You are on page 1of 40

PROGRAM KELAS KARYAWAN

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN

PAPER
MATA K UL IA H
MA NAJEME N SUM BE R DAYA M AN USI A

“Outsource Employee”
Sebuah Fenomena Perbudakan dalam Lingkungan
Kerja di Indonesiakah?

OLEH :
ARNALDO LUHUT PARMONANGAN

55108110051

FEBRUARI 2009

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat peringatan Hari Buruh 1 Mei lalu, banyak serikat buruh yang menolak sistem tenaga
kerja outsourcing. Kenapa kok outsourcing ditolak? Mari kita lihat contoh-contoh
outsourcing yang aku temui, sebut saja namanya Somad, seorang lulusan S1 dari
Universitas Negeri Terkenal di Indonesia. Sebagai seorang sarjana baru, dia mencari apa
saja pekerjaan asalkan halal. Lalu dia diterima bekerja di sebuah bank nasional yang
cukup kondang. “Keren sih, kerja di bank nasional. Pagi berangkat dari rumah, dengan
baju yang licin dan terkesan profesional,”cerita Dimas yang tinggal di Jogja. Tetapi
sebenarnya dia bukan karyawan dari bank tersebut, hanya bekerja di bank itu. Status
Dimas adalah tenaga outsourcing dari PT YX yang dipekerjakan di bank nasional
tersebut. Tugas dia adalah sederhana, yaitu memasukkan data-data transaksi nasabah.
Gajinya sih standar karyawan di Jogja, satu juta lebih dikit. Baru seminggu di bank
tersebut, Dimas memutuskan keluar. Kenapa? “Berat resikonya. Kalau aku salah
memasukkan transaksi, maka aku yang mesti menggantinya. Padahal transaksinya
puluhan sampai ratusan juta. Sementara masih ada kemungkinan error di sistem
komputernya,”ucap Somad. Selain soal resiko pekerjaan yang tidak sesuai dengan
gajinya, Dimas juga memikirkan soal karir. Dengan statusnya tenaga outsourcing, maka
selamanya dia akan berada di posisi itu. Tidak ada kenaikan karir, seandainya prestasinya
cemerlang. Dan dari cerita pada seniornya, untuk mengakali UU Tenaga Kerja, maka
setiap 2 tahun sekali mereka para outsourcer itu akan di-PHK atau tidak diperpanjang
kontraknya. Bila tidak ada masalah apa-apa atau punya relasi baik dengan atasan, lalu
sebulan kemudian akan dikontrak kembali. Perusahaan aman dari tuntutan hukum UU
Tenaga Kerja, si karyawan menurut tak berdaya, di tengah susahnya lapangan kerja.

Dalam UU no 13/2001 tentang Tenaga Kerja, memang tidak ada kata outsourcing, yang
ada istilah “pekerjaan untuk waktu tertentu”. Istilah ini sebenarnya lebih tepat untuk
menggambarkan tenaga kontrak. Sementara outsourcing lebih bermakna, suatu pekerjaan
yang tetap / terus menerus namun menggunakan tenaga dari luar perusahaan. Namun

2
orang kebanyakan sering mencampuradukkan istilah tenaga kontrak dan tenaga
outsourcing (bahasa Indonesianya apa ya?) Pada pasal 59 UU no 13/2001 dikatakan :
1. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu
yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu
tertentu, yaitu :
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya
b. pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak
terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun.
c. pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d. pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
2. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang
bersifat tetap.
3. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui
4. Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat
diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu)
kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang memang hanya membutuhkan waktu
temporer/musiman, jelas sistem kontrak adalah menguntungkan. Misalnya menjadi
konsultan, sales girl promotion, dll. Tetapi yang bahaya dari perkembangan sekarang ini ,
pekerjaan yang sifatnya tetap pun diperlakukan seperti tenaga kontrak. Misalnya tenaga
keamanan gedung, petugas kebersihan, sampai posisi seperti teller, customer service, dll.
Begitu juga yang terjadi di kalangan buruh manufaktur, mereka sekarang umumnya
hanya diperlakukan sebagai buruh kontrak. Setelah 2 tahun di PHK, yang dipekerjakan
lagi sebulan kemudian.

Keuntungan bagi perusahaan jelas besar. Dengan status buruh/karyawan kontrak maka
jauh lebih mudah bila PHK. Pesangonnya tidak besar, karena masa kerjanya selalu
terhitung maksimal 2 tahun, walaupun si buruh sudah bekerja di pabrik tersebut selama
10 tahun. Lebih menyedihkan lagi pada sistem outsourcing yang diterapkan untuk
kalangan karyawan, terutama di sektor jasa (petugas keamanan, kebersihan, teller, dll).

3
Seperti pada kasus Dimas di atas, karena mereka bekerja sebagai tenaga outsourcing,
maka perusahaan tempat mereka bekerja tidak perlu memasukkan tunjangan-tunjangan
seperti kesehatan, kecelakaan, pendidikan dsbnya. Para tenaga outsourcing hanya
menerima gaji pokok, tanpa jenjang karir dan sewaktu-waktu mudah di-PHK (security
job). Tentu ini mengusik rasa keadilan. Karena itulah serikat-serikat buruh di Indonesia
menolak diberlakukannya sistem outsourcing. Karena sistem ini menghilangkan banyak
hal, mulai dari jenjang karir, keamanan pekerjaan, tunjangan-tunjangan (kesehatan,
pendidikan, masa kerja). Juga para serikat buruh tidak menolak sistem kontrak, sejauh
diterapkan dengan benar, yaitu benar-benar untuk pekerjaan yang sifatnya
temporer/musiman.

B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis memfokuskan masalah yang akan diteliti
sebagai berikut :
1. apakah outsourcing tersebut dan bagaimana implementasinya di Indonesia?
2. keuntungan maupun kelemahan apa sajakah bila menggunakan outsourcing di
Indonesia?
3. apakah Implikasi yang ditimbulkan oleh Outsourcing terhadap pertumbuhan
Ekonomi di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian
Sehubungan dengan rumusan masalah diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk :
1. mengetahui apa yang dimaksud dengan outsourcing dan bagaimana penerapannya
di Indonesia.
2. mengetahui keuntungan dan kelemahan dari bisnis outsourcing di Indonesia.
3. mengetahui kesimpulan dan saran apa sajakah mengenai Implikasi outsourcing
bagi Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia.

D. Manfaat Hasil Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain : Sebagai bahan
informasi kepada para pembaca yang ingin mengetahui tentang dunia outsourcing di

4
Indonesia terutama dalam hal keuntungan menggunakan tenaga outsourcing pada
Perusahaan-perusahaan di Indonesia dan juga kerugian yang di derita para pegawai
outsourcing karena mereka merasa sama saja apabila mereka loyal ataupun tidak loyal
kepada Perusahaan tempat mereka bekerja dan juga sebagai bahan banding bagi
penelitian yang relevan di kemudian hari untuk peneliti selanjutnya.

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Outsourcing berasal dari bahasa Inggris yang berarti "alih daya". Outsourcing
mempunyai nama lain yaitu "contracting out" merupakan sebuah pemindahan operasi
dari satu perusahaan ke tempat lain. Hal ini biasanya dilakukan untuk memperkecil biaya
produksi atau untuk memusatkan perhatian kepada hal lain. Di negara-negara maju
seperti Amerika & Eropa, pemanfaatan Outsourcing sudah sedemikian mengglobal
sehingga menjadi sarana perusahaan untuk lebih berkonsentrasi pada core businessnya
sehingga lebih fokus pada keunggulan produk servisnya.

Dalam pengertian umum, istilah outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai contract
(work) out seperti yang tercantum dalam Concise Oxford Dictionary, sementara
mengenai kontrak itu sendiri diartikan sebagai berikut: “ Contract to enter into or make a
contract. From the latin contractus, the past participle of contrahere, to draw together,
bring about or enter into an agreement.” (Webster’s English Dictionary).
Pengertian outsourcing (Alih Daya) secara khusus didefinisikan oleh Maurice F Greaver
II, pada bukunya Strategic Outsourcing, A Structured Approach to Outsourcing:
Decisions and Initiatives, dijabarkan sebagai berikut : “Strategic use of outside parties to
perform activities, traditionally handled by internal staff and respurces.”
Menurut definisi Maurice Greaver, Outsourcing (Alih Daya) dipandang sebagai tindakan
mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusannya kepada
pihak lain (outside provider), dimana tindakan ini terikat dalam suatu kontrak kerjasama.
Beberapa pakar serta praktisi outsourcing (Alih Daya) dari Indonesia juga memberikan
definisi mengenai outsourcing, antara lain menyebutkan bahwa outsourcing (Alih Daya)
dalam bahasa Indonesia disebut sebagai alih daya, adalah pendelegasian operasi dan
manajemen harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan jasa
outsourcing). Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Muzni Tambusai, Direktur
Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
yang mendefinisikan pengertian outsourcing (Alih Daya) sebagai memborongkan satu
bagian atau beberapa bagian kegiatan perusahaan yang tadinya dikelola sendiri kepada

6
perusahaan lain yang kemudian disebut sebagai penerima pekerjaan. Dari beberapa
definisi yang dikemukakan di atas, terdapat persamaan dalam memandang outsourcing
(Alih Daya) yaitu terdapat penyerahan sebagian kegiatan perusahaan pada pihak lain.

Pengaturan Outsourcing (Alih Daya) dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan. UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai dasar hukum
diberlakukannya outsourcing (Alih Daya) di Indonesia, membagi outsourcing (Alih daya)
menjadi dua bagian, yaitu: pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh.
Pada perkembangannya dalam draft revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan outsourcing (Alih Daya) mengenai pemborongan pekerjaan dihapuskan,
karena lebih condong ke arah sub contracting pekerjaan dibandingkan dengan tenaga
kerja. Untuk mengkaji hubungan hukum antara karyawan outsourcing (Alih Daya)
dengan perusahaan pemberi pekerjaan, akan diuraikan terlebih dahulu secara garis besar
pengaturan outsourcing (Alih Daya) dalam UU No.13 tahun 2003.

Dalam UU No.13/2003, yang menyangkut outsourcing (Alih Daya) adalah pasal 64, pasal
65 (terdiri dari 9 ayat), dan pasal 66 (terdiri dari 4 ayat). Pasal 64 adalah dasar
dibolehkannya outsourcing. Dalam pasal 64 dinyatakan bahwa: Perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis.”
Pasal 65 memuat beberapa ketentuan diantaranya adalah: penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis (ayat 1); pekerjaan yang diserahkan
pada pihak lain, seperti yang dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
• dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
• dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
• merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan;
• tidak menghambat proses produksi secara langsung. (ayat 2)

7
Perusahaan lain (yang diserahkan pekerjaan) harus berbentuk badan hukum (ayat 3);
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan lain sama dengan
perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai
dengan peraturan perundangan (ayat 4); perubahan atau penambahan syarat-syarat
tersebut diatas diatur lebih lanjut dalam keputusan menteri (ayat 5); hubungan kerja
dalam pelaksanaan pekerjaan diatur dalam perjanjian tertulis antara perusahaan lain dan
pekerja yang dipekerjakannya (ayat 6) hubungan kerja antara perusahaan lain dengan
pekerja/buruh dapat didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (ayat 7); bila beberapa syarat tidak terpenuhi, antara lain, syarat-
syarat mengenai pekerjaan yang diserahkan pada pihak lain, dan syarat yang menentukan
bahwa perusahaan lain itu harus berbadan hukum, maka hubungan kerja antara
pekerja/buruh dengan perusahaan penyedia jasa tenaga kerja beralih menjadi hubungan
kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi pekerjaan (ayat 8).
Pasal 66 UU Nomor 13 tahun 2003 mengatur bahwa pekerja/buruh dari perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan
kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,
kecuali untuk kegiatan jasa penunjang yang tidak berhubungan langsung dengan proses
produksi. Perusahaan penyedia jasa untuk tenaga kerja yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi juga harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain :
1. adanya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja;
2. perjanjian kerja yang berlaku antara pekerja dan perusahaan penyedia jasa tenaga
kerja adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu atau tidak tertentu yang dibuat
secara tertulis dan ditandatangani kedua belah pihak;
3. perlindungan upah, kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang
timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
4. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dibuat secara tertulis.
Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan
memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. Dalam hal
syarat-syarat diatas tidak terpenuhi (kecuali mengenai ketentuan perlindungan

8
kesejahteraan), maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.

Penentuan Pekerjaan Utama (Core Business) dan Pekerjaan Penunjang (Non Coree
Business) dalam Perusahaan sebagai Dasar Pelaksanaan Outsourcing. Berdasarkan pasal
66 UU No.13 Tahun 2003 outsourcing (Alih Daya) dibolehkan hanya untuk kegiatan
penunjang, dan kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
R.Djokopranoto dalam materi seminarnya menyampaikan bahwa :
“Dalam teks UU no 13/2003 tersebut disebut dan dibedakan antara usaha atau kegiatan
pokok dan kegiatan penunjang. Ada persamaan pokok antara bunyi UU tersebut dengan
praktek industri, yaitu bahwa yang di outsource umumnya (tidak semuanya) adalah
kegiatan penunjang (non core business), sedangkan kegiatan pokok (core business) pada
umumnya (tidak semuanya) tetap dilakukan oleh perusahaan sendiri. Namun ada potensi
masalah yang timbul. Potensi masalah yang timbul adalah apakah pembuat dan penegak
undang-undang di satu pihak dan para pengusaha dan industriawan di lain pihak
mempunyai pengertian dan interpretasi yang sama mengenai istilah-istilah tersebut.”

Kesamaan interpretasi ini penting karena berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan


outsourcing (Alih Daya) hanya dibolehkan jika tidak menyangkut core business. Dalam
penjelasan pasal 66 UU No.13 tahun 2003, disebutkan bahwa :
”Yang dimaksud dengan kegiatan penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan
langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang berhubungan di luar usaha
pokok (core business) suatu perusahaan.Kegiatan tersebut antara lain: usaha pelayanan
kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering,
usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di
pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh.”

Interpretasi yang diberikan undang-undang masih sangat terbatas dibandingkan dengan


kebutuhan dunia usaha saat ini dimana penggunaan outsourcing (Alih Daya) semakin
meluas ke berbagai lini kegiatan perusahaan.

9
Konsep dan pengertian usaha pokok atau core business dan kegiatan penunjang atau non
core business adalah konsep yang berubah dan berkembang secara dinamis. Oleh karena
itu tidak heran kalau Alexander dan Young (1996) mengatakan bahwa ada empat
pengertian yang dihubungkan dengan core activity atau core business. Keempat
pengertian itu ialah :
1. Kegiatan yang secara tradisional dilakukan di dalam perusahaan.
2. Kegiatan yang bersifat kritis terhadap kinerja bisnis.
3. Kegiatan yang menciptakan keunggulan kompetitif baik sekarang maupun di
waktu yang akan datang.
4. Kegiatan yang akan mendorong pengembangan yang akan datang, inovasi, atau
peremajaan kembali.

Interpretasi kegiatan penunjang yang tercantum dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003
condong pada definisi yang pertama, dimana outsourcing (Alih Daya) dicontohkan
dengan aktivitas berupa pengontrakan biasa untuk memudahkan pekerjaan dan
menghindarkan masalah tenaga kerja. Outsourcing (Alih Daya) pada dunia modern
dilakukan untuk alasan-alasan yang strategis, yaitu memperoleh keunggulan kompetitif
untuk menghadapi persaingan dalam rangka mempertahankan pangsa pasar, menjamin
kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan. Outsourcing (Alih Daya) untuk
meraih keunggulan kompetitif ini dapat dilihat pada industri-industri mobil besar di dunia
seperti Nissan, Toyota dan Honda. Pada awalnya dalam proses produksi mobil, core
business nya terdiri dari pembuatan desain, pembuatan suku cadang dan perakitan. Pada
akhirnya yang menjadi core business hanyalah pembuatan desain mobil sementara
pembuatan suku cadang dan perakitan diserahkan pada perusahaan lain yang lebih
kompeten, sehingga perusahaan mobil tersebut bisa meraih keunggulan kompetitif.
Dalam hal outsourcing (Alih Daya) yang berupa penyediaan pekerja, dapat dilihat pada
perkembangannya saat ini di Indonesia, perusahaan besar seperti Citibank banyak
melakukan outsource untuk tenaga-tenaga ahli, Sehingga interpretasi outsource tidak lagi
hanya sekadar untuk melakukan aktivitas-aktivitas penunjang seperti yang didefinisikan
dalam penjelasan UU No.13 tahun 2003. Untuk itu batasan pengertian core business perlu

10
disamakan lagi interpretasinya oleh berbagai kalangan. Pengaturan lebih lanjut untuk hal-
hal semacam ini belum diakomodir oleh peraturan ketenagakerjaan di Indonesia.
Perusahaan dalam melakukan perencanaan untuk melakukan outsourcing terhadap tenaga
kerjanya, mengklasifikasikan pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang ke dalam suatu
dokumen tertulis dan kemudian melaporkannya kepada instansi ketenagakerjaan
setempat. Pembuatan dokumen tertulis penting bagi penerapan outsourcing di
perusahaan, karena alasan-alasan sebagai berikut :
1. Sebagai bentuk kepatuhan perusahaan terhadap ketentuan tentang
ketenagakerjaan dengan melakukan pelaporan kepada Dinas Tenaga Kerja
setempat;
2. Sebagai pedoman bagi manajemen dalam melaksanakan outsourcing pada bagian-
bagian tertentu di perusahaan;
3. Sebagai sarana sosialisasi kepada pihak pekerja tentang bagian-bagian mana saja
di perusahaan yang dilakukan outsourcing terhadap pekerjanya;
4. Meminimalkan risiko perselisihan dengan pekerja, serikat pekerja, pemerintah
serta pemegang saham mengenai keabsahan dan pengaturan tentang outsourcing
di Perusahaan.

11
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Obyek penelitian diambil dari beberapa sumber yang diambil penulis dari Google Search
yaitu, di :
1. PT Pertamina – dengan KPS-KPSnya
2. PT Jamsostek – dalam Jaminan Pelayanan Kesehatan (JPK) dan Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK) dengan RS yang dirujuk
3. PT PLN – dalam penyediaan sumber daya listrik dengan perusahaan pembangkit
listrik (Indonesia Power), juga dalam penyediaan sistem billing tagihan,
pembuatan, perawatan dan perbaikan jaringan PLN.
4. PT TELKOM - dalam penyediaan sistem billing tagihan, dan juga pembuatan,
perawatan dan perbaikan jaringan telepon serta sistem transmisi/panel satelit.
5. Perusahaan Penerbangan – dalam Ticketing, Catering, Cargo dan Perawatan
Pesawat.
6. BANK BNI 46, dalam kasus kelebihan pegawai yang dikatakan oleh IMF
Alasan pemilihan obyek penelitian di ke-6 obyek diatas karena perusahaan perusahaan
diatas telah lebih dulu menggunakan tenaga outsourcing di lini usahanya. Cikal bakal
penggunaan tenaga outsourcing di Indonesia yaitu terbentuk karena proyek – proyek
perusahaan tersebut adalah hal baru bagi Indonesia dan perlu adanya suatu kepastian
hukum yang mengaturnya yaitu dengan dikeluarkannya beberapa UU maupun Perpu
karena di dalamnya bersinggungan dengan Alih teknologi dari negara lain. Ambil contoh
peraturan yang mengaturnya, yaitu :

1. Pengelolaan sumber daya MIGAS didasarkan pada Pasal 33 (2) & (3) UUD
1945:.

a. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara;
b. Bumi & air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh
negara & digunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

12
2. Dalam rangka pelaksanaannya telah diundangkan UU No. 40/Prp tahun 1960
tentang Pertambangan MIGAS yang memuat ketentuan:
a. Pertambangan & kekayaan alam yang terkandung dalam bumi (MIGAS)
hanya diusahakan oleh negara dan dalam hal ini oleh perusahaan negara
semata-mata;
b. Menteri dapat menunjuk pihak lain sebagai kontraktor untuk perusahaan
negara tersebut apabila diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan yang
belum dapat atau tidak dapat dikerjakan sendiri.
3. Selanjutnya ketentuan tersebut diatas dituangkan dalam UU No. 8/1971 tentang
Perusahaan Pertambangan Minyak & Gas Bumi Negara (PERTAMINA);
4. Sifat usaha pencarian MIGAS adalah:
a. Padat modal; diperlukan modal yang sangat besar untuk mencari &
memproduksi MIGAS;
b. Resiko tinggi; resiko kegagalan yang sangat tinggi dalam pencarian
MIGAS berbanding terbalik dengan biaya yang dibutuhkan;
c. Berteknologi tinggi
5. Sadar akan terbatasnya dana, teknologi dan sumber daya yang dimiliki, sejalan
dengan Pasal 12 UU PERTAMINA dalam rangka mengembangkan kegiatan
sektor hulu, PERTAMINA mengadakan kontrak kerjasama dengan para
pengusaha minyak asing dalam bentuk Kontraktor Production Sharing (KPS).
6. Sistem KPS ini terus berkembang dengan mengakomodasikan tidak saja
kepentingan investor tetapi juga kepentingan nasional, terutama pembagian
keuntungan yang lebih layak & peningkatan kadar peran nasional dalam
pengadaan material, jasa & tenaga kerja.
7. Saat ini sistem KPS diterapkan oleh banyak negara produsen minyak lain.

Tetapi disini penulis lebih menitik beratkan obyek penelitian kepada Bank BNI 46 agar
ruang lingkupnya lebih sempit, dikarenakan keterbatasan waktu dan biaya yang
dikeluarkan penulis untuk mendapatkan data penelitian. Maka dapat dikatakan tujuan

13
penelitian adalah mengetahui sejauh mana variabel bauran X1, X2, X3 berpengaruh
terhadap Y, pada permasahan Bank BNI 46.
1. (Y) : Pro & Kontra bisnis outsourcing.
2. X1 : Keuntungan menggunakan outsourcing
3. X2 : Kerugian menggunakan outsourcing
4. X3 : Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ekonomi

X1

X2 Y

X3

A. Keuntungan Menggunakan Outsourcing (X1)

Dari pengertian tentang Outsourcing, dapat dikatakan di negara maju bisnis outsourcing
udah bukan lahan baru lagi, ia sudah muncul sejak tahun 1900-an. Namun di negara
berkembang outsourcing baru unjuk gigi sejak dua dekade silam. Outsourcing hadir
karena adanya keinginan dari perusahaan (perusahaan pengguna/pemesan –
user/principal) untuk menyerahkan sebagian kegiatan perusahaan kepada pihak lain
(perusahaan outsourcing) agar ia dapat berkonsentrasi penuh pada proses bisnis
perusahaan (core business). Biar lebih kompetitif tujuannya. Karena itu, pekerjaan yang
di-outsourcing-kan bukanlah pekerjaan yang berhubungan langsung dengan inti bisnis
perusahaan, melainkan pekerjaan penunjang (staff level ke bawah), meski terkadang ada
juga posisi manajerial yang di-outsourcing-kan, namun tetap saja hanya untuk pekerjaan
dalam tenggat waktu tertentu (proyek). Dengan ‘membagi tugas’ kepada perusahaan lain

14
itu, perusahaan pengguna outsourcing merasa mendapatkan keuntungan dari ‘kerjasama’
tersebut, karena ia tidak perlu pusing-pusing memikirkan dan mengurus pekerjaan-
pekerjaan penunjang sehingga bisa fokus dalam bisnis operasional perusahaan. Dan hal
itulah yang banyak membuat perusahaan beralih ke outsorcing. Buktinya, pertumbuhan
bisnis outsourcing global tercatat mencapai 30% per tahunnya. Dari situ kita bisa lihat,
betapa perusahaan-perusahaan pengguna outsourcing itu sudah mempercayakan sebagian
proses bisnisnya pada perusahaan outsourcing dalam hal perekrutan SDM. Karena
outsourcing sudah merupakan hal yang tidak baru lagi di dunia maupun di Indonesia
sendiri, karena beberapa faktor, yaitu :
1. TREND OUTSOURCING, yaitu :
a. Merupakan kebutuhan dari kondisi saat ini, contohnya adalah untuk
penghasil consumer goods yang memberikan semua bagian non-corenya
kepada pihak lain:
b. Bukanlah hal baru yang dipraktekkan tetapi merupakan praktek yang
sudah dilakukan beberapa perusahaan yang berhasil dalam effisiensi
yang juga dicirikan dengan minimnya masalah-masalah perburuhan;
c. Outsourcing murni akan memberikan nilai tambah dari lepasnya masalah
hubungan industrial, remunerasi, benefits dan hal-hal lain yang sifatnya
melekat pada pekerja karena produk jasalah yang diambil dari sifat
kerjanya;
d. Perubahan dari kondisi sekarang menuju outsourcing merupakan langkah
effisiensi yang sangat strategis untuk kelancaran usaha yang ada pada
saat ini;
2. TUJUAN PROGRAM OUTSOURCING:
a. Melaksanakan anjuran Pemerintah dalam mengembangkan kemitraan
agar perusahaan tidak menguasai kegiatan industri dari hulu ke hilir;
b. Meningkatkan pemerataan kesejahteraan masyarakat terutama di daerah
sub-urban;
c. Mendorong terjadinya proses pendidikan & alih teknologi dalam bidang
industri & managemen pengelolaan pabrik;

15
d. Mengurangi kegiatan pemusatan industri di perkotaan yang dapat
menimbulkan gangguan kerawanan sosial, keamanan & konflik
perburuhan.
3. MAMFAAT OUTSOURCING
a. BAGI PEMERINTAH:
1) Mengembangkan & mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat
dan pertumbuhan ekonomi nasional;
2) Pembinaan & pengembangan kegiatan koperasi & UKM;
3) Mengurangi beban Pemerintah kota dalam penyediaan fasilitas umum
(transportasi, listrik, air & pelaksanaan ketertiban umum).
b. BAGI MASYARAKAT & PEKERJA:

1) Aktivitas industri di daerah akan mendorong kegiatan ekonomi


penunjang dilingkungan masyarakat (pasar, warung, sewa
rumah/kamar, transportasi dll);
2) Mengembangkan infrastruktur sosial masyarakat, budaya kerja,
disiplin & peningkatan kemampuan ekonomi;
3) Mengurangi pengangguran & mencegah terjadinya urbanisasi;
4) Meningkatkan kemampuan & budaya berusaha dilingkungan
masyarakat.

4. BAGI INDUSTRI:
a. Mengurangi beban keterbatasan lahan untuk pengembangan perusahaan
di kawasan industri;
b. Meningkatkan fleksibilitas dalam pengembangan produk baru &
penyesuaian dengan perkembangan teknologi, sehingga perusahaan dapat
berkonsentrasi untuk mengembangkan produk baru & teknologi;
c. Produk yang sudah stabil & menggunakan teknologi lama bisa
dikembangkan di perusahaan mitra (outsourcing);
d. Meningkatkan daya saing perusahaan dengan effisiensi penggunaan
fasilitas & teknologi yang berkembang pesat.
5. ALASAN UNTUK OUTSOURCING:

16
a. Fokus pada core bisnis;
b. Perampingan organisasi;
c. Peningkatan produktivitas;
d. Pekerjaan musiman;
6. KAPAN OUTSOURCING DIBUTUHKAN:
a. Cara kerja yang sudah tidak efisien;
b. Operation cost yang tinggi;
c. Secara kualitas kemampuan kurang bersaing;
d. Daya kompetisi rendah.

Padahal, perusahaan-perusahaan pengguna outsourcing itu banyak yang merupakan


perusahaan besar, yang sebenarnya sudah sangat kredibel menangani hal-hal semacam
perekrutan. Seperti: Telkomsel, PT Pembangunan Jaya (Ancol), Unilever, Bank Niaga,
Bank Mandiri, Bank ABN Amro, dll. Mengenai adanya ketidakpercayaan pada sistem
outsourcing, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Sjukur Santo,
mencoba memberikan pandangannya mengenai ketidaknyaman para fresh grad untuk
mencari pekerjaan lewat perusahaan outsourcing. Beliau mengatakan, hal tersebut
mungkin saja terjadi karena hingga kini masih ada saja perusahaan outsourcing yang
berlaku tidak adil terhadap karyawannya. Di lain pihak, Iftida Yasar selaku CEO PT
Persaels dan Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI) straight to the
point mengatakan kalau ada perusahaan outsourcing yang berlaku ‘aneh’ seperti itu,
sudah bisa dipastikan perusahaan tersebut adalah perusahaan outsourcing gadungan, yang
hanya mencari kesempatan di atas kesempitan. Perusahaan-perusahaan ini ‘ngerjain’ job
seekers dengan cara yang bermacam-macam. Mereka yakin, karena kita sangat butuh
pekerjaan maka kita akan melakukan apa saja asal bisa dapat pekerjaan. Selain itu,
ketidaktahuan kita akan hak-hak pekerja juga bisa menjadi celah bagi kita untuk
dibodohi. (persaels)

B. Kerugian Menggunakan Outsourcing (X2)

17
Pada prinsipnya outsourcing employee atau pekerja outsource atau pekerja kontrak
adalah tenaga kerja yang diperbantukan didalam suatu perusahaan berskala menengah
keatas tentunya dengan segala atribut kompetensinya, tetapi keberadaan mereka tidak
terdapat didalam struktur organisasi perusahaan tersebut. Nah kemudian pertanyaannya,
berada dimanakah mereka ?, siapa yang menggaji mereka ?, bertanggung jawab kepada
siapakah hasil pekerjaan mereka ?, aturan-aturan pekerjaan siapakah yang harus dipenuhi
dan dipatuhi oleh mereka ? kemudian bagaimana recruitment mereka ? dan masih banyak
lagi pertanyaan dibenak saya dan juga mungkin dipemikiran sahabat tentang outsourcing
employee ini. Saya akan mencoba memberikan informasi tentang hal ini kepada sahabat
berdasarkan pengalaman saya sendiri yang pernah mengalami kondisi seperti ini.
Sebenarnya apa sih keuntungan yang didapat oleh suatu perusahaan yang menggunakan
jasa tenaga kerja outsourcing ini ? Dua kalimat sakti bisa menjawab pertanyaan ini yaitu
efisiensi cost pengeluaran rutin dan minimalisasi resiko perusahaan. Efisiensi
cost pengeluaran rutin diantaranya adalah :
1. Pengeluaran gaji atau salary, tentu saja sangat jauh berbeda gaji yang diterima
oleh karyawan yang “diakui” perusahaan dengan outsourcing employee dengan
beban kerja yang rata-rata harus dipikul oleh outsource employee lebih besar dari
karyawan yang “diakui” oleh perusahaan. Secara umum perbandingan atau selisih
gaji yang diterima outsorce employee paling besar 1/4 dari gaji karyawan yang
“diakui” perusahaan. Tentunya dengan asumsi segala atribut kompetensi,
pengalaman, dan skill keduanya sama. Jadi apabila karyawan yang “diakui”
perusahaan tersebut mendapat gaji Rp. 1000,000,- dengan posisi yang sama,
kompetensi yang sama, pokoknya semua sama deh, maka outsorce employee
hanya mendapat Rp. 250.000,- saja. Dari hal ini dapat kita bayangkan berapa
banyak yang dapat dihemat perusahaan dengan 1 item ini saja.
2. Tunjangan tetap dan tunjangan tidak tetap, seluruh tunjangan tetap dan tidak tetap
yang diterima sangat-sangat jauh perbedaannya yang penjelasannya hampir persis
sama dengan point 1 diatas

18
3. Bonus/reward, bisa dikatakan outsource employee tidak bisa mendapatkan bonus
apa-apa dari hasil pekerjaannya yang luarbiasa baik dibandingkan dengan
karyawan yang “diakui” perusahaan yang berlimpah-limpah bonus
4. Fasilitas-fasilitas perusahaan, termasuk didalamnya kegiatan-kegiatan sosial
kemasyarakatan dan kegiatan perusahaan seperti family gathering, perlombaan
memperingati hut perusahaan dan lain sebagainya. keterlibatan outsource disini
barangkali hanya sebagai pekerja yang maaf –kasar — dan bukan sebagai
penikmat dalam artian sebenarnya.
5. Dan masih banyak lagi efisiensi cost yang bisa dihemat oleh perusahaan yang
menggunakan jasa outsource ini.

Berikutnya, perusahaan juga dapat melakukan minimalisasi resiko perusahaan, seperti :


1. Resiko hukum dan perundangan
2. Resiko ketidakpuasan atas keputusan yang dikeluarkan perusahaan
3. Resiko pertanggungjawaban atas kecelakaan kerja
4. Resiko non teknis atas keputusan yang harus dikerjakan oleh outsource
5. dan banyak lagi resiko yang dapat diminimalisasikan oleh perusahaan

Jika saya berdiri diposisi perusahaan, tentulah saya mendapat porsi keuntungan yang
besar dalam menjalankan roda perusaahan, tapi pada kenyataannya saya berada pada
posisi dimana saya adalah bagian dari pekerja outsource.
Nah, kemudian jika kita bertanya bagaimana perasaan bila berada diposisi tersebut, maka
saya akan menjawab bahwa saya mengalami apa yang saya namakan neo slavery
diperusahaan tempat saya bekerja.
Saya tidak mengulas ulang tentang bagaimana pendapatan yang saya terima, tapi ini
nantinya akan ada hubungannya dengan pendapatan. Yang akan saya ungkapkan adalah
bagaimana pengkebirian ide, motivasi, pengkerdilan citra diri, dan “peng-underestimate-
nya kemampuan, serta terbentuknya feodalisme baru dilingkungan kerja saya.
Bagaimana tidak sahabat, dimulai dari rekrutment yang samasekali tidak jelas batasan
kopetensi yang diuji, dan kemudian kopetensi pengujinya — yang belakangan baru
ketahuan kualitas sebenarnya si penguji ini — Kemudian yang menguji itu samasekali

19
tidak dari perusahaan tempat kita menginduk, tetapi perusahaan yang menggunakan jasa
kita [sampai saat ini saya belum melihat aturan yang jelas mengenai hal tersebut]. Yang
jelas bagi saya adalah lo punya backing kuat, lo masuk, walaupun didalam hasil
rekrutment seseorang tersebut dinilai belum layak digunakan. Kemudian yang jelas juga
bagi saya adalah prinsip like and dislike dalam hal penentuan penerimaan tenaga
outsource.
Kemudian, sangat tidak jelasnya kontrak kerja yang disodorkan kepada pekerja
outsource, apakah angka-angka yang tertera tersebut sesuai dengan komitmen
perusahaan pemakai jasa ? Ditempat saya bekerja lagi-lagi belakangan diketahui bahwa
hasil keringat kita dipotong rata-rata 30% untuk kepentingan perusahaan induk,
menyebalkan bukan? Masih dalam lingkup kontrak kerja, banyak pasal-pasal dalam
kontrak kerja yang benar-benar tidak menunjukkan azas keadilan atau win-win solusion.
Pertanyaannya adalah, kenapa saya mau menandatangani kontrak kerja tersebut ?
Jawabannya sederhana sahabat, karena saya pada waktu itu belum tahu dan belum pernah
bekerja sebagai pegawai kontrak. Bukan alasan saya membutuhkan uang — walaupun hal
itu juga memotivasi saya untuk bekerja – Begitu banyak ide yang menurut saya begitu
membangun dan mendinamisasikan etos kerja yang tinggi yang kemudian ditolak
mentah-mentah hanya karena ide tersebut keluar dari kepala seorang pekerja outsource,
dan kemudian dengan doktrin-doktrin perilaku membentuk karakter kerja “penjilat” bagi
umumnya pekerja outsource dilingkungan kerja saya.

Feodalisme, itu barangkali idiom yang tepat mengenai hubungan antara pegawai yang
“diakui” dengan outsource di perusahaan saya. Dalam sistem feodal, kita akan mengenal
yang namanya majikan dan budak. Majikan hanya mengenal kebaikan, budak harus
keburukan, jika majikan salah, maka budak sebagai kambing hitamnya, jika budak salah
ya disiksa atau diperlakukan semena-mena.
Dan dizaman Indonesia menghirup udara segar kemerdekaan seperti saat ini, sangat
banyak perilaku-perilaku perbudakan baru yang bermunculan, baik itu yang menimpa
tenaga kerja yang samasekali tidak mempunyai skills sampai tenaga kerja yang
mempunyai pengalaman dan skills

20
C. Implikasi Outsourcing terhadap Pertumbuhan Ekonomi (X3)

Implikasi yang dapat terjadi akibat Outsourcing yaitu :


1. Akan terjadi restrukturisasi kegiatan industri secara nasional yang akan
mengakibatkan keresahan dikalangan UKM; UKM akan kehilangan kesempatan
untuk berusaha karena semua kegiatan industri akan dipusatkan di perusahaan
induk; Berkurangnya kesempatan kerja karena perusahaan harus menggunakan
teknologi tinggi untuk meningkatkan efisiensi; Hambatan terhadap perkembangan
ekonomi secara nasional.
2. Permasalahan hubungan industrial yang biasa dihadapi di lapangan.
Dilibatkannya Perusahaan Pemberi Pekerjaan oleh pekerja kontraktor / kontraktor
dalam perselisihan hubungan industrial mereka; Ikut campurnya oknum karyawan
Perusahaan Pemberi Pekerjaan dalam penentuan pemilihan pekerja kontraktor
secara langsung; Terlibatnya Perusahaan Pemberi Pekerjaan (oknum karyawan)
dalam penentuan remunerasi kontraktor; Proteksi kedaerahan pekerja lokal yang
berlebihan; Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dicampur-adukan
dengan masalah sosial; Pemaksaan penyelesaian masalah perburuhan dengan cara
politis; Kurangnya antisipasi kemungkinan terjadinya perselisihan; Perburuhan
dalam kontrak dokumen.

21
BAB IV
PEMBAHASAN

Pro-Kontra Outsourcing (Y)


Praktik bisnis outsourcing yang telah lama dilakukan negara-negara maju kini mulai
berkembang di Indonesia, meskipun masih lebih tepat disebut "labor contracting"
ketimbang outsourcing yang sebenarnya. Kegiatan mensubkontrakkan pekerjaan ini oleh
sebagian kalangan dianggap sebagai bentuk perbudakan baru atau memperlemah posisi
pekerja. Inilah solusi terhadap tingkat pengangguran yang begitu tinggi saat ini dan
kebutuhan perusahaan untuk benar-benar kompetitif. Di mana letak pro-kontranya?
Setiap kali membicarakan istilah outsourcing, maka hal yang pertama kali teringat adalah
kasus pegawai kontrak yang terjadi di Bank BNI. Para pegawai kontrak Bank BNI
berdemo di Bank BNI, DPR, dan kantor pusat Departemen Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Depnakertrans). Kondisi ini, tak pelak, mempengaruhi operasional Bank
BNI. Puncaknya tahun 2003 lalu, Pemerintah, dalam hal ini Departemen Tenaga Kerja
dan Transmigrasi (Depnakertrans) bertindak sebagai mediator pertemuan tripartit
(pemerintah, perusahaan, dan pekerja). Pertemuan itu menghadirkan Direktur Utama
Bank BNI waktu itu Saefuddien dan wakil para pekerja.

Hasilnya, seperti yang tersiar di berbagai media massa, pertemuan tersebut gagal
menghasilkan kesepakatan. Betapa panasnya suasana pertemuan itu terlihat dari
dikejarnya mobil Saefuddien oleh wakil para pekerja yang bertindak emosional. Badan
mobil tersebut digedor-gedor, dan mereka meminta Saefuddien untuk turun. Beruntung,
mobil yang ditumpangi Saefuddien berhasil meloloskan diri. Dan, pertemuan tersebut
berakhir tanpa penyelesaian. Mediasi oleh Depnaker pun gagal. Lantas, apa yang
sesungguhnya terjadi di Bank BNI? Awalnya adalah ketika tahun 2000, IMF menilai
Bank BNI kelebihan pegawai. Hasil ini diperoleh setelah konsultan bisnis Booz Allen
Hamilton yang diminta melakukan studi oleh IMF mengeluarkan rekomendasinya. Bila
Bank BNI ingin tetap bertahan dan tidak ditutup, IMF meminta Bank BNI untuk
mengurangi jumlah pegawai. Hingga 2001, Bank BNI berkutat dalam melakukan
rightsizing. Tetapi, perkembangan yang terjadi pada unit-unit bisnis Bank BNI,

22
mengharuskan Bank BNI menambah tenaga kerja namun bukan permanen sifatnya. Para
pegawai tersebut dikontrak oleh Bank BNI melalui Koperasi Swadharma milik Karyawan
dan Pensiunan Bank BNI. Dengan demikian, pegawai tersebut bekerja di Bank BNI,
bukan karyawan Bank BNI melainkan karyawan koperasi.

Dalam salah satu klausul perjanjian kerja antara si karyawan kontrak dengan Koperasi
disebutkan, pegawai kontrak akan diangkat menjadi pegawai tetap Bank BNI bila ada
formasi dan mereka lulus seleksi. Bila lulus, mereka menjadi pegawai tetap Bank BNI,
dan jika tidak lulus, tetap menjadi karyawan Koperasi. Inilah pangkal soalnya.
Terbatasnya jumlah karyawan kontrak yang bisa diterima menyebabkan sebagian besar
karyawan kontrak tetap berstatus karyawan kontrak. Kondisi ini terasa menyakitkan bagi
karyawan kontrak yang telah bekerja beberapa tahun dan berharap satu hari kelak mereka
diangkat menjadi karyawan tetap. Mereka berontak setelah sadar tidak lagi berpeluang
menjadi karyawan tetap Bank BNI.
Pihak Bank BNI merasa, karyawan kontrak itu memaksakan kehendaknya di luar
perjanjian kerja yang telah disepakati sejak awal. Sementara, karyawan kontrak menilai,
manajemen Bank BNI telah berlaku tidak adil. Rendahnya kemampuan manajerial
koperasi terhadap karyawan kontrak ini ikut memperburuk situasi. Itu sebabnya, lebih
dari 6 bulan lalu, Koperasi memutuskan mendirikan perusahaan khusus menangani
outsourcing tenaga kerja Bank BNI dengan nama PT Persona Prima Utama (PPU), yang
mengambil-alih pengelolaan karyawan kontrak Bank BNI dari Koperasi Swadharma.
"Dengan demikian, seluruh urusan terkait dengan karyawan kontrak, kini menjadi
tanggung jawab perusahaan ini," ujar Basanto Purno, Direktur Utama PPU, kepada
Human Capital.

Persoalan pegawai kontrak di Bank BNI itu membuka mata banyak pihak tentang praktik
outsourcing tenaga kerja yang ternyata telah berlangsung di Indonesia. Kendati yang
ditonjolkan lebih kepada ekses negatif dari kegiatan outsourcing. Media massa memang
lebih tertarik memberitakan sisi negatif pegawai kontrak di Bank BNI. "Itu karena media
berprinsip good news doesn't sell," ujar Eddy S. Tjahja, Managing Director JobsDB.com,
media sumberdaya manusia (SDM) berbasis Internet. Kenyataannya, kasus pegawai

23
kontrak di Bank BNI itu berdampak besar terhadap pengembangan praktik outsourcing di
Indonesia. Hal ini diakui oleh Iftida Yasar, Presiden Direktur Persaels, sebuah perusahaan
jasa bidang outsourcing. "Kasus Bank BNI itu menjadi referensi buruk bagi penerapan
kegiatan outsourcing secara profesional. Padahal, kejadian itu hanya kasus saja karena
waktu itu manajemen outsourcing masih ditangani koperasi." Saat Bank BNI menerapkan
sistem pegawai kontrak itu, praktik outsourcing tenaga kerja masih relatif baru di
Indonesia. Toh manajemen Koperasi Swadharma Bank BNI mengambil hikmah dari
kasus tersebut dengan mendirikan PT PPU sebagai wadah professional dalam mengelola
pegawai kontrak, khususnya untuk Bank BNI. Terbukti sejak manajemen pegawai
kontrak diambil-alih PPU, tutur Direktur PPU I.K. Eko Sumarno, tidak ada lagi masalah
besar muncul ke permukaan.

KENAPA HARUS OUTSOURCING? (X1)


Praktik outsourcing sebetulnya bukan hal baru di dunia. Sebelum Perang Dunia II,
Kerajaan Inggris telah menerapkan hal ini dengan merekrut serdadu Gurkha yang
terkenal dengan keberaniannya. Saat Perang Dunia II berlangsung, 1945-1950, Amerika
Serikat adalah negara yang paling banyak menerapkan outsourcing untuk keperluan
perang. Praktik outsourcing kemudian berkembang luas di perusahaan multinasional
sejalan dengan perlunya mereka beroperasi secara efisien dan focus terhadap bisnis
mereka. Perancis kini merupakan negara yang paling berkembang dalam menerapkan
outsourcing. Hampir seluruh perusahaan Perancis, dalam berbagai skala, menerapkan
praktik outsourcing dalam menjalankan usaha. Ada banyak hal yang mendorong
berkembangnya kegiatan outsourcing. Alasan utama, tentu saja, untuk efisiensi usaha.
Pakar manajemen Charles T. Fote, misalnya, mengatakan untuk bisa efisien, perusahaan
jangan mengerjakan semua hal sendiri. Selain lebih efisien, praktik outsourcing juga
mengurangi panjang dan rumitnya mata rantai kendali manajemen usaha. Tanpa
outsourcing, perusahaan akan semakin tambun sehingga tidak lincah bergerak. Di sisi
lain, perusahaan juga harus semakin fokus pada bidang-bidang yang dinilainya strategis,
seperti dikatakan pakar manajemen Al Ries. Fokus pada bidang keahlian utamanya dan
tidak lari kemana-mana, termasuk mengurusi hal-hal tetek bengek. Prinsip ini juga
sejalan dengan keyakinan bahwa ada jenis pekerjaan tertentu yang memerlukan

24
penanganan khusus oleh tenaga-tenaga ahli tertentu. Dalam industri rekayasa global,
umpamanya, praktik outsourcing untuk tujuan ini diterapkan secara meluas dalam
industri pesawat terbang, otomotif, dan permesinan industri. Industri tersebut
menyerahkan pendesainan pesawat, mobil, atau mesin kepada perusahaan khusus desain.
Rancang-bangun mobil murah Maleo yang rencananya diproduksi Indonesia di era
Habibie dilaksanakan oleh sebuah perusahaan Australia, yang juga mengerjakan hal yang
sama untuk perusahaan otomotif lainnya.

Perusahaan otomotif Jepang menyerahkan sebagian besar pekerjaannya kepada industri


komponen yang memenuhi standar mereka. Selanjutnya, seluruh komponen itu dirakit di
perusahaan otomotif tersebut. Perusahaan otomotif tersebut hanya focus pada desain dan
pengembangan rancangbangun, memproduksi komponen tertentu, merakit, dan
memasarkan mobil-mobil yang telah ditempeli merek mereka. Tengok pula apa yang
dilakukan pemilik merek sepatu olahraga terkemuka di dunia macam Nike, Adidas, Fila,
dan sebagainya. Mereka hanya fokus pada pengembangan desain sepatu,
mendistribusikan, memasarkan, dan mengelola merek. Sedangkan kegiatan produksinya
diserahkan kepada perusahaan-perusahaan lain yang tersebar di seluruh dunia, termasuk
di Indonesia. Mereka memberikan order produksi kepada perusahaan-perusahaan yang
mampu memberikan biaya dan mutu produksi terbaik. Dalam definisi umum, praktik
semacam ini termasuk kegiatan global outsourcing, yaitu mensubkontrakkan produksi ke
banyak perusahaan di dunia. Kegiatan bisnis semacam ini sering juga disebut global
sourcing, mereknya sama namun diproduksi di banyak negara.

Perusahaan perminyakan termasuk yang paling banyak melakukan kegiatan outsourcing,


baik di dunia maupun di Indonesia. Kegiatan yang disubkontrakkan tidak hanya bidang
transportasi, konsumsi, atau asuransi, tetapi meluas ke berbagai hal strategis lainnya.
Mulai dari survei seismic untuk mencari cadangan minyak dan gas hingga kegiatan
eksplorasi serta eksploitasi. Mereka menyewa rig untuk eksploitasi migas lepas pantai,
dan menyerahkan perawatan peralatan kepada ahli dari Schlumberger, misalnya. Langkah
Pertamina memperkenalkan praktik Kontraktor Production Sharing (KPS) sejak tahun
70-an, sejatinya juga tergolong kegiatan outsourcing. Di situ, KPS diberi hak mengelola

25
blok-blok migas tertentu sebagai mitra Pertamina. Kecuali karena beberapa alasan di atas,
tidak dapat dipungkiri, ada juga perusahaan multinasional yang menerapkan outsourcing
dalam upaya menekan biaya buruh atau tenaga kerja. Praktik global outsourcing yang
terjadi pada industri sepatu maupun industri TPT (tekstil dan produk tekstil) - dua industri
yang sering disebut sebagai sunset industry karena selalu mencari lokasi dengan biaya
produksi termurah - tergolong pada kategori di atas. Merek-merek global itu selalu
mencari negara-negara dengan biaya buruh murah untuk basis produksi. Produk akhirnya
dijual dengan dolar, yang harganya bisa 10 kali lipat dari harga pembelian merek tersebut
dari para produsen. Sementara, gaji tenaga kerja tetap dibayar mengikuti standar
minimum macam UMR (Upah Minimum Regional) atau UMP (Upah Minimum
Propinsi).

Namun demikian, melimpahnya pasokan tenaga kerja dibandingkan lapangan kerja yang
tersedia, menyebabkan para tenaga kerja tidak memiliki pilihan lain, selain menerima
fakta tersebut. Itu pulalah yang terjadi di Indonesia, saat pengangguran makin menjadi-
jadi pasca krisis ekonomi 1997. Dewasa ini, tingkat pengangguran telah mencapai 44 juta
orang lebih akibat lambatnya penciptaan lapangan kerja baru dan terus bertambahnya
tenaga kerja baru. Artinya, rata-rata di setiap rumah tangga, yang bekerja penuh hanya
satu orang saja. Sisanya menganggur. Hukum ekonomi menyebut fakta ini sebagai seller's
market, di mana pasokan buruh terlalu besar dibandingkan permintaan, sehingga harga
buruh cenderung tertekan.

Dalam kondisi yang memprihatinkan ini, outsourcing sangat membantu mengurangi


pengangguran tersebut. Para pekerja bisa mendapatkan pekerjaan, meskipun dalam
bentuk kontrak kerja dalam jangka waktu tertentu (PKWT/Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu). Upah yang diterima bahkan bisa lebih besar untuk pekerjaan tertentu karena
sifatnya kontrak. Pilihan bagi pencari kerja adalah, menerima semua kondisi ini atau tetap
menjadi pengangguran. "Saya kira, pilihan pertama jauh lebih baik," tukas Kemalsjah
Siregar, Managing Partner Firma Hukum Kemalsjah Chemby Avriline. Dengan bekerja,
lanjutnya, karyawan bisa bersosialisasi dengan baik dan mengasah keterampilannya. Jika
ada lowongan yang sesuai dan bisa memberikan gaji serta fasilitas yang diharapkan, ia

26
bisa melamar untuk mengisi lowongan tersebut. Daripada jadi pengangguran dan tinggal
di rumah, jelas ini sebuah pilihan yang jauh lebih baik.

"Manfaat utama outsourcing akan sangat dirasakan oleh para lulusan baru yang kesulitan
untuk memasuki dunia kerja," kata Ismaila Tyastanto, Managing Director PT HITSS
Sumberdaya Nusantara Konsultan, sebuah perusahaan jasa outsourcing. Kebanyakan
perusahaan pemberi jasa outsourcing (user) mencari tenaga kerja berusia muda untuk
menangani bidang pekerjaan tertentu. Selain gajinya lebih murah, anak-anak muda itu
masih mudah dididik, haus pengalaman, dan bisa bekerja keras. Perusahaan tidak merasa
rugi jika harus memberikan pelatihan pembekalan bagi mereka dalam mengerjakan
tugasnya secara profesional. Melalui perusahaan jasa outsourcing, mereka bisa bekerja di
perusahaan-perusahaan besar, meskipun bukan menjadi karyawan perusahaan besar itu.
Dalam situasi normal, peluang bekerja di perusahaan besar itu belum tentu tersedia.
Apalagi, setelah krisis ekonomi, perusahaanperusahaan kini sangat berhati-hati
menambah karyawan. Mereka ingin seramping mungkin dan terhindar dari kompleksitas
aturan ketenagakerjaan. Konsekuensi dari penambahan karyawan permanen tidak hanya
menyangkut gaji dan fasilitas, tetapi juga dana pensiun dan jenjang karir. Oleh sebab itu,
mereka menyiasati kebutuhan tenaga kerja akibat tuntutan perkembangan usaha diisi
melalui outsourcing. Tidak semua kalangan internal perusahaan menerima praktik
outsourcing ini dengan tangan terbuka. Serikat Pekerja (SP) dan karyawan tetap,
misalnya, cenderung menolak gagasan outsourcing ini. Mereka khawatir praktik ini akan
mengancam posisi karyawan tetap dan mengacaukan system remunerasi perusahaan.
"Karyawan tetap merasa was-was, setiap saat mereka bisa saja diganti karyawan
outsourcing atau bila bagiannya di-outsource ke luar," ujar seorang karyawan senior
sebuah bank yang enggan disebutkan namanya. Kekhawatiran ini, agaknya, terlalu
berlebihan. Kalaupun bagian dia dioutsource ke luar, perusahaan juga tidak semenamena.
Misalnya departemen atau divisi teknologi informasi. Bila disubkontrakkan kepada
perusahaan penyedia jasa secara penuh, mulai dari peralatan hingga SDMnya, ada satu
perjanjian yang menyebutkan seluruh karyawan departemen/divisi tersebut harus
diambil-alih oleh perusahaan jasa penerima outsourcing. "Otomatis, mereka berubah
status menjadi karyawan kami, dengan sistem remunerasi yang bersaing," ungkap

27
Andreas R. Diantoro, Managing Director Hewlett-Packard Indonesia. HP Indonesia
menerima outsourcing peralatan TI (PC, server, mainframe, printer, dan lainnya) berikut
pengelolaannya kepada perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sini. Jasa penyewaan
ini untuk produk PC disebut dengan seat management. Selain menyediakan piranti keras,
pengelolaan dan perawatan peralatan dilakukan sepenuhnya oleh orang-orang HP. "Ini
akan membuat biaya operasional dan investasi perusahaan bisa ditekan," tambahnya.
Tentang tuduhan praktik outsourcing sebagai bentuk perbudakan baru atau modern? "Itu
jelas tidak berdasar," tukas Iftida, Ismaila, dan Hasanuddin Rahman. Meski mengaku ada
juga perusahaan outsourcing yang nakal, mereka menilai tuduhan itu muncul dari orang
yang tidak paham tentang manajemen bisnis. Sebelum bekerja, pekerja maupun
perusahaan telah membuat kesepakatan yang jelas dan saling menguntungkan. "Lagi
pula, sebagian besar perusahaan jasa outsourcing dimiliki atau dikelola oleh orang-orang
yang telah lama bergerak di bidang SDM sehingga tidak mungkin mereka semena-mena,"
ungkap mereka.

KONTROVERSI PERATURAN (X2)


Sejatinya, Indonesia belum memiliki Undang-Undang atau Peraturan Hukum yang secara
jelas mewadahi kegiatan outsourcing. Menurut Purbadi Hardjoprajitno, SH., dari Firma
Hukum Purbadi Associates, satu-satunya referensi hukum tentang outsourcing adalah UU
N0. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 64, 65, dan 66. UU itu tidak menyebutkan
outsourcing, melainkan hanya tentang perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyediaan
jasa tenaga kerja. Dengan demikian, sebuah perusahaan bisa memborongkan sebagian
pekerjaan atau pekerjaan tertentu kepada perusahaan pemborong pekerjaan. Atau
menyerahkan tenaga pengelola kepada perusahaan jasa penyedia tenaga kerja. Meski
tidak letterlijk menyebut outsourcing, kedua hal itu kiranya bermakna outsourcing.

Walaupun begitu, terdapat sejumlah kerancuan pada pasal-pasal tentang kegiatan


outsourcing dalam UU No. 13 tersebut, jika praktik pemborongan pekerjaan dan tenaga
kerja itu dianggap sama dengan outsourcing. Pasal 65 menyebutkan, pekerjaan yang
dapat diserahkan kepada perusahaan lain harus memenuhi syarat-syarat berikut:
dilakukan terpisah dari kegiatan utama, dilakukan dengan perintah langsung/tidak

28
langsung dari pemberi pekerjaan, merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara
keseluruhan, dan tidak menghambat proses produksi secara langsung. Pasal 66
menjelaskan, pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh
digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang
berhubungan langsung dengan proses produksi (core business), kecuali untuk kegiatan
jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi
(dalam penjelasan Pasal 66 disebutkan, antara lain, cleaning service, catering, satpam,
usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, angkutan pekerja). Benang
merah dari kedua pasal itu adalah adanya batasan jenis-jenis kegiatan yang boleh
diborongkan dengan yang tidak. Di sinilah muncul ketidakjelasan atau kerancuan
penafsiran tentang UU tersebut. S. Lumban Gaol, Direktur Persyaratan Kerja
Depnakertrans, menegaskan, ada perbedaan mendasar antara outsourcing dalam dunia
bisnis dengan pengalihan pekerjaan dan tenaga kerja kepada pihak lain dalam UU
Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 itu. "Dalam dunia bisnis, semua pekerjaan bisa
dioutsourcing, sedangkan dalam UU Ketenagakerjaan pekerjaan yang bisa diborongkan
kepada pihak lain adalah pekerjaan yang sifatnya penunjang, bukan pekerjaan pokok atau
core business," ujarnya.

Ia memberi contoh, pekerjaan teller di perbankan termasuk pekerjaan pokok, karena


kegiatan perbankan akan terhenti secara keseluruhan kalau pekerjaan teller terhenti atau
terganggu. Oleh karena itu, menurutnya, pekerjaan teller tidak bisa diborongkan atau
diserahkan kepada pihak lain. Bila pihaknya menemukan pelanggaran, maka
Depnakertrans akan memaksa perusahaan bersangkutan merekrut karyawan tersebut
menjadi karyawannya. "Tidak ada sanksi pidana atas pelanggaran ini. Tapi demi hukum,
dengan sendirinya karyawan itu harus menjadi karyawan perusahaan tersebut," jawabnya.
Menurut DR. H. Hasanuddin Rahman, Ketua DPN Apindo Bidang Hubungan Industrial
Advokasi, ketidakjelasan utama UU tersebut adalah soal definisi core business sebuah
perusahaan. "Pemerintah dan pelaku usaha memang belum sepaham tentang banyak hal
dari kegiatan outsourcing," katanya serius. UU tersebut menilai core business terkait
dengan proses produksi. Sementara kemajuan jaman menyebabkan kegiatan produksi
atau core business itu bergeser.

29
Seperti produsen mobil Toyota di Jepang, sebagian besar pengerjaan produknya
diserahkan kepada perusahaan lain. Di Indonesia, pabrik-pabrik otomotif juga menuju ke
sana. Paling-paling mereka hanya memproduksi komponen penting macam mesin,
transmisi, dan axle. Sisanya diserahkan pengerjaannya kepada perusahaan komponen.
Bila UU itu diterapkan, praktik bisnis global ini tidak cocok dan menjadi terlarang.
Bagaimana dengan bisnis jasa? Sami mawon. Teller dan layanan nasabah di perbankan,
misalnya, termasuk kegiatan core business. Tapi, jika perusahaan menetapkan fungsi
teller bukan merupakan core business karena bisa digantikan oleh mesin ATM dan
delivery channel lainnya, maka jabatan-jabatan tersebut kini mulai di-outsourcing ke
perusahaan lain karena perusahaan merasa tidak efisien lagi mengelolanya. Praktik ini
dilakukan oleh bank-bank global ataupun bank-bank besar lokal. Bagi perbankan global,
hal ini sudah menjadi praktik bisnis global sehingga mereka tinggal mengadopsinya di
Indonesia. Bahkan, dalam bisnis kartu kredit, proses bisnisnya banyak yang di-
outsourcing ke perusahaan lain. Mereka mengandalkan karyawan outsourcing untuk
mengelola bisnis, pemasaran, penagihan, dan layanan nasabah. N. Krisbiyanto, GM
Human Resources PermataBank, menangkap kesan adanya kekeliruan penafsiran
berbagai pihak - termasuk pemerintah - saat ini terhadap praktik outsourcing. "Yang
terjadi di Indonesia sebetulnya baru pada taraf contracting, belum sampai ke
outsourcing," ujarnya serius. Padahal, menurut Kris�- begitu sapaan akrabnya - dua hal
itu sangat berbeda. Kris mungkin benar. Apa yang tertulis di UU Indonesia lebih berbau
contracting ketimbang outsourcing. Dalam kegiatan contracting, perusahaan pemberi
kerja berperan penuh dalam kontrol proses bisnis dan atas kualitas kerja. Sementara
perusahaan penyedia jasa hanya menyediakan tenaga kerja dan mengikuti standard proses
bisnis.
Secara definisi, menurut Kris, outsourcing adalah suatu pendelegasian dari satu atau
beberapa proses bisnis kepada pihak luar di mana pihak tersebut akan melakukan proses
administrasi dan proses manajemen tertentu berdasarkan definisi dan ukuran kinerja
tertentu, yang telah disepakati bersama dalam satu kontrak kerja antara pemberi kerja dan
penyedia jasa.

30
Untuk mengatasi ketidakjelasan peraturan ini, diperlukan peraturan pelaksana yang
menyempurnakan UU No. 13 2003 itu berupa Keputusan Menteri Tenaga Kerja
(Kepmenaker). Salah satu kemungkinan, menurut Drs. S. Sianturi, Ketua P4 Pusat,
adalah dengan memberikan batasan mana pekerjaan yang tergolong core business dan
mana yang tidak untuk seluruh jenis industri. Atau membuat daftar jabatan/posisi yang
termasuk core dan yang tidak. "Bisa pula dengan memberikan kebebasan bagi masing-
masing perusahaan atau paling tidak masing-masing subsektor untuk merumuskan sendiri
pekerjaan yang tergolong core dan non-core," ujarnya.

Mewakili kalangan pengusaha, Hasanuddin Rahman juga meminta pemerintah untuk


menyerahkan sepenuhnya kepada perusahaan untuk menentukan kegiatan yang di-
outsourcing dan yang tidak. "Perusahaanlah yang paling tahu tentang jenis kegiatan yang
perlu di-outsourcing dan mana yang tidak. Yang penting, perusahaan melakukannya tanpa
merugikan siapapun," tukas Ketua Tim Perumus RUU Ketenagakerjaan Apindo/Kadin
Indonesia itu. Hal senada disampaikan Sofjan Wanandi, Ketua Umum Apindo. "Kita
semua harus realistis. Ekonomi masih sulit, sementara peraturan ketenagakerjaan begitu
banyak dan ada yang tumpang tindih. Bagi perusahaan, outsourcing adalah pilihan yang
tidak terhindarkan," tegasnya serius.
Di tengah persaingan bisnis yang menajam, perusahaan punya hak untuk melakukan
strategi bisnis yang memungkinkan mereka untuk bertahan dan berkembang. Tanpa
kehadiran perusahaan yang sehat dan berkembang, penciptaan lapangan kerja sulit
terwujud. Tanpa dukungan karyawan prefesional, perusahaan juga sulit berkembang.
Keduanya berkaitan erat satu sama lain.

Hanya saja, menurut Ismaila, pemerintah tidak perlu terlalu jauh ikut campur tangan
mengatur bisnis outsourcing. "Di manapun, pemerintah yang terlalu mengatur hasilnya
malah tidak baik," tegasnya. Salah satu ekses dari UU Ketenagakerjaan, para pegawai
Depnakertrans kerap memata-matai dan menginterogasi pegawai kontrak di berbagai
perusahaan. Niat baik Depnakertrans untuk melindungi kepentingan pekerja seringkali
menimbulkan masalah, khususnya mengganggu ketenangan bekerja para karyawan

31
perusahaan tersebut. Dikhawatirkan tindakan seperti ini menimbulkan ekses lain, seperti
upaya pemerasan, suap-menyuap, dan sejenisnya.

Eddy S. Tjahja malah mempertanyakan apakah praktik outsourcing sudah saatnya untuk
diatur. "Bisnis ini masih terlalu kecil untuk disebut sebuah industri di Indonesia.
Pengaturan kiri-kanan justru membuat bisnis ini tidak berkembang," tambahnya.
Pengaturan yang terlalu rigid akan menyulitkan dalam pelaksanaannya karena semakin
kompleksnya manajemen perusahaan, berkembangnya bentuk-bentuk baru pengelolaan
pekerjaan yang tidak dikenal sebelumnya, baik karena kompetisi maupun globalisasi
bisnis melalui kehadiran perusahaan multinasional.
Nafas dari peraturan yang dibuat pemerintah tentu untuk melindungi kepentingan
berbagai pihak, khususnya tenaga kerja. Tidak seperti di luar negeri, Drs. S. Sianturi
berpendapat, praktik outsourcing di Indonesia lebih banyak dilakukan untuk menekan
biaya tenaga kerja. Hal itu terlihat dari hubungan kerja yang selalu dalam bentuk kontrak,
upah lebih rendah, jaminan sosial dalam batas minimal, tidak adanya job security, dan
tidak adanya jaminan pengembangan karir.

Pendapat yang lebih kritis disampaikan oleh Yanuar Nugroho, Direktur The Business
Watch Indonesia. "Outsourcing mengaburkan bentuk hubungan industrial yang tidak
menguntungkan buruh. Ada beberapa hak buruh yang terpangkas dan bila ada
perselisihan, terjadi saling lempar tanggung jawab antara perusahaan pemberi pekerjaan
dengan perusahaan penyalur tenaga kerja," ungkapnya. Yanuar menilai, konsekuensi
terbesar dari outsourcing adalah munculnya job insecurity. Selain mereka bekerja hanya
selama masa kontrak yang relative pendek, ketidakpastian pekerjaan juga muncul selama
masa kontrak kerja berlangsung. "Meski dalam keadaan sakit, si pekerja akan tetap
masuk kerja karena takut kontraknya tidak diperpanjang." Kritik semacam ini perlu
menjadi masukan bagi perusahaan pemberi kerja maupun perusahaan penerima kerja
melalui outsourcing. Anggapan bahwa outsourcing sebagai bentuk perbudakan baru atau
perbudakan modern harus direspons secara bijak. UU No. 13 2003 telah
menggarisbawahi bahwa perlindungan dan syarat kerja karyawan kontrak minimal sama
dengan yang berlaku di perusahaan pemberi pemborongan pekerjaan. Maknanya jelas.

32
Karyawan outsourcing yang ditempatkan di satu perusahaan harus memperoleh gaji dan
fasilitas yang sama dengan karyawan tetap level yang sama di perusahaan itu atau
minimal mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pelanggaran atas ketentuan ini harus secepatnya dikoreksi. Bagaimanapun, para
karyawan kontrak adalah asset utama perusahaan jasa outsourcing. "Kesejahteraan
mereka perlu diperhatikan agar mereka bekerja secara sungguh-sungguh," Finny
Widiyanti, Senior Manager PT Solusi Mitra Kerja, mengingatkan. Bila klien puas,
kontrak kerja dengan perusahaan jasa outsourcing itu tentu akan terus diperpanjang. Hal
itu juga menyebabkan kontrak kerja terhadap karyawan kontrak terus diperpanjang.

SEBUAH KENISCAYAAN (X3)


Satu hal yang pasti, praktik bisnis outsourcing sudah menjadi keniscayaan bagi
perusahaan. Di negara maju macam Amerika, dari hari ke hari semakin banyak fungsi
organisasi yang disubkontrakkan kepada perusahaan lain yang lebih pakar dan efisien di
bidangnya. Fungsi dan proses bisnis di bidang teknologi informasi (TI) diserahkan
kepada perusahaan TI raksasa seperti IBM dan HP yang lebih ahli di bidangnya. Kedua
raksasa ini melayani outsourcing penuh di bidang TI, mulai dari perangkat keras, lunak,
hingga SDM, melalui IBM Services dan HP Services. Fungsi dan proses bisnis audit
diserahkan kepada perusahaan audit terkemuka seperti PricewaterhouseCopper, Ernst &
Young, Deloitte, dan banyak lagi. Oleh perusahaan audit raksasa ini, pengerjaan audit
yang bersifat teknis dioutsourcing lagi kepada perusahaan audit yang lebih kecil. Begitu
pula fungsi dan proses bisnis manajemen SDM yang disebut dengan HR Outsourcing�-
meliputi pengelolaan gaji dan layanan informasi SDM. Nilai total outsourcing proses
bisnis (Business Process Outsourcing) bidang SDM di Amerika diperkirakan tumbuh dari
US,5 miliar menjadi US miliar tahun ini. Sungguh sebuah nilai yang sangat besar.
Belakangan, outsourcing proses bisnis di bidang pelatihan dan pembelajaran juga
semakin menjadi tren.

Apakah dunia kiamat dengan meluasnya praktik outsourcing ini? Tentu saja tidak.
Bahkan di negara Jepang sekalipun, yang dikenal dengan filosofi kerja seumur hidup
(lifetime employment), praktik outsourcing meluas pula diterapkan. Jaman terus berubah

33
dengan berbagai konsekuensinya. Hari ini, kita mungkin masih belum siap dan merasa
tidak nyaman dengan status pegawai kontrak itu. Beberapa tahun lagi, semuanya bisa saja
berubah seiring dengan berubahnya paradigma dunia kerja. Bagi profesional berprestasi,
status karyawan kontrak itu bukanlah sesuatu yang perlu dirisaukan. Apa yang perlu
dilakukan kini adalah sosialisasi praktik outsourcing ini secara benar. Sosialisasi itu harus
dilakukan pemerintah bekerjasama dengan para pelaku bisnis. Sosialisasi terbaik tentunya
melalui pemberian contoh positif oleh perusahaan jasa outsourcing dalam mengelola
karyawan kontrak. Kecuali itu, sosialisasi perlu untuk memberikan gambaran bahwa
outsourcing tidak hanya untuk pegawai rendahan atau kelas asisten manajer.

Auditsi, sebuah perusahaan jasa outsourcing di Indonesia, bahkan melayani pula


outsourcing hingga level Presiden Direktur atau Chief Executive Officer (CEO). Sebuah
perusahaan besar asing kini sedang mencari CEO untuk dikontrak 2 tahun dengan gaji
US.000 plus bonus US.000 per bulan (total US.000 per bulan). Penghasilan yang sangat
besar untuk ukuran Indonesia, bukan? Sosialisasi perlu juga dilakukan kepada
perusahaan-perusahaan pemakai jasa outsourcing agar mereka memahami betul filosofi
dasar dari kegiatan outsourcing ini, yaitu untuk mendapatkan biaya yang efektif (cost
effective). Ada perusahaan yang salah kaprah menerapkan prinsip cost effective ini
dengan benar-benar menekan biaya. Padahal, prinsip itu bermakna mengeluarkan biaya
yang tepat guna. "Perusahaan harus melihat mana biaya tetap yang bisa diubah menjadi
biaya variabel," tutur Ismaila. Baik Iftida maupun Ismaila meminta perusahaan untuk
bertindak bijak dengan mau membayar sedikit lebih mahal sehingga kualitas yang
diperoleh user jauh lebih bagus. "Kalau maunya murah-murah melulu, hasilnya juga tidak
akan bagus," tukas mereka di tempat terpisah. Kemauan berbagai pihak untuk terus
menyempurnakan pelaksanaan praktik outsourcing diyakini akan mempercepat
perkembangan bisnis outsourcing secara profesional. Tahun ini, eksekutif Persaels Farid
Aidit memperkirakan kebutuhan karyawan outsourcing baru sekitar 15.000 pegawai.
"Setidaknya hal ini bisa membantu penyerapan tenaga kerja dan mengurangi
pengangguran," tukasnya.

34
Terobosan dalam penciptaan lapangan kerja baru memang perlu diambil pemerintah
mengingat tingkat pengangguran yang terus bertambah dan berkurangnya kesempatan
kerja di sektor formal sejak 2001 hingga 2003. Pemerintah sendiri, menurut Direktur
Ketenagakerjaan dan Analisis Ekonomi Bappenas Dr. Ir. Bambang Widianto, MA.,
menilai perlunya diterapkan Flexible Labor Market Policies, antara lain, dengan
outsourcing.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk menciptakan kesempatan kerja di sector yang relatif
modern, memungkinkan perpindahan pekerja dari pekerjaan dengan produktivitas rendah
ke pekerjaan yang memiliki produktivitas lebih tinggi, dan mempertahankan atau
meningkatkan kesejahteraan bagi mereka yang masih berada di sektor informal. Di
tengah keterpurukan perekonomian saat ini, tidak banyak pilihan yang tersedia bagi
angkatan kerja. Mereka dihadapkan pada pilihan bekerja dengan kondisi yang kurang
memuaskan atau tetap menganggur. Tumbuhnya bisnis outsourcing professional
diharapkan memperbaiki pilihan sulit itu.

35
BAB V

KESIMPULAN & SARAN

Kesimpulan

Outsourcing (Alih daya) sebagai suatu penyediaan tenaga kerja oleh pihak lain dilakukan
dengan terlebih dahulu memisahkan antara pekerjaan utama (core business) dengan
pekerjaan penunjang perusahaan (non core business) dalam suatu dokumen tertulis yang
disusun oleh manajemen perusahaan. Dalam melakukan outsourcing perusahaan
pengguna jasa outsourcing bekerjasama dengan perusahaan outsourcing, dimana
hubungan hukumnya diwujudkan dalam suatu perjanjian kerjasama yang memuat antara
lain tentang jangka waktu perjanjian serta bidang-bidang apa saja yang merupakan
bentuk kerjasama outsourcing. Karyawan outsourcing menandatangani perjanjian kerja
dengan perusahaan outsourcing untuk ditempatkan di perusahaan pengguna outsourcing.
Karyawan outsourcing selama ditempatkan diperusahaan pengguna jasa outsourcing
wajib mentaati ketentuan kerja yang berlaku pada perusahaan outsourcing, dimana hal itu
harus dicantumkan dalam perjanjian kerjasama. Mekanisme Penyelesaian perselisihan
ketenagakerjaan diselesaikan secara internal antara perusahaan outsourcing dengan
perusahaan pengguna jasa outsourcing, dimana perusahaan outsourcing seharusnya
mengadakan pertemuan berkala dengan karyawannya untuk membahas masalah-masalah
ketenagakerjaan yang terjadi dalam pelaksanaan outsourcing.
Dewasa ini outsourcing sudah menjadi trend dan kebutuhan dalam dunia usaha, namun
pengaturannya masih belum memadai. Sedapat mungkin segala kekurangan pengaturan
outsourcing dapat termuat dalam revisi UU Ketenagakerjaan yang sedang dipersiapkan
dan peraturan pelaksanaanya, sehingga dapat mengakomodir kepentingan pengusaha dan
melindungi kepentingan pekerja.

SARAN

Memilih Perusahaan Outsourcing


Pilih perusahaan outsourcing yang dapat berperan sebagai konsultan.
Perusahaan outsourcing yang profesional akan mampu memberikan opini dan alternatif
solusi bagi masalah yang berkaitan dengan rekrutmen, seleksi, penentuan profile

36
karyawan, penerapan disiplin sampai dengan pemutusan hubungan kerja. Selain
mematuhi hukum yang berlaku, perusahaan outsourcing yang baik juga harus bisa
berperan sebagai advisor yang dapat memberikan pandangan bagi langkah dan kebijakan
yang diambil oleh perusahaan pengguna sehingga dapat terhindar dari potensi kerugian di
masa mendatang.
Jangan memilih perusahaan outsourcing yang meluluskan apa saja keinginan perusahaan
pengguna. Sebagai advisor, perusahaan outsourcing harus mampu memberikan gambaran
di muka mengenai peraturan yang berlaku, keamanan, kemampuan perusahaan,
efektifitas, efesiensi kerja dan mana yang harus dilakukan oleh perusahaan pengguna dan
mana yang harus dilakukan oleh perusahaan outsourcing.
Pilih perusahaan-perusahaan outsourcing yang dapat berperan sebagai "administrasi
expert".
Pilih penyedia jasa outsourcing yang dapat menjaga kualitas kerjanya dengan selalu
memberikan jasa yang tepat waktu dan dapat diukur, serta mempunyai sistem kerja yang
teratur. Proses administrasi meliputi bagian rekrutmen dan seleksi, pendataan karyawan,
penggajian dan kelengkapan adminsitrasi yang tersimpan baik seperti data karyawan
misalnya. Jangan menjatuhkan pilihan pada perusahaan yang tidak mampu membantu
dalam proses admisnistrasi, karena buat apa memilih mitra kerja yang tidak mampu
meringankan beban perusahaan.
Adanya pembagian peran yang jelas.
Perusahaan pengguna adalah pihak yang paling mengetahui tentang pekerjaan apa yang
akan dilimpahkan pada penyedia jasa outsourcing dan bagaimana hasil yang diharapkan
dapat dilakukan oleh perusahaan outsourcing tersebut. Untuk itu sebelum melimpahkan
pekerjaan pada penyedia jasa outsourcing, perusahaan pengguna diharapkan dapat
memberikan penjelasan dengan lengkap tentang cakupan pekerjaan, karakteristik
pekerjaan dan kompetensi teknik yang diharapkan dari calon karyawan outsource beserta
perencanaan karir dan kompensasi yang diberikan.
Pilih Perusahaan yang dapat berperan sebagai "Culture Developer".
Perusahaan outsourcing harus mampu memahami kebutuhan perusahaan pengguna dalam
mendapatkan kandidat pekerja yang memiliki kesamaan cara pandang meskipun masih
bersifat potensial. Profile kandidat yang tepat dapat diberikan jika perusahaan

37
outsourcing diberi gambaran yang jelas profile karyawan seperti apa yang dianggap
mampu bekerja sesuai dengan lingkungan perusahaan pengguna.
Perusahaan outsourcing yang mempunyai pengalaman dapat memadukan keinginan klien
dengan data kandidat yang ada agar kandidat yang dikirimkan nantinya tidak akan ditolak
oleh perusahaan pengguna. Untuk itu dibutuhkan keterbukaan dan diskusi yang dalam
serta keterlibatan perusahaan pengguna dalam menentukan profile kandidat.
Buat Service Level Agreement yang lengkap
Di dalam service Level Agreement sebaiknya dituangkan bagaimana bentuk tanggung
jawab kedua belah pihak, ekspektasi kedua belah pihak, alur kerja, cara kerja, peninjauan
performa dari perusahaan outsourcing, serta komitmen lainnya yang perlu dicantumkan.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Wirawan, Rubrik Hukum Teropong,Apa yang dimaksud dengan sistem outsourcing?,


http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0504/31/teropong/komenhukum.htm
2. Artikel “Outsource dipandang dari sudut perusahaan pemberi kerja”,
http://www.apindo.or.id, diakses tanggal 4 Agustus 2006
3. Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 TentangKetenagakerjaan,
4. Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi memuat hal-hal yang dituntut untuk
dilakukan revisi dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 yaitu : Pemutusan
Hubungan Kerjam Perjanjian kerja Waktu Tertentu, Perhitungan Pesangon, Ijin tenaga
Kerja Asing dan istirahat panjang.
5. Nur Cahyo, Pengalihan Pekerjaan Penunjang perusahaan dengan Sistem Outsourcing
(Alih Daya) Menurut Undang-undang No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
(Studi Kasus pada Asuransi Astra Buana), Tesis Magister Hukum FHUI, Depok,
2006, hal.56.
6. Chandra Suwondo, Outsourcing; Implementasi di Indonesia, Elex Media
Computindo, Jakarta, hal 2.
7. Muzni Tambusai, Pelaksanaan Outsourcing (Alih Daya) ditinjau dari aspek hukum
ketenagakerjaan tidak mengaburkan hubungan industrial,
http://www.nakertrans.go.id/arsip berita/naker/outsourcing.php. 29 Mei 2005.
8. Tulisan yang mengkhususkan membahas outsourcing (Alih Daya) yang berupa
penyediaan jasa pekerja/buruh, sedang outsourcing (Alih Daya) berupa pemborongan
pekerjaan hanya akan diulas sekilas dari segi definisi, dan dalam kaitan dengan core
business. Dalam UU No.13 Tahun 2003, istilah outsourcing (Alih Daya) dapat
diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan tenaga kerja, namun pada
rancangan UU Tenaga Kerja yang baru (yang kini sedang dikaji ulang), pengertian
outsourcing (Alih Daya) tampaknya akan disempitkan menjadi penyediaan jasa
pekerja, sementara pemborongan pekerjaan diartikan sebagai sub-kontrak.
9. Draft Revisi Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, diakses
dari Sabar Sianturi, pembicara pada Seminar tentang Outsourcing (Alih Daya) dan
Permasalahannya, 12 April 2006, Hotel Aryaduta, diselenggarakan oleh PPM.
10. Pasal 66 ayat (1) UU No.13 tahun 2003

39
11. Pasal 66 ayat (2) UU No.13 Tahun 2003
12. Pasal 66 ayat (3) UU No.13 Tahun 2003
13. Pasal 66 ayat (4) UU No.13 Tahun 2003
14. R.Djokopranoto, Outsourcing (Alih Daya) dalam No.13/2003 tentang
Ketenagakerjaan (Perspektif Pengusaha), Materi Seminar disampaikan pada Seminar
Outsourcing: Process and Mangement, World Trade Center Jakarta,13-14 oktober
2005, hal.5.
15. Berdasarkan informasi dari Bapak Ali Nursal, General Manager PT.Outsourcing (Alih
Daya) Indonesia
16. Pelaporan dokumen tentang pekerjaan utama dan pekerjaan penunjang diatur pada
Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor : 220/MEN/X/2004 Tentang Syarat-Syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain.
17. Pasal 65 ayat (2) UU No.13 tahun 2003
18. Pasal 66 ayat 2) butir a,b dan c UU No.13 tahun 2003
19. Mengenai PKWT dan PKWTT lihat pasal 56-60 UU No.13 Tahun 2003
20. Berdasarkan informasi dari Bpk. Yayan Hernayanto, Corporate Legal, PT Toyota
Motor Manufacturing Indonesia, 4 Agustus 2006.

40

You might also like