You are on page 1of 78

PENGANTAR REDAKSI

Penerbitan Informasi Kajian Permasalahan Sosial dan Usaha Kesejahteraan Sosial Volume 12 Nomor 02 ini menyajikan enam artikel yang membahas: Tinjauan Teoritis tentang Resistensi Petani, Membangun dan Memberdayakan Masyarakat, Membangun Keluarga Berketahanan Sosial, Pelayanan Sosial Terkait Dengan Anak yang Dilibatkan dalam Perdagangan NAPZA, Peningkatan Kesejahteraan Sosial KAT Berbasis Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Kehidupan KAT sebagaimana masyarakat pada umumnya. Masyarakat petani di Indonesia, faktanya merupakan masyarakat yang termarjinalisasi. Proses marjinalisasi ini sudah terjadi pada abad 18 hingga abad 20 ini. Mereka terus menerus menghadapi tekanan-tekanan dan kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan mereka dan kebijakan itu malahan semakin menjadikan mereka hidup dalam kesulitan. Permasalahan ini dibahas oleh Oetami Dewi dalam tulisannya, Resistensi Petani : Suatu Tinjauan Teoritis. Diuraikan oleh Suradi dalam tulisannya Membangun dan Memberdayakan Masyarakat : Pendekatan Pekerjaan Sosial Generalis, bahwa pembangunan dalam rangka memberdayakan masyarakat yang tepat apabila dilaksanakan berdasarkan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat sendiri. Sehubungan dengan itu, maka intervensi pemerintah perlu mempertimbangkan prinsip-prinsip pembangunan masyarakat tersebut, dan mengintegrasikan berbagai dimensi yaitu sosial, budaya, ekonomi, politik, lingkungan dan personal/spiritual. Melalui pendekatan terintegrasi ini, maka akan tercapai taraf kehidupan masyarakat yang lebih baik. Dewasa ini, keluarga menghadapi dampak perubahan sosial yang sangat cepat. Irmayani dalam tulisannya Membangun Keluarga Berketahanan Sosial Dalam Era Modernisasi, menguraikan, bahwa keluarga yang berketahanan sosial, adalah keluarga yang mampu bertahan terhadap berbagai perubahan sosial, ekonomi, dan politik. Pada era modernisasi ini, keluarga diharapkan mampu melaksanakan fungsinya, membina dan menjaga hubungan dengan keluarga besarnya, serta mampu mencegah dan mengatasi masalahnya. Keluarga yang tidak memiliki ketahanan sosial, dapat berdampak pada kehidupan anak antara lain anak terlibat dalam perdagangan NAPZA. Permasalahan anak yang terlibat dalam perdagangan NAPZA atau Child Drugs Trafficking (CDT) merupakan masalah yang harus segera diselesaikan, kareana melanggar hak-hak anak. Penyelesaian masalah ini tidak bisa oleh satu pihak saja, tetapi semua pihak perlu saling bekerjasama. Dalam hal ini, peranan pekerja sosial sangat penting, selain tentunya polisi, hukum, dan kedokteran yang selama ini menanganinya. Permasalahan ini dibahas oleh Hari Hariyanto dalam tulisannya Pelayanan Sosial Bagi Anak Yang Dilibatkan Dalam Perdagangan Napza : Pengalaman Bekerja Bersana Anak Jalanan di Rumah Pendampingan Sementara di Jakarta Timur.

Rustanto dalam tulisannya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil Berbasis Kearifan Lokal menguraikan, bahwa manusia dan lingkungan alam merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling menentukan kelangsungan hidup masing-masing. Oleh karena itu, manusia hendaknya dapat memperlakukan alam secara arif dan bijaksana, sehingga alam mampu memberikan daya dukung secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. Hidup serasi dengan alam ini dicontohkan oleh KAT. Melalui kearifan lokal dan persahabatan dengan hutan, pepohonan, mata air dan gunung, mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan menjaga alam tetap lestari. KAT adalah komunitas yang menghadapi berbagai keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan sosial dasarnya. Oleh karena itu, mereka perlu diberdayakan agar dapat menjalani kehidupan sebagaimana masyarakat pada umumnya. Namun demikian, upaya mewujudian KAT ini tampaknya masih dihadapkan pada berbagai kesulitan. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah kebijakan dan program yang menjembatani kepentingan KAT, dan menerjemahkan nilai-nilai sosial budaya mereka ke dalam kegiatan nyata untuk memperbaiki kehidupan dan meningkatan kesejahteraannya. Hal ini dibahas oleh Sugiyanto dan Moch. Syawie dalam tulisannya Mewujudkan Komunitas Adat Terpencil Sejajar dengan Masyarakat Pada Umumnya.

REDAKSI

ii

RESISTENSI PETANI : SUATU TINJAUAN TEORITIS


Oetami Dewi
Abstract. If we are talking about the resistance, we cant avoid talking and discussing about the peasant, because the concept for resistance actually came from the peasant. Briefly in this paper I would like to convey that if we want to know deeply about the resistance we should now first about the history and concept for building the theory. In this paper, try to make many differences and understanding meaning from many references that talking about resistance relating to the peasant. That resistance can be divided into many meaning, and the main resistances are active and passive resistance. For passive the characteristics are different than in active resistance by the appearance from the kind of how the peasant react to what they think it could be different from what they want to. But for active resistance the appearance more destructive than in passive, since their willingness never gives more attention until they cant stand up anymore. The form of resistance also many kinds relating to the situation, condition and the culture form the communities. Key word : resistance, the peasant

I.

PENDAHULUAN

Konsep tentang petani perlu diperjelas terlebih dahulu sebelum berbicara konteks hubungan petani dengan kelompok sosial lainnya. Pengertian petani dibedakan antara farmer dan peasant. Farmer adalah petani yang menguasai faktor produksi secara memadai, tanah pertanian yang relatif luas, mampu mengakumulasi surplus usaha taninya. Mereka memiliki modal usaha dan jaringan sosial yang kuat dengan tokohtokoh dari kelas sosial atas, seperti elite politik dan elite ekonomi. Farmer ini juga digolongan sebagai kelompok petani lapisan atas yang mengadopsi budaya kelas dominan dalam struktur negara, sehingga kebudayaan farmer dalam terminologi Redfield dan Singer (1971) disebut Great Tradition. Berbeda dengan farmer, petani yang termasuk dalam pengertian peasant adalah

petani yang menguasai sedikit sumber daya alam. Mereka sering disebut petani gurem, dan termasuk buruh tani yang tidak memiliki tanah dan meng-gantungkan hidupnya pada kerja bagi hasil. Peasant ini memiliki pandangan dan gaya hidup yang berbeda dengan farmer. Mereka ini disebut mengembangkan budaya kecil, atau budaya marginal yang berbeda dengan budaya yang dikem-bangkan oleh lapisan penguasa. Secara umum kita dapat membedakan atau melihat empat tradisi konseptual utama dalam pembahasan tentang keberadaan kaum tani (peasantry) sebagai hal yang khusus, meliputi seluruh jenis struktur sosial, yang mempengaruhi ilmu pengetahuan sosial pada jaman ini yakni: teori kelas Marxist, tipologi ilmu ekonomi khusus, tradisi etnografi budaya, dan tradisi Durkheimian yang dikembangkan oleh

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

Kroeber dan sejawatnya dalam teori perubahan sosialnya ke sosiologi fungsional (Shanin, 1971: 13-14). Tradisi Marxist tentang analisa kelas menggunakan perspektif pemahaman terhadap kaum tani dalam konteks pola hubungan kekuasaan. Petani digambarkan sebagai masyarakat produsen pre-capitalist yang dieksploitasi dan ditindas. Pendekatan ini dapat dilacak dari karya Marx dan Engels. Kemudian petani (peasant) dipahami sebagai awal dari tata sosial. Ciri-ciri ini nampak dari sisa-sisa dasar struktur kekuatan sosial. Tradisi kedua, memandang struktur sosial petani ditentukan oleh suatu jenis ekonomi khusus, hal yang sangat penting di mana kepalsuan dianggap cara keluarga petani bekerja. Pendekatan ini dikembangkan oleh Marx, tapi secara eksplisit dibuat Vasilcakov dan secara keseluruhan dibangun Chayanov. Tradisi ketiga, yaitu berakar dari etnografi Eropa dan antropologi Barat tradisional yang cenderung mendekati petani sebagai representasi dari tradisi nasional awal, telah mengikuti suatu alur yang agak kompleks. Dasar dualisme yang diterima oleh Durkheim dan generasinya membagi masyarakat ke dalam tradisional dan modern atau organik di atas pembagian kerja dan interaksi dari berbagai unit. Kroeber menempatkan masyarakat petani dalam posisi tengah bagian masyarakat dengan bagian budaya tersendiri. Peasant sebagai bagian segmen telah diulas oleh Redfield, dan diterima sebagai dasar konseptulisasi oleh mayoritas antropolog Amerika. Menurut Shanin (1971: 14-15), batasan terhadap masyarakat petani secara umum meliputi empat hal utama, yakni: 1. Kebun keluarga petani merupakan unit dasar dari organisasi sosial yang multi-dimensional. Hanyalah keluarga

yang menyediakan tenaga kerja pada kebun, dan hanyalah kebun yang menyediakan kebutuhan konsumsi keluarga dan pembayaran kewajibankewajibannya kepada pemilik atau penguasa ekonomi dan politik. Tindakan ekonomi melekat dengan hubungan keluarga, dan alasan maksimalisasi laba dalam terminologi uang jarang nampak secara tegas atau eksplisit. Produksi kebun keluarga sebagai unit utama bagi sosialisasi, kemampuan membangun hubungan sosial dan kesejahteraan. 2. Lahan pertanian merupakan alat utama mata pencarian yang secara langsung menyediakan bagian terbesar kebutuhan konsumsi. Pertanian tradisional meliputi suatu kombinasi tugas spesifik pada suatu spesialisasi tingkat rendah dan latihan suatu kebebasan. Dampak alam yang secara terbatas penting bagi mata pencarian dari unit produksi kecil dengan sumber daya terbatas. Budaya tradisional yang khusus berhubungan dengan cara hidup masyarakat kecil. Corak budaya petani yang spesifik telah dicatat oleh berbagai peneliti. Sebagai contoh, keunggulan sikap kompromis dan tradisional, yaitu, pertimbangan tindakan individu dalam hal pengalaman masa lalu dan kehendak masyarakat. Sedikit bagian dari pola budaya ini berhubungan dengan karakteristik masyarakat kecil, suatu tambahan mendeskripsikan masyarakat petani. Posisi kaum tani tidak pernah diperhitungkan, hidup kaum tani didominasi oleh orang luar. Pokok permasalahan politis mereka adalah antar hubungan dengan budaya subordinat dan ekploitasi ekonomi melalui pajak, sewa, kepentingan dan

3.

4.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

pola perdagangan yang tidak disukai kaum tani. Namun dalam beberapa kondisi, mereka dapat berubah menjadi kaum proletariat yang revolusioner dalam perubahan waktu.

II.

PERSPEKTIF TEORITIS RESISTENSI PETANI

Dalam perspektif teoritis yang menyatakan petani sebagai sistem ekonomi khusus, kaum tani digambarkan memiliki sistem ekonomi yang berbeda dengan segmen masyarakat lainnya. Karakter ekonomi petani ini ditandai oleh bentuk usaha taninya yang bersifat subsisten, berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga dan bukan kebutuhan pasar. Keberlangsungan pemenuhan kebutuhan keluarga dalam jangka panjang lebih bermakna dari pada keuntungan besar jangka pendek, namun beresiko bagi kejatuhan ekonomi rumah tangganya. Mereka ini merupakan petani tradisional dan berusaha keras mempertahankan tradisi-tradisi yang memberikan jaminan keamanan subsisten rumah tangganya. Kebijakan pembangunan pertanian yang mengarah pada modernisasi sistem pertanian, akan mendapat reaksi negatif dari masyarakat petani ( peasant) karena dianggap mengancam keamanan subsistensi mereka. Modernisasi pertanian terjadi seiring dengan proses penetrasi kapitalisme pada masyarakat petani akan ditentang keras karena mengancam kepentingan ekonomi mereka. Masyarakat petani cenderung untuk terus melekat pada cara hidupnya yang tradisional. Setiap hal yang baru menurut mereka akan membahayakan keseimbangan yang ada. Pada waktu yang bersamaan, masyarakat petani juga akan mendukung usaha mempertahankan hubungan-hubungan sosial yang tradi-

sional, dan pengeluaran dana-dana seremonial yang diperlukan untuk menopang hubungan-hubungan itu. Selama hubungan-hubungan itu dapat dipertahankan, masyarakat petani dapat menolak penetrasi lebih lanjut oleh tuntutantuntutan dan tekanan-tekanan dari luar. Sementara mereka memaksa anggotaanggotanya yang lebih beruntung untuk membagi sebagian dari kerja dan barangbarang mereka dengan tetangga-tetangga mereka yang kurang beruntung (Wolf, 1985: 26). Prinsip harmoni sosial budaya dalam kehidupan masyarakat petani di Jawa dikemukakan oleh Geertz (1983), ditandai oleh tertib sosial atau harmoni sosial yang tidak menyuburkan munculnya pertentangan kelas sosial akibat memburuknya hubungan kepemilikan tanah. Konsep harmoni sosial-budaya di dalam kehidupan masyarakat petani tersebut dapat meredam seluruh potensi konflik, sehingga tidak menimbulkan gangguan yang serius di dalam kehidupan mereka. Masyarakat petani biasanya berbentuk kelompok primer atau asosiasi kecil yang saling berhubungan dan terikat oleh hubungan emosional yang alamiah. Kelompok primer dalam masyarakat petani ini berawal dari ikatan keluarga, ketetanggaan dan pengelompokkan yang bersifat lokal. Bentuk-bentuk interaksi sosial dalam kelompok primer biasanya ditandai oleh adanya tingkat formalitas yang rendah, memiliki tujuan interaksi tidak spesifik, dan tidak dilandasi oleh prinsipprinsip hubungan yang rasional. Oleh karena itu, kelompok primer dalam masyarakat petani sering berfungsi secara ekonomi, sosial dan politik. Kelompok primer dapat berperan untuk mengatasi masalah subsistensi rumah tangga petani, dan tetangga yang terdekat dapat membantu dengan memberi pinjaman untuk membeli bahan pangan (Blanckenburg dan Sachs, 1990: 31-32).

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

James Scott (1981) menyatakan, bahwa semangat kolektif masyarakat petani yang terwujud dalam aktivitas tolong-menolong serta memandang permasalahan dari kepentingan kolektif merupakan mekanisme sosial untuk menyelamatkan diri dari kondisi yang secara ekonomi rentan terhadap bahaya kekurangan pangan. Para petani menganut azas pemerataan, dengan pengertian membagikan secara merata apa yang terdapat di desa yang dilandasi kepercayaan kepada hak moral para petani untuk dapat hidup secara cukup. Ada mekanisme sharing antara petani yang kaya kepada yang miskin melalui berbagai bentuk hubungan ekonomi dan sosial sebagai tanda bahwa petani kaya telah membagi surplus ekonominya kepada komunitas petani di desanya. Para petani menganut moral ekonomi mendahulukan selamat, dari pada berorientasi pada maksimalisasi profit. Kehidupan ekonomi petani yang relatif miskin dan berada diambang garis kemiskinan, sehingga mereka lebih mengutamakan keselamatan ekonomi dalam jangka panjang dan tidak tertarik pada kemungkinan memperoleh keuntungan dalam jangka pendek meskipun beresiko pada kehancuran ekonomi mereka. Moralitas ekonomi mendahulukan keselamatan ini merupakan kunci untuk memahami resistensi petani. Petani cenderung menolak perubahan pola-pola hubungan ekonomi dan sosial yang selama ini dianggap merupakan jaminan bagi keamanan subsistensi mereka. Prinsip mendahulukan keselamatan merupakan sumber kekuatan moral bagi masyarakat petani untuk menolak perubahan, dan bersikap resisten terhadap perubahan atau kenyataan sosial yang tidak memberi pilihan lain.

Perspektif moral ekonomi itu ditentang oleh Popkin (1979). Dalam perspektif teori Popkin, resistensi petani merupakan pilihan rasional terhadap berbagai alternatif yang tersedia. Popkin memiliki premis, bahwa perilaku manusia selalu dilandasi motif mencari keuntungan atau kemanfaatan yang sebesar-besarnya. Basis premis yang dikembangkan Popkin adalah setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih perilaku yang paling efisien guna mencapai keuntungan yang maksimal bagi dirinya. Relasi sosial dalam perspektif Popkin merupakan perjuangan kepentingan ekonominya sendiri bukan dilandasi oleh pertimbangan moral kolektif. Setiap petani dalam masyarakat petani pada dasarnya termotivasi menuntut keuntungan dari tindakan kolektif dengan partisipasi sekecil mungkin. Bagi Popkin, semua bentuk perlawanan petani bukan untuk menentang Revolusi Hijau atau perubahan, melainkan perlawanan terhadap kekuasaan elite desa dan petani kaya yang mengatasnamakan masyarakat petani, padahal tujuan memperkuat institusi yang menguntungkan mereka. Gerakan perlawanan petani terjadi ketika sebagian besar individu merasa dirugikan, dan bukan sebagai reaksi defensif untuk mempertahankan institusi tradisional mereka dan norma-norma resiprositas yang ada dalam masyarakat.

III. BENTUK-BENTUK RESISTENSI PETANI


James C. Scott (2000) dalam bukunya Senjatanya Orang-orang Yang Kalah, mengupas bagaiman cara masyarakat petani yang lemah dan selalu kalah menentang kelakuan semena-mena dan eksploitatif dari kelompok ekonomi dan politik yang kuat, baik yang berasal dari dalam masyarakat

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

mereka sendiri maupun yang datang dari luar. Masyarakat petani yang lemah pada dasarnya tidak pernah berhenti menentang ketidakadilan yang menimpa diri mereka, seperti pemerintah dan aparatnya yang memperlakukan mereka secara tidak adil. Perasaaan diperlakukan tidak adil inilah yang sering memicu timbulnya konflik antara masyarakat petani miskin dengan kelompok mapan yang mereka anggap sebagai sumber ketidakadilan. Dalam studinya di Sedaka - Malaysia tersebut Scott menunjukkan, bahwa program Revolusi Hijau telah merubah tatanan sosial ekonomi di perdesaan Malaysia. Negara memiliki peranan yang luas dalam proses tranformasi perdesaan melalui program modernisasi sistem pertanian padi, telah menggeser hubungan antara petani kaya dan petani miskin. Revolusi Hijau telah memperkuat daya akumulasi surplus ekonomi bagi petani kaya, menjadi bertambah kaya, sebaliknya justru mengurangi kemampuan petani miskin untuk memanfaatkan isentif material yang ditawarkan oleh Revolusi Hijau, sehingga petani miskin cenderung menjadi semakin miskin. Petani miskin yang lemah dan selalu kalah menunjukkan eksistensinya melalui everyday form of resistance dalam bentuk perlawanan terselubung yang muncul sebagai reaksi terhadap everyday form of repression yang dilakukan tuan tanah dan petani kaya. Perlawanan masyarakat petani yang lemah itu merupakan perlawanan terhadap dampak Revolusi Hijau yang mengancam keamanan subsistensi mereka. Petani miskin secara perorangan melakukan tindakan-tindakan perlawanan terhadap negara karena negara melakukan penetrasi di dalam proses transformasi hubungan-hubungan produksi dengan proses mekanisasi pertanian dan modernisasi pertanian.

Petani lemah itu melakukan perlawanan sehari-hari secara terselubung, karena mereka tidak memiliki wadah organisasi politik formal, berbeda dengan kelas menengah dan kaum cendekiawan yang memiliki organisasi politik dan pemimpin formal dalam memperjuangkan kepentingannya. Masyarakat petani yang lemah ini melakukan bentuk pertarungan jangka panjang, antara petani dan pihak yang mencoba menyerobot pekerjaan, makanan, sewa, dan bunga dari mereka. Senjata yang dipergunakan oleh masyarakat petani lemah ini, antara lain memperlambat pekerjaan, bersifat purapura, pelarian diri, pura-pura memenuhi permohonan, pencurian, penyabotan, dan sebagainya. Mereka hampir tidak memerlukan koordinasi atau perencanaan, menggunakan pemahaman implisit serta jaringan informal, sering mengambil bentuk mengurus sendiri, dan mereka secara khas menghindari konfrontasi simbolis yang langsung dengan penguasa. Cara-cara seperti ini dalam jangka panjang justru terbukti paling efektif. Teknik-teknik lowprofile ini sangat cocok untuk struktur sosial kelas petani, tanpa organisasi formal dan siap untuk melakukan kampanye defensif menghabiskan tenaga lawan dengan gaya gerilya. Tindakan-tindakan perlawanan yang dilakukan secara perorangan, diperkuat dengan budaya perlawanan rakyat dan diperbanyak ribuan kali, pada akhirnya akan meneguhkan batu karang ekonomi dan politik mereka. Sebagian besar dengan cara inilah kelas petani menyatakan kehadiran politisnya. Dan setiap saat, kapal besar yang bernama negara dapat saja kandas pada batu karang perlawanan rakyat petani ini (Scott, 2000: xxiii-xxiv). Perlawanan sehari-hari masyarakat petani ini secara empiris historis terbukti lebih tangguh dibandingkan dengan

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial, Vol 11, No. 03, 2006 : 1-17

perlawanan formal dan terbuka. Pada abad ke-19 sampai dengan permulaan abad ke20, di Pulau Jawa sering muncul gerakan Ratu Adil. Gerakan ini merupakan wadah dari para petani miskin melawan ketidakadilan yang disebabkan oleh tindakan semena-mena baik dari pihak kapitalis perkebunan, aparat pemerintah kolonial atau tindakan kolutif antara keduanya. Namun gerakan-gerakan itu dengan cepat dapat dibasmi oleh aparat kolonial Belanda dengan tindakan represif dan dengan korban manusia yang besar (Soetrisno, 2000: xviii). Perlawanan petani dapat mengambil bentuk yang terbuka, keras dan teroganisasi secara formal. Radikalisasi petani merupakan istilah yang sering dipakai untuk menggambarkan perlawanan petani secara terbuka dan menggunakan cara kekerasan dalam mencapai tujuan. Kuntowijoyo (2002: 6) menyatakan bahwa kecenderungan petani menjadi bersikap radikal tidak dapat dilepaskan dari peran ideologi ratu adil atau jihad fi-sabilillah. Menurut Landsberger dan Alexandrov (1981), ideologi merupakan wahana pembimbing alam pikiran bagi para pendukung gerakan sehingga mereka ini memiliki kesadaran kesamaan nasib dan oleh karena itu juga memiliki musuh yang sama. Pada umumnya bentuk perlawanan petani yang radikal sangat jarang dapat dikelola menjadi organisasi asosiasional dengan berbasiskan massa yang luas. Hal ini terjadi karena gerakan petani tradisional pada umumnya diorganisasi tidak melebihi tingkat masyarakat petani yang bersangkutan, sesuai dengan karakteristk organisasi petani. Karl Marx (1971: 230) menyatakan bahwa masyarakat petani yang tersebar luas di negeri Perancis itu ibarat sekarung kentang. Petani-petani kecil membentuk satu massa yang besar, dan

anggota-anggotanya hidup dalam kondisikondisi yang serupa, namun tanpa mengadakan hubungan yang bermacammacam satu sama lain. Mode of production mereka mengisolasi mereka dalam hubungan timbal-balik. Petani dengan lahan sempit hidup berdampingan. Beberapa puluh dari mereka membentuk sebuah kampung, dan beberapa puluh kampung membentuk sebuah distrik. Dengan cara seperti itu, masyarakat petani Perancis terbentuk dengan cara men-jumlahkan satuan-satuan yang sesuai, sama seperti kentang-kentang dalam sebuah karung merupakan sekarung kentang (much as potatoes in a sack form a sack of potatoes). Berjutajuta keluarga hidup di bawah kondisikondisi eksistensi ekonomis yang memisahkan cara hidup mereka, kepentingan-kepentingan mereka dan menempatkan mereka dalam kedudukan bermusuhan. Namun karena di antara petani-petani kecil itu hanya saling hubungan bersifat lokal saja, dan identitas kepentingan mereka tidak melahirkan persatuan, kesatuan nasional, atau organisasi politik, maka mereka tidak merupakan kelas. Oleh karena itu, mereka tidak mampu menegakkan kepentingan kelas mereka atas nama mereka sendiri, apakah itu melalui parlemen atau melalui suatu konvensi. Mereka tidak dapat mewakili mereka sendiri, tetapi mereka harus diwakili. Memperhatikan kondisi organisasi petani miskin ( peasant ) seperti yang digambarkan Marx di atas, maka kebanyakan pemimpin dalam gerakan perlawanan petani yang radikal muncul dari lapisan kelas menengah di desa. Sebagai contoh, pemberontakan petani Banten tahun 1888 dipimpin oleh tokohtokoh keagamaan seperti kyai dan guru tarekat yang merupakan sosok pemimpin karismatik di Banten. Pemimpin keagamaan

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

Perlindungan Anak di Nusa Tenggara Barat

(Suradi)

ini mampu menyebarkan gagasan eskatologis Islam mengubah para anggota tarekat atau jamaahnya menjadi kelompok revolusioner yang militan, dan memiliki solidaritas keanggotaan yang kuat. Ajaran tarekat nampaknya mempunyai daya tarik yang kuat bagi kaum tani yang tergolong lapisan sosial bawahan di Banten (Kartodirdjo, 1984). Salah satu ciri dari gerakan perlawanan petani radikal adalah tujuan gerakan perlawanan tersebut untuk mengubah tatanan sosial politik tertentu yang dianggap tidak benar atau merupakan kaum tani atau subyek pelaku gerakan tersebut (Giddens, 1994: 1-2). Sedangkan Calhoun (1999: 663-664) menyebutkan, bahwa gerakan radikal bertujuan mengubah struktur sosial yang sudah ada yang dianggap merugikan, upaya itu biasanya disertai dengan pemaksaan kehendak. Dalam kasus pemberontakan petani Banten 1888, para kyai dan guru tarekat membangun kerangka penafsiran, bahwa pemerintahan kolonial Belanda adalah pemerintahan orang asing, sekuler dan kafir. Bagi setiap anggota jamaah dihembuskan semangat jihad, berperang di jalan Allah, untuk menumbangkan pemerintahan kafir dan menata kembali kehidupan sosial politik di Banten yang diridhoi Tuhan seperti sistem kesultanan pada masa lalu. Ideologi messianisme dan millenarianisme pada abad ke-19 banyak dimanfaatkan untuk menggalang mobilisasi petani kearah gerakan perlawanan yang radikal. Bahkan gerakan-gerakan modern, seperti Sarekat Islam tidak jarang memakai ideologi ratu adil di tingkat pengikut bawahan. Sarikat-Sarekat Islam lokal banyak terlibat dalam radikalisasi petani, dengan sasaran kultural, ekonomis maupun sosial. Sasaran kultural biasanya ditujukan

kepada pembasmian simbol-simbol adat yang bertentangan dengan agama, sasaran ekonomis ditujukan pada dominasi ekonomi pedagang Cina, dan sasaran sosial ditujukan kepada kaum ambtenaar atau priyayi yang melambangkan kekuasaan kolonial (Kuntowijoyo, 2002: 6).

IV. PENUTUP
Tinjauan teoritis tentang resistensi petani menyadarkan, bahwa masyarakat petani sebagai masyarakat yang termajinalisasi, baik oleh pemerintah maupun kaum kapitalis. Proses marjinalisasi ini pada kontek Indonesia sudah terjadi pada abad 18 hingga abad 20 ini. Mereka terus menerus menghadapi tekanan-tekanan dan kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan mereka; dan kebijakan itu malahan semakin menjadikan mereka hidup dalam kesulitan.

DAFTAR PUSTAKA
Blanckenburg, Peter von; dan Reihold Sachs, 1990, Masyarakat Tani Dalam Pembangunan, Ulrich Planck (Penyunting), Sosiologi Pertanian. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, halaman 28 40. Calhoun, C., 1999, Nasionalisme dan Civil Society: Demokrasi, Keanekaragaman dan Penentuan Nasib Sendiri. Wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif 1. Geertz, Clifford, 1983, Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologis di Indonesia. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Giddens, Anthony, 1994, Beyond Left and Right: The Future of Radical Politics. Oxford: Blackwell Publishers. Kartodirdjo, Sartono, 1984, Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

Kuntowijoyo, 2002, Masyarakat Desa dan Radikalisasi Petani, Esai-esai Sejarah Dr. Kuntowijoyo: Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya, halaman 1-57. Landsberger, Henry dan Yu. G. Alexandrov, 1981, Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. Jakarta: Rajawali. Marx, Karl, 1971, Peasantry as a Class, Teodor Shanin (Editor), Peasant and Peasant Societies. Middlesex: Penguin Books, halaman 229-237. Popkin, Samuel L., 1979, The Rational Peasant: The Political Economiy of Rural Society in Vietnam. Berkeley: University of California Press. Redfield, Robert dan Milton B. Singer, 1971, City and Countryside: The Cultural Interdependence, Teodor Shanin (Editor), Peasant and Peasant Societies. Middlesex: Penguin Books. Scott, James C., 1981, Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES. , 2000, Senjatanya Orang-orang Yang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Shanin, Teodor, 1971, Introduction, Teodor Shanin (Editor), Peasant and Peasant Societies. Middlesex: Penguin Books. Soetrisno, Loekman, 2000, Pengantar, James C. Scott, Senjatanya Orang-orang Yang Kalah. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Wolf, E.J., 1969, Peasant Wars of Twentieth Century. New York: Harper & Rowy.

DR. Oetami Dewi, M.Si. Doktor Sosiologi dari Universitas Indonesia. Bekerja pada Biro Perencanaan, Departemen Sosial RI. Aktif mengikuti dan menjadi pembicara seminar/diskusi ilmiah di dalam maupun di luar negeri tentang pembangunan kesejahteraan sosial.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

MEMBANGUN DAN MEMBERDAYAKAN MASYARAKAT


Pendekatan Pekerjaan Sosial Generalis
Suradi
Abstract. Community is a complex social unity, cause have social, economic, cultural, politic, religious and enverimental dimension that affect each other. All these dimension show the complexity of the problems in the community. The fore, in the frame of community development a strategy which is oriented to a solution of complex problems. Is needed approach to this problems solution is a generalis approach, that integrated micro, messo and macro approaches in synergy, and supported by various practical principles and basic system in community development. Keyword : community empovernment, dimension and strategy.

I.

Pendahuluan

Pendekatan pembangunan sosial telah mengalami pergeseran yang berarti, dari semula menempatkan masyarakat sebagai obyek, kini masyarakat ditempatkan sebagai subyek atau masyarakat sebagai pusat pembangunan (people centered development). Pergeseran pendekatan ini sebagai respon atas kegagalan pendekatan pembangunan yang dipaksakan dari pemerintah (top-down) , karena pendekatan tersebut dinilai tidak mampu menjawab berbagai permasalahan dan kebutuhan masyarakat. Meskipun secara ekonomi terjadi pertumbuhan yang signifikan, namun kemajuan di bidang ekonomi tersebut tidak dibarengi dengan kemajuan di bidang sosial. Terjadinya kesenjangan sosial dalam masyarakat merupakan akibat dari penerapan pendekatan yang berorientasi pertumbuhan ekonomi tersebut. Masyarakat miskin yang jumlahnya paling banyak, mereka menikmati hasil pembangunan paling sedikit. Program sosial sudah siap saji, meskipun sebenarnya

tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini ditambah lagi dengan skema sinterklas dari program sosial yang sarat dengan motif pertolongan yang bersifat filantropis. Bahkan isu dalam pembangunan masyarakat adalah pemberdayaan yang tidak memberdayakan; prinsip partisipatif dan keswadayaan masyarakat belum sepenuhnya diterapkan di dalam programprogram sosial. Pendekatan pembangunan sosial yang menempatkan masyarakat sebagai pusat pembangunan merupakan upaya memberdayakan masyarakat berdasarkan pada kekuatan atau keswadayaan masyarakat itu sendiri. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi, bahwa masyarakat lebih mengetahui masalah dan kebutuhannya sendiri, dan mereka memiliki potensi dan sumbersumber daya yang dapat didayagunakan untuk mengatasi masalah dan memenuhi kebutuhannya. Asumsi ini yang mendasari prinsip self-determination, bahwa masyarakat perlu diberikan kesempatan untuk menentukan dirinya sendiri. Masyarakat

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

perlu diberikan keleluasaan untuk mengembangkan ide-ide guna mengatasi masalah yang dihadapi berdasarkan kekuatan yang dimiliki.

II.

MEMAHAMI MASYARAKAT
4.

antar individu. Mereka mengembangkan rasa empati terhadap situasi yang dihadapi oleh individu anggota masyarakat. Sebagaimana satu tubuh, apabila ada anggota masyarakat yang sakit, maka dirasakan pula oleh anggota masyarakat yang lain. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya.

Konsep masyarakat (community) perlu dipahami dengan baik, karena masyarakat memiliki persoalan yang kompleks (many faced community) . Pemahaman terhadap kompleksitas masyarakat tersebut memerlukan berbagai perspektif ilmu sosial. Hanya dengan menggunakan berbagai perspektif dalam memahami masyarakat, maka akan diperoleh anatomi masyarakat yang lengkap, utuh dan obyektif. Soerjono Soekanto (1990) mengemukakan ciri-ciri masyarakat, yaitu : 1. Manusia yang hidup bersama. Di dalam ilmu sosial tidak ada ukuran yang mutlak ataupun angka yang pasti untuk menentukan berapa jumlah manusia yang harus ada. Akan tetapi secara teoritis, angka minimumnya adalah dua orang yang hidup bersama. Bercampur untuk waktu yang cukup lama. Kumpulan dari manusia tidaklah sama dengan kumpulan benda-benda mati seperti umpamanya kursi, meja dan sebagainya. Oleh karena dengan kumpulan manusia, maka akan tumbuh manusia-manusia baru. Sebagai akibat hidup bersama itu, timbullah sistem komunikasi dan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara manusia dalam kelompok tersebut. Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan. Hidup bersama dalam waktu yang cukup lama, menyebabkan terlembaganya perasaan bersaudara

2.

Berdasarkan pemikiran tersebut, terdapat empat syarat terjadinya masyarakat, yaitu (1) adanya kumpulan manusia dalam sebuah ikatan dan perasaan, (2) tinggal di suatu daerah atau wilayah yang sama atau mempunyai kesatuan ciri kelompok tertentu, (3) hidup dalam kesatuan sosial dalam waktu yang lama, dan (4) adanya norma dan aturan-aturan yang disepakati untuk mengatur kehidupan bersama. Dengan menggunakan sudut pandang yang lain, masyarakat dapat dipahami dalam empat unsur : 1. Unsur demografi atau penduduk Pada unsur demografi ini di dalamnya meliputi : proporsi umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama dan etnis/suku. 2. Unsur geografi atau kewilayahan Pada unsur geografi ini di dalamnya meliputi : tipe wilayah (desa-kota : pantai, pelabuhan, pertanian, pegunungan, industri dan lain-lain), sarana transportasi, orbitasi dan lainlain. 3. Unsur sosial budaya Pada unsur sosial budaya di dalamnya meliputi kelembagaan, kepranataan

3.

10

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

dan nilai sosial budaya lokal (adat, sistem religi dan lain-lain). 4. Unsur infrastruktur Pada unsur infrastruktur sosial di dalamnya meliputi sarana dan prasarana yang mendukung aktivitas sehari-hari dalam memenuhi berbagai kebutuhannya. Kemudian Koentjaraningrat (2004) melihat masyarakat dengan sistem budayanya. Menurutnya ada tujuh unsur di dalam konsep kebudayaan pada masyarakat secara universal, yaitu : a. b. c. d. e. f. g. Sistem religi dan upacara keagamaan. Sistem dan mekanisasi kemasyarakatan. Sistem pengetahuan. Bahasa. Kesenian. Sistem mata pencaharian hidup. Sistem teknologi dan peralatan.

yang mengurusi hal-hal yang berkaitan dengan kepercayaan dan agama. Kedua, unsur interaksi sosial, yang di dalamnya terdapat sistem dan mekanisme kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa dan kesenian. Sistem ini menggambarkan ciri komunitas adat terpencil berkaitan dengan keperangkatan dan kepranataan (lembaga adat), orang yang ada di dalam keperangkatan dan kepranaataan itu (kepengurusan adat), ada hukum adat; cara mereka memperoleh pengetahuan dan pandangan tentang pendidikan, bahasa yang digunakan dan kesenian. Pada dua ciri terakhir tersebut, apakah warga masyarakat masih menggunakan bahasa lokal atau campuran, dan apakah masih mengembangkan kesenian lokal atau sudah campuran dengan memasukkan seni kontemporer. Kemudain sistem informasi yang mereka gunakan berkaitan dengan media informasi, baik penyebaran pengatahuan baru maupun informasi yang berkaitan dengan aktivitas sosial kemasyarakatan. Kesemua ciri tersebut menggambarkan jarak sosial dan intensitas interaksi sosial warga masyarakat dengan komunitas luar, serta kemampuan adopsi dan adaptasi dalam proses interaksi sosial tersebut. Ketiga , unsur teknologi yang di dalamnya terdapat sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi serta peralatan. Sistem ini menggambarkan ciri masyarakat berkaitan dengan bagaimana cara mereka dapat memenuhi kebutuhan ekonomisnya, sistem ekonomi yang digunakan (apakah mereka sudah/belum mengenal sistem ekonomi pasar dan alat tukar yang digunakan), pranata ekonomi (lembaga perekonomian lokal), teknologi dan peralatan yang digunakan, baik di dalam maupun di luar lingkungan kerumahtanggaan. Urutan penomoran unsur-unsur perubahan tersebut dari yang

Ketujuh unsur kebudayaan tersebut mengikuti tata urut sedemikian rupa, dari unsur kebudayaan yang relatif sulit berubah sampai dengan unsur kebudayaan yang mudah berubah. Tata urut ini sangat penting, terutama bagi para praktisi ketika akan menyusun tahapan dalam melakukan pemberdayaan masyarakat. Sementara itu, dalam kaitannya dengan upaya perubahan sosial, Moore (Suradi et. all, 2003) menjelaskan bahwa ada tiga unsur di dalam perubahan sosial, yaitu nilai-nilai, interaksi sosial dan teknologi dan materi. Pertama unsur nilai, yang di dalamnya terdapat sistem religi dan upacara keagamaan. Sistem ini menggambarkan ciri masyarakat berkaitan dengan sistem kepercayaan, agama, upacara keagamaan, sistem peribadatan, peranan agama dalam kehidupan komunitas, dan pranata sosial

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

11

paling sulit berubah, hingga yang relatif mudah berubah atau mengalami perubahan. Berbagai karakteristik dan dimensi masyarakat tersebut menggambarkan, bahwa masyarakat merupakan sebuah bangunan yang di dalamnya terdiri dari lembaga kemasyarakatan atau pranata sosial yang berlapis-lapis. Struktur masyarakat mencakup berbagai hubungan sosial antara individu secara teratur. Fungsi dari struktur masyarakat ini yaitu pengendalian perilaku, penyesuaian diri dan pengawasan sosial bagi individuindividu. Adanya struktur ini tidak memungkinkan terjadinya kesewenangwenangan dan penyelewengan yang dilakukan oleh individu-individu sebagai warga masyarakat. Lebih lanjut dikemukakan oleh Budhisantoso (1995) dalam tulisannya Ketahanan Keluarga sebagai Basis bagi Pembinaan Kualitas Sumber Daya Manusia, bahwa betapapun sederhananya kehidupan suatu masyarakat, pasti mengembangkan organisasiasi sosial yang masing-masing menjamin ketertiban dan pencapaian tujuan hidup bersama. Organisasiasi sosial itu pada intinya meliputi pengaturan hubungan sosial antar anggota (social alignment), citacita atau tujuan bersama yang mengikat kesatuan sosial yang bersangkutan (social media), ketentuan sosial yang disepakati sebagai pedoman dalam pergaulan sosial (social standard) dan penegakan ketertiban hidup bersama (social control). Berdasarkan pemikiran ini, maka setiap orang, baik sebagai individu, anggota keluarga maupun anggota masyarakat terikat oleh keempat norma sosial tersebut dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pemikiran bahwa suatu masyarakat sebagai sebuah sistem, dikemukakan oleh Talcot Parson (Ihromi, 1999) dalam teori struktural-fungsional. Keluarga sebagai sebuah sistem terdiri dari sub-sub sistem

yaitu individu-individu anggota keluarga di dalamnya. Kemudian masyarakat sebagai sebuah sistem terdiri dari sub-sub sistem yaitu individu-individu yang pada hakikatnya sebagai anggota sebuah keluarga. Di dalam sebuah sistem tersebut, semua unsur saling berinteraksi dan menentukan satu dengan yang lain. Hal ini berarti, apabila ada satu unsur dalam sistem tersebut yang tidak berfungsi, maka kinerja sebuah sistem akan terganggu, dan bahkan akan mengalami kehancuran. Selanjutnya Norton dan Hunt (Astrid, 1984) membagi masyarakat dalam tiga kelompok besar berdasarkan sikap sosialnya terhadap kemungkinan memperbaiki diri : a. Kelompok atas yang tidak atau kurang ada perhatian untuk naik lebih tinggi dalam tangga sosial, mengingat bahwa hal tersebut telah mereka capai. Bagi kelompok ini masalah prestasi juga menjadi masalah yang dinomor duakan. Kelompok yang masih mempunyai keinginan untuk memperbaiki taraf dan tingkat sosialnya walaupun tidak tergolong golongan yang miskin atau termiskin. Kelompok ini dikelompokkan sebagai kelompok menengah karena masih mempunyai cita-cita lanjut untuk naik tangga sosial lebih tinggi lagi. Bagi kelompok ini berlaku nilai sikap menangguhkan suatu keuntungan yang dapat dicapai dalam jangka pendek demi suatu cita-cita atau hasil yang lebih besar di masa depan. Kelompok yang karena tercekam oleh kemiskinan mempunyai nilai untuk mengutamakan hasil dalam jangka pendek dan tidak mempunyai pandangan menuju ke hari depan di masa datang.

b.

c.

12

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

Pembagian masyarakat ke dalam tiga kelompok tersebut, memberikan pengetahuan baru terkait dengan jenis program yang mesti dirancang-kembangkan untuk ketiga kelompok tersebut agar program tepat guna dan berhasil guna.

III. DIMENSI PEMBANGUNAN MASYARAKAT


Pembangunan masyarakat dapat dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan taraf hidup, harkat dan martabat masyarakat. Berdasarkan pemahaman ini, maka di dalam pembangunan masyarakat perlu dipahami dimensi, filosofi atau prinsipprinsip dasarnya. Kemudian didesain sistem perubahan dan langkah-langkah yang perlu dilakukan. Menurut Jim Ife (2002), ada enam dimensi pembangunan masyarakat yang terintegrasi, yaitu : a. Pembangunan sosial Masyarakat memiliki kebutuhan sosial, dan karenanya memerlukan berbagai sumber, infrastruktur dan pelayanan sosial. Penyediaan fasilitas rekreasi, pelayan krisis bagi perempuan, perumahan dan jaminan hari tua, merupakan bentuk-bentuk pelayanan sosial yang diperlukan masyarakat. Kemudian, masyarakat juga memerlukan pelayanan sosial yang diarahkan untuk membangun kohesitas, guna menghindari terjadi konflik sosial yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan dalam struktur sosial dan keberagaman kultur, etnis, ras dan gender. Pusat pertemuan masyarakat merupakan wahana yang diperlukan masyarakat untuk bertemu, berdiskusi, berinteraksi dan melakukan berbagai kegiatan

bersama-sama, misalnya rekreasi, pendidikan dan keterampilan, kesehatan, kebudayaan dan advokasi. Proses sosial dan berbagai aktivitas masyarakat tersebut mengikuti mekanisme partisipatori, yaitu keterlibatan masyarakat mulai dari tahap perencanaan. Masyarakat mendefinisikan kebutuhannya dan bekerja bersama-sama untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Animasi sosial merupakan aspek sangat penting dalam dimensi pembangunan sosial, yaitu berkaitan dengan upaya mengembangkan kualitas interaksi sosial masyarakat dalam berbagai kepentingan, dan melahirkan aksi sosial bersama. b. Pembangunan ekonomi Situasi perekonomian nasional maupun global berpengaruh terhadap kemampuan dan daya beli masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan perekonomian yang berpihak kepada kekuatan masyarakat atau kebijakan ekonomi kerakyatan. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan menarik industri baru ke masyarakat lokal dengan memberikan lingkungan yang kon-dusif untuk investasi. Kebijakan pembangunan industri ini diarahkan untuk memberikan lapangan kerja baru bagi masyarakat lokal. Kemudian pengembangan industri berbasis masyarakat lokal yang dimiliki dan dioperasionalkan oleh masyarakat lokal sendiri. Maka dari itu, masya-rakat lokal yang memiliki ide-ide untuk usaha baru perlu difasilitasi dan didukung untuk merealisasikannya. Kemudian, untuk mendukung akivitas ekonomi masyarakat tersebut, perlu dibangun

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

13

infrastruktur ekonomi seperti koperasi dan lembaga per-kreditan yang dikelola oleh masya-rakat. Melalui lembaga perekomian lokal ini masyarakat akan memperoleh kemudahan memperoleh kredit untuk investasi maupun pemenuhan kebutuhan hidup. c. Pembangunan politik Pembangunan politik erat berkaitan dengan isu kekuasaan, struktur dan ketidakadilan. Sehubungan dengan itu, dalam pembangunan politik ini diperlukan analisis untuk mengetahui distribusi kekuasan dan bagaimana kekuasan tersebut dalam masyarakat yang memiliki perbedan kelas, gender dan etnis. Pembangunan politik ini dilakukan dalam dua jalur, yaitu pengembangan politik internal dan eksternal. Pembangunan politik internal berkaitan dengan proses partisipasi dan pembuatan keputusan dalam masyarakat. Bagaimana memaksimalkan partisipasi secara efekif sebagai anggota masyarakat, yang dicapai melalui dua jalur, yaitu consenciousness raising and organization. Consenciousness raising merupakan tahapan penting dalam relasi pada pengembangan politik internal karena berkaitan dengan semua aspek pembangunan masyarakat, dan membantu orang untuk saling tukar pengalaman dan refleksi terhadap situasi yang memungkinkan orang untuk bertindak. Kemudian organizing, yaitu berkaitan dengan cara masyarakat mengorganisasi diri dalam suatu aturan yang berkaitan dengan masalah, mengembangkan alternatif dan struktur yang otonomi. Mengembangkan prosedur secara demokratis

antara laki-laki dan perempuan yang memiliki perbedaan latar belakang kebudayaan, etnis dan kelas; semuanya memiliki kesempatan secara adil dalam pembuatan keputusan dalam masyarakat. Pembangunan politik eksternal mengarah pada pemberdayaan masyarakat dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial dan politik yang lebih luas, dan lebih mengarah lagi pada aksi sosial. Pengembangan politik eksternal ini dilakukan melalui dua jalur, yaitu organizing and social action. Organizing berkaitan dengan upaya pengorganisasian secara efektif untuk melakukan aksi sosial. Kegiatan utama di dalamnya, yaitu me-mantapkan struktur, demokrasi dalam memaksimalkan partisipasi dan menciptakan kekuasaan secara efektif dalam area yang lebih luas. Prinsip penting dalam organizing untuk aksi sosial adalah orang tidak harus melakukan sesuatu menurut diri sendiri, tetapi harus melakukan sesuatu berdasarkan rencana tindak yang disepakati. Kemudian social action berkaitan dengan pencapaian tujuan pada berbagai bentuk peru-bahan dalam lingkungan eksternal. Misalnya, menghentikan pem-bangunan biaya tinggi, mewujudkan sarana transportasi yang lebih baik, mengurangi dampak negatif acara televisi, mempertahakan kelestarian lingkungan alam dan menghentikan atau penutupan industri lokal. d. Pembangunan budaya Kemajuan teknologi di bidang informasi mempengaruhi keunikan kebudayaan masyarakat lokal. Melalui media elektronik berbagai pesan-pesan propaganda disampaikan, dan

14

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

masyarakat tidak mampu melakukan seleksi. Masyarakat kesulitan untuk mencegah pengaruh propaganda tersebut, dan kesulitan pula dalam mempertahankan kebudayaan lokal. Padahal kebudayaan lokal sangat penting sebagai bagian dari perasaan bermasyarakat dan mempertahankan identitas diri. Oleh karena itu, berbagai bentuk kebudayaan lokal perlu dipertahankan, seperti sejarah lokal, kerajinan rakyat, makanan daerah dan produk lainnya, bahasa lokal, arena festival dan musik tradisional, serta olah raga rakyat. Upaya mempertahankan kebudayaan lokal ini tidak berarti menjadikan sebagai museum atau arti fisial yang statis, tetapi lebih dinamis mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam prakteknya, pembangunan kebudayaan ini tidak berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, menjadi dasar interaksi sosial dan basis dalam proses pengembangan masyarakat. e. Pembangunan lingkungan Pembangunan lingkungan berkaitan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya lingkungan. Pembangunan lingkungan ini sangat penting karena berkaitan dengan isu kebutuhan manusia yang lebih mendesak, kelangsungan hidup, air bersih, makanan yang sehat dan udara yang bersih. Terjadinya polusi air dan udara harus dapat dicegah karena mengganggu kehidupan masyarakat. Masyarakat harus bertanggung jawab untuk melindungi dan merehabilitasi lingkungan fisik, agar lingkungan alamiah maupun lingkungan yang diperbarui (buatan) tersebut memiliki daya dukung untuk

kelangsungan hidup. Lingkungan dalam pembangunan masyarakat merupakan komponen kritis, dan oleh karena itu penerapan pendekatan pembangunan memerlukan keterpaduan. f. Pembangunan personal dan spiritual. Pembahasan pembangunan personal tidak dapat dilepaskan dengan pertumbuhan personal. Salah satu jastifikasi dalam pembangunan masyarakat, bahwa pembangunan personal secara kontekstual lebih baik daripada pembangunan impersonal pada struktur birokrasi pemerintah dan dunia usaha yang besar. Kerugian pada masyarakat diasosiasikan dengan kerugian pada identitas personal dan hilangnya rasa saling memiliki sebagai masyarakat, dan karena itu perlu dikembangkan rasa saling menghargai personal dan pengembangan kapasitas ke arah kehidupan yang lebih sejahtera. Berbagai pelayanan yang diperlukan berkaitan dengan pertumbuhan personal ini adalah pelayanan kesehatan, pendidikan, perumahan dan perawatan. Semua itu ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang juga merupakan komponen penting dalam agenda pembangunan personal. Selain itu, pembangunan personal dan pertumbuhan personal diasosiasikan ke dalam berbagai jenis aktivitas masyarakat, seperti pertemuan kelompok, berbagai jenis terapi, cara peribadatan, mistik dan ilmu gaib. Bahwa di dalam masyarakat terdapat sejumlah nilai yang mungkin mempengaruhi ideologi masyarakat, padahal nilai-nilai tersebut tidak sesuai dengan pembangunan masyarakat.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

15

Suatu pendekatan berbasis masyarakat terhadap pembangunan dan pertumbuhan personal akan membantu orang menemukan cara secara individual untuk memperoleh kebutuhan melalui jaringan kerja, struktur dan interaksi dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini orang akan dibantu dalam pemecahan masalah personal, penyembuhan stress dan juga akan memperoleh batuan dan dukungan dari keluarga dan teman-teman mereka. Pembangunan dan pertumbuhan personal merupakan hal penting yang mengantarkan orang lebih berarti di dalam hidupnya. Hal ini akan lebih berarti lagi dengan adanya pembangunan spiritual, karena berkaitan dengan eksistensi manusia. Kata spiritual dan sacred digunakan di sini, karena dimensi pembangunan spiritual tidak hanya dipahami dalam mainstream religi, tetapi dalam pengertian luas yang menjangkau berbagai pengalaman spiritual masyarakat seperti kontemplasi tentang laut, membaca sajak, menggubah lagu, menemukan kepuasan dalam relasi seksual, partipasi dalam menciptakan musik, lagu dan tarian; dan berbagai pengalaman tentang komunitas manusia. Semua orang memiliki spiritual, dan dengan itu tumbuh kesadaran bahwa manusia, binatang, tanah dan semua yang ada di dalamnya didefinisikan dalam hubungannya dengan lingkungan alam semesta. Dari keenam dimensi pembangunan masyarakat tersebut tidak selalu memperoleh prioritas yang sama. Tentunya disesuaikan dengan kondisi suatu masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat mungkin lebih memprioritaskan pada

pembangunan ekonomi, kesehatan, partisipasi politik dan memperkuat identitas budaya. Pada masyarakat yang lain memprioritaskan pelayanan bagi keluarga miskin, degradasi lingkungan fisik, pembangunan kepercayaan diri dan mengembangkan kehidupan sosial yang harmonis. Kemudian pada masyarakat yang lain memprioritaskan pembangunan pribadi dan spiritual, sosial dan lingkungan.

l cia o s
C
MUNIT OM
Ecologicalsocial justice

politic

v ir on men tal

/sp na l perso

Gambar : Pembangunan Masyarakat Terintegrasi (Jim Ife, 2002)

IV. STRATEGI PEMBANGUNAN MASYARAKAT


1. Pinsip-prinsip dasar Pembangunan masyarakat dilaksanakan dengan beberapa prinsip dasar, yaitu : a. Menolong masyarakat agar masyarakat tersebut dapat menolong dirinya sendiri (help people help them self). Memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menentukan apa yang terbaik untuk dirinya atau tumbuhnya (self determination).

b.

16

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

tu al
ir i

CO Y MMUNIT
en

c. d.

Mendasarkan pada keunikan masyarakat (individualization). Menumbuhkembangkan peran aktif masyarakat dalam kegiatan pembangunan (participation) dan mengembangkan bentuk-bentuk kooperatif (Jusman, 1992; Sarah Bank, 1995).

Selain prinsip-prinsip tersebut, Jim Ife (2002) mengembangkan sejumlah prinsip dalam pembangunan masyarakat, antara lain : a. Pembangunan sosial, budaya, ekonomi, politik, lingkungan dan personal/spiritual harus terintegrasi sesusai dengan kebutuhan yang paling dirasakan masyarakat pada saat ini. Aktivitas pembangunan masyarakat terjadi dalam kerangka kerja yang saling mendukung, berkesinambungan dan harmonis. Proses pembangunan masyarakat didasarkan pada persetujuan bersama dan digunakan untuk membuat keputusan yang lebih baik. Pembangunan masyarakat mampu mendefinisikan kebutuhan masyarakat seutuhnya, konsumen, tenaga dan sumber daya. Selain itu mendefinisikan kebutuhan yang memerlukan peranan semua orang atau secara kelompok dan mengikutsertakan orang-orang untuk menentukan kebutuhan.

sumber-sumber yang ada di sekitar mereka, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, nilai-nilai maupun kearifan lokal. Untuk dapat mengenal sumber daya lokal ini, CD Worker perlu belajar dengan baik dengan warga, tokoh dan pemerintah lokal. Kemudian CD Worker dituntut cerdas dalam menganalisa informasi-informasi yang diperoleh dari warga, tokoh maupun pemerintah lokal, dan selanjutnya mampu merancang langkah-langkah yang benarbenar memenuhi kebutuhan masyarakat. 2. Pendekatan

b.

c.

Dalam perkembangannya, ilmu pekerjaan sosial telah mengembangkan pendekatan dalam praktek pertolongan ke arah pendekatan generalis (generalis models). Pendekatan ini melihat masalah dari berbagai persepektif, dan karena itu dalam penanganannya memerlukan pendekatan yang terintegrasi, tidak bisa secara parsial. Menurut Karen K. Kirst, Ashman dan Grafton H. Hull, Jr (1993), ada tiga pendekatan yang dapat digunakan secara simultan, yaitu : a. Bekerja dengan individu (Micro Practice Skill) Metode yang ditujukan pada upaya perubahan perilaku, kualitas pribadi dan sumber internal pada individuindividu. Perubahan perilaku ini berkaitan dengan peranan dan tugas sosial individu yang harus dilakukan. Kualitas pribadi berkaitan dengan tanggung jawab, kerja sama, percaya diri, penampilan diri, semangat hidup, orientasi terhadap waktu dan karya. b. Bekerja dengan kelompok (Mezzo Practice Skill) Metode yang ditujukan pada pemanfaakan kelompok sebagai sistem sumber bagi penyandang masalah

d.

Bagi CD Worker berbagai prinsip etis maupun prinsip praktis dalam pembangunan masyarakat sangat penting untuk diperhatikan, dan ketika berhadapan dengan warga masyarakat tidak merasa lebih tahu. CD Worker perlu menyadari, bahwa masyarakatlah yang paling mengenal masalah, kebutuhannya dan

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

17

sosial dalam pencapaian tujuan. Beberapa jenis kelompok sosial tumbuh di tengah-tengah masyarakat seperti kerukunan berbasis agama, kerukunan berbasis lingkungan, kerukunan berbasis etnis dan sebagainya. Ada beberapa peranan kelompok sebagai sistem sumber, yaitu: pemberi informasi, bantuan mobilitas, dan bantuan teknis lainnya. c. Bekerja dengan organisasi dan masyarakat (Macro Practice Skill) Metode yang ditujukan pada pemanfaatan organisasi dan segenap sistem sumber yang ada di masyarakat dalam mencapai tujuan. Berbagai organisasi ada di tengah-tengah masyarakat seperti organsisi sosial, lembaga swadaya masyarakat (LSM), organisasi berbasis agama, organisasi profesi, asosiasi dunia usaha dan sebagainya. Dari berbagai jenis organisasi dan sistem sumber ini, penyandang masalah sosial akan memperoleh sumber-sumber dan berbagai jenis pelayanan yang diperlukan untuk mencapai tujuan. 3. Sistem Dasar

b.

Sistem klien (the client system) , yaitu masyarakat (sebagai sasaran perubahan). Sistem sasaran/pelancar (the target system) , yaitu pimpinan masyarakat dan tokoh adat/masyarakat lokal. Sistem kegiatan (the action system), yaitu pemangku kepentingan (stakeholders) setempat, baik dari unsur pemerintah di daerah, dan LSM/ Orsos/Ormas.
Sistem pelaksana perubahan Sistem kegiatan Sistem sasaran

c.

d.

Sistem klien

Gambar : Sistem Dasar dalam Pembangunan Masyarakat

4.

Peranan Pekerja Sosial Pengembangan Masyarakat (CD Worker)

Di dalam praktek pertolongan, terdapat unsur-unsur perubahan yang saling mempengaruhi dan menentukan keberhasilan. Pincus dan Minahan (1973) mengembangkan sebuah sistem dasar dalam praktek pertolongan yang di dalamnya mencakup empat unsur, yaitu sistem pelaksana perubahan, sistem klien, sistem sasaran dan sistem kegiatan. Unsurunsur tersebut dapat digunakan pula dalam praktek pembangunan masyarakat, yaitu : a. Sistem pelaksana perubahan (the change agen system), yaitu pekerja sosial dan instansi sosial.

Berbagai peranan yang dapat dilaksanakan oleh CD Worker dalam pembangunan masyarakat, yaitu : a. Fasilitator, yaitu memberikan kemudahan berupa sumber dan peluang bagi masyarakat dan mengambil langkah-langkah aktifproaktif dalam penyediaan sumber yang dibutuhkan oleh masyarakat. Mediator, yaitu menjalurkan berbagai kepentingan, sehingga suatu sistem pelayanan memberikan mafaat langsung bagi masyarakat.

b.

18

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

c.

Informan, yaitu menghimpun, mengembangkan, memanfaatkan serta menyediakan data dan informasi yang berkaitan dengan upaya pembangunan masyarakat.

2)

Pemberdaya, yaitu meningkatkan pengertian, kesadaran, tanggung jawab, komitmen, partisipasi dan kemampuan masyarakat dalam pembangunan. Sebagaimana prinsip etis maupun prinsip praktis, peranan-peranan yang mesti dilakukan oleh CD Worker dalam pembangunan masyarakat perlu dipahami dengan baik. Pemahaman yang baik mengenai peranan-peranan tersebut akan menempatkan CD Worker sebagai pelaku perubahan masyarakat yang proporsional dan profesional. Peranan yang dilakukan dalam rangka pembangunan masyarakat bukan sebagai kemauan pribadi CD Worker, akan tetapi sebagai tuntutan profesi yang dapat dipertanggungjawabkan d. 5. Tahap Pembangunan Masyarakat

Saling tukar informasi. Setelah antara CD Worker dengan warga, tokoh dan aparat pemerintah setempat saling mengenal, akan saling terbuka untuk menyampaikan informasi yang lebih rinci mengenai situasi dan kondisi masyarakat yang akan menjadi sasaran perubahan. Informasi dimaksud meliputi : kondisi geografis, demografis dan sosiografis secara lengkap dan mutakhir. Kemudian informasi dari CD Worker menyangkut skema pemberdayaan masyarakat dan dampak program bagi kesejahteraan masyarakat. Membangun kepercayaan. Setelah saling mengenai identitas dan saling tukar informasi, tumbuh rasa saling percaya satu sama lain. Saling percaya ini merupakan modal dasar untuk melangkah kepada tahapan kegiatan berikutnya yang dalam prosesnya melibatkan warga masyarakat. Sedangkan kontrak adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih, yang dalam hal ini antara pekerja sosial dengan masyarakat. Kontak dan kontrak dilakukan dengan masyarakat, tokoh masyarakat/tokoh adat dan pemegang orotitas lokal lainnya.

3)

Beberapa tahapan yang perlu dilakukan dalam pembangunan masyarakat, yaitu : a. Kontak dan Membangun Kesepakatan Tahap pertama dan menentukan dalam upaya pembangunan masyarakat adalah kontak dan kontrak. Kontak dipahami sebagai serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan tujuan : 1) Pengenalan diri. Pengenalan diri dilakukan oleh pemberdaya (CD worker) kepada masyarakat, tokoh masyarakat dan pemerintah lokal. Pengenalan diri dilakukan agar pihak-pihak tersebut mengenal dengan baik identitas dan maksud CD Worker melakukan kegiatan di wilayahnya. b.

Identifikasi Masalah, Kebutuhan dan Sumber Pemahaman terhadap kebutuhan, masalah dan sumber-sumber merupakan inti dari asesmen. Pada tahap ini pekerja sosial bersama-sama dengan masyarakat, dan tokoh

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

19

masyarakat (adat) mengidentifikasi permasalahan yang sedang dirasakan pada saat ini. Kemudian bersama-sama dengan pihak-pihak tersebut untuk mengidentifikasi sumber-sumber (SDM, SDA, dan SDS) yang memungkinkan digali dan dikembangkan bagi pembangunan masyarakat. c. Perencanaan Perencanaan merupakan proses menentukan tujuan melalui sejumlah kegiatan tertentu. Perencanaan kegiatan pembangunan masyarakat di dalamnya memuat jenis kegiatan, waktu dan jadwal pelaksanaan kegiatan, lokasi kegiatan, SDM, mekanisme kerja dan dana. d. Pelaksanaan kegiatan Pelaksanaan kegiatan pada dasarnya adalah mengimplementasikan rencana di lapangan. Dalam pelaksanaan ini, CD Worker akan bekerja dengan segenap sistem perubahan yang ada di masyarakat. Interaksi dialogis, tukar pengalaman, advokasi sosial, membuka kesempatan untuk melakukan tindakan tertentu; merupakan alternatif yang dapat dipertimbangkan. e. Evaluasi Evaluasi merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh CD Worker bersama-sama dengan masyarakat untuk mengetahui hasil yang dicapai dari pelaksanaan kegiatan. Evaluasi dilaksanakan pada akhir kegiatan. Ada tiga tujuan evaluasi adalah : 1) Memperoleh gambaran obyektif dari pencapaian tujuan dan hasilhasil kegiatan pembangunan masyarakat.

2)

Mengetahui dampak pemberdayaan dalam kehidupan masyarakat Memperoleh masukan untuk merancangkembangkan model pembangunan masyarakat lebih lanjut.

3)

Dalam prakteknya, pada kasuskasus tertentu memungkinkan tahapan tersebut tidak dilakukan secara berurutan. Dengan demikian proses pemberdayaan masyarakat sangat bergantung dan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi yang saat ini sedang dihadapi oleh masyarakat. Contoh situasi terkait dengan proses pemberdayaan masyarakat yang tidak mengikuti proses ideal, yaitu pembebasan lahan dan ganti rugi, land reform dan hal-hal yang terkait dengan pelayanan publik.

V.

PENUTUP

Pembangunan masyarakat sebagai upaya membangun keberdayaan masyarakat berdasarkan potensi dan sumber daya yang dimiliki, dilaksanakan berdasarkan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri. Sehubungan dengan itu, pemerintah tetap diperlukan terutama berkaitan dengan kebijakan yang mem-berikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengakses pelayanan dan sumber-sumber lain yang dibutuhkan. Intervensi pemerintah yang bertujuan untuk pembangunan dan keberdayaan masyarakat perlu mempertimbangkan integrasi dari berbagai dimensi, yaitu sosial, budaya, ekonomi, politik, lingkungan dan personal/ spiritual. Melalui pendekatan terintegrasi, maka akan tercapai taraf kehidupan dan kesejahteraan masyarakat yang lebih baik.

20

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

DAFTAR PUSTAKA
Bank, Sarah, 1995, Ethic and Value in Sosial Work. London : Mac. Milland Press Ltd. Compton, Beulah R and Burt Galaway. 1989. Sosial Work Processes, Fourth Edition, California- United State :Cole Publishing Company. Gidden, Anthony, 1999, The Third Way (Jalan Ketiga : Pembaruan Demokraasi Sosial) (Ketut Arya Mahardika : penterjemah), Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Ife, Jim, 2002, Community Development : Community Based Activities in an Age of Globalization , Australia : Cath Godfrey Publisher. Ihromi, 1999, (editor), Sosiologi Keluarga, Jakarta : CV Rajawali. Iskandar, Jusman, 1992, Etika dan Filsafat Pekerjaan Sosial, Bandung : KOPMA Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial. Kirdt Ashman, Karen K dan Grafton H. Hull, Jr, Understanding Generalist Practice, Nelson-Hall Publishers : Chicago, USA, 1993. Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan untuk Rakyat : Memadukan Pertumbuhan dengan Pemerataan, Jakarta : CIDES Kian Wie,Thee,1986, Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan: Beberapa Pendekatan Alternatif, Jakarta : LP3ES. Koentjaraningrat, 2004, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta : Gramedia. Pincus, Allen and Anne Minahan. 1973. Social Work Practice : Model and Methode. Illinois : Peacock Publisher Inc. Santoso, S. Budhi. Ketahanan Keluarga sebagai Basis bagi Pembinaan Kualitas

Sumber Daya Manusia, Jurnal 40 Tahun 1994, Badan Litbang Kesejahteraan Sosial, 1994. Soekanto, Soerjono, 1990, Sosiologi Keluarga; Jakarta : CV Rajawali. Soetarso, 1992, Praktek Pekerjaan Sosial dalam Pembangunan Masyarakat, Bandung : KOPMA Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung. Soetrisno, Loekman, 1995, Menuju Masyarakat Partisipatif, Kanisius Press : Yogyakarta. Suharto, Edi, 2005, Membangun Masyarakat, Memberdayakan Masyarakat : Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial, Bandung : Refika Aditama. Suradi et. All, 2003, Kehidupan Sosial Budaya Komunitas Adat Terpencil, Jakarta : Puslitbang Kesos.: Suradi, Strategi Pembangunan Masyarakat : Tinjauan Ke Arah Program Sosial Partisipatif, Majalah INFORMASI, Jakarta : Puslitbang Kesos, 2000. Susanto, Astrid S., 1984, Sosiologi Pembangunan, Jakarta : Bina Aksara.

Drs. Suradi, M.Si, Magister Sosiologi Kekhususan Ilmu Kesejahteraan Sosial dari Universitas Indonesia, Peneliti Kebijakan Sosial, Ketua Dewan Redaksi INFORMASI, Anggota P2JP instansi pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial; dan anggota Tim Teknis pada Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

21

MEMBANGUN KELUARGA BERKETAHANAN SOSIAL DALAM ERA MODERNISASI


Irmayani S
Abstract. As smallest social unit, family share big in following to determine the condition of broader society, covering prosperity of social and harmonious of life bounce him. As place gather personals coexisting in family relationship, quality and pattern between person in the family very determining, do the family pertained harmonious or on the contrary. Besides requiring internal abilities is each family member, do not less important is how the family can stay from all changes that happened around them, change of social, cultural, economy, or politic. Keywords : family, social resilience

I.

PENDAHULUAN

Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki peranan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan selanjutnya diharapkan dapat mengurangi timbulnya masalah-masalah sosial. Berbagai kalangan mengemukakan bahwa keluarga menjadi basis terpenting dalam perkembangan kehidupan manusia. Keluarga merupakan lingkungan hidup primer dan fundamental tempat terbentuknya kepribadian yang mewarnai kehidupan manusia. Persemaian nilai-nilai agama, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan sosial dan nilai-nilai moral, terjadi di dalam institusi yang bernama keluarga ini. Keluarga merupakan pranata sosial pertama dan utama yang mengemban fungsi strategis dalam membekali nilai-nilai kehidupan bagi anak manusia yang tengah tumbuh kembang. Dengan kata lain, keluarga merupakan agen terpenting yang berfungsi meneruskan budaya melalui proses sosialisasi antara individu dengan lingkungan.

Pembangunan keluarga di masa mendatang dengan sendirinya mempunyai peran ganda. Pada satu sisi, keluarga diharapkan dapat mengadakan penyesuaian agar mampu melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai pengayom seluruh anggota keluarga. Pada konteks ini pelembagaan nilai-nilai luhur, meningkatkan kesejahteraan keluarga, membangun seluruh potensinya menjadi sumber daya insani dan berbagai kemampuannya untuk sekaligus mendukung usaha pembangunan bangsa. Pada sisi lain, keluarga diharapkan dapat meningkatkan kemampuannya dan selalu siap melakukan penyesuaian terhadap lingkungan baru sekitarnya. Pada kondisi seperti ini keluarga berada pada posisi yang serasi, seimbang, selaras dan harmonis serta dinamis. Itulah sebabnya setiap keluarga diharapkan mampu mendidik anakanaknya membangun budi pekerti yang luhur agar bisa selalu dan tetap menempatkan diri dalam masyarakat secara serasi, seimbang dan harmonis.

22

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

Krisis sosial ekonomi bisa menjadi ujian bagi ketahanan sosial masyarakat dan keluarga. Karena situasi tersebut telah menimbulkan goncangan-goncangan yang menuntut adanya upaya dan kemampuan untuk menghadapinya. Krisis tersebut salah satunya disebabkan oleh paradigma pembangunan selama masa Orde Baru yang menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang tidak secara serentak berdampak pada pemerataan kesejahteraan masya-rakat. Kondisi masyarakat sampai saat ini masih ditandai oleh tingginya angka kemiskinan, putus sekolah, dan mening-katnya jumlah anak yang kekurangan gizi. Fenomena tersebut hampir tiap hari menjadi santapan kita melalui tayangan media cetak maupun elektronik. Ketahanan sosial keluarga senantiasa terkait dengan sejauhmana fungsi keluarga secara optimal mengkondisikan konsep keluarga menjadi sebuah pranata yang dapat memberikan perlindungan, pengendalian, pengembangan dan partisipasi keluarga dalam kehidupan masyarakat. Keluarga yang memiliki ketahanan adalah keluarga yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga secara fisik material, mental spritual dan kebutuhan sosialnya. Direktorat Pemberdayaan Keluarga (2002) mengidentifikasikan bahwa terdapat isu kritis yang berpengaruh terhadap keberfungsian keluarga, diantaranya adalah: a. Terjadinya perubahan struktur dan fungsi keluarga. Di dalam masyarakat terjadi gejala pergeseran struktur keluarga dari keluarga besar menjadi keluarga inti. Hal ini sejalan dengan mobilisasi sosial yang demikian tinggi. Perubahan makna keluarga, dari nilai lama dianggap sebagai lembaga yang sakral, menjadi lembaga yang hanya dimaknai secara mekanistis yang terdiri dari hubungan-hubungan

instrumental di antara anggota keluarga. Kecenderungan lain yang sifatnya tertutup adalah bergesernya pola pembentukan keluarga yang tadinya dibentuk oleh ikatan perkawinan, ke arah hubungan illegal termasuk di dalamnya keluarga lesbian/homoseksual, kehamilan di luar nikah dan lain-lain. b. Perubahan sosial budaya masyarakat Ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonomi dalam keluarga akan mempengaruhi ketahanan keluarga. Pengaruh lainnya, orang tua bisa mengalami stress yang dapat mempengaruhi kualitas hubungan antar anggota keluarga. Keterpisahan keluarga karena tuntutan pekerjaan, menurunkan kualitas intimasi antar anggota keluarga, baik antar suami istri, orang tua anak, nenek maupun antar saudara. Selain akibat dari pengaruh budaya luar atau akibat dari akulturasi yang demikian cepat, telah mengakibatkan disorientasi pola hubungan antar anggota keluarga yang mengarah pada munculnya konflik di antara mereka, serta per-masalahan lainnya. Keluarga dapat dijadikan sebagai jalan masuk dalam menghadapi setiap perubahan sosial yang terjadi melalui pengembangan dan pembinaan fungsi keluarga. Hal ini sesuai dengan misi UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Oleh sebab itu, salah satu yang perlu dikembangkan adalah kebijakan pengem-bangan dan pembinaan berdasarkan fungsi-fungsi tersebut. Tujuannya adalah agar kesebelas fungsi keluarga (reproduksi, afeksi, perlindungan, pendidikan, keagamaan, sosial budaya, sosialisasi, pengembangan lingkungan,

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

23

ekonomi, rekreasi dan kontrol sosial) dapat dilaksanakan secara lebih aktif dan dikembangkan ke dalam peranan orang tua yang lebih operasional. Oleh karena itu, peranan pemerintah dan tokoh masyarakat serta pranata sosial yang ada di masyarakat perlu ditingkatkan untuk melakukan pengembangan dan pembinaan keluarga agar keluarga memiliki ketahanan sosial. Keluarga yang memiliki ketahanan sosial diharapkan dapat menangkal dan mencegah perkembangan yang negatif. Pembinaan ketahanan sosial keluarga dapat dilakukan dengan memantapkan kualitas fungsi keluarga secara lebih operasional. Pengembangan ketahanan sosial keluarga hendaknya bersifat integratif, sinergis dan komprehensif agar didapat hasil yang diharapkan. Keluarga yang berketahanan sosial adalah cermin dari keluarga yang harmonis, serasi dan berkesejahteraan.

II.

TINJAUAN TENTANG KELUARGA

Keluarga adalah sekelompok orang yang diikat oleh perkawinan atau darah, biasanya meliputi ayah, ibu dan anak atau anak-anak. Beberapa ahli mendefinisikan keluarga secara cukup menarik, seperti Nimkoff (Gunarsa dan Gunarsa, 2004) mendefinisikan keluarga sebagai ikatan yang sedikit banyak berlangsung lama antara suami dan istri, dengan atau tanpa anak. Belsky dkk (Tetrawanti, 1989) mengatakan bahwa keluarga terdiri atas suami atau ayah, istri atau ibu, dan anak. Sementara itu menurut Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga Departemen Sosial (2002), keluarga diartikan sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat yang merupakan wahana sosialisasi yang pertama dan utama bagi tumbuh kembang anak.

Melalui keluarga, individu-individu dapat tumbuh dan berkembang, serta dapat memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani maupun sosialnya. Tidak seorangpun individu yang tidak terkait dengan keluarganya. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, demikian yang dinyatakan dalam UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera. Perbedaan pendapat para ahli dan lembaga diatas adalah wajar mengingat dalam kenyataannya secara struktur dikenal keluarga inti (nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak, dan keluarga luas ( extended family ) yang terdiri dari tiga generasi atau lebih. Keluarga sebagai unit sosial terkecil di masyarakat, merupakan bagian penting dan cukup besar pengaruhnya terhadap keberlangsungan masyarakat. Hal ini terutama dikaitkan dengan peranannya di masyarakat yang berhubungan dengan fungsi sosialisasi dan memelihara stabilitas masyarakat. Keluarga sebagai kelompok primer punya peran besar dalam membentuk kepribadian anggota-anggotanya yang akan menjadi anggota masyarakat secara luas. Sedangkan Summer dan Keller (Gunarsa dan Gunarsa, 2004) merumuskan keluarga sebagai miniatur dari organisasi sosial, meliputi sedikitnya dua generasi dan terbentuk secara khusus melalui ikatan darah. Polish (Tetrawanti, 1989) mendefinisikan keluarga dengan menitikberatkan pada struktur keluarga yang menyatakan bahwa keluarga merupakan suatu kelompok sosial yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai ikatan darah dan hubungan saudara, umumnya terbatas hingga generasi ke empat.

24

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

Kemudian Bell (Ihromi, 1999) mengatakan ada 3 jenis hubungan keluarga: 1. Kerabat dekat (conventional kin) Kerabat dekat terdiri atas individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan, seperti suami istri, orang tua-anak, dan antar saudara (siblings) 2. Kerabat jauh (discretionary kin) Kerabat jauh terdiri atas individu yang terikat dalam keluarga melalui hubungan darah, adopsi dan atau perkawinan, tetapi ikatan keluarganya lebih lemah daripada kerabat dekat. Hubungan yang terjadi diantara mereka biasanya karena kepentingan pribadi dan bukan karena adanya kewajiban sebagai anggota keluarga. Biasanya mereka terdiri atas pamanbibi, keponakan dan sepupu. 3. Orang yang (fictive kin) dianggap kerabat

mencapai prestasi sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki dan memperlihatkan perubahan perilaku dalam berbagai aspeknya seperti yang diharapkan atau direncanakan. Dari sudut sosiologi, keluarga berfungsi sebagai tempat untuk menanamkam aspek sosial agar bisa menjadi anggota masyarakat yang mampu berinteraksi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya dari sudut agama, keluarga adalah tempat persemaian bagi benih-benih kesadaran akan adanya sesuatu yang luhur, Tuhan Yang Maha Esa, dan norma-norma etnis moral seperti tindakan baik, buruk yang djadikan pegangan dalam perilaku sehari-hari. Dari sudut ekonomi, keluarga adalah primer sebagai organisasi ekonomi, sesuai dengan istilah dalam bahasa Latin untuk arti lain dari keluarga yakni oikonomia. Fungsi keluarga juga tercermin dalam peranan masing-masing anggota keluarga (Direktorat Keluarga, 2003), yaitu : a. Ayah yang berstatus sebagai kepala keluarga mempunyai peran sebagai pencari nafkah utama, pendidikan dan sebagai tokoh keteladanan. Adapun peranan yang harus dilaksanakannya adalah mencukupi kebutuhan rumah tangga, memberikan pendidikan, bimbingan kepada putra-putrinya, memberikan rasa aman, memberikan perlindungan yang baik dan sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku, mendorong dan membangkitkan semangat keluarganya. Ibu yang berstatus sebagai ibu rumah tangga mempunyai peran sebagai pendamping suami, pengurus dan pengatur rumah tangga, penerus keturunan, pendidik dan pembimbing bagi putra-putrinya. Ibu berperan sebagai pendorong dan pembangkit semangat suami agar suami dapat melaksanakan fungsi dan peranannya,

Seseorang dianggap anggota kerabat karena ada hubungan yang khusus, misalnya hubungan antar teman akrab. Sedangkan uraian mengenai fungsi keluarga menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004) bergantung dari sudut dan orientasi yang berbeda. Dari sudut biologi, keluarga berfungsi untuk melanjutkan garis keturunan. Dari sudut psikologi perkembangan, keluarga berfungsi untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian sehingga bayi yang kecil menjadi anak besar yang berkembang dan diperkembangkan seluruh kepribadiannya sehingga tercapai gambaran kepribadian yang matang, dewasa dan harmonis. Dari sudut pendidikan, keluarga berfungsi sebagai tempat pendidikan informal, tempat dimana anak memperkembangkan dan diperkembangkan kemampuankemampuan dasar yang dimiliki sehingga

b.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

25

mendorong dan membangkitkan semangat putra-putrinya, memberikan rasa aman, mendidik dan membimbing putra-putrinya menuju kedewasaan, memberikan peneladanan sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku, sebagai teman bermain dan berbicara dari putra-putrinya, mengatur dan mengurus rumah tangga, mengamati tingkah laku putra-putrinya. c. Anak berstatus sebagai pribadi yang merupakan bagian dari suatu keluarga, mempunyai peran sebagai generasi penerus, penerima nilai dan norma, serta sebagai penerima pendidikan dan bimbingan. Anak dalam keluarga berperan dalam melestarikan nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga, melaksanakan bimbingan dan pendidikan dari orang tua, mempersiapkan diri guna mengembangkan keturunan, menambah pengetahuan dan keterampilan.

Kesan stereotype dalam masyarakat nampaknya masih men-dominasi pelembagaan peranan dalam keluarga. Ibu walaupun bekerja di luar rumah tetap berkewajiban melaksanakan tugas rumah tangga, sementara ayah dianggap tidak pantas. Hal ini yang kemudian seringkali menimbulkan berbagai benturan peran dalam keluarga. Keluarga mempunyai fungsi-fungsi tersendiri. Berdasarkan Badan Pusat Statistik dan Direktorat Keluarga Departemen Sosial, fungsi-fungsi keluarga secara umum sebagai berikut : a. Fungsi Reproduksi, yang mencakup kegiatan melanjutkan keturunan secara terencana sehingga menunjang terciptanya kesinambungan dan kesejahteraan sosial keluarga. Fungsi Afeksi, meliputi kegiatan untuk menumbuhkembangkan hubungan sosial dan kejiwaan yang diwarisi kasih sayang, ketentraman dan kedekatan. Fungsi Perlindungan, yaitu menghindarkan anggota keluarga dari situasi atau tindakan yang dapat membahayakan atau menghambat kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan secara wajar. Fungsi Pendidikan, mencakup kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan maupun sikap dan perilaku anggota-anggota keluarga guna mendukung proses penciptaan kehidupan dan peng-hidupan keluarga yang sejahtera. Fungsi Keagamaan yaitu kegiatan untuk meningkatkan hubungan anggota keluarga dengan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga keluarga dapat menjadi wahana persemaian nilai-nilai keagamaan guna membangun jiwa anggota keluarga yang beriman dan bertaqwa.

b.

d.

Keluarga dalam lingkungan sosial masyarakat memiliki status sebagai bagian dari kesatuan masyarakat dan sebagai penghubung pribadi dengan struktur yang lebih luas (masyarakat). Dalam masyarakat, keluarga berperan sebagai pelestari suatu masyarakat, pemelihara fisik anggotanya dalam pembentukan kelestarian masyarakat, wadah sosialisasi anak sebagai sarana kontrol sosial. Tidak optimalnya pelaksanaan peranan anggota keluarga, antara lain disebabkan oleh adanya pergeseran struktur, bentuk dan nilai dalam keluarga. Pendidikan perempuan yang meningkat dari tahun ke tahun membuka kesempatan yang luas untuk tidak hanya bekerja di rumah, tetapi juga bekerja di luar rumah. Pergerseran peranan nampaknya masih belum diimbangi dengan pembagian tugas rumah tangga yang seimbang antara ayah dan ibu.

c.

d.

e.

26

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

f.

Fungsi Sosial Budaya yaitu kegiatan yang ditujukan untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai sosial budaya guna memperkaya khasanah budaya maupun integrasi sosial bangsa dalam rangka menciptakan kesejahteraan sosial keluarga. Fungsi Sosialisasi, mencakup kegiatan yang ditujukan untuk menanamkan dan mengembangkan nilai-nilai sosial/ kebersamaan bagi anggota keluarga guna menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Melalui sosialisasi yang dilakukan keluarga, anak dapat mempelajari bagaimana berpikir, berbicara dan mengikuti adat istiadat/ kebiasaan, perilaku dan nlai-nilai di dalam masyarakat. Fungsi Pengembangan Lingkungan yaitu kegiatan yang ditujukan untuk memberdayakan anggota keluarga guna melestarikan, memberdayakan dan meningkatkan daya dukung lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dalam rangka menciptakan keserasian antara kehidupan alam dan manusia. Fungsi Ekonomi yaitu kegiatan mencari nafkah, merencanakan, meningkatkan pemeliharaan dan mendistribusikan penghasilan keluarga guna meningkatkan dan melangsungkan kesejahteraan keluarga. Fungsi Rekreasi, yaitu kegiatan mengisi waktu senggang, secara positif guna terciptanya suasana santai diantara keluarga sebagai upaya untuk mengoptimalkan pendayagunaan energi fisik dan psikis. Fungsi Kontrol Sosial, yaitu menghindarkan anggota keluarga dari perilaku menyimpang, serta membantu mengatasinya guna menciptakan

suasana kehidupan keluarga dan masyarakat yang tertib, aman dan tentram. Dengan asumsi apabila keluarga dapat melaksanakan fungsi-fungsi pokok diatas, maka keluarga beserta anggota keluarga akan terbebas dari potensi gangguan pertumbuhan fisik, intelektual, sosial, emosional atau moralnya. Dengan memahami peranan dan fungsi keluarga, maka dapat dipahami betapa pentingnya keluarga sebagai unit sosial paling kecil dalam masyarakat atau sebagai tempat bermukimnya pribadi-pribadi menentukan keadaan keluarga. Sebagai unit sosial paling kecil, keluarga berperan besar dalam ikut menentukan kondisi masyarakat yang lebih luas, meliputi kesejahteraan sosial dan keharmonisan kehidupan mentalnya. Menurut Goldstein dkk (1973), sebagai satuan sosial terkecil keluarga merupakan unit fundamental yang bertanggungjawab untuk melayani kebutuhan fisik, psikologis dan sosial anak. Sebagai satuan sosial, keluarga juga mempunyai sejumlah aturan berupa normanorma keluarga yang mencerminkan harapan tentang hubungan antara anggota keluarga dalam memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk kebutuhan anak. Dalam hal ini orangtua dianggap sebagai orang yang telah memahami kehidupan sementara anak yang masih dalam tahap belajar tentang kehidupan akan menjadikan orangtuanya sebagai model dalam berperilaku (modelling). Dalam keluarga dan sistem kekerabatan dibutuhkan juga proses internalisasi nilai-nilai sebagai upaya untuk meningkatkan fungsi dan peran keluarga/ kekerabatan dan masing-masing anggotanya. Proses tersebut perlu ditindaklanjuti dengan melembaganya aktivitas keluarga/kekerabatan yang

g.

h.

i.

j.

k.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

27

terpola. Terlembaganya aktivitas keluarga/ kekerabatan dapat berupa kegiatan Halal Bihalal secara rutin, pembagian tugas di rumah dengan waktu dan frekuensi tertentu. Hartman dan Dwyer (dalam Ihromi, 1999) melihat bahwa pemilahan jender menurut fungsi diperlukan karena adanya kepentingan internal yang berbeda antara laki-laki dan perempuan sesama anggota keluarga, bahkan terjadi pula antara suami dan istri. Posisi dan peranan masing-masing anggota keluarga sesuai dengan jendernya seringkali ditemui adanya jaringan sosialnya sendiri sesuai kepentingannya. Melalui jaringan sosial ini, masing-masing anggota keluarga memiliki jenjang-jenjang peluang dalam meniti suatu posisi tertentu, bahkan berhasil meraih kekuasaan tertinggi dalam struktur jaringan sosial yang dimilikinya. Sebagai contoh, seorang istri menurut jender dapat berperan sebagai kepala rumah tangga juga mempunyai jaringan sosialnya sendiri.

harus mendalam dan jujur serta cerdas. Ia berbicara tentang sifat mengasuh, kualitas orangtua dan anggota keluarga lainnya untuk menciptakan suasana pengasuhan dan perawatan anak-anak yang mereka cintai. Kualitas dan pola ini disebut sebagai Hukum Alam Pengasuhan. Ada sembilan dan semuanya berkaitan dengan beberapa hal yang paling fundamental, seperti komitmen, pujian, tanggung jawab, keamanan, disiplin dan komunikasi. Eyre kemudian menganalogikan sembilan prinsip dan cerita yang mengilustrasikan prinsip-prinsip tersebut berasal dari alam. Maka dari itu, dinamakan hukum-hukum alam agar mudah diingat dan bersifat naluriah, serta mudah diterapkan. Kesembilan prinsip itu adalah sebagai berikut : 1. Komitmen, yang diilustrasikan sebagai hukum angsa. Hukum angsa adalah komitmen dan prioritas. Komitmen pada pasangan yang menikah yaitu komitmen mendalam pada pernikahan atau orangtua terhadap anak-anaknya. Memberi prioritas bagi anak-anak dan keluarga dengan jelas dan konsisten di atas segala prioritas lainnya. Kepercayaan, keamanan dan keyakinan yang diinginkan dirasakan oleh anak-anak berasal dari komitmen orangtua yang jelas dan terbuka. Dan anak-anak juga mengetahui bahwa merekalah prioritas utama dan sangat ternilai dibanding apapun. Seperti angsa, kita harus pulang ke rumah, mengutamakan anak-anak, membiarkan anak-anak tahu apa yang orang tua katakan dan lakukan. Mereka adalah prioritas tertinggi, harus memahami bahwa komitmen merupakan ungkapan cinta yang paling lengkap. Selalu mengingatkan anak-anak tentang cinta dan memberitahu mereka tentang komitmen serta loyalitas untuk

III. HUKUM-HUKUM ALAM YANG DAPAT MEMPERKAYA KEHIDUPAN KELUARGA


Eyre (2006) menyatakan, bahwa begitu banyak orang tua sekarang yang lebih mampu mengelola anak-anaknya dibandingkan mengasuhnya. Mengelola adalah kegiatan yang dilakukan dengan otak, yaitu tentang bagaimana membantu anak-anak melakukan apa yang ingin mereka lakukan dan menjadi apapun yang mereka inginkan, contohnya menyelesaikan pekerjaan rumah, dan mengikuti les. Tapi, dengan cara mengelola seperti itu, cukupkah mengasuh anak? Pengasuhan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan perasaan dan juga otak. Ini tentang memberi pelukan dalam jadwal, pujian untuk yang tertekan, kehangatan untuk meringankan sesuatu. Untuk mewujudkannya, pola pengasuhan

28

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

mereka, harus lebih menyukai suasana rumah dan menikmatinya dibanding tempat lain di manapun. 2. Memuji, yang diilustrasikan sebagai hukum kepiting. Hukum kepiting mengajarkan hal yang berlawanan dengan apa yang dilakukan kepiting, yaitu dukungan dan perilaku positif mengangkat ke atas daripada menekan ke bawah, memuji daripada mengkritik. Salah satu prinsip yang hampir semua orangtua ketahui (tapi jarang dilakukan) adalah karena anak-anak membutuhkan perhatian, seharusnya memberi lebih banyak perhatian terhadap prilaku positif dibandingkan pada tindakan negatif. Tidak seperti kepiting, kita harus belajar bahwa mendorong ke atas adalah jawabannya, bukan menekan ke bawah; kita harus mendukung dan bukannya bersaing satu sama lain. Kita harus mencari cara untuk membangun kepercayaan diri anak-anak dengan selalu memuji dan bukannya menyepelekan melalui kritik terus-menerus; dan kita harus memuji usaha yang dilakukan dan memberi imbalan terhadap upaya yang jujur, kita harus belajar meninggalkan cangkang keras kita yang berisi kritik dan menumbuhkan gaya memuji yang baru. Pesan kepiting adalah sebagaian besar masalah interpersonal dengan anak bisa diperbaiki dengan pujian yang tulus. Komunikasi, yang diilustrasikan sebagai hukum ikan paus. Apakah hukum ikan paus itu? Inilah pelajaran komunikasi yang jujur, terbuka dan konstan. Komunikasi keluarga yang nyata dan berkomitmen, menghindari banyak masalah dan memegang kunci untuk memecahkan dan mengurai masalah yang ada. Komunikasi positif dalam keluarga mirip dengan pintu gerbang terbuka, yang memungkinkan nilai-nilai diajarkan,

kesenangan dibagikan dan masalah dihadapi. Ketika pintu gerbang ditutup, akan muncul tekanan yang menyebabkan individu terisolasi. Seperti ikan paus, kita seharusnya mendengarkan satu sama lain dan bukannya mengganggu. Komunikasi harus ditujukan untuk individual, setiap anak sangat unik, seorang anak mungkin memerlukan ketegasan, komunikasi yang disiplin sedangkan anak yang lain membutuhkan pendekatan yang lebih lunak. Kita perlu menjadikan komuniksi tidak menggurui tapi berupa nyanyiannyanyian kejujuran dan saling menghargai. Kesimpulannya mendengarkan merupakan kunci komunikasi. 4. Konsistensi, yang diilustrasikan sebagai hukum kura-kura. Hukum kura-kura adalah konsistensi yang mantap tetapi tenang yang bisa membungkus anakanak dalam selimut kedamaian yang hangat. Tidak masalah bagaimana kehidupan begitu berantakan dan dingin di luar rumah. Ada beberapa hal tertentu yang mendasar dan konsisten yang bisa selalu diperhitungkan di dalam rumah. Perasaan diperhatikan, beberapa ritual keluarga yang bisa diandalkan, pola perintah dan jadwal yang berulang dan sejumlah cinta tak bersyarat yang tiada batasnya. Seperti kura-kura, kita seharusnya tidak pernah terlalu buruburu untuk mendengarkan, memerhatikan dan berbagi. Kita seharusnya mempunyai ritual teratur dan bisa diandalkan serta tradisi tepat waktu agar keluarga khususnya anak-anak bisa menemukan keamanan dan identitas. Hukum kura-kura adalah ingatlah selalu tujuan anak-anak dalam jangka panjang yang akan tumbuh menjadi orang dewasa yang fungsional

3.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

29

dan bahagia serta ikatan keluarga yang semakin kuat seiring dengan waktu. 5. Disiplin, yang diilustrasikan sebagai hukum belalai gajah. Hukum belalai gajah adalah keseimbangan yang baik antara cinta yang keras dan cinta yang lunak. Hukum ini mengenai mengadopsi aspek terbaik dari dua akhir spektrum. Anak-anak sangat memerlukan disiplin, jadwal, harapan yang jelas dan tanggung jawab keluarga. Namun, anak-anak juga memerlukan toleransi, kelembutan dan bantuan tanpa ada tekanan. Seperti belalai gajah, cinta kita harus memberikan persetujuan dan menyelimuti mereka dengan kepercayaan, tetapi juga harus mengingatkan mereka secara keras dan jelas tentang adanya bahaya. Cinta kita seharusnya memindahkan penghalang di jalan yang anak-anak kita lalui, tetapi membiarkan mereka menempuh jalan tersebut di bawah kekuatan mereka sendiri. Rasa aman, yang diilustrasikan sebagai hukum kayu merah. Hukum kayu merah adalah saling mendukung dalam keluarga, ungkapan cinta yang terbuka, kedekatan emosional yang konsisten, pembelajaran moral dan identitas keberhasilan. Keluarga yang tumbuh dan berkembang bersama, menghargai dan saling menjalin kebersamaan, tetap dalam harmoni yang paralel satu sama lain, jauh dari dasar materialisme, mencapai tujuan yang mulia, bertahan terhadap banyak cobaan dan terbebas dari akar yang amoral. Seperti kayu merah, kita harus tumbuh bersama dan semakin dekat satu sama lain, saling menguatkan secara fisik, mengetahui akar kita, menghargai kekuatan dan keterkaitannya, memahami bahwa kita bisa mendapatkan keamanan dan mengidentifikasi asal-usulnya.

7.

Tanggung jawab, yang diilustrasikan sebagai hukum beruang. Hukum beruang adalah hukum tanggung jawab, yaitu mengambil tanggung jawab penuh dan lengkap bagi keluarga dan anak. Memprioritaskan peran pengasuhan dibanding peranan lainnya; dan mengajar anak-anak dengan teladan dan berharap mereka menerima tanggung jawab keluarga juga. Melarikan diri dari tanggung jawab sehari-hari kepada anak-anak mengakibatkan hilangnya peluang mereka menikmati masa anak-anak dan mungkin pada akhirnya mengakibatkan berkurangnya kepercayaan dan komunikasi yang akan membuat anak-anak tidak bisa menyelesaikan masalah yang akan mungkin mereka hadapi. Tidak seperti pendaki yang lemah, anak-anak perlu menjalankan tanggung jawab pekerjaan rumah tangga, mulai dari pekerjaan kecil ketika kanak-kanak sampai mendapatkan uang sakunya sendiri ketika remaja. Kesadaran, yang diilustrasikan sebagai hukum katak. Hukum katak adalah hukum kesadaran. Kesadaran bisa menjadi aset terbesar orangtua. Kurang kesadaran menjadikan masalah berubah lebih besar untuk ditangani dan membiarkan semua jenis peluang tidak diketahui. Tidak seperti katak, kita harus mencoba lebih keras untuk mengenali, merasakan serta menyadari apa yang terjadi di sekitar kita dan dalam hidup anak-anak serta di dalam benak mereka; harus memahami bahwa semua air (situasi, anak) tidaklah sama bahwa masingmasing berbeda dan kita harus memahami perbedaan itu. Harus menjadi berdarah hangat, sangat tertarik, memerhatikan dan sensitif terhadap anak-anak, kecemasan mereka dan kepedulian mereka. Kita

6.

8.

30

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

harus mengajukan pertanyaan tentang kemana kita bersama anak-anak, dimana mereka dengan kehidupan mereka, apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka butuhkan. 9. Kebebasan, yang diilustrasikan sebagai hukum kutu. Hukum kutu adalah hukum pemberdayaan dan kebebasan. Kita sebagai orangtua tidak ada yang tahu potensi unik, penuh dan individual dalam diri anak-anak, sehingga menjadi tanggung jawab kita untuk membantu setiap anak menemukan siapa dirnya, apa yang mampu ia lakukan dan kemana ia mengarah. Tidak seperti kutu, anak-anak seharusnya tidak menerima pembatasan, tidak ada batas artifisial bagi kebahagiaan atau potensi mereka; kita tidak menginginkan anak-anak mematuhi dan mengikuti pola yang sama; kita perlu memberikan anakanak kesadaran atas pilihan dan peluang serta luasnya perspektif impian yang baik. Pertimbangkan dua perspektif ini yang berkaitan dengan kebebasan: a. Kebebasan seperti yang kita inginkan agar anak-anak bebas bertindak. Bebas bermimpi, menetapkan dan meraih tujuan. Bebas untuk mengembangkan pikiran dan bakat mereka serta untuk menggapai potensi mereka. Kebebasan didefinisikan sebagai pemberdayaan dan peluang. Kebebasan seperti yang kita inginkan agar anak-anak bebas dari. Bebas dari kekerasan atau kecelakaan. Bebas dari praduga dan kemampuan sedang-sedang saja, dari keteledoran dan kesalahan. Bebas dari hal yang merusak. Kebebasan didefinisikan sebagai kesadaran dan

keleluasaan berpikir, juga sebagai keamanan dan proteksi. Maka, satu kata ini, kebebasan, mungkin melampaui dua keinginan dan insting pengasuhan kita yang paling mendasar, yaitu melindungi anak-anak kita dan melihat mereka meraih potensi mereka.

IV. KETAHANAN SOSIAL KELUARGA


Achir (1994) menyatakan, bahwa suatu keluarga dikatakan memiliki ketahanan dan kemandirian yang tinggi bila keluarga itu dapat berperan optimal dalam mewujudkan seluruh potensi anggota-anggotanya. Karena itu tanggung jawab keluarga meliputi tanggung jawab terhadap kesehatan anggota keluarga, pendidikan, ekonomi, sosial budaya dan lain-lain. Dengan optimalnya fungsi keluarga maka dipastikan ketahanan keluarga dapat terjalin secara kokoh. Melalui ketahanan keluarga yang kokoh dalam masyarakat, diharapkan permasalahan sosial baru dapat dicegah. Sebaliknya melalui kondisi ketahanan yang kokoh dalam keluarga, diharapkan dapat dijadikan sarana penciptaan mekanisme pemecahan masalah sosial dalam masyarakat. Beberapa permasalahan keluarga yang terjadi dalam masyarakat diantaranya, keluarga bermasalah sosial psikologis, keluarga tidak harmonis, keluarga rawan masalah sosial ekonomi (kerentanan), keluarga miskin, keluarga yang menjadi korban PHK, keluarga yang tinggal di lingkungan tidak menguntungkan, termasuk daerah rawan bencana, konflik sosial dan keluarga yang mengalami masalah sosial. Permasalahan tersebut baik langsung maupun tidak langsung banyak disebabkan oleh ketidakmampuan keluarga dalam melaksanakan peranan, fungsi dan pemenuhan kebutuhan anggota keluarganya.

b.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

31

Goode (2000) menyatakan bahwa dalam era perubahan global seperti sekarang ini struktur keluarga dalam masyarakat juga mengalami perubahan menjadi bentuk konjugal. Yaitu keluarga menjadi semakin mandiri melakukan peranannya lebih terlepas dari hubungan kerabat-kerabat luas, baik dari pihak suami maupun istri. Secara ekonomi, keluarga konjugal itu berdiri sendiri, tempat tinggal juga secara tersendiri, tidak bersatu dengan kerabat luas. Sedangkan secara psikologis, satuan kecil ini menjadi semakin berdikari. Ini berarti juga bahwa hubungan emosional di antara suami istri menjadi lebih sentral dalam kehidupan keluarga yang memang menyebabkan hubungan mereka menjadi akrab. Akan tetapi kemungkinan keluarga pecah atau retak juga lebih besar karena yang mengikatnya hanya suami istri itu saja, sedangkan dalam keluarga tradisional masih ada anggota keluarga luas yang mengikat keluarga kecil. Dalam proses industrialisasi yang sedang terjadi di masyarakat, mau tidak mau akan berpengaruh langsung terhadap ketahanan keluarga, baik dalam arti sempit seperti peluang memperoleh pekerjaan atau posisi tertentu, maupun pola hubungan sosial yang terjalin untuk mengimbangi proses perubahan yang sedang terjadi. Mobilitas sosial dan ekonomi di masyarakat industrial jelas akan menjadikan peranan masing-masing individu dalam keluarga hendaknya memainkan posisinya yang lebih baik di dalam setiap berinteraksi dengan masyarakatnya. Menurut UU Nomor 10 Tahun 1992, ketahanan keluarga adalah kondisi dinamik suatu keluarga yang memiliki keuletan dan ketangguhan serta mengandung fisik material dan psikis mental spiritual guna hidup mandiri dan mengembangkan diri dan keluarganya untuk hidup harmonis dalam meningkatkan kesejahteraan lahir

dan kebahagiaan batin. Kondisi ketahanan keluarga yang ingin dicapai adalah kondisi kesejahteraan dan keamanan. Kriteria lain yang dapat dijadikan dasar bahwa suatu keluarga dapat berfungsi sosial dalam kehidupan apabila memiliki aspekaspek yang terdiri dari: 1) Pemenuhan kebutuhan dasar; 2) Peluang usaha dan pendapatan; dan 3) Relasi sosial dan jaringan. Ketiga kriteria tersebut memiliki ciri-ciri yaitu memiliki pekerjaan, penghasilan dan ketrampilan, pendidikan dan kesehatan, perumahan, memiliki hubungan sosial dan jaringan dengan keluarga, lingkungan kerabat, lingkungan adat, kelompok, organisasi lokal maupun pihak lain. Menurut Hambali (2005) konsep ketahanan sosial keluarga dapat diadopsi dari konsep dasar tersebut. Ketahanan sosial keluarga dengan demikian dapat diartikan sebagai kemampuan keluarga untuk bertahan di tingkat komunitas lokal terhadap berbagai perubahan sosial, ekonomi, budaya dan politik yang terjadi. Ketahanan sosial keluarga juga berarti kemampuan individu-individu sebagai anggota keluarga dalam mengembangkan hubungan sosial sehingga dapat mempertahankan konsistensinya dalam kehidupan keluarga, bermasyarakat dan bernegara. Berdasarkan indikator ketahanan sosial masyarakat, ketahanan sosial keluarga dapat diamati dalam hal tidak ada keluarga yang masuk kelompok rentan, atau kalaupun ada mereka terlindung di komunitasnya dan tetap bisa memperoleh dan menjangkau pelayanan sosial dasar. Keluarga juga mau berpartisipasi dalam kegiatan kemasyarakatan di komunitasnya, termasuk merespon terhadap konflik sosial yang terjadi di sekitarnya, baik dalam hal mencegah ataupun membantu mengatasi konflik tersebut. Kemudian berpartisipasi

32

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

dalam memelihara sumber daya alam, sumber sosial secara arif berdasarkan kebiasaan yang ada, menolong atau peduli jika ada anggota komunitasnya mengalami keterlantaran, atau dengan kata lain memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Keluarga mempunyai fungsi sangat penting dalam memenuhi kebutuhan anggotanya, sehingga memiliki kualitaskualitas pribadi yang membuatnya berketahanan (resilient) dalam menjalani kehidupannya. Keluarga yang memiliki ketahanan sosial adalah yang mampu berintegrasi dengan baik serta berfungsi optimal, sehingga mampu menumbuhkembangkan aspek-aspek: kekuatan ego, ketangguhan, kemampuan bertahan dan plastisitas para anggotanya (Nainggolan, 2005). Beberapa kajian yang dikembangkan Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat lebih memfokuskan pada peranan pranata sosial dalam ketahanan sosial masyarakat. Namun ditemukan beberapa pandangan tentang ketahanan sosial yang dapat digunakan sebagai salah satu referensi untuk memahami ketahanan sosial keluarga. Berdasarkan pandangan yang muncul, maka ketahanan sosial keluarga dapat diformulasikan sebagai berikut : 1. Kemampuan daya tahan terhadap arus perubahan. Daya tahan berarti kemampuan keluarga untuk menangkal berbagai pengaruh dari luar yang mungkin dapat mengganggu keserasian dan keharmonisan keluarga. Perspektif daya tahan dimaknai dari nilai, norma, kaidah-kaidah yang memberikan perlindungan bagi anggotanya untuk mengantisipasi berbagai pengaruh yang terjadi. Kemampuan keluarga untuk memprediksi perubahan. Kemampuan memprediksi dimaksudkan sebagai

upaya untuk melihat ke depan tentang berbagai kemungkinan yang terjadi. Kemampuan ini dapat digunakan oleh keluarga untuk menyikapi sedini mungkin tentang apa yang bakal terjadi dan bagaimana mengatasinya. 3. Kemampuan keluarga untuk melakukan antisipasi terhadap perubahan yang dinilai akan merusak kemapanannya. Tindakan antisipasi adalah upaya satu-satunya yang dapat dilakukan, ketika keluarga tidak mampu membendung pengaruh perubahan di lingkungan keluarga. Antisipasi ini dilakukan melalui penguatan peran masing-masing atas dasar kesadaran dan tanggung jawab untuk membentuk keluarga harmonis dan serasi. Kemampuan keluarga untuk mengatasi resiko yang ditimbulkan sebagai akibat perubahan itu. Upaya mengatasi resiko haruslah berawal dari kehendak dan motivasi anggota untuk melakukan perubahan tanpa meng-ganggu fungsifungsi sosial dan peranan sosial yang seharusnya ditampilkan. Resiko pasti terjadi sebagai akibat mengadopsi atau menolak perubahan. Setiap keluarga haruslah melakukan kalkulasi terhadap resiko ini dan kemudian menyusun tindakan apa saja yang memungkinkan resiko yang dihadapi tidak mengganggu keseimbangan dan keselarasan di lingkungan keluarga.

4.

Menurut Goode (2000) upaya peningkatan ketahanan sosial keluarga dengan pendekatan struktural fungsional, yang perlu dilakukan adalah berkaitan dengan bagaimana agar terjadi keserasian dalam hal : 1. Hubungan antara keluarga dengan unit-unit sosial yang lebih luas, maksudnya sistem ketetanggaan,

2.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

33

institusi ekonomi, politik/pemerintahan, institusi hukum, agama dan lain-lain. Bila tercipta keharmonisan maka dihasilkan kondisi ketahanan sosial keluarga yang tinggi, artinya keberadaan institusi tersebut akan mendukung terciptanya ketahanan sosial keluarga. 2. Hubungan antara keluarga dengan subsistemnya bisa berarti hubungan antara anggota keluarga, atau antara keluarga dengan sistem nilai dan norma yang berlaku dalam keluarga tersebut yang pada gilirannya menghasilkan keluarga yang tangguh dalam menghadapi goncangan. Dalam kaitan menciptakan ketahanan sosial keluarga yang sejalan dengan pembangunan sosial, maka internalisasi nilai tentang kejujuran, kerukunan, keuletan dan lain-lain merupakan hal yang dianjurkan untuk dimiliki tiap keluarga. Hubungan antara keluarga dengan kepribadian anggotanya berkaitan dengan bagaimana peran orang tua dalam menjalankan fungsinya sebagai pendidik utama individu dalam kelompok primernya sehingga menghasilkan individu-individu dengan pribadi yang tangguh, ulet, tahan goncangan yang pada akhirnya menghasilkan keluarga yang berketahanan tinggi.

luas, hubungan-hubungan internal di antara sub sistem-sub sistem yang ada dalam keluarga dan atau hubungan di antara keluarga serta kepribadian dari para anggota keluarga sebagai pribadi. Dari pendekatan tersebut, dapat dikatakan bahwa keluarga adalah bagian dari masyarakat. Jadi, keluarga yang memiliki ketahanan sosial tinggi akan melahirkan masyarakat yang berketahanan sosial tinggi pula. Pada gilirannya akan menghasilkan keluarga dan masyarakat yang hidup berkesejahteraan, bebas dari situasi rentan, maupun berpartisipasi dalam kegiatan di masyarakat untuk mencegah dan mengatasi konflik yang terjadi, serta mau memanfaatkan dan memelihara sumber daya alam dan sumber sosial yang ada di masyarakat.

V.

PENUTUP

3.

Dalam kerangka pikir fungsionalstruktural, masyarakat dipandang sebagai suatu sistem yang dinamis, yang terdiri dari berbagai bagian atau sub sistem yang saling berhubungan. Sistem dalam pendekatan ini berada pada lapisan individual (perkembangan kepribadian), lapisan institusional (keluarga) dan pada lapisan masyarakat. Suatu analisis fungsional terhadap keluarga menekankan pada hubungan antara keluarga dan masyarakat

Untuk membentuk suatu keluarga yang berketahanan sosial, dalam menghadapi berbagai masalah diperlukan kemampuan tertentu pada anggota keluarga baik internal maupun eksternal serta banyak hal yang mempengaruhinya. Sebuah keluarga yang berketahanan sosial, adalah keluarga yang mampu bertahan ditingkat komunitas lokal terhadap berbagai perubahan sosial, ekonomi dan politik yang terjadi; atau mampu melaksanakan fungsinya, membina dan menjaga hubungan dengan keluarga besarnya serta mampu mencegah dan mengatasi masalahnya.

DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja, Kusnaka dan Hikmat, Harry. 2001. Participatory Research Appraisal (PRA) dalam Pelaksanaan Pengabdian kepada Masyarakat . Bandung. Humaniora Utama Press.

34

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

Andayani, Budi dan Koentjoro. 2004. Psikologi Keluarga, Peran Ayah menuju Coparenting. Surabaya. CV Citra Media. Departemen Sosial RI. 2003. Ketahanan Sosial Keluarga, tinjauan berbagai pendekatan konseptual dan operasional. Jakarta. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga Departemen Sosial RI. Departemen Sosial RI. 2003. Pola Pemberdayaan Peran Keluarga. Jakarta. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga Departemen Sosial RI. Departemen Sosial RI. 2005. Tinjauan Konseptual Ketahanan Sosial Keluarga. Jakarta, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga. Departemen Sosial RI. 2005. Menuju Indikator Kesejahteraan Keluarga, Suatu Tinjauan Konseptual. Jakarta, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Direktorat Pemberdayaan Peran Keluarga. Eyre, Linda & Richard. 2006. Petunjuk menjadi Keluarga Bahagia, sembilan hukum alam yang dapat memperkaya kehidupan keluarga kita . Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Goode, WJ. 2002. Sosiologi Keluarga. Jakarta. Bumi Aksara.

Gunarsa, Singgih D dan Gunarsa, Ny.Y.Singgih D.2004. Psikologi Praktis: Anak, Remaja dan Keluarga. Jakarta. BPK Gunung Mulia. Ihromi, TO. 1999. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga . Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Jamilla, Ainul Izza. 2004. Tangkal bahaya HIV/ AIDS dengan penguatan kualitas ketahanan keluarga. Media Ketahanan Sosial Masyarakat Edisi ke-4 Tahun 2004. Jakarta. Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat Departemen Sosial RI. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

Irmayani S, SH, M.Psi. Magister Psikologi dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Peneliti pada Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

35

PELAYANAN SOSIAL BAGI ANAK YANG DILIBATKAN DALAM PERDAGANGAN NAPZA


Pengalaman Bekerja Bersama Anak Jalanan di Rumah Pendampingan Sementara di Jakarta Timur
Hari Harjanto Setiawan
Abstract. Indonesias main policy in dealing with drug problems has been try to reduce abuse and dealing in drugs through enforcement of a number of law. The main problem of the current law is the children are not well protected and it does not distinguish between a child and an adult. However, the newly child protection Act No.23/2003, defines childrens involvement in the production, sale and trafficking of drugs as an act of victimization. Most children are in the situation because of adult pressure and/or wider social factors. Some children become a courier because their parents sell drugs for themselves. Peer pressure and pressure from adults in the community is very important. At same time, the communities do not see the issue as significant. Key words : child drugs trafficking (CDT), social work service, victimization.

I.

PENDAHULUAN

Penyalahgunaan narkotika, obat-obat psikotropika dan zat adiktif NAPZA menunjukan gejala peningkatan kuantitas, kualitas maupun tingkat persebarannya. Penyalahgunaan NAPZA merupakan masalah kompleks yang berkaitan dengan berbagai segi kehidupan, serta berakibat negatif terhadap pelaku, korban, keluarga, lingkungan sosial maupun masyarakat sekitarnya, bahkan mengancam stabilitas negara. Data dari MABES POLRI (2004) tentang korban penyalahgunaan NAPZA menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Tahun 1999 sebanyak 1.833 orang; tahun 2000 sebanyak 3.478 orang; tahun 2001 sebanyak 3.617 orang; tahun 2002 sebanyak 3.751 orang; tahun 2003 sebanyak 7.140 orang; dan tahun 2004 sebanyak 8.401 orang. Data tersebut belum menunjukkan

jumlah yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena penyalahguna NAPZA termasuk hidden population, dan sebagian besar korban penyalahgunaan NAPZA berumur 15 sampai 25 tahun (Depsos, 2003 ; UNDCP, 2000) memperkirakan sekitar 1,2 persen atau kurang lebih 3,2 juta orang dari jumlah penduduk Indonesia menyalahgunakan NAPZA; dan lebih menyedihkan lagi adalah 20 persen dari mereka yang terlibat penyalahgunaan NAPZA adalah usia anakanak. Kemudian hasil Rapid Assesment yang dilakukan Irwanto dari Unika Atmajaya bekerja sama dengan ILO (2003), dengan responden 92 anak yang terlibat di dalam perdagangan dan peredaran NAPZA, sebanyak 45 persen mereka berusia 14-17 tahun, sebanyak 55 persen berusia 18-19 tahun dan 95 persen dari mereka terlibat penjualan NAPZA sejak umur kurang dari 18 tahun.

36

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

Perdagangan NAPZA yang melibatkan anak-anak telah banyak di berbagai negara, misalnya Pakistan dan Thailand. Keterlibatan tersebut sangat membahayakan, karena disamping perdagangan narkoba sendiri merupakan perbuatan ilegal dan melanggar hukum, tetapi juga telah mengarahkan anak-anak pada resiko-resiko yang sangat mengganggu pertumbuhan kejiwaannya. Anakanak yang dilibatkan dalam penjualan dan peredaran NAPZA dapat disebabkan antara lain keterpaksaan guna mendapatkan uang secara mudah dan banyak, bujukan dan desakan bandar. Disisi lain, anak-anak dianggap sebagai tenaga kerja murah dan memiliki pemahaman pengetahuan yang terbatas terhadap perdagangan narkoba ilegal serta relatif lebih aman . Dalam arti, anak biasanya lebih bebas bergerak tanpa dicurigai dan penegak hukum biasanya sering bertindak lemah terhadap anak. Anak-anak yang terlibat dalam penjualan dan perdagangan NAPZA relatif sulit diidentifikasi, karena yang sangat sensitif secara politis, sosial dan hukum. Selain itu maupun dalam proses operasionalnya tersebut yang bersifat ilegal, dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tidak adanya jaminan keamanan serta kesulitan menemukan jalan untuk mengatasi permasalahannya. Pendekatan tersebut memerlukan tindakan hati-hati dan berbasis proses, dan perlu tindakan segera dalam menanganinya. Penanganan ter-hadap kasus ini diharapkan dapat memutus mata rantai peredaran di masa yang akan datang. Penanganan ini penuh dengan tantangan dan pendekatan secara khusus oleh seorang pekerja sosial. Pekerja sosial mempunyai peran, sikap dan kepribadian tertentu dalam penanganan anak yang dilibatkan dalam perdagangan NAPZA.

II.

PERMASALAHAN SOSIAL ANAK YANG DILIBATKAN DALAM PERDAGANGAN NAPZA

Masalah yang berkaitan dengan NAPZA pada anak bukan hanya sebatas pada pengguna saja, tetapi lebih jauh dari itu mereka juga terlibat dalam produksi, penjualan dan peredaran (drugs trafficking). Penanganan terhadap permasalahan NAPZA ini banyak dilakukan oleh pemerintah maupun LSM. Tetapi sampai saat ini masih dipusatkan pada pengguna ( user ) dan belum menangani pengedar ( traficker ). Maka dari itu, permasalahan penyalahgunaan NAPZA tidak pernah selesai, karena bisnis ini sangat menjanjikan secara ekonomi. Penanganan permasalahan pada trafficker dinilai sangat efektif, karena satu orang trafficker rata-rata menjual kepada 20 sampai 30 orang pengguna. Hal ini berarti, apabila kita dapat mengeluarkan satu orang anak trafficker, maka dengan sendirinya 20 sampai 30 orang pengguna terselesaikan dengan sendirinya. Menurut ILO IPEC, ada empat kelompok anak yang berhasil diidentifikasi yaitu, anak yang beresiko terlibat, anak pengguna narkoba, anak penjual, dan anak yang menjual sekaligus menggunakan NAPZA. Menurut data hasil temuan dari Drug Prevention Program for Street Children Community in East Jakarta, Indonesia yang dilakukan oleh ILO IPEC ( 2004), telah menjangkau 225 anak jalanan (85% berjenis kelamin laki-laki); 75 persen dari mereka berusia 5-18 tahun dan 25 persen berusia 19-21 tahun. 22% dari mereka adalah anak jalanan perempuan dan 18 persen dari mereka sudah lepas dari keluarga (homeless), dan 51 persen anak-anak ini masih sekolah. Berdasarkan pekerjaan, sebanyak 56 persen

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

37

adalah pengamen, 17 persen adalah jualan koran dan 10% adalah jualan rokoh, kue dan permen. Sehubungan dengan anak yang terlibat peredaran NAPZA sebanyak 2 anak sebagai penjual saja, 1 anak sebagai pemroduksi saja, 13 anak sebagai penjual dan pemroduksi, 25 anak sebagai penjual dan pemakai, 13 anak sebagai pemroduksi, penjual dan pemakai, 115 anak sebagai pemakai saja dan 100 anak yang rawan untuk terlibat dalam pemakaian produksi dan penjualan). Berikut kutipan satu kasus yang dapat menggambarkan kehidupan anak-anak yang terlibat dalam perdagangan NAPZA.

(junior) seperti yang digunakan dalam MLM ( multi level marketing ). Sistem ini beroperasi dengan cara upliner mencari downliner untuk menjual NAPZA. Upliner akan memberikan komisi dari aktifitas tersebut kepada downliner baik dalam bentuk uang maupun NAPZA. Seseorang akan mendapatkan keuntungan besar bila mampu menjual NAPZA dengan jumlah banyak dan posisinya dalam kelompok akan meningkat.

Saya biasa di panggil oleh teman-teman DS, umur saya 18 tahun jalan, tinggal di Pedongkelan. Saya sampai saat ini pemakai tapi tidak seberat yang dulu sekarang agak sadar, dulu saya masih pakai Putaw (Suntik) karena melihat teman-teman banyak yang mati karena overdosis, maka saya menghindar dan sekarang pakai yang biasa saja seperti Lesotan, ganja, dan minuman biasa lah seperti bir, dan lain-lain, saya bekerja sehari-hari sebagai Timer di depan ITC Cempaka putih, pendapatannya ya kadang banyak-kadang sedikit tergantung yang ngasih. Kalau pendapatanya sedikit bagaimana nih cara agar supaya banyak ya maksamaksain deh ama sopir atau kernet mobil, dan disamping itu saya juga pernah mencari sampingan dikarenakan kebutuhan keluarga saya dan juga kebutuhan pribadi saya untuk obat dan minuman. Pendapatan saya kurang maka akhirnya saya menjual obat-obatan berupa ganja yang ditelah diracik sendiri setelah dibeli perpaket maka dijual perlinting dan itupun dicampur dengan rokok samsu dan akan menjadi beberapa lintingan, maka untuk memenuhi kebutuhan pakai ganja dan minuman saya itulah saya terpaksa menjual. Ketagihan saya kepada barang tersebut ya bayangin aja di rumah, depan rumah teman, tempat nongkrong barang-barang tersebut tersedia dan saya pun banyak tidak bekerjanya sehingga banyak nongkrong, saat nongkrong itulah dari pada bete mendingan mabuk biar banyak teman dan ngulangin pusing sekalian saat kerja juga enak biar semangat dan berani Anak sebagai penjual adalah mereka dijadikan kurir oleh para bandar. Terkadang tanpa sepengetahuan anak, kalau mereka mengantarkan NAPZA. Sedangkan anak yang bekerja sebagai pemroduksi, adalah mereka yang dilibatkan dalam pencampuran obat maupun pengepakan/pembungkusan. Pengedar merupakan faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang menyalahgunakan NAPZA. Dalam bisnis ini dikenal dengan istilah upliner (senior) dan downliner Faktor-faktor yang menyebabkan anak dilibatkan dalam perdagangan NAPZA antara lain : a. Ekonomi , ketidakmampuan orang tuanya menyebabkan anak tersebut terpaksa bekerja, padahal usia anak adalah tugasnya belajar. Untuk mendapatkan penghasilan secara cepat dan adanya tawaran yang menggiurkan maka anak tersebut mencari jalan pintas dengan terlibat perdagangan gelap NAPZA.
Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

38

b.

Tingkat pendidikan rendah, karena dengan tingkat pendidikan yang rendah maka seorang anak cenderung mudah untuk dimanfaatkan karena ketidaktahuan terhadap bahaya tersendiri, walaupun orang yang pendidikannya tinggi juga tidak terlepas dari bahaya NAPZA. Dari pendidikan akan membentuk kepribadian seseorang. Ciri-ciri kepribadian tertentu juga dapat mengakibatkan ketergantungan terhadap NAPZA, antara lain adanya sifat mudah kecewa, tidak sabar, mudah memberontak, mudah bosan, jenuh dan lain-lain. Sehingga orangorang seperti inilah yang mudah terjerumus dalam peredaran NAPZA. Tingkat agama dan moral rendah , menyebabkan seseorang tidak dapat membedakan mana yang salah dan mana yang benar. Hal ini dapat menyebabkan seseorang dapat terjerumus kedalam penyalahgunaan NAPZA yang sudah jelas-jelas dilarang oleh agama dan norma moral dalam masyarakat. Cacat Hukum, hukuman hanya bisa dilakukan pada orang dewasa, kondisi seperti ini adanya orang dewasa yang mempergunakan seorang anak sebagai alat untuk melakukan kejahatan yaitu mengedarkan NAPZA. Sehingga apabila ditangkap anak tidak bisa dihukum seperti orang dewasa. Anak adalah pekerja murah, untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar para pengedar lebih memilih melibatkan anak-anak dibanding harus membayar mahal pada orang dewasa.

f.

Ditipu, efek farmakologis NAPZA, yang dapat menimbulkan ketergantungan bagi para pemakainya (adiktif) sehinga para pengedar memanfaatkan sifat NAPZA ini. Awalnya anak diberikan NAPZA dalam bentuk permen atau makanan berulang kali sampai anak tersebut merasa ketagihan. Setelah ketagihan anak dipaksa membeli dan apabila anak tersebut tidak mampu membeli, maka untuk mendapatkan NAPZA harus menjualkan terlebih dahulu agar mendapatkan komisi berupa NAPZA yang dinginkan. Dipaksa oleh orang dewasa, bahwa anak adalah posisi lemah untuk dipaksa mengedarkan oleh orang dewasa baik oleh preman dan bahkan oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal ini anak adalah sebagai korban (victim), karena kalau tidak mau taruhannya adalah nyawa. Lingkungan pertemanan, bahwa sifat keingintahuan seseorang terbilang besar ketika memasuki masa remaja, disitulah terjadi suatu fase ingin mencari jati diri dan keinginan untuk diakui dalam kelompok pergaulannya. Ketika seseorang tidak mengikuti aturan main dalam suatu kelompok maka seseorang tidak akan diakui sebagai anggota kelompok tersebut. Disinilah terjadi peredaran antar teman sepermainan atau teman sekelompok. Lingkungan keluarga, keluarga yang retak dan kurang harmonis dapat menyebabkan individu terjerumus dalam penyalahgunaan NAPZA sebagai mekanisme kompensasi

g.

c.

h.

d.

e.

i.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

39

pelarian dari masalah yang dihadapi dalam keluarga. Untuk mendapatkan NAPZA terkadang sampai mencuri barang-barang milik orang tuanya sendiri dan bahkan ada yang menjual diri. Ketika sudah tidak ada yang dijual lagi maka satu-satunya untuk mendapatkan NAPZA dengan cara mengedarkan untuk memperoleh komisi. j. Kondisi sosial Masyarakat, Kemiskinan, terutama pada rendahnya tingkat ekonomi keluarga maka menuntut seseorang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena ketidakmampuan untuk mencapai keinginan, maka frustasi tersebut dilampiaskan dalam bentuk penyalahgunaan dan peredaran NAPZA. Apabila hal ini dibiarkan lama maka terbentuklah kondisi masyarakat yang permisif (menganggap biasa dan tidak merasa berdosa terhadap peredaran NAPZA) menyebabkan tidak adanya kontrol dari masyarakat. Bahkan dalam masyarakat seperti ini tidak jarang orang tuanya sendiri yang menyuruh untuk menjual barang haram ini.

Nomor 12 tahun 2001 dan komite ini telah menghasilkan Rencana Aksi nasional (RAN) tentang penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. RAN tersebut ditetapkan bahwa pelibatan anak dalam produksi, perdagangan dan peredaran narkoba menjadi prioritas dari jenis pekerjaan terburuk untuk anak yang dihapuskan dalam waktu 5 tahun. Berbagai landasan hukum tersebut merupakan landasan moral dan operasional bagi pemerintah maupun masyarakat dalam penanganan perdagangan NAPZA anak.

III. STRATEGI PELAYANAN SOSIAL TERHADAP ANAK YANG DILIBATKAN DALAM PERDAGANGAN NAPZA
Permasalahan anak yang dilibatkan dalam perdagangan NAPZA sangat kompleks, karena menyangkut kehidupan anak maupun juga lingkungan dan masyarakat, serta menyangkut kebijakan keimigrasian. Untuk itu, diperlukan strategi yang melibatkan berbagai pihak, antara lain keluarga, masyarakat, kepolisian, instansi kesehatan, keimigrasian, dan dunia usaha. Untuk menangani hal tersebut diperlukan strategi yang tepat dan multidimensi. Strategi tersebut akan dijalankan melalui program-program yang bersifat teknis dalam upaya mengeluarkan anak dari permasalahan maupun sifatnya mencegah. Strategi pelayanan sosial yang dilakukan yaitu : a. Penjangkauan dan Pendampingan (Outreach) Penjangkauan dan Pendampingan terhadap CDT dilakukan oleh pekerja sosial di lokasi, merupakan strategi yang efektif dalam rangka pelayanan sosial terhadap anak, yang

Menyikapi permasalahan tersebut, Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak dan mensahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; merativikasi Konvensi ILO 138 melalui undang-undang No.20/1999 tentang Batasan Usia Minimum Anak Diperbolehkan Bekerja, dan ketentuan tentang batasan usia minimum bekerja adalah 15 tahun; ratifikasi Konvensi ILO 192 melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2001 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Terhadap Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Selanjutnya dibentuk Komite Aksi Nasional (KAN) berdasarkan Keputusan Presiden RI

40

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

dilibatkan dalam perdagangan NAPZA. Dalam melakukan pendampingan pekerja sosial membaur dengan anak di kantong-kantong aktivitas anak jalanan. Dalam proses tersebut, pekerja sosial melakukan asesmen terhadap anak jalanan yang teridentifikasi sebagai drugs trafficker . Strategi ini lebih efektif, karena anak lebih terbuka dengan sikap pekerja sosial yang memposisikan diri seperti kawan atau kakak. Pendampingan yang dilakukan ditujukan untuk mengubah pola pikir anak jalanan tentang NAPZA. Dalam kegiatan ini, pekerja sosial mengarahkan dan memotivikasi anak-anak untuk mengikuti kegiatan selanjutnya. Program yang dijalankan untuk menjangkau mereka, antara lain melalui pertandingan sepak bola antar anak jalanan sebagai olah raga yang menjadi hobi mereka. Melalui pertandingan sepak bola pekerja sosial mendapat kepercayaan, sehingga memudahkan untuk kehidupan mereka. b. Peer Educator (PE) PE adalah anak jalanan/mantan Child Drugs Trafficker (CDT) yang mempunyai pengaruh terhadap-temantemannya, dan telah mengikuti pelatihan untuk melakukan pendampingan bersama pekerja sosial. PE sangat membantu pekerja sosial karena anak dapat lebih terbuka untuk menyampaikan informasi mengenai masalah dan kebutuhan anak yang terlibat peredaran NAPZA. PE dipilih dari mereka yang berpengaruh, dengan tujuan untuk menghindari kecurigaan anak, menimbulkan

kepercayaan terhadap anak lain dan mempengaruhi pola pikir temannya. Program PE dilakukan melalui pemilihan setelah pekerja sosial menjangkau mereka lewat tournamen sepak bola. Pemilihan berdasarkan pada pengaruh seseorang terhadap kelompoknya. Setelah dipilih kemudian pekerja sosial melatih mereka tentang peran dan fungsi serta pengetahuannya tentang penggunaan dan peredaran NAPZA. Setelah pelatihan, setiap minggu masingmasing PE melakukan pertemuan dengan temannya di jalanan bersama dengan pekerja sosial di lapangan atau wilayah dampingan. Dalam pertemuan itu membahas permasalahanpermasalahan, isu-isu terbaru maupun harapan anak dampingan. Selain itu, sesama PE dan pekerja sosial melakukan pertemuan rutin setiap minggu untuk tukar pengalaman dan studi kasus di wilayah dampingan masing-masing. c. Rumah Perlindungan Sementara Rumah Perlindungan Sementara adalah rumah yang berfungsi sebagai tempat sementara bagi anak untuk melakukan tukar pengalaman, konsultasi, mendapatkan informasi tentang NAPZA, juga sebagai tempat untuk melakukan asemen mendalam kepada anak dampingan. Rumah ini juga berfungsi sebagai tempat resosialisasi nilai-nilai kekeluargaan yang selama ini tidak mereka dapatkan di tempat lain. Di rumah ini dibangun pola hubungan, dimana pekerja sosial mereka anggap sebagai kakak, teman atau orang tua dan, diciptakan aturanaturan yang disepakati di antara

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

41

mereka. Program yang dijalankan di rumah perlindugan sementara antara lain konseling terhadap anak yang bermasalah dan keterampilan hidup. d. Pelatihan Keterampilan Kerja Salah satu kebutuhan anak jalanan untuk lepas dari permasalahan child drugs trafficking adalah keterampilan kerja (vocational skill). Selain itu, untuk mengisi waktu luang (mencegah anak terlibat CDT) dan membangun karir untuk masa depan anak-anak yang sudah terlibat CDT. Jenis-jenis pelatihan keterampilan kerja yang dapat dijalankan, antara lain kursus komputer, menjahit sablon, musik, bengkel motor, membuat kerajinan tangan, dan lain-lain yang sesuai dengan kebutuhan anak. Dalam kegiatan ini, anak diberi kebebasan untuk memilih jenis kursus sesuai dengan minat dan bakat dari mereka. Proses penelusuran minat dan bakat ini dilakukan pada waktu penjangkauan dan pendampingan, baik di jalan maupun di rumah singgah. e. Peningkatan Penghasilan dan Magang Kerja Program ini diperuntukan bagi anak jalanan dan orang tuanya yang telah mengikuti program pembinaan. Hal ini didasarkan pada pemikrian, bahwa salah satu faktor penyebab anak jalanan terlibat drugs trafficker adalah frustasi terhadap masa depan mereka yang terkait dengan masalah ekonomi. Setelah pelatihan kerja anak-anak dihdapkan pada permasalahan pekerjaan. Untuk itu, perlu kegiatan yang berorientasi yaitu peningkatan penghasilan. Program ini bekerja sama dengan pihak-pihak yang kompeten dan mengerti terhadap isu CDT.

f.

Sistem Rujukan (pembentukan jaringan penanganan anak dengan pihak lain) Ada dua kegiatan pokok dalam rujukan ini yaitu pertama , pembentukan jaringan lembaga yang menangani NAPZA, sehingga ada koordinasi secara periodik untuk membahas permasalahan yang berkaitan dengan penanganan masalah CDT ; kedua, proses mereferal anak kepada lembaga yang berkaitan dengan permasalahan masing-masing anak. Misalnya, berkaitan dengan kesehatan, maka dirujuk ke rumah sakit. Jaringan kerja tersebut antara lain dengan Rumah Sakit Duren Sawit, RS Persahabatan, Wisma Adiksi dan Puskesmas Cipinang, sedangkan di dunia usaha bekerja sama dengan Astra, Bogasari, dan Bina Muda Citra Gemilang.

g.

Penyuluhan Penyuluhan yang dimaksud adalah memberikan pengetahuan tentang bahaya anak yang terlibat dalam drugs trafficker . Penyuluhan dilakukan dalam bentuk pertemuan rutin (diskusi kelompok, permainan peran, games dan lain-lain) peer educator dengan kelompok dampingan setiap minggu sekali. Selain itu, melalui kegiatan seminar gabungan antar kelompok-kelompok anak setiap 3 bulan sekali, kegiatan rekreasi edukatif satu kali kegiatan untuk setiap anak dan penyuluhan tentang NAPZA.

h.

Pengembangan Kapasitas (bagi pekerja sosial, kelompok sebaya dan pemangku kepentingan) Kapasitas yang dimaksud adalah kegiatan maupun training yang dapat meningkatkan kinerja pelaksana

42

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

pelayanan langsung maupun tidak langsung. Kegiatan langsung adalah pelatihan untuk pekerja sosial berkaitan dengan penanganan CDT guna meningkatkan ketrampilan pekerja sosial dalam proses pendampingan. Sedangkan kegiatan tidak langsung adalah pertemuan pemangku kepentingan ( stake holder ) yang bertujuan untuk membangun kapasitas kelembagaan yang berkaitan dengan penyebaran pengaruh, dan memperkuat program yang dilaksanakan dalam 4 kali pertemuan i. Pembentukan Community Watch Jaringan ini dibentuk dengan maksud untuk mengawasi dan berbuat sesuatu dalam mencegah peredaran NAPZA. Anggota jaringan ini adalah para pemangku kepentingan (yaitu : orang yang berpengaruh terhadap anak-anak dampingan) yang terdiri dari tokoh masyarakat, tokoh agama dan orang dewasa yang berpengaruh terhadap anak-anak. Para stakeholder ini dilatih secara khusus. Setelah selesai pelatihan, mereka difasilitasi untuk membuat program penanganan maupun pencegahan terhadap penggunaan anak dalam perdagangan NAPZA.

Nama program : Tackling street children in drugs trafficking through skill training, education and community support Tujuan Pengembangan : Diharapkan program ini memberi kontribusi secara efektif mengeliminasi pekerja anak di Indonesia, khususnya anak yang dipekerjakan dalam perdagangan NAPZA. Tujuan Khusus : a. Lima puluh orang anak jalanan teridentifikasi dan dibebaskan dari peredaran NAPZA, 350 anak jalanan yang beresiko dicegah untuk masuk dalam perdagangan NAPZA dan 750 anak jalanan terjangkau melalui pendidikan alternatif khususnya tentang pencegahan terhadap peredaran NAPZA. Output : 1). Pelatihan pekerja sosial untuk memperkuat kapasitas dalam pelayanan. Permasalahan sosial dan psikososial anak jalanan yang teridentifikasi dalam aktivitas outreach. Pelatihan peer educator. 350 anak jalanan yang beresiko dalam peredaran narkoba mengikuti vocational skill training. 50 anak jalanan yang terlibat peredaran NAPZA mengikuti vocational training dan magang.

2).

3). 4).

IV. PROSES PELAYANAN SOSIAL BAGI ANAK YANG DILIBATKAN DALAM PERDAGANGAN NAPZA
Dari strategi di atas, secara operasional dapat dijalankan melalui program pelayanan pekerjaan sosial sebagai berikut: b.

5).

Terbentuk jaringan masyarakat yang dapat memonitor kasus-kasus perdagangan NAPZA

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

43

Output : 1). Pembentukan jaringan referral system (yang meliputi organisasi sekolah dan lembaga kursus maupun pemerintah) yang peduli terhadap CDT. Pembentukan jaringan Community watch sebagai lembaga independen di masyarakat untuk mengontrol dan mencegah peredaran NAPZA.

De Mono (unit usaha koperasi DeMono, 3 sertifikat (De-Mono, Depkes, Depnaker) e. PSBR Bambu Apus mempunyai program bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan (salon, menjahit, elektro, montir dan las) PKBM Paksi Safa Kawijayan mempunyai Kegiatan pendidikan non formal baik kegiatan untuk anak maupun orang tua: Kegiatan keaksaraan fungsional/buta huruf, Kegiatan paket A,B dan C, Kegiatan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), Kegiatan keterampilan Asosiasi ikatan penata mempunyai program. busana

2).

f.

Setelah prorgam berakhir, diadakan lokakarya yang bertujuan untuk melibatkan banyak pihak, karena keterlibatan mereka sangat diperlukan. Kegiatan yang bersifat mencari dukungan adalah lokakarya yang mengundang berbagai pihak yang peduli dalam menangani masalah CDT. Dalam lokakarya tersebut dibentuk kelompok program/kegiatan yang merumuskan apa yang akan dilakukan sesuai dengan kompetensi masing-masing. Berikut adalah hasil lokakarya yang diadakan sebagai gambaran kepedulian masyarakat. Kelompok I : Upaya pendidikan lanjut a. BPPK Kota madya Jaktim menerima pelatihan Teknisi Mekanik Otomotif, Sepeda motor, Handphone, Tehnik Audio video, Instalasi listrik, Komputer, Las, Mesin perkakas, Elektro plating, Design grafis SMU Yaspri mempunyai program membimbing anak-anak dengan cara: kursus (paket), Rohis/keagamaan, mengembangkan bakat Suku dinas Bintal dan Kesos mempunyai program Bimlat keterampilam untuk anak jalanan berupa, bimlat las, montir motor, outbond INKOWAPI (induk koperasi wanita pengusaha Indonesia) mempunyai program kursus catering, LPKK

g. h.

PAPPRI, Kegiatan melatih anak-anak yang berminat dalam bermain musik, menyanyi dan mencipta lagu APKLINDO (Asosiasi klining service Indonesia) Ibu Naya Johan kegiatannya adalah pelatihan: cleaning service skill dan leadership. YPI, mempunyai program dampingan dan dukungan untuk ODHA (orang dengan HIV/AIDS), Rujukan layanan kesehatan reproduksi dan konseling, test HIV/AIDS, Pelatihan informasi kesehatan HIV/AIDS, narkoba dana kespro.

i.

j.

b.

Kelompok II : Upaya program pemagangan a. b. BNP dapat membantu Tools PAPPRI, program lanjutan, berupa : 1) 2) 3) kualitas sesuai yang diharapkan dengan evaluasi Pendampingan yang kuat : lebih kurang 3 bulan Perencanaan program yang baik

c.

d.

44

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

4)

Dari 38 anak akan dicoba diakomodasi sebagai ; main musik, nyanyi, cipta lagu, dan sebagainya Outsource ; tidak ada kualifikasi yang jelas dan tempat terbatas. Keterampilan Autocad Keterampilan Mesin Hambatan kualifikasi (ijazah) Hambatan kualitas (Pelatihan?) Dukungan yang dibutuhkan : Pendampingan dan modal usaha (pemerintah?).

2)

Jumlah peluangnya sebanyak 20 orang yang terbagi kedalam 1 kelompok (pilot proyek) Seleksi dari 20 orang untuk dijadikan pendamping buat anakanak jalanan. LSM : Donor dan capacity building Pemerintah : capacity building

3)

c.

PT Ciptaning 1) 2) 3) 4) 5) 6) d.

Dukungan LSM/Pemerintah 1) 2)

V.

PERAN SEORANG SOSIAL DALAM MENDAMPINGI ANAK YANG DILIBATKAN DALAM PERDAGANGAN NAPZA

Kelompok III : Upaya program kewirausahaan a. Dalam bidang Kewirausahaan dibutuhkan Skill, kegiatan yang mendukung : 1) Pembentukkan forum bisnis remaja (FBR) dimana perangkatan selama 6 bulan. Menyelenggarakan konveksi (sebagai proses wirausaha). Melakukan training psikososial sebelum menjadi profesi wirausaha. Kegiatan mapping/assessment. Komitmen anak Registrasi terhadap anak Telah mengikuti kursus atau training. Setelah mengikuti pelatihan

2) 3)

Tujuan akhir dari program pendampingan terhadap anak yang dilibatkan dalam peredaran NAPZA atau yang disebut C hild Drugs Trafficker (CDT) adalah membantu mereka agar mampu membuat keputusan sendiri. Kunci berhasilnya pelayanan terletak pada kemampuan Pekerja Sosial dalam menganalisis dan menetapkan prioritas kebutuhan serta mencapai beberapa keseimbangan dalam melakukan tugas secara berkesinam-bungan. Peran pekerja sosial sebagai pendamping CDT sebagai berikut : 1. Sebagai Fasilitator a. Membantu meningkatkan kemampuan anak yang terlibat peredaran NAPZA supaya mampu hidup mandiri di masyarakat. Mempertinggi peran kelompok anak untuk bisa keluar dari permasalahannya, karena mereka mengalami ikatan sistem perdagangan. Untuk bisa keluar dari sistem itu, maka dilawan

4) b. 1) 2) 3) c.

Syarat syaratnya :

b.

Kebutuhan dan peluang 1)

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

45

dengan memperkuat sistem (kelompok) yang sama-sama ingin terbebas dari trafficker. c. Membantu anak untuk merespon kepentingan masyarakat sehingga mereka dapat hidup bermasyarakat secara wajar. Memperkirakan kebutuhan pelatihan bagi anak, dan merancang program pelatihan yang cocok bagi mereka. Membantu merencanakan dan menyelenggarakan program pelatihan untuk meningkatkan kapabilitas anak. Membantu peer educator dalam melatih teman-teman (CDT) lainnya Membantu dalam pengembangan peer educator dan CDT dalam hal keterampilan dan sikap untuk hidup bermasyarakat dan berorganisasi.

4.

Sebagai Peneliti a. Menyelenggarakan analisis sosial yang berkaitan dengan isu anak yang terlibat peredaran NAPZA dan membangun opini masyarakat yang positif karena selama ini masyarakat berpandangan negatif terhadap anak yang terlibat peredaran NAPZA Terlibat dalam penelitian partisipatory di mana peer educator / mantan CDT belajar keterampilan untuk terlibat dalam pengumpulan data. Mempermudah konsep-konsep dan keterampilan penelitian yang tepat agar masyarakat memiliki daya tarik terhadap konsepkonsep dan keterampilan penelitian tersebut. Terlibat dalam integrasi sosial untuk memahami fenomena sosial dari sudut pandang tersebut.

2.

Sebagai Pelatih a. b.

b.

c.

c.

d.

d.

5.

Sebagai Perencana a. Menyelenggarakan analisis tentang sumber dan potensi anak sebagai bahan membuat program yang dapat dijalankan oleh anak. Membantu peer educator dalam mengadakan perencanaan di antara mereka, yang meliputi strategi dan kegiatan aksi alternatif yang tepat. Membantu menyusun kegiatan peer educator/mantan CDT untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

3.

Sebagai Advokat/Pembela a. Membantu menganalisis dan mengartikulasikan isu kritis yang berkaitan dengan anak maupun permasalahan yang terkait dengan NAPZA dan HIV/AIDS. Membantu anak untuk memahami dan melakukan refleksi atas isu tersebut, dan selanjutnya dijadikan leason learn untuk melangkah dalam kehidupan selanjutnya. Membangkitkan dan merangsang diskusi dan aksi kegiatan yang berarti dalam rangka memerangi masalah NAPZA.

b.

b.

c.

c.

Mendampingi anak yang terlibat perdagangan gelap NAPZA yang penuh dengan hal-hal yang menantang dan resiko yang cukup tinggi. Untuk itu pekerja sosial

46

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

perlu memiliki beberapa kepribadian dasar selain keterampilan pekerjaan sosial. Kepribadian dasar tersebut, antara lain komitmen dan kepedulian pada anak yang tinggi. Kepribadian dasar tersebut bisa dipelajari walaupun butuh waktu yang lama dan akan melalui pengalaman dan pelatihan. Kepribadian yang perlu dimiliki oleh pekerja sosial sebagai pendamping CDT, antara lain : 1. Sikap Sopan Sikap sopan harus dimiliki pekerja sosial sehingga dengan sikap kita yang sopan akan ada peng-hormatan dari kelayan (CDT) maupun pemangku kepentingan. Sistem nilai personal (pribadi) perlu dievaluasi secara konstan dalam proses bekerja dengan CDT. Dengan demikian seorang pendamping perlu banyak mengenal nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, dan oleh karenanya pendamping harus bersikap sesuai harapan CDT. 2. Rasa Humor Menghadapi berbagai tekanan dan frustasi, pendamping CDT perlu memelihara rasa humor; dan meningkatkan kemampuan untuk tertawa dan belajar dari kekurangan. Pendamping CDT hendaknya tidak berpikiran bahwa menolong orang secara tulus merupakan beban. Sebelum menolong orang lain, maka pekerja sosial perlu menolong diri sendiri dari beban yang dialami, sehingga bisa secara efektif dalam mempengaruhi orang lain. 3. Pandangan Kedepan Pendamping anak yang terlibat peredaran NAPZA perlu mengetahui kemana akan mengarahkan penanganan anak. Visi dan misi dari

pelayanan harus jelas, terarah dan terencana. Oleh karena itu, pekerja sosial dituntut untuk mempunyai wawasan yang tinggi dan mempunyai keyakinan untuk berhasil dalam melakukan praktek pendampingan. 4. Keuletan Pekerja sosial perlu bertahan dengan aktivitas harian pada saat dia tergoda untuk berhenti. Suatu program tidak akan berhasil apabila tidak ulet. Didalam keuletan melekat pula sifat sabar dalam menghadapi permasalahan. Permasalahan bukan muncul dari diri kelayan saja tetapi bisa juga muncul dari pribadi pekerja sosial pendamping maupun dari timwork. 5. Keluwesan Pekerja sosial perlu sensitif terhadap perubahan situasi yang sangat cepat, sehingga rencana bisa disesuaikan sedemikian rupa. Fleksibitas membentuk penyesuaian atas situasi yang dihadapi agar mencapai tujuan mendasar yang telah ditetapkan sebelumnya. 6. Cinta Sejati Untuk Kelayan (CDT) Kebanyakan pekerja sosial menginterprestasikan kecintaan terhadap kelayan (CDT) untuk melindungi mereka dengan memanjakan. Para pekerja sosial yang sungguh-sungguh perlu mencintai kelayan, tidak meski memanjakan mereka dari penderitaan dan perjuangan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kepribadian yang kuat. Bahkan terkadang seorang pekerja sosial perlu memberikan tantangan hidup supaya kelayan mampu menolong dirinya sendiri.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

47

7.

Berpikir Kritis Seorang pekerja sosial senantiasa bertanya : Apa yang disebut program? Untuk siapa program yang akan dijalankan? Ini akan membantu menetapkan pendirian dan sudut pandang pribadi sehubungan dengan bagaimana Pekerja sosial hendaknya dapat memberikan kontribusi dalam memerangi permasalahan CDT. Pekerja sosial perlu mampu mendefinisikan kerja dalam konteks nyata. Dalam hal ini, dia perlu memiliki pemahaman yang kritis tentang teori dan sejarah manusia sebagai petunjuk untuk kerja yang terorganisasi.

yaitu : Berilah seseorang seekor ikan, maka ia akan hidup sehari ; Ajarilah dia bagaimana memperoleh ikan, maka ia akan hidup sepanjang umurnya Pepatah di atas sesuai dengan prinsip pekerja sosial yaitu Help People to Help Them Self (menolong seseorang agar seseorang tersebut dapat menolong dirinya sendiri). Prinsip ini menggambarkan peran dari Pekerja Sosial untuk mencapai perubahan. CDT bukanlah penerima pasif kebaikan, akan tetapi mereka adalah partner aktif dalam mengejar perubahan-perubahan mendasar untuk menuju pada kehidupan yang lebih baik.

8.

Penyesuaian Diri Bekerja dengan anak yang dilibatkan dalam perdagangan NAPZA perlu memahami situasi kehidupan mereka, dengan visi pemberdayaan dan kepercayaan diri. Dengan memahami kondisi anak maka pekerja sosial akan dapat bekerja bersama dengan mereka.

VI. PENUTUP
Permasalahan anak yang terlibat dalam perdagangan NAPZA atau Child Drugs Trafficking (CDT) merupakan masalah yang harus segera diselesaikan, karena melanggar hak-hak anak, dan sudah memasuki wilayah hukum. Penyelesaian masalah ini tidak bisa oleh satu pihak saja tetapi semua pihak perlu saling bekerjasama. Peranan pekerja sosial sangat penting, selain polisi, hukum dan kedokteran yang selama ini menanganinya. Semoga kontribusi di bidang pekerjaan sosial dapat membantu dalam menyelesaikan permasalahan perdagangan NAPZA yang melibatkan anak-anak, mengingat posisi anak-anak merupakan korban.

Tidak selamanya pelatihan keterampilan menjamin seorang menjadi Pekerja Sosial yang efektif, tetapi ada proses internal tertentu yang terjadi dalam pribadi orang yang bersangkutan. Komitmen untuk melayani CDT tidak pernah dipaksakan kepada seorang pekerja sosial pendamping. Namun dengan adanya pemahaman kritis atas kebutuhan dan tanggung jawab, dan pengambilan keputusan berdasarkan kapasitas dan prinsip seseorang mengantarkan pekerja sosial sebagai pendamping CDT. Sedangkan peranan pekerja sosial sebagai pendamping dapat dilihat dari berbagai segi. Ada pepatah yang bisa dijadikan prinsip oleh seorang pekerja sosial

DAFTAR PUSTAKA
Siporin, Siporin, Max (1975). Introduction to Social Work Practice , New York : MacMillan. Morales, Armando dan Bradford W. Sheafor, (1989). Social Work: A profesion of Many Faces Massachusset Allyn and Bacon.

48

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

Action Research and Training Institud (ARTI), Assesing The Situation of Children in The Production, Sales and Trafficking of Drugs in Indonesia , Jakarta 2004. SADAR, BNN No.05/TH IV/ Mei 2006. Narkoba di Kalangan Remaja Sudah Melewati Ambang kekhawatiran, Jakarta 2006. ILO, Laporan kegiatan Tackling street children in drugs traffiking through skill training, education and community support Jakarta 2006.

Drs. Hari Harjanto Setiawan, M.Si. Alumnus STKS Bandung, menyelesaikan S2 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Tahun 2001 pada Universitas Indonesia. Pernah aktif di salah satu NGO (eRKa) yang bergerak pada pelayanan sosial terhadap anak. Saat ini bekerja di Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

49

PENINGKATAN KESEJAHTERAAN SOSIAL KOMUNITAS ADAT TERPENCIL BERBASIS KEARIFAN LOKAL


Bambang Rustanto
Abstract. Sosial welfare always linked with economy growth but actually the economy growth has contributed to natural resources damaged. Indigenous people (KAT) which stay in these circumstances often get impact from damaged of natural resources. Empowerment of indigenous people (KAT) must pay attention to the relation between human with nature as eco-system. So natural resources management for indigenous people (KAT) life must be adequate proper with the natural power support. Key word : social welfare, empowerment of indigenous people.

I.

PENDAHULUAN

Pekerja sosial berbicara tentang Komunitas Adat Terpencil (KAT) dari sudut pandang pelayanan sosial dan pemberdayaan sosial merupakan hal yang sudah lazim. Sejalan dengan isu-isu pembangunan pada tingkat global tentang lingkungan hidup, pekerja sosial dituntut untuk memberikan respon isu tersebut, karena lingkungan hidup sebagai aspek yang tidak dapat dilepaskan dengan kesejahteraan sosial. Mengapa isu-isu lingkungan hidup penting menjadi bahasan pekerja sosial? Sebagaimana dilaporkan oleh The World Bank (2003), bahwa hampir tiga milyar penduduk dunia hidup dan memerlukan daya dukung lingkungan hidup. Lebih dari dua milyar penduduk itu ada di negaranegara berkembang, dan dengan kondisi miskin dengan pendapatan kurang dari $ 1 per hari. Kemiskinan dan daya dukung lingkungan itulah yang merupakan kondisi

yang menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan hidup, dan menentukan kesejahteraan umat manusia. Menurut laporan tersebut ada hubungan yang signifikan antara kemiskinan dan penurunan daya dukung lingkungan. Saat ini, penduduk di negaranegara berkembang yang mencapai dua milyar dengan kondisi miskin dan dengan daya dukungan lingkungan hidup sangat rendah. Ciri-cirinya dapat dilihat dari angka melek huruf menurun dari 47 persen pada tahun 1980 menjadi 25 persen pada tahun 2000; dan pendapatan perkapita penduduk hanya meningkat sedikit dari tahun 1980 sebesar $ 989 menjadi $ 1,354 pada tahun 2000. Masyarakat miskin masih belum terlibat dalam memperoleh kesempatan (akses) kepada pelayanan publik dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pertambahan penduduk semakin meningkat pesat dengan angka mutasi sebesar dua persen pertahun dan menjadikan kekhawatiran dunia.

50

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

Kemudian hampir dua milyar hektar tanah terlantarkan, dan ada 23 persen rusak berat terutama hutan di daerah tropis. Sebagai akibatnya sepertiga penduduk kehilangan dan kesulitan memperoleh sumber air bersih, dan bahkan seringkali memicu terjadinya konflik antar penduduk. Hampir 100 kilometer pantai dan terumbu karang rusak setiap tahunnya. Kondisi yang paling mengkhawatirkan bahwa setiap tahun terjadi pengurangan hutan tropis sebesar lima persen, dan diprediksikan pada tahun 2025 terjadi tanah gundul dimana-mana dengan berbagai dampaknya bagi penduduk. Akibat terakhir dari semua itu, maka dunia juga akan kehilangan biodiversity, baik flora dan fauna setiap tahunnya hampir mencapai 1,4 persen. Lebih parah lagi kerusakan lingkungan hidup itu akan terjadi lebih parah di 25 negara-negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Kerusakan lingkungan hidup terutama terjadi di daerah perdesaan dan pedalaman. Hampir satu milyar penduduk di dunia hidup di perdesaan dan sebanyak 300 juta jiwa hidup di pedalaman (termasuk KAT). Ekosistem perdesaan dan pedalaman seperti hutan tropis, gunung, sumber air dan lahan pertanian semakin menurun daya dukungnya, dan tidak sebanding dengan peningkatan populasi penduduk. Banyak sumber daya alam yang tak terbarui (non renewable) seperti hasil tambang dan bahan galian dikuras habis untuk kemakmuran negara maju. Banyak sumber daya alam terbarui (renewable) seperti kayu di babat habis, dan dibalak secara illegal untuk kepentingan pemilik modal. Hampir $ 100 triliun harta dan kekayaan dari sumber daya alam, baik yang tak terbarui maupun terbarui dibawa para kapitalis negara maju. Menurut hasil kajian para ahli sosial kebijakan pertumbuhan ekonomi yang dikedepankan menyebabkan distribusi

sumber daya alam hanya dinikmati segelintir orang. Untuk itu, perlu adanya perubahan kebijakan dalam pendistribusian sumber daya alam ini yang adil dan bertanggung jawab. Ada tiga agenda global dalam kaitannya dengan distribusi sumber daya alam, yaitu : 1. Hak Atas Aset Pemberian hak atas aset sumber daya alam untuk menggunakan dan memiliki secara bertanggung jawab bagi masyarakat perdesaan dan pedalaman termasuk Komunitas Adat Terpencil. Contoh: kalau dahulu HPH hanya dimiliki oleh swasta sekarang HPH juga dapat dimiliki oleh KAT (lihat UU No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup). 2. Perlindungan Sosial Pemberian hak khusus untuk melestarikan dan mengembangkan kehidupan sosial budaya bagi masyarakat perdesaan dan pedalaman termasuk Komunitas Adat Terpencil. Contoh: masyarakat diperbolehkan membuat peraturan sendiri seperti peraturan desa, peraturan nagari, peraturan banjar dan lain-lain. (lihat Peraturan Pemerintah No. 67 tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa). 3. Advokasi Sosial Peningkatan kesadaran masyarakat tentang penggunaan dan pengelolaan lingkungan hidup dengan memberi kesempatan kepada masyarakat perdesaan dan pedalaman untuk menyampaikan aspirasinya dalam bentuk: a. b. Memberi Informasi Memberi Tanggapan Untuk Sedia dan Menolak

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

51

c. d.

Memberi Perlindungan Hukum Secara Adat dan Budaya Lokal Mendemokratisasikan dalam Pengambilan Keputusan

Contoh : ada rencana pembangunan pertambangan di wilayah Komunitas Adat Terpencil (KAT), maka masyarakat harus menyampaikan aspirasinya kepada pihak pemrakarsa (pemerintah atau swasta) (Lihat Peraturan Pemerintah No.40 Tahun 1999 Tentang Analisa Mengenai Dampak Lingkungan). Dengan adanya tiga agenda utama tersebut diharapkan masyarakat perdesaan dan pedalaman termasuk di dalamnya KAT dapat ikut mendayagunakan dan melestarikan lingkungan hidup dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. Karena secara global hak asasi KAT dan kelompok marginal lainnya perlu mendapat tempat di peraturan perundanganundangan.

mengatasi masalah sosialnya. Pengertian lain menurut Tonys (Fitzpatrick, 2002), bahwa masyarakat yang berkesejahteraan sosial, yaitu masyarakat yang mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti kesehatan, pendidikan, perumahan, sandang dan pangannya. Arti lebih luas lagi dikemukakan oleh James Midley (2005), bahwa kesejahteraan sosial terjadi pada masyarakat yang mampu menciptakan kesempatan sosial bagi para penduduknya untuk meningkatkan dan merealisasikan potensi-potensi yang ada. Dari tiga pengertian di atas, ada tiga dimensi kesejahteraan sosial, yaitu (1) pemecahan masalah sosial, (2) pemenuhan kebutuhan hidup dan (3) peningkatan kesempatan bagi warga. Untuk mencapai kesejahteraan sosial seharusnya masyarakat dapat memenuhi ketiga persyaratan atau dimensi kesejahteraan sosial tersebut. Jadi masyarakat berkesejahteraan sosial adalah masyarakat yang mampu memecahkan masalah sosial, mampu memenuhi kebutuhan hidupnya, dan mampu memberi kesempatan warganya untuk mendayagunakan potensi yang ada. Kemudian dikemukakan oleh Paul Hogget ( Fritzpatrick, 2002), bahwa ada tiga pendekatan menuju masyarakat berkesejahteraan sosial atau disebut good society yaitu: 1. Welfare Consumerism Kesejahteraan (well being) ditentukan dan diukur oleh kemampuan orang untuk mendapatkan barang material (jumlah dan variasi) dan pelayanan sosial. Semua hal dihitung dengan konsep uang, sehingga barang material dan pelayanan sosial yang tersedia dijual dan dapat dibeli oleh masyarakat. Artinya, masyarakat yang mempunyai uanglah yang dapat

II.

KESEJAHTERAAN SOSIAL BERBASIS SUMBER DAYA ALAM

Sebelum melakukan pemberdayaan KAT, terlebih dahulu perlu dipahami hubungan kesejahteraan sosial dengan lingkungan alam. Pemahaman ini menyangkut pengertian, bentuk, cara dan perubahan paradigmanya. Dengan pemahaman tentang kesejahteraan sosial, maka kita akan mengerti mengapa penting mengkaitkan sumber daya alam serta kearifan lokal dengan kesejahteraan sosial. Menurut Richard Titmuss (Midgley, 2005) kesejahteraan sosial adalah kemampuan masyarakat untuk mengatur dan mengatasi masalah sosial. Jadi masyarakat akan lebih sejahtera dibandingkan masyarakat lainnya bila masyarakat itu mampu

52

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

menikmati kebutuhan hidup dan pelayanan sosial, atau sekarang sering disebut privatisasi pelayanan sosial. Pelayanan kesehatan, pendidikan dan lain-lain diswastakan dan masyarakat harus membayar penuh, tidak ada subsidi atau kompensasi. Pendekatan kesejahteraan ini lebih mengedepankan aspek ekonomi dengan pemupukan modal atau kapitalisme. Landasan dasar dari konsep welfare consumerism adalah ideologi kapitalisme. Konsep kapitalisme didasari oleh pandangan liberalisme dimana kaum liberal menegaskan komitmen pada konsep kesetaraan, kebebasan, individualitas, dan rasionalitas. Masyarakat liberal adalah masyarakat yang menghargai egalitarian dan menolak bahwa seseorang tunduk secara alami pada orang lain. Kaum liberal menjunjung tinggi kesempatan yang sama untuk menggunakan bakat dan kapasitasnya dalam bersaing dengan orang lain. Konsep liberal ini dikembangkan dari pandangan Max Weber yang melihat masyarakat secara instrumental dan rasional. Artinya, semua orang adalah sama dan harus berjuang secara rasional untuk dapat hidup. Konsep welfare consumerism ini menimbulkan konflik antara kaum pemenang (the winner) dan kaum kalah (the losser), sehingga timbul jurang sosial, kesenjangan sosial dan jarak sosial. Ada kelompok yang kaya dan miskin yang saling berjauhan satu dengan yang lainnya. Dengan konsep kesejahteraan ini, maka KAT tidak memperoleh perlindungan, karena akan diperlakukan sama dengan warga masyarakat lainnya yang sudah lebih maju. Akibatnya KAT akan semakin tersingkir dan terisolir, 2.

bahkan terbuang dari peradaban maju. Mungkin hanya akan menjadi tontonan sebagai daerah wisata atau musium. Di Indonesia hal ini terjadi dimana KAT (di suatu daerah) hampir setiap hari dikunjungi turis manca negara maupun turis lokal, tapi tetap aja KAT-nya miskin dan tidak mendapat keuntungan dengan kedatangan turisturis itu. Welfare Statism Kesejahteraan hidup (well being) masyarakat ditentukan atau diukur dengan tersedianya barang dan pelayanan sosial yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar tanpa variasi pilihan yang beragam. Semua barang dan pelayanan sosial hanya dapat diperoleh oleh orang-orang yang berhak. Ini berarti negara mengatur dan mengurus, bahkan menjadi provider bagi pendistribusian barang dan pelayanan sosial. Disini ada subsidi, bantuan dan kompensasi yang diberikan oleh negara kepada warga masyarakat. Contoh : Santunan Langsung Tunai, Beras miskin (Raskin), Asuransi kesehatan keluarga miskin (Askes Gakin) dan lain-lain. Artinya, masyarakat kurang ber-untung mendapat insentive khusus dari pemerintah dalam bentuk bantuan barang maupun pelayanan sosial. Meskipun masyarakat kurang beruntung ini tidak punya uang, tetapi negara memberikan dana pengganti atau talangan. Ini merupakan bentuk tanggung jawab negara terhadap warga atau sering disebut welfare state. Konsep welfare statism ini memang memberi rasa keadilan bagi kelompok kurang beruntung, tetapi dapat menyebabkan mereka sangat tergantung kepada bantuan negara.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

53

Pendekatan ini didasari oleh pandangan kelompok sosial demokrat. Kelompok ini memperbaiki pandangan Marxis yang terlalu radikal dengan mengedepankan keadilan sosial sama rata - sama rasa. Kemudian Eduart Bernstein merevisi pandangan Marx dengan pengaturan keadilan sosial yang tidak kaku dengan cara, negara memberi ruang kewajiban sosial kepada masyarakat yang kurang beruntung. Sehingga ada hak-hak masyarakat yang diatur dan diberikan oleh negara yang dilakukan melalui perundang-undangan. Konsep welfare statism ini sebenarnya hanya dapat dilakukan apabila negara telah memiliki sumber dana yang cukup. Tetapi yang terjadi di Indonesia semua skema bantuan melalui Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau dengan sebutan lainnya dilakukan melalui dana hutang kepada luar negeri. Hal ini tentu saja sangat membebani negara dan me-nambah sengsara rakyat. Dengan konsep kesejahteraan ini, maka KAT menjadi tanggung jawab negara seperti pemberian jatah hidup (jadup) pemberian perumahan (Satuan Pemukiman/SP) pemberian alat pertanian (Saprodi) dan lain-lain. Contoh : KAT (suatu daerah) hampir semua kebutuhan warganya selama tiga tahun dipenuhi oleh negara. Jadi, kapan KAT akan mampu hidup sendiri, dan mendayagunakan potensi sumber daya yang mereka miliki. 3. Ecowelfarism Kesejahteraan (well being) masyarakat ditentukan dan diukur kepada kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya sendiri dengan kekuatannya sendiri.

Pemenuhan kebutuhan masyarakat atau warga (people) harus sesuai dengan daya dukung lingkungan hidupnya (nature). Sehingga pendekatan kesejahteraan ini lebih memperhatikan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidup. Pendekatan ini berpihak pada pendayagunaan sumber daya alam yang tidak dikuras habishabisan, tetapi selalu dipelihara untuk kelangsungan hidup masyarakatnya saat ini dan di masa yang akan datang. Konsep kesejahteraan ini didasari oleh gerakan hijau (green movement) yang memperhatikan keseimbangan lingkungan hidup atau ekosistem. Pandangan gerakan hijau melihat, bahwa praktek ekonomi kapitalisme merupakan praktek ekonomi yang tidak sehat, karena akan merusak dan menghilangkan biodiversity dan generasi berikutnya. Menurut Herman Daly, pengelolaan lingkungan hidup saat ini hanya menghabiskan sumber daya alam dan memperbesar limbah dengan penggambaran sebagai berikut: Sumber daya alam --- dibabat --penyusutan --- produksi --- konsumsi --- limbah Gerakan hijau tidak setuju dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi diukur dengan GDP atau GNP, karena akan terjadi kerusakan pada lingkungan hidup. Saat ini sumber daya alam yang tak terbarui, terutama sumber energi fosil semakin menipis dan akan habis. Sedangkan sumber daya alam terbarui semakin habis dan tidak dilakukan reboisasi kembali. Untuk itu perlu adanya upaya konservasi atau perlindungan sumber daya alam dengan menggunakan sistem konsumerisme hijau yang

54

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

bertanggung jawab (responsible ) dan bertanggung gugat (accountable ). Sistem ini mengajak masyarakat meminimalisasi dampak lingkungan atau kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Sehubungan dengan itu, perlu merubah kebiasaan manusia yang merusak lingkungan, dan mengembangkan cara-cara tradisional atau kearifan lokal untuk memelihara lingkungan. Contoh : ada KAT (suatu daerah ) yang membagi lahan secara berimbang antara hutan, sumber air, pemukiman, ladang, pekuburan, dan pekarangan. Dan mencegah konversi atau pengalihan fungsi lahan untuk tujuan lain. Bahkan ada yang membatasi jumlah penduduk yang tinggal di suatu daerah dengan mekanisme alamiah, dimana kalau kelebihan penduduk maka harus ada yang keluar.

konsep yang menunjukkan bahwa kita ini bagian dari masyarakat global. Pertama, globalisasi yang dapat dilihat dari negara tanpa batas. Artinya, saat ini dengan kemajuan teknologi dan informasi kita bisa pergi dan mendapat informasi dari negara lain. Kedua, tentang hak asasi manusia. Artinya, bahwa setiap warga dimana saja mendapat perlindungan, pengawasan dan bantuan dari warga negara lain apabila diperlakukan secara tidak adil atau diskriminasi. Bertindak secara lokal, maknanya bahwa manusia baik di perdesaan maupun di pedalaman (termasuk KAT) diberi kebebasan untuk menjalankan aktivitas kehidupan sehari-harinya. Sehingga setiap kelompok masyarakat dan juga KAT bebas menjalankan kehidupannya sesuai dengan tradisi dan adat istiadatnya masing masing atau disebut deep citizenship. Masing-masing kelompok masyarakat boleh membuat ruang-ruang publik dan ruang-ruang privat masing-masing sesuai dengan kebutuhannya, dan kelompok lainnya harus menghormati tradisi atau adat istiadat itu. Masing-masing kelompok masyarakat boleh membentuk identitas sebagai ciri masingmasing yang membedakan dengan kelompok lainnya, dan negara harus melindungi keanekaragaman ini melalui undang-undang. Dari bertindak lokal itu akan memunculkan perilaku hidup manusia yang bersahabat dengan alam. Karena hidup setiap kelompok ditentukan sendiri oleh kelompok itu, tidak boleh ada campur tangan dari pihak lain. Kelompok tidak tergantung kepada kelompok lain, tetapi kelompok akan tergantung kepada alam dimana dia bertempat tinggal. Kehidupan masing-masing kelompok bahkan kelompok kecilpun seperti KAT yang hanya terdiri dari beberapa keluarga dilindungi oleh undang-undang untuk memiliki

III. BERFIKIR GLOBAL DAN BERTINDAK LOKAL


Pada peradaban manusia maju dan era globalisasi saat ini, justru sebaliknya daya dukung lingkungan semakin menurun. Untuk menyelamatkan kerakusan manusia secara ekonomi tersebut, maka kelompok gerakan hijau mengeluarkan slogan Think Globally and Act Locally artinya, berpikirlah secara global dan bertindaklah secara lokal. Berpikir secara global, maknanya bahwa manusia, baik yang hidup di desa maupun di pedalaman (termasuk KAT), merupakan bagian dari masyarakat global. Peran negara semakin berkurang dan peran masyarakat semakin kuat, dengan demikian masyarakat global yang kuat ini mempunyai keistimewaan dihadapan negara. Kita hidup di tataran global antara negara kita dengan negara lain. Di dalam kehidupan pada tataran global, ada dua

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

55

pemerintahan lokal sendiri atau sering disebut self governance . Menurut Gidden pemerintahan lokal yang baik adalah pemerintahan yang disusun atas dasar keintiman, dimana semakin dekatnya hubungan antara para warganya maka semakin erat hubungan sosialnya. Demikian juga menurut Habermas saluran komunikasi antar warga yang dilakukan secara langsung adalah komunikasi yang baik, dan dengan tatap muka secara terus menerus akan menuju masyarakat demokrasi murni dan unik. Ini berarti kelompok KAT dapat diberdayakan menjadi masyarakat yang mempunyai pemerintahan lokal sendiri dan mengembangkan demokrasi lokal yang khas.

Masyarakat demikian ini memang maju dan modern, tetapi mereka mengorbankan alam dan tidak meninggalkan warisan bagi generasi berikutnya. Sebagai contoh masyarakat kota besar yang mendirikan hotel dan apartemen dimana-mana sebagai pengganti rumah tinggal. Untuk menginap di hotel atau apartemen, berapa energi cahaya listik, air, dan makanan serta sumber daya alam lainnya yang kita hamburhamburkan hanya untuk keperluan terbatas. Belum lagi berapa besar limbah, bahan berbahaya yang dibuang. 2. Deep Ecology Masyarakat ini sebaliknya dengan masyarakat ecological modernization , yaitu masyarakat yang sangat peduli dengan alam (ecocentris). Karena begitu pedulinya, mereka sangat memuliakan alam dibandingkan memulikan manusia. Keberadaan dan kelestarian bumi adalah yang utama atau Earth Fist , sehingga perkem-bangan penduduk menurut Teori Maltus harus dibatasi kalau perlu manusia dicegah untuk berkembang biak. Ini dapat dilihat dengan gencarnya program keluarga berencana di seluruh dunia, karena adanya ketakutan pertambahan penduduk tidak mampu diikuti dengan penambahan jumlah persediaan pangan. Masyarakat seperti ini memang makmur dan maju karena dengan jumlah penduduk sedikit dan sesuai dengan daya dukung alam. Tetapi lambat laun terjadi degradasi keturunan, karena setiap warga negara dicegah untuk memiliki anak.

IV. HUBUNGAN KOMUNITAS LOKAL DENGAN SUMBER DAYA ALAM


Menurut Hartley Dean (Fitzpatrick,2002) berpikir global dan bertindak lokal menyebabkan masyarakat terpragmentasi ke dalam beberapa kelompok. Kategorisasi kelompok tersebut berdasarkan hubungan antara komunitas manusia dengan sumber daya alam, yaitu: 1. Ecological Modernization Masyarakat ecological modernization lebih mengutamakan manusia dari pada alam (antropocentris). Dimana mereka mencukupi kebutuhannya dengan memanfaatkan alam melalui ekploitasi menggunakan teknologi modern yang menyebabkan alam cepat habis dan musnah. Seperti saat ini energi fosil semakin tipis persediaannya, dan sumber daya alam flora dan fauna semakin sedikit jumlah dan variasinya, sehingga biodiversity alam semakin berkurang.

56

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

Sebagai contoh di negara Singapura. Karena luas wilayah dan daya dukung lingkungan terbatas, maka pada awal kemerdekaan Singapura membatasi jumlah penduduk. Lama-lama menjadi kebiasaan dan sekarang ini dengan kemajuan ekonomi, dan kemakmuran menyebabkan warga negara Singapura tidak mau mempunyai anak. Untuk mengatasi masalah kependudukan tersebut, sekarang ini Singapura menggalakkan agar setiap keluarga mempunyai anak sebanyakbanyaknya. 3. Green Communitarian Masyarakat ini sangat peduli lingkungan hidup, sehingga ini menyatu dengan alam. Akibatnya muncul slogan oness nature aku adalah alam dan alam adalah aku. Manusia tidak memikirkan dirinya, tetapi memikirkan alam seperti dirinya. Manusia mengasingkan diri dari kemajuan dunia dan hidup menyendiri dengan alam. Masyarakat seperti ini menjadi mundur karena melarikan diri dari pergaulan dunia, dan peradaban dunia dianggapnya hanya merusak alam. Maka mereka lebih baik hidup seperti jaman batu menjadi peramu, pemburu dan tidur di gua-gua. Akibatnya mereka senang dengan takhayul, mistik, klenik, romantisme, dan spritualitas atau masyarakat yang percaya kepada kegaiban alam. Hal ini dapat dilihat dari masyarakat kita yang masih senang pergi ke dukun, paranormal dan nyepi, serta aktivitas sendiri lainnya. Menurut Marxis inilah ciri masyarakat yang

teralinasi dan lari dari kenyataan sosial dan berlindung dengan kekuatan gaib. Manusia yang tidak percaya pada kekuatan diri dan rasionalnya sendiri. 4. Eco Sosialism Masyarakat ini sangat peduli kepada alam juga peduli kepada manusia, karena meyakini ada hubungan antara manusia dengan alam. Manusia harus mengembangkan kapasitasnya, tetapi harus sesuai dengan konteks ekologi. Artinya, aktivitas manusia harus dibatasi sebatas kemampuan daya dukung lingkungan hidup. Masyarakat seperti ini ingin maju, tetapi secara bertahap dan membangun dengan konsep berkelanjutan tidak mengabaikan kelestarian alam. Manusia mengembangkan keahlian untuk mampu bertahan secara ekological. Perkembangan penduduk juga diikuti kemampuan terhadap perubahan ekologi sebagai spesies makluk hidup sama dengan makluk hidup lainnya. Setiap kegiatan manusia diharapkan menimbulkan dampak yang minimal terhadap lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat pada kehidupan masyarakat KAT yang memanfaatkan sumber daya alam seperlunya untuk kebutuhan hidup sehari-hari, karena ekonominya masih bersifat subsisten dan belum di produksi secara massal dan dikomersialkan. Akan tetapi ada beberapa kelompok KAT yang sudah mengenal nilai tukar uang, dan komersial serta terjadi pengekplotiasian alam secara besar-besar.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

57

V.

KEARIFAN LOKAL BAGI KESEJAHTERAAN KAT

Alam takambang jadilah guru adalah salah satu falsafah masyarakat Minangkabau di Provinsi Sumatera Barat. Mengapa alam harus dijadikan guru? Apa ada landasan ilmiahnya atau itu hanya istilah adat saja atau istilah lokal petatahpetitih yang dihapal oleh masyarakat. Ternyata konsep alam takambang jadilah guru itu saat ini menjadi trend bahasan secara global. Kenapa demikian, karena planet bumi ini tidak akan lama lagi umurnya kalau kita tidak peduli dan belajar dari alam. Sampai saat ini manusia belum dapat menemukan planet lain yang dapat dijadikan tempat hidup, jika bumi rusak dan hancur. Manusia akan tetap bergantung dan hanya dapat hidup di bumi secara terus menerus dan turun temurun, apabila manusia peduli dan mau belajar dari alam. Falsafah lokal pada masyarakat Minangkabau tersebut sering disebut sebagai kearifan lokal (local wisdom) . Kearifan lokal merupakan suatu nilai yang diajarkan secara turun-temurun dalam suatu masyarakat. Bahan ajar ini tidak tertulis, tetapi dihapal di setiap kepala penduduk dalam suatu masyarakat, terutama para kepala adat dan tokoh-tokoh masyarakat. Kearifan lokal pada masyarakat bersifat relatif karena hanya berlaku dalam masyarakat tertentu, dan tidak berlaku pada masyarakat lain seperti kata pepatah Minangkabau adat selengkah nagari. Arti kearifan lokal dapat ditelusuri dari arti kata arif yang bermakna matang, konsisten, rela berkorban, legowo, bijaksana dan tidak ingin menang sendiri. Sedangkan secara khusus kearifan lokal menurut Jim Ife (2002) merupakan nilainilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan dalam masyarakat lokal dan karena kemampuannya untuk bertahan dan

menjadi pedoman hidup masyarakatnya. Di dalam kearifan lokal tercakup berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, berperilaku dan bertindak yang dituangkan dalam tatanan sosial. Kearifan lokal merupakan semua kecerdasan lokal yang ditranformasikan ke dalam cipta, karya dan karsa, sehingga masyarakat dapat mandiri dalam berbagai iklim sosial yang terus berubah-ubah, dimana cipta, karya dan karsa itu disebut juga kebudayaan. Yang dimaksudkan dengan kebudayaan adalah semua pikiran, perilaku, tindakan, dan sikap hidup yang selalu dilakukan orang setiap harinya. Kemudian dikemukakan oleh Koentjaraningrat (Rustanto, 2005) pembudayaan atau dalam istilah Inggris dikenal dengan istilah Institusionalization yaitu proses belajar yang dilalui setiap orang selama hidupnya untuk menyesuaikan diri di alam pikirannya serta sikapnya terhadap adat, sistem norma dan semua peraturan yang terdapat dalam kebudayaan dan masyarakatnnya. Menurut Jim Ife (2002) kearifan lokal memiliki 6 (enam) dimensi yaitu: 1. Pengetahuan Lokal Setiap masyarakat di manapun berada, baik di perdesaan maupun pedalaman selalu memiliki pengetahuan lokal yang terkait dengan lingkungan hidupnya. Pengetahuan lokal terkait dengan perubahan dan siklus iklim kemarau dan penghujan, jenis-jenis fauna dan flora, dan kondisi geografi, demografi, dan sosiografi. Hal ini terjadi karena masyarakat mendiami suatu daerah itu cukup lama, dan telah mengalami perubahan sosial yang menyebabkan mereka mampu beradaptasi dengan ling-kungannnya. Kemampuan adaptasi ini menjadi

58

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

bagian dari pengetahuan lokal mereka dalam menaklukkan alam. 2. Nilai Lokal Untuk mengatur kehidupan bersama antara warga masyarakat, setiap masyarakat memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruh anggotanya. Nilai-nilai ini biasanya mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhannya. Nilainilai ini memiliki dimensi waktu, nilai masa lalu, masa kini dan masa datang, dan nilai ini akan mengalami perubahan sesuai dengan kemajuan masyarakatnya. 3. Keterampilan Lokal Kemampuan bertahan hidup (survival) dari setiap masyarakat dapat dipenuhi apabila masyarakat itu memiliki keterampilan lokal. Keterampilan lokal dari yang paling sederhana seperti berburu, meramu, bercocok tanam sampai membuat industri rumah tangga. Keterampilan lokal ini biasanya hanya cukup dan mampu memenuhi kebutuhan keluarganya masing-masing atau disebut dengan ekonomi subsisten. Keterampilan lokal ini juga bersifat keterampilan hidup (life skill), sehingga keterampilan ini sangat tergantung pada kondisi geografi tempat dimana masyarakat itu bertempat tinggal. 4. Sumber Daya Lokal Sumber daya lokal ini pada umumnya adalah sumber daya alam, yaitu sumber daya yang tak terbarui dan yang dapat diperbarui. Masya-

rakat akan menggunakan sumber daya lokal sesuai dengan kebutuhannya dan tidak akan mengekpoitasi secara besarbesar atau dikomersialkan. Sumber daya lokal sudah dibagi peruntukkannya seperti hutan, kebun, sumber air, lahan pertanian, dan permukiman. Kepemilikan sumber daya lokal ini biasanya bersifat kolektif atau communitarian. 5. Mekanisme Pengambilan Keputusan Lokal Menurut ahli adat dan budaya sebenarnya setiap masyarakat itu memiliki pemerintahan lokal sendiri atau disebut pemerintahan kesukuan. Suku merupakan kesatuan hukum yang memerintah warganya untuk bertindak sebagai warga masyarakat. Masing-masing masyarakat mempunyai mekanisme pengambilan keputusan yang berbedabeda. Ada masyarakat yang melakukan secara demokratis atau duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Ada juga masyarakat yang melakukan secara bertingkat atau berjenjang naik turun. 6. Solidaritas Kelompok Lokal Ikatan komunal yang mempersatukan suatu masyarakat terletak pada solidaritas lokal. Setiap masyarakat mempunyai media untuk mengikat warganya yang dilakukan melalui ritual keagamaan dan upacara adat. Masing-masing anggota masyarakat saling memberi dan menerima sesuai dengan bidang dan fungsinya masing-masing. Seperti dalam solidaritas mengolah tanaman padi dan kerja bakti gotong royong.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

59

Contoh 1 : Kearifan Lokal dan Sumber Daya Alam. Pada masyarakat Dayak Kenyah (Marwanti dalam Rustanto,2005) manusia dan alam adalah satu karena keduanya sama-sama ciptaan Yang Maha Kuasa. Alam dan manusia sama-sama memiliki roh. Alam bisa menjadi ramah jika manusia memperlakukan secara arif, dan sebaliknya akan bisa marah jika kita merusaknya. Orang Dayak Kenyah memahami betul bagaimana memperlakukan alam secara arif dan bijak karena alam merupakan kehidupan dan dunia mereka, baik sebagai individu maupun anggota komunitas. Alam dan orang Dayak Kenyah adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dan keduanya saling memberi pengaruh timbal balik. Sejak jaman nenek moyang, mereka memandang alam sebagai sumber kehidupan dan tidak ada kehidupan mereka yang tidak terkait dengan alam sekitarnya. Mereka mencari makanan dan minuman dari alam. Semua sisisisi rumah panjang atau lamin. Dayak Kenyah dibangun dari bahan-bahan yang berasal dari alam. Orang Dayak Kenyah berladang, berburu, membuat perahu, meramu, obat-obatan bersumber dari alam. Upacara ritual dan adat Dayak Kenyah juga berhubungan dengan alam baik, tarian ataupun nyanyian. Alam juga sumber inspirasi

untuk memberikan nama bagi orang Dayak Kenyah seperti Nggang (burung enggang) Merang (sejenis kayu) Tebun (sejenis burung) dan lainnya. Dengan tata cara tersebut, maka suku Dayak Kenyah menerapkan kearifan lokal di dalam melestarikan alam. Contoh 2 : Kearifan Lokal dan Sumber Daya Manusia. Pada masyarakat Selajambe (Kartono dalam Sorjani, 1997) pekarangan rumah pada masyarakat pegunungan dijadikan wahana pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia bagi warga masyarakat. Anggota masyarakat satu memberi pelajaran kepada anggota masyarakat lainnya. Dan warga yang lebih tua memberi pelajaran kepada warga yang lebih muda. Pekarangan rumah seperti nampak tidak teratur atau acakacakan, namun sebenarnya anggota masyarakat mempunyai tujuan secara rasionalitas. Di setiap pekarang dijadikan kebun percobaan dengan tanaman yang bervariasi. Setiap anggota kelompok tani belajar sifat fisologis tanaman pekarangan, dan melihat hubungan antara tanaman dengan sistem pencahayaan. Anggota warga belajar harus menghapal 197 jenis tanaman dan karakteristiknya. Setiap tanaman ditanam secara berbeda tempat sesuai dengan pencahayaan matahari. Sebagai

60

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

contoh, tanaman sirih seharusnya di tempat yang teduh. Tetapi para warga belajar diajarkan menanam sirih ditempat terang dan terbuka, sehingga meng-hasilkan daun berwarna kuning. Karena daun sirih berwarna kuning lebih disukai daripada daun sirih berwarna hijau. Warga belajar di Selajambe memiliki pandangan yang holistik antara tumbuhan dan tata letak tanah, sehingga tidak berdiri sendiri. Dengan wahana pekarangan semua orang bisa belajar dan tolong menolong sebagai tradisi luhur. Sehingga di daerah itu tidak ada bagian yang tidak terbuka, bahkan banyak pekarangan yang tidak berpagar. Maksudnya agar semua warga mempunyai hak sama untuk secara bebas melalui sebuah pekarangan. Dengan tata cara tersebut, maka masyarakat Selajambe menerapkan kearifan di dalam pembelajaran pertanian bagi warganya. Contoh 3 : Pengintegrasian Pengembangan SDM dan SDA Pengintegrasian kearifan lokal di dalam pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya alam bagi masyarakat KAT, harus dilakukan secara bersama dengan Departemen dan Instansi lainnya. Hal ini diwujudkan melalui gerakan bersama secara terintegrasi dalam pengelolaan lingkungan

hidup sebagai bentuk green for all. Selanjutnya berdasarkan kesepakatan dengan berbagai departemen dan instansi dirumuskan rencana nasional untuk memadukan pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya alam melalui tindak pembangunan yang berkelanjutan

VI. STRATEGI PENGEMBANGAN SDM DAN SDA UNTUK KESEJAHTERAAN KAT


1. Pengembangan SDM Berkelanjutan a. Mengintegrasikan prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam setiap proses pendidikan yang berlangsung dalam masyarakat dan komunitas lokal. Memberikan pengetahuan, melalui penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan informal dan non formal sehingga dihasilkan sumber daya manusia yang berbudaya, tanggap dan kreatif terhadap lingkungan. Menjamin agar seluruh anak dimanapun, baik laki-laki dan perempuan menyelesaikan pendidikan dan memperoleh akses yang sama pada semua jenis pendidikan dan tingkat pendidikan. Melindungi dan mengembangkan nilai kearifan lokal tentang lingkungan hidup yang ada di masyarakat dan komunitas lokal. Mengembangkan budaya masyarakat yang sadar lingkungan hidup, memahami dan mem-

b.

c.

d.

e.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

61

berikan apresiasi terhadap kehidupan yang seimbang antara materiil dan immaterial dalam kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan. 2. Perlindungan SDA Berkelanjutan a. Meningkatkan kualitas lingkungan melalui pengembangan sistem hukum dan instrumen hukum. Meningkatkan peran serta individu, kelompok, masyarakat dan jejaring dalam pengendalian dampak lingkungan. Mengembangkan kemampuan masyarakat dan komunitas lokal dalam melakukan inovasi lokal di bidang pelestarian lingkungan. Melindungi dan mengembangkan nilai kearifan lokal dalam lingkungan hidup yang ada di masyarakat dan komunitas lokal. Meningkatkan kemampuan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan lingkungan.

e.

Memetakan potensi dan ketersediaan keanekaragaman hayati dalam rangka penatagunaan dan pemanfaatan berkelanjutan.

VII. ETNOEKOLOGI UNTUK KESEJAHTERAAN SOSIAL KAT


Kearifan lokal yang dimiliki KAT tentang nilai-nilai budaya mengelola sumber daya alam secara lestari dan berskala kecil diberbagai tempat, perlu didokumentasikan dengan baik. Tujuan pendokumentasian tersebut, agar banyak orang dapat memahami bagaimana KAT mau dan mampu mengelola sumber daya alam secara baik dan benar. Pengelolaan sumber daya alam tidak hanya cukup dilihat dengan model hitungan semata, namun bagaimana melihat KAT sebagai komunitas manusia yang memiliki rasa cinta kepada sumber daya alam yang ada di lingkungan masing-masing. Kelebihan kearifan lokal yang dimiliki KAT dalam mengelola sumber daya alam adalah pandangan KAT tentang sumber daya alam sebagai bagian kehidupan mereka. Keakraban hubungan KAT dengan alam dinyatakan dalam falsafah aku adalah alam dan alam adalah aku atau dalam bahasa global disebut Oness Nature atau dalam bahasa lokal disebut Halubay. Falsafah tersebut menegaskan bahwa sumber daya alam sebagai sumber kehidupan untuk memenuhi kebutuhan materi maupun non materi. Studi etnoekologi adalah studi etnografi tentang hubungan manusia dengan sumber daya alam atau human ecologi. Tujuan studi ini untuk menggambarkan secara detail perilaku hidup suatu komunitas lokal dan pengelolaan sumber daya alam dengan kearifan lokal untuk memenuhi kehidupan dan kesejah-

b.

c.

d.

e.

3.

Pengembangan SDA Berkelanjutan a. Menurunkan kerusakan lingkungan terutama keanekaragaman hayati. Mengefektifkan upaya konservasi keanekaragaman hayati secara terus menerus. Mengefektivitaskan keterlibatan masyarakat dan komunitas lokal dalam pengelolaan keanekaragaman hayati. Meningkatkan efisiensi dan berkelanjutan pemanfaatan serta mengurangi degradasi sumber daya keanekaragaman hayati.

b.

c.

d.

62

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

teraannya. Pengelolaan sumber daya alam ini dilakukan dengan menggunakan aturan atau nilai budaya adat yang diajarkan secara turun-temurun. Etnoekologi merupakan pengembangan dari studi etnografi. Sedangkan etnografi adalah salah satu metode di dalam kajian antropologi. Etnografi berasal dari kata etno yang berarti suku bangsa dan grafi berarti tulisan, jadi etnografi adalah penggambaran secara detail dan tertulis tentang kehidupan suatu suku bangsa tertentu. Keberhasilan studi etnografi untuk memotret kehidupan suatu masyarakat ini telah mengilhami berberapa ahli untuk mengembangkan kajian hubungan manusia dengan sumber daya alam, yang selanjutnya dikenal dengan nama etnoekologi. Tujuan yang diharapkan dari studi etnoekologi adalah penggambaran kehidupan KAT berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam berbasis kearifan lokal. Dengan penggambaran tersebut diharapkan akan memberikan suatu pemahaman yang lebih jauh mengenai kesejahteraan sosial KAT yang bersandarkan kepada pemanfaatan sumber daya alam untuk mendukung kehidupannya. Pemahaman ini salah satunya dapat dilihat dari perspektif KAT itu sendiri, yaitu perspektif KAT yang selama ini mengelola atau memanfaatkan sumber daya alam di lingkungannya sebagai satu kesatuan sistem ekologi. Penemuan tentang perspektif KAT dalam memandang dirinya (siapa aku) dan alamnya (siapa alam) ini, kemudian dijadikan pijakan bagi KAT dan petugas pemberdayaan KAT untuk merancang suatu program atau kegiatan yang terencana dan sistematis dalam mewujudkan kesejahteraan sosial KAT berbasis kearifan lokal. Perspektif KAT ini

juga dapat dijadikan bahan pembelajaran bagi pihak lain atau generasi muda dalam pendidikan berbasis lingkungan hidup atau ecoeducation. Sehingga temuan etnoekologi KAT untuk masing-masing komunitas sangat berbeda dan beragam ini dapat menjadikan acuan untuk tidak membuat program atau kegiatan pemberdayaan KAT secara seragam.

VIII. PENUTUP
Manusia dan lingkungan alam merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan saling menentukan kelangsungan hidup masing-masing. Manusia bergantung kepada alam, karena alam memberikan sumber daya bagi manusia untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya. Oleh karenanya, manusia hendaknya dapat memperlakukan alam secara arif dan bijaksana, sehingga alam mampu memberikan daya dukung secara berkelanjutan dari generasi ke generasi. Perlakuan arif dan bijaksana ini dapat ditemukan pada Komunitas Adat Terpencil (KAT). Mereka yang pada umumnya hidup secara subsisten berupaya untuk memperlakukan alam dengan baik berdasarkan nilai, norma dan adat istiadat atau dikenal dengan kearifan lokal. Melalui kearifan lokal dan persahabatan dengan hutan, pepohonan, mata air dan gunung, KAT dapat memenuhi kebutuhan hidup seharihari. Terkait dengan itu, upaya pemberdayaan dan peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan KAT perlu memperhatikan kearifan lokal KAT tersebut. Dengan pendekatan ini, maka upaya pemberdayaan KAT di satu sisi meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan. Di sisi lain mempertahankan daya dukung alam.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

63

DAFTAR PUSTAKA
Direktorat PKAT, 2004, Model Pendekatan Sosial Budaya Dalam Persiapan dan Pemantapan Pemberdayaan KAT, Jakarta: Dir PKAT Direktorat PKAT, 2004, Model Pengembangan Sumber Daya Manusia KAT, Jakarta: Dir PKAT Direktorat PKAT, 2004, Model Perlindungan dalam Pemberdayaan KAT, Jakarta: Dir PKAT Easwell Roger, 2004 , Ideologi Politik Kotemporer, Yogyakarta: Jendela Fitzpatrick Tonys, 2002, Enviromental Issues and Sosial Welfare, Oxford: Blackwell Ife Jim, 2001, Human Righys and Sosial Work, Towards Rights Based Practice, Cambridge: University Ife Jim, 2002, Community Development, Creating Community Alternatif Vision Analysys and Practice , Australia: Longmann Kementerian Lingkungan Hidup, 2004, Kesepatan dan Rencana Tindak Nasional Keterpaduan Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Alam Dalam Pembangunan Berkelanjutan, Jakarta: KLH Lawang MZ Robert, 2005, Kapital Sosial Dalam Perspektif Sosiologik, Jakarta: UI Press Migdey James, 2004, Pembangunan Sosial Perspektif Pembangunan Dalam Kesejahteraan Sosial, Jakarta: UIN Rustanto Bambang et all, 2006, Dari Kearifan Lokal Menuju Gerakan Self Governance, Bandung: Lemlit STKS

Soerjuni Mohammad, 1997, Lingkungan : Sumber Daya Alam dan Kependudukan Dalam Pembangunan, Jakarta: UI Press San Awang, et all, 2002, Etnoekologi, Manusia di Hutan Rakyat , Yogyakarta: Sinergi. The World Bank, 2003, Sustainable Development In Dinamyc World, Washington: WB.

Drs. Bambang Rustanto, M.Hum adalah Dosen Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung.

64

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

MEWUJUDKAN KOMUNITAS ADAT TERPENCIL SEJAJAR DENGAN MASYARAKAT PADA UMUMNYA


Sugiyanto dan Mochamad Syawie
Abstract. Indigenous people is local social culture groups, separately and uninvolved in network and services in social, economic, or politic. The separated that mean social culture, there is gap between level of social culture in tribes with Indonesian conditions enclosed. The means of development are discontinuously to progress for people. Progress is useful toward humanity aspect from development, and measured with awareness and capability a part of community have to better life and welfare. Keyword : Indigenous people, empowerment, social welfare.

I.

PENDAHULUAN

Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik dengan tujuh kriteria, antara lain berbentuk komunitas relatif kecil, tertutup dan homogen. Pada umumnya terpencil secara geografis dan secara sosial budaya tertinggal dengan masyarakat yang lebih luas, dan masih hidup dengan sistem ekonomi susbsisten (Dir. Pemberdayaan KAT, 2005). Persepsi tentang KAT di Indonesia masih beragam, dan terminologi yang digunakanpun telah mengalami perkembangan. Pada tahun 1973 dikenal dengan sebutan Suku Terasing, kemudian pada tahun 1994 menjadi Masyarakat Terasing. Terakhir pada tahun 1999 menjadi Komunitas Adat Terpencil (KAT), dengan perubahan pada karakteristiknya.

Selanjutnya, diakui bahwa keterasingan pada mereka dalam arti sosial budaya. Terdapat perbedaan yang khas antara sosial budaya KAT dengan kondisi sosial budaya bangsa Indonesia pada umumnya. Perbedaan tersebut menempatkan KAT sebagai komunitas yang menjalani kehidupan secara tradisional (masih terbelakang) dibandingkan dengan kehidupan masyarakat pada umumnya yang menjalani kehidupan secara modern. Sebagaimana dikemukakan oleh Soebadio (Koentjaraningrat, 1993) sampai saat ini masih dirasakan kesenjangan sosialbudaya itu. Bahkan taraf hidup suku-suku bangsa bersangkutan menjadi kendala dalam usaha pembangunan sebagai bangsa. Kita merasa tidak mungkin membiarkan sebagian dari bangsa kita berada dalam taraf kesehatan, pendidikan dan pengembangan secara umum yang kita nilai jauh dibawah standar menurut ukuran masa kini. Demikianlah kita merasa bertanggung jawab atas pengembangan suku-suku

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

65

bersangkutan, supaya mereka akhirnya mampu ikut hidup sesuai pola dan patokan kesehatan dan pendidikan masa kini, sehingga mampu juga mengikuti usaha pembangunan yang tengah kita. Dalam tulisan berjudul The Meaning of Development yang ditulis oleh Seer (Koentjaraningrat, 1993) mengenai kebijaksanaan membangun serta mengubah masyarakat pada umumnya, ia berpendapat, bahwa pembangunan tidak selamanya berarti kemajuan bagi semua orang. Oleh karena itu, kemajuan sebaiknya selalu mengacu ke aspek manusiawi dari pembangunan, dan diukur dengan derajat kesadaran dan kemampuan sebagian besar warga masyarakat yang bersangkutan untuk hidup lebih nyaman dan sejahtera. Berdasarkan konsep kemajuan pada difinisi tersebut, maka semua upaya pembangunan paling tidak dapat mengakibatkan : 1) perubahan degeneratif; 2) perubahan tanpa kemajuan; dan 3) perubahan yang membawa kemajuan sosial ekonomi. Perubahan degeneratif adalah perubahan yang telah merusak keseimbangan dari kehidupan sosial suatu masyarakat, dan seringkali juga merusak keseimbangan ekologi lingkungan alamnya. Keadaan seperti ini dapat timbul karena para change agent hanya melakukan pendekatan bagi kepentingan mereka sendiri. Mereka menyelesaikan tugas yang telah ditargetkan dalam waktu yang sesingkat mungkin (kalau mungkin dengan cara memaksa), tanpa memperhatikan keperluan warga masyarakat yang mereka bangun dengan lebih seksama. Mendukung pendapat Seers, Hans Kalipke (Orin Basuki, 2003) mengungkapkan bahwa pada tahun 1979, jauh di pedalaman hutan Mandau, Minas, dan Bukit Kapur, Kabupaten Bengkalis,

Provinsi Riau, suatu suku pedalaman, yakni Suku Sakai, tengah bergulat dengan proses penghilangan eksistensi mereka seiring pembabatan kekayaan terbesar yang mereka miliki, yaitu hutan. Di tengah kemiskinan suku yang terbiasa dengan pakaian berbahan kulit kayu inilah, Kalipke menetap selama tidak kurang 17 tahun. Pada saat bangsa Indonesia sendiri kurang mempedulikan kesulitan hidup yang dialami suku Sakai, Kalipke justru menetap di tengah keluarga Sakai, di pedalaman Bengkalis. Hidup bersama, bergaul, menetap, dan mengikuti cara hidup suku Sakai yang berpindah-pindah pada saat membuka lahan untuk berladang. Hidup bersama suku pedalaman di Riau merupakan pengalaman yang sangat mengesankan bagi Kalipke, sekaligus menyedihkan. Menyedihkan karena suku Sakai cenderung kurang mendapat perhatian penuh dari bangsanya sendiri. Kesedihan itu dirasakan ketika mengawali proyek penelitiannya yang diberi tema Pikiran dan Pengertian Asal, dengan memilih komunitas suku Sakai sebagai subyek. Menurutnya, cenderung penelitian semacam ini sangat jarang diminati orang. Dia hanya berharap, riset yang didukung Universitas Hamburg, Jerman, ini akan menggali pemikiran asli dari warga suku pedalaman. Ahli antropologi G.O. Lang (Koentjaraningrat, 1993) menyarankan suatu konsep yang relatif dapat digunakan sebagai pegangan untuk merencanakan beberapa kebijaksanaan pembangunan KAT. Kebijakan tersebut antara lain, pertama: disebut traditional community development approach (pendekatan pembangunan masyarakat yang tradisional), sebaiknya memperhatikan sumber daya lokal, kepemimpinan lokal, dan kemandirian komunitas adat terpencil

66

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

yang akan dibangun. Kedua, disebut paternalistic approach (pendekatan paternalistik) berdasarkan gagasan bahwa masyarakat yang dibangun masih sangat rendah kemampuannya. Ketiga, engineering physical infrastructure approach (pendekatan prasarana fisik), berdasarkan prinsip bahwa change agent hanya memberi modal dan teknologi untuk memudahkan pembangunan yang dikembangkan dengan sumber daya lokal (dari bawah) dan kepemimpinan lokal. Berdasarkan hasil pemetaan tahun 2005, populasi dan persebaran pemberdayaan komunitas adat terpencil adalah yang sudah diberdayakan sebesar 61.488, yang sedang diberdayakan 13.177, dan yang belum diberdayakan sebesar 193.185 (Direktorat Pemberdayaan. Komunitas Adat Terpencil, 2005).

II.

PERMASALAHAN YANG DIHADAPI KAT

Mengutip pandangan Ismid Hadad (1980) bahwa, istilah pembangunan dewasa ini semakin berkembang laksana mukjizat. Ia mengandung begitu banyak makna, mempunyai fungsi begitu berganda, menimbulkan begitu banyak harapan, tapi juga membawa perdebatan yang tak habishabisnya di kalangan masyarakat yang semakin meluas. Namun, apapun makna, fungsi dan harapan yang terkait pada istilah tersebut, senantiasa ada suatu nilai positif yang melekat atau dilekatkan padanya. Hampir tidak ada pihak yang mengatakan bahwa pembangunan itu jelek, karena ada semacam kesepakatan umum bahwa pembangunan itu harus otomatis baik pasti bermanfaat Secara umum, permasalahan dalam pelaksanaan program pemberdayaan KAT disebabkan oleh dua hal mendasar yang terkait satu sama lain, yaitu (1) keterbatasan sumberdaya manusia dan (2) keterbatasan keterpaduan program. Permasalahan yang dihadapi oleh KAT seperti : 1. Pendidikan. Pada umumnya KAT berpendidikan rendah, buta huruf dan bahkan ada KAT yang menolak masuknya pendidikan karena dinilai pendidikan bertentangan dengan adat istiadat mereka. Misalnya, Orang rimba di Provinsi Jambi. Transportasi. Sarana transportasi masih sangat terbatas untuk keluar maupun masuk ke lokasi KAT. Mereka pada umumya berjalan kaki berjam-jam untuk meninggalkan kampung halamannya. Demikian pula, bagi orang luar yang bermaksud memasuki lokasi KAT, relatif sulit memperoleh sarana transpotasi. Pada lokasi tertentu, untuk ke lokasi KAT digunakan perahu kelotok, kuda atau

Sebagian besar bangsa Indonesia berasumsi dan mempunyai keyakinan bahwa pembangunan nasional membawa kemajuan yang berarti, kehidupan yang lebih aman, sejahtera, dan sempurna bagi semua golongan, lapisan sosial dan suku bangsa di Indonesia (Koentjaraningrat, 1993). Dalam rangka itu, kita tentu perlu mempersoalkan mengapa hingga sekarang masih ada warganegara Indonesia yang hidup dalam masyarakat terpencil yang kita anggap terbelakang dan tidak maju. Kalau kita memecahkan persoalan itu dengan jawaban bahwa masyarakat terpencil di negara kita tidak maju karena lokasinya terpencil, dan sama sekali tidak atau hanya sedikit mengalami hubungan dengan dunia luar, jawaban itu juga tidak seluruhnya benar.

2.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

67

kendaraan roda empat yang khusus untuk kondisi alam yang sulit. 3. Tenaga pengajar. Kondisi geografis yang sulit dijangkau dan masih terbatasnya sarana transportasi serta fasilitas hidup lainnya, menjadi alasan enggannya tenaga pengajar ditugaskan ke lokasi KAT. Tenaga medis. Sama halnya alasan pada terbatasnya tenaga pengajar, kondisi geografis yang sulit dan terbatasnya sarana transportasi serta fasilitas hidup lainnya, menjadi alasan enggannya tenaga medis untuk ditugaskan ke lokasi KAT. Fasilitas pemerintah. Di lokasi tersebut masih sangat terbatas tersedianya fasilitas dan sarana umum seperti jalan untuk kendaraan roda empat, jembatan, listrik, air bersih dan sebagainya. Koordinasi. KAT sebagai bagian dari kemiskinan perlu ditangani secara koordinatif dari berbagai instansi sektoral. Kenyataannya sangat sulit untuk membangun koordinasi ini, sehingga terkesan program penanganan kemiskinan berjalan sendiri-sendiri dan hasilnya pun kurang optimal.

1.

4.

Warga masyarakat terasing (baca komunitas adat terpencil) sebenarnya mau menerima pengaruh dari luar yang dapat memberikan kenyamanan dan kesejahteraan yang lebih besar bagi mereka, atau dengan perkataan lain, yang dapat membawa kemajuan dalam hidup mereka. Namun mereka tidak atau belum mampu melakukan perubahan kebudayaan, dan karena itu mereka tetap hidup dengan cara yang diwariskan oleh nenek-moyang mereka. Komunitas adat terpencil memang ingin maju, namun mereka menganggap bahwa pihak luar tidak mau membagi unsur-unsur kebudayaan yang membawa kemajuan itu dengan mereka. Komunitas adat terpencil memang tidak mau berubah, dan berupaya dengan berbagai cara untuk mempertahankan kebudayaan warisan nenek moyang selama mungkin dengan cara menolak setiap unsur pengaruh yang datang dari luar (Koentjaraningrat, 1993).

2.

5.

3.

6.

III. KEBUDAYAAN SEBAGAI REFERENSI PERUBAHAN


Teori antropologi tentang perubahan kebudayaan menyarankan agar diperhatikan respons dari masyarakat (sejajar dengan masyarakat pada umumnya), terhadap rangsangan unsurunsur yang datang dari luar. Sedikitnya ada tiga respons terhadap tiga macam pengaruh unsur-unsur kebudayaan dari luar, yaitu:

Mengubah kebudayaan berarti mengubah adat-istiadat, kebiasaan dan gaya hidup seseorang yang telah lama dipelajari, dikenal dan dibudayakan sejak kecil. Hal itu tentu dirasakan sangat berat, karena ia harus meninggalkan dan akan kehilangan pegangan hidupnya, walaupun cara hidup yang baru itu dapat membawa kemajuan baginya. Untuk itu perlu motivasi atau dorongan yang kuat dari dalam atau dari luar. Dalam perspektif di atas, intervensi yang terbaik dalam memberdayakan KAT adalah pembangunan komunitas tersebut. Pembangunan komunitas dapat dilihat sebagai proses, dimana warga dari KAT mengorganisasi diri dalam kelompok dan

68

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

merasakan adanya kebutuhan yang harus dipenuhi atau masalah-masalah yang harus diatasi untuk meningkatkan kesejahteraan hidup (Parsudi Suparlan, 2003). Kelompok ini membuat rencana-rencana kerja sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang harus mereka penuhi, atau mengatasi masalahmasalah yang mereka hadapi untuk dapat diatasi bersama. Berdasarkan hal tersebut mereka mengorganisasi diri dalam bentuk kelompok-kelompok kerja atau perkumpulan-perkumpulan untuk melaksanakannya.

Khairina, Kami Sekolah Hanya Dua Minggu Sekali, dalam Kompas, 22/8/ 2005 Basuki, Orin, Sebuah Kamus Untuk Warga Sakai, dalam Kompas, 2/1/2003. Koentjaraningrat, dkk, 1993, Masyarakat Terasing di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Departemen Sosial R.I, Direktorat Jenderal Pemberdayaan Sosial, Direktorat Pemberdyaan Komunitas Adat Terpencil, 2005, Profil Keberhasilan Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil Pada 8 Provinsi, Jakarta. Suparlan, Parsudi, 2003, Pembangunan Komuniti Terpencil (KAT), Makalah Seminar Hasil Penelitian KAT Departemen Sosial & Pranata Pembanguna UI, Jakarta.

IV. PENUTUP
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, upaya mewujudkan KAT sebagaimana masyarakat pada umumnya dihadapkan pada kesulitan apabila tidak memperhatikan penanganan yang serius terhadap persoalan kemiskinan, pendidikan, serta masalah kesehatan. Karena akar masalah yang dihadapi KAT terletak pada ketiga persoalan mendasar tersebut. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah kebijakan dan program yang menjembatani kepentingan KAT, dan menerjemahkan nilai-nilai sosial budaya mereka ke dalam kegiatan nyata untuk memperbaiki kehidupan dan meningkatkan kesejahteraannya.

Sugiyanto , Alumnus Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah, Program Studi Pengembangan Masyarakat. Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial. Mochamad Syawie, Alumnus Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, Program Studi Sosiologi. Peneliti pada Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat dan Dosen Luar Biasa Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA
Hadad, Ismid, 1980, Persoalan dan Perkembangan Pemikiran dalam Teori Pembangunan, dalam Prisma, Majalah Kajian Ekonomi dan Sosial , LP3ES, Jakarta.

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

69

INDEKS
A
Accountable, 55 Achir (1994), 31 Advokasi Sosial, 20 Afeksi, 26 Alexandrov (1981), 6 Anayomi, 10 Antropologi, 2 Antropopcentris, 56 APKLINDO ( Asosiasi Klining Service Indonesia), 44 Child Drugs Trafficking (CDT), i Community Watch, 43, 44 Consenciousness raising and organization, 14 Conventional Kin, 25

D
Deep Citizenship, 55 Degradasi, 16, 62 Depsos, 2003 ; UNDCP, 36 Discretionary Kin, 25 Downliner, 38 Drugs Trafficker, 41 Drugs Trafficking, 37 Durkheim, 2

B
Blckkenburg dan Sachs, 1990: 31-31, 3 Bell (Ihromi, 1999), 25 Biodiversity, 51, 54, 56 Birokrasi, 15 Budi santoso (1995), 12

E
Earth Fist, 56 Ecocentris, 56 Ecoeducation, 63 Ecologycal Modernization, 56 Ekologycal, 57 Eplisit, 2 Etnoekologi, 62 Etnografi, 1, 2, 62, 63

C
Calhoun (1999: 663-664), 7 CDT (Child Drugs Trafficker), 41, 42, 43, 45, 46, 48 Change Agent, 66, 67 Chayanov, 2

70

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

Everyday form of repression, 5 Extended Family, 24 Eyre (2006), 28

HIF/AIDS, 46 Homeless, 37 Human Ecology, 62, 63

F
Farmer, 1 Fictive,25 Filantropis, 9 Fisologis, 60

I
ILO (2003),36, 37, 40 Impersonal, 15 Implisit, 5 Individualization, 17 INKOWAPI (Induk Koperasi Wanita), 44 Institusional, 34 Institusionalization, 58 Integrasi social, 27 Interaksi, 3, 11, 13 Intervensi, 20, 68

G
Giddens, 1995: 1-2, 7, 56 Gunarsa dan Gunarsa (2004), 24 Geertz (1983), 3 General models, 17 Goldstein dkk (1973), 27 Good Society, 52 Goode (2000), 32, 33 Great Tradition, 1 Green Communitarian, 57 Green for All, 61 Green Movement, 54

J
James C. Scott (2000), 4 James Midley (2005), 52 James scott (1981), 4 Jihad fi-sabilillah, 6 Jim ife (2002), 13, 17

H
Habermas, 56 Halubay,62 Hambali (2005), 32 Hartley Dean (Fitzpatrick, 2002), 56 Hartmandan Dwyer, 28 Help people help them self, 16, 48

K
Kartodirjo (1984), 7 Kuntowijoyo (2002: 60), 7 Kalipke, 66 KAN (Komite Aksi Nasional), 40 Karen K. Kirst, Ashmandan Grafton H. Hull, Jr (1993), 17

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

71

Karl mark (1971: 230), 6 Kartono dalam sorjani,1997, 60 KAT, i, ii, 61, 62, 65 Kaum abtenaar, 7 Koentjaraningrat (1993), 11, 65, 66, 68 Kolutif, 6 Konfrontasi simbolis, 5 Konsistensi,29 Konsumerisme, 54 Kontemplasi, 16 Kroeber, 2 Kuntowijoyo (2002; 6), 6

Marxist, 1, 54 Mezzo Practice Skill, 17 Micro practice Skill, 17 MLM (Multi Level Marketing), 38 Mode ofproduction, 6 Modelling 27 Modernisasi, i, 3 Moralitas, 4 Much as potatoes in a snack of potatos, 6 Multidimensi, 40 Multy-dimensional, 2

N L
Lamin, 60 Land reform, 20 Legowo, 58 Lesbian/Homoseksual, 23 Life Skill, 59 Local Wisdom, 58 Low profile, 5 LPKK, 44 LSM/Orsos/Ormas, 18 Nainggolan, 2005, 33 NAPZA, i, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 45, 46, 47, 48 Nature, 54 Nimkoff, 24 Non Renewable, 51 Norton Dan Hunt (Astrid, 1984), 12 Nuclear Family, 24

O
ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), 44 Oikonomia, 25 Oness Nature, 57, 62 Orbitasi, 10 Organizing and social action, 14 Orin Basuki, (2003), 66 Outrech, 40, 43

M
Macro Practice Skill, 18 Main stream, 16 Mark dan Engels, 2 Mark, 2 Marwanti dalam Rustanto, 2005, 60

72

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

P
Pakistan,Thailand, 37 Paradigma, 23, 52 Parsudi Suparlan, (2003), 69 Participation, 17 Partisipatori, 13 Paternalistic Approach, 67 PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), 44 Paul Hogget (Fritzpatrick,2002), 52 Peasant, 1, 2, 6 Peasantry, 1 Peer Educator, 42, 46 People centered development, 9 Perspektif, 4, 31, 63, 68 Pincus dan Minahan (1973), 18 PKBM, 44 Polish (Tetrawanti, 1989), 24 Popkin (1979), 4 Pre-capitalist, 2 Premis, 4 Provider, 53 PSBR, 44 Psikotropika, 36

Represif, 6 Resilient, 33 Resistensi, i, 4 Responsible, 55 Revolusioner, 3 Richard Titmus (Midley, 2005), 52

S
Scott, 2000: xxiii-xxiv, 5 SDM,SDA,SDS, 20 Soetrisno, 2000: xviii, 6 Sacred, 16 SDM dan SDA, 61 Self determination, 16 Self Governance, 56 Self-determination, 9 Shanin ( 1971: 14-15 ), 2 Sharing, 4 Social action, 14 Social alignment, 12 Soerjono Soekanto (1990), 10 Spiritual,16 Stake holder, 18, 43 Stereotype, 26 Subsisten, 3, 4, 63 Survival, 59

R
RAN (Rencana Aksi Nasional), 40 Rapid Assesment, 36 Raskin (Beras Miskin), 53 Ratu adil, 6 Referal System, 44

T
Tetrawanti (1989), 24 Talcot parson (Ihromi 1999), 12

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

73

Terminologi Redfield dan Singer (1971 ), 1 Terminologi, 2 Terminology, 65 The action system, 18 The change agent system, 18 The client system,18 The looser, 53 The Maining of Development, 66 The target system, 18 The Winner, 53 The World Bank, 50 Think Globaly and Act Locally, 55 Toleransi, 30 Tonys (Fitzpatrick, 2002), 52 Top-down, 9 Tournamen, 41 Tradisional, 32 Traditional Community Development Approach, 66 Trafficker, 37

U
Universal, 11 Upliner, 38

V
Vasilcakov, 2 Victim, 39 Vocational training, 43

W
Wolf (1985: 26), 3 Welfare Consumerism, 52, 53 Well Being, 53 Wellfare Statism, 53

74

Informasi, Vol. 12, No. 02, tahun 2007

You might also like