You are on page 1of 38

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak menyerang masyarakat dengan intensitas penularan yang cukup tinggi, hal ini karena penyakit ISPA sebabkan oleh lebih dari 200 agen virus yang berbeda secara serologis. Infeksi saluran pernapasan adalah infeksi yang mengenai bagian manapun saluran pernapasan, mulai dari hidung, telinga tengah, faring (tenggorokan), kotak suara (laring), bronchi, bronkhioli dan paru. Jenis penyakit yang termasuk dalam infeksi saluran pernapasan bagian atas antara lain yaitu batuk pilek, sakit telinga (otitis media) dan radang tenggorokan (Nelson, 2000). Pada umumnya, penyakit ISPA sering terjadi pada anak-anak karena pada anak memiliki daya tahan tubuh yang rendah. Penyakit ini dikatakan infeksi karena terjadi melalui proses masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit pada saluran pernapasan mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinussinus, rongga telinga tengah dan pleura. Penyakit ISPA juga dikatakan sebagai penyakit akut karena infeksi yang terjadi berlangsung sampai dengan 14 hari.

ISPA sering terjadi karena disebabkan oleh efek pencemaran udara terhadap saluran pernafasan yang menyebabkan pergerakan silia hidung menjadi lambat dan kaku bahkan dapat berhenti sehingga tidak dapat membersihkan saluran pernafasan akibat iritasi oleh bahan pencemar. Produksi lendir akan meningkat sehingga menyebabkan penyempitan saluran pernafasan dan rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernafasan. Akibat dari hal tersebut akan menyebabkan kesulitan bernafas sehingga benda asing tertarik dan bakteri lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran pernafasan, hal ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan (Budiman, 2006). Data yang dihimpun dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa setiap tahun ada sekitar 13 juta anak balita di dunia yang meninggal dan sebagian besar kematian tersebut terjadi di negara berkembang, dimana ISPA merupakan salah satu penyebab utamanya (Depkes RI, 2000). Tingginya serangan penyakit ISPA bahkan terjadi secara meluas sampai pada daerah pelosok misalnya di Propinsi Sulawesi Tenggara, dengan jumlah kasus pada 3 Tahun terakhir. Profil Dinas Kesehatan Sulawesi Tenggara Pada Tahun 2010 kejadian ISPA sebanyak 17.314 kasus. Tahun 2011 kejadian ISPA sebanyak 16.292 kasus. Tahun 2012 kejadian ISPA sebanyak 18.157 (Dinkes Sultra, 2009).

Kabupaten Buton Utara merupakan salah satu kebupaten di Propinsi Sulawesi Tenggara dengan jumlah kasus ISPA selama tiga tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 ditemukan penderita ISPA sebanyak 3.932 kasus, tahun 2011 meningkat menjadi 4.787 kasus, dan pada tahun 2012 meningkat

sebanyak 4.853 kasus (Dinkes Kab. Buton Utara, 2012). Tingginya kasus penyakit ISPA di Kabupaten Buton Utara diduga karena disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya yaitu status gizi balita yang kurang baik sehingga mempengaruhi daya tahan tubuh balita, kondisi pemukiman warga yang padat dan tidak terstruktur dengan baik serta sanitasi yang buruk yang memicu terjadinya polusi udara sehingga meningkatkan penularan penyakit ISPA. Salah satu daerak di Kabupaten Buton Utara dengan kondisi pemukiman yang demikian adalah Kelurahan Bone lipu. Data dari Puskesmas Bone Lipu tahun 2012 menunjukkan bahwa jumlah penderita ISPA selama empat bulan terakhir adalah 256 kasus. Hasil observasi dan wawancara awal dengan petugas kesehatan di Kelurahan Bone Lipu diperoleh fakta bahwa penyakit ISPA merupakan jenis penyakit penyakit yang ada dengan jumlah kasus tetinggi di daerah tersebut dan kebanyakan menyerang pada balita.

Tingginya kasus penyakit ISPA di Kelurahan Bone Lipu dengan status gizi dan kondisi pemukiman yang belum memadai, sangat penting untuk dilakukan penelitian sehingga dapat diketahui dengan pasti faktor-faktor yang mempengaruhi tingginya kasus ISPA di daerah tersebut. Penelitian dapat dilakukan dengan

mengidentifikasi hubungan antara status gizi balita, kondisi fisik perumahan warga dan kepadata hunian dengan peningkatan kasus penyakit ISPA. Hasil penelitian nantinya dapat dijadikan sebagai bahan referensi terutama oleh pengambil kebijakan untuk menekan peningkatan kasus penyakit ISPA sehingga dapat memperbaiki kualitas kesehatan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, maka penulis melakukan penelitian tentang Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita di Wilayah Pesisir Kelurahan Bone Lipu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara Tahun 2013.

B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah a. Bagaimana hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah pesisir Kelurahan Bone Lipu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara tahun 2013 ?

b. Bagaimana hubungan kondisi fisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah pesisir Kelurahan Bone Lipu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara tahun 2013 ? c. Bagaimana hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah pesisir Kelurahan Bone Lipu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara tahun 2013 ?

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara status gizi balita, kondisi fisik rumah dan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah pesisir Kelurahan Bone Lipu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara tahun 2013. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah pesisir Kelurahan Bone Lipu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara tahun 2013 ? b. Untuk mengetahui hubungan antara kondisifisik rumah dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah pesisir Kelurahan Bone Lipu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara tahun 2013 ?

c. Untuk mengetahui hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada balita di wilayah pesisir Kelurahan Bone Lipu Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara tahun 2013 ?

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan. Selain itu, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi pemerintah khususnya bagi Puskesmas Kulisusu dan Dinas Kesehatan Kabupaten Buton Utara dalam penentuan kebijakan program penanggulangan penyakit menular khususnya penyakit ISPA pada balita.

2. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi atau sebagai bahan bahan kajian pustaka bagi peneliti selanjutnya.

3. Manfaat Bagi Peneliti Penelitian ini diharapkan bisa menjadi suatu pengalaman berharga bagi peneliti sehingga dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat, serta menambah wawasan pengetahuan

Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah

membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan infeksi paru. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan

menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan. Konsumsi zat gizi yang kurang baik kualitas maupun kuantitasnya akan

mengakibatkan kekurangan gizi (Wiboworini, 2007).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang ISPA 1. Defenisi ISPA Istilah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris yaitu Acute Respiratory Infections (ARI). Istilah ISPA meliputi tiga unsur yakni infeksi, saluran pernafasan, dan akut dengan pengertian sebagai berikut : 1. Infeksi Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga

menimbulkan gejala penyakit. 2. Saluran pernafasan Saluran pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura. ISPA secara otomatis mencangkup saluran pernafasan bagian atas, saluran pernafasan bagian bawah (termasuk jaringan paru-paru) dan organ adneksa saluran pernafasan. Dengan batasan ini, jaringan paru termasuk dalam saluran pernafasan (respiratory tract) 3. Infeksi akut

Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai 14 hari. Dengan demikian ISPA adalah infeksi saluran pernafasan yang dapat berlangsung sampai 14 hari, dinama secara klinis suatu tanda dan gejala akut akibat infeksi yang terjadi disetiap bagian saluran pernafasan atau struktur yang berhubungan dengan saluran pernafasan yang berlangsung tidak lebih dari 14 hari. Sebagian besar dari infeksi saluran pernafasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotik. Namun demikian, anak akan dapat menderita pneumonia bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotik yang dapat mengakibatkan kematian. 2. Etiologi ISPA Penyebab penyakit ISPA beraneka ragam, namun penyebab terbanyak adalah virus, bakteri dan aspirasi (debu, polusi, makanan). Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain adalah dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus, Hemofillus, Bordetelia dan Korinebakterium. Virus penyebab ISPA antara lain adalah golongan Miksovirus, Adnovirus, Koronavirus, Pikornavirus,

Mikoplasma, Herpesvirus dan lain-lain. ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh Virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan mycoplasma. ISPA bagian

bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya. ISPA bagian atas umumnya disebabkan oleh Virus, sedangkan ISPA bagian bawah dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan mycoplasma. ISPA bagian bawah yang disebabkan oleh bakteri umumnya mempunyai manifestasi klinis yang berat sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam penanganannya.

Menurut WHO dalam Suciasih (2010), beberapa faktor pencetus ISPA yaitu: a. Daya tahan tubuh Daya tahan tubuh merupakan kemampuan individu untuk mencegah masuk dan berkembang biaknya kuman. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain keadaan gizi dan kekebalan individu. b. Keadaan lingkungan Keadaan lingkungan yang kumuh khususnya perumahan yang kotor dan padat penduduknya dapat mengakibatkan

masyarakat mudah terjangkit berbagai penyakit antara lain ISPA. 3. Faktor Resiko Berdasarkan hasil penelitian dan berbagai publikasi ilmiah dari berbagai negara termasuk Indonesia, dilaporkan bahwa faktor risiko ISPA pada balita meliputi: 1) kondisi rumah yaitu ventilasi,

10

kelembaban, pencahayaan, kamarisasi, letak dapur, kepadatan penghuni, asap rokok dan asap dapur, 2) status gizi, 3) status imunisasi, 4) pemberian ASI, 5) pemberian Vitamin A dan berat badan lahir (Rasmaliah, 2004; Suhandany, 2006; Siswono, 2007; Nindya, 2005). Selain itu, faktor risiko yang meningkatkan kematian akibat pneumonia pendidikan adalah ibu Tingkat sosial ekonomi rendah, Tingkat

yang

rendah,

Tingkat

jangkauan

pelayanan

kesehatan yang rendah, Menderita penyakit kronis, dan aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah. 4. Klasifikasi Penyakit ISPA Penyakit ISPA dapat diklasifikasikan menurut lokasi

anatomis dan berat ringannya penyakit. Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomis meliputi Infeksi saluran pernapasan atas (common cold, faringitis akut, tonsilitis akut dan otitis media) dan infeksi saluran bagian bawah (bronchitis, bronciolitis dan pneumonia). Berdasarkan lokasi anatomik (WHO, 2002) infeksi saluran pernafasan akut terbagi atas dua yaitu, Infeksi Saluran Pernafasan Akut Bagian Atas dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut Bagian Bawah.

11

1.

Infeksi Saluran Pernafasan Akut Bagian Atas yaitu infeksi infeksi yang menyerang hidung sampai epiglotis, misalnya rhinitis akut, faringitis akut, sinusitus akut dan sebagainya.

2. Infeksi

Saluran

Pernafasan

Akut

Bagian

Bawah

yaitu

Dinamakan sesuai dengan organ saluran pernafasan mulai dari bagian bawah epiglotis sampai alveoli paru misalnya trakhetis, bronkhitis akut, pneumoni dan sebagainya.

Infeksi

Saluran

Pernapasan

bawah

Akut

Bawah

dikelompokkan dalam dua kelompok umur yaitu, Pneumonia pada anak umur 2 bulan hingga 5 tahun dan Pneumonia pada bayi muda yang berumur kurang dari 2 bulan.

Hampir seeluruh kematian karena ISPA pada anak kecil disebabkan oleh ISPA bagian bawah yaitu Pneumonia. Akan tetapi, tidak semua infeksi saluran pernafasan bawah akut dapat menjadi serius, sebagai contoh: Bronkhitis relatif sering terjadi dan jarang fatal. Sedangkan untuk ISPA bagian atas mengakibatkan kematian pada anak dalam jumlah kecil. Kunci untuk mengurangi ISPA adalah dengan memastikan adanya akses yang lebih baik pada penanganan kasus pneumonia tepatpada waktunya. (Widjaja, 2003)

5. Gejala ISPA

12

Umumnya suatu penyakit saluran pernapasan dimulai dengan keluhan-keluhan dan gejala-gejala yang ringan. Kadang gejala-gejala penyakit menjadi lebih berat, dan bila semakin berat dapat mengakibatkan kematian. Gejala penyakit ISPA terbagi atas: a. Gejala ISPA ringan Seseorang anak dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut: 1) Batuk 2) Serak, yaitu anak bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara (misalnya pada waktu berbicara atau menangis)

3) Pilek, yaitu mengeluarkan lendir atau ingus dari hidung 4) Panas atau demam, suhu badan lebih dari 37 C atau jika dahi anak diraba. b. Gejala dari ISPA sedang Seorang anak dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala dari ISPA ringan disertai satu atau lebih gejalagejala sebagai berikut: 1) Pernafasan lebih dari 50 kali per menit pada anak yang berumur kurang dari satu tahun atau lebih dari 40 kali per menit pada anak yang berumur satu tahun atau lebih. Cara menghitung pernafasan ialah dengan menghitung jumlah

tarikan nafas dalam satu menit. Untuk menghitung dapat digunakan arloji.

13

2) Suhu lebih dari 39 C (diukur dengan termometer) 3) Tenggorokan berwarna merah 4) Timbul bercak-bercak merah pada kulit menyerupai bercak campak 5) Telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari lubang telinga 6) Pernafasan berbunyi seperti mengorok (mendengkur) c. Gejala dari ISPA berat Seorang anak dinyatakan menderita ISPA berat jika dijumpai gejala-gejala ISPA ringan atau ISPA sedang disertai satu atau lebih gejala-gejala sebagai berikut: a) Bibir atau kulit membiru b) Lubang hidung kembang kempis (dengan cukup lebar) pada waktu bernafas c) Anak tidak sadar atau kesadaran menurun d) Pernafasan berbunyi seperti orang mengorok dan anak tampak gelisah e) Sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas f) Nadi cepat lebih dari 160 kali per menit atau tidak teraba g) Tenggorokan berwarna merah 6. Cara Penularan Pada umumnya penyakit ISPA termasuk dalam kelompok penyakit yang ditularkan melalui udara (airborne diseases). Sumber penularan penyakit adalah penderita ISPA. Awal dan lamanya

14

penderita dapat menularkan penyakitnya ke orang lain juga berbeda-beda karena beragamnya etiologinya. Penularan

organisme penyebab ISPA terjadi melalui aerosol, droplet atau kontak langsung tangan dengan sekret yang terinfeksi yang kemudian menyentuh hidung atau mata. 7. Pencegahan Penyakit ISPA Pencegahan penyakit ISPA dapat dilihat dalam lima tingkat pencegahan penyakit (five level prevention), sebagai berikut: a) Promosi Kesehatan (Health Promotion) Promosi Kesehatan (Health Promotion) adalah upaya meningkatkan peran kesehatan perorangan dan masyarakat secara optimal, mengurangi penyebab penyakit ISPA dan derajat resiko serta meningkatkan secara optimal lingkungan yang sehat. Sasaran dari pencegahan ini yaitu orang sehat dengan usaha meningkatkan derajat kesehatan. Promosi Kesehatan (Health Promotion) dalam mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya: 1. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan cara-cara pemberantasan serta manfaat

menegakkan diagnosis dini dari suatu penyakit seperti ISPA 2. Penyediaan makanan sehat dan cukup (kualitas maupun kuantitas)

15

3. Perbaikan

hygiene

dan

sanitasi

lingkungan,

misalnya

penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan tinja dan limbah 4. Pendidikan kesehatan kepada masyarakat 5. Olahraga secara teratur sesuai kemampuan individu b) Perlindungan Khusus (Spesific Protection) Sasaran pada perlindungan khusus (spesific protection) yang utama adalah ditujukan kepada penjamu (host) dan penyebab untuk meningkatkan daya tahan tubuh maupun untuk mengurangi resiko terhadap penyakit ISPA. Perlindungan khusus (spesific protection) dalam mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu: 1. Perbaikan status gizi individu/perorangan ataupun masyarakat untuk membentuk daya tahan tubuh yang lebih baik dan dapat melawan agent penyakit yang akan masuk ke dalam tubuh, seperti mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung zat gizi yang lebih baik dan diperlukan tubuh. 2. Pemberian ASI eksklusif kepada bayi yang baru lahir, karena ASI banyak mengandung kalori, protein, dan vitamin, yang banyak dibutuhkan oleh tubuh, pencegahan ini bertujuan untuk membentuk sistem kekebalan tubuh bayi sehingga terlindung dari berbagai penyakit infeksi termasuk ISPA.

16

c) Diagnosis Dini dan Pengobatan Segera (Early Diagnosis and Prompt Treatment) Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment) merupakan pencegahan yang ditujukan bagi mereka yang menderita atau terancam akan menderita penyakit ISPA, dengan tujuan mencegah meluasnya penyakit atau terjadinya wabah penyakit menular dan menghentikan proses penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi. Diagnosis dini dan pengobatan segera (early diagnosis and prompt treatment) dalam mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat dilakukan dengan berbagai upaya diantaranya: 1. Mencari kasus sedini mungkin 2. Mencari penderita dalam masyarakat dengan jalan

pemeriksaan 3. Mencari semua orang yang telah berhubungan dengan penderita untuk diawasi agar bila penyakitnya timbul dapat segera diberikan pengobatan. 4. Meningkatkan keteraturan pengobatan terhadap penderita 5. Pemberian pengobatan yang tepat pada setiap permulaan kasus d) Pembatasan Cacat (Disability Limitation) Pembatasan cacat (disability limitation) merupakan

pencegahan yang mencegah terjadinya kecacatan atau kematian

17

akibat penyakit ISPA. Pembatasan cacat (disability limitation) dalam mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat dilakukan dengan berbagai upaya diantaranya: 1. Pengobatan dan perawatan yang sempurna agar penderita sembuh dan tak terjadi komplikasi 2. Pencegahan terhadap komplikasi dan kecacatan 3. Perbaikan fasilitas kesehatan sebagai penunjang untuk dimungkinkan pengobatan dan perawatan yang lebih intensif e) Rehabilitasi (Rehabilitation) Rehabilitasi (rehabilitation) merupakan pencegahan yang bertujuan untuk berusaha mengembalikan fungsi fisik, psikologis dan sosial secara optimal. Rehabilitasi (rehabilitation) dalam mencegah terjadinya penyakit ISPA dapat dilakukan dengan rehabilitasi fisik/medis apabila terdapat gangguan kesehatan fisik akibat penyakit ISPA (Notoatmodjo, 2003). B. Tinjauan Tentang Balita Balita yaitu bayi yang berusia di bawah 5 tahun. Balita merupakan generasi yang perlu mendapat perhatian disebabkan oleh beberapa hal yaitu: 1. Balita merupakan generasi penerus dan modal dasar untuk kelangsungan hidup bangsa. 2. Balita sangat peka terhadap penyakit 3. Tingkat kematian balita yang masih tinggi

18

Balita juga amat peka terhadap penyakit. Anak usia ini sudah mulai mengerti apa yang diinginkan dan mulai menunjukan

komunikasi dengan dunia luar. Berdasarkan karakteristiknya balita usia 1-5 tahun dapat dibedakan menjadi dua, yaitu anak yang berumur 1-3 tahun yang dikenal dengan Batita merupakan konsumen pasif. Sedangkan usia prasekolah lebih dikenal sebagai konsumen aktif. (Uripi, 2004) 1. Karakteristik Batita Anak usia 1-3 tahun merupakan konsumen pasif, artinya anak menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar dari masa usia pra-sekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut yang masih lebih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan adalah porsi kecil dengan frekuensi sering. 2. Karakteristik Usia Pra-sekolah Pada usia pra-sekolah anak menjadi konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau bersekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam perilaku. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan tidak terhadap setiap ajakan.

19

Karakteristik anak pra-sekolah ini mencakup perkembangan fisik dan kemampuan motorik serta emosional anak. Perkembangan fisik yaitu hasil tumbuh kembang fisik adalah bertumbuh besarnya ukuran-ukuran antropometrik dan gejala/tanda lain pada rambut, gigi-geligi, otot, serta jaringan lemak, darah, dan lainnya. Sedangkan kemampuan motorik dan emosional anak mencakup sikap anak dalam lingkungan, gerakan anggota badan, serta kemampuan intelektual anak seperti menyebutkan nama atau bercerita lainnya. Tahap-tahap usia prasekolah (Wikipedia, 2009). sebagai berikut : 1. Perkembangan fisik Di awal balita, pertambahan berat badan Balita

merupakan singkatan bawah lima tahun, satu periode usia manusia dengan rentang usia dua hingga lima tahun, ada juga yang menyebut dengan periode usia prasekolah. Pada fase ini anak berkembang dengan sangat pesat karena balita memiliki ciri khas perkembangan menurun disebabkan banyaknya energi untuk bergerak (Choirunisa, 2009 ).

2. Perkembangan Psikologis Dari sisi psikomotor, balita mulai terampil dalam pergerakanya (lokomotion), seperti berlari, memanjat,

melompat, berguling, berjinjit, menggenggam, melempar yang

20

berguna

untuk

mengelola

keseimbangan

tubuh

dan

mempertahankan rentang atensi. Pada akhir periode balita kemampuan motorik halus anak juga mulai terlatih seperti meronce, menulis, menggambar, menggunakan gerakan pincer yaitu memegang benda dengan hanya menggunakan jari telunjuk dan ibu jari seperti memegang alat tulis atau mencubit serta memegang sendok dan menyuapkan makanan kemulutnya, mengikat tali sepatu. Dari sisi kognitif, pemahaman tehadap obyek telah lebih ajeg. Kemampuan bahasa balita tumbuh dengan pesat. Pada periode awal balita yaitu usia dua tahun kosa kata rata-rata balita adalah 50 kata, pada usia lima tahun telah menjadi diatas 1000 kosa kata. Pada usia tiga tahun balita mulai berbicara dengan kalimat sederhana berisi tiga kata dan mulai mempelajari tata bahasa dari bahasa ibunya (Choirunisa, 2009). Balita diharapkan tumbuh dan berkembang dalam keadaan sehat jasmani sosial dan bukan hanya bebas dari penyakit dan kelemahan. Masalah kesehatan balita merupakan masalah nasional mengingat angka kesakitan dan angka kematian pada balita masih cukup tinggi. Angka kesakitan mencerminkan keadaan yang sesungguhnya sebab kesemuanya berkaitan erat dengan faktor lingkungan seperti

perumahan, kemiskinan, gizi kurang, dan pelayanan kesehatan. Beberapa faktor penyebab kematian maupun yang berperan dalam proses tumbuh kembang balita yaitu: diare dan Infeksi Saluran

21

Pernapasan Akut (ISPA). Untuk itu, kegiatan yang dilakukan terhadap balita antara lain pemeriksaan penyakit infeksi, pemeriksaan

perkembangan kecerdasan, imunisasi, perbaikan gizi, dan pendidikan kesehatan pada orang tua (Kardjati, 2000). C. Tinjauan Tentang Status Gizi 1. Pengertian Status Gizi Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi, dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan lebih. Konsumsi makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang. Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi bila tubuh memperoleh cukup zat-zat gizi yang digunakan secara efisien, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin. Status gizi kurang terjadi bila tubuh mengalami kekurangan satu atau lebih zat-zat gizi esensial. Status gizi lebih terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan. Gangguan gizi terjadi baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih (Almatsier, 2004). Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah

membuktikan tentang adanya hubungan antara gizi buruk dan

22

infeksi paru. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang. Penyakit infeksi sendiri akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan. Konsumsi zat gizi yang kurang baik kualitas maupun kuantitasnya akan mengakibatkan kekurangan gizi (Wiboworini, 2007).

2. Penilaian Status Gizi Penilaian status gizi terbagi atas penilaian secara langsung dan penilaian secara tidak langsung. Adapun penilaian secara langsung dibagi menjadi empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung terbagi atas tiga yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. 1) Penilaian Secara Langsung a) Antropometri Antropometri sebagai indikator status gizi dapat

dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Menurut jelliffe (1996) dalam Effendy DS (2009), antropometri gizi adalah pengukuran terhadap berbagai

23

macam dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari bernagai tingkat luas digunakan umur dan tingkat gizi. Penggunaan antropometri dalam penilaian status gizi secara luas digunakan baik untuk menilai ketidakseimbangan antara asupan energi dan protein. Pada Negara maju, antropometri digunakan untuk mendiagnosa kegagalan tumbuh kembang dan kelebihan berat badan pada anak. Penggunaan antropometri untuk menilai status gizi mempunyai banyak keuntungan, yaitu (Supariasa dkk., 2001): 1. Prosedurnya sederhana, aman dan dapat dilakukan dalam jumlah sampel yang besar. 2. Relativ tidak membutuhkan tenaga ahli, tetapi cukup dilakukan oleh tenaga yang sudah dilatih. 3. Alatnya murah, mudah dibawa dan dapat dibuat/ dipesan di daerah setempat. 4. Metodenya tepat dan akurat, karena dapat dibakukan. 5. Dapat manggambarkan riwayat gizi masa lampau. 6. Umumnya dapat mengidentifikasi malnutrisi ringan,

sedang, atau buruk. 7. Dapat mengevaluasi perubahan status gizi pada periode tertentu, atau dari satu generasi ke generasi berikutnya.

24

8. Dapat digunakan untuk penampisan kelompok yang rawan gizi. Disamping mempunyai kelebihan juga terdapat

keterbatasan dalam penggunaan antropometri yaitu (Gibson R, 2005 dalam Effendy DS, 2009): 1. Tidak bisa digunakan untuk mendeteksi status gizi dalam waktu singkat. 2. Tidak bisa mengidentifikasi berbagai kekurangan yang spesifik sehingga tidak bisa dipakai untuk membedakan gangguan pertumbuhan dan komposisi tubuh yang disebabkan oleh kekurangan zat gizi tertentu. Beberapa indeks antropometri yang biasa digunakan, yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB), dan Tinggi Badan menurut Umur (TB/U). a. Berat Badan menurut Umur ( BB/U) Berat badan merupakan indikator yang baik untuk status gizi pada anak, khususnya pada usia di bawah lima tahun (Cameron M and Hovfander Y, 1983 dalam Effendy DS, 2009). Kegagalan penambahan berat badan adalah salah satu tanda awal terjadinya malnutrisi (McLaren et al., 1991 dalam Effendy DS, 2009).

25

Indeks berat badan menurut umur digunakan untuk menilai kurang energi protein dan adanya kelebihan gizi (Gibson R, 2005 dalam Effendy, 2009). Berat badan lebih/sangat sensitif terhadap perubahan keadaan yang mendadak misalnya adanya infeksi, menurunnya nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Oleh karena itu, indeks ini lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (curreunt nutritional status) (Supariasa dkk., 2002).

b. Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap masalah kurang gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Indeks tinggi badan menurut umur memberikan gambaran status gizi masa lampau dan berkaitan erat dengan status sosial ekonomi. c. Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Indeks BB/TB digunakan untuk menilai status gizi saat kini. Keuntungan dari penggunaan indeks BB/TB adalah indeks ini tidak tergantung pada umur (umur 1-10 tahun) dan mungkin juga independent terhadap ras. Indeks BB/TB juga berguna dalam evaluasi manfaat program intervensi, dimana

26

indeks ini lebih sensitif pada perubahan dalam status gizi dibandingkan Tinggi Badan terhadap Umur. Indeks ini juga seringkali digunakan dalam penilaian gizi pasien di rumah sakit, untuk mengidentifikasi wasting (Gibson R, 1990 dalam Effendy DS, 2009). Kelemahan indeks BB/TB adalah indeks ini tidak dapat menggambarkan apakah anak yang dinilai tersebut pendek atau cukup tinggi badan menurut umurnya, karena faktor umur tidak dipertimbangkan. Selain itu, adanya edema bisa mempersulit penafsiran hasil pengukuran (Supariasa dkk., 2002). Berbagai indeks antropometri tersebut, untuk

menginterpretasinya, dibutuhkan ambang batas. Penentuan ambang batas yang paling umum digunakan saat ini adalah dengan memakai standar deviasi unit (SD) atau disebut ZSkor. Rumus perhitungan Z-Skor (Dr.Benny, 2002) adalah : 1. Bila nilai Riel hasil pengukuran >= nilai Median BB/U, TB/U, atau BB/TB, maka: Z-Skor=Nilai Riel-Nilai median SD upper 2. Bila nilai Riel hasil pengukuran < nilai Median BB/U, TB/U, atau BB/TB, maka: Z-Skor=Nilai Riel-Nilai median SD lower

27

b) Klinis Pemeriksaan klinis adalah metode yang sangat penting untuk menilai status gizi masyarakat. Metode ini didasarkan atas perubahan-perubahan yang terjadi yang dihubungkan dengan ketidakcukupan zat gizi. Hal ini dapat dilihat pada jaringan epitel (supervicial epithelial tissues) seperti kulit, mata, rambut dan mukosa oral atau pada organ-organ yang dekat dengan permukaan tubuh seperti kelenjar tiroid (Supariasa dkk., 2001). c) Biokimia Penilaian status gizi dengan biokimia adalah

pemeriksaan spesimen yang diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh. Jaringan tubuh yang digunakan antara lain darah, urine, tinja dan juga beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot (Supariasa dkk., 2001). d) Biofisik Penentuan status gizi secara biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan (Supariasa dkk., 2001). 2) Penilaian Secara Tidak Langsung a) Survei Konsumsi Makanan

28

Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Metode survei konsumsi makanan untu individu antara lain: Metode recall 24 jam, Metode esthimated food record, Metode penimbangan makanan (food weighting), Metode dietary history, dan Metode frekuensi makanan (food frequency). b) Statistik Vital Pengukuran gizi dengan statistik vital adalah dengan menganalisis data beberapa statistik kesehatan seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian sebagai akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi (Supariasa dkk., 2001). c) Faktor Ekologi Malnutrisi merupakan masalah ekologi sebagai hasil interaksi beberapa faktor fisik, biologis dan lingkungan budaya. Jumlah makanan yang tersedia sangat tergantung dari keadaan ekologi seperti iklim, tanah, irigasi dan lain-lain (Supariasa dkk., 2001). Pemilihan metode yang akan digunakan untuk menulai status gzi perlu mempertimbangkan beberapa factor, yaitu : tujuan pengukuran, unit sampel yang akan diukur, jenis informasi yang dibutuhkan, tingkat reabilitas dan akurasi

29

yang dibutuhkan, tersedianya fasilitas dan peralatan, tenaga waktu dan dana yang tersedia (Supariasa dkk., 2002).

D. Tinjauan Tentang Perumahan 1. Pengertian Rumah Menurut J.Muller (2007) dalam Adawiah (2009), rumah

merupakan tempat untuk berlindung atau bernaung dari hubungan keadaan alam sekitarnya (misalnya hujan, matahari, dan lain-lain) serta merupakan tempat untuk beristrahat setelah bertugas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan pengertian rumah menurut Surat Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/KPTS/M02002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga (Depkes RI, 2002). 2. Pengertian Rumah Sehat Pengertian rumah sehat menurut Surat Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/KPTS/M02002 adalah rumah sebagai tempat tinggal yang memenuhi ketetapan atau ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni rumah dari bahaya atau gangguan kesehatan,

30

sehingga memungkinkan penghuni memperoleh derajat kesehatan yang optimal (Depkes RI, 2002). Menurut Winslow dan American Public Health Association (APHA), perumahan sehat adalah suatu tempat untuk tinggal

secara permanen, berfungsi sebagai tempat untuk bermukim, beristrahat, berekreasi dan sebagai tempat berlindung dari pengaruh lingkungan yang memenuhi persyaratan fisiologi,

psikologi, bebas dari penularan penyakit dan kecelakaan (Candra, 2006). 3. Persyaratan Rumah Sehat Perumahan harus menjamin kesehatan penghuninya dalam arti luas. Oleh sebab itu diperlukan syarat perumahan. Menurut Winslow dan APHA bahwa rumah sehat harus memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut : a. Memenuhi Kebutuhan Fisiologi 1) Suhu ruangan. Suhu ruangan harus selalu dijaga agar jangan banyak berubah dan sebaiknya tetap berkisar antara 18C20oC. Suhu ruangan tergantung pada suhu udara luar, pergerakan udara, kelembaban udara, dan suhu benda-benda di sekitarnya. 2) Pencahayaan. Rumah sehat memerlukan cahaya yang cukup. Bila cahaya yang masuk ke dalam rumah kurang terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman juga merupakan

31

media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Sebaliknya bila terlalu banyak cahaya dalam rumah akan menyebabkan kesilauan dan dapat merusak mata. 3) Penghawaan. Pertukaran hawa yang cukup menyebabkan hawa tetap segar. Untuk itu rumah harus cukup mempunyai jendela. Luas jendela keseluruhan adalah 15% dari luas lantai. Susunan ruangan harus sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas bila jendela dibuka. 4) Ruangan atau kamar diperhitungkan berdasarkan jumlah penghuni atau jumlah orang yang tinggal bersama di dalam satu rumah atau sekitar 5 m2 per orang. b. Memenuhi Kebutuhan Psikologi 1) Keadaan rumah dan sekitarnya, cara pengaturannya harus memenuhi rasa keindahan sehingga rumah tersebut menjadi

pusat kesenangan rumah tangga yang sehat. 2) Adanya jaminan kebebasan yang cukup bagi setiap anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut. 3) Anggota keluarga yang mendekati dewasa harus mempunyai ruangan tersendiri sehingga privacy-nya tidak terganggu. 4) Harus ada ruangan yang menjalankan kehidupan keluarga dimana semua anggota keluarga dapat berkumpul. 5) Harus ada ruangan untuk hidup bermasyarakat, jadi harus ada ruangan untuk menerima tamu.

32

c. Mencegah Penularan Penyakit Untuk mencegah penularan penyakit, rumah harus memiliki syarat-syarat: 1) Adanya sumber air yang sehat, cukup kualitas dan

kuantitasnya. 2) Harus ada tempat pembuangan kotoran, sampah, dan air limbah yang baik. 3) Harus dapat mencegah perkembangbiakan vektor seperti nyamuk, lalat, tikus dan sebagainya. d. Mencegah Terjadinya Kecelakaan 1) Konstruksi rumah dan bahan-bahan harus kuat sehingga tidak mudah ambruk. 2) Sarana pencegahan terjadinya kecelakaan di sumur, kolam, dan tempat- tempat lain terutama untuk anak-anak. 3) Diusahakan agar tidak mudah terbakar. 4) Adanya alat pemadam kebakaran terutama mempergunakan gas. Slamet (2004) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan perumahan adalah: a. Kualitas bangunan, dapat dilihat dari segi bahan bangunan serta konstruksinya yang menentukan apakah suatu rumah mudah rusak, terbakar, lembab, panas, mudah menjadi sarang pembawa penyakit, bising dan lain-lain.

33

b. Denah rumah menentukan cukup tidaknya jumlah ruangan yang tersedia terhadap jumlah penghuni serta berbagai kegiatan. c. Pemanfaatan atau penggunaan rumah. Banyak rumah yang secara teknis memenuhi syarat kesehatan, tetapi apabila penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukannya maka dapat terjadi gangguan kesehatan. Misalnya rumah yang dibangun untuk dihuni 4 orang tetapi dihuni oleh lebih dari semestinya. Berdasarkan aspek kesehatan, kepadatan penghuni ini sangat bermakna pengaruhnya karena kepadatan penghuni sangat menentukan insidensi penyakit maupun kematian, terutama di negara seperti Indonesia, dimana masih banyak sekali terdapat penyakit menular, penyakit pernapasan dan semua penyakit yang menyebar lewat udara menjadi lebih mudah sekali menyebar. d. Pemeliharaan rumah. Segala fasilitas yang disediakan apabila tidak dipelihara dengan baik, akan menunjang terjadinya penyakit. Contoh lantai yang tidak dibersihkan, banyak mengandung debu, tanah yang berasal dari tempat lain dapat mengandung bakteri.

E. Tinjauan Tentang Kondisi Fisik Rumah 1. Lantai Rumah Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan

34

rumah yang tidak sesuai dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi O2 juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain. Luas bangunan rumah yang optimum adalah 2,53 m2 untuk setiap orang (Notoatmodjo, 2007). Lantai rumah dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA karena lantai yang tidak memenuhi standar merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air dan mudah dibersihkan, jadi paling tidak lantai perlu diplester dan akan lebih baik kalau dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen PPM dan PLP, 2002 dalam Adawiah, 2009). 2. Dinding Rumah Rumah yang menggunakan dinding tembok adalah baik, namun disamping mahal, tembok sebenarnya kurang cocok untuk daerah tropis lebihlebih bila ventilasi tidak cukup. Rumah yang berdinding tidak rapat seperti papan, kayu dan bambu dapat menyebabkan penyakit pernafasan yang berkelanjutan seperti ISPA, karena angin malam yang langsung masuk ke dalam rumah. Jenis dinding mempengaruhi terjadinya ISPA, karena dinding yang

35

sulit dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya kuman (Suryanto, 2003). 3. Atap Rumah Atap rumah dahulu biasa dibuat dari tanah liat atau yang biasa disebut dengan genteng, namun beberapa wilayah di Indonesia juga menggunakan atap dari bahan kayu ataupun rumbia. Saat ini atap bangunan semakin beragam, mulai dari atap asbes yang murah meriah sampai atap genteng keramik yang terlihat mengkilat. Berbagai jenis atap tersebut memiliki kekurangan dan kelebihannya masing-masing. Atap asbes lebih murah dari segi harga bahan dan biaya pemasangan, dengan menggunakan atap asbes kayu rangka yang digunakan lebih sedikit karena atap asbes cenderung lebih lebar dibanding atap dari genteng. Tetapi atap asbes cenderung lebih panas karena pori-porinya yang lebih kecil dan tidak menetralisir panas. Bahkan, abu pada asbes cenderung berbahaya bagi kesehatan. Atap genteng atau tanah liat lebih mahal dalam hal biaya dan pemasangan daripada atap asbes dan metal. Tetapi atap genteng lebih sejuk karena pori-pori dalam genteng dan tidak mudah terbang ketika terkena angin kencang. Hasil penelitian yang dilakukan Toanubun (2003) di Desa Tual Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara,

36

menunjukkan bahwa atap rumah rata-rata di Desa Tual memakai atap genting dan tidak diberi langit-langit. Hal ini disebabkan karena keterbatasan biaya keluarga, sehingga debu yang langsung masuk ke dalam rumah mengganggu saluran pernapasan pada balita yang ada di desa tersebut. Kondisi ini menyebabkan tingginya angka kejadian ISPA pada balita (Sulistyorini, 2005). F. Tinjauan Tentang Kepadatan Hunian Kepadatan penghuni adalah perbandingan antara luas lantai rumah dengan jumlah anggota keluarga dalam satu rumah tinggal (Lubis, 1989). Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh perumahan biasa dinyatakan dalam m per orang. Luas minimum per orang sangat relatif, tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia. Untuk perumahan sederhana, minimum 8 m/orang. Untuk kamar tidur diperlukan minimum 2 orang. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni > 2 orang, kecuali untuk suami istri dan anak dibawah dua tahun. Apabila ada anggota keluarga yang menjadi penderita penyakit ISPA sebaiknya tidak tidur dengan anggota keluarga lainnya (lubis. 1989). Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan

menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni >10 m/orang dan kepadatan penghuni

37

tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni < 10 m/orang (Lubis, 1989). Kepadatan hunian dapat mempengaruhi kualitas udara di dalam rumah, dimana semakin banyak jumlah penghuni maka akan semakin cepat udara di dalam rumah akan mengalami pencemaran. Hal ini sesuai dengan penelitian Achmadi (1990) yang dikutip oleh Chahaya (2005), bahwa rumah yang padat sering kali menimbulkan gangguan pernapasan terutama pada anak-anak dan pengaruh lain pada anakanak adalah mereka menekan tumbuh kembang mentalnya. Menurut hasil penelitian Hidayati (2003) yang di kutip oleh Agustama (2005) menunjukkan bahwa dengan kepadatan rumah yang tidak memenuhi syarat terhadap terjadinya ISPA pada balita sebesar 68% dimana jika terjadi kepadatan dalam hunian kamar akan menyebabkan efek negatif terhadap kesehatan fisik, mental maupun moril. Rumah dengan penghuni kamar yang padat akan memudahkan terjadinya penularan penyakit saluran pernapasan.

38

You might also like