guru , paling banter setelah menikah kamu akan kembali menempel di rumah orang tuamu dan menyusu sehingga semua warisan habis ludes. Itu namanya kerdil pikiran. Tida k! Aku tidak mau anakku terpuruk seperti itu!"

Lalu saya letakkan kembali kunci itu di depan hidungnya. Taksu berpikir. Kemudi an saya bersorak gegap gembira di dalam hati, karena ia memungut kunci itu lagi. "Terima kasih, Pak. Bapak sudah memperhatikan saya. Dengan sesungguh-sungguhnya , saya hormat atas perhatian Bapak." Sembari berkata itu, Taksu menarik tangan saya, lalu di atas telapak tangan say a ditaruhnya kembali kunci mobil itu. "Saya ingin jadi guru. Maaf." Kalau tidak menahan diri, pasti waktu itu juga Taksu saya tampar. Kebandelannya itu amat menjengkelkan. Pesawat penerimanya sudah rusak. Untunglah iman saya cu kup baik. Saya tekan perasaan saya. Kunci kontak itu saya genggam dan masukkan k e kantung celana. "Baik. Kalau memang begitu, uang sekolah dan uang makan kamu mulai bulan depan kami stop. Kamu hidup saja sendirian. Supaya kamu bisa merasakan sendiri langsun g bagaimana penderitaan hidup ini. Tidak semudah yang kamu baca dalam teori dan slogan. Mudah-mudahan penderitaan itu akan membimbing kamu ke jalan yang benar. Tiga bulan lagi Bapak akan datang. Waktu itu pikiranmu sudah pasti akan berubah! Bangkit memang baru terjadi sesudah sempat hancur! Tapi tak apa." Tanpa banyak basa-basi lagi, saya pergi. Saya benar-benar naik pitam. Saya kira Taksu pasti sudah dicocok hidungnya oleh seseorang. Tidak ada orang yang bisa m elakukan itu, kecuali Mina, pacarnya. Anak guru itulah yang saya anggap sudah ku rang ajar menjerumuskan anak saya supaya terkiblat pikirannya untuk menjadi guru . Sialan! Tepat tiga bulan kemudian saya datang lagi. Sekali ini saya membawa kunci mobil mewah. Tapi terlebih dulu saya mengajukan pertanyaan yang sama. "Coba jawab untuk yang terakhir kalinya, mau jadi apa kamu sebenarnya?" "Mau jadi guru." Saya tak mampu melanjutkan. Tinju saya melayang ke atas meja. Gelas di atas mej a meloncat. Kopi yang ada di dalamnya muncrat ke muka saya. "Tetapi kenapa? Kenapa? Apa informasi kami tidak cukup buat membuka mata dan pi kiran kamu yang sudah dicekoki oleh perempuan anak guru kere itu? Kenapa kamu ma u jadi guru, Taksu?!!!" "Karena saya ingin jadi guru." "Tidak! Kamu tidak boleh jadi guru!" "Saya mau jadi guru." "Aku bunuh kau, kalau kau masih saja tetap mau jadi guru." Taksu menatap saya. "Apa?" "Kalau kamu tetap saja mau jadi guru, aku bunuh kau sekarang juga!!" teriak say a kalap. Taksu balas memandang saya tajam.

"Bapak tidak akan bisa membunuh saya." "Tidak? Kenapa tidak?" "Sebab guru tidak bisa dibunuh. Jasadnya mungkin saja bisa busuk lalu lenyap. T api apa yang diajarkannya tetap tertinggal abadi. Bahkan bertumbuh, berkembang d an memberi inspirasi kepada generasi di masa yanag akan datang. Guru tidak bisa mati, Pak." Saya tercengang. "O jadi narkoba itu yang sudah menyebabkan kamu mau jadi guru?"

"Ya! Itu sebabnya saya ingin jadi guru, sebab saya tidak mau mati." Saya bengong. Saya belum pernah dijawab tegas oleh anak saya. Saya jadi gugup. "Bangsat!" kata saya kelepasan. "Siapa yang sudah mengotori pikiran kamu dengan semboyan keblinger itu? Siapa yang sudah mengindoktrinasi kamu, Taksu?" Taksu memandang kepada saya tajam. "Siapa Taksu?!" Taksu menunjuk. "Bapak sendiri, kan?" Saya terkejut. "Itu kan 28 tahun yang lalu! Sekarang sudah lain Taksu! Kamu jangan ngacau! Kam u tidak bisa hidup dengan nasehat yang Bapak berikan 30 tahun yang lalu! Waktu i tu kamu malas. Kamu tidak mau sekolah, kamu hanya mau main-main, kamu bahkan ban del dan kurang ajar pada guru-guru kamu yang datang ke sekolah naik ojek. Kamu t idak sadar meskipun sepatunya butut dan mukanya layu kurang gizi, tapi itulah or ang-orang yang akan menyelamatkan hidup kamu. Itulah gudang ilmu yang harus kamu tempel sampai kamu siap. Sebelum kamu siap, kamu harus menghormati mereka, seba b dengan menghormati mereka, baru ilmu itu bisa melekat. Tanpa ada ilmu kamu tid ak akan bisa bersaing di zaman global ini. Tahu?" Satu jam saya memberi Taksu kuliah. Saya telanjangi semua persepsinya tentang h idup. Dengan tidak malu-malu lagi, saya seret nama pacarnya si Mina yang mentang -mentang cantik itu, mau menyeret anak saya ke masa depan yang gelap. "Tidak betul cinta itu buta!" bentak saya kalap. "Kalau cinta bener buta apa gu nanya ada bikini," lanjut saya mengutip iklan yang saya sering papas di jalan. " Kalau kamu menjadi buta, itu namanya bukan cinta tetapi racun. Kamu sudah terkec oh, Taksu. Meskipun keluarga pacarmu itu guru, tidak berarti kamu harus mengidol akan guru sebagai profesi kamu. Buat apa? Justru kamu harus menyelamatkan keluar ga guru itu dengan tidak perlu menjadi guru, sebab mereka tidak perlu hidup hanc ur berantakan gara-gara bangga menjadi guru. Apa artinya kebanggaan kalau hidup di dalam kenyataan lebih menghargai dasi, mobil, duit, dan pangkat? Punya duit, pangkat dan harta benda itu bukan dosa, mengapa harus dilihat sebagai dosa. Seba b itu semuanya hanya alat untuk bisa hidup lebih beradab. Kita bukan menyembahny a, tidak pernah ada ajaran yang menyuruh kamu menyembah materi. Kita hanya meman faatkan materi itu untuk menambah hidup kita lebih manusiawi. Apa manusia tidak boleh berbahagia? Apa kalau menderita sebagai guru, baru manusia itu menjadi ber adab? Itu salah kaprah! Ganti kepala kamu Taksu, sekarang juga! Ini!"

Saya gebrakkan kunci mobil BMW itu di depan matanya dengan sangat marah. "Ini satu milyar tahu?!" Sebelum dia sempat menjawab atau mengambil, kunci itu saya ambil kembali sambil siap-siap hendak pergi. "Pulang sekarang dan minta maaf kepada ibu kamu, sebab kamu baru saja menghina kami! Tinggalkan perempuan itu. Nanti kalau kamu sudah sukses kamu akan dapat 7 kali perempuan yang lebih cantik dari si Mina dengan sangat gampang! Tidak perlu sampai menukar nalar kamu!" Tanpa menunggu jawaban, lalu saya pulang. Saya ceritakan pada istri saya apa ya ng sudah saya lakukan. Saya kira saya akan dapat pujian. Tetapi ternyata istri s aya bengong. Ia tak percaya dengan apa yang saya ceritakan. Dan ketika kesadaran nya turun kembali, matanya melotot dan saya dibentak habis-habisan. "Bapak terlalu! Jangan perlakukan anakmu seperti itu!" teriak istri saya kalap. Saya bingung. "Ayo kembali! Serahkan kunci mobil itu pada Taksu! Kalau memang mau ngasih anak mobil, kasih saja jangan pakai syarat segala, itu namanya dagang! Masak sama an ak dagang. Dasar mata duitan!" Saya tambah bingung. "Ayo cepet, nanti anak kamu kabur!" Saya masih ingin membantah. Tapi mendengar kata kabur, hati saya rontok. Taksu itu anak satu-satunya. Sebelas tahun kami menunggunya dengan cemas. Kami berobat ke sana-kemari, sampai berkali-kali melakukan enseminasi buatan dan akhirnya se mpat dua kali mengikuti program bayi tabung. Semuanya gagal. Waktu kami pasrah t etapi tidak menyerah, akhirnya istri saya mengandung dan lahirlah Taksu. Anak ya ng sangat mahal, bagaimana mungkin saya akan biarkan dia kabur? "Ayo cepat!" teriak sitri saya kalap. Dengan panik saya kembali menjumpai Taksu. Tetapi sudah terlambat. Anak itu sep erti sudah tahu saja, bahwa ibunya akan menyuruh saya kembali. Rumah kost itu su dah kosong. Dia pergi membawa semua barang-barangnya, yang tinggal hanya secarik kertas kecil dan pesan kecil: "Maaf, tolong relakan saya menjadi seorang guru." Tangan saya gemetar memegang kertas yang disobek dari buku hariannya itu. Kerta s yang nilainya mungkin hanya seperak itu, jauh lebih berarti dari kunci BMW yan g harganya semilyar dan sudah mengosongkan deposito saya. Saya duduk di dalam ka mar itu, mencium bau Taksu yang masih ketinggalan. Pikiran saya kacau. Apakah su dah takdir dari anak dan orang tua itu bentrok? Mau tak mau saya kembali memakimaki Mina yang sudah menyesatkan pikiran Taksu. Kembali saya memaki-maki guru ya ng sudah dikultusindividukan sebagai pekerjaan yang mulia, padahal dalam kenyata annya banyak sekali guru yang brengsek. Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Saya seperti dipagut aliran listrik. Tetapi keti ka menoleh, itu bukan Taksu tetapi istri saya yang menyusul karena merasa cemas. Waktu ia mengetahui apa yang terjadi, dia langsung marah dan kemudian menangis. Akhirnya saya lagi yang menjadi sasaran. Untuk pertama kalinya saya berontak. K alau tidak, istri saya akan seterusnya menjadikan saya bal-balan. Saya jawab sem ua tuduhan istri saya. Dia tercengang sebab untuk pertama kalinya saya membantah

. Akhirnya di bekas kamar anak kami itu, kami bertengkar keras. Tetapi itu 10 tahun yang lalu. Sekarang saya sudah tua. Waktu telah memproses segalanya begitu rupa, sehingga semuanya di luar dugaan. Sekarang Taksu sudah menggantikan hidup saya memikul be ban keluarga. Ia menjadi salah seorang pengusaha besar yang mengimpor barang-bar ang mewah dan mengekspor barang-barang kerajinan serta ikan segar ke berbagai wi layah mancanegara. "Ia seorang guru bagi sekitar 10.000 orang pegawainya. Guru juga bagi anak-anak muda lain yang menjadi adik generasinya. Bahkan guru bagi bangsa dan negara, ka rena jasa-jasanya menularkan etos kerja," ucap promotor ketika Taksu mendapat ge lar doktor honoris causa dari sebuah pergurauan tinggi bergengsi. *** Mataram, Jakarta, 22-10-01 Jakarta, 31-12-01 Rumah-Rumah Menghadap Jalan Cerpen: Raudal Tanjung Banua Sumber: Jawa Pos,Edisi 05/01/2005 Rumah-rumah menghadap jalan, dan membuka pintu-pintunya untuk kepergian. Ia sel alu bergumam dengan nada sesal, sambil menyaksikan kendaraan bersileweran, berhe nti, datang dan pergi. Debu berhamburan dekat halaman. Di saat bersamaan, ia men dengar bunyi seruling, jauh di belakang, seperti memanggil-manggil. Tapi ia tahu , tak ada lagi barisan kerbau dihalau anak gembala ke sebentang padang rawa-rawa . Tempat itu sudah lama tiada, ditimbun, dibikin jalan baru, dan rumah-rumah bar u pun takzim menghadap jalan yang belum sempat diberi nama itu. Tentu dengan har ga tanah yang lantas mengharu-biru! Rumahnya sendiri (setengah tembok beratap seng karatan) menghadap jalan utama, yang menghubungkan kota-kota di selatan dan di utara --kota-kota yang hanya sese kali dijelangnya. Dan bila ia menjelang salah satu kota di selatan atau di utara , dengan membawa hasil keringatnya, hatinya siap teriba. Betapa tidak. Cabai yan g ia turun-pikulkan dari mobil datsun atau pick-up tumpangan, selalu saja jeblok di pasar raya. Beberapa kali ia menyimak baik-baik siaran RRI yang membacakan d aftar harga sayur-mayur, dan dadanya akan berdebar saat item cabe merah keriting disebutkan, sambil melirik sekarung goni cabainya tersandar miring di sudut din ding. Alamat menunggu busuk atau hancur. Selebihnya, ia akan lebih banyak berkeluh-kesah tentang rumah-rumah menghadap j alan, yang telah membuka pintu-pintunya untuk kepergian, tapi belum tentu meneri ma kepulangan. Ia tidaklah berlebihan. Empat orang anaknya, tiga di antaranya la ki-laki, telah lama meninggalkannya, tentu lewat jalan aspal yang terbelintang l egam di depan rumahnya itu; dan tak pulang hingga kini. Yang paling menyakitkan, satu-satunya anak perempuannya, yang diharapkan merawatnya di masa tua seperti sekarang, ikut lenyap di jalan itu. Sering ia menyesali kelok jalan dengan memba yangkan riuh pasar. Pasar yang riuh, pikirnya, mengapa tak sepenuh hati menerima keringat petani, sementara harga pupuk dan pestisida terus merangkak naik di ki os-kios langganan? Buah sesal yang agaknya telah mengantar anak-keponakan dan or ang kampungnya pergi ke perantauan, bahkan ke rantau-rantau abadi, tak pulang la gi. Dan betapa malang dia yang ditinggalkan ***

DIA yang kuceritakan ini sebenarnya adalah kakekku sendiri. Kakek Kadi orang me manggilnya, dari nama asli Khaidir; dan sebagaimana lazimnya di kampung, orang m emilih kata yang mudah dilafalkan: Khaidir jadi Kadi. Tapi itu sudah cukup meruj uk sesosok laki-laki yang sunyi, ditinggalkan cucu, anak dan istri, termasuk par a tetangga yang ia cintai. Akulah cucu satu-satunya yang menemani kakek sampai s etengah uzur. Menemani seorang uzur berarti juga mendengar keluh-kesah dan alira n lahar ceritanya, bukan? Meski sebagai pendengar (kadang tak kelewat setia) per anku dapat dikatakan kebetulan. Ya, kebetulan ayahku yang merupakan anak tertua si kakek, hendak menyeberang ke tanah jiran, sementara aku yang adalah anak tertua ayah sedang demam panas. Dan keberangkatan tak mungkin ditunda karena mereka telah membayar mahal kepada tek ong yang menentukan jadwal keberangkatan, tanpa dapat ditawar. Terpaksa aku diti nggal, dan ketika sembuh, kusadari tak ada lagi ayah-ibu serta kedua orang adikk u yang masih kecil, bahkan satu di antaranya sedang erat menyusu. Waktu itu, nen ek masih hidup. Seorang perempuan, siapa pun dia, tentu tak bakal sulit menjadi ibu, bukan? Apalagi dalam hal diriku, perempuan itu nenekku sendiri, perempuan k asih. Kehadiranku yang berangkat remaja menjadi penghiburan tersendiri bagi kakek yan g suka menghabiskan waktunya dengan memandang ujung jalan --utara atau selatan, jauh, jauh! Lalu ia akan bercerita (ah, berkeluh-kesah!) dengan nada haru. Bagin ya, ujung jalan seakan tak berkesudahan, bagai nasib para pelintas, entah sampai entah tidak. Semua itu membuatnya larut dalam renung panjang tentang jalan dan perjalanan. Tentang rumah-rumah yang ditinggalkan. Tentang kepergian yang kekal. Ketika nenek meninggal karena sakit, kakek mengira kebersamaanku dengannya akan menjadi sedikit kekal, setidaknya karena tidak mungkin seorang cucu seperti aku --yang pendiam, dan lebih suka mencorat-coret buku tulis dengan kalimat angan-akan tega meninggalkannya sebatang kara. Jelas kakek keliru tentang itu. Justru , setelah menyerap begitu banyak cerita darinya, khususnya tentang jalan yang me mbawa orang-orang pergi, diam-diam aku menjadi penasaran. Maka, dengan sedikit b ebal, kutinggalkan dia sendirian. *** TAPI aneh, setelah jauh dari kakek, ungkapannya tentang rumah-rumah menghadap j alan, malah semakin mekar dalam kepalaku. Mungkin aku terperangkap begitu jauh d alam labirin ungkapan yang mengharu-biru itu. Atau, mungkin karena aku berada di pusaran waktu yang perlahan membuktikan kebenaran ungkapannya dulu. Apa pun, semenjak meninggalkan kampung, aku selalu memperhatikan rumah-rumah di sepanjang jalan, yang sebagaimana rumah-rumah di kampungku, semua serambi, pint u utama, juga pun tingkap, memilih menghadap jalan, entah mengapa. Itulah yang j ustru menjadi renungan kakekku dari waktu ke waktu, dulu, terlebih bila kerindua n kepada anak-cucu serta keponakannya memuncak. Ya, mengapa pintu dan penutu rum ah harus menghadap ke jalan raya, seperti hendak menciumnya, seperti tak henti m enyapa, padahal telah ia bawa pergi seisi rumah? Sungguh asing! Perasaan asing yang kian menggasing bilik dadaku kini. Padahal, jauh sebelumnya aku juga sudah terbiasa menyaksikan gerobak, pedati, dan berbagai kendaraan mel ewati jalan di depan rumah. Meski memang, saat itu, kakek belum terlalu sering b erkeluh-kesah tentang kepergian; ia pun, setahuku, belum punya ungkapan khas ten tang rumah-rumah menghadap jalan. Bahkan pada masa itu aku sering ikut pedati ka kek ke sungai mengangkut pasir dan kerikil. Sepanjang jalan, roda besi pedati te rdengar gemertak dan suara genta berkecambah, ditingkahi dengus kerbau yang leti h oleh pelecut dan lobang jalanan. Sementara air pasir dan kerikil yang keruh me netes-netes di sela-sela dinding papan pedati, menyiram sepanjang jalur yang kam i lalui. Jalan aspal yang belum terlalu baik waktu itu.

Pernah, ketika aku duduk menjuntai di atas dinding pedati, rodanya yang sebelah kiri masuk ke lobang, membuat pedati miring ke kiri; dan tak pelak lagi, aku ja tuh telentang ke aspal yang legam! Aku pingsan. Kakek menyiram kepalaku dengan b ergantang air, dan ketika siuman, itulah saat aku tak pernah lagi ikut dengan pe dati tuanya. Toh tak lama sesudahnya pedati itu pun dibiarkan menganggur, terong gok di bawah pohon cempedak di belakang rumah. Kerbau penarik pedati dialihkan k akek menarik bajak di sawah. "Jalan sudah bagus dan lebar, truk-truk sudah bisa masuk hingga ke tepi sungai, membawa pasir dan kerikil lebih cepat. Biarlah peda ti mengalah," kata kakek masygul. Kakek lalu menggarap sawah dan kebunnya, meski nasibnya pun sepantun kerbau pedati; sarat beban di mana saja. Ya, jalanan yang bagus dan mulus memang telah mencampakkan pedati dan gerobak k e rumah-rumah tak berpenghuni. Sebaliknya, truk-truk bak terbuka semakin merajal ela, tidak saja mengeruk pasir dan kerikil, tapi juga tanah liat. Lihatlah, buki t-bukit pada kerowak. Aku dan anak-anak kampung lainnya sering ikut dengan sebua h truk pengangkut tanah liat yang setiap hari bisa bolak-balik empat atau lima k ali ke selatan kampung. Sepanjang jalan yang dilalui, biasanya kami melemparkan tanah liat yang lunak ke kepala orang-orang yang kami temui, sambil bersorak gem bira bila ada yang kena. Pernah, segumpal tanah liat yang kami lemparkan menclok di kepala botak seorang anak, dan kami masih sempat melihat bekasnya yang memer ah untuk beberapa detik lamanya dari atas truk yang melaju. Bagai jalan setapak di lereng bukit kelabu, lalu menghilang dari pandangan karena gerak dan laju, ja rak dan waktu. Sampai suatu ketika orang kampung menyetop truk kami, memperingat kan sopir, Pak Mua, agar jangan membawa anak-anak kecil yang menjengkelkan seper ti kami. Sejak itu, kami kehilangan dunia yang bergerak dan laju, meskipun hanya sebatas kampung. Padahal kampung pada waktu itu terasa alangkah luas, alangkah jauh, bagai tak tersentuh. Untuk sampai ke sudut-sudut kampung, jarak terasa tak mudah ditempuh. Meski pada saat itu sudah banyak orang kampungku yang pergi merantau, ke dunia yang hanya ada dalam anganku, sehingga seringlah aku membayangkan kota manakah g erangan yang mereka tuju. Aku mendengar cerita tentang jalan yang lazim dilalui ke rantau tujuan, seperti "Lobang Kelam" dan "Kelok Sembilan". Bertahun-tahun ke mudian aku tahu bahwa yang satu adalah terowongan batu di kaki bukit dan yang sa tu lagi adalah jalan dengan patahan tajam di perbatasan; kebetulan ada sembilan kelok. Cerita dan istilah yang kudapatkan dari para perantau, seingatku sama asi ng dan barunya dengan kepulangan mereka dari rantau. Kepulangan yang ditandai su ara bis yang mencericit, dan seketika benda besar yang bergerak itu telah terteg ak di depan rumah! Suasana yang bakal mendatangkan denyut dan hiburan tersendiri bagi setiap orang di kampung yang membosankan. Semua mata di jendela, di pintu atau serambi rumah, akan nyalang menghadap jalan, dengan dada berdegup menduga s iapakah yang bakal turun? Adakah famili yang dinanti atau keluarga yang lama per gi? Bila yang turun sudah diketahui, orang-orang akan bergumam sebentar, "O, si Anu!" tapi tak lantas kehilangan rasa memiliki. Mereka akan berlari ke tepi jala n, membantu kernet bis menurunkan beban, sampai akhirnya bis yang telah membawa si perantau dari kota, entah di mana, segera melanjutkan perjalanan. Maka si per antau yang baru datang akan dikerumuni orang sekampung, sekadar menyapa atau ber tanya apa kabar, syukur-syukur terbetik sedikit berita tentang orang kampung lai nnya yang kebetulan satu rantauan. Aku baru mulai menginjakkan kaki di kota-kota yang lebih jauh, ketika tetanggak u membeli sebuah bis antarkota --hasil penjualan tanah warisan. Aku membantu-ban tu menjadi kernet, dengan si Ujang sebagai kernet resmi, sehingga jelas aku tida k digaji. Tapi aku senang, melewati jalanan, melintasi rumah-rumah --menghadap j alan! Kadang dari jendela bis yang melaju kulihat juga bulan pucat ikut berlari bersama kami, memintas jarak dan waktu. Jarak dan waktu jualah yang kemudian membawaku (tak kalah pucat!) ke kota-kota lain yang belum terbayangkan sebelumnya. Dan ungkapan kakek pun kekal di setiap

langkah. Ya, karena sepanjang jalan yang kulalui, semua rumah seperti tunduk dan berserah ke jalan raya, bahkan di kota-kota yang padat kusaksikan rumah-rumah b agai berlomba menjengukkan wajah dan pintu-pintunya ke luar dari sesak ruang, me natap gang dan jalan-jalan aspal yang melingkar. Ketika untuk pertama kalinya ak u menuju kota luar pulau, kusaksikan rumah-rumah di sepanjang pelabuhan penyeber angan masih berebut menghadap ujung jalan dan ramai-ramai membelakangi selat yan g menjadi jalan raya kapal-kapal. Mengapa rumah-rumah harus menghadap jalan, dan itu pun sebatas jalan darat, jalan aspal yang keras dan legam? Ketika naik kereta api ke lain kota, aku pun menyaksikan rumah-rumah yang berde ret membelakangi rel, tempat dari mana asap dapur yang ramping, sesekali berjaba t sesaat dengan kepulan asap di cerobong lokomotif --yang terus menjerit dan mel enguh sampai jauh. Mengingatkan suara seruling dan lenguh kerbau yang memang mes ti bergema di padang-padang sunyi belakang rumah. Kemudian, aku menyeberang ke p ulau yang lebih jauh, yang terkenal dengan sungai-sungainya yang lebar dan panja ng, kusaksikan rumah-rumah bertiang tinggi yang dibangun di atas air, juga membe lakangi arus sungai, dan ramai-ramai menghadap jalan aspal yang terkelupas dan h ancur. Hanya ruang belakang rumah yang menghadap air, dengan kaki-kaki tiang men yanggah kakus, tempat mencuci dan kamar mandi; sumber segala kotoran dan polusi. Di atas tiang-tiang kelabu itulah, di antara kapal-kapal penarik kayu gelondong an dan kapal batubara yang terlihat seperti pulau hitam, aku sering tegak menata p kejauhan. Menatap kapal-kapal hitam karatan lainnya di ujung sana, bergerak pe rlahan bagai waktu yang melarutkan diriku di rantau orang. Juga kayu-kayu kuning -kelabu karena kulitnya lepas atau terkelupas (berhari-hari dari hulu), kini ter belintang bagai daratan kuning, sunyi dan asing, menggenapkan kenangan waktu dal am diriku. *** JADI, adakah di dunia ini sebuah kampung di mana rumah-rumahnya tidak menghadap jalan? Bertahun-tahun merantau, dengan ingatan yang lumayan kekal akan ungkapan kakek, aku selalu merindukan kampung yang demikian. Kubayangkan, sebuah kampung dengan rumah-rumah melingkar, saling berhadapan, sehingga di tengah-tengahnya t ercipta sebuah tanah lapang. Itulah tanah halaman yang membentuk ruang bersama t empat anak-anak bermain kala terang bulan, dan orang-orang saling berbincang han ya dari penutu atau serambi rumahnya, bersahut-sahutan dengan satu kesungguhan. Banyak yang mungkin mereka percakapkan, tapi yang pasti menyiratkan satu hal: "J angan pergi!" Tapi di manakah ada kampung seperti itu? Ke manakah harus kucari? Adakah ia di hulu sungai terjauh, atau harus kubangun sendiri di sebalik bukit k elabu? Aku tak tahu. Sampai suatu hari, ketika menonton televisi di warung kopi langganan kami, aku menyaksikan sebuah acara unik: seorang laki-laki tua memanjat pohon cempedak di belakang rumahnya, dan bersikeras tak mau turun, konon sudah bertahun-tahun! Mak anan dan segala kebutuhannya harus digeret oleh tetangga lewat tali yang digantu ngkan ke dahan. Kulihat juga sebuah bangkai pedati di bawah pohon itu, dipenuhi serakkan daun-daun gugur. Alangkah senyap! Aku terhenyak, sekaligus takjub. Laki -laki itu, laki-laki itu, tidak salah lagi, kakekku! Ia disebut dengan nama leng kapnya: Sutan Khaidir Mahmuda! Menurut penyiar televisi, si kakek tak mau turun karena dengan cara itulah ia merasakan rumahnya tak lagi menghadap jalan. Bagi Sutan Khaidir, jalan darat tak lain sebuah kealpaan: memudahkan siapa saja untuk pergi, tapi tidak untuk kembali. Sering ia bertanya, mengapa negeri bahar i ini luput memanfaatkan jalan air? Sungai dan lautan hanya sekadar tempat menca ri ikan --itu pun tak maksimal-- dan sama sekali lalai membacanya sebagai jalan raya maha sempurna yang akan menghubungkan kita dengan pulau-pulau, ujung benua, segala bangsa. Dan di sana angin senantiasa bertiup, gelombang dan arus mengali r; memudahkan siapa pun untuk pulang. Tapi lihatlah, katanya, rumah-rumah di pan tai, di tepi sungai, sengaja dibangun membelakangi tiang layar, lengkung perahu dan kapal-kapal, hanya demi jalan darat yang keras dan legam!*

Disebutkan pula, puncak kekecewaan Sutan Khaidir adalah ketika cucu kesayangann ya ikut pergi menyusuri jalan lempang di depan rumahnya itu! Sejak itu ia memutu skan naik ke pohon. (Kamera zoom; seraut wajah tua tengadah kukuh menatap jagad raya). "Ini jalan lain, jalan lurus ke langit, di mana saya tak perlu berpikir k e utara atau selatan, timur atau barat, kiri atau kanan, tapi ke atas, ke atas, ke langit pembebasan ." Aku yang sekarang bekerja di pusat penggergajian kayu di tepi Sungai Mahakam, h anya bisa menahan sedu. Tak sanggup kuhirup kopiku, meski tahu jam istirahat seb entar lagi berakhir dan lenguh chin-show beserta gergaji-gergaji panjang akan me nguasai keadaan. "Hap! Tak tahu dia, di atas kan ada pesawat terbang lewat?!" seorang kawan seke rja nyeletuk mengomentari tayangan itu, lalu tertawa terpingkal. "Bahkan kalau ia membangun rumah karang di dasar lautan, juga ada kapal selam y ang bakal lewat!" seseorang lain menimpal. "Ke bulan sekalipun!" "Bahkan di langit ke tujuh ada buraq dan kepak malaikat!" Suasana lalu riuh oleh tawa. Hanya aku yang takjub. Hanya aku yang terkesima. D i kepalaku berkelabat keinginan serupa; masuk ke hutan lebih dalam, jauh dari ja lanan yang ramai dan hibuk. Akan kubangun rumah pohon di bawah lindungan atap ka nopi, di atas kekokohan dahan-dahan, seperti burung enggang membuat sarang. Tapi , aduh, di manakah tempat aman untuk sebuah rumah pohon sedang jerit enggang dan orang hutan terus-menerus menyayat perasaan, di antara pohon-pohon rubuh dan te rbakar? Entah, entah Tiba-tiba aku teringat satu kata, "Pulang!" Samarinda-Yogyakarta, 2004-2005 Catatan: * Diadaptasi dari ungkapan Pramoedya Ananta Toer dalam forum "Pram dan Kita" ya ng diadakan Insist-AKY di Yogyakarta, 14 Februari 2003; yang sekaligus menjadi g agasan awal cerpen ini. Konvensi Post:04/13/2005 Disimak: 250 kali Cerpen: A Mustofa Bisri Sumber: Jawa Pos,Edisi 04/10/2005 Sungguh aku bersyukur. Sebagai dukun yang semula paling-paling hanya nyapih dan nyuwuk anak kecil monthah, rewel dan nangis terus, atau mengobati orang disenga t kalajengking, kini --sejak seorang sahabatku membawa pembesar dari Jakarta ke rumah-- martabatku meningkat. Aku kini dikenal sebagai "orang pintar" dan dipang gil Mbah atau Eyang. Aku tak lagi dukun lokal biasa. Pasienku yang semakin hari semakin banyak sekarang datang dari mana-mana. Bahkan beberapa pejabat tinggi da n artis sudah pernah datang. Tujuan para pasien yang minta tolong juga semakin b eragam; mulai dari mencarikan jodoh, "memagari" sawah, mengatasi kerewelan istri , hingga menyelamatkan jabatan. Waktu pemilu kemarin banyak caleg yang datang de

ngan tujuan agar jadi. Tuhan kalau mau memberi rezeki hamba-Nya memang banyak jalannya. Syukur kepada Tuhan, kini rumahku pun sudah pantas disebut rumah. Sepeda onthel-ku sudah kuber ikan pembantuku, kini ke mana-mana aku naik mobil Kijang. Pergaulanku pun semaki n luas. Nah, di musim pemilihan kepala daerah atau pilkada saat ini, tentu saja aku iku t sibuk. Dari daerahku sendiri tidak kurang dari sepuluh orang calon yang datang ke rumah. Tidak itu saja. Para pendukung atau tim sukses mereka juga datang unt uk memperkuat. Mereka umumnya minta restu dan dukungan. Sebetulnya bosan juga me ndengarkan bicara mereka yang hampir sama satu dengan yang lain. Semuanya pura-p ura prihatin dengan kondisi daerah dan rakyatnya, lalu memuji diri sendiri atau menjelekkan calon-calon lain. Padahal, rata-rata mereka, menurut penglihatanku, hanya bermodal kepingin. Beberapa di antara mereka bahkan bahasa Indonesianya sa ja masih baikan aku. Tapi ada juga timbal-baliknya. Saat pulang, mereka tidak lu pa meninggalkan amplop yang isinya lumayan. *** Pagi itu dia datang ke rumah sendirian. Tanpa ajudan. Padahal, kata orang-orang , ke mana-mana dia selalu dikawal ajudan atau stafnya. Pakaian safari --kata ora ng-orang, sejak pensiun dari dinas militer, dia tidak pernah memakai pakaian sel ain stelan safari-- yang dikenakannya tidak mampu menampil-besarkan tubuhnya yan g kecil. Demikian pula kulitnya yang hitam kasar, tak dapat disembunyikan oleh w arna bajunya yang cerah lembut. Bersemangat bila berbicara dan kelihatan malas b ila mendengarkan orang lain. Mungkin karena aku justru termasuk orang yang agak malas bicara dan suka mendengar, maka dia tampak kerasan sekali duduk lesehan di karpetku yang butut. Dia cerita bahwa sebentar lagi masa jabatannya sebagai bupati akan habis. Tapi dia didorong-dorong --dia tidak menyebutkan siapa-siapa yang mendorong-dorongnya -- untuk maju mencalonkan lagi dalam pilkada mendatang. Sebetulnya dia merasa be rat, tapi dia tidak mau mengecewakan mereka yang mengharapkannya tetap memimpin kabupaten yang terbelakang ini. "Nawaitu saya cuma ingin melanjutkan pembangunan daerah ini hingga menjadi kabu paten yang makmur dan berwibawa," katanya berapi-api. "Saya sedih melihat kawankawan di pedesaan, meski saya sudah berbuat banyak selama ini, masih banyak di a ntara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Perjuangan saya demi rakyat d aerah ini khususnya, belum selesai." "Saya sudah menyusun rencana secara bertahap yang saya perkirakan dalam masa li ma tahun ke depan, akan paripurna pengentasan kemiskinan di daerah ini. Saya tah u, untuk itu hambatannya tidak sedikit." Dia menyedot Dji Sam Soe-nya dalam-dala m dan melanjutkan dengan suara yang sengaja dilirihkan. "Njenengan tahu, orang-o rang yang selama ini ada di sekeliling saya, yang resminya merupakan pembantu-pe mbantu saya, justru malah hanya mengganggu. Sering menjegal saya. Mereka sering mengambil kebijaksanaan sendiri dengan mengatasnamakan saya. Lha akhirnya saya k an yang ketiban awu anget, terkena akibatnya. Sekarang ini beredar isu katanya b upati menyelewengkan dana ini-itu; bupati menyunati bantuan-bantuan untuk masyar akat; bupati membangun rumah seharga sekian miliar di kampung asalnya; dan isu-i su negatif lain. Ini semua sumbernya ya mereka itu." "Namun itu semua tidak menyurutkan tekad saya untuk tetap maju demi rakyat daer ah ini yang sangat saya cintai. Saya mohon restu dan dukungan Panjenengan. Saya berjanji dalam diri saya, kalau nanti saya terpilih lagi, akan saya sapu bersih sampah-sampah yang tak tahu diri itu dari lingkungan saya." Dia menyebut beberapa nama yang selama ini memang aku kenal sebagai pembantu-pe

mbantu dekatnya. Aku hanya mengangguk-angguk dan sesekali memperlihatkan ekspres i heran atau kagum. Sikap yang ternyata membuatnya semakin bersemangat. "Jadi Sampeyan sudah siap betul ya?" tanyaku untuk pantas-pantas saat dia sedan g menghirup tehnya. Buru-buru dia letakkan gelas tehnya dan berkata, "Alhamdulillah, saya sudah mel akukan pendekatan kepada Pak Kiai Sahil. Bahkan beliau mengikhlaskan putranya, G us Maghrur, untuk mendampingi saya sebagai cawabup." Kiai Sahil adalah seorang tokoh sangat berpengaruh di daerah kami. Partai terbe sar di sini tak bakalan mengambil keputusan apa pun tanpa restu dan persetujuan kiai yang satu ini. Sungguh cerdik orang ini, pikirku. "Kiai Sahil sudah memanggil pimpinan partai Anu dan dipertemukan dengan saya. D an tanpa banyak perdebatan, disepakati saya sebagai calon tunggal bupati dan Gus Maghrur pendamping saya sebagai cawabup. Mudah-mudahan bermanfaat bagi masyarak at yang sudah lama mendambakan pemimpin yang kuat ini dan mampu mengantarkan mer eka kepada kehidupan yang lebih layak." *** Sesuai pembicaraan di telepon sebelumnya, malam itu sekda datang bersama istrin ya. Sementara istrinya ngobrol dengan istriku, dia langsung menyampaikan maksud tujuannya. "Langsung saja, Mbah; maksud kedatangan kami selain bersilaturahmi dan menengok kesehatan Simbah, kami ingin mohon restu. Terus terang kami kesulitan menolak k awan-kawan yang mendorong kami untuk mencalonkan sebagai bupati. Lagi pula meman g selama periode kepemimpinan bupati yang sekarang, Panjenengan tahu sendiri, ta k ada kemajuan yang berarti. Saya yang selama ini mendampinginya setiap saat mer asa prihatin, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Saya harus tutup mata dan teling a bila melihat dan mendengar tentang penyelewengan atasan saya itu." "Jadi, selama ini, Sampeyan tidak pernah mengingatkan atau menegurnya bila meli hat dia berbuat yang tidak semestinya?" tanyaku. "Ya tidak sekali dua kali," sahutnya, "tapi tak pernah didengarkan. Mungkin dia pikir saya kan hanya bawahannya. Setiap kali saya ingatkan, dia selalu mengatak an bahwa dialah bupatinya dan saya hanya sekretaris; dia akan mempertanggungjawa bkan sendiri semua perbuatannya. Lama-lama saya kan bosan. Ya akhirnya saya diam kan saja. Pikir saya, dosa-dosanya sendiri." "Tapi akibatnya kan bisa juga mengenai orang banyak?!" "Lha, itulah, Mbah, yang membuat saya prihatin dan terus mengganggu nurani saya . Tapi ke depan hal ini tidak boleh berulang. Saya dan kawan-kawan sudah berteka d akan menghentikannya. Bila nanti saya terpilih, saya tidak akan biarkan prakte k-praktek tidak benar seperti kemarin-kemarin itu terjadi. Saya akan memulai tra disi baru dalam pemerintahan daerah ini. Tradisi yang mengedepankan kejujuran da n tranparansi. Pemerintahan yang bersih. Kasihan rakyat yang sekian lamanya tida k mendapatkan haknya, karena kerakusan pemimpinnya. Saya tahu persis data-data p otensi daerah ini yang sebenarnya tidak kalah dari daerah-daerah lain. Seandainy a dikelola dengan baik, saya yakin daerah ini akan menjadi maju dan tidak mustah il bahkan paling maju di wilayah propinsi." "Jadi Sampeyan sudah siap betul ya?" Aku mengulang pertanyaanku kepada bosnya t empo hari."Ya, mayoritas pimpinan partai saya, Partai Polan, dan pengurus-pengur us anak cabangnya sudah setuju mencalonkan saya sebagai bupati dan Drs Rozak dar i Partai Anu sebagai cawabupnya. Jadi nanti koalisi antara Partai Polan dan Part

ai Anu. Menurut hitungan di atas kertas suara kedua partai besar ini sudah lebih dari cukup." "Lho, aku dengar Partai Anu sudah mencalonkan bos Sampeyan berpasangan dengan G us Maghrur?" selaku. "Ah, itu belum resmi, Mbah. Beberapa tokoh dari Partai Anu yang ketemu saya, ju stru menyatakan tidak setuju dengan pasangan itu. Pertama, karena mereka sudah m engenal betul bagaimana pribadi bos saya dan meragukan kemampuan Gus Maghfur. It u kan akal-akalannya bos saya saja. Gus Maghfur hanya dimanfaatkan untuk meraup suara mereka yang fanatik kepada Kiai Sahil." *** Konferensi Cabang Partai Anu yang digelar dalam suasana demam pilkada, meski se mpat memanas, namun berakhir dengan mulus. Drs Rozak terpilih sebagai ketua baru dengan perolehan suara cukup meyakinkan, mengalahkan saingannya, Gus Maghrur. Drs Rozak bergerak cepat. Setelah kelengkapan pengurus tersusun, langsung mengu ndang rapat pengurus lengkap. Di samping acara perkenalan, rapat pertama itu jug a memutuskan: DPC akan mengadakan konvensi untuk penjaringan calon-calon bupati dan wakil bupati. Drs Rozak menyatakan dalam konferensi pers bahwa selama ini pa rtainya belum secara resmi menetapkan calon dan inilah saatnya secara resmi part ai pemenang pemilu kemarin ini membuka pendaftaran calon dari mana pun. Bisa dar i tokoh independen, bisa dari partai lain. Ditambahkan oleh ketua baru ini, bahw a dia sudah berkonsultasi dengan Dewan Pimpinan Pusat Partai dan diizinkan melak ukan konvensi tidak dengan sistem paket. Artinya, masing-masing mendaftar sebaga i calon bupati atau wakil bupati dan baru nantinya ditetapkan siapa berpasangan dengan siapa. Tak lama setelah diumumkan, banyak tokoh yang mendaftar, baik sebagai calon bup ati maupun calon wakil bupati. Termasuk di antara mereka yang mendaftar sebagai cabup: bupati lama dan sekdanya. Menurut keterangan panitia konvensi, agar sesua i dengan prinsip demokrasi, calon-calon akan digodok, dipilih, dan ditetapkan me lalui pertemuan antara pengurus cabang lengkap, pengurus-pengurus anak cabang, d an organisasi-organisasi underbow partai; dengan ketentuan partai hanya akan men calonkan satu cabup dan satu cawabup. Semua orang menunggu-nunggu hasil konvensi partai terbesar di kabupaten itu. Ma klum Partai Anu merupakan partai yang diyakini menentukan. Apalagi sebelumnya su dah ramai dan simpang siur berita mengenai calon-calon dari partai ini. Orang-or ang tak ingin terus menduga-duga apakah benar partai yang katanya menyesal dulu mendukung bupati yang sekarang akan mencalonkannya lagi berpasangan dengan Gus M aghrur, putra Kiai Sahil sesepuh partai. Dan apakah sekda yang konon dicalonkan oleh Partai Polan benar akan berpasangan dengan Drs Rozak yang kini menjadi ketu a Partai Anu. Singkat cerita, konvensi berjalan dengan mulus. Sesuai kesepakatan, calon bupat i dipilih sendiri dan calon wakil bupati dipilih sendiri pula. Kemudian yang ter pilih sebagai cabup dipasangkan dengan yang terpilih sebagai cawabup. Hasilnya s ungguh mengejutkan banyak orang, terutama bupati lama dan sekdanya. Ternyata yan g terpilih dan disepakati menjadi calon-calon partai ialah Drs Rozak sebagai cab up dan Ir Sarjono, ketua Partai Polan sebagai cawabupnya. *** "Itulah politik," kataku kepada istriku yang tampak bingung setelah mendengar c eritaku. "Untung aku tidak tergiur ketika ada yang menawariku --dan kamu ikut me ndorong-dorongku-- untuk ikutan maju sebagai cawabup!" ***

Rimbi Cerpen: Gunawan Maryanto Sumber: Jawa Pos,Edisi 04/03/2005 LANG, PULANG. LENDHUT MATI. DIBAKAR ORANG. (PAPA) Pesan singkat itu terlambat sampai padaku. Menyelinap di antara setumpuk pesan pekerjaan dan omong kosong. Entah dari mana Papa mendapatkan nomorku. Tak ada wa ktu untuk mempertanyakannya. Oke. Aku pulang. Hanya ada dua hal di kepalaku selama perjalanan. Papa dan Lendhut. Tapi dua hal itu sudah terlalu banyak untuk jarak tempuh yang rasanya sangat pendek ini. Mer eka datang bergantian dan tak jarang saling tabrak seperti hendak merebutku dari gerbong kereta. Sementara Dixie Chicks di telingaku terus mengulang lagu tentan g rumah yang jauh dan padang-padang rumput. Mereka semua pada akhirnya membuatku tak berada di mana-mana. Aku meninggalkan rumah ketika ia sudah tak mendapat tempat lagi dalam kepalaku, demikian pula sebaliknya. Aku pergi beberapa hari sebelum ujian akhir di SMA-ku berlangsung. Beberapa hari sebelum pernikahan Papa dirayakan. Sepuluh tahun yan g lalu. Malam itu dengan sengaja aku merokok di depannya dengan harapan ia segera menam parku dan aku tak butuh lagi alasan buat pergi. Tapi ia cuma duduk diam di seber ang meja. Ia bahkan tak menatapku. Mungkin aku hanya segulung asap tembakau. Asap itu dengan cepat melesat dibawa angin ke tanah lapang. Mengental dan terpa ntul-pantul di rumputan yang tak rata dan sepasang kaki cokelat tua tanpa sepatu , entah datang dari mana, segera menyambutnya. Sepasang kaki itu dengan lincah m emainkannya. Menggiring dan menjadikannya bola sepenuhnya. Lendhut! Aku berteriak. Aku seperti mengenalnya. Sepasang kaki itu berhenti seb entar dan kemudian berlari mendekatiku. Hingga sepasang kaki itu berdiri tegak t epat di mukaku. Aku tahu itu Lendhut. Tapi bagaimana aku bisa memastikannya jika hanya sepasang kaki saja yang sanggup kulihat. Aku mendongak. Hanya langit. Tak ada sms. Aku pesan kopi panas. Cirebon sudah lewat. Aku menggosok-gosok aku yang pedih. Siapa yang membakarmu, Ndhut? Bagaimana mereka melakukannya? berusaha mengingat seluruh hal tentang dirimu. Tapi hanya sanggup mengingat asang kakimu. Yang menggiring bola di tanah lapang. Dan yang mengayuh sepeda boncengkanku pulang-pergi sekolah. Bagian dirimu yang lain, entah siapa yang ah merebutnya dariku? Atau aku memang telah meninggalkannya malam itu? mat Aku sep mem tel

Kata Papa, Lendhut masih terhitung saudaraku. Bapak Lendhut adalah anak emas Ya ng Kung meski ia bukan anak kandungnya. Separuh tanah Yang Kung seluas seperempa t kampung diberikan begitu saja pada Pakde Gito. Tapi tiga tahun kemudian tanah itu telah sama sekali bukan milik salah satu dari kami. Digadaikan Pakde di meja judi dan tak pernah tertebus lagi. Lalu mereka sekeluarga pindah sampai beberap a tahun kemudian Lendhut datang dan tidur di kamarku. Aku sudah lima tahun waktu itu. Dan ia tak pernah pergi-pergi lagi sampai aku pergi malam itu. Jam enam pagi aku sampai di Jogja. Aku buru-buru masuk taksi dan taksi sudah se rupa becak di kota ini -tawar-menawar harga, aku tak peduli. Aku pingin segera s ampai rumah dan bertemu Lendhut. Aku hampir-hampir tak mengenali lagi rumahku. Tiga buah tenda dipasang memanjan

g di jalan depan rumah. Kursi-kursi lipat dan orang-orang yang mesti kukenali la gi meski sebagian dari mereka langsung mengenalku begitu aku mendekat. "Kapan datang, Lang?" "Barusan. Mana Lendhut?" "Masih di rumah sakit. Sebentar lagi paling sudah dibawa kemari. Aku juga belum lihat." "Remuk, Lang," tambah Parlin. Atau Parmin. Aku tak yakin. "Aku tak bisa percaya bahwa tubuh hangus itu Lendhut." "Persis lendhut tenan (lumpur beneran)!" celetuk seseorang di pojokan. Semua te rtawa. Jadi aku tak mendapat apa-apa. Selain kelakar dan Lendhut dibakar orang hingga mati di terminal. Sebagian bilang Lendhut maling. Sebagian bilang Lendhut bertem an dengan maling. Tak penting. Yang penting Lendhut telah mati dengan cara malin g. Aku masuk ke dalam mencari Papa. "Papamu ke rumah sakit," kata seseorang tanpa kutanya. Aku menuju bekas kamarku . Tak ada yang berubah. Seolah aku baru saja meninggalkannya tadi malam. Kuletak kan tas dan bergegas ke kamar mandi. Kamar mandi yang mengingatkanku pada kemati an yang lain. Kamar mandi menyembunyikanku dari kabar kematian. Memelukku dengan dingin seper ti tengah berkeras menenangkanku. Dan seluruh peristiwa di hari itu, tepat di ul ang tahunku yang keduabelas, seperti berlangsung dalam air. Lambat, tenang dan d ingin. Aku tak sedikit pun ingin menangis. Aku bangun kesiangan dan menemukan rumah sudah kosong. Selembar kertas di meja belajar: Papa dan Mama ke rumah sakit. Kalau lapar datang saja ke rumah Yang Ti. Papa. Aku segera ke rumah Yang Ti, bukan karena lapar, tapi pingin tahu apa yang teng ah terjadi sepanjang aku tidur. Tadi malam aku tak sempat ketemu Mama. Ketika Pa pa menjemputku dari sekolah, setelah seharian aku dan teman-teman sekelasku perg i ke Demak, Kudus dan Jepara, ia sudah tidur dalam kamarnya. Yang Ti segera menyiapkan sarapan begitu tahu aku datang. "Bapakmu ngantar Ibumu ke rumah sakit. Kau akan segera punya adik." Aku jadi lapar dan segera ke meja makan. Brongkos dan telur rebus hangat. Di te ngah-tengah aku makan Papa datang membawa tas pakaian Mama. Ia langsung mengajak Yang Ti ke belakang. "Adik gimana, Pa?" Papa tersenyum. Sedikit aneh. "Kamu maem yang banyak, ya," katanya. Aku sempat melihat ada bercak darah di tas itu. Aku melanjutkan makan tapi mulutku tak mera sakan apa-apa. Aku mengambil nasi lagi. Selesai aku makan rumah Yang Ti sudah penuh orang. Tetangga-tetanggaku. Aku tak tahu apa yang tengah mereka kerjakan. Tapi menurutku mereka tengah mempersiapka n sebuah perayaan. Papa mengecup keningku dan pergi lagi. Ke rumah sakit njemput Mama dan adik, katanya. Aku sedikit tak percaya.

Untung tak pernah ada yang rahasia bagi para tetangga. Dari mereka aku dengar a dikku meninggal begitu dilahirkan. Dan Mama masih dirawat di rumah sakit. Aku pu lang ke rumah sendirian. Mengunci diri di kamar mandi. Sirene ambulan dan suara orang-orang. Suara kursi lipat dilipat dan disingkirka n. Suara orang mengaji. Aku masih bertahan di kamar mandi. Telanjang bulat sambi l mengingat-ingat wajah Lendhut. Tapi wajah itu sudah terbakar jauh sebelum oran g-orang di terminal itu membakarnya. Sekali lagi hanya sepasang kaki yang datang dan mengajakku berlari di tanah lapang. "Lang. Lang!" suara Papa terdengar lebi h tua dari yang seharusnya. Aku mengambil sebungkus rokok dari saku celana yang tergantung di pintu kamar mandi. Menyalakannya sebatang dan mengembalikan sisany a ke tempat semula. "Sebentar, Pa. Aku belum bersiap menemui kalian." Kamar mandi berkabut. Aku seperti berendam di Sipoholon. Sebuah tempat terjauh yang sanggup aku bayangkan sebagai pelarian. "Lang, ikut sholat jenazah, nggak?" suara Papa memanggilku kembali. Aku sholat bersama Lendhut. Di depan kami, tubuh Mama terbaring tenang diselimu ti rapat-rapat kain batik Yang Ti. Ini adalah sholat jenazahku yang pertama. Tap i apa yang diajarkan Pak Budi, guru agama SD-ku, sama sekali tak berguna. Aku lu pa seluruh bacaan dan tata caranya. Jadi aku hanya berdiri diam dan bersedekap s ambil terus mengulang Al Fatihah. Kulirik Lendhut. Ia juga tak jauh berbeda. Kami selesai ketika Papa berbisik di telingaku, "Lang, sholatnya sudah. Mamamu sudah mau berangkat." "Lang, cepat. Lendhut sebentar lagi diberangkatkan." Aku memaksa diriku keluar. Ruangan tengah masih penuh pelayat. Aku menyelinap mendekati jenazah Lendhut. P apa tak ada di sana. Lendhut terbujur di keranda, diselimuti kain hijau kusam dan huruf-huruf Arab y ang tak terbaca lagi. Aku berdiri tepat di sebelah kepalanya. Berdoa setenang-te nangnya. Aku tak tahu telah berapa lama berdiri seperti ini. Juga berapa lama or ang-orang itu telah bersabar menungguku selesai. Aku merasa baru saja selesai be rmain bersama Lendhut. Berlarian di kebun belakang sambil memunguti rontokan mel injo di tanah dan membakarnya di tungku Yang Ti. Seseorang menggamit tanganku dan menarikku ke belakang. Ia terus memegang tanga nku. Beberapa lelaki muda segera bersiap di sisi-sisi keranda. Tanpa aba-aba mer eka mengusung keranda itu keluar. Seluruhnya berlangsung dalam ketenangan yang l uar biasa. Baru ketika keranda itu keluar aku menoleh pada seseorang yang masih memegang erat tanganku. Arimbi. Gusti Allah, kenapa demikian mudah aku melupakan nya? Arimbi adalah seorang raksesi, kata Mamaku. Raksasa putri. Maka ketika ada seor ang gadis cilik memperkenalkan dirinya sebagai Arimbi aku langsung merasa diriku adalah Bima yang sedang dikejar-kejarnya. Bima yang seluruh tubuhnya merinding karena jijik dan takut. Tapi Lendhut sangat baik padanya. Mungkin ia adalah Kres na, si hitam, yang menjadi penghubung pertemanan kami. Ia dan keluarganya tinggal di rumah seberang kebun belakang kami. Belum lama pi ndah dari kota. Ia tak punya saudara, katanya, tapi aku merasa ia punya banyak s audara. Paling tidak ia punya seorang kakak bernama Arimba. Dan ia menangis keti ka pertama kali kubilang raksesi. Tapi siang berikutnya ia sudah duduk di batu pagar melihat aku dan Lendhut berm

ain kelereng. Dua siang berikutnya ia sudah ikut bermain bersama kami. Lalu tanp a direncanakan kami menjadi tiga sekawan yang sepertinya tak akan terpisahkan. B ima-Arimbi-Kresna. Kebun belakang menjelma hutan Pringgandani. Semuanya harus tu nduk pada perintah kami, kecuali tukang tebas melinjo. Selain membawa pisau, ia juga berani memanjat pohon melinjo. Kata Yang Ti, siapa pun yang jatuh dari poho n melinjo, serendah apa pun, ia tak akan selamat. Jadi mereka, sepasang suami is tri yang selalu datang dengan sepeda dan karung plastik, adalah orang sakti, kar ena tak pernah jatuh dari pohon melinjo. Jadi kami hanya melihatnya dari bawah s ambil mengumpulkan melinjo yang jatuh terlalu jauh dari pohonnya. Hanya merekala h, melinjo-melinjo yang kebanyakan masih hijau itu, hak kami selaku penguasa di sini. "Mbi." Ia tertunduk. Aku hampir-hampir tak mengenalnya. Tangannya gemetar seper ti menahan sesuatu. Sesuatu yang terus berjatuhan dari dalam tubuhnya. Sesuatu y ang datang dari sebuah tempat bernama Pringgandani. Kami, aku dan Rimbi pernah menikah suatu kali di kebun belakang. Lendhut merang kai mahkota dari daun nangka pertanda ia merestui pernikahan kami. "Mbi, kenapa diam? Lendhut sebentar lagi berangkat. Kamu ikut mengantar, kan?" Sesuatu terus berjatuhan dari dalam perutnya. "Tidak, Lang. Kami tak akan ke mana-mana." Jogjakarta, 2002/2004 Catatan: Versi kedua dari Rimbi: Seperti Bunga Jatuh ke Tanah (Deep Space Blue and Testi mony, AKYPress, 2002) Lelaki Muda dan Gadis Kecil Cerpen: FR Susanti Sumber: Jawa Pos,Edisi 03/27/2005 "Tamu Bu," Bibi membungkuk santun, mengarahkan ibu jarinya ke ruang depan. "Siapa?" tanyaku sambil melipat koran, melepas kaca mata. "Tidak tahu Bu, belum pernah ke mari." Aku mengangguk. Bangkit dengan benak penuh tanya, aku yakin tamu itu bukan tema n bisnisku, karena ini hari Minggu. Bukan pula saudara, karena biasanya mereka m enelepon lebih dulu memastikan aku ada di rumah. Mungkin saudara jauh atau teman lama yang tidak tahu adat kebiasaanku? Bisa jadi. Begitu membuka pintu kudapati seorang lelaki muda dan gadis kecil yang tengah b ercanda di teras. Lelaki itu berkulit coklat terbakar matahari, berpakaian agak lusuh. Si gadis kecil berkulit lebih terang, berbaju baru dengan bahan kualitas rendah. Ketika gadis itu menoleh padaku, segera kutangkap sinar di wajahnya yang membuatku terkesiap beberapa saat. Sinar wajah itu tak asing bagiku. Meski bent uk hidung dan mata kedua tamu itu sama --yang membuatku bisa segera menyimpulkan bahwa mereka adalah bapak dan anak-- namun kutemui sinar lain di wajah anak itu .

Lelaki muda itu menoleh ke pintu, ke arahku. Seketika dia berdiri, mengangguk s edikit dan mengucap selamat siang. Aku menjawab dengan sedikit goyangan kepala. Sedikit saja. Tawa kecil si gadis kecil pun terhenti. Kupersilakan keduanya masu k, masih dengan jantung yang sedikit berdebar. Siapa mereka? Lelaki lusuh dengan sorot mata tajam. Jelas kemari bukan untuk minta sumbangan. Setelah kami duduk, dia mulai memperkenalkan dirinya. "Saya Jaya, Tante. Dan ini Neyla," katanya sambil meletakkan tangannya di bahu gadis kecil itu. Neyla. Nama yang begitu mirip dengan nama anak gadisku dulu, Neyna. "Maaf, mengganggu hari libur Tante," katanya. Suaranya mantap dengan intonasi j elas dan tatap mata yang begitu percaya dirinya. Aku yakin dia bukan orang sembarangan. Cara dia berbicara dan tatap mata itu, t idak dimiliki oleh sembarang orang. Untung aku memperlakukannya dengan baik, bat inku. Kutatap dia lebih lekat, mencoba menjajaki lebih dalam siapa sebenarnya la ki-laki di depanku itu. Dia cukup tampan. Mungkin kemelaratan membuatnya kurang terawat dan tampak lebih tua dari usia sebenarnya. "Saya ada titipan dari Neyna." Neyna. Dia menyebut nama itu! Seketika menegang otot-ototku. "Maaf baru bisa menyampaikan sekarang," lanjutnya. "Sangat terlambat, tetapi me mang baru sekarang kami sempat ke kota ini." Dia keluarkan dari tasnya yang kumal sebuah bungkusan pipih dan diulurkannya pa daku. Kuterima bungkusan itu dan kubuka salah satu sisinya. Foto kami. Aku, suam iku, Andreas, dan Neyna. Foto yang dibuat ketika dua anak kami masih kecil. Mung kin Neyna baru seusia gadis di depanku itu. Jadi Neyna yang telah mengambil foto ini dari ruang tengah, batinku. "Neyna minta maaf tidak minta izin mengambilnya dan minta tolong saya mengembal ikannya kemari." "Kenapa bukan dia sendiri yang mengembalikannya pada kami?" keramahan yang baru mulai muncul seketika sirna. Sikapku berubah dingin dan kaku. Ingatan pada Neyna, anak perempuanku itu telah membuka kembali luka masa lalu. Masih jelas dalam ingatan betapa anak yang kukandung, kulahirkan dan kubesarkan itu tega menampar-nampar wajahku. Aku tak tahu, apa yang telah merasukinya. Neyn a yang begitu manis dan menyegarkan hari-hari kami sekeluarga, sedikit demi sedi kit mulai berubah begitu masuk kuliah dulu. Awalnya, hanya ikut kegiatan kemahas iswaan saja. Selanjutnya dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama teman-teman di organisasi mahasiswa. Waktu itu aku mulai menegurnya. Kami sempat berdebat s ebelum akhirnya tercapai kesepakatan bahwa aku tidak akan melarangnya berkegiata n selama dia mampu mempertahankan prestasi akademiknya. Lama-lama dia mulai malas pulang. Rumah hanya dijadikan tempat singgah, tempat menyimpan barang yang diperlukannya kadang-kadang. Komunikasinya denganku menuru n drastis. Aku yang dulu berfungsi sebagai teman ngobrol berubah menjadi kasir y ang hanya ditemui pada saat butuh duit. Begitu jarangnya dia pulang hingga kadan g aku terkaget-kaget ketika bertemu. Anak gadisku yang cantik, bersih, dan wangi tiba-tiba kutemui telah jadi malas merawat diri. Dia datang menemuiku dengan wa jah tirus, mata lelah, dan baju yang apek. Bahkan pertemuan selanjutnya tidak ku temui lagi rambut hitamnya yang dulu lebat dan indah dengan poni yang membuatnya seperti boneka Barbee. Rambut itu telah dipangkas pendek karena dia merasa terl

alu ribet mengurusnya. Aku mulai punya alasan untuk marah dan melarangnya berkegiatan, tetapi dia memb antah. Bahkan terang-terangan menyatakan sikapnya terhadapku. Mengkritik aku yan g katanya otoriter, menjalankan kepemimpinan rumah tangga dan perusahaan sekehen dakku, tanpa mau mendengar usulan dan suara ketertindasan orang lain. Siapa tak akan terbakar? Tahu apa dia tentang kehidupan rumah tangga? Apalagi tentang peru sahaan. Tak sadarkah dia bahwa perusahaanlah yang membuatnya bisa hidup seperti sekarang? "Perusahaan itu tumpuan hidup kita. Kamu tidak perlu mencampuri urusanku di san a karena kehancuran perusahaan berarti kehancuran hidup kita," kataku pelan namu n tajam. "Ya, memang perusahaan itu yang membuat kita jaya dan kaya-raya. Tetapi ingat M a, itu bukan hasil kerja Mama. Para buruh itulah tulang punggungnya. Dan selama ini Mama dengan atas nama perusahaan telah memeras tenaga mereka tanpa imbalan y ang sepadan," teriak Neyna lantang. Aku meradang. "Kalau tak suka dengan cara kerjaku, jangan makan dari hasil kerj aku. Pergi, carilah makan sendiri atau tetap tinggal di sini dan kunci mulutmu!" Di luar dugaan, benar-benar di luar dugaan, Neyna menerima tantanganku. Dia mem ilih keluar dari rumah. Meninggalkan kehidupan yang tak ada kurangnya ini dan me nggantinya dengan kehidupan liar. Kehidupan yang serba tak tentu. Tidur di mana pun dan makan dari siapa pun. Entah seperti apa tepatnya, aku tak bisa membayang kan. Pernah aku berniat menyusulnya karena tak tega, tetapi sebelum niat itu kesampi an dia justru memimpin demo karyawan menuntut perbaikan kesejahteraan. Maka tida k sekadar gagal keinginanku menjemputnya, tetapi lebur juga maafku untuknya. Sej ak itu aku tak mau berpikir tentang anak itu lagi. Dia kuanggap sudah hilang ata u mati. Dia sudah bukan anakku lagi! Rupanya kepergiannya waktu itu sambil memba wa foto yang sekarang ada di tanganku ini. "Kenapa tak dia kembalikan sendiri foto ini?" tanyaku dengan sisa kemarahan mas a lalu. "Dia tak bisa," jawab Jaya. "Kenapa?" tanyaku. "Takut bertemu denganku?" "Bukan," Jaya menggeleng lemah. Berkedip-kedip sebentar. "Dia tak bisa menemui siapa pun lagi," lanjutnya pelan sambil menahan napas. "Sakit?" tanyaku masih dengan keangkuhan. Jaya menggeleng. Tanpa menatapku dia berkata-kata, "Neyna sudah . pergi. Setengah tahun lalu." Dan laki-laki di hadapanku itu pun mengusap air matanya yang menga mbang. Aku menghempaskan diri. Tak sengaja. Memang aku begitu terluka oleh ulahnya dan meniatkan tak menganggapnya lagi sebagai putriku, tetapi kabar ini begitu menca bik perasaanku. Neyna, putri cantikku itu telah pergi selamanya "Maafkan, saya tak bisa menjaganya," laki-laki itu telah mampu menguasai perasa annya. Sikapnya kembali tenang. "Semuanya berjalan begitu cepat. Suatu hari tiba -tiba saya jumpai Neyna muntah darah. Saat itu juga saya bawa dia ke rumah sakit . Beberapa hari di sana, dokter menganjurkan agar dibawa pulang saja. Kanker gan as di paru-parunya telah menjalar ke organ-organ lain dan tim medis sudah tidak

bisa berbuat apa-apa," dia berhenti sebentar, menghela napas. " Salah saya, sela ma ini tak pernah memperhatikan kesehatannya." Kami saling diam beberapa saat lamanya. Masing-masing larut dengan kenangan dan penyesalan. "Kau suaminya?" tanyaku kemudian dengan nada yang lebih lunak. Dia menatapku sebentar sebelum mengangguk ragu. "Maaf, saya tak minta izin Tant e lebih dulu." "Jadi ini anak Neyna," kataku lirih, hampir pada diri sendiri. "Kalau boleh, bi ar aku yang mengasuhnya," kataku tiba-tiba. Jaya tersenyum. "Makasih Tante, dia adalah napas saya. Jadi tak mungkin saya be rpisah dengannya. Meskipun saya tak mungkin memberi kemewahan padanya." Aku cukup tertampar dengan jawabannya. Tapi kutahan tak memberi reaksi apa pun pada jawaban itu. Tak lama kemudian laki-laki itu minta diri. Kuantar sampai pagar. Sambil kubuka pintu, sempat kutanya, di mana mereka tinggal. "Kami di lereng Gunung Geni. Saya bekerja bersama penduduk yang terancam kehila ngan kehidupan mereka, karena rencana pembangunan taman nasional," jawab Jaya. Lalu mereka pun berlalu. Sebelum angkot yang mereka tumpangi benar-benar berlal u, masih sempat kulihat lambaian tangan mungil anak Jaya padaku yang kubalas den gan lambaian pula. Aku masih berdiri di pagar sekalipun kedua tamuku telah lenyap bersama angkot y ang membawa mereka. Tiba-tiba aku teringat, sebentar lagi suamiku pulang. Dan di a tak boleh tahu apa yang terjadi. Jadi segera kututup pagar dan melangkah masuk . Membasuh muka lalu kembali duduk di depan tivi, sambil membuka-buka halaman ko ran Minggu. *** Mimpi tentang Rumah Cerpen: Mustafa Ismail Sumber: Jawa Pos,Edisi 03/20/2005 KAMI punya rumah di kampung. Tidak besar, tapi cukup menyenangkan. Rumah itu se mi permanen. Ayah membangun rumah itu ketika aku kecil. Ibuku yang menimbun bagi an dalam rumah itu, dengan tanah merah, sebelum diberi lantai dari semen campur pasir. Tanah itu diambil dari kebun kosong persis di depan bakal rumah kami, yan g juga milik salah seorang famili ibu. Waktu itu ibu tengah hamil adikku. Tetapi ibu tidak peduli. Ia memaksa diri men gangkut tanah untuk menimbun, karena bersemangat untuk punya rumah. Itu dilakuka n ibu setiap pagi sampai matahari berada di atas kepala. Aku, yang waktu itu mas ih kecil, sepulang sekolah ikut membantu ibu. Biasanya aku mengangkut tanah deng an pengki dan membawa tertatih-tatih. Kalau sudah siang, ibu berhenti dan pulang untuk memasak. Aku juga ikut pulang karena lepas siang aku bersiap- siap untuk mengaji di meunasah. *** AYAH dan ibu membangun rumah itu boleh dikata dengan semangat. Ayah seorang peg awai kecil di sebuah sekolah dan ibu membantu menambah pendapatan keluarga denga

n menanam sayur-sayuran di halaman rumah tempat kami tinggal yang memang cukup l uas. Kalau musim tanam kacang tanah atau semangka, ibu juga ikut serta bertani denga n menyewa sawah orang lain dengan sistem bagi hasil. Jadi praktis tidak banyak uang yang ditabung ayah dan ibu, kecuali beberapa pul uh gram emas yang dikumpulkan bertahun-tahun, ditambah dengan meminjam kiri-kana n, termasuk dari atasan ayah di kantor. Tak ada bantuan dari siapa pun kecuali s ebuah dorongan agar kami punya rumah. Sebelumnya kami memang punya rumah, tapi sebuah gubuk di tanah pemberian orang tua ibuku. Itu sungguh kurang menyenangkan bagi ayah. Sebab tanah itu kerap dipe rsoalkan oleh saudara ibu yang lain, terutama adiknya, meskipun sebetulnya merek a sudah mendapat bagian masing-masing. Tetapi begitulah orang tak puas: selalu s aja lebih indah hal-hal yang belum mereka miliki. Ayah tidak mau repot-repot den gan itu. Maka ketika ada orang menjual tanah, ayah lalu membeli tanah itu. Ibu pun gembi ra sekali ketika itu. Apalagi tanah untuk rumah itu letaknya di pinggir jalan ka bupaten yang berdebu dan tak beraspal. Jalan selebar tiga meteran itu menghubung kan Kecamatan Trienggadeng dan Meureudu, yang berjarak sekitar tujuh atau delapa n kilometer itu. Aku suka menempuhnya dengan bersepeda bersama kawan-kawan sebay a. Di samping jalan itu, membentang rel kereta api, menjulur dari Sigli entah samp ai di mana. Mungkin sampai Aceh Utara dan Aceh Timur. Mungkin pula sampai Sumatr a Utara. Aku memang tidak terlalu mengusut soal itu. Apalagi aku tidak pernah na ik kereta yang melintas di rel itu. Hanya pernah melihatnya ketika aku kecil. Ke tika aku mulai sekolah kereta api sudah tak ada. Tidak jalan lagi. Entah mengapa . Padahal, ketika tahu ayah membeli tanah dan akan membikin rumah di Jalan Baroh -orang kampungku menyebut begitu- aku senangnya bukan main. Aku membayangkan se sekali bisa naik kereta api. *** AKU pernah bertanya: mengapa ibu begitu kuat mengangkat tanah untuk menimbun ru mah? Jawaban ibu membikinku haru. "Kita memang harus kuat agar bisa punya rumah. Bagaimanapun kita lebih tenang tinggal di rumah sendiri, rumah yang kita bangun dengan keringat sendiri," kata ibu. Ibu juga tidak mengajak ayah untuk membantu menimbun bagian dalam rumah. Menuru t ibu, ayah juga sama seperti ibu. Hanya beda tempat saja. "Ibu justru membantu ayahmu. Kalau ayah turut mengangkat tanah, kasihan ayahmu terlalu lelah. Ayahmu sudah bekerja pagi sampai lepas siang," ujarnya. "Mengapa tidak diupahin saja sa ma orang untuk menimbun?" Pertanyaanku dijawab dengan senyum oleh ibu. "Kalau kita upahin sama orang, kit a tidak pernah bisa merasakan bagaimana sulitnya membangun rumah. Padahal itu pe nting supaya kita tahu benar arti sebuah jerih payah sehingga bisa merawatnya de ngan baik. Lagi pula, kita tidak punya uang untuk itu." Ah ibu, sungguh aku tidak terlalu mengerti kata-kata ibu. Aku pun tidak hendak bertanya lebih lanjut. Aku cuma bisa memahami kata-kata ibu bahwa mereka -ayah d an ibu- bercita-cita punya rumah. Rumah lebih baik. Di tanah sendiri. Lalu aku p un ikut membantu ibu. "Ayo, jangan bicara saja. Bantu ibu," katanya kemudian. Ak u mencangkul bongkahan-bongkahan tanah dan memasukkan ke kain tua ibu yang digel ar di tanah. Selanjutnya, ibu berjalan tertatih-tatih dengan perutnya makin bunc it membawa beban tanah untuk menimbun rumah. Sebetulnya aku ingin libur sekolah beberapa hari agar bisa menemani sekaligus membantu ibu. Tetapi ibu melarangku.

Katanya: kamu harus sekolah, biar bisa seperti ayah. *** Lalu rumah itu berdiri. Setengah permanen. Rumah kami pertama-tama sangat jelek . Serupa onggokan. Memang, sudah beratap, berlantai, berdinding, dan berpintu. T api atapnya belum dicat merah saga, sebagaimana rumah-rumah lain yang beratap se ng. Lantainya bukan tegel atau keramik, tetapi cuma beton yang dipernis dengan a ir semen. Terus dindingnya masih menyembulkan batu-bata merah, belum diplester sama sekal i. Loteng alias plafonnya belum ada. Kalau siang, panas matahari langsung menusu k ubun-ubun. Kalau musim hujan, dinginnya tak ketulungan. Hanya pintunya yang ba gus. "Mengapa rumah kita tidak sebagus rumah-rumah di dekat pasar?" "Rumah kita terbuat dari keringat. Tidak sama dengan rumah-rumah dekat pasar, m ilik toke-toke dan pejabat kecamatan, yang dibuat dengan uang. Sabar saja, kalau waktu milik kita, Insya Allah, rumah kita lama-lama akan menjadi seperti rumahrumah dekat pasar itu." Ayah benar. Pelan-pelan rumah kami menjadi bagus. Satu p er satu didandani. Atapnya dicat merah saga. Diplester. Mula-mula bagian depan yang diplester, kali lain kamar tamu, terus m erembet sampai kamar ayah, ruang makan, dapur, sampai ke kamarku. Itu dilakukan masing-masing dalam interval waktu berbulan-bulan. Setelah itu diberi loteng ata u plafon. Mula-mula loteng bagian kamar tamu, lalu kamar makan, terus kamar ayah , terus loteng dapur, terakhir loteng kamarku. Tidurku pun menjadi tidak panas l agi. Lalu dicat. Semua itu dilakukan satu per satu dengan jeda cukup lama, sampa i ayah berhasil mengumpulkan butiran-butiran waktu secukupnya. *** RUMAH kami dekat pantai. Kalau malam aku suka duduk di luar, menikmati suara de bur ombak. Kadang- kadang bersama ibu sambil menunggu ayah pulang dari pasar. Ka dang bersama kakek, ayah ibu. Kakek suka bercerita tentang dongeng-dongeng. Aku mendengarnya sampai larut malam. Aku memang biasa tidur malam. Kata kakek, rumah kami dekat Malaysia. Dari pantai di belakang rumahku, ada seb uah jembatan menghubungkan kampung kami dengan Malaysia. Jembatan itu terbuat da ri bambu. Karena itu, banyak orang kampung merantau ke Malaysia, tinggal dan ber anak-pinak di sana. "Mengapa jembatan itu sudah tidak ada? Aku ingin sekali main sore-sore Malaysia," tanyaku suatu kali. Kakek segera menyela. "Jembatan itu ma sih ada. Tetapi tidak bisa dilihat oleh anak kecil. Makanya kamu cepat- cepat be sar kalau ingin main soresore ke Malaysia. Kamu bisa bersepeda ke sana," ujarnya . "Mengapa jembatan bambu bisa untuk bersepeda?" "Itulah hebatnya," tanggap kakek. Meski bambu, tetapi kalau kita berjalan di at asnya, serasa berjalan di jalan licin beraspal. Bahkan, ada beberapa mobil yang lewat sana." "Mengapa bisa?" Aku makin tidak mengerti. Kakek tersenyum sebentar, lalu berujar. "Bisa saja. Sebab, jembatan itu dibuat oleh indatu kita. Orang-orang kita yang hidup beratus-ratus tahun lalu. Mereka m embuatnya perlahan-lahan. Dengan semangat berkobar. Mereka menumpahkan seluruh c inta untuknya. Mereka tidak dibayar. Tetapi mereka senang melakukannya. Mereka makan dari hart a Tuhan. Kalau siang, mereka membangun jembatan Kalau malam, mereka memancing at au menjala ikan. Setiap pagi, banyak orang datang ke sana untuk membeli ikan-ika n hasil tangkapan mereka." "Termasuk kakek?" "Ya, termasuk kakek." Kakek memang seorang pedagang ikan. Kakek bukan cuma menjual ikan di pasar. Jug

a berjualan sampai ke kecamatan lain dengan mengayuh sepeda kumbang. Sering seka li kakek pulang larut malam. Tertatih-tatih mengayuh sepeda yang tak ada lampuny a itu. Kalau bulan tidak terang, kakek memakai lampu senter untuk penerang jalan . Kadang kakek membawa banyak ikan yang tersisa. Lalu misyik -panggilanku untuk nenek- mencuci ikan-ikan itu dan membelahnya, memberi garam dan dijemur untuk di jadikan ikan asin. Itu dilakukan malam itu juga, supaya ikanikan itu tidak kebur u busuk. Sering mendapatkan kakek pulang malam, aku kerap bertanya: "Apakah kake k tidak takut hantu? Sebab, kata orang kalau malam banyak hantu." Kakek tertawa terbahak-bahak mendengar mendengar pertanyaanku. Aku menjadi tak mengerti. Lalu ia menukas: "Hantu itu tak pernah ada. Jalanan aman-aman saja." " Benarkah?" Kakek mengangguk. *** Sejak situasi di Aceh makin tidak menyenangkan, ayah dan ibu memutuskan tinggal di Jakarta. Kebetulan aku sudah beberapa tahun tinggal dan bekerja di kota ini. Bukan hanya ayah dan ibu, sebagian warga lain, yang punya sanakfamili di luar A ceh, juga ikut mengungsi. Ingin menentramkan diri, katanya. Pemuda juga begitu, mereka banyak yang pergi merantau. Ada yang ke Medan, Batam, Jakarta, sampai Malaysia. Tetapi, sejak ting gal di kota ini, ayah kerap termenung. Pikirannya selalu tertuju pada rumah. Tak jarang ia marahmarah sendiri dan mengatakan ingin pulang saja ke kampung. Serin g pula ayah menyalahkan ibu yang dulu terus mendorong agar mereka segera meningg alkan kampung karena tidak sanggup lagi menghadapi berbagai kejadian yang malang -melintang di depan mata. Kalau sedang berdebat dengan ibu -sebab ibu lebih berprinsip lebih baik hidup t enang jauh dari kampung daripada hidup was-was dan ketakutan i kampung sendiriayah selalu mengatakan: "Kalau Tuhan mau mencabut nyawa kita, di mana saja bisa. Mengapa kita harus takut pada mati." Kalau sudah begitu, ibu tidak akan melayan i, dan pergi ke belakang dan menangis, karena merasa terus dipersalahkan oleh ay ah. Waktu-waktu yang paling sering terjadi keributan antara ayah dan ibu adalah menjelang habis masa kontrak rumah. Karena pada masa itu ayah harus mengeluarkan uang dalam jumlah banyak untuk membayar biaya kontrak selanjutnya. Meski punya uang pensiun -ayah pensiunan pegawai negeri golongan IIID- sekitar Rp 1 juta rup iah sebulan, ayah selalu kepayahan setiap akan membayar biaya kontrakan. Bisa dipahami memang, agak berat hidup di kota ini dengan gaji satu juta rupiah sebulan. Tetapi kalau dipikirpikir, masih beruntung ayah mempunyai pendapatan. Itu ditambah lagi dengan usaha ibu sehari-hari membuat kue untuk ditaruh di waru ng dekat tempat tinggal. Tidak banyak pemasukan memang, tetapi untuk belanja ika n dan sayur setiap hari tercukupi. Tetapi bagi ayah, ibu selalu dianggap telah m engambil keputusan yang keliru: hijrah dari kampung. Karena itu, ayah merasa sel alu harus mengeluarkan uang banyak untuk tempat tinggal dan biaya hidup. "Rumah orang kita perbaiki, rumah sendiri kita biarkan terlantar," kata ayah selalu. Ma ksud ayah, membayar sekian juta rupiah untuk biaya kontrakan dianggap memperbaik i rumah orang. Kalau itu digunakan untuk merawat rumah sendiri, betapa sudah bag usnya rumah itu. Bukan hanya ibu, aku sendiri kadang juga kena semprot dari ayah . Aku dianggap yang memprovokasi ibu agar hijrah dari kampung dulu. Aku memang b eberapa kali mengirim surat kepada ibu agar mempertimbangkan -aku tidak menyuruh - untuk tinggal di Jakarta saja. Mulanya ibu agak ragu. Tetapi setelah mengetahu i sebagian orang Aceh, yang punya sanak-famili di luar daerah, meninggalkan kamp ung, ibu jadi terpengaruh juga. Jadilah ibu kemudian mendesak ayah agar segera berkemas. Ayah menjual sepeda mo tor kesayangannya, menurut ayah, dengan harga murah. Juga menjual televisi, kulk as, dan perangkat elektronik lain. Semua dengan harga "butuh uang". Kecuali ruma h, ayah bersikeras tidak mau menjualnya. "Kalau kita jual, nanti saat Aceh aman

dan kita pulang kampung, kita akan tinggal di mana?" tanya ayah. Ibu memang tida k menyuruh agar ayah menjual rumah, karena ibu juga berharap suatu saat bisa kem bali pulang kampung dan menghabiskan masa tuanya di sana. Akulah yang menyurati agar ayah dan ibu menjual rumah, setelah mengetahui keputusan mereka untuk hijra h. Aku berpikir praktis saja, daripada rusak, mendingan diuangkan saja. Lagi pul a, buat apa lagi ayah dan ibu pulang ke kampung, semua anakanaknya -aku dan seor ang adikku- sudah tinggal dan bekerja di Jakarta. Mendingan mereka tinggal di Ja karta, bisa dekat dengan kami, juga cucu-cucunya, yakni anak-anakku. Tetapi aku tidak memaksa juga. Biarlah ayah dan ibu mengambil keputusannya sendiri. *** "Apakah kamu pernah berpikir tentang rumah? Rumah kita di kampung," tanya ayah suatu sore, ketika aku baru saja tiba dari tempat kerja. Aku melihat mata ayah b asah dan beberapa tetes air matanya meluncur ke pipinya yang mulai keriput. Baru sekali ini aku melihat ayah menangis. Biasanya kalau teringat rumah, ayah hanya marah-marah dan wajahnya menjadi bersemu merah. Aku duduk di samping ayah, memandang butiran-butiran hujan yang mulai turun, di tempat tinggal ayah dan ibu, sebuah rumah sederhana yang dikontrak seharga lima juta rupiah setahun itu. Aku betul-betul tersentak dengan cara ayah bertanya, j uga suasana hatinya yang terasa begitu galau dan sedih. Ada apa yang terjadi seb enarnya. Tetapi aku hanya menarik napas dalam- dalam dan menghembuskannya perlahan. Aku tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ayah. Aku hanya bisa membayangkan dari jauh: sebuah rumah semi permanen, berkamar dua, dan beratap merah saga. Se pi dan sendiri. "Apakah ada kabar dari kampung?" tanyaku kemudian setelah lama t erdiam. "Tidak," katanya sambil terisak, lalu mengusap air mata dengan ujung jar inya. "Itulah masalahnya. Ayah khawatir terjadi apa-apa dengan rumah kita. Tadi malam ayah bermimpi rumah kita sudah roboh. Dan orang-orang satu per satu datang untu k mengambil papan dan kayu untuk dijadikan kayu bakar," kata ayah sangat pelan d engan isak yang tidak bisa ditahan. "Itu kan mimpi. Pada kenyataannya kan tidak. " "Mimpi itu ayah yakin sekali benar. Dan arti mimpi itu bisa banyak. Bisa saja r umah itu digunakan oleh orang lain untuk hal-hal yang tidak kita inginkan. Atau paling tidak rumah itu sudah bocor, kotor, dan mungkin kayu- kayunya mulai lapuk dan catnya sudah terkelupas. Padahal kamu tahu, betapa susahnya kita untuk puny a rumah dulu. Kita dulu harus tahan lapar untuk membangunnya." Sekali lagi aku menarik napas. Betul juga kata ayah. "Bagaimana kalau kita kiri m surat kepada paman di kampung menanyakan kondisi rumah?" "Tidak. Ayah terpikir mau pulang sendiri ke Aceh ingin melihat rumah. Kasihan kalau rumah itu jadi ru sak," suara ayah. "Tetapi di kampung belum aman. Kita tunggu saja sampai kondisi benar-benar tent eram," aku memberi pengertian. "Sampai kapan?" Ayah bertanya dengan suara serak. Beberapa tetes air mata kembali meluncur ke pipinya. Aku menggigit bibir, tidak tahu harus berkata apa. "Seharusnya, masa-masa pensiun begini ayah jalani bersa ma ibumu di kampung sambil merawat rumah," tutur ayah dengan wajah yang makin ba sah. *** Pamulang, 27 Mei 2004

RAH-KANG RI Cerpen: Budi Palopo Sumber: Jawa Pos,Edisi 03/13/2005 SENJA telah jatuh. Warna langit di barat Kampung Negariki telah berubah. Kuning keemasan yang tadinya terlihat cerah, berganti dominasi warna merah. Tapi, seju mlah anak lelaki telanjang dada itu masih juga tampak asyik bermain tembak-temba kan. "Dor Dor Dor !"

Pelepah daun pisang yang dijadikan senjata api laras panjang dibidikkan berulan g-ulang. Yang kena tembak harus mati, kendati tak lama kemudian boleh hidup lagi . Ada yang tiarap. Ada yang bersembunyi. Ada yang berlari-lari. Saat itu, di pojok luar rumah, Rah pun masih juga tampak asyik mengelus-elus se patu kumal yang tergeletak di dekat tempat sampah. Entah itu sepatu lars milik s iapa. Tak jelas pula siapa yang pertamakali memakainya. Yang pasti, sepatu kotor itu tak bertali. Tanpa pasangan, hanya tinggal yang sebelah kiri. *** HAMPIR setiap hari Rah berusaha membersihkan kotoran yang melekat pada sepatu k ulit itu, dengan cara merendamnya di bak mandi. Tapi, sepatu lars kumal itu teta p saja tak bersih. Baunya tetap saja tak sedap. Sampai-sampai, hanya untuk mengh ilangkan bau, Ning Tin --ibu Rah-- perlu menjemurnya hingga berhari-hari. Sayang nya, setelah kering, Rah kembali membasahinya. Setiap mandi, Rah pun selalu mema ndikannya pula. Alasannya, biar bersih. Tapi, sekali lagi, sepatu lars tak berli dah itu tetap saja tak bersih. Bahkan, baunya kian menyengat. Kalau saja tumbuh sebagai manusia normal, dalam usia yang telah meninggalkan an gka belasan tahun, Rah tentunya lebih gandrung bermain cinta daripada berakrab-a krab dengan barang rongsokan yang tak layak pakai itu. Kini, di Kampung Negariki , gadis-gadis seusia Rah toh nyaris semua telah hidup berpasang-pasangan. Bahkan tak sedikit yang telah berstatus janda muda. Sayangnya, Rah bukanlah gadis normal. Soal wajah, sepintas memang masih menarik , kendati tak bisa dibilang cantik. Terutama kalau gerai rambutnya diatur menutu pi bagian telinga. Sebab, selain buah dadanya tak menyembul, Rah ternyata tak me miliki daun telinga. Pendek kata, kondisi fisik maupun mental Rah tergolong caca t berat. Nyaris tak pernah mau bicara. Kalau toh ada suara yang bisa dilontarkan nya, itu pun tak lebih dari kata-kata umpatan: "bangsat !" Tersenyum, kalau ingin menunjukkan suasana hati senang. Tertawa-tawa kalau sekiranya ada hal yang diang gapnya lucu dan patut ditertawakan. Selebihnya, diam. Rah gadis ideot? Sepertinya memang begitu. Tapi, nanti dulu. Ketika masih diper bolehkan bersekolah dasar, Rah ternyata pernah menunjukkan diri sebagai anak yan g normal dan cerdas. Ia selalu jadi bintang saat kelas I dan II. Rah selalu mene mpati ranking pertama. Sayangnya, ketika ia kelas III, pendidikan formal itu har us berakhir dengan tragis. *** PAGI itu, langit tak lagi mendung. Dari rumah seorang tetangga yang sedang berh ajat mengkhitan anaknya, terdengar lagu berirama langgam yang tersuarakan lewat tape recorder. Lirik lagu berbahasa Jawa itu pun cukup menyentuh: " golekan, kae g olekane sapa. Yen sira tansah dadi golek-golekan, ingsun mengko entek mimis pira "

(1) Di tempat pejagalan samping rumah, Kang Ri sedang sibuk menguliti seekor sapi y ang baru saja disembelihnya. Tampak serius, dan menegangkan. Tanpa nyanyi. Tanpa cengkerama. Saat itulah, di dekat Kang Ri kerja, Rah bermain anak-anakan. Bonek a plastik yang dimilikinya, dikudang-kudang, di-emban-ayun-kan, dan diajarinya u ntuk bisa bicara dengan bahasa manusia. "Rah minggir !" bentak Kang Ri, merasa terganggu.

Entah kenapa, Rah seakan tak mendengar perintah Kang Ri yang dipanggilnya "bapa k" itu. Akibatnya, Rah kena marah. Boneka yang tengah dipeluknya mendadak direbu t Kang Ri, lalu dibuangnya. Rah kaget. Dengan tangis tertahan, ia segera memburu boneka kesayangannya. Tapi , bocah tak beralas kaki itu pun mendadak ragu. Kendati air matanya menetes-nete s, Rah sepertinya tak berani lagi menyentuh boneka kesayangannya. Ia memilih sik ap menggores-gores tanah dengan sebilah tatal kayu, di sekitar tubuh boneka berl umur darah, yang tergeletak di pelataran rumah. Ia seakan membuat tengara kesedi han bergaris-garis tanpa aturan di tanah pijakan, untuk mengenang boneka yang di anggapnya telah mati terbunuh. Tak lama kemudian, Kang Ri yang jari-jari kedua tangannya masih belepotan warna merah, datang menghardik. Rah diminta untuk segera masuk rumah. Tapi, Rah menan ggapinya dengan gelengan kepala. Rah menolak. Rah memilih diam di tempat, untuk terus menggores-gores tanah di sekitar boneka dengan sebilah tatal kayu yang dip egangnya. Tanpa banyak kata-kata, lelaki bertubuh kekar itu lalu mencengkeram lengan kiri Rah. Dan, tangis bocah perempuan berpita rambut merah itu pun meledak. Menyayat , menjerit-jerit. Kendati demikian, Rah tetap diseret dan terus diseret-seret. R ah dipaksa jauh meninggalkan boneka mainannya. Alasannya sederhana: Rah harus ma ndi sembari menghapal teks Pancasila, sebelum pamit berangkat sekolah dengan men cium tangan bapaknya. *** ENTAH sudah berapa kali Rah kena gebuk Kang Ri. Yang jelas, Rah sering menangis . Suatu hari, menjelang bulan Agustus, setelah melihat bendera merah-putih berba gai ukuran diperjualbelikan di pinggir jalan, Rah juga menangis. Rah, ketika itu digebuk Kang Ri lantaran memaksa minta dibelikan bendera baru. "Rah, memang nakal. Bapaknya sudah punya bendera kok masih saja minta dibelikan bendera lagi. Maunya sih ingin bendera sendiri, yang bisa dibawa untuk karnaval di sekolah. Tapi untuk karnaval itu kan bisa dengan bendera kertas. Bapaknya te lah berjanji mau membuatkannya, tapi Rah menolak. Rah minta dibelikan bendera su ngguhan. Bendera kain. Lha itu kan, namanya pemborosan," jelas Ning Tin pada ses eorang yang berbasa-basi menanyakan soal tangis Rah. Rah nakal. Vonis itulah yang dijatuhkan ibunya sendiri. Ya, Rah nakal. Tepatnya , dianggap nakal. Karena itulah, ia kena gebuk. Karena itulah, ia sering menangi s. Dan, pagi itu, setelah diseret-seret Kang Ri untuk meninggalkan boneka, tangi s Rah kembali terdengar menyayat. Di antara jerit tangisnya, dari kamar mandi, t erdengar pula suara Rah terbata-bata melafalkan teks Pancasila. "Kang Ri memang keterlaluan kok," aku Ning Tin pada orang lainnya. "Wataknya ka ku. Apa maunya harus dituruti. Kang Ri itu nggak mau dibantah. Sementara Rah sen diri ya ndablek. Seringkali nggak pedulikan omongan bapaknya," jelasnya. Kang Ri wataknya memang kasar. Juga tergolong pemberang. Tukang jagal sapi satu

-satunya yang ada di Kampung Negariki itu sering marah-marah. Dan, kalau sudah m arah, orang-orang di dekatnya nyaris tak ada yang berani membuka mulut. Istrinya , kemenakannya, juga semua pembantu kerja penjagalannya, terpaksa diam. Tak ada yang berani memotong kalimat omelannya. Jika ada yang berani menyela kata, bisa dipastikan semua barang di dekatnya hancur berantakan. Menurut Ning Tin, Kang Ri itu punya penyakit dog-nyeng. Sebentar-sebentar marah , sebentar itu pula ia kegetunen. Jelasnya, marah Kang Ri tak pernah berlarut-la rut. Setelah memuntahkan amarahnya, seringkali Kang Ri merasa menyesali diri. Ba hkan, seringkali pula, hal-hal yang menyulut kemarahannya justru dijadikan bahan kelakar setelah ia tak marah lagi. Pernah, dalam sebuah kesempatan ngobrol di pos jaga kampung, Kang Ri bercerita sembari tertawa-tawa. Saat itu menyinggung soal Rah yang menolak diciumnya. Alas an Rah, mulut Kang Ri bau. Dan, karena Rah tidak mau dicium, Kang Ri marah-marah . Rah pun digebukinya. "Setelah saya pikir-pikir, ternyata Rah benar. Mulut saya memang baunya amit-amit. Saya sendiri jijik. Tapi, istri saya kok betah ya?" ka tanya penuh canda. Persoalan yang menyulut amarah Kang Ri kadang memang terlalu sepele. Yang terja di pada pagi itu, misalnya. Hanya karena Rah bermain anak-anakan sembari bernyan yi-nyanyi di dekatnya, Kang Ri marahnya bukan main. Celakanya, peristiwa mengena skan itu pun masih berlanjut. Usai mandi, Rah ternyata kembali tertatih ke tengah pelataran. Bocah sekolah da sar itu telah mengenakan rok seragam berwarna merah. Sepatu belum dipakai. Baju putihnya belum juga dikancingkan. Ya, dengan dada sedikit terbuka, Rah melangkah mendekati boneka kesayangannya yang masih tergeletak di pelataran rumah. Sorot matanya memerah saga. Isak tangisnya masih tersisa. "Rah !" Ning Tin memanggil-manggil. Tapi, Rah tak peduli. Ia seolah tak mendengarnya. R ah tetap melangkah. Boneka yang berlumur darah sapi itu pun kembali digendong da n dipeluknya. "Rah ! Pakai sepatu dulu !" pinta Ning Tin, setengah memperingatkan. Dan, suara peringatan Ning Tin ternyata memancing perhatian Kang Ri. Pandangnya seketika mengarah ke bocah yang tak beralas kaki itu. Melihat Rah tak memedulik an suara panggilan ibunya, Kang Ri kembali beraksi. Lelaki pemberang yang tengah sibuk memotong-motong daging sapi di pejagalan samping rumah itu segera mendeka ti Rah. Tapi, entah kekuatan dendam macam apa yang merasukinya, Rah menantang. T anpa sepatah kata yang terlontar, Rah cepat-cepat meraup segenggam batu kerikil pelataran untuk dilempar ke wajah bapaknya. Lalu, tangis Rah pun kembali meledak. Rah kembali digebuk. Rah kembali dihajar. Rah diseret-seret hingga ke pojok rumah, dan kepalanya dibentur-benturkan ke te mpat sampah. Bahkan, sepatu lars hilang pasangan yang tergeletak di dekat tempat sampah itu diangkat Kang Ri tinggi-tinggi, lalu dihantamkan ke wajah Rah berkal i-kali. "Bangsat ! Aku ini bapakmu bangsat! Berani-beraninya kamu melawan hah! Bangsat ! Bang sat ! Bangsat !" umpat Kang Ri, sembari menendang-nendang tubuh Rah. Dan, sejak itul ah Rah dilarang main boneka. Rah dikurung. Dilarang keluar rumah. Dilarang melan jutkan sekolah. Bertahun kemudian, tahulah semua orang kampung. Ternyata, Rah tumbuh sebagai ga dis yang cacat berat. Tak punya buah dada, dan tanpa daun telinga. Setelah dilar ang Kang Ri main anak-anakan, Rah seolah kehilangan rasa cinta. Setiap melihat b

oneka plastik yang berwajah bayi manusia, Rah segera mengambil pisau dapur lalu berusaha menyembelihnya. Celakanya, sepatu lars hilang pasangan, kumal dan berba u, yang pernah jadi alat penghantam kepalanya itu, justru dianggapnya sebagai te man main yang menyenangkan. Teman main yang patut digendong-gendong dan diembanayunkan. Hampir setiap hari, Rah menghabiskan waktu di pojok rumah, dekat tempat sampah, hanya untuk berakrab-akrab dengan sepatu lars yang dianggapnya sebagai satu-sat unya teman main. Dan, anehnya, jika ada seseorang yang menyapa saat ia bermain, Rah buru-buru masuk rumah. Bersembunyi di balik pintu, sembari mengintip-intip l ewat celah dinding bambu. Setelah memastikan si penyapa beranjak pergi, barulah Rah keluar untuk bermain lagi. *** DAN, senja pun telah benar-benar jatuh. Warna langit di barat Kampung Negariki kian memerah. Dari surau terdengar kumandang adzan. Tapi, anak-anak lelaki yang telanjang dada itu masih saja ribut main tembak-tembakan. Di tengah suasana perm ainan yang ribut itu, Rah ternyata masih juga tampak asyik mengelus-elus sepatu lars kesayangannya. "Rah Rah !" Mendengar suara Ning Tin memanggil-manggil, Rah segera beranjak masuk rumah. Na mun, sebelum sampai pintu, ia ditabrak seorang anak lelaki yang tengah berlari m enghindari bidikan senapan. Rah jatuh, terjengkang di teras rumahnya sendiri. "Dor dor dor!" teriak seorang anak lelaki lainnya, sembari membidik-bidikkan pele pah pisang yang dijadikan senjata. "Pause pause. Nggak bisa. Aku lagi tiarap, nggak bisa ditembak!" "Ya nggak bisa begitu. Kamu kena tembak. Kamu harus mati. Kamu nggak tiarap, ta pi terjatuh karena menabrak Rah .!" Perang mulut pun terjadi. Dua anak lelaki yang tengah bermain tembak-tembakan i tu tak ada yang mau mengalah. Masing-masing punya alasan. Masing-masing merasa b enar. Mereka bahkan tak peduli pada Rah yang menjerit-jerit kesakitan. Sementara, di ruang tengah, Kang Ri berbaring lunglai di atas balai-balai bambu bertikar pandan. Kang Ri jatuh sakit. Lima tahun sudah, tukang jagal sapi itu t ak bisa bicara. Kalau minta sesuatu pada Ning Tin ia hanya menuding-nuding semba ri mendesis, "oh oh oh" yang tak jelas artinya. Anehnya, sorot mata lelaki berbibi r sumbing itu masih juga tampak berapi.*** CATATAN: Terjemahan bebasnya: boneka, boneka siapakah itu? Jika kau terus jadi buronan, b erapa butir peluru harus kuhabiskan? Rajam

Cerpen: Muhidin M. Dahlan Sumber: Jawa Pos,Edisi 03/06/2005 DI SIANG garang, di atas paha terbuka istrimu yang membelaimu lembut, kau melih at dari alam jauhmu sebuah kematian yang paling indah dan mencekam. Kematian seo rang perempuan jalang. Ya, seorang perempuan jalang, di lapangan kota, diseret digelandang dalam sebua h iring-iringan riuh. Mirip upacara keagamaan. Beduk-beduk, gending-gending, mem ekik memekakkan telinga. Ini bukan pasar atau ritual sunatan atau riuh mauludan saban tahun. Tapi riuh gending dan beduk ini adalah tabuh kematian. Sebentar lag i, sejelang lagi, akan tercetus kematian seorang perempuan jalang yang merobek-r obek kesadaran beragamamu kelak di kemudian hari. Di lapangan itu neraka jahanam didandani. Di lapangan itu sebentar lagi ulama-u lama tahkim kota akan menjatuhkan palu takdir kematian yang barangkali paling me ngerikan jika dilihat dari sudut pandang perempuan jalang itu. Sudut pandang kor ban yang teraniaya karena ketakberdayaan membela diri atau berdebat tentang mana yang benar mana yang salah mana yang boleh mana yang tidak. Sebuah upacara kafa rat. Semacam denda yang harus dibayar karena melanggar aturan Tuhan. Dan denda i tu adalah darah yang berujung pada kematian. Rajam. Dan perempuan jalang malang itu, terbersitkah dalam alam sadarnya bahwa dalam t abuhan beduk dan gending serta sorak riuh memekak itu bersemayam hantu kekejian dan keberingasan yang berzirah rubah kegelapan. Dan semua zirah itu berebut temp at tersembunyi dan kelam dalam jiwa manusia yang kemudian menyeradak keluar deng an cara yang tak terduga. Dan barangkali dengan cara yang tak masuk akal. Di tengah lapangan, telah tersedia liang yang digali sepagi tadi. Sepinggulan d alamnya. Dan di sana dipancangkan sebilah bambu setinggi tombak pemburu babi. Ba mbu-bambu belahan yang dipotong pendek-pendek dan sebentangan tambang memagari l ubang itu dalam jarak 10 kaki. Dibuat melingkar. Terukur dengan baik untuk sebua h penyiksaan brutal atas perilaku jalang. Atas nama kafarat. Dan nantinya drama ini bisa menjadi semacam nubuat yang gemuruhnya bisa tersesap dalam pori-pori, d alam alam sadar, bahwa hidup harus baik-baik saja. Kalau tidak, neraka jahanam a kan terlalu sering digelar di lapangan kota atau di mana pun. Dan yang kena tak terkecuali. Siapa pun yang berani hidup jalang dan lancung. Dan kematian itu bukan lagi semacam gertakan bagi perempuan jalang itu. Sebab d alam liang itu separuh tubuhnya ditanam. Sementara tangannya akan diikat melipat ke belakang berdempet dengan sebatang bambu yang berdiri meneguh dengan permuka an yang bersayat tajam. Cukup untuk melukai kalau tangan bergerak atau berusaha meronta. Dan batu-batu akan beringas menghujaninya. Kau tak tahu, apa persisnya salah perempuan itu hingga beduk hari ini bertalu d an gending dipukul-pukul hingga muntah tak beraturan di cuping-cuping kuping. Yang kau tahu, ini pun samar-samar dan belum bisa dijadikan pegangan yang pasti dan meyakinkan, perempuan jalang itu datang dari wilayah antah berantah. Dan di sebuah pagi, dia muncul begitu saja. Tapi bukan ini yang menjadi masalah, melai nkan ulahnya berkitar-kitar di tengah kota. Dia berjalan seenaknya dengan tak sa tu pun kain membungkusi tubuhnya. Kotor dan menjinjikkan. Menyebarkan bau amis d an membuat muntah biri-biri yang berpapasan. Serupa sampah yang sudah berbulan-b ulan tak pernah dibakar atau ditanam. Pun begitu bagi lelaki dewasa yang melihat nya tentu masih tersisa asyiknya tubuh kotor itu. Bagi anak-anak tentu tubuh lan cung itu bisa menjadi semacam hiburan. Dan bagi perempuan-perempuan mulia dan be radab tentu menahan malu yang tak kepalang. Beberapa orang perempuan mulia perna h berpapasan lalu menyiramnya dengan air dari radius beberapa meter. Atau pernah suatu kali langsung menceburkannya ke sungai dan melemparinya kain.

Tapi itu tak bertahan lama. Beberapa hari kemudian dia akan kedapatan di tengah kota berjalan tanpa balutan secarik pun kain. Dan tingkah lakunya makin lama ma kin tak senonoh. Dia tak segan-segan menari-nari di pasar dan kemaluannya digoso k-gosokkan di tiang umbul-umbul. Atau berjingkrak-jingkrak di pintu depan masjid ketika orang-orang hendak mendirikan kewajiban sembahyang. Dan bahkan pada malam hari beberapa kali menghadang para santri selepas pengaji an di surau dan memintanya agar bersedia membuntinginya. Sebab, katanya, dengan punya anak dari cairan pelafaz-pelafaz nama Tuhan, dunianya tak lagi sesunyi sep erti dijalaninya hingga hari ini. Perjalanan yang sungguh melelahkan dan tak ter tanggungkan. Dia akan senang sekali jika kebuntingan itu datang dan melihat makh luk pembunuh sunyi itu menggelantung selama dua tahun di puting teteknya yang ke lak tak segering saat ini. Bahkan untuk mengejar kehendak itu, beberapa kali dia menggoda para guru ngaji yang barangkali saja mau bersedia bersamanya. Mengajarkannya ngaji dan dia akan membalasnya dengan imbalan menunjukkan bagaimana memijat bagian-bagian tubuh lel anang yang mendatangkan kenikmatan tak terkira. Karena usahanya yang gigih itu, dia pun beroleh beberapa kali keberuntungan. Be berapa kali dia mampu mencucup cairan santri dan guru ngaji. Dan sejak itu dia m enemukan resep bahwa untuk mendapatkan cairan itu, dia tak boleh lagi berjalan t elanjang seperti dulu lagi. Tubuh harus bersih dan kalau perlu dibaluri melati p ewangi yang bisa dipetiki dari dalam pagar-pagar warga di malam hari. Dan dia ta k boleh lagi meminta cairan suci itu di tempat terbuka, tapi harus menghadangnya di tempat yang paling gelap. Di semak-semak yang jarang kena jamah orang banyak . Atau di bawah lincak di pasar yang gelap. Bahkan di belakang jamban yang jauh dari surau. Di situ biasanya dia mengintip lelaki santri atau ustad yang kencing berdiri. Dan bukannya dia tidak memilih. Dia terihik-ihik sendiri bila mendenga r suara kencing di antara mereka. Yang suara kencingnya hanya seperti hujan kapa s, pertanda zakarnya kecil. Lain jika kencingnya memercik deras dan menggelontor cresssssss. Itu pertanda zakarnya besar. Dan yang kedua ini yang dipastikan aka n dimintainya berkuda bersama dalam kegelapan. Dari satu dua pelafaz yang mencicipinya, dia jadi tahu bahwa mereka itu sesungg uhnya mau. Tapi malu yang dalamlah yang membuat mereka memalingkan muka dan pura -pura berwajah pias dan menunjukkan kemuakan yang tiada banding. Sebab tak terba yangkan jika ketahuan secara terbuka sedang bertukar tangkap dengan ganasnya, ta k terkiralah bagaimana martabat kesucian yang mereka pelihara sedemikian rupa ak an jatuh berantakan. Betapa tulusnya dia melakukan praktik-praktik sundal itu. Hanya untuk mendapatk an keturunan yang baik-baik dari cairan mereka yang jalan darahnya kerap tercamp ur dengan ruap nama Tuhan Yang Agung. Tapi ulama dan orang-orang berbudi punya p endapat lain. Senonoh ya senonoh. Sundal ya sundal. Tak peduli apa pun motifnya. Generasi muda, santri-santri yang masih labil, harus diselamatkan dari kebangkr utan moral. Apalagi, istri-istri yang dibakar cemburu karena suaminya ada main d engan perempuan jalang, bersatu padu menghadap ulama-ulama tahkim agar mengambil tindakan keras. Dan para ulama tahkim itu berkesimpulan bahwa perempuan jalang itulah penyebab pertama terjadinya perzinahan besar-besaran yang dilakukan denga n sembunyi di mana pun di tempat paling temaram yang disediakan kota suci ini. D engan sigap dan antisipasi berkecambahnya kerusakan akhlak penduduk kota yang ki an parah, ulama-ulama itu menyerukan penangkapan. Dan di tepi teritis surau di pinggiran kota yang sepi, kala dia duduk terpekur entah meratapkan apa --mungkin bermunajat-- segerombol kadet kota menangkapnya, menggelandangnya, dan menyeretnya ke neraka bumi. Dan di siang hari yang ganas, di tengah lapangan, lubang rajam separuh badan it

u menunggunya. Lubang yang akan mengakhiri takdir buruk dan kutuk bumi jahanam. KAU menyeruak di antara orang-orang yang berbaris rapat. Berlapis-lapis. Menyik ut kiri kanan hanya untuk melihat wajahnya dengan jelas. Dari jarak pandang yang terdekat. Di pinggir lingkaran bambu. Dan terang sudah. Kau lihat zirah yang menempel di tubuhnya sudah koyak. Dicabi k-cabik para istri yang kalap dan marah karena cemburu di sepanjang jalan menuju tengah kota. Kain itu seperti tersampir begitu saja. Mungkin kain sebelumnya ya ng dikenakan perempuan ini sudah habis lumat di tengah jalan oleh luapan amarah dan diganti ala kadarnya untuk menutup malu bagi yang melihatnya. Hanya agar ali m ulama yang menghadiri upacara kafarat tidak turut memikul dosa karena zina mat a. Kau memperhatikannya dalam-dalam. Dari ujung rambut yang menggerai berantakan h ingga ujung kakinya yang terkelupas terpapas tanah batu keras sepanjang jalan pe nyeretan. Dan matamu berhenti di mulutnya. Kau melihat sesuatu di bibirnya. Sepe rti sepotong puding di bibir yang memerah darah. Dan di bibir yang mengunyah pud ing itu kaulihat sebarisan pawai kata-kata pilu dan lelah --juga terluka parah d ari peperangan yang sedang dan masih berlangsung. Kaulihat kata-kata itu hendak melompat dari gerbang mulutnya yang luka. Tapi sederet pawai kata yang luka itu tercekat dan tertelan oleh riuh teriakan, sumpah serapah perempuan-perempuan mul ia, istri-istri setia, dan gumaman ragu para lelaki pencicip di barisan paling b elakang. Walau batal melompat, kata-kata tak terkata itu bisa kaurasai getarannya dari t empatmu berdiri berdesak-desakan. Kata-kata itu mengembang dalam pori-pori bayan gan, menyatu dengan riuh, mengambang bersama udara. Mungkin meledak gemuruh. Men jelma menjadi sebentuk irama-irama yang ganjil. Dan bisa jadi sebentuk derau kem abukan. Gumam aduh yang tercekat terpendam. Atau kesakitan yang genting. Hingga kaulihat ketika separuh tubuhnya sudah tertanam sempurna, semua orang me ngambil posisi melempar. Memungut batu-batu yang sudah disiapkan. Memilih-milih yang kalau bisa seukuran kepal supaya lontarannya tepat sasaran. Ini bukan upaca ra sunatan. Atau pasar reguler untuk jual beli. Atau pesta mauludan. Atau gerebe k syawal. Ini adalah kerumunan perajam. Tapi kau tak mengambil posisi yang sama. Bersama-sama mengepal batu. Kau takut. Kau merinding. Kau ingin seperti Isa, maju memeluknya yang sedang terpacak kuat di bambu dengan tubuh setengah tertanam. Melindunginya di balik lenganmu. Ingin menjadikan tubuhmu zirah untuknya, sebagaimana perlindungan Isa kepada perempua n pelacur Magdalena. Semacam baju perang Imam Ali di Perang Tabuk. Tapi segera kausadar bahwa ini bukanlah permainan debus. Tubuhmu tak punya nyal i dan kekebalan untuk menghalau derau batu yang datang seperti guyuran bandang. Dan seonggok tubuh yang terikat dan tertanam separuh itu, seperti tak butuh per tolonganmu. Atau siapa pun yang bermimpi jadi pahlawan di tubir kematian. Sebab dibibirnya, kau lihat teraut seruas senyum. Sangat tipis senyum itu sehingga tak mungkin tertangkap mata siapa pun yang sedang marah. Mungkin itu karena puding yang terkunyah dan belum tertelan habis. Atau bisa jadi ekspresi yang paling gen ting berduel dengan kematian di hadapan warga dan kadet kota yang kalap. Ataukah puding di mulutnya itu yang membuatnya begitu kuat menghadapi dukacita. Dan duk acita yang paling menyesap di hatinya adalah bahwa hingga kematian menjelang, di a belum juga dikaruniai buah hati dari sumbangan cairan para lelaki pelafaz nama -nama indah Tuhan yang sudah dicucupnya. Dan tubuh itu pun terkulai setelah dua pertiga jam berada dalam drama pelempara n yang mencekam. Darah berceceran di mana-mana. Di atas tumpukan batu-batu yang tajam mengoyak. Cabik-cabik daging yang meloncat dari raga berburai di atas tana

h. Berbaur bersama peluh para perajam yang kelelahan menghujaninya dengan batu. Dan kau hanya menyaksikan itu semua dengan tangan menutup muka. Seperti mata ya ng tak rela melihat darah mengucur. Tak lama berselang kau pun berlalu bersama b erlalunya yang lain-lain. Tapi tidak kembali ke rumah, tapi menuju kuburan perem puan jalang itu. Ingin melihat apakah puding di mulutnya dibawanya serta.*** Pada Suatu Hari Cerpen: Ratna Indraswari Ibrahim Sumber: Jawa Pos,Edisi 02/20/2005 Wawancara yang dimohon wartawati baru itu, oleh Presiden dikabulkan. Padahal, A nnisa baru sepuluh bulan bekerja sebagai wartawati di media ini. (Kabar itu memb engkakkan rasa cemburu rekan-rekannya, yang lebih senior). Lagi pula, semua oran g tahu, yang mulia Presiden tidak mudah diwawancarai! Dalam wawancara, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh Annisa. Selama wa wancara dengan Presiden, tidak diperbolehkan membicarakan politik, ekonomi, baik dalam maupun luar negeri. Yang diperbolehkan hanya membicarakan hal-hal yang ri ngan. Wawancara bertempat di serambi belakang istana (di mana tempat itu adalah bagian terindah dari istana). Wawancara akan dilakukan pada jam dua siang. Annisa harus hadir lima belas meni t sebelum wawancara dimulai. Tidak diperkenankan membawa fotografer. Dan paling penting yang harus diingat Annisa, tidak diperbolehkan memakai parfum. Presiden yang perokok berat itu, alergi terhadap parfum. Padahal, tanpa parfum kesukaanny a, Annisa merasa gamang. Tepat lima belas menit sebelum jam dua siang, Annisa, 26 tahun, tinggi seratus tujuh puluh sentimeter, bermata lebar, kulitnya cokelat seperti tanah yang baru dibasahi hujan, putri bungsu dari empat bersaudara Bapak-Ibu Syahrul yang pengus aha, hadir di serambi belakang istana. Jam dua siang tepat, yang mulia Presiden muncul dengan mengenakan baju warna ge lap. Tanpa senyum, mengulurkan tangannya kepada Annisa. Ada perasaan galau dalam diri Annisa. Dia mencoba menetralisir pikirannya yang kacau-balau (Terkagum-kagum kepada Presiden yang pernah dikenal dekat oleh bunda nya). Annisa tersedot. Sambil menyulut rokok yang digemarinya, Presiden berkata, "Anda bisa memulai de ngan pertanyaan pertama." Annisa yang untuk selanjutnya disebut dengan inisial (A), dan Presiden dengan i nisial (P), memulai wawancara yang bagi Annisa, membuatnya gugup, berkeringat. ( Bundanya pernah berkata, akan sulit baginya, mewawancarai lelaki yang suka menja ga jarak dalam pembicaraan mereka). *** A: Di masa muda Bapak menyukai olahraga tenis, apakah Bapak masih sempat melaku kan olahraga itu? P: Saya masih melakukannya pada setiap Sabtu siang. Tetapi, setiap memukul bola

, pikiran saya selalu tertumpu pada pekerjaan. Sehingga sulit memenangkan pertan dingan yang saya adakan dengan pegawai-pegawai di lingkungan istana ini. A: Saya kira, Bapak sangat menyukai pekerjaan, padahal tahun ini Bapak genap be rusia berusia 60 tahun. P: Kadang-kadang dalam usia ini, saya ingin sekali beristirahat untuk menikmati masa kerja yang begitu panjang temponya. Tetapi, harus Anda ketahui, hal itu ti dak akan pernah saya lakukan. Karena, sekali lagi saya tegaskan, banyak pekerjaa n yang tidak bisa ditunda. A: Bapak beranggapan kerja menjadi keseluruhan hidup ini? P: Saya tidak bilang begitu. Karena kadang-kadang saya juga menikmati waktu sen ggang dengan bermain tenis atau bermain dengan cucu-cucu saya. Keseimbangan itu bisa menyehatkan siapa saja. A: Apakah Bapak masih menyukai seni, seperti di masa muda? Karena Bapak pernah menerbitkan beberapa kumpulan puisi. Saya dan Bunda suka puisi Bapak yang berjud ul Bulan di Atas Pohon Kenari. P: Di masa muda adalah waktu yang mengasyikkan kala menciptakan puisi. Tapi itu sudah lewat. Pikiran saya selalu melompat-lompat pada problem yang desak-mendes ak di negeri ini. A: Apakah Bapak kecewa? P: Tidak. Setiap orang berada pada situasi batas, di mana kita tidak bisa memil iki banyak pilihan. A: Apakah sekarang Bapak masih suka nonton film seperti di masa muda? P: Ya, film-film dokumenter, sejarah atau perang. Saya kurang suka menonton fil m roman. Melihat film itu seperti melihat ilusi yang bisa meninabobokan kita sem ua. A: Menurut beberapa ahli mode, Bapak menyukai model-model konservatif dan cende rung menyukai warna gelap. Menurut majalah mode, Bapak adalah pria berbusana ter baik di tahun ini. Bagaimana komentar Bapak tentang pendapat para ahli mode itu? P: Sejak muda, saya tidak mempedulikan mode. Buat saya, asal enak dipakai saja. A: Kalau hidup ini bisa diulang, profesi apa yang Bapak sukai? P: Penyair, karena saya bisa terlibat dengan banyak manusia, menulis kristalisa si kehidupan. A: Apakah dengan menjadi Presiden, kita tidak bisa mengkristalisasi kehidupan i ni? P: Ibu Annisa, pertanyaan Anda lepas dari koridor perjanjian semula. A: Maaf, sekarang bagaimana pendapat Bapak tentang perempuan? P: Saya suka perempuan yang konvensional. Ini bukan berarti saya tidak menyukai wanita karier. Sebab, saya kira, pekerjaan apa pun pasti bisa menarik. A: Bagaimana pendapat Bapak tentang cinta? P: Saya kira, kita tidak bisa memanipulasi cinta. Untuk hal ini harus ada kerja

sama. A: Kalau saya boleh menyimpulkan, Bapak hanya mencintai kerja keras dan berhara p semua orang bisa meniru sikap Bapak. Lantas apa yang tidak Bapak sukai? P: Sikap malas dan perasaan lemah. A: Biasanya, perempuan dianggap lemah karena gampang menangis, bagaimana pendap at Bapak? P: Seharusnya perempuan yang tinggal di negeri ini bersikap rasional. Sebab, ke hidupan di zaman ini siap tempur dan desak-mendesak. A: Kenyataannya sekarang banyak perempuan bahkan laki-laki yang cengeng. Itu te rlihat pada film-film, sinetron, novel-novel atau lagu yang mereka gemari. P: Benar, di dalam buku saku saya, sudah ada rencana untuk menghimbau rakyat ag ar mereka meninggalkan kecengengan itu. A: Tapi, kalau kita bersikap yang sama, dunia ini akan kehilangan warnanya. Bag aimana pendapat Bapak? P: Paling penting adalah warna yang rasional. A: Apakah Bapak masih bisa menikmati bunga yang mekar, misalnya? P: Saya mencoba untuk tidak pernah terpesona pada segala hal. A: Bagaimana pendapat Bapak tentang lomba go car yang baru-baru ini diadakan da n juara pertamanya cucu Bapak yang baru berusia tiga belas tahun? P: Sayang sekali, saya tidak sempat menyaksikan lomba tersebut. Yah, kelihatann ya memang menarik. A: Bagaiamana pendapat Bapak tentang remaja masa kini? P: Pada dasarnya saya berharap mereka bisa lebih kreatif. Ibu Annisa, saya kira wawancara ini bisa ditutup sampai di sini saja! *** Pada kesempatan itu Presiden membuka sebuah kotak berisi sebentuk cincin bermat a mirah. "Seharusnya kotak ini saya berikan pada Bundamu, tiga puluh lima tahun yang lam pau, di hari pernikahannya! Sekarang bisa kau berikan kepadanya. Bilang pada Ibu mu, sebagai teman lama, saya menyarankan dia tidak hanya membuat novel-novel yan g bertemakan kelemahan-kelamahan manusia saja." Annisa gugup. Sebelum dia berbicara lebih lanjut, yang mulia Presiden berdiri. "Kamu sangat mirip ibumu, Annisa! Tadi saya nyaris menyangka dialah yang hadir. " Annisa gelagapan. Dia merasa berhalusinasi ketika melihat kesedihan, cinta, keb encian, di mata laki-laki itu. Bundanya pernah berkata, lelaki ini sulit mengung kapkan perasaannya. Pada waktu yang sama, ayahnya melamar Ibunya. Sebelum Annisa sempat berucap apa-apa, lelaki itu bergegas memasuki ruang kerja nya, melihatnya sepintas, kemudian menutup pintu ruang kerjanya!

*** Sore ini, di kamar, Annisa mencoba mengedit hasil wawancaranya dengan Presiden. Dia merasa kesulitan dan capek. Secara iseng Annisa membuka chanel TV, kemudian dengan geram mematikannya lagi, kala berita infotaiment sore itu mengatakan, An nisa berhasil mewawancarai Presiden, yang biasanya sulit diwawancarai! Dan, kata presenternya, bagaimana Anissa bisa semudah itu mewawancarai presiden. Annisa berpikir, sebuah tembok mengelilinginya. Dia ingin menghancurkan tembok itu. Annisa mengerti bahwa lelaki itu mirip orang yang dicintainya. Padahal saat ini Annisa sudah bertunangan dengan lelaki lain. Keputusan ini tidak mudah. Bundanya menganggap, dia tidak mengambil keputusan y ang tepat. Bundanya berkata, "Kalau tidak ada ketegasan dalam hubunganmu, mengap a kau harus bertunangan dengan orang lain. Nduk, pernikahan itu tidak bisa dised erhanakan, apalagi ketika kau marah dengan pacarmu, kemudian bertunangan dengan orang lain." Annisa tidak bisa menceritakan kepada Bundanya. Dia sekarang paham, cinta merek a memunculkan pemberhalaan. Sehingga dia berpikir harus menghancurkan perasaan c intanya sendiri sebelum menjadikan pacarnya sebagai berhala dari perasaannya itu . Tidak mudah memang, seperti membelah diri sendiri. Apakah ini juga pernah dila kukan oleh Bundanya? Diam-diam Annisa merasa Bundanya perempuan cerdas yang lebih punya intuisi terh adap kehidupan perkawinannya. Pernikahan orang tuanya berjalan biasa-biasa saja. Sejak kecil Annisa tidak melihat kejanggalan atau keburukan, dalam umur pernika han mereka? Namun Annisa tumbuh sebagai anak bungsu yang mendapat banyak perhati an dari orang tuanya. *** Sebetulnya, ceritanya harus dimulai dari sini. Annisa merasa seperti kebanyakan mahasiswa yang penuh cita-cita dan cinta. Namun gelisah terus-menerus. Sampai s uatu kali dia merasa muak dengan segala hal. Di ruang perpustakaan dia membaca, bertemu dengan seorang laki-laki. Ini memang sebuah cerita klise. Namun, sejak i tu perhatiannya tertumpah kepada laki-laki itu saja. Sehingga Annisa seperti dis eret ke dalam arus yang besar dan tidak bisa kembali. Annisa tercekik dan putus asa. Cintanya sudah menjadi berhala yang berada di setiap sudut ruang kuliah, ka marnya, bahkan di sebuah ruang yang paling privat. Sepertinya Annisa sudah berte riak-teriak, berguling-guling untuk memutuskan itu. Annisa mencoba mengalihkan pikirannya ke pekerjaan. Kemudian, untuk pertama kalinya Annisa menyulut rokok kegemaran Presiden, mengu rung diri dan bekerja keras tanpa mempedulikan tunangannya yang memanggil-manggi l di luar kamar. "Annisa, apa yang terjadi denganmu? Beberapa hari ini aku tidak bisa menghubungi ponsel atau telepon rumahmu," katanya lembut. Annisa diam, diam saja. *** Malang, 17 Januari 1984 / 30 Oktober 2004 Moksa Cerpen: Putu Wijaya

Sumber: Jawa Pos,Edisi 02/20/2005 Telepon berdering di kamar praktik dokter Subianto. Dokter yang sedang menyanyi -nyanyi sambil memeriksa pasiennya itu, mengangkat telepon. "Hallo, ini pasti kamu Moksa!" "Bener, Pak." "Kamu kan janji mau pulang. Jam begini kamu kok belum datang?" "Moksa tidak jadi pulang." "Lho, kenapa? Kamu bilang kamu butuh duit untuk beli kado buat teman baik kamu itu." "Pokoknya tidak jadi. Dan Moksa tidak jadi pulang. Mau langsung ke pesta ulang tahun kawan itu." "Lho, katanya kamu tidak punya uang untuk beli kado!" "Udah beres!" "Beres gimana! He Moksa, Ibu kamu minta diantarkan makan di Planet Hollywood." "Tidak bisa Pak. Besok aja. Moksa pulang besok, Minggu." "Tapi kamu kan butuh duit..." "Udah ya Pak. Selamat malam Minggu sama Ibu. Besok Moksa pulang!" "Tunggu!" "Tidak bisa, ini coinnya sudah habis." Telepon putus. Dokter Subianto tertegun. Kelihatannya kesal. Dia menghampiri pasiennya dan tan pa ditanya lantas ngomong. "Anak-anak sekarang memang lain dengan kita dulu," katanya sambil meneruskan me nelusuri tubuh pasiennya dengan stetoskop. "Kenapa, Dok?" "Itu anak saya yang indekos di Depok supaya dekat sekolahnya, pulangnya hanya s ebulan sekali. Ini ibunya sudah rindu setengah mati, tapi dia nggak jadi pulang. Padahal kemaren merengek-rengek minta uang bulanannya ditambahin 100 ribu, seba b ada kawannya yang ulang tahun. Saya bilang boleh saja, asal jelas untuk apa, t etapi harus pulang dulu! Sekarang dia tidak mau pulang. Dia cuma mau uangnya. Ak ibat iklan-iklan tv, anak-anak sekarang memang jadi mata duitan semuanya. Oke. S udah. Anda sudah tokcer. Anda sudah boleh melakukan apa saja dan makan apa saja sekarang, asal jangan berlebihan seperti pejabat-pejabat yang KKN itu!" Pasien mengucapkan terima kasih, lalu pergi keluar. Dokter Subianto kembali men ggumankan lagu kegemarannya. Langgam Melayu Seroja ciptaan almarhum S. Effendie. "Mari menyusun, bunga Seroja......" Pintu belakang terbuka. Kepala istrinya nongol.

"Moksa nelpon ya?" Dokter menarik napas panjang. "Ya. Tapi dia tidak bisa pulang. Tetap saja urusannya sendiri yang lebih pentin g. Kita memang sudah dia tinggalkan. Ini memang nasib semua orang tua. Uang saku nya harus dikurangi lagi, supaya dia terpaksa pulang." Istri dokter masuk. Dia tampak sangat gembira. Dokter Subianto jadi heran. "Kenapa kamu gembira sekali, padahal kamu harusnya marah besar sebab tidak jadi ke Planet Hollywood, sebab tidak ada yang mengantar, karena aku juga tidak bisa membatalkan pertemuanku dengan dokter Faizal malam ini di rumahnya!" Istri dokter Subianto duduk di kursi. "Aku bisa ke Planet Hollywood kapan saja. Tidak pergi juga tidak apa. Aku sudah cukup senang dengar apa yang diceritakan Moksa di telepon tadi." "O jadi dia sudah menelpon kamu sebelum menelpon aku? Anak-anak memang semuanya lebih cinta kepada ibunya daripada papanya." "Bukan begitu. Dia tahu kamu lagi praktek, jadi dia ceritakan saja kepadaku. Na h sekarang aku menceritakan kepada kamu." "Apa lagi apologinya kali ini?" "Bukan apologi." "Apa lagi rayuannya kali ini supaya kamu tidak marah dan menyediakan duit 100 r ibu besok, karena dia sudah pinjam dari temannya, sebab itu memang lebih praktis daripada pulang naik bus yang kumuh, sesak dan panas. Ah anak-anak sekarang mem ang sulit dilatih prihatin. Maunya enak. Ini gara-gara gaya hidup wah yang sudah dipompakan oleh televisi dan majalah-majalah wanita!" Istri dokter Subianto tersenyum saja. Sekali ini ia tidak mencoba mendebat suam inya. Ia menunggu sampai lelaki itu tenang. Lalu sambil tersenyum bangga ia berc erita. "Anakmu Moksa sudah melakukan sesuatu yang amat mengharukan hari ini," kata wan ita itu dengan mata berkaca-kaca. "Dia sama sekali tidak meminjam uang temannya untuk beli kado. Tapi dia berusaha dengan cucur-keringatnya sendiri. Dan kamu pa sti akan terkejut kalau mendengar apa yang sudah dikerjakannya untuk mendapatkan uang." Tiba-tiba wanita itu tidak dapat menahan emosinya. Ia menangis, tetapi bukan se dih. Tangis haru karena gembira. Dokter Sugianto jadi berdebar-debar. "Apa lagi yang dilakukan oleh Moksa? Dia mencuri?" Nyonya dokter berhenti menangis. "Masak mencuri!" "Habis apa? Kamu kok menangis?" "Aku menangis karena terharu." "Kenapa terharu?"

"Sebab anakmu ngamen di dalam bus!" "Apa?" "Ngamen!" Dokter Subianto tertegun. Tak percaya apa yang baru saja didengarnya. Dan tamba h tak percaya lagi ketika istrinya menambahkan. "Dan dia menyanyikan lagu Seroja kegemaranmu itu di dalam bus dengan gitarnya. Banyak orang terharu. Suaranya kan memang bagus dan main gitarnya pinter. Tak te rsangka-sangka ia bisa mengumpulkan banyak, karena orang-orang itu memberinya de ngan senang hati." Dokter Subianto tak mampu bicara apa-apa. Ia ikut terharu. Anak yang selalu dik hawatirkannya sudah hampir sesat karena pergaulan metropolitan, ternyata masih l empeng. Bahkan mampu berdikari mencari duit dengan ngamen. Itu memerlukan kebera nian dan ketekunan. Tidak sembarang orang akan mampu berbuat seperti itu. Itu ha rus dibanggakan. Pintu kamar praktek terbuka. Zuster yang membantu mengatakan di depan masih ada satu pasien lagi hendak masuk. Istri dokter menghapus air matanya lalu diam-dia m masuk ke dalam. Waktu itu dokter Subianto tak mampu menahan kucuran air matany a. Ia cepat berpaling ke sudut dan menghapus rasa haru itu. Ketika Subianto berbalik dan berhasil menenangkan perasaannya, di depan mejanya sudah duduk pasien. Orangnya hitam kurus, pakai rompi hitam dan nampak amat kes akitan. Setelah diperiksa ternyata ia memiliki benjolan merah di dada kanannya. Dokter Subianto memperkirakan itu semacam tumor lemak. Ia cepat menulis resep. "Dalam tiga hari, kalau tidak ada perbaikan, cepat datang lagi kemari. Mungkin memerlukan perawatan lain. Tapi kalau sudah mendingan, teruskan minum obatnya sa mpai habis. Ini ada 4 macam." Subianto menyerahkan resep itu. Pasien melihat ke atas resep lalu memandang ke dokter seperti bimbang. "Kok banyak sekali Dokter?" "Bisa diambil separuhnya saja dulu." "Ini kira-kira berapa Dokter?" "Ya mungkin sekitar seratus ribu. Sekarang obat-obatan memang mahal sekali." Lelaki itu tertegun. Dokter Subianto heran. "Kenapa?" "Saya tidak punya uang Dokter. Bahkan saya juga tidak punya uang lagi untuk bay ar Dokter. Tadi di dalam bus waktu kemari, saya ketemu dengan seorang anak muda. Kelihatannya lagi susah. Karena ia duduk di samping saya, saya tanyakan apa seb abnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak punya uang untuk beli kado, buat teman baikn ya. Saya katakan kepada dia, bahwa kado itu bukan tujuan dari ulang tahun. Kita datang dengan tangan kosong dengan hati bersih saja sudah cukup. Dia termenung m endengar apa yang saya katakan. Lalu saya menceritakan banyak hal, panjang lebar , karena saya lihat dia begitu sungguh-sungguh mendengarkan. Waktu turun, dia me ncium tangan saya dan mengucapkan terima kasih. Saya tanyakan siapa namanya dan siapa orang tuanya. Tapi dia tidak mau menjawab. Namun saya yakin karena suarany

a, tubuhnya, dan gerak-geriknya juga hidungnya anak itu....... anak Dokter. Maaf , Dokter punya anak yang tinggal di daerah Depok, bukan?" Dokter Subianto terkejut. "Ya, anak saya Moksa, indekos di situ." "Dia memiliki tahi lalat di mata kanannya?" "Ya betul." "Maaf, kalau tidak salah, kidal?" "Betul." Pasien itu termenung. Ia kelihatan susah ngomong. "Kenapa? Bapak kesakitan?" Pasien itu seperti tak mendengarkan kata dokter, dia terus bercerita. "Waktu saya mau bayar bus, saya baru sadar, dompet saya sudah hilang. Semua uan g saya untuk berobat ada di dalamnya. Saya bingung. Tapi karena sakitnya bukan m ain, saya teruskan saja kemari. Jadi begitu Dokter. Maaf, apa saya bisa membayar Dokter lain kali saja?" Dokter Subianto tercengang. "Jadi, anak saya itu sudah mencopet Bapak?" "Anak Bapak? Benar dia anak Dokter?" "Maksud saya, anak itu. Anak itu sudah mencopet Bapak?" "Saya tidak tahu. Mungkin tidak." "Berapa isi dompet Bapak?" "Seratus ribu." Dokter Subianto termenung beberapa lama. Kemudian dia bergegas membuka laci mej anya. Mengeluarkan 100 ribu dan memberikan kepada orang itu. "Ini. Tebuslah resep itu." Orang itu tercengang. Nampak agak malu. "Pak Dokter meminjami saya uang?" tanyanya seperti tidak percaya. Dokter Subianto menggeleng. Ia mengajak orang itu ke pintu. "Tidak. Bapak tidak perlu mengembalikan, pakai saja uang itu untuk menebus rese p. Saya justru minta maaf atas kelakuan anak saya. Moksa memang nakal. Saya akan memberi dia peringatan keras. Sekali lagi minta maaf. Kalau ada yang perlu saya bantu, datang saja jangan ragu-ragu." Dokter Subianto membuka pintu dan mempersilakan. "Selamat malam."

Orang itu nampak seperti merasa bersalah. Ia ingin mengucapkan sesuatu, tetapi Subianto cepat menutup pintu. Lalu menjatuhkan badannya di kursi sambil memukul meja. "Bangsat!" Untung tidak ada pasien lagi. Konsentrasi Subianto sudah buyar. Begitu selesai praktek, ia menceritakan secara sekilas apa yang sudah terjadi pada istrinya. Ta npa mendengarkan komentar istrinya, ia langsung masuk ke mobil, menuju ke rumah pondokan Moksa di Depok. Subianto terpaksa menunggu di ruang tamu, karena Moksa baru saja berangkat ke p esta. Ia menghabiskan 5 gelas teh, karena perasaannya tak menentu. Tengah malam Moksa baru muncul. Anak itu juga nampak heran melihat papanya sudah menunggu. "Kan saya bilang besok pulangnya, Pak?" Subianto menyembunyikan kemarahannya dengan senyuman. "Ibumu tidak bisa menunggu sampai besok. Kamu harus pulang sekarang." Moksa terpaksa ikut. Dengan muka agak mengantuk, ia duduk di mobil di samping b apaknya. Ketika ia hampir saja tertidur, bapaknya mulai bicara. "Bapak dengar kamu sudah ngamen tadi untuk dapat beli kado." "O Ibu udah cerita?" "Ya. Dapat berapa?" "Lumayan. Yang penting kan bukan kadonya tetapi kehadirannya." "Jadi kamu menyanyikan lagu Seroja di dalam bus?" Moksa tersenyum. "Bener kamu menyanyikan lagu Seroja?" "Ya bener dong, masak tidak." Subianto mengangguk. "Di antara yang memberi kamu uang, ada lelaki pendek hitam dan memakai rompi hi tam?" Moksa mengerling. "Kok Bapak tahu?" "Ibu kamu menceritakan semuanya." "Tapi Moksa tak menceritakan tentang orang itu." "O ya?" "Moksa hanya bilang, orang-orang di dalam bus itu heran sebab Moksa ngamennya l ain. Kok pakai lagu Seroja. Mereka tertarik dan menanyakan apa Moksa pengamen be tulan? Moksa jawab tidak. Cuma iseng. Kebetulan kurang duit buat beli kado untuk temen. Ee tahunya semua pada bersimpati, lalu ngasih. Kecuali Bapak itu."

"Bapak yang mana? Yang pakai rompi hitam?" "Bapak kok seperti paranormal, tahu aja. Ya, dia pakai rompi hitam. Dia paling menikmati lagu Moksa tapi nggak mau ngasih duit." "O ya? Dia tidak ngasih apa-apa?" "Nggak. Nggak ngasih apa-apa. Tapi untuk menghargai perhatiannya pada lagu Moks a, Moksa menyanyikan lagu itu sekali lagi khusus untuk dia. Lalu dia memanggil M oksa. Katanya, itu lagu nostalgianya. Moksa juga bilang itu lagu nostalgia Bapak . Lantas dia nanya siapa sebenarnya Moksa. Ya Moksa terus terang saja, Moksa ini anak dokter Subianto. Dia manggut-manggut. Dia terus mendesak supaya Moksa mnce ritakan tentang Bapak. Ya Moksa cerita seadanya saja, semuanya. Lama juga kami n gobrol. Kami salam-salaman sebelum pisah. Moksa terus ngamen sampai capek, karen a rasanya enak dapat uang karena cucur keringat sendiri, makanya kagak jadi pula ng." Dokter Subianto tertegun. Ia menghentikan mobil. "Kenapa Pak? Ngantuk?" Subianto menggeleng. "Nggak. Aku hanya terkejut." "Kenapa?" "Karena Bapak kira Bapak ini cerdik, ternyata dengan gampang ditipu orang." "Ditipu bagaimana?" "Dikerjain. Melayang seratus ribu rupiah dalam sekejap!" "O ya? Kok bisa?" Dokter Subianto menarik napas panjang, lalu menceritakan apa yang sudah terjadi di kamar praktek sore itu. Moksa mendengar dengan penuh perhatian. "Jadi orang itu datang ke ruang praktek Bapak?" "Ya. Karena dia tahu data-data kamu, dia datang dengan begitu meyakinkan. Dia m enjual cerita bohong dengan begitu lihai, sehingga Bapak kehilangan 100 ribu. Ha bis dia bilang, dia tergugah mendengar cerita kamu. Masak anak dokter kok ngamen . Lalu dia mengeluarkan uang dari koceknya dan memberi kamu 100 ribu. Padahal ua ng itu mestinya untuk beli obat. Bapak jadi merasa tak enak. Akhirnya Bapak terp aksa mengganti 100 ribunya. Dia berhasil menipu Bapak dengan mempergunakan data dari kamu. Itu pasti penjahat profesional. Sebelum melakukan kejahatannya, dia p asti sudah menyelidiki kita. Dia tahu siapa kamu dan siapa Bapak. Kalau tidak, d ia tidak akan berhasil menipu dengan selicin itu. Dunia ini sudah penuh dengan k ejahatan sekarang. Bapak harus lebih waspada sekarang. Kamu juga harus hati-hati ." Moksa terdiam. Ia nampak memikirkam dalam-dalam. Lalu Subianto menghidupkan mes in kembali. Mobilnya meluncur seperti kesetanan. Di rumah ia hampir saja menubru k pagar. Istri dokter Subianto memeluk Moksa begitu mereka sampai. "Kamu anak hebat. Ternyata kamu bisa mandiri, kalau kamu mau. Ibu bangga sekali pada kamu!"

Subianto cepat-cepat pergi ke kamar studinya. Kalau sedang senewen, ia suka tid ur di situ menyepi. Tanpa salin pakaian, ia berbaring. Kecewa karena merasa suda h gagal mendidik anak. Ia menyesali dirinya karena terlalu sibuk. Kenapa ia dulu memilih jadi dokter, padahal ia tahu dokter sepanjang hari sibuk, tak akan semp at memperhatikan anak. Mestinya dia jadi seniman saja, supaya bisa menemani anak 24 jam. Mestinya ia tidak membiarkan Moksa indekos di Depok, supaya bisa diawas i terus. Sekarang sudah terlambat. "Kini sudah waktunya. Aku harus, harus, harus, harus bicara pada Moksa secara b lak-blakan, serius, dan keras. Kalau tidak, akan terlalu terlambat!" bisiknya de ngan geram. Sampai subuh, Subianto tak bisa memincingkan matanya. Tapi baru saja lelap sebe ntar, istrinya muncul membangunkam. Ternyata hari sudah pukul sebelas siang. "Moksa sudah menunggu kamu sejak tadi. Dia ingin bicara. Kelihatannya serius se kali," kata istrinya. Subianto duduk lalu memberi isyarat supaya Moksa disuruh masuk. Perempuan itu b erbalik lalu memberi isyarat pada anaknya yang sudah sejak tadi menunggu di pint u. Dengan anggukan rahasia Subianto minta supaya istrinya pergi. "Selamat siang, Pak. Bapak nggak ke kantor?" "Selamat pagi Moksa. Bapak kurang enak badan. Kamu mau bicara dengan Bapak?" "Ya." Subianto memandangi Moksa tajam. "Apa lagi? Mau menuntut kenaikan uang saku?" "Tidak." "Tidak? Lalu apa?" Moksa terdiam. "Ada apa Moksa?" Moksa menunduk. Setelah diam beberapa lama, ia berbisik. Suaranya hampir tidak kedengaran. "Pak, kenapa Bapak percaya pada Moksa?" Giliran Subianto yang terkejut. "Maksudmu apa?" "Kata Bapak, Bapak sudah ditipu oleh pasien yang mengaku memberi Moksa uang ser atus ribu itu!?" "Betul." "Berarti, Bapak percaya pada Moksa, dong!" Subianto terdiam. Dadanya berdetak keras. "Kenapa Bapak tidak percaya kepada orang itu?"

Subianto mengalihkan pandangan. Itu pertanyaan yang sulit. "Kenapa Pak?" Subianto menghela napas. "Karena kasihan?" "Tidak. Kenapa kasihan?" "Kalau begitu kenapa?" "Karena aku percaya kepada kamu, Moksa." Moksa termenung beberapa lama. "Jadi Bapak lebih percaya kepada Moksa?" "Ya dong!" "Jadi masih percaya?" Subianto menarik napas. "Ya dong! Kenapa tidak?" Moksa menunduk. Tiba-tiba ia menangis. Subianto sangat terkejut. Tapi ia berusa ha menahan perasaannya. "Kamu menangis Moksa?" Moksa mengangguk. Ia berusaha menahan isakannya. "Kenapa kamu menangis?" "Moksa malu, Pak." "Malu? Kenapa?" "Malu, karena Bapak masih percaya kepadaku." Subianto terdiam. Moksa memaksa dirinya berhenti menangis. Lalu ia memandangi b apaknya. "Moksa jadi malu sekali, sebab Bapak masih percaya pada Moksa. Beri Moksa kesem patan satu kali lagi Pak. Moksa akan mengubah semuanya ini. Bapak mau memberi Mo ksa kesempatan?" Subianto bingung. Ia tidak tahu apa yang lebih baik. Menjawab ya atau tidak. Ak hirnya ia menjawab, seperti orang yang bingung. "Tak ada yang harus dimaafkan. Kalau kamu nanti besar dan sudah punya anak, kam u akan tahu sendiri, di dalam keluarga tidak ada maaf, semuanya sudah diselesaik an dengan sendirinya. Karena kepada siapa lagi kita bisa berbuat kesalahan kecua li kepada orang tuamu yang menyayangimu?!" Moksa nampak semakin tertikam. Tapi kemudian ia berdiri dan menghampiri bapakny a. Memegang tangan orang tua itu, lalu menciumnya.

"Maap Pak." Subianto tambah bingung. Ia mengangkat tangan dan mengusap kepala Moksa. Anak i tu menangis kembali. "Terima kasih, Bapak masih percaya kepada Moksa. Tidak ada yang lebih berharga dari kepercayaan Bapak buat Moksa. Moksa akan berusaha baik lagi, Pak. Moksa per gi sekarang, Pak, ada banyak PR. Moksa tidak mau ketinggalan lagi. Jangan kataka n sama Ibu, ya Pak!" Subianto mengangguk, lalu membarut kepala Moksa. Kemudian mencium kening anak y ang cakep tapi badung itu. Moksa menangis lagi. Ia memeluk bapaknya erat-erat, k emudian cepat-cepat hendak pergi ketika terdengar suara pintu terbuka. Tapi ibun ya keburu masuk. Istri Subianto yang masuk karena mendengar suara tangis, terkejut karena tiba-t iba anak itu memeluk. "Ibu, Ibu punya seorang suami yang hebat. Moksa ternyata punya Bapak yang hebat . Moksa balik dulu sebab banyak urusan. Nanti Moksa nelpon lagi. Kapan-kapan Mok sa anterin Ibu ke Planet Hollywood. Moksa yang akan traktir dengan hasil ngamen. " Tak menunggu jawaban, Moksa mencium pipi ibunya, lalu bergegas keluar. Wanita i tu hendak memburu keluar, tetapi Subianto memberi isyarat. "Jangan, biar saja dia pergi." Perempuan itu bingung. "Tapi, kamu kemaren bilang, ini sudah terlalu berbahaya." Subianto menggeleng. "Kita harus memberi dia kepercayaan." "Tapi...mungkin dia perlu uang!" Subianto menggeleng. "Kepercayaan adalah segala-galanya. Itu lebih penting dari uang!" Wajah perempuan itu nampak semakin bingung. Ia mendekati suaminya, lalu mengemb angkan tangannya. Di atas tangan itu Subianto melihat bungkusan plastik dengan b ubuk jahanam. "Aku temukan ini di kamar mandi. Moksa pasti kelupaan." Dokter Subianto bergetar melihat barang-barang jahanam itu. Tetapi ia mencoba t enang. Hanya saja matanya tidak kuat. Nampak tetes air mata dari kedua mata yang sudah banyak diterpa kesedihan itu. "Kita harus percaya dan menyerahkan dirinya kepada dirinya. Dialah yang paling bisa menjaga dirinya sendiri. Kita harus berhenti jadi polisi dengan memberinya kepercayaan. Inilah harapan kita sekarang, setelah semuanya gagal!" bisiknya sam bil mencampakkan benda laknat yang sudah menghancurkan Moksa itu. "Kita lawan semua ini dengan kepercayaan." "Tapi apa bisa hanya dengan kepercayaan, Pa? Moksa sudah parah!"

"Kamu kira aku percaya pada semua ini? Tidak, Bu. Aku juga tidak percaya. Tapi kita harus percaya. Kita harus percaya Moksa akan bisa melawan itu semua. Dengan memberinya kepercayaan kita akan membantu ia keluar dari persoalannya. Harus, b etapa pun kita tidak percayanya. Harus Bu!" Istri Subianto terdiam, sementara Subianto sendiri berusaha melawan dirinya sen diri. Ia tahu kepercayaan itu baru bisa bekerja, kalau dia sendiri juga terlebih dahulu percaya. *** Cahaya Bulan Post:02/14/2005 Disimak: 104 kali Cerpen: Guy de Maupassant Sumber: Jawa Pos,Edisi 02/13/2005 Madame Julie Roubere tengah menanti kedatangan kakak perempuannya, Madame Henri ette Letore, yang baru saja kembali dari perjalanan ke Negeri Swiss. Seluruh keluarga Lotere melancong semenjak lima minggu lalu. Madame Henriette m engizinkan suaminya pulang sendirian ke kampung halamannya di Calvados, karena a da beberapa urusan bisnis yang harus diselesaikan, dan menghabiskan beberapa mal am di Paris bersama kakaknya. Malam berlalu. Dalam keheningan yang senyap, Madam e Roubere asyik membaca dengan pikiran kosong, sesekali menaikkan alis matanya s etiap kali mendengar suara. Akhirnya, pintu rumahnya diketuk, dan kakaknya muncul dalam balutan jaket tebal . Dan tanpa salam formal, mereka berpelukan penuh kasih dalam waktu yang cukup l ama, melepaskan pelukan sebentar lalu saling memeluk lagi. Kemudian, mereka sali ng menanyakan kabar, keluarga dan ribuan hal lain, menggosip dan saling menyela, sementara Madame Henriette sibuk melepas jaket dan topinya. Malam cukup gelap. Madame Roubere menyalakan lampu kecil, dan tak lama kemudian , dia acungkan lampu itu ke atas untuk menatap wajah kakaknya, lalu memeluknya s ekali lagi. Namun, betapa terkejutnya dia saat menatap wajah kakak tercintanya i tu. Dia mundur dan tampak ketakutan. Di kepala Madame Letore tampak dua gepok besar rambut putih. Sisanya, rambut it u tampak hitam pekat berkilauan dan di setiap sisi kepalanya terdapat dua sisira n keperakan yang menyusur ke tengah gumpalan rambut hitam yang mengitarinya. Dia baru berumur 24 tahun, dan tentu saja perubahan ini benar-benar mengejutkan dia semenjak kepergiannya ke Swiss. Tanpa bergerak sedikit pun, Madame Roubere menatap penuh keheranan, titik-titik air mata menetes ke kedua pipinya. Pikirannya berkecamuk, bencana apa yang tela h terjadi pada kakaknya. Dia bertanya, "Apa yang terjadi padamu, Henriette?" Dengan menyunggingkan senyuman di wajahnya yang sedih, senyum seseorang yang pa tah hati, Henriette menjawab, "Tidak ada apa-apa. Sumpah. Apakah kamu sedang mem perhatikan rambut putihku ini?" Tetapi Madame Roubere keburu merampas pundaknya, menatapnya tajam, dan mengulan gi pertanyaannya lagi.

"Apa yang terjadi padamu? Ayo katakan, apa yang telah terjadi. Dan jika kamu be rbohong, aku pasti akan mengetahuinya." Mereka masih saling pandang, dan Madame Henriette, yang terlihat seolah-olah he ndak pingsan, meneteskan air mata dari kedua sudut matanya. Adiknya bertanya lagi, "Apa yang terjadi padamu? Apa yang terjadi? Ayo jawab ak u!" Dengan suara patah-patah sambil tersedu, Henriette menjawab, "Aku rang kekasih." aku punya seo

Ketika sedikit lebih tenang, ketika degup jantungnya yang keras mulai mereda, d ia memasrahkan kepalanya ke dada adiknya seolah-olah hendak melepaskan semua beb an hatinya, untuk menguras seluruh derita yang telah menyesakkan dadanya. Dengan tangan saling bergenggaman, dua kakak beradik ini berjalan menuju sofa d i sudut ruangan yang gelap. Mereka tenggelam dalam keharuan, sang adik memeluk k akaknya erat-erat untuk mendekatkan diri, lalu mendengarkan. "Oh! Aku tahu kalimatku ini tidak masuk akal; aku bahkan tidak dapat memahami d iriku sendiri, dan semenjak itu aku merasa telah menjadi orang gila. Berhati-hat ilah, adikku, berhati-hatilah dengan dirimu sendiri! Jika saja kamu tahu betapa lemahnya kita, betapa cepatnya kita menyerah dan jatuh. Cukup satu momen kelembu tan saja, satu masa melankolis yang menerpamu di antara ribuan kerinduan untuk m embuka tanganmu, untuk mencintai, menyukai sesuatu, maka kamu pun akan dengan mu dah jatuh. Kamu mengenal suamiku, dan kamu tahu betapa aku mencintainya; tetapi dia pria y ang matang dan rasional, dan tak mampu memahami getaran lembut hati seorang wani ta. Dia selalu sama, selalu baik, selalu tersenyum, selalu ramah, selalu sempurn a. Oh! Betapa kadang-kadang aku berharap agar dia memelukku dalam kedua tanganny a lalu memberiku ciuman lembut yang manis dan pelan-pelan. Betapa aku berharap a gar dia menjadi pria yang bodoh, bahkan lemah, sehingga dia merasa membutuhkanku , membutuhkan belaianku dan air mataku. Semua ini kelihatannya culun; tetapi kita, para wanita, memang ditakdirkan sepe rti itu. Apa daya kita? Tapi, tidak pernah terpikir olehku untuk meninggalkan su amiku. Sekarang terjadi, tanpa cinta, tanpa alasan, tanpa apa pun, hanya karena bulan telah menyinariku suatu malam di pinggir Danau Lucerne itu. Selama satu bulan itu, ketika kami melakukan perjalanan bersama, suamiku, denga n sikapnya yang masih acuh tak acuh, telah melumpuhkan semangatku, memadamkan ra sa puitisku. Ketika kami menuruni jalan-jalan di pegunungan saat matahari terbit , ketika dua ekor kuda saling bersenda-gurau, dalam keremangan kabut, kami meman dang lembah, hutan, sungai dan pedesaan, aku bertepuk tangan keras-keras dan ber kata kepadanya: Betapa indahnya, wahai suamiku! Beri aku ciuman! Cium aku! Dia han ya menjawab, dengan senyum dinginnya: Tidak ada alasan bagi kita untuk saling ber ciuman hanya karena kamu menyukai pemandangan ini. Dan kalimatnya itu telah membekukan hatiku. Menurutku, ketika dua orang saling mencintai, mereka harusnya semakin tersentuh oleh pemandangan-pemandangan yang i ndah. Aku membeku bersama puisi hatiku. Aku seperti tungku yang tersiram atau bo tol yang tersegel rapat. Suatu malam (kami menginap empat malam di sebuah hotel di Fluelen), karena saki t kepala, Robert langsung tidur setelah makan malam, dan aku berjalan sendirian menyusuri jalan di pinggir danau itu. Malam itu berlalu seperti dongeng-dongeng sebelum tidur. Bulan purnama mendadak

muncul di atas langit; pegunungan tinggi, dengan semburat putih salju, seperti mengenakan mahkota warna perak; air danau gemericik dengan riak-riak kecil yang berkilauan. Udara begitu lembut, dengan kehangatan yang merasukiku sampai sepert i mau pingsan. Aku begitu kepayang tanpa sebab apa pun. Tetapi, betapa peka, bet apa bergolaknya hati saat itu! Jantungku berdegup keras dan emosiku semakin kuat . Aku duduk di atas rumput, menatap danau yang luas, melankolis dan menakjubkan i tu, seolah-olah ada perasaan aneh merasukiku; aku terangkum dalam rasa haus akan cinta yang tak terlegakan, sebuah pemberontakan terhadap kebodohanku sepanjang hidupku. Apa! Tidakkah menjadi takdir bagiku untuk dapat berjalan dengan seorang pria yang kucintai, dengan tangan saling berpelukan dan mulut saling berciuman, di pinggir danau seperti ini? Tidak bolehkah bibirku mengecap dalamnya ciuman y ang lezat dan memabukkan di malam yang telah diciptakan Tuhan untuk dinikmati? A pakah ini nasibku untuk tidak meresapi indahnya cinta dalam bayang-bayang cahaya bulan di malam musim panas ini? Lalu tangisku meledak seperti wanita gila. Kudengar sesuatu bergerak di belakan gku. Dan seorang pria berdiri di sana, menatapku tajam. Ketika kupalingkan kepal aku, dia mengenaliku dan berkata, Kamu menangis, nyonya? Dialah pemuda yang tengah melancong bersama ibunya, dan kami sering bertemu. Ma tanya seringkali menguntitku. Aku begitu bingung dan tidak tahu harus menjawab a pa. Kujawab saja bahwa aku sedang sakit. Dia berjalan di dekatku dengan cara yang santun dan lembut, lalu mulai berbicar a kepadaku tentang perjalanan kami. Segala yang kurasakan telah dia terjemahkan ke dalam kata-kata. Segala hal yang membuatku bergairah dapat dia pahami dengan sempurna, lebih baik dari diriku sendiri. Dan tiba-tiba dia mengutip larik-larik puisi Alfred de Musset. Tenggorokanku tersekat, aku terpesona dengan emosi yang meluap-luap. Terlihat di sekelilingku, pegunungan, danau dan cahaya bulan tenga h bernyanyi untukku. Lalu terjadilah. Entahlah. Aku tak tahu kenapa, semacam sebuah halusinasi. Aku tidak bertemu lagi dengannya, sampai suatu pagi dia harus melanjutkan perja lanannya lagi. Dia memberiku sebuah kartu!" Lalu, sambil jatuh ke dalam pelukan adik perempuannya itu, Madame Lotere menang is sesenggukan, nyaris seperti anak kecil. Madame Roubere, dengan wajah serius, berkata dengan lembut, "Dengarlah, kakakku, seringkali bukanlah seorang pria yan g sesungguhnya kita cintai, tetapi cinta itu sendiri. Dan cahaya bulanlah yang m enjadi kekasih sejatimu malam itu." *** Catatan Jawa Pos: Judul asli Moonlight karya Guy de Maupassant. Cerpen ini dite rjemahkan oleh Ribut Wahyudi, penulis dan pengelola penerbitan di Jogja. Guy de Maupassant adalah cerpenis kelahiran Chateau de Miromesniel, Dieppe pada 5 Agust us 1850. Selama hidupnya, dia telah menulis lebih dari 300 cerita pendek, enam n ovel, tiga buku perjalanan, dan sebuah kumpulan puisi. Maupassant sudah menderit a sifilis semenjak usia 20 tahun. Pada 2 Januari 1892, dia berusaha bunuh diri d engan menusuk tenggorokannya sendiri. Dia meninggal pada 6 Juli 1893.

Cerai Cerpen: Badai Ekananda Sumber: Jawa Pos,Edisi 02/06/2005 "Hughes saja mau cerai " Winda tak menjawab banyak ocehan rekan sekantor, seruang , sekaligus sahabat hidupnya, Neni. Tangan wanita cantik berlesung pipit itu tet ap asyik memegang remote control teve 21 inchi yang menghiasi ruang kerjanya. Se sekali Winda membesarkan volume teve yang tengah menayangkan salah satu program infotainment ternama itu. Saat jeda iklan, Winda memindahkan ke channel lain, na mun satu hingga dua menit kemudian kembali ke channel yang menayangkan infotainm ent tadi. "Mereka kan selebriti, Win. Sementara kita hanya orang biasa. Bedalah, kehidupa n para selebriti itu pasti lebih kompleks," tutur Neni. "Ah, kamu belum pernah married sih. Bisanya ngomong doang, coba kalo udah ngala min, baru tahu rasa," balas Winda. "Selebiriti itu konsep dasarnya popularitas. Saat popularitas meredup, mereka c ari segala cara untuk mendongkraknya kembali. Dan berita mengenai perceraian itu , salah satu cara aja." Kalimat Neni meluncur dengan nada agak keras, seraya men coba menyembunyikan ketersinggungan sebagai wanita 35 tahun yang belum bersuami. "Aku tidak menikah karena aku ingin berhati-hati Win, itu aja. Aku juga nggak m au kayak kamu begini, belum genap setahun menikah udah berpikir cerai." Dering telepon menghentikan pembicaraan dua wanita eksekutif itu. "Press releas e-nya sudah saya siapkan, Pak. Bentar lagi wartawan pada ngumpul di sini. Press kit dan uang transport-nya juga udah beres, Pak. Saya segera ke lobi ." Dengan tergesa Winda menyambar beberapa map di meja kerjanya, mengambil kamera digital cool pic, dan tak lupa merapikan rambut lurus sebahu yang tampak sedikit acak-acakan. "Aku turun dulu, Nen. Tapi satu hal, sampai kapan kita para wanita ini menerima saja dunia yang patriakhi begini. Kita ini wanita mandiri, punya uang, kecantik an, segalanya. Bokap nyokap kita juga kaya. Tak selamanya kan wanita harus menga bdi kepada lelaki. Sebaliknya lelaki sudah waktunya mengabdi kepada istri. Dunia masih berputar kok kehilangan satu lelaki. Toh aku masih 27, masih banyak yang ngantri. Talk to you later " *** "Pokoknya cerai, titik!" "Cinta, kamu emosional banget sih. Pikir dong yang jernih, masih banyak celah u ntuk memperbaiki hubungan kita ini." "Dimas, aku sudah cukup sabar menghadapi kamu. Aku menikah untuk mencari kebaha giaan, bukan sebaliknya. Kali ini aku serius, aku sudah tunjuk pengacara, dan be sok surat gugatannya sudah dimasukkan ke pengadilan negeri." "Cinta, I love you, I really love you. Janganlah karena masalah kecil, jadi run yam begini. Dimas minta maaf kalau salah. Aku mencintai kamu dan kamulah wanita pilihan untuk mendampingi hidupku selamanya." Laki-laki setengah baya itu duduk bersimpuh. Sesekali dia mencium kaki Cinta al ias Winda, istrinya, yang duduk di kursi rias di dalam kamar mereka. Winda hanya

bisa menghela napas, berusaha mengabaikan rengekan laki-laki yang hingga kini d ia tidak mengerti bagaimana bisa terpilih menjadi suaminya. Winda ingat betul ketika kuliah, seperti apa lelaki yang diidamkan menjadi suam inya. Tak harus tampan seperti Brad Pitt, atau segagah Steven Seagel. Dalam keya kinan Winda, lelaki yang tampan atau terutama yang merasa tampan, cenderung tida k setia. Winda juga tidak mengidamkan lelaki sekaya Sultan Bolkiah, karena lelak i kaya cenderung ingin kawin mininal dua. Lelaki sederhana dan biasa saja, tapi harus pintar. Nggak peduli kerja sebagai apa. Dokter, pengacara, banker, pialang saham atau valas, bahkan wartawan pun ma suk kriteria asal dewasa, pintar, dan setia. "Kekayaan bisa hilang, tetapi kepin taran akan ada selamanya," batin Winda suatu ketika. "Cinta, Dimas mengaku mengaku salah. Dimas berjanji tidak akan menyakiti hati k amu lagi, menyinggung perasaan kamu, apalagi sampai memukul kamu lagi. Swear, it u tidak pernah akan aku lakukan lagi. Apalagi sebentar lagi disahkan UU Kekerasa n Dalam Rumah Tangga, suami mana yang berani menyakiti istrinya. Jangankan menya kiti secara fisik, melukai batinnya saja sudah pidana," tutur lelaki yang nyaris frustasi dengan kekerasan hati istrinya ini. "Jangan bawa-bawa UU di sini deh. Toh penerapannya belum tentu seideal aturanny a. Siapa bayar yang lebih besar, dialah yang pasti menang. Pokoknya begini saja, aku minta cerai." Dimas menghela napas panjang. Dia mencoba memeluk istrinya, namun tangan Winda menampiknya. "Nggak usah sok mesra " "Aku telepon Mama dulu, aku butuh penjelasan, kenapa anaknya membatu seperti in i," Dimas menyela. "Jangan bawa-bawa Mama dalam masalah kita. Mama sekarang butuh ketenangan. Biar Mama dihibur oleh Mbak Yanti dan Dik Rudi di rumah, nggak perlu diganggu oleh p embelaan kamu seperti itu. Lagian Mama pasti sangat sedih kalau mengingat minggu ini Papa sedang berbulan madu di Eropa dengan istrinya. Meski perceraian itu su dah setahun berlalu, Mama masih sulit melupakan Papa. Maksudku sulit melupakan s akit hatinya. Lapor saja ke Mami Papi kamu sendiri," kata Winda. "Mami Papi juga sedang sibuk menenangkan Lulu, dia menangis terus, suaminya mem aksa minta kawin lagi. Cinta pikir baik-baiklah keputusan cerai itu." "Nggak, aku mau cerai." "Jangan ngotot begitu, kamu menyesal sendiri lho, Cinta." "Menyesal? Apa yang aku sesalkan bercerai dengan kamu? Hari ini kamu minta maaf , tetapi besok menyakiti aku lagi, ada saja cara kamu menyakiti aku. Mulai soal Papa Mama yang nggak bisa mendidik aku, kecongkakan kamu bahwa keluarga kamu leb ih kaya, meski kenyataannya kekayaan keluarga kamu nggak ada seujung kuku kekaya an Papaku. Dimas, aku butuh suami yang bisa ngemong aku, bukan seperti sekarang, aku seperti hidup dengan seorang bayi, dan sayangnya bayi itu sudah 40 tahun," teriak Winda. Dimas terdiam. "Dan, satu hal lagi Dimas yang aku sesalkan dari kamu. Kamu selalu mengungkit m asa laluku, sepertinya kamu menyesal menikahi seorang wanita yang tidak bisa mem persembahkan keperawanannya buat kamu. Ungkit saja itu terus, toh keperawananku juga tak pernah kembali. Yang penting sejak awal ketika kamu melamar aku, aku su dah jujur bahwa aku sudah tidak perawan lagi. Waktu itu kamu sok bijak, menerima saja, dan ternyata kamu munafik juga. Memangnya kamu masih perjaka ketika awal menikah? Lihat istrimu yang dulu, akhirnya juga minta cerai karena kamu yang tid

ak tampan itu ternyata juga doyan selingkuh." "Aku udah ngantuk Cinta. Aku tidur di kamar sebelah." *** Trit, trit, triiit . "Lagi sibuk, Mas Bayu? Aku mau ngomong sebentar aja." "Mana mau sibuk, kalau yang menelepon Winda yang cantik itu." "Aku sudah cerai, Mas. Putusannya tadi di Pengadilan Negeri, biasa saja, nggak ada air mata. Dimas juga minta maaf lisan ke aku, setelah hakim mengetokkan palu . Batinku, mestinya aku yang minta maaf ke dia, karena aku yang minta perceraian itu." "Syukurlah Sayang, satu persoalan dalam hidup kamu sudah tuntas." "Kapan Mas Bayu ke Jakarta? Saya pikir nggak apa-apa kita mulai membicarakan le bih teknis rencana kita, biar matanglah perencanaannya. Sebelum entar Mas Bayu a ku kenalkan dengan Mama dan Papa dan juga keluarga besar." "Hmm, kapan ya? Kayaknya nggak bisa deh Win " "Oh, nggak apa-apa. Aku ngerti kok Mas Bayu sibuk dikejar deadline, nggak usah terburu-buru. Kapan Mas Bayu siap, ke Jakarta dulu baru bareng-bareng ke Mama da n Papa." "Winda, aku nggak bisa, aku nggak bisa ke Jakarta. Kayaknya juga nggak bisa ber temu orang tua kamu.". "Maksud Mas gimana, aku nggak ngerti?" "Winda, jangan marah ya, aku mau jujur sama kamu. Kemarin Pengadilan Agama meno lak gugatan ceraiku. Aku tidak bisa meninggalkan istriku. Toh, kamu tetap pada pri nsip kamu tak mau jadi istri kedua ataupun punya suami beristri lebih dari satu, ya mau gimana ." "Leakkk .!!! Ida Ayu Winda Cantika mengumpat seraya mematikan ponselnya. *** Laki-Laki Cerpen: Abidah El Khalieq Sumber: Jawa Pos,Edisi 01/30/2005 "Selingkuh? Hanya laki-laki tak bermoral yang selingkuh. Jangan samakan aku den gan mereka dong," Prakoso mendorong halus tubuh istrinya, membujuk mulutnya untu k tak lagi berkata-kata. "Tetapi dua di antara tiga. Ini penelitian paling mutakhir!" sambung Melati, te rus bernyanyi. "Iya paling tidak, akulah yang satu itu," ia mengerdipkan matanya nakal, sekali la gi dengan harapan, istrinya sudi menggembok mulutnya. "Laksono selingkuh. Wicaksono selingkuh. Bramantyo juga selingkuh. Sekarang tun

jukkan padaku, mana letak perbedaan antaramu dan mereka, teman-temanmu itu," kia n teliti Melati mengkritisi. Sial! Pikir Prakoso. Bukankah semua nama yang disebut Melati adalah para guruku ? Adalah profesor ahlinya dalam hal perselingkuhan? Mereka adalah rujukan, refer ensiku paling lengkap dalam seluruh perjalanan dan lika-liku, strategi pertempur an di ranjang, strategi menyerang dan bertahan, strategi berbohong dan berlagak pilon. "Kau jangan mengada-ada, Mam? Jelas aku berbeda dengan mereka. Mereka berambut keriting dan rambutku lurus. Ini tandanya jiwaku juga lurus .moralku juga lurus ..Ap a kau belum pernah memperhatikan rambutku?" "Bahwa rambutmu lurus, itu urusan Tuhan. Tetapi jika moralmu tidak lurus, itu a kan menjadi urusanku, urusan kita berdua. Paham!?" "Sesuatu yang mustahil! Aku tidak paham!" "Oya? Rupanya kau belum paham juga jika belum menelan gambar-gambar bugilmu ini ? Telan ini! Ayo! Makan permainanmu! Nanti kau akan tahu, betapa lezatnya hambur ger jahanam ini, Prakoso!" Melati membeberkan gambar-gambar aneh dari kertas-kertas licin di depan hidung Prakoso. Prakoso terkesiap. Persis maling yang tertangkap. Ia linglung dan bingu ng. Dari mana Melati memperoleh ini data? Bagaimana mungkin semua terekam dengan begitu gamblangnya? Villa dan merk celdamnya? Aduh! Ini bahaya! Tetapi bukan Pr akoso kalau gampang menyerah. "Tidak, Mam? Ini hanya rekayasa. Kau tahu? Akhir-akhir ini banyak pihak yang be rusaha menjatuhkan namaku. Aku ini produser kenamaan. Jika saja aku mau, aku bis a mengambil para bintang pendatang baru itu untuk begituan. Tetapi aku bukan ter masuk laki-laki yang dua persen itu." "Masih juga menyangkal? Kau tahu bahwa hakim menjatuhkan hukuman atas dasar buk ti-bukti?" "Tetapi sejak kapan kau menjadi hakim?" "Sejak kamu mulai jadi maling!" "Kamu suka bercanda deh, Mam," Prakoso mencoba melunakkan situasi dengan meraih Melati. Tetapi Melati bukan Melati kalau tidak Melati. Bertameng duri, ia mulai menyerang Prakoso dengan bukti dan kata-kata. Ia tahu bahwa kata memiliki kekua tan gandewa jika tepat mengarahkannya. Musuh di depan mata atau di ujung dunia, hanya kata yang mampu memanah dengan tepat ke arah jantungnya. "Aku memang suka bercanda, sebab itu akan kugantung foto artistik ini di depan sinema." Prakoso ternganga. Ia berdiri menatap Melati dengan bimbang, antara percaya dan tak. Ia menatap tajam ke arah mata Melati, ternyata mata itu lebih tajam dari b elati. Prakoso ngeri. Ingin tetap membela diri tapi kehabisan nyali. Laki-laki k ehabisan nyali? Apakah nyali? Adalah saudara kembar beribu cakar srigala yang si ap mencabik mukamu, mulut, dan mata lancangmu. "Kamu?" (Ketika persetubuhan amarah dan harga diri, antara malu dan terpojok tak lagi m emiliki ranjang yang nyaman. Ketika nurani raib dimangsa digdaya. Saat topengmu hendak disibak olehnya).

Meminjam mata setan Prakoso memandangi bola mata Melati. Dengan seringai harima u lapar, tanpa guntur tak ada halilintar, ia terkam Melati dengan kedua sayapnya , sayap Burung Nasar yang perkasa. Ia terkami tulang leher Melati dengan sepuluh cakarnya, cakar-cakar srigala. Dalam sekejap mata, tubuh Prakoso berubah sosokn ya. Sang produser film yang intelek dan sok moralis ini, berubah bentuk menjadi raksasa gorila sang pemangsa. "Mampus kau, lancang! Mata-mata! Belajar jadi CIA di rumah sendiri? Hhh!" Melati limbung dan tumbang. Tetapi data-data menghilang. Ke mana itu foto? Prak oso terus mengigau. Di mana foto-foto melayang? Bukankah setiap helai dari rambu tmu telah kurontokkan? Sepuluh jari yang kau miliki telah kupreteli? Duapuluh de lapan gigimu telah kucongkeli dan kedua kakimu telah kuamputasi? Ke mana foto-fo to berlari? Prakoso juga berlari. Terus berlari dalam kejaran polisi-polisi, yang berbondon g-bondong mencarinya atas perintah Melati. Di mana Melati? Belum jugakah ia mati ? Setelah terlindas ban mobilku sebanyak duapuluh satu kali? Setelah minum racun yang kutaburkan di gelas susunya sembilan kali? Ia tidak mati. Ia semakin segar dan hidup di antara kumpulan yang menentang. Ia menjadi hantu gentayangan. Ia menggerakkan barisan-barisan. Dua puluh orang. Tiga puluh orang. Kadang empa t puluh. Kadang lima puluh. Tetapi jumlah terus membengkak menjadi empat ribu. S eperti peluru yang berseteru. Melati mengharu-biru. Ia terus maju dengan kelewan g atau buku-buku. Dan buku-buku Melati besar dan tebal, sebesar kebohongan dan d osa-dosaku. Nyali Prakoso ngilu. "Jalanku buntu," keluh Prakoso. Di mana-mana buntu. Gang dan lorong buntu. Stasiun dan terminal buntu. Bandara dan pelabuhan buntu. Jalan raya, jalan kota, jalan desa, buntu. Bahkan pintu rum ahku buntu. Lalu ke mana akan bertamu? (Jika rumahmu menghilang oleh dosa dan penghianatan, ke mana berpaling dari ter ik mentari dan gempuran hujan, kawan?) Seperti patung ia termangu. Patung batu. Tak berhala tak juga jadi obyek wisata . Lalu ia teringat selingkuhannya. Siapa tahu pintu rumahnya masih menganga. Dan Prakoso berlari mencari gerbang menganga. Ia tabrak pagar dan bendera. Ia sibak tabir dan lompati jendela. Ia jumpalitan di antara meja dan papan nama. Ia meli hat di kejauhan sana, pintu gerbang masih menganga. Hyaaaat! Prakoso loncat dengan tongkat maksiat. Seperti kilat, ia melesat denga n gairah penuh padat. Ia pun mendarat di hutan paling pekat, masuk ke dalam puri indah selingkuhannya, yang terkekeh mengerikan layaknya seekor drakula. "Kaukah di sana?" gaung tanya sebuah suara. "Tidak! Aku ingin pulang saja," jawab Prakoso menggigil, tanpa daya. *** Yogyakarta, 2004 Setelah Api Dipadamkan Cerpen: Leres Budi Santoso

Sumber: Jawa Pos,Edisi 01/23/2005 I Ia selalu keluar rumah jam enam pagi. Mula-mula menggeser selot, menendang daun nya dengan kaki kirinya, lalu menutup dengan tendangan kaki kanannya. Semua dila kukan dengan sigap. Setelah itu tergesa-gesa menyusuri jalan sambil terpincang-p incang. Bajunya compang-camping. Di bahunya tercangklong kantung dari karung tep ung. Juga mengenakan topi yang sudah koyak anyamannya. Ia cukup dikenal banyak orang. Laki-laki 70-an tahun, berambut putih, dan semas a mudanya kondang sebagai pendekar pencak. Orang-orang Cina kerap memintanya men jadi centeng, menjaga gudang dan toko-toko. Ia mempunyai anak buah banyak, dan d engan anak-anak buahnya inilah ia menghabiskan malam-malamnya dengan pesta di lo kalisasi. Tetapi kini, dalam usia rentanya, siapa yang percaya pada tenaganya? Ia baru pulang jam enam petang. Jalannya tetap terpincang-pincang. Setelah menu tup pintu dia menyalakan lampu rumahnya. Lamat-lamat suara radio transistor. Han ya di dalam rumah dia menemukan kebebasan, yaitu tidak harus berjalan terpincang -pincang. Tetapi sejak tiga bulan lalu ia tidak terpincang-pincang lagi di jalan. Ia juga tidak keluar rumah. Telapak kaki kirinya remuk dan terpaksa diamputasi lantaran digilas truk ketika mengemis di perempatan jalan. Kata saksi mata, siang itu ia sengaja memasukkan kaki kirinya ke ban truk gandengan yang berjalan pelan tatka la lampu hijau baru menyala. II Di dalam kamar yang gelap, tanpa jendela, Win terbujur. Wajahnya menengadah ke langit-langit. Sekumpulan obat di meja dekat amben, air putih tinggal separoh de ngan seekor semut hitam berenang-renang, dan sebuah buku kecil dengan sampul ber gambar dua anak berseragam pramuka. Berkali-kali suaminya berencana membunuhnya, tapi susah dilakukan. Suaminya sud ah bosan melihatnya bertahun-tahun mengidap penyakit paru-paru akut, juga liver dan radang hati, sehingga tubuhnya kering-kerontang. Dan yang membuat suaminya m uak: ia kencing dan berak di amben. Dalam kondisi seperti itu hanya satu kesenangan Win, yaitu membayangkan diperko sa Roy Marten, Herman Felani dan Rudi Salam. Ketiga bintang pujaannya itu mendek apnya, lalu melucuti bajunya. Kian Win meronta-ronta, kian kalap ketiganya meluc uti kutang dan celana dalamnya. Salah seorang menampar wajah Win. Jatuhlah dia d i hamparan rumput. Ibarat seekor kuda yang dimangsa kawanan singa lapar, Win dip erkosa beramai-ramai. Ia merasakan kemaluannya perih. Dan, sambil membayangkan itu, ia akan tertidur pulas, sampai akhirnya tergeraga p-geragap melirik suaminya pulang, melempar jok becak ke sudut kamar, duduk, men guras uang di saku seraya berkesah, "Seharian mbecak hanya untuk beli obat!" Cuh , ia meludah di kaki amben tempat istrinya tersengal-sengal dan terbatuk-batuk. Melihat suaminya meludah di kaki amben, ia pun teringat semasa muda dulu kerap bertukar ludah dengan banyak pria. Ya, di luar pekerjaannya sebagai hostes di Cl ub Top Star (tahun 70-an satu-satunya rumah hiburan berkelas di kotanya), ia jug a melayani tamu-tamunya yang ingin menidurinya. Dan yang selalu diingininya adal ah bersebadan sambil bertukar ludah. Entahlah, setiap saling berjulur lidah dan mencecap bertukar ludah, ia selalu merasakan gairah birahinya bergolak-golak. Ia seolah merasakan dirinya hidup lagi di dunia.

Setelah cerai tiga kali ia menikah dengan penjaga parkir, dan di kemudian hari si penjaga parkir ini alih pekerjaan menjadi penarik becak. Sejak ia menikah den gan laki-laki ini, maka berangsur-angsur kebiasaannya bertukar ludah berkurang h ingga berhenti sama sekali ketika anak pertamanya lahir. Walau hidupnya serba ke kurangan, ia menolak setiap rayuan laki-laki yang ingin bertukar ludah. Ia sudah puas bertukar ludah dengan suaminya yang seorang penarik becak. III Perut Wati bunting sembilan bulan. Seharian dia duduk-duduk saja di kamar indek osan; daster yang basah oleh keringat, rambut dikuncir dengan gelang karet, kaki agak bengkak, dan mengipas-ngipaskan koran ke tubuhnya. Di kos-kosan tanpa jend ela ini ia selalu menanti kepulangan lelaki yang membuntinginya, tapi enggan men ikahinya. Dalam kesedihan karena dibuang keluarga, hanya satu yang menghibur dirinya, yai tu cerita tentang kakeknya. Kakeknya adalah perwira AL dengan pangkat kapten. Sa tu hari ditugaskan ke salah satu ibu kota provinsi untuk menjabat sekretaris dae rah. Gubernurnya seorang jenderal AD. Meski pekik-sorai PKI telah usai, tapi mas ih banyak simpatisan PKI yang bercokol di pemerintahan, dan tugas sang kakek ada lah membersihkannya. Menjabat sekda dengan pangkat kapten, sudah tentu sang kake k diolok-olok. Mestinya pangkatnya sederajat eselon IV B. Karena terus diolok-olok, maka sang kakek pun mengadu ke Mabes. Esoknya kakekny a naik pangkat menjadi mayor. Ternyata itu masih belum bisa meredam olok-olok. S ang kakek mengadu lagi ke Mabes, beberapa hari kemudian pangkatnya dinaikkan lag i menjadi letkol, sampai akhirnya belum genap setahun sang kakek sudah menyandan g pangkat kolonel. Sejak itu tak ada lagi yang mengolok-olok. Sungguh, kadang ia geli mengingat kisah itu. Wati baru kelas dua SMA. Dulu, ketika lulus SMP, sang kakek menghadiahinya satu set komputer pentium IV lengkap dengan printer dan scanner. Sambil menyerahkan hadiah sang kakek berbisik, "Kelak kau harus jadi sarjana dan menjadi pegawai ya ng baik!" Dan, hampir setiap ia berulang tahun, kakeknya selalu membisikkan itu seraya mencium pipi sambil mencengkeram erat bahunya. Semalam "suaminya" tidak pulang. Ke mana? Ia tidak tahu. Hanya saja, setelah ma ghrib, "suaminya" yang tukang las dan usianya lebih tua lima belas tahun darinya itu, kembali minta uang sambil membentak-bentak, "Beri aku uang! Aku kepingin m inum! Aku kepingin mabuk malam ini!" IV Beberapa hari ini Pak Lompat tidak bekerja. Dari rumahnya yang penuh barang ron gsokan sesekali orang-orang mendengar dia mengerang kesakitan. Penyakit herniany a kambuh! Bila sedang batuk-batuk atau buang air dia merintih-rintih sambil mend ekap pangkal pahanya. Kata istrinya (sebelum minggat dua hari lalu), benjolannya sudah sebesar telur. Ia hanya duduk terpekur di ruang tamu, di depan pintu yang menghadap selokan, y ang di atasnya bertengger bekupon. Bila angin datang semilir dadanya terasa long gar. Foto-foto dipajangnya di ruang tamu; foto-totonya semasa menjadi atlet lomp at jauh di tahun 60-an. Dua medali emas yang diperolehnya di PON tergantung. Kar ena orang mengenalnya atlet lompat jauh, maka orang memanggilnya Pak Lompat. Tapi, bersamaan dengan usianya yang kian menua, perhatian orang kepadanya perla han-lahan redup. Nasibnya tidak sebaik teman-temannya sesama atlet yang bekerja di instansi-instansi pemerintah. Sejak mundur dari dunia keatletan, dia coba-cob a dagang beras tapi kemudian rugi terus. Mencoba beralih dagang buah, busuk teru s karena tidak kunjung laku. Sampai akhirnya dia menjadi tukang rombeng. Tiga ta

hun lalu hernia menyerangnya, sehingga ia tidak bisa berbuat apa-apa. V Apa saja yang tidak tersedot di balik pintu? Baju, celana, kaos, celana dalam, rompi, jaket, sapu, tas kain, sandal, topi, handuk, sarung dan payung. Berjejaljejal, bertumpuk-tumpuk, hingga menggunduk. Ia akan mengobrak-abrik gundukan itu , sambil menggerutu tentunya, bila sedang mencari-cari sesuatu. Entah, sudah ber apa bulan rompi, jaket, celana dan baju di balik pintu tak pernah dicuci. Ia han ya memakai, mencantolkan, memakai lagi, mencantolkan lagi, begitu seterusnya. Ia hanya menempati bilik sepetak. Jendelanya kecil dan daunnya sudah tidak bisa dibuka lantaran engselnya keropos. Di kamarnya yang sempit dan pengap itu ia me naruh buku sekenanya. Sebuah mesin ketik tua di atas amben. Map menumpuk. Poster Chairil Anwar sedang merokok, yang dicurinya dari dewan kesenian, tertempel di dinding gedhek. Di kolong, kertas-kertas berserakan. Ia jarang keluar rumah. Pin tunya juga selalu tertutup. Dulu, ketika baru pindah di kampung ini, dia membaca puisi Octavia Paz berjudul Batu Hitam di panggung Agustusan, tapi kemudian disoraki orang. "Puisi kok batu , batu, batu terus!" teriak orang-orang. Lalu anak-anak muda berteriak-teriak men yuruhnya turun. Dia tetap membaca, Batu itu turun/ membakar. Dan insiden itu pun terjadi, sebongkah batu sebesar jempol menimpuk kepalanya. Ia meringis kesakita n kemudian bergegas turun panggung. Hampir saban hari orang mendengar dia membaca puisi di kamarnya. Tubuhku diam d an sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku// (*) rintihnya. Tapi kadang ia be rteriak-teriak; Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina/ Ada yang bersenjata, ada ya ng terluka/ Ada yang duduk, ada yang diduduki// (**) Tapi kadang-kadang orang me ndengar suaranya gemetar seolah tertahan di kerongkongan; bila aku berlayar lalu datang angin sakal/ Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal// (***) Tetapi sudah empat hari ini kamarnya sepi. Orang-orang yang berak tidak mendeng ar ia membaca puisi. Penyakit asmanya kumat. Walau ia masih mempunyai orang tua dan orang tuanya cukup berada, ia tetap bertahan di bilik sempit yang bersebelah an dengan kakus umum itu. Ia berkeyakinan bahwa penyair harus menghayati kehidupan, dan di perkampungan k umuh inilah letak intisari kehidupan itu. Baginya kehidupan yang dialaminya sebe lum ini bukanlah kehidupan yang sejati, bukanlah kehidupan yang sesungguhnya, ke hidupan maya yang jauh dari penderitaan. Sejak bayi crot ia sudah bergelimang ke manjaan. Ia anak tunggal. Orang tuanya petani apel sukses yang mempunyai ribuan batang pohon apel (di mana setiap panen satu batang pohon mampu menghasilkan sat u kuintal buah apel). Sedang kakeknya mempunyai puluhan sapi perah. Orang tuanya berharap ia belajar pertanian, tapi ia memilih fakultas sastra. Pa da semester tiga drop-out lantaran berkali-kali bertengkar dengan dosennya yang melarang ia kuliah hanya memakai kaos oblong Swan, sandal jepit dan celana jins sobek-sobek. Sejak itu ia bertapa di perkampungan ini dan tak pernah lagi berhub ungan dengan orang tua dan kakeknya yang dikatainya sebagai borjuis desa. VI Yang diketahui orang-orang: api tiba-tiba menyembur-nyembur dari gang tempat hu nian bakul-bakul mi tok-tok, dini pagi. Api semakin membesar, berkobar, dan dala m hitungan menit sudah menyambar apa saja di kampung itu. Langit berpijar merah bata. Asap hitam membumbung menusuk-nusuk angkasa. Api marah, bergulung-gulung. Mobil PMK yang datang terlambat tertahan satu kilometer di ujung gang. Rumah-rumah kayu bertemu api, bagai sepasang kekasih yang saling menumpahkan ri

ndu. Lantas, bagai rumah kertas yang dibakar pada upacara kematian orang Cina, r umah-rumah itu pun luluh lantak. Bunyi gemeretak, desis api, teriakan histeris, kata memerintah, sirine dan bunyi berdebum bagai musik yang mengiringi pemadaman itu. Dan pagi harinya kampung itu sudah rata dengan tanah. Puing-puing saling bertum pang-tindih. Di beberapa tempat asap masih mengepul-ngepul. Orang-orang berebut masuk ke serakan puing-puing. Sambil mata sembab sisa isak tangis mereka melacak rumah, mengais-ais, mencari sisa-sisa yang barangkali selamat dari amukan api. Tiba-tiba, hampir bersamaan, orang-orang itu terpekik. Di serakan puing-puing k ayu yang hangus dilihatnya sosok mayat yang gosong, bahkan di antaranya tinggal tulang-belulang. Kaki-kaki mengangkang bagai besi. Tangan-tangan mencuat kaku. G igi-gigi putih meringis. Empat mayat yang sudah menjadi arang itu terpencar-penc ar, tertimbun puing. Siapa yang mati? Orang-orang saling meyakinkan seperti ini: "Oh, anak kos yang hamil tua itu?" "Innalillah, si tukang rombeng!" "Pengemis yang tergilas truk itu?" "Orang yang gerenang-gereneng baca puisi?" "Istri tukang becak juga!" Mayat-mayat itu dikumpulkan dan ditutup plastik. Orang-orang mengerumuninya. Me nutup hidung sambil menuding-nuding. Wartawan memotretnya. Kamera-kamera TV meny orotnya. Lama sekali mayat-mayat itu menjadi tontonan banyak orang. Sampai akhir nya, seolah saja sebuah tontonan yang usai digelar, mayat-mayat itu dinaikkan am bulans. VII Beberapa hari kemudian, karena tak ada keluarganya yang mengambil, keempat maya t itu dikubur dalam satu liang di pemakaman khusus Mr X. (*) Sidoarjo, 2004 (*) Puisi Chairil Anwar, Yang Terampas dan Yang Putus. (**) Puisi Rendra, Sajak Pertemuan Mahasiswa. (***) Puisi D. Zawawi Imron, Ibu. Sepintas Lalu (Paul Sintli Joyodigimin) Cerpen: Aribowo Sumber: Jawa Pos,Edisi 01/16/2005 Sepintas lalu Paul Sintli Joyodigimin melihat perempuan itu di pojok cafe Tunju ngan Plasa, di satu siang yang panas. Dari jauh Paul Sintli Joyodigimin melihat perempuan itu ketawa manja di pangkuan seorang laki-laki hitam besar. Dia dikeli lingi 4 laki-laki bertubuh besar. Para laki-laki itu sebentar-sebentar ketawa sa mbil mencubit manja perempuan itu. Dari jarak jauh Paul Sintli melihat perempuan

itu bagai boneka Barbie yang sedang ditimang-timang 5 laki-laki. Tubuhnya seola h dilemparkan dari satu tangan ke tangan besar lainnya disertai gelak tawa yang keras. Tubuh perempuan itu bagai kapas: dilempar-lemparkan, digoyang-goyang, dic ubit-cubit, dan digendong-gendong. Dalam pandangan sepintas lalu itu Paul Sintli Joyodigimin merasa seperti menonton film. Tapi entah film apa. Entah sesuatu ya ng lain apa, sesuatu yang riang apa, sesuatu entah apa dan di mana. Tidak dinyana keesokan harinya Paul Sintli Joyodigimin melihat kembali perempua n itu berjalan tergopoh-gopoh di dalam Surabaya Plasa. Di antara kerumunan pengu njung perempuan itu bergerak cepat bagai bayangan ketakutan. Tubuh sintal itu se olah berkelebat-kelebat menyalip setiap orang. Lalu di pojok ruang perempuan itu menyaut gagang telepon umum dan akhirnya dia berkata habis-habisan. Matanya yan g besar bulat melotot seperti sedang dicukil ketika berkata-kata di depan gagang telepon. Tidak lama kemudian tampak air matanya muncrat-muncrat. Dalam pandanga n sepintas lalu itu Paul Sintli Joyodigimin menyaksikan perempuan itu berbicara terus-menerus sambil menangis lebih dari dua jam. Suaranya menyalak-nyalak, bada nnya bergoyang-goyang, ludahnya muncrat-muncrat, dan tangannya berkali-kali memu kul-mukul perutnya. Paul Sintli Joyodigimin tak bisa mendengar sepotong pun kata -kata perempuan itu, seperti ribuan orang yang ada dalam plasa, sehingga tak bis a dirasakan sedikit pun kata pedih perempuan itu kecuali air matanya yang terusmenerus muncrat. Terbersit sedikit oleh Paul Sintli untuk memberi kata-kata dari drama sepintas lalu perempuan itu dalam buku catatannya, tetapi mendadak dia ba talkan: "ah, apa yang bisa diambil dari dunia sepintas lalu, kecuali serpihan ke rtas kosong jalanan?" Dua jam perempuan itu terjerembab. Badannya lemas menggelepar di lantai. Badan sensual dan berambut panjang itu beberapa menit tersungkur di atas lantai tak be rgerak sedikit pun. Bagai mayat. Setengah jam kemudian dia bangun kembali dan la ngsung disautnya gagang telepon. Dia bicara lagi, keras-keras, lalu kepalanya ge leng-geleng, dan akhirnya nangis terguguk-guguk. Dibantingnya gagang telepon. Se bentar kemudian direnggutnya gagang telepon kembali: bicara lagi. Keras-keras. K akinya mencak-mencak. Dengan agak kasar dia ambil botol kecil air aqua dari dala m tas kecilnya dan kemudian diminum cepat-cepat sambil mulutnya terus bicara di depan gagang telepon. Setelah kesal bicara melalui telepon perempuan itu naik ke lantai 3. Dia masuk ke cafe. Di dalam cafe ternyata telah berkumpul 5 laki-laki bertubuh besar. Pere mpuan itu segera dipeluk-peluk oleh 5 laki-laki itu. Suara ketawa meledak di ant ara 5 laki-laki dan perempuan itu. Dari jauh, secara sepintas lalu, Paul Sintli Joyodigimin seolah-olah melihat perempuan itu bagai boneka Barbie dilempar-lempa r dari satu tangan besar ke tangan besar lainnya. Dari satu pelukan ke pelukan l ainnya. Sambil badan sensual perempuan itu dipijit-pijit. Tiba-tiba Paul Sintli Joyodigimin mengambil buku catatannya dan menulis pendek: "Apakah ini goa angs?" Tiba-tiba Paul Sintli Joyodigimin menyangkal sendiri. Menyangkal berkali-kali, berkali-kali. Tapi catatan pendeknya tak dihapus pula. Seminggu kemudian Paul Sintli Joyodigimin secara tak sengaja melihat sepintas l alu perempuan itu bersama pejabat Pemerintah Kota Surabaya membuka acara amal un tuk yatim piatu di Balai Kota Surabaya. Dia berbicara sangat serius dengan para pejabat Pemerintah Kota. Mereka saling hormat. Mereka saling bungkuk-membungkuk. Dari jauh Paul Sintli Joyodigimin sepintas lalu melihat perempuan itu memimpin acara dan lalu menyanyi dan menari dengan lemah lembut bersama-sama anak yatim p iatu. Sebentar kemudian diikuti oleh para pejabat Pemerintah Kota menari-nari. P ara wartawan memotret dari tiap sudut ketiak perempuan itu. Mereka ikut-ikutan m enari dan menyanyi. Di antara pejabat Pemerintah Kota Surabaya ada ulama, pendet a, dan para pengusaha. Mereka saling doa, saling pidato, saling prihatin, saling bantu uang, saling menghibur para yatim piatu. Bahkan ada yang sampai saling me nangis. Akhir acara amal itu adalah makan bersama antara pejabat Pemerintah Kota , ulama, pendeta, pengusaha, perempuan itu, dan anak yatim piatu.

Selesai menyaksikan acara amal yatim piatu di Balai Kota Surabaya Paul Sintli J oyodigimin segera membuka buku catatannya. Dia menulis agak panjang sedikit. Dia mulai dari kalimat "Dari goa angs...mengangkat batu ke atas bukit dan selanjutn ya terhempas di ketiak waktu sepintas lalu". Kemudian dengan telaten Paul Sintli Joyodigimin memasukkan beberapa lembar kertas catatannya ke dalam surat. Dia ki rim catatannya itu ke beberapa redaksi koran dan majalah. Keesokan harinya beber apa koran dan majalah memuat berita tentang catatan Paul Sintli Joyodigimin. Cat atan tentang manusia tergopoh-gopoh. Bergerak-gerak, bergoyang-goyang, berkeleba t-kelebat, dan tergopoh-gopoh. Manusia yang dipilin-pilin waktu sepintas lalu. M anusia entah dengan catatan entah apa. Tapi semua merasakan, ada di antara kita semua. Paul Sintli Joyodigimin sendiri merasakan jarak yang jauh antara yang dirasakan dan ditulisnya dalam catatan hariannya dengan yang ditulis koran. Rasanya wajah nya dipilin-pilin oleh media massa. Bahkan dibongkar-bongkar lalu disusun kembal i dari tata rak komputer media massa. Apalagi wajah perempuan itu dipilin jadi B arbie. Tapi semua itu dibiarkan oleh Paul Sintli Joyodigimin. Yang penting dia b isa leluasa menangkap dunia perempuan sepintas lalu yang pernah lalu dalam dirin ya. Tiba tiba tumbuh gairah untuk membungkus kelebatan perempuan yang sepintas lalu itu dalam pengalamananya. Dia coba susun dalam pengalamannya masa kecil, remaja , merantau, dan kesendiriannya. Dicari benang merah. Dicari akar mulai sebagai s osok sementara. Sayangnya sosok perempuan itu tiba-tiba tak pernah nampak kembal i. Perempuan itu tak muncul lagi dari pandangan Paul Sintli Joyodigimin. Selama berhari-hari Paul Sintli Joyodigimin mencari perempuan itu di mal-mal Su rabaya. Mulai pagi sampai malam hari. Dari cafe ke bioskop dia cari cari. Bahkan dari toilet ke toilet mal dia masuki. Saking kesalnya, kadang-kadang dia membay angkan setiap perempuan di dalam mal adalah perempuan itu. Kemudian dia lihat da ri jauh, seperti orang sedang memantau kampanye pemilu. Tapi gagal. Perempuan sepintas lalu itu berbeda dengan semua perempuan yang ada di mal-mal. Perempuan sepintas lalu adalah perempuan sepintas lalu. Selalu dala m dunia sepintas lalu. Tidak ada perempuan mal yang berada dalam kelebatan dunia sepintas lalu, kecuali perempuan sepintas lalu itu. Paul Sintli Joyodigimin mulai kesal. Frustrasi. Perempuan sepintas lalu itu tak secuil pun berbekas dalam mimpi-mimpinya. Mimpi Paul mulai berisi goa-goa yang kosong. Gurun-gurun kering. Dan kelengangan yang dingin. Baru kali ini Paul mera sakan dirinya seperti terbang tatkala mengulum sebongkah bayangan hilang perempu an sepintas lalu. "Bagaimana catatan ini akan kuselesaikan, kalau dia berakhir d alam sepintas lalu?" keluh Paul sambil mengucak-ucak matanya di atas tempat tidu r. Akhirnya Paul Sintli Joyodigimin memutuskan untuk mengontak para pejabat kota y ang pernah bikin acara yatim piatu beberapa hari lalu. Semua pejabat kota yang d ihubungi merasa tidak pernah kenal perempuan sepintas lalu. Semua pejabat kota S urabaya seperti membayangkan cahaya asing setiap diminta mengingat perempuan sep intas lalu. Lubang kemungkinan apa pun dia tempuh untuk menemukan kembali peremp uan sepintas lalu. Berhari-hari, berminggu minggu, dan berbulan-bulan. Sia-sia: perempuan sepintas lalu seolah telah menguap dan lenyap. Saking kesalnya Paul Sintli Joyodigimin mulai tidak tidur di rumah lagi. Dia be rjalan dari satu gang ke gang lain: hanya mengejar bayangan perempuan sepintas l alu yang lenyap. Dia panggili perempuan sepintas lalu dengan kalimat, "Sisipus.. .Sisipus...di mana kamu?" di setiap kegelapan malam. "Bukankah pada setiap kesem entaraan kita bisa menamai apa pun?" tulis Paul dalam catatannya. Malam larut di cabik-cabik oleh suara Paul yang mulai kering. Dan tetap saja dia dimakan keseny apan.

Paul Sintli Joyodigimin mulai menulis lagi di koran-koran. Setiap hari koran-ko ran Surabaya diberondongi Paul Sintli Joyodigimin tentang manusia perempuan seme ntara dan sepintas lalu. Anehnya semua koran meneruskan tulisan Paul Sintli Joyo digimin dengan kalimat: dunia sementara dan sepintas lalu. Macam bayangan yang b erkelebat-kelebat dan akhirnya lenyap. Semua di matanya sedang dalam kelenyapan, ketiadaan, minimal sepintas lalu. Sementara. Sejenak. Sejenak ada perempuan sep intas lalu, sejenak ada mimpinya tentang tubuhnya yang ingin berubah, tapi tingg al mimpi belaka. Dan sejenak tidak ada siapa siapa, kecuali catatannya yang tak pernah utuh. Saking jengkelnya Paul Sintli Joyodigimin mengambil pistolnya. Dia kejar bayang an lenyap perempuan itu. Di tiap jam, detik, dan hari perempuan itu dikejar-keja r pistol Paul Sintli Joyodigimin. Saat ini tak banyak yang diinginkan: hanya tam pak sebentar, sebentar saja, dan kemudian disempurnakan dengan tembakan: dor! Se olah-olah setelah menembak wajah kelebat perempuan itu akan berakhir semuanya da lam keutuhan. Seolah-olah semua akhir telah dekat. Seolah-olah pistol bisa menye lesaikan dan mendekatkan ketidakjelasan menjadi kekonkretan wajah perempuan itu? Berkali-kali pelatuk pistol ditarik: dor, dor, dor, dor! Di setiap ruang rumahn ya telah ditembaki, seolah-olah menembak bayang-bayang perempuan itu. Seolah-ola h darah telah mengucur dan muncrat-muncrat. Seolah-olah Paul Sintli Joyodigimin menembak sesuatu yang ada, padahal tidak ada. Setelah pelornya habis Paul Sintli Joyodigimin mulai menyadari: perempuan sepintas lalu itu tak pernah mau pergi d ari bayang-bayang dirinya. Dan hanya satu cara untuk menghilangkannya: mengakhir i dirinya sendiri. Sebab yang sepintas lalu telah nyata dalam dirinya: gelisah. *** Surabaya, 10 Agustus 2004 Senja Cerpen: Yanusa Nugroho Sumber: Jawa Pos,Edisi 01/09/2005 Sering dibayangkannya bahwa awan-awan yang putih di bentangan langit biru itu a dalah pulau-pulau kapas. Kadang, awan itu membentuk bentangan air terjun yang me mbeku, atau gunung karang putih yang mengambang di lautan biru. Sehari penuh dia amati setiap perubahan yang ada di langit sana. Dan ketika awa n-awan itu kian memerah dan akhirnya hilang oleh gelap malam, dia pun berjalan p ulang ke rumahnya. Di sapanya rumput, batu, tanah dan perdu. Disenyuminya angin yang dengan nakal menyusup-nyusup di sela rambutnya. Sesampainya di rumah, dia disambut keheningan yang berjingkrak-jingkrak bagai k anak-kanak menyambut ibu pulang dari pasar. Gelap, beranda rumahnya, berisi kurs i plastik yang jebol di sana-sini, serta selapis debu siang hari. Disapanya mawar merah dalam pot di beranda itu dengan siraman air. Kemudian din yalakannya saklar dan beranda menunjukkan wajahnya yang samar-samar. Beberapa se rangga mengitari bola lampu, seperti bergembira menyaksikan kehidupan ada di rum ah itu. Apa yang bisa dilakukannya setelah semua pintu kantor tertutup baginya? Tak ada lagi sisa pekerjaan. Kantor tak membutuhkan seorang laki-laki kurus, apatis, da n lamban seperti dia. Kantor tak membutuhkan otak yang selalu menolak dan menila i sebuah tugas. Tidak. Pintu-pintu kantor terbuka bagi mereka yang muda, gesit,

dan tak banyak tanya; kecuali jumlah billing yang akan diterima kantor. Mereka b icara hanya soal insentif. Laki-laki itu mendesah. Sejak semuanya tersapu badai krisis 98, istrinya pun mi nggat bersama --entah siapa. Meninggalkan semua, bahkan juga kenangan. Laki-laki itu duduk, setelah tentu saja mandi, memasak mi instan dan memakannya di beranda. Sebatang kretek menyala dan terselip di sela jarinya yang kurus. En tah mengapa, dia ingin sekali menengok kotak pos di pagar. Dengan lesu, dia berj alan dan membuka kotak pos itu. Tak di sangkanya di sana ada sepucuk surat. Dengan harap-harap cemas dia segera mengambil surat itu, membukanya buru-buru, dan mencari tempat di bawah lampu untuk membacanya. Surat itu berasal dari seseorang yang tak dikenalnya. Si pengirim menyebutkan b ahwa dia mendapatkan alamat serta nama si laki-laki itu dari seseorang yang "... kenal betul dengan bakat anda..", begitu yang tertulis di situ. Dia tertegun. "Bakat?" gumamnya. Lalu dilanjutkannya membaca. Intinya, setelah panjang lebar menguraikan berbagai hal, si pengirim meminta laki-laki itu untuk bertandang ke rumahnya di kompleks perumahan mewah di kota itu. Aneh. Mengapa dia tak langsung saja datang. Mengapa harus berkirim surat, jika tinggal di kota yang sama? Di situ, di bawah tanda tangan si pengirim, disertaka n sebuah nomor telepon. Usai membaca, laki-laki itu duduk lagi di kursi plastik jebolnya. Ada sesuatu y ang tiba-tiba muncul di benaknya --entah apa, dia sendiri tak begitu paham. Deng an cepat dihisapnya rokok kretek itu. Asap mengepul-ngepul, sebelum lenyap ditiu p angin. Bergegas pula dia ke telepon, dan sambil melihat nomor yang ada di surat itu di a pun menekan-nekan angka yang dimaksud. Dia terdiam beberapa saat. Kemudian, "H aloo..." dan terjadilah pembicaraan yang agak tersendat-sendat. Laki-laki itu banyak terdiam, mendengarkan. Jika pun harus menjawab, bibirnya h anya menyuarakan "oke" atau "baik", dan paling banyak "ya". Pembicaraan itu akhi rnya selesai, setelah si laki-laki menjawab, "sama-sama." Kembali dia duduk di beranda, sambil mencoba menyatukan berbagai kilasan bayang an di pembicaraan telepon tadi. Dinyalakannya sebatang rokok lagi. Lalu, sesaat setelah hisapan ketiga baru saja dilakukan, dia seakan mendapat jawaban akan apa yang seharusnya dilakukan. *** Hari itu adalah hari ketiga dia "bekerja" di rumah si pengirim surat. Dan bahka n sampai hari ketiga itu pun, dia tak tahu siapa si pengirim surat. Dia hanya be rhubungan dengan seseorang yang memperkenalkan diri sebagai "pembantu" si tuan r umah. Dan si "pembantu" itu pun enggan menyebutkan namanya. Laki-laki kurus itu tak keberatan. Apalah artinya dia mengetahui nama seseorang, jika hal itu tidak berhubungan dengan pekerjaannya. Bukankah dunia tempat dia hidup sudah memberiny a semacam ekosistem seperti itu? Seperti dua hari sebelumnya, dia duduk dan menunggu reaksi orang yang ditunggui nya. Yang ditungguinya itu adalah seorang gadis muda, jelita, namun gila. Begitu lah si "pembantu" bos besar itu mengatakannya dua hari yang lalu. "Lalu, apa hubungannya dengan saya? Kalau dia gila, bawa saja ke rumah sakit gi la..."

"Sudah. Dokter mengatakan bahwa dia tidak apa-apa." "Kok, aneh? Kok, situ bisa mengatakan bahwa dia gila?" "Ayahnya sendiri yang mengatakan begitu. Saya cuma meneruskan ucapannya kepada Anda." "Terus, apa saya ini dianggap dukun?" "Saya tidak tahu, Anda dukun atau bukan. Yang penting, Sampean diminta untuk me ngupayakan agar dia sembuh. Begitu kata bos." Laki-laki itu sebetulnya tak tahu apa yang harus dilakukannya terhadap gadis ca ntik yang katanya gila itu. Dia hanya duduk dan menatapnya. Ditatapnya sepasang bola mata yang bening namun kosong itu. Tak ada siapa-siapa di dalam bola mata itu. Gadis itu sendiri seperti telah pergi, atau mengembara ke negeri jauh, entah apa namanya. Ini sudah hari yang ketiga. Dan laki-laki itu sendiri sudah putus asa menghadap i sesuatu yang tak jelas ini. Dia ingin mengatakan kepada si "pembantu" bos bahw a dia menyerah. Namun, ada sesuatu yang membuatnya batal mengatakan maksudnya. Secara iseng, laki-laki itu kemudian mengambil sebuah patung kuda perunggu, yan g memang bagus. Diperkirakannya, itu buatan Italia. Detil pada surai, bahkan pad a bungkah otot-ototnya membuat kuda perunggu itu tampak bernyawa. "Haha... apa kabar tuan putriku? Apakah hari ini tuan putri siap berjalan-jalan ?" ucapnya sambil memainkan kuda yang hanya segenggaman tangan itu. Kuda itu dig erak-gerakkannya di depan wajah si gadis. Si "pembantu" hanya mendesah. Di benaknya hanya ada satu ungkapan "gila ternyat a menular". "Kita akan membelah awan. Tahukah tuanku bahwa awan sesungguhnya adalah sebuah daratan di langit. Dia tergantung, dan tidak terdiri dari tanah dan batu. Seluru h pohon, bahkan air yang ada di sana, adalah kabut putih yang indah. Dan manakal a matahari bersinar, pohon-pohon di negeri awan itu akan tembus, laksana kristal ." "Bawa aku." "Ten...tu, tentu." Tiba-tiba si laki-laki tercekat mendengar ucapan itu. Dia se perti tak menyangka bahwa itu diucapkan si gadis. Si "pembantu" bos pun agaknya juga terheran-heran. Bagaimana mungkin, setelah b ertahun-tahun, gadis itu "pergi" dari tubuhnya, mendadak kembali hanya karena bu alan si laki-laki. Dia segera menelepon bosnya melalui hp. Sementara itu, laki-laki kurus itu seperti melihat ada cahaya kehidupan di bola mata bening itu. Dia berhati-hati mengutarakan keindahan yang dikhayalkannya. D an untuk beberapa kali, dia sempat menyaksikan senyum kecil tersungging di sudut bibir gadis cantik itu. "Kau harus membawaku ke sana." "Baik. Apakah tuan putri ingin naik ke punggungku?" "Apakah kau bisa terbang?"

"Bisa. Lihat " Laki-laki itu mengangkat kuda perunggu itu tinggi-tinggi melampaui kepalanya sendiri. Si gadis tertawa kecil, matanya mengikuti ke mana pun gerak tangan si laki-laki terarah. Dan ketika si laki-laki pura-pura menjatuhkan kuda perunggu itu, si ga dis terpekik dan tertawa senang. Gunung es itu telah cair dan laki-laki itu seakan menemukan beranda rumahnya te rang benderang. Mawar yang ada di pot kecil di beranda itu seakan berkembang dan mengharum. *** Seminggu kemudian, gadis itu mau berdandan dan mengajak laki-laki itu berjalanjalan di halaman rumahnya yang luas. Dia dengan manjanya merangkul lengan laki-l aki itu. Dan tentu saja, laki-laki itu menjadi muda kembali --meskipun usianya b elumlah setua wajahnya. "Mas pernah menikah, ya?" "Ya...dengan seekor kupu-kupu," candanya. Gadis itu tergelak, "Cantik, tentunya..." "Ya. Secantik kupu-kupu. Serapuh kupu-kupu..." "Ke mana dia sekarang?" "Terbang. Bukankah kupu-kupu selalu ingin dikejar?" Kembali gelak tawa si gadis terdengar. "Kok, Mas tidak mengejarnya?" "Capek." "Capek? Kalau begitu selama menikah Mas mengejar dia terus-menerus?" "Ya." "Mas tidak suka mengejar perempuan, ya?" "Ya. Capek." "Mas tidak mencari pacar?" "Tidak. Capek." "Capek terus, sih?" "Ya. Hidupku sudah amat melelahkan. Kamu sendiri ke mana saja selama ini?" "Jalan-jalan." "Ke mana?" "Ke mana saja, asal tidak di rumah." "Mengapa?" "Capek ," jawabnya singkat menirukan gaya bicara si laki-laki. Keduanya kemudian

tertawa bahagia. Sebuah dunia yang aneh, yang belum pernah mereka rasakan sebelu mnya. "Kata ayahmu, kamu mau dikawinkan. Dan sejak percakapan itu, kamu Mengapa, nggak suka sama calon suamimu?" "Tahu dari mana?" "Tuh, dia yang mengatakan padaku ," jawab si laki-laki sambil menunjuk pada si "p embantu". "Herder macam dia dipercaya." "Herder? Terlalu bagus; buldog," tambah si laki-laki sambil tertawa. Si gadis p un tertawa. Setelah itu hening. Setelah hening, "Aku capek Mas. Semuanya ditentukan dan sud ah ada jalurnya. Aku nggak bisa mengatakan "tidak", ya, akhirnya aku pilih diam saja." "Mas, mau nggak, ngajak aku ke rumahmu?" Laki-laki itu terdiam. Dia bukan saja ingin mengajak gadis cantik itu ke rumahn ya, tetapi bahkan ke atas ranjangnya. Dia ingin memeluk dan menumpahkan kegersan gan jiwanya selama ini ke tubuh si gadis itu. "Ada syaratnya...," akhirnya si laki-laki berkata. "Apa?" "Kau harus mau jadi istriku." "Mengapa?" "Ya pokoknya harus," jawab laki-laki itu sekenanya. "Kalau pacar?" "Wah..." "Kalau pacar, gimana?" "Ya mmm... gimana, ya?" "Kita pacaran dulu." "Ah, kamu kayak kupu-kupu." "Tidak. Kupu-kupu hanya memberi isyarat agar dikejar. Aku tidak ingin kejar-kej aran. Aku hanya ingin kenal lebih lama." "Begini, Dinda," baru kali itu laki-laki itu mengucapkan nama si gadis, "tugask u untuk "menyembuhkan" kamu sudah selesai. Kamu, kan... sekarang sudah bisa bica ra dan tertawa." "Jadi Mas pergi? Lalu mengunciku dalam ruang kenangan?" "Tidak. Bukan maksudku begitu." "Kalau Mas pergi, aku akan "pergi" lagi." "menghilang".

"Jangan, dong..." "Kenapa?" Laki-laki itu diam, dalam hati dia juga bertanya, apa sebetulnya yang tengah te rjadi dalam hidupnya ini. "Mas nggak merasa bahagia bersama aku?" "Bahagia, karena melihat kamu bisa ceria lagi. Kembali lagi seperti dulu kala." "Sok tahu. Aku nggak mau seperti dulu. Aku mau seperti besok, seperti yang akan datang..." "Jangan aneh-aneh." "Aku nggak aneh-aneh. Aku cuma kepingin bisa bicara apa saja yang aku suka. Aku hanya ingin tertawa, kapan saja aku mau. Dan itu semua hanya bisa kulakukan den gan Mas. Kalau Mas nggak ada, lantas...?" "Bapak-ibumu nggak bisu, kan?" "Siapa, tuh?" "Siapa, yang siapa?" "Bapak-ibu." "Hus. Sama orang tua, kok, begitu." "Siapa yang orang tua?" "Ah, anak sekarang. Dosa besar kamu mengingkari orang tua sendiri." "Siapa yang Mas sebut orang tua?" "Ya...orang yang mbayar aku, yang kasih honor aku puluhan juta rupiah ini. Siap a lagi?" "Ooo orang tua itu?" "Hei jangan ngawur, lho." "Tidak, aku tidak ngawur. Orang tua itu, kan?" Laki-laki itu menatap Dinda dengan pandangan menyelidik. Sepasang mata Dinda se perti sengaja menyambut tatapannya. Seakan mempersilakannya masuk dan membongkar setiap relung dan liku yang ada di dalamnya. *** Laki-laki itu, yang biasanya hanya diam menatapi awan-awan berserakan di langit , yang merasa hidupnya kosong melompong, tiba-tiba kalang kabut. Betapa tidak, D inda yang selama ini diketahuinya adalah anak seorang kaya, yang sakit jiwa dan karenanya si bapak mencarikannya dukun, dan secara kebetulan memilih laki-laki i tu, ternyata hanyalah bapak angkat Dinda. Dan si bapak angkat ternyata mengingin kan Dinda seutuhnya. Dia menyayangi Dinda dan memaksakan diri masuk ke dalam rua ng-ruang kesucian anak angkatnya itu. Tak mengherankan jika Dinda membeku.

Laki-laki itu mendidih mendengar semuanya, dan karenanya, entah dengan pertimba ngan apa, dia segera mengajak Dinda terbang mengendarai kuda terbang. Dia mendadak merasa menjadi Pronocitro yang mengajak terbang Roro Mendut dari k ungkungan Adipati Wiroguno. Tetapi, laki-laki itu tiba-tiba merasa capek. Dia tak ingin mengejar dan dikeja r. Dia hanya ingin duduk tenang di beranda rumahnya yang sepi dan berdebu. Dia h anya ingin setiap kali menyirami mawarnya, ada kesegaran yang menyiram jiwanya. Seperti senja itu. Laki-laki itu kembali duduk di beranda rumahnya, dan merokok . Dia dengan segera melipat halaman-halaman indah buku kehidupannya --walau hany a beberapa lembar-- bersama Dinda. Di keheningan senja, di beranda rumahnya, dia hanya bisa membayangkan Dinda ber ada di sampingnya, meskipun saat itu, mungkin berada dalam pelukan orang lain. L aki-laki itu benar-benar merasa lelah, bahkan sekadar untuk mengakui bahwa dirin ya seorang laki-laki. Pinang, 982. Gelombang Besar di Kota Itu Cerpen: Isbedy Stiawan ZS Sumber: Jawa Pos,Edisi 01/02/2005 MUNGKIN akan banyak yang menaiki perahu itu, kalau saja Khidir tak melubangi la mbungnya. Dan perahu akan meluncur saat gelombang besar di kota itu. Ibu memulai kisah malam ini. Ibu memang juru cerita yang baik, tidak saja aku sebagai anaknya yang mengataka n itu tapi semua orang di kampungku mengakuinya. Sebagai bekas pemain sandiwara rakyat, ibu dikenal sangat piawai saat menarasikan kisah. Banyak orang mengagumi nya. Tak sedikit pendengarnya yang terharu (bahkan pernah ada penonton yang mena ngis histeris) kala ibu membawakan cerita. Keahlian menjadi juru cerita tetap di jaga ibu, bahkan sampai dia beranak lima dan memiliki 15 cucu. Kini usia ibu sud ah 80 tahun. Suaranya terdengar lirih jika sedang berkisah. Ibu lalu mengisahkan tentang perahu yang tertambat di tepi pantai, ketika Khidi r membawa "murid"-nya menimba ilmu dari kehidupan ini. Berkali-kali "sang guru" mengajarkan kebijakan, namun terasa janggal dan tak masuk akal bagi si murid. Te tapi, setiap kali sang murid hendak bertanya (mungkin menggugat), setiap kali it u pula Khidir menyatakan: "Jangan banyak bertanya. Lihat saja apa yang kulakukan , kelak kau akan memahami dengan cara arif lagi bijaksana. Hidup ini perlu dilak oni dengan bijaksana!" Maka karena itu pula, anak-anak dianggap tabu apabila banyak bertanya pada oran g dewasa. Entahlah, kata ibu, terkadang pikiran orang dewasa sering sulit dicerm ati oleh kanak-kanak. "Setelah lambung perahu itu dilubangi, guru dan murid itu membuat perahu lain dari batang pohon. Kayu itu dilubangi hanya pas untuk kedua tubuh itu dalam keadaan berdiri, setelah itu berlayarlah. Sungguh menyiksa!" Ibu sudah lama tak berkisah. Yang aku ingat terakhir ibu bercerita soal gelomba ng besar di (sebuah) kota. Kisah ibu, mungkin ini yang terakhir karena sejak itu sudah beberapa tahun ini ibu tak lagi memanggil cucu-cucunya untuk mendengar ki

sahnya, konon di masa mendatang akan sampai ke kota ini sebuah gelombang amat be sar dan dahsyat. Gelombang setinggi lebih dari lima meter itu seperti dimuntahka n oleh lautan mahaluas. Air bah itu akan menghancurkan ribuan bangunan, pohon, k apal, perahu, dan puluhan ribu manusia. Saat itu kota seperti kiamat. Orang-orang berlarian ketakutan mencari perlindungan. Lebih dari 30 ribu mayat terhampar di setiap sudut kota. Kota menjadi gelap. Alat penerang rusak. Mereka sulit menghubungi saudaranya di lain kota karena alat bicara juga rusak total. D i mana-mana mayat membusuk. Tanah bercampur lumpur menggenangi kota. Pohon tumba ng menutupi kota yang dulu amat indah. Ladang tak lagi bertanda. Bahkan kapal be sar pun terdampar di jantung kota. Ke mana para pelaut yang terkenal jagoan itu? Mati. Mereka dihempas gelombang b esar hingga beratus-ratus meter terhanyut. Anak-anak nelayan bertelanjang dada d i tepi pantai menanti para bapak membawa tangkapan ikan, juga lenyap ditelan gel ombang mahadahsyat. Tanah di kota itu retak. Seperti dibalikkan sebagaimana kaum Luth dulu. Kota tak lagi bertanda. Mesti bertahun-tahun untuk dibangun kembali. Menjadi kota baru. Dihuni oleh kaum baru. *** KOTA itu telah lama menanggung duka. Tak terbilang tahun. Penuh luka. Padahal, sumber daya alamnya amat kaya. Hanya saja hasilnya tak dinikmati oleh warga, tap i diangkut ke lain kota. Kehidupan di sana memprihatinkan. Lapar ditumpukan alam nan kaya. Bagai tikus mati di lumbung padi. Ladang ganja diberangus. Sumur miny ak diisap dan dialirkan ke kerajaan. Atau dikorupsi oleh gubernur. Beberapa kali raja diganti. Nasib rakyat di sana tetap miskin. Rakyat bergolak. Lalu serdadu datang dan memberondong. Bertahun-tahun masyarakat dicekam ketakut an. Tiada berani memandang bintang. Tak lagi ketemu kunang-kunang. Langit pekat setiap saat. Anak-anak tak berani main gobaksodor di bawah bulan. Bahkan untuk s ebuah percintaan. Maka bila malam menjelang, rumah-rumah terkunci rapat. Peneran g hanya dihidupkan seperlunya. Di ruang tengah atau di kamar tidur. Jika para or ang tua hendak bercinta, lebih dalam pelukan gelap. Khawatir diintip, takut dibe rondong para serdadu. "Tidak boleh ada keriangan di kota itu," kisah ibu, mungkin inilah cerita terak hir ibu yang kudengar, sebab setelah itu ia tak lagi mengumpulkan kami dan cucucucunya. "Warga mesti hidup dalam ketakutan dan kecemasan. Maka itu harus selalu disebar teror, wabah, dan segala macam suara dentuman " Bertahun-tahun. Ya, warga kota itu tak dapat berbuat banyak demi membangun kota mereka. Ladang-ladang yang terbuka ditutup seketika tanpa batas waktu. Para ora ng tua tiada boleh keluar rumah di malam hari. Mereka juga dikenakan sanksi jika bercinta. Anak-anak harus dalam awasan para orang tua, setiap waktu. Apabila ke tahuan para anak lari dari rumah menuju belantara, maka para orang tua diseret u ntuk diadili. Anak-anak yang lari dan bersembuyi ke hutan-hutan, pastilah begitu keluar sebagai gerilyawan. Dan, itu akan mengancam pemerintah yang berkuasa. Oleh sebab itu, kisah ibu, sebelum anak-anak lelaki lari ke hutan-hutan maka pa ra orang tua dibebani untuk mengawasi setiap anaknya. Barangkali lantaran dibeba ni tugas itulah, para orang tua tidak sempat bercinta lagi. Mereka takut mendapa t sanksi, masuk bui jika aparat serdadu memergoki anak-anak lari ke hutan. Setia p anak yang lari dari rumah dan bersembunyi di hutan, begitu keluar akan membawa senjata: kepala diikat selembar sobekan kain, atau wajahnya tertutup hingga yan g tampak hanya kedua matanya. Mereka kemudian menyerbu sarang serdadu, menjarah amunisi, atau membuat teror tandingan. Maka kota akan menjadi makin mencekam. Sebelum atau mencegah kota bergolak, para serdadu mengawasi warga amat ketat. B ergantian dikirim ke kota itu. Tetapi, tidak sedikit para serdadu menghamili per

awan, perempuan janda, dan ibu-ibu yang masih keluyuran dekat hutan. Anak-anak j adah pun berlahiran. Perempuan-perempuan di kota itu trauma, bahkan ada yang sam pai lupa ingatan. Tawa tak karuan bergema di setiap sudut rumah. Pusat kota dipenuhi rumah-rumah bordil di mana perempuannya dikirim dari sebera ng. Untuk mengacaukan kota, melupakan warga pada Tuhannya. Bau alkohol menguar d i mana-mana. Asap ganja menyembul dari orang-orang. Ladang ganja sengaja dijaga supaya tidak dihanguskan oleh warga. Raja berkali-kali berkunjung ke kota itu, tapi hanya mengumbar janji. Bahwa kot a dijanjikan akan kembali tenang, keadilan akan diberikan, kesejahteraan akan me njadi kenyataan. Sampai kapan? Tak satu pun warga yang berani menagih kepastian. Selebihnya, hanya dirundung harapan demi harapan. Sia-sia Maka para warga frustrasi. Sehingga, jangan disalahkan kalau penghuni asli kota enggan bekerja. Kota dibiarkan tak beraturan. Rumah-rumah ibadah tak selamanya ramai, hanya sesekali waktu didatangi jamaah --tapi cuma beberapa shaf atau kurs i. Sungguh, kota itu seperti tidak digubris lagi oleh Tuhan. Ke mana Tuhan berpa ling? Mengapa Tuhan tak pernah mengubah nasib warga itu? Adakah janji Tuhan bahw a Ia tak akan mengubah suatu kaum jika kaum itu tak berusaha mengubahnya sendiri , adalah keniscayaan? Pikiranku selalu menolak, tapi hatiku sebaliknya. Hanya sa ja, sampai kini tetap tak terpahami. Aku ingin mengurai isi kisah ibu yang sudah lama kudengar. Ingin mencari makna di balik cerita-cerita ibu. Mencocokkan antara kisah dengan kenyataan. Terutama apa yang baru saja terjadi menimpa kota ini. Kota yang dulu dipenuhi orang-orang suci dan pahlawan. Kota yang masa silam sulit dicengkeram oleh penjajah, meski akhirnya terjajah juga setelah seorang kafir mempelajari kitab Tuhan milik orang -orang suci. Kota itu pun ditaburi tinja, alkohol, anggur, dan perempuan-perempu an cantik nan menantang syahwat. Sampai suatu ketika, kota itu pun dijamuri oleh rumah-rumah bordil dan perjudia n. Hanya untuk mengubur impian sebagian orang-orang suci di sana yang hendak men egakkan syariat-Nya. Kesucian dan kekotoran saling mempengaruhi. Dan, selalu saj a, batil ingin menguasai. Demikian pula di kota itu, begitu ibu berkisah yang ma sih terngiang di telingaku. Anak-anak kampung sudah menjauhi surau. Sehabis maghrib, surau sepi oleh suara anak-anak mengaji. Para orang tua lebih memilih salat di rumah (padahal Rasulull ah amat membenci orang yang tidak salat berjamaah di masjid, sehingga beliau per nah mengamsalkan akan membakar rumah muslim yang tidak berjamaah) daripada memak murkan masjid. Surau pun lebih sering kosong, isinya melompong. Bahkan ada surau yang tak lagi terurus. Dipenuhi oleh sarang laba-laba. Apek. Tikar pandan sobek dimakan tikus, atau dibawa ke hutan-hutan. Kota, demikianlah, telah kehilangan nur Ilahi. Orang-orang kota tak lagi bersor ban. Para perempuan menanggalkan kerudungnya dan diganti pakaian yang amat minim . Rumah-rumah memang benderang dan dipenuhi suara televisi dan dering telepon, t api apa artinya kalau tiada cahaya Tuhan di sana? Seperti kaum Luth yang meninggalkan rumah dan istrinya ataupun istri yang menin ggalkan lelakinya, lalu bercinta di bawah gemerlap lelampu dan kelindan asap rok ok. Seperti kaum Nuh yang membangkang. Anak yang mengangkangi nasihat para orang tu a. Istri yang berkhianat pada lelakinya sambil menghujat Tuhan. Masyarakat yang menganggap gila bagi orang-orang yang membawa kesucian. Apatah lagi melihat oran g yang tengah membikin perahu di tengah kota? Barangkali, kalau saja Khidir tak melubangi lambung perahu itu, tentulah banyak

orang yang akan naik dan selamat berlayar. Tetapi, masa itu sudah lama meningga lkan kita. Kini bukan lagi zamannya. Maka tatkala gelombang amat besar datang ke kota itu, puluhan ribu orang tak mampu diselamatkan. Ribuan mayat bergelimpanga n di setiap sudut kota, bahkan sampai membusuk. Pertolongan sulit memasuki kota itu. Bahan makanan dan pakaian yang datang terhambat, karena kota masih dipenuhi sisa air. Bangunan dan pohon yang tumbang menghadang. Adakah kau bisa membayang kan suatu kelak kota itu musnah, tak bernama, dan tak bertanda? Ibu mengakhiri k isahnya dengan pertanyaan. Pertanyaan itu hingga kini dan mungkin sampai kapan pun, mengusikku. Aku benarbenar kesulitan memahaminya: memaknainya. Saudara, di mana kota yang telah musna h itu? Mereka adalah saudara kita yang tenggelam dan mati oleh gelombang mahadah syat. Sebuah kota yang bertahun-tahun menderita. Kota yang sesungguhnya amat kit a cintai dan kagumi, karena di sana dulu lahir banyak orang suci dan pahlawan *** (kenangan pilu bagi Aceh, juga Diana Roswita yang menjadi korban dalam musibah itu --dan Azhari yang tentu kini merasa luka: maskirbi, din saja, dan lain-lain) Lampung, 31 Desember 2004 Batu Menjadi Cerpen: Taufik Ikram Jamil Sumber: Jawa Pos,Edisi 12/26/2004 DAERAH kami menunggu takdir buruk; inilah sesuatu yang pasti, lalu mengapa masi h ada ketakutan dalam menghadapi kepastian? Entahlah. Tapi apakah yang dapat kalian rasakan ketika melihat bebatuan bergulu ng-gulung, bergerak cepat menerjang segala yang melintang, membujur lalu setiap halangan. Gulungan batu yang terus membesar dan membesar. Apakah yang dapat kalian rasakan ketika melihat batu-batu melambung dari perut bumi. Batu-batu sebesar kelapa, tak kecil tentunya, tiba-tiba berlompatan ke ang kasa, membuat garis tegak lurus, kemudian seperti membanting diri dalam gulungan batu-batu. Seterusnya, seterusnya, batu-batu tersebut membaur sebagai gulungan batu-batu yang terus membesar dan membesar. Kalian lihatlah, bagaimana batu-batu yang sebesar kelapa, batu-batu yang melamb ung dari perut bumi tersebut, karena begitu banyaknya, seolah-olah membentuk dir i menjadi semacam tirai raksasa. Tirai raksasa yang hidup, dengan bagian-bagian yang bergerak ke atas maupun ke bawah secara tegas. Disebabkan gerakan batu-batu itu cukup cepat, pergantiannya pun aduh mak begitu deras, sudah tentu ketinggia n tirai tersebut susah dipastikan. Lebarnya tak mudah diukur, cukup sulit pula u ntuk dikira-kira. Sementara di belakang tirai batu yang seperti hidup itu, tak begitu jauh di bel akang, kalian akan melihat gulungan batu yang juga bergerak. Batu-batu itu bergo lek cepat, sehingga membentuk diri sebagai gulungan raksasa yang berguling-gulin g seperti mengibaskan semua kemarahannya. Oleh karena batu-batu yang melambung, yang membentuk diri sebagai tirai raksasa, pada gilirannya jatuh atau bergabung pada gulungan raksasa itu, tentu sudah dapat dibayangkan bagaimana gulungan raks asa tersebut makin membesar bahkan kadang-kadang memanjat ketinggian tirai raksa sa.

Berdirilah pada ketinggian, tak perlu terlalu tinggi memang. Apakah yang dapat kalian rasakan, pada bagian belakang dari batu-batu bergulung yang menjadi latar tirai batu tersebut, seperti membentang sebuah hamparan nan sayup. Kalian pasti akan menjulurkan kepala agar lebih berada di depan dari bagian-bagian tubuh kal ian yang lain, seolah-olah dengan cara seperti itu, mata kalian akan dapat melih at lebih jelas --lebih terang. Mungkin ya, setidak-tidaknya kalian ingin meyakin kan penglihatan kalian. Mungkin tidak sekali, tidak dua atau tiga kali, malahan empat sampai delapan kali, kalian akan berbuat demikian. Apakah kalian akan menj adi lebih yakin atau tidak adalah sesuatu yang lain. *** MUNGKIN diperlukan teropong, mungkin. Tentu pandangan yang terlihat akan lebih rinci. Akan kalian lihat, bagaimana hamparan batu tersebut tidaklah mulus. Tidak rata seperti hamparan biasa, sebaliknya berlubang-lubang dan bergelombang pula. Lubang-lubang dan gelombang-gelombang yang tak simetris, seperti sesukanya saja . Di pinggiran lubang tampak buhul-buhul, tampak seperti membengkak laksana peko ng, laksana tokak, ya seperti kudis besar di badan manusia. Kalian kan menyadari gambaran itu, manakala di pinggiran lubang-lubang tersebut, juga di berbagai pu ncak gelombang batu, terdapat percikan berwarna merah dan putih. Selintas, selin tas saja, kalian akan melihat perpaduan warna itu seperti mewujudkan dirinya seb agai darah dan nanah. Tak mungkin pula mata kalian tidak berpaut pada warna gelombang, tirai, dan ham paran batu itu. Didominasi hitam, tidak begitu hitam memang, entah apa perasaan kalian melihat hal-hal itu semua. Ada pula kecoklatan yang membuat berbagai gari s di dalam semua bentuk batu, sehingga pastilah mengisyaratkan sesuatu yang bera t. Terkadang, warna kuning air terdapat pada beberapa bidang di hamparan batu ya ng tidak begitu sulit ditangkap oleh mata. Pada tirai batu dan gelombang batu, w arna itu mungkin tidak setegas maupun sejelas demikian, cuma warnanya masih meny isakan perhatian pada gerak. Potongan-potongan warna kuning air mempertegas ada gerakan pada tirai maupun gelombang batu-batu tersebut. Langit terlihat membiru seperti semua isinya secara serentak ingin menyaksikan apa-apa yang terjadi di bumi tanpa halangan sedikit pun. Sosok langit seperti in i terlihat bertaup dengan hamparan batu, membuat garis lengkung di ujung mata. P erpaduan warna biru dan kehitaman yang memuakkan, betul-betul memuakkan. Masuk a kal kalau kalian merasa telah berada di mulut seekor binatang buas yang amat bes ar dan tinggal sekali glek, ajal pun sampai. Kalian tentu tak mau membayangkannya lebih jauh. Tapi mata kalian masih berada pada langit yang terlihat telanjang bulat --bagai tanpa pakaian, sehingga kadang -kadang bisa saja orang tidak mengenalnya-- sekurang-kurangnya merasa aneh untuk beberapa saat. Dalam pemandangan seperti itu, mungkin kalian sadar, betapa pent ingnya awan yang menunjukkan keberadaan langit. Biru semata, sehingga keindahan langit menepi, tak jarang terasa begitu kaku bahkan mencekam. Memang, sekali dua, ada beberapa kelompok awan bergelayutan. Tetapi warnanya ag ak kehitaman. Tentu saja warna tersebut berpadu dengan warna tirai, gelombang, d an hamparan batu di bawahnya. Perpaduan yang dibatasi oleh suatu jarak. Cuma jan gan lupa dulu, awan hitam itu pun kemudian begitu cepat sirnanya. Seperti ada ya ng mengheretnya setiap kali muncul; mungkin anginlah itu, tetapi yang pasti, ger akannya tampak horizontal dalam satu arah yang senantiasa bervariasi --artinya p ada kesempatan tertentu menuju selatan, tetapi pada kesempatan lain ke utara. Ba rat dan timur, juga menjadi tujuan angin. Ya, seperti diheret dan awan mengikutinya dengan terpaksa. Maka tak heranlah ka lau bentuk awan yang semula hampir bulat -mengumpul--kemudian menjadi memanjang. Perubahan bentuk yang diikuti oleh suatu tarikan gerakan yang horizontal. Tampa klah gerakan awan itu susul-menyusul, kemudian hilang dari pandangan. Meskipun d

emikian, kesan yang dibuat oleh gerakan awan tersebut tentulah cukup khas. Pasal nya, bagaimana pula orang dapat melupakan gerakan pada tirai batu yang vertikal tadi, seperti melambung dari perut bumi. Apalagi mengingat gerakan pada gelomban g batu yang sejajar dengan gerakan awan walau lebih cepat, kesan persilangan war na dan gerak, tentu menjadi lebih kuat. *** APAKAH yang dapat dirasakan ketika dalam pemandangan semacam itu, hidung kalian menangkap bau yang lain, teramat lain. Mungkin bau benda yang terbakar, mungkin amis, mungkin anyir, antara busuk dan tidak. Harum? Bisa jadi ya, harum. Tapi p asti tak terus-menerus bau semacam itu menyumbat hidung. Ada kalanya bau amis sa ja, anyir saja, bahkan harum saja. Sekali waktu, semua bau menerpa hidung, tetap i di lain waktu, tak ada sebarang bau tercium pun. Mungkin bukan tak ada bau, le bih tepat dikatakan ada kalanya, hidung hanya menangkap bau normal dan begitu bi asa kalian hirup sepanjang hari. Angin selalu berganti arah pula, tak luput dari tugas menebar bau. Ketika udara bergerak tersebut menuju tempat kalian berdiri, sudah barang tentu bebauan begi tu menusuk. Apa pun bau seperti menjelma sebagai benda yang panjang dan membentu k dirinya sesuai dengan bentuk wadah atau lembaga atau sosok yang disentuhnya. M aka jadilah setidak-tidaknya bau tersebut seperti lubang hidung, sehingga dirasa kan kehadirannya secara fisik. Merasakan kehadirannya secara fisik, mungkin kalian akan coba merabanya, memega ngnya, dengan berbagai maksud. Ketika bau yang tak sedap memenuhi rongga hidung, kalian tentu bermaksud membuangnya jauh-jauh. Membantingnya di atas tanah, meng enyahnya ke mana saja asalkan bau itu hilang. Tetapi tidak, tidak. Meskipun keha dirannya dapat dirasakan secara fisik, bau tersebut tak dapat diraba, tak dapat dipegang. Sehingga harap maklum, kalau kalian tidak dapat menyingkirkannya, tida k mungkin meniadakannya. Cuma saja kalian terus berusaha untuk itu, sekurang-kur angnya menggisalkan hidung yang tak banyak membantu upaya tersebut. Fuit fuit fuit Itu mungkin suara hidung kalian. Suara yang berkali-kali terdengar. Suara yang mungkin menambah keragaman suara di tempat itu, di tempat kalian berdiri. Memang , mana mungkin pula kalian menghindar dari suara-suara yang begitu saja --tanpa perlu bertanya-- kalian sebut sebagai suara yang diakibatkan oleh gulungan dan t irai batu. Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak Buar Bum, bar, keletak, keletuk Pus dar Keletas tas keletak Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak Bum, bar, keletak, keletuk Buar Pus dar Siung

Sing Buar buar buar Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak Keletas tas keletak Bum, bar, keletak, keletuk Buar Pus dar Siung Sing Buar buar buar Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr Dam Dam Dam dam dam Dam Dam

Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak Buar Bum, bar, keletak, keletuk Pus dar Keletas tas keletak Keletak, keletuk, tuk tuk, tak, keletak Siung hSing Buar buar buar Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr Dam Dam Dam dam dam

Dam Dam

*** YA, daerah kami menunggu takdir buruk; inilah sesuatu yang pasti, lalu mengapa masih ada ketakutan dalam menghadapi kepastian? Sayang, kalian tidak bisa memerhatikan, mencium, dan mendengar, segala sesuatu yang terjadi di depan mata berlama-lama. Meski tidak perlu bergegas benar, tak p erlu sigap benar, pastilah sekurang-kurangnya kalian begitu bimbang terhadap gul ungan dan tirai batu yang akan sampai pada tempat kalian berdiri. Melapah kalian , menggulung kalian, membolak-balik kalian, mengayak-ayak kalian. Sampai semua t ulang kalian hancur lumat, daging menjadi bubur cair --hampir menjadi kanji. Sam pai tulang tidak bernama tulang, sampai daging tak bernama daging. Mungkin tubuh kalian dilambung begitu tinggi, kemudian terhempas kembali ke bum i. Begitu kuatnya lambungan itu, begitu kerasnya hempasan itu, badan kalian past ilah akan terkelosop, ya seperti penanaman cerocok, jauh aduhmak jauhnya ke dala m tanah. Tak sekali, dua, tiga atau empat, entah berapa --pokoknya berkali-kali. Kalian tak mungkin lagi dikenal, bahkan tak pasti lagi warna badan kalian yang menjadi bubur itu. Mungkin hitam, kecoklatan, kuning air, atau gabungan dari sem ua warna itu. Mungkin, bercak-bercak merah dan kuning air yang terlihat dari kej auhan adalah darah kalian. Hitam dan kecoklatan bisa saja bagian dari tubuh kali an yang sudah bercampur material-material lain, tak saja batu, tetapi juga tumbu h-tumbuhan, dan entah apa lagi. Lalu, dalam keadaan ini, berbagai bau tak dapat diuraikan lagi; entah busuk, entah amis, entah anyir, mungkin juga harum.

Tak mungkin kalian dapat mendengar suara itu lagi: Keletak, keletuk, tuk tuk, t ak, keletak Buar Bum, bar, keletak, keletuk Pus dar Keletas tas keletak Keletak, keletuk, tuk uk, tak, keletak Bum, bar, keletak, keletuk Buar Pus dar Siung Sing Buar buar buar Keletak, k tuk tuk, tak, keletak Keletas tas keletak Bum, bar, keletak, keletuk Buar Pus dar Siung Sin uar .buar Grrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr Dam Dam Dam dam dam Dam Dam Keletak, keletuk, tuk keletak Buar Bum, bar, keletak, keletuk Pus dar Keletas tas keletak Keletak, keletuk, tuk t tak, keletak Siung hSing Buar buar buar Grrrrrrrrrrrrr rrrrrrrrrrrrrrrr Dam Dam Dam dam dam ungkin lagi kalian mendengar suara semacam itu karena suara tersebut mungkin saj a berasal dari badan kalian yang berguling-guling dan terlambung-lambung. Mana mungkin pula kalian tahu secara persis bagaimana gaya gerakan badan kalian yang bergulung-gulung atau melambung-lambung, juga mengenai warna, bau, dan bun yi, akibat itu semua. Apalagi benda-benda yang ikut bergulung-gulung dan melambu ng-lambung tersebut dapat dipastikan bukan saja bersumber dari badan kalian, tet api sesungguhnya begitu banyak benda-benda lain. Hutan dengan berbagai isinya, s ungai dengan berbagai isinya, bahkan alam dengan berbagai ragamnya, pun dilangga r bebatuan. Rumah, sekolah, jalan, kebun, kantor-kantor, tak luput dari terjanga n batu-batu. Aduhai, sejumlah orang juga menjadi korban batu-batu. *** ADUHAI, apakah yang dapat kalian rasakan ketika mendengar cerita tentang sejuml ah orang digulung-gulung dan dilambung-lambung bebatuan? Kalian tak percaya? Mungkin kalian akan mengatakan, bukankah masih ada upaya untuk menghindar dari serbuan batu-batu tersebut. Suara gerakannya terdengar keras, bahkan dari jarak satu kilometer --di tempat kalian berdiri sekarang. Baunya tercium amat menyenga

t, apalagi dibawa angin. Pun waktu yang terbentang sejak kejadian batu-batu itu diketahui orang, tidak pula pendek. Semuanya dapat dijadikan tanda akan adanya a ncaman. Masih banyak alasan yang memungkinkan bagaimana ancaman tersebut dapat dihindar i. Gulungan batu itu cepat memang, lambungan batu itu tinggi dan cepat sudahlah pasti. Tapi satu hal yang pasti juga, daya tempuh batu tersebut tidak laju, cuku p lambat. Maka kawasan yang dilanda batu juga tidak segera meluas. Paling dalam satu atau dua jam, lahan yang dilanggar batu tidak sampai bertambah lebih dari l ima meter. Gerakan dalam gulungan dan tirai batu itu seperti lebih dahulu memame rkan kekuatan dan kebuasan, baru kemudian melakukan tindakan dengan cara menutup lahan dengan dirinya sendiri. Jadi, bukan sesuatu yang tiba-tiba. Tidak seperti terjangan air bah atau tanah longsor. Tidak seperti sambaran angin puting beliung di tengah lautan. Tidak, se kali lagi tidak. Masih tersisa begitu banyak waktu untuk menghindar. Dengan kete rsediaan waktu itulah, kesigapan dan ketangkasan tidak dituntut benar untuk meng hindarkan diri dari sergapan batu-batu tersebut. Itulah pula sebabnya mengapa ka lian tidak perlu begitu cemas menyaksikan bebatuan tersebut dari jarak tertentu dengan kepastian tidak sebagai pelancong. Ya, kalian menyaksikan sesuatu yang un ik, tetapi karena mengandung begitu besarnya ancaman, pemandangan tersebut tidak menempatkan dirinya sebagai obyek wisata. Kalian tidak percaya, bagaimana sejumlah orang seperti dengan sengaja menyerahk an diri pada gulungan dan tirai batu. Seperti pada senja yang muram itu, keluarg a Atan --ia dan istri, juga tiga anaknya-- digulung dan dilambungkan batu. Kami tak sempat menolongnya, bukan menolong karena keluarga Atan tidak pada posisi ya ng mengharuskan pertolongan, sehingga lebih tepat dikatakan tidak mampu mencegah mereka. Tapi masih sempat kami tangkap kalimat yang keluar dari mulut Atan: Batu belah batu bertangkup Telan kami sekali tangkup Kami kempunan harta negeri Aduhai, kalimat berlagu yang kami sebutkan keluar dari mulut Atan itu, memperle bar ketidakpercayaan kalian tentang bagaimana sejumlah orang, bahkan sekeluarga seperti menyerahkan diri pada gulungan dan tirai batu tersebut. Bukankah kalimat itu pernah ada dalam apa yang kalian sebut dongeng; bagaimana seorang ibu begit u kecewa dengan anaknya yang memakan habis telor tembelang pencarian si ibu. Beg itu kecewanya, kempunan --tak dapat memenuhi keinginan terhadap sesuatu yang ama t diinginkan-- sehingga perempuan tersebut menuju sebuah batu besar di ujung kam pung sambil berucap: Batu belah batu bertangkup, telan aku sekali tangkup, aku k empunan telor tembelang. Tak sampai di situ saja. Kalian akan menghubung-hubungkannya dengan berbagai ce rita mengenai batu yang sempat kalian dengar ketika kecil dulu, menghantar tidur kalian sampai terlelap. Ada hamparan batu yang menyerupai berbagai peralatan ru mah tangga, termasuk alat kelamin lelaki dan perempuan, sebagai lambang cinta ab adi di pinggir Selat Melaka. Akan kalian ingat seorang lelaki yang disumpahi ibu nya menjadi batu. Mungkin kalian teringat bagaimana burung-burung ababil menyera ng Abrahah, juga bagaimana kota-kota yang dibangun dari lipatan batu-batu. Tak m ustahil kalian terkenang sejumlah cerpen mengenai batu, di antaranya "Menjadi Ba tu" karya Taufik Ikram Jamil. Kesimpulannya, kalian tidak percaya tentang keluarga Atan yang seperti menyerah kan diri pada gulungan dan tirai batu. Kalian akan katakan kami mengarut, mengad a-ada tanpa maksud apa-apa. Lalu amat memungkinkan sekali kalian menafikan pengl ihatan, pendengaran, dan penciuman kalian terhadap gulungan maupun tirai batu; t

erhadap hal-hal yang kalian saksikan dengan alat indera kalian sendiri, bahkan s aat kalian berada pada sebuah ketinggian --mungkin tidak begitu tinggi; terhadap apa yang kami sebut dengan istilah "batu menjadi". Kalian akan katakan bahwa ap a yang baru kalian lihat, kalian cium, dan kalian dengar tentang batu sekarang m erupakan endapan kisah di benak kami dari rangkaian peristiwa serupa pada masa y ang begitu jauh dan tak mungkin terjadi kini maupun di sini. Kalau sudah begitu, mana mungkin cerita ini dilanjutkan. Mana mungkin lagi dice ritakan asal-muasal gulungan dan tirai batu itu. Mana mungkin kan? *** Lelaki dan Sekuntum Kamboja Post:12/20/2004 Disimak: 104 kali Cerpen: M. Arman AZ Sumber: Jawa Pos,Edisi 12/19/2004 APAKAH yang menarik di sebuah tempat bernama kuburan, selain pohon-pohon kamboj a, makam-makam yang bertaburan, lirih angin mencekam, dan sunyi menikam? Siapa p ula yang mau menyambangi tempat beraroma angker itu, kecuali pada saat-saat tert entu seperti hari raya atau penguburan jenazah? Tapi hampir tiga bulan belakangan sering kulihat sosok lelaki itu di sana. Term angu di sebuah nisan berlapis marmer biru di pojok kiri areal pemakaman. Seingat ku, itu makam seorang wanita. Aku yang menggali kuburnya dua tahun lalu. Entah a pa hubungan si lelaki dan penghuni makam itu. Dia masih muda. Kurasa umurnya di atas dua puluh tahun. Tubuhnya kurus jangkung . Kalau berjalan agak membungkuk. Rambut ikal dan jambang memenuhi wajahnya. Kehadirannya tak bisa diterka. Kadang seminggu sekali, dua minggu sekali, malah pernah dua hari berturut-turut kupergoki dia sedang ziarah. Mungkin orang lain tak akan percaya jika kuceritakan hal ini. Tapi begitulah kenyataannya. Kebiasaa n unik lelaki itu membuatku cepat hafal wajah dan gerak-geriknya. Anak istriku p un tak curiga lagi jika melihatnya di kejauhan, berjingkat melewati nisan demi n isan, sebelum tiba di makam itu. Pernah suatu pagi, ketika membuka pintu belakang untuk menaburi jagung di kanda ng ayam, aku kaget melihat dia sudah di sana. Matahari belum utuh menyembul dari ufuk timur, tapi dia seperti tak kenal waktu. Ketika orang-orang berangkat kerj a, ke pasar, atau sekolah, dia malah ke kuburan. Kuamati gerak-geriknya dari bal ik seng lapuk. Dia sedang menyingkirkan daun-daun kering yang berserak di atas m akam dan mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekelilingnya. Setelah bersih, ia duduk bersimpuh. Hening. Tak lama kemudian, terdengar lantunan ayat suci menggel etarkan udara pagi. Terakhir kali aku melihatnya minggu lalu. Cuaca ramah waktu itu. Angin berhembu s sepoi. Sinar matahari senja menyibak rindang pohon kamboja. Jatuh di tubuhnya berupa pendar-pendar cahaya dan siluet dedaunan. Seekor kupu-kupu kuning, entah dari mana datangnya, terbang rendah sebelum hinggap di sudut batu nisan. Dari je ndela kamar, mataku tak berkedip merekam pemandangan itu. ***

Aku lahir dan besar di gubuk ini. Dindingnya terbuat dari kepingan-kepingan kay u plus tripleks. Lantai semen. Atap seng karatan. Kalau hujan, kami sibuk menada hi tetesan air dari lubang atap dengan ember atau baskom. Antara ruang tamu dan ruang makan disekat sebuah lemari tua. Di sebelah kanan, dua kamar tidur sempit pengap. Dapur dan kamar mandi teronggok di belakang, dikelilingi seng-seng bekas . Ada cermin oval yang menyatu dengan lemari baju di kamar depan. Aku jarang meng gunakannya. Bukan karena malu melihat uban tumbuh bagai cendawan di musim hujan, mata cekung, atau gurat-gurat usia di dahi. Jika menatap wajahku dalam cermin, aku seperti melihat kegetiran-kegetiran yang menahun. Setengah abad lebih kujala ni hidup dengan berkelahi melawan takdir sebagai orang melarat. Orang-orang mengenalku sebagai kuncen kuburan. Kadang aku bingung, kenapa kubur an seluas itu dilimpahkan padaku untuk mengurusnya? Apa karena rumahku dekat kub uran? Atau tugas itu diwariskan turun-temurun setelah bapak meninggal? Aku kerja serabutan untuk menghidupi anak istri. Tukang loak, penggali sumur, k uli bangunan, dan kerja kasar lainnya silih berganti kulakoni. Asal asap dapur t etap mengepul, aku sudah bersyukur. Istriku berjualan pecel di depan rumah. Hasi lnya pas-pasan. Untuk biaya sekolah empat anak kami, harus putar otak lebih kera s lagi. Rezeki macam itu datang jika ada orang meninggal. Ada yang tergopoh-gopoh menca riku, minta digalikan liang lahat selekas mungkin. Walau sedih mendengar kabar d uka itu, tapi jujur saja, hatiku girang. Terbayang upah gali makam yang bisa rat usan ribu. Tentu saja tak setiap hari ada yang meninggal. Hari-hari berikutnya, aku blingsatan lagi. Kehabisan uang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Mau pi njam tetangga, jelas malu. Hutang masih menumpuk. Saat-saat terpojok itulah, per nah tercetus doaku, "Semoga ada yang mati, agar aku bisa dapat uang." Entahlah, rasanya doa itu keterlaluan. Aku seperti mengail rezeki di tengah air mata orang -orang. Kalau otakku buntu, tak ada jalan keluar, aku pergi ke kuburan. Duduk terpekur di salah satu nisan atau di bawah pohon kamboja. Rasanya tenang dan damai. Hembu s angin mengalirkan kenangan. Semasa kecil dulu, mendiang orang tuaku sering mel arang main di kuburan sore-sore. Aku dijejali cerita-cerita seram tentang hantu, kuntilanak, pocong, wewe gombel, dan sebagainya. Tapi, syukurlah, seumur hidupk u belum pernah bertemu mahluk-mahluk itu. Menjelang bulan puasa dan ketika hari raya Lebaran tiba, peziarah berdatangan u ntuk nyekar. Mobil-mobil licin mengkilap berderet di depan gerbang kuburan. Kata bapak, banyak juga yang datang dari luar kota. Saat itu aku diizinkan bekerja m embersihkan makam-makam yang kotor. Aku mengantongi uang banyak waktu itu. Roda hidup terus berputar. Semua yang kualami dulu kini terulang kembali. Keemp at anakku sering kumarahi agar jangan main layangan atau petak umpet di kuburan. Menjelang bulan puasa dan saat Lebaran, kulepas mereka untuk cari uang jajan se ndiri. Selebihnya, kuburan ini kembali diselimuti sepi. Ngelangut dan lirih. *** Jamaah bubar dan berpencar usai salat Jumat. Aku kaget melihat sosok anak muda itu di tempat penitipan sandal. Ia sedang antre di kerumunan. Mungkin dalam masj id tadi dia duduk di deretan belakang hingga aku tak melihatnya. Penasaranku kam buh. Kutunggu dia keluar masjid. Apakah siang ini dia mau ziarah? Jarak masjid d an kuburan tak seberapa jauh, bisa dikerjakannya sekali jalan. Dia melintas di depanku. Timbul niat untuk mengetahui ke mana ia akan pergi. Ak

u berjalan di belakangnya. Langkahnya ringan, sambil sesekali menabuhi daun-daun . Sementara dalam perutku ada genderang ditabuh. Kuayun langkah lebih cepat, hin gga bersisian dengannya. Dia menengok dan tersenyum ramah. Aha, kupikir ini awal yang bagus. "Mau ziarah, Dik?!" tanyaku datar dan santun. Roman wajahnya berubah. "Eeh, iya. Kok, Bapak tahu?" Kujelaskan bahwa rumahku persis di sebelah kanan k uburan. Aku tahu jika ada yang ziarah. Dia mengangguk-angguk, tak menyangka sela ma ini ada yang memperhatikannya. Tanpa kuminta, dia mulai bercerita. Namanya Sunu. Ia tinggal di kampung seberan g. Makam itu adalah makam ibunya yang meninggal dua tahun lalu. Di sisa-sisa nap asnya, beliau minta dikuburkan dekat orang tuanya, kakek dan nenek Sunu. Lunas s udah pertanyaan-pertanyaan yang menumpuk di benakku selama ini. "Kita lewat sini saja, Dik." Aku menunjuk sebuah gang. "Ini jalan pintas menuju rumah masa depan," candaku. "Rumah Bapak di ujung gang ini. Lain kali, lewat si ni saja untuk menghemat waktu." Tanpa banyak tanya, Sunu mengikuti langkahku. Kami menyusuri gang sempit berkelok-kelok. Kuajak Sunu singgah sesampainya di g ubukku. Lapar sudah di puncaknya, tapi dia menolak waktu kutawari makan bersama. Setelah istriku ikut membujuk, akhirnya Sunu luluh juga. Usai makan siang, kami istirahat di depan gubuk. Kuburan di sebelah kanan kelih atan jelas dari tempat kami duduk. Hanya dibatasi sepetak tanah. Kami sempat ngo brol ngalor ngidul, sebelum Sunu mengisahkan latar belakang dirinya. "Saya sangat berdosa pada ibu." Pandangannya menitik hampa ke tanah. Ada induk ayam dan tiga ekor anaknya yang menciap-ciap minta makan. "Semasa hidupnya, saya banyak menyakiti hati ibu. Mabuk, bikin onar di kampung, pinjam uang ke sana-ke mari dengan alasan dibuat-buat, hutang rokok numpuk di warung." Kulihat Sunu mem buang napas gelisah, kemudian menyambung ceritanya, "Akhirnya orang-orang datang ke rumah, menagih langsung pada ibu. Beliau banyak menanggung malu. Sudah serin g saya dinasehati, bahkan pernah dicaci maki, tapi dasar saya anak tak tahu diri ." Aku bengong. Entah harus percaya atau tidak pada ceritanya. Perkenalan kami bar u seumur jagung, tapi dia enteng saja menabur keluh kesah. Sempat terbersit curi ga. Zaman sekarang banyak penipu yang mengincar mangsanya tanpa pandang bulu. Ak u harus waspada. Sunu terus saja berceloteh. Tentang liontin berlian ibunya yang dicuri lalu dij ual murah, padahal benda itu warisan mendiang kakeknya. Dia juga merasa sebagai biang keladi yang menyebabkan ibunya cepat meninggal. Tentang kebiasaannya ziara h untuk mendoakan ibu sekaligus menebus dosanya. Tentang hidupnya yang kini lont ang-lantung. Ia malu pulang ke rumah. Namanya sudah tercemar. Tak ada lagi yang mempercayainya. Orang-orang yang dulu lengket di sisinya saat ia banyak uang, ki ni hilang entah ke mana. Juga tentang niatnya merantau dan kerja apa saja asal h alal. *** Senja ramah. Angin sepoi. Sinar matahari tak begitu menyengat. Aku dan Sunu dud uk berhadapan di sisi makam, membaca doa bersama. Lantunan suara kami melayang d ibawa angin. Sepasang kupu-kupu kuning terbang rendah. Meliuk-liuk lalu hinggap di batu nisan. Aku tercekat. Kulirik Sunu, namun dia seperti tak menyadari kehad iran sepasang mahluk lemah itu. Usai berdoa, Sunu pamit. Ia menjabat tanganku seraya mengucapkan terima kasih.

Sepintas kulihat matanya memerah. Aku termangu, haru melepasnya. Ia berjingkat m elewati nisan demi nisan. Maghrib menjelang ketika Sunu telah lenyap dari pemaka man. Ah, seandainya aku ada uang, tentu sudah kuselipkan di saku bajunya. Entah ke mana tujuan Sunu. Entah di mana tidurnya malam ini. Entah bagaimana di a makan. Aku merasa bersalah. Seharusnya jangan terlalu cepat mencurigai anak it u. Aku menyesal hanya jadi pendengar yang baik saat dia bercerita, padahal apa s usahnya memberi nasehat agar dia jangan terlalu lama menyesali keadaan, agar dia bangkit menebus kesalahan, agar dia rajin mendoakan almarhumah ibunya. Ah, muda h-mudahan kami bisa bertemu lagi, suatu saat nanti, di kuburan ini. Dua kupu-kupu kuning telah raib dari tempatnya. Angin mendesau lirih. Sekuntum bunga kamboja gugur dari tangkainya. Bergulir di pusara yang kering. Kupandangi bunga putih bersih itu. Tiba-tiba aku terhenyak menatap tulisan di batu nisan. D i bawah nama almarhumah ibu Sunu, terpahat tanggal dan bulan kelahiran yang sama persis dengan kematiannya. Bandar Lampung, April 04 Nyonya Alvi dan Mawar Hitam Post:12/13/2004 Disimak: 81 kali Cerpen: Iwan RS Sumber: Jawa Pos,Edisi 12/12/2004 Nyonya Alvi tentulah ia seorang yang baik, ramah, dan boleh jadi sangat perhati an. Suatu kali ia pernah mengingatkan kerah bajuku yang kurang pas. Hal kecil se benarnya tapi amatlah berarti semestinya ditaruh dalam hati. Itulah barangkali y ang membuatku kerasan ngobrol dengannya. Obrolan kami tidaklah lebih dari soal b unga, lain dari itu secuil saja. Sesekali pernahlah kami ngobrol selain bunga, t api bicara selain bunga hanyalah bumbu untuk ngobrol soal bunga. Hmm, Nyonya Alv i ia begitu tergila-gila akan bunga. Begitulah, setiap Minggu pagi jam delapanan, aku musti mampir ke rumah Nyonya A lvi. Ia membeli bunga-bunga yang kubawa untuk dipeliharanya di pekarangan atau d i belakang rumahnya yang karuan luas. Entah berapa banyak koleksi bunga hias yan g dimiliki dengan beragam jenisnya. Sudah hampir tiga tahun setiap Minggu ia mem beli bunga. Sepertinya membeli bunga merupakan suatu kemutlakan baginya. Itu yan g Nyonya Alvi beli padaku. Sebelum aku, ia pernah punya penjual bunga, tapi penj ual bunga itu telah pindah ke kota lain. Dicarilah penjual bunga baru. Dan akula h penjual bunga itu hingga kini. Sorot mata Nyonya Alvi menunjukkan ia perempuan cerdas. Dan, pastilah ia akan t eliti sekali kalau sudah memperhatikan bunga, berbinar. Bukan hanya itu, ia sent uh bunga-bunga tidaklah dengan alakadarnya, melainkan juga melibatkan perasaanny a. Alih-alih soal Nyonya Alvi yang begitu sangat mencintai bunga: sekiranya kurang lah pas untuk seorang Nyonya Alvi jika harus selalu kelihatan sendiri dan hanya berkutat dengan bunga-bunga saja. Setiap aku mampir, jarang terlihat suaminya, p adahal menurut Nyonya Alvi suaminya sedang ada di rumah. Tapi kenapa jarang keli hatan berdua-duaan layaknya suami-istri. Ya, duduk bersama sambil minum teh seka

dar mengisi waktu senggang, misalnya. Atau jalan-jalan pagi menikmati Minggu yan g cerah, seperti keluarga pada umumnya. Setidaknyalah rumah besar itu tak berkes an hanya dihuni oleh bunga, pembantu, dan nyonya saja. Beberapa kali saja kulihat, itupun dua tahun yang lalu. Dua kali tepatnya. Ya, aku ingat betul. Pertama, ketika lelaki itu menutup garasi setelah memasukkan mo bil saat pembantunya lagi mudik. Kedua, waktu aku dan Nyonya Alvi asyik ngobrol di beranda seorang tamu menyatroni lalu menanyakan keberadaannya, masuklah Nyony a Alvi ke dalam: memanggil suaminya itu. Tak lama, keluarlah lelaki itu --suami Nyonya Alvi- pun hanya sebatas di ambang pintu saja guna mempersilahkan tamunya masuk. Setelahnya tak lagi aku melihatnya. Aku tak tahu persis, selain hari Ming gu apakah mereka --Nyonya Alvi dan suami-- begitu akrab, suka jalan-jalan, ya se tidaknya bertegur sapalah. *** Minggu ini aku datang lebih pagi. Jam tujuh. Konon Nyonya Alvi punya acara --di kabarinya aku lewat telepon kemarin lusa. Maka dari itu kedatanganku diajukan. A h, Nyonya Alvi, ia selalu terlihat cantik seperti Minggu biasanya. Ini kali ramb ut sebahunya berbasah-basah, usai keramas tentulah, diurainya berkali-kali denga n jari-jari lentiknya yang kukunya dicat merah, merah jambu jelasnya. Ah, tapi k enapa Nyonya Alvi kali ini sendu begitu? Hmm, sendu tapi masih nampak cantik. Ju stru perempuan akan nampak sempurna jika berona sendu-merayu seperti itu. Ah, Ny onya Alvi, pastilah lelaki beruntung yang dapat menyangkarkannya. Ya semacam anu gerahlah. "Pesanan Anggrek yang seperti Minggu kemarin tapi agak kecil, dibawa?" Ya, gaya bicaranya. Aku suka gaya bicara Nyonya Alvi yang khas itu. Intonasinya enak dis imak. Bibirnya berkecumik sedemikian rupa jika sedang bicara, tapi tidaklah terk esan direka. Wajar, indah dan tepat. "Pesanan Anggrek yang seperti Minggu kemarin, agak kecil, dibawa?" "Ya, ya, aku bawa. Tulip yang indah, Nyonya Alvi pasti suka." "Anggrek yang seperti Minggu kemarin, agak kecil. Bukan Tulip. Kalau Tulip kema rin juga sudah ambil." "O, maaf," aku gugup. "Ya, anggrek. Ah, anggrek yang Nyonya pesan itu, kan? Say a bawa tiga dengan jenis yang berbeda. Silahkan Nyonya " "Hmm, merah, jingga, kuning Yang ini saja, jingga." "Baik, Nyonya." "Letakkan di selasar sebelah sana. Saya ambil uang " "Iya, Nyonya."Nyonya Alvi masuk ke dalam. Memalukan! Pastilah tadi ia kentarai kekikukanku yang aku sendiri tak memahami. Langkah sepatunya mendekat. Ah, sebai knya aku menguasai diri dari ketololan. "Ini uangnya " "Terima kasih, Nyonya." "Untuk Minggu besok, bawakan saya Mawar Hitam." "Mawar Hitam?" "Ya. Kenapa?"

"Eem, tidak apa. Berapa Nyonya?" "Sebanyaknya." "Sebanyaknya?" "Kenapa?" "Tidak. Baiklah. Minggu besok saya bawakan Mawar Hitam. Sebanyaknya " Nyonya Alvi masuk, sedikit terburu, mungkin karena segera bersiap untuk pergi. *** Sesuai pesanan, aku bawa Mawar Hitam sebanyaknya. Pesanan aneh sebenarnya. Soal nya setiap ngobrol soal bunga, luputlah Nyonya Alvi menyinggung Mawar Hitam, apa lagi memesan. Ah, tapi itu bukan urusanku. Aku sekadar penjual bunga. Jadi menge kor sajalah soal selera. Tapi Nyonya Alvi menyuruhku menunggu di ruang tamu, sebelum ia ngeluyur ke dalam tad i. Megambil sesuatu mungkin, entah apa. Baru kali ini aku singgah di ruang tamu. Bersih juga nyaman. Dari sini, leluasalah ke mana pandangan hendak diedarkan. S esuka hati. Keluar sana? O, tentulah akan menerobos bentangan kaca yang menyungkup ruang ta mu ini, kemudian dapatlah kita mengintai pekarangan dengan gamblangnya. Pekarang an yang dicokoli warna-warni bunga yang bergerombol indah. "Berapa banyak Mawar Hitam yang dibawa?" Nyonya Alvi mengujar setelah duduk di sofa. "Semua Mawar Hitam yang saya punya," jawabku segera. "Terima kasih. Letakkan semuanya di ruang tengah." "Semua, Nyonya?" "Ya." Aku keluar untuk menjemput seabrek Mawar Hitam di mobil pengangkut bunga yang k uparkir di luar pagar. Nyonya Alvi masuk ke ruang tengah, pastilah hendak menata ruang di mana ratusan Mawar Hitam akan diposisikan. "Di mana, Nyonya?" tanyaku dengan beberapa Mawar Hitam di tangan. "Di sini. Letakkan semua di sekitar sini " Ah! Aku terhenyak lantas tertegun. Tentulah melihat peti itu. Peti di tengah ru ang tengah ini. Peti yang dikelintari banyak lilin. Ya, peti mati yang telah dis emayami seorang lelaki membujur dangan wajah pucat pasi serta mata mengatup rapa t. O, lelaki itu? "Minggu kemarin ia pulang. Livernya tak tertolong," ujar Nyonya Alvi dengan mat a yang tiba-tiba sedikit berkaca. Aku masih tertegun. Kulihat mata Nyonya Alvi berlinang. Ah, ia seperti menghara p kesudianku mendengar kalimat-kalimatnya yang sesekali terpatah oleh seniknya. Sekadar mendengar, tak apalah. Sedikitnya dapatlah melegakan hatinya yang mungki n tengah berjelaga, seperti mawar: Mawar Hitam.

"Saya membenci lelaki ini," lanjut Nyonya Alvi sambil memandang isi peti. "Ia k asar. Tapi entah kenapa saya begitu mencintainya. Jika ia tak pulang berhari-har i, berbulan-bulan lamanya keliling kota, saya tahu yang dilakukannya hanyalah me nuntaskan bergelas-gelas alkohol dan berburu perempuan. Keraplah ia pulang denga n sempoyongan. Ya, duapuluh tahun pernikahan kami, tanpa anak, hambar, tanpa teg ur-sapa yang berarti kecuali di atas ranjang usai mereguk seks. Seks kadang memb uat segalanya menjadi mudah. Tapi, entahlah saya sendiri tidak tahu, apa sebenar nya yang saya lakukan ini. Ketololankah? Sungguh saya tak tahu. Saya hanya tahu bahwa saya selalu merasa ingin terus bersamanya. Itu sebabnya kenapa saya terus bekutat bersama bunga-bunga. Semata, agar saya selalu terus berada di rumah. Ber samanya, meski tak bersapa. Menunggunya, meski tak pulang. Tak apa, saya setia. Setia macam apa? Ah, saya juga tak tahu. Orang pasti akan mencibir nyinyir: ah! Nyonya Alvi tak lebih dari seorang perempuan tolol! Tak apa. Saya mencintainya. Ia telah pergi sekarang. Dan entah kenapa pula saya ingin meletakkan Mawar Hitam di sekeliling petinya, sebelum ia diusung ke pusara guna tetirah di kedamaian s urga." *** Minggu pagi yang cerah. Seperti biasa aku berkelintar ke setiap rumah membawa a neka bunga merekah. Ah, kali ini, aku tak mampir ke rumah Nyonya Alvi. Ia memang tak lagi memesan bunga. Ia tak lagi mencintai bunga setelah suaminya tetirah di kedamaian surga? Mencintai siapakah Nyonya Alvi kini? *** Sanggar Suto, 2004 Perempuan Ditingkap Purnama Cerpen: Satmoko Budi Santoso Sumber: Jawa Pos,Edisi 12/05/2004 Bukankah sudah lama kita duga di loteng ini tak ada surga dan kau, aku, mereka, tak mencarinya *) 1. IA melirik ke dalam makam, begitu sampai di pintu keluar. Angin berkesiur, meru apkan bebauan bunga kamboja. Cahaya petang berkeredap. Nisan yang ia lirik dari kejauhan telah berganti nama dirinya. Ia lega. Sudah bertahun-tahun ia tak menzi arahi nisan itu, sampai ditandai dengan rambut yang memutih, bercak recak pada p ipi bulat-bulat menghitam, dan sorot mata yang dirasakannya tambah merabun. "Ada yang layak ditebus dalam perjalanan usia, tanpa ia mengigau, begitu sampai di tepi persimpangan tiga mbali menaiki sampan. Tak boleh sampai gelap-pekat ia g, tak alpa menyalakan lentera di dalam rumahnya yang ir-mudik keriut suara tikus. berterus-terang," demikian danau, menyalakan obor, ke mesti tiba di tepi seberan kumuh, berloteng penuh hil

Dulu, ia memang mengutuk diri sebagai perempuan laknat, karena setiap kali hami l tua sengaja mandi di bawah bulan purnama, di pinggir sumur, di luar kamar mand i. Orang-orang kampung di tempat bermukimnya tahu, jika ada perempuan hamil tua yang mandi di bawah bulan purnama, pasti bakalan kehilangan bayi. Setidaknya, ba yi yang dilahirkan akan cacat. Pokoknya, siallah. Namun, ia tak menggubris keyak

inan itu, dan benarlah, tiga anaknya menjumpai mala selama hidup. Anak pertama, lahir tanpa menangis, malah mendesis, seperti ular. Tak sampai tali pusarnya put us, mati pula. Anak kedua, hanya mampu hidup empat bulan, terserang diare dua mi nggu, dan menyusul mati seperti kakaknya. Anak ketiga, tentu lebih mengerikan na sibnya, mati mengenaskan dimakan buaya ketika sedang sendirian mandi di tepi dan au. Agak lumayan, waktu itu usianya sempat sampai sepuluh tahun. 2. DI masa tua, seperti yang terlalui dalam hari-hari dua tahun terakhir ini, kesi bukannya yang rutin hanyalah keluar-masuk hutan, mencari kayu bakar dan berkebun , di sepetak tanah belakang rumah. Ia menghindar dari keramaian orang-orang kamp ung. Ia tak mau menghadiri acara apa pun yang digelar orang-orang kampung di pas eban. Bahkan, tempat bermukimnya pun ia pilih menjorok, di dekat hutan. Bolehlah orang-orang kampung menyebut dirinya sebagai nenek yang menyelimpang dari jalan yang lazim, paling tidak dari kewajaran hidup sehari-hari. Jangan tanya, tak pernah ada surat yang datang, yang dulu bisa sebulan sekali. Entah dari kerabat, entah dari sanak-keluarga. Karena surat-surat yang datang ta k pernah dibalas, lumrahlah jika ia didiamkan saudara-saudaranya. 3. PADA suatu malam, bulan purnama kembali bersinar. Cahayanya berkilau memutih, s eolah-olah memantul di kelengangan air danau, tempat anak bungsunya dimakan buay a. Ia tepekur menatap danau, tanpa harus mengingat-ingat kematian anaknya, yang tinggal kepalanya tersungkur di tepian, sempurna dengan matanya yang melotot, me ngalirkan sisa sembab air mata. Aneh, ia malah bermain mata dengan buaya-buaya yang ada di danau itu. Ia tahu, mata buaya akan menyala jika malam hari, seperti lampu neon sepuluh watt. Tak sa mpai hitungan enam pasang, biji-biji mata buaya itu berjajar rapi. Tentu, bukan salah satu dari buaya itu yang telah membunuh anaknya, karena buaya yang membunu h anaknya sudah lama mati. Namun, memang buaya-buaya itulah yang beranak-pinak, sengaja tak dibunuh meskipun mereka selalu sigap membunuh. Ia bersitatap dengan para buaya, di tepi danau yang elok indahnya. Dingin meraj am jangat kulit. Kalau siang sampai sore hari ia masihlah berani menyeberangi da nau itu, sekalipun ada buayanya. Ia merasa bisa menyiasati buaya-buaya yang bagi nya tak begitu membahayakan. Tapi, kalau malam telanjur menggelap-pekat, ia tak mau melawan kehendak alam. Ia sadar, pada saat-saat tertentu alam bakalan keji. Tak terduga, tak tertebak. 4. FOTO-FOTO anaknya begitu lucu, terutama yang bungsu. Berkalung tulang sapi berb entuk tengkorak, berbaju kelombor tak pernah dikancingkan, bercelana gombrong, d emen membawa ketapel. Ia akan memandangi foto-foto itu kalau pas kangen, di mala m hari sebelum merebahkan diri, setelah berlama-lama mengaca-wajah, mengurut pip i kanannya yang penuh recak, bekas luka akibat ditampar dan dipukul ganas tangan lelaki. Sembari menyibakkan geraian rambut ke kanan dan ke kiri, ia termangu, t anpa tersedu-sedan. Masih ada sisa kelucuan yang menggerakkan kelenjar saraf ket uaannya, apalagi jika foto-foto yang ia lihat pas anak bungsunya berkacak pingga ng. Atau, ketika menenteng burung hasil buruan dengan ketapel. Hmmm, seakan tak ada jarak dengan waktu yang silam, karena kangen terlampau menunjam dada. Ia mendesah, mengucek mata, mengantuk. Malam seperti kelebat malaikat berjubah hitam. Lentera kamar ia matikan, ia tak dapat tidur tanpa kegelapan. 5.

ORANG-ORANG kampung pernah mau mengusirnya ketika ia dianggap sebagai dukun, te rsebab kebiasaannya tak mau bergaul. Rumahnya juga dianggap sebagai maktab ilmu hitam, karena satu-dua orang asing entah dari kampung mana sesekali bertamu. Ham pir saja ia dan rumahnya dibakar, seandainya tak bisa menjelaskan secara baik-ba ik tentang kebiasaannya. Untunglah, pada akhirnya kecurigaan dan kemarahan orang -orang kampung mereda, bahkan memaklumi. "Biarlah, ia uzur, siap berkalang tanah , bau kain warna ganih. Sesuka hatilah ia gembira, sebagai bekal maut," demikian sesepuh kampung berujar, bernilai jimat agar tak mengobarkan amarah. Ia bersyukur. Tuhan berpihak kepada pendiriannya. Ia bersimpuh, tanpa harus ker epotan berjalan tertatih, memasuki tempat ibadah. 6. MALAM yang ke sekian. Bulan purnama gagal berkilau, terhalang mendung semenjak sore. Purnama kesekian yang mengingatkannya pada ringis tangis anak-anaknya yang memecah keheningan rumah. Purnama yang dulu selalu ditandai lolong anjing yang memanjang, sebelum ia mandi tepat ketika pergantian malam, pergantian hari. Sesekali ia malah berdendang, jika mengingat semuanya yang telah berubah. Denda ng yang ia alunkan seirama seorang tua yang sedang menimang-nimang, menidurkan a naknya sembari digendong. Ada saat-saat untuk menujah/ Jejak tapak pada luka lam a/ Kilah maksud teringinkan/ Pada rajam kecewa yang menganga // Bedanya, kini ia mendendangkan syair tersebut jika pas mengaca-wajah, seperti m alam itu, karena gagal mengharap purnama. Ah, sebentar lagi hujan 7. DINGIN njekut benar-benar mengabarkan hujan. Membasahi hutan, membasahi tanah. Memperbanyak rawa, mengeruhkan danau. Ia cuma berharap, semogalah hujan tak samp ai pagi, bahkan siang hari. Semogalah hujan turun sebentar saja, asal basahlah t anah, asal terguyurlah bumi. Kalau berlama-lama, pasti ia juga yang kerepotan. J alan ke hutan yang becek bakalan membuatnya terpeleset. Begitu. Begitulah dari hari yang satu ke hari yang lain, semau-mau ia menapak. Berkali-kali telah ia robek ingatan atas sosok seorang lelaki. Telanjur ia kutuk sang lelaki dengan menyantet, kemampuan yang ia dapatkan ketika sebulan pernah berguru kepada seorang kakek, dulu, pada suatu masa, di lereng sebuah bukit. Jik a tahan, karena kuat puasa mutih empat puluh hari empat puluh malam, tentulah si apa pun dapat melihat benda-benda yang ia terbangkan untuk menyantet. Paku payun g, silet, gunting, maupun pisau dapur bukanlah benda-benda yang mengejutkan jika suatu saat bersliweran. Benda-benda itu adalah benda-benda intim yang kapan pun bisa ia sarangkan ke da lam perut. Yang menggembirakan, kesemua benda itu telah bersarang di perut lelak i yang nama nisannya telah ia ganti. Dulu, lelaki itu mempecundanginya dengan be rbohong tak pernah menggumuli perempuan selain dirinya. Padahal, secara sembunyi -sembunyi, ternyata telah beranak-pinak dengan salah seorang perempuan buruh lad ang pemetik daun teh. Hmmm, tanah-ladang miliknya sendiri, yang juga telah ia lu pakan, seiring kemauan mengubur kenangan atas wajah seorang lelaki. Entah siapa pun orang kampung yang melanjutkan merawat ladang teh itu ia rela. Entah mungkin saja hanya jadi bongkahan tanah kosong. Entahlah..... 8. DESIR angin malam merambati celah pori-pori tangan dan wajahnya. Ia menguap. Me

ngatupkan mulut. Memejamkan mata. Mimpi? Sudah berhari-hari, berbulan-bulan, ber tahun-tahun ia tak pernah lagi bermimpi. Ah, mungkinkah ia sengaja mengganti nam a nisan suaminya karena diam-diam tetap merasa berdosa? Atau, justru melengkapka n kesalahan dengan sama sekali tak peduli akan surga? Begitukah gugatannya terha dap ingatan usia? *** *) Petilan sajak Hiroshima, Cintaku karya Goenawan Mohamad dalam antologi Asmar adana (Grasindo, 1992). Kekasih Seorang Lelaki Post:11/29/2004 Disimak: 111 kali Cerpen: Maya Wulan Sumber: Jawa Pos,Edisi 11/28/2004 Ini kesekian kalinya aku ingin pergi. Dari rumah yang lima tahun lalu kubangun sedikit demi sedikit hingga akhirnya menjadi tempat berteduh bagiku dan Maya, is triku. Tapi kemudian aku tidak lagi merasa nyaman, ketika peristiwa itu terjadi di suatu malam, setelah aku kelelahan menulis. Aku berjumpa dengan kekasihku, da n kami saling jatuh cinta. Ia bilang telah menungguku begitu lama. Hingga tergur at luka rindu yang merentang panjang di antara aku dan dia. Waktu itu aku menata pnya tajam dan ia tertunduk malu. Kukatakan padanya aku akan datang menujunya. I a bertanya, "Kapan?", seolah tak percaya pada perkataan dan janjiku. Kujawab, "S egera." Tetapi setelah itu aku selalu gagal. Sepuluh kali aku mencoba pergi, tak pernah ada yang berhasil. Aku masih di sini, di rumahku bersama Maya, istriku. Saat it u Maya tidak tahu tentang rencanaku untuk pergi. Ia hanya sesekali bertanya dan merasa curiga padaku. Katanya sikapku semakin aneh di matanya. Biasanya aku mere dam kecurigaan istriku itu dengan memeluk tubuhnya erat-erat. Mencium keningnya dan berkata, "Tidak ada yang aneh. Semua biasa saja." Setelah itu Maya diam. Dan aku tidak merasa bersalah sama sekali karena ketidakjujuranku. Beberapa kali kekasihku datang menemuiku. Terutama ketika Maya tidak sedang ber ada di sampingku. Kulihat wajah kekasihku kian mengkerut dan tampak kelelahan. "Kau kenapa?" tanyaku ragu-ragu karena cemas. Aku laki-laki pencemas. Terutama terhadap seorang yang kucintai. "Terlalu lama aku menunggumu. Terlalu lama aku memetiki penanggalan hanya untuk menghitung waktu kedatanganmu yang palsu. Kau lihat, jari-jariku telah kaku dan membiru. Tubuhku beku tak terjamah pelukanmu. Kepulan asap putih yang menerbang kan rindumu padaku semakin mengabur. Melemah. Dan aku mulai tak sadarkan diri di kesendirianku yang panjang. Tapi kau tak datang juga padaku. Bahkan semakin jar ang mengintip dan mengetuk pintu rumahku. Kau mengurung diri dalam kematian sing katmu yang menyedihkan. Bersama jiwa-jiwa yang tak benar-benar hidup. Kau mendua

kanku dengan kesementaraan. Sedang penantian dan cintaku adalah abadi bagimu. Ak u menunggumu dalam kehidupan, tapi kau mengubur diri di makam yang kau lihat sub ur itu. Kita terlampau lama terpisah." Aku melihat jelas mata kekasihku meredup. Kuulurkan tangan dan kukatakan padany a aku merasakan hal sama. Rindu yang menuntut penuntasan yang segera. "Aku akan pulang. Untuk bersamamu," kataku. Tetapi tubuh kekasihku berguncang. Seperti tertiup angin malam, ia berangsur me nghilang dari hadapanku. Aku makin mencemaskannya yang pergi tanpa sempat berkat a apa-apa lagi padaku. Tanpa pikir panjang, esoknya aku memutuskan pergi. Sengaja aku tak membawa apa pun dari rumahku, karena aku tahu Maya akan membutuhkannya jika aku tak ada di s isinya lagi. Namun baru sampai teras rumah, Maya melihatku. Nafasnya naik turun menangkapku yang berniat pergi. Ia marah padaku. "Kau mau pergi? Meninggalkanku?" tanyanya dengan ketus. Aku menjawab dalam hati. Ya, istriku. Aku akan pergi. Dan kau tahu itu, pergi b erarti meninggalkan. Tapi aku bukan mau meninggalkanmu. Aku akan meninggalkan ke sementaraan ini. Kekasihku menungguku dalam kehidupan abadi. Maka aku akan pergi , jauh dari kematian ini. Maya, istriku, memasang wajah kecewa. Dilipatnya gurat-gurat kebahagiaan yang s elama ini menghiasi tulang pipinya yang merona. Sinar matanya meremang. Seperti mata kekasihku yang lelah menungguku. Aku mendadak cemas. Bukan pada Maya, tapi kekasihku. Rasanya aku akan gagal lagi, untuk pergi dari sini. Maya, istriku, me nahanku. "Jangan pergi," katanya. Langkahku terhenti. Bayangan kekasihku hilang di benakku. Maya memenjarakanku dalam peluknya yang berbau kematian. Nafasku sesak menginga t kekasihku yang jauh. Jangan kemari, kekasihku. Batinku. Kalau tidak, kau akan terbakar cemburu dan menangisiku yang bercengkerama bersama jiwa yang tak abadi ini. Kubiarkan Maya terus memelukku erat. Peluklah aku sekuat yang kau mampu per empuanku. Tapi kau tak akan pernah memeluk jiwaku. Karena jiwaku telah pergi ter bawa rindu kekasihku. Dan kau tak pernah tahu itu. "Katakan. Kenapa kau ingin meninggalkanku?" tanya Maya di antara pelukan panjan gnya. Aku harus pulang, Maya. Menemui kekasihku yang abadi. Kau hanya jiwa yang terku rung dalam makam kesementaraan. Kematian singkat yang menyedihkanku. Dan kekasih ku sudah terlampau lama menungguku. Seperti aku juga merindukannya sejak dulu. K ini kami telah bertemu dan saling jatuh cinta. Menyatukan cinta yang terpisah la ma dalam rentangan dua kejadian. Kau dan aku, di sini hanya sebuah kematian. Sep erti pelukan ini yang kau tawarkan padaku. Membuatku mual oleh aroma kehinaan. A ku harus pulang, Maya. Dan aku tak perlu meminta maaf karena semua ini. Jangan m enahanku dalam kedukaan ini, istriku. Mengapa tak kau temui saja kekasihmu seper ti aku menjumpai kekasihku? Tidakkah kalian juga saling merindu? Dan kita tingga lkan pemakaman ini. Terbang menuju rumah cinta kekasih-kekasih kita. "Mengapa kau diam? Sudahkah tidak ada yang berharga lagi di sini bagimu?" Maya makin erat memelukku. Ayolah, Maya. Aku bukan siapa-siapa di sini. Aku hanya menjadi rumput liar yang tumbuh di sela-sela batu yang kau injak. Bahkan aku tak dapat tumbuh membesar. Aku mati dalam kekerdilanku. Kelemahanku. Kesementaraanku yang sangat singkat. M elindungimu pun aku tak dapat. Lepaskan genggamanmu yang melukaiku, istriku. Ata

u lemparkan saja aku ke arus sungai yang beriak dan menampar wajahku dengan kasa r. Agar aku tersadar, dan tak lagi menyurutkan diri ke dalam lubang kematian yan g memanggilku berulang-ulang. Melarangku untuk pergi, dan memelukku dengan aroma kematian yang mencekat. Maya, aku akan pergi. Pulang menuju kekasihku. Dan aku tak perlu minta maaf padamu. "Kau tidak mencintaiku lagi?" Maya, istriku, membentengiku dengan pagar-pagar ketakutan dan kesedihan milikny a. Ia menyalahkan dirinya atas kepergianku. Sungguh, perempuan yang mengajakku p ada kematian, aku tak berani mencintai yang lain selain kekasihku. Tidakkah kau tahu aku begitu bahagia bisa bertemu dengannya lagi dan merajut percintaan abadi ? Lalu kenapa kau ingin menarik kedua tanganku untuk kembali jatuh terguling-gul ing di dasar kesedihan? Mengapa kau minta dadaku hanya untuk menangisi kesementa raan? Maya, kau buat dadaku hancur tertusuki duri-duri bening yang mengesalkanku . Aku mulai tak tahan. "Jangan katakan kau punya seorang yang lain," Maya mengisak. Aku bertemu dengannya di suatu malam yang terang. Ya, aku mempunyai seorang yan g lain. Kekasihku dari kehidupan yang abadi. "Aku takkan melepaskanmu." Maya, istriku, ini ancaman darimu? Apakah kesementaraan dapat mengancam sebuah penujuan keabadian? Aku akan pulang bersatu dengan kekasihku. Maya, sudahlah. Bi arkan aku pergi. Dan Maya tetap memelukku dalam pelukannya yang beraroma kematian. Semalaman aku dikuburnya dalam-dalam. Kekasihku datang menemuiku dalam satu kesunyian. Maya tengah terlelap dalam mim pi malamnya. Lagi-lagi kekasihku mengajakku untuk bersatu dengannya. "Apa yang k au tunggu? Sampai kematian itu memanggil dan merebutmu lagi untuk tenggelam dala m kesedihan ini?" Kekasihku mengulurkan tangannya kepadaku. "Maya adalah kematian yang ingin selalu mengurungku di sini. Ia adalah kematian yang memiliki warna kesedihannya sendiri. Yang dapat membuatku selalu jatuh dan kembali padanya." "Pulanglah. Jangan menyiksa dirimu sendiri. Kematian itu sudah terlalu lama mel akukannya padamu dan jiwa-jiwa lainnya. Mengapa kau masih ingin memelihara tangi san yang merugikan?" Kutatap kekasihku yang begitu lama kurindu. "Aku pulang bersamamu," kataku. Dan aku bangkit meninggalkan rumahku, menuju rumah cinta bersama kekasihku. Dan ini adalah yang kesekian kalinya Maya mencoba menahan kepergianku. Tubuhnya hanya terbalut pakaian tidur tipis ketika mengejarku. Tidak, jangan lagi. Pikir ku. "Baiklah. Kau boleh pergi. Bukankah kau selalu ingin pergi? Seperti dulu, saat kau berkeras ingin menjadi seorang penulis. Kau juga mengatakan itu sebagai kepe rgian atas sebuah panggilan. Kau bilang aku tak sampai untuk mendengar panggilan itu. Seperti itukah kali ini yang kau lakukan? Dan kau menyuruhku untuk melepas mu lagi, seperti dulu kubiarkan kau pergi di jalan kepenulisanmu yang nyata-nyat a nyaris membunuhku? Betapa egoisnya kau." Suara Maya menjadi petir di malam itu. Benarkah? Batinku. Mungkinkah kematian i ni menemui mati yang kedua kali karena sebuah kepergian? Peninggalan? Maya, istr

iku, kali ini kau memanggilku dengan cara yang berbeda. Kesedihan yang lain. Tap i mengapa aku harus menoleh dan mendengarkan? Mengapa aku harus melupakan kekasi hku dan menemuimu kembali? Mengapa aku harus menemanimu dalam kematian ini untuk terus bersedih dan tenggelam dalam kesementaraan? Bagaimana dengan kekasihku ya ng menungguku begitu lama? Aku demikian cemas. Terhadap kekasihku yang mulai mel enyapkan dirinya di benakku. Maya mendekat. Menghampiriku yang mencari bayang kekasihku yang hilang. Setenga h sadar, aku sudah berada dalam pelukan yang sangat kukenal. Pelukan beraroma ke matian. Maya mendekapku erat. Jiwaku terus memikirkan kekasihku yang entah ke ma na. Tunggu aku, kekasihku. Aku akan datang. Segera. Aku berduka. Karena penyatuan yang sekali lagi harus tertunda. Tapi pikiranku m emberiku jalan lain. Mungkin kelak aku mesti mengajak Maya, istriku. Untuk menin ggalkan kematian ini. Berkenalan dengan kekasihku yang abadi. Tetapi Maya memelu kku dalam pelukannya yang beraroma kematian. Malam itu, dan malam-malam yang lai n. *** Sidoarjo 2004 Ikan-ikan Mati dalam Akuarium Post:11/22/2004 Disimak: 83 kali Cerpen: Hamdy Salad Sumber: Jawa Pos,Edisi 11/21/2004 IKAN-IKAN dengan penuh warna di tubuhnya, mati kelaparan dalam akuarium di ruan g tamu. Sesosok bayangan melintas di sana. Mengitari kotak kaca itu dengan cara yang belum dikenal oleh pemiliknya. Lalu muka mendelik. Menyalangkan kedua matan ya lebih tajam dari sinar lampu. Bayang-bayang itu kemudian bergerak dan mengepa lkan tinju ke dinding air persegi lima. Pyaaarrrr !!!

Akuarium di ruang tamu itu pecah. Tubuh air bergulingan. Kaca-kaca berantakan. Bau anyir lekat di lantai, karena gagal sembunyi ke tanah. Bayang-bayang menghil ang. Tubuh ikan dan kematian juga menghilang. Entah ke mana. Tapi pecahan-pecaha n kaca itu, tak bisa lenyap dari pandangan mata. Lalu berbiak dan melayang-layan g. Memenuhi udara di ruang tamu. Menembusi pintu-pintu yang terkunci. Memasuki r uang keluarga, kamar tidur dan kerja, juga dapur dan kamar mandi. Pecahan-pecahan kaca itu bergerak sangat cepat. Melingkar bagai surya benggala. Memantulkan sejarah dan riwayat para penghuni rumah. Seperti kisah dan dongeng, seperti mimpi dan kenyataan yang diceritakan malaikat kepada para nabi dan wali ; dunia dapat berubah setiap saat tanpa sebab yang diketahui oleh akal budi. "Jika Tuhanmu menghendaki, tak ada sesuatu pun yang bisa menghalangi." "Maka, terjadilah apa yang terjadi." "Siapakah yang mampu menghidupkan kembali tulang-tulang ikan itu sebagai saksi terhadap segala peristiwa yang telah terjadi?" Tak ada yang menjawab. Tak juga aku atau engkau. Kecuali ikan-ikan lain yang ma sih hidup dan membawa telur-telurnya di air tawar atau asin. Sebab ikan merupaka n bentuk kehidupan paling awal sebelum manusia diciptakan. Ikan-ikan menggunakan

sirip dan ekornya untuk berenang melintasi samudra. Menggunakan mulutnya untuk menghirup oksigen dalam air sebagai cara memurnikan darahnya. Ikan-ikan juga mer upakan amsal para pengembara yang berjalan sendirian. Menembusi dinding-dinding udara padat dengan cara yang lurus ke depan tanpa sedikit pun menoleh ke belakan g, kecuali jika ia ingin menuju ke tempat itu. Pada saat air menjadi keruh dan kotor, ikan-ikan muncul ke permukaan untuk meng hirup oksigen dari udara yang menghidupi manusia. Tanpa oksigen, ikan dan manusi a tak bisa bernafas untuk mengenali keberadaannya. Oksigen adalah zat api yang d ilimpahkan Tuhan ke muka bumi. Lalu dialirkan alam ke dalam sel-sel darah merah sebagai panas yang membakar makanan dalam tubuh semua makhluk yang bernyawa. Nam un begitu, sebagaimana manusia tak bisa hidup di dasar laut, ikan-ikan juga tak bisa hidup di daratan. Ketika Yunus terlempar ke laut, dan kemudian ditelan ikan Hiu, tentu ia akan ma ti juga di sana. Karena oksigen yang dihirup ikan tak bisa dihirup kembali oleh manusia. Jika saja ia tak pernah dicatat oleh malaikat Raqib sebagai makhluk ber akal yang banyak mengingat pada pencipta-Nya; pastilah ia akan tetap tinggal dal am perut ikan itu sampai air berkerak dan berubah menjadi lumpur minyak; lalu ap i berkuasa untuk melenyapkan segalanya. Dan itulah sebabnya, Yunus masih bisa me nggerakkan kedua kaki. Untuk sujud dan berdoa sebagaimana manusia lain yang masi h memiliki harapan di dekat limpahan rahmat-Nya. "Tiada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau, Ya Allah. Keluarkan aku dari temp at ini. Sungguh! Aku ini termasuk orang-orang yang dhalim." Lalu air mengencangkan otot dengan garam. Mengubah diri jadi gelombang. Para pe rompak dan penjahat tertawa ngakak, minum wisky dan arak dari botol separuh gela dak. Sementara para malaikat menengadahkan kedua telapak tanganya, memohon kesel amatan bagi orang-orang yang lemah dan dilemahkan oleh kekuasaan. Ikan-ikan bert asbih dengan insang dalam paru-parunya. Ikan Hiu membuka mulutnya di tepi pantai yang jauh, menyelamatkan Yunus ke daratan. Menebarkan kisah-kisah ajaib di bawa h pohon palma, di antara bukit-bukit pasir, sebelum Isa dan Muhammad dilahirkan. Sedangkan ikan-ikan lain yang lebih kecil dan tidak berdaya, hanya bisa membuka matanya untuk menjadi saksi berbagai kekejaman manusia yang disembunyikan ke da sar laut. Hingga mereka kehilangan jalan saat laut menjadi muak dan membesarkan ombaknya dalam kecemasan. Mengarak gempa dan badai. Melongsorkan batu dan tanah. Merubuhkan pohon dan rumah-rumah. Dan ketika laut menjadi gelap, kosong, ikan-ikan kehilangan tempat untuk bersem bunyi dalam rumah sejati. Sebagian lenyap jadi mineral. Sebagian lagi berpaling menuju instink yang luar biasa untuk menghindari para pemangsa. Ikan belut dan p ari melindungi diri dengan cara mengeluarkan energi listrik, sekaligus menjadi t anda untuk menemukan jalan pulang di kedalaman samudra. Ikan-ikan salem mencari keselamatan bagi anak cucunya dengan menempuh perjalanan jauh; tanpa peta dan pe tunjuk; menuju tempat di mana mereka dilahirkan; melewati arus terjal, air terju n dan tanggul; dari laut ke sungai, dari sungai kembali ke laut. Sedang ikan yan g masih berlari dalam mimpi, akan menjelma makhluk sempurna. Membangun benteng d i balik batu karang. Mengalahkan raksasa air dengan penampung dan selokan-seloka n di bawah dermaga, di sepanjang kota atau jalan raya. "Maka, hidupkanlah kisah-kisah ikan itu dalam darah dan dagingmu. Jangan biarka n mereka mati dan membusuk dalam akuarium yang telah kau bangun dengan tanganmu sendiri." Sesosok bayangan muncul kembali dengan wajah yang tidak berubah. Memberi naseha t pada penghuni rumah. Lalu pergi meninggalkan ruang tamu tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri. Kemudian lampu seperti menyala untuk yang kedua kali. Langit-lang it dari asbes berkilatan di atas kepala. Dinding air persegi lima masih juga di

situ. Membeber keindahan dalam selimut biru. Ikan-ikan dengan warna di tubuhnya saling bertemu dan bercakap tanpa kata. Membuka tabir penuh pesona. Seseorang yang telah lama mengaku sebagai pemiliknya, bangkit dari sofa. Mengge rakkan kedua kakinya ke arah pintu, dan keluar menuju taman yang sempit di sisi halaman. Wajah bunga membuka kelopaknya ke angkasa. Menjadi saksi keberadaan. Bi ntang-bintang menebarkan cahaya di langit malam. Memberi tanda bagi siapa saja y ang sedang tersesat di jalan gelap. "Engkau boleh berkhayal untuk mendapatkan bagian dari dunia, tapi engkau tak bo leh lupa dan terjerumus ke dalamnya." "Karena itu aku sedang berkhayal untuk menurunkan bintang ke dalam kepalaku." "Bintang-bintang telah ada dalam kepalamu sebelum engkau terlahir dari rahim ib u." "Aku tahu. Karena aku punya otak. Tapi aku belum juga mengerti, kenapa bayang-b ayang ikan yang kelaparan dan mati itu selalu muncul dalam ruang gelap di kepala ku." "Engkau telah menjawab pertanyaanmu sendiri." "Tapi aku belum mampu memahaminya." "Tak ada kemampuan yang dapat diperoleh, kecuali membaca! Memahami ayat dan tan da-tanda." Pemilik akuarium itu termangu. Lalu duduk di atas bangku yang terbuat dari seme n dan pasir. Ingin rasanya berdiam diri dan menghilang di antara tumpukan tanda tanya. Namun otak yang bersembunyi di ruang gelap dalam kepalanya, tak mau diam walau sementara. Kumpulan syaraf-syaraf itu terus berderak dan mendesak. Menyala ngkan mata ikan dalam sunyi. Menyaksikan batang cahaya menembusi langit dan bumi . *** Tamu Yang Datang Menjelang Lebaran Cerpen: Rachmat H Cahyono Sumber: Jawa Pos,Edisi 11/07/2004 <br>1<br>Malam itu, di kamar mereka, Arman menunggui istrinya dengan pandangan bertanya. Sorot matanya menuntut penjelasan. Sebagai suami --predikat yang telah disandangnya selama bertahun-tahun-- ia cukup peka untuk bisa ikut merasakan, A lia sesungguhnya tak menghendaki kehadiran ayahnya sendiri di rumah mereka. Sete lah tiga hari berlalu, terasa kehadiran orang tua itu telah menyerap semua kehan gatan suasana yang tadinya selalu mewarnai rumah mereka menjelang datangnya Hari Lebaran. Ia tahu siapa sesungguhnya sumber penyebab perubahan itu. Bukan orang tua itu, tetapi Alia, istrinya sendiri.<br><br>"Ceritakan semuanya, Alia, cerita kan," pinta Arman dengan lembut sambil memeluk istrinya.<br>Alia memejamkan mata nya. Kalau boleh memilih, ia justru ingin tetap bungkam dan mencoba mengubur ken angan masa silam itu. Wajahnya tampak berat. Alangkah sukarnya menghapus kenanga n buruk itu. Alia memandang wajah suaminya. Dari sorot mata Arman, Alia tahu sua minya kali ini tidak ingin dibantah.<br><br>2<br>Lebaran. Tanah boleh basah. Uda ra boleh lembap. Angin menyelusup di sela-sela daun gugur. Awan kelabu. Matahari sembunyi di baliknya. Hujan tiba-tiba rajin membasahi bumi. Kota menjadi basah.

Terus-menerus basah. Juga jalan-jalan dan halaman rumah. Orang-orang bergegas m enghindarinya. Genteng-genteng coklat di perumahan yang tumbuh merapat, berubah warna menjadi lebih tua dari biasanya.<br><br>Lebaran. Bau rumput dan dedaunan b asah. Di halaman. Di taman-taman kota. Itu kemewahan tersendiri dalam kehidupan metropolitan yang akrab dengan debu dan polusi. Ya, tak ada alasan untuk tidak m encintai hari Lebaran. Ketika bumi sejenak istirah, dan matahari terasa lebih ra mah. Ya, ya, bukan hanya matahari. Karena orang-orang juga berwajah lebih ramah daripada biasanya. Ada senyum di bibir. Di mata. Di hati. Ya, inilah hari Lebara n. Pada hari Lebaran, langit boleh kelabu, tapi tidak hatimu. Ini hukum tak tert ulis yang seharusnya diyakini setiap orang ketika hari yang fitri itu datang. Se perti yang selama ini Alia yakini. Diam-diam. <br><br>Tapi tidak kali ini. Karen a hantu dari masa silam itu telah datang. Lorong kelabu yang dalam dari masa sil am itu muncul kembali dan siap menenggelamkannya. Padahal telah lama ia berupaya menghapus bayangan itu agar lenyap dari hatinya. Upaya itu sia-sia belaka, sama sia-sianya mencoba mencegah matahari terbit dari timur. Ya, setiap orang punya masa silam yang mungkin terlalu pahit untuk dikenangkan kembali. Alia percaya, s elalu ada sebuah kamar rahasia dalam hatimu, tempat kaubisa menyimpan semua ceri ta dukamu, dan menguncinya rapat-rapat karena kau enggan berbagi dengan orang la in. Atau kau tak menghendaki cerita itu tiba-tiba meluncur dari mulutmu. Dalam h ati kau berharap waktu bisa menyembuhkan luka masa silammu. Tapi ternyata tidak mudah. Karena waktu ternyata memiliki luka dan dukanya sendiri.<br><br>Diam-diam , terbayang kembali di benaknya peristiwa beberapa hari lalu. Rintik hujan gerim is dan bumi yang basah saat itu mempercepat terbukanya kembali luka-luka itu. Sa at itu seorang lelaki tua tiba-tiba telah berdiri di ambang pintu rumahnya. Alia pangling. Namun, ia masih bisa mengenali lekuk-lekuk wajah lelaki tua itu yang tersimpan rapat-rapat di lubuk hatinya.<br><br>"Bapak?!" Suaranya terkesiap dan terkesan gamang. <br>Ah, alangkah cepat tahun-tahun berlari. Lebih 30 tahun suda h, semenjak terakhir ia bertemu dengan orang tua itu.<br><br>"Siapa, Alia?" Arma n muncul dan berdiri di belakangnya, ikut menatap dengan pandangan bertanya kepa da tamu yang datang tanpa diundang. Hening sesaat. Hanya suara hujan yang asyik menari di atas genteng yang pucat coklat. Di antara daun-daun tanaman penghias h alaman.<br><br>Alia masih terkesima, tak tahu harus berkata apa. Orang tua itu, dengan suara pelan, memperkenalkan dirinya kepada Arman. Dengan sebat Arman memp ersilahkan orang tua itu masuk ke rumah mereka.<br><br>Begitulah, tiga hari berl alu semenjak kehadiran ayahnya yang begitu tiba-tiba di rumah mereka. Tiga hari yang meletihkan sekaligus menyakitkan. Karena Alia --tanpa diinginkannya-- terpa ksa mengingat kembali luka-luka kehidupan masa silamnya. Ia harus mengakui denga n getir: semua ceritanya kepada keluarganya selama ini dusta!<br><br>3<br>Masa k ecil Alia sesungguhnya tidak terlalu buruk. Memang tidak bisa dibandingkan denga n anak-anak sekarang yang terbiasa dengan berbagai permainan elektronik dan komp uter. Namun, tetaplah bukan masa kecil yang buruk. Justru ia merasa masa kanak-k anaknya lebih berwarna dibandingkan anak-anak sekarang. Ia dapat menikmatinya se cara wajar bersama teman-teman di desanya. Bermain di bawah sinar bulan, membuat sendiri permainannya, atau berlarian di pinggir sungai mengejar capung yang bet erbangan. Alia kecil juga cukup bangga dengan ayahnya yang pernah ikut berjuang pada masa revolusi kemerdekaan dulu sehingga memperoleh bintang gerilya yang ter buat dari perunggu. Ayahnya selalu memamerkan bintang gerilya itu dengan bangga kepadanya.<br><br>Keadaan berubah menjelang Alia menamatkan sekolah dasar. Alia kecil tentu belum paham mengenai krisis ekonomi dan krisis politik yang terjadi di negaranya waktu itu, pada tahun 1960-an. Yang ia tahu hanyalah, makanan dan p akaian semakin sulit didapatkan. Jenis makanan favoritnya yang biasa dihidangkan ibunya menghilang dari meja makan. Bahkan ada orang mati kelaparan di desanya. Yang lebih mujur bergentayangan seperti mayat hidup berperut bengkak karena busu ng lapar. <br><br>Samar-samar, terdengar berita bahwa kaum komunis mencoba melak ukan pemberontakan dan merebut kekuasaan. Di Jakarta, terjadi pembunuhan terhada p beberapa jenderal Angkatan Darat. Meskipun tidak paham, Alia kecil menyadari, ada sesuatu yang menakutkan menguasai sekitarnya. Ayahnya semakin sering menghad iri rapat-rapat umum dan jarang pulang ke rumah. Sikapnya semakin keras terhadap siapa pun. Bahkan terhadap keluarganya sendiri.<br><br>"Sayangku, semua itu ter jadi lebih 30 tahun lalu. Banyak orang menderita karena pertarungan politik wakt

u itu, bukan hanya keluargamu," Arman menyela cerita istrinya. Ia mencoba menghi bur Alia yang berlinangan air mata ketika mulai menceritakan masa lalu keluargan ya.<br><br>Alia terdiam sejenak dan membersihkan matanya yang berkabut. Batinnya membenarkan apa yang dikatakan Arman. Politik? Ah, siapa yang tidak tahu. Polit ik tidak hanya mampu mengubah wajah sebuah negeri. Politik juga mampu menembus r elung-relung kehidupan paling pribadi, mengubah perjalanan hidup seseorang, sebu ah keluarga. Dan menghancurkannya. <br><br>"Kurasa sudah saatnya kau mengubur se mua itu dan menata kembali hidupmu. Kau masih memiliki kami, aku dan anak-anak. Please, honey. Jangan biarkan masa silam memerangkapmu," Arman terus mencoba mem besarkan hatinya.<br><br>Dengan mata berkaca-kaca, Alia memandang suaminya terci nta. Suasana kamar tidur mereka mendadak senyap. Ia tahu tidak semudah itu. Apa yang terjadi pada keluarganya adalah tragedi. Seperti juga dialami banyak keluar ga lain pada waktu itu.<br><br>Seperti setengah bermimpi, dengan lirih Alia berk ata, "Kau tahu, sayang. Permainan politik dan kekuasaan bukan hanya mampu mengub ah wajah sebuah negeri, tetapi juga mampu mengubah seorang ayah menjadi makhluk kejam yang dibenci keluarganya sendiri."<br><br>"Apa maksudmu, Alia?"<br>Alia te rdiam sejenak. Bahunya bergoncang. Ia mencoba mengumpulkan kekuatan dalam diriny a. Ia merasa, sekaranglah saatnya. Ya, sekaranglah saatnya menceritakan semuanya . Berbagi beban itu dengan suami dan keluarganya tercinta.<br><br>Waktu merambat pelan. Dengan takjub Arman mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut istr inya. Diam-diam timbul kesadaran dalam dirinya: betapa selama ini ia tak cukup m engenal siapa istrinya, dan luka macam apa yang diderita dalam hati perempuan ya ng dicintainya itu.<br><br>Ah, siapa menyangka masa silam istrinya begitu pahit. Itu dimulai ketika ayahnya berubah sikap menjadi keras dan revolusioner. Tidak hanya terhadap orang-orang sedesa yang dinilainya berbeda aliran politik, tetapi juga kepada keluarganya sendiri.<br><br>"Ketika Ibu membanting tulang untuk men ghidupi keluarga, Bapak malah menghabiskan waktunya untuk kepentingan partai. Ak u malah pernah melihat Bapak memukuli seorang sepupunya sendiri bernama Sapardi, sampai babak belur dan pingsan, hanya karena berbeda pandangan politik. Kau bis a membayangkan kalau ayahmu berubah menjadi seorang algojo yang siap mengganyang siapa saja yang berbeda pandangan dengannya? Aku pernah mengalaminya. Aku perna h melihatnya langsung beraksi dengan tongkat kayu jati kesayangannya. Kau bisa m embayangkan perasaanku sebagai anak-anak waktu itu, Mas Arman?"<br><br>Arman men ggeleng. Masa kanak-kanaknya jauh lebih beruntung daripada Alia. Ia tahu trauma semacam itu tentu akan membekas bertahun-tahun di benak seorang anak. Terukir se perti lukisan kuno di dinding goa yang gelap.<br><br>Puncaknya adalah ketika san g Bapak memutuskan meninggalkan keluarganya untuk mengawini seorang perempuan mu da aktivis partainya, dekat menjelang peristiwa pemberontakan yang akhirnya memb awa sang Bapak dan orang-orang partainya ke balik tembok penjara. <br><br>"Kami --termasuk almarhum Ibu-- lalu meninggalkannya. Kami hapuskan nama Bapak dari hi dup kami," suara Alia terdengar begitu dingin.<br>"Oh, sayangku," Arman memeluk istrinya. "Maafkan aku karena tidak pernah mengetahui masa lalumu yang begitu pa hit. Kenapa tidak dari dulu kau berbagi cerita dan kesedihanmu denganku dan anak -anak kita?"<br><br>"Aku tidak tahu. Kucoba melupakannya, ternyata tidak mudah m elakukannya."<br>Dengan mata berkaca-kaca Arman memandang istrinya yang tampak b egitu kusut dan letih.<br><br>"Apa yang harus kulakukan?" Nada suara Alia terden gar begitu putus asa. <br>Hening sejenak. Waktu berlalu tanpa suara, sebelum lel aki berwajah sabar itu kembali memeluk istrinya, berbisik dengan lembut ke telin ganya, "Aku tahu apa yang harus kau lakukan, Alia. Berdamailah dengan dirimu sen diri. Kau pasti bisa melakukannya. Aku dan anak-anak akan mendukungmu sepenuhnya ."<br><br>4<br>Fajar mulai merekah di ufuk timur. Suara takbir terdengar bersahu t-sahutan dari pengeras suara masjid. Dunia mulai terbangun. Bapaknya tampak ter peranjat begitu menyadari kehadirannya. Suasana taman di depan rumah Alia menjad i sunyi sesaat. Alangkah sulitnya bagi Alia memulai percakapan di antara mereka. <br><br>Awalnya, yang muncul hanyalah kalimat-kalimat pendek, percakapan yang t ersendat-sendat mengenai hal-hal remeh. Sampai akhirnya justru orang tua itu yan g lebih dulu menyinggung masa lalu mereka.<br><br>"Bapak mengira akan tahan meng hadapi semua ini, Alia. Ah, kesepian itu, alangkah mengerikan. Semoga kau tidak akan pernah mengalami di masa tuamu nanti."<br><br>Alia diam, berharap orang tua itu menyelesaikan kalimatnya.<br>"Bapak telah banyak melakukan kesalahan dalam

hidup, sampai dimusuhi anak-anak sendiri. Itu mimpi paling buruk bagi setiap ora ng tua."<br><br>Orang tua itu menyinggung keinginannya yang telah disimpan berta hun-tahun. Ia bercerita bagaimana sedikit-sedikit ia mencoba mengumpulkan kebera nian untuk menemui anak-anaknya. <br><br>"Bertahun-tahun keinginan bertemu kau d an adik-adikmu Bapak buang jauh-jauh. Bapak merasa kehilangan muka. Kesalahan Ba pak terlalu besar kepada kalian dan kepada almarhum ibumu."<br><br>Kebekuan di h atinya mulai mencair seperti kotak eskrim terkena sinar matahari. Ia menangkap g etar kepedihan dari suara bapaknya. <br>"Pada akhirnya Bapak datang juga ke sini . Mengapa?"<br>Sejenak orang tua itu terdiam. Suara burung menyapa pagi bergema di halaman.<br><br>"Maaf dari anak-anak di hari Lebaran. Itu yang mendorong Bapa k menemuimu. Bertahun-tahun Bapak berdoa agar bisa diterima kembali oleh anak-an akku. Sebelum Tuhan ," sang ayah menunduk, tidak mampu menyelesaikan kalimatnya.<b r><br>Terang tanah. Namun, Alia masih dapat merasakan kehadiran embun di halaman , membuat batinnya ikut merasakan kesejukan. Mendadak ia terdiam, kehilangan kat a-kata, masih terkesima dengan apa yang baru saja didengarnya. <br><br>Entah apa yang menggerakkannya, tiba-tiba saja Alia menghampiri orang tua itu. Ia mencoba tersenyum dan menarik tangan orang tua itu ke dalam genggamannya. Tanpa kata. A lia tidak tahu, apakah sekarang ia sudah bisa memberi maaf sepenuhnya kepada ora ng tua itu. Namun, jika ada pertanyaan dari suaminya nanti, ia akan menjawab: ia telah siap terlahir kembali sebagai manusia baru yang mencoba berdamai dengan d iri dan masa silamnya sendiri.<br> Jakarta, Ramadhan 1425 H Lelaki yang Mengkhianati Ibu Cerpen: FR Susanti Sumber: Jawa Pos,Edisi 10/24/2004 Seperti biasa, Ibu sudah berdandan cantik ketika menemani dan meladeni kami sar apan. Sambil berangkat ke kantor (Ibu pegawai negeri di Taman Budaya) dia akan m engantar kami semua ke sekolah. Sementara Ayah meneruskan mimpinya karena menjel ang pagi baru pulang. Apalagi mendekati pentas (Ayah aktor sebuah grup teater te rnama di kotaku dan biasanya ia menjadi pemain utama). Tetapi meski malam tak ad a latihan, Ayah tak pernah bangun pagi. Begitu setiap hari. Jadi kami tak pernah bertanya kenapa Ayah tidak ikut sarapan, atau merasa kehilangan.<BR><BR>Belum s elesai sarapan Ayah muncul dari ruang depan. Seperti biasa wajahnya nampak kuyu, lelah dan ngantuk. Baru aku tahu bahwa ternyata Ayah baru pulang. <BR>"Halo sem uanya," Ayah menyapa tanpa mendekati dan mengecup kening kami. <BR><BR>"Nggak sa rapan sekalian?" Ibu bertanya.<BR>"Nggak, nanti saja," dan Ayah pun b?rlalu masu k ke kamarnya.<BR>Kulihat Ibu menghela napas sambil memandang Ayah yang berlalu. Sesaat aku berhenti menyuap, memperhatikan Ibu.<BR><BR>"Kenapa? Selesaikan sara pannya," merasa kuperhatikan, Ibu menegurku. <BR>Aku menggeleng dan cepat-cepat menyuapkan nasi ke mulutku.<BR>***<BR>Tiga hari Ayah tak pulang. Kutanya pada Ib u, katanya Ayah sibuk. Hari pementasasan sudah sangat dekat. Tetapi bukankah dia pentas di dalam kota? Kenapa sampai tak sempat pulang? Ada istri dan anak-anakn ya di rumah yang menunggu. Perjalanan pulang banyak memakan waktu sementara Ayah butuh cukup istirahat. Ibu coba menghiburku. <BR>Sorenya Ayah pulang dengan waj ah berbinar dan segar. <BR><BR>"Apa kabar sayangku?" sapanya sambil mengecup ken ingku.<BR>"Kok nggak pulang-pulang, Yah?" aku bertanya.<BR><BR>"Ayah kerja keras , jadi harus hemat tenaga," jawabnya sambil merangkul pundakku. Lalu kusandarkan kepalaku di pinggangnya. "Nanti malam ikut ya, udah mulai run through." <BR><BR >"Tapi jangan ajari dia pulang pagi, ya," kata Ibu sambil menyiapkan kopi untuk Ayah.<BR>"Oh jelas, kita akan pulang siang," jawab Ayah, melirikku sambil tersen yum. Kami bertiga pun tertawa.<BR><BR>Menjelang senja kami berangkat.<BR>"Berapa lama kita nggak jalan-jalan berdua?" Ayah bertanya setengah pada dirinya sendir i.<BR><BR>"Hampir satu semester, Yah. Ayah sih sibuk teruusss," aku berlagak mer ajuk.<BR>Ayah mengacak rambutku sambil tertawa, "Memang kamu nggak? Rapat ini, p elatihan itu, hmm?" <BR><BR>Kami berdua tertawa.<BR>"Eh, Ayah kok tambah genit s

ih sekarang?" tiba-tiba aku berkomentar.<BR><BR>"Apa?" tanya Ayah. <BR>"Tiap kel uar rapi dan wangi terus gitu," tambahku. <BR><BR>"Lho, memang nggak bangga puny a Ayah ganteng dan wangi?"<BR>Kami tiba di tempat pertunjukan saat para kru masi h membereskan panggung, sementara beberapa pemain memainkan adegan mereka di sel a-sela kru yang sedang merampungkan pekerjaannya. <BR><BR>Ayah meninggalkanku di deretan depan kursi penonton. Dia datangi seorang perempuan yang sedang memberi instruksi pada pe?? lampu. Mereka berbicara sebentar. Lalu Ayah berjalan ke ara hku diikuti perempuan itu.<BR><BR>"Sayang, kenalkan ini sutradara Ayah."<BR>Pere mpuan itu mengulurkan tangan sambil menyebutkan namanya, "Tati."<BR><BR>"Citta," kataku menyambut uluran tangannya.<BR>Tante Tati meraih sebuah kursi dan meleta kkannya di depanku. Kami ngobrol berdua sementara Ayah meninggalkan kami menyiap kan pementasannya. Tak lama, Tante Tati meninggalkanku, kembali pada pekerjaanny a. <BR><BR>Aku tetap duduk di kursiku, mengamati kesibukan orang-orang itu. Seba gian besar di antara mereka sudah kukenal. Maka kulambaikan tangan ketika kebetu lan mereka menoleh ke arahku.<BR>***<BR>Berhari-hari Ayah tak pulang lagi. Padah al pementasan sudah selesai. <BR>"Mungkin masih menyelesaikan sisa pekerjaan kem arin," jawab Ibu sambil mengusap keringat adik bungsuku. Sekalipun jawaban Ibu t ak masuk akal, aku tak membantahnya.<BR><BR>"Ibu bertengkar sama Ayah?" aku memb eranikan diri bertanya.<BR>Tersenyum sambil menggelengkan kepala. Hanya itu jawa ban Ibu. Melihatku yang tak juga beranjak dari ranjangnya, Ibu pun bangkit setel ah memastikan si bungsu terlelap.<BR><BR>"Sudah selesai belajar?"<BR>Pertanyaan yang lucu. "Kok kayak nanyain Tres yang masih SD aja."<BR><BR>Tampak Ibu agak gu gup, tetapi segera ditutupnya kegugupan itu. "Memang kalau udah kuliah nggak per lu belajar?"<BR>Berdua diam.<BR><BR>"Kenapa?" Ibu bertanya.<BR>"Citta yang mesti nya tanya, Ayah dan Ibu kenapa," jawabku.<BR>Kudengar desah napas Ibu. Panjang. Diraihnya tanganku dan diletakkan di pangkuannya. "Dua bulan lagi kamu ulang tah un kan. Umurmu akan genap dua puluh dua," berhenti sejenak, menatapku. "Berarti kamu sudah dewasa, sudah tidak harus dibimbing Ayah dan Ibu lagi. Bahkan sudah b isa membantu kami membimbing dua adikmu."<BR><BR>"Maksud Ibu?" aku mengerutkan d ahi.<BR>"Tentunya kamu tidak akan terlalu terganggu jika Ayah dan Ibu tidak bers ama lagi," kata Ibu lirih tanpa melihatku. Suaranya bergetar. <BR><BR>"Ibu dan A yah mau pisah?" Pertanyaan yang kuharap tidak diiyakan oleh Ibu. Tetapi keliru. Ibu mengangguk dengan berat. Berat sekali. Seketika kepalaku terasa pening.<BR>" Ibu mau bercerai?" ulangku sekali lagi.<BR>***<BR>Enam tahun berikutnya. Seorang laki-laki duduk di depanku. Tertunduk layu. <BR>"Aku yang mengajarimu berpikir dan bersikap. Tapi sekarang tak kutemukan apa yang kuajarkan dulu," katanya pela n sambil menerawang ke luar jendela. <BR><BR>"Sama. Aku juga tidak menemukan hal yang membuatku kagum dulu," jawabku, juga dengan perlahan.<BR>"Kau tak pernah m emaafkan aku," katanya lagi. <BR>"Maafku tak akan menghapus luka kami," jawabku? sambil menangkupkan kedua tangan ke mukaku. <BR><BR>Kepalaku tiba-tiba terasa be rat begitu teringat masa itu. Teringat Ibu. Sekuat tenaga dia berusaha tabah men ghadapi perpisahannya dengan Ayah. Tetapi tak sesederhana itu. Pasca perceraian, Ibu seorang diri harus menanggung hutang Ayah atas namanya. Hutang untuk proses kesenian yang kemudian justru mempertemukan Ayah dengan Tati. Ironis sekali. Ib u pun menjual rumah yang kami tempati, mengajukan pensiun dini lalu membawa kami hijrah ke kota kecil ini. Terlalu banyak luka di kota besar dulu. <BR><BR>Sejak itu hampir tak pernah kudengar berita tentang Ayah. Kota kecil ini terlalu dama i untuk mengenangkan cerita lama. Lagi pula kami harus berjuang keras merintis k ehidupan di sini dan memikirkan Ibu yang ternyata mengidap kanker payudara. <BR> <BR>"Tidakkah penyesalan dan rasa berdosa cukup untuk menebus kesalahanku?" laki -laki itu bertanya lagi. <BR>"Tetap saja kehidupan kami tak kembali," terasa mat aku mulai basah. <BR><BR>"Maaf," seorang perempuan muda masuk, mengulurkan secar ik kertas dengan tangannya yang tak sempurna dan segera keluar lagi.<BR>"Pulangl ah," kataku setelah membaca pesan yang tertera, "Aku ditunggu rapat. Ibu tak aka n menemuimu." <BR><BR>Laki-laki itu memandangku. Kecewa, sedih, geram, dan entah apa lagi tampak di matanya. Tapi aku tak begitu peduli. Dia mengangguk lalu ban gkit. "Aku masih berharap menjadi walimu di pernikahan nanti," katanya. <BR><BR> "Entahlah. Membayangkan pun aku tak berani."<BR>Dengan lunglai, dia berjalan ke pintu. Sebelum dia menarik pegangangnya, aku memanggil. <BR><BR>"Yah?"<BR>Laki-l aki itu menoleh. Tersenyum. Aku hendak mengatakan sesuatu padanya, tetapi tak ma

mpu. Maka hanya anggukan yang kuberikan untuk mengantarnya pergi.<BR><BR>Dalam h ati aku berjanji, nanti malam akan kutulis surat untuk laki-laki itu. Isinya: Ak u berterima kasih telah dibimbingnya menjadi pribadi yang percaya diri, sehingga menemukan jalan untuk berani mengajak orang lain menempatkan diri sejajar denga n kami dan bukan justru mengasihani. Satu hal yang tak pernah diajarkannya adala h menerima kehilangan. Baru belakangan almarhumah Ibu mengajarkannya padaku. Aku bangkit. Meraih kruk yang kusandarkan di samping kursi. Tentunya teman-teman te rlalu lama menanti. *** Perempuan Abu-Abu Cerpen: Lan Fang Sumber: Jawa Pos,Edisi 10/10/2004 Sesosok perempuan muncul seperti bayangan, sehalus angin dan tanpa suara di sam pingku. Perempuan itu mendadak muncul dan duduk di sampingku ketika aku sedang b enar-benar tidak tahu apa lagi yang harus kutulis. Padahal aku sudah menghabiska n lima gelas kopi, sebungkus rokok kretek, dan tiga kaleng guiness beer. Tetapi aku tidak memusingkan perempuan itu. Aku tetap menghisap rokok kretekku dan meng hembuskan asapnya kuat-kuat dengan harapan mendapat imajinasi dari gumpalan asap itu. "Apakah aku pelacur?" Perempuan itu bicara kepadaku. "Kamu pelacur bukan?" Aku balik bertanya tanpa menoleh kepadanya. Itu pertanyaa n klise yang tidak perlu kujawab. "Menurutmu definisi pelacur itu bagaimana?" Ia bertanya lagi. "Tidur dengan lebih dari satu laki-laki," sahutku asal saja. Lagi-lagi tanpa me noleh. "Tidur? Hanya tidur? Masa tidur saja tidak boleh?" Ia masih mendebat. "Dan kata mu lebih dari satu laki-laki. Hm bagaimana dengan laki-laki yang tidur dengan le bih dari satu perempuan? Apakah dia juga bisa disebut pelacur laki-laki?" Ia nye rocos tanpa jeda. Aku menoleh dengan perasaan mulai kesal dan terganggu. Saat ini aku sedang tida k ingin diajak berdebat. Aku justru perlu seseorang yang bisa memberikan imajina si untuk meneruskan tulisanku yang terhenti di tengah jalan. Tetapi, alamak ! Aku terkejut ketika bersirobok pandang dengan bola mata perempuan itu. Matanya berwarna abu-abu! Tidak ada hitam. Dan tidak ada putih. "Bagaimana?" Ia mengejarku dengan pertanyaannya. "Apanya yang bagaimana?" Aku tergagap sembari masih berusaha menguasai diri. "Apakah aku pelacur?" Ia mengulangi pertanyaannya. Kali ini, di matanya yang abu-abu tampak tergenang butiran-butiran berlian yang ditahannya tidak runtuh bila ia mengerjapkan kelopak matanya.

Aku menarik napas panjang. Membenarkan posisi dudukku. "Kamu sedang butuh bahan cerita bukan? Tulislah aku " Ia bertanya dan menjawab sendiri seakan-akan tahu apa yang kurasakan. "Ya," sahutku dengan nada berat dan sangsi. Tetapi, bukan soal pelacur atau perempuan bermata abu-abu, tambahku dalam hati. Aku penulis roman cinta. Aku butuh cerita cinta. "Sebenarnya kamu siapa?" tanyaku pada akhirnya. "Apakah itu perlu buat kamu?" Ia balik bertanya. Ah! Aku bukan pengacara yang siap diajak berdebat kata dan bersilat lidah setia p saat. Aku pengarang yang sedang mati kata. "Baik. Panggil saja aku Maya." Ia berkata seakan-akan bisa membaca pikiranku. "Maya? Nama kamu Maya?" Perempuan itu tertawa. "Kamu pengarang kan? Apalah arti sebuah nama untuk penga rang? Shakespeare juga berkata begitu kan? Dan "Maya" artinya bisa tidak bisa ya , bisa mimpi bisa nyata, bisa ." "Ya ya ya, Maya atau siapa pun kamu, sekarang berceritalah!" tukasku kesal. Aku memang tidak butuh namamu. Aku butuh ceritamu. Butuh imajinasimu. Tetapi perempuan itu bukan membuka kata. Ia justru membuka blouse-nya, menampak kan payudaranya yang indah ditopang bra berwarna kulit. Aku terperangah. Tetapi ia tidak peduli. Ia berdiri. Melucuti pakaiannya satu per satu. Sampai ia telanj ang bulat di depanku. Ia polos tanpa sehelai benang pun di tubuhnya. Seperti pat ung-patung Yunani atau patung-patung Bali yang kulihat di pameran. Aku meneguk a ir liur sampai jakunku turun naik. "Apa yang kau lihat?" Suaranya bertanya setengah mendesah. "Warna tubuhmu " Kudengar suaraku seperti datang dari alam lain. "Apa yang kamu lihat dari warna tubuhku?" Kuhisap rokokku dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat-kuat. Perempuan ini seka rang mulai mengasyikkan. Ia sudah tidak membosankan dan menganggu seperti tadi. Ia mulai memberikan sensasi. Apakah begitu perasaan setiap laki-laki bila berhad apan dengan perempuan telanjang di depannya? "Abu-abu ," gumamku. Perempuan itu tertawa. Suaranya merdu. "Kenapa tidak kau tulis?" Astaga! Ia kemudian mendekat. Begitu dekat. Sehingga aku bisa mencium aroma tubuhnya ya ng wangi dan merasakan sentuhan kulitnya yang lembab dan dingin. Ia mendekatkan dadanya ke wajahku. Napasku mulai terasa sesak. Aku menutup mataku karena tidak kuat menahan gejolak birahi. "Buka matamu Kenapa harus menutup mata bila kau ingin melihat sampai ke dalam?" Suaranya mesra merayu.

Aku masih menutup mata. Aku bingung, ragu, malu, tetapi juga ingin. Selama ini, aku memang suka menulis tentang perempuan. Tetapi belum pernah menulis tentang perempuan telanjang bermata dan bertubuh abu-abu. Dengan satu gerakan lembut tetapi kuat, ia mengangkat wajahku. Kemudian, dengan sebuah usapan tanpa rasa sakit, kurasakan tangannya menjelajahi rongga mataku l alu mencungkil bola mataku. Ia membawa bola mataku ke dadanya. Meletakkan di ata s payudaranya yang sebelah kiri. "Kata dokter, di sebelah kiri adalah jantung hati. Coba kau lihat ada apa di ja ntung hatiku?" ia berbisik pelan di telingaku. Napasnya menghangati daun telinga ku. Bola mataku masuk ke dalam payudaranya, masuk ke dalam dadanya, masuk ke dalam tulangnya, sampai menemukan jantung hatinya. Astaga! "Apa yang kau lihat?" Ia masih berbisik seperti angin. "Jantungmu, hatimu, paru-parumu, darahmu ." "Ya, kenapa?" "Berwarna abu-abu," sahutku gamang. Ia tertawa lembut sambil mengambil kembali bola mataku dari atas dadanya dan me ngembalikannya ke dalam rongga mataku. Ia lalu memberikan sebuah kecupan mesra d i pelupuk mataku. Sekarang aku baru berani membuka mataku. Dan lagi-lagi aku ber sirobok pandang dengan sepasang mata berwarna abu-abu yang menumpahkan berlian-b erlian. Wajahnya begitu dekat dengan wajahku sehingga aku bisa menghirup napasny a yang segar. Dan ketika berlian-berlian jatuh bergulir menetes pula di pipiku l alu mengalir ke bawah, kutadah dengan tanganku. "Air matamu juga abu-abu," kataku sambil melihat butiran-butiran berlian di tan ganku. Ia tersenyum antara tawa dan tangis. "Kenapa semua berwarna abu-abu?" tanyaku pada akhirnya. "Karena semua mulut mengatakan aku hitam. Walaupun aku tidak putih tetapi aku t idak sehitam yang mereka katakan. Bukankah abu-abu lebih baik daripada hitam? Bu kankah abu-abu tidak semunafik warna putih? Apakah mulut yang mengatakan aku hit am semuanya berwarna putih?" Berlian-berlian abu-abu bercucuran di pipinya yang kelabu. "Kenapa mulut-mulut mengatakan kamu hitam? Apakah kamu pelacur? Apakah kamu tid ur dengan lebih dari satu laki-laki?" Kali ini aku mengejarnya. Sekarang dia menarik badannya dari wajahku. Lalu duduk sambil bersidekap dada. Tetapi masih telanjang bulat di depanku. Sekarang aku rasa, lebih baik ia tidak usah mengenakan pakaiannya. Lebih baik ia telanjang bulat di depanku walaupun de ngan seluruh warna abu-abu. "Menurutmu, siapakah Yudistira?" Ia bertanya sambil mengambil rokok di tanganku . Lalu dengan sebuah gerakan yang sensual ia mengisap rokokku dan menghembuskann ya membentuk sebuah bulatan-bulatan kecil. Ah, lagi-lagi berwarna abu-abu. "Yudistira? Hm ia pandawa tertua. Ia paling bijaksana," sahutku.

Kali ini aku merasa bertanya jawab dengan perempuan telanjang bulat walaupun di a berwarna abu-abu menjadi lebih mengasyikkan. "Oh, begitu menurutmu?!" Ia membelalakkan matanya yang abu-abu dan dari suarany a kudengar nada sumbang. "Ya. Cuma Yudistira yang mencapai nirwana," sahutku. "Cuma Yudistira dan seekor anjing," tambahku cepat. "Kalau begitu, Yudistira, pandawa tertua yang bijaksana itu sama dengan anjing! " Ia memotong cepat dan ketus. "Lho?!" Aku terperangah. "Apa bukan anjing namanya, kalau Yudistira mempertaruhkan Drupadi, istrinya di atas meja dadu hanya untuk sebuah Astinapura?! Apa bukan anjing namanya, kalau Y udistira hanya duduk terpana ketika Drupadi, istrinya, ditelanjangi Duryudana?! Apa bukan anjing namanya, kalau harga diri Yudistira lebih mahal daripada harga Drupadi, belahan jiwanya?!" Ia kembali nyerocos dengan berapi-api. Aku terdiam tidak mampu menjawab. Perempuan itu tertawa sinis. Sekarang ia mengambil sekaleng guiness di dekat la ptopku. Dengan sekali tegak, sekaleng guiness meluncur melewati bibirnya, lidahn ya, tenggorokannya, perutnya, ususnya, kandung kemihnya, dan mungkin akan berakh ir di toilet. Ia menjilati busa guiness yang tersisa di bibirnya yang indah. Astaga! Lidahnya juga abu-abu! "Lalu, menurutmu, siapakah Drupadi?" Ia bertanya dengan lidah abu-abunya. "Ng Drupadi, istri yang setia. Ia mengikuti Pandawa menjalani hukuman kalah jud i dibuang ke dalam hutan berpuluh-puluh tahun lamanya tanpa berkeluh kesah. Ia b ahkan bersumpah tidak akan menyanggul rambutnya sebelum keramas darah Duryudana ," jawabanku terdengar gamang. Entah benar atau tidak menurut perempuan itu. Perempuan itu mendengus. "O , begitu menurutmu. Drupadi begitu putih," ujarnya dengan nada sinis. "Lalu, kalau menurutmu, dia begitu setia dan putih, kenapa ia tidak bisa mencapai nirwana?" sambungnya lagi-lagi dengan membelalakkan matanya yang abu-abu. Ah, orang bilang, mata adalah jendela jiwa. Tetapi mata perempuan ini semua abu -abu. Aku tidak bisa membaca apa yang ada di dalam jiwanya. Orang bilang, lidah adalah senjata kata. Tetapi lidah perempuan ini juga abu-abu. Aku tidak tahu ia bicara putih atau hitam. Orang bilang, jantung hati adalah naluri jiwa yang pali ng jujur. Tetapi jantung hati perempuan ini juga abu-abu. Aku tidak tahu apakah dia bohong atau jujur. Orang bilang, tubuh adalah bahasa. Tetapi tubuh perempuan ini semua abu-abu. Aku tidak tahu ia benar atau salah. "Menurutmu, apakah Drupadi tidak bisa mencapai nirwana karena ia berselingkuh d an tidur dengan lima pandawa: Yudistira, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa, sekal igus? Karena ia kotor? Karena ia hitam?" Ada luka menganga di mata abu-abunya. "Atau, menurutmu, apakah Drupadi tidak bisa mencapai nirwana karena ternyata ia berselingkuh batin dengan lebih mencintai Arjuna daripada Yudistira, suaminya?" Ada darah menetes dari lidahnya yang abu-abu. "Lalu, menurutmu, apakah Drupadi itu pelacur?" Ada luka dan darah membanjir dar i jantung hatinya.

Aku terdiam seribu kata. Tidak mampu menjawab. Karena setelah sekian lama melih at perempuan itu dalam bungkusan warna abu-abu, mendadak saja begitu banyak warn a merah mengucur dari matanya, dari lidahnya, mulutnya, tubuhnya, jantung hatiny a, air matanya. Darah! "Apakah aku pelacur?" Untuk kesekian kalinya ia mengulangi kata-katanya. Aku merasakan dadaku sesak. "Apakah kamu Drupadi?" tanyaku sengau. "Apa perlu untukmu siapa aku? Apakah aku Drupadi, apakah aku Maya, apakah aku p elacur? Kau hanya perlu cerita, tulis apa yang kau rasa, mungkin apa yang tertul is lebih jujur dari kata yang terucap." Masih dengan tubuh telanjangnya, ia mendekat padaku, menciumiku dengan lidahnya yang berdarah, melekatkan wajahku pada air mata darah, membiarkan mataku mengem bara ke dalam jantung hatinya yang berdarah, merapatkan tubuhku dengan tubuhnya yang berdarah. Malam merapat pagi, ketika aku bersetubuh dengan perempuan abu-abu itu di atas darah . (Surabaya : 21.03.2004 : 22.52 PM) (Biarkan Drupadi tetap abu-abu, please Ibu, Baron, dan Kupu-Kupu Cerpen: Sumber: Jawa Pos,Edisi 09/26/2004 Kupanggil ia ibu. Perempuan yang menyimpan kesunyian benih-benih padi, membajak petak-petak sawah, dan menyiangi lini-lini rumput di tiap ruas. Selalu riang ia dengan lagu-lagu ketika kaki-kakinya menapak pematang. Angin bahkan menebarkan suaranya mengisi seluruh petak sawah yang menghampar. Di dalam bakul yang ia gen dong, ada nasi dengan lauk teri dan sambal pedas yang akan meruapkan liur jika s iang datang. Ia membungkusnya sendiri ketika embun masih menggumpal di ujung dau n. Lalu sesampai di sawah, ia akan jinjingkan jariknya kemudian mencelupkan kedu a kakinya ke dalam lumpur yang kelak akan mengikat kehidupan anak dan cucunya. Ia membajak sendiri. Baron, kerbau dungu, selalu ia menyebut-nyebut nama hewan itu jika kesal. Kerbau yang diantar oleh seorang tukang angon, si bocah lelaki k ecil. Ia mengikat leher Baron pada luku dan membunyikan cambuknya. Maka mulailah ia membajak dan bercakap-cakap dengan Baron seolah ia bercakap-cakap dengan sua minya sampai tanah-tanah itu tersingkap kemudian ditebarnya kompos beserta tahi Baron ke situ. Hingga setiap sawah di kampung ini, suatu hari, dipenuhi oleh per empuan, sebab setiap lelaki turun gunung membangun kota dengan tangan-tangan mer eka dan pulang menjelang larut atau kadang sampai berbulan-bulan. Ia, perempuan yang kupanggil ibu itu adalah perempuan yang membunuh birahinya terhadap Rahwana juga Rama. Kelak itu yang aku tahu ketika aku tumbuh dewasa. Senja, ibu akan pulang bersama Baron ke rumah. Lalu aku akan menurunkan tumpuka n jerami untuk santap malam Baron. Kemudian ibu akan segera membakar sebagian ta hi Baron untuk menghangatkan tubuh kami dan mengusir nyamuk-nyamuk. Baron tidur di kandangnya yang terletak di samping kiri rumah kami. Dan jika kenyang ia akan melenguh lalu tertidur. Suatu hari aku tak akan lagi jumpai semua itu, dan itu ternyata yang paling aku rindu.

Lelaki di kampung ini telah pergi. Ayahku juga. Tapi ayahku sungguh baik hati. Pernah ketika libur datang, ayah membawa oleh-oleh pupuk dari kota, katanya, sup aya ibu tak terlalu sibuk di sawah. Juga bibit-bibit yang cantik. Lalu pernah la gi ketika pulang ayahku membawa televisi. Benda bertabung yang bisa menyala itu, aih lucu sekali menurutku. Bagaimana orang bisa muat berada di dalam tabung sek ecil itu. Tak perlu lagi pergi ke sawah, tontonlah telenovela dan berdandanlah s eperti bintang film, begitu katanya pada ibu. Lalu aku diberinya jadwal khusus u ntuk melihat sinetron, siapa tahu rezekimu datang dan kau bisa jadi bintang hing ga tak perlu lagi tinggal di kampung, begitu ayahku bilang. Tapi, ah! Kota masih sesuatu yang asing yang mendengung-dengung di telingaku dari antena radio dan televisi yang pertama kali singgah bertamu di rumah kami. Ke mana ibu yang selalu terbangun oleh kluruk ayam jantan Lik Bawuk dan langsung menyalakan tungku kemudian menjerang air. Ke mana ibu yang mencuci beras di pancuran dekat bilik belakang rumah. Ke mana ibu yang mengenakan jarik dijinjing dan dengan sig ap menyiangi rumput-rumput yang mengejar padi. Ke mana ibu yang selalu ajarkan a lif ba ta jika selepas magrib. Ke mana ibu yang membenahi selimutku sebelum akhi rnya ia juga lelap. Pagi dini aku sudah mulai membaca. Dan koran-koran mulai berdatangan ke rumahku menebar apa saja. Televisi di rumah kami juga tak berhenti menyiarkan iklan. Ma ka kebiasaan ibuku mulai berubah. Maka ibuku mulai suka pergi berbelanja ke pasa r-pasar. Tapi barang-barang itu tak ditemuinya di pasar. Hingga suatu hari tumbu h mall dan jalan-jalan besar di kampung kami, menepikan sawah, padang tempat dom ba-domba kami merumput, juga rumah-rumah. Sementara pasar-pasar menjadi semakin kumuh dan tenggelam di sudut rumah. Maka pergilah ibuku ke mall dan berbelanja d i sana sampai berjam-jam. Ia jadi lupa jika padi kami harus disiangi. Juga lupa tentang nasi yang ditinggalkannya telah mengerak. Ah, ibu, keluhku. Lalu setiap ibu akan pergi selalu ia berpesan padaku, jangan lupa tebarkan pupuk-pupuk yang dibawa ayahmu. Ingat takarannya. Angkat jemuran dan tanakan nasi. Jangan lupa bu at sambal terasi untuk ayahmu jika ia pulang. Kami tak lagi sibuk menyiangi padi. Padi kami tumbuh lebih setia, tak rewel sep erti ibu yang semakin hari semakin asyik memadukan warna lipstik dan baju juga s epatunya buat kondangan ke tetangga seberang rumah. Tapi entah, kenapa lama-kela maan pupuk itu harus selalu kami beli. Juga ibu yang semakin jarang di rumah. Ib u yang tak lagi memiliki cerita dan dongeng masa lalu untukku, ah kuno, cobalah gaya hidup yang lebih modern, begitu katanya padaku. Ayah membelikan aku koleksi play stasion, sementara ibu membelikanku boneka barbie. Aku tak lagi main engkl ek atau dakocan. Tak ada kawan. Kami sibuk memperlihatkan apa yang kami miliki, memamerkan satu dengan yang lain dan jika tak memiliki apa yang dimiliki yang la in maka ketika pulang akan merengek lagi. Zaman telah berubah, jangan ketinggalan. Kau harus lebih sering menonton televi si dan mengikuti perkembangan. Jangan kita dibilang kampungan. Itu memalukan, ka ta ibu padaku ketika kami makan malam. Tapi aku lebih suka menatap sawah. Hingga pupuk semakin mahal dan rumah kami te rgenang oleh genangan got yang mampat dari sampah pasar yang meruapkan bau tak k aruan. Aku lebih suka desau ilalang dan bau tanah yang terguyur hujan. Juga kerl ip bintang pari yang kadang timbul tenggelam. Sampai suatu malam, ibu tak pulang dan ayah tak menceritakan ke mana ibu pergi. Pun aku tak tahu di mana ibu sekarang. Aku hanya berpikir ibu akan baik-baik sa ja. Hingga semakin hari sawah kami tumbuh semakin menyempit. Entah apa sebab. Ke tika ibu menyuruh menjualnya, aku protes. Satu-satunya yang bisa aku nikmati di sini hanya sawah itu. Sebab itu, ibu tak pulang berhari-hari. Tapi aku masih ber pikir ibu akan baik-baik saja. Hingga Baron pergi dari kandangnya dan digantikan motor baru. Tapi motor ini tak bisa membajak sawah, pikirku. Dan aku cuma bisa

diam selama kami masih baik-baik saja. Ya, kami tetap baik-baik saja. Musim bediding datang hampir merontokkan gigiku, kembang-kembang mangga banyak yang rontok dan yang tersisa akan menjadi buah masak. Dingin yang menusuk sumsum nyaris tak bisa membuatku tidur. Sebab tahi Baron tak lagi menghangatkan rumah kami. Ayah lupa membeli penghangat ruangan, besok katanya. Aku beranjak ke kamar ibu untuk mengambil jarik, barangkali bisa sedikit memberi hangat untuk selimut , menurutku. Aku membuka lemari ibu, memilah-milah lipatan tumpukan baju, tapi aku hanya men emukan lembaran kutang dan celana dalam. Akhirnya aku membongkar hingga ke lacilacinya, tetap tak ada. Aku mencoba mencari di pelosok kamar ibu barangkali ia m enyimpan jarik dan kebayanya di tempat lain selain di lemari. Tapi tak juga ada. Beberapa majalah tergeletak sembarangan, sedang di depan cermin berderak kosmet ik ibu. Barangkali ibu menjualnya ke tukang loak entah kapan, ketika kutanya ke Lik Kaseno --tukang loak yang biasa lewat di depan rumah kami dan sesekali menja jakan barang rongsokan yang masih sedikit bisa dipakai dari rumah ke rumah-- eso k harinya, lelaki itu tak tahu-menahu dan bilang ibu tak pernah menjual loakan a pa pun kepadanya. Lalu barangkali ibu memberikannya ke kerabat, sebab aku rasa b enda itu keramat, maka kutanya ke beberapa nama dan alamat tanpa rasa malu, tapi tak juga kutemu. Karena kesal aku malam itu tak pulang dan berjalan mengeliling i kota yang mulai tumbuh di kampungku. Lampu-lampu nyaris menubruk bola mataku. Kunang-kunang yang tadinya selalu kutangkap dan kuintip di tangkupan kedua tanga nku seolah lenyap tertimbun lampu-lampu yang tak bisa kutangkup. Sesampainya di simpang, di sebuah warung abang kulihat ayah tengah menenggak bir bintang dan me megang kartu as. Aku biarkan saja, barang sekali dua tak apalah untuk mengaso. D i mana ibu, malam-malam begini. Meski aku masih berpikir bahwa ibuku akan baik-b aik saja. Sampailah aku di dekat sebuah hotel dan kulihat ibu berdiri di samping pintu gerbangnya. Tersenyum ke setiap lelaki yang lewat di depannya sambil sese kali memegang tangan mereka. Lipstik ibu sungguh tebal seperti ketika sedang men ghadiri kondangan di kampung, waktu dulu dan terakhir tiga hari yang silam di te mpat Mr John yang kata ibu adalah teman dekatnya. Entah kapan kenal dengannya, s ebab sejak dulu di kampungku tak ada yang dipanggil Mister. Aku melihatnya, ibu digandeng seorang lelaki ke dalam hotel itu. Dan aku masih meyakini ibuku akan b aik-baik saja. Besok malamnya aku kembali mengikuti ke mana ibu pergi. Jelang pagi kulihat ibu kenakan jarik dan kemben itu. Ah, lega rasanya. Ternyata ibu masih menyimpannya dan membawa kemana pun ia pergi, aku sedikit riang. Tapi baju keramat itu tak l agi dipakainya menyiangi rumput di sawah kami. Di situ, di antara para lelaki da n sedikit perempuan ibuku menari hingga akhirnya telanjang dan menjelma sawah ya ng bisa dibajak dan disiangi siapa saja. Dan ibu tak lagi meluku. Juga ayahku ta k ada di situ. Bahkan aku yang ada di situ --di salah satu sudut ruang yang tema ram dari sebuah pub-- hanya diam. Barangkali juga ayahku. Sebab tak pernah ada p ertengkaran di rumah kami. Hingga aku yakin ibuku baik-baik saja. Esok pagi kami masih bersitatap di rumah meski kulihat kemudian ia tertidur dan aku yang membe reskan semua pekerjaan di dapur. Pernah aku masih berpikir untuk mencuri jarik d an kebaya itu dari ibu. Sebab aku ingin sekali memakainya, nanti, ketika menikah dengan sedikit harap masih bisa menemukan sepetak sawah dan menganai padi-padin ya. Tapi tak ada lagi yang kumiliki. Hanya kenangan tentang ayah, ibu, sawah hij auku, akar-akar juga Baron, kerbauku. Sebab keesokan harinya ketika aku bangun tak ada lagi pupuk, sebab ayah telah m enjual sawah itu. Juga Baron yang telah pergi lebih dulu, dijual ibu. Dan akhirn ya, kami bermetamorfosa seperti kupu-kupu. *** Bandar Lampung, 2004

Ibu, Baron, dan Kupu-Kupu Cerpen: Sumber: Jawa Pos,Edisi 09/26/2004 Kupanggil ia ibu. Perempuan yang menyimpan kesunyian benih-benih padi, membajak petak-petak sawah, dan menyiangi lini-lini rumput di tiap ruas. Selalu riang ia dengan lagu-lagu ketika kaki-kakinya menapak pematang. Angin bahkan menebarkan suaranya mengisi seluruh petak sawah yang menghampar. Di dalam bakul yang ia gen dong, ada nasi dengan lauk teri dan sambal pedas yang akan meruapkan liur jika s iang datang. Ia membungkusnya sendiri ketika embun masih menggumpal di ujung dau n. Lalu sesampai di sawah, ia akan jinjingkan jariknya kemudian mencelupkan kedu a kakinya ke dalam lumpur yang kelak akan mengikat kehidupan anak dan cucunya. Ia membajak sendiri. Baron, kerbau dungu, selalu ia menyebut-nyebut nama hewan itu jika kesal. Kerbau yang diantar oleh seorang tukang angon, si bocah lelaki k ecil. Ia mengikat leher Baron pada luku dan membunyikan cambuknya. Maka mulailah ia membajak dan bercakap-cakap dengan Baron seolah ia bercakap-cakap dengan sua minya sampai tanah-tanah itu tersingkap kemudian ditebarnya kompos beserta tahi Baron ke situ. Hingga setiap sawah di kampung ini, suatu hari, dipenuhi oleh per empuan, sebab setiap lelaki turun gunung membangun kota dengan tangan-tangan mer eka dan pulang menjelang larut atau kadang sampai berbulan-bulan. Ia, perempuan yang kupanggil ibu itu adalah perempuan yang membunuh birahinya terhadap Rahwana juga Rama. Kelak itu yang aku tahu ketika aku tumbuh dewasa. Senja, ibu akan pulang bersama Baron ke rumah. Lalu aku akan menurunkan tumpuka n jerami untuk santap malam Baron. Kemudian ibu akan segera membakar sebagian ta hi Baron untuk menghangatkan tubuh kami dan mengusir nyamuk-nyamuk. Baron tidur di kandangnya yang terletak di samping kiri rumah kami. Dan jika kenyang ia akan melenguh lalu tertidur. Suatu hari aku tak akan lagi jumpai semua itu, dan itu ternyata yang paling aku rindu. Lelaki di kampung ini telah pergi. Ayahku juga. Tapi ayahku sungguh baik hati. Pernah ketika libur datang, ayah membawa oleh-oleh pupuk dari kota, katanya, sup aya ibu tak terlalu sibuk di sawah. Juga bibit-bibit yang cantik. Lalu pernah la gi ketika pulang ayahku membawa televisi. Benda bertabung yang bisa menyala itu, aih lucu sekali menurutku. Bagaimana orang bisa muat berada di dalam tabung sek ecil itu. Tak perlu lagi pergi ke sawah, tontonlah telenovela dan berdandanlah s eperti bintang film, begitu katanya pada ibu. Lalu aku diberinya jadwal khusus u ntuk melihat sinetron, siapa tahu rezekimu datang dan kau bisa jadi bintang hing ga tak perlu lagi tinggal di kampung, begitu ayahku bilang. Tapi, ah! Kota masih sesuatu yang asing yang mendengung-dengung di telingaku dari antena radio dan televisi yang pertama kali singgah bertamu di rumah kami. Ke mana ibu yang selalu terbangun oleh kluruk ayam jantan Lik Bawuk dan langsung menyalakan tungku kemudian menjerang air. Ke mana ibu yang mencuci beras di pancuran dekat bilik belakang rumah. Ke mana ibu yang mengenakan jarik dijinjing dan dengan sig ap menyiangi rumput-rumput yang mengejar padi. Ke mana ibu yang selalu ajarkan a lif ba ta jika selepas magrib. Ke mana ibu yang membenahi selimutku sebelum akhi rnya ia juga lelap. Pagi dini aku sudah mulai membaca. Dan koran-koran mulai berdatangan ke rumahku menebar apa saja. Televisi di rumah kami juga tak berhenti menyiarkan iklan. Ma ka kebiasaan ibuku mulai berubah. Maka ibuku mulai suka pergi berbelanja ke pasa r-pasar. Tapi barang-barang itu tak ditemuinya di pasar. Hingga suatu hari tumbu h mall dan jalan-jalan besar di kampung kami, menepikan sawah, padang tempat dom ba-domba kami merumput, juga rumah-rumah. Sementara pasar-pasar menjadi semakin kumuh dan tenggelam di sudut rumah. Maka pergilah ibuku ke mall dan berbelanja d i sana sampai berjam-jam. Ia jadi lupa jika padi kami harus disiangi. Juga lupa

tentang nasi yang ditinggalkannya telah mengerak. Ah, ibu, keluhku. Lalu setiap ibu akan pergi selalu ia berpesan padaku, jangan lupa tebarkan pupuk-pupuk yang dibawa ayahmu. Ingat takarannya. Angkat jemuran dan tanakan nasi. Jangan lupa bu at sambal terasi untuk ayahmu jika ia pulang. Kami tak lagi sibuk menyiangi padi. Padi kami tumbuh lebih setia, tak rewel sep erti ibu yang semakin hari semakin asyik memadukan warna lipstik dan baju juga s epatunya buat kondangan ke tetangga seberang rumah. Tapi entah, kenapa lama-kela maan pupuk itu harus selalu kami beli. Juga ibu yang semakin jarang di rumah. Ib u yang tak lagi memiliki cerita dan dongeng masa lalu untukku, ah kuno, cobalah gaya hidup yang lebih modern, begitu katanya padaku. Ayah membelikan aku koleksi play stasion, sementara ibu membelikanku boneka barbie. Aku tak lagi main engkl ek atau dakocan. Tak ada kawan. Kami sibuk memperlihatkan apa yang kami miliki, memamerkan satu dengan yang lain dan jika tak memiliki apa yang dimiliki yang la in maka ketika pulang akan merengek lagi. Zaman telah berubah, jangan ketinggalan. Kau harus lebih sering menonton televi si dan mengikuti perkembangan. Jangan kita dibilang kampungan. Itu memalukan, ka ta ibu padaku ketika kami makan malam. Tapi aku lebih suka menatap sawah. Hingga pupuk semakin mahal dan rumah kami te rgenang oleh genangan got yang mampat dari sampah pasar yang meruapkan bau tak k aruan. Aku lebih suka desau ilalang dan bau tanah yang terguyur hujan. Juga kerl ip bintang pari yang kadang timbul tenggelam. Sampai suatu malam, ibu tak pulang dan ayah tak menceritakan ke mana ibu pergi. Pun aku tak tahu di mana ibu sekarang. Aku hanya berpikir ibu akan baik-baik sa ja. Hingga semakin hari sawah kami tumbuh semakin menyempit. Entah apa sebab. Ke tika ibu menyuruh menjualnya, aku protes. Satu-satunya yang bisa aku nikmati di sini hanya sawah itu. Sebab itu, ibu tak pulang berhari-hari. Tapi aku masih ber pikir ibu akan baik-baik saja. Hingga Baron pergi dari kandangnya dan digantikan motor baru. Tapi motor ini tak bisa membajak sawah, pikirku. Dan aku cuma bisa diam selama kami masih baik-baik saja. Ya, kami tetap baik-baik saja. Musim bediding datang hampir merontokkan gigiku, kembang-kembang mangga banyak yang rontok dan yang tersisa akan menjadi buah masak. Dingin yang menusuk sumsum nyaris tak bisa membuatku tidur. Sebab tahi Baron tak lagi menghangatkan rumah kami. Ayah lupa membeli penghangat ruangan, besok katanya. Aku beranjak ke kamar ibu untuk mengambil jarik, barangkali bisa sedikit memberi hangat untuk selimut , menurutku. Aku membuka lemari ibu, memilah-milah lipatan tumpukan baju, tapi aku hanya men emukan lembaran kutang dan celana dalam. Akhirnya aku membongkar hingga ke lacilacinya, tetap tak ada. Aku mencoba mencari di pelosok kamar ibu barangkali ia m enyimpan jarik dan kebayanya di tempat lain selain di lemari. Tapi tak juga ada. Beberapa majalah tergeletak sembarangan, sedang di depan cermin berderak kosmet ik ibu. Barangkali ibu menjualnya ke tukang loak entah kapan, ketika kutanya ke Lik Kaseno --tukang loak yang biasa lewat di depan rumah kami dan sesekali menja jakan barang rongsokan yang masih sedikit bisa dipakai dari rumah ke rumah-- eso k harinya, lelaki itu tak tahu-menahu dan bilang ibu tak pernah menjual loakan a pa pun kepadanya. Lalu barangkali ibu memberikannya ke kerabat, sebab aku rasa b enda itu keramat, maka kutanya ke beberapa nama dan alamat tanpa rasa malu, tapi tak juga kutemu. Karena kesal aku malam itu tak pulang dan berjalan mengeliling i kota yang mulai tumbuh di kampungku. Lampu-lampu nyaris menubruk bola mataku. Kunang-kunang yang tadinya selalu kutangkap dan kuintip di tangkupan kedua tanga nku seolah lenyap tertimbun lampu-lampu yang tak bisa kutangkup. Sesampainya di simpang, di sebuah warung abang kulihat ayah tengah menenggak bir bintang dan me megang kartu as. Aku biarkan saja, barang sekali dua tak apalah untuk mengaso. D i mana ibu, malam-malam begini. Meski aku masih berpikir bahwa ibuku akan baik-b aik saja. Sampailah aku di dekat sebuah hotel dan kulihat ibu berdiri di samping

pintu gerbangnya. Tersenyum ke setiap lelaki yang lewat di depannya sambil sese kali memegang tangan mereka. Lipstik ibu sungguh tebal seperti ketika sedang men ghadiri kondangan di kampung, waktu dulu dan terakhir tiga hari yang silam di te mpat Mr John yang kata ibu adalah teman dekatnya. Entah kapan kenal dengannya, s ebab sejak dulu di kampungku tak ada yang dipanggil Mister. Aku melihatnya, ibu digandeng seorang lelaki ke dalam hotel itu. Dan aku masih meyakini ibuku akan b aik-baik saja. Besok malamnya aku kembali mengikuti ke mana ibu pergi. Jelang pa gi kulihat ibu kenakan jarik dan kemben itu. Ah, lega rasanya. Ternyata ibu masi h menyimpannya dan membawa kemana pun ia pergi, aku sedikit riang. Tapi baju ker amat itu tak lagi dipakainya menyiangi rumput di sawah kami. Di situ, di antara para lelaki dan sedikit perempuan ibuku menari hingga akhirnya telanjang dan men jelma sawah yang bisa dibajak dan disiangi siapa saja. Dan ibu tak lagi meluku. Juga ayahku tak ada di situ. Bahkan aku yang ada di situ --di salah satu sudut r uang yang temaram dari sebuah pub-- hanya diam. Barangkali juga ayahku. Sebab ta k pernah ada pertengkaran di rumah kami. Hingga aku yakin ibuku baik-baik saja. Esok pagi kami masih bersitatap di rumah meski kulihat kemudian ia tertidur dan aku yang membereskan semua pekerjaan di dapur. Pernah aku masih berpikir untuk m encuri jarik dan kebaya itu dari ibu. Sebab aku ingin sekali memakainya, nanti, ketika menikah dengan sedikit harap masih bisa menemukan sepetak sawah dan menga nai padi-padinya. Tapi tak ada lagi yang kumiliki. Hanya kenangan tentang ayah, ibu, sawah hijauku, akar-akar juga Baron, kerbauku. Sebab keesokan harinya ketika aku bangun tak ada lagi pupuk, sebab ayah telah m enjual sawah itu. Juga Baron yang telah pergi lebih dulu, dijual ibu. Dan akhirn ya, kami bermetamorfosa seperti kupu-kupu. *** Bandar Lampung, 2004 Pesta Syukuran Cerpen: Manaf Maulana Sumber: Jawa Pos,Edisi 09/05/2004 PAK Mahdi sudah tampil rapi, berpeci hitam, berbaju koko putih dan bersarung ko tak-kotak biru. Ia berdiri di ambang pintu pagar rumahnya, menyambut tamu undang an. Kemarin, surat undangan syukuran sebanyak 200 lembar telah dikirimkan ke rum ah-rumah tetangga sekitar dan teman-teman dekat. Di ruang keluarga yang cukup luas mirip aula itu, Bu Mahdi sibuk mempersiapkan hidangan ala prasmanan dengan menu istimewa. Di atas meja panjang yang terbalut kain hijau, ada gule dan sate kambing, sate ayam, ayam bakar, ayam goreng, opor ayam, bestik daging sapi, sop buntut, acar, sambal hati. Juga ada berbagai macam buah segar: apel merah, anggur hijau, jeruk impor, peer dan pisang mas. Dengan wajah berseri-seri, Pak Mahdi melirik arlojinya. Sudah jam 19:30. Ia men duga, tamu undangan akan hadir tepat pada jam 20:00, sesuai waktu yang tertulis di dalam surat undangan. Menit-menit berlalu, dan ketika arlojinya sudah menunju kkan jam 19:55, belum ada satu pun tamu yang hadir. Bu Mahdi tergopoh-gopoh kelu ar dari ruang keluarga, setelah selesai mempersiapkan hidangan istimewa itu. "Kok belum ada yang datang, Pak?" tanyanya dengan wajah tegang. "Mungkin orang-orang di lingkungan perumahan ini sangat disiplin, Bu. Mereka mu ngkin akan datang tepat pukul delapan. Lima menit lagi," jawab Pak Mahdi dengan wajah yang juga tiba-tiba nampak tegang. Bu Mahdi mencibir. "Uh! Menghadiri undangan pesta kok dipas jamnya. Dasar sok d

isiplin," gerutunya dengan kesal. Pak Mahdi juga mulai dilanda kesal, karena belum juga ada seorang pun tamu unda ngan yang hadir di rumahnya. Ia mulai bertanya-tanya, kenapa tetangga-tetangga d ekatnya juga belum hadir? Apakah mereka sedang tidak ada di rumah? Ia memang bel um mengenal semua tetangganya, karena baru saja pindahan sepekan lalu. Rumah bar unya yang megah berlantai dua itu terletak di tengah-tengah lahan kosong di teng ah perumahan itu. Dulu, ia membeli sejumlah kaplingan sekaligus, dan di bagian t engah kaplingan itulah ia mendirikan rumah megahnya itu. Kini, rumahnya itu satu -satunya rumah termegah di kawasan perumahan itu. Rumah-rumah tetangganya hanya bertipe 21 dan 36. "Mungkinkah semua tetangga dan teman-teman dekatmu tidak ada yang bersedia hadi r, Pak?" tanya Bu Mahdi dengan wajah kesal. "Sabarlah, Bu. Mungkin sudah menjadi kebiasaan di kampung ini, jika menghadiri undangan selalu terlambat." Pak Mahdi mencoba menghibur diri. "Tapi ini sudah lewat lima belas menit, Pak." Kembali Pak Mahdi melirik arlojinya. Memang sudah lewat lima belas menit dari j am delapan. Wajah Bu Mahdi dan Pak Mahdi semakin tegang, karena menit-menit teru s berlalu, tapi belum juga ada satu pun tamu undangan yang hadir. Tiga orang pembantu dan dua sopirnya nampak tersenyum-senyum di ambang pintu ru ang keluarga. Mereka pasti berharap agar pesta syukuran itu gagal, atau hanya di hadiri sebagian kecil tamu undangan. Sebab, jika pesta syukuran itu gagal atau h anya dihadiri sebagian kecil tamu undangan, maka akan ada banyak sisa hidangan y ang bisa dibawa pulang untuk dinikmati bersama keluarga di rumah. Kini sudah jam 21 kurang 10 menit. Dan tetap belum ada seorang pun tamu undanga n yang hadir. Dengan kesal, Pak Mahdi kemudian mencoba menelepon teman-teman dek at yang telah diundangnya. Tapi ternyata mereka semua mematikan hp-nya. Sedangka n telepon di rumah mereka juga tidak bisa dihubungi. "Apa perlu kita menyuruh sopir-sopir itu untuk mengingatkan tetangga-tetangga d ekat agar segera hadir, Pak?" Bu Mahdi bingung. "Ah, tak usah repot-repot, Bu." "Tapi bagaimana kalau pesta syukuran malam ini gagal, Pak?" "Kalau tidak ada yang bersedia datang, kita justru tidak repot-repot, Bu." "Kamu ini bagaimana sih, Pak?" "Ah, sudahlah, Bu. Yang penting, nadzar kita mengadakan pesta syukuran sudah ki ta lakukan. Dan kalau ternyata tidak ada yang datang, bukan urusan kita. Hidanga n yang sudah kita sajikan, bisa dibawa pulang oleh sopir-sopir itu." Bu Mahdi kemudian bungkam. Tapi hatinya risau. Ia menduga, semua tetangga dan t eman-teman dekat sudah tahu betapa Pak Hasan adalah pejabat yang korup. Rumah me gah itu juga hasil dari korupsi. "Kalau sampai pukul sembilan nanti belum ada tamu yang hadir, kita tutup saja p intu pagar ini, dan semua lampu dipadamkan, Bu. Aku sudah capek, ingin segera ti dur. Besok aku punya banyak acara penting. Ada rapat di hotel." Pak Mahdi nampak mulai putus asa. Bu Mahdi kemudian bergegas masuk ke kamar tidurnya. Rasa kesal bercampur sedih

tidak bisa dibendungnya. Ia terpekur sambil bercermin di meja rias. Kini, ia seo lah-olah sedang ditelanjangi oleh tetangga dan teman-teman dekat. Mereka tidak b ersedia hadir pasti karena tidak sudi menikmati hidangan yang berasal dari uang hasil korupsi. Kini, di mana-mana memang sedang ada gerakan mengutuk para koruptor. Kini, semu a pejabat yang hidup bermewah-mewahan dan punya rumah megah telah menjadi pergun jingan masyarakat di sekitarnya. Dan sejak muncul gerakan mengutuk para koruptor , Pak Mahdi nampak risau. Lalu, Bu Mahdi menyarankan untuk mengadakan acara pest a syukuran dengan mengundang semua tetangga dan teman-teman dekat. Dalam pesta s yukuran itu, selain menikmati hidangan istimewa, semua tamu diminta untuk membac a doa bersama yang akan dipimpin oleh seorang ulama. "Kalau rumah yang kita bangun sudah kita tempati, kita memang harus mengadakan pesta syukuran, Bu," kata Pak Mahdi. Lalu Bu Mahdi bilang bahwa kata Pak Mahdi itu sebagai sebuah nadzar yang harus dilaksanakan. Dan kini, nadzar itu sudah dilaksanakan, tapi ternyata terancam ga gal total. Pak Mahdi tiba-tiba menyusul Bu Mahdi ke kamar. "Pintu pagar sudah ditutup, Bu. Ayo tidur saja. Biarkan saja sopir-sopir dan pembantu-pembantu itu menikmati hi dangan yang ada." Bu Mahdi menangis. "Rupanya semua orang sudah tahu kalau kamu korupsi, Pak." "Ah, persetan, Bu. Yang penting, tidak akan ada proses hukum yang bisa mengadil i para koruptor seperti aku. Kalau kita dikucilkan di dalam negeri, masih ada te mpat untuk hidup nyaman di luar negeri. Aku bisa mengikuti para seniorku yang ki ni hidup nyaman di negara-negara lain." *** ESOKNYA, Pak Mahdi dan Bu Mahdi sibuk menerima telepon dari teman-teman dekat y ang tidak bisa menghadiri undangan pesta syukuran. Kebanyakan mereka tidak bisa hadir karena ada udzur berupa musibah. "Maaf ya, Pak Mahdi. Saya dan nyonya tidak bisa hadir, karena mendadak ada kera bat dekat yang meninggal dunia." "Maaf, ya Bu Mahdi. Saya dan suami tidak bisa hadir, karena anak kami tiba-tiba sakit dan harus dibawa ke rumah sakit." "Aduh, saya minta maaf karena tidak bisa hadir. Maklumlah, kami sedang berduka atas wafatnya anjing kesayangan kami." "Sungguh, kami sedianya sudah bersiap-siap untuk hadir. Tapi mendadak ban mobil kami meledak, sedangkan ban serepnya baru saja dipinjam tetangga dekat." Pak Mahdi dan Bu Mahdi sangat kesal sehabis menerima telepon. Sebab, semua tema n dekatnya meminta maaf karena tidak hadir gara-gara mengalami musibah. Seolah-olah mereka mengatakan bahwa musibah yang dialaminya disebabkan oleh und angan pesta syukuran itu. Mereka seolah-olah ingin mengatakan bahwa jika mereka hadir pasti akan tertimpa musibah yang lebih besar. Kini, Pak Mahdi dan Bu Mahdi semakin yakin, betapa semua teman dan tetangga sud ah memandangnya sebagai manusia yang menjijikkan. Mereka tidak bersedia menghadi ri undangan pesta syukuran pasti karena jijik.

"Gagalnya pesta syukuran yang kita laksanakan, justru membuatku semakin bergair ah mencari banyak uang untuk bekal hidup di luar negeri, Bu. Rasanya kita tidak akan bisa nyaman lagi tinggal di dalam negeri. Masa tugasku tinggal satu tahun. Waktu satu tahun akan kugunakan untuk mengeruk uang sebanyak-banyaknya," tutur P ak Mahdi dengan menerawang jauh. Terbayang para seniornya yang kini sedang main golf dan main catur di Singapura. *** GERAKAN mengutuk para koruptor semakin marak di mana-mana. Pak Mahdi dan Bu Mah di semakin risau. Dan di pagi itu, ketika sedang menikmati kopi dan roti di bera nda belakang, tiba-tiba pembantu-pembantu dan sopir-sopirnya mendekat dan berpam itan. Mereka mengaku takut, karena rumah megah berlantai dua itu terasa angker. Mereka juga mengaku sering bermimpi buruk dan mengerikan. Dalam mimpi mereka seo lah-olah melihat rumah megah berlantai dua itu sedang terbakar, dan mereka terpe rangkap di dalam kobaran api. Dan sejak kehilangan semua pembantu dan sopirnya, Pak Mahdi dan Bu Mahdi merasa sedih, tegang dan takut menghuni rumah barunya yang megah berlantai dua itu. Se olah-olah rumahnya itu bagaikan penjara yang mengurungnya. Kini, semua sanak fam ilinya juga semakin menjauh. "Sebaiknya kita menyusul anak-anak, Pak." Bu Mahdi tak tahan lagi tinggal di ru mah megah itu. Terbayang selalu dua anaknya yang kini sedang kuliah di Singapura . "Ya, Bu. Kita memang harus segera menyusul mereka, untuk mencari tempat tinggal di sana. Mereka tidak usah pulang setelah selesai kuliah. Biarlah mereka tetap di sana." "Rumah ini harus segera dijual, Pak." Pak Mahdi setuju, tapi menjual rumah megah sekarang tidak mudah. Ia teringat se jumlah seniornya yang kesulitan menjual rumah megah, lalu terpaksa ditinggalkan begitu saja. "Sebaiknya kita memasang iklan di koran-koran, juga pengumuman di pintu pagar b ahwa rumah ini dijual, Pak," usul Bu Mahdi. Tanpa bicara lagi, Pak Mahdi segera memasang iklan di koran-koran dan papan pen gumuman di pintu pagar. Dan hari-hari selanjutnya, Bu Mahdi terpaksa sibuk di da pur, menyapu lantai, mencuci pakaian, belanja ke pasar, karena tidak bisa lagi m encari pembantu. Pak Mahdi juga terpaksa pergi dan pulang kantor dengan menyetir mobilnya sendiri, karena tidak bisa mencari sopir lagi. "Ada surat undangan pesta syukuran dari Pak Samad," ujar Bu Mahdi sambil menyer ahkan surat undangan tanpa amplop selebar kartu pos itu, ketika Pak Mahdi baru p ulang kantor, sore itu. "Pak Samad mengadakan pesta syukuran? Memangnya barusan memperoleh rejeki dari mana tukang becak itu?" Pak Mahdi nampak heran. Ia tahu, Pak Samad sehari-hari menjadi tukang becak. Ru mahnya di seberang lahan kosong, sebelah timur, yang setiap hari dilaluinya keti ka ia pergi dan pulang kantor. Rumah Pak Samad hanya tipe 21. Dengan dorongan rasa ingin beramah tamah dengan para tetangga, Pak Mahdi bersed ia menghadiri undangan Pak Samad. Ia tiba di rumah Pak Samad tepat waktu. Dan ia heran, karena halaman rumah Pak Samad sudah dipenuhi oleh tamu undangan.

Wajah Pak Samad berseri-seri ketika menjabat tangan Pak Mahdi. "Maaf, Pak. Sila hkan duduk. Tempatnya kotor," ujarnya sambil menunjuk selembar tikar yang terpak sa digelar di tepi jalan, karena semua kursi sudah diduduki oleh tamu. Dengan berat hati, Pak Mahdi duduk lesehan di atas tikar, sehingga perutnya yan g gendut terasa pegal. Pantatnya juga terasa nyeri, karena hamparan aspal di baw ah tikar kurang rata. Sebentar kemudian, Pak Samad duduk di samping Pak Modin yang ditunjuk untuk men jadi pemimpin doa bersama. Dan sebelum berdoa, Pak Modin menjelaskan bahwa tuan rumah mengadakan pesta syukuran sederhana itu karena telah mampu membeli becak b aru. Dan setelah berdoa bersama, hidangan yang disajikan ternyata cuma sepiring nasi goreng dan segelas teh manis. Semua hadirin menikmati hidangan pesta syukuran y ang sangat sederhana itu. Pak Mahdi nampak muak dan ingin muntah, ketika baru saja menelan sesendok nasi goreng yang terasa sangat hambar itu. Tapi, anehnya, wajah semua hadirin nampak berseri-seri menikmati nasi goreng itu.*** Pondok Kreatif, 2004 Kiai Yazid dan Si Anjing Hitam Cerpen: Wawan Susetya Sumber: Jawa Pos,Edisi 08/29/2004 SYAHDAN, pada zaman dahulu, ada seorang kiai besar yang sangat dihormati. Orang -orang di sekitarnya memanggi Kiai Yazid --lengkapnya Kiai Abu Yazid al-Bustami. Santrinya banyak. Mereka belajar di bawah bimbingan Sang Guru. Mereka datang da ri berbagai penjuru dunia; ada yang dari Irak, Iran, Arab, Tanah Gujarat, Negeri Pasai dan sebagainya. Mereka setia dan tunduk patuh atas semua naSihat dan bimb ingan Sang Mursyid. Selain Kiai Yazid punya santri di pesantrennya, banyak pula masyarakat yang men ginginkan nasihat dari beliau. Mereka pun datang dari berbagai penjuru dunia. Ad a yang menanyakan tentang perjalanan spiritual yang sedang dihayatinya, ada pula yang bertanya cara menghilangkan penyakit-penyakit hati, bahkan tak jarang yang menginginkan usaha mereka lancar serta keperluan-keperluan yang Sifatnya pragma tis dan teknis lainnya. Semuanya dilayani dan diterima dengan baik oleh Sang Kia i. Meski demikian, kadang-kadang terjadi pula tamu yang datang dengan maksud mengu ji dan mencobai Sang Kiai: apakah Kiai Yazid itu memang benar-benar waskita (taj am penglihatan mata batinnya)? Para tamu yang datang, bukan hanya didominasi kalangan lelaki saja, tetapi juga ada perempuan sufi yang belajar kepadanya. Mereka ingin ber-taqarrub kepada All ah sebagaimana yang dilalui Sang Kiai. Di antara mereka ada yang berhasil, ada p ula yang gagal di tengah jalan. Semua itu, kata Kiai Yazid, memang bergantung pa da ketekunannya masing-masing. Beliau hanya mengarahkan dan membimbing; semuanya bergantung dari keputusan-Nya jua. Karena ke- alim-annya itu, akhirnya masyarakat memang benar-benar menganggap bahw a Kiai Yazid adalah sosok yang patut dijadikan tauladan atau panutan. Bukan hany

a itu. Para kalangan sufi pun menghormati kedalaman rasa Sang Kiai. Para sufi pu n banyak yang mengajak diskusi, konsultasi, musyawarah dan membahas soal-soal sp iritual yang pelik-pelik. Nglangut. Hadir dan menghadirkan. Berpisah dan bersatu . Kedalaman rasa Sang Kiai, misalnya, ia bisa saja merasa kesepian atau "menyendi ri" ketika berkumpul dengan orang banyak. Di tempat lain, Sang Kiai sangat meras akan ramai, padahal ia sendirian. Begitulah, semua rasa itu tertutup oleh penamp ilan beliau yang memikat, mengayomi, melindungi, mengajar, dan gaul dengan banya k orang. *** Pada suatu hari, Kiai Yazid sedang menyusuri sebuah jalan. Ia sendirian. Tak se orang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya be rpijak; tak tahu ke mana arah tujuan dengan pasti. Ia mengalir begitu saja. Maka dengan enjoy-nya ia berjalan di jalan yang lengang nan sepi. Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam berlari-lari. Kiai Yazid mera sa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya. E .terny ata tahu-tahu sudah dekat; di sampingnya. Melihat Kiai Yazid --secara reflek dan spontan-- segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya d an tidak jelas apakah karena -barangkali-- merasa khawatir: jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis itu! Tapi, betapa kagetnya Sang Kiai begitu ia mendengar Si Anjing Hitam yang di dek atnya tadi memprotes: "Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa! " Mendengar suara Si Anjing Hitam seperti itu, Kiai Yazid masih terbengong: benar kah ia bicara padanya?! Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata? Sang Kia i masih terdiam dengan renungan-renungannya. Belum sempat bicara, Si Anjing Hitam meneruskan celotehnya: "Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak akan menjadi bersih walau e ngkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!" Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara Si Anjing Hitam di dekatnya, K iai Yazid baru menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan k ekecewaan dan keluh kesah Si Anjing Hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar; ia telah menghina sesama makhluk Tuhan t anpa alasan yang jelas. "Ya, engkau benar Anjing Hitam," kata Kiai Yazid, "Engkau memang kotor secara l ahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih!" Ungkapan Kiai Yazid tadi, tentu saja, merupakan ungkapan rayuan agar Si Anjing Hitam mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya itu. "Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku dan menjadi sahabatku ! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun ya ng bertemu denganku akan melempariku dengan batu, tetapi Siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu sebagai raja di antara para mistik. Aku tidak pernah m enyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makan an esok hari!" kata Si Anjing Hitam dengan tenang.

Kiai Yazid masih termenung dengan kesalahannya pada Si Anjing Hitam. Setelah di lihatnya, ternyata Si Anjing Hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan ya ng sepi itu. Si Anjing Hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat ha ti Sang Kiai. "Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor anjing milik -Mu! Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersama-Mu Yang Abadi dan Kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhluk -Mu yang terhina di antara semuanya!" seru Kiai Yazid kepada Tuhannya di tempat yang sepi itu. Kemudian, Kiai Yazid dengan langkah yang sempoyongan meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santr i yang menunggu pengajarannya. *** Keunikan dan ke-nyleneh-an Kiai Yazid memang sudah terlihat sejak dulu. Kepada para santrinya, beliau tidak selalu mengajarkan di pesantrennya saja, tetapi jug a diajak merespon secara langsung untuk membaca ayat-ayat alam yang tergelar di alam semesta ini. Banyak pelajaran yang didapat para santri dari Sang Kiai; baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis dalam hubungannya dengan ketuhanan. Suatu hari, Kiai Yazid sedang mengajak berjalan-jalan dengan beberapa orang mur idnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datan glah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama, ternyata ia bukanlah Si Anji ng Hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia Si Anjing Kuning yang lebih jelek dar i Si Anjing Hitam. Begitu melihat Si Anjing Kuning tadi terlihat tergesa-gesa -barangkali karena ada urusan penting-- maka Kiai Yazid segera saja mengomando ke pada para muridnya agar memberi jalan kepada Si Anjing Kuning itu. "Hai murid-muridku, semuanya minggirlah, jangan ada yang mengganggu Si Anjing K uning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada suatu ke perluan yang penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa," k ata Kiai Yazid ke pada para muridnya. Para muridnya pun tunduk-patuh kepada perintah Sang Kiai. Setelah itu, Si Anjin g Kuning melewati di depan Kiai Yazid dan para santrinya dengan tenang, tidak me rasa terganggu. Secara sepintas, Si Anjing Kuning memberikan hormatnya kepada Ki ai Yazid dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. Makl um, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga harus ada ya ng mengalah salah satu; rombongan Kiai Yazid ataukah Si Anjing Kuning. Si Anjing Kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Kiai Yaz id yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: "Allah Yang Maha Besar telah mem uliakan manusia di atas segala makhluk-makhluk-Nya. Sementara, kiai adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muri dnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing jelek tadi. Apakah panta s perbuatan seperti itu?!" Kiai Yazid menjawab: "Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kep adaku: "Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku b erpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di an tara para mistik (kaum sufi)?" Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan kare na itulah aku memberikan jalan kepadanya." Mendengar penjelasan Kiai Yazid seperti itu, murid-muridnya manggut-manggut. It u merupakan pertanda bahwa mereka paham mengapa guru mereka berlaku demikian. Se muanya diam membisu. Mereka tidak ada yang membantah lagi. Mereka pun terus mene ruskan perjalanannya. ***

(Inspirasi cerita: Kisah Abu Yazid al-Busthomi, tokoh besar dari kalangan kaum sufi) Tulungagung, 9 Oktober 2003 Kakek Marijan Cerpen: Aris Kurniawan Sumber: Jawa Pos,Edisi 08/22/2004 Got meluap. Bangkai tikus sebesar kucing digiring air busuk kehitaman. Tersumba t kental. Maghrib. Deretan gubuk mirip kandang babi. Senyap. Sesekali terdengar kecipak langkah di atas air. Suara tawa sayup orang-orang merubung siaran acara lawak di televisi. Gubuk di ujung gang, dengan remang cahaya listrik 5 watt, Kak ek Marijan terengah. Matanya nanar menatap Narto, cucunya, membeku dengan muka m embiru tengkurap di sisi bak. Kakek Marijan mengelap keringat yang membanjir. Pelahan diseretnya mayat cucuny a itu. Dimasukkan ke dalam karung yang telah disiapkan dengan rapi. Gerimis turu n lagi dan langit makin pekat ketika Kakek Marijan menaikkan karung ke dalam ger obak, dan perlahan menariknya menyusuri gang demi gang becek berlumpur. Roda ger obak seperti menggelinding di atas sungai. Entah ke mana. Narto, cucu yang sebet ulnya sangat disayanginya, terguncang-guncang. Namun tentu saja bocah itu tidak merasakan dingin ataupun sakit karena nyawanya telah melayang. "Maafkan Kakekmu," begitulah kalimat yang keluar dari mulut Kakek Marijan ketik a hendak membekap mulut Narto, bocah umur tujuh tahun, dengan bantal. Narto mero nta dan cuma meronta ketika Kakek Marijan membopong tubuhnya dan membenamkannya ke dalam bak penuh air. Narto mengerjat beberapa saat sebelum lunglai, dan akhir nya mengeras. Tidak ada jalan lain, pikir Kakek Marijan, untuk membalas sakit ha tiku pada ayahmu. Aku sudah terlanjur tersinggung dan tidak bisa memaafkan menan tuku sendiri. Kakek Marijan teringat lagi ucapan menantunya yang menyebabkan ia tersinggung d an sakit hati. "Tua bangka tak berguna, selalu saja menyusahkan orang." Kakek Ma rijan memang cuma bisa memendam kalimat itu dalam benaknya. Rupanya bukan sekali itu si menantu melontarkan kalimat dan perilaku yang menyakitkan, melainkan ber ulangkali kata-kata kotor menyembur dari mulut menantunya, baik bentakan maupun halus namun penuh nada ejekan. "Seharian nongkrong. Bikin kandang merpati saja n ggak becus. Huh! Cuma menunggu nasi mateng saja kerjamu." Demikian si menantu be rujar seraya membanting pintu dan sengaja menyenggol teh tubruk kesukaan Kakek M arijan. Teh tumpah dan gelasnya pecah. Kakek Marijan tersuruk-suruk memunguti se rpihan beling. Si menantu masih berujar, "Pecahkan saja semua biar habis!" Kakek Marijan masih melihat menantunya membuang dahak kental persis di depan mukanya. Narto yang tiba-tiba muncul dan memeluknya dari belakang, dengan cepat direnggu t ayahnya, "Jangan dekat-dekat si pemalas, ayo masuk." Kakek Marijan ingat tatapan jijik menantunya yang seakan menghunjam ke dasar tu lang. Dari kamarnya yang disekat kardus lapuk Kakek Marijan mendengar menantunya menghardik, "Tidak tahu bagaimana susahnya cari makan. Kalau tidak ada polisi s udah kuracuni." Lalu terdengar tape disetel keras-keras. "Iblis! Manusia tak tahu adat, tak tahu balas budi. Dasar komunis," kata-kata i tu cuma digumamkan Kakek Marijan dalam kamarnya. Memang si menantu kadang bisa j

uga bersikap santun dan manis. Tapi hati Kakek Marijan telanjur cedera dan menyi mpan dendam. Meski anaknya selalu bilang. "Jangan dimasukkan ke hati. Memang sif atnya sudah begitu dari dulu. Anggap saja angin lalu." Kakek Marijan mau mengata kan, perbuatannya sudah keterlaluan, tapi selalu urung. Ia paham, anaknya tentu lebih membela suaminya. Makanya ia lebih senang memupuk dendam di hatinya. Kakek Marijan tahu dirinya tidak berdaya dan mustahil dapat melampiaskan dendamnya pa da sang menantu secara fisik. Waktu jadi terasa panjang dan sangat menyiksa seti ap ia harus bertemu menantunya dalam rumah yang sempit, di mana nafas para pengh uninya terdengar satu sama lain. Makanya Kakek Marijan lebih sering keluar dari kamarnya, berjalan-jalan dari gang ke gang, menyusuri kali yang arusnya lambat d an airnya pekat membawa segala macam limbah sambil mengajak Narto setiap menantu nya berada di rumah setelah seharian pergi entah ke mana mengais rejeki. Sering memang, Kakek Marijan punya kesempatan bagus melampiaskan dendam dengan menghantamkan linggis di kepala menantunya ketika sedang mendengkur. Tapi ia tak juga kuasa melakukanya. Selalu dihalangi rasa cemas cucunya jadi yatim dan anak nya jadi janda. Padahal ia tahu persis anaknya seringkali mendapat perlakuan kas ar suaminya. Tapi Kakek Marijan maklum, mereka tetap saling mencinta. Ditambah l agi keadaan dirinya yang cacat. Ia tak mau terlunta-lunta dan mati di pinggir re l kereta. "Hhh, apa maksudnya Tuhan menciptakan makhluk sepecundang diriku." Demikian Kak ek Marijan sering menggugat nasib buruk yang melilit dirinya. Dia cuma sanggup m enggugat dengan keluhan-keluhan cengeng yang membuat dia kadang malu sendiri. "K enapa aku tidak bunuh diri saja." Nah niat ini pun cuma sekadar niat yang tidak kunjung dilakukan. Tentu takut akan rasa sakit yang pasti dihadapi orang yang me regang nyawa secara paksa. Dia heran sendiri kenapa mesti takut menghadapi rasa sakit yang tentu tak terlalu lama menyengat. Padahal hidup yang dihadapi pun sud ah begitu menyakitkan, dan terlalu cukup untuk jadi alasan buat diakhiri. Dendam di hati Kakek Marijan kian menggunung. Selalu ia tahan-tahan untuk dilet uskan. Rencana membunuh sang menantu jelas sulit dilakukan. Dia mulai berpikir, menghitung-hitung apa yang harus dilakukan supaya sang menantu laknat merasakan sakit hati seperti yang dialaminya. Ya, Kakek Marijan hanya ingin menantunya mer asa sakit hati. Tak harus menyakiti fisik, apalagi membunuhnya. Cara yang pernah ia rencanakan namun urung dilakukan adalah menyuruh anaknya me nyeleweng. Ini tak dilakukan jelas karena ia tak mungkin bekerja sama dengan ana knya yang tentu saja lebih membela suaminya. Kakek Marijan terus berjalan terseok-seok menarik gerobak. Hari makin gelap, se dang gerimis tetap setia mengguyur tubuh rentanya yang mulai menggigil. Berkeleb at terus-menerus di kepalanya wajah sang menantu yang bermata merah, menghardik, "Matikan tapenya, tua bangka! Maghrib. Tidak juga sadar mau masuk kubur. Bukann ya ibadah." Mengiang terus sepanjang waktu kata-kata itu. "Aku memang komunis, t api tahu menghargai orang ibadah." Kakek Marijan pantas heran dengan ucapan terakhir yang terlontar dari mulut men antunya itu. Yang ia tahu, komunis ya komunis. Anti agama. Meski ia juga tak ped uli apa itu komunis, apa itu agama. Apa itu ber-Tuhan, apa itu anti Tuhan. Yang jelas menantunya telah menyebabkan hatinya remuk parah. Dan ia tak menemukan car a membalaskan sakit hatinya. Sampai kemudian muncul gagasan gila; membunuh cucun ya sendiri. Ia tahu Narto begitu berharga bagi ayahnya yang tak lain menantunya sendiri. Narto satu-satunya harapan bagi ayahnya yang sangat dibanggakannya. Ana k itu tidak boleh disakiti. Bila sampai terjadi ayahnya mati-matian membela. Kak ek Marijan pernah melihat bagaimana sang menantu nyaris menggolok orang yang ber ani-berani menyebabkan Narto menangis. Satu hal yang memang seharusnya membuat i a besar hati. Namun pada saat-saat begini ia bertekad membunuh cucunya sendiri supaya ia bisa

puas melihat menantunya remuk redam. Maka, begitulah, saat yang ditunggu-tunggu tiba. Malam itu sang menantu bersama istrinya berpesan supaya menjaga Narto bai k-baik. Mereka tidak menjelaskan hendak ke mana dan berapa lama. Kakek Marijan c uma diberi uang untuk makan mereka berdua selama beberapa hari. Sempat ragu juga sebetulnya ketika malam itu ia hendak membunuh cucunya sendiri. Ditatapnya waja h Narto yang persis wajah sang menantu. Dihidup-hidupkan dendam di hatinya. Nyal a merah mata si menantu yang menatapnya dengan jijik. Hardikan-hardikannya diput ar lagi di telinganya seperti memutar rekaman kaset. Dan memang tumbuh juga. Kak ek Marijan bagai tidak melihat wajah Narto yang tengah terlelap dalam dekapannya , melainkan wajah bengis sang menantu. Ia terlonjak, bangkit meraih bantal *** Kakek Marijan berhenti di tepi kali yang permukaan airnya memantulkan lampu-lam pu gemerlapan dari kendaran yang berseliweran. Di kali ini sering dilihatnya may at mengambang kembung entah siapa. Orang mati dibunuh atau bunuh diri. Ah, sama saja: mayat. Dan kini cucunya bakal jadi salah satu dari mereka. Ya, semuanya su dah terjadi seperti takdir. Pada saat demikian muncul lagi keberaniannya yang la in; Kakek Marijan berniat untuk turut mecemplungkan diri. Mati. Ini jalan yang p aling aman barangkali, begitu ia berpikir. Sebab ia tak mungkin lagi pulang dan menghadapi kemarahan sang menantu yang cepat atau lambat tentu akan tahu ia yang telah membunuh cucunya sendiri. Lebih aman aku mati bunuh diri ketimbang digebuki sang menantu. Ya kalau langsu ng mati. Tidak begitu berat menanggung risiko. Kalau diseret ke kantor polisi, d iadili, lantas masuk bui?*** Cirebon, 12 Maret 2004 Ia Baru Saja Membunuh Suaminya Cerpen: Alex R Sumber: Jawa Pos,Edisi 06/13/2004 Ia baru saja selesai mengerjakan sesuatu yang mungkin membuatnya merasa bahagia . Nyatanya, ia tersungging, penuh dengan raut kepuasan di wajahnya. Ia membersih kan pisau yang telah berlumur merah itu, ia membilasnya dengan air sampai bersih . Dan, kilatan matanya itu seperti sebuah lampion yang menunggu, berdenyar dan p enuh cahaya. Ya, ia telah melakukan pekerjaan yang menurutnya paling berat: memb unuh suaminya sendiri!1/Ia baru saja bangun pagi-pagi sekali. Menyiapkan kopi bu at suami. Tetapi ia merasa suaminya akhir-akhir ini sering memarahinya, entah it u mengumpat, untuk sesuatu yang biasanya menjadi rutinitas namun ia terlupa. Dan menampar, bahkan untuk urusan yang sepele sekalipun. Ia menangis, tersendat, be gitu tertahan. Isak yang tak bergerak, seperti jarum waktu yang berputar mengera t, begitu diam. Terasa perlahan. Sehirupan napas. Ia ingat, mengapa beberapa bul an belakangan ini suaminya sering marah-marah padanya, bahkan untuk urusan yang sepele. Mungkin karena sibuk mencari duit. Kata orang, duit terkadang jadi masal ah dalam keluarga. Namun apakah semuanya bermakna karena materi semata saja? Ia bangun pagi-pagi sekali. Matanya seperti sorot embun. Namun ketika ia menyodorka n gelas kopi, suaminya mendampratnya. Padahal ia masih ingat bagaimana tangan ya ng kekar itu mendekapnya perlahan. Ya, ia masih mengingatnya. Dulu, ah, mengapa

orang selalu senang mengenang kesilaman. Seperti sketsa bayangan rabun yang terk unci, pintu yang menyodorkan sejumlah kenangan, di mana warna-warni indah saja y ang terlihat. Tetapi perubahaan adalah keniscayaan, sebentuk kesederhanaan yang akan datang di tubuh manusia. Dan ia pun paham, suaminya tengah berubah, bukan y ang dulu lagi. Ketika menggandeng tangannya di pusat keramaian kota, ketika menc ium bibirnya dengan lembut di dalam bioskop yang gelap Ah, mengapa ia mesti bangu n pagi-pagi sekali? Toh, dunia juga tak akan beda baginya, terkurung di dalam ru mah, disibukkan dengan pekerjaan yang biasa-biasa saja. Memasak. Mencuci piring dan baju. Nonton televisi. Sesekali, sebenarnya ia ingin suaminya mengajak jalan -jalan ke suatu tempat di dalam kota. Namun semuanya telah berubah bukan? Ya, ia pun paham --jika dirinya mesti bangun pagi-pagi sekali, dengan begitu ia bisa m enyiapkan segalanya. Dengan begitu ia bisa menyediakan kopi untuk suaminya. Deng an begitu ia merasa telah melunaskan tugasnya sebagai seorang istri yang baik. I stri yang digambarkan dalam agamanya, bagaimana mesti bersikap kepada suami. Tet api, ketika menyodorkan segelas kopi yang masih ngepul dengan asap tipis: lho,ko k malah digampar.Ia menangis. Sejadi-jadinya. Pertahanannya yang tadi jebol juga. Ia tak mampu menampung. Ia sedih. Ia menyudut. Suaminya nanar, menjambaknya, me narik rambutnya. Ia merasa terbanting, ia ingat bagaimana ia biasa dipeluk oleh tangan hangat itu. Namun nampaknya segalanya sudah berlalu. Suaminya marah. "Aku dengar kau sering kelayapan keluar rumah, ketika aku sedang bekerja. Dengan sia pa?"Ia hanya diam saja. Membisu. Tak sempat mengucapkan sesuatu."Ayo, jawab!!" H entakan dari suaminya berlanjut, "Dengan siapa? O, jadi begini figur istri yang baik, kelayapan. Aku mendapatkan info dari orang yang dekat dengan kita, katanya malah kau sampai peluk-pelukan segala, di depan keramaian lagi!"Ia mencoba meng ingat. Tetapi segalanya abu-abu. Seperti ia merasa lelah ketika ingin membuka al bum foto masa lalu mereka berdua. Berapa lama mereka saling mengenal satu sama l ainnya? Apakah benar ada kecurigaan mendasar dalam diri suaminya?2/Demikianlah. Kecurigaan suaminya akhir-akhir ini seringkali meningkat. Ia tak tahu kenapa. Ap akah sebuah keluarga dibangun dari rasa tidak percaya? Kecurigaan yang menjelma jadi lempung. Sesungguhnya, dulu, sebelum memutuskan menikah dengan lelaki itu, ia mengkhayalkan sebuah keluarga yang baik. Di mana ia akan menerima belaian kas ih sayang sepanjang hari dari suaminya. Namun kenyataannya, yang terjadi tidakla h mudah. Ternyata membentuk keluarga merupakan suatu hal yang sangat sulit. Apak ah cinta memunyai dendam? Barangkali ya. Tetapi selalu ada sisi lain yang menamp ak, yang justru membuat keruh suasana. Dan ia berusaha untuk tetap mencintai sua minya, sebagaimana ia tercipta. Perempuan yang selalu diajar oleh kedua orang tu anya untuk tunduk dan setia di hadapan suami. Tetapi, kenyataan kembali memaksa. Semacam ketika rasa was-was yang hadir terus saja melibasnya, setiap kali ia pi ngin bertemu dengan suaminya. Setiap kali dirinya masuk ke dalam rumah. Was-was yang menggelembung besar, yang membuat ia membenci suaminya. Meski di sudut hati kecil yang lain, ia masih mencintai suaminya. Ah, cinta, apakah harus tetap sep erti ini? Ia merasa selalu ada yang berbaur antara benci dan suka. Ketika ia men ghadapi --rutinitasnya sebagai istri belakangan ini-- yang setiap kali memandang wajah suaminya selalu ada kelebat bosan. Di mukanya kini ada lebam biru, yang m embuatnya malas berkaca. Wajahnya tidak lagi terlihat cantik, ia merasa ada yang menguntitnya. Seseorang, mungkin yang memantaunya dari kejauhan. Di muka cermin , ia saksikan wajahnya yang sendu, tak berdaya, dan takluk. Ia merasakan wajahny a nampak lebih tua akhir-akhir ini. Ah, apakah suaminya yang menyebabkan seperti itu?Kelebat itu datang lagi, mengoyak dirinya. Padahal ia ingin mengembara ke m asa lalunya yang bahagia itu. Ketika pertama kali suaminya menyatakan jatuh hati padanya. Kelebatan yang selalu bahagia. Ia merasa melayang diperlakukan istimew a. Dan kini, setelah mendampingi hidup suaminya selama beberapa tahun, ia merasa ada hal lain yang dipenuhi kejanggalan. Sesuatu yang justru turut memperkeruh s emua rutinitasnya.Ia ingin berdoa supaya ada seorang pangeran menjemputnya. Atau seorang ksatria berkuda membawanya pergi dari rumah ini. Sebab rumah nyatanya t ak pernah lagi membuatnya betah. Ia selalu merasa terdesak, ingin pergi keluar j auh. Mungkin ke arah laut, di mana ia bisa duduk berdua-duaan dengan lelaki peny elamatnya. Menikmati matahari, menikmati pasir, mengarsir angin yang kesiur memb awa ombak, yang mendamparkan segala buih. Ia ingin duduk berdua-dua, berwaktu-wa ktu.Memang sekali dua kali masih ada lelaki yang dikenalnya, mengajaknya pergi.

Semenjak suaminya sering memukulinya, praktis ia keluar jauh dari rumah. Ia mema ng menemui lelaki selain suaminya. "Barangkali aku telah berkhianat," keluhnya p ada Dhesi, sahabat curhatnya. Sambil duduk memandang jauh, ia bertanya lirih, "A pakah cinta mesti diisi dengan para pecundang? Dikhianati dengan kadar kesetiaan yang begitu larat?"3/Pagi itu, setelah ia menyeduhkan kopi dan menyiapkan sarap an pagi. Seusai ia merasakan tangan kekar yang menampar wajahnya, padahal dulu t angan itu begitu lembut membelai dirinya. Padahal dulu tangan itu selalu hati-ha ti dalam memegang setiap bagian tubuhnya.Ia merasa ada tenaga lain yang merasuki nya. Masuk ke dapur, mengambil sebuah pisau. Ya, ia baru saja selesai mengerjaka n sesuatu yang mungkin membuatnya merasa bahagia. Sesuatu hal yang barangkali ta k pernah diimpikan namun menjelma jadi sebuah kenyataan yang berdenyar. Nyatanya , ia tersungging, penuh dengan raut kepuasan di wajahnya. Bibirnya seakan dipenu hi dengan ekspresi kemenangan. Ia membersihkan pisau yang telah berlumur merah d arah itu, ia membilasnya dengan air sampai bersih. Dan, kilatan matanya itu sepe rti sebuah lampion yang menunggu, berdenyar dan penuh cahaya. Ya, ia telah melak ukan pekerjaan yang menurutnya paling berat: membunuh suaminya sendiri!Di sudut yang lain, sesosok tubuh tergeletak, bersimbah darah. Sementara, pagi telah begi tu terang. ***Ruang Cipta, Kedaton, Januari-Februari 2004 Bulan Terkapar di Trotoar Post:06/07/2004 Disimak: 1177 kali Cerpen: Ahmadun Y Herfanda Sumber: Jawa Pos,Edisi 06/06/2004 Bulan terkapar di trotoar. Tubuhnya kotor dan ada bercak-bercak darah pada waja h serta lambung kirinya. Dan, lihatlah, kini ia menggeliat, mencoba untuk bangki t. Mula-mula ia mengangkat kepalanya dan melihat sekeliling. Lalu, memiringkan t ubuhnya dan mencoba mengangkat badannya dengan menekankan kedua telapak tanganny a ke trotoar. Tapi, usaha itu gagal, tubuhnya kembali rebah. "Ya Allah, apa yang telah terjadi denganku," gumamnya. Bulan meraba tulang-tulang rusuknya. Ada rasa sangat nyeri di sana. Mungkin tul ang-tulang rusuknya telah patah. Bulan meraba pinggangnya. Ada rasa sangat ngilu di situ. Mungkin tulang pinggulnya terkilir atau retak. Bulan meraba lambung ki rinya. Ada rasa sangat pedih di situ, dan darah merembes menembus kaosnya. Bulan mengusap bercak-bercak darah pada hidung, pipi dan pelipisnya, lalu meraba kepa lanya. Jilbabnya telah tiada, entah terlempar ke mana. "Seharusnya aku sudah mat i Tuhan menyelamatkanku," batinnya. Bulan tidak tahu berapa jam ia pingsan. Ketika kesadarannya pulih, hari sudah l arut malam. Bentrok antara aparat keamanan dan demonstran telah lama reda. Suasa na jalan di depan kompleks gedung MPR pun sudah lengang. Ia yakin masih hidup ke tika merasakan pada hampir semua bagian tubuhnya. Ia merasa ada keajaiban, kekua tan gaib, yang melindunginya: Tuhan. Jika tidak, ia pasti sudah mati dengan tubu h remuk diinjak-injak sepatu puluhan tentara dan ratusan mahasiswa. Tapi, Bulan merasa malaikat maut belum pergi jauh darinya. Mahluk gaib itu masi h mengintai dari balik kegelapan malam dan tiap saat siap mencabut nyawanya. Seb ab, dalam dingin malam ia masih terkapar sendiri, tak berdaya di trotoar, tanpa ada yang menolongnya. Mungkin ia akan pingsan lagi, dan tidak akan tersadar lagi , karena langsung dijemput oleh malaikat maut dengan kereta kuda, untuk dihadapk an ke Tuhannya. Mungkin ia akan kehabisan darah dan tidak tertolong lagi. Bulan meraba lagi lambung kirinya. Rembesan darah makin membasahkan kaosnya, ba hkan terus menetes ke trotoar. "Mungkin lambungku tertembus peluru nyasar," piki

rnya. "Ya Allah, kuatkanlah hamba...," gumamnya. Bulan mencoba untuk bangkit lagi dengan sisa-sia tenaganya, tapi gagal lagi. Su dah tidak ada sisa tenaga lagi yang cukup hanya untuk mengangkat tubuhnya sendir i. Maka, yang dapat ia lakukan hanyalah berbaring pasrah dan menyerah pada Sang Nasib. Terlintas dalam pikiran, kenapa tidak ada yang menolongnya. Dinaikkan ke atas truk tentara dan dibawa ke rumah sakit, misalnya. Atau diangkut dengan ambu lan PMI? Bukankah tadi banyak anak-anak PMI dan ada dua ambulan bersama mereka u ntuk siaga menolong para demonstran yang terluka? "Di manakah kini mereka. Apakah aku dianggap sampah yang tidak perlu ditolong?" batinnya. "Ah, tidak. Tidak mungkin! Mungkin ambulan PMI dan truk tentara telah penuh, karena terlalu banyak demonstran yang terluka, dan aku sengaja dibaringk an di sini untuk dijemput nanti Tapi, kenapa sampai begini larut belum juga ada y ang menjemputku? Apakah mereka lupa dan tidak ada yang melihatku lagi, karena ak u terbaring dengan pakaian hitam-hitam di tengah kegelapan malam?" *** Ketika berangkat berdemonstari bersama kawan-kawan sekampusnya siang tadi Bulan memang sengaja memakai kaos lengan panjang dan celana hitam sebagai tanda berdu ka bagi bangsanya yang sedang dilanda krisis ekonomi. Ia pun ingin menyatakan du ka sedalam-dalamnya karena kebebasan sudah mati di negerinya dan sudah 30 tahun rakyat ditindas oleh rezim yang otoriter, sehingga tiap ada kawan yang menyapany a "merdeka", ia selalu menjawab, "belum!" Dan, pada demo mahasiswa yang menandai gelombang reformasi itu ia ingin menyata kan rasa dukanya secara total, sehingga lipstik yang ia pakai pun cokelat kehita man, dengan jilbab hitam dan sepatu cat yang sengaja ia olesi dengan spidol hita m. "Tapi, kalau sekarang aku mati di sini, adakah yang akan berduka? Masih adaka h orang yang akan peduli padaku?" batinnya. Kenyataanya kini Bulan terkapar sendiri, sekarat, di trotoar, dan tidak ada seo rang pun yang menolongnya. Ia heran, kenapa sampai selarut itu tidak ada yang me lihat, menemukan, dan menolongnya. Padahal, masih ada satu dua orang pejalan kak i yang sekali-sekali melewati jalan beraspal tidak jauh dari tempatnya terbaring . Beberapa tentara juga masih tampak berjaga di pintu gerbang kompleks gedung bu ndar yang sedikit terbuka. Jalanan memang lengang, dan tidak ada satu pun kendar aan yang lewat, karena diblokade tentara. "Mustahil kalau tidak ada seorang pun yang melihatku terbaring di sini," pikirnya. "Jangan-jangan aku dianggap gelanda ngan yang sengaja tidur di sini, sehingga tidak perlu mereka usik?" Bulan khawatir jangan-jangan orang-orang Jakarta memang sudah tidak memiliki ke pedulian lagi pada nasib orang lain. Mereka egois, hanya suntuk pada urusan diri sendiri, dan ia menjadi korban ketidakpedulian itu. "Apakah tentara-tentara yan g siaga di pintu gerbang itu juga tidak melihatku? Apakah semua orang telah meng anggapku sebagai sampah yang pantas dibiarkan teronggok begitu saja di pinggir j alan, dan cukup diserahkan kepada petugas kebersihan untuk dilemparkan ke truk s ampah?" Bulan mencoba mengumpulkan kembali sisa-sisa tenaganya. Dengan itulah dia ingin menolong dirinya sendiri. Jika orang lain sudah tidak peduli lagi padanya, maka dialah yang harus menolong dirinya sendiri. Begitu pikirnya. "Hidup ini keras, Bulan. Karena itu, kamu harus kuat, dan jangan sekali-kali hanya bergantung pada orang lain. Hanya kamulah yang dapat menolong hidupmu sendiri," kata ayahnya, d ua tahun lalu, ketika ia pamit untuk berangkat kuliah di Jakarta. *** Bulan kembali melihat sekeliling dengan sedikit mengangkat kepalanya. Dua orang

tentara masih tampak berjaga-jaga di gerbang masuk kompleks gedung MPR yang dib uka sedikit dan hanya cukup untuk dilalui pejalan kaki. Tampak beberapa aktivis berjaket kuning melewati penjagaan dan dibiarkan masuk. Bulan lantas melihat ke dalam melalui celah pagar besi. Tampak ratusan mahasiswa masih bergerombol di te ras gedung MPR. Banyak di antara mereka yang naik ke atap gedung bundar. Spanduk -spanduk berbentangan di atap gedung, tapi mata Bulan berkunang-kunang, tak dapa t menangkap dengan jelas bunyi tulisan pada spanduk-spanduk itu. Tiba-tiba angin malam bertiup sangat kencang, disertai serpihan-serpihan air. M ungkin serpihan-serpihan embun yang diterbangkan dari pohonan, atau hujan rintik -rintik. Malam itu langit memang mendung, seperti ikut berduka pada negeri yang rakyatnya sedang dilanda derita akibat krisis ekonomi, dan saat itu mereka telah kehilangan kesabarannya sehingga mendesak pemimpin negeri mereka agar segera tu run dari kursi kekuasaannya. Bersama para mahasiswa mereka pun melakukan aksi-ak si demonstrasi secara besar-besaran. Dan, itulah yang mereka sebut sebagai gerak an reformasi. Tapi, tidak mudah untuk menurunkan presiden mereka yang telah berkuasa selama 3 0 tahun lebih. Mereka harus berhadapan dengan aparat keamanan, pentungan, gas ai r mata, semprotan air, dan peluru-peluru karet yang kadang terselipi peluru bene ran. Mungkin mereka para penyusup atau oknum-oknum yang sengaja disusupkan untuk memperkeruh keadaan. Bersama para aktivis mahasiswa sekampusnya Bulan pun ikut turun ke jalan --untu k ketiga kalinya. Pada demo pertama dan kedua ia merasa asyik-asyik saja, ikut m eneriakkan yel-yel di barisan paling depan sambil membentangkan spanduk. Ketika dibubarkan oleh aparat keamanan ia sempat menyelamatkan diri meskipun matanya ja di pedih karena gas air mata. Tapi, pada demo ketiga ia bernasib sial. Setelah t erjungkal karena hantaman "meriam air", ia terinjak-injak tentara dan ratusan ma hasiswa. Saat itulah dia merasa benar-benar akan mati, dan hanya bisa bergumam " Allahu Akbar" sebelum berjuta kunang-kunang dan kegelapan menyergap kesadarannya . Dalam kegelapan, Bulan benar-benar kehilangan matahari. Ia terbang jauh menempu h lorong panjang yang tak sampai-sampai ke ujungnya. Di kanan kiri lorong tampak beribu-ribu, bahkan mungkin berjuta-juta tangan, dalam bayang-bayang putih, ber deret melambai-lambai padanya. Sempat terbersit dalam pikirannya bahwa ia telah mati dan saat itu ruhnya sedang terbang kembali menuju Tuhannya. Tapi, penerbang an itu dirasanya begitu lama, begitu jauh, dan tak sampai-sampai. Ia ingin berte riak karena kelelahan, tapi tak ada suara yang keluar dari kerongkongannya. Ia i ngin menjerit karena kehausan, tapi tak ada minuman yang dapat diraihnya. "Kenap a perjalanan menuju Tuhan begitu menyengsarakan? Apakah karena aku terlalu banya k dosa dan kini sedang menuju neraka?" pikirnya. Di puncak kesengsaraan itulah tiba-tiba secercah cahaya menyongsongnya di ujung lorong. Bulan mencoba berontak dari kegelapan, mempercepat terbangnya, untuk me raih cahaya itu. Begitu tangannya berhasil menggapai cahaya, ia pun menggeliat s ekuat-kuatnya untuk melepaskan diri dari tangan-tangan kegelapan yang terus menc engkeramnya untuk mengembalikannya ke lorong panjang yang hampa itu. Dengan seku at tenaga akhirnya ia berhasil meloloskan diri dan masuk ke gerbang cahaya. Saat itulah ia membuka matanya, dan menyadari dirinya terkapar dalam gelap malam di luar pagar halaman kompleks gedung MPR. *** Ingat penerbangan panjang yang melelahkan itu, tubuh Bulan tiba-tiba menggigil hebat. Malam memang telah beranjak ke dini hari, dan udara Jakarta benar-benar t erasa dingin sehabis gerimis. Apalagi trotoar tempat ia terbaring juga basah. An gin berkesiur cukup keras, menerpa tubuh dan menggigilkan tengkuknya. Sesekali g erimis menderas dan cepat mereda kembali. Dua tentara yang masih berjaga di gerb

ang gedung bundar pun sudah menutup tubuh mereka dengan mantel. Bulan merasa tangan-tangan maut kembali mendekatinya, untuk meraih ruhnya dan m enerbangkannya kembali ke lorong panjang tadi, untuk benar-benar menemui Tuhanny a. Bulan tahu tiap mahluk hidup pasti akan mati. Begitu juga dirinya. Jika saatn ya telah tiba, dia pun akan mati juga. "Tapi, jangan secepat ini, ya Allah. Aku masih terlalu muda. Aku belum siap menghadapMu. Masih banyak yang harus aku laku kan. Masih banyak yang harus aku sempurnakan," gumamnya. Bulan ingat shalatnya yang masih bolong-bolong. Apalagi saat-saat mengikuti unj uk rasa, karena sebagian besar waktunya habis di jalan. Ia ingat harapan ayah da n ibunya yang memimpikannya menjadi pengacara untuk meneruskan karier sang ayah. Mereka tentu akan sangat kecewa, kalau ia pulang bukan bersama gelar sarjana hu kum, tapi bersama peti mayat. "Ya Allah, hamba benar-benar belum siap menghadapM u. Berilah hamba kekuatan dan kesempatan untuk meraih cita-cita itu," doa Bulan dalam hati. Tapi gerimis tidak juga reda dan dingin malam makin menggigilkan tubuh Bulan. I a ingin sekali berteriak untuk meminta tolong, tapi tak ada lagi pejalan kaki ya ng lewat. Sedang dua tentara yang berjaga di gerbang masuk gedung bundar terlalu jauh darinya dan ia yakin tidak akan mendengar teriakannya yang pasti sangat li rih, karena ia sudah kehabisan tenaga. Satu-satunya harapan tercepat adalah data ngnya para petugas kebersihan kota yang memang mulai bekerja pada dini hari. Ia berharap mereka akan menemukannya dalam keadaan masih sadar, dan masih mengangga pnya sebagai manusia sehingga tidak dilempar ke truk sampah tapi segera dilarika n ke rumah sakit. Namun, harapan itu tidak kunjung tiba juga, dan ia merasa terlalu lama menunggu . Lama sekali. Dan, sebelum "pasukan kuning" itu datang, kepala Bulan tiba-tiba terasa sangat ringan sehingga ia merasa seperti melayang-layang di udara. Sedeti k kemudian berjuta kunang-kunang menyergapnya dan menyeretnya ke dalam kegelapan yang sangat dalam, kembali menerbangkannya ke lorong panjang tak berujung. Bula n tak tahu, kali ini penerbangannya akan sampai ke mana.*** Jakarta, 1999/2004 Perjalanan Terakhir Cerpen: Wina Bojonegoro Sumber: Jawa Pos,Edisi 05/23/2004 "INI akan menjadi perjalanan yang panjang dan melelahkan," ujar Noy. Udara pengab. Kipas angin di atas lorong kereta tak lagi berguna. Satu-satunya harapan hanyalah angin yang menyeruak dari jendela kereta. Derai harmonika menci cit. Ditimpa suara gendang bertalu-talu. Meski terganggu, perpaduan keduanya cuk up mengobati luka akibat derita kegerahan ini. "Ini akan berlangsung selama 12 jam," desis Noy lagi. Aku menghela nafas. Apa d aya, hanya ini pilihan terbaikku. Semoga petang nanti aku sudah sampai di mulut desanya. Seseorang bernyanyi. Harmonika dan gendang mengiringi. Suara-suara lain menimpa li. Orang-orang mencoba membunuh sepi. Beberapa pemuda gondrong bersiul-siul. Se sekali tertawa. Asap rokok mengepul dari hidung dan mulut mereka. Ini zaman merd eka, begitu mungkin pikir mereka. Kami boleh berasap di mana pun suka, tak pedul i ada hidung lain yang merana.

"Kau sudah mengirim kabar?" tanya Noy di tengah kegaduhan. Aku menggeleng. Noy melotot. "Kau tak banyak punya waktu. Sudah kau sia-siakan hidupmu ." Ya...ya dia benar. Per jalanan ini memang penuh risiko. Mungkin ini merupakan perwujudan jiwa petualang , yang lama tak menemukan kesempatan. "Kira-kira seperti apa wajahnya?" Noy menerawang keluar jendela kereta. Pertany aan itu pula yang beberapa hari ini menggerayangi pikiranku. Tapi selalu kucoba menjawabnya sendiri. Seperti apa pun, aku tak peduli. Kereta melambat. Gendang tetap bernyanyi. Harmonika tetap berdenyit, meski sama sekali tak padu. Suara-suara lain melemah. Kabut kantuk mulai membelenggu para penumpang kereta. Derak-derak roda melemah, kereta akhirnya berhenti. Stasiun Wo nosari. Pedagang tahu, roti, mangga, boneka, berhamburan mencari peluang. Mendad ak suara-suara kembali bangkit. Udara bertambah gerah. Genderang belum juga berh enti. "Bagaimana perasaanmu?" Noy menoleh ke arahku. Aku tak pernah peduli, meski pad a rasaku sendiri. Aku pergi hanya mengikuti intuisi. Sudah begitu lama kucoba me mbuang bayangnya, sejak ia berkata: "Kau sudah menjadi milik orang lain, aku pun akan melakukan hal yang sama. Kita akan mencari milik kita masing-masing." Meski aku tahu ia tak sungguh-sungguh, aku toh pergi juga meninggalkannya. Aku laki-laki muda, waktu itu. Laki-laki selalu penuh keinginan. Mungkin juga kesala han. Dunia begitu penuh warna, laki-laki muda kadang silau oleh pancaran kemilau nya. Hingga sesuatu memudarkan pancaran itu, hadirnya seorang gadis muda yang be rkata: Aku sudah telat lima minggu. Roda kereta berderak kembali. Harmonika telah bungkam. Gendang membisu. Suara-s uara lain kembali melemah. Ladang jagung menua, seolah berlari di antara kereta yang diam. "Pernahkah kau merasa bersalah?" Noy menatapku tepat di kedua mata. Kubuang pan dangku pada deretan ladang jagung yang menggelar warna putih kekuningan. Mestika h perasaan bersalah diberikan dalam bentuk pengakuan? Yang kulakukan sepanjang 8 tahun terakhir adalah mendoakannya, semoga ia bahagia dengan siapa pun lelaki p ilihannya. Sesekali ia datang dalam bentuk mimpi atau fatamorgana di siang bolon g. Tetapi aku laki-laki, aku dilatih dengan baik oleh lingkunganku untuk membunu h suara hati. Stasiun kelima terlewati. Hari mulai menua. Cahaya sore sudah mengintip jendela . Masih dua stasiun lagi harus disinggahi kereta butut ini. Kucoba tidur. Mataku sudah tertutup rapat. Tapi dalam kelopak itu kudapati wajahnya. Seringkali aku bertanya, mengapa ia masih sering datang padaku dalam bentuk serupa itu? Noy mul ai gelisah. Ia berjalan hilir mudik menunggu stasiun terakhir. Harmonika telah benar-benar berhenti. Namun suara gendang makin menggila. Orang -orang ikut bernyanyi mengikuti iramanya. Beberapa sambil menari. Goyangan keret a membuat mereka tertawa-tawa. Menertawakan ketidakmampuan mereka membayar karci s eksekutif, menertawakan kemauan mereka dijejalkan dalam gerbong pengab. Pesert a tarian kian bertambah jumlahnya, dimulai sepasang dua pasang kaki, akhirnya se luruh penghuni gerbong menari dalam iringan suara gendang, kecuali aku dan Noy. Dalam hiruk-pikuk itulah aku membuka lipatan kertas lusuh dari kantongku. Surat ini dikirimkan beberapa minggu lalu, dialamatkan ke kantor. Sudah berkali-kali kubaca, untuk memahami artinya. Istriku hampir memergokinya, tapi sebagai laki-l aki aku dibekali 1001 alasan untuk berdalih.

"Ini pasti surat cinta!" ia memekik-mekik. "Asumsi perempuan seringkali salah dalam menilai sesuatu," jawabku kalem. "Aku istrimu. Aku berhak tahu apa yang kau simpan." "Sejak dulu sudah kukatakan, sekalipun suami istri, kita harus punya wilayah pr ibadi yang harus dihargai pasangannya." "Kau merahasiakan sesuatu dariku?" "Semua orang perlu memiliki rahasia. Kalau tidak, kita telanjang di mana-mana." "Apakah ini soal wanita?" Ia akan mulai terisak. "Lelaki memiliki banyak hal untuk dirahasiakan, selama kau berpikir rahasia pri a adalah wanita, kau akan menderita selamanya." Perselisihan hari itu selesai. Dessert yang manis adalah memeluknya, menghapus air mata betinanya, lalu bercinta. Sementara Noy hilir-mudik menenangkan diri, aku membuka lipatan surat ini dan m embacanya untuk ke-17 kali. Caf Periplus jam 11.20 siang (Dalam harapan yang sia-sia di siang bolong). Sejak kemarin sesungguhnya pikiranku sadar kau tak mungkin datang, tetapi hatik u. Dia bersikeras menunggumu di Jogja ini. Sedangkan aku tahu istrimu hamil tua. Tetapi alasan menjumpai penerbit seperti usulanku, tidakkah cukup mengelabuhiny a? Semalaman aku tidur dalam gelisah. Pendingin ruangan hotel Sosrowijayan tak mam pu meredam gerahku. Sudah aku tongkrongi dirimu di warnet itu selama dua jam. Ta pi namamu tak jua mencuat di Yahoo Messanger atapun Mirc. Sudah dua kali pula ku layangkan email selama dua jam itu. Jawabanmu nihil. Satu-satunya email darimu d alam bulan ini kuterima seminggu lalu. Isinya singkat: istriku hamil tujuh bulan , anak ke tiga. Aku tak mungkin meninggalkannya." Namun tetap saja kulayangkan kalimat lagi: "Aku di kamar 217 Hotel Sosrowijayan ." Naluriku mengatakan kau membaca emailku. Aku tahu kau ingin pergi. Aku tahu s edalam apa rasamu kepadaku. Tapi mungkin, istrimu wanita luar biasa yang mengant ongi sejuta jimat Semar mesem, maka kau selalu berada di bawah ketiaknya. Kalau begitu kau adalah suami DKI. Kenapa kau tak bernyali menemuiku? Bukankah aku pacar pertamamu? Kenapa kau tak berani selingkuh dengan mantan pacarmu? Paling-paling aku hanya perlu semalam d ua malam denganmu. Terlalu sedikit jika dibandingkan dengan delapan tahun sejak kau jadi suaminya. Tadi malam aku membayangkan dirimu memelukku. Aroma nafasmu, ketiakmu (yang men gandung sedikit amoniak kejantanan) serta bagian-bagian lain yang kukenal, meman cing penderitaan cukup kuat. Bibirku terus-menerus memanggilmu. Harapku kaulah y ang pagi tadi mengetok pintu kamar, ternyata cuma petugas hotel yang megirim sec angkir kopi susu dan sebongkah omelet. Aku melahapnya juga. Anggap saja sebagai substitusi energi yang kugunakan dalam "pendakian" sendiri tadi malam. Dalam dia m dan hening kuhirup ruap sedapnya kopi susu dan omelet ini, lalu aku menyiram t ubuhku dalam hangat shower sambil membayangkan dirimu. Berikutnya aku mematut di ri dalam cermin sembari menyadari kerja usia yang sempurna memahat kerut-merut p

ada seluruh bagian tubuhku. Waktu begitu kejam merenggut segala yang ada, sebelu m aku dapat melakukan sesuatu, tiba-tiba saja terasa tepian batas itu sudah kian dekat. Di caf ini aku mencoba berandai-andai. Kau datang melongok rak-rak berisi buku a sing itu. Kemudian menoleh ke arahku, kita berpagutan di sini tanpa peduli bahwa ini masih di Indonesia. Anggap saja ini Venesia, tempat kita pertama kali rende vouz. Tetapi di caf ini hanya ada laki-laki bule, sama sekali tak identik dengan kulitmu yang nyaris legam serta nafas beraroma tembakau Virginia. Baiklah Yon, sekarang kegelisahanku hampir sirna. Kakiku sudah mampu bergoyang bersama lagu "Girl from Ipanema" yang dimainkan pria sipit dengan grand pianonya di sudut sana. Kesia-siaan ini bukanlah tanpa alasan. Bukankah kita harus menge jar setiap mimpi yang kita genggam? Aku telah melakukannya dengan sempurna. Dan kini terasa betapa indahnya pengejaran itu. Setidaknya kau tahu perasaanku tetap sama seperti 10 tahun lalu. Belum pernah a da caretaker di dalamnya. Peluang itu tetap milikmu, meski dulu terlontar keingi nanku akan mencari pria lain. Sekarang keinginanku cuma satu: aku ingin mati dal am bahagia. Saraswati Pacar pertamamu Kalimat terakhir itu tak kusukai. Sekaligus menjadi magnet, menciptakan pusaran , semakin kuat tiap jamnya. Akhirnya inilah perjalananku. Para petani tembakau mulai beranjak meninggalkan ladang. Mereka melambai pada k ami dengan wajah berseri. Aku tak tahu apakah hal ini semacam kebiasaan, atau se bentuk kekaguman pada lokomotif merah dengan sembilan gerbong yang meliuk-liuk m enciptakan gaduh di antara ketenangan sawah ladang. Aku mencoba ikut melambai se bagai tanda partisipasi. Harmonika berdenyit lagi. Suara gendang berganti jenis pukulan. Kali ini lebih pantas disebut genderang perang. Suara istriku kembali terngiang. "Aneh! Sejak kapan seorang redaktur mendapat tugas reportase, di Lawang lagi. A da apa sih di sana?" Sekali lagi, kemampuan improvisasiku mendapat tantangan. "Liputan khusus tokoh-tokoh veteran. Semua reporter mendapat tugas meliput di i bukota. Kalau tidak percaya, telepon saja pemred-ku." Tentu saja aku sudah membu at perjanjian dengan bosku itu, dan menyuap teman-teman sebelah meja dengan nasi padang beberapa bungkus untuk mempermulus perjalanan ini. Noy kembali kepadaku. "Sudah dekat, bersiaplah," serunya. Akhirnya memang, kere ta berhenti di Stasiun Lawang. Sekeranjang perasaan bahagia bergelembung menyert ai pergeseran kakiku. Segera kulipat Noy dan kurapikan, lalu kembali kumasukkan ke dalam dadaku, karena di situlah tempatnya sehari-hari. Dari situ pun kami tet ap bisa berdialog sepanjang mataku terbuka. Matahari benar-benar telah ditelan Bethara Kala ketika aku meloncat dari ojek. Bulan mengintip di angkasa dengan separuh wajahnya. Deretan pohon akasia berbari s dingin di sepanjang jalan. Dewa Maruta berlenggok tipis penuh kemalasan. Semen tara anjing-anjing kampung melangkah gontai mencari pasangan kawin untuk melawan dingin. Sesekali raungnya mengiris telinga. Aku berdiri tepat di depan rumah yang sama sepuluh tahun lalu. Rumah kayu berwa rna hijau dengan pagar beluntas dan pohon rambutan di sekelilingnya. Samar-samar cahaya lampu dinding menyeruak melalui celah-celahnya. Termangu sejenak, menata

debar sebelum aku memukulkan jemariku pada daun pintu dengan ketukan khas milik kami berdua. Setelah ketenangan kembali tergenggam, aku mulai beraksi. Tok toktoktok toktok tok Tak ada reaksi. Sekali lagi. Tok toktoktok toktok tok. Terdengar suara sendal diseret, pintu berderit. "Yon kaukah itu?" suara yang sama. Irama yang sama. Dadaku kian berontak. Perasaa nkukah yang masih sama? Pintu kayu membelah dari kedua helainya. Seraut wajah menyembul. Masih wajah ya ng sama. Bedanya hanyalah saputan pucat di wajahnya. Ia nampak begitu kurus dan menua. Aku memeluknya. Ia memelukku. Nyaris tanpa kata-kata. Jantungku mendadak bergun cang begitu hebatnya. Dan kurasakan Noy meronta-ronta dari dalam dadaku. Entah i a mau bilang apa. "Akhirnya kau datang, Yon. Akhirnya ." Ia menciumi seluruh wajahku tanpa ampun. A ku membalasnya dengan keganasan serupa. Aku tak merasai apa-apa kecuali rindu ya ng pekat, kehilangan yang begitu lama. Akhirnya kami tergeletak tak berdaya, lel ap dalam mimpi bahagia. Dan terjaga esok pagi oleh sengatan matahari yang berham buran dari jendela. Tetapi aku tak lagi berada di atas kasur, melainkan di atas kursi malas di ruang tengah, tempat kami dulu berbagi cerita menanti malam. Tetapi kali ini kursi malas tidak sendiri, dia menempati salah satunya. "Selamat pagi, pria perkasa." Ia sering memanggilku demikian, aku suka mendenga rnya. Entah palsu atau nyata, panggilan itu semacam kalimat pemujaan, membuat la ki-laki merasa begitu bangga. "Sekarang kau milikku selamanya, kau tak bisa ke mana-mana." Secara spontan aku bangkit, namun sesuatu menahanku. Kedua tangan dan kakiku terbelenggu pada kurs i malas. Nanar kutatap satu per satu dengan penuh tanda tanya. Dia tersenyum men atap keluar jendela seraya mengayun-ayunkan kursi goyangnya. Dengan wajah penuh kemenangan ia mengangkat segerombolan anak kunci. "Mereka akan kubuang ke dalam kakus. Kau akan di sini menemaniku sampai ajal me njemputku. Hodgin Limpoma-ku sudah akut sejak beberapa tahun lalu. Kaulah satu-s atunya yang harus menyaksikan kepergianku nanti. Jangan takut berteriak kalau ka u ingin. Para tetangga sudah menantimu lama, seorang mantan penghuni rumah sakit jiwa Menur. Mereka juga yang menyiapkan pasungan berbentuk kursi malas ini." Yang bisa kulakukan kini hanyalah menatap wajahnya dengan putus asa.*** Mahasiswa Tio Cerpen: Arie MP Tamba Sumber: Jawa Pos,Edisi 05/09/2004 Di masa depan, Tio akan mengulang-ulang terus pengalaman masa lalu seperti pada tengah hari yang nahas itu. Setelah gagal mendapatkan angkutan umum yang akan m embawanya pulang ke rumah, ia terdampar di sebuah mulut gang di pusat pertokoan

dan perkantoran. Seorang anak lelaki dengan kaca mata hitam ditegakkan di kepala , menghampiri dengan tatapan curiga. Si anak mengenakan rompi kulit berwarna cok lat longgar, membungkus belakang tubuhnya sampai ke pantat; kaus kuning melebihi ukuran badan sampai ke lutut; celana jins kepanjangan, hingga bagian kakinya di gulung berkali-kali; dan sepatu kets putih yang juga kebesaran, hingga ia menyer et kedua kakinya agar sepatu itu tidak terlepas. Anak itu, dengan dua arloji di tangan kanan dan dua arloji di tangan kiri, meng eluarkan sebungkus coklat besar dari kantung rompi, merobek bungkusnya, lalu men gunyah dengan lahap, seraya menoleh ke arah keramaian yang bergemuruh di jalan b esar pertokoan dan perkantoran yang tak jauh dari mulut gang itu. Huru-hara masih berlangsung. Orang-orang bergerombol berteriak-teriak riuh dan menyerbu kalap, membuka paksa pintu-pintu dorong dan jeruji toko-toko dengan tan gan, linggis, dan berbagai peralatan yang terjangkau dan dipungut sekenanya di j alan atau sengaja dibawa dari rumah. Lalu, setelah toko-toko yang ditinggalkan p ara penghuninya dengan ketakutan itu terbuka menganga tanpa tuan, para penyerbu saling berebutan menjarah berbagai barang yang terhampar atau teronggok di hadap an, menyeretnya menjauh, mengangkatnya dengan kedua tangan, mengusungnya di pund ak, langsung memasukkan ke dalam kantung plastik atau buntalan kain, membopongny a meninggalkan toko dengan tergesa, serabutan, namun bersiaga terhadap kemungkin an perampasan oleh yang lain; lalu berlari-lari, meliuk-liuk mengamankan barangbarang itu, di antara orang-orang berseliweran dengan keperluan serupa. Maka, bergulung-gulung karpet, pakaian, benang; berkardus-kardus sepatu, rokok, kosmetik, minyak wangi, kalkulator, radio, taperecorder, kaset, CD, termos; ber buntal-buntal arloji, topi, buku, blangkon, tas; berbungkus-bungkus bumbu masak, keripik udang, permen, coklat, keju, kue bolu, beras, kopi, gula, mie instan, r oti kaleng, kecap, sirup, panci; simpang-siur dalam bawaan orang-orang yang deng an sigap ingin cepat-cepat menyembunyikan di pangkalan sementara, atau langsung menuju rumah bila rumah mereka tak jauh dari areal pertokoan tersebut. Lalu, mer eka akan kembali lagi ke toko-toko atau perkantoran untuk mengambil barang-baran g apa saja yang masih ada dan tersisa, sebelum didahului atau dihabiskan orang l ain. Toko-toko dan perkantoran di pinggir jalan besar itu semuanya kini menjadi milik siapa saja, bebas dimasuki, dijarah, dan juga dibakar! Keributan suara-suara meneriakkan: "Hey, Min!", "Tigor!", "Asep!", "Gus!", "Jo! ", "Bur!", "Ke sini!", "Bawa sekalian!", "Simpan di belakang kios!", "TV, TV!", "Kulkas", "Bir, bir!", "Wah, BH, celana dalam, sambal, kecap!", "Taruh, taruh la ngsung di kamar!", "Yang di plastik di dapur, yang di kardus di kamar!", "Jangan salah tempat!", "Hati-hati!", "Jangan diambil orang!", "Ingat, harus segera ke rumah!", "Langsung kasikan ibu!", dan lain-lain, tumpang-tindih di sekitar, berl omba menyerbu pendengaran dan penglihatan Tio. Sementara anak itu menghabiskan c oklatnya dengan tergesa, mulutnya belepotan coklat, sementara sepasang matanya s ecara samar mengawasi Tio, seraya ia kini mengeluarkan permen dari saku celana. Sedangkan suara-suara masih membahana, saling tindih, dan kali ini lebih bergelo mbang ke sebelah kiri mulut gang dan di seberang jalan. Suara-suara yang memekakkan Tio, di tengah kesendirian perasaan yang semakin me nyesaki benaknya, di antara bayang-bayang pengalaman sebelumnya yang kembali mem bentang. Ia sedang dalam perjalanan menuju kampusnya di wilayah barat kota, keti ka demonstrasi dan kekacauan semakin marak di jalan yang mereka lalui. Tio terpa ksa turun dari bus kota yang ditumpanginya, karena sesuai permintaan sebagian be sar penumpang yang umumnya orang kantoran, bus kota itu membatalkan perjalanan d an kembali ke terminal pemberangkatan mereka sejam yang lalu. Hidup sebagai peno nton, yang sepatutnya tidak dirugikan, barangkali sangat penting bagi orang-oran g kantoran itu. Mereka harus melindungi anak dan istri yang ditinggalkan di ruma h, atau menyelamatkan hidup mapan mereka dengan menghindarkan kemungkinan bencan a apa pun yang kelihatannya bisa menyerang, dari membesarnya huru-hara yang meni mpa kota itu!

Sebenarnya, beberapa penumpang sebelumnya telah turun dan pindah ke bus-bus lai n yang sudah memutar sejak awal, dan beberapa penumpang terbirit-birit menyewa o jek yang tiba-tiba ramai berkeliaran mengepung bus. Sementara Tio enggan menyela matkan diri, karena merasa tidak layak setakut mereka. Sebab, ia "terlibat" seba gai pelaku atau bagian dari demonstrasi dan kerusuhan di luar bus kota itu. Meng ikuti gelombang perlawanan mahasiswa kepada rezim pemerintahan korup selama berm inggu-minggu, mereka telah melakukan demonstrasi gabungan dengan kampus-kampus l ain yang lebih besar dan terkenal di seluruh negeri. Dan, puncaknya, dalam suasa na perkabungan, kemarin mereka mengantarkan lima orang mahasiswa ke pemakaman ka rena tertembak bersama rekan-rekan lainnya di dekat kampus mereka sehari sebelum nya. Tapi, pagi itu, rasa getir dan sinis kepada diri sendiri pun menggigit-gigit ke sadaran Tio ketika ditinggalkan sendirian oleh orang-orang kantoran yang ketakut an meneruskan perjalanan. Tio tiba-tiba merasa memang tidak memiliki kehidupan b erharga yang harus diselamatkan dari kekacauan itu. Ia hanyalah seorang mahasisw a yang tidak memiliki keperluan penting, datang ke pusat kota; kecuali berkumpul dengan teman-teman sekampus "mendengarkan" lanjutan rencana demonstrasi gabunga n seluruh kampus kota mereka. Ia hanyalah seorang mahasiswa "pengikut" dengan ke cerdasan terbatas, di sebuah perguruan tinggi swasta yang tidak terkenal. "Jangan sembunyi di sini!" Anak itu akhirnya menegur bimbang, ketika menyadari Tio yang jangkung itu masih bertahan dan bengong. Tio mengitarkan pandang. Mereka "ternyata" berada di belakang sebuah kios, dan ia melihat berbagai bungkusan dan buntalan-buntalan barang di samping kakinya. T io membungkuk dan meraba sebuah buntalan. Tio menarik sebuah benda dingin dan ke ras dari mulut buntalan; sebuah walkman menyembul. Dengan wajah khawatir, anak i tu merebut walkman dari pegangan Tio dan memasukkannya ke dalam buntalan. Tio merunduk. Matahari siang menyorot tajam. Tak jauh dari kios itu, di jalan b esar, menggunduk timbunan sampah yang kelihatannya dibiarkan menumpuk dari hari ke hari. Bau sengitnya menyebar tapi orang-orang tak perduli dan kelihatan tidak terganggu. Mereka terus berseliweran di jalan besar membawa barang-barang denga n buntalan-buntalan penuh, kardus-kardus rapi, tas plastik dijejali barang, kelu ar masuk gang di sini dan di sana, memanggil-manggil, berteriak-teriak, simpangsiur di antara suara-suara "tembakan" yang sesekali terdengar menyela gemuruh si ang. Lalu, seorang lelaki berusia empat puluhan, mengenakan berlapis-lapis baju baru dan sebuah jaket kulit hitam, memundak buntalan besar dengan wajah berkeringat menghampiri persembunyian Tio dan si anak di belakang kios itu. Lelaki itu terke jut menemukan Tio, dan tampak kurang senang karena anak itu membiarkan seorang a sing berada di dekat barang-barang mereka. Lelaki itu menaruh buntalan di sampin g bungkusan lainnya. "Siapa kamu? Mau apa di sini?" tanyanya mengancam ke arah T io. Lelaki itu kemudian mengeluarkan rokok luar negeri dari saku jaket kulitnya yan g tebal dan baru, mengeluarkan mancis keemasan dari saku celana jinsnya yang bar u, dan seperti sengaja memamerkan arlojinya, kalung emasnya, sepatu kulitnya, be rdiri tegak menyalakan rokok, mengisapnya, menghembuskan asapnya ke arah Tio. "Saya...saya..." "Takut terkena peluru nyasar, ya?" "Saya mau pulang, kalau sudah aman." "Tapi kenapa berhenti di sini?"

"Sepedanya mana, Yah?" anak itu menyela. "Sepedanya mudah-mudahan ayah kebagian!" kata lelaki itu seraya matanya tetap k e arah Tio. "Om dapat mempercayai saya. Saya akan menjaga barang-barang Om. Tadi saya mau k e kampus ketika bus yang saya tumpangi membatalkan perjalanan. Seandainya tadi m alam saya tidak pulang ke rumah, tidur di kampus seperti yang lain, pasti sekara ng saya tidak di sini, mungkin berdemonstrasi bersama teman-teman ke istana!" "Oh, begitu?" Lelaki itu kembali menghembuskan asap rokok ke wajah Tio. Lalu se perti teringat sesuatu, ia mengeluarkan selampe baru dari saku celananya, kemudi an melap keringat di keningnya, dan kembali memandang Tio yang mengenakan kaus, jins, dan sepatu kets yang sudah kucel. "Percayalah, saya akan menjaga barang-barang Om bersama anak Om," ulang Tio "Ya sudah. Kalian tunggu di sini!" Lelaki empat puluhan itu lagi-lagi menatap t ajam ke arah Tio, mengantungi selampe, segera mengambil beberapa arloji mahal da ri sebuah buntalan, beberapa bungkus rokok luar negeri dari sebuah kardus besar, menjejalkan semuanya ke saku celana, baju dan jaketnya dengan terburu-buru, lal u mengisyaratkan kedipan mata "hati-hati" ke arah anaknya, baru kemudian menghil ang di antara orang ramai. Sepeninggal lelaki itu, Tio sesaat tersinggung oleh kedipan mata itu, dan sempa t dihinggapi keinginan culas untuk mengambil beberapa walkman dan arloji, lalu b erlari meninggalkan tempat itu, menerobos keramaian, mencari-cari kendaraan umum yang rutenya ke arah rumahnya di pinggir kota. Tapi lamat-lamat telinganya masi h mendengar suara tembakan demi tembakan di antara hiruk-pikuk itu. Membuatnya k embali merisaukan keselamatannya di antara tiang-tiang asap kebakaran yang mengh itam, membubung, meliuk, di sini, di sana, di kejauhan --seakan mengabarkan benc ana ke ketinggian awan putih di atas sana-- sekaligus mengotori cakrawala bening kota besar, yang dulu terkenal ramah itu. Lalu, suara tembakan demi tembakan meletus nyaring, tak jauh dari mulut gang. O rang-orang buyar ke kiri dan ke kanan, berteriak-teriak panik menggondol erat bu ntalan dan bungkusan di tangan dan di pundak. Dan tembakan meletus lagi, meletus lagi, kali ini berturut-turut, semakin nyaring, semakin memekakkan pendengaran Tio. Orang-orang berteriak-teriak kalap, orang-orang simpang-siur menyelamatkan diri. Saling menabrak dan mendorong, ingin melarikan diri atau bersembunyi. Yang limbung terjepit, terseret, yang jatuh tertindih, terinjak. "Aduh, aduh, aduukh h!" jeritan anak itu mengoyak pendengaran Tio, dan ia menampak anak itu memuntah kan permen dari mulutnya dan kaca mata hitamnya terlontar dari kepala. Sesaat anak itu seakan lunglai kehilangan tenaga, tapi secara aneh dan berkekua tan besar, terhempas ke tubuh Tio. Sebuah hentakan berat menghantam Tio. Kepala anak itu membentur perutnya. Keduanya kemudian terlontar ke atas tumpukan kardus , buntalan dan bungkusan. Beberapa buntalan dan bungkusan yang tidak terikat ken cang, terbuka, dan isinya berupa walkman, arloji, gulungan kain, baterai, guntin g, coklat, pisau cukur, minyak wangi, kecap, sambal, detergen, dan barang lainny a berserakan. Tio merasakan punggungnya sakit, menindih berbagai botol dan baran g-barang keras terbungkus kardus, dengan tubuh anak itu membebaninya. Dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Tio pun melihat wajah seorang anak seusi a adiknya, namun begitu asing baginya --sesaat begitu dekat-- lalu menjauh dan t erkulai di samping tubuhnya. Lalu, ketika ia menarik tangannya dari tindihan tub uh anak itu, untuk pertama kalinya pula ia melihat darah manusia begitu kental, memerah hangat di telapak tangannya, membercak membasahi kausnya, dan membercak bundar merah tua, memenuhi bagian dada kaus anak itu.

Darah. Darah merah berceceran. Anak itu tertembak. Anak itu tergeletak. Peluru nyasar menjarahnya. Sementara ayah anak itu entah ke mana. Anak itu mendesis ket akutan dan mengerang kesakitan. Mulut anak itu kini penuh darah, darah. Tatapann ya nanar ke arah Tio yang sedang bangkit, dan menoleh gelisah ke arah barang-bar ang jagaannya yang kini berserakan. Anak itu mengangkat tangan kanannya yang lun glai, diberati empat arloji; entah kapan ia menambahinya. Anak itu berusaha meng gapai sebungkus coklat, tapi Tio tak dapat lagi menatap berlama-lama. Tio sudah berdiri gelisah. Hiruk-pikuk manusia di sekitar semakin ramai dan seb agian kini berkerumun menghampiri. Wajah-wajah asing penuh keringat memandang ka lap dan ingin tahu, berganti-ganti dengan bayang-bayang wajah ibunya, adik-adikn ya, temannya sekampus, tetangganya, anak itu, ayah anak itu, orang-orang berebut an barang, rokok luar negeri, sepatu kulit, jaket hitam, mancis baru, walkman, a rloji, gulungan kain, kaca mata hitam, permen, coklat, botol kecap, bir, sirup, bumbu masak, bus kota yang kabur menghindari penumpang, orang-orang berlarian, s uara-suara tembakan --semuanya berdenyar dan mengabur di depan, di samping, di b elakang-- berupa cahaya menyala-nyala, sinar menyambar-nyambar, dan suara hingar -bingar menggelapi dan menggedori kesadaran Tio. Orang-orang masih berkelebat-kelebat, sementara Tio kemudian memaksakan diri un tuk berlari, berlari, terus berlari ke arah tepi keriuhan dan keramaian di sekit ar. Tapi tepi keramaian dan keriuhan itu tak juga tampak. Ia masih saja terhadan g oleh keramaian dan keriuhan, orang-orang berseliweran, suara-suara tembakan, t eriakan-teriakan kalap, dan bau asap, bau asap, bau daging terbakar, bau daging terbakar. Dan langkahnya kemudian semakin berat dan melambat, berat dan melambat , meskipun ia telah berlari menggunakan segenap kemauan dan tenaganya. Tak tahan lagi, tubuhnya kini limbung dikuyupi keringat dan darah, wajahnya kot or disaput debu tengah hari, dan perasaannya rusuh dilanda cemas mengerikan, ket ika rasa perih akibat luka menganga di bagian perutnya -- semakin nyata dan meny akitkan. Di masa depan, bila ia masih dapat mengulang-ulang peristiwa nahas pada siang mengesalkan itu, sungguh tak ada tempat terjauh baginya saat itu, kecuali rumah!*** Jangan Main-Main dengan Perempuan! Cerpen: Lan Fang Sumber: Jawa Pos,Edisi 05/02/2004 Malam ini aku sungguh terkejut ketika melihat perempuanku berdiri di depanku. I a bebas! "Apa yang kau tulis? Apa kau menulis tentang perempuan lagi?" mendadak saja ia sudah mendelik di depanku. "Kenapa?" tanyaku acuh tak acuh dengan rasa tidak senang. Menurutku apa yang akan aku tulis adalah urusanku sendiri. Karena apa yang akan aku tuangkan dalam kata-kata adalah apa yang ada di dalam otak dan kepalaku! Ja di bukan wewenang perempuanku untuk melakukan intervensi terhadap apa yang akan aku tulis. Jujur saja, aku tidak suka dengan kehadirannya di saat aku menulis. Ia selalu m engusikku dengan segala kenyinyirannya sehingga apa yang aku tulis tidak murni d ari jari-jemariku sendiri.

Karena ketidaksukaanku itulah, maka ia kupasung selama lima tahun! Lima tahun yang lalu, bibirnya yang indah kujahit, gigi geliginya kucabut, dan lidahnya kupotong. Lalu bibirnya yang indah itu, gigi geliginya, dan lidahnya, k usimpan di dalam toples yang berisi air keras. Kuawetkan di dalam toples itu! Ti dak hanya itu! Kalau boleh aku meminjam istilah Agatha Christie ketika menggamba rkan otak Hercule Poirot adalah "sel-sel kelabu"-nya dan semangatnya kukunci di dalam gudang gelap. Dan rongga matanya yang kerap kali mengeluarkan butir-butir air mata, aku cungkili lalu kubekukan di dalam frezer. Sehingga dalam lima tahun terakhir ini, perempuanku tidak bisa berkata-kata, ti dak mempunyai semangat karena sel-sel kelabu di kepalanya tidak berjalan normal, dan tidak bisa mengeluarkan air mata sama sekali! Ia benar-benar seperti robot. Ia tertawa tetapi tidak bisa menyeringai. Ia menangis tetapi tanpa air mata. Ia tubuh tanpa jiwa. Ia bergerak hanya berdasarkan perintahku ketika aku membutuhk annya untuk menyiapkan segelas kopi untukku. Seluruh roda hidupnya kubuat jalan di tempat. Setiap hari perempuanku sibuk dengan dirinya sendiri. Ia sibuk mencari mulut ya ng memuat lidah, bibir, dan giginya, juga memunguti kristal-kristal air matanya di dalam frezer, atau merenda sel-sel kelabu di dalam kepalanya dan menyulam sem angatnya yang hilang. "Apa kau menulis tentang perempuan lagi?" suara perempuanku mengelegar kali ini . Aku tengadah karena terkejut. Jari-jemariku berhenti menari di atas keyboard tu ts-tuts laptopku. Dan aku terperanjat tidak kepalang tanggung ketika aku menyada ri perempuanku berdiri di depanku dengan begitu perkasa! Jahitan di bibirnya sud ah rentas. Gigi geliginya sudah menjadi taring semua. Dan lidahnya berapi! Astaga! Aku larikan pandanganku ke toples berisi air keras di mana aku mengawetkan orga n-organ mulut perempuanku. Semua masih lengkap di dalam toples itu "Bah! Kau kira kau bisa memasung mulutku untuk selamanya?" Ia bertanya dengan k etus. Aku berlari ke gudang gelap di mana aku menyekap sel-sel kelabu otak dan semang atnya. Semua masih ada di tempatnya. "Kau pikir aku tidak bisa mendapatkan sel-sel kelabu dan semangat baru?" Ia ber tanya dengan nada mencemooh. Aku berlari lagi membuka frezer. Kulihat butir-butir air matanya yang membeku m asih menjadi stalagnit dan stalagtit di sana. Tidak ada yang berubah. "Kau mau aku tidak bisa tertawa dan menangis untuk selamanya kan? Kau kira semu dah itu?" Suaranya terdengar sampai di tempat aku berdiri. "Lalu apa maumu?" kudengar nada suaraku setengah putus asa. Aku berjalan gontai dengan bahu lesu kembali ke tempat dudukku. Aku merasa sepe rti ada sebuah bahaya laten yang mengancamku. Naluriku mengatakan bahwa perempua nku sekarang lebih berbahaya dibanding lima tahun lalu. "Jangan main-main dengan perempuan!!!" jawabnya cepat dan tegas.

"Apa?!" "Jangan main-main dengan perempuan!!!" Ia mengulangi kalimatnya. "Aku tidak mengerti apa maksudmu " "Baik. Sekarang giliranmu untuk duduk dan mendengarkan kata-kataku. Tutup lapto pmu. Karena aku muak dengan semua tulisanmu yang gentayangan di dunia perempuan. Sekarang aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" perintahnya seperti seorang juragan. Nah nah nah , inilah salah satu alasan kenapa aku memasungnya lima tahun lalu. Ia ben ar-benar seperti seorang juragan, seorang boss, seorang atasan, seorang direktur , kalau sudah mengeluarkan kata-kata. Ia perempuan yang bisa membuat kebanyakan orang mengiyakan semua kata-katanya. Tetapi, tidak aku! Justru aku adalah orang yang membuatnya mati dari kata-kata. Memasungnya mati d ari emosi. Membuatnya tidak peduli dengan dunia sekitarnya. Kusibukkan ia dengan mencari mulut, sel-sel kelabu, semangat, dan air matanya. Perempuanku mengambil posisi duduk di depanku. Ia pandangi aku dengan matanya y ang berapi. Lalu mulai bicara lagi dengan lidahnya yang berapi pula. "Aku ingin kamu menulis tentang laki-laki!" Ia mengulangi kata-katanya. "Aku tidak bisa " "Harus bisa!" potongnya cepat. "Sudah terlalu banyak dan sudah terlalu lama per empuan dipermainkan dari segala segi. Coba kamu lihat semua iklan di televisi, m ulai makanan, sabun, elektronik, pakaian dalam, obat datang bulan sampai obat pa nu kadas dan kurap, semua memakai perempuan," ia mulai nyerocos dengan intonasi suara yang semakin lama semakin tinggi. "Itu namanya perempuan mempunyai nilai jual karena indah dan menarik." "Bah! Perempuan mempunyai nilai jual? Apa maksudnya perempuan itu menarik? Lalu dengan alasan menarik itu kalian, kaum laki-laki, dengan seenaknya saja mempela jari dan membedah perempuan bukan saja secara visual tetapi juga secara riil. Do kter-dokter kandungan mengobok-obok perempuan mulai dari labia mayora, labia min ora, saluran falopii, uterus, bahkan menjadikannya kelinci percobaan untuk prose s inseminasi, bayi tabung, bahkan mungkin program cloning di kemudian hari, deng an alasan kemajuan ilmu kedokteran." "Itu namanya kodrat. Karena itu perempuan berharga " "Apa katamu?" Ia seperti harimau meradang. Matanya semakin berapi. Lidahnya semakin membara. "Perempuan berharga?! Kalau perempuan berharga kenapa undang-undang perkawinan hanya mengatur tentang poligami? Kenapa tidak mengatur tentang poliandri? Kenapa kalau perempuan tidak bisa memberikan keturunan bisa menjadikan alasan bagi lak i-laki untuk kawin lagi? Bagaimana dengan laki-laki yang impoten, azospermia, ej akulasi dini, atau apa saja namanya , bisakah dijadikan alasan buat perempuan kawi n lagi? Di mana hukum perkawinan kita menempatkan bahwa perempuan itu berharga?"

"Ah kau lebih baik menjadi aktivis perempuan dan ikut demo di bundaran Hotel Indo nesia saja sambil membawa spanduk besar-besar membela hak asasi perempuan," aku mulai kalah omong. Nah nah nah , wajar kan kalau perempuanku kupasung lima tahun lalu? Memang semua yang dikatakannya benar dan masuk akal. Tetapi juga benar-benar membuat posisi lakilaki berbahaya. "Kalian, kaum laki-laki, masih belum cukup puas dengan itu. Semua wartawan kora n masih saja menulis tentang perempuan yang diperkosa dengan visum et repertum v agina sobek dan selaput dara rusak, lalu dibunuh, dipotong-potong dan dibuang. K enapa tidak pernah ada berita seperti ini .hm ." Ia kelihatan berpikir sejenak. "Beg ini : Telah ditemukan mayat seorang laki-laki di atas tempat tidur dalam keadaan t elanjang dengan bagian-bagian tubuh terpotong-potong, kepala lepas dari tubuhnya , dan menggigit penis yang dijahitkan ke mulutnya sendiri. Bagaimana?" Huek! Tetapi perempuanku justru tertawa terkekeh-kekeh sampai air matanya meleleh. Setelah lima tahun, baru kali ini aku melihat matanya mengeluarkan air mata lag i, bibirnya menyeringai tertawa, dan ada nada suara yang keluar dari labirin ten ggorokannya. Aku tidak tahu apa makna tertawanya. Ia sukakah? Gelikah? Getirkah? Atau mungki n aku terlalu lama memasung perempuanku sehingga aku sendiri tidak mengenal makn a tertawanya dan tidak bisa membaca arti air matanya? Aku tidak kenal dengan per empuanku sendirikah? Sehabis tertawanya yang cukup lama, ia menarik nafas panjang. Mengambil sebatan g rokokku di atas meja, menyulutnya dengan lidahnya yang berapi. Ia memang tidak memerlukan korek api lagi karena lidahnya sudah berapi. "Sekarang, kalian yang mengaku penulis, juga beramai-ramai menulis tentang pere mpuan. Kalian telanjangi perempuan di atas kertas sampai tidak ada ruang untuk s embunyi lagi untuk perempuan. Kalian geluti dan perkosa perempuan beramai-ramai dari visualnya, haknya, organnya, emosinya, air matanya, juga kelaminnya!" "Ng karena perempuan menarik. Ia marah menarik, ia tertawa menarik, ia menangis juga menarik, ia telanjang apalagi. Menarik sekali!" "Ya, kalian telanjangi perempuan habis-habisan." "Karena menelanjangi perempuan itu nikmat." "Kenapa tidak menelanjangi pemikirannya, ide-idenya, semangatnya, kekuatannya, atau telanjangi penderitaan dan rasa sakitnya?" kata-katanya seperti peluru kelu ar dari moncong senapan. Sementara itu asap rokoknya mengepul sambung-menyambung seperti asap lokomotif kereta api. Aku terdiam. "Atau karena kalian cuma main-main dengan perempuan " Ia menutup kata-kata dengan n ada sumbang. Mungkin ya.

Mungkin? Ya. Mungkin. Perempuan memang obyek yang menarik untuk dijadikan ajinasi, mainan emosi, juga mainan inspirasi. Tetapi engan perempuan itu akhirnya menimbulkan ketimpangan ang dirasakan oleh perempuanku, aku masih tidak tahu di mana. mainan kata-kata, mainan im jika ternyata "permainan" d dan ketidakadilan seperti y harus meletakkan masalahnya

Apakah memang perempuan adalah obyek lemah yang mudah dipakai sebagai mainan? A tau memang perempuan justru obyek kuat yang menikmati dirinya ketika dipergunaka n sebagai mainan? Apakah perempuan memang begitu menarik dan berharga dari segal a segi sehingga menjadi komsumsi pasar, teknologi, sampai kepada para pujangga d an seniman? Atau sebaliknya, perempuan justru sangat rendah sehingga tidak mempu nyai persamaan hak di dalam hukum dan seks? Tetapi bagaimanapun perempuan, apakah ia kuat atau lemah, apakah ia berharga at au rendah, ternyata ia tetap menjadi "obyek". Karena begitu ia ingin mengganti p osisinya menjadi "subyek", maka seperti aku, kaum laki-laki akan memasungnya. Ka rena sebagaimana yang kupikirkan, jika perempuan menjadi "subyek" maka ia akan m embahayakan posisi laki-laki. Karena ia adalah mahluk lemah sekaligus kuat, ia direndahkan tetapi dibutuhkan, ia tidak berarti apa-apa tetapi sangat berharga! Tengah aku masih sibuk dengan debat kusirku sendiri, perempuanku mendekat dan b erkata, "aku ingin bercinta denganmu malam ini " Ia hembuskan sebuah udara dari mulutnya yang merupakan campuran dari nafasnya y ang wangi dan kepulan asap rokok. Begitu seksi dan menggoda. Tetapi aku lebih me rasakan itu sebagai sebuah perintah daripada sebuah permintaan. Aku gemetar. "Tidak, aku tidak berani main-main dengan perempuan " *** Surabaya, Maret 2004 (Untuk Segumpal Rose: Thanks, kamu tidak pernah main-main. Saya percaya!) *) Inspired by: Jangan Main-Main (dengan) Kelaminmu karya Djenar Maesa Ayu. Rizal dan Mbah Hambali Cerpen: A Mustofa Bisri Sumber: Jawa Pos,Edisi 04/25/2004 Sebagai lelaki, sebetulnya umur 37 tahun belum terbilang tua benar. Tapi Rizal tak tahu mengapa kawan-kawannya selalu mengejeknya sebagai bujang lapuk, hanya k arena dia belum kawin. Orang tuanya sendiri, terutama ibunya, juga begitu. Seola h-olah bersekongkol dengan kawan-kawannya itu; hampir di setiap kesempatan selal u menanyainya apakah dia sudah mendapatkan calon pendamping atau belum. Rizal se lalu menanggapi semua itu hanya dengan senyum-senyum. Jangan salah sangka! Tampang Rizal tidak jelek. Bahkan dibanding rata-rata kawa nnya yang sudah lebih dahulu kawin, tampang Rizal terbilang sangat manis. Apalag

i bila tersenyum. Sarjana ekonomi dan aktivis LSM. Kurang apa? "Terus teranglah, Zal. Sebenarnya cewek seperti apa sih yang kau idamkan?" tany a Andik menggoda, saat mereka berkumpul di rumah Pak Aryo yang biasa dijadikan t empat mangkal para aktivis LSM kelompoknya Rizal itu. "Kalau tahu maumu, kita ka n bisa membantu, paling tidak memberikan informasi-informasi. "Iya, Zal," timpal Budi, "kalau kau cari yang cantik, adikku punya kawan cantik sekali. Mau kukenalkan? Jangan banyak pertimbanganlah! Dengar-dengar kiamat sud ah dekat lho, Zal." "Mungkin dia cari cewek yang hafal Quran ya, Zal?!" celetuk Eko sambil ngakak. "Wah kalau iya, kau mesti meminta jasa ustadz kita, Kang Ali ini. Dia pasti memp unyai banyak kenalan santri-santri perempuan, termasuk yang hafizhah." "Apa ada ustadz yang rela menyerahkan anaknya yang hafizhah kepada bujang lapuk yang nggak bisa ngaji seperti Rizal ini?" tukas Edy mengomentari. "Tenang saja, Zal!" ujar Kang Ali, "kalau kau sudah berminat, tinggal bilang sa ja padaku." "Jangan-jangan kamu impoten ya, Zal?" tiba-tiba Yopi yang baru beberapa bulan k awin ikut meledek. Rizal meninju lengan Yopi, tapi tidak mengatakan apa-apa. Han ya tersenyum kecut. "Tidak sumbut dengan tampilannmu," celetuk Pak Aryo ikut nimbrung sehabis menye ruput kopinya. "Tampang boleh, sudah punya penghasilan lumayan, sarjana lagi; sa ma cewek kok takut! Aku carikan bagaimana?" "Jawab dong, Zal!" kata Bu Aryo yang muncul menghidangkan pisang goreng dan kac ang rebus, mencoba menyemangati Rizal yang tak berkutik dikerubut kawan-kawannya . "Biar saja, Bu," jawab Rizal pendek tanpa nada kesal. "Kalau capek kan berhenti sendiri." Memang Rizal orangnya baik. Setiap kali diledek dan digoda kawan-kawannya soal kawin begitu, dia tidak pernah marah. Bahkan diam-diam dia bersyukur kawan-kawan nya memperhatikan dirinya. Dan bukannya dia tidak pernah berpikir untuk mengakhi ri masa lajangnya; takut pun tidak. Dia pernah mendengar sabda Nabi yang menganj urkan agar apabila mempunyai sesuatu hajat yang masih baru rencana jangan disiar -siarkan. Sudah sering --sampai bosan-- Rizal menyatakan keyakinannya bahwa jodo h akan datang sendiri, tidak perlu dicari. Dicari ke mana-mana pun, jika bukan j odoh pasti tidak akan terwujud. Jodoh seperti halnya rezeki. Mengapa orang bersu sah-payah memburu rezeki, kalau rezeki itu sudah ditentukan pembagiannya dari At as. Harta yang sudah di tangan seseorang pun kalau bukan rezekinya akan lepas. D ia pernah membaca dalam buku "Hikam"-nya Syeikh Ibn Athaillah As-Sakandarany sebu ah ungkapan yang menarik, "Kesungguhanmu dalam memperjuangankan sesuatu yang sud ah dijamin untukmu dan kesambalewaanmu dalam hal yang dituntut darimu, membuktik an padamnya mata-hati dari dirimu." Setiap teringat ungkapan itu, Rizal merasa seolah-olah disindir oleh tokoh sufi dari Iskandariah itu. Diakuinya dirinya selama ini sibuk --kadang-kadang hingga berkelahi dengan kawan-- mengejar rezeki, sesuatu yang sebetulnya sudah dijamin Tuhan untuknya. Sementara dia sambalewa dalam berusaha untuk berlaku lurus menj adi manusia yang baik, sesuatu yang dituntut Tuhan. "Suatu ketika mereka akan tahu juga," katanya dalam hati.

*** Syahdan, pada suatu hari, ketika kelompok Rizal berkumpul di rumah Pak Aryo sep erti biasanya, Kang Ali bercerita panjang lebar tentang seorang "pintar" yang ba ru saja ia kunjungi. Kang Ali memang mempunyai kesukaan mengunjungi orang-orang yang didengarnya sebagai orang pintar; apakah orang itu itu kiai, tabib, paranor mal, dukun, atau yang lain. "Aku ingin tahu," katanya menjelaskan tentang kesuka annya itu, "apakah mereka itu memang mempunyai keahlian seperti yang aku dengar, atau hanya karena pintar-pintar mereka membohongi masyarakat sebagaimana juga t erjadi di dunia politik." Karena kesukaannya inilah, oleh kawan-kawannya Kang Al i dijuluki pakar "orang pintar". "Meskipun belum tua benar, orang-orang memanggilnya mbah. Mbah Hambali. Orangny a nyentrik. Kadang-kadang menemui tamu ote-ote, tanpa memakai baju. Kadang-kadan g dines pakai jas segala. Tamunya luar biasa; datang dari segala penjuru tanah a ir. Mulai dari tukang becak hingga menteri. Bahkan menurut penuturan orang-orang dekatnya, presiden pernah mengundangnya ke istana. Bermacam-macam keperluan par a tamu itu; mulai dari orang sakit yang ingin sembuh, pejabat yang ingin naik pa ngkat, pengusaha pailit yang ingin lepas dari lilitan utang, hingga caleg nomor urut sepatu yang ingin jadi. Dan kata orang-orang yang pernah datang ke Mbah Ham bali, doa beliau memang mujarab. Sebagian di antara mereka malah percaya bahwa b eliau waskita, tahu sebelum winarah." Pendek kata, menurut Kang Ali, Mbah Hambali ini memang lain. Dibanding orang-or ang "pintar" yang pernah ia kunjungi, mbah yang satu ini termasuk yang paling me yakinkan kemampuannya. "Nah, kalau kalian berminat," kata Kang Ali akhirnya, "aku siap mengantar." "Wah, ide bagus ini," sahut Pak Aryo sambil merangkul Rizal. "Kita bisa minta t olong atau minimal minta petunjuk tentang jejaka kasep kita ini. Siapa tahu jodo hnya memang melalui Mbah Hambali itu." "Setujuuu!" sambut kawan-kawan yang lain penuh semangat seperti teriakan para w akil rakyat di gedung parlemen. Hanya Rizal sendiri yang, seperti biasa, hanya d iam saja; sambil senyum-senyum kecut. Sama sekali tak ada tanda-tanda dia kebera tan. Apakah sikapnya itu karena dia menghargai perhatian kawan-kawannya dan tak mau mengecewakan mereka, atau sebenarnya dia pun setuju tapi malu, atau sebab la in, tentu saja hanya Rizal yang tahu. Tapi ketika mereka memintanya untuk meneta pkan waktu, dia tampak tidak ragu-ragu menyebutkan hari dan tanggal; meski seand ainya yang lain yang menyebutkannya, semuanya juga akan menyetujuinya, karena ha ri dan tanggal itu merupakan waktu prei mereka semua. *** Begitulah. Pagi-pagi pada hari tanggal yang ditentukan, dipimpin Kang Ali, mere ka beramai-ramai mengunjungi Mbah Hambali. Ternyata benar seperti cerita Kang Al i, tamu Mbah Hambali memang luar biasa banyaknya. Pekarangan rumahnya yang luas penuh dengan kendaraan. Dari berbagai plat nomor mobil, orang tahu bahwa mereka yang berkunjung datang dari berbagai daerah. Rumahnya yang besar dan kuno hampir seluruh ruangnya merupakan ruang tamu. Berbagai ragam kursi, dari kayu antik hi ngga sofa model kota, diatur membentuk huruf U, menghadap dipan beralaskan kasur tipis di mana Mbah Hambali duduk menerima tamu-tamunya. Di dipan itu pula konon si mbah tidur. Persis di depannya, ada tiga kursi diduduki mereka yang mendapat giliran matur. Ternyata juga benar seperti cerita Kang Ali, Mbah Hambali memang nyentrik. Agak deg-degan juga rombongan Rizal cs melihat bagaimana "orang pintar" itu memperla kukan tamu-tamunya. Ada tamu yang baru maju ke depan, langsung dibentak dan dius

ir. Ada tamu yang disuruh mendekat, seperti hendak dibisiki tapi tiba-tiba "Au!" si tamu digigit telinganya. Ada tamu yang diberi uang tanpa hitungan, tapi ada juga yang dimintai uang dalam jumlah tertentu. Giliran rombongan Rizal cs diisyarati disuruh menghadap. Kang Ali, Pak Aryo, da n Rizal sendiri yang maju. Belum lagi salah satu dari mereka angkat bicara, tiba -tiba Mbah Hambali bangkit turun dari dipannya, menghampiri Rizal. "Pengumuman! Pengumuman!" teriaknya sambil menepuk-nepuk pundak Rizal yang gemetaran. "Kenalk an ini calon menantu saya! Sarjana ekonomi, tapi nyufi!" Kemudian katanya sambil mengacak-acak rambut Rizal yang disisir rapi, "Sesuai yang tersurat, kata sudah diucapkan, disaksikan malaikat, jin, dan manusia. Apakah kau akan menerima atau menolak takdirmu ini?" "Ya, Mbah!" jawab Rizal mantap. "Ya bagaimana? Jadi maksudmu kau menerima anakku sebagai istrimu?" "Ya, menerima Mbah!" sahut Rizal tegas. "Ucapkan sekali lagi yang lebih tegas!" "Saya menerima, Mbah!" "Alhamdulillah! Sudah, kamu dan rombonganmu boleh pulang. Beritahukan keluargam u besok lusa suruh datang kemari untuk membicarakan kapan akad nikah dan walimah nya!" Di mobil ketika pulang, Rizal pun dikeroyok kawan-kawannya. "Lho, kamu ini bagaimana, Zal?" kata Pak Aryo penasaran. "Tadi kamu kok ya ya s aja, seperti tidak kau pikir." "Kau putus asa ya?" timpal Budi. "Atau jengkel diledek terus sebagai bujang lap uk, lalu kau mengambil keputusan asal-asalan begitu?" "Ya kalau anak Mbah Hambali cantik," komentar Yopi, "kalau pincang atau bopeng, misalnya, bagaimana?" "Pernyataanmu tadi disaksikan orang banyak lho," kata Eko mengingatkan. "Lagi p ula kalau kau ingkar, kau bisa kualat Mbah Hambali nanti!" "Jangan-jangan kau diguna-gunain Mbah Hambali, Zal!" kata Andik khawatir. Seperti biasa, Rizal hanya diam sambil senyum-senyum. Kali ini tidak seperti bi asa, Kang Ali juga diam saja sambil senyum-senyum penuh arti. *** Rembang, 2004 Orang Bernomor Punggung Cerpen: Azhari Sumber: Jawa Pos,Edisi 04/18/2004 Dua puluh satu kali ia sudah memalingkan wajahnya ke belakang. 21 kali pula ia lihat ada barisan raya yang mengejarnya. Dalam lari, dalam dengus nafas yang mem

berat ia merasakan barisan raya itu kian merapat, tinggal setombak, lalu sedepa, dengan semena menyentakkan ujung bajunya. Merebahkannya. Meringkusnya. Ia terus berlari. Lewat lubang telinganya yang menyesak ia dengar raung yang me nghasut. Lewat pincing matanya ia lihat puluhan anak panah, bukan puluhan, ratus an anak panah menyongsongnya dari belakang. Juga beliung, kapak, dan tombak. Ia bungkukkan badannya serupa babi menyuruk, ia berlari sambil menyujudkan badannya . Menghindari segala serbuan. Ia berlari menyibak perdu, melompati sungai, menerabas segala rimba, menjauh da ri barisan raya yang tambah menyungkup, tambah mendekat. Ia terus berlari. * * * Ia alit. Tapi badannya tegap. Pun hitam legam. Seluruh badannya dipenuhi bintik -bintik bekas terserang sesuatu yang kelak kita menamakannya sebagai cacar. Ia datang ke kampung itu tiba-tiba. Ia datang seperti wabah yang tak hendak kem bali. Ia ditemukan oleh para pencari rotan tersungkur di antara pematang tinggi yang mengapit dua ngarai. Ia sepertinya habis menaiki ngarai yang memang curam i tu dengan susah-payah. Orang itu sekarat. Matanya yang tertutup bagai menyerapah i maut kenapa tak segera menghampirinya. Kalau kau sibak sedikit saja kelopak ya ng tertutup itu kau akan melihat ketakutan yang luar biasa di sana. Seluruh tubu hnya dicabik onak hutan. Lalu para pencari rotan mengusungnya ke balai kampung. Orang kampung merawatnya . Menyembur seluruh tubuhnya dengan air sirih. "Ia kepergok Pook," kata sang penyembur sirih. Pook adalah roh pemilik hutan. P ara wanita yang menyaksikan kejadian itu menyungkup bayi-bayi mereka di kebusung an dadanya, mengucapkan lafaz penolak-bala agar bayi-bayi mereka tak terkena. Da n mereka meninggalkan tempat di mana orang itu dilentangkan --pada sebuah balai dari bambu-- sambil menggiring kanak-kanak. Sebelas hari lamanya ia dalam perawatan. Sampai kemudian ia dinyatakan bugar ke mbali. "Wahai anak muda. Sekarang kau telah bugar. Kami telah menjalankan kewaji ban menolong sesama manusia. Nah, sekarang kau boleh pergi," begitu kata tetua k ampung setelah kesembuhannya. Ia tak menjawab. Selama sebelas hari ia memang tak berbicara sepatah kata. Cuma mengangguk. Cuma menggeleng. Ia ketakutan luar biasa. "Ia bisu!?" seru seseorang di tengah kerumunan. Ihwal sesuatu orang kampung mem utuskannya di tempat terbuka dan diketahui khalayak. "Tidak. Ia tidak bisu. Cuma ketakutan. Ia masih membayangi Pook," kata tetua ka mpung. "Baiklah anak muda. Waktumu sebulan. Untuk sementara kau tinggal di rumahku. Se telahnya kau boleh pergi. Terserah. Atau kau mau menetap tinggal di kampung ini. Maksudku, tidak di dalam kampung. Di luar kampung kau boleh bangun rumah jauh d ari pemukiman kami. Di batas kampung dengan hutan. Aku harus arif, banyak orang kampung masih gentar dengan kehadiranmu, mereka takut Pook mendatangi kediaman m ereka karena mencium bau kau di tengah-tengah kampung. Dan itu tentunya menimbul kan masalah bagi mereka!" kata tetua kampung mengakhiri pertemuan itu. Begitulah orang itu tidak pergi, tapi memilih membangun rumah di batas kampung dengan hutan. Ia membangun sebuah rumah kecil sendiri, dan menolak dengan halus

ketika orang kampung ramai-ramai menawarkan tenaga mereka. Ia mengatakan bahwa s elama ini orang kampung telah banyak menolongnya. Berbilang tahun ia tinggal di gubuk kecil batas antara kampung dan hutan. Ia su dah beristri pula. Ia persunting seorang gadis kampung. Untuk menghidupi keluarg anya ia menjadi pembelah kayu. Tiga hari sekali ia akan mengangkut kayu di dalam hutan. Menumpuknya di dekat perigi yang digalinya sendiri. Seminggu lamanya ia akan membelah gelondongan itu menjadi kayu-kayu kecil, disatukannya dalam ikatan -ikatan kecil sepelukan besarnya. Ia tidak membawanya ke pasar. Tapi orang-orang akan datang ke tempatnya untuk membelinya sebagai kayu bakar. Nah, selagi ia membelah kayu, orang-orang yang datang membeli kayu bakar, tentu dilayani istrinya, dapat melihat tubuhnya yang kekal --ia tak memakai baju-- na ik-turun mengikuti irama belahan. Sungguh bukan tubuh kekarnya yang menarik hati . Tapi sebuah rajah yang seperti terpahat di punggungnya --sedikit di bawah kudu k-- yang membuat orang-orang takjub. Rajah itu berbentuk 81. Sedalam setengah se nti. Ia akan terkekeh kalau ada orang yang menanyakan perihal rajah itu (tapi se benarnya ia tak dapat menyembunyikan ketakutan yang terkubur di kedalaman matany a setiap orang menanyakan ihwal itu). Maka dari itulah orang-orang menyebut dia sebagai si Bernomor Punggung. Atau Orang Bernomor Punggung. Ia seorang yang lata. Keluarga si Bernomor Punggung nyaris tak memiliki persoal an tetek-bengek dengan para tetangga yang memang rumah mereka berjauhan. Bukan p ula dia tak terlibat dengan pelbagai kegiatan di kampung. Banyak hal yang telah disumbangkannya kepada kampung. Awalnya orang kampung itu tak mengenal sumur. Ka rena kebiasaan mereka menciduk air yang melarung dari gunung membentuk batang su ngai yang membelah kampung mereka. Jernih nian dan melimpah airnya. Tapi jika mu sim kemarau tiba batang sungai itu akan kering. Dan orang-orang kampung akan men gangkutnya naik-turun sepikulan bambu dari gunung yang berdepa-depa jauhnya. Dip erkenalkannya sumur. Digalinya dalam-dalam tanah tandus itu sehingga air jernih menyembur. Diperkenalkannya pula timba dari pelepah pinang yang kedua sisinya di jahit dengan rotan. Tak masalah pula jika ada seorang-dua yang tak membayar kayu bakar yang dibelah nya. Ia tak akan mengungkit-cungkilnya. Ia akan mengikhlaskannya. Tak menganggap nya sebagai piutang. Sungguh ia seorang yang lata. Dengan riang si Bernomor Pung gung akan mengangkut kembali bergelondongan kayu karunia hutan, membelahnya sehi ngga menampakkan rajah 81 yang menceruk setengah senti di punggungnya, mengikatikatnya sepelukan besarnya. Kanak-kanak berkarib baik dengannya. Kadang, jika musim buah-buahan hutan ia ak an membawa serta beranting-ranting buah bersama gelondongan kayu. Dibagikannya k epada para karib kecilnya. Pun kanak-kanak itu dibuatkannya mainan dari sisa bel ahan yang terlampau bagus kalau sekadar dijadikan kayu pembakar. Kanak-kanak men yebutnya Pook yang baik. Ada beberapa kanak-kanak yang meminta kesediaannya agar diizinkan membenam jari kecil mereka di kedalaman rajah 81 di punggungnya. Deng an senang hati ia akan membungkukkan badannya dan kanak-kanak itu berbaris denga n tak sabar menunggu giliran. Ketika ada jari kecil yang melayari kedalaman raja h di punggungnya ia akan menggeliatkan badannya. Terbahak. Merasakan kegelian ya ng tak terperikan. Dan orang-orang kampung masih saja tetap menganggap si Bernomor Punggung sebaga i sesuatu yang didatangkan dengan tiba-tiba. Semacam Pook yang baik yang diturun kan khusus untuk membuatkan mereka perigi dan menyenangkan hati kanak-kanak mere ka. Tak jadi persoalan bagi si Bernomor Punggung orang-orang kampung ingin mengangg apnya sebagai apa. Bukankah hidupnya sungguh bahagia? Apalagi tatkala ia mengeta

hui istrinya tengah mengandung. Aha, si Bernomor Punggung akan beroleh keturunan . Membuat si Bernomor Punggung semakin giat bekerja. Hingga pada suatu masa. Beberapa orang kampung tersungkur. Bukan beberapa tapi semua orang kampung. Kecuali si Bernomor Punggung. Berhari-hari dalam panas dan gatal tak terperikan. Badan mereka dipenuhi bilur-bilur yang menggelembung. Mele tup --menyembur cairan. Bilur-bilur yang tak terpulihkan dengan semburan sirih. Mereka terkena sejenis wabah yang kelak kita menamakannya cacar. Bukan wabah yan g mengerikan memang. Si Bernomor Punggung tak mempan. Entah mengapa tak ada yang dapat menjelaskannya, juga si Bernomor Punggung. Orang-orang kampung takjub sek aligus kagum melihat si Bernomor Punggung tak apa-apa. "Terang saja punggungnya berjimat." "Ia Pook!" "Siapkan pembakaran. Ia titisan wabah," perintah tetua kampung. "Ia harus dibakar," seru yang lainnya. Orang kampung bersegera menyiapkan upacara tolak bala. Si Bernomor Punggung har us dibakar hidup-hidup. Juga rumah dan isinya. Berat memang bagi orang kampung m engingat kebaikan hati si Bernomor Punggung, tapi adat harus dijalankan. Dengan itulah mereka berharap kampung dapat diselamatkan dari wabah. Dan sungguh si Bernomor Punggung menerimanya dengan ikhlas. Ia tak mengerti ken apa ia harus dibakar. Sama seperti orang kampung tak mengerti kenapa ia tak terk ena wabah, dan berajah 81. Dengan kapak di tangan, si Bernomor Punggung duduk di ruang tamu menunggu api yang berjilat-jilat membakar tubuhnya. Perihal rajah si Bernomor Punggung membawanya sampai ajal. Sampai daging tubuhnya berderik, tula ng-tulangnya mengertap dipanggang api. Prosesi banal itu dijalankan hampir malam. Masing-masing orang kampung memegang satu suluh, suluh dari buluh yang ujungnya disumpal dengan daun kelapa kering. Melingkar mengepung rumah. Sebuah suluh dilemparkan ke atap rumah pada pusingan pertama. Sebuah lagi pada pusingan kedua. Atap memerah. Diikuti dinding. Suluh-s uluh dilemparkan pada pusingan berikutnya. Api mengerucut. Menderitkan kayu-kayu sanggaan yang patah. Orang-orang memberai dari lingkaran. Menanap dari jauh. Ba yang api menari-nari di permukaan pipi setiap orang. Terdengar sayup isak istri si Bernomor Punggung dengan suluh di tangan yang urung dilemparkan. Seorang boca h memegang erat sebelah tangannya yang lain. Seorang bocah dengan manik mata mem erah menyaksikan tumpukan api. Pun kanak-kanak lain dengan manik mata memerah me nyaksikan liuk api. 21 kali ia dengar sayup isakan itu. Dalam api, dalam dengus yang memberat ia me rasakan panas kian mendekat. Menyengat segala bulu dan kulit. Ia masih merasakan harum dagingnya yang terbakar. Ia merasakan ketakutan itu kembali. Ketakutan sa at diburu barisan raya yang mengejarnya. Mengejar buron kerajaan dengan nomor pu nggung 81. Panas tambah menyungkup. Tambah merapat. *** Nokturno Cerpen: Aris Kurniawan Sumber: Jawa Pos,Edisi 04/11/2004 Setelah menghunjamkan belati ke jantung laki-laki itu menatap dengan mata koson g saat dia mengerjat meregang nyawa, perempuan itu menyeret dan membuang mayatny

a begitu saja ke dalam semak-semak belakang rumah. Beberapa saat ia menatap tubu h kaku itu tersungkur memeluk belukar. Tubuh yang semalam lalu masih memberinya kehangatan. Perempuan itu kemudian buru-buru melucuti seluruh pakaiannya setelah mengepel ceceran darah di lantai, lantas mandi merendam tubuhnya dengan air han gat dalam bathtub. Hujan masih rintik-rintik menimpa genting dan daun-daun, suar anya terdengar bagai orkes malam yang menggores perasaan. Ia menikmatinya sambil meresapi sensasi kehangatan yang menjalari saraf-saraf sekujur tubuhnya sampai merem melek. Kini ia telah berpakaian rapi. Bibir mungilnya dipoles lipstik warna merah jamb u.Warna yang cocok untuk menyembunyikan kegugupan sekaligus kebuasan. Ia terseny um sendiri di depan cermin, berusaha meyakinkan diri bahwa perasaannya tetap ten ang. Di luar malam begitu hitam pekat. Angin basah berkesiur menggebrak jendela. Perempuan itu seperti tidak juga merasa yakin bahwa perasaannya tetap tenang. D i cermin ia menatap wajahnya yang pucat perlahan menegang, kerut merut kulit waj ahnya makin mengeras. Wajah yang memperlihatkan bermacam keinginan yang tak pern ah tuntas. Ia seperti melihat penggalan-penggalan peristiwa dengan banyak cerita yang kadang terlalu sulit dimengerti. Perempuan itu lantas menghembuskan nafas dengan berat, seakan ingin menghempaskan semua yang telah dilakukannya. Apakah s ebenarnya yang aku inginkan dari semua yang sedang terjadi? Wajah yang menyeringai menahan kesakitan luar biasa itu beberapa lama bagai nem pel di pelupuk matanya. Ketika ia menatap wajahnya di cermin yang nampak adalah wajah kesakitan itu. Tapi perempuan itu terus menatapnya dan mencari-cari wajahn ya sendiri di balik wajah yang menyeringai itu. Ia terbiasa untuk selalu berpiki r rasional. Ia sudah terlatih untuk tidak sentimentil. Ia sudah piawai bagaimana menekan perasaan-perasaan kewanitaannya. Apa saja yang sudah kulakukan untuk hidup yang runyam ini? Tiba-tiba pertanyaan itu memercik dalam kepalanyanya. Percikan yang semakin lama terasa semakin besa r dan membuat kepalanya berdenyut nyeri. Ya, hidup macam apa yang tengah kujalan ai ini? Apakah ada artinya untuk hidup itu sendiri? Perempuan itu menatap langit seperti mencari jawaban di sana. Tetapi langit masih saja kelam dan hampir tak menyisakan harapan. Ia mendesah. Masih mengiang ucapan laki-laki itu entah beber apa malam yang silam. "Dasar pelacur. Pergilah sesukamu dan jangan pernah kembali?" Ia merasa heran kenapa laki-laki itu merasa punya hak untuk mengatur hidupnya h anya karena dia telah menikahinya. Pernikahan yang dulu disangkanya akan dapat m emberikan perlindungan bagi kebebasannya justru telah menjeratnya dalam sangkar yang penuh aturan. Untuk apa lembaga pernikahan itu? Apakah ia diciptakan memang untuk mengekang kebebasan seseorang? "Siapakah yang salah?" batin perempuan itu mendesah. Ia menaikkan krah sweatern ya lebih tinggi. Rambutnya yang keriting panjang dan sedikit pirang dia ikat ke belakang. Lantas menyalakan rokok, menyedot dan menghembuskan asapnya kuat-kuat. Betapa enaknya hidup ini bila kesulitan dapat dihembuskan semudah menghembuskan asap rokok, lamunnya. Dulu sebelum laki-laki itu menikahinya dia sudah mengajukan beberapa persyarata n. Laki-laki itu sepakat. Kata suaminya pernikahan bukan untuk menyatukan dua pr ibadi yang memang tak pernah sama. "Pernikahan adalah cuma sebuah sarana di mana orang harus punya komitmen untuk saling memahami, saling mengerti, saling menghargai. Tidak ada yang lebih berkua sa dan dikuasai di antara dua orang yang terikat dalam pernikahan. Kedua belah p ihak memiliki hak yang sama dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama. "

Di luar angin tak bersuara. Ia seperti bergerak mengendap dan berjingkat hendak meninggalkan malam yang bimbang. Perempuan itu bangkit dan menutup tirai jendel a. Jam menunjuk angka dua. Sama sekali ia tidak mengantuk. Tiap malam ia hampir selalu begadang, membaca, menggunting tulisan-tulisan koran untuk dokumentasi, m enulis novel, puisi, diskusi, cekikikan bersama teman-temannya yang juga sebenar nya teman-teman suaminya. Begitulah cara ia memberi makna pada hidup. Sebuah car a yang membuatnya bergairah memandang kehidupan yang terentang di hadapannya. Apakah selama ini aku telah salah memaknai hidup? Benar dan salah, di manakah b atasnya? Betapa ruwetnya hidup ini bila harus selalu dibatasi dengan benar dan s alah. Astaga, sialan betul hidup kalau begitu. Dua malam lalu dia baru saja menyelesaikan sebuah novelnya. Mengundang beberapa temannya untuk mendiskusikan di sebuah kafe. Menelepon pers untuk meliputnya. A cara itu berlangsung cukup meriah. Dia merasa bahagia. Merasa hidupnya tidak sia -sia. Sebaliknya laki-laki itu menganggapnya keterlaluan. Semaunya sendiri. Dan menuduhnya telah mengabaikan tugasnya sebagai perempuan, sebagai istri. "Kamu telah melanggar hakku sebagai suami," kata suaminya. "Dan kamu tidak melanggar hakku sebagai perempuan?!" balasnya sengit. Aku meman g perempuan tapi aku juga punya hak menentukan pilihan hidupku, pikirnya. Kenapa hanya karena perkawinan seorang perempuan harus membatasi diri? Tidakkah itu pe nindasan terhadap hak asasi? Apa yang membedakan perempuan dan laki-laki sehingg a mereka harus dibeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin dalam pekerjaan, peran s osial, dan norma-norma yang tidak jelas hubungannya itu. Apa memang harus begitu ? Siapa yang mengharuskan? Dari dulu sebenarnya dia bertekad untuk tidak menikah. Baginya menikah sama saj a dengan menyerahkan kebebasannya pada aturan-aturan yang tidak rasional dan dis kriminatif. Dia sudah banyak menulis cerpen, esai, maupun novel untuk menuangkan gagasan-gagasannya. Dia ingin setia dengan tulisan-tulisannya. Dia membenci seb agian teman-temannya yang cuma bisa menulis sementara dalam kehidupan sehari-har i mereka menyerah dan hampir tidak ada usaha apa pun untuk merombak keadaan yang dikecamnya sendiri. Di matanya mereka tak lebih dari pembual-pembual nomor satu . Tidak punya komitmen dan cuma menjual kebohongan-kebohongan untuk menunjang hi dupnya. Ya, dia melihat satu per satu teman-temannya menikah dan meninggalkannya . "Ya menikah dan berbahagialah kalian bersama keluarga." Dia tidak percaya bahwa pernikahan sebagai satu-satunya cara menjalani kehidupa n untuk bahagia. Namun begitulah, dia juga tidak percaya kenapa kemudian dirinya harus menikah. Semuanya seperti begitu saja berlangsung. Begitu cepat, begitu t ak terkendali. Sampai tiba-tiba dia mendapati dirinya sebagai ibu rumah tangga y ang harus tunduk pada sejumah aturan. Harus bangun pagi-pagi, menyiapkan sarapan untuk suami, meracik kopi, mencuci, belanja ke pasar, tawar-menawar dengan penj ual sayuran, menyapu halaman mengepel lantai, menyiram tanaman, bila malam melay ani suami di ranjang. Wejangan-wejangan, nasihat-nasihat? "Perempuan itu harus pintar masak. Harus pandai dandan, menjaga badan. Tidak bo leh bangun, kesiangan, tidak boleh pergi sendirian, tidak boleh urakan, tidak bo leh melawan tidak boleh?" Untuk beberapa bulan ia berusaha mengikuti kebiasaan yang sudah berjalan. Belaj ar menikmati perannya sebagai perempuan setia meskipun dalam benaknya tak pernah percaya dengan ide semacam itu. Menganggapnya lucu. Akhirnya ia memang tidak ta han menahan-nahan kemelut dalam benaknya sendiri. Perempuan itu menghempaskan tubuhnya ke sofa, memandang langit-langit. Di sana

ia seakan mencari jalan hidup mana yang harus ditempuhnya. Tapi semuanya seakan menggelap dan sukar ditebak. Ia bangkit lagi. Malam kian larut melantunkan kesun yian yang akut. Hujan sudah selesai. Suara katak yang berirama di luar terdengar sangat merdu bagai datang masa lalu. Perempuan itu tiba-tiba tersenyum, ada semacam kecemasan menggelikan yang tibatiba menyergapnya. Hidup memang penuh jebakan, batinnya. Siapakah yang telah mem asang jebakan-jebakan itu? Tidakkah manusia merasa dijebak? Perempuan itu bangki t, lalu berjalan hilir mudik di tengah ruangan yang seakan bungkam dan tak mau k omentar apa-apa. Biasanya ruangan ini selalu melontarkan komentar-komentar tenta ng penghuninya. Benda-benda pun kadang memperhatikan dan mengomentari tindakan m anusia. Cara mereka merespons itulah yang tidak setiap orang merasakannya. Pada masa remaja ia pernah pacaran dengan beberapa laki-laki. Ia heran, setiap laki-laki selalu menuntut kesetiaan. Sementara ia merasa setiap orang tidak haru s setia pada seseorang. Setiap orang tidak punya hak menuntut orang lain untuk s etia pada seseorang. Setiap orang lahir untuk meraih kemerdekaanya masing-masing . "Apa hakmu memintaku setia? Aku ini orang merdeka." Begitu selalu kredonya. Terdengar ayam jantan berkokok. Nampaknya hari menjelang subuh. Perempuan itu s eperti baru tersadar dari tidur, dia tergeragap dan melangkah cepat-cepat masuk kamar. Ia telah menyiapkan tas besar dan memasukkan beberapa potong pakaian, buk u-buku serta peralatan kecantikan. Lantas dengan sigap mengenakan sepatu ketsnya yang berwarna putih. "Aku harus pergi," ucapnya pada diri sendiri. Dia bersiap meninggalkan rumah itu tepat ketika azan Subuh melengking dari sebu ah musala tua satu-satunya di kompleks perumahan itu. Namun hatinya kembali goya h. Ia memandang rumah itu dengan perasaan kosong yang sulit dijelaskan seperti a pa. Diam-diam penyesalan dan rasa salah menyelinap di benaknya. Makin lama makin membesar. Perasaan yang baru kali itu dialaminya. Lantas ragu harus pergi ke ma na. Lantas ia merasa semuanya tak berguna. Lantas meraih belati yang tadi diguna kan untuk membunuh suaminya, menggegamnya erat-erat dengan kedua belah tangannya , lantas diangkatnya tinggi-tinggi dan diayunkannya dengan mantap ke dadanya? ** * Tangerang, 2004 Watu Ntanda Rahi Cerpen: Raudal Tanjung Banua Sumber: Jawa Pos,Edisi 03/28/2004 SEPANJANG kisah yang kutahu, entah mengapa, perempuan --makhluk Tuhan yang lemb ut itu-- selalu saja berhadapan dengan batu --benda Tuhan yang keras. Kau pasti ingat kisah seorang perempuan tua yang menunggu anaknya pulang dari rantau. Dan penantian panjang itu berakhir getir: si anak terkutuk menjadi batu! Kau menyebu t namanya berulang-ulang: Malin Kundang! Malin Kundang! Tapi tidak nama ibunya. Ibunya tidak bernama, kecuali Perempuan Tua yang malang. Perempuan yang menjadi bagian dari kerasnya batu penantian. Ingatlah pula kisah Sangkuriang dan Dayang Sumbi (di sini, perempuan memiliki n ama). Tapi, apakah bedanya? Tangkuban Perahu, buah percintaan terlarang itu, buk ankah juga tersusun atas batu-batu? Menjadi lambang ingatan yang memperkukuh key akinanku tentang bersandingnya (atau bertanding?) antara kelembutan dan kekerasa n. Batu dan perempuan. Kemudian, ingatlah lagi cerita Watugunung. Dalam gugusan wiracarita itu, peremp

uan sebagai ibu tak jauh-jauh berjarak dengan segala sesuatu yang mengeras batu: alu-lesung, perahu oleng, kura-kura raksasa, dan si anak yang keras kepala.*) K epala batu! Ada pula cerita tentang candi yang selesai dibangun dalam semalam, buah pertaru han antara hasrat seorang lelaki --yang keras hati-- dan permintaan seorang pere mpuan berhati dingin. Kau mengenalnya: Prambanan --kulihat, ia tersusun batu-bat u, keras dan hitam, sisanya berserakan sepenuh altar. Kulihat juga Borobudur, te mpat di segala sudut tubuh perempuan terpahat menjadi ornamen, menjadi relief ya ng berkilauan diterpa sinar matahari. Apalagi? Yakini sajalah, bahwa perempuan d an batu tak mungkin terpisahkan, sejak dahulu, jauh sebelum kau lahir dan memaha mi kasih-sayang seorang ibu. Tanpa memahami kisah batu-batu, mustahil kau menger ti makna kelembutan ibumu sendiri. Jadi jangan sampai kau lalai, jika hidup hendak merasai! **) SETIDAKNYA, itulah yang kurasakan. Aku lalai memahami kisah sebuah batu di tana hku sendiri --di tanah ibu. Akibatnya, lama sekali aku baru mengerti arti penant ian seorang ibu. Jauh di Teluk Cempi. Ada apa dengan batu kampung halamanku? Walau alurnya berbeda, sebenarnya hakika tnya sama dengan kisah-kisah batu yang lain di bagian mana pun negeri ini. Di ta nah kelahiranku, di timur tanah air, di Pantai Daha dekat Teluk Cempi, terdapat batu "Watu Ntanda Rahi"; wujud batu seorang perempuan Dompu yang menunggu. Alkisah, ia menunggu laki-lakinya pulang dari berlayar. Tapi tak datang-datang. Sampai berbilang waktu: hari berganti hari, kemudian berubah pekan, pekan berke mas menjadi bulan, dan tahun demi tahun pun ranum, lalu gugur. Tanpa kalender, t ak tahu, entah pada tahun ke berapa tepatnya, perempuan itu menjelma batu, menge ras oleh air garam, tak tergerus ombak lautan. Mata nyalang menatap jauh, setaja m cakar maut elang laut atau mata berbinar seribu camar. Waktu tak bisa memadamk annya, bahkan waktu meminjam nyalanya yang bergelora bagai cahaya di tiang-tiang sekunar. Ya, perahu-perahu dan sekunar, yang datang dan pergi, tapi tak satu pun perahu yang dinanti. Maka batu itu menjadi lambang kesetiaan sejak itu. Tak seorang pun akan menolak, tak ada yang berkeras hati. Bahkan hati batu pun tidak. Tetapi aku, mengapa berontak? "PERGILAH engkau Wima, pergi sejauh yang kau kehendaki, cari dan tunaikanlah ke inginanmu, segala mimpi. Ibu akan menunggu sampai engkau kembali ," itulah kata ib uku dulu, ketika aku mengutarakan niat untuk melanjutkan sekolah ke Pulau Jawa. Sungguh tak terduga, ibuku yang sendiri ternyata ikhlas dan berbesar hati mengab ulkan permintaanku. Bila aku pergi, beliau hanya akan ditemani Bibi Suniah yang kutahu memang setia. Memang, masih ada pula pohon di ladang jauh tempat lebah be rsarang. Masih ada kuda di kandang untuk mengatasi masalah keuangan. Di Teluk Ce mpi kami punya dua perahu, diurus pamanku. Ayahku? Jangan sebut nama itu. Ia sudah lama pergi, bukan ke laut, tapi ke desa -desa di sebalik gunung kelabu, di antara padang parairi dan pohon-pohon besar t etesan madu. Berkendara kuda pejantan, ayahku memperturutkan hatinya mempersunti ng perawan. Dan ibuku tentu tidak pernah menunggunya, kecuali hanya menungguku s aja. Ya, begitulah akhirnya setelah aku pergi. Kutinggalkan kampungku di tepi Teluk Cempi, dan bila kubayangkan sekarang, apa bedanya dengan Teluk Rembang yang meng ingatkanku pada seorang perempuan karang? Kartini, sudah lama aku ingin menjadi batu sepertimu, batu karang yang menghadap keluasan laut. Cakrawala. Layar perah u. Bintang-bintang. Kutempa diriku dengan membangkitkan ingatan kepada ayah --da

n laki-laki lain di kampungku-- yang bersetia dengan adat-perangainya berkawin-c erai, menggoda perawan desa; dan setiap membayangkannya, hasratku bergelora untu k menamparnya! Di sebalik sikap para lelaki itu, kuingat pula tanah kelahiranku yang merana. J alan-jalannya yang kecil dan sempit, bagai setengah hati menjangkau desa-desa. K ami harus bertahan berhari-bermalam di atas pelana kuda, bila hendak bepergian k e daerah tujuan. Sementara di pantai, layar perahu banyak yang sobek, compang-ca mping penuh tambalan dan rumah-rumah bertiang kayu lapuk terlantar. Anak-anak be rtungkai kurus-panjang, berperut buncit cacingan, kurang vitamin dan gizi memang masih bersorak-sorai di pantai, tapi tidak untuk mengerti. Agak ke timur sediki t, di Flores, kusaksikan anak-anak biasa bermain di kubangan babi di antara caci ng-cacing dan kutu busuk. Aku pergi ingin mengubah segalanya, setidaknya begitul ah keras hatiku berkata, dulu. Sebutlah hati yang batu! SEMULA hati yang batu menjadi lambang keteguhan diriku dalam menempuh studi di sebuah universitas terkenal di Pulau Jawa. Jogja! Jogja yang memberi aku kisah-k isah tentang perempuan dan batu-batu. Kalau tidak dari buku, aku bisa mendapatka nnya dari perjalanan ke beberapa candi, dan sesekali dari menonton teater atau p ameran seni. Di kota ini pula, semula kurasakan betapa dahsyatnya ketika "dua batu" saling b eradu, saling bertemu. Aku dan lelakiku, Semberani. Ia empat tahun lebih muda da riku, tapi kekuatannya kadang melebihi diriku. Maka, lebih dari soal lingga dan yoni, pergulatan cinta kami adalah berbaurnya antara kelembutan dan kekerasan. K adang kami membicarakan keadaan dengan lembut dan hati-hati, seolah tak butuh se dikit pun tindakan keras dalam memperjuangkannya. Sebaliknya, kami bisa sangat l antang dan keras hati bila berbicara soal-soal politik, kesentausaan, dan kepemi mpinan, sesekali Ratu Adil, seolah tak butuh kesabaran sedikit pun untuk menyele saikannya lebih baik. Kekerasan hatiku dalam memandang soal-soal keadilan, membuatku tidak punya pili han yang lebih baik. Aku gampang meradang, membangun propaganda, menggerakkan ma ssa, dan turun ke jalan --kadang disertai batu-batu. Inilah yang kemudian membua t hari-hariku di Jogja tak konsen lagi di bangku kuliah. Yang membuatku sedikit berbesar hati adalah kenyataan bahwa Semberani juga dari timur. Namanya saja mengingatkan aku akan kuda perkasa dari Bima. Dan sangatlah menggembirakan karena Semberani memiliki visi yang sama dengan diriku. Sebagai orang timur yang sedang menimba ilmu, dan akan pulang mengabdi esok hari, hal in i sungguh berarti. Masih ada lelaki timur yang tidak seperti ayahku! Anggapan ya ng dulu menjadi landasan bagiku dalam menolak setiap lelaki kampung halaman. Ent ah berapa orang yang sudah berpatah hati karenanya. Nulah Marewo, oh, laki-laki pengembara itu pun tak luput dari penolakanku. Padahal, dibanding yang lain Nula h Marewo sudah termasuk yang terbaik, karena sebagai seorang pengembara ia tidak berkuda, yang di kampungku berarti: tidak berhasrat mencari perawan lain. Apa b oleh buat, aku tak terpikat. Dan hatiku justru terpikat Semberani. Namun di satu sisi, tak bisa kutipu kerag uan hati: seberapa kuatkah hati lelaki? Adakah ia sekuat hati perempuan yang sed ari awal memang selalu bersanding dengan kisah-kisah tentang batu? Adakah Sember ani sekukuh kuda Bima yang liar memutari padang-padang matahari? Ataukah hanya b agai segantang susu atau madu yang manis, tapi lantas leleh dan cair, mengaliri luka kita? Entahlah. Kesangsianku ini cukup beralasan. Sebab sebagai salah seorang lelaki yang masih kerabat dekat Sultan di kampung-halaman, Semberani hendak dijodohkan dengan gad is satu silsilah! Berkali-kali surat datang, mulai bernada lantang, merajuk, men ggoda, sampai menebar ancaman. Sejauh yang kutahu, Semberani bergeming. Ia masih milikku.

*** TAPI ternyata tidak untuk selamanya karena kesangsiankulah yang benar. Begitula h, ketika bala yang tak terencana datang menimpa. Aku ditangkap karena membakar poster bergambar presiden, dan karenanya aku dituduh menghina kepala negara. Sat u tahun penjara untukku, dua tahun untuk dua kawanku, Faiz dan Anas. O, tak tahu kah sang presiden betapa leluhur kami di timur dulu sangat bersahabat dengan aya hndanya yang dibuang ke Ende, tanah Flores? Aku hanya mengeluh dan tahu hukum me mang tak pandang bulu. Dua tahun aku terkurung. Semberani telah menjadi lelaki terburuk yang kutemui, melebihi ayahku. Dia semakin jarang menengokku, semakin enggan membawa cerita ta nah kelahiran. Aku tak punya pilihan lain, kecuali memperteguh kisah-kisah tenta ng batu dan perempuan. Itulah sebabnya, kuceritakan semua kepadamu, tentang batu -batu yang bersanding (atau bertanding?) menyusun dunia sendiri: dunia kisah! Ku masuki kisah-kisah itu, dan berharap menjadi bagian darinya, agar kau tahu bahwa aku telah merengkuhnya pula menjadi bagian hidupku. Terlebih ketika kudengar ka bar: Semberani telah menikah dengan Murai, perempuan satu silsilah yang memberin ya lebih banyak harapan, setidaknya kekayaan. Aku sedih dan kecewa, sakit hati d an merana, tapi untunglah kesangsianku dan kisah batu-batu itu cukup berguna; ak u telah bersiap karenanya. Kawan, hari-hari panjangku di penjara adalah hari-hari penuh kenangan dan rasa gelisah. Sudah lama aku tak berkabar kepada ibu, tepatnya semenjak aku menolak u ang hasil penjualan madu, atau hasil perahu. "Wima sudah bisa membiayai hidup se ndiri, Bu, meski seadanya, tapi cukuplah untuk kuliah." Itulah surat terakhirku kepada ibu entah berapa tahun lalu. Setelahnya, aku tak lagi membalas surat-sura t. Ah, surat tak berbalas, betapa getirnya! Tapi itulah yang telah kulakukan ter hadap ibuku sendiri, perempuan yang menunggu, di Teluk Cempi! Tapi, tahukah kau, Kawan? Seminggu yang lalu aku bebas, dan hal pertama yang ku lakukan adalah berlayar ke timur: ke tanah kelahiran! Baiklah, kuceritakan juga bagaimana akhirnya aku bertemu ibuku. Mula-mula aku d ituntun Bibi Suniah dengan aura kegaiban, seolah kepulanganku serupa hantu. Aku ke halaman belakang, di mana riak Teluk Cempi tenang-tenang bergelora. Di sana k ulihat sesosok orang duduk dalam kelam. "Ibu, Ibu " aku berseru. Lalu kupagut ia k ucumbu, meski tak sedikit pun ada balasan. Dingin. Sedingin angin laut yang mena mpar tengkukku. Tentu saja, Kawan, karena sesungguhnya, apa yang kupagut dan kucumbu itu, tiada lain sebongkah batu yang persis menyerupai ibuku! Wathu ntanda rahi! Batu perem puan yang menunggu! "Ibu, Ibu!" suaraku pecah terisak, tersedu pilu. Lalu kuseru Bibi Suniah yang tadi menuntunku tanpa suara, barangkali ia bisa bercerita, "Bi bi, Bibi!" Tapi tak ada jawaban. O, bahkan suara pun telah membatu di sini --unt uk sebuah kisah tentang ibuku sendiri! Juga tubuhku. Juga tubuhku ini, Kawan! Li hat, kakiku perlahan-lahan mengeras, mengeras, hingga pinggulku, hingga iga dan kedua susuku yang lancip, dan kini leherku, kepalaku, mulutku, mataku, lidahku! Kalau sudah begini, masih kau dengarkah gema suaraku, Kawan? Masihkah kau angga p aku membual? Sampai suatu ketika nanti, giliranmu sendiri menjadi batu karena kerasnya keadaan, karena menggumpalnya harapan, getirnya dendam dan bekunya janj i-janji keselamatan --tak terlunaskan! *** Catatan: *) Properti-properti ini merupakan bagian dari pementasan "Watugunung: Waktu-Ba tu --Kisah-kisah yang Bertemu di Ruang Tunggu" oleh Teater Garasi. Pementasan ya ng melelahkan itu, sebenarnya tidak lagi menyisakan ruang, termasuk "ruang tungg

u", karena waktu sangat masif di situ. **) Selarik kata sajak Chairil Anwar dalam "Diponegoro". /Rumahlebah Yogyakarta, 2003-2004 Terowongan di Dinding Cerpen: Beni Setia Sumber: Jawa Pos,Edisi 03/21/2004 Ahmad Sumargono menepi, merapat ke sandaran kursi di kanan, membiarkan rombonga n itu lewat. Meniupkan nafas sambil mengangkat tas dalam melangkah ke jajaran 10 C, nyaris di tengah gerbong. Tersenyum kepada lelaki yang duduk di pojok sambil mengisap rokok. "Maaf," kata Ahmad Sumargono. Mengangkat tas dan meletakkannya pada rak di atas meja kecil di depan si lelaki. Meletakkan botol air mineral, se telah mambuang tas kreseknya, di sisi botol minum si lelaki. Sesaat menggeliat s ebelum menghenyak ke kursi. Meloloskan kaki dari sepatu sandal lalu berselonjor ke kolong kursi di depannya. Sesaat ia akan mengeluhkan hawa panas ketika kipas angin di atas mendadak dinyalakan perempuan di kursi kanan. "Kalau sudah jalan biasanya sejuk," kata lelaki di sebelah. Ahmad Sumargono men giyakan dalam menyandar dan menerawang. Dari depan muncul rombongan mengikuti ku li yang mengangkat dua kopor sekaligus. Ahmad Sumargono perlahan mengambil rokok , basa-basi menawari, dan tidak begitu peduli pada reaksinya saat menyulut sebat ang. Tetapi lelaki di sampingnya lebih tidak peduli lagi. Ia membuat bundaran-bu ndaran cincin asap dari mulut yang dibuka membundar, seperti kanak yang baru bel ajar merokok. Meraih botol minum, melonggarkan tutup, meneguknya dengan memiring kannya cepat-cepat. Melirik singkat pada Ahmad Sumargono yang memenjam lelah --m enyerah. "Perjalanan yang tidak menyenangkan, ya?" katanya menyilang, usil. Ahma d Sumargono tersentak. Melirik dan langsung menatap lelaki yang tersenyum simpul dan tetap anteng di sampingnya. "Maaf .?" Lelaki itu tersenyum dan mengeleng-gelengkan kepalanya. Mengangkat kedu a tangannya dengan dua telapak menghadap ke atas di depan dadanya. Kemudian ia m enyilangkan telunjuk tangan kiri di depan mulut yang ditarik jadi garis tersenyu m itu. "Terus terang," katanya, "saya tahu persis kalau Bung itu mempunyai masal ah --lebih spesifiknya, masalah keuangan. Ya kan? Anak Bung di RS, sedang Bung s endiri terpaksa mau menerima PHK, dan bergegas ambil pesangon untuk menebus anak Bung yang di RS. Dan setelah itu tidak tahu lagi akan berbuat apa untuk hidup s etelah besok siang. Ya kan? Ya kan? Ya kan? (Lelaki itu tertawa lembut, Ahmad Su margono pelan menelan ludah. Merasakan kesedihan yang meruap hendak menyublim di kelompak mata). Tapi tenang saja." Ahmad Sumargono tersentak oleh suara berdehem di sisinya. Ia menengok, dan mene ngadah meneliti orang yang telah menyentakkannya dari pertemuan dengan lelaki be rwajah teduh. Setengah jengkel Ahmad Sumargono menarik kakinya yang diselonjorka n ke kolong kursi di depannya. Tersenyum kaku sambil mengangguk ketika si peremp uan menanyakan nomor kursinya. Mempersilahkan ke tepi jendela, ke nomor seperti tertera di tiket. Menghenyak meski dengan sudut matanya. Ahmad Sumargono mengint ip si perempuan mengeluarkan botol minum dari tas, sebungkus wafer coklat, dan k artu remi dari kantung samping tas. Menatanya di atas meja kecil yang cuma diisi satu botol minum. Melirik dan tersenyum. "Maaf," katanya sambil mengangkat tas. Ahmad Sumargono bangkit. Meraih dan mengangkat tas itu ke rak di atas kepala si perempuan. Menghenyakkannya.

"Terima kasih," kata si perempuan sambil tersenyum --sedang tangannya terus sib uk mengocok kartu-- dan matanya bundar dan jernih tajam menatap. Kemudian tangan kanannya menyodorkan tumpukan kartu itu kepada Ahmad Sumargono yang menatapnya heran, tak mengerti. "Ayolah .," katanya, "Ambillah tiga. Tiga!" Mereka bertatapan . Perempuan itu memejam. Meraih satu kartu di urutan paling atas dan meletakkann ya terbuka di atas paha Ahmad Sumargono. As Spade. Hitam. Lalu perempuan itu men gocok kartu lagi. Meraih kartu paling atas dari tumpukan, dan meletakkannya deng an tekanan di atas paha Ahmad Sumargono. As lagi. Heart. Merah. Ahmad Sumargono mengernyit siap akan bicara tapi perempuan itu pelan menggeleng-gelengkan kepala nya sambil tetap tersenyum dan sigap mengocok kartu remi itu. Menyorongkan kepad a Ahmad Sumargono, menyarankan untuk mengambil sendiri dengan tatapan dan senyum nya. "Ayo ," katanya. Dengan tangannya tumpukan kartu itu dibuka menjadi hamparan kipas yang diangsur kan ke hadapan Ahmad Sumargono. Dan lelaki itu perlahan mengulurkan tangan kanan nya, dengan telunjuknya ia mencari-cari pada tumpukan kartu. "Ini!" katanya, men arik kartu dari tumpukan yang mengembang ala kipas. Meletakkannya di dada, lalu lembut menariknya ke kepala lewat leher dan dagu. Tersentak ketika terpampang ka rtu ekstra --kartu bergambar Joker. Ahmad Sumargono tersentak. Ia melirik. Terhe ran-heran melihat si perempuan itu cuma tersenyum. "Memang harus begitu," katany a. Meraih kartu yang tiga, mencampurkan, dan mengocoknya --cepat sekali. Menekan di telapak dan membukanya dengan jempol dan kelingking hingga sehamparan kipas kartu terpampang di tangan kanan. Ahmad Sumargono memilih, secara acak, tiga kar tu. Menarik dan membukanya di atas paha. Kembali ketiga kartu itu balik lagi. As hitam Spade, As merah Heart, dan kartu Joker. Penyambungan loko ke rangkaian gerbong itu membuat sentakan kecil serta gerakan mundur sesaat. Ahmad Sumargono tersentak. Perempuan bulat telur dengan rambut s ebahu yang digerai sehingga corak rona Espana-nya kental itu buyar. Ia kembali s endiri. Duduk abai berselonjor --tanpa sepatu sandal--dengan kaki jauh ke kolong kursi di depannya. Menengok ke sisi kiri, ke jajaran rel dan beberapa rangkaian gerbong yang sebagian ada dalam terang petang dan lainnya tersuruk di dalam rem ang atap peron. Meraih botol minum, mencari-cari lokasi pemutus tutup segel sebe lum akhirnya asal menyobek, dan bisa memutuskan gigi pengunci antara tutup dan p enguat di lingkar bawah ulir mulut botol. Meneguknya dengan tegukan yang disusul dengan menahannya di dalam rongga mulut. "Kalau ini air es," pikir Ahmad Sumarg ono sambil memperhatikan orang-orang yang asyik pada kursi dan gang di depannya. Kemudian seorang tukang koran, dengan memakai rompi coklat gelap, merobek kesib ukan dengan teriakan dan sorongan koran sore. "Tombo ngantuk, Pak. Obat kantuk, Pak," katanya, setengah memaksa, dengan menyo dorkan Album Donald Bebek terbaru. Warnanya biru dengan gambar Donald Bebek kuni ng yang meringis dikelilingi Kwak, Kwik dan Kwek yang tidak ambil pusing, dan di latar belakang ada Untung Bebek yang juga meringis dan Paman Gober yang asyik m enghitung keping uang emas di atas tumpukan keping uang emas. Ahmad Sumargono me ngangkat tangan di sejajar dada, menolak. Penjaja itu menyorongkannya. "Lihat du lulah, Pak. Tidak akan menyesal. Ini episode istimewa. Lihat: Keberuntungan yang buntung. Bacalah dulu," katanya, membukakan halaman dengan menggoyangkannya den gan menjepit bagian muka di pangkal jempol dan dikunci kuat-kuat dengan empat ja ri pada sampul belakang yang tipis. Halaman depan itu membuka dan menampangkan d eretan gambar di dalam kilasan. Lantas secara aneh --menunjuk pada gerombolan si Berat yang tunggang langgang. "Ini bagian yang paling penting. Bacalah, Pak," katanya. Majalah bergambar itu dijatuhkan di paha Ahmad Sumargono, tepat pada episode gerombolan si Berat menco ba membobol gudang harta Paman Gober. Gagal karena dideteksi alat sensor keamana n. Tunggang langgang diburu para robot dan polisi yang langsung dikontak sistem alarm. Dan, ketika Ahmad Sumargono iseng membuka halaman berikutnya, Untung Bebe k terlihat melenggang. Berdiri bertolak pinggang di bagian belakang gudang harta

Paman Gober. Mengeluarkan spidol, yang dipakainya untuk membuat lingkaran di di nding. Dengan tangannya lingkaran itu didorong dan terbukalah sebuah pintu yang merupakan awal dari sebuah terowongan. Untung Bebek abai melangkah masuk, tersen tak ketika menarik pintu di ujung terowongan. Tumpukan harta Paman Gober. Untung Bebek pun meluncur dan bergulingan di atas tumpukan harta. Meraup dan mencurahk annya ke atas kepalanya. Melemparkannya sembarangan ke segala arah. Membalikkan topi dan meraih tumpukan berlian ke atas topi. Lalu menjejalkan sisanya ke segal a saku. Merayap ke terowongan. Hati-hati melangkah. Dan berteriak panik ketika l antai di kakinya ambrol. Dan halaman seterusnya menjadi hitam. Total diblok hita m. Tak ada majalah Album Donald Bebek di tangan, tak ada seorang pun di sisi kirin ya sehingga ia bisa merapat ke jendela dan menatap kota --sepotong dari jalur re l-- yang pelan-pelan ditinggalkan oleh kereta yang menderap langsam ke timur. La ntas gunung di kejauhan itu menjadi bayangan remang yang semakin kental dan kemu dian menghilang ke dalam hitam. Ahmad Sumargono meraih rokok dari saku baju, men gambil sebatang, dan membakar ujungnya dengan geretan bergambar tiga buah durian . Menghela asap dengan satu sedotan panjang dan melepasnya dengan semburan lega seorang yang abai tak memiliki masalah. Merasakan sejuk dari angin yang masuk le wat celah jendela. Mengawasi pesawahan yang kian kabur di dalam petang. Lantas p erbukitan dan rumah-rumah yang mulai memasang lampu. Kereta mulai terengah ketik a jalan makin mendaki dan luar makin hitam. Tinggal gradasi antara yang encer ru ang kosong dan yang pekat pepohonan atau apa lagi. Apakah semuanya tak akan pern ah dikenali dan hanya bisa ditandai saja? Polsuska datang membawa senapan laras panjang dan pistol di pinggang. Pintu kel uar dirapatkan dan dikunci. Derap dan derak roda saat mencercah sambungan rel me mbuat kelam di luar jadi ngungun. Kondektur pun muncul --seperti selingan di ant ara orang-orang restorasi yang agresif menjajakan--cermat memeriksa dan dan melu bangi lembar karcis yang sudah dilukai petugas peron. Ahmad Sumargono cuma diam memperhatikan kondektur itu membaca, menikmati gerakan melubangi dengan alat pem buat lubang yang dipegangnya di tangan kanan dan diberi tali dan diikatkan di ta li sabuk celana. Mengembalikannya sambil tersenyum. Menjauh dan berbalik, mendek at sambil tersenyum. "Maaf, ya. Maaf," katanya, "Anda ini Bapak Ahmad Sumargono kan? Yang baru saja memutuskan menerima PHK dan langsung mengirimkan uang pesang on itu dengan bank transfer ke rekening RS Swadana di M --dengan harapan anak Ba pak bisa segera tertebus dan bisa pulang rumah. Ya kan? Betul? Bagus. Bagus. Ter ima kasih, Pak. Terima kasih." Ahmad Sumargono mengernyit. Kondektur itu -bersetelan biru tua, dengan kaus put ih menutup pangkal leher, dengan pet yang membuat rona kulit wajahnya semakin ke lam --mencabut spidol kertas berujung-ujung putih. Menarik tutup dan memindahkan ke pantatnya. Membuat empat persegi pada jendela dan bawah meja kecil. Melirik. Tersenyum sambil menutup ujung spidol. Mendorong bidang itu dan terbukakah mulu t terowongan. "Di sinilah ujung perjalanan itu berakhir, dan dari sini pulalah p erjalanan pulang yang sebenarnya dimulai. Ayo! Silahkan," katanya. Mereka bertat apan. Ahmad Sumargono menggeleng. Kondektur itu tajam menatap. Mengancam. Polsus ka itu datang. Pelan mengokang dan menodongkan senapannya. Ahmad Sumargono menga ngkat tangan. Berdiri ragu-ragu. Berteriak ketika pantatnya ditendang sehingga i a langsung terjun ke dalam terowongan di kaca jendela itu. Menjerit diterkam der u angin dan derak roda kereta kelam.*** Table Cerpen: Ratna Indraswari Ibrahim Sumber: Jawa Pos,Edisi 03/14/2004

Di caf, saat sore yang gerimis, untuk menghindari macet di jam-jam pulang kerja, Beny dan Nidi minum-minum di sini (Mereka tidak suka pulang dalam suasana lalu lintas yang macet itu). Sambil mencercapi minuman, Nidi menatap Beny. "Mas, apakah saya tadi sudah cuku p bisa menerjemahkan permintaan TV itu? Saya kadang-kadang jenuh juga menjadi mo del. Mereka yang tidak tahu dunia kita akan bilang, Menjadi model itu apa susahny a sih. Kan cuma tersenyum di muka fotografer. Padahal kita memeras tenaga dan ota k, kan!" Beny ngakak. "Sebagai model, kamu ini model yang bisa dengan bagus dan tepat me mahami kemauan kita. Siska, pengatur visual, bilang kamu tinggal tunggu hoki saj a untuk sejajar dengan model-model lain. Kamu tahu kan, kamu punya kaki yang pan jang dan bagus. Dan itu jarang ada pada model lain. Cuma satu saranku, kalau kam u sedang asyik ngomong, jangan berteriak-teriak, kayak kernet bus." Nidi mengatupkan bibirnya. "Inilah susahnya kalau kita harus jadi capstok. Kita harus mengatur tingkah laku. Padahal saya kepingin seperti seniman yang bisa me ngeksplorasi dengan bebas karya maupun tubuhnya. Tapi kalau kita jadi seniman, m au makan apa ya, Mas? Mbak Oki, foto model senior itu bilang, punyalah keterampi lan lain. Kalau kita sudah tidak laku menjadi peragawati, masih tetap bisa menca ri uang!" "Mas Beny, suatu kali saya pasti tua dan tidak laku. Bikin usaha apa ya, Mas? M as kan tahu, saya punya anak yang harus saya hidupi," kata Nidi sambil mengangka t kakinya seperti duduk di warung. Beny minta sebotol bir dingin di sore yang gerimis ini. "Apa kita punya bakat d agang? Lihatlah di table itu. Mas Hardo. Samber saja. Dia kan kaya. Dan, kabarny a, lagi pisah ranjang dengan istrinya, Happy." "Mas, terus terang saya sebetulnya merasa heran. Mereka kan sama-sama anak oran g kaya. Dan, kabarnya, Happy itu lama di luar negeri. Jadi mereka kan satu level ." "Barangkali itu satu hal yang biasa di dunia mereka. Kelihatannya kamu juga mul ai siap untuk bergaya hidup seperti mereka." Kemudian ada surat dari table lain. "Mas Beny, kenalkan saya dengan cewek itu, saya bayari minuman Anda." Nidi dan Beny saling melempar senyum. Dan, beberapa saat kemudian, Hardo dan Ni di sudah sibuk berbicara. Beny menghampiri meja-meja lain. "Hello bos, sudah cer ai dengan istrimu?" Yang dipanggil bos oleh Beny cuma tertawa kecil. Beny kemudi an mendengar seseorang memanggil-manggilnya. Bergegas Beny keluar dari caf.Beny m enoleh ke Hardo dan Nidi yang semakin asyik! Beny sibuk melakukan pemotretan acara Pelebon Raja Gianyar Bali. Nidi menelepon nya. "Mas, tadi saya dapat telepon dari Mbak Oki. Dia minta salak Bali, dia ngid am. O ya Mas, saya sekarang di Kalimatan, tepatnya di Tarakan. Mungkin sebulan a tau dua bulan di sini. Asyik kan, mbak saya melahirkan kembar tiga lho. Anak say a senang melihat kakak-kakaknya itu." "Oke, saya tidak bisa berlama-lama menerima teleponmu. Kamu jangan lama-lama di Kalimatan, ada job dari biro iklan untuk kita. Dia cari model yang berkaki bagu s. Saya ingat kamu. Jadi kalau nanti kufoto, jangan disilangkan kakimu, seperti kalau kita makan di lesehan atau di warung bubur ayam kesukaan kita." Nidi terta wa lepas. Namun, sampai deadline antara Beny dan biro iklan, Nidi belum juga muncul di st

udio. Di sisi lain, Hardo yang sudah merasa masuk ke dunia Nidi berkata kepada B eny, "Mas, bagaimana sih Nidi itu, impiannya sejak remaja kan menjadi orang di k elas saya. Kalau Nidi ingin menjadi istri saya, dia kan harus hidup dengan gaya kita." Beny mangangguk-anggukan kepalanya. Tak mungkin untuk diceritakan kepada Hardo bahwa Nidi pernah bercerita begini: "Waktu kecil, Mbak saya sering bilang, Kamu t idak usah belajar giat, kan kakimu sudah jadi modal hidupmu. Mas Beny, kalimat it ulah yang menjadi obsesi saya. Dalam hati saya sudah bersumpah tidak akan mencar i nafkah dengan kecantikan, tapi hidup ini memang ruwet. Mas kan tahu, saya meni kah muda dan kemudian bercerai. Untuk menghidupi anak, mau tidak mau, suka tidak suka saya harus menjadi capstok." Tentu saja Hardo tidak akan pernah membayangkan bahwa apa yang diucapkan Nidi i tu semuanya benar. Karena satu-satunya obsesi Nidi bisa keliling dunia dengan tr uk yang dikemudikannya sendiri. Sebetulnya Beny sendiri heran mengapa dia begitu intens menghayati kehidupan mo delnya ini. Padahal, biasanya dia tidak pernah berniat ingin melihat kehidupan m ereka lebih jauh. Dia cukup merasa bahagia dengan istri dan anak-anaknya. Suatu hari dia melihat Nidi dan Hardo di caf itu. Beny segera mendekati, Nidi me ncium pipinya sekilas. "Kalau kamu jadi pengantin, yang borong audio visualnya k asihkan aku ya, Nidi."Hardo cuma tertawa. Beny selalu tidak pernah menyukai tawa laki-laki itu. Dan, sebelum Beny pamit, Nidi berbisik, "Mas Beny, apakah saya bisa datang besok di studio. Apa ada job? Atau, kalau tidak, saya ingin ngobrol-ngobrol saja deh." "Ngobrol tentang rencana pernikahanmu dengan Hardo?" Nidi mengedipkan matanya dan lalu tertawa ngakak. Namun, sebulan sebelum pernikahan mereka terjadi, Nidi mengatakan akan ke Kalim atan lagi untuk menengok kakaknya. Dan, sejak itu tidak ada kabar lagi dari Nidi . "Mas, Nidi mengira saya tidak bisa mencari perempuan yang lebih darinya. Kalau saya pernah ingin menikahinya, itu hanya karena kasihan kepadanya. Dia kan puny a seorang anak dari seorang laki-laki yang tidak pernah memberi nafkah pada istr i dan anaknya," kata Hardo kepada Beny suatu ketika.Beny melipat bibirnya. Kepergian Nidi dan pembatalan perkawinannya dengan Hardo membuat banyak lelucon di antara para fotografer dan peragawati. "Mungkin Nidi tidak ke Kalimatan, tap i belajar yoga di India," celetuk seorang pengunjung cafe. Beny sendiri tidak bisa memahami Nidi. Selama bertahun-tahun menjadi fotografer , dia merasa dunia glamour para modelnya adalah sebuah daya tarik yang luar bias a. Tak seorang pun ingin keluar dari sana, kecuali dikeluarkan. Namun sering dia membayangkan, Nidi mungkin sedang berpetualang di Kalimatan, dengan ransel di p undaknya. Dan dia akan ngakak, kemudian menaikkan kakinya yang indah itu di waru ng-warung di sana. Di caf ini (beberapa bulan setelah Nidi menghilang) Beny bertemu banyak laki-lak i, termasuk Hardo bersama perempuan lain. Ketika mereka punya kesempatan untuk b icara berdua, Beny bilang, "Sudah ada gantinya Nidi, kan?" Lelaki itu tertawa da n ganti berbisik, "Bagaimana kabar Nidi, Mas?" "Kemarin, Nidi menelepon istriku. Aku baru tahu kalau selama ini anaknya adalah bayi biru, pengidap penyakit jantung sejak lahir dan dia mengatakan, selama ini banyak mencari uang untuk anaknya, tapi anaknya meninggal sebulan yang lampau."

Kemudian Beny seperti berbicara kepada dirinya sendiri. "Kalau dia mau mencerit akannya dari dulu, aku kenal Cindy yang menangani dan membantu anak-anak yang me mpunyai cacat jantung, khususnya di negara-negara berkembang." Hardo mengangkat bahunya. "Nidi tidak pernah menceritakan kalau punya beban seb erat itu kepadaku, Mas. Tapi apakah dia akan kembali ke Jakarta untuk menjadi mo del setelah anaknya meninggal?" "Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi istriku mungkin lebih peka dari kita. Istri ku pernah bilang, Nidi sepertinya punya beban yang sangat berat di hatinya. Dan, dia terlampau percaya diri untuk tidak menceritakan kepada siapa pun." Lagi-lagi Hardo cuma mengangkat bahunya. Suatu kali, ketika Beny baru selesai melihat hasil fotonya, Nidi --seperti dija tuhkan dari langit-- tiba-tiba muncul di mukanya. "Astaga Nidi. Sudah lima tahun k ita tak bertemu. Katanya kamu kawin dengan bule? Kamu tahu Hardo patah hati keti ka kamu tinggalkan." Nidi kali ini serius. "Mas, ketika dalam perjalanan pulang ke Malang, saya baru tahu, kekeliruan saya. Kalau menikah dengan Hardo, saya tidak akan bisa membagi diri saya dengan Hardo yang tidak bisa dewasa, serta anak saya. Yang pasti anak saya akan lebih banyak menyita waktu dan perhatian. Jadinya, kami tidak akan sa ling bahagia. Bagaimana kabarnya Mas kok rasanya semakin melejit saja karirnya?" "O ya, apakah kamu masih berniat menjadi model? Ada iklan yang mencari model ib u-ibu untuk produk makanan bayi. O ya ngomong-ngomong, apa kamu sudah menikah la gi? Siapa yang beruntung itu?" "Saya kira, dia cuma orang biasa. Kami bertani apel di Poncokusomo. Kami ke Jak arta cuma ingin mengajak anakku ke Ancol. O ya, bolehlah kuterima tawaran itu, l umayan untuk ongkos pulang. Pekerjaanku sekarang bukannya tanpa masalah, incomek u tidak selalu sebanyak ketika aku menjadi model. Kamu tahu Mas, harga apel seka rang jatuh, aku sekarang sedang merintis menanam sayur-mayur. Karena itu di samp ing ingin mengajak anak piknik aku juga mencari pasar di Jakarta. Tapi, paling t idak aku bisa menunjukkan kepada Mbakku atau mungkin kepada diri sendiri bahwa a ku bisa mencari uang tidak dengan memakai kakiku ini." Sebulan kemudian, tayangan iklan ibu dan anak dari sebuah produk makanan bayi, di mana modelnya adalah Nidi, sering ditayangkan di beberapa media elektronik. B eny seringkali bertanya-tanya, "Apalagi yang akan dilakukan Nidi..." Beny sering kangen mendengar berita-berita dari Nidi, baik itu yang gosip maupu n yang sebenar-benarnya. Lebih-lebih ketika dia merasa capek kerja dan minum bir di tempat ini (tempat dia dan Nidi biasa minum-minum kalau kena macet lalu lint as), di sore yang sering gerimis! *** Malang, 2 November 2003 Machiko dalam Kabut Cerpen: Wawan Setiawan Sumber: Jawa Pos,Edisi 02/29/2004 Angin Teluk Beppu bertiup kencang, berkabut, dan sangat dingin. Kalau sudah dem ikian, banyak burung bingung. Terkesan tubuh mereka berubah menjadi bulu, melaya ng-layang tak tentu arah. Aku kasihan.

Meskipun begitu, sering Teluk Beppu yang kena imbasan Lautan Pasifik itu menamp akkan keramahan. Kabutnya tipis. Gelombangnya datar. Burung-burung bersuka. Mere ka terbang dengan mantap. Aku senang. Bila aku ingat masa laluku dulu, ketika inkarnasiku masih dalam sekuntum burung , banyak kenangan mengharukan. Aku pernah menjadi robin, mozambiq, hwamei, sange r, atau bluejay. Inkarnasiku terakhir menjadi robin. Suaraku paling keras, terba ngku paling depan, buluku paling cantik; istriku juga paling molek. Maklum ketik a itu aku kepala sukunya. Setiap ganti burung berarti ganti bulu, ganti nyanyian , dan ganti wilayah. Inkarnasiku pernah di Borneo, Laos, Himalaya, dan Tibet. Ta pi sepuluh kali terakhir inkarnasiku, aku di Jepang. Mula-mula di hutan Nigata, Nara, Osaka, Oita dan terakhir di Kannawa yang sepi. Setelah meninggalkan jasad kepala suku, evolusiku sebagai burung selesai. Tak p elak lagi, rohku kemudian metamorpose menjadi kami. Kalau semula tubuhku dari ta nah dan cahaya, kini tubuhku hanya dari cahaya. Ada tujuh cahaya matahari yang k ukenakan. Setiap saat, bentuk dan warna cahaya itu berubah-ubah sesuai kehendakk u. Sekarang aku berdomisili di perbukitan Kannawa, di suatu kawasan hutan yang cuk up luas, di timur laut kota pantai Beppu, Oita Prefecture, Pulau Kyusu, Jepang S elatan. Kalau musim gugur, perubahan warna daunnya mencolok. Kabut dan terangnya silih berganti. Di lerengnya banyak onsen, kolam air panas sepanjang musim. Ons en itu mengundang banyak turis. Seperti cahayaku, pakaian mereka warna-warni. Kalau mau, sebenarnya aku bisa menyusup ke tubuh orang seputar Beppu. Aku bisa memilih yang bagaimana pun orangnya. Aku sebenarnya sangat ingin melakukan itu, namun belum pernah kuturuti. Aku hanya sering masuk ke pikiran orang yang kumina ti. Kalau sombong, ia kuledek, dalam mimpinya ia kujatuhkan dari puncak bukit. " Tolong!" Ia terbangun. Merasa lega karena hanya mimpi, ia kemudian minum sake. K alau pemaaf, kutambahkan cahaya dalam hatinya. "Aku berterima kasih kepada Budha sama, karena telah memelihara kebersihan hatiku. Semoga Budhasama tetap melindun giku." Kalau dermawan, kubenihkan inspirasi ke dalam benaknya, sehingga tahu tempat-te mpat yang banyak harta. "Kita hibahkan harta ini untuk korban bencana alam di ne geri tetangga." Sering aku berkunjung ke Jumonjibaru Highland, di puncak perbukitan timur-laut Beppu. Di situ berdiri kampus Ritsumeikan Asia Pacific University, yang mahasisw anya berbagai bangsa. Karena itu oleh warga Beppu kampus itu disebut the mini me lting pot of the world. Di Beppu kalau musim dingin Jumonjibaru-lah yang pertama menerima salju. Suatu kali di kampus itu aku pernah menjumpai seseorang yang problematis. Kalau melihat tampilannya tampaknya ia berasal dari suatu negeri yang alamnya dikenal kaya raya tapi rakyatnya banyak yang miskin. Konon di negerinya itu terlalu ama t sangat banyak koruptor. Lelaki ini kuliah management di Jumonjibaru. Ia rupany a sedang dilanda cinta. Seperti biasanya orang yang dilanda cinta, hatinya gunda h gulana. Apalagi di negeri asalnya ia sudah beristri dan punya anak. Jadi ada s tudi, istri, anak, dan pacar baru. Begitu saja sudah terasa rumit itu dalam bena knya. Pacarnya, Machiko Yoshimoto, dari Ichigaki, daerah tengah kota, tidak tahu kalau lelaki itu sudah beristri. Ayah gadis itu karyawan Dinas Pemadam Kebakara n. Ibunya bekerja di supermarket. Adik lelakinya masih SD. Namanya Miki; diteman i seekor anjing, namanya Mimi. Pemuda ini maju mundur ingin menangkap (basah) Machiko yang terang-terangan tel ah mencuri hatinya.

"Machiko-san, konbanwa." "Oh. Konbanwa. Legawa-san. Tadi kucari di perpustakaan, ke mana saja?" "Saya dipanggil dosen," kata Legawa ngawur karena tidak tepat janji. Padahal ia bingung sendirian sembunyi di pojok perpustakaan, membaca komik porno. Petang itu mereka bertemu di halte kampus. Machiko hanya tersenyum mendengar al asannya, lesung pipinya memerah. Lesung pipi merah itu sudah cukup membuat hati Legawa bergetar. Ada beberapa teman Machiko melihat getaran itu. Kabut sangat te bal di Ritsumeikan. Di dalam kesamaran, cahaya lampu-lampu merkuri bertembusan. Bus mereka, Oita Kotsu, sejurusan. Machiko ke Ichigaki, Legawa ke apato-nya di K amegawa. Aku jelas-jelas melihat bibir lelaki itu gemetar saat mengucapkan sapaan libidi s tadi. Aku puas. Hipnoseku berhasil. Gadis asli Ichigaki yang memang cantik dan lembut ini telah kusulap sedemikian rupa sehingga di mata lelaki ini, tubuhnya bertambah seksi hingga sangat mudah menampakkan birahi. Kemarin karena oleng, Legawa sampai lupa pembimbingnya, Prof Katsuhiro, yang be rtemu di perpustakaan. Seusai kelas, suara panggilan temannya dari Thailand, Nun napa Poosuwan, yang juga seksi, juga tak terdengar. Kuliah Kajian Perdamaian di Lingkar Pasifik oleh dosen asal Cina, Prof Xu Xin, lewat begitu saja. "Perdamaia n tanpa libido tak akan jadi," igaunya. "Suami mengabdi istri atau sebaliknya, j uga karena libido. Apalagi kalau malam merangkak sendiri." Akan tetapi di kepala lelaki yang sedang mabuk ini, sering kuserap kilatan-kila tan visual sangat indah. Dia membayangkan hidup rukun, tentram, dan damai bersam a Machiko di kebun apel dan bunga di sekitar Lake Shidaka yang airnya jernih. Ia bersama Machiko, membayangkan menjadi petani jamur yang sukses di Higashiyama I koino Mori Forest yang nyaman. Ia membayangkan menjadi pegawai pos yang berseman gat mengantarkan suratnya sendiri ke alamat Machiko di Ichigaki. Namun sering pu la di kepalanya terpacak gambaran yang tak kalah terangnya: istrinya yang anak t unggal Pak Lurah sibuk menyirami kembang di halaman rumah, menyuapkan nasi worte l kepada anak lelakinya yang baru pra-TK, dan menghadiri arisan ibu-ibu RT. Dan terlihat pula istrinya memarahi pembantu yang baru belasan umurnya sudah ganti p acar tiga kali. "Istriku," bisik hatinya yang kacau. "Kita nanti beli kebun apel dan jadi petan i apel di Nangkajajar. Jangan beli di Malang, kota itu sudah terlalu ramai, harg a-harga sudah melejit. Di Nangkajajar, di sebelah hutan pinusnya kita berkreasi dalam kesederhanaan, sambil menunggu barangkali bidadari muncul dari kabutnya." "O, Machiko, andai kamu dapat kuboyong, pamor keluarga besarku pasti tambah nai k. Si Legawa, anak Pak Camat itu, kawin dengan boneka salju, istrinya yang sudah cantik itu mau dikemanakan? Pasti begitu kata orang di kampung." Ia terus meracau . Isi hatinya persis kabut, menjanjikan terang dan kehangatan. Itulah isi benak lelaki muda atau lelaki mana pun sebenarnya, yang serba romant is. Hidup hanya dilihat manisnya. Kalau kena pahitnya, mereka berbondong pergi k e kuil menumpahkan tangis. Tapi para kami sudah lama memaklumi ini; karena meman g tugasnya menampung isak, sambil mencarikan solusi. Memang sengaja kurangsang dan kupilih Machiko untuk kutampilkan dalam batin Leg awa. Bukan Miho, mahasiswi timik-timik asal Kyoto yang ayahnya wartawan senior. Bukan Yoko yang sebentar lagi meneruskan MBA-nya ke California. Atau bukan pula Seiko yang baru saja ditinggal pacarnya pulang ke Pusan, selamanya. Tampilan Mac hiko benar-benar kubuat seindah wanita Jepang di Beppu Summer Festival: halus, a nggun, keibuan, semarak, dan sekaligus dalam. Machiko selain sudah punya nilai p lus kubuat mendekati gambaran itu dan kuciptakan citra positif Machiko berlebiha

n. Di sisi lain, hormon lelaki ini kubuat lebih produktif dari hari yang sudah-s udah. Aku tahu, lelaki ini dikirim oleh instansinya, Kantor Tenaga Kerja. Ia ditugask an melakukan kajian jagad batin para pekerja warganya yang merantau ke negeri or ang. Ia diberi waktu dua tahun. Menjelang akhir tahun kedua, ia harus menulis la poran tentang konflik-konflik para pekerja itu: dengan masyarakat setempat, imig rasi, perusahaan, dan sesama teman. Tapi sekarang lihat itu, ia seperti orang mabuk larut malam di nomiya-san yang banyak bertebaran di Beppu. Ia sudah lupa derita pekerja warganya yang di negeri orang kena hina, cambuk, setrika, dan siram. Padahal ia seharusnya ingat bahwa para pekerja ini telah ikut mendongkrak kehidupan negerinya. Dan, harus ingat pu la, beasiswanya diambil dari kantong mereka. Dasar temperamen libidis. Rupa-rupanya kecerdasannya tak mampu mengatasi kesepi annya. Mau ke daerah lampu merah, beasiswanya pas-pasan. Mau bekerja takut studi nya terganggu. Di kantornya lelaki ini termasuk yang paling cerdas. Tapi di sini ia termasuk yang paling kesepian. Akhirnya yang dipikir cuma pleasure dan rende svous. *** Beppu, Kyushu, Desember 2002 Catatan: Budhasama, Budha Yang Dimuliakan. Konbanwa, selamat malam. Kami, roh-roh supernatural yang ada dalam setiap organisme, dari yang paling re ndah sampai yang paling tinggi, rakyat Jepang mempercayai dan menghormatinya. Nomiya-san, kafe tempat minum sake. Sake, minuman keras terbuat dari beras. -san, akhiran menghormat. Di Bawah Bulan Separuh Cerpen: Maya Wulan Sumber: Jawa Pos,Edisi 02/15/2004 Di Bawah Bulan Separuh Cerpen Maya WulanINI perjalanan pertamaku menjejakkan ka ki ke kotamu, kampung kelahiranmu. Tak pernah terbayangkan sebelum ini, aku bisa sampai ke kotamu. Pulau Sumatera sungguh tak pernah masuk dalam peta anganku.Te tapi, sebulan lalu, tiba-tiba --seperti mimpi-- aku bisa menyeberangi laut dan S elat Sunda. Mimpikah aku? Kau meyakinkan aku, kalau aku dalam dunia nyata. Kau c ubit lenganku, kau sentuh pipiku. Terasa kan? Aku mengangguk. Berarti aku memang tidak bermimpi. Kapal cepat yang menyeberangkan aku dari Dermaga Merak ke Pelabuhan Bakauhuni t elah menjadikan nyata bagiku bisa sampai ke kota kelahiranmu. Di sini, pertama s ekali yang kucicipi adalah buah durian. Menurutmu buah berkulit duri tajam ini a dalah makanan yang nikmat, bisa dibuat apa saja. Bisa dimakan langsung, diawetka n hingga menjadi nama lain yaitu tempoyak, dodol durian. "Atau bisa kita campur sambal untuk lauk makan nasi. Makanmu bisa bergairah, tiga piring tanpa kau sada

ri bisa masuk ke mulutmu," katamu. Wow! Aku pun ingin membuktikannya. Lalu kau ajak aku ke Kafe Yayang di Jalan Cu t Nyak Dhien Kota Bandar Lampung. Aku menyantap banyak tempoyak yang telah dicam pur sambal terasi (kau menyebut sambal khas kampung kelahiranmu ini adalah serui t). Rasanya pedas sekali. Tetapi aku suka. Keringat membasahi wajahku, terutama di bagian kening dan kedua bibirku. "Kau makan sampai luah iting1," katamu. Aku tersenyum. Tak mengerti maksud baha samu. Aku hendak menghentikan makanku, tapi kau terus menyodorkan makanan lainnya. Ka u bilang yang terhidang di meja ini semua makanan khas di sini. "Kau bisa mencic ipi sekadar, kalau kau sudah kenyang. Kapan lagi kau bisa ke kota ini kalau kau tak mencicipinya sekarang?" Kau benar. Aku mencicipi semua hidangan yang tersedia. Meski cuma secuil, sekad arnya. Aku jadi ingin berlama-lama tinggal di kotamu. Aku ingin memetik durian l angsung dari pohonnya. Kau tahu, tiba-tiba aku mencintai kotamu, seperti aku men cintaimu. Ah, benarkah aku mencintaimu? Kupikir begitu. Meski tak sebesar cintam u padaku. Cuma, sudah tiga hari di sini aku belum mendengar orang berbicara dengan bahasa ibunya. Tapi dengan bahasa nasional. Aku jadi heran. Kau pun menjelaskan, "Inil ah demokratisnya orang Lampung, meski akhirnya bahasanya sendiri seperti tersing kir." Dan, katamu lagi, "Kami tak pernah terusik. Malah banyak orang asli yang pandai berbahasa etnis lain. Inilah kekuatan kami, terbuka bagi pluralisme," katamu. A ku mengangguk. Tersenyum. Tiba-tiba aku merasa ingin kau gandeng saat menuruni K afe Diggers, malam ini. Aku akan menetap di sini selama 3 bulan. Sebagai mahasiswa semester akhir, aku mengambil tugas PKL (Praktik Kerja Lapangan). Aku sengaja memilih PKL di daerahm u agar aku bisa selalu bersama-sama denganmu. Selain itu, katamu sebelum aku men gambil pilihan lokasi PKL, aku bisa mengenal lebih dekat keluargamu secara langs ung. Itu kau katakan di suratmu sebelum aku berangkat ke kotamu. Kalau saja kau melihatku waktu itu, aku hanya mengerutkan keningku seraya berka ta dalam hati: Benarkah itu? Benarkah aku telah memilihmu sebagai calon pendampi ng hidupku? Setahuku aku hanya ingin bisa berduaan denganmu. Itu saja. "Aku ingin mengenalkanmu pada keluargaku. Terutama orang tuaku dan adik-adikku. Mereka pasti senang menerimamu. Kau gadis Jawa, ayu dan cantik!" pujimu. Aku te rsipu. Kurapatkan bibirmu dengan telapak tanganku. Supaya kau tak mengumbar puji an (mungkin rayuan?) untukku. *** AKU mengira kotamu masih belantara. Masih banyak binatang buas. Menyeramkan. Pe njahat beringas. Kenyataannya, kotamu nyaris sama dengan kota-kota lain di neger i ini yang telah maju. Pembangunan sangat pesat. Di sini ada pula swalayan, supe rmarket, dan bangunan lainnya yang mencerminkan kota maju. Orang tuaku, terutama ibuku, sempat ragu dengan keputusanku memilih lokasi PKL di kotamu. Ia khawatir aku akan terlantar di kampung halaman orang. Tak bisa lel ap karena risau diganggu binatang buas. Itu juga yang membuatmu agak kecewa. Aku memang pernah berkata, "Kalau kau hanya menunjukkan pembangunan yang pesat di d

aerahmu, sudah tak asing dan khas lagi." Aku setengah protes, tapi setengahnya l agi aku hendak bertahan. Bagaimanapun kota kelahiranmu memang mengasyikkan. Aku merasakan warganya selal u akur-akur saja, damai-damai saja. Buktinya di sini tak pernah terjadi kerusuha n yang mencapai genting hingga membahayakan keutuhan. Benarkah itu? Aku masih belum yakin. Berbagai etnis ada di daerah ini, bagaiman a mungkin bisa hidup tanpa pernah terjadi pergesekan? Tetapi, sudahlah, aku tak sedang mempersoalkan sosiologi di kampung kelahiranmu. Sebelum memulai tugas PKL di Desa Bakung2, kau sempat mengajakku mengunjungi Ta man Nasional Bukit Barisan di Bengkunat3 yang menawan. Dan jika dikelola, tentun ya bisa mendatangkan devisa bagi pemerintah. Aku sempat ketakutan kala warga Bak ung melakukan protes soal tanah ulayat dengan perusahaan pabrik gula. Protes itu berkembang menjadi pertikaian. Ada yang tewas dalam insiden itu. Wajar bila war ga Bakung protes, karena ganti rugi tanah ulayat mereka yang digunakan ladang te bu oleh pabrik gula milik keluarga Cendana, sungguh tak wajar. Hanya saja dulu m ereka tak berani. Kasus tanah ulayat Bakung itu menarik. Kau memberi banyak informasi dan data te ntang itu. "Kau bisa membuat penelitian tentang kasus tanah di situ. Menarik, sa ngat menarik." Aku tertarik. Kemudian setiap malam aku banyak mengobrol, diskusi , dan masuk ke dalam denyut napas orang-orang Bakung. Kau selalu setia menemanik u. Aku suka tinggal di rumah orang tuamu daripada di rumah yang disediakan Pak Cam at Ari Zamzari selama masa PKL. Rumah tinggalmu terkesan khas: rumah panggung. S uatu hal baru yang tak kujumpai di tanah Jawa. Seluruh penyangga rumahmu terbuat dari kayu. Kayu dari batang yang kuat dan tahan lama. Katamu sudah hampir 70 ta hun. Rumah khas seperti itu kini banyak disukai orang-orang berduit dari kota. Aku jadi ingin menetap di sini kelak. Setelah kau menyunting aku, tentunya. Tet api, mungkinkah itu? Menurut adatmu, anak tertua sebagai penyimbang, harus menik ah dengan gadis asli daerahmu. Kau menyebutnya muli.4 Dengan begitu kau bisa men dapatkan warisan. Anak-anakmu akan mendapatkan gelar dan diperkenankan cakak pep adun.5 Aku yang bukan gadis asli daerah ini bagaimana mungkin bisa mendampingimu? Aku sempat ragu juga. Meski orang tuamu, keluargamu, tampak baik-baik saja denganku. Keluargamu sangat menerima kehadiranku. Itulah yang membuatku betah selama PKL. Namun, diam-diam aku juga bertanya pada diriku sendiri. Sungguhkah aku ingin me nikah denganmu? Jangan-jangan tidak. Jangan-jangan aku salah menafsirkan perasaa nku padamu. Dan pikiranmu tentangku selama ini keliru. Entahlah. Aku takut denga n rahasia yang kusimpan sendiri. Aku merasa memiliki cinta untukmu. Tapi seberap akah? Dan berhakkah aku? *** MALAM di Rawa Jitu, aku sempat gemetar. Tulang-tulang persendianku seperti hend ak copot. Benar-benar aku dicekam ketakutan. Waktu itu kau tak menemaniku. Kau m endapat tugas mendampingi klienmu di Menggala, ibu kota Tulangbawang. Bagaimana aku tidak ketakutan. Bahkan aku nyaris mati berdiri. Sekawanan gajah menyerbu perkampungan. Warga menghidupi puluhan obor, tapi kawanan gajah itu tak juga kembali ke belantara. Bahkan parit dengan kedalaman 1,5 meter yang dibuat warga sebagai benteng, bisa dengan mudah dilewati para gajah itu. Kawanan hewan tambun berbelalai panjang itu menggasak rumah-rumah warga. Memorak-porandakan is i rumah, merusak perkebunan warga. Mencabuti ladang singkong dan tebu.

Kami dicekam ketakutan. Kentongan dari kayu tak henti dipukuli. Biar riuh. Agar gajah-gajah itu masuk kembali ke habitatnya. Sayangnya itu sia-sia. Seorang ibu dan dua anak-anak diremukkan dengan belalainya sebelum dilempar ke semak. Mati. Ya, malam itu tiga warga di situ tewas. Pertempuran tak sebanding. Pikirku. Aku benar-benar takut. Gigil. Tiba-tiba aku teringat pada ibuku di Jawa. Apakah ia merasakan apa yang kualami sekarang? Sebuah rasa ketakutan yang sempurna. Aku me nyelamatkan diri ke kampung sebelah. Dievakuasi ke daerah lain. Tak hendak lagi menetap di rumah yang disediakan camat. Aku memilih tinggal di rumahmu, bersamam u. Sampai masa PKL-ku selesai. "Bukankah ini yang kau inginkan?" kau berbisik. Bulan separuh di langit. Kita d uduk di bawah pohon jambu dekat rumahmu. Agak temaram. Aku menikmati tanganmu me mbelai rambutku. Kau masih seperti waktu di kampus dulu. Amat sayang dan memperh atikan aku. "Sudah berapa lama kita tak seperti ini, ya?" Kau memandangku sejenak. Kau tak menjawab. Rasanya memang pertanyaanku itu tak memerlukan jawaban. Memang kau lebih dulu selesai. Kau cerdas. Apalagi kau selal u mengambil kuliah pintas, semester pendek. "Aku ingin segera menyelesaikan kuli ah. Kasihan orang tuaku di kampung, aku ingin mengabdi pada mereka," katamu. Kau pun berjanji akan tetap bersamaku, akan selalu mencintaiku. "Aku ingin kau menj adi ibu dari anak-anakku " Aku percaya. Itu bukan rayuanmu. Kau pun segera bekerja, sebagai pegawai negeri di instansi Departemen Kehakiman. Kau ditempatkan di kantor kejaksaan di kotamu . Surat-suratmu tetap mengalir kuterima. Tapi aku juga tetap membawa rahasia dir iku. Tentang cintaku padamu. Yang aku sendiri tak begitu mengerti. Dan kau tak p ernah tahu. "Aku mengagumi ketegasanmu, kekonsistenanmu," aku memuji. Kau hanya tersenyum. Aku getir. Entah kenapa. Merasa bersalahkah? Atau aku mulai bermain lidah? Membo hongimu dengan kata-kataku. Kalau saja tidak karena urusan kuliah dan aku harus segera ujian akhir, mungkin aku akan berlama-lama lagi menetap di kampung kelahiranmu. Aku sudah telanjur j atuh hati dengan kampungmu, dengan keterbukaan warganya, dan keramahan keluargam u. "Terutama denganmu, sayang " kataku. Tapi bagaimanapun, aku harus pulang. Kemba li ke Jawa. Kembali berpisah denganmu. Dengan sebuah rahasia dalam diriku. Tenta ng cintaku. Diriku. *** AKU telah mendapat gelar kesarjanaanku. Kau tak datang saat wisudaku karena pek erjaanmu mengharuskan kau tetap ada di kotamu. Aku maklum. Atau.... Entahlah. Ak u maklum atau justru tak terlalu peduli. Saat itu, di gedung auditorium kampusku , seorang lelaki lain berdiri di sampingku. Ya. Dialah yang mendampingiku selama acara wisudaku berlangsung. Dan, kau tak tahu itu. Kini aku masih menganggur. Aku tak secerdas kau. Aku harus mencari pekerjaan de ngan sekian peluhku. Tak seperti dirimu yang justru dicari-cari pekerjaan. Banya k perusahaan menunggu dan menawarimu pekerjaan bahkan sebelum kau lulus dari uni versitas. Bulan demi bulan berjalan dengan cepat. Surat-suratmu masih menyapaku, meskipun semakin jarang saja. Aku tahu kenapa begitu. Bukan karena kau tak mencintaiku l agi, tapi barangkali kau lelah dan bingung. Kau pernah bilang ingin melamarku, t api ternyata kau harus berhadapan dengan sebuah dinding yang membuatmu begitu di lematis. Keluarga besarmu memang pernah menerimaku dengan baik saat aku di kotam u.

Ya. Mereka menerimaku sebagai tamu mereka. Temanmu. Tapi sesungguhnya, mereka t etap menginginkan kau kelak menikah dengan gadis satu suku denganmu. Berarti buk an aku. Tapi anehnya, aku tak bersedih karena hal itu. Atau berusaha untuk tidak sedih? Atau tidak berani untuk bersedih? Ah. Jika kuingat siapa aku, aku merasa tak berhak untuk bersedih. Aku mengingat dirimu. Juga surat-suratmu yang kian tak menemuiku di sini. Sedan g apakah kau di sana, sayang? Adakah kau mengira aku tengah menangisi nasib cint a kita yang kemungkinan besar tak bisa bersatu? Ah. Tiba-tiba aku ingin sekali m emberitahumu yang sebenarnya terjadi padaku di sini. Aku mencintaimu. Tapi aku tak pernah bisa meyakini diriku sendiri. Aku, sesungg uhnya, tak sebaik yang kau kira. Aku bermain di belakangmu. Dengan semua rahasia tentang cintaku. Diriku. Dan kau tak pernah sekali pun tahu. Mungkin, kau tak p ernah benar-benar mengenalku. Ataupun kehidupanku. Keluargaku. Terlebih setelah kau menjadi demikian bisu. Jarang menghubungiku. Keadaan yang mungkin telah membuatmu luka itu, juga surat-suratmu yang hanya se sekali kau kirimkan padaku, malah menjadi alasan untukku menyelamatkan diri dari mu. Dengan semua permainanku selama ini di belakangmu. Aduh, sayang, maafkan aku . Atau aku malah mensyukuri keadaan yang menimpa cinta kita? Mungkinkah aku meman g benar-benar mencintaimu? Hanya aku tak berani (malu?) untuk menempuh hidup ber samamu? Aku memang telah tahu keluargamu. Mereka sangat baik, bahkan padaku. Tap i kau sama sekali tidak tahu siapa keluargaku. Iya, kan? Dan entah kau sadari atau tidak, aku sengaja tak pernah mengajakmu untuk menemu i keluargaku. Mengenal ibuku yang menderita sakit sejak aku kembali dari kotamu. Kau pun tak tahu kalau aku tak mempunyai ayah lagi. Sungguh, kau tak mengenalku . Selama ini aku yang kau lihat bukanlah aku yang sebenarnya. Maka ada rasa senang ketika kutahu keluargamu menolak rencanamu untuk menikahik u. Aku pun tak memrotesmu ketika kau mulai jarang menyuratiku di sini. Mungkin i ni yang terbaik untukmu. Karena kau tak tahu aku. Barangkali, kalau kau tahu sia pa aku, kau juga akan langsung meninggalkanku begitu saja. Barangkali tak akan p ernah ada rencana pernikahan kita di kepalamu. Aku duduk di sisi kanan ranjang yang menopang tubuh kurus ibuku, di rumah kami yang sempit. Sudah cukup lama ia sakit. Dan sudah begitu banyak obat yang masuk ke perutnya. Tapi ia tak juga beranjak sembuh. Malah sebaliknya. Dadaku sesak. M emikirkan keadaan keluargaku. Ibuku, dan dua adikku yang masih kecil-kecil. Uang yang kumiliki telah terkuras untuk membeli obat-obatan ibuku. Aku beruntung mas ih bisa menyelesaikan kuliahku. Aku ingat pada kekasihku di seberang. Semua kenangan indahku bersamanya di kota kelahirannya, masih kuingat dengan sangat rapi. Kini aku tak pernah lagi menden gar kabarnya. Barangkali dia sudah menikah, pikirku. Entahlah. Aku pun ingin men ghilang darinya. Saat ini aku harus memfokuskan diriku untuk keluargaku. Agar ad ik-adikku tidak terlantar. Seperti selama ini akulah tiang keluarga ini. Dan aku berhasil. Bahkan dapat membiayai kuliahku. Meski, cara yang kupilih ini tidak s esuai dengan hatiku sendiri. Tapi, aku terpaksa melakukannya. Mataku berkaca-kaca. Kesejukan udara pagi berubah menyakitkan bagiku. Suara emb un yang menitik di daun kurasakan seperti jarum-jarum yang menusuki dadaku. Aku berusaha menahan rasa sedihku. Di hadapanku, ibuku menghembuskan napasnya yang t erakhir. Dua adikku hanya menangis dan menangis. Aku pusing. Malam menjemputku. Ini malam ke sepuluh setelah kematian ibuku. Kegelapannya se

olah berusaha menutupi semua kesedihan yang terlukis di wajahku. Aku masih menga nggur. Tapi aku tak mungkin menunggu lebih lama lagi. Aku dan kedua adikku harus melanjutkan hidup kami. Demi mereka, batinku. Maka.... *** AKU telah berdandan rapi. Seperti yang biasa kulakukan selama aku masih kuliah dulu. Kutinggalkan rumah. Ada rasa jengah pada diri sendiri. Tapi kumusnahkan. Aku kembali pada pekerjaan lamaku. Menjadikan malam-malamku sebagai ajang perte mpuran. Pergumulan. Aku membayangkan sekian lembaran uang kertas di tanganku bes ok pagi. Seorang lelaki kini tengah menindih tubuhku yang telanjang. Di sebuah hotel, ka mar 105... *** MUNGKIN kau tak akan pernah tahu, atau sama sekali tak mau peduli, tentangku. A ku pun begitu. Tak pernah mengharap, bahkan untuk selembar kabar darimu. Meski k enangan-kenangan semasa aku di kampung kelahiranmu, tak pernah akan pupus. "Setiap tamu i ini seperti rmu. Di bawah tengah tenang datang dan meminum air sungai ini ia pasti akan kembali. Air sunga menghipnotisnya. Sungai Tulangbawang ini kami yakini bertuah," uja bulan separuh. Langit cemerlang. Sungai tua bernama Tulangbawang6 berombak, di kejauhan tampak samar-samar.

Waktu itu aku tak begitu yakin. Itu hanya dongeng. Legenda. Bisa kita lupakan. Ternyata benar. Aku tak akan pernah kembali ke kampung kelahiranmu. Meski kenang an-kenangan itu masih terang di benakku. Juga tentang dirimu. Cinta kita. Kubiarkan segala kenangan dan cinta kita tetap ada, betapa pun aku telah berpin dah-pindah dari lelaki satu ke lelaki yang lain. Masuk hotel dan keluar hotel. D itiduri. Kota ini akan menyembunyikan diriku. Tak seorang pun tahu. Seperti mala m ini, jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 03.15, dengan langkah gontai kare na kebanyakan air beralkohol kutinggalkan kamar hotel itu. Pulang. Ya. Sebelum pagi menjemput. Sebelum bulan separuh di atas kepalaku lesa p di peraduannya. Aku masih saja terkenang kampung kelahiranmu yang menyimpan se laksa harapan. Ya, harapan... *** Yogyakarta, Agustus 2003 Keterangan: Jawa Pos, 15 Februari 2004 mencatat bawah cerpen ini pemenang kedua pada lomba penulisan cerpen Krakatau Awards ke-2/2003 yang diselenggarakan Dewa n Kesenian Lampung (DKL). Bukan (Anak) yang Pertama Cerpen: Tarti Khusnul Khotimah Sumber: Jawa Pos,Edisi 02/08/2004 Malam, lewat pukul sembilan. Di kamar, Zahra dan suaminya, Ali, baru saja seles ai menidurkan kedua anak mereka --Hasan, lima tahun, dan Laila, dua setengah tah un. "Ayah, sudah 30 hari lebih kok belum nongol-nongol juga ya bulannya? Padahal, bi

asanya hanya selang 27 atau 28 hari. Apakah ?" sambil menerawang, Zahra tak meneru skan kalimatnya. Hening. Diliriknya suaminya yang berbaring di sampingnya. Tak bereaksi --sepert i biasanya, tenang-- entah sedang mencari-cari kata jawaban yang pas atau memang menurutnya tak perlu berkomentar. Kesunyian menguasai mereka berdua, semuanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya, tak lama kemudian Ali beringsut dan dengan penuh kasih sayang dikecupnya kening Zahra dan dielus-elusnya perut istrinya yang sangat dicintainya itu. "Kurasa tidak adil ," keluh Zahra, memecah kesunyian, "mengapa kehadiran apa pun, jika ia bukan yang pertama, dianggap tidak istimewa dan biasa-biasa saja? Menga pa ia tak disambut sebagaimana mestinya?" lanjutnya setengah sewot. Lagi-lagi, tak sepatah kata pun keluar dari mulut suaminya. Tak jelas apa yang sedang berkecamuk di hati suaminya itu. Entah mengapa, Zahra akhir-akhir ini sering memendam perasaan khawatir akan mas a depan yang harus dilaluinya. Hingga kini, mereka yang telah dikaruniai dua ana k itu, masih menumpang hidup di rumah orang tua Ali. Padahal orang tua Ali sendi ri masih harus menanggung beban lima anak yang lain --adik-adik Ali-- yang kesem uanya masih membutuhkan biaya kuliah atau sekolah. Sekitar enam tahun yang lalu Zahra dan Ali menikah. Waktu itu mereka berdua mas ih sama-sama kuliah tingkat akhir, tinggal skripsi. Sebenarnya Zahra ingin menye lesaikan dulu kuliahnya yang hampir terbengkelai untuk kemudian bekerja dan baru akan menikah. Tetapi, rupanya sang calon suami berkehendak lain. Ali inginnya s egera cepat menikah. "Kita saling mencintai. Usia kita juga sudah matang, 25 tahun. Apa lagi? Pengha silan ? Sedikit-sedikit dari hasil nulis di koran juga sudah lumayan. Anugerah Tuh an tidak boleh disia-siakan," begitu kilah Ali. Ali memang tipe orang yang sangat optimistis menghadapi masa depan, meski terka dang terasa kurang rasional, menurut Zahra. Dengan modal semangat idealistik, la yaknya seorang pejuang, ia berhasil membujuk dan meyakinkan kedua orang tuanya u ntuk meminang Zahra, kekasihnya. Akan halnya Zahra, yang semula bersikeras tidak akan menikah sebelum bekerja, akhirnya luluh juga. Zahra tak kuasa menolak tali kasih cinta Ali yang hendak diwujudkan ke dalam bentuk pernikahan suci. "Apa kata ibu nanti ?" kembali desah Zahra. Nadanya terdengar pesimis. Ia sudah m embayangkan bagaimana reaksi ibu mertuanya. Wajah dan kata-katanya tentu sangat tidak mengenakkan hati. Terbayang kembali di hadapan Zahra bagaimana kejadian tiga setengah tahun yang lalu, saat ia hamil yang kedua kalinya. Belum sempat ia memberitahu ibu mertuany a tentang kehamilannya ini, beliau telah terlebih dahulu menegur mengapa anaknya yang pertama keburu disapih padahal belum genap umur dua tahun. Ia pun mengatak an keadaan yang sesungguhnya. Tidak disangka, ibu mertuanya menyesalkan terjadin ya kehamilan itu. Dikatakannya bahwa mereka sembrono, tidak hati-hati. "Bikin anak itu enak, gampang. Tapi ngurusnya yang susah. Apalagi ini kamu anak y ang pertama saja masih kecil, baru satu setengah tahun. Ngurus satu saja masih k ewalahan ," cerocos ibu mertuanya mengingatkan, walau sebenarnya sia-sia saja kare na semuanya telah terlanjur. "Kalian sudah dewasa sekolah kalian tinggi .Sekarang zaman sudah maju, peralatan su dah lengkap, tinggal pilih Mengapa kalian tidak bisa merencanakan dengan baik jara k kelahiran anak kalian?" gerutu ibu mertuanya lagi, masih menyesali keadaan.

Zahra mencoba membela diri. Dia menjelaskan kepada ibu mertuanya bahwa dia memi lih tidak memakai alat kontrasepsi lebih disebabkan oleh keinginannya untuk tida k menyalahi kodrat Ilahi. Selain itu, ada kecenderungan pada diri Zahra untuk me mbayangkan hal-hal buruk akibat efek samping dari pemakaian alat kontrasepsi seb agaimana yang ia dengar dari beberapa pengalaman orang-orang yang pernah memakai nya. Suaminya juga membebaskannya dalam mengambil keputusan. Maka, Zahra pun mem ilih jalan yang dipandangnya paling aman: memasrahkan semuanya kepada Tuhan. Bil a dikehendaki untuk hamil akan diterima dengan senang hati, bila tidak itu berar ti belum waktunya. Namun, sang ibu rupanya tidak bisa memahami jalan pikirannya. Zahra menjadi res ah dan gelisah. Perasaan itu begitu menekan di dalam dada. Kegelisahan oleh kein ginan untuk terbebas dari bayang-bayang ibu mertuanya. Kegelisahan menghadapi ma sa depan yang belum jelas. Kegelisahan menghadapi kecemasan-kecemasan. "Kalau ," tiba-tiba suaminya angkat bicara. Masih dengan nada ragu-ragu, "Kalau d igugurkan saja bagaimana ? Ini kan baru berumur kurang lebih satu bulan ?" Tersentak Zahra mendengarnya. Ditatap lekat-lekat wajah suaminya. Sungguh suatu hal yang sulit dipercaya. Tidak disangkanya gagasan seperti itu terucap dari mu lut suaminya sendiri. Zahra tahu persis Ali adalah orang yang mengerti agama. "Tidak! Seumur hidup takkan pernah kumaafkan diriku sendiri jika hal itu dilaku kan. Apa pun yang terjadi jika Tuhan memang menghendaki, maka janin ini akan tetap kupertahankan!" tegas Zahra penuh emosional. Bergidik ia tak sanggup membayangk an bagaimana janin yang terlindung aman di dalam rahimnya diambil paksa oleh tan gan-tangan jahil dan tak berperasaan. Belum lagi rasa sakit yang harus ditanggun gnya, juga rasa berdosa yang akan terus menderanya. Bahkan tidak hanya itu, nyaw anya pun akan turut pula dipertaruhkan. Perdebatan tidak berlanjut. Baik Ali maupun Zahra sama-sama memilih diam. Lama mereka mendiamkan soal itu. Kira-kira sebulan sesudah perdebatan malam itu , tiba-tiba Ali menawari istrinya untuk berjalan-jalan sekeluarga. Kepada kedua anaknya dia berjanji akan membelikan mainan. "Bagaimana Bu nanti sore bisakah?" Ali meminta persetujuan istrinya. "Jangan bicara sembarangan, Yah, nanti kalau anak-anak merengek betul gimana? U ntuk membeli susu saja kadang nggak kesampaian, eh kok malah menjanjikan membeli mainan?" Zahra mengingatkan, menyangsikan ajakan suaminya. Namun, dengan wajah cerah dan tersenyum lebar Ali menunjukkan beberapa lembar u ang seratus ribuan kepada istrinya. "Kalau tidak mau ya, sudah ," dengan entengnya Ali berkata seraya menggoda. Dan acara jalan-jalan pun menjadi kenyataan. Bahkan sejak itu menjadi kebiasaan . Rezeki sepertinya selalu datang setiap diundang. Susu untuk anak-anak tak pern ah kehabisan. Bermacam-macam mainan selalu dapat Ali belikan. Belanja kebutuhan untuk Zahra juga tak ketinggalan. Susu khusus untuk ibu hamil selalu terbeli. Se gala perlengkapan bayi sudah dapat dipersiapkan jauh-jauh hari. Sang suami tampa k bangga dan bahagia melihat anak dan istrinya sehat dan gembira penuh suka cita . Terbersit juga rasa penasaran dalam pikiran Zahra, dari mana Ali beroleh rezeki yang sepertinya selalu datang mengalir itu? Sempat diputuskannya untuk bertanya , tetapi diurungkan kembali niatnya, khawatir akan menyinggung perasaan suaminya .

Akhirnya, Zahra tidak terlalu banyak bertanya karena ia tetap yakin bahwa rezek i yang Ali dapatkan adalah halal jua. Siapa tahu Ali memang sedang beroleh order khusus yang berkaitan dengan profesinya sebagai penulis. Itu saja yang bisa Zah ra tebak. Atau, barangkali inikah hikmah dari kehamilan? Puji syukur dalam hati Zahra. Be narlah kiranya bahwa anak membawa rezeki masing-masing. Roda waktu seakan diputar dengan cepat. Hari demi hari berlalu, bulan demi bula n berganti. Tak terasa bayi dalam kandungan Zahra sudah genap usia, sembilan bul an. Dengan hati gembira disambutnya hari-hari menjelang kelahiran anaknya yang k etiga. Hari-hari yang dinanti penuh debar kebahagiaan. Tepat dua per tiga malam Zahra terbangun. Rupanya anak yang ada di dalam kandun gannya sudah meronta ingin segera melihat dunia. "Ayah Yah ," dengan hati-hati Zahra segera membangunkan suaminya, "sepertinya sudah waktunya ," lanjut Zahra sambil merintih menahan sakit akibat konstraksi di dalam perutnya. Tanpa banyak bertanya Ali segera mempersiapkan diri, dan mereka pun bergegas be rangkat ke klinik bersalin dengan terlebih dulu pamit kepada ibu sambil berpesan agar mengurus kedua cucunya jika mereka bangun nanti. Baru sampai setengah perjalanan, Zahra merasa keheranan, menepuk pundak Ali. "Lho, Yah kenapa lewat sini? Kita ke klinik Bu Aisyah, seperti biasanya, kan?" ta nya Zahra, mengingatkan. "Tidak Kali ini kita ke klinik lain, klinik Bu Ami. Di sana lebih bagus," jelas A li menentramkan. "Memangnya Ayah sudah pernah ke sana ?" selidik Zahra, masih penasaran. "Sudahlah, kita lihat saja nanti," kata Ali memutus pembicaraan, tanpa menghira ukan keheranan istrinya. Zahra akhirnya memilih untuk diam saja, mencoba percaya pada kata-kata suaminya , walau di hatinya masih tersimpan seribu tanda tanya. Di sisi lain dia sendiri juga disibukkan oleh rasa sakit yang melilit. Sesampai di tempat, Zahra segera dibawa masuk kamar bersalin. Persalinan dilaku kan oleh seorang bidan dibantu seorang perawat. Proses persalinan berjalan lanca r dan cepat. Tidak seperti biasanya, setelah tubuhnya dibersihkan dan pindah dari kamar bers alin, bayinya tidak diperlihatkan untuk dipeluk dan diajar menyusu dalam hangatn ya dekapan kasih sayang seorang ibu. Hati Zahra bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Pikirannya mulai berkecamuk. Otaknya dipengaruhi oleh prasangka-prasan gka buruk. Akhirnya, karena rasa penasaran yang tak tertahankan lagi, ia menanyakan di man a bayinya. Ali memandang istrinya sebentar, lalu menunduk. Lama mereka terdiam, sampai akhirnya Ali menjawab dengan pelan. "Sudah diambil yang berhak ." Dug. Jantung Zahra berdegup kencang. Panik. Ditatapnya mata Ali dalam-dalam, me ncari kebenaran. Dinantinya kata-kata Ali lebih lanjut, walau ternyata sia-sia. Akhirnya, dengan terbata dan berurai air mata, Zahra hendak menegaskan, "Maksud

Ayah meninggal ?" Tenggorokan Ali serasa tersekat. Hatinya pedih tersayat-sayat, tak tahan menyak sikan isak tangis dan duka-lara istrinya. Dipeluknya Zahra. Menetes airmata. Tak sampai hati ia mengatakan peristiwa yang sesungguhnya, bahwa bayi tersebut telah dia jual, bahkan sejak masih dalam kandungan istrinya! *** Indri Cerpen: Asa Jatmiko Sumber: Jawa Pos,Edisi 01/25/2004 Indri masih diam memaku di depanku. Saya pun sesaat diam untuk memberi kesempat an ia berkata-kata. Atau minimal membiarkannya menghela napas dalam dengan rasa bebas. Tapi Indri tidak melakukan apa-apa. Tatapannya kosong, keningnya yang lap ang semakin memperjelas kehampaan. Rambutnya yang sedikit ikal tersisir rapi dal am dua belahan ke belakang. Lalu Indri menunduk membenarkan baju ungu yang diken akannya, kembali menatapku. Dan masih tanpa suara. "Kartu Kesehatan kamu terpaksa dikembalikan oleh perusahaan," kata saya sekali lagi. "Kalau kamu masih berharap bahwa cuti kehamilanmu disetujui untuk mendapat kan biaya ganti, mestinya kamu mau mendengarkan saranku." Indri hamil. Sebagaimana biasanya, setiap buruh wanita yang hamil akan mendapat kan uang dan kesempatan cuti hingga masa persalinannya. Ia sudah mengajukan seki tar dua minggu yang lalu, tetapi hari ini Kartu Kesehatan yang disertakan dalam pengajuan cutinya kembali. Alasannya, tidak tercantum nama suaminya. "Saya harus mengisi siapa?" tanya Indri. Saya sudah menduga ia akan mempertanya kan hal itu. "Itulah maksud saya, sedikit direkayasa kan tidak apa-apa. Untuk se mentara saja, daripada kamu malah tidak mendapatkan hakmu!" jawab saya, karena s aya pikir itu akan ikut membantunya. "Iya, saya tahu maksud Bapak. Saya harus mencatut sebuah nama agar saya bisa me ndapat santunan, begitu kan?! Saya harus memanggilnya sebagai suami yang tidak p ernah menikahi saya, semata-mata demi santunan itu?!" kata Indri setengah parau. "He, bukan santunan! Itu hakmu sebagai buruh! Perusahaan berkewajiban memberika n uang untuk biaya kehamilanmu!" Saya mengingatkan. Bahkan saya katakan kepada I ndri untuk tidak berterima kasih kepada perusahaan, karena memang sebaliknya, it u bentuk terima kasih dari perusahaan, bentuk perhatian. Dan sekali lagi hal itu adalah wajib hukumnya! Indri tidak perlu merasa disantuni atau dibantu, kalau n yatanya memang mampu, tetapi perusahaan tetap akan memberikan uang itu kepadanya . "Makanya, karena ini hakmu, penuhi dulu syaratnya. Tidak sulit kan kalau hanya sekedar menuliskan sebuah nama laki-laki di sini. Okelah kalau lelaki itu belum menikahimu saat ini, tapi nantinya toh tetap akan menjadi suami." Saya menjelask an lebih luas lagi, demi dia sendiri. "Kau pun sebenarnya agak keliru, kenapa te rjadi hamil sebelum kalian menikah!" "Saya tidak pernah menikah! Saya diperkosa! Dan saya tidak memiliki lelaki yang saya cintai!!" Indri menjerit, dan menangis. "Kamu diperkosa? Oleh siapa? Pacarmu?"

"Mereka bukan pacar saya! Saya tidak mencintai siapa pun!" "Mereka? Artinya lebih dari seorang ." Tapi saya tak tega mempertanyakannya. Suda h cukup jelas, Indri diperkosa oleh lebih dari satu lelaki. Buru-buru, demi meli hat penderitaannya, saya meminta Indri untuk datang kembali besok pagi sebelum s aya pergi ke kantor pusat. "Dia memang perempuan nakal, Pak! Biarkan saja, ia layak mendapatkan risikonya sendiri. Kita ikut susah, tapi kesia-siaan yang akan kita dapat," celetuk pemban tu kantor saya. Tapi saya membiarkan pendapatnya menguap di udara. Semestinya bagi saya untuk m emperjuangkan haknya yang wajar dia dapatkan. Tidak ada yang istimewa. Soalnya a dalah sebuah nama yang mesti saya tulis di Kartu Kesehatannya, siapa. Indri pun tak menyebut satu nama pun. Sudah saya niatkan sore itu pergi menemui Indri, perempuan dengan rambut seteng ah ikal itu. Saya merasa perlu untuk mengetahui lebih jelas apa duduk persoalan sebenarnya. Jangan-jangan kehamilannya pun cuma akal-akalan, agar ia mendapat cu ti hamil dan biaya ganti persalinannya. Buruh semacam Indri sangat mungkin melak ukannya. Di samping malas, ia tidak berangkat kerja, tetapi tetap mendapatkan ua ng dari perusahaan. Indri masih sangat muda. Usianya mungkin sekitar 20-an. Di kota ini, tidak suli t menemukan perempuan yang menikah pada usia muda. Kebanyakan ukuran bukan pada usia, tapi pada jaminan telah bekerja. Tidak apa menikah, asal sudah bekerja. Ta pi mungkin perlu untuk memperhatikan ucapan pembantu kantor saya, siang tadi. Ga dis seindah Indri, bukan tidak mungkin telah diperkosa sungguh-sungguh oleh kare na, maaf, profesinya selain menjadi buruh. Indri seorang pekerja seks jugakah? Kalau benar ia seorang pekerja seks pula, maka saya memang tak perlu susah paya h mengupayakan cuti hamil dan biaya persalinannya. Biar saja orang akan mengatak an bahwa saya tidak memperhatikan anak buahnya. Saya lebih berprinsip, itu bagia n dari proses pendidikan SDM di dalam pabrik. Kalau sudah niat bekerja, ya sebis a mungkin berjalan dengan lurus. Toh bisa semakin jelas apabila nanti ia diberi kepastian untuk memilih, kerja di pabrik atau keluar saja. Di tengah ribuan peke rja, apabila soal seperti itu dibiarkan, akan menjadi virus yang bisa menular. B uruh-buruh yang lain akan ikut-ikutan, karena merasa pihak perusahaan menutup ma ta. Akhirnya, apa yang ingin saya katakan kepada pembantu kantor saya adalah citra. Ini yang penting. Saya ikut bertanggung jawab terhadap baik dan tercorengnya ci tra perusahaan. Oleh karena itulah saya ingin mendapatkan keterangan lebih jelas dan akurat mengenai Indri. Dengan sedikit kikuk, Indri mempersilakan saya untuk masuk. Saya sudah bilang a gar jangan menganggap saya sebagai atasannya di rumahnya. Tapi itu mungkin sulit baginya. "Kapan kamu melahirkan?" tanyaku. "Hari Sabtu. Berarti tiga hari yang lalu, Pak." "Bagaimana, kau sehat saja?" "Ya, seperti inilah. Bapak melihat sendiri." Indri tersenyum, tersipu-sipu dengan sepasang bibir merah yang basah. Saya menc icipi minuman teh yang ia sajikan. Lalu saya menanyakan kembali soal cuti hamil yang dibahas di kantor. Indri kembali kelihatan serius.

"Ada apa?" "Tidak, Pak. Saya hanya merasa jenuh kalau harus memikirkan hal itu lagi," jawa bnya. "Tapi itu sangat perlu. Apa kamu mau katakan siapa mereka yang telah memperkosa mu sehingga kamu hamil?" Indri menggeleng. "Kenapa kau menutupi mereka? Mereka t elah berbuat sangat jahat kepadamu!" "Saya hanya tidak ingin menanggung penderitaan lagi setelah musibah ini, Pak." Baiklah. Saya menanyakan bagaimana keluarganya atau saudaranya. Saya mendapat i de, agar nama suami di Kartu Kesehatan yang masih kosong itu diisi nama salah se orang familinya. Bisa pamannya atau kakaknya atau siapa pun. Yang penting ada pe rjajian sebelumnya, bahwa setelah dana turun nama itu dilepas. Saya tidak tahu a pakah itu sudah menyalahi aturan atau tidak. Tapi kalau di antara mereka saling percaya, saya kira persoalan tidak menjadi sulit. Tapi Indri tidak mau. Ia bilang bahwa ia sudah malu dengan keluarga, sehingga s udah buntu untuk minta tolong. Keluarganya tidak ingin ikut cemar gara-gara dia, kata Indri. Siang yang lain saya masih menunggu Indri di kantor. Tetapi ia tidak muncul jug a, sehingga saya terpaksa harus tetap pergi ke pusat tanpa ada kejelasan sikapny a. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak sekedar memberikan Kartu Kesehatan, teta pi dengan penjelasan bahwa bagaimana pun Indri tetap berhak atas uang cuti persa linannya. "Sebagai pribadi, saya sebetulnya kasihan. Tapi keputusan perusahaan yang tetap memberikan uang cuti hamil kepada buruh yang hamil tanpa suami? Apa kata dunia? !" kata manajer personalia kepada saya. Saya sudah menyadari hal itu, pikir saya . Lalu saya disuruh meninggalkan ruangannya tanpa mendapat kejelasan nasib Kartu Kesehatan Indri. "Lihat nanti sajalah!" katanya. Sore yang lain lagi, saya kembali mendatangi rumah Indri. Kedatangan saya disam but tangis bayinya. Saya pun memberanikan diri untuk menggendongnya. "Indri, kal au boleh, biarkan anak ini menjadi anak saya. Belum terlalu tua aku punya bayi, kan?" Indri menangis terharu. "Segeralah kamu cari pacar, dan kawin," kata saya lagi. "Lupakan masa lalu ini." *** Kudus, 2003 Negeri di Balik Bulan Cerpen: Achmad Munjid Sumber: Jawa Pos,Edisi 01/18/2004 Bunga, sayang... Kutulis surat ini di sebuah kafe, sesaat setelah senja melenyap di kaki langit Kota Laut yang tenteram. Tahukah kamu, sejak kita memutuskan untuk tidak pernah lagi saling bertemu, aku segera berkemas mengikuti pelayaran panjang yang tak ak an kembali ini. Sebuah pengembaraan yang akan kutempuh sepanjang waktu, menuju N egeri di Balik Bulan. Kota Laut yang tua dan megah ini adalah tempat persinggaha

n entah yang keberapa sejak keberangkatan kami dari Kepulauan Halmahera bertahun silam. Aku bergabung bersama rombongan yang kira-kira terdiri dari dua ribu orang, den gan dua kapal yang selalu meluncur gagah membelah gelombang. Sebagian besar mere ka adalah para pengungsi korban kerusuhan. Sedang beberapa ratus orang lainnya m erupakan penumpang khusus yang datang dari segala penjuru. Yakni, para pengemban tugas nenek moyang masing-masing yang telah mempersiapkan mereka sejak beberapa generasi sebelum mereka lahir. Mungkin akulah satu-satunya anggota yang bergabu ng karena alasan yang bersifat hampir kebetulan. Kalau saja matamu yang indah bisa ikut menyaksikan pemandangan luar biasa menak jubkan malam itu, kau pun tentu akan tak kuasa menahan hasrat seperti setiap ora ng di antara kami yang tergabung dalam kudus ini. Ialah suatu dorongan murni yan g demikian teguh untuk segera menembus lautan waktu. Untuk meninggalkan seluruh nestapa dan derita, dan menyongsong kehidupan baru di negeri penuh pesona, Neger i di Balik Bulan. Bungaku sayang, entah setelah berapa jam kami menunggu dengan perasaan hampir-h ampir putus asa, menjelang pagi di awal milenium itu akhirnya kami pun benar-ben ar menjadi saksi atas munculnya sebuah garis lurus berwarna putih keperakan yang kilau-kemilau dan kian membiru di kedua ujungnya. Itulah suatu wujud yang tak s abar telah kami tunggu-tunggu dengan jantung kian berdebar. Garis itu mula-mula nampak sebagai cahaya tipis yang memantul dari wajah bulan yang menyembul dari b alik menara mercusuar Pelabuhan Teluk Malina. Di bawah lengkung langit berwarna kesumba, cahaya itu turun menembus kabut yang mengambang di atas permukaan laut dan seketika mengubahnya menjadi taburan aneka partikel mutiara yang tak terhitu ng jumlahnya. Karena efeknya yang sangat lembut pada retina, sama sekali tak kami sadari bahw a dalam beberapa detik berikutnya garis itu sebenarnya telah menjadi sapuan sina r teramat tajam yang membuat segenap wujud di depan kami tampak bahkan lebih nya ta dari manifestasinya di siang hari. Pahatan indah kulit-kulit kerang yang bers erakan, buih-buih gelombang yang pecah berpendaran, terumbu karang tak terperika n. Sungguh, semesta wujud di sekeliling kami telah menjelma begitu sempurna. Seg alanya hadir tanpa bayangan. Dalam gelimang cahaya seperti itu sampai-sampai ham pir kami semua lupa bahwa di dunia ini memang pernah ada malam. Ketika itu garis cahaya yang telah menyerap segenap ketakjuban kami pun telah m enjadi sebentuk sabuk permata raksasa yang mendekap lautan. Di depan kami, kini menjelmalah serupa hologram jalan raya maha licin dan terang-benderang yang siap menghantarkan manusia ke tempat segala tujuan. Entah berapa lama setiap pasang mata kami yang menyaksikan kenyataan itu sama sekali tak kuasa mengerjap, sebelu m masing-masing akhirnya menitikkan air mata bahagia. Seperti yang secara rahasi a telah diwariskan turun-temurun di antara mereka yang hidup menderita, itulah p eristiwa penuh kemuliaan yang hanya terjadi selama beberapa saat saja dalam seti ap seribu tahun. Ialah munculnya Garis Milenia, satu-satunya pedoman mengenai ar ah bagi mereka yang hendak berlayar menuju Negeri di Balik Bulan. Maka, gegap-gempitalah puja-puji dan sorak-sorai kami mengawali perjalanan panj ang itu. Diiringi suara mesin kapal yang menderu dan bunyi yang terus mendengung panjang saling bersahutan, kafilah kami bergegas. Kapal kami bertolak ke arah b arat, dituntun oleh kemilau garis mukjizat yang membangkitkan segenap gairah bah agia manusia itu. Setelah beberapa mil baru kami sadari bahwa ternyata bahkan ka mi tak sempat lagi menengok ke belakang untuk sekedar mengucapkan "selamat tingg al" pada Pelabuhan Teluk Malina, tempat di mana seluruh penderitaan telah kami k ubur untuk selama-lamanya. Ketika segenap keajaiban yang telah melenyapkan setiap ingatan dan kata-kata it u akhirnya mendadak berpendar tanpa bekas, tubuh kami serasa serakan lembaran-le

mbaran kapas yang baru saja mendarat setelah melayang-layang mengarungi nun berl apis langit. Untuk beberapa saat, mata kami hanya bisa lamat-lamat memandangi gu ratan-guratan kusam berwarna merah di ufuk timur yang kemudian kami kenali kemba li sebagai pertanda terbitnya fajar. Namun, bersamaan dengan berhembusnya angin pagi yang pertama dan riak ombak yang memecah menerpa badan kapal, kini hati kam i telah sepenuhnya diliputi rasa damai dan sentosa. Dan tahukah kamu? Yang perlu kami lakukan selanjutnya tinggallah berlayar dan terus berlayar mengikuti arah peredaran matahari dan rembulan. Kami tak akan pernah kurang suatu apa. Seperti sudah kami buktikan sendiri, set iap kali berlabuh, masyarakat di mana kami singgah bukan cuma telah mengenali ka mi. Mereka selalu menjemput kami dengan segala kebesaran, tepat di bibir pantai tempat kapal kami merapat. Selamat datang, para musafir agung. Serangkaian perjamuan sebagai ungkapan penghormatan paling tulus pun senantiasa terhidang dalam kelimpahan tiada tara selama persinggahan kami, di mana saja. Meski telah kutekan-tekan begitu rupa, keheranan itu sempat terlontar juga. Kami telah menunggu Anda sejak beratus generasi yang silam, secara turun-temuru n, jawab mereka. Tepatnya, sejak nenek moyang kami menyambut para pendahulu Anda sekalian, serib u tahun yang lalu. Tuhan Yang Agung, puji seseorang di antara kami. Kehadiran Anda adalah isyarat akan terpeliharanya kesejahteraan hidup kami dan anak cucu kami selanjutnya. Hanya karena nasib telah menentukan bahwa kami tidak bisa bergabung dengan Anda, maka kami menahan diri untuk tidak turut serta. Tap i, ijinkanlah kami mengantar Anda sekalian dengan sekadar perbekalan yang mungki n diperlukan sampai tempat persinggahan berikutnya, pinta tetua mereka begitu ka mi berpamitan. Di atas geladak pun termuatlah segala yang kami butuhkan untuk ma sa hingga terbitnya sekian bulan purnama berikutnya. Bunga, maka seluruh pengalaman pelayaran mengikuti garis takdir itu sungguh tak terperikan menakjubkannya. Kadang terlukis juga dalam anganku, seandainya saja aku bisa menempuh perjalana n kudus ini bersamamu. Memang, ketika hendak berangkat, di perbatasan kota ada s aja orang-orang yang meneriaki kita sebagai dua anak manusia yang bebal. Sebagia n lagi hanya mengurut dada iba, sementara yang lain berdoa. Tapi ada juga yang b ersorak: Bravo... Go west young happy couple; just go to where God keep his prom ise. Lalu, dari Pelabuhan Teluk Malina itu, kapal kita pun melaju, menembus langit h arapan. Kita berpelukan di ujung haluan, menyongsong samudera yang menggelora. B intang-bintang berkedipan setengah terpejam karena iri dan ikan-ikan pun terpaku di balik karang, mengintip betapa setiap helaan nafas dan aliran darah kita beg itu sempurna menyatu. Meski akan ada jutaan peristiwa yang mengharu-biru, peluka n kita tak akan pernah melemah, hingga para malaikat terharu dan Tuhan tak lagi mengijinkan kita tersentuh bahaya. Kita akan terus erat berdekapan sebagai sepasang kekasih yang setiap sel tubuh masing-masing begitu merindukan pasangannya, yang jiwa masing-masing selalu tela njang, saling merangkum dan memenuhi lainnya. Cinta adalah hasrat untuk memberi dan kesediaan untuk menerima seutuh-utuhnya, setulusnya, apa adanya. Dan kekuata n tak terperikan itulah yang telah mempersatukan kita. Berdua kita pun tak henda

k berhenti menghayati penaklukan puncak-puncak gelombang paling indah yang bisa dialami sepasang cucu Adam dan Hawa yang saling mendamba. Maka di suatu fajar yang cerah, ketika kita begitu tenang saling menatap di baw ah keteduhan sebuah kota tempat kita istirah, lahirlah anak kita yang pertama. S eorang anak yang kelak akan selalu bertanya dengan mata berbinar dan kita menjaw ab segalanya dengan penuh suka-cita. Kita akan menyelimutinya dengan segenap cin ta, membimbingnya dengan seluruh harapan dan menopangnya dengan berlaksa-laksa d oa dan airmata. Kita tak henti memperhatikan setiap langkah kaki dan gerak bibir nya yang mungil. Mama, Mama, itu apa, Ma? tanyanya padamu. Oh, itu bunga, sayang, jawabmu. Indah bukan? Horeee, bunga, bunga. Indaah sekali, Ma....., ia bersorak riang. Aneka warna ku pu-kupu ikut tertawa-tawa ria mengitarinya. Kelak kamu juga harus memiliki hati yang indah, seindah hati ibumu, aku membela inya. Dan ia menari dan bergelayutan manja di pangkuan kita. Yang itu apa, Pa? Itulah matahari, sumber kehidupan. Horee, mataharii..., ia pun menyanyi. Yang itu? Itulah bulan, sayang, jawabmu syahdu. Ialah lambang kesetiaan. Siapa pun yang s etia pada prinsip dan keyakinan dirinya, dia akan mempesona seperti bulan. Betul, Pa? Bisakah kita ke sana? Kita bahkan sedang menuju Negeri di Balik Bulan. *** Horee, horeee..... Jadi kita akan bertemu para bidadari yang cantik-cantik itu, Pa? Jadi, kita juga akan memetik harpa para dewa, Ma? Sungguh?! Engm,... kalau yang itu, apa? Yang biru membentang dan menggelora itu? Laut, Sayang. Ia amat dalam. Tapi, kam u harus tahu, masih lebih dalam lagi cinta yang telah melahirkanmu. Lagi-lagi se pasang tangannya yang mungil itu ditepuk-tepukkannya gembira. Kini ganti tanganm u yang membelainya. Tapi, itu siapa, Ma? Ooh, anakku, itulah orang-orang dan anak-anak yang malang, Sayang. Orang-orang menyebut mereka kaum gelandangan. Makanya, jadilah anak yang cerdas, penuhilah h atimu dengan cinta dan kasih sayang, supaya kelak kamu bisa menolong mereka. Ya, Mama, matanya berkaca-kaca. Kita pun menciumnya haru dan mesra, kita berciu man haru dan mesra. Dan dunia pun terkesima. Lalu, kita melanjutkan perjalanan d i bawah naungan langit yang kian luas mengembang. Sementara kebahagiaan kian pen uh mengisi cakrawala. Betapa pun kini kau tak ada bersamaku. Lagi pula, tanpa pertengkaran dan perpis ahan itu, mustahil pula rasanya kini aku berada di tengah kafilah para musafir i ni. Bungaku, sungguh, sebelum meninggalkan Pelabuhan Teluk Malina dulu, keadaan seperti ini membuat hatiku demikian pilu. Bahwa akhirnya kita tak bisa hidup ber

sama adalah luka yang nyaris tak tertanggungkan pedihnya. Hanya kekuatan suci ci ntalah yang telah memberiku tenaga untuk bertahan dan membiarkan anak panah yang entah telah dibidikkan oleh tangan siapa terus menghunjam di dadaku. Kuhayati s eluruh rasa sakitnya, tanpa merintih, tanpa mengadu, bahkan kepada Tuhan. Memang , aku tak pernah bisa berhasil dengan sempurna. Itulah sebabnya, aku terpaksa me lukis sebagian cabikan luka itu dengan darah yang menetes dari sana, kutulis ras a sakitnya menjadi puisi, dan kusenandungkan rintihan piluku sebagai lagu. Tapi kini, semua itu telah kutanggalkan di Pelabuhan Teluk Malina, di Kota Lama , tempat kita bertahun-tahun terus bercumbu diam-diam tanpa mengenal waktu. Kala u suatu hari kau sempat menemukannya kembali di suatu galeri milik seorang teman , di toko-toko buku, atau mendengar pengamen bis kota yang menyanyikan lukaku. H anya itulah yang bisa kutinggalkan sebagai kenangan untukmu. Semoga ia pun bisa menjadi hiburan bagi para kekasih yang mengalami derita sepertiku. Kini, aku telah tenteram dalam bentangan triliunan mil perjalanan yang akan ter us kutempuh sepanjang waktu, menuju negeri segala kedamaian, Negeri di Balik Bul an. Beruntung aku masih menyimpan alamat kamu sehingga aku bisa mengirim surat i ni, sebagai bukti bahwa aku tetap mengenangmu. Memang, pada akhirnya, tak ada la gi yang patut disesali. Juga apa yang telah terjadi di antara kita. Meski tak lagi bisa menyentuhmu, dari jauh aku senantiasa bisa mencium kembali setiap aroma yang dulu kunikmati dari segenap pori-pori tubuhmu. Bungaku, cinta yang suci memang tetap indah untuk dikenang. Ia abadi. *** Kopi Seledri Cerpen: Sandiantoro Sumber: Jawa Pos,Edisi 01/04/2004 Kenangan. Terbuat dari apakah kenangan itu? Apakah kenangan itu seperti secangk ir kopi yang selalu dirindukan kedatangannya? Atau seperti lengkingan terompet M iles Davis yang getir dan menyayat di malam-malam yang basah? Hidup kita memang penuh kenangan. Sebuah kisah sambung-menyambung dengan kisah lain. Kadang terangkai dengan sempurna keindahannya hingga kita selalu mengingin kan kenangan itu datang lagi. Kadang pula tercabik di sana-sini, dan meninggalka n perih yang mengiris. Aku ingin menjadi bagian dari kenangan itu, sepotong scen e dalam kehidupanmu tanpa harus tahu akan kau letakkan di mana intro, reffrain, atau ending? Atau mungkin menjadi bagian interlude yang bisa timbul-tenggelam? Kita memang sering merindukan kenangan, bersama rintik hujan sore hari, di saat malam sangat senyap, atau ketika berada di sebuah sudut tanpa batas. Kenangan s ering datang perlahan, mendadak di depan mata, lalu lenyap begitu saja. Atau mun gkin beringsut, ngendon sekian lama, membentuk sebuah gambar di bingkai kaca, da n melambai-lambai bak fatamorgana. Kenangan memang maya, tapi kita sering ditari k dalam alam nyata. Seperti senja ini, aku mengenangmu. Bersama semua cerita dan bayangan yang pern ah ada, membentuk sepetak fatamorgana di depan mata, ditemani cangkir mungil kop i seledri. Bersama selarik black forrest yang manisnya seperti masih tertinggal di ujung lidah. Bersama pendar-pendar bola matamu yang kadang tampil malu-malu. Bersama sekulum senyummu yang selalu dirindukan. Aku hanya bisa mengingat dan me ngenangnya, karena pertemuan sudah menjadi sesuatu yang asing.

Sebuah pertemuan yang kau tawarkan membuatku bergairah. Kehadiranmu adalah beni ng. Pertemuan adalah penyegar bagi dahaga panjang kenangan. "Aku ingin bertemu d enganmu besok sore," begitu yang terbaca di layar ponselku. Aku langsung memencet tombol paling kiri atas dan menuliskan: "Jam brp? Di mana ?" Aku sangat antusias, seperti hujan pagi hari yang menyegarkan. Ini adalah kabar pertama setelah tujuh tahun lalu. Tak lama ponselku bergetar lagi: "Di tmpt bia sanya. Pokoknya sore selepas kerja." Pertemuanku dengan Maya memang sederhana, bahkan sangat sederhana. Pertemuan an tara dua bayangan masa lalu yang terpenggal, lalu secara perlahan kembali dipert emukan oleh waktu. Dua bayangan itu tiba-tiba saling mendekat, tanpa kita pernah merasa kalau kita sebenarnya telah dekat. Dari sebuah rasa yang hanya bisa dikh ayalkan, akhirnya bisa menjadi sebuah kenyataan. Seperti pertemuan dua muka, per temuan dua telapak tangan, yang selama ini mungkin hanya hadir dalam cermin. Aku mensyukuri semuanya, seperti halnya mensyukuri pertemuan ini. Aku semakin yakin jika putaran waktu semakin tidak bisa ditebak dan tak terukur. Pertemuan kami adalah seperti takdir. Aku hanya berani bilang "seperti" karena takdir itu sebenarnya bukan milik kami. Sebuah takdir yang terus menjaga perasaa n (yang tersimpan bertahun-tahun tanpa harus bisa berbuat apa), lalu menghadirka n kembali di saat yang tepat. Sebuah takdir yang mampu membuat sebentuk pertemua n indah seperti pertemuan mentari dan batas cakarawala yang selalu menawarkan ke indahan berbeda, saat pagi dan senja, dari hari ke hari. Maya menyisakan rangkaian kisah bernama kenangan setelah menikah dengan seorang bankir pilihan orang tuanya. Katanya, menikah dengan bankir lebih terjamin hidu pnya, banyak uang. Mungkin orang tuanya terilhami peribahasa: dekat wak haji bis a jadi santri, dekat penjambret bisa jadi penjahat, dan kerja di bank berarti ma ndi uang. Tak peduli itu uang orang. Busyet! Sebuah senja yang indah menyapa, ketika sore yang dijanjikan itu datang. Dari l angit temaram mentari sore menyemburkan sinarnya, membentuk larik-larik merah-ji ngga di ufuk barat. Sinar-sinar itu menerobos daun-daun yang melambai dan memben tuk kotak-kotak keemasan di atas tanah. Aku pun membayangkan apa yang kau lakuka n di sore yang indah ini? Apakah wajahmu sudah kembali bersinar dan seindah sore yang menyejukkan kalbu? Ataukah masih dilanda bad mood yang membuatmu enggan be rkata-kata? Aku dan Maya punya tempat favorit. Sebuah kafe taman di kota ini. Tempat dudukn ya di ujung kanan, bukan paling pojok tapi nomor dua dari ujung, di bawah pohon jambu air yang satu-satunya tumbuh di taman itu. Dari tempat ini kami serasa men dapat ruang tersendiri meski jarak kursi lain tak jauh. Di bawah pohon jambu yang tak juga tinggi, kini aku menunggu Maya, menunggu ken angan, dengan cemas dan penuh harap. Aku hendak menelepon, aku ingin memastikan pertemuan ini. Nomor ponselnya sudah tertera di layar. Namun dalam batin terjadi perang antara ya dan tidak . Akhirnya aku pencet tombol merah, aku tak jadi menelepo nnya. Aku hanya ingin dengar suaranya langsung dengan melihat bibirnya terbuka. Sebuah pesan singkat masuk lagi: "Aku agak telat, ada rapat kecil evaluasi. Tun ggu dulu ." Menunggu sebenarnya membosankan, tetapi menunggu kenangan adalah sebua h keasyikan. Aku segera me-replay: "Tak apa, selesaikan dulu pekerjaanmu." Di ujung jalan terlihat senja mulai turun. Merah keemasan menyiratkan berbagai kisah hari ini. Mega-mega kuning memecah cakrawala. Sinar-sinarnya mulai membunc ah, bergelora menyergap barisan para pekerja yang menyemut di jalanan. Mungkin m ereka sedang dalam perjalanan pulang. Mungkin saja sedang bergegas menjemput ist

rinya. Mereka tampak sekali "bernafsu" ingin menaklukkan waktu. Mungkin mereka t ermasuk orang-orang yang mengkeret di sudut mata istrinya. Mungkin pula mereka t akut karena istrinya baru saja lulus ujian sabuk hitam karate kyokushinkai. Yang jelas, mereka begitu takut dengan waktu (dan istrinya). Semua terlihat bergegas , berburu waktu. Itulah kota ini, ketika waktu sudah tak lagi cukup 24 jam. Aku merasa tak pernah seperti mereka. Belum pernah aku bekerja seperti mesin wa ktu, berjalan normal dari pukul 09.00-17.00 WIB. Aku tak bisa seperti mereka ket ika waktu bergerak selalu sama dari hari ke hari. Aku punya putaran waktu sendir i. Waktu terus beringsut hingga berada di antara bibir senja dan malam. Cahaya men tari mulai meredup digantikan sinar-sinar elektronik. Udara sedikit sejuk. Aku m ulai resah. Sudah hampir satu jam aku menunggu tetapi tubuh semampai dengan balu tan rok tiga perempat tak juga muncul. Aku masih ingat baunya. Ia suka wangi Obs ession. Tetapi hingga detik ini ujung hidungku belum terbetik wangi itu. Aku tet ap bertahan, sebuah pertemuan setelah tujuh tahun belum tentu kembali terulang. Jangankan pertemuan, bertukar suara saja tidak. Kurun sering tak menentu, meski kadang datang dan pergi tak tentu arah. Begitu juga dengan hidup ini, selalu ber jalan antara kejutan dan kenangan. Jantungku berdegup semakin kencang. Pantatku mulai panas. Benakku terus dipenuh i pertanyaan: pertemuan ini jadi atau tidak? Apakah aku harus meninggalkan tempa t ini? Aku masih bertahan, dengan potongan-potongan kenangan yang beberapa penggal tel ah mengabur seiring langkah yang kian menjauh. Namun tetap menyilaukan, hingga a ku tahu ke mana harus mencari titik-titik dirimu, antara senja dan malam berbint ang. Panggung kecil di tengah resto kebun itu mulai terang. Itu tanda pemusik yang m emainkan nada-nada lembut siap beraksi. Hari itu Selasa, sebuah hari yang sebena rnya tak begitu pas untuk membuat kenangan tujuh tahun itu menjadi kenyataan. Ta pi aku tak peduli. Aku terus menunggu, menunggu datangnya sebuah kenangan. Aku dan Maya punya bayangan yang sama tentang masa lalu. Memendam kekaguman tan pa harus banyak bicara. Menyimpan rasa tanpa harus tahu ke mana jejaknya akan pe rgi. Tetapi apakah sebuah kekaguman itu harus dibicarakan? Aku rasa tidak. Rasa akan dijawab dengan rasa, jiwa akan dibalas dengan jiwa. Aku tak ingin orang lai n menjadi elemen ketiga dari rasa kita, jiwa kita. Bukankah ini adalah rasa kita berdua? Bukankah ini jiwa kita berdua? Sebuah kekaguman, keinginan, rasa, dan j iwa yang kemudian dipertemukan. Aku ingin menikmati semuanya ini berdua, dengan rasa, dengan jiwa. Tanpa curiga, dan tanpa orang lain yang kadang tak paham deng an dunia kita. Aku memesan kopi seledri, minuman kesukaan Maya. Selama ini bayangku tentang Ma ya hanya tertumpah dalam satu bentuk: kopi seledri. Aneh memang, tapi itulah kop i yang membuatku ingat padanya. Juga dengan kejap matanya ketika menghirup kepul uapnya. Sebenarnya itu adalah coffee mint. Tetapi ia lebih suka menyebutnya kop i seledri. Mungkin karena bentuk daun mint lebih mirip daun seledri. Aku mulai tak sabar. Sayup-sayup terdengar intro Kenangan, lagu Bebi Romeo keti ka ditinggal kekasihnya. Aku kirim SMS padanya: "Sudah sampai mana? Brp lama lag i aku harus menunggu?" Tak ada sepotong pun jawaban. Mungkinkah dia terjebak macet hingga dua jam? Apakah rapat kantornya terlalu se rius untuk diakhiri? Atau dia ditimpa kecelakaan lalu lintas? Dengan cepat aku m enghapus bayangan buruk itu. Aku sahut cangkir, dan aku minum tiga teguk sekalig us.

Malam semakin pekat. Rembulan tiba-tiba muncul di angkasa, menyeruak dari balik awan hitam yang telah menyelimuti langit sejak sore hari. Rembulan itu kuning b enar meski bukan saat purnama. Di sekelilingnya berbinar cahaya putih yang mengi kuti ke mana pun dia pergi. Bulan itu seperti tersenyum, menawarkan sebuah keind ahan malam setelah beberapa malam ini selalu tersembunyi. Aku pun bertanya-tanya , apakah bulan juga menyimpan dunia keindahan? Aku pun kembali bertanya, apakah di sana juga ada dua insan yang menyimpan kenangan dan memendam rindu? Debar jantung mulai bergeser jadi resah. Aku membunuh waktu dengan membuka game s di ponsel. Aku memilih snake, aku ingin memperbaiki rekor yang masih 710. Teta pi pikiranku sudah telanjur kacau. Angka yang tercatat tak pernah lebih dari 400 sebelum game over. Aku sudah benar-benar tak sabar. Penat dan gerah sudah semakin tak mampu kutaha n. Batinku seakan mau marah. Ingin sekali aku meneleponnya dan memakinya sekalia n. Tapi selalu tertahan. Haruskah aku marah pada sebuah kenangan yang indah? Ama rah itu surut diterpa kelebat bayangmu, dengan rambut tersibak bak iklan shampo. Kopi seledri di hadapanku tinggal separo. Aku semakin gelisah, ditingkahi amara h. Apakah dia akan mempermainkanku sekali lagi? Aku pandangi lekat-lekat keramik broken white dengan garis hijau di sampingnya. Masih sama persis dengan tujuh t ahun lalu. Bentuknya manis, tapi aku tak yakin itu bikinan FX Wijayanto. Darahku kembali naik ke otak. Hatiku mulai panas, tak seperti sisa kopi ini yan g semakin dingin. Crazy milik Julio Iglesias yang mengalun lembut tak mampu melu nakkan hatiku. Akhirnya aku kirim SMS lebih keras: "Kita jadi bertemu atau tidak ?" Aku tunggu beberapa saat. Tak ada jawaban. Batinku menjadi hening, pikiranku melayang-layang. Semua panca inderaku seperti dikepung bayangan Maya. Muncul ker lip sesaat, dengan cepat kubuka, ternyata hasil report dari pesan yang lalu. Aku masih menunggu dengan rona muka yang tak lagi secerah sore tadi. Waktu teru s berputar. Tak juga ada jawaban. Anganku buyar. Aku memandang sesaat kursi kayu di depanku, tempat duduk Maya tu juh tahun lalu, juga kopi seledri yang tinggal seteguk lagi. Ponselku kembali bergetar. Aku tahu itu dari dia, mungkin tinggal beberapa lang kah lagi ia akan di depanku. Dengan sigap aku buka inbox. Betul dari dia. Dunia benar-benar gelap. Aliran darah seakan berbalik arah. Seribu tanya yang berkuban g di kepala berubah menjadi beku. Ia menulis singkat: "Aku tak jadi bertemu, itu selingkuh." *** Palu-Makassar, September 2003 Kulihat Tengkorakmu di Sangiran Cerpen: Leres Budi Santoso Sumber: Jawa Pos,Edisi 12/28/2003 Kulihat tengkorakmu di Sangiran, di sebuah kios suvenir. Tengkorakmu bercokol, sederet dengan patung-patung dari batu onix. Aku tahu itu tengkorakmu karena aku serasa melihat, bahwa dari lobang mata tengkorak itu kedua biji matamu bergerak -gerak dan menatapku nanap. Aku tahu betul sebentuk bola matamu. Pertama kali melihat tengkorakmu, sudah pasti aku kaget. Kok tengkorakmu sampai di Sangiran, dipajang sebagai suvenir? Bagaimana bisa tengkorakmu yang dikubur tiga tahun lalu di Surabaya itu disebut fosil yang hidup 200 ribu tahun silam?

Adakah tengkorakmu tiba-tiba menyembul dari dalam kubur, lalu menggelundung ke Terminal Purabaya, melompat bagasi bus patas, turun di Sragen dan langsung ke Sa ngiran, dan kepada seorang pemilik kios kau berkata, "Aku manusia purba yang hid up 200 ribu tahun lalu!?" Ataukah ada orang yang sengaja menggali kuburmu, memen ggal kepalamu, lalu menjual tengkorakmu? Dan, kau terus saja menatapku ketika aku perlahan-lahan mendekatimu, dan meneli ti gigi-gigimu yang masih utuh, baik gigi rahang atas maupun bawah. Hidungmu yan g gerowong itu mirip gua yang sewaktu-waktu ratusan kelelawar melesat terbang. T api ah, di dalam mulutmu yang menganga memamerkan sederet gigimu itu ada sebongk ah tanah kering. "Tinggal ini yang umurnya 200 ribu tahun. Tak mahal kok, cuma seratus ribu. Sam pean bisa memajang di buffet atau dibikinkan kotak kaca. Sampean lebih terhormat memajang tengkorak di ruang tamu daripada lou han. Seratus ribu saja," kata wan ita penjaga kios suvenir sambil berdiri di sebelahku. Tanganku terus saja bergerak mengelus-elus tempurung dan rahang-rahangmu. Sungg uh, sungguh keras bagai batu. Andai kau masih hidup, bagaimana aku bisa mengelus -elus kepalamu, mengetok-ketok batok tengkorakmu seperti ini? Hi hi inikah batok kep ala manusia yang hidup dari berburu binatang, yang menggunakan kapak batu untuk membunuh mangsanya? Kau bukan manusia purba. Kau adalah temanku. Mulai dari TK, SD, SMP hingga STM kita selalu satu kelas. Tapi meski kita selalu bersama-sama, nasib kita bagaikan u fuk timur dan ufuk barat. Kau menjadi pengusaha yang kaya raya, sedang aku, sete lah bertahun-tahun ngernet, lalu menjadi sopir. Setelah berpindah-pindah bos, ak hirnya aku menjadi sopir pribadimu, menjadi orang suruhanmu. Betapa matamu pernah menyala-nyala marah ketika di awal-awal aku ikut kamu aku sembrono dengan njambal memanggil namamu, "Di!" Di dalam mobil suaramu mengguntu r, "Aku ini bosmu, tidak sopan kamu memanggil aku "Di". Ingat, Pak Bos, Pak Bos! !!" Dan, sejak itu, di mana pun tempatnya (berduaan dalam mobil sekalipun) aku w ajib memanggilmu "Pak Bos". Bahkan dalam mimpi pun aku memanggil-manggil kamu "P ak Bos"! "Seratus ribu bukan harga yang mahal," kata penjaga kios lagi. Jika aku terkesa n ragu-ragu membeli tengkorakmu, itu karena aku berpikir: semurah itukah harga t engkorakmu, wahai sahabat yang pernah menjadi bosku? Mungkin saja kau mengiba pa daku untuk menyelamatkanmu dengan cara menebusmu dari penjual barang kerajinan i ni. (Semasa kau masih hidup, uang 100 ribu tentu kecil saja nilainya. Lha, semal am kau bisa menghabiskan beratus-ratus ribu, bahkan jutaan, untuk ngebosi temantemanmu di diskotek yang pengap oleh asap rokok). Bagaimana pula dengan istri dan anakku kalau tahu aku pulang dengan tengkorak m anusia? Tentu lucu kalau membayangkan ekspresi mereka. "Bawa ole-ole apa, Pak?" tanya anakku. "Tengkorak!" jawabku. Pasti mereka akan lari kocar-kacir. Istriku akan beringsut di pojok kamar sambil mencak-mencak melarang tengkorakmu masuk ke rumah. Dititipkan ke istrimu? Mana dia akan percaya kalau tengkorak ini adalah kamu. A palagi dia sudah menikah lagi dengan Basado, direktur keuanganmu yang kini menge ndalikan perusahaanmu. Sudah pasti Basado tak mengizinkan ada pria lain di dalam rumahnya (dulu rumahmu), apalagi itu tengkorakmu. Ah, peristiwa tragis itu, peristiwa tiga tahun lampau itu, tahukah kau, masih te rgambar jelas di benakku. Serasa baru kemarin saja kau memintaku menjemputmu di Bandara Juanda, sepulang kau dari Jakarta. Dalam perjalanan kau nampak ceria dan berkali-kali menerima handphone dari seseorang. Kau juga bilang akan membeli 1.

000 ban dan 300 accu dump truck karena menang tender pengurukan laut di Probolin ggo. Lalu, kalau ini aku tidak salah dengar, tahun depan kamu ingin mencalonkan diri menjadi gubernur. Dari Juanda bukan langsung pulang, tapi kau mampir dulu di Hotel A. Di sana sud ah menanti wanita bookingan di dalam kamar. Lalu kau menyuruhku menunggu di park iran. Sudah pasti aku tahu apa yang sedang kau lakukan bersama wanita itu di kam ar. Aku ini temanmu sejak kecil, jadi aku sudah tahu kelakuanmu. Dan, tujuh jam kemudian kau ditemukan mati telanjang bersama wanita itu, saling berpelukan, den gan sperma tercecer-cecer di seprei. Wuah, istrimu bagai orang gila waktu jenazahmu datang ke rumah. Dia tak mau kel uar menyambut jenazahmu. Tiada ratapan. Dia terus-menerus sembunyi di kolong amb en sambil membisu. Barhari-hari kemudian dia terus menelungkup di kolong, dan da ri mulutnya keluar desis. Bahkan ketika jenazahmu diberangkatkan ke pekuburan di a tetap di kolong. Sedih memang, bila jenazah yang hendak dikuburkan jangankan d isentuh istri, dilirik pun tidak. Dengan sembunyi seperti itu sudah tentu wartaw an yang mem-blow-up kematianmu besar-besar susah mewawancarai istrimu. Seminggu kemudian istrimu mulai berani keluar kolong, keluar kamar, tapi mati-m atian enggan keluar rumah. Dia selalu mengenakan baju dengan motif kerupuk terun g yang dulu dibelinya di Singapura. Matanya sembab. Kikir bicara, seolah suarany a tercekat di tenggorokan. Tahukah kau sahabat yang pernah menjadi bosku, kalau istrimu matanya sembab dan kikir bicara, itu bukan karena sedih, tapi lantaran m alu karena suaminya mati telanjang di pelukan pelacur. Kala itu perusahaanmu di ujung kebangkrutan. Untunglah Basado segera menjadi de wa penyelamat, bukan saja bagi perusahaanmu, tapi juga istri dan anak-anakmu. Se jak itu Basado berusaha menjauhkan istri dan anak-anakmu dari hal-hal yang berba u kamu. Lantas itulah mereka kemudian memecat aku. Sungguh, andaikata orang tahu bahwa tengkorak ini adalah tengkorakmu, pastilah menjadi rebutan banyak orang. Tentulah tengkorakmu mahal harganya. Mengapa? Kare na kau pernah ditemukan mati bugil di hotel bersama wanita nakal! Tengkorakmu ak an disimpan dalam kotak kaca, lalu diberi label di bawahnya, "LAKI-LAKI YANG MAT I DALAM PELUKAN PELACUR"; Hotel A, Surabaya, 20 Januari 2000. "Seratus ribu bukan harga yang mahal untuk tengkorak manusia purba, Pak." Apa kegunaan tengkorak manusia bagi sopir seperti aku? Kecuali jika tengkorakmu membawa peruntungan bagiku, hi hi hi Oh ya, tahukah kau, sejak kematianmu yang memalukan itu hingga sekarang aku sud ah empat kali berganti-ganti bos. Kini aku ikut bos tua yang kegiatannya cuma ke luyuran dan makan enak, yang bicaranya pelo, yang jalannya disangga tongkat dan harus kutuntun, yang tangan dan kaki kirinya lumpuh, dan yang bicaranya kasar da n suka misuh-misuh. Perusahaannya banyak, dan semua dikelola oleh anak-anaknya. Gule dan sate kambing adalah satu-satunya makanan kesukaannya. Kau mungkin tida k percaya kalau bosku ini menderita stroke (obat yang dia makan saban hari banya knya hampir segenggaman tangan orang dewasa). Dia pernah kritis dan dirawat inte nsif. Bahkan dokter pernah memvonis umurnya tinggal hitungan minggu, tapi dia ta k kunjung mati sampai bertahun-tahun kemudian. Bosku ini bisa menghabiskan 25 su nduk sate kambing sekali makan, belum lagi gule dengan daging campurannya. Dia kerap mengajakku jalan-jalan ke situs-situs purba. Kali ini dia kembali men gunjungi Trinil lalu terus ke Sangiran. Padahal dia tadi pamit istrinya hanya ja lan-jalan ke Trowulan. Setiap datang di Sangiran dia selalu memintaku menuntun d i dalam museum. Etalase yang paling dia sukai adalah sekumpulan tulang-belulang gajah purba.

Tahukah kau, apa yang dia lakukan di depan tulang-belulang gajah purba itu? Dia bisa berjam-jam bergeming, tapi hanya wajah dan kepalanya saja yang bergerak-ge rak. Kadang dia tertawa terpingkal-pingkal, namun kadang dia menangis tersedu-se du. Dan yang paling kubenci bila dia termangu-mangu seraya memiringkan kepalanya sehingga dari mulutnya yang menganga meleleh air liurnya. Pasalnya, akulah yang harus melap air liur itu! Tapi ada yang paling kusukai, yaitu bila dia diam ser ibu bahasa sambil berjam-jam mengangguk-anggukkan kepalanya. Mengapa bosku bisa seperti itu di hadapan sekumpulan tulang-belulang gajah? Aku tidak tahu persis. Hanya saja dia pernah terbata-bata berkata, " Andai, andai a ak aku hidup di zaman purba he ber bersama gajah gajah-ga jah itu he " Sekarang, sekarang bosku sedang duduk berlama-lama di depan etalase gajah. Suda h sejam lalu dia tertawa-tawa sendiri. Lalu, dengan alasan berak, kutinggalkan d ia sendiri duduk di kursi plastik --semoga saja Tuhan menjaganya sehingga dia ti dak terjungkal dari kursinya. Jadilah aku berkesempatan keliling-keliling, berla gak turis, berkunjung ke kios-kios suvenir. Eh tidak tahunya ketemu kamu. "Tengkorak ini umurnya 200 ribu tahun, Pak," ulang penjaga kios lagi. Kau serasa tetap menatapku. Tapi bola matamu sekarang tidak seperti dulu lagi; mata yang mudah terbakar di ruang rapat, mata yang mudah menyala ketika anak bua hmu membantah perintah, mata yang mudah berkobar-kobar ketika anak buahmu menyel a pembicaraanmu. Dan, kian lama kita bersitatap, serasa kulihat matamu berubah m eminta pengampunan. Ya, aku tahu (sebagai sopir pribadi, apa yang mesti kau raha siakan dariku?), kau pernah coba-coba meniduri istriku. *** Sidoarjo, 8/2003 Catatan: Sangiran adalah situs purba di Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen, Jawa Teng ah. Pertama kali ditemukan oleh GHR von Koenigwald, 1934. Di Sangiran diperkirak an sudah ada kehidupan sejak 1,5 juta tahun lalu.

You might also like