You are on page 1of 97

kKEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 420/MENKES/SK/III/2010 TENTANG

PEDOMAN LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI KOMPREHENSIF PADA GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT

DIREKTORAT JENDERAL BINA PELAYANAN MEDIK KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 420/MENKES/SK/III/2010 TENTANG PEDOMAN LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI KOMPREHENSIF PADA GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang

a.

bahwa gangguan penggunaan NAPZA merupakan masalah yang kompleks dan memerlukan penanggulangan yang terpadu dari semua pihak yang terkait; bahwa rumah sakit memiliki peran yang penting dalam memberikan terapi dan rehabilitasi pada gangguan penggunaan NAPZA; bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b perlu menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif Pada Gangguan Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika (United Nation Convention Againts Illicit Trafic in Narcotic Drugs and Psycotropic Substances) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3673); Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062); Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

b. c.

Mengingat

1.

2.

3.

4.

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

5.

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3952); Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2002 tentang Badan Narkotika Nasional; Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 996/Menkes/ SKA/lll/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif Lainnya;

6.

7.

8. 9.

10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/Menkes/Per/ XII/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 439/Menkes/PerA/t/2009; 11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 486/Menkes/ SK/IV/2007 tentang Kebijakan dan Rencana Strategis Penanggulangan Penyalahgunaan Narkotika, Psiko-tropika dan Zat Aditif Lainnya; 12. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/ SK/ll/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit; 13. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 269/Menkes/Per/III/2008. tentang Rekam Medis; 14. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/ III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran;

MEMUTUSKAN: Menetapkan KESATU : : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG PEDOMAN LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI KOMPREHENSIF PADA GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT. Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif Pada Gangguan Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam 2

KEDUA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Diktum Kesatu tercantum dalam Lampiran Keputusan ini. KETIGA : Pedoman Layanan Terapi dan Rehabilitasi Komprehensif Pada Gangguan Penggunaan NAPZA Berbasis Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Diktum Kedua digunakan sebagai acuan bagi tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan terapi dan rahabilitasi gangguan penggunaan NAPZA di fasilitas pelayanan kesehatan. Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan pedoman ini dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi, Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dengan melibatkan organisasi profesi terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

KEEMPAT

KELIMA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Nomor: 420/MENKES/SK/III /2010 Tanggal: 31 Maret2010 PEDOMAN LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI KOMPREHENSIF GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Untuk merespon masalah ketergantungan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA), yang semakin marak di Indonesia sejak tahun 80-an Kementerian Kesehatan telah menetapkan kebijakan bahwa 10% kapasitas tempat tidur Rumah Sakit Jiwa (RSJ) dialokasikan untuk pasien ketergantungan NAPZA. Dalam beberapa tahun terakhir hampir semua RSJ mengembangkan pelayanan NAPZA. Dari hasil evaluasi dijumpai bahwa masyarakat tidak memanfaatkan pelayanan NAPZA yang telah tersedia di RSJ. Sebagian besar pasien yang dirawat tidak murni karena ketergantungan NAPZA tapi merupakan pasien dengan dual diagnosis (Gangguan jiwa dan Ketergantungan NAPZA). Beberapa penyebab kurangnya pemanfaatan RSJ bagi masyarakat yang ketergantungan NAPZA, antara lain : masih tingginya stigma terhadap gangguan jiwa, sehingga seorang pecandu tidak mau datang berobat ke RSJ kecuali sebelumnya sudah ada gangguan jiwa yang diinduksi oleh penggunaan NAPZA seperti kanabis, stimulan atau alkohol. Pelayanan yang ditawarkan RSJ tidak memenuhi kebutuhan pasien yang mengalami Ketergantungan NAPZA. Terbatasnya jenis pelayanan dan kemampuan petugas RSJ untuk berbagai modalitas terapi. Sebagian besar RSJ hanya menyediakan pelayanan untuk detoksifikasi saja. RSJ biasanya bekerja sendiri dan menunggu pasien secara sukarela datang. Masih terbatasnya kerjasama dengan masyarakat, LSM dan kelompok pengguna dimana mereka dapat berperan sebagai petugas penjangkau yang akan membawa pasien ketergantungan NAPZA berobat ke RSJ. Mengacu pada hal tersebut diatas maka perlu disusun pedoman penanggulang-an gangguan penggunaan NAPZA secara komprehensif yang berbasis rumah sakit, misalnya pedoman dengan pendekatan therapeutic community dan pedoman terapi rumatan.

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

B. Tujuan Umum Dan Khusus Umum: Sebagai acuan bagi petugas kesehatan dalam penanggulangan gangguan penggunaan NAPZA Khusus: Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan di rumah sakit dalam manajemen gangguan penggunaan NAPZA C. Sasaran 1. 2. 3. 4. petugas kesehatan rumah sakit jiwa petugas kesehatan rumah sakit umum LSM Kelompok pengguna NAPZA yang dapat berperan sebagai petugas penjangkau membawa pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA berobat ke rumah sakit

D. Kebijakan Kebijakan Penanggulangan Penyalahgunaan NAPZA Kementerian Kesehatan Rl dilaksanakan berdasarkan Kepmenkes Nomor 486/Menkes/ SK/IV/2007, melalui upaya: 1. Peningkatan kesehatan dan pencegahan penyalahgunaan NAPZA melalui upaya promotif dan preventif. 2. Komprehensif dan multi disiplin melalui upaya yang dilakukan sesuai dengan kondisi budaya dan sosial masyarakat setempat meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif. 3. Pelayanan terapi terintegrasi pada sistem pelayanan kesehatan yang ada. Rumah Sakit Jiwa milik pemerintah menyediakan 10% dari tempat tidur untuk penderita Gangguan penggunaan NAPZA. 4. Mendukung upaya pemulihan oleh masyarakat dan mantan pengguna (ex-users) 5. Melindungi hak asasi manusia dan keselamatan pasien. 6. Pengurangan dampak buruk (harm reduction) pada pengguna Napza suntik 7. Keseimbangan dan koordinasi lintas sektor. Untuk memperoleh hasil yang optimal, perlu adanya kerjasama dari berbagai pihak, termasuk dengan LSM dan swasta. Pemerintah Daerah mendukung dengan menyediakan tempat dan terapi/obat gangguan penggunaan Napza yang terjangkau, secara berjenjang dari Puskesmas, Rumah Sakit Umum dan Rumah Sakit Jiwa 8. Pengembangan sistem informasi 9. Legislasi dan peraturan perundang-undangan.

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

E. Strategi Dan Rencana Aksi Sampai tahun 2010, prioritas untuk penanggulangan gangguan NAPZA dilakukan melalui 6 strategi: 1. Advokasi Advokasi merupakan komponen yang penting untuk mengajak semua pemangku kepentingan (stakeholders) dapat berperan serta dalam upaya penanggulangan Gangguan penggunaan NAPZA Untuk itu Dinas Kesehatan perlu rnengidentifikasi semua stakeholders antara lain DPRD, Bappeda, BNP/BNK, KPAD, lintas sektor seperti Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Kementerian Hukum dan HAM, Lembaga Swadaya Masyarakat, keluarga, media, akademis, tokoh masyarakat, tokoh agama dan lembaga donor. Keterlibatan semua pemangku kepentingan penting dalam penyusunan program yang bisa menjawab kebutuhan nyata serta lebih jauh mereka juga dapat berperan serta dalam pembiayaan. Advokasi ini bertujuan untuk mengurangi hambatan yang mungkin terjadi seperti: ketiadaan pelayanan, stigma terhadap pengguna NAPZA atau pelanggaran hak pasien, tidak ada perumahan dan pekerjaan bagi pasien yang telah selesai mengikuti program pemulihan. 2. Pemberdayaan Masyarakat Strategi pencegahan penanggulangan gangguan penggunaan NAPZA melalui pemberdayaan masyarakat diarahkan secara dini untuk meningkatkan keterampilan hidup (life skill) remaja serta pemberdayaan orangtua agar dapat mencegah anakanaknya dari gangguan pengunaan NAPZA. Sasaran dari pemberdayaan masyarakat ini dapat dilakukan melalui kelompokkelompok masyarakat yang terorganisir (seperti karang taruna pramuka, organisasai agama) dan masyarakat luas dengan cara meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kepedulian dan peran serta masyarakat dalam penanggulangan gangguan penggunaan NAPZA. Untuk masyarakat luas komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dilakukan melalui media massa baik cetak maupun elektronik atau modalitas lain, sedangkan masyarakat yang terorganisir dapat dilakukan dengan tatap muka ataupun melakukan pelatihan untuk terbentuknya perilaku hidup sehat. 3. Peningkatan Kapasitas SDM Guna menjamin terlaksananya penanggulangan Gangguan penggunaan NAPZA, diperlukan tenaga profesional yang mengabdi di pemerintahan, swasta dan masyarakat. Tenaga profesional tersebut membutuhkan pelatihan-pelatihan yang didesain sesuai kebutuhan dan keterampilan khusus, seperti: pelatihan relapse prevention, pelatihan konselor adiksi, instruktur Cognitive Behaviour Therapy, instruktur motivational enhancement therapy, pendamping ODHA dan lain-lain.

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

4. Penguatan Sistem Kesehatan Sistem kesehatan terkait dengan upaya penanggulangan gangguan penggunaan NAPZA perlu ditingkatkan mulai dari pelayanan kesehatan dasar sampai dengan pelayanan rujukan atau spesialistik, Peran dan tanggung jawab berbagai institusi kesehatan mulai dari Kementerian Kesehatan, dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten /Kota, Puskesmas, RSU, RSJdan RSKO harus lebih jelas. 5. Pengembangan Model Pelayanan Gangguan Penggunaan NAPZA Semua pelayanan gangguan penggunaan NAPZA harus dapat menjamin terapi dan perawatan yang terstandarisasi dan memiliki beberapa prinsip pelayanan: a. b. c. Evidence-based: pelayanan yang diberikan harus berbasis bukti dan hasil (outcome) yang dapat terukur dan terstandarisasi komprehensif: pelayanan diberikan secara komprehensif melalui upaya promotifpreventif serta kuratif-rehabilitatif Multidisiplin: Pelayanan harus dilaksanakan oleh tenaga profesional yang multidisiplin dengan memiliki kepemimpinan dan keterampilan teknis tinggi. Pelayanan harus dilaksanakan melalui kerjasama tim yang solid, kompak dan utuh serta mampu menerapkan prinsip pelayanan manajemen kasus.

6. Pengembangan Pembiayaan dan Keterlibatan Sektor Swasta Upaya penanggulangan ini tidak akan berhasil, tanpa pembiayaan yang memadai. Mengingat masalah ini sudah menjadi masalah bangsa (bukan hanya masalah kesehatan masyarakat), maka pemerintah baik pusat maupun daerah perlu mengangkat hal ini menjadi salah satu program yang mendapat perhatian khusus. Disisi lain, keterbatasan dana Pemerintah merupakan salah satu hambatan utama, (yang selama ini lebih banyak digunakan untuk penanggulangan HIV/AIDS, sedangkan dana untuk penanganan gangguan penggunaan NAPZA sangat sedikit), oleh karena itu perlu digalang kerjasama dengan berbagai LSM dan swasta/dunia usaha dalam mencapai kelestarian program intervensi. Masyarakat juga perlu digerakkan untuk memberikan kontribusi dalam penanggulangan. Pada tahun 2005 pemerintah telah menetapkan bahwa jumlah masyarakat miskin dan tidak mampu sebanyak 60.000.000 jiwa. Penderita gangguan penggunaan NAPZA yang termasuk dalam kategori keluarga miskin mempunyai hak untuk mendapatkan jaminan pemeliharaan kesehatan askeskin. F. Pengertian 1. Layanan adalah tempat, baik rumah sakit atau klinik umum ataupun khusus yang melaksanakan sebuah program atau kegiatan yang berkaitan dengan masalah Gangguan penggunaan NAPZA 2. Terapi suatu proses pemulihan dengan memberikan intervensi secara fisik, psikologis

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

maupun sosial kepada pasien gangguan penggunaan NAPZA 3. Rehabilitasi adalah suatu proses pemulihan pasien gangguan penggunaan NAPZA baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang yang bertujuan mengubah perilaku mereka agar siap kembali ke masyarakat. 4. Komprehensif adalah suatu terapi yang diberikan secara menyeluruh untuk masalah gangguan penggunaan NAPZA, gangguan jiwa lain (dual diagnosis) serta juga dampak lain yang ditimbulkan akibat gangguan penggunaan NAPZA. 5. Gangguan penggunaan NAPZA adalah suatu pola penggunaan NAPZA yang menimbulkan hendaya atau penyulit/komplikasi yang berarti secara klinis dan atau fungsi sosial, seperti kesulitan untuk menunaikan kewajiban utama dalam pekerjaan/rumah tangga/sekolah, berada dalam keadaan intoksikasi yang dapat membahayakan fisik ketika mengoperasikan mesin atau mengendarai kendaraan, melanggar aturan atau cekcok dengan pasangan. 6. Rumah Sakit adalah tempat pelayanan yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar dan spesialistik, pelayanan penunjang medik, pelayanan instalasi dan pelayanan perawatan secara rawat jalan dan rawat inap.

II.

MANAJEMEN

DALAM

PENATALAKSANAAN

TERAPI

GANGGUAN

PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT A. Pendahuluan Masalah gangguan penggunaan NAPZA merupakan suatu masalah yang kompleks sehingga penatalaksanaan terapinya tidak dapat hanya dilaksanakan oleh tenaga medis. Dengan perubahan tren NAPZA yang digunakan, setiap petugas kesehatan seharusnya memahami spesifikasi setiap jenis NAPZA dan masalah yang timbul akibat penggunaan NAPZA itu. Pada umumnya tenaga medis masih memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang terbatas tentang gangguan penggunaan NAPZA yang pada akhirnya berdampak pada penatalaksanaan terhadap pasien. Kondisi ini serlngkali menimbulkan rasa jenuh atau bahkan menimbulkan kesulitan dalam memberikan terapi pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA yang pada akhirnya membuat petugas kesehatan tidak berminat untuk memberikan pelayanan kepada pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA. Kurangnya mutu pelayanan dalam bidang kesehatan termasuk kepada pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA bukan merupakan suatu kebetulan, hal itu seringkali merupakan perencanaan program yang tidak disiapkan secara terinci dan komprehensif. Rekrutmen petugas yang akan memberikan layanan kepada pasien merupakan titik kritis sebelum menentukan program atau kegiatan. Menentukan kriteria petugas yang sesuai dengan jenis layanan harus dilakukan dengan seksama agar tujuan pelayanan tersebut dapat berjalan secara efektif.

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Komitmen dari pimpinan dan seluruh staf serta karyawan dalam organisasi merupakan pendukung yang sangat penting dalam memberikan pelayanan pada pasien gangguan penggunaan NAPZA. Kesinambungan program harus terus dievaluasi agar dapat memenuhi kebutuhan tiap pasien. B. Terapi Efektif Pada Gangguan Penggunaan NAPZA Efektifitas terapi pada gangguan penggunaan NAPZA perlu dievaluasi dan ditindaklanjuti secara periodik atau berkala. Di Indonesia monitoring dan evaluasi efektivitas terapi gangguan penggunaan NAPZA sangat minimal atau bahkan tidak dilakukan. Hal ini semestinya sangat penting dilakukan agar layanan yang diberikan dapat optimal dan efektif dalam proses pemulihan mereka. National Institute on Drug Abuse (NIDA) pada tahun 1999 telah mempublikasikan sebuah buku tentang terapi efektif berdasarkan penelitian di lapangan yang meliputi 13 prinsip: 1. 2. 3. 4. TIDAK ADA satu bentuk terapi yang SESUAI UNTUK SEMUA Kebutuhan terapi harus SIAP DAN TERSEDIA ketika diperlukan Terapi yang efektif mengakomodasi KEBUTUHAN YANG BERAGAM, tidak hanya untuk masalah NAPZA saja Rencana terapi dan layanan lain harus DIKAJI SECARA KONTINYU dan DIMODIFIKASI BILA DIPERLUKAN untuk memenuhi kebutuhan perubahan pada pasien Berada dalam program terapi untuk PERIODE WAKTU YANG ADEKUAT merupakan hal yang sangat penting untuk perubahan perilaku yang signifikan Konseling (individu dan/atau kelompok) dan terapi perilaku lainnya merupakan hal yang SANGAT PENTING Medikasi adalah elemen yang PENTING untuk banyak klien, khususnya bilamana dikombinasi dengan terapi perilaku Orang dengan komorbiditas gangguan mental harus ditangani dengan cara yang TERINTEGRASI Detoksifikasi hanya merupakan LANGKAH AWAL dari pengobatan gangguan penggunaan NAPZA dan detoksifikasi hanya memberi sedikit perubahan terkait PENGGUNAAN NAPZA JANGKA PANJANG

5. 6. 7. 8. 9.

10. Pengobatan yang efektif TIDAK harus secara sukarela 11. Kemungkinan menggunakan NAPZA selama pengobatan harus DIMONITOR secara kontinyu 12. Program pengobatan harus menyediakan kajian untuk HIV/AIDS dan infeksi lain serta konseling untuk membantu pasien merubah perilakunya baik untuk HIV/AIDS dan risiko dari infeksi lainnya

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

13. Kepulihan dari gangguan penggunaan NAPZA dapat menjadi PROSES YANG PANJANG dan seringkali memerlukan beberapa kali episode pengobatan C. Berbagai Modalitas Terapi Dan Pendekatan Berbagai kondisi yang mandasari gangguan penggunaan NAPZA akan mempengaruhi jenis pengobatan yang akan diberikan kepada pasien, kebijakan untuk merawat dan memulangkan pasien, hasil yang dlharapkan, sumber daya manusia yang akan memberikan pelayanan, dan sikap terhadap perilaku pasien. Dibawah ini akan diuraikan beberapa model yang popular dilaksanakan pada masalah Gangguan penggunaan NAPZA. 1. Therapeutic Community -TC Model, model ini merujuk pada keyakinan bahwa Gangguan penggunaan NAPZA adalah gangguan pada seseorang secara menyeluruh. Dalam hal ini norma-norma perilaku diterapkan secara nyata dan ketat yang diyakinkan dan diperkuat dengan memberikan reward dan sangsi yang spesifik secara langsung untuk mengembangkan kemampuan mengontrol diri dan sosial/komunitas. Pendekatan yang dilakukan meliputi terapi individual dan kelompok, sesi encounter yang intensif dengan kelompok sebaya dan partisipasi dari lingkungan terapeutik dengan peran yang hirarki, diberikan juga keistimewaan (privileges) dan tanggung jawab. Pendekatan lain dalam program termasuk tutorial, pendidikan formal dan pekerjaan sehari-hari. TC model biasanya merupakan perawatan inap dengan periode perawatan dari dua belas sampai delapan belas bulan yang diikuti dengan program aftercare jangka pendek. 2. Model Medik, model ini berbasis pada biologik dan genetik atau fisiologik sebagai penyebab adiksi yang membutuhkan pengobatan dokter dan memerlukan farmakoterapi untuk menurunkan gejala-gejala serta perubahan perilaku. Program ini dirancang berbasis rumah sakit dengan program rawat inap sampai kondisi bebas dari rawat inap atau kembali ke fasilitas di masyarakat. 3. Model Minnesota, model ini dikembangkan dari Hazelden Foundation dan Johnson Institute. Model ini fokus pada abstinen atau bebas NAPZA sebagai tujuan utama pengobatan. Model Minessota menggunakan program spesifik yang berlangsung selama tiga sampai enam minggu rawat inap dengan lanjutan aftercare, termasuk mengikuti program self help group (Alcohol Anonymous atau Narcotics Anonymous) serta layanan lain sesuai dengan kebutuhan pasien secara individu. Fase perawatan rawat inap termasuk ; terapi kelompok, terapi keluarga untuk kebaikan pasien dan anggota keluarga lain, pendidikan adiksi, pemulihan dan program 12 langkah. Diperlukan pula staf profesional seperti dokter, psikolog, pekerja sosial, mantan pengguna sebagai addict counselor 4. Model Eklektik, model ini menerapkan pendekatan secara holistik dalam program rehabilitasi. Pendekatan spiritual dan kognitif melalui penerapan program 12 langkah merupakan pelengkap program TC yang menggunakan pendekatan perilaku, hal ini sesuai dengan jumlah dan variasi masalah yang ada pada setiap pasien adiksi. 10

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

5. Model Multi Disiplin, program ini merupakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan menggunakan komponen disiplin yang terkait termasuk reintegrasi dan kolaborasi dengan keluarga dan pasien 6. Model Tradisional, tergantung pada kondisi setempat dan terinpirasi dari hal-hal praktis dan keyakinan yang selama ini sudah dijalankan. Program bersifat jangka pendek dengan aftercare singkat atau tidak sama sekali. Komponen dasar terdiri dari : medikasi, pengobatan alternatif, ritual dan keyakinan yang dimiliki oleh sistem lokal contoh : pondok pesantren, pengobatan tradisional atau herbal. 7. Faith Based Model, sama dengan model tradisional hanya pengobatan tidak menggunakan farmakoterapi D. Fungsi Inti Layanan Terapi dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan Napza 1. Skrining, merupakan proses untuk menentukan apakah pasien dapat masuk atau mengikuti model terapi yang tersedia 2. Intake, proses administrasi dan asesmen awal untuk masuk ke dalam program 3. Orientasi, memberikan gambaran kepada pasien tentang ; program secara umum dan tujuan dari masing-masing program, ketentuan/aturan yang harus dipatuhi agar pasien bisa keluar dari program sesuai dengan tujuan program, untuk program rawat jalan dijelaskan jam pelayanan dan jenis layanan yang tersedia, biaya pengobatan yang harus dikeluarkan oleh pasien, jika ada serta hak-hak pasien 4. Asesmen, prosedur ini dilaksanakan oleh konselor atau petugas yang ditunjuk untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi kekuatan, kelemahan, masalah yang dimiliki pasien dan rencana kebutuhan terapi untuk pasien secara individu 5. Rencana Pengobatan, proses yang dilakukan oleh konselor atau profesi lain bersama pasien untuk mengidentifikasi dan membuat urutan masalah dan solusi yang diperlukan; membuat persetujuan segera untuk sasaran program jangka pendek dan jangka panjang; menetapkan proses pengobatan dan sumber daya yang dibutuhkan 6. Konseling (individual, kelompok dan orang lain yang bermakna): menggunakan ketrampilan khusus untuk membantu pasien, keluarga atau kelompok dalam mencapai tujuan pengobatan melalui eksplorasi masalah dan pengaruhnya terhadap pasien; menilai sikap dan perasaan pasien; mempertimbangkan alternatif pemecahan masalah; dan membuat keputusan 7. Manjemen Kasus, aktifitas yang diberikan oleh tempat layanan, agensi, sumber lain, atau orang lain di luar layanan yang bersama sama merencanakan rancangan dan aksi dalam rangka mencapai sasaran/tujuan pengobatan. Kegiatan ini dapat melibatkan orang yang menjadi penghubung (misal LSM) atau pendamping 8. Intervensi Krisis, layanan ini merespons kondisi akut baik emosional dan/atau distres fisik yang terjadi pada pengguna NAPZA

11

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

9. Pendidikan Pasien, menyediakan informasi untuk individu maupun kelompok mengenai masalah NAPZA serta layanan atau sumber daya yang tersedia untuk membantu pasien 10. Rujukan, mengidentifikasi kebutuhan pasien yang tidak dapat diperoleh dari konselor/terapis atau tempat layanan serta membantu pasien untuk menggunakan layanan dukungan dan sumber daya lain yang tersedia di masyarakat 11. Memelihara pencatatan dan pelaporan, membuat grafik hasil dari asesmen dan rencana pengobatan, menulis laporan, catatan kemajuan pasien, kesimpulan saat pulang dan data lain yang berhubungan dengan kondisi pasien. 12. Konsultasi dengan profesional lain berkaitan dengan pengobatan atau layanan pasien, yang berhubungan dengan staf yang berada di dalam pusat layanan atau professional lain di luar layanan untuk meyakinkan kualitas pengobatan pasien yang komprehensif. E. Komponen Program Terapi Dan Rehabilitasi Gangguan Penggunaan NAPZA Tidak ada pengobatan yang lengkap tanpa memperhatikan kebutuhan lain pasien secara bermakna. Sesuai dengan sifat adiksi pasien membutuhkan layanan baik secara multipel maupun bervariasi. penting bagi pasien untuk mendapatkan kontribusi lain yang berarti untuk mencapai keberhasilan dalam program pengobatan yang seharusnya diberikan secara lengkap/sesuai oleh penyedia layanan. Dua belas layanan yang seharusnya tersedia atau tergabung sebagai komponen dalam pusat layanan adalah : 1. Medik/Klinis - menyediakan layanan medis/psikiatris secara profesional pada tempat dan saat diperlukan serta mampu untuk menentukan baik kondisi fisik maupun psikologis pasien. Nutrisi/Gizi - merencanakan diet yang dibutuhkan pasien. HIV, Hepatitis B dan C, IMS (Infeksi Menular Seksual) melakukan pemeriksaan HIV, Hepatitis B/C dan IMS serta melakukan tindakan yang sesuai termasuk VCT (Voluntar, Counseling and Testing) dan PITC (Provider Initiated Testing and Counselling). Spiritual - menyediakan pendidikan agama dan mendorong pasien untuk melaksanakan kegiatan ibadah sesuai dengan kepercayaan mereka. Layanan/Terapi Keluarga termasuk intervensi keluarga untuk mendorong pasien yang menolak masuk ke dalam program pengobatan dan juga untuk memelihara dukungan kepada pasien dalam proses pemulihan. Pencegahan kekambuhan mengajarkan pasien untuk mengenali situasi dengan risiko tinggi dan pencatus yang mungkin menyebabkan menggunakan NAPZA kembali, untuk mengembangkan strategi kemampuan menghadapi tekanan dari luar dan belajar untuk mengelola situasi slip (menggunakan NAPZA kembali

2. 3.

4. 5.

6.

12

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

sekali, jatuh atau kambuh menggunakan NAPZA). 7. Aftercare - merupakan suatu kelanjutan dari layanan perawatan seperti dukungan kepada kelompok pemulihan, konseling, latihan ketrampilan hidup, penempatan kerja, rujukan dan layanan lain sesuai kebutuhan pasien. Konseling - hubungan terapeutik antara pasien yang membutuhkan bantuan dengan konselor yang dapat menyediakan pertolongan dan dapat secara individu, kelompok atau keluarga. Bantuan hukum - bertugas untuk membantu pasien dalam kebutuhan atau masalah yang berkaitan dengan aspek legal.

8.

9.

10. Terapi vokasional - mengajarkan untuk mampu bersosialisasi dan ketrampilan bekerja untuk pasien yang sesuai dengan minat dan kompetensi mereka. 11. Latihan ketrampilan hidup - mengembangkan ketrampilan sosial untuk berkomunikasi lebih baik, meningkatkan harga diri dan menerapkan dasar-dasar kehidupan bebas/bersih dari NAPZA (sober). 12. Pendidikan dan informasi - melanjutkan pendidikan formal yang relevan dengan kemampuan pasien, meningkatkan pengetahuan tentang konsekuensi gaya hidup berisiko dan lain-lain. F. Tahapan Pengobatan Dan Hasil Yang Diharapkan Merupakan program yang dibangun untuk jangka panjang dengan tahapan-tahapan yang merupakan satu rangkaian pengobatan yang panjang. Dalam mengejar pemulihan, pasien dituntun untuk memiliki kemajuan secara berurutan dari satu layanan ke layanan lain seperti dari detoksifikasi ke rehabilitasi fase primary ke tahap aftercare dan follow up (lanjutan). Tahapan dalam program ini dirancang berdasarkan perkembangan yang diharapkan dari pasien dengan gangguan penggunaan zat melalui proses pengobatan. Setelah proses intake/awal, pasien diproses untuk tahapan orientasi, diikuti dengan tahapan awal, tahapan menengah, tahapan akhir dan tahapan re-entry. Akhirnya tahapan akan dilalui sesuai dan berhubungan dengan kemajuan pasien. Hal ini kemungkinan dapat diperlihatkan dalam berbagai tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepada pasien dalam berbagai periode selama dalam program pengobatan. Akan bijaksana bilamana jumlah dan jenis keistimewaan yang diberikan membuat pasien gembira atau menikmati. Kemajuan akan dibuat grafik sesuai dengan rangkaian pengobatan dari keadaan ketergantungan menjadi tidak ketergantungan NAPZA secara lengkap. 1. Pra Pengobatan a. b. c. d. e. Identifikasi dan Intervensi Krisis Penerimaan dalam program Orientasi Detoksifikasi Pengobatan Komorbiditas, masalah medis dan psikiatris

13

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

2. Perawatan Primer (Primary Care) a. b. c. d. e. f. g. Program terapi untuk pasien dan keluarga Pendidikan Rekreasi Spiritual Perawatan kesehatan baik fisik maupun mental Kesadaran diri Evaluasi

3. Perawatan Sekunder (Secondary Care) a. b. c. d. e. f. g. h. i. Lanjutan konseling untuk pasien dan keluarga Rekreasi Pendidikan Spiritual Perawatan kesehatan Dukungan sebaya Rehabilitasi vokasional Pencegahan kekambuhan Aftercare Tahap Pra pengobatan IdentifikasiKonseling individu dan intervensi krisis keluarga Aktifitas Waktu 1-3 minggu Memotivasi pasien untuk mendapat pengobatan Menciptakan kesadaran tentang masalah yang dihadapi pasien Penerimaan Pendaftaran Skrining (pemeriksaan tubuh, wawancara, tes urin) Orientasi Program Tur fasilitas layanan, pengenalan singkat peraturan dan tata tertib layanan Memperoleh informasi tentang pasien, keluarga dan riwayat penggunaan NAPZA Pemahaman aturan dan tata tertib dalam fasilitas layanan Hasil yang diharapkan

14

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Diskusi dengan pasien dan keluarga

Persiapan psikologis pasien untuk pengobatan Membangun hubungan dengan penanggung jawab Merencanakan pengobatan

Detoksifikasi

Isolasi dalam ruang pengobatan/perawatan

Penatalaksanaan gejala putus NAPZA Stabilisasi Layanan kesehatan untuk penyakit lainnya Membantu kemajuan dan kemampuan pasien secara keseluruhan

Penatalaksanaan Melakukan kajian dan Komorbiditas pemeriksaan secara medis evaluasi Kajian ulang dan tinjauan untuk pengobatan lanjut atau rencana pengobatan baru

Tahapan Sekunder

Aktifitas

Waktu 3-12 bulan

Hasil yang diharapkan

Sesi Terapeutik Konseling individu, Sesi kelompok, Sesi keluarga

Kegiatan lanjutan dalam pemulihan Membangun ikatan dengan recovering addict yang senior Meningkatkan kesehatan dan mempererat ikatan dalam program Mengikutsertakan dalam kegiatan publik dan aktifitas umum Menerima kekuatan yang tetinggi dan memahami keberadaan Tuhan Menjaga kesehatan fisik dan mental

Rekreasional

Permainan Outing

Pendidikan

Seminar, bicara dan workshop Seminar, Diskusi, Latihan dan penerapan Asesmen/pemeriksa-an dan Pengobatan Seminar kesehatan

Spiritual

Perawatan Kesehatan

15

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Pemahaman diri

Membentuk hubungan/ Berbagi/Diskusi

Memperkuat keyakinan dan mempertimbang-kan nilai-nilai yang dianut selama ini Bersiap-siap untuk masuk program reentry Mengembangkan ketrampilan sosial Program latihan kerja Penempatan di tempat bekerja

Kelompok Dukungan

Pertemuan Alcohol Anonymous dan Narcotic Anonymous Latihan Kerja/Job Training, Wawancara kerja Pengelolaan waktu dan keuangan

Vokasional

Pencegahan Kekambuhan

Seminar, Workshop, Diskusi

Mengenali pola kambuh dan pencetus kekambuhan Mengembangkan kemampuan menghadapi masalah, mengelola terpeleset, terjatuh atau kambuh menggunakan NAPZA

Tahapan Aftercare

Aktifitas

Waktu Setelah 12-18 bulan

Hasil yang diharapkan

Pertemuan kelompok dukungan 12 langkah (Twelve Step)

Konseling berkelanjutan, dukungan kelompok dalam proses pemulihan

Menguatkan kestabilan Meningkatkan proses pemulihan secara keseluruhan

G. Layanan Lain Yang Tersedia 1. Outreach/Penjangkauan masyarakat. membawa program layanan kepada lingkungan

2. Rawat Jalan/Ambulatory - pasien datang ke pusat layanan untuk mendapatkan layanan, informasi, konseling, daycare, manajemen kasus, pelatihan dan lajn-lain. 3. Family Support Group - menginisiasi/fasilitasi untuk berbagi pengalaman diantara anggota keluarga. 4. Recovery Support Group/Kelompok Pendukung Pemulihan fasilitasi/ memotivasi

16

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

pasien untuk berpartisipasi dalam kelompok dukungan mandiri (Self Help Group). H. Evaluasi Pengobatan Evaluasi hasil pengobatan dilakukan secara periodik dalam setiap fase/tahapan pengobatan. Diperlukan pembentukan tim untuk mengevaluasi kemajuan setiap pasien yang terdiri dari berbagai profesi. Apabila evaluasi menunjukkan tidak adanya kemajuan pada pasien maka perlu ditinjau ulang program terapi selanjutnya agar diperoleh hasil yang optimal. Beberapa ha! yang perlu dievaluasi untuk setiap pasien adalah : a. b. c. d. e. f. g. h. Kondisi fisik/medis Kondisi penggunaan NAPZA Masalah psikologis Masalah keluarga Masalah sosial, termasuk masalah pekerjaan, pendidikan, finansial, hukum Masalah lain yang penting dan terkait dengan adiksi Pengobatan dan intervensi sosial yang telah diberikan Penilaian efektifitas program secara keseluruhan

I. Rekruitmen Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia (SDM) merupakan modal utama dalam melaksanakan program pengobatan dan rehabilitasi pasien gangguan penggunan Napza. Seringkali sulit untik mendapat SDM yang berkualitas dan mempunyai ketertarikan pada masalah gangguan penggunaan NAPZA. Hal ini seringkali disebabkan adanya persepsi yang salah bahwa bekerja di bidang ini banyak kerja dengan sedikit kemungkinan untuk perkembangan karier dan kenaikan pangkat. Oleh karena itu, setiap institusi perlu untuk membuat suatu ketentuan mengenai pengembangan karier dan promosi bagi setiap SDM yang bekerja pada pusat layanan gangguan penggunaan NAPZA. Seleksi SDM yang baik merupakan dasar untuk memberdayakan SDM tersebut secara efektif, meskipun tidak ada garansi penuh bahwa mereka yang sudah diterima akan bekerja secara efisien dan produktif, banyak sekali faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi dan stabilitas SDM. Pelamar dapat dimotivasi dengan pertimbangan lain selain hanya uang/gaji seperti pendidikan, pelatihan atau kesempatan untuk mengembangkan keahlian di bidang gangguan penggunaan NAPZA. Sejak pengobatan dan rehabilitasi bukan lagi merupakan organisasi yang tradisional, ada keunikan dalam melakukan penerimaan SDM dimana tidak banyak orang yang tertarik untuk melakukan pekerjaan dalam waktu yang panjang (lebih 8 jam kerja), on call 24 jam dalam 7 hari, bekerja saat hari libur, tinggal dalam suatu fasilitas dan yang sangat nyata mereka harus menghadapi pasien dengan masalah ketergantungan NAPZA yang seringkali melakukan kekerasan, ketidakstabilan mental, hal ini bisa diklasifikasikan sebagai pekerjaan berisiko tinggi. 1. Beberapa strategi untuk rekrutmen/penerimaan SDM :

17

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Membuat iklan di surat kabar atau radio Layanan On line (jika dimungkinkan tersedia internet/ website) Berhubungan dengan sekolah sesuai dengan profesi yang dibutuhkan Rujukan/rekomendasi dari petugas atau pasien Melakukan jejaring dengan profesi yang berbeda dan organisasi pemerintah Melakukan seleksi melalui kampus

2. Kebutuhan dasar untuk SDM pada pusat pengobatan dan rehabilitasi NAPZA Usia sedikitnya antara 21 sampai 35 tahun, agar masa penyesuaiannya lebih mudah Pendidikan yang sesuai dengan posisi dan tugasnya Untuk recovering addict, harus sudah lulus dari pusat layanan yang mempunyai reputasi dan sedikitnya sudah 2 tahun abstinensi, mempunyai pengalaman melaksanakan program 12 Langkah dan modalitas terapi lainnya Untuk konselor harus memiliki sertifikat konselor adiksi Bersedia untuk memberikan waktunya lebih panjang dari pegawai tempat lain Kualitas personal dalam dedikasi, loyalitas dan ketertarikan pada bidang pekerjaan tinggi Harus memiliki 'hati' dan 'jiwa' untuk menolong orang dengan spirit kemanusiaan yang tinggi Mampu berkreasi, mempunyai dorongan diri yang kuat dan berorientasi pada hasil Bersedia untuk menceburkan diri ke dalam program fasilitas residensial Bersedia mengikuti berbagai pelatihan baik secara lokal, regional maupun internasional

3. Proses Seleksi a. Tes psikologi, untuk mengetahui kepribadian dan motivasi kerja individu b. Wawancara Individu; untuk memperoleh SDM yang berkualitas, memberikan informasi tentang bidang kerja, menentukan tingkat intelejensi pelamar, menciptakan keinginan baik organisasi. Wawancara akan meliputi: Kematangan emosional Keterandalan Percaya diri Sikap terhadap pekerjaan Kreativitas Sistem nilai Gaya hidup Sikap kritikal

c. Wawancara Kelompok: pendekatan ini sangat direkomendasi sebagai tambahan dari hasil wawancara individu, Beberapa jenis wawancara kelompok yang dilakukan meliputi:

18

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Ketrampilan komunikasi dan menulis Pemahaman dan tilikan diri yang mendalam Ketulusan hati dan komitmen untuk ikut serta dalam misi melindungi kehidupan Kemampuan untuk berinteraksi dengan teman lainnya Tingkat komprehensif Menentukan pencapaian tujuan Keseriusan dalam melaksanakan pekerjaan

III. PEMBELAJARAN DARI RUMAH SAKIT JIWA DALAM LAYANAN TERAPI DAN REHABILITASI PASIEN GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA A. Layanan Yang Dilaksanakan Di Rumah Sakit Jiwa 1. Gawat Darurat Pada Gangguan Penggunaan NAPZA Pada prinsipnya penatalaksanaan gawat darurat gangguan penggunaan NAPZA dapat dilakukan di unit gawat darurat untuk pelayanan umum atau unit gawat darurat untuk gangguan jiwa yang terdapat di Rumah Sakit Jiwa tanpa harus menyediakan unit gawat darurat tersendiri. Bila memungkinkan unit gawat darurat gangguan penggunaan NAPZA dapat dibuat tersendiri. Untuk dapat menangani kasus-kasus gawat darurat NAPZA dengan baik perlu dilakukan pelatihan untuk tim unit gawat darurat yang meliputi ketrampilan untuk menangani kasus-kasus kedaruratan medik yang terjadi akibat penggunaan NAPZA, seperti overdosis opioida, intoksikasi benzodiazepin, intoksikasi amfetamin. Beberapa Rumah Sakit Jiwa dapat menangani kasus intoksikasi amfetamin, alkohol dan halusinogen. Untuk intoksikasi NAPZA lain (misal: Benzodiazepin, Dekstrometorfan) beberapa Rumah Sakit Jiwa dapat menangani kondisi akut, termasuk kondisi gaduh gelisah. Untuk kasus overdosis; khususnya overdosis heroin biasanya pasien dibawa ke Rumah Sakit Umum meskipun seringkali dokter gawat darurat Rumah Sakit Umum tidak tahu diagnosis overdosis heroin/kasus heroin Beberapa Rumah Sakit Jiwa telah menggunakan skala penilaian putus NAPZA untuk kasus putus heroin (opioida). Masih perlu dilakukan pelatihan Gawat Darurat Gangguan penggunaan NAPZA karena umumnya Tim gawat darurat Rumah Sakit Jiwa belum pernah mendapatkan pelatihan kegawatdaruratan dalam bidang Gangguan penggunaan Napza, Pasien yang telah menunjukkan perbaikan setelah ditangani di unit gawat darurat dapat dilanjutkan dengan parawatan rawat inap atau detoksifikasi untuk kasus putus NAPZA atau berobat jalan untuk kondisi yang sudah memungkinkan untuk pulang. 2. Rawat Jalan/Rumatan: Umumnya medikasi yang tersedia di Rumah Sakit Jiwa untuk penanganan

19

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

simtomatis. Semua jenis NAPZA dapat dilayani termasuk komplikasi medis maupun psikiatris. Terapi rumatan di Rumah Sakit Jiwa umumnya belum tersedia. Umumnya Layanan Psikososial seperti Konseling Dasar Individual/Kelompok, Terapi Kelompok, Family Support Group, Dukungan Kelompok Sebaya, Terapi Musik, Outing, Terapi Vokasional, Motivational Interviewing, Cognitive Behavioural Therapy, ReEmotive Behaviour Therapy di Rumah Sakit Jiwa masih kurang. Umumnya Rumah Sakit Jiwa telah dapat menyediakan Layanan Penunjang Dasar seperti laboratorium dasar Kimia Klinik. Untuk pemeriksaan NAPZA umumnya menggunakan Deep Stick disertai tes konfirmasi. Pemeriksaan radiologi dan elektromedik (EEG, Brain Mapping, EKG) juga tersedia di Rumah Sakit Jiwa.

3. Detoksifikasi Umumnya detoksifikasi dilakukan di fasilitas rawat inap Rumah Sakit Jiwa dengan menggunakan medikasi simtomatis. Khusus untuk detoksifikasi heroin (opioida) selain simtomatis juga ada yang mempunyai pengalaman tapering off dengan metadon dan buprenorfin 4. Rehabilitasi Jangka Pendek (Short Term) (1-3 bulan) Beberapa Rumah Sakit Jiwa telah melaksanakan program ini dengan fokus pada perubahan perilaku. Dilakukan skrining masalah medis dan psikologis. Jangka Panjang - Long term (6 bulan - lebih) Beberapa Rumah Sakit Jiwa sudah dapat melaksanakan program rehabilitasi untuk jangka waktu 6 bulan. Ada juga yang sudah menjalankan program re-entry (hingga 9 bulan). Ada juga yang sudah menjalankan Therapeutic Community (TC) secara penuh yang dilanjutkan dengan/aftercare Setiap intervensi dilakukan secara bertahap, misalnya untuk lama waktu dilaksanakan rehabilitasi untuk pasien (dalam program rehabilitasi biasanya disebut residen) dimulai dengan program jangka pendek terlebih dahulu. Bila rehabilitasi sudah dapat berjalan secara bermakna, lama waktu dilaksanakan rehabilitasi untuk residen kemudian diperpanjang, misalnya menjadi minimal 6 bulan. Umumnya diperlukan waktu yang cukup lama sejak mulai berdirinya rehabilitasi sampai dapat melakukan program yang melibatkan keluarga. Pada awal program, biasanya keluarga hanya dilibatkan terkait masalah residen. Untuk selanjutnya keluarga dapat diajak bekerjasama agar terlibat dalam beberapa program, seperti program dukungan keluarga dengan anak yang terlibat gangguan penggunaan NAPZA atau program dukungan residen dengan HIV positif. Memulai program aftercare hanya jika program jangka pendek sudah berhasil dilalui dengan baik. Biasanya kegiatan aftercare dilaksanakan di luar lingkungan Rumah Sakit

20

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Jiwa. Seiring dengan banyaknya kasus ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), perlu dibentuk kelompok sebaya khusus untuk ODHA pada penasun (pengguna NAPZA suntik) 5. Layanan Psikososial dan Penunjang Pada umumnya Rumah Sakit Jiwa sudah melakukan konseling dasar, terapi kelompok dan psikoedukasi keluarga. 6. Evaluasi Terapi Kebanyakan Rumah Sakit Jiwa belum melakukan secara khusus, kecuali residen yang sudah mengalami komplikasi medis atau psikiatris. 7. Sistem Rujukan/Jejaring Sebagian Rumah Sakit Jiwa sudah melaksanakan kerjasama dengan berbagai institusi baik pemerintah maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). B. Tantangan Di Lapangan 1. Sumber Daya Manusia Biasanya tenaga medis dan paramedis terbatas dan kurang berminat untuk bekerja di bangsal gangguan penggunaan NAPZA, mereka lebih tertarik untuk bekerja di bangsal umum atau bangsal penyakit jiwa. Salah satu alasan mereka enggan bekerja di bangsal gangguan penggunaan NAPZA karena kurangnya pengetahuan dan kekhawatiran berlebihan terhadap pasien gangguan penggunaan NAPZA yang terinfeksi HIV. Ketrampilan petugas dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA masih terbatas. Ada petugas yang belum mengikuti pelatihan, ada juga yang enggan mengikuti pelatihan. Komitmen untuk merencanakan dan menjalankan program dari pengambil keputusan sampai pelaksana kurang kuat dijumpai di beberapa Rumah Sakit Jiwa. Kesulitan untuk mendapat peer educator/konselor pada awal menjalankan program. Reward/honor petugas yang belum memenuhi standar minimal

2. Penerapan Program Penerapan program sulit dilaksanakan karena pengetahuan dan ketrampilan terbatas sehingga kurang percaya diri untuk menjalankan program Keterbatasan dana sehingga beberapa program tidak dapat dilaksanakan misalnya outing, terapi vokasional, terapi rekreasional. Keterbatasan pengalaman dalam penanganan kasus dengan dual diagnosis Kesinambungan (sustainability) program yang mendapatkan bantuan tidak direncanakan kelanjutannya sehingga program terhenti ketika bantuan itu

21

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

berhenti. 3. Sarana dan Prasarana Sarana dan prasarana seringkali dipersepsikan harus terpisah dari kegiatan rumah sakit secara keseluruhan, Sebagian RS telah melakukan pelayanan dengan menggunakan fasilitas RS yang tersedia.

4. Evaluasi Terapi Sudah dilaksanakan evaluasi terapi secara sederhana, belum dilakukan dengan menggunakan tools/panduan yang terstandarisasi

5. Rujukan/Jejaring Kerjasama RSJ dengan LSM, RSU, Puskesmas, Lapas di banyak tempat masih terbatas. RSJ yang sudah melayani ODHA umumnya kerjasama sudah berjalan baik dalam bidang HIV/AIDS Advokasi ke beberapa pemangku kepentingan (Badan Narkotika Propinsi, Badan Narkotika Kabupaten/Kota, Komisi Penanggulangan AIDS, Pemerintah Daerah) masih ada kendala Kerjasama lintas sektor dan lintas program belum berjalan dengan optimal

IV. EFEK DAN GEJALA KLINIS GANGGUAN PENGGUNAAN NAP2A Bab ini akan membahas pengaruh segera atau beberapa saat (efek akut) sesudah menggunakan NAPZA dan pengaruh penggunaan jangka panjang (efek kronis). Pengguna NAPZA apapun jenisnya, selalu mengharapkan efek yang menyenangkan bagi dirinya ("efek positif) yaitu euforia, tenang, rileks dan disinhibisi. Efek lainnya pada umumnya tidak disukai ("efek negatif) misalnya halusinasi, waham, berdebar-debar. Efek NAPZA terhadap pengguna dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu jenisnya (CNS depressant atau CNS stimulant), dosisnya (intoksikasi saja atau overdose), lamanya penggunaan (toleransi atau belum ada toleransi), NAPZA lain yang digunakan bersamaan, situasi (sendiri atau berkelompok) dan harapan pengguna terhadap NAPZA tersebut (ingin lepas kendali agar lebih berani atau ingin tenang). Dalam Bab ini hanya akan dibahas NAPZA yang sering digunakan saat ini di Indonesia. 1. AMFETAMIN a. Efek Fisik dan Psikologis Efek dari metamfetamin lebih kuat dibandingkan efek dari amfetamin. Metamfetamin diketahui lebih bersifat adiktif, dan cenderung mempunyai dampak yang lebih buruk. Pengguna metamfetamin dilaporkan lebih jelas menunjukkan gejala ansietas, agresif, paranoia dan psikosis dibandingkan pengguna amfetamin. Efek psikologis yang ditimbulkan mirip seperti pada pengguna kokain, tapi berlangsung lebih lama.

22

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Efek fisik akut dan psikologis : Dosis rendah Susunan Syaraf Pusat, Penigkatan stimulasi, neurologi, perilaku insomnia, dizziness, tremor ringan Euforia/disforia,bicara berlebihan Meningkatkan rasa percaya diri dan kewaspadaan diri Cemas, panik Menekan nafsu makan Dilatasi pupil Dosis tinggi Stereotipik atau perilaku yang sukar ditebak Perilaku kasar atau irasional, mood yang berubah-ubah. termasuk kejam dan agresif Bicara tak jelas Paranoid,kebingungan dan gangguan persepsi

Peningkatan energi, stamina Sakit kepala, dan penurunan rasa lelah pandangan kabur, dizziness Psikosis (halusinasi delusi, paranoia) Dengan penambahan dosis.dapat meningkatkan libido Sakit kepala Gemerutuk gigi Gangguan serebrovaskular Kejang Koma Gemerutuk gigi Distorsi bentuk tubuh secara keseluruhan Kardiovaskular Takikardia (mungkin juga bradikardia) .hipertensi Palpitasi.arimia Pernapasan Stimulasi kardiak (takikardia.angina.MI) vasokonstriksi/ hipertensi kolap kardiovaskuler Peningkatan frekwensi napas Kesulitan dan kedalaman pernapasan bernapas/gagal napas

23

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Gastrointestinal

Mual dan muntah Konstipasi ,diare atau kram abdominal

Mulut kering Mual dan muntah kram abdominal kemerahan atau flushing hiperpireksia, disforesis

Kulit

kulit berkeringat.pucat hiperpireksia

Otot

peningkatan refleks tendon

b. Efek fisik dan psikologis jangka panjang : berat badan menurun, malnutrisi, penurunan kekebalan gangguan makan, anpreksia atau defisiensi gizi kemungkinan atrofi otak dan cacat fungsi neuropsikologis daerah injeksi: bengkak, skar, abses kerusakan pembuluh darah dan organ akibat sumbatan partikel amfetamin pada pembuluh darah yang kecll. disfungsi seksual gejala kardiovaskuler delirium.paranoia, ansietas akut, halusinasi. Amphetamines induced psychosis akan berkurang bila penggunaan Napza dihentikan , bersamaan dengan diberikan medikasi jangka pendak. depresi, gangguan mood yang lain (misal distimia), atau adanya gangguan makan pada protracted withdrawal. penurunan fungsi kognitif, terutama daya ingat dan konsentrasi.

c. Gejala Intoksikasi: Agitasi Kehilangan berat badan Takikardia Dehidrasi Hipertermi Imunitas rendah Paranoia Delusi Halusinasi Kehilangan rasa lelah Tidak dapat tidur Kejang Gigi gemerutuk.rahang atas dan bawah beradu Stroke Gangguan kardiovaskular Kematian

24

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

d. Perilaku sehubungan dengan kondisi intoksikasi: Agresif/ perkelahian Penggunaan alkohol Berani mengambil risiko Kecelakaan Sex tidak aman Menghindar dari hubungan sosial dengan sekitarnya Penggunaan obat-obatan lain Problem hubungan dengan orang lain

e. Gejala withdrawal: Depresi Tidak dapat beristirahat Craving Ide bunuh diri Penggunaan obat-obatan Masalah pekerjaan Pikiran-pikiran yang bizzare Mood yang datar Ketergantungan Fungsi sosial yang buruk

2. KANABIS a. Komplikasi fisik dan psikososial Efek akut Seperti umumnya dengan napza , efek dari kanabis tergantung dengan dosis yang digunakan.individunya dan kondisi saat itu. Beberapa hal di bawah ini di anggap sebagai efek positif bagi pengguna.yaitu : perasaan tenang (relaksasi) euforia disinhibisi peningkatan persepsi penglihatan dan pendengaran nafsu makan meningkat persepsi waktu yang salah sulit untuk konsentrasi

Sedangkan efek akut negatif adalah: ansietas dan panik paranoia halusinasi pendengaran dan penglihatan gangguan koordinasi kehilangan memori jangka pendek

25

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

takikardia dan aritmia supraventrikuler

Kanabis tidak menyebabkan overdosis yang fatal Gejala yang umum terj$di pada kondisi putus kanabis adalah ansietas, tidak dapat beristirahat dan mudah tersinggung anoreksia tidur terganggu dan sering mengalami mimpi buruk gangguan gastrointestinal keringat malam hari tremor

Gejala-gejala yang terjadi biasanya ringan dan berakhir setelah satu atau dua minggu. Pasien dengan putus kanabis hanya memerlukan manajemen gejala jangka pendek. 3. OPIODA a. Efek Opioda SISTIM ORGAN Sistim Saraf EFEK Analgesi euforia sedasi, mengantuk, depresi pernapasan penekanan refleks batuk pupil konstriksi

Gastroitestinal

mual dan muntah konstipasi spasme biliar ( peningkatan tonus sfingter Oddi) perubahan hormon sex pada wanita (kadar FSH dan LH rendah ,peningkatan kadar prolaktin) berdampak pada gangguan siklus menstruasi, penurunan libido, galaktorhea penurunan kadar testosteron pada laki-laki,penurunan libido meningkatnya hormon anti diuretik (ADH), penurunan kadar ACTH

Endrokrin

Lainnya

gatal-gatal,berkeringat,kulit kemerahan histamin) kekeringan pada daerah mulut.mata dan kulit pengeluaran urin yang sulit tekanan darah rendah

(reaksi

26

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

b. Simpton putus opioid dengan kerangka waktu Jarak waktu dari suntikan terakhir 6 12 jam 12 24 jam Gejala Umum mata dan hidung berair, menguap berkeringat Hari ke 2 sampai 4 Hari ke 5 sampai 7 agitasi dan iritabel berdiri bulu roma (goosebumps) berkeringat, perasaan panas dan dingin kehilangan nafsu makan keinginan kuat untuk menggunakan heroin (craving) kram perut, diare kehilangan nafsu makan, mual, muntah nyeri punggung.nyeri persndian,tangan atau kaki, sakit kepala sulit tidur letargi, kelelahan tidak dapat istirahat, irritable, agitasi sulit konsentrasi perasaan panas dan dingin, keringat meningkat

Lebih dari 24 jam

semua gejala mencapai puncaknya kebanyakan gejala fisik mulai berkurang. nafsu makan mulai kembali gangguan fisik mulai menghilang. Dapat muncul keluhan lain seperti tidak dapat tidur, rasa lelah, irirtable, craving

Minggu ke 2

Beberapa minggu kembali ke pola tidur .level aktivitas dan mood normal. sampai beberapa bulan Meningkatnya kesehatan secara umum dan penurunan craving 4. BENZODIAZEPIN Semua benzodiazepin bersifat sedatif, ansiolitik dan anti konvulsan. a. Efek jangka pendek o o o o o o o o mengantuk, letargi, kelelahan gerakan yang tidak terkoordinasi, penurunan reaksi terhadap waktu dan ataksia penurunan fungsi kognisi dan memori (terutama amnesia anterograde) kebingungan kelemahan otot atau hipotoni depresi nistagmus, vertigo disarthria, bicara cadel/tidak jelas

27

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

o pandangan kabur, mulut kering o sakit kepala o euforia paradoksal, rasa girang, tidak dapat beristirahat, hipomania dan perilaku inhibisi yang ekstrim (terutama pengguna dosis tinggi dapat merasa tidak dapat dilukai, kebai terhadap serangan atau pukulan dan merasa dirinya tidak dapat dilihat orang sekitarnya) o efek potensiasi dengan napza depresah susunan syaraf pusat lainnya, misal alkohol dan opioid yang dapat meningkatkan risiko penekanan pernapasan

b. Efek jangka panjang Mirip dengan efek jangka pendek, ditambah dengan : toleransi terhadap efek sedatif/hipnotik dan psikomotor emosi yang "tumpul" (ketidakmampuan merasa bahagia atau duka sehubungan dengan hambatan terhadap emosi) siklus menstruasi tidak teratur, pembesaran payudara ketergantungan (dapat terjadi setelah 3 sampai 6 bulan dalam dosis terapi)

d. Gejala Putus Benzodiazepin : Umumnya mencakup: insomnia ansietas irritable tidak dapat beristirahat agitasi depresi tremor dizziness

Jarang terjadi, tapi perlu penanganan serius : kejang (kejang hampir menyerupai pengguna alkohol dosis tinggi) delirium

Gejala lain mencakup: kedutan otot dan nyeri anoreksia, mual kelelahan tinnitus hiperakusis, fotofobia, gangguan persepsi depersonalisasi, derealisasi pandangan kabur

28

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

5. ALKOHOL a. Intoksikasi Alkohol Akut Intoksikasi dapat dikenali dengan gejala-gejala : ataksia dan bicara cadel/tak jelas emosi labil dan disinhibisi napas berbau alkohol mood yang bervariasi

b. Komplikasi akut pada intoksikasi atau overdosis : paralisis pernapasan, biasanya bila muntahan masuk saluran pernapasan obstructive sleep apnoea aritmia jantung fatal ketika kadar alkohol darah lebih dari 0,4 mg/ml

c. Gejala klinis sehubungan dengan overdosis alkohol dapat meliputi: penurunan kesadaran, stupor atau koma perubahan status mental kulit dingin dan lembab, suhu tubuh rendah

d. Gejala putus alkohol: Biasa terjadi 6-24 jam sesudah konsumsi alkohol yang terakhir: Gejala putus alkohol ringan : Tremor Khawatir dan agitasi Berkeringat Mual dan muntah Sakit kepala Takikardia Hipertensi Gangguan tidur Suhu tubuh meningkat

Gejala putus alkohol berat: muntah agitasi berat disorientasi kebingungan paranoia hiperventilasi delirium tremens (DTs) adalah suatu kondisi gawat darurat pada putus alkohol yang tidak ditangani .muncul 3-4 hari setelah berhenti minum alkohol. DTs mencakup gejala agitasi, restlessness, tremor kasar, disorientasi, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, berkeringat dan demam tinggi,

29

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

halusinasi lihat dan paranoia. 6. KOKAIN a. Efek yang diharapkan : euforia banyak bicara bertambahnya percaya diri energi berkurang keinginan untuk tidur b. Efek akut pada dosis rendah : anastesi lokal dilatasi pupil vasokonstriksi peningkatan pernapasan peningkatan denyutjantung peningkatan tekanan darah peningkatan suhu tubuh c. Efek akut pada dosis tinggi (reaksi toksik): stereotipik, perilaku repetitif ansietas/ agitasi berat/ panik agresif kedutan otot/tremor/hilang koordinasi peningkatan refleks gagal napas peningkatan tekanan darah yang bermakna nyeri dada/angina edema paru gagal ginjal akut konvulsi penglihatan kabur stroke akut kebingungan/delirium halusinasi, lebih sering halusinasi dengar dizziness kekakuan otot lemah, nadi cepat aritmia jantung iskemi miokardial dan infark berkeringat/suhu tubuh sangat tinggi (suhu rektal bisa mencapai 41C) sakit kepala nyeri perut/mual/muntah

30

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

d. Efek pada penggunaan kronis : insomnia depresi agresif atau liar kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan kedutan otot ansietas psikosis - waham curiga, halusinasi hilang libido dan/atau impotensi peningkatan refleks peningkatan denyut nadi e. Gejala putus kokain (terjadi setelah beberapa hari penggunaan kokain) mood disforia (anhedonia atau kesedihan mirip depresi) dan kelelahan insomnia atau hipersomnia agitasi psikomotor atau retardasi craving peningkatan nafsu makan mimpi buruk gejala putus alkohol mencapai puncaknya dalam 2-4 hari gejala disforia bisa berlangsung sampai 10 minggu

7. VOLATILE SUBSTANCE (SENYAWA YANG MUDAH MENGUAP) a. Efek pada penggunaan akut mata merah dan berair bersin dan batuk nafas berbau napza kimia lem, solven, bekas cat tertinggal pada baju, jari tangan, hidung, atau mulut intoksikasi terlihat jelas/ perilaku menyimpang/ berani mengambil risiko kebingungan koordinasi yang lemah mengeluarkan keringat yang berlebihan ada tanda-tanda tidak biasa/rash, iritasi kulit di sekitar mulut dan hidung sekresi nasal yang berlebihan, secara langsung menghirup b. Efek yang diharapkan : euforia rasa girang rasa melambung rasa tidak dapat dilukai/disakiti

31

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

disinhibisi

c. Efek jangka pendek/efek negatif: mengantuk gejala mirip flu mual dan muntah sakit kepala diare, nyeri abdominal pernapasan tidak nyaman perdarahan hidung dan tenggorokan perilaku berisiko. d. Efek pada dosis tinggi: berbicara tidak jelas koordinasi motorik lemah disorientasi, kebingungan tremor sakit kepala delusi gangguan penglihatan atau halusinasi perilaku yang tidak dapat diprediksi - ataksia - stupor - final stages ( kejang, koma cardiopulmonary arrest, kematian ). e. Gejala Overdosis Dosis tinggi dapat menyebabkan pasien mengalami: konvulsi, koma Gangguan pernafasan Aritmia jantung Gangguan atau kematian dapat terjadi karena: perilaku yang berisiko (tenggelam, jatuh, dll) sufokasi aspirasi muntahan terbakar, ledakan keracunan, kegagalan organ tubuh (pengguna kronis) Laryngeal Spasm (Butane) Respiratory Arrest keracunan logam (bensin/solar) f. Gejala putus zat: Permulaan dan lamanya: tidak diklasifikasikan dalam DSM IV tapi sifat dari gejala putus yang memungkinkan dapat terjadi pada 24-48 jam sesudah penggunaan berakhir Gejalanya: gangguan tidur tremor

32

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

mudah tersinggung dan depresi mual diaforesis ilusi hilang dengan cepat

V. LAYANAN KOMPREHENSIF GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA BERBASIS RUMAH SAKIT 1. Rekruitmen SDM a. Sosialisasi program, sebelum dirancang program operasional terapi dan rehabilitasi Gangguan penggunaan NAPZA seharusnya pihak manajemen melakukan sosialisasi kepada seluruh karyawan rumah sakit dan pemangku kepentingan lain yang terkait (donator, LSM atau pemda setempat). Dalam sosialisasi perlu dijelaskan tentang beberapa hal terkait dengan operasional layanan untuk gangguan penggunaan NAPZA tersebut yang meliputi : Keuntungan yang akan diperoleh ataupun kerugian (kalau ada) yang akan dialami rumah sakit Jenis layanan atau program terapi dan rehabilitasi gangguan penggunaan NAPZA yang akan dilaksanakan Staf dan karyawan yang akan terlibat dalam program Jejaring yang harus dibentuk dengan pemangku kepentingan Pendanaan dan penghasilan yang dapat diperoleh dari layanan gangguan penggunaan NAPZA b. Skrining motivasi untuk bekerja di unit gangguan penggunaan NAPZA dan HIV, umumnya akan terjadi penolakan ketika akan dilakukan rekrutmen atau skrining staf/karyawan yang akan mengelola program untuk gangguan penggunaan NAPZA. Untuk itu pihak manajemen harus mampu meyakinkan kepada karyawan/staf tentang reward yang dapat diperoleh bagi petugas/staf di bangsal gangguan penggunaan NAPZA seperti: Pelatihan khusus masalah gangguan penggunaan NAPZA Pemberian insentif khusus sesuai dengan jam kerja Promosi kenaikan pangkat Promosi untuk pendidikan berkelanjutan, dan lain-lain sesuai kemampuan rumah sakit c. Jenis dan jumlah tenaga/profesi yang dibutuhkan, sangat tergantung dengan jenis layanan yang akan dilaksanakan. Tidak semua jenis profesi harus tersedia dalam sebuah pusat layanan, bilamana memerlukan suatu layanan profesi khusus dapat dilakukan dengan cara sistern rujukan atau membuat kesepakatan kerja. Dalam bidang teknis-medis tenaga minimal yang diperlukan : 1 orang psikiater dan atau dokter umum yang terlatih di bidang gangguan penggunaan NAPZA

33

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

1 tim (8 orang) perawat/paramedik 1-2 orang instruktur/guru sesuai jenis kegiatan 1 tim (3 orang) konselor adiksi yang sudah terlatih 1 orang pekerja sosial 1 orang pembimbing agama

Dalam bidang administrasi kegiatan pelayanan dibutuhkan : 1 orang tenaga pimpinan/program manajer 1 orang petugas tata usaha 1 orang petugas keuangan 1 orang petugas kebersihan 1 tim (4 orang) petugas keamanan d. Pelatihan/ketrampilan yang perlu dimiliki, untuk awal pelaksanaan program perlu dilakukan pelatihan pada semua tim teknis/medis baik peningkatan ketrampilan melalui pelatihan maupun magang pada pusat layanan yang sudah mapan/mempunyai kredibilitas. Pelatihan untuk staf teknis/medis meliputi; Pengetahuan tentang gangguan penggunaan NAPZA dan praktek pengobatan/perawatan Ketrampilan yang berkaitan untuk pengkajian/asesment, rencana pengobatan dan konseling individu/kelompok/keluarga Isu-isu lain berkaitan dengan koordinasi, dokumentasi, kelompok kerja dan profesional/tanggung jawab etika dalam pelayanan Pengembangan manajemen dan ketrampilan supervisi Pelatihan untuk non klinikal/teknis staf meliputi: Komunikasi, manajemen waktu, ketrampilan berkaitan dengan pekerjaan seperti komputer/ IT, kepuasan pelanggan dan lain-lain Menjaga keamanan di lingkungan fasilitas/kerja e. Tugas pokok dan fungsi yang jelas, program yang diterapkan pada pusat terapi dan rehabilitasi umumnya merupakan program yang terstruktur sehingga pembagian kerja dari masing-masing individu harus sangat jelas agar program dapat berjalan dengan baik. Promosi dalam pengembangan kompetensi (termasuk perencanaan pelatihan), secara periodik sebaiknya dinilai kinerjanya disertai dengan rencana promosi bagi staf/karyawan yang mempunyai dedikasi dan ketrampilan yang bisa diandalkan. Supervisi teknis sangat diperlukan untuk kita ketahui demi kebutuhan pengembangan ketrampilan apa yang dibutuhkan untuk menunjang layanan yang optimal. Persiapan untuk rencana pelatihan diperoleh dengan melakukan : Training Need Assesment (TNA) setiap tahun Jadwal tahunan setiap tahun Alokasi dana untuk pelatihan Dokumentasi hasil pelatihan

34

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Membuat perpustakaan di dalam pusat layanan

2. Sarana Dan Prasarana Persyaratan minimal disesuaikan dengan jenis layanan yang akan dibuka, pelayanan dapat memanfaatkan sarana yang selama ini sudah tersedia bahkan meskipun sangat sederhana/minimal. Fasilitas (sarana/prasarana) bisa digabung dengan pelayanan lain pada rumah sakit, tentunya dengan mempertimbangkan keamanan dan kenyaman pasien lainnya. Dibawah ini diterangkan apa saja yang dimaksud dengan sarana dan prasarana dalam layanan terapi dan rehabilitasi Gangguan penggunaan NAPZA Sarana: Bangunan atau gedung, misalnya; kantor, ruang pemeriksaan, ruang perawatan, ruang konseling, ruang kelas, asrama, ruang ketrampilan, aula, dapur dan sebagainya.

Prasarana: Jalan, listrik, telepon, air minum, pagar, saluran air buangan/drainage, peralatan kantor, peralatan layanan baik medis maupun non medis dan sebagainya (generator untuk daerah sering mati listrik, sumur pompa untuk daerah yang air ledengnya sering tidak mengalir). Kebutuhan minimal dalam pelayanan Gangguan penggunaan NAPZA: a. Rawat Jalan ; untuk poliklinik Gangguan penggunaan NAPZA dapat digabung dengan poliklinik lain khususnya poliklinik psikiatri, apabila tidak memungkinkan hari layanan untuk pasien dengan Gangguan penggunaan NAPZA tidak diberikan setiap hari tetapi dalam seminggu 2 atau 3 kali layanan. Beberapa sarana yang diperlukan adalah : Ruang periksa dokter Ruang konseling/pemeriksaan psikologi Ruang terapi kelompok untuk sekitar 8-12 orang b. Rawat Inap : Detoksifikasi : Ruang perawatan (6-10 tempat tidur) yang aman dari bendabenda yang membahayakan seperti; tiang/pipa besi yang dapat dipatahkan, kisi-kisi yang bisa untuk menggantung diri, kaca, benda tajam Rehabilitasi : asrama, ruang kantor, ruang kelas, ruang ketrampilan, ruang makan/rekreasi, aula, dapur, ruang olah raga, ruang untuk service area, dan sebagainya sesuai dengan kebutuhan program

3. Model Layanan a. Rawat Darurat; dapat dilayani kondisi gawat darurat gangguan penggunaan NAPZA dengan mengacu pada standar minimal RSJ tipe A, B, Rumah Sakit Ketergantungan Obat dan RSU tipe A,B maupun C Penatalaksanaan umum kondisi emergensi gangguan penggunaan NAPZA:

35

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Tindakan terfokus pada masalah penyelamatan hidup (life threatening) melalui prosedur ABC (Airway, Breathing, Circulation) dan menjaga tanda-tanda vital Bila memungkinkan hindari pemberian obat-obatan, karena dikhawatirkan akan terjadi interaksi dengan NAPZA yang digunakan pasien. Apabila NAPZA yang digunakan pasien sudah diketahui, obat dapat diberikan dengan dosis yang adekuat Merupakan hal yang selalu penting untuk memperoleh riwayat penggunaan NAPZA sebelumnya baik melalui auto maupun alloanamnesa (terutama dengan keluarganya). Bila pasien tidak sadar perhatikan alat-alat atau barang yang ada pada diri pasien (seperti adanya jarum suntik, obat-obatan dsb) Sikap dan tata cara petugas membawakan diri merupakan hal yang penting khususnya bila berhadapan dengan pasien panik, kebingungan atau psikotik Terakhir, penting untuk menentukan atau meninjau kembali besarnya atau beratnya masalah penggunaan NAPZA pasien berdasar kategori dibawah ini: 1. Pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA dalam jumlah banyak dan tanda-tanda vital yang membahayakan berkaitan dengan kondisi intoksikasi. Kemungkinan akan disertai dengan gejala-gejala halusinasi, waham dan kebingungan akan tetapi kondisi ini akan kembali normal setelah gejala-gejala intoksikasi mereda 2. Tanda-tanda vital pasien pada dasarnya stabil tetapi ada gejala-gejala putus NAPZA yang diperlihatkan pasien maka bila ada gejala-gejala kebingungan atau psikotik hal itu merupakan bagian dari gejala putus NAPZA. 3. Pasien dengan tanda-tanda vital yang stabil dan tidak memperlihatkan gejala putus NAPZA yang jelas tetapi secara klinis menunjukkan adanya gejala kebingungan seperti pada kohdisi delirium atau demensia. Dalam perjalanannya mungkin timbul gejala halusinasi atau waham, tetapi gejala ini akan menghilang bilamana kondisi klinis delirium atau dementia sudah diterapi dengan adekuat 4. Bilamana tanda-tanda vital pasien stabil dan secara klinis tidak ada gejalagejala kebingungan atau putus NAPZA secara bermakna, tetapi menunjukkan adanya halusinasi atau waham dan tidak memiliki insight maka pasien menderita psikosis 5. Penatalaksanaan kondisi gawat darurat gangguan penggunaan NAPZA akan diuraikan sebagai berikut: 5.1. Intoksikasi/Overdosis Opioida: Merupakan kondisi gawat darurat yang memerlukan penanganan secara cepat Atasi vital sign (Tekanan Darah, Pernafasan, Denyut Nadi, Temperatur)

36

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Berikan antidotum Naloxon HCL (Narcan, Nokoba) dengan dosis 0,01 mg/kg.BB secara iv, im, sc Kemungkinan perlu perawatan ICU, khususnya bila terjadi penurunan kesadaran Observasi selama 24 jam untuk menilai stabilitas tanda-tanda vital

5.2. Intoksikasi Amfetamin atau NAPZA yang menyerupai Simptomatik, tergantung kondisi klinis, untuk penggunaan oral : merangsang muntah dengan activated charcoal atau kuras lambung adalah penting Antipsikotik , Haloperidol 2-5 mg atau Chlorpromazine 1 mg/kg BB setiap 4-6 jam bila timbul gejala psikotik Antihipertensi bila Tekanan Darah diatas 140/100 mHg Kontrol temperatur dengan selimut dingin atau antipiretika untuk mencegah temperatur tubuh meningkat Aritmia cordis, lakukan Cardiac monitoring ; Propanolol 2-3x40 mg (perhatikan kontraindikasinya) Bila ada gejala ansietas berikan ansiolitik golongan Benzodiazepin ; Diazepam 3 x 5 mg atau Chlordia-zepoxide 3x25 mg Asamkan urin dengan Amonium Chlorida 2,75 mEq/kg atau Ascorbic Acid 8 mg/hari sampai pH urin <5 akan mempercepat ekskresi NAPZA 5.3. Intoksikasi Kanabis Umumnya tidak perlu farmakoterapi, dapat diberikan terapi suportif dengan talking down Bila ada gejala ansietas berat: Lorazepam 1-2 mg oral, atau Alprazolam 0.5 - 1 mg oral, atau Chlordiazepoxide 10-50 mg oral Bila terdapat gejala psikotik menonjol dapat diberikan Haloperidol 1-2 mg oral atau i.m ulangi setiap 20-30 menit 5.4. Intoksikasi Alkohol Bila terdapat kondisi Hipoglikemia injeksi 50 mg Dextrose 50% Bila keadaan Koma : Posisi face down untuk cegah aspirasi Observasi ketat tanda vital setiap 15 menit Injeksi Tiamine 100 mg i.v untuk profilaksis terjadinya Wernicke Encephalopathy.ialu 50 ml Dekstrose 50% iv (urutan jangan sampai terbalik) Problem Perilaku (gaduh/gelisah): Petugas keamanan dan perawat siap bila pasien agresif Terapis harus toleran dan tidak membuat pasien takut atau

37

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

merasa terancam Buat suasana tenang dan bila perlu tawarkan makan Beri dosis rendah sadatif: Lorazepam 1-2 mg atau Haloperidol 5 mg oral, bila gaduh gelisah berikan sacara parenteral (I.m)

Kadar Alkohol Dalam Darah dan Hubungannya Dengan Gejala Pada Sistem Saraf Pusat KONSENTRASI (g/dl) PEMINUM SPORADIK 0,050-0,075 (taraf pesta) Euforia, Suka berkumpul gregarious), suka mengomel (garroulous) 0,100 (intoksikasi secara Tidak terkoordinasi hukum*) 0,125-0,150 . Perilaku tak terkontrol Hilang kewaspadaan, lethargy PEMINUM KRONIK -Tak tampak gejala -Sering masih terlihat segar

Gejala minimal Menyenangkan, mulai euforia, kurang koordinasi Membutuhkan usaha untuk mempertahankan emosi/kontrol motorik

0,200-0,250

0,300-0,350 Lebih dari 0,500

Stupor sampai koma Mengantuk, lamban Fatal, mungkin mem- Koma butuhkan hemodialisis

*) Di beberapa Negara (atau negara bagian di AS seperti California) secara hukum kadar 0.080 sudah ditetapkan sebagai intoksikasi. 5.5. Intosikasi Sedatif-Hipnotik (Benzodiazepin) Diperlukan terapi kombinasi yang bertujuan : a) Mengurangi efek obat dalam tubuh

38

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

b) Mengurangi absorbsi obat lebih lanjut c) Mencegah komplikasi jangka panjang Langkah I: Mengurangi efek Sedatif-Hipnotik : Untuk tingkat serum sedatif-hipnotik yang tingginya ekstrim dan gejala-gejala sangat berat, pikirkan untuk haimoperfusion dengan Charcoal resin/Norit. Cara ini juga berguna bila ada intoksikasi berat barbiturat yang lebih short acting. Tindakan suportif termasuk: a) pertahankan jalan nafas, pernafasan buatan bila diperlukan b) perbaiki gangguan asam basa Alkalinisasi urin sampai pH 8 untuk memperbaiki pengeluaran obat dan untuk diuresis berikan Furosemide 20-40 mg atau Manitol 12,5-25mg.

Langkah II: Mengurangi absorbsi lebih lanjut: Rangsang muntah, bila baru terjadi pemakaian. Kalau tidak, pikirkan Activated Charcoal, Selama perawatan pasien harus diperhatikan supaya tidak terjadi aspirasi.

Langkah III: Mencegah komplikasi: Perhatikan tanda-tanda vital dan depresi pernafasan, aspirasi dan edema paru. Bila sudah terjadi aspirasi, berikan antibiotik Bila pasien berusaha bunuh diri, maka dia harus ditempatkan di tempat khusus dengan pengawasan perawat.

5.6. Intoksikasi Halusinogen Intervensi Non Farmakologik : . o Lingkungan yang tenang, aman dan mendukung o Reassurance : bahwa obat tersebut menimbulkan gejala-gejala itu; dan ini akan hilang dengan berjalannya waktu (talking down) Intervensi Farmakologik: o Bila terjadi bad trip (rasa tidak nyaman) atau serangan panik; berikan anti ansietas : Diazepam 10-30 mg oral

5.7. Intoksikasi Inhalansia Pertahankan agar pernafasan berlangsung dengan baik agar tidak kekurangan oksigen Tidak ada antidotum yang spesifik

39

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Simptomatik Pasien dengan gangguan neurologik yang nyata, misalnya neuropati atau persistent ataxia, harus dievaluasi sebagaimana mestinya dan follow up yang ketat.

b. Rawat Jalan : Model Tradisional : model layanan ini sama seperti layanan penyakit lain, dokter hanya melakukan anamnesa, pemeriksaan fisik dan kemudian pengobatan farmakoterapi sesuai dengan diagnosis kerja. Tenaga yang dibutuhkan hanya satu orang dokter dan satu orang perawat yang telah terlatih masalah gangguan penggunaan Napza Model Komprehensif/Holistik : model ini menyatukan layanan dari berbagai profesi sesuai dengan kebutuhan pasien. Profesi yang terlibat antara lain; psikiater, dokter umum terlatih, psikolog klinis, pekerja sosial, perawat terlatih, konselor. Bilamana pasien mengalami suatu komplikasi medis dapat dirujuk kepada spesialis lain sesuai dengan hasil pemeriksaan medis. Dalam layanan ini jenis intervensi yang dapat diberikan adalah : - Farmakoterapi - Konseling - Psikoterapi individual dengan pendekatan khusus seperti Terapi Kognitif dan Perilaku - Terapi kelompok - Terapi Keluarga - Evaluasi Psikologis - Evaluasi Sosial

Dalam intervensi psikososial minimal dapat diberikan konseling umum, untuk pasien yang mempunyai risiko tinggi terpapar HIV dapat diberkan layanan VCT (Voluntary Counseling and Testing) dan edukasi tentang berbagai penyakit terkait dengan penggunaan NAPZA khusunya NAPZA dengan cara suntik. Bilamana sudah memiliki dokter yang terlatih dalam CST (Care, Support and Treatment),maka poliklinik dapat memberikan layanan pengobatan untuk Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). c. Layanan rumatan, merupakan suatu layanan jangka panjang untuk pasien dengan ketergantungan opioida/heroin. Layanan ini harus memenuhi kriteria sesuai dengan pedoman yang telah dibuat secara nasional. Beberapa jenis terapi rumatan bagi ketergantungan opioida yang ada adalah: 1. Metadon Merupakan opioida sintetik yang bekerja long acting (24-36 jam) Digunakan di Amerika Serikat sejak tahun 60 an Bilamana digunakan untuk terapi rumatan (maintenance) tidak menimbulkan eforia, sedasi atau efek analgesik

40

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Dosis adekuat sangat individual Zat aktif: Metadon Hidrokhlorida Zat inaktif: Magnesium stearat dan selulosa Bentuk sediaan : tablet: disebut juga Diskettes. Setiap tablet mengandung 40 mg. Metadon HCI Liquid, dispensing dengan pompa otomatis sehingga dosis kecil dapat terukur dengan baik. Setiap 1 ml mengandung 10 mg metadon HCI Penggunaan iv setara dengan morfln Mempunyai cara kerja yang serupa dengan morfin, bekerja pada mu reseptor (depresi pernafasan, ketergantungan flsik dan eforia) Oral bioavisbility 80 - 90%, artinya bila digunakan melalui oral akan diserap tubuh sebesar 80-90% Oiabsorbsi secara perlahan setalah 30 menit pemberian dan mencapai efek puncak 2-4 jam Dengan pemberian dosis yang berulang waktu paruh rata-rata 22 jam

2. Buprenorfin Buprenorfin merupakan derivat tebain (dalam hukum diklasifikasikan sebagai narkotika) Memiliki sifat partial agonist Potensi kuat dengan cara kerja 24 jam pada dosis lazim dan 12 jam pada dosis minimal Pemberian secara sublingual dengan rasa yang sedikit pahit Memberikan efek agonis yang cukup dirasakan oleh pasien Tersedia dalam bentuk tablet dengan dosis 2 mg dan 8 mg Masa kerja lama bila digunakan untuk pengobatan ketergantungan opioida berbeda dengan efek analgesiknya yang singkat Afinitas yang tinggi terhadap mu-reseptor opioida Bersaing dengan opioida lain dan memblok efek opioida lain Disosiasi yang lambat dari mu-reseptor opioida Efek terapeutik yang lebih lama pada pengobatan ketergantungan opioida (berbeda dengan efek analgetik yang relatif singkat)

3. Levo Alfa Asetil Metadol (LAAM) Merupakan opioida sintetis agonis yang sama efeknya dengan metadon Perubahan rantai kimia menyebabkan efek kerja LAAM lebih lama dari

41

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

metadon Waktu kerja mencapai 72 jam (3 hari) sehingga pemberian hanya dilakukan 3 hari sekali Mengingat efek toksik yang cukup tinggi LAAM saat ini jarang digunakan

4. Suboxone Merupakan kombinasi antara Buprenorfin sembilan bagian dengan Nalokson satu bagian (antagonis opioida) Cara kerja, farmakodinamik, cara penggunaan, dosis dan cara penggunaan sama dengan Buprenorfin Obat ini sulit untuk disalahgunakan (disuntikan) karena adanya antagonis opioida akan melepas ikatan opioida pada mu-reseptor sehingga. akan timbul gejala putus opioida

d. Rawat Inap, tidak semua pasien memerlukan rawat inap. Rawat inap diperuntukkan bagi pasien yang kondisi fisik maupun psikologisnya sulit untuk diatasi dengan rawat jalan seperti : kondisi putus NAPZA berat, putus NAPZA yang memerlukan tapering off pengobatan (Alkohol, Benzodiazepin) atau adanya penyulit baik secara fisik maupun mental. Detoksifikasi, Rehabilitasi, Rawat Komplikasi Fisik dan Psikiatrik; 1. Detoksifikasi Merupakan suatu langkah awal dalam proses pemulihan Bertujuan mengatasi kondisi putus NAPZA Tidak semua pasien memerlukan perawatan detoksifikasi dengan rawat inap, hanya pada kondisi putus NAPZA berat untuk heroin, benzodiazepin dan alkohol atau adanya komplikasi fisik maupun psikologis Untuk ruangan kondisinya sebaiknya terpisah dengan bangsal penyakit lain karena kemungkinan akan mengganggu pasien lainnya Detoksifikasi biasanya dilakukan dengan standar minimal dengan simptomatis, apabila memungkinkan dikembangkan untuk detokisifikasi dengan zat substitusi atau UROD (Ultra Rapid Opioid Detoxification) Beberapa jenis detoksifikasi yang dapat diberikan untuk beberapa jenis NAPZA akan dijelaskan dibawah ini. 1.1. Putus Opioida Putus seketika (Abrupt Withdrawal ) Simptomatik, sesuai gejala klinis beri analgetika (Tramadol, Asam Mefenamat, Parasetamol), Spasmolitika (Papaverin), Dekongestan, Sedatif-Hipnotik, Antidiare Subtitusi dengan golongan Opioida : Kodein, Metadon, Buprenorfin yang diberikan secara tapering off. Untuk Metadon dan Buprenorfin terapi dapat dilanjutkan untuk jangka panjang (Rumatan)

42

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Subtitusi non opioida ; Klonidin dengan dosis 17mcg/Kg.BB dibagi dalam 3-4 dosis diberikan selama 10 hari dengan tapering off 10%/hari, perlu pengawasan tekanan darah. bila sistole kurang dari lOOmmHg atau diastole kurang 70 mmHg HARUS DIHENTIKAN Pemberian Sedatif-Hipnotika, Neuroleptika (yang memberi efek sedatif, mis ; klozapine 25 mg) dapat dikombinasikan dengan obat-obat lain Ultra Rapid Opioid Detoxification (UROD): - Merupakan detoksifikasi cepat dangan menggunakan anaestesi atau dalam kaadaan tidak sadar saat melepaskan ikatan opioida dari mureseptor dengan menggunakan antagonis opioida yaitu Nalokson injeksi - Harus dilakukan dalam ruang Intensif Care Unit (ICU) karena harus dalam pengawasan dokter dengan monitor terpasang di tubuh selama pasien tidak sadar - Setelah seletsi pasien harus menaruskan pengobatan oral dengan Naltrekson 50 mg/hari selama 6 bulan sampai 2 tahun sesuai dengan kondisi klinis pasien

1.2. Putus Amfetamin atau Napza yang serupa - Observasi 24 jam untuk menilai kondisi fisik dan psikiatrik - Rawat inap diperlukan apabila gejala psikotik berat. gejala depresi berat atau Kecenderungan bunuh diri, dan kompllkasi flsik lain - Terapi : Antipsikotik (Haloperidol 3 x 1,5-Smg, Risperidon 2 x 1,5-3 mg), Antiansietas (Alprazolam 2 X 0,25-0,5 mg, Diazepam 3 x 5-10 mg, Clobazam 2 x 10 mg) atau Antidepresi golongan SSRI atau Trisiklik/Tetrasiklik sesuai kondisi klinis 1.3. Putus Alkohol - Pemberian cairan atas dasar hasil pemeriksaan elektrolit dan keadaan umum pasien - Atasi kondisi gelisah dan agitasinya dengan golongan Benzodiazepin atau Barbiturat - Pemberian injeksi vitamin B kompleks dosis besar (mis : Vitamin neurotropik) kemudian dilanjutkan dengan pemberian oral vitamin B1, multivitamin dan Asam Folat 1 mg - Bila ada riwayat kejang, putus alkohol atasi dengan Benzodiazepin (Diazepam 10 mg iv perlahan). Dapat juga diberikan Tiamine 100 mg ditambah 4 mg Magnesium Sulfat dalam 1 liter dari 5% Dekstrosa / normal saline selama 1 -2 jam - Bila terjadi Delirium Tremens HARUS ADA ORANG YANG SELALU MENGAWASI. 1.4. Putus Sedatif-Hipnotik Abrupt withdrawal ( pelepasan mendadak ) dapat berakibat fatal karena

43

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

itu tidak dianjurkan. Gradual withdrawal (pelepasan bertahap) dianggap lebih rasional, dimulai dengan memastikan dosis toleransi, disusul dengan pemberian suatu sedatif: Benzodiazepin atau Barbiturat ( Pentotal, Luminal) dalam jumlah cukup banyak sampai terjadi gejala-gejala intoksikasi ringan, atau sampai kondisi pasien tenang. Lalu diteruskan selama beberapa hari sampai keadaan pasien stabil, kemudian baru dimulai dengan penurunan dengan kecepatan maksimal 10 % per 24 jam sampai dosis sedatif nol. Bila penurunan dosis menyebabkan pasien gelisah / insomnia/ agitatif atau kejang, ditunda sampai keadaan pasien stabil, setelah itu penurunan dosis dilanjutkan. Untuk keadaan putus Barbiturat, dapat diberikan obat yang biasa digunakan oleh pasien. Penurunan dosis total 10 % per hari, maksimal 100 mg/hari, Teknik substitusi Fenobarbital (Luminal): Digunakan Luminal sebagai pengganti, atau barbiturat masa kerja lama yang lain. Sifat long acting akan mengurangi fluktuasi pada serum yang terlalu besar, memungkinkan digunakannya dosis kecil yang lebih aman. Waktu paruhnya antara 12-24 jam , dosis tunggal sudah cukup. Dosis letal 5 kali lebih besar daripada dosis toksis dan tanda-tanda toksisitasnya lebih mudah diamati (sustained nystagmus, slurred speech/cadel dan ataxia). Intoksikasi Luminal biasanya tidak menimbulkan disinhibisi, karenanya jarang menimbulkan problema tingkah laku yang umum dijumpai pada Barbiturat short acting. Kadang-kadang pasien tidak bersedia dberikan Luminal. Dosis Luminal tidak boleh melebihi 500 mg sehari berapa besarnya sekalipun dosis Barbiturat yang diakui pasien dalam anamnesis. Rumus yang dipakai:

Satu dosis sedatif = satu dosis hipnotik (short acting Barbiturat yang dipakai)
Kalau timbul toksitas, 1-2 dosis Luminal berikut dihapus, lalu dosis harian dihitung kembali

Daftar Dosis Ekivalen = (untuk detoksifikasi Sedatif Hipnotik lain)


30 mg Luminal kira-kira setara dengan : 100 mg Pentonal

44

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

500 mg Khloralhidrat 400-600 mg Meprobamat 250-300 mg Metakualon 100 mg Chlordiazepoxide 50 mg khlorazepat 50 mg Diazepam 60 mg Flurazepam

Penatalaksanaan dengan tapering off Benzodiazepin - Berikan salah satu Benzodiazepin (Diazepam,Klobazam. Lorazepam) dalam jumlah cukup. - Lakukan penurunan dosis (kira-kira 5 mg) setiap 2 hari - Berikan hipnotika malam saja (misalnya ; Clozapine 25 mg, Estazolam 1-2 mg ) - Berikan vitamin B complex. - Injeksi Diazepam intramuskuler/intravena 1 ampul (10 mg) bila pasien kejang/agitasi, dapat diulangi beberapa kali dengan selang waktu 30-60 menit.

e. Rehabilitasi, Program dapat dimulai rehabilitasi jamgka pendek dan bila sarana/prasarana dan SDM sudah memenuhi kriteria dapat dikembangkan menjadi program rehabilitasi jangka panjang 1. Short Term ( Jangka Pendek) Lama perawatan berlangsung antara 1 sampai 3 bulan tergantung dari kondisi dan kebutuhan pasien Pendekatan yang dapat dilakukan kearah medik dan psikososial Masalah medik masih menjadi fokus utama, asesmen dilakukan secara lengkap termasuk pemeriksaan penunjang medik Indikasi diberikan kepada pasien yang memiliki kegiatan rutin (bekerja, sekolah, dsb) Asesmen yang perlu dilakukan pada model terapi ini antara lain : - evaluasi masalah penggunaan NAPZA (Jenis, jumlah, lama pemakaian, dampak yang ditimbulkan, keinginan untuk berhenti) - evaluasi medis: riwayat penyakit, kondisi fisik saat ini dan penyakitpenyakit lain yang terkait dengan penggunaan NAPZA - evaluasi psikologis melalui wawancara dan tes psikologi - evaluasi sosial : riwayat keluarga, pendidikan, pekerjaan dan hubungan sosial - evaluasi tentang kegiatan agama, penggunaan waktu senggang dan kehidupan pribadi lainnya Untuk melakukan asesmen memerlukan suatu hubungan terapeutik yang

45

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

terbina antara pasien dengan terapis dan hasil asesmen tersebut menjadi acuan untuk terapi selanjutnya Pengobatan dapat dilanjutkan dengan rawat jalan atau bila masalah yang dihadapi pasien khususnya perilaku belum memungkinkan dapat dilanjutkan dengan rehabilitasi jangka panjang

2. Rehabilitasi Jangka Panjang, dalam hal ini yang akan dibahas adalah modalitas terapi Therapeutic Community (TC) yang menggunakan pendekatan perubahan perilaku. Direkomendasikan bagi pasien yang sudah mengalami masalah penggunaan NAPZA dalam waktu lama dan berulang kali kambuh atau sulit untuk berada dalam kondisi abstinen atau bebas darl NAPZA TC dapat digambarkan sebagai model yang cocok atau sesuai dengan pasien yang membutuhkan llngkungan yang mendukung dan dukungan lain yang bermakna dalam mempertahankan kondisi bebas NAPZA atau abstinen. Gambaran dari TC adalah sebagai berikut: a. Program dangan struktur yang tinggi/ketat b. Umumnya pasien berada dalam program untuk 6-12 bulan c. Program pengobatan d. Program pendidikan e. Latihan ketrampilan sosial dan penerapannya (seringkali pasien mengalami gangguan fungsi kehidupan yang serius) f. Diarahkan pada pasien yang mempunyai riwayat perilaku kriminal g. Mengembangkan sistem dukungan yang sesuai kebutuhan pasien h. Menstabilkan fungsi kehidupan pasien i. Rehabilitasi vokasional Program ini mempunyai suatu aturan yang tertulis maupun tidak tertulis yang diistilahkan dengan cardinal rules dan five pilars yang sangat mengikat setiap residen untuk menjalankan dan siap menerima sanksi bila melanggar aturan tersebut ( pasien peserta TC lazim disebut residen ) Tahapan program TC yang harus dijalani oleh setiap residen adalah sebagai berikut: a. Proses Intake dan Orientasi (2-4 minggu); - Wawancara awal - Informed consent - Pemeriksaan fisik - Pengisian formulir - Orientasi program (walking paper} - Pengenalan program dan fasilitas layanan b. Primary Stage (6 sampai 9 bulan):

46

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Untuk Younger Member (anggota termuda 1-3 bulan) - Aktif mengikuti program - Penerapan sanksi (reward and punishment) - Dikunjungi keluarga - Kegiatan Family Support Group - Kegiatan Kelompok Untuk Middle Member (anggota menengah 4-6 bulan) - Mulai bertanggung jawab terhadap sebagian fasilitas/rumah - Menjadi buddy bagi younger member - Sudah dapat keluar fasilitas TC dengan pendamping - Kegiatan dalam kelompok - Dilakukan Family Support Group (FSG) Untuk Older member (anggota lama 6-8 bulan) - Sudah bertanggung jawab penuh terhadap rumah/fasilitas. - Pelaksanaan reward dan punishment secara penuh - Boleh meninggalkan fasilitas/rumah - Dilakukan kegiatan FSQ - Mengikuti kegiatan kelompok - Dinyatakan graduate/lulus c. Tahapan Re-Entry (3 sampai 6 bulan): o Fase Orientasi (2 minggu); Pengenalan program re-entry Didampingi buddy Tidak boleh dikunjungi keluarga Tidak boleh meninggalkan fasilitas TC Sanksi berupa tugas-tugas mengurus fasilitas Mengikuti kegiatan kelompok o Fase A (1,5 - 2 bulan); Mengikuti kegiatan kelompok Dapat dikunjungi keluarga setiap waktu Diberi ijin menginap 1 malam setiap 2 minggu sekali Boleh menerima uang jajan setiap minggu secara teratur Boleh melakukan aktifitas di luar fasilitas TC o Fase B (2 bulan); Mengikuti kegiatan kelompok Dapat dikunjungi setiap waktu Diberi ijin pulang menginap 2 malam setiap 2 minggu Boleh meminta tambahan uang jajan Boleh melakukan aktifitas di luar fasilitas TC operational

47

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

o Fase C (2 bulan); Mengikuti kegiatan kelompok Dapat dikunjungi setiap waktu Diberi ijin pulang Boleh meminta tambahan uang jajan Boleh melakukan kegiatan di luar fasilitas TC Konseling final bagi residen maupun keluarga untuk persiapan pulang d. Aftercare Program Program yang ditujukan bagi mantan residen/alumni TC, Program ini dilaksanakan di luar fasilitas TC dan dlikuti oleh semua angkatan dibawah supervisi staf re-entry. Tempat pelaksanaan disepakati bersama Program ini bertujuin agar alumni TC mempunyai tempat/kelompok yang sehat dan mengerti tentang dirinya serta mempunyai lingkungan hidup yang positif Bentuk kegiatan yang dilakukan adalah : - Sharing dalam kelompok tanpa ditanggapi - Meminta anggota untuk menanggapi suatu topik - Waktu dan tempat pelaksanaan disepakati bersama

e. Intervensi Psikososial, suatu pendekatan yang mengutamakan pada masalah psikologis dan sosial yang disandang oleh pasien dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan pasien menghadapi setiap masalah (Coping Mechanism). Intervensi psikososial merupakan komponen kunci untuk terapi gangguan penggunaan NAPZA yang komprehensif baik secara individu maupun kelompok Intervensi ini dapat diberikan pada setiap tahapan terapi baik dalam keadaan intoksikasi sampai pada saat fase rehabilitasi yang disesuaikan dengan kondisi pasien khususnya pasien dengan kesadaran penuh Untuk melaksanakan intervensi ini diperlukan pelatihan ketrampilan yang khusus dan memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan jenis intervensi Pendekatan psikososial saja bukan yang superior, program terapi harus didesain sesuai kebutuhan pasien dengan mempertimbangkan faktor budaya, umur, gender serta komorbiditas Beberapa model intervensi psikososial yang dapat dilakukan dalam layanan pengobatan Gangguan penggunaan NAPZA antara lain :

48

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

1. Brief Intervention (Bl) Brief Intervention dipertimbangkan untuk berbagai kondisi yang melibatkan waktu tenaga profesional yang terbatas untuk mencoba merubah penggunaan NAPZA.Berbagai intervensi membutuhkan waktu antara 5 menit sampai 2 jam. Bl khususnya dapat dipargunakan untuk pelayanan dasar di puskesmas dan dapat juga digunakan di ruang emergensi, bangsal rumah sakit, dan berbagai kondisi layanan kesehatan lain. Intervensi direkomendasikan untuk beberapa kondisi seseorang seperti dibawah ini: Penggunaan alkohol yang membahayakan tetapi belum ketergantungan Ketergantungan alkohol ringan sampai sedang Ketergantungan nikotin/perokok Ketergantungan kanabis ringan sampai sedang

Bl tidak direkomendasikan untuk kondisi dibawah ini ; Pasien yang kompleks dengan isu-isu masalah psikologis/ psikiatrik Pasien dengan ketergantungan berat Pasien dengan kemampuan membaca yang rendah Pasien dengan kesulitan terkait dengan gangguan fungsi kognitif Pada kondisi ini direkomendasikan untuk melakukan wawancara mendalam. Bl dapat menggunakan barbagai bentuk format tetapi seringkali termasuk: 1. asesmen singkat 2. materi self- help ( materi yang membantu pemahaman NAPZA contoh leaflet tentang penanganan overdosis.cara menyuntik 3. informasi tingkat penggunaan yang aman 4. anjuran untuk mengurangi konsumsi 5. pengurangan dampak buruk 6. pencegahan kekambuhan 7. asesmen untuk kesiapan berubah termasuk wawancara memotivasi 8. Konseling singkat termasuk pemecahan masalah dan tujuan 9. follow -up. Enam elemen terapi dalam intervensi singkat yang sering digunakan dan berhasil adalah: F : Feedback memberikan umpan balik hasil asesmen klinis

49

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

R : Responsibility meyakinkan bahwa perilaku penggunaan NAPZA dan masalah yang ditimbulkannya menjadi tanggung jawab individu . A : Advice memberikan kejelasan, anjuran praktis dan materi self help M : Menu memberikan beberapa opsi dan intervensi dalam perubahan perilaku E : Empathy memperlihatkan sikap tidak menghakimi dan menghayati pasien S : Self-Efficacy menekankan kepercayaan terhadap kemampuan individu untuk berubah 2. Konseling Dasar "....konseling sendiri biasanya tidak cukup untuk merubah perilaku penggunaan NAPZA pada kebanyakan pasien...," Konseling adalah suatu proses pertolongan dimana seseorang, dengan tulusdan tujuan jelas, memberikan waktu, perhatian dan keahliannya membantu pasien untuk mempelajari situasi mereka, mengenali dan melakukan pemecahan masalah terhadap keterbatasan yang diberikan lingkungan mereka. Tujuan dan fungsi konseling ; Membantu pasien untuk mempelajari dan memperoleh solusi jangka panjang yang memuaskan bagi masalah-masalah yang dialaminya. Fungsi Utama Konseling ; 1. Menyampaikan informasi penting 2. Membantu pasien mengklarifikasi dan menempatkan masalah 3. Membantu pasien memilih dan mengambil pendekatan realistik 4. Memberikan dukungan psikomotor melalui ketrampilan komunikasi Konselor membuat suatu kondisi dimana pasien dapat menjadi teman baik melalui pikiran dan perasaan mereka Konselor tidak memberikan nasehat, tetapi membantu orang untuk: o Mampu mengerti perasaan mereka o Menemukan dan memilih alternatif yang nampaknya paling baik bagi mereka Karakteristik konseling adalah :

50

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Merupakan suatu proses interaktif Merupakan hubungan yang interaktif Berdasarkan pada kolaborasi Melibatkan berbagai ketrampilan konselor Menekankan pada kebebasan personal Menekan-kan pilihan Menggunakan penguatan positif Menggunakan dukungan emosional Pencatatan secara formal

Dalam proses konseling agar terbangun suatu hubungan terapeutik seorang konselor harus mampu

Melakukan percakapan yang efektif:


- Mendengarkan dengan aktif - Mencoba mengerti perasaan pasien - Menanyakan pertanyaan yang baik - Menghargai pasien maupun perasaan pasien, dan tidak memaksanya berubah - Tidak menyalahkan atau menghakimi - Mehyediakan informasi yang tepat - Menyatakan bahwa pasien tidak sendiri menghadapi masalah untuk mencegah pasien merasa gagal atau ditolak

Memahami prinsip-prinsip umum dalam konseling


3. Wawancara Motivasional (Motivational Interviewing -Ml) Motivasi adalah suatu keadaan kesiapan atau keinginan untuk berubah, selalu berfluktuasi dari waktu ke waktu atau dari situasi kesituasi lain. Dasar pemikiran atau alasan melakukan wawancara motivasional ini adalah bahwa untuk mencapai perubahan adalah lebih mudah bila motivasi untuk berubah tersebut datang dari dalam dirinya sendiri, dari pada dipaksakan oleh konselor atau terapis. Wawancara motivasionil adalah sebuah wawancara yang interaksinya berpusat pada pasien dan bertujuan untuk membantu seseorang menggali dan mengatasi ambivalensi tentang penggunaan NAPZA melalui tahap perubahan. Ini sangat berguna bila dilakukan pada pasien yang berada pada tahap prekontemplasi dan kontemplasi, tapi prinsip dan keterampilan wawancara sangat penting pada semua tahap.

51

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Wawancara motivasional didasari pada pengertian bahwa:

Pengobatan yang efektif dapat membantu proses perubahan Motivasi untuk berubah terjadi dalam konteks hubungan antara pasien dan terapis Gaya dan semangat dari intervensi sangat menentukan keberhasilan terapis, khususnya empati yang dihubungkan dengan perbaikan hasil pengobatan.
Pendekatan intervensi singkat ini didasarkan pada prinsip wawancara motivasional yang dikembangkan oleh Miller dan kemudian di perluas oleh Miller dan Rollnick. Prinsip wawancara motivasional Mengekpresikan Empati Dalam situasi klinis keterlibatan empati memberikan gambaran bahwa konselor atau petugas kesehatan menerima pasien apa adanya, tidak menghakimi dan dapat memahami pasien serta menghindari memberikan label, misalnya menyebut pasien sebagai "alkoholik" atau "pecandu". Hal ini sangat penting untuk menghindari adanya konfrontasi dan menyalahkan atau mengkritik pasien. Keterampilan mendengarkan dan merefleksikan merupakan bagian penting dari ekpresi empati. Empati yang dilakukan oleh tenaga kesehatan merupakan faktor penting untuk mengetahui bagaimana respon pasien terhadap intervensi yang diberikan. Ketidakcocokan (perbedaan). Orang lebih mungkin dimotivasi untuk mengubah perilaku penggunaan NAPZA bila mereka melihat ada perbedaan. antara penggunaan NAPZA dan masalah yang berhubungan dengan perilaku mereka saat ini serta arah yang mereka inginkan dalam kehidupan mereka. Semakin besar perbedaan antara tujuan, nilai dan perilaku mereka saat ini, kemungkinkan besar pasien dapat berubah. Wawancara motivasional bertujuan untuk menciptakan dan menjelaskan perbedaan antara perilaku saat ini dan tujuan yang lebih basar dan menilai cara pandang pasien terhadap hal tersebut. Hal ini penting bagi pasien untuk mengidentifikasi tujuan/dan nilai serta untuk mengekspresikan alasan-alasan mereka untuk berubah. Menghindari argumentasi Prinsip utama dari wawancara motivasional adalah dapat menerima bahwa adanya ambivalensi dan resistensi untuk berubah adalah suatu

52

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

hal yang normal dan untuk mengajak pasien mempertimbangkan antara informasi yang didapat dan pandangan terhadap penggunaan NAPZA mereka. Pada saat pasien memperlihatkan resistensinya, tenaga kesehatan harus dapat menggambarkan kembali atau merefleksikannya. Ini biasanya penting untuk menghindari argumentasi dan perdebatan. Dukungan keyakinan diri (kepercayaan) Seperti yang telah didiskusikan diatas pasien yakin bahwa mengurangi atau menghentikan perilaku penggunaan NAPZA adalah penting dan mereka mampu melakukannya. Melakukan negosiasi dan membangun kepercayaan untuk membujuk pasien bahwa sesuatu yang dapat mereka lakukan adalah bagian penting dari wawancara motivasional. Kepercayaan terapis pada kemampuan pasien untuk mengubah perilaku mereka juga penting dan dapat menjadi sugesti diri sendiri.

Keterampilan-keterampilan khusus Wawancara motivasional dilaksanakan dengan menggunakan lima keterampilan khusus. Keterampilan ini bertujuan untuk mendorong pasien mau berbicara, menggali ambivalensi mereka terhadap penggunaan NAPZA dan menjelaskan alasan mereka untuk mengurangi atau berhenti menggunakan NAPZA. Empat keterampilan pertama tersebut sering dikenal dengan singkatan OARS:-Open ended questions (Pertanyaan terbuka), Affirmation (Penegasan), Reflective listening (mendengarkan dengan cara merefleksikan), Summarising (menyimpulkan). Keterampilan kelima adalah "berbicara mengenai perubahan" OARS dapat membantu pasien menyampaikan argumentasi untuk mengubah perilaku pengguna NAPZA mereka. OARS Pertanvaan terbuka (Open Ended Questions) Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban panjang dan membuka pintu kepada seseoranc igar mareka mau berbicara. Contoh pertanyaan terbuka antara lain:

" Apa manfaat yang anda rasakan dengan menggunakan NAPZA"? "Ceritakan kepada sayi, hal apt yang anda rasakan kurang baik tentang penggunaan....(NAPZA) "Anda kelihatan khawatir dengan penggunaan NAPZA yang anda lakukan selama ini?" bisa disampaikan pada saya tentang hal

53

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

tersebut lebih lanjut?"

"Seberapa khawatirnya anda pada hal tersebut" " Bagaimana perasaan anda tentang.......?" "Apa yang akan anda lakukan berkaitan dengan hal tersebut?" " Apa yang anda ketahui tentang .......?"
Penegasan (Affirmation) Termasuk pernyataan apresiasi serta pengertian membantu menciptakan lingkungan yang mendukung, serta membangun relasi dengan pasien. Memberikan penegasan terhadap kekuatan pasien dan usaha untuk berubah dapat membantu membangun keyakinan, sementara penegasan pernyataan motivasi diri (atau berbicara tentang perubahan) mendorong kesiapan untuk berubah. Contoh penegasan termasuk: "Terima kasih untuk kedatangannya pada hari ini" "Saya menghargai kemauan saudara untuk berbicara pada saya tentang penggunaan NAPZA" "Anda adalah orang yang tepat untuk mengatasi kesulitan ini" "Saya dapat melihat bahwa anda merupakan orang yang tangguh" "Itu adalah ide yang bagus" "Hal ini sulit untuk dibicarakan mengenai.................... saya sangat menghargai jika anda tetap seperti ini" . Mendenqarkan dengan cara merefleksikan (Reflective listening) Mendengarkan dengan cara merefleksikan adalah suatu pernyataan yang dapat menebak apa yang dimaksud pasien. Hal ini penting untuk merefleksikan kembali perkataan dan perasaan pasien yang telah di ucapkan. Mendengarkan dengan cara merefleksikan adalah sama halnya seperti menggunakan cermin untuk seseorang sehingga mereka dapat mendengar apa yang dikatakan terapis seperti apa yang telah mereka sampaikan. Mendengarkan dengan cara merefleksikan menunjukkan pada pasien bahwa terapis mengerti apa yang telah dikatakan atau dapat digunakan untuk mengklarifikasi apa yang dimaksud oleh pasien. Mendengarkan dengan cara merefleksi yang efektif dapat mendorong pasien untuk tetap berbicara, untuk itu terapis harus memberikan cukup waktu agar hal ini dapat dilakukan Dalam wawaneara motivasional, mendengarkan dengan cara merefleksikan digunakan secara aktif untuk menyoroti ambivalensi pasien tentang penggunaan NAPZA , mengarahkan pasien untuk mengenali dan peduli dengan masalahnya serta memperkuat

54

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

parnyataan yang mengindikasikan bahwa pasien berfikir tentang perubahan. Contoh : "Anda terkejut bahwa skor anda memperlihatkan bahwa anda mempunyai masalah yang berisiko" "Hal ini sangat penting untuk mempertahankan hubungan anda dengan istri" "Anda merasa tidak nyaman membicarakah hal ini" "Anda marah karena istri sering mengomeli bila anda banyak merokok" "Maukah anda mengurangi penggunaan alkohol pada saat pesta" "Anda sangat menikmati ekstasi dan tidak mau menghentikannya tapi secara bersamaan anda juga melihat bahwa hal ini dapat menyebabkan beberapa masalah yang berkaitan dengan finansial dan hukum". Membuat kesimpulan (Summarising) Membuat kesimpulan atau merangkum adalah hal yang penting untuk menyamakan persepsi terhadap apa yang telah dikatakan pasien serta mempersiapkan pasien untuk berubah. Pertama pasien dapat mendengarkan apa yang ia katakan kemudian ia mendengar terapisnya merefleksikan apa yang telah diucapkan dan kemudian ia mendengarkan kembali dalam kesimpulan atau rangkuman. Terapis memilih apa yang akan dimasukkan dalam rangkuman dan petunjuk apa yang dapat digunakan untuk berubah. Hal ini penting untuk membuat suatu rangkuman. Sebagai contoh suatu rangkuman: "Jadi kelihatannya anda benar-benar menikmati ekstasi dan shabu pada saat pesta dan anda tidak memikirkan bahwa anda menggunakannya lebih banyak dari teman anda . Pada sisi lain anda lebih banyak menghabiskan uang untuk membeli NAPZA dibandingkan penghasilan anda dan ini sangat mengkawatirkan anda. Anda juga menemui kesulitan untuk membayar tagihan dan kartu kredit anda ditolak. Pasangan anda sangat marah dan sangat membenci perilaku anda. Anda juga mempunyai masalah tidur dan kesulitan mengingat sesuatu." Berbicara menqenai perubahan (Eliciting change talk) Keterampilan kelima adalah "Berbicara mengenai perubahan" adalah suatu strategi untuk membantu pasien mengatasi

55

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

ambivalensi dan bertujuan agar pasien dapat menyampaikan pendapatnya untuk mau berubah. Ada empat kategori penting untuk membicarakan perubahan : Mengenali kerugian bila tetap menggunakan NAPZA Mengenali manfaat blla tidak menggunakan NAPZA Menyampaikan optimisme tentang perubahan Menyampaikan tujuan untuk berubah Terdapat beberapa cara yang dapat menggambarkan "berbicara mengenai perubahan" dari pasien, Mengajukan pertanyaan langsung dan terbuka, contoh : "Apa yang menyebabkan anda khawatirkan dengan penggunaan NAPZA ?" "Apa yang anda pikirkan terjadi jika anda tidak berubah?" > "Manfaat apa yang akan didapatkan jika anda mengurangi penggunaan NAPZA ?" > "Apa yang anda inginkan dalam kehidupan anda lima tahun mendatang?" "Apa yang akan anda kerjakan apabila anda memutuskan untuk berubah?" "Seberapa yakinkah anda bahwa anda dapat berubah?"\ "Seberapa penting bagi anda untuk mengurangi penggunaan NAPZA?" "Apa yang anda fikirkan saat ini tentang penggunaan NAPZA anda ?" 4. Cognitif Behavioral Therapy (CBT) Cognitive Behavioral Therapy atau yang lebih dikenal dengan CBT adalah sebuah psikoterapi yang mulai banyak digunakan oleh para profesional dan terapis dalam menghadapi berbagai persoalan-persoalan psikologis individual, bahkan sampai kepada penggunaan dalam manajemen perusahaan dalam meningkatkan kinerja dan produktifitas yang sustainable dan resilience. CBT sebagai sebuah bentuk psikoterapi digunakan oleh para profesional karena: 1. CBT adalah jangka pendek, sangat kompatibel dengan berbagai sumber daya yang tersedia bagi pasien. 2. CBT telah teruji secara klinis dan didukung oleh percobaan empirikal yang solid. 3. CBT terstruktur, goal-oriented (berorientasi pada sasaran perawatan yang telah dirancang), fokus pada masalah yang dihadapi saat ini yang bergumul untuk mengatasi problem NAPZA yang dialami pasien. 56

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

4. CBT sangat fleksibel, pendekatan sangat individual tetapi dapat disesuaikan dengan berbagai bentuk perawatan (inpatient, outpatient) demikian juga formatnya (kelompok dan perorangan). 5. Sangat cocok dikombinasikan dengan berbagai terapi seperti MET, Ml, Medis, dll. Dengan dasar diatas, maka para ahli yang menggunakan CBT mengembangkan apa yang disebut kompetensi CBT untuk berbagai gangguan yang didasari oleh meta-analisa diatas. Asumsi yang dipakai adalah, setiap bentuk gangguan sifatnya sangat khusus. terhadap pribadi yang khusus, lingkungan yang khusus, dan sasaran individu (penderita gangguan) yang juga khusus. Maka untuk setiap gangguan, harus dilakukan studi yang mendalam sehingga dapat diterapkan secara efektif dan efisien, sesuai dengan sifatnya / hakekat CBT. Intervensi CBT lahir dari 2 (dua) teori - teori ilmu psikologi yang telah berkembang sejak tahun 1950 sampai 1970, yaitu mulai dari psikoanalisa; client center Rogerian; terapi perilaku dalam bentuk desentisisasi, modifikasi perilaku, aktivasi perilaku-conditioning; (1950an); lalu terapi kognitif REBT menurut Albert ElHs, cognitive therapy dari Aaron Beck tahun 1970an; dan pada tahun 1990an pendekatan-pendekatan yang baru muncul seperti mindful therapy and acceptance & committment therapy, dengan tujuan utama adalah merestruktur cara berpikir lama dan merubah perilaku lama dalam suatu proses pembelajaran. Dasar Teori CBT Setiap model dan metoda intervensi, apapun pendekatannya, memerlukan dasar teori yang sudah terbukti (evidence based} dan teruji secara klinis. CBT menggunakan dua teori, yaitu teori terapi kognitif dan teori terapi perilaku yang telah ada dalam dunia terapi selama ini. Untuk menghemat waktu dan mengejar efektifitas, maka dalam praktik, digunakan sekitar 80% terapi kognitif; khususnya bagi pasien remaja dan dewasa. Terapi kognitif, bertujuan untuk membangun pikiran dan tindakan yang lebih rasional, dengan mengidentifikasi keyakinan-keyakinan inti dan asumsi-asumsi yang tidak rasional yang mengakibatkan atau menjadi kebiasaan (otomatis) dan bekerja kearah mengkoreksinya. Sedangkan muatan terapi perilaku, lebih menekankan teori pembelajaran sosial berupa modeling dan conditioning sebagaimana pasien belajar menggunakan NAPZA. Didasari atas kedua terapi diatas, CBT dikembangkan sesuai 57

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

dengan kondisi dan latar belakang pasien, lingkungan hidupnya, dan budaya lingkungannya. Semakin luas pengetahuan terapis, maka akan sangat efektif bagi terapis dalam mengaplikasikan CBT terhadap pasien. Jadi CBT didasari atas meta-analisa, maka dari itu efektifitasnya sangat tinggi yang akibatnya memiliki efisiensi atau waktu perawatan yang relatif singkat dibanding dengan cara pendekatan tradisional. Kesiapan Terapis CBT CBT untuk adiksi didasari atas asumsi pendekatan biopsikososial. Dengan demikian para terapis harus mengembangkan pemikiran yang komprehensif terlebih dahulu sebelum melakukan perawatan; pertanyaan-pertanyaan dibawah ini harus menjadi bagian dari asumsi-asumsi terapis sebelum menghadapi pasien; yang akan ditanyakan dan di selidiki: Apakah pasian memiliki gangguan atau penyakit tertentu sebelum menggunakan NAPZA dan sebagai akibat dari penggunaan NAPZA; kemana saya harus merujuknya bila hal ini ada? Apakah pasien memiliki gejala dual diagnosis? Merujuk ke psikiater mana yang mengerti masalah adiksi dan gangguan psikiatrik yang berhubungan dengan adiksi. Gangguan psikologis apa saja yang diderita pasien? Perangkat asesmen dan analisa apa yang harus dipakai untuk mengetahuinya? Kemudian dari hasil-hasil diatas apakah tingkat keparahannya pasien? Tingkat perawatan apa yang berguna dan harus dilaksanakan bagi pasien bersangkutan? Apa saja faktor-faktor berisiko bagi pasien bila dia harus menjalani perawatan rawat jalan maupun rawat inap? Sampai dimana tingkat motivasi pasien untuk berhenti menggunakan NAPZA? Apa faktor-faktor penentu motivasi tersebut sehingga pasien datang keperawatan atau dipaksa menjalankan keperawatan. Apa kekuatan dan kelemahan yang dimiliki pasien sehingga dia mampu bertahan dengan keadaan emosional dan pefilaku sampai saat ini? Latar belakang sosial dan individual perlu diperhatikan. Dan beberapa pertanyaan yang spesifik yang timbul ketika berhadapan dengan pasien secara langsung; termasuk alat

58

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

assessmen apa yang nanti akan digunakan, siapa yang akan menjadi pendamping (peer counselor), siapa yang menjadi manager kasus, dan terakhir apakah fasilitas yang dimiliki terapis sudah memadai dalam menjawab pertanyaanpertanyaan diatas. Keberhasilan menjawab sebanyak mungkin pertanyaan diatas akan menentukan langkah-langkah intervensi selanjutnya apakah menjadi mudah atau sulit. Terapis harus melengkapi diri dengan pertanyaan-pertanyaan diatas yang akan dilakukan pada pasien pada tahap awal perawatan primer. 5. Pencegahan Kekambuhan, kambuh merupakan pengalaman yang sering terjadi dalam porses pemulihan pasien Gangguan penggunaan NAPZA. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor yang dapat diprediksi dalam kekambuhan adalah sistem keyakinan yang salah dan menetap (....'Saya seorang pecandu dan saya tidak bisa berhenti menggunakan NAPZA...') Di bawah ini beberapa strategi yang digunakan dalam pencegahan kekambuhan : Tingkatkan komitmen untuk berubah (misal menggunakan wawancara memotivasi) Identifikasi situasi resiko tinggi yang menimbulkan kekambuhan (Kapan, dimana, dengan siapa dan bagaimana penggunaan Napza bisa terjadi) Mengajarkan kammpuan msnghadapi masalah (coping skill), misalnya ; ketrampilan sosial, ketrampilan manajemen diri, monitoring diri dari penggunaan NAPZA, Mengembangkan strategi untuk menghadapi situasi yang dapat menyebabkan terjadinya kekambuhan : apa yang harus dilakukan pasien dalam suatu kejadian yang dapat menimbulkan kambuh? dimana pasien mendapatkan dukungan? apa peran yang dapat diberikan dari teman atau keluarga? seberapa cepat pasien harus membuat perjanjian untuk kembali ke tempat praktek?

6. Program 12 Langkah Fokus dari Program 12 Langkah adalah penerapan langkahlangkah itu dalam kehidupan sehari-hari. Disinilah penggunaan istilah Falsafah menjadi lebih relevan, karena langkah-langkah ini

59

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

menjadi panduan untuk menjalani kehidupan sebagai seorang pecandu yang ingin mempertahankan kebersihannya dan membina perjalanan spiritualnya. Jadi, lebih dari sekedar peraturan, 12 Langkah menjadi "Falsafah Hidup" seorang pecandu, untuk diamalkan ketika menjalani kehidupan kesehariannya. Dan, berdasarkan paradigma Disease Model of Addiction, penyakit kecanduan mempunyai potensi untuk kambuh sewaktu-waktu apabila tidak diredam oleh program pemulihan yang berkesinambungan. Dengan pengamalan atau praktek dari langkahlangkah inilah para pecandu akan dapat meredam penyakitnya agar tidak kambuh, sepanjang hayatnya. Pada penjelasan ini, setiap langkah akan diuraikan secara singkat maknanya dan karena setiap langkah di targetkan untuk mengatasi setiap aspek spesifik dalam penyakit kecanduan, uraian ini akan mencakup fungsi klinikal .yang dapat diterapkan baik dalam kondisi di dalam atau d iluar institusi/panti rehabilitasi. Berikut ini adalah contoh 12 Langkah seperti yang tertera dalam program Narcotic Anonymous (NA) 12 LANGKAH NARCOTIC ANONYMOUS 1. Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita, sehingga hidup kita menjadi tidak terkendali. 2. Kita menjadi yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kita sendiri yang dapat mengembatikan kita kepada kewarasan. 3. Kita membuat keputusan untuk menyerahkan kemauan dan arah kehidupan kita kepada kasih Tuhan sebagaimana kita mamahamiNya. 4. Kita membuat inventaris moral diri kita sendiri secara penuh, menyeluruh dan tanpa rasa gentar. 5. Kita mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri dan kepada seorang manusia lalnnya, setepat mungkin sifat dari kesalahan-kesalahan kita. 6. Kita siap sepenuhnya agar Tuhan menyingkirkan semua kecacatan karakter kita. 7. Kita dengan rendah hati memohon kepadaNya untuk menyingkirkan semua kekurangan-kekurangan kita. 8. Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan menyiapkan diri untuk meminta maaf kepada mereka semua. 9. Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orangorang tersebut bilamana memungkinkan, kecuali bila melakukannya akan justru melukai mereka atau orang lain. 10. Kita secara terus menerus melakukan inventarisasi pribadi kita dan bilamana kita bersalah, segera mengakui kesalahan kita.

60

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

11. Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk memperbaiki kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita memahamiNya, berdoa hanya untuk mengetahui kehendakNya atas diri kita dan kekuatan untuk melaksanakannya. 12. Setelah mengalami pencerahan spiritual sebagai hasil dari langkah-langkah ini, kita mencoba menyampaikan pesan ini kepada para pecandu dan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini dalam segala halyang kita lakukan. Langkah Pertama "Kita mengakui bahwa kita tidak berdaya terhadap adiksi kita, sehingga hidup kita menjadi tidak terkendali." Langkah pertama adalah pernyataan masalah. Sebuah pengakuan atas adanya suatu masalah, dimana pengakuan ini diperlukan untuk memulai proses pemulihan. Suatu penerimaan di dalam diri yang memerlukan pengkajian diri yang jujur dan dipatahkannya penyangkalan harus mendahului pengakuan ini. Langkah ini adalah satu-satunya langkah yang menyebutkan adiksi, alkoholisme, atau perilaku kecanduan yang lain. Perlu dicatat bahwa Langkah Satu tidak mengatakan ."berhenti melakukan ini, setelah itu lakukan ini." Pecandu diharapkan sudah mencapai titik maksimal dalam kehancurannya, lalu mencari jawabannya dalam program ini. Dua hal yang dibicarakan dalam langkah ini adalah ketidakberdayaan dan ketidakterkendalian. Kedua hal ini tidak sama; ketidakberdayaan berarti kecanduan itu sendiri, ketidakmampuan untuk mengatur perilakunya, sementara ketidakterkendalian dilihat dari akibat atau konsekuensi dari perilaku kecanduan itu. Ini adalah langkah yang sukar untuk diambil, karena, siapa yang suka untuk mengaku kalah? Untuk mencapai titik ini, seorang pecandu harus sudah mencapai tahap yang disebut Hit Bottom (mencapai dasar), dimana dampak dari kecanduan itu sudah begitu banyak menghasilkan penderitaan sehingga pecandu mulai berpikir untuk merubah hidupnya, atau bahkan mulai mencari pertolongan. Sebelum mereka mencapai tahap ini, para pecandu akan tetap berpikir bahwa dengan membuat perubahan-perubahan kecil dalam hidupnya maka masalah akan tereelesaikan. Konselor harus berhati-hati agar tidak terperangkap dalam membantu pecandu meyelesaikan masalah-masalah ini. Pecandu akan terus mencari alasan dari kecanduannya, apakah itu orangtua, lingkungan, pergaulan, dsb. Seringkali terdengar mereka mengeluh, "kalau saja masalah ini selesai, saya tentu tidak akan pakai NAPZA lagi'. "Masalah ini" adalah masalah yang mengecohkan dari permasalahan yang sebenarnya, yaitu adiksi itu sendiri. Konselor 61

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

harus bisa membantu pecandu untuk melewati rintangan yang berupa penyangkalan ini, yang memang merupakan masalah utama yang dihadapi dalam pemahaman Langkah Pertama. Langkah Kedua "Kita menjadi yakin bahwa ada kekuatan yang lebih besar dari kita sendiri yang dapat mengembalikan kita kepada kewarasan." Pada langkah inilah unsur spiritual dari program 12 langkah mulai nampak. Langkah kedua mewakili pemikiran para pendahulu AA yang meyakini bahwa satu-satunya solusi dari masalah kecanduan ini terletak di aspek spiritual dari seorang pecandu, Ketika di Langkah Satu pecandu berhadapan dengan keadaan yang tidak memberikan banyak harapan, dan pada akhirnya terpuruk dan menyerah kalah, di Langkah Dua harapan mulai bersinar lagi. Di langkah kedua inilah juga dijelaskan penekanan atas perbedaan antara proses spiritual dan proses keagamaan. Pembinaan spiritual bermakna mengakui ketidakberdayaan pada diri sendiri dan menemukan kekuatan di luar diri sendiri, suatu proses yang bisa dilakukan melalui program keagamaan atau tidak. Karena 12 Langkah ditetapkan untuk semua pecandu, program ini menjauh dari membela atau mementingkan agama tertentu. Konselor yang bekerja menolong orang yang sedang menjalani Langkah ini, harus memberikannya banyak ruangan agar ia dapat menemukan sendiri konsep Kekuatan yang lebih besar yang ia rasa paling nyaman baginya. Langkah Ketiga " Kita membuat keputusan untuk menyerahkan kemauan dan arah kehidupan kita kepada kasih Tuhan sebagaimana kita memahamiNya" Langkah ketiga lebih mengembangkan lagi konsep Kekuatan yang Lebih Besar, atau Higher Power yang bisa juga disebut Tuhan oleh mereka yang mempercayainya. Langkah ini membawa kepada tindakan yang konkrit untuk pertama kalinya, yaitu menyerahkan seluruh kehidupan seorang pecandu kepada Higher Power yang diyakininya. Disinilah seorang konselor berperan untuk membantu pecandu menemukan konsep Higher Power yang paling bisa diterima dan di percaya olehnya. Program 12 langkah bukanlah program keagamaan. Program ini diperuntukkan kepada semua pecandu, apapun latar belakang agamanya, atau tidak beragama sekalipun. Langkah ini mendorong pecandu untuk menyerahkan kendali atas hidupnya, karena seperti dibuktikan di Langkah Pertama, ia tidak dapat lagi mengendalikannya. Higher Power 62

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

tidak perlu menyerupai konsep Tuhan seperti dalam agama formal, tetapi apa saja yang dapat mendatangkan rasa "penguatan" pada diri pecandu, dan disinilah konselor dapat membantu untuk menemukannya. Langkah Keempat dan Kelima "Kita membuat inventaris moral diri kita sandiri secara penuh, menyeluruh dan tanpa rasa gentar." "Kita mengakui kepada Tuhan, kepada diri kita sendiri dan kepada seorang manusia lainnya, setepat mungkin sifat dari kesalahankesalahan kita." Ketiga langkah pertama, apabila diserap dengan baik, akan menjadi fondasi spiritual yang kokoh, memungkinkan proses analisa diri yang lebih mendalam dan memerlukan lebih banyak lagi kejujuran dan keberanian. Kedua Langkah ini bertalian karena keduanya membentuk suatu proses tertentu yang sangat penting di dalam proses pelaksanaan 12 langkah. Keduanya membentuk satu ritual yang khusus, yaitu membuka diri secara total, mendokumeritasikannya, dan menceritakannya kepada paling sedikit satu orang lain. Dalam konsep 12 langkah, "penyembuhan luka-luka lama" tidak akan terjadi apabila luka-luka tersebut tidak dibawa kepermukaan dan diakui keberadaannya. Baru setelah itulah proses penyembuhan bisa dimulai. Ketiga kategori utama yang biasanya diminta untuk dituliskan adalah kebencian, ketakutan, dan sex. Karena ketiga topik ini begitu berkaitan dengan dua isu utama yang selalu menghantui pecandu, yaitu perasaan malu dan perasaan bersalah. Menyembunyikan atau memendam pengalaman-pengalaman hidup yang berhubungan dengan ketiga topik tersebut akan menjadikannya beban spiritual yang tidak memungkinkan proses perubahan dan pertumbuhan yang positif. Untuk meringankan beban itu dan memulai adanya perbaikan rohani dalam diri seorang pecandu, ia harus bisa menerima kenyataan itu mengenai masa lalunya untuk kemudian bisa memaafkan. Oleh sebab itu, setelah berbagai hal yang menyakitkan tersebut terangkat ke permukaan dan tidak lagi ditutup-tutupi, pecandu diminta untuk berbagi mengenai cerita itu dengan satu orang lagi yang bisa ia percayai. Bisa dibayangkan tentunya kedua langkah ini adalah langkah yang cukup sulit dan seringkali bahkan menakutkan, terutama bagi mereka yang baru mencobanya untuk pertama kali. Disinilah peran konselor menjadi sangat penting untuk membantu pecandu untuk mendapatkan kekuatan untuk menyelesaikan langkah Ini. Pecandu harus dapat melihat bahwa

63

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

kejujuran menjadi modal utama, dan tugas konselor jugalah untuk memupuk sifat yang baik ini dalam pecandu yang ditolongnya. Langkah Keenam dan Ketujuh "Kita siap sepenuhnya agar Tuhan menyingkirkan semua kecacatan karakter kita." "Kita dengan rendah hati memohon kepadanya untuk menyingkirkan semua kekurangan-kekurangan kita." Kedua Langkah ini adalah esensi dari proses perubahan diri dalam 12 Langkah. Lima langkah pertama telah mendapatkan masalah utama, mencari solusi spiritual, dan mencari dan mengangkat berbagai beban dan kesulitan yang memperberat masalah utama. Setelah itu, kedua Langkah ini, enam dan tujuh, menawarkan kepada pecandu apabila la ingin meneruskan proses perubahan memasuki tahap yang baru dan memerlukan taraf kepercayaan dan keyakinan yang lebih mantap lagi. Kedua Langkah inilah yang membawa proses ini melampaui lebih dari hanya berhenti menggunakan NAPZA atau kecanduan lainnya. Di titik inilah menjadi semakin jelas bahwa 12 langkah akan membawa pecandu kepada perbaikan diri yang terus-menerus. Pecandu akan sadar bahwa dengan hanya berhenti menggunakan NAPZA, tetapi perilaku hidupnya, kondisi mental dan spiritualnya, masih menyerupai ketika ia aktif dalam kecanduannya, ia tetap tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Kedua Langkah ini menjadi papan loncatan untuk suatu proses ke depan yang akan memakan masa dan tenaga yang cukup banyak. Setelah mengetahui dengan jelas semua kerusakan yang ada pada diri pecandu, ia diharapkan untuk bertanya pada dirinya, apakah ia sudah siap untuk merubahnya? Dan apakah ia sudah sampai pada titik kerendahan hati dimana ia tidak akan merasa selalu mampu untuk menyelesaikan semua masalah, tetapi meminta kepada Higher Power untuk melakukannya untukdia? Rekan konselor adalah membantu pecandu melewati rasa "serba mampu" yang datang dari ego yang besar dan menumbuhkan kerendahan hati, yang merupakan prinsip spiritual yang diperlukan untuk kedua langkah ini. Langkah Delapan dan Langkah Sembilan "Kita membuat daftar orang-orang yang telah kita sakiti dan menyiapkan diri untuk meminta maaf kepada mereka semua." "Kita menebus kesalahan kita secara langsung kepada orang-orang tersebut bilamana memungkinkan, kecuali bila melakukannya akan justru melukai mereka atau orang lain." Sampai pada langkah ketujuh, fokus dari proses 12 langkah ini

64

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

masih ditujukan kepada diri pecandu yang menjalani proses ini sendiri. Memasuki langkah kedelapan, tahap perkembangan dan kematangan spiritual pecandu sudah dianggap cukup mantap untuk mulai melihat keluar dirinya kepada kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan dalam hubungannya dengan orang-orang lain. Ada tiga tugas utama yang diminta disini: membuat daftar (berbeda dengan daftar pada Langkah Empat), menyadiakan diri, dan memperbaiki kesalahan secara langsung. Pada kedua langkah ini, usaha untuk menyelesaikan perasaan malu dan perasaan bersalah ditingkatkan intensitasnya. Dengan mengadakan perbaikan langsung, apakah itu meminta maaf, memperbaiki kerusakan, atau membayar hutang atau barang yang pernah dicuri, proses ini membebaskan pecandu secara total dari belenggu perasaan malu, takut, dan bersalah, dan akan lebih meringankan lagi beban mental pecandu dan memungkinkan untuk pertumbuhan spiritual yang lebih sehat lagi. Daftar yang dibuat tidak sepenuhnya sama dengan daftar yang telah dibuat di Langkah Empat. tetapi berdasarkan apa yang telah dicapai di langkah itu. Setelah itu, kesediaan diperlukan untuk menyiapkan diri sebelum membuat perbaikan langsung. Kesediaan juga memudahkan pecandu untuk mulai belajar memaafkan. Memaafkan orang lain, dan yang terpenting adalah memaafkan diri sendiri, sesuatu yang sering sulit bagi seorang pecandu. Kemudian, keberanian yang luar biasa diperlukan untuk mengambil Langkah Sembilan, dimana tindakan yang sebenarnya akan dilakukan. Kecenderungan utama dari seorang pecandu adalah untuk memusatkan perhatiannya kepada rasa ketakutan, malu, dan bersalahnya. Disinilah peran konselor menjadi sangat penting untuk mempersiapkan pecandu. Diperlukan bimbingan yang tepat untuk menilai kesiapan yang sesungguhnya. Langkah ini ditempatkan pada nomor sembilan karena untuk mencapainya harus melalui proses pemantapan spiritual yang prima, agar tidak menimbulkan kerugian atau menyakiti orang lain dan diri sendiri. Perlu pertimbangan yang benar-benar matang untuk memutuskan perbaikan mana yang harus didahulukan dan yang mana mungkin belum sampai pada saatnya. Bayangkan, bagaimana misalnya susahnya mendatangi orangtua dari seseorang yang pernah dibunuh dan mengakui sebagai pembunuhnya dan meminta maaf. Langkah Sepuluh "Kita secara terus menerus melakukan inventarisasi pribadi kita dan bilamana kita bersalah, segera mengakui kesalahan kita." Langkah ini adalah permulaan dari apa yang disebut langkahlangkah pemeliharaan. Dari Langkah Satu sampai Sembilan dasar 65

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

yang kuat telah semakin diperkokoh, masa lalu yang buruk telah dengan jujur di ditelusuri dan dibersihkan, dan kerusakankerusakan baik pada diri sendiri atau yang berhubungan dengan orang lain telah diperbaiki, lalu bagaimana mempertahankan semua pencapaian ini? Langkah-langkah sepuluh, sebelas dan duabelas adalah langkah-langkah khusus untuk tujuan itu. Di Langkah Kesepuluh pecandu diminta untuk terus-menerus mengawasi dirinya sendiri, memonitor kehidupannya sehari-hari, dan dengan jujur mengakui apabila berbuat kesalahan atau berperilaku seperti pola lama ketika masih aktif dalam kecanduannya. Konselor dapat membantu pecandu dalam proses analisa diri yang diminta dalam langkah ini. Dari setiap hasil dari pengawasan atau inventarisasi yang secara rutin dilakukan, sesuatu hal yang baru akan dapat dipelajari, dan dalam proses pembelajaran ini peran konselor menjadi sangat penting. Mereka yang telah mencapai tahap ini biasanya akan lebih pro-aktif dan mempunyai tingkat kesediaan yang tinggi untuk menjalani program, membuatnya mudah untuk dibimbing dan diajak bakerjasama. Pada tahap ini jugalah seringkali banyak perubahan kepribadian yang bisa disaksikan dengan nyata. Langkah Sebelas "Kita melakukan pencarian melalui doa dan meditasi untuk memperbaiki kontak sadar kita dengan Tuhan sebagaimana kita mamahamiNya, berdoa hanya untuk mengetahui kehendakNya atas diri kita dan kekuatan untuk melaksanakannya." Langkah Kesebelas berfungsi sebagai jembatan menuju Higher Power sebagai sumber kekuatan, dan bagaimana memastikan bahwa kekuatan itu terus ada dengan membina hubungan yang terus menerus juga dengan Higher Power itu. Di Langkah ini meditasi dan doa dianjurkan untuk terus dilakukan dan disebutkan secara bersamaan, menunjukkan bahwa keduanya adalah praktek yang lazim digunakan dalam Langkah Sebelas untuk berhubungan dengan Higher Power. Sekali lagi perlu dicatat, program 12 Langkah bukanlah program keagamaan. Artinya, tidak ada anjuran untuk menjadi pemeluk agama tertentu untuk bisa menjalani 12 Langkah. Tetapi yang dianjurkan adalah, meyakini akan adanya kekuatan lain selain diri sendiri yang dapat membantu, apapun bentuk dari sumber kekuatan tersebut, dan untuk terus berhubungan melalui doa dengannya. Program 12 Langkah adalah program spiritual khusus bagi mereka yang mempunyai penyakit adiksi, dan harus bisa mengakomodasi kepentingan dari semua pecandu dari

66

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

latarbelakang kelompok apapun. Penekanan ataa pentingnya berdoa adalan Bagian yang cukup sentral dari program 12 Langkah, karena dengan berdoa artinya pecandu menjangkau kekuatan yang ada di luar dirinya, yang berarti ia sudah memahami bahwa dalam dirinya ini ada suatu kondisi yang tidak terelakkan dan tidak akan hilang, yaitu adiksi. Dan satu-satunya cara untuk meredam adiksi ini agar tidak kambuh atau relapse adalah dengan membina pertumbuhan spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menerapkan apa yang disarankan oleh metode 12 Langkah, seorang pecandu memastikan pertumbuhan spiritual dalam hidupnya tetap terjaga. Langkah Dua belas "Setelah mengalami pencerahan spiritual sebagai hasil dari langkahlangkah ini.kita mencoba menyampaikan pesan ini kepada para pecandu dan untuk menerapkan prinsip-prinsip ini dalam segala hal yang kita lakukan." Pada Langkah ini, hasil dari kerja keras seorang pecandu mempelajari dan mengamalkan kesebelas langkah sebelumnya akhirnya dapat diraih. "Pencerahan Spiritual" yang dimaksud adalah perubahan yang menyeluruh dalam jiwa pecandu sehingga ia mencapai keterbukaan, keyakinan, dan kepercayaan yang begitu dalam terhadap Tuhan dalam bentuk yang dipercayainya. Pada tahap ini perubahan terjadi pada semua level, baik spiritual, mental, dan emosional. Kemudian, pecandu akan diminta untuk menyampaikan anugerah yang sudah didapatnya ini kepada pecandu lain yang masih menderita. Berdasarkan kejadian pertama ketika Bill Wilson berbagi kepada Dr. Bob mengenai alkoholismenya dan setelah itu keinginan untuk minum sirna, begitu jugalah para anggota program 12 langkah diminta untuk dengan murah hati berbagi mengenai cerita kehidupannya dalam pemulihan dengan pecandu yang masih menderita. Dan ini bukan saja baik bagi pendengar atau pendatang baru, tetapi inilah tulang punggung dari program 12 Langkah, yaitu seorang pecandu hanya bisa tetap menyimpan kekuatan yang ia miliki untuk bertahan bersih apabila ia membagikannya pada orang lain. 7. Layanan Penunjang, dalam pedoman ini pelayanan penunjang akan difokuskan pada pemeriksaan laboratorium. Layanan laboratorium terdiri dari pemeriksaan patologi klinik dan laboratorium pemeriksaan NAPZA Untuk laboratorium patologi klinik yang diperlukan adalah pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan kimia darah Untuk pemeriksaan NAPZA, jenis pemeriksaan yang dilakukan

67

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

dapat dilihat pada daftar persyaratan minimal layanan penunjang. Beberapa persyaratan yang mesti diperhatikan adalah : a. Bangunan Untuk pemeriksaan NAPZA tata ruang laboratorium harus mempunyai tata ruang yang baik dan sesuai dengan alur pelayanan, mendapatkan cahaya sinar matahari dalam jumlah yang cukup Persayaratan bangunan mengacu Keputusan Menteri Kesehatan Rl No.04/Menkes/SK/l/2002 Persyaratan lain yang perlu diperhatikan: ruangan yang mudah dibersihkan, permukaan meja pemeriksaan tidak tembus air, tahan asam, alkali dan larutan organik, koridor, gang dan lantai harus bersih b. Peralatan: Peralatan harus sesuai untuk pemeriksaan NAPZA dan mempunyai spesifikasi yang sesuai dengan fasilitas seperti luas ruangan, fasilitas listrik dan air yang ada, serta tingkat kelembaban. Persyaratan minimal dapat dilihat pada daftar persyaratan minimal layanan penunjang. c. Tenaga: Tenaga untuk laboratorium pemeriksaan NAPZA harus mempunyai persyaratan tenaga teknis minimal sesuai untuk persyaratan laboratorium NAPZA seperti: i. Penanggung jawab, minimal seorang Sarjana Kedokteran, Sarjana Farmasi, Apoteker atau Sarjana Kimia/Biokimia dan mempunyai pengalaman 3 tahun dl laboratorium (Untuk penanggung jawab pemeriksaan HIV/AIDS dlsarankan konsultasi dengan dokter umum terlatih atau Spesialis Patologi Klinik).

ii. Tenaga Teknis, 2 orang tenaga analis dimana 1 orang lainnya dapat diganti dengan tenaga Asisten Apoteker atau Analis Kimia. Untuk pemeriksaan HIV/AIDS harus memenuhi standar Kementerian Kesehatan sebsgai Laboratorium pratama atau utama sbb;

68

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Jumlah Kebutuhan No. Jenis Tenaga Pratama Utama

(Skrining) (Konfirmasi) 1. Penanggung Jawab Teknis: Sarjana Kedokteran, Sarjana Farmasi, Apoteker, atau Sarjana Kimia/Biokimia 2. Tenaga Teknis Analis Perawat 3. Tenaga Administrasi Lulusan SMU atau sederajat 8. Layanan Outreach/Komunitas a. Ruang Lingkup Kegiatan Penjangkauan dan Pendampingan adalah pendukung dari program penanggulangan gangguan penggunaan NAPZA berbasis Rumah Sakit Jiwa yang dilaksanakan oleh kelompok masyarakat, ataupun lembaga swadaya masyarakat. Program Penjangkauan dan Pendampingan (outreach) adalah proses penjangkauan langsung yang dilakukan secara aktif kepada pada pengguna NAPZA baik secara kelompok maupun individu. Populasi ini sulit dijangkau dengan metode yang lebih formal karena stigma dan diskriminasi yang sangat kuat di dalam masyarakat terhadap status penggunaan NAPZAnya. Dalam proses penjangkauan dan pendampingan para pekerja lapangan melakukan proses identifikasi lokasi yang biasa menjadi tempat para pengguna NAPZA berkumpul atau tempat yang memungkinkan untuk melakukan interaksi langsung. Proses penjangkauan dan pendampingan memberi peluang bagi para pengguna NAPZA untuk dapat mengakses berbagai layanan kesehatan yang dibutuhkannya, seperti: mendapatkan layanan informasi terkait NAPZA, risiko penggunaan NAPZA, tes HIV dan konseling, layanan kesehatan dasar yang tersedia, layanan manajemen kasus untuk pengguna NAPZA yang membutuhkan, akses terhadap material pencegahan (termasuk jarum suntik untuk pengguna NAPZA suntik) dan layanan 69 1 1 1 1

2 2 1

2 2 1

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

lainnya yang memungkinkan. b. Tujuan Membuka akses sebesar mungkin bagi pengguna NAPZA yang berada di komunitas, Memberikan informasi yang memadai mengenai bahaya penggunaan NAPZA dan dampak buruk penggunaan NAPZA sehingga menimbulkan kesadaran pengguna NAPZA untuk menghentikan penggunaan, atau mengurangi risiko terhadap dampak buruk yang mungkin muncul bagi yang maaih belum dapat berhenti Memotivasi dan melibatkan pengguna NAPZA untuk menghentikan pemakaian atau mengurangl risiko perilaku penggunaan NAPZA suntik melalui berbagai upaya yang memungkinkan untuk dicoba, Memberikan dukungan secara terus menerus pada pengguna NAPZA untuk mempertahankan perubahan perilaku lebih aman yang mungkin terjadi Melibatkan pengguna NAPZA agar secara aktif melakukan penyebaran informasi dan membentuk kepedulian sesama, sehingga ikut terlibat dalam upaya pencegahan dan penanggulangan penggunaan NAPZA pada umumnya.

c. Sasaran Sasaran program penjangkauan dan pendampingan adalah semua pengguna NAPZA yang ada di komunitas, mulai dari pecandu NAPZA, para pengguna NAPZA sampai ke mereka yang termasuk dalam kelompok yang rentan untuk mencoba menggunakan NAPZA. Pecandu NAPZA menjadi sasaran utama (primer) sedangkan pengguna NAPZA yang lain dan kelompok rentan menjadi sasaran sekunder. Selain itu masyarakat di sekitar pengguna NAPZA baik keluarga, orang kunci dan teman-temannya menjadi sasaran tersier. Dengan demikian proses penjangkauan dan pendampingan dilakukan di berbagai lokasi yang biasa menjadi tempat para pengguna NAPZA berkumpul atau beraktivitas dalam keseharian. Tempat ini dapat berupa tempat orang muda berkumpul, taman-taman, titik tertentu di tempattempat keramaian (pasar, mall, pinggir jalan), lokasi tertentu di wilayah perumahan, dan tempat-tempat lainnya. 4. Pelaksana

70

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Kegiatan penjangkauan dan pendampingan dapat diselenggarakan oleh lembaga pemerintah maupun lembaga non pemerintah, termasuk kelompok swadaya masyarakat, Lembaga tersebut seperti: institusi/lembaga kesehatan LSM atau organisasi kemasyarakatan Institusi/lembaga non pemerintah Kelompok masyarakat (karang taruna, kelompok pemuda, dll) Pelaksana program penjangkauan dan pendampingan adalah sebuah tim yang terdiri dari petugas lapangan dan koordinator penjangkauan. Petugas lapangan bisa yang mempunyai latar belakang mantan pengguna NAPZA atau individu yang mempunyai kemampuan dan kesediaan untuk masuk dalam komunitas pengguna NAPZA. Sedangkan koordinator penjangkauan berperan dalam memberikan dukungan dan pemantauan terhadap proses penjangkauan dan pendampingan di lapangan sehingga searah dengan tujuan program yang dikembangkan. Tim penjangkauan dan pendampingan, sebelum melaksanakan program sudah mendapatkan pelatihan khusus mengenai penjangkauan dan pendampingan. .

VI. PENGEMBANGAN PROGRAM TERAPI DAN REHABILITASI GANGGUAN PENGGUNAAN NAPZA PADA KONDISI KHUSUS Ruang Lingkup Yang dimaksud dengan kondisi khusus adalah suatu kondisi yang terkait dengan masalah fisik maupun psikologis sebagai akibat dari gangguan penggunaan NAPZA, atau kondisi penyakit tertentu yang bukan merupakan akibat gangguan penggunaan NAPZA akan tetapi dapat memperparah kondisi pasien tersebut apabila tidak diberikan pengobatan secara komprehensif. Kondisi khusus yang akan dibahas dalam pedoman ini sebagai berikut: a. Wanita hamil b. Remaja dan anak-anak c. Orang dengan penyakit infeksi termasuk HIV/AIDS (ODHA) d. Orang dengan masalah kesehatan jiwa (ODMK) Prinsip-Prinsip Umum Perawatan Pasien Gangguan Penggunaan Napza Dengan Masalah Medik a. Kondisi gangguan kesehatan secara fisik/medik seringkali ditemukan pada pasien Gangguan penggunaan NAPZA, untuk itu terapis harus memberikan pengobatan khususnya untuk detoksifikasi yang tidak menyebabkan kondisi medis pasien semakin

71

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

memburuk b. Petugas di ruangan harus dapat mengenali adanya gejala-gejala penyakit tertentu yang sangat mungkin tidak merupakan bagian dari kondisi intoksikasi atau putus NAPZA c. Ketika ditemukan adanya gejala dan tanda yang mencurigakan petugas harus mengetahui kemana harus merujuk (misalnya ke ruang emerjensi, ruang dokter) d. Setiap setting untuk perawatan pasien Gangguan penggunaan NAPZA sebaiknya dilengkapi dengan peralatan dan obat-obatan untuk kondisi emerjensi seperti tabung oksgen, alat kesehatan untuk pemeriksaan tanda-tanda vital dan pertolongan hidup dasar e. Klinikus harus selalu ingat untuk melakukan konsultasi dengan dokter-dokter spesialis lain seperti Ahli Penyakit Dalam, Ahli Penyakit Jantung, Neuorolog, Ahli Penyakit Kandungan, Ahli Bedah dan lain-lain f. Staf medis harus menyadari akibat dari Gangguan penggunaan NAPZA akan mempengaruhi keseluruhan kondisi kesehatan pasien, setiap staf harus siap untuk membantu pasien mengatasi gangguan medis maupun gangguan psikiatrik dan melakukan evaluasi terhadap penyakit-penyakit kronis lainnya yang dapat ditimbulkan oleh Gangguan penggunaan NAPZA Dampak Dan Perhatian Pada Kondisi Khusus 1. Wanita hamil NAPZA pada wanita hamil sudah diketahui akan memberikan efek samping terhadap bayi dalam kandungan Deteksi dan intervensi dini pada wanita hamil yang menggunakan NAPZA akan memberikan hasil yang efektif untuk mengurangi efek samping NAPZA terhadap janin Dilakukan asesmen yang bertujuan untuk: menentukan jumlah dan frekuensi penggunaan NAPZA sejak pasien mendapatkan menstruasi yang terakhir menentukan tindakan apabila penggunaan NAPZA masih berlangsung kajian terhadap kemungkinan efek samping yang ditimbulkan oleh NAPZA yang digunakan memberikan informasi aktual efek dari NAPZA yang digunakan selama kehamilan melakukan eksplorasi dari pilihan terapi yang akan diberikan sesuai dengan umur kehamilan dan kondisi pasien Efek yang dapat diberikan selama kehamilan atau saat menyusui pada beberapa jenis NAPZA diterangkan sebagai berikut: 1. Alkohol efek pre natal antara lain : meningkatkan risiko abortus spontan, kelahiran

72

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

prematur, berat dan ukuran bayi kurang dari normal efek terhadap janin : tergantung dari jumlah alkohol yang diminum, bulan kehamilan, kondisi kesehatan umum pasien Foetal Alcohol Syndrome (FAS) ; gambaran klinis menunjukkan adanya pertumbuhan yang lambat dari berat dan ukuran bayi, adanya anomali pada struktur dan fungsi otak yang dalam perkembangannya akan memperlambat perkembangan kemampuan bayi adanya defek/kelainan pada jantung, wajah dan bibir (sumbing), efek yang berat adalah kematian atau kerusakan pada perkembangan otak dan kranium tidak direkomendasikan untuk menyusui apabila ibu masih minum minuman beralkohol

2. Heroin efek pre-natal yang ditimbulkan berupa kelahiran prematur, pendarahan sebelum kelahiran, kematian bayi di dalam kandungan, meningkatkan risiko keguguran, meningkatkan plasenta yang tak sempurna efek terhadap janin : berat badan bayi dan ukuran lingkar kepala kurang dari normal, foetal distress/ ada meconium, meningkatnya risiko tertular HIV/AIDS, hepatitis B dan C efek pada bayi : Neonatal Abstinence Syndrome, meningkatnya risiko Suden Infant Death Syndrome ( SIDS ) terapi paling aman dengan metadon yang dosisnya diturunkan perlahan sampai dosis rendah. Bila ibu menyusui sebaiknya diperbolehkan apabila dosis metadon sudah rendah

3. Psikostimulan (Amfetamin-Kokain) efek psikostimulan pada kehamilan tergantung pada saat umur kehamilan, jumlah dan pola penggunaan, perbedaan metabolisms efek prenatal ; hipertensi pada ibu, perdarahan plasenta mendadak, kelahiran prematur efek pada janin ; kelahiran prematur, foetal distress, berat badan dan ukuran lingkar kepala bayi kurang dari normal, meningkatnya risiko kelainan kongenital efek pada bayi kemungkinan akan menimbulkan gangguan pada perilaku, namun belum ada data yang jelas mengenai hal ini

2. Pasien dengan Penyakit Infeksi dan HIV/AIDS Data menunjukkan bahwa infeksi Hepatitis C dan HIV/AIDS merupakan kasus yang sangat tinggi diantara pasien dengan Gangguan penggunaan NAPZA

73

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

khususnya pada pengguna NAPZA suntik Penelitian terakhir menunjukkan semua peralatan pribadi yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA suntik mempunyai potensi untuk menularkan penyakitpenyakit infeksi melalui darah, meskipun pertukaran barang tersebut tidak terjadi, tetapi kebersihan alat-alat dan indlvidu tidak terjaga sehingga dapat tertular bakteri dan jamur Masalah penyakit infeksi yang berkaitan dengan penggunaan NAPZA suntik adalah: - Endocarditis, yang terbanyak adalah infeksi pada katup Trikuspidal, Subacute Bacterial Endocarditis (SBE) pada ventrikel kiri sering terjadi pada pengguna NAPZA suntik akibat infeksi bakteri stafllokokus - Ophtalmitis - Bakteriaemia - Tuberkulosis - Tetanus Beberapa penyakit yang ditularkan melalui darah khususnya penyakit yang disebabkan virus: Hepatitis C,B dan D, HIV a. Hepatitis C : Paling banyak ditemukan pada pengguna NAPZA suntik, yaitu sekitar 90% dalam dekade terakhir penularan paling tinggi melalui pertukaran jarum suntik dan alat-alat menyuntik lainnya serta jarang sekali karena hubungan seksual infeksi vertikal dari ibu yang HCV-RNA positif kepada anak saat melahirkan berkisar 5-8% Tidak ada data tentang penularan melalui ASI Tes untuk HCV - Ab baru terlihat positif setelah 15-30 minggu terpapar sedangkan HCV-RNA terdeteksi setelah 2-3 minggu terpapar virus Beberapa kondisi alamiah pada infeksi HCV adalah : sampai 30% pasien akan bersih dari virus dalam 12 bulan (abortif), 10-15% akan menjadi infeksi yang kronis dan 20-30 tahun kemudian akan menderita Sirosis hepatis dan risiko akan meningkat pada pasien usia tua ketika terinfeksi, laki-laki, peminum alkohol, bertambahnya usia. Pada pasien dengan Sirosis hepatis mempunyai risiko kanker hati sebesar 4% setiap tahunnya dan sebagian besar pasien terinfeksi HCV bukan mati karena komplikasi HCVnya Pemberian terapi dengan antiviral (Interferon) sebagai monoterapi tidak selalu memberikan hasil seperti yang diharapkan. Terapi kombinasi antara interferon dan Ribavirin memberikan respons yang baik kepada banyak pasien. Kombinasi terapi ini merupakan kontra indikasi untuk pasien dengan

74

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

gangguan jantung koroner, tiroiditis karena akan mempengaruhi autoimun pada pasien Monitoring harus dilakukan kepada pasien karena bila timbul efek samping atau karena perkembangan penyakitnya, terapi harus ditinjau ulang atau bahkan dihentikan. Monitor yang harus dilakukan adalah : tes fungsi hati setiap 6 bulan, pemeriksaan HCV-RNA ulang bila ada perubahan fungsi 'hati, monitor fetoprotein setiap 6 bulan pada pasien sirosis, pertimbangkan pemberian imunisasi HBV dan HAV meskipun hasilnya belum pasti Pencegahan yang terpenting adalah menghentikan penggunaan jarum suntik dan pengobatan diubah dengan memberikan substitusi oral khususnya Program Rumatan Metadon Penerapan Universal Precaution sangat diharuskan

b. Infeksi HIV/AIDS angka penularan HIV pada pengguna NAPZA suntik di Indonesia sudah memprihatinkan, diperkirakan saat ini sudah mencapai angka 60% dan merupakan angka tertinggi dari cara penularan HIV lainnya tes serologis HIV biru dapat memberikan hasil positif 3 minggu setelah saat masuk virus ke dalam tubuh sedangkan HIV-DNA baru bisa terdeteksi setelah beberapa hari timbulnya gejala masa inkubasi (perasaan lelah seperti orang flu, badan meriang) dan menghilang setelah 1 bulan perlu pengulangan dan konsultasi kepada ahli tentang HIV untuk menentukan saat tes (merujuk pada buku Pedoman VCT P2M-Kementerian Kesehatan). Setiap pengguna NAPZA suntik, meskipun sudah tidak menggunakan NAPZA suntik lagi sebaiknya dilakukan tes HIV melalui pre dan posttestand Counselling (VCT) pengobatan HIV sangat tergantung dengan tahapannya, umumnya yang menjadi masalah adalah infeksi oportunistik yang berarti sudah masuk dalam stadium AIDS pencegahan penularan dengan program pengurangan dampak buruk atau Harm Reduction merupakan pilihan yang utama. Informasi terhadap pasien dan pasangannya secara menyeluruh sangatlah penting untuk menurunkan angka penularan dan kondisi yang memburuk pengguna NAPZA suntik yang masih aktif sebaiknya jangan menyangkal tentang kemungkinan tertular HIV dan mau datang berobat untuk mencegah berbagai infeksi lain. infeksi lain yang terjadi pada HIV/AIDS seperti tuberkulosis, pneumonia, SEE, kriptokokus dan Candida akan mernperparah kondisi infeksi lainnya seperti Hepatitis C

75

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Untuk program Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan Care, Support and Treatment (CST) untuk pasien HIV/AIDS perlu ada pelatihan khusus sesuai buku pedoman VCT dan Pedoman Terapi Anti Retro Viral (ARV) P2M - Kementerian Kesehatan

3. Pasien dengan Gangguan Jiwa /Psikiatris Kasus ini cukup banyak di lapangan, mencapai 10-30% dari populasi Gangguan penggunaan NAPZA Kelainan yang ada sangat bervariasi Bilamana dalam satu periode tertentu dltemukan adanya gangguan psikiatri lain pada pasien Gangguan penggunaan NAPZA balk itu sebagai akibat penggunaan NAPZA maupun sebagai penyakit yang mendasari disebut sebagai KOMORBIDITAS Komorbiditas sangat berhubungan dengan hasil terapi yang tidak optimal dan angka relapse yang cukup tinggi Pengobatan seringkali melibatkan layanan yang lain, tetapi hasil yang baik akan diperoleh dengan terapi yang terintegrasi dan komprehensif label 1: Gangguan jiwa yang paling sering terkait dengan penggunaan Napza Jenis Napza CNS Depresan Opioida SedatifHipnotik SolvenInhalansia Alkohol CNS Stimulant Amfetamin Kafein Kokain Nikotin Halusinogen X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X X Ggn. Amnestik Ggn. Ggn. Delirium Cemas Mood Ggn. Ggn. Psikotik Fs.Seksual Ggn. Tidur

76

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

KOMORBIDITAS DARI PERSPEKTIF PENGGUNAAN NAPZA

Alkohol dan Gangguan Mood


Seringkali berhubungan dengan gejala gangguan depresi. Depresi biasanya timbul setelah beberapa minggu abstinen/berhenti dari alkohol. Gangguan bipolar juga cukup banyak dan relapse seringkali terjadi pada saat Episode manik

Alkohol dan Psikosis


Masalah penggunaan alkohol sangat terkait dengan meningkatnya risiko terjadinya halusinasi dan waham sebagai gejala psikotik. Penggunaan alkohol diantara penderita Skizofrenia memberikan kontribusi dalam ketidakpatuhan dalam pengobatan, meningkatkan gejala-gejala, meningkatnya problem medik dan gangguan perllaku

Kanabis/Ganja dan Psikosis


Pengalaman yang paling sering pada pengguna kanabis adalah gejala psikotik ringan seperti Paranoia. Kanabis dapat menginduksi terjadinya episode psikotik setelah beberapa hari gejala intoksikasi menurun Kanabis dapat mempresipitasl/memicu gangguan Skizofrenia pada individu yang mempunyai faktor predisposisi gangguan ini

Opioida dan gangguan kesehatan jiwa


Laju gangguan jiwa pada pengguna opioida sangat tinggi, khususnya terkait dengan gangguan depresi, fobia sosial dan gangguan cemas lain

Stimulan dan gangguan kesehatan jiwa


Kondisi intoksikasi stimulan akan menimbulkan beberapa gejala psikotik, beberapa hari sampai beberapa minggu setelah periode intoksikasi Kadangkala kondisi menyerupai Skizofrenia kronik dapat timbul setelah penggunaan amfetamin kronik yang berat

KOMORBIDITAS DARI PERSPEKTIF KESEHATAN JIWA

Gangguan cemas dan penggunaan NAPZA


Individu dengan penggunaan alkohol akan mempunyai risiko tinggi untuk menderita gangguan cemas, dan gangguan cemas juga dapat timbul sebagai bagian dari sindroma penggunaan alkoholGangguan panik dan fobia sosial merupakan gangguan yang paling sering pada pasien Ketergantungan alkohol Menurunkan jumlah penggunaan alkohol akan mengoptimalkan pengobatan

77

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Gangguan cemas pasien Pertimbangkan penyalahgunaan benzodiazepin pada pengobatan gangguan cemas, apabila: o gejala-gejala masih menetap meskipun sudah dalam pengobatan o pasien menolak untuk mendapatkan intervensi dan terapi o tetap menggunakan benzodiazepin untuk mengatasi setiap situasi yang memprovokasi timbulnya Gangguan cemas

Gangguan kepribadian dan penggunaan NAPZA


Gangguan kepribadian yang paling banyak berkaitan adalah Gangguan kepribadian antisosial gangguan kepribadian lain yang banyak terkait antara lain : Histrionik, Ambang, Narsisistik, Menghindar, dan Obsessif kompulsif

Gangguan psikotik dan penggunaan NAPZA


Pasien dengan gangguan psikotik akan meningkatkan tindak kekerasan, tidak memiliki rumah (tunawisma), psikosis yang memburuk, pemulihan penggunaan NAPZA akan berjalan dengan lambat dan relapse tinggi Penggunaan alkohol dan kanabis dengan gangguan psikotik kronis tiga sampai lima kaii lebih besar kemungkinannya menjadi Ketergantungan NAPZA Kanabis akan menginduksi gejala psikotik akut bila digunakan dalam dosis tinggi tetapi tidak menimbulkan gangguan psikotik kronis. Kanabis dapat menjadi faktor presipitasi pada individu yang mempunyai kerentanan untuk psikotik dan akan mengeksaserbasi gejala-gejala psikotik yang sudah ada Stimulan dan halusinogen lebih disukai pasien gangguan psikotik, tetapi zat tersebut akan mengeksaserbasi gejala-gejala psikotik yang ada

Bunuh diri dengan penggunaan NAPZA


Bunuh diri lebih disebabkan karena kondisi penggunan NAPZA yang memburuk dan tidak menemukan jalan keluar untuk abstinen Memburuknya mood akibat psikosis yang diderita pasien

PENATALAKSANAAN :

Pendekatan terintegrasi dalam suatu layanan yang dilakukan oleh terapis yang mempunyai ketrampilan dan pengetahuan pada ke dua area (gangguan penggunaan NAPZA dan gangguan jiwa) akan lebih efektif dan dapat diterima Tidak ada pendekatan konfrontatif, diperlukan penatalaksanaan yang asertif dan sukarela
o Prinsip-prinsip Perawatan 1. Keamanan baik bag! petugas, pasien maupun pengunjung

78

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

2. Stabilisasi, untuk pasien dengan kondisi intoksikasi, putus NAPZA, gejala-gejala psikotik, krisis psikososial, gejala-gejala kecemasan atau depresi berat 3. Asesemen komprehensif, sangat penting dan dilakukan selama dalam perawatan 4. Manajemen kasus klinis, umumnya diinisiasi oleh tim kesehatan jiwa tetapi membutuhkan koordinasi dan kesinambungan perawatan selanjutnya 5. Pengobatan yang terintegrasi, melibatkan terapis yang mempunyai ketrampilan dalam bidang kesehatan jiwa dan Gangguan penggunaan NAPZA o Asesmen dan Penatalaksanaan 1. Melakukan skrining untuk ke dua bidang gangguan 2. Kajian : Diperolah melalui asesmen yang seksama Penatalaksanaan gejala putus NAPZA dan asesmen ulang bila diperlukan Tinjauan ulang diperlukan dalam Waktu tertentu Tanyakan, mana yang lebih dahulu timbul?, apakah gejala-gejala psikotik timbul selama beberapa waktu setelah periode abstinen? Observasi kondisi jiwa sebagai efek setelah melewati fase intoksikasi Bilamana gejala gangguan jiwa akibat diinduksi NAPZA, akan hilang dengan sendirinya

3. Libatkan untuk pengobatan jangka panjang Penting tetapi tidak mudah. Kekambuhan penggunaan NAPZA dan gangguan jiwa sangat sering

4. Pengobatan bangun motivasi untuk berubah, tujuan dan hasil pengobatan harus bersifat realistik. Misalnya : pasieh dengan Skizofrenia yang tidak terkontrol akan sulit untuk merubah kehidupan mereka dan bebas dari penggunaan NAPZA Motivational Enhancement (dimodifikasi untuk pendekatan pasien gangguan psikotik) Terapkan strategi minimalisasi dampak buruk (Harm Minimisation) Gunakan tujuan jangka panjang

5. Adanya kedua gangguan (komorbiditas) Bila gangguan kesehatan jiwa membaik, maka Gangguan penggunaan NAPZA akan berkurang Pemberian farmakoterapi untuk kedua kondisi tergantung dari jenis NAPZA yang digunakan, misalnya ; antidepresan trisiklik (Amitriptilin) dan penggunaan alkohol sebaiknya dihindari. Perhatikan interaksi obat yang

79

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

diberikan dengan NAPZA yang digunakan. Umumnya penggunaan psikofarmaka seperti antidepresan kurang efektif bila pasien masih tetap menggunakan NAPZA seperti alkohol, benzodiazepin

6. Psikofarmakoterapi Pemberian antidepresan golongan Trisklik dan SSRI dapat dipertimbangkan bila gejala depresi cukup signifikan Ansiolitik golongan benzodizepin (Diazepam, Klobazam, Alprazolam, Lorazepam) untuk jangka pendek dapat diberikan khusushya pada awal kondisi akut Kombinasi antara antipsikotik tipikal (generasi baru) maupun atipikal dengan ansiolitik maupun antidepresan dapat diberikan untuk jangka panjang apabila gangguan jiwa pasca intoksikasi maupun putus zat masih menetap.

VII. PENUTUP Telah diuraikan berbagai hal yang perlu dipersiapkan dan dilaksanakan dalam memberikan terapi dan rehabilitasi secara komprehensif untuk pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA. Untuk membuat suatu terapi yang komprehensif memerlukan suatu komitmen yang tinggi dan harus didukung oleh berbagai profesi yang rnempunyai integritas yang tinggi. Beberapa hal yang dianggap penting dan menjadi topik bahasan dalam pedoman ini antara lain: Manajemen dari program terapi dan rehabilitasi pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA Pemgalaman dari beberapa rumah sakit yang telah menjalankan program terapi dan rehabilitasi gangguan penggunaan NAPZA Berbagai modalitas terapi dan rehabilitasi yang dapat diterapkan sesuai dengan sarana dan prasarana yang tersedia Pengembangan jejaring dengan institusi pemerintah maupun LSM Berbagai kondisi medik maupun psikiatrik yang terkait dengan masalah gangguan penggunaan NAPZA serta tatalaksananya

Sumber daya manusia yang tertarik dan bersedia untuk menjadi bagian dari program terapi gangguan penggunaan NAPZA yang komprehensif merupakan titik krusial yang harus diantisipasi dalam operasional layanan gangguan penggunaan NAPZA. Saat ini sudah banyak tenaga yang dilatih di bidang gangguan penggunaan NAPZA akan tetapi banyak yang pada akhirnya kurang dapat menerapkan ilmu yang sudah dipelajarinya. Untuk itu pihak manajemen harus dapat membuat suatu terobosan agar sumber daya manusia yang tersedia di pusat layanan kesehatan khususnya RSU dan RSJ bersedia untuk melaksanakan program terapi dan rehabilitasi pasien dengan gangguan penggunaan NAPZA Kondisi lain yang harus diperhatikan adalah kompleksitas dari pasien dengan gangguan penggunaan 80

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NAPZA, baik itu akibat langsung dari efek NAPZA maupun lingkungan yang kurang mendukung. Bagaimanapun pengguna NAPZA adalah bagian dari masyarakat kita yang harus dibantu, apabila stigma dari lingkungan keluarga atau masyarakat terhadap mereka masih sangat tinggi maka terapi apapun tidak akan memberikan hasil yang optimal. Kepedulian keluarga dan petugas kesehatan merupakan suatu bentuk dukungan yang dibutuhkan oleh pasien pengguna NAPZA. Masalah penggunaan NAPZA berkembang dari waktu ke waktu baik itu jenis NAPZA, kelompok pengguna maupun dampak yang ditimbulkan. Kondisi yang saat ini kita hadapi adalah penularan berbagai penyakit infeksi khususnya HIV/AIDS dan gangguan jiwa/psikiatris baik sebagai komplikasi maupun kondisi yang memperberat gangguan psikiatris yang sudah ada sebelumnya. Pengetahuan dan ketrampilan petugas dituntut untuk selalu mempelajari hal-hal baru mengenai masalah gangguan penggunaan NAPZA agar pengobatan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien dan kemajuan ilmu dan teknologi dalam bidang gangguan penggunaan NAPZA. Satu model terapi belum tentu efektif untuk setiap orang sehingga setiap institusi kesehatan perlu menyediakan berbagai model layanan terapi dan rehabilitasi pasien gangguan penggunaan NAPZA agar dapat memberikan terapi secara optimal. Apabila tidak memungkinkan perlu adanya pembuatan dan perluasan jejaring dengan berbagai fasilitas layanan lain yang lebih lengkap. Dengan penguatan jejaring akan mempermudah melaksanakan sistem rujukan. Masa yang akan datang setiap layanan kesehatan khususnya RSU dan RSJ diharapkan sudah dapat memberikan layanan untuk pasien gangguan panggunaan NAPZA baik minimal maupun yang komprehensif. Pedoman ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada kita semua bagaimana masalah gangguan penggunaan NAPZA merupakan hal yang harus menjadi perhatian kita semua agar anak bangsa di masa datang mempunyai kualitas yang lebih baik dan tidak terjadi suatu Lost Generation

81

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

DAFTAR PERSYARATAN PERALATAN LAYANAN PENUNJANG


NO JEN1S PEMERIKSAAN SPESIMEN METODA LABORATORIUM PERALATAN PRATAMA UTAMA (Skrining)

Konfirmasi Narkotika 1 Heroin (Diethil morphine) Darah Yang diperiksa adalah : Urine Metabolit morphine dalam bentuk Morphine 3 D Qlucoronide dan 6 MAM 2. Morphine Yang diperiksa adalah Darah Metabolit morphine dalam Urine bentuk 3 B morphineQlucoronide

Immunoassay Kromatografi

Kit Elisa KIT KLT Scanner HPLC atau GC/GCMS Kit Elisa KLT KLT Scanner HPLC atau GC/GCMS Kit Elisa KLT KLT Scanner HPLC atau GC/GCMS

+ +

+ + + + + + + + + + + + + + + + + +

Immunoassay Kromatografi

+ +

3. Canabis Yang diperiksa adalah Darah Metabolit cannabis dalam Urine bentuk 1 1 nor-9 carboxy THC (Tetrahydoccanabinol Carboksilat) 4. Cocaine Yang diperiksa adalah Metabolit cocaine dalam

Immunoassay Kromatografi

+ +

Darah Urine

Immunoassay Kromatografi

Kit Elisa

+ +

+ +

82

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Bentuk Benzoylecgonine

KLT KLT Scanner HPLC atau GC/GCMS Darah Urine Immunoassay Kromatografi Kit Elisa KLT KLT Scanner HPLC atau GC/GCMS Kit Elisa KLT KLT Scanner HPLC atau GC/GCMS + +

+ + + + + + + + + + + + + + + +

5. Codein

6. Dll

Darah Urine

Immunoassay Kromatografi

+ +

PSIKOTROPIKA 1. Amphetamine Yang diperiksa adalah : Metabolit amphetamine dalam bentuk amphetamine

Darah Urine Immunoassay Kromatografi Kit Elisa KLT KLT Scanner HPLC atau GC/GCMS Kit Elisa KIT KLT Scanner HPLC atau GC/GCMS + + + + + + + + + + + + + +

2. Derivat Amphetamine a, MDMA (3,4 metilin dioksi Methamphetamine atau Ektasi). Yang diperiksa adalah Metabolit MDMA dalam bentuk HMMA (4 hidroksi 3 metoxi Metamphetamine) b. MDMA (3,4 metilin dioksi Methamphetamine atau Ektasi). Yang diperiksa adalah Metabolit MDMA dalam bentuk HMA (4 hidroksi 3 metoxi Metamphetamine)

Darah Urine

Immunoassay Kromatografi

+ +

Darah Urine

Immunoassay Kit Kromatografi Elisa Spektrofotometri KLT KLT Scanner HPLC atau GC/GCMS Spektrofotom eter UV-VIS Immunoassay Kit Kromatografi Elisa Spektrofotometri KLT KLT Scanner HPLC atau

+ +

+ + + + + +

3. Methamphetamine Darah Methamphetamine dalam Urine bentuk

+ +

+ + + + +

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

GC/GCMS Spektrofotom eter UV-VIS 4. Benzodiazepin a. Diazepam yang diperiksa adalah : metabolit diazepam dalam bentuk M,Des Metyl Diazepam/Temazep am/Nordizepam/Oxa zepam b. Nitrazepam Yang diperiksa adalah Metabolit Nitrazepam dalam bentuk 7 onimo Nitrazepam Darah Urine Immunoassay Kit Kromatografi Elisa Spektrofotometri KLT KLT Scanner HPLC atau GC/GCMS Spektrofotom eter UV-VIS Immunoassay Kit Kromatografi Elisa Spektrofotometri KLT KLT Scanner HPLC atau GC/GCMS Spektrofotom eter UV-VIS Immunoassay Kit Kromatografi Elisa Spektrofotometri KLT KLT Scanner HPLC atau GC/GCMS Spektrofotom eter UV-ViS Immunoassay Kit Kromatografi Elisa Spektrofotometri KLT KLT Scanner HPLC atau GC/GCMS Spektrofotom eterUV-VIS Immunoassay Kit Kromatografi Elisa Spektrofotometri KIT KIT Scanner HPLC atau GC/GCMS Spektrofotom eter UV-VIS Tes Warna Mikrodifusi Kromatografi Peralatan gelas Cawan + +

+ + + + + +

Darah Urine

+ +

+ + + + + +

c. Klor Diazepoksid Darah Yang diperiksa adalah Urine Metabolite Klor Diazepoksid dalam bentuk 4 Hydroksinordiazepa m/Oxazepam

+ +

+ + + + + +

5. Barbital a. Phenobarbital Yang diperiksa adalah Metabolite Phenobarbital dalam bentuk Phydroksyphenobarbital b. Thipental Yang diperiksa adalah : Metabolit thipental dalam bentuk as. Carboksilat

Darah Urine

+ +

+ + + + + +

Darah Urine

+ +

+ + + + + +

ZATADIKTIFLAINNYA 1. AIkohol 2. Metanol

+ +

+ + +

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Spektrofotometri conway + KIT manual + KLT Scanner + HPLC atau GC/GCMS Spektrofotom eter UV-VIS Ket: 1. Skrining : adalah pemeriksaan laboratorium sebagai upaya mengetahui adanya jenis obat yang menimbulkan afek toksis atau efek yang tidak diinginkan yang dilakukan secara cepat. 2. Konfirmasi: adalah pemeriksaan laboratorium lanjutan sebagai upaya untuk menegaskan hasil yang positif dari pemeriksaan pendahuluan yang dilaksanakan lebih akurat.

3. Etanol

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

10

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

11

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

12

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

13

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

14

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

15

You might also like