You are on page 1of 46

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

B BA AB B I IV V IDENTIFIKASI DAN INVENTARISASI POTENSI DAN MASALAH DAERAH TERTINGGAL


4.1. TELAAH KONDISI SOSIAL EKONOMI 4.1.1. Desa Tes, Timor Tengah Utara

Letak dan Keadaan Umum Desa Tes terletak di sebelah utara kabupaten Timor Tengah Utara, sekitar 25 km dari Kefamenanu ibukota kabupaten Timor Tengah Utara, di perbatasan dengan distrik Oecussi (Ambeno) Negara Timor Leste. Desa Tes berbatasan di sebelah Utara dengan Napan dan Timor Leste, sebelah Selatan dengan desa Buk, sebelah Timur dengan desa Sainoni dan sebelah Barat dengan desa Napan dan Timor Leste. Secara administratif desa ini masuk dalam wilayah Kecamatan Bikoni Utara, kecamatan yang baru dimekarkan dari Kecamatan Miomaffo Timur pada bulan Juli 2008. Salah satu alasan pemekaran Kecamatan Bikoni Utara adalah mendorong perkembangan wilayah tertinggal terutama desa-desa yang terletak di perbatasan dengan Timor Leste. Kecamatan Bikoni Utara terdiri dari 9 desa, yaitu desa Napan, Tes, Sainoni, Fainake, Haumeni, Baas, Banain A, Banain B, dan Banain C. Enam desa diantaranya termasuk desa yang berbatasan langsung dengan Timor Leste, yaitu Napan, Tes, Haumeni, Banain A, B dan C. Pos perbatasan utama terdapat di Desa Napan yang dilengkapi pos dan asrama TNI, polisi, dan imigrasi. Kondisi topografi desa Tes berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar 4001200 m dpl. Seperti umumnya wilayah pulau Timor, desa Tes mengalami 8 bulan kering (kemarau) dari bulan April November, dan bulan yang relatif basah dari bulan Desember hingga Maret. Demografi Desa Tes terdiri dari 6 RT, 3 RW yang dibagi dalam 3 dusun dengan jumlah penduduk menurut data monografi desa tahun 2007 sebanyak 609 jiwa, laki-laki 295 orang, perempuan 314 orang, dengan jumlah rumah tangga 146. Struktur penduduk didominasi oleh penduduk usia muda seperti ditunjukkan Tabel 4.1.

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 1

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Tabel 4.1. Struktur Penduduk Desa Tes Menurut Kelompok Umur


Kelompok Umur (Tahun) 0-5 6 - 10 11 - 15 16 - 20 21 - 25 26 - 30 31 - 35 36 - 40 41 - 45 46 - 50 51 - 55 56 - 60 61 - 65 66 - 70 >70 Jumlah Laki-laki 38 36 30 17 26 14 16 9 18 15 14 9 13 17 23 295 Perempuan 33 35 32 20 22 11 18 20 22 11 7 11 13 13 46 314 Jumlah 71 71 62 37 48 25 34 29 40 26 21 20 26 30 69 609

Sumber : Profil Desa Tes 2008

Sementara dilihat dari tingkat pendidikan seperti ditunjukkan pada Tabel 4.2., kelihatan bahwa tingkat pendidikan dan tingkat partisipasi pendidikan (persekolahan) penduduk tergolong sangat rendah. Pada kelompok usia 7-18 tahun, usia rata-rata SD - SLTA, 68 orang tidak pernah sekolah sementara yang sedang bersekolah hanya 37 orang. Secara umum tingkat partisipasi sekolah perempuan lebih tinggi dari lakilaki.
Tabel
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

4.2.

Struktur Penduduk Menurut Pendidikan Desa Tes


Lakilaki 38 34 16 30 7 93 32 16 1 267 Perempuan 38 34 21 55 18 102 56 17 1 342 Jumlah 76 68 37 85 25 195 88 33 2 609

Pendidikan Usia 0-6 Tahun belum sekolah Usia 7-18 tahun tidak pernah sekolah Usia 7-18 tahun sedang sekolah Usia 18-56 tahun tidak pernah sekolah Usia 18-56 tahun pernah sekolah tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SMA Tamat Perguruan Tinggi Jumlah

Sumber : Profil Desa Tes 2008

Kondisi pendidikan menggambarkan juga kualitas angkatan kerja desa Tes. Dari total 468 orang yang tergolong usia produktif (usia 18-56

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 2

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

tahun) di desa Tes, 50 orang tidak memiliki kemampuan baca tulis (buta aksara), terdiri dari 32 laki-laki dan 18 perempuan. Sementara yang tidak tamat SD 98 orang, laki-laki 82 orang dan perempuan 16 orang. Sementara yang tamat SD 195 orang, terdiri dari laki-laki 93 orang, perempuan 102 orang, dan yang tamat SMP laki-laki 32 dan perempuan 56 orang.
Tabel 4.3. Kualitas Angkatan Kerja (Usia Produktif: 18-56 tahun) Desa Tes
Kaulitas Angkatan Kerja Buta Aksara Tidak tamat SD Tamat SD Tamat SMP Tamat SLTA Tamat PT Jumlah Laki-laki 32 82 93 32 18 1 258 Perempuan 18 16 102 56 17 1 210 Jumlah 50 98 195 88 35 2 468

Sumber : Profil Desa Tes 2008

Dari data-data pada Tabel 4.3. kelihatan bahwa kualitas angkatan kerja perempuan lebih dari laki-laki. Dilihat dari tingkat buta aksara dan tidak tamat SD, laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Sementara apabila dilihat dari tingkat partisipasi pendidikan (tamat sekolah) perempuan lebih tinggi dari laki-laki, terutama untuk tingkat pendidikan dasar. Hal ini menjadi catatan awal, bahwa dalam kondisi sosial budaya yang menempatkan laki-laki dalam posisi yang lebih tinggi, perempuan justru memiliki kecenderungan lebih berhasil dalam pendidikan dibandingkan laki-laki. Sarana dan Prasarana Transportasi Ketersediaan sarana transportasi di desa ini sangat terbatas. Prasarana penghubung seperti terminal belum ada. Pemilik angkutan (oplet) di desa hanya satu orang dan yang berprofesi sebagai tukang ojek hanya 2 orang (2 unit sepedamotor). Mobilitas penduduk tidak terlalu tinggi kecuali untuk anak sekolah. Karena mereka tidak terlalu tergantung dengan pasar, dan fasilitas umum lainnya. Sedangkan bagi penduduk yang bekerja sebagai buruh di luar kota, biasanya tinggal sementara di kota tersebut. Untuk jalan penghubung antar kota dan antar desa sudah memadai. Untuk menghubungkan desa Tes dengan kota Kefamenanu (ibukota kabupaten) yangberjarak 25 km, dan desa-desa lainnya yang berada satu jalur beroperasi secara regular oplet setiap setengah jam hingga 1 jam.

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 3

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Oplet ini melewati desa Tes dengan rute Kefamenanu Napan, yang berujung persis di depan pos perbatasan di Desa Napan. Tetapi di dalam desanya sendiri sangat sulit menjangkau bebrapa rumah karena ada di dalam desa. Misalnya untuk menjangkau sekolah Kecil sulit menggunakan sepeda motor hanya bisa di tempuh dengan jalan kaki. Sebagain besar kondisi jalan penghubung di dalam desa belum di perkeras atau diaspal. Jika musim penghujan biasanya di bulan oktober jalan menjadi becek dan sulit untuk dilalui. Air Bersih Ketersediaan air merupakan masalah yang sangat mendasar dan pelik di desa Tes. Sumber utama air bersih adalah mata air dan sumur gali. Pada musim kemarau, sumur gali kering dan penduduk harus berjalan cukup jauh ke sumber air yang tersedia yaitu mata air yang terdapat di 3 lokasi di sekitar lembah. Untuk menampung air hujan melalui bantuan dari LSM telah dibangun 2 embung yang tentunya tidak berfungsi pada saat musim kemarau. Jumlah prasarana air bersih sangat terbatas, dimana hanya terdapat 9 sumur gali, 3 mata air dan 2 instalasi pipa air yang menghubungkan mata air dengan penampungan-penampungan air yang lebih dekat dengan pemukiman penduduk. Sembilan buah sumur yang ada digunakan oleh 14 rumah tangga, sementara mata air digunakan oleh sisanya.
Tabel 4.4. No. 1. 2. 3. Prasarana Air Bersih di Desa Tes Jenis Prasarana Sumur gali Mata air Embung Jumlah 9 3 2 2 Jumlah RMT pengguna 14 146 (belum berfungsi) 115

4. Pipa air Sumber : Profil Desa Tes 2008

Listrik Sebagian penduduk telah menikmati listrik yang bersumber dari genset pembangkit yang penyediaanya dibantu oleh Departemen Sosial yang dapat dinikmati oleh sekitar 90 rumah tangga atau sekitar 60 persen dari jumlah rumah tangga yang ada. Listrik menyala dari jam 6 sore hingga jam 10 malam. Setiap rumah yang mendapatkan sambungan listrik membayar iuran Rp 95.000 setiap bulannya. Pengelolaan genset dan penagihan iuran dilakukan oleh masyarakat melalui kesepakatan bersama.

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 4

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Keadaan Sosial Ekonomi Aspek Sosial Apabila harus bersekolah anak-anak Desa Tes harus ke desa Napan dimana terdapat 1 buah sekolah tingkat SD (Sekolah Dasar), 1 buah sekolah untuk tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan belum ada untuk SLTA dan yang setingkat. Kedua desa harus saling berbagi fasilitas. Dengan jumlah penduduk 609 dan anak usia sekolah dasar (6-15 tahun) sebanyak 135 orang, sementara jarak dari Kantor Desa Tes ke Desa Napan sejauh 7 km. Bisa dibayangkan jarak yang harus ditempuh anakanak ke sekolah dengan topografi yang berbukit. Semua lokasi sekolah ada di Desa Napan, sehingga pemerintah Desa Tes berinisiatif untuk membangun Sekolah Dasar Kecil yang diperuntukkan khusus bagi siswasiswa dari kelas 1 hingga kelas 3. Setelah naik kelas ke kelas 4, maka semua siswa dialihkan ke SDN Tes yang berlokasi di Desa Napan. Sebenarnya sekolah ini sudah berdiri sejak tahun 1930an oleh yayasan katholik (YAPESA) dan kemudian di buat bangunan baru tahun 1980an di desa Napan tetapi tetap menggunakan SD Tes. Menurut Bapak Markus yang menjadi Kepala Sekolah SD kecil Tes, setelah ditinggalkan misionaris, pengelolaan sekolah ini mengalami kemunduran. Bangunan fisik Sekolah di Napan (SD, SMP dan Pendidikan Anak Usia Dini/PAUD) sudah bagus dan terdapat ruangan yang cukup untuk menampung siswa dan kondusif untuk belajar. Sungguh ironis jika dibandingkan dengan kondisi fisik sekolah yang ada di Desa Tes (SD Kecil).

Gambar 4-1. Kondisi Gedung SD Negeri Kecil di Desa Tes

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 5

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Gambar 4.1. menunjukkan kondisi yang sangat tidak kondusif untuk belajar. Bangunan yang tidak punya dinding dan berlantai tadah. Pembatas kelas hanya papan tulis. Dengan kondisi seperti ini apapun aktivitas dikelas sebelas bisa didengar oleh kelas lain. Sekolah Kecil ini hanya memiliki 3 ruangan. Kelas satu dan kelas dua berbagi ruangan dengan sistem shift, kelas 1 masuk pagi hingga jam 10 WIT kemudian kelas itu digunakan kembali oleh siswa kelas 2 hingga jam 13. 00 WIT. Ruang guru hanya satu, ruang kepala sekolah berbagi dengan ruang guru relawan. Guru dengan status PNS hanya satu orang dibantu 3 orang relawan wanita, seorang dari relawan ini mengajar dengan membawa anaknya yang masih balita. Bapak Markus menuturkan seolah-olah pemerintah menutup mata akan realitas sosial yang ada di Desa Tes. Sekolah-sekolah yang ada sekarang tidak satu pun dari pemerintah, dan lebih mengandalkan bantuan dari LSM lokal yang didukung Fund Rising dari luar negeri. Untuk saat ini mereka berharap pada LSM PLAN untuk penyediaan infrastruktur bangunan dan lainnya. Di Tahun 2007, sekolah kecil ini mendapat bantuan untuk pengadaan buku, meja, papan tulis dan kapur. Bantuan ini pun sangat terbatas.
Tabel 4.5. Kebutuhan dan Permasalan Pendidikan di Desa Tes
No 1. Kebutuhan masyarakat Bangunan sekolah yang kondusif buat belajar Permasalahan Membutuhkan tenaga yang cukup besar. Belum ada lembaga atau keinginan pemerintah untuk membuat sekolah. Rekomendasi Pembangunan fisik sekolah Keterangan Saat ini sedang mengajukan proposal ke PLAN. Masyarakat bersedia memberi sumbangan waktu dan tenaga untuk membangun sekolah Saat ini ada 3 orang tenaga relawan sebagai staf pengajar yang tidak diberi honor Buku adalah media untuk mempercepat tansfer ilmu pengetahuan.

2.

Tenaga pengajar

Dinas pendidikan belum menyediakan tenaga pengajar yang berkualitas Ketersediaan buku masih sangat terbatas. Hanya dimiliki oleh guru Tidak mendukung menumbuhkan minat baca

3,

Sarana pendukung lainnya seperti buku, kapur

Memperkuat status tenaga pengajar menyediakan tenaga pengajar PNS Kerjasama antara dinas pendidikan dan LSM lokal untuk menyediakan buku-buku pelajaran

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 6

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Sedangkan untuk SMP yang ada di Desa Napan baru berdiri tahun 2006 artinya baru berjalan 2 tahun. Dan sekolah ini dinamakan sekolah satu atap karena masih lingkungan dengan SD. Belum ada pendidikan non formal di desa ini hanya saja LSM yang bekerja di sini banyak memberikan pelatihan-pelatihan untuk pemberdayaan masyarakat, seperti kursus singkat budidaya pertanian dan membuat tenunan kain. Antusias masyarakat untuk menyekolahkan anak-anaknya begitu tinggi. Hal ini berangkat dari kesadaran masyarakat untuk memperbaiki taraf hidup. Bapak Donotus adalah seorang ayah yang mengkuliahkan anaknya hingga ke Kediri. Meskipun dari segi pembiayaan tersendat-sendat tetapi beliau menyakini sesatu yang dimulai dengan niat baik pasti akan diberi kemudahan. Beliau adalah potret orang tua yang menyadari pentingnya pendidikan sebagain bagian dari masa depan anak-anaknya. Ketersediaan fasilitas di desa ini sangat rendah. Satu desa hanya memiliki satu orang bidan dengan ketersediaan obat-obatan yang sangat terbatas. Di desa ini banyak dukun yang tidak terlatih untuk membantu menyembuhkan orang sakit dan persalinan. Menurut Martinus kepala desa di Desa Tes, pihak desa sudah mengeluarkan peraturan kepada warganya jika pada saat bersalin hanya dibantu oleh dukun yang tidak terlatih dikenakan sanksi anaknya tidak mendapat akta lahir dan didenda Rp. 270.000. hal ini dilakukan untuk menekan angka kematian ibu dan bayi. Pada tahun 2007, desa mengirimkan seluruh dukun untuk memperoleh pelatihan tentang cara menangani persalinan yang baik. Dan hasil dari pelatihan ini adalah mereka memiliki sertifikat yang diakui untuk membantu persalinan. Dukun terlatih ini tetap diawasi oleh bidan tersebut. Fasilitas kesehatan yang lengkap ada di ibukota kabupaten yaitu di Kefamenanu yang berjarak 25 km dari desa Tes. Di Kefamenanu tersedia puskesmas rujukan bagi orang-orang yang sakit parah. Di sekitar puskesmas ini terdapat 3 apotik yang berdekatan satu sama lain. Salah satu yang mengkhawatirkan adalah pola makan yang tidak seimbang yang menyebabkan kerawanan pangan, termasuk kurangnya asupan gizi non karbohidarat dan protein terutama bagi ibu dan anak. Gambaran tingkat kesejahteraan penduduk desa Tes tercermin juga dari kondisi tempat tinggal mereka. Dari 147 rumah yang ada, hanya 20 rumah berlantai, sisanya 127 rumah berlantai tanah. Rumah yang memiliki atap seng 65 rumah, sisanya beratap rumbia, illalang dan daun lontar.

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 7

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Aspek Ekonomi Mata pencaharian utama masyarakat desa Tes adalah pertanian, dari 145 RMT, 129 orang bermatapencaharian utama sebagai petani. Sementara sebagian lain bekerja sebagai PNS, membuka usaha warung dan mengerjakan kegiatan-kegiatan buruh dan keterampilan kayu dan tukang jahit.
Tabel 4.6. Mata Pencaharian dan Usaha yang Ditekuni
I. Mata Pencaharian Utama Petani PNS II. III. Dukun kampung Usaha Perdagangan Warung Usaha Keterampilan Tukang kayu Tukang batu Tukang jahit Tukang gali sumur Sumber : Profil Desa Tes 2008 Jumlah KK 129 2 2 6 9 23 11 1

Jenis pertanian yang diusahakan dalah pertanian lahan kering sesuai dengan keadaan lahan dan iklim di wilayah tersebut. Tanaman semusim hanya dapat diuasahakan pada musim hujan, yang berlangsung singkat antara bulan November sampai bulan Februari. Sementara sepanjang musim kemarau penduduk bergantung kepada persediaan hasil panen dari musim hujan. Tanaman yang disuahakan antara lain padi, jagung, umbi-umbian dan sayuran dimulai di awal musim hujan. Pola penyiapan dan pengolahan lahan pertanian masih menggunakan system tebas bakar. Pola ini digunakan didasari alasan biaya, waktu dan juga faktor kebiasaan yang telah berlangsung lama.
Tabel 4.7. Jenis Tanaman yang Diusahakan dan Luas Lahan
Luas Lahan (Ha) 45 76 10 5 1 4 1 50 50 Luas Ratarata/ RMT (Ha) 0.31 0.52 0.07 0.03 0.01 0.03 0.01 0.34 0.34

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Tanaman yang Diusahakan Padi Jagung Ubi-Ubian Buah-Buahan Sayuran Kelapa Kopi

Kemiri Jambu Mete Sumber : Profil Desa Tes 2008

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 8

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Pada musim kemarau, untuk menutupi pengeluaran rumah tangga masyarakat mengandalkan hasil dari tanaman-tanaman perkebunan seperti kelapa, kemiri dan jambu mete serta ternak yang dikelola seadanya. Beberapa keluarga juga memungut buah asam yang banyak tumbuh di desa. Dilihat dari luas tanaman yang dikelola (Tabel 4.7.), dan jumlah ternak yang ada di didesa (Tabel 4.8.) dibandingkan dengan jumlah RMT kelihatan bahwa produktivitas pertanian sangat rendah. Tanaman padi, misalnya, dari 45 Ha lahan yang dapat ditanami padi, diratakan dengan jumlah RMT, setiap rumah tangga hanya mengelola 0,31 Ha, yang ditanami hanya satu kali satu tahun. Rata-rata luas tanaman jagung per RMT adalah 0,52 Ha. Sementara tanaman keras yang utama, yaitu jambu mete dan kemiri diusahakan rata-rata seluas 0,34 per RMT. Angka ini tentunya sangat rendah, belum lagi apabila mempertimbangkan penyebarannya.
Tabel 4.8. Populasi, Pemilik Ternak dan Rata-rata jumlah Ternak per RMT No. Jenis Ternak Pemilik 72 75 41 2 Populasi 160 125 76 2 Rata-rata/RMT 1.10 0.86 0.52 0.01

1. Sapi 2. Babi 3. Kambing 4. Kuda Sumber : Profil Desa Tes 2008

.
Gambar 4-1. Penyiapan Lahan Pertanian dengan Pola Tebas Baka r

Sebaran kepemilikan lahan dapat dilihat pada Tabel. Seluruh RMT memiliki lahan pertanian. Sepuluh RMT memiliki lahan kurang dari 0,5 Ha, 13 RMT memiliki lahan antara 0,5-1 Ha, dan 122 orang memiliki lahan lebih dari 1 Ha. Indikator ini apabila dibandingkan dengan daerah intensif pertanian seperti pulau Jawa misalnya, akan menggambarkan tingkat kesejahteraan yang cukup baik. Namun dengan pola pertanian campuran

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 9

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

lahan kering yang hanya dapat ditanami pada musim hujan, dan dengan topografi berbukit-bukit kepemilikan lahan kurang dari 1 Ha dapat dikatakan tidak memadai.
Tabel 4.9. Kepemilikan Lahan Pertanian No. 1. 2. 3. 4. Kepemilikan Lahan Jumlah RMT 0 10 13 122 145

Tidak memiliki lahan <0,5 Ha 0,5-1 Ha >1Ha Total Sumber : Profil Desa Tes 2008

Gambaran ekonomi desa yang meliputi mata pencaharian, kepemilikan sumberdaya dan jenis-jenis komoditi yang diusahakan dengan berbagai karakteristik khas seperti iklim dan topografi, pola pertanian dan sosial budaya menghasilkan pola kehidupan (relasi sosial ekonomi) yang juga khas. Di desa ini tidak ada fasilitas apa pun yang menunjang kegiatan perekonomian mereka. Pasar hanya ada di Kefamenanu. Begitu juga dengan fasilitas seperti bank, koperasi dan yang menjual sarana produksi pertanian. Setelah panen, mereka akan pergi ke Kefamenanu untuk menggiling padi. Hasil panen ini biasanya mereka simpan hingga panen berikutnya. Dan setiap rumahtangga pasti memiliki ternak selain untuk upacara adat juga untuk keperluan makan. Berdasarkan pola dan aktivitas tersebut maka dapat disimpulkan bahwa mereka tidak terlalu tergantung terhadap pasar dan fasilitas yang lainnya. Karena hampir semua penduduk bermata pencaharian sebagai petani, selama musim kering dan menunggu panen biasanya penduduk dewasa laki-laki akan bermigrasi ke kota-kota terdekat seperti Atambua dan Kefamenanu untuk mencari nafkah sebagai buruh kasar, sementara wanita akan tinggal dirumah untuk melakukan tugas domestik dan merawat ternak. Sistem pertanian disini sangat mengandalkan air hujan. Berbagai cara diupayakan agar masalah air dapat teratasi. Baru-baru ini beberapa warga desa mendapat pelatihan dari YABIKU tentang pengairan tetes (irigasi tetes) untuk menghemat penggunaan air dan mengurangi penguapan. Dan juga pemanfaatan lahan disekitar saluran air permandian umum untuk digunakan menanam sayuran. Baru-baru ini telah diterapkan pemisahakan kawasan pertanian dan peternakan. Karena beberapa kasus menunjukkan hasil panen berkurang

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 10

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

karena ternak yang dipeliharan di lepas di dekat sawah dan kebun hingga merusak tanaman. Adapun jenis-jenis ternak yang diusahakan penduduk adalah ayam, kambing, babi , kuda dan sapi. Menurut penduduk hampir setiap rumahtangga memilki ternak babi karena memang digunakan untuk upacara adat. Sedangkan untuk penduduk yang memiliki sapi banyak digunakan sebagai tabungan untuk sekolah anak, dan juga untuk upacara adat dan hari besar keagamaan. Untuk bidang peternakan pada tahun 2007, ada bantuan kambing dari PLAN 20 ekor per kelompok yang dibina (semuanya berjumlah 6 kelompok ) kemudian ada bantuan kambing lagi dari YABIKU per rumahtangga (jumlah kurang tahu). Tetapi diawal ada wabah penyakit kambing dan sebanyak 167 ekor kambing mati. Hingga saat ini belum diketahui nama penyakit tersebut dan bagaimana cara mengatasinya. Budidaya ternak dilakukan dengan cara melepas di alam terbuka. Mereka belum pernah melakukan pengkandangan untuk ternak besar maupun ternak kecil. Termasuk babi mereka hanya menambatkan ke satu tiang, agar babi tersebut tidak pergi terlalu jauh. Dengan hadirkan LSM lokal dengan berbagai program yang dijalankan adalah penguatan sektor ekonomi rumahtangga. Mereka membuat dana bergulir yang dimanfaatkan untuk membuka usaha seperti mengembangkan peternakan mauapun pertanian. Selain itu, para ibu-ibu memiliki organisasi berbasis ekonomi seperti SPP (Simpan Pinjam Perempuan), UEP (Usaha Ekonomi Produktif). Kegiatan ekonomi tersebut antara lain : Koperasi dagang, organisasi tenun ikat, kelompok peternakan, kelompok tani perempuan dan lain-lain. Kelembagaan Masyarakat Desa Kelembagaan petani cukup kuat karena sudah membentuk kelompokkelompok sendiri. Kelompok ini digunakan untuk mengakses bantuan seperti bibit permodalan dan lebih mudah masuknya inovasi. Karena memang sudah menjadi bagi pemerintahan maupun donatur bahwa setiap bantuan hanya diberikan kepada kelompok yang sudah berdiri lebih dari setahun. Menurut Bapak Juventius Kabelen selaku camat menyatakan kesadaran untuk pembentukan kelompok merupakan suatu langkah yang positif. Karena tetesan bantuan lebih mudah dilakukan. Posisi tawar-menawar bagi petanai/peternak dan penenun menjadi lebih tinggi. Aspek kelembagaan ini juga dibuat sebagai upaya preventif ketika musim paceklik karena sebagain kelompok ini membuat simpan pinjam.

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 11

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Kelembagaan adat di desa ini sangat kental dan mengintervensi hampir seluruh kegiatan sehari-hari. Bahkan bisa dikatakan secara administrasi sistem pemerintahan tertinggi di desa ada pada kepala desa akan tetapi secara teknis ditentukan oleh adat. Satu hal yang unik di desa ini adalah pemilihan tua adat. tua adat yang terpilih boleh yang berasal dari penduduk pendatang. Menurut penduduk pemilihan tua adat bukan berdasakan turun temurun akan tetapi lebih sikap yang ditampilkan dalam keseharian. Dan hanya orang-orang bijak yang dipilih. Bijak dalam arti pintar menempatkan diri, mampu menjadi hakim perdamaian untuk menangani masalah masyarakat termasuk hingga ke masalah keluarga dan juga mampu memimpin upacara adat sudah turun temurun dilakukan. Di desa Tes terdapat beberapa fam antara lain yang termasuk rumpun Dawan adalah Sikki, Kolo, dan Nule. Suku-suku ini memiliki tingkatan tertentu di masyarakat. Suku Sikki adalah suku yang pertama kali tinggal di Desa Tes sehingga suku ini adalah suku pemilik tanah luas/tuan tanah. Suku Kolo dan suku Nule adalah suku pendatang yang menikahi penduduk lokal. Selain rumpun Dawan ada beberapa suku yang mendiami wilayah ini antara lain suku Flores, Batak dan pengungsin dari Timor Leste. Dan kesemua suku hidup membaur dan harmonis. Sekarang ini yang menjadi tua adat adalah orang Flores. Tua adat ini juga menjadi pengambil keputusan akan pembangunan desa. Misalnya jika LSM dan masayarakat ingin memperbaiki sumur atau melakukan pendalam agar air lebih banyak maka harus konsultasi dahulu ke tua adat. Apabila tua adat tidak berkenan maka pembangunan ini bisa dibatalkan. Dari hasil wawancara dengan beberapa penduduk, kekentalan adat saat ini kadang-kadang menghambat pengembangan sumber daya alam. Misalnya saja jika ingin memperbaiki sumber air agar pada musim kering mampu mencukupi kebutuhan air penduduk. Maka setiap rumahtangga diwajibkan membawa ternak kurban sebagai persembahan. Dan ini menyulitkan untuk masyarakat. Begitu pun seperti program yang telah dilakukan oleh PLAN dengan membuat Penambung Air Hujan (PAH) ini mewajibkan masyarakat membawa kurbanya. Jika ini tidak dipenuhi, masyarakat percaya pasti ada bencana karena alam tidak menerima. Pada saat wawancara saya menyempatkan untuk bertanya kepada ibu-ibu yang sedang mengambil air di sumur, mengapa sumur ini tidak diperdalam. Karena dengan keadaan yang dangkal air sudah banyak, mungkin jika diperdalam akan mampu memenuhi kebutuhan akan air di

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 12

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

musim kering. Tetapi ibu-ibu menjawab lebih baik mereka berjalan ke bukit untuk mengambil air daripada harus memperbaiki sumur. Karena diwajibkan untuk membawa ternak kurban tiap rumahtangga sementara tahun ini panen mereka termasuk gagal. Jadi banyak yang menjual ternaknya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari. Upacaranya sendiri banyak menghabiskan biaya untuk melakukan ritual. Selain menghambat ada beberapa yang mendukung mempercepat pelaksanaan program. Dengan dilibatkannya tua adat dalam program mampu memobilisasi masyarakat untuk sungguh-sungguh melakukan program tersebut. Karena masyarakat ini sangat tunduk terhadap tua adat. Peran penting yang masih umum ditaati dan berpengaruh posiitif terhadap kehidupan masyarakat adalah pengaturan hutan larangan yang berfungsi sebagai wilayah tangkapan air. Walaupun kelihatan meranggas, tetapi kelihatan ada beberapa bagian dari perbukitan yang tetap terjaga dan lebih padat vegetasinya dibanding lahan di sekitarnya. Pengenaan denda dan sangsi adapt yang cukup bagi siapa yang mengambil, memungut dan menebang pohon atau hasil hutan lain menjaga mata air di desa tetap menyediakan air walaupun pada musim kemarau yang panjang. Hubungan Sosial dengan Timor Leste Masyarakat di wilayah perbatasan Indonesia dan Timor Leste di wilayah Timor Tengah Utara umumnya Suku Dawan. Penduduk di bagian Indonesia dan dibagian Timor Leste di sepanjang perbatasan memiliki pada umumnya memiliki kaitan kekerabatan. Semenjak pemisahan diri menjadi negara sendiri, praktis ada hambatan mobilitas dan komunikasi masyarakat desa Tes dengan masyarakat di wilayah Timor Leste. Hubungan sosial, budaya dan ekonomi yang berlangsung normal tiba-tiba mengalami hambatan administrasi mengakibatkan adanya penyesuaian terhadap pola-pola hubungan antara ke dua wilayah. Setelah kemerdekaan Timor Leste di sepanjang perbatasan dibangun check point sebagai pintu perlintasan dan pengawasan antara kedua negara. Masyarakat dari kedua negara apabila harus bepergian ke bagian lain harus melaporkan diri dan melengkapi diri dengan surat-surat yang diperlukan sebagai bukti diri. Namun dengan system administrasi keimigrasian yang tidak fleksibel, kebutuhan dan kepentingan bepergian ke wilayah Timor Leste dan sebaliknya, baik untuk alasan sosial dan ekonomi tidak serta merta dapat terlaksana. Padahal kepentingan itu adakalanya sangat mendesak, semisal harus menghadiri upacara kematian kerabat, atau kelahiran sanak keluarga.

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 13

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Pada tingkat tetua adat dan masyarakat di kedua wilayah yang memiliki hubungan kekerabatan dan adat akhirnya muncul semacam kesepakatan dan cara-cara pertemuan di luar titik perlintasan yang resmi dan tidak membocorkannya kepada otoritas diperbatasan. Dampak lain dari pemisahan kedua wilayah adalah banyaknya pengungsi dari wilayah Timor Leste yang berlindung di wilayah Indonesia. Di desa Tes sendiri terdapat 39 RMT eks Timor Leste yang akhirnya memilih menjadi warga negara Indonesia. Mereka ini umumnya adalah masyarakat yang memiliki hubungan darah langsung dengan masyarakat di desa Tes.

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 14

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

4.1.2.

Desa (Kepulauan) Marore, Kabupaten Kepulauan Sangihe

Letak dan Keadaan Umum Lokasi Desa Marore meliputi dua pulau yaitu Pulau Marore dan Pulau Mamanuk, sebuah pulau yang tidak berpenghuni, yang sering menjadi tempat persinggahan sementara para nelayan pada musim mencari ikan. Desa ini terdiri dari 3 dusun dan satu anak kampung, yaitu pulau Mamanuk di atas. Sehingga dalam pembahasan mengenai desa Marore, selanjutnya pada bagian ini akan dipakai istilah pulau Marore yang mengacu pada pengertian yang sama dengan desa Marore. Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 78 tahun 2005 tgl 29/12/2005, gugusan pulau-pulau kecil terluar di Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara yaitu Pulau Marore, Pulau Kawio, dan Pulau Kawaluso. Gugusan pulaupulau ini terletak di perairan Laut Sulawesi, dan Pulau Marore dengan koordinat titik terluar 04 44 14 U dan 125 28 42 T berhadapan langsung dengan Pulau Balut, Philipina yang jarak tempuh dengan speedboat sekitar enam jam. Berkaitan dengan fungsi dan keberadaan pulau-pulau terluar ini, dibentuk Kecamatan Border Crossing Agrement Marore yang kemudian pada 12 Sebtember 2008 statusnya diresmikan menjadi kecamatan defenitif yang meliputi Desa Marore, Desa Kawio dan Desa Matutuang. Sebelum pemekaran, desa Matutuang adalah anak desa Marore, dan Desa Marore termasuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Tabukan Utara, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Provinsi Sulawesi Utara. Luas desa 2 sebelum pemekaran sekitar 3,16 km , yang mencakup pulau Marore 1,68 km2, pulau Mamanuk seluas 0,08 km2 (8 ha) dan pulau Matutuang seluas 1,40 km2. Pulau Marore yang membujur dari barat daya ke arah timur laut didominasi daerah perbukitan dan daerah pantai yang datar hanya sebagian kecil saja dari pulau ini. Daerah perbukitan bergelombang dengan ketinggian antara 0 dpl sampai dengan 110 dpl. Daerah perbukitan merupakan daerah perkebunan kelapa, cengkeh, mangga, jambu mete, bambu dan sebagainya yang tidak dikelola dengan baik. Permukiman penduduk terbanyak berada di daerah pantai barat daya dan sedikit di pantai timur. Di bagian tengah permukiman barat daya terdapat daerah rendah/rawa yang ditumbuhi pohon sagu. Hanya sebahagian kecil dari dataran di pulau Marore yang digunakan sebagai lahan pemukiman dan berbagai fasilitas kantor dan rumah dinas dari instansi
0 0

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 15

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

yang terkait dengan Border Crossing Agreement serta berbagai fasilitas umum lainnya. Demografi Jumlah penduduk desa Marore berdasarkan data tahun 2007 (sebelum pemekaran dengan Matutuang) adalah 862 jiwa dengan 219 kepala keluarga, mencakup pulau Marore 562 jiwa yang terdiri atas 135 KK dan penduduk pulau Matutuang sejumlah 300 jiwa. Pada tahun 2006 penduduk pulau Marore berjumlah 537 jiwa. Kenaikan jumlah penduduk pulau yang cukup besar ini disebabkan kepulangan penduduk asal desa Marore yang tinggal di Filipina. Berdasarkan data tahun 2006, mayoritas penduduk di pulau Marore adalah pemeluk agama Kristen Protestan, (525 jiwa) Katolik 8 Jiwa dan Islam 1 jiwa. Penduduk di pulau Marore yang bermata pencaharian sebagai petani/nelayan berkisar 80%, pegawai negeri sipil 10%, pengusaha 4% dan mata pencaharian lain-lain 6%. Tingkat pendidikan penduduk di pulau Marore sebagian besar lulusan SLTP dan hanya sebagian kecil lulusan SLTA dan Sarjana. Sarana dan Prasarana Sarana Pendukung Border Crossing Area (BCA) Sebagai pulau terluar yang merupakan Border Crossing Area (BCA) yang menangani para pelintas batas dari Indonesia ke Filipina dan sebaliknya, pulau Marore dilengkapi dengan berbagai prasarana kantor pendukung. Prasarana kantor yang ada antara lain Kantor Kepala Kampung Marore, Kantor Camat BCA (menjadi Camat Defenitif), Kantor Border Crossing Philipina, Dinas Perhubungan & Syahbandar, Bea Cukai, Imigrasi dan Pos TNI-AL, KORAMIL, Kepolisian. Tugas dan fungsi instansi yang ditempatkan yang disebutkan diatas adalah untuk mengawasi lalu lintas manusia dan barang yang keluar dari dan masuk ke wilayah Republik Indonesia. Selain itu pemerintah juga membentuk satuan Hansip dan Wanra yang direkrut dari masyarakat setempat untuk memperkuat pelaksanaan fungsi Hankam di Pulau Marore. Aksesibilitas dan Sarana Transportasi Pulau Marore yang berjarak sekitar 206 mil (laut) dari Manado dan 75 mil dari Tahuna (Ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe), dapat dicapai dengan kapal perintis (KM Daraki Nusa, KM Daya Sakti) dengan jadwal dua kali sebulan yang berangkat dari Bitung dengan rute Bitung ke Tahuna P. Lipang P. Kawaluso P. Matutuang P. Kawio P. Marore. Perjalanan ditempuh sekitar 20 jam yang tergantung dengan lamanya

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 16

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

penurunan penumpang dan barang di setiap pulau. Alternatif lain adalah naik pesawat udara dua kali seminggu dari Manado ke Tahuna atau naik kapal laut cepat setiap hari, kecuali Minggu, berangkat malam hari dengan lama perjalanan sekitar 12 jam, kemudian dari Tahuna perjalanan dilanjutkan dengan kapal perintis dari Bitung atau dengan kapal Fuso/panboat dengan kapasitas sekitar 15 - 50 orang dengan waktu tempuh sekitar 8-9 jam. Pelayaran dapat dilakukan jika cuaca baik sekitar bulan April Agustus. Pada saat cuaca tidak bersahabat dan laut bergelombang besar, pelayaran hanya dapat dilakukan oleh kapal berbobot diatas 1.000 DWT.

Gambar 4-3 : Alat Transportasi Masyarakat Di Marore

Terdapat dermaga tempat berlabuh yang mempunyai kedalaman 8,75 meter saat pasang tertinggi dan 6,30 meter saat surut terendah. Dermaga ini hanya bisa disinggahi oleh kapal-kapal kecil dan kapal nelayan. Kapal yang cukup besar harus buang sauh sekitar 500 meter dari dermaga dan penumpang dan barang didiangkut dengan menggunakan perahu-perahu nelayan. Untuk menghubungkan lokasi-lokasi pemukiman terdapat jalan darat yang terdapat sepanjang 300 meter dengan bahan jalan beton cor, yang terdiri dari jalan di permukiman barat di tengah kampung dengan lebar 3,50 meter, jalan lingkungan dengan lebar 2,5 meter dan jalan penghubung dari permukiman barat ke permukiman timur selebar 2,00 meter. Kondisi jalan penghubung dari permukiman barat ke timur sebagian rusak berat karena tergerus oleh ombak dan sebagian lagi rusak sedang, yang harus ditanggulangi. Sarana-Prasarana Pendidikan dan Kesehatan dan Sosial Lainnya Fasilitas umum dan sosial yang terdapat di pulau Marore terdiri dari fasilitas pendidikan berupa satu buah TK, satu buah SD Negeri Marore dan satu buah SLTP Negeri Tabukan Utara. Fasilitas kesehatan adalah berupa

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 17

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Puskesmas pembantu dengan satu orang tenaga medis. Keberadaan fasilitas kesehatan ini sangat minim karena persediaan obat-obatan sangat kurang, sehingga untuk kasus penyakit tertentu/berat pengobatannya harus dirujuk ke RSU di Kota Tahuna. Di Marore terdapat satu buah fasilitas peribadatan gereja. Sehubungan dengan ketersediaan fasilitas perdagangan, di pulau Marore terdapat empat buah kios penjualan yang menyediakan kebutuhan sehari-hari yang dikelola oleh KUD dan perorangan. Sumber Air dan Listrik Sumber air minum yaitu dari lima buah sumur dangkal yang terletak di kaki bukit, satu mata air yang terletak di punggung bukit dan 21 unit tampungan air hujan. Sumur dangkal lainnya yang tersebar di permukiman tidak digunakan untuk air bersih karena kesadahannya tinggi sehingga tidak layak minum. Umumnya (sekitar 75 % ) rumah tangga mempunyai sumur dangkal untuk MCK. Bentuk sumur dangkal bulat dan persegi. Kedalaman air di sumur berkisar antara 1,0 m sampai dengan 3,0 m. Kedalaman muka air dari muka tanah sekitar 1,50 m. Sementara kebutuhan listrik pulau Marore dipenuhi oleh listrik PLN yang menggunakan genset pembangkit yang hanya dinyalakan pada malam hari dari jam 6 sore hingga jam 12 malam.

Keadaan Sosial Ekonomi


Aspek Sosial: Kesejahteraan Secara umum berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan penduduk, kondisi sosial masyarakat pulau Marore dicirikan dengan kondisi keterbatasan akses terhadap pelayanan sosial ekonomi seperti pendidikan, kesehatan, listrik, transportasi dan perdagangan. Tingkat kesejahateraan penduduk pulau Marore secara umum lebih rendah dari wilayah lain di Kabupaten Kepulauan Sangihe, terutama yang tinggal di wilayah pulau utama Pulau Sangihe. Hal ini setidaknya ditunjukkan oleh jumlah keluarga miskin yang mendapatkan bantuan program penanggulangan kemiskinan, seperti BLT dan raskin dan jamkesmas, yaitu 60 keluarga dari 135 kepala keluarga di pulau Marore. Ketertinggalan dan kesenjangan pembangunan dengan wilayah lain tercermin juga dari keluhan masyarakat yang merasa ditelantarkan oleh Pemerintah Kabupaten Sangihe. Masyarakat Marore merasa pemerintah (Pemkab Sangihe) kurang berupaya meningkatkan derajat ekonomi di daerah perbatasan ini. Beberapa persoalan yang terungkap paling tidak

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 18

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

dijadikan alasan dibalik keluhan dan kekecewaan masyarakat di pulau Marore. Usaha penjualan keripik maupun abon, sebenarnya dapat menunjang perekonomian di Marore, tetapi tidak ada upaya dan program membantu pengembangan dan pemasaran. Saluran telepon yang hingga kini dalam keadaan rusak dan hanya dibiarkan oleh Pemerintah Sangihe. Ketersediaan alat-alat penunjang pendidikan seperti buku, papan tulis dan kapur tidak sangat terbatas. Keterbatasan obat dan sarana lain di puskesmas pembantu sangat minim. Termasuk juga penanganan 3 orang penderita kusta yang ada di pulau Marore yang dilakukan seadanya oleh tenaga 3 perawat kesehatan yang ada. Mata Pencaharian Sebagian besar dari penduduk di pulau Marore bekerja sebagai nelayan. Hal ini didasarkan atas kondisi geografis wilayahnya yang merupakan daerah kepulauan. Namun demikian terdapat juga masyarakat yang memiliki mata pencaharian sebagai petani. Nelayan merupakan pekerjaan yang utama bagi penduduk di Kampung Marore dalam membiayai kebutuhan keluarga dan kebutuhan pendidikan. Penangkapan ikan oleh para nelayan dilakukan oleh suatu tumah tangga sendiri dengan alat-alat yang disiapkan sendiri walaupun ada aktifitas-aktifitas penangkapan ikan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok. Mata pencaharian sampingan penduduk Kampung Marore adalah berkebun dengan tanaman kelapa, cengkeh, mangga, jambu mete, dan bambu yang umumnya ditanam di perbukitan, sementara lahan datar ada hanya ditanami dengan umbi-umbian. Di samping itu, ada pula usaha lain di bidang peternakan yaitu beternak ayam, kambing, babi, dan sebagainya, tetapi hanya sebagai hewan peliharaan saja. Walaupun penduduk memiliki mata pencaharian yang bervariasi seperti nelayan, petani, pegawai negeri, buruh, dan lain-lain. Namun demikian masyarakat Kampung Marore memiliki suatu kekhususan yakni masyarakatnya digolongkan masyarakat nelayan. Hubungan Sosial dengan Filipina Jauh sebelum perjanjian lintas batas antara pemerintah Indonesia dengan Filipina dan kemerdekaan yang dicapai oleh kedua negara, penduduk di kepulauan Sangihe dan Talaud menjalin hubungan dengan penduduk di Kepulauan Filipina bagian Selatan khususnya di Pulau Balut, Pulau saranggani, dan Pulau Mindanau. Hubungan ini dapat terjadi karena faktor geografis yakni jarak yang berdekatan antara beberapa pulau di perbatasan sangihe dan Talaud dengan Filipina bagian selatan seperti

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 19

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

antara Pulau Marore dengan Pulau Balut dan Saranggani, antara Pulau Mianggas dengan St.Agustin yang berjarak 40 mil. Sedangkan jarak Pulau Marore dan Miangas dengan ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe kurang lebih 3-4 kali lebih jauh. Selain faktor geografis, hubungan lintas batas antara kedua penduduk di daerah perbatasan Indonesia dan Filipina disebabkan kepentingan pemasaran hasil perikanan dan pertanian. Hasil pertanian khususnya kopra dijual ke Filipina bagian selatan melalui sistem barter dengan barang-barang keperluan rumah tangga lainnya. Faktor lain, kondisi tanah pulau-pulau di wilayah ini terdiri atas tanah karang dan berbatu sehingga gersang dan kurang subur. Pada musim angin utara dan barat yang dibarengi dengan ombak besar dan arus yang deras, pada musim angin selatan yang diikuti dengan musim kemarau mengakibatkan penduduk di perbatasan terutama di pulau Miangas, Marore, dan Kawio mengalami kekurangan bahan makanan. Untuk mengatasi hal itu,mereka mengusahakan makanan dari luar. Akibat intensitas hubungan di wilayah perbatasan kedua negara berlangsung perkawinan antara penduduk warga negara Indonesia dengan penduduk warga negara Filipina yang berada di pulau-pulau perbatasan sehingga terjalin hubungan berdasarkan ikatan kekeluargaan. Sehingga umum terjadi saling berkunjung di tempat-tempat bersejarah seperti makam pahlawan dan nenek moyang serta leluhur mereka di kedua negara. Dari beberapa faktor yang melatarbelakangi saling berkunjungnya penduduk di wilayah Sangihe dan Talaud dengan Filipina bagian Selatan, mengakibatkan ada penduduk yang berasal dari Sangihe dan Talaud yang telah menetap baik secara tetap maupun musiman terutama di Pulau Balut dan Pulau Saranggani. Berdasarkan data tahun data tahun 1980, kurang lebih 40.000 WNI menetap di wilayah Mindanao, belum termasuk pelintas batas musiman. Pada tahun 2005, diperkirakan sekitar 25.000 WNI menetap di wilayah tersebut, dan banyak dari mereka yang telah memiliki anak dan cucu hasil perkawinan dengan penduduk Mindanao dan pulau-pulau perbatasan. Ketergantungan Ekonomi dengan Filipina Perairan di sekitar Pulau Marore dan pulau-pulau sekitar merupakan perairan yang kaya akan berbagaijenis ikan dan hasil laut yang bernilai tinggi seperti cakalang, tuna, ikan batu, ikan bobara, kerapu, dan baronang. Namun Transaksi hasil perikanan nelayan di wilayah

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 20

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

perbatasan sepenuhnya bergantung dengan penampung dari Filipina. sepenuhnya dikuasai Filipina. Tidak satupun pengusaha perikanan berasal dari Indonesia yang melirik hasil tanggapan ikan nelayan di Pulau Marore. Transaksi penjualan ikan ini sudah berlangsung bertahun-tahun, sejak pulau Marore ditetapkan sebagai pulau BCA (Border Crossing Agremeent). Harga ditentukan oleh penampung, nelayan Filipina yang datang seminggu dua hingga tiga kali dengan membayar ikan segar seperti jenis ikan bobara, kerapu, dan baronang dengan harga paling tinggi per kg Rp 6000-8000. Umumnya nelayan Filipina itu berasal dari Filipina Selatan, Pulau Balut dan Batu Ganding. Sebab, jarak tempuh berlayar dari Filipina Selatan ke Pulau Marore 3-4 jam, sedangkan Marore ke Tahuna, Ibukota Kabupaten Kepulauan Sangihe bisa mencapai 8-9 jam dengan perahu nelayan pamboat dalam keadaan cuaca yang baik. Kesulitan lain yang dialami nelayan di Marore tidak memiliki tempat penampung ikan hasil tangkapan, sekalipun pemerintah Provinsi Sulawesi Utara telah berupaya membantu membangun gudang pendingin, tetapi, ikan yang disimpan dalam gudang tersebut tak bisa bertahan lama karena es dalam gudang itu cepat sekali mencair, paling lama daya tahannya 5 jam. Sementara es yang dibawah oleh nelayan Filipina bisa bertahan sampai 15 jam, dan es itupun diberikan cuma-cuma kepada nelayan Marore. Menurut Dinas Perikanan Sulawesi Utara, besar kemungkinan para nelayan Filipina yang beroperasi membeli hasil tanggapan nelayan di Marore tidak dilengkapi izin. Karena, terhitung sejak Desember 2005 lalu hubungan kerjasama Filipina dan Indonesia sektor penangkapan ikan sudah berakhir. Namun permasalahannya apabila nelayan Filipina dilarang dalam kegiatan transaksi perikanan di Pulau Marore, dampak buruknya hasil tanggapan ikan oleh nelayan di Pulau Marore sulit dipasarkan. Sebab, selama ini para pengusaha perikanan Indonesia sendiri terkesan tak berminat membeli ikan di nelayan pulau itu. Sebab disamping jaraknya jauh, jumlahnyapun terbatas.

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 21

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

4.1.3.

Desa Mapur, Kabupaten Bintan

Letak dan Keadaan Umu Lokasi Desa yang dipilih sebagai lokasi penelitian di Kepulauan Riau adalah desa Mapur. Letaknya di gugusan luar kepulauan Bintan dan adanya keterbatasan sarana transportasi menjadi pertimbangan. Selain itu, dari data yang diperoleh dari Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa kepulauan Riau, desa ini termasuk desa kategori desa tertinggal dan masuk juga dalam program Percepatan Pembangunan Desa/Kelurahan tertinggal tahun 2006, PNPM 2007/2008 dan dikategorikan sebagai pulau/desa perbatasan.Desa Mapur terletak di gugus luar Kepulauan Bintan yang berbatasan ke Utara berbatasan dengan Laut Cina Selatan, ke Selatan berbatasan dengan Laut Kelong, sebelah Timur dengan Laut Cina Selatan, dan sebelah Barat dengan Laut Kawal. Desa ini merupakan gugus kepulauan yang terdiri dari 16 pulau dengan luas total daratan sekitar 44 km2 (4.400 Ha). Hanya dua diantara gugusan pulau ini dihuni oleh penduduk desa, yaitu Pulau Mapur dan Pulau Merapas. Pulau Mapur merupakan pulau terbesar mencakup lebih dari 95 % luas wilayah daratan Desa Mapur, pulau Merapas yang dihuni oleh 5 KK merupakan pulau memiliki luas hanya sepersepuluh luas pulau Mapur. Selebihnya adalah pulau-pulau kecil yang masing-masing seluas 100 m2 hingga 1 Ha.
Tabel 4.10. Pulau-pulau di Kepulauan Desa Mapur
No. 1. 2. Nama Pulau P. Mapur P. Merapas Keterangan Pusat pemukiman Berpenghuni (<5% penduduk desa); Pengambilan telur penyu Tidak dihuni; Kebun kelapa Tidak dihuni Tidak dihuni Tidak dihuni Tidak dihuni Tidak dihuni ;Pengambilan telur penyu Tidak dihuni Tidak dihuni Tidak dihuni ; Atol karang Tidak dihuni Tidak dihuni Tidak dihuni; Pengambilan telur penyu Tidak dihuni; Pengambilan telur penyu Tidak dihuni

3. P. Bayan 4. P. Air 5. P. Sentut 6. P. Jeraha 7. P. Larang 8. P. Putang 9. P. Berias 10. P. Malang Elang 11. P. Melibun 12. P. Malang Nangka 13. P. Sama 14. P. Busung Mentigi (P. Dalas) 15. P. Ledang 16. P. Gegal Sumber : Wawancara Lapangan

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 22

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Demografi Wilayah Desa Mapur dibagi dalam 2 RW (Kampung Bebak dan kampung Nendyang), dan 6 RT. Berdasarkan data desa tahun 2007, jumlah penduduk desa Mapur sebanyak 802 orang, terdiri dari 414 orang laki-laki dan 388 orang dengan jumlah rumah tangga 180. Pada tahun 2008, jumlah penduduk desa Mapur mengalami peningkatan menjadi 846 orang, terdiri dari laki-laki 450 orang, perempuan 396 orang, dengan jumlah rumah tangga 211. Perkembangan jumlah penduduk ini, selain disebabkan oleh kelahiran, terutama akibat perpindahan penduduk ke desa Mapur. Perpindahan penduduk terdiri dari penduduk Mapur yang pindah di luar desa kembali ke desa Mapur, penduduk pendatang dan juga adanya penduduk yang tidak terdata pada tahun sebelumnya, terutama penduduk yang bermukim sementara di luar desa. Mereka ini terutama penduduk yang bekerja dan sedang menempuh pendidikan di kota-kota di Pulau Bintan, seperti di Kijang, Tanjung Pinang dan kota lainnya.

Tabel

4.11. Perkembangan Jumlah Penduduk Desa Mapur Tahun 2007-2008

Tahun 2007*) 2008**) 414 450

Laki-laki (jiwa) 388 396

Perempuan (Jiwa)

Jumlah (Jiwa) 802 846

Jumlah KK 180 211

*) Keadaan Januari 2007 **) Keadaan April 2008

Bila dilihat dari struktur usia , desa Mapur didominasi oleh penduduk usia muda. Penduduk yang berusia dibawah 10 tahun mencapai 28,37 persen dari seluruh penduduk, penduduk berusia10-17 tahun mencapai 15,01 persen, usia 18-25 tahun 10,28 persen dan penduduk berusia 26-40 tahun mencakup 27,66 persen. Sementara penduduk yang berusia lebih dari 40 tahun hanya sekitar 18,68 persen dari jumlah penduduk desa Mapur. Hal ini berarti ke depannya, akan terjadi pertumbuhan penduduk yang pesat di desa Mapur. Implikasinya, akan ada tekanan yang lebih besar pada daya dukung wilayah desa kepulauan ini.

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 23

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Tabel 4.12. No. 1. 2. 3. 4. 5.

Struktur Penduduk Berdasarkan Usia Desa Mapur Laki-laki 132 62 43 133 80 450 Perempuan 108 65 44 101 78 396 Jumlah (Jiwa) 240 127 87 234 158 846 Persentase (%) 28.37 15.01 10.28 27.66 18.68 100.00

Umur (Tahun) 0-9 10 - 17 18 - 25 26 - 40 > 40 Jumlah

Sumber : Data Desa Mapur, 2008

Salah satu karakteristik yang umum ditemui pada desa tertinggal adalah tingkat pendidikan yang rendah dari penduduknya. Hal ini juga ditemui di desa Mapur. Dari pendataan penduduk usia 18-40 tahun, sekitar 79 orang tidak sekolah, atau 24,61 persen dari kelompok usia 18-40 tahun dan 9,34 persen dari jumlah penduduk desa, dan 39 orang diantaranya masih buta huruf. Sementara yang tidak tamat SD mencakup 13,08 persen dari kelompok usia 18-40 tahun dan 4,96 persen dari jumlah penduduk. Penduduk usia 18-40 tahun yang tamat SD sebanyak 160 orang (49,84 persen) atau 18,91 persen dari jumlah penduduk desa. Penduduk usia 18-40 tahun yang tamat SMP 10 orang (3,12 persen), 1,18 persen dari jumlah penduduk dan tamat SLTA 30 orang (9,35 persen) atau 3,55 persen dari jumlah penduduk.
Tabel 4.13. Struktur Penduduk Perdasarkan Tingkat Pendidikan (Usia 18-40 Tahun) Desa Mapur No. Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) 79 42 160 10 30 321 (%) thd Usia 18-40 Tahun 24.61 13.08 49.84 3.12 9.35 100.00 (%) thd Jlh. Penduduk 9.34 4.96 18.91 1.18 3.55 37.94

1. 2. 3. 5. 7.

Tidak sekolah/Buta Huruf Tidak Tamat SD Tamat SD Tamat SLTP Tamat SLTA Jumlah Usia 18-40 Tahun

Sumber : Data Desa Mapur, 2008

Layaknya wilayah kepulauan, mata pencaharian utama penduduk desa Mapur adalah sektor perikanan. Sebanyak 199 rumah tangga, 94,31 persen, bekerja sebagai nelayan, 5 rumah tangga (3,32 persen) bekerja sebagai petani, 7 rumah tangga (3,32 persen) bermatapencaharian dagang, 4 RMT (1,90 persen) buruh/tukang, sisanya 5 RMT (2,37 persen) merupakan PNS. Jumlah RMT terdata menurut mata pencaharian adalah 220, atau 104,31 persen dari jumlah rumah tangga, 211 rumah tangga,

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 24

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

hal ini sebagai menunjukkan adanya sumber mata pencaharian sampingan yang ditekuni oleh rumah tangga. Rumah tangga tangga petani dan pedagang umumnya juga melakukan kegiatan perikanan (nelayan).
Tabel 4.14. Struktur Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Desa Mapur No. 1 2 3 4 5 6 Mata Pencaharian Nelayan Petani Dagang Buruh/Tukang PNS Lain-Lain Jumlah Jumlah (RMT) 199 5 7 4 5 220 Persentase (%) thd Jumlah RMT 94.31 2.37 3.32 1.90 2.37 104.27

Sumber: Data Desa Mapur, 2008

Desa Mapur dihuni oleh berbagai kelompok etnis. Dari data tahun 2007, terdapat 9 kelompok etnis yang mendiami desa kepulauan ini, yaitu Melayu, Bugis, Flores, Buton, Jawa, Minang, Batak, Bawean dan Tionghoa. Mayoritas penduduk adalah etnis Melayu, mencakup 66,08 persen dari jumlah penduduk tahun 2007. Etnis kedua terbanyak adalah Bugis mencakup 12,29 persen dari penduduk desa, diikuti oleh Jawa, 7,21 persen, Bawean 5,08 persen, Buton 3,55 persen, Flores 2,84 persen, Tionghoa, 1,54 persen dan Batak 0,35 persen.
Tabel 4.15. Struktur Penduduk Berdasarkan Etnis Desa Mapur No Etnis . 1 Melayu 2 3 4 5 6 7 8 9 Bugis Flores Buton Jawa Minang Batak Bawean Tionghoa Jumlah Laki-Laki 290 52 19 26 24 5 2 22 9 449 Perempuan 269 52 5 4 37 4 1 21 4 397 Jumlah (Jiwa) 559 104 24 30 61 9 3 43 13 846 Persentase 66.08 12.29 2.84 3.55 7.21 1.06 0.35 5.08 1.54 100.00

Sumber : Data Desa Mapur, 2008

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 25

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Sementara, dilihat dari agama yang dianut oleh penduduk desa, 97,63 persen menganut agama Islam, 1,87 persen beragama Budha (etnis Tionghoa), dan 0,5 persen penganut Katholik. Secara umum, hubungan sosial diantara masyarakat dari berbagai etnis dan agama di desa ini cukup baik.
Tabel 4.16. Struktur Penduduk Berdasarkan Agama Desa Mapur No. 1. 2. 3. 4. 5. Agama Islam Kristen Katolik Kristen Protestan Budha Hindu Jumlah (Jiwa) 783 4 15 802 Persentase (%) 97.63 0.50 1.87 100.00

Sumber: Data desa Mapur, Januari 2007

Sarana dan Prasarana


Aksesibilitas dan Sarana Transportasi Desa Mapur berjarak sekitar 16 mil laut dari Kijang, ibukota kecamatan Bintan Timur, yang merupakan pusat kegiatan administrasi dan ekonomi terdekat. Tidak ada sarana transportasi rutin yang menghubungkan desa dengan Kijang atau dengan wilayah pulau-pulau sekitarnya. Untuk menuju desa, hanya dapat ditempuh dengan menumpang pompong (sejenis perahu bermotor kecil) yang kebetulan hendak menuju desa untuk membawa pedagang dan nelayan yang baru belanja atau menjual hasil tangkapan di Kijang. Kalau tidak harus dengan mencarter pompong dengan harga yang cukup mahal antara 500-800 ribu pulang pergi. Dan apabila ombak sedang tinggi, tidak ada perahu yang berani mengarungi laut menuju desa. Ketiadaan sarana transportasi yang rutin dan akibatnya, tingginya biaya transportasi, merupakan hambatan mobilitas penduduk desa Mapur. Hal ini mengakibatkan lebih mahalnya barang-barang kebutuhan masyarakat yang didatangkan dari luar desa. Bagi penduduk desa yang ingin bepergian ke Kijang, penduduk menyewa pompong secara berkelompok atau menumpang perahu yang sedang membawa ikan untuk dijual ke tauke di sekitar Kijang. Biasanya mereka dikenai tarif antara Rp 20-30 ribu sekali jalan. Berkaitan dengan keterbatasan sarana transportasi ini, penduduk mengusulkan kepada pemerintah kabupaten Bintan dan kepada PNPM penyediaan pompong.

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 26

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Sebagai pelabuhan utama, di desa Mapur (di Pulau Mapur), terdapat jalur tambatan perahu sepanjang 500 meter menjorok dari bibir pantai menuju gapura sebagai gerbang utama desa. Tetapi pada masing masing cluster rumah yang ada dipantai memiliki tambatan atau labuhan sendiri-sendiri.

Gambar 4-4. Pemukiman Masyarakat Nelayan Desa Mapur Menjorok ke Pantai dengan Lajur Tambatan Perahu

Sementara di dalam pulau utama, pulau Mapur, penduduk dengan cukup mudah menempuh dari satu sisi pulau ke sisi lainnya dengan berjalan kaki. Namun demikian terdapat juga 12 sepeda motor dan 40 sepeda di desa. Kedua jenis sarana ini dipakai juga sebagai sarana transportasi lanjutan di daratan pulau Bintan dengan menumpankannya pada perahu menuju Kijang. Sarana- Prasarana Pendidikan dan Kesehatan dan Sosial Lainnya Sarana pendidikan yang ada di desa Mapur 1 SD Negeri, dan 1 SMP terbuka. Sebagian penduduk yang kemampuan ekonominya relatif lebih baik, memilih menyekolahkan anak setelah lulus SD ke Kijang, ibukota kecamatan Bintan Timur, yang berjarak sekitar 16 mil laut. Penduduk yang kurang mampu akan menyekolahkan anaknya ke SMP terbuka yang ada di desa. Untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTA, tidak ada pilihan selain menyekolahkan anaknya ke Kijang. Anak yang sekolah di Kijang atau di kota sekitarnya harus menetap di lokasi sekitar sekolah, karena jarak dan tidak ada sarana transportasi yang rutin ke wilayah kepulauan Mapur. Sebagai pusat pelayanan kesehatan desa, terdapat 1 puskemas pembantu, yang baru berdiri kurang dari satu tahun yang kadang

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 27

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

dikunjungi dokter PTT secara tidak teratur. Pelayanan kesehatan di desa pada dasarnya berpusat pada kehadiran seorang bidan desa dan poliklinik desa (polindes) yang melayani tidak hanya masalah kesehatan ibu dan anak tetapi juga masalah-masalah kesehatan lainnya. Sarana pelayanan kesehatan lain adalah pelayanan pos yandu yang dikelola oleh wanita desa sendiri dengan bimbingan dari bidan desa.

Gambar 4-5. Bangunan Pos Yandu Nyiur Melambai di Desa Mapur

Sarana Perdagangan Untuk mendapatkan kebutuhan barang sehari-hari, di desa terdapat 7 warung yang menjual berbagai barang dari kebutuhan rumah tangga, bahan bakar bahkan air galon yang semuanya didatangkan dari Kijang. Sesekali datang juga pedagang keliling yang menjajakan berbagai keperluan seperti pakaian, peralatan dapur dan barang lain. Dalam skala yang kecil terdapat 2-3 orang nelayan yang cukup sejahtera yang bertindak sebagai tengkulak bagi hasil-hasil perikanan dari nelayan kecil. Kelembagaan Masyarakat Desa Kelembagaan Sosial Kemasyarakatan Kelembagaan sosial yang cukup kuat dalam kehidupan sosial masyarakat desa adalah pemerintahan desa. Selain itu terdapat Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Badan Perwakilan desa yang menjadi bagian dari system pemerintahan desa. Secara umum tingkat partisipasi masyarakat desa dalam kegiatan sosial dan perencanaan pengembangan desa cukup tinggi. Dalam perencanaan dan pengambilan keputusan program desa dilakukan juga rapat yang melibatkan tidak

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 28

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

hanya pengurus BPD masyarakat desa.

dan

LPMD

tetapi

juga

menyertakan

utusan

Salah satunya, berkaitan dengan keluhan dan keresahan masyarakat soal pengambilan kayu hutan dan mangrove yang telah sampai pada tingkat mengkhawatirkan, melalui rapat desa yang dirumuskan dalam rapat lembaga pemerintahan desa telah dikeluarkan Surat Keputusan Kepala Desa yang melarang penebangan kayu baik oleh pengusaha ataupun perorangan. Pengelolaan genset sebagai sumber listrik penduduk desa berjalan dengan cukup baik melalui pengelolaan masyarakat desa. Melalui rapat desa telah dibentuk pengurus yang bertugas dalam pengelolaan operasi genset bantuan dari PT. Aneka Tambang. Tahun 2006, oleh PT. Aneka Tambang memberikan bantuan genset untuk sumber tenaga listrik di desa Mapur berdaya sekitar 5.000 Volt Amperet (Watt), yang dapat dapat menjangkau 93 rumah (KK) dengan daya masing-masing rumah maksimal sekitar 450 Watt yang beroperasi dari pukul 18.00 sampai 22.00. Tahun 2008, oleh PT. Aneka Tambang daya genset ditambah menjadi 10.000 watt dan dapat mengalirkan tenaga listrik untuk 125 pelanggan (rumah tangga) dengan daya sekitar 4 ampere (sekitar 900 watt). Sekitar 13 rumah yang tidak mampu membayar iuran mendapat sambungan dari pelanggan,sehingga total genset melayani 138 rumah. Setiap rumah dikenakan iuran listrik sebesar Rp 93.000 per bulannya. Pengurus pengelola genset terdiri dari ketua, bendahara dan operator sebagai pengurus tetap dan tenaga pembantu teknis yang tenaganya dapat dipakai sewaktu-waktu. Ketua bertanggung jawab terhadap pengelolaan dan bertugas dalam pembelian bahan bakar. Bendahara mengurus penagihan iuran, operator bertugas untuk menghidupkan dan mematikan mesin setiap waktu yang telah disepakati dan memantau jalannya mesin, dan tenaga pembantu teknis membantu operator dalam pemeliharaan dan perbaikan mesin apabila dibutuhkan. Setiap bulannya, pengurus mendapatkan honor yang jumlah ala kadarnya, ketua mendapat honor Rp 100.000, bendahara Rp 100.000, operator karena bertugas lebih banyak mendapatkan honor Rp 300.000, dan pembantu teknis diberikan honor berdasarkan keperluan sesuai dengan bantuan yang diberikan. Namun ditemui juga kasus ,dimana proses pelibatan masyarakat yang cukup baik tidak diikuti pengambilan keputusan yang mencerminkan kebutuhan masyarakat desa. Dalam pembangunan sarana pompa dan penampungan air bersih, bantuan dari program COREMAP tahun 2007, penentuan lokasi sumber air bersih pada lokasi dimana air berasa payau membuat dana pembangunan intalasi ini mubazir karena air tidak dapat

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 29

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

dimanfaatkan masyarakat untuk air minum. Padahal di desa terdapat titik-titik sumber air tawar yang berjarak tidak terlalu jauh dari pusat pemukiman. Kelembagaan masyarkat lain yang terdapat di desa adalah kelompok pengajian, himpunan nelayan dan pengurus mesjid. Kelembagaan Ekonomi Tidak terdapat pasar di desa, pasar terdekat berada di Kijang,ibukota kecamatan Bintan Timur. Semua kebutuhan barang didatangkan dari Kijang. Dengan adanya tambahan biaya transportasi yang cukup besar mengakibatkan harga-harga di desa lebih tinggi dari Kijang. Bank, kantor pos dan sarana pendukung ekonomi lainnya terdapat di Kijang. Pada tingkat desa, terdapat lembaga keuangan mikro berupa kelompok simpan pinjam ibu-ibu yang dinamai Koperasi PKK. Walaupun diberi nama Koperasi, kelompok ini belum berebentuk koperasi. Kelompok ini beranggotakan 60 orang wanita ibu rumah tangga. Modal yang dikelola oleh kelompok saat ini berkisar Rp 25.000.000 yang bergulir dalam bentuk pinjaman anggota dengan maksimal pinjaman Rp 2 juta. Biaya pinjaman ditetapkan 5 persen setiap bulannya. Mekanisme pinjaman dan cicilan diatur dengan cara yang fleksibel. Tingkat perguliran dan pengembalian dana pinjaman cukup tinggi. Bahkan kelompok ini mengharapkan adanya bantuan permodalan untuk dapat memenuhi kebutuhan anggotanya. Selain itu kelompok juga membina pembuatan kerupuk, abon ikan dan kue kering. Produk kerupuk Cahaya Mapur telah dikenal dan dipasarkan di Kijang. Pinjaman dana kelompok umumnya digunakan untuk usaha kecil rumah tangga dan dana mendesak seperti biaya sekolah, biaya perbaikan rumah dan pengobatan. Tahun 2008 ini, oleh program PNPM dibentuk satu kelompok UEP Kenanga yang beranggotakan 10 orang dengan dana yang dikelola Rp 10 juta. Dana bergulir ini telah habis dibagi oleh 10 anggota kelompok yang digunakan untuk usaha pembuatan kerupuk, warung, dan biaya sekolah. Direncanakan akan dibentuk 2 kelompok lagi. Sementara dalam kegiatan perikanan ditemui adanya hubungan ekonomi antara nelayan desa dengan tauke berupa hubungan permodalan. Umumnya nelayan desa Mapur (juga desa-desa lain di sekitar) adalah nelayan dengan modal kecil. Armada tangkap yang dipakai adalah perahu motor kecil dengan daya paling besar 22 PK, sebagian lagi menggunakan perahu motor yang lebih kecil dan sampan tanpa mesin. Untuk melengkapi armada dan memenuhi kebutuhan logistik dan kebutuhan hidup nelayan bergantung pada kesediaan tauke untuk

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 30

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

memberikan pinjaman modal kerja. Sebelum melaut, seluruh kebutuhan logistik dipenuhi oleh tauke yang nantinya akan diperhitungkan dari hasil penjualan ikan. Apabila hasil tangkapan tidak mencukupi pembayaran pinjaman, maka sisa pinjaman akan diperhitungkan sebagai hutang yang akan dibayar pada periode melaut berikutnya. Dan pola ini berlangsung berulang sehingga membuat semacam ikatan ketergantungan nelayan terhadap tauke berupa kewajiban untuk menyetorkan hasil tangkapan pada satu tauke yang telah memberikan mereka pinjaman. Umumnya tauke-tauke penampung hasil perikanan di sekitar Bintan Timur (Kijang) adalah warga Singapura atau yang memiliki hubungan dagang langsung dengan Singapura. Ada kebiasaan yang makin melanggengkan hubungan ini yang dikenal dengan istilah masyarakat setempat sebagai hutang buang laut. Istililah ini bermakna penghapusan hutang yang oleh tauke dipandang tidak terlalu besar yang biasanya dilakukan pada hari raya Imlek. Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Potensi sumber daya laut dan pesisir di wilayah perairan sekitar kepulauan Desa Mapur cukup melimpah, hamparan terumbu karang di wilayah ini cukup luas dan kaya akan berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Pulau ini juga mempunyai pantai yang cukup indah dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai aset wisata. Selain itu, Pulau Mapur juga menyimpan potensi sumber daya alam wilayah daratan berupa hutan dan ladang perkebunan kelapa dan cengkeh. Kepulauan Mapur yang kaya akan potensi sumber daya laut yang bernilai ekonomi tinggi menjadi wilayah tangkap nelayan-nelayan dari berbagai daerah di Kabupaten Kepulauan Riau, bahkan nelayan dari Thailand dan Philipina. Sebagai daerah tangkapan nelayan dari berbagai wilayah, perairan Desa Mapur rawan terhadap penggunaan jenis-jenis alat tangkap yang merusak (bom, potas dan trawl). Di samping itu, karena letaknya di jalur pelayaran internasional perairan Desa mapur juga rawan terhadap terjadinya pencurian ikan. Sebagai wilayah kepulauan kehidupan penduduk Desa Mapur bertumpu pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Sekitar 94 persen dari rumah tangga bermata pencaharian sebagai nelayan penangkap ikan. Armada penangkapan penduduk setempat umumnya sejenis pompong kecil bermesin 22 PK dan perahu sampan. Dengan armada tangkap yang kecil, daya jangkau dan kemampuan nelayan penduduk desa Mapur dan sekitarnya terbatas hanya pada perairan sekitar kepulauan Mapur. Pada musim utara yaitu pada bulan November Januari biasanya angin bertiup

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 31

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

kencang dan ombak cukup tinggi, nelayan Mapur hanya beroperasi sekitar pesisir kepulauan. Pada musim seperti ini, mobilitas penduduk ke Kijang juga berkurang. Selain penangkapan ikan, pada bulan Mei September, sebagian dari penduduk desa memungut telur penyu pada pulau-pulau di desa Mapur. Terdapat 4 pulau yang menjadi tempat bertelur penyu. Kegiatan ini dilakukan hanya sebagai mata pencaharian sampingan dan kelihatannya pengambilan telur penyu belum pada tingkat yang membahayakan kelestarian penyu di wilayah ini. Walaupun memiliki potensi pengembangan yang masih cukup luas, pertanian belum dikembangkan menjadi usaha tani yang intensif. Budidaya tanaman pangan dan hortikultura dilakukan dalam bentuk yang sangat sederhana dan seadanya. Dari FGD, menurut penduduk desa gangguan hama babi, monyet dan tupai menjadi kendala dalam budidaya pertanian,selain juga harga-harga faktor produksi seperti pupuk dan bibit/benih. Namun kelihatannya, persoalan utamanya bersumber dari belum tumbuhnya budaya bercocok tanam, karena kebutuhan masih dapat diperoleh dari laut. Beberapa isu pokok yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam di kepulauan dan perairan sekitar Pulau Mapur diantaranya adalah: Pertama, peningkatan pemanfaatan sumber daya alam (pesisir, laut dan daratan) di wilayah Mapur mulai mengancam kelestarian potensi sumber daya laut, termasuk terumbu karang yang ada di Desa Mapur. Kondisi terumbu karang telah mengalami kerusakan. Hasil studi dari P2O-LIPI tahun 2004 dan studi yang dilakukan COREMAP 2006 serta pengamatan nelayan setempat menunjukkan bahwa di beberapa tempat terumbu karang telah mengalami kerusakan yang parah. Penggunaan bom, bius/potas dan beroperasinya trawl dalam menangkap ikan diklaim sebagai penyebab utama kerusakan terumbu karang di perairan Mapur. Penggunaan bom masih tetap berlangsung meskipun telah berkurang intensitasnya sejak akhir tahun 1990-an. Kegiatan penangkapan ikan hidup dengan menggunakan bius/potas dengan memakai kompresor yang umumnya dilakukan oleh pengusaha bermodal besar masih berlangsung. Kegiatan ini makin marak karena permintaan pasar internasional terhadap ikan hidup yang cukup tinggi. Sementara itu, nelayan lokal mulai intensif menangkap ikan hidup dengan menggunakan bubu. Dalam lima tahun terakhir penggunaan bubu oleh nelayan Desa Mapur meningkat cukup tajam. Penggunaan bubu yang intensif dan

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 32

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

massive ini dalam jangka panjang dikhawatirkan juga akan merusak terumbu karang. Selain terumbu karang, potensi sumber daya pesisir Desa Mapur yang sudah berkurang karena eksploitasi berlebih adalah hutan mangrove. Sebelum dieksploitasi, seluruh pantai Pulau Mapur dikelilingi oleh hutan mangrove. Pada saat ini mangrove hanya dapat ditemui di pantai sebelah Timur dan beberapa tempat yang kondisinya sudah menipis. Kayu mangrove oleh penduduk setempat digunakan untuk membuat arang. Di desa dapat ditemui tungku pembakaran arang kayu mangrove yang sudah tidak dioperasikan karena ketersediaan bahan baku yang sudah menipis. Bersamaan dengan eksploitasi mangrove, hutan yang ada di Pulau Mapur juga sudah mengalami penggundulan karena pembalakan yang dilakukan oleh para pengusaha kayu. Rusaknyan eksosistem mangrove di kepulauan desa ini telah mulai berakibat pada ancaman abrasi pantai di desa Mapur. Kekhawatiran ini juga disuarakan oleh penduduk pada FGD yang dilaksanakan di kantor desa Mapur. Kedua, penggunaan berbagai jenis alat tangkap yang merusak dalam pemanfaatan sumber daya laut berpotensi menimbulkan konflik. Konflik dalam pemanfaatan sumberdaya laut antara nelayan lokal dengan nelayan pendatang yang menggunakan bom, bius dan trawl sudah mulai timbul. Penggunaan bom yang umumnya dilakukan oleh nelayan dari luar desa telah menimbulkan keresahan nelayan lokal. Selama ini nelayan lokal telah berpartisipasi melakukan pengawasan dengan melapor kepada petugas keamanan laut (KAMLA) jika melihat kegiatan pengeboman. Karena melakukan pelaporan ini masyarakat Desa Mapur sering mendapat ancaman dari para pengebom. Konflik antara nelayan lokal dengan pengusaha trawl terjadi karena kapal-kapal trawl yang beroperasi di wilayah perairan Mapur sering menabrak rumpon-rumpon milik nelayan lokal. Sementara itu, peningkatan penggunaan bubu yang cukup tajam, terutama pada musim angin Timur berpotensi menimbulkan konflik wilayah tangkap di antara nelayan lokal. Pada saat ini, konflik tersebut belum muncul. Akan tetapi dengan semakin tingginya persaingan untuk mendapatkan hasil tangkapan, di masa datang potensi konflik wilayah tangkap kemungkinan bisa terjadi. Selain konflik berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya laut, konflik internal juga terjadi dalam pemanfaatan sumber daya alam di darat. Hutan di Pulau Mapur telah rusak dikarenakan pembalakan yang dilakukan oleh penguasaha maupun oknum masyarakat. Upaya penyelamatan hutan sudah dilakukan, diantaranya adalah adanya Surat Keputusan Kepala Desa yang melarang penebangan kayu baik oleh

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 33

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

pengusaha ataupun perorangan. Lemahnya pengawasan dan tidak konsistennya aparat dalam menerapkan aturan tersebut telah menimbulkan konflik antara penduduk desa dengan pengusaha penebangan kayu dan oknum perambah hutan lainnya. Ketiga, pemanfatan sumberdaya laut Desa Mapur oleh masyarakat Desa belum mempunyai dampak yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan penduduk. Secara umum potret kesejahteraan penduduk Desa Mapur masih memprihatinkan. Rata-rata pendapatan rumah tangga penduduk Desa Mapur sekitar Rp 720.000. Seperti kehidupan nelayan pada umumnya di mana pendapatan masyarakatnya tidak menentu dan sangat tergantung sekali pada musim. Pendapatan penduduk Desa Mapur sangat tidak menentu, pada musim ikan rata-rata pendapatannya sekitar Rp. 1.507.000 per bulan. Sebaliknya pada musim paceklik (kurang ikan) pendapatannya hanya sekitar Rp 201.000 per bulan. Pada musim sulit ikan tidak jarang rumah tangga nelayan berhutang pada tauke untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Sebaliknya, pada musim banyak ikan di mana pendapatan mereka meningkat mereka tidak menyisihkan penghasilannya untuk ditabung yang dapat digunakan menutupi kebutuhan hidup di masa paceklik. Dari segi pendidikan, mayoritas penduduk masih berpendidikan SD ke bawah dan keterampilan yang dimiliki umumnya juga terbatas pada jenis-jenis keterampilan yang berkaitan dengan kegiatan kenelayanan. Keempat, rencana pengembangan wilayah Bintan sebagai kawasan pariwisata telah mendorong pengusaha-pengusaha nasional dan dari negara tetangga untuk berinvestasi di wilayah ini. Model pengembangan wisata bahari yang menjual pesona laut dan pulau telah menjadikan wilayah kepulauan Bintan (dan Kepualaun Riau) menjadi kavling-kavling pengusaha besar. Di desa Mapur sendiri, semenjak tahun 1997 telah terjadi perpindahan hak kepemilikan tidak kurang dari 700 ha lahan darat kepulauan kepada investor. Namun sampai saat ini lahan tersebut belum dikembangkan dan menjadi lahan yang tidak dapat dimanfaatkan oleh penduduk setempat.

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 34

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

4.2. TELAAH POTENSI DAN PERMASALAHAN WILAYAH TERTINGGAL


Telaah terhadap potensi dan permasalahan dilihat dari aspek kewilayahan dan persoalan ketertinggalan dan kemiskinan di tingkat desa. Dalam tingkat strategi dan kebijakan, pembangunan wilayah tertinggal berbeda dengan penanggulangan kemiskinan. Penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga melampaui garis kemiskinan. Pembangunan wilayah tertinggal juga bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dengan fokus wilayah yang terisolir, tertinggal, terpencil dan masyarakatnya miskin. Telaah terhadap potensi dan masalah pada ketiga desa, selanjutnya dikembangkan ke tingkat wilayah, didekati dari pengertian di atas tersebut. Berdasarkan data status Kabupaten perbatasan dari Kementerian Pengembangan Daerah Tertinggal tahun 2007, dari tiga kabupaten yang menjadi lokasi studi, Kabupaten Bintan tergolong sebagai kabupaten yang sudah sangat maju, sementara kabupaten Kepulauan Sangihe tergolong maju. Akan tetapi kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) digolongkan sebagai kabupaten sangat tertinggal. Sementara dilihat dari tingkat kersejahteraan penduduk, dengan mengacu pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) masing-masing wilayah diperoleh gambaran perkembangan ketiga wilayah. Berdasarkan data dathun 2006, Kabupaten Kepulauan Sangihe memiliki IPM 73,4 urutan ke 4 Provinsi Sulut dan 64 dari sekitar 400 kabupaten/kota di Indonesia. Untuk tingkat provinsi, Suluwesi Utara berada pada urutan ke 2 nasional dengan IPM 74,8. Kabupaten Bintan memiliki IPM 70,9 berada pada urutan ke 4 dari 6 kabupaten/kota di Provinsi Kepulauan Riau dan urutan 137 untuk tingkat kabupaten/kota secara nasional. Sementara Propvinsi Kepulauan Riau berada pada urutan ke 7 tingkat provinsi secara nasional. Provinsi NTT dengan IPM 64,8 berada pada urutan ke 31 dari 33 provinsi di Indonesia. Gambaran yang kurang lebih sama untuk kabupaten TTU. Artinya, dari sisi pembangunan manusia, yang dilihat dari tingkat kesejahteraan yang meliputi aspek pendidikan, kesehatan dan pendapatan, Kabupaten Kepulauan Sangihe lebih sejahtera dari Kabupaten Bintan, dan kabupaten TTU terburuk dari ketiganya. Gambaran tingkat wilayah ini kita menjadi titik tolak telaah terhadap kondisi wilayah desa tertinggal pada masing-masing kabupaten. Dari aspek pembangunan dan pengembangan wilayah secara umum Tabel 4.17. menunjukkan ketimpangan pembangunan pada ketiga desa (wilayah) yang menjadi lokasi studi.

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 35

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Tabel 4.17. Matriks Gambaran Umum Keadaan Wilayah Ketiga Lokasi Studi
Wilayah/desa Pusat Kegiatan Ekonomi dan Administrasi Type Wilayah Aksesibilitas (Transportasi) Keterkaitan dengan Pusat Kegiatan Ekonomi Lokal Keterkaitan dengan Pusat Kegiatan Ekonomi Negara Tetangga Tinggi, aksesibilitas lebih lancar; pemasaran hasil perikanan dan pertanian Tinggi Potensi Wilayah Mata Pencaharian Utama

Wilayah Perbatasan RIFilipina, Kepulauan Sangihe

Tahuna (Ibukota Kabupaten); Manado (Ibukota Propinsi); Bitung (Perlabuhan Utama), Mindanao

Kepulauan terluar, sangat terpencil

Reguler, jarang: Sulit/Biaya Tinggi, tergantung cuaca,

Rendah, aksesibilitas rendah dan biaya tinggi

Potensi perikanan tinggi

Perikanan

Wilayah PulauPulau Terluar, Bintan

Kijang (Ibukota Kecamatan), Tanjung Pinang, Batam dan Singapura.

Kepulauan, terpencil

Tidak reguler; tersedia cukup/biaya tinggi

Tinggi, aksesibilitas

Potensi perikanan tinggi, potensi wisata tinggi, pertambangan cukup tinggi (bauksit, pasir) Potensi pertanian rendah, pertambangan diperkirakan cukup tinggi.

Perikanan

Wilayah Perbatasan RITimor Leste, TTU

Kefamenanu

Daratan, berbukitbukit, tandus, cukup terpencil

Relatif lancar/reguler, biaya rendah

Tinggi

Sangat rendah

Pertanian lahan kering

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 36

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Dari simpulan yang ditunjukkan dalam Tabel 4.17., potensi dan permasalahan perkembangan wilayah secara umum yang dihadapi oleh masing-masing desa (wilayah) adalah sebagai berikut: 1. Pulau Marore dan pulau terluar dan terpencil di perbatasan RIFilipina Sebagai pulau-pulau terpencil dan berada di perbatasan, walapupun memiliki potensi perikanan yang cukup tinggi, dengan aksesibilitas yang sulit, perekonomian wilayah tertinggal dari wilayah-wilayah di pulau utama dan daratan utama Sulawesi Utara. Potensi perikanan dan potensi daratan dengan tanaman kelapa dan tanaman keras lainnya, kebutuhan ekonomi dasar dapat dipenuhi dengan cukup memadai, namun pengembangan ekonomi yang lebih maju terkendala pemasaran dan akses terhadap sarana ekonomi lainnya. Ketergantungan ekonomi dengan Mindanao, dalam sudut pandang nasional dapat merugikan namun dalam pengembangan ekonomi lokal justru menguntungkan. 2. Desa Mapur dan pulau-pulau terpencil di kabupaten Bintan dan Kepulauan Riau Wilayah ini berada pada segitiga pertumbuhan ekonomi paling pesat di Asia Tenggara. Interaksi perdagangan antara warga ketiga negara, terutama yang digerakkan oleh keturunan Cina menjadi factor pendorong perkembangan. Wilayah ini juga diproyeksikan menjadi kawasan industri terpadu dan resort wisata bertaraf internasional. Manfaat perkembangan ini dirasakan juga oleh penduduk Mapur yang mayoritas nelayan. Secara ekonomi masyarakat Mapur memiliki potensi pengembangan yang sangat besar. Kendala yang dihadapi adalah sulitnya sarana transportasi regular yang menghubungkan mereka dengan wilayah sekitar. Dalam hal pemasaran hasil perikanan tidak menemui kesulitan, karena telah tercipta pola hubungan nelayan dengan tauke yang telah berjalan puluhan tahun. Namun dengan keterbatasan kapasitas dan daya armada penangkapan nelayan di wilayah ini sangat tergantung kepada pola ketergantungan yang diciptakan oleh system tauke yang ada. Permasalahan potensial yang akan dihadapi terkait dengan rencana pengembangan resort wisata, terutama di pulau-pulau kecil di Bintan (Mapur dan sekitarnya), tersingkirnya masyarakat sebagai pemilik wilayah pulau-pulau mereka. Gejala ini telah mulai

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 37

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

kelihatan terutama di Mapur, sekitar 700 ha dari wilayah kepulauan yang kecil ini telah dikuasai oleh pemodal. Permasalahan lain adalah kegiatan penambangan pasir laut dan darat serta bauksit yang telah berlangsung lama di wilayah ini telah mengakibatkan kerusakan pada wilayah daratan dan laut yang mengakibatkan kerapuhan wilayah pulau-pulau lebih lanjut. Daya dukung pulau-pulau kecil yang sangat terbatas akan membahayakan di masa depan apabila kebijakan penambangan tetap berlangsung seperti saat ini. Dalam hal perikanan, bebasnya nelayan-nelayan asing, atau nelayan besar yang dimodali asing dan pemodal lainnya akan mengurangi kesempatan nelayan kecil untuk berkembang. Maraknya praktek pemboman ikan dan penggunaan trawl telah mulai berakibat berkurangnya hasil tangkapan ikan nelayannelayan kecil. Selain itu, pemanfaatan dan perusakan mangrove yang ditemui di Mapur dan pulau-pulau lainnya menjadi ancaman kelangsungan hidup masyarakat di pulau-pulau kecil. Secara umum, wilayah Mapur dan pulau-pulau terpencil lainnya berpotensi besar. Ancaman terbesar yang mereka hadapi justru berasal dari pengembangan wilayah itu sendiri, yaitu pengembanga industri pertambangan dan pariwisata serta persaingan yang tidak seimbang dengan nelayan besar. Dan tentu saja hubungan ketergantungan dengan tauke. 3. Desa Tes dan wilayah perbatasan RI-Timor Leste di TTU Dari sudut pandang pengembangan wilayah, kombinasi yang ditemui dari berbagai faktor di desa Tes dan wilayah perbatasan dengan Timor Leste, tidak menyediakan banyak pilihan dalam pengembangan. Sebagai perbatasan yang menuai berbagai persoalan dari kekisruhan Timor Leste, ditambah dengan kondisi alam dan sosial budaya setempat, pengembangan kebutuhan dasar dan sarana-prasarana pendukung menjadi realistis. Wilayah dimana penyediaan sumber kehidupan yang hakiki masih menjadi persoalan klasik, yaitu pangan dan air, pengembangan pola pertanian yang benar-benar berkelanjutan dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat setempat tidak hanya pada musim hujan menjadi benar-benar dibutuhkan. Ppotensi tambang ditengarai terdapat cukup besar di wilayah ini, walaupun saat ini masih pada tahap eksplorasi awal. Namun menjadi pertanyaan besar, apabila potensi pertambangan benar-

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 38

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

benar aktual setempat.

bagaimana

dampaknya

terhadap

masyarakat

Kesimpulan yang dapat ditarik dari gambaran umum ketiga wilayah diatas adalah : Keterpencilan dan aksesibilitas menjadi hambatan utama bagi dua wilayah kepulauan yaitu pulau-pulau kecil di kabupaten Bintan (Kepulauan Riau) dan pulau-pulau terluar di kabupaten Kepulauan Sangihe. Potensi perikanan dan keuntungan dari kemudahan pemasaran hasil perikanan dialami oleh nelayan pulau Mapur dan sekitarnya. Namun mengalami hambatan transportasi namun lebih ke mobilitas penduduk dan distribusi kebutuhan pokok. Sementara pulau Marore dan sekitarnya mengalami persoalan kesulitan aksesibilitas baik secara ekonomi dan maupun sosial. Ketergantungan perdagangan dengan Filipina pada dasarnya menempatkan mereka lebih sebagai subordinatt. Wilayah perbatasan TTU dengan Timor Leste memiliki karakteristik yang jauh berbeda dengan dua wilayah kepulauan di atas. Faktor-faktor iklim dan topografi berbukit dengan tingkat kesuburan tanah yang rendah menjadi salah satu faktor penghambat di wilayah ini. Kelangkaan sumberdaya dan rendahnya tingkat pendidikan ditambah dengan aspek budaya yang lebih menjadi penghambat ketimbang menjadi pendukung. Dengan gambaran keadaan tiga wilayah di atas, gambaran yang lebih lengkap diperoleh dengan menelaah derajat keterpenuhan kebutuhan penduduk pada tingkat desa (Tabel 4.8). Secara umum keterpenuhan kebutuhan dasar pada ketiga desa relatif rendah, namun dengan tingkat yang berbeda. Kecukupan pangan dapat dipenuhi secara memadai di Marore dan Mapur, dipengaruhi oleh ketersediaan sumber alam di kedua wilayah desa yaitu perikanan. Ketersediaan pangan bermakna adanya pendapatan yang dapat dipergunakan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup seperti beras, bahan bakar dan pendukung pangan lainnya. Selain itu tersedia ikan dan hasil laut yang lain yang cukup melimpah setidaknya untuk dikonsumsi sendiri. Sementara di TTU, terdapat kondisi ketidakpastian sepanjang tahun dari hasil pertanian setempat. Musim kemarau yang lebih panjang dari biasanya sudah cukup mengancam tidak saja pendapatan tetapi kebutuhan bahan makanan dasar. Komoditi pertanian pangan seperti jagung, padi dan ubi-ubian secara ekonomis juga tidak memiliki nilai tukar yang memadai untuk menunjang kebutuhan lain. Walaupun setiap rumah tangga memelihara hewan ternak seperti babi, sapi, ayam dan kambing, budidayanya masih sangat subsisten. Ketersediaan air bersih menjadi masalah bagi penduduk ketiga wilayah. Di desa Mapur, tersedia sumber air bersih yang cukup namun kualitasnya

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 39

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

umumnya tidak layak minum. Terdapat sumber air minum yang baik tetapi terbatas. Di desa ini sebenarnya telah dibangun sarana penampungan dan kran air bersih namun perencanaan dan penempatan pada lokasi sumber air payau mengakibatkan fasilitas ini tidak dimanfaatkan. Persoalan yang sama ditemui juga di Marore. Sementara di Tes, kelangkaan air menjadi masalah yang sangat mendasar terutama pada musim hujan. Terdapat dua type pemukiman di Mapur, pemukiman darat dan pemukiman yang menjorok ke laut. Kondisi pemukiman penduduk di darat lebih bersih, sementara pemukiman yang menjorok kelaut walaupun kelihatan lebih bagus tapi kelihatan kumuh. Pemukiman di Marore umumnya berada ditepi pantai, tetapi berbeda dengan Mapur, di Marore terdapat ruang kosong pantai antara laut dengan pemukiman. Rumah penduduk umumnya telah berbahan beton dan kayu namun kelihatan kurang bersih dan tidak terawat. Sementara di Tes, pemukiman didominasi rumah dengan dinding pelepah lontar dan atap rumbia, ilalang dan lontar.
Tabel 4.18. Matriks Keterpenuhan Kebutuhan Dasar
Wilayah/ Desa Marore Pangan Ketersediaan pangan cukup, terutama sumber protein (ikan); bahan pangan lain didatangkan dari luar pulau Ketersediaan pangan cukup, terutama sumber protein (ikan); bahan pangan lain didatangkan dari luar pulau Ketersediaan pangan rendah, rentan terhadap kerawanan pangan Air Bersih Tersedia cukup, kualitas kurang Perumahan Secara umum kualitas perumahan kurang baik Listrik Dipenuhi pembangkit PLN di tingkat, diakses kurang dari 50% (hanya menyala malam dari) Tersedia dari genset bantuan dana CSR; diakses lebih dari 50%; hanya menyala pada malam hari Tersedia dari genset bantuan LSM; diakses lebih dari 50 % Kesehatan Tidak ditemui masalah kesehatan yang serius; fasilitas puskesmas pembantu Malaria (endemik), diare terkait dengan sanitasi; puskesmas pembantu, polindes Malaria (endemik), diare, kolera; rawan gizi buruk pada anak; polindes Pendidikan SD, SMP (tingkat partisipasi pendidikan cukup tinggi,angka buta aksara rendah) SD, SMP terbuka (tingkat pendidikan penduduk rendah, angka buta aksara cukuptinggi) SD Kecil, bangunan darurat (tingkat pendidikan sangat rendah, terutama lakilaki, angka buta aksara sangat tinggi)

Mapur

Tersedia cukup, kualitas kurang baik untuk diminum;

Secara umum kualitas perumahan cukup baik, tetapi rentan terhadap gelombang Secara umum kualitas buruk

Tes

Tersedia cukup hanya pada musim hujan, kualitas baik

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 40

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Penyediaan tenaga listrik di ketiga desa bersumber dari genset pembangkit. Di Mapur, pembangkit tersedia dari bantuan Aneka Tambang dan dikelola oleh masyarakat setempat, hal sama ditemui di Tes. Genset yang diperoleh dari bantuan LSM dikelola oleh masyarakat setempat. Di Pulau Marore, listrik dipasok oleh PLN terutama untuk melayani kebutuhan instansi pemerintahan berkaitan dengan fungsi Border Crossing Agreement di sana. Fasilitas kesehatan puskesmas pembantu terdapat di Mapur dan Marore, sementara di penduduk Tes harus menempuh perjalanan sekitar 7 km untuk dapat dilayani puskesmas pembantu. Secara umum, ketersediaan tenaga kesehatan di ketiga desa terbatas. Masalah kesehatan yang menonjol ditemui di Tes yaitu malaria, kolera dan diare. Selain itu, tingkat gizi buruk dan kesehatan ibu dan anak menjadi persoalan serius didesa ini. Malaria, dan diare juga sering ditemui di Mapur. Sementara di Marore tidak terdapat kasus-kasus kesehatan yang menonjol. Tingkat pendidikan di ketiga desa secara umum rendah, namun di Marore tingkat partisipasi pendidikan hingga SLTP dan SLTA tergolong tinggi. Tingkat pendidikan di Mapur masih rendah, dan tingkat buta aksara juga masih cukup tinggi. Kondisi yang jauh lebih buruk ditemui di Tes. Sekitar 9 persen dari jumlah penduduk buta aksara, dan tingkat partisipasi pendidikan anak usia sekolah sangat rendah. Tingkat partisipasi pendidikan perempuan lebih tinggi dari laki-laki. Analisis SWOT terhadap Kondisi Potensi dan Permasalahan Dari telaah terhadap kondisi potensi dan permasalahan dari ketiga daerah tertinggal dilakukan identifikasi faktor-faktor internal yang menjadi pendukung dan penghambat dan faktor-faktor eksternal yang dapat menjadi peluang dan ancaman dalam pengembangan daerah tersebut ke depan. Pada Tabel 4.19. dibawah ini disajikan faktor-faktor internal yang menjadi kekuatan dan kelemahan yang bersumber dari dalam masyarakat itu sendiri. Sementara pada Tabel 4.10. disajikan faktor-faktor eksternal yaitu kondisi dan perkembangan dari luar termasuk di dalamnya kebijakan dan program pembangunan yang berpotensi menjadi peluang atau sebaliknya sebagai ancaman dalam upaya pengembangan wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 41

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Tabel 4.19. Faktor-faktor Internal Pengembangan Daerah Tertinggal WILAYAH/DESA MAPUR STRENGTH (KEKUATAN) Potensi perikanan yang cukup melimpah Berada pada jalur perdagangan yang ramai Heterogen dan terbuka terhadap masyarakat luar Tingkat bertahan hidup tinggi Lingkungan yang indah dan eksotik MARORE Potensi perikanan yang cukup melimpah Berada pada jalur perdagangan antar negara Terbuka terhadap masyarakat luar Posisi sebagai check point antar negara Memiliki hubungan yang erat dengan Mindanao TES Tingkat bertahan hidup tinggi Sadar dan mengkonservasi sumber air Posisi sebagai check point antar negara Potensi tanaman keras dan peternakan WEAKNESS (KELEMAHAN) Tingkat pendidikan yang rendah Ketersediaan saranaprasarana rendah Cepat berpuas diri Permodalan rendah: armada penangkapan ikan sederhana Terpencil: mobilitas rendah

Tingkat pendidikan yang rendah Ketersediaan saranaprasarana rendah Cepat berpuas diri Permodalan rendah: armada penangkapan ikan kecil Terpencil: mobilitas rendah Transportasi dan aktivitas nelayan tergantung cuaca

Budaya patrinial sangat kuat dan Pengeluaran dan kebutuhan adat sangat tinggi Kurang terbuka terhadap inovasi Pendidikan dan kesehatan rendah Ketersediaan saranaprasarana rendah Wilayah terpencil, tandus dan berbukit-bukit Pola pertanian tebas bakar dan subsisten

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 42

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Tabel 4.20. Faktor-faktor Eksternal Pengembangan Daerah Tertinggal WILAYAH/DESA MAPUR OPPORTUNITY (PELUANG) Perkembangan wilayah Bintan sebagai kawasan industri dan pariwisata Kebijakan dan program pengembangan pulau-pulau terpencil dan perbatasan Pasar yang besar dan potensial:Singapura dan Malaysia THREAT (ANCAMAN) Kebijakan penambangan pasir dan bauksit yang tidak terkendali Perkembangan wilayah Bintan sebagai kawasan industri dan pariwisata Kegiatan Nelayan Asing dan penggunaan Trawl Hubungan ketergantungan modal dengan tauke Perubahan iklim/cuaca: perubahan pola transportasi dan nelayan Perlintasan pendatang gelap dari Mindanao Ketergantungan perdagangan dengan Filipina Perubahan iklim/cuaca: perubahan pola transportasi dan nelayan Prosedur imigrasi yang tidak berorientasi kondisi lokal Kondisi Timor Leste yang tidak berkembang dan cenderung rawan Perubahan iklim: perubahan pola pertanian, ketersediaan air Rencana pengembangan pertambangan Prosedur imigrasi yang tidak berorientasi kondisi lokal

MARORE

Perkembangan wilayah Kapet Bitung dan jalur Pasifik Kebijakan dan program pengembangan pulau-pulau terpencil dan perbatasan Hubungan sosial, ekonomi dan budaya yang erat dengan Mindanao

TES

Kebijakan dan program pengembangan daerah perbatasan Pengembangan wilayah Timur Indonesia dan kedekatan ke Australia Hubungan sosial budaya yang erat dengan Timor Leste Potensi pertambangan

Selanjutnya dari identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi, baik internal maupun eksternal, dapat ditentukan posisi dan selanjutnya dirumuskan berbagai alternatif sebagai dasar bagi strategi dan pengembangan masing-masing desa/wilayah tertinggal. Perumusan dilakukan dengan menyusun matriks SWOT untuk masing-masing desa/wilayah dengan menggabungkan faktor-faktor tadi diperoleh empat kombinasi strategi (Tabel 4.21., 4.22., dan 4.23.)

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 43

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Tabel 4.21.

Perumusan Alternatif Strategi dengan Matriks SWOT untuk Desa Mapur dan Wilayah Sekitarnya
INTERNAL FAKTOR Kekuatan (S) Potensi perikanan yang cukup melimpah Berada pada jalur perdagangan yang ramai Heterogen dan terbuka terhadap masyarakat luar Tingkat bertahan hidup tinggi Kelemahan (W) Tingkat pendidikan yang rendah Ketersediaan saranaprasarana rendah Cepat berpuas diri Permodalan rendah: armada penangkapan ikan sederhana Terpencil: mobilitas rendah

EKSTERNAL FAKTOR Peluang (O) Perkembangan wilayah Bintan sebagai kawasan industri dan pariwisata Kebijakan dan program pengembangan pulaupulau terpencil dan perbatasan Pasar yang besar dan potensial:Singapura dan Malaysia

Lingkungan yang indah dan eksotik S-O Strategi Mengaitkan pengembangan wilayah dengan potensi lokal dan memperhatikan keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan dan proses ekonomi Peningkatan kapasitas dan kemampuan masyarakat untuk dapat mengakses pasar S-T Strategi Kebijakan penambangan yang memperhatikan daya dukung pulau-pulau kecil dan kelangsungan hidup masyarakat Pengawasan dan penindakan praktek penangkapan ikan yang ilegal Peningkatan kapasitas permodalan dan manajerial usaha Peningkatan kapasitas armada penangkapan

W-O Strategi Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan berbasis masyarakat (formal/informal) untuk meningkatkan kemampuan dan akses terhadap pasar dan perkembangan regional Pengembangan prasarana dan sarana transportasi Peningkatan kapasitas permodalan W-T Strategi Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan berbasis masyarakat dan mengaitkannya dengan pengembangan wilayah (industri dan pariwisata) Pengembangan industri dan pariwisata yang berbasis pada potensi lokal dan menempatkan masyarakat lokal sebagai subyek dan bernilai tambah bagi masyarakat setempat

Ancaman (T) Kebijakan penambangan pasir dan bauksit yang tidak terkendali Perkembangan wilayah Bintan sebagai kawasan industri dan pariwisata Kegiatan Nelayan Asing dan penggunaan Trawl Hubungan ketergantungan modal dengan tauke Perubahan iklim/cuaca: perubahan pola transportasi dan nelayan

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 44

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Tabel 4.22.

Perumusan Alternatif Strategi dengan Matriks SWOT untuk Desa Marore dan Wilayah Sekitarnya
INTERNAL FAKTOR Kekuatan (S) Potensi perikanan yang cukup melimpah Berada pada jalur perdagangan antar negara Terbuka terhadap masyarakat luar Posisi sebagai check point antar negara Kelemahan (W) Tingkat pendidikan yang rendah Ketersediaan saranaprasarana rendah Cepat berpuas diri Permodalan rendah: armada penangkapan ikan kecil Terpencil: mobilitas rendah Transportasi dan aktivitas nelayan tergantung cuaca W-O Strategi Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan berbasis masyarakat (formal/informal) untuk meningkatkan kemampuan dan akses terhadap pasar dan perkembangan regional Pengembangan prasarana dan sarana transportasi Peningkatan kapasitas permodalan Pengembangan pusat kegiatan ekonomi dan adminsitrasi di wilayah terluar

EKSTERNAL FAKTOR Peluang (O) Perkembangan wilayah Kapet Bitung dan jalur Pasifik Kebijakan dan program pengembangan pulaupulau terpencil dan perbatasan Hubungan sosial, ekonomi dan budaya yang erat dengan Mindanao

Memiliki hubungan yang erat dengan Mindanao S-O Strategi Mengaitkan pengembangan wilayah dengan potensi lokal dengan melibatkan masyarakat lokal dalam kegiatan dan proses ekonomi Peningkatan kapasitas dan kemampuan masyarakat untuk dapat mengakses pasar Memanfaatkan kedekatan hubungan dengan Filipina sebagai faktor pendorong pengembangan wilayah Penyederhanaan prosedur lintas batas untuk keuntungan wilayah dan masyarakat lokal

Ancaman (T) Perlintasan pendatang gelap dari Mindanao Ketergantungan perdagangan dengan Filipina Perubahan iklim/cuaca: perubahan pola transportasi dan nelayan Prosedur imigrasi yang tidak berorientasi kondisi lokal

S-T Strategi Pengawasan dan penindakan praktek ilegal sekaligus juga pengembangan prosedur hubungan ekonomi antar negara konteks lokal Peningkatan kapasitas permodalan dan manajerial usaha Peningkatan kapasitas armada penangkapan

W-T Strategi Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan berbasis masyarakat dan mengaitkannya dengan pengembangan wilayah (industri dan pariwisata) Penyediaan dan pengembangan sarana dan prasarana pendukung yang dapat diakses oleh masyarakat Penyederhanaan prosedur imigrasi konteks setempat untuk tujuan keuntungan wilayah dan masyarakat setempat

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 45

Laporan Akhir

Studi Identifikasi & Inventarisasi Potensi dan Masalah di Daerah Tertinggal Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan

Tabel 4.23.

Perumusan Alternatif Strategi dengan Matriks SWOT untuk Desa Tes dan Wilayah Sekitarnya
Kekuatan (S) Tingkat bertahan hidup tinggi Sadar dan mengkonservasi sumber air Posisi sebagai check point antar negara Potensi tanaman keras dan peternakan Kelemahan (W) Budaya patrinial kuat dan pengeluaran adat sangat tinggi Kurang terbuka terhadap inovasi Pendidikan dan kesehatan rendah Ketersediaan saranaprasarana rendah Wilayah terpencil, tandus dan berbukit-bukit Pola pertanian tebas bakar dan subsisten S-O Strategi Pengembangan program berbasis pembuhan dasar dan pengelolaan usaha pertanian dan peternakan yang berkelanjutan Pengembangan komoditi perkebunan dan peternakan khas lokal Penyederhanaan prosedur lintas batas untuk keuntungan masyarakat lokal Kebijakan penambangan yang memperhatikan tata air dan tidak mengurangi kemampuan produksi lahan pertanian dan masyarakat lokal S-T Strategi Hubungan masyarakat antar negara: Pengawasan dan penindakan praktek ilegal sekaligus juga pengembangan prosedur hubungan sosial antar negara disesuaikan dengan kondisi lokal Pengembangan komoditas yang adaptif terhadap kondisi alam setempat dan bernilai ekonomi dan konservasi Pengembangan pertambangan yang tidak merusak tata air dan daya dukung lahan pertanian yang sudah rendah W-T Strategi Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan berbasis masyarakat dan mengaitkannya dengan kesehatan masyarakat, pemenuhan kebutuhan dasar, gender dan Penyediaan dan pengembangan sarana dan prasarana pendukung yang dapat diakses oleh masyarakat Penyederhanaan prosedur imigrasi konteks setempat untuk tujuan keuntungan wilayah dan masyarakat setempat W-O Strategi Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan berbasis masyarakat (formal/informal) dan penyelarasan praktek adat dengan kesejahteraan sosial ekonomi Pengembangan prasarana dan sarana dasar (pendidikan, kesehatan, listrik dan komunikasi)

INTERNAL FAKTOR

EKSTERNAL FAKTOR Peluang (O) Kebijakan dan program pengembangan daerah perbatasan Pengembangan wilayah Timur Indonesia dan kedekatan ke Australia Hubungan sosial budaya yang erat dengan Timor Leste Potensi pertambangan

Ancaman (T) Kondisi Timor Leste yang tidak berkembang dan cenderung rawan Perubahan iklim: perubahan pola pertanian, ketersediaan air Rencana pengembangan pertambangan Prosedur imigrasi yang tidak berorientasi kondisi lokal

HARDIMAN SIAGIAN

IV - 46

You might also like