You are on page 1of 61

Bhavana/samadhi/meditasi PENGERTIAN, FAEDAH DAN CARA MELAKSANAKAN BHAVANA 1.

PENGERTIAN BHAVANA Bhavana berarti pengembangan, yaitu pengembangan batin dalam melaksanakan pembersihannya. Istilah lain yang arti dan pemakaiannya hampir sama dengan bhava na adalah samadhi. Samadhi berarti pemusatan pikiran pada suatu obyek. Samadhi yang benar (samma samadhi) adalah pemusatan pikiran pada obyek yang dapa t menghilangkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang baik, sedangkan samadhi yang salah (miccha samadhi) adalah pemusatan pikira n pada obyek yang dapat menimbulkan kekotoran batin tatkala pikiran bersatu dengan bentuk-bentuk karma yang tidak baik. Jika dipergunakan istilah samadhi, maka yan g dimaksud adalah "Samadhi yang benar". 2. FAEDAH BHAVANA Bhavana atau meditasi yang benar akan memberikan faedah bagi orang bagi orang ya ng melaksanakannya. Faedah-faedah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari dari prak tek meditasi itu adalah : 1. Bagi orang yang selalu sibuk, meditasi akan menolong dia untuk membebaskan di ri dari ketegangan dan mendapatkan relaksasi atau pelemasan. 2. Bagi orang yang sedang bingung, meditasi akan menolong dia untuk menenangkan diri dari kebingungan dan mendapatkan ketenangan yang bersifat sementara maupun yang bersifat permanen (tetap). 3. Bagi orang yang mempunyai banyak problem atau persoalan yang tidak putusputus nya, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan ketabahan dan keberanian serta mengembangkan kekuatan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. 4. Bagi orang yang kurang percaya diri sendiri, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan keparcayaan kepada diri sendiri yag sangat dibutuhkannya itu. 5. Bagi orang yang mempunyai rasa takut dalam hati atau kebimbangan, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian terhadap keadaan atau sifat yang sebenarnya dari hal-hal yang menyebabkannya takut dan selanjutnya dia akan dapat mengatasi rasa takut itu dalam pikirannya. 6. Bagi orang yang selalu merasa tidak puas terhadap segala sesuatu dalam lingkungannya atau dalam kehidupan ini, meditasi akan memberikan dia perubahan dan perkembangan yang menuju pada kepuasan batin. 7. Bagi orang yang pikirannya sedang kacau dan berputus asa karena kurangnya pengertian akan sifat kehidupan dan keadaan dunia ini, meditasi akan menolong di a utnuk memberikan pengertian padanya bahwa pikirannya itu kacau untuk hal-hal yang tidak ada gunanya. 8. Bagi orang yang ragu-ragu dan tidak begitu tertarik kepada agama, meditasi ak an menolong dia untuk mengatasi keragu-raguannya itu dan untuk melihat segi-segi serta nilai-nilai yang praktis dalam bimbingan agama. 9. Bagi seorang pelajar atau mahasiswa, meditasi akan menolong dia untuk menimbulkan dan menguatkan ingatannya serta untuk belajar lebih seksama dan lebih efisien. 10. Bagi orang yang kaya, meditasi akan menolong dia untuk dapat melihat sifat d an kegunaan dari kekayaannya itu, bagaimana cara menggunakan harta tersebut untuk kebahagiaan dirinya sendiri dan kebahagiaan orang lain. 11. Bagi orang miskin, meditasi akan menolong dia untuk memiliki rasa puas dan ketenangan serta tidak melampiaskan rasa iri hati terhadap orang lain yang lebih

mampu daripadanya. 12. Bagi seorang pemuda yang sedang berada dalam persimpangan jalan dari kehidupan ini dan dia tidak tahu jalan mana yang akan ditempuhnya, meditasi akan menolong dia untuk mendapatkan pengertian dalam menempuh salah satu jalan yang akan membawa ke tujuannya. 13. Bagi orang yang telah lanjut usia yang telah bosan dengan kehidupan ini, med itasi akan menolong dia ke dalam pengertian yang lebih mendalam mengenai kehidupan ini, dan pengertian tersebut akan memberi dia kelegaan dan kebebasan dari penderitaan serta pahit getirnya kehidupan ini, dan akan menimbulkan kegairahan yang baru bagi dirinya. 14. Bagi orang yang mudah marah, meditasi akan menolong dia mengembangkan kekuatan kemauan untuk mengatasi kelemahan-kelemahannya. 15. Bagi orang yang bersifat iri hati, meditasi akan menolong dia untuk mengerti tentang bahayanya sifat iri hati itu. 16. Bagi orang yang diperbudak oleh panca inderanya, meditasi akan menolong dia untuk belajar menguasai nafsu-nafsu dan keinginannya itu. 17. Bagi orang yang telah ketagihan minuman keras yang memabukkan, meditasi akan menolong dia untuk menyadari dirinya dan melihat cara mengatasi kebiasaan yang berbahaya itu yang telah memperbudak dan mengikat dirinya. 18. Bagi orang yang tidak terpelajar atau bodoh, meditasi akan memberikan dia kesempatan untuk mengenal diri dan mengembangkan pengetahuan-pengetahuan yang sangat berguna untuk kesejahteraan diri sendiri dan untuk keluarga serta handai taulannya. 19. Bagi orang yang sungguh-sungguh melakukan latihan meditasi yang benar ini, maka nafsu-nafsu dan emosinya tak mempunyai kesempatan untuk memperbodohi dirinya lagi. 20. Bagi orang yang bijaksana, meditasi akan membawa dia kepada kesadaran yang lebih tinggi dan pencapaian penerangan sempurna; dia akan dapat melihat segala sesuatu dengan sewajarnya dan tidak akan terseret lagi ke dalam persoalanpersoal an yang remeh. 21. Selanjutnya, dalam agama Buddha, meditasi yang benar itu dipergunakan untuk membebaskan diri dari segala penderitaan, untuk mencapai Nibbana. Demikianlah beberapa faedah praktis yang dapat dihasilkan dari latihan meditasi. Faedah-faedah ini merupakan milik yang akan ditemui dalam pikiran sendiri. 3. CARA MELAKSANAKAN BHAVANA Orang yang baru belajar meditasi sebaiknya mencari tempat yang cocok untuk melakukan meditasi. Tempat itu adalah tempat yang sunyi dan tenang, bebas dari gangguan orang-orang di sekitarnya, bebas dari gangguan nyamuk. Untuk tahap permulaan, hendaknya orang berlatih di tempat yang sama, jangan pindah-pindah tempat. Jika meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan di mana saja di setiap tempat, baik di kantor, di pasar, di kebun, di hutan, di goa, dikuburan, maupun di tempat yang ramai. Waktu untu melaksanakannya dapat dipilih sendiri. Biasanya waktu yang baik untuk bermeditasi adalah pagi hari antara pukul 04.00 sampai pukul 07.00 dan malam har i antara pukul 17.00 sampai pukul 22.00. Jika waktu untuk bermeditasi telah ditent ukan, maka waktu tersebut hendaknya digunakan khusus untuk bermeditasi. Meditasi sebaiknya dilakukan setiap hari dengan waktu yang sama secara teratur atau konti nyu. Bila meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan kapan saja, pada setiap waktu. Orang bebas memilih posisi meditasi. Biasanya posisi meditasi yang baik adalah d uduk bersila di lantai yang beralas, dengan meletakkan kaki kanan di atas kaki kiri, dan tangan kanan menumpu tangan kiri di pangkuan. Atau boleh juga dalam posisi seten gah

sila, dengan kaki dilipat ke samping. Bahkan kalau tidak memungkinkan, maka dipersilahkan duduk di kursi. Yang penting adalah bahwa badan dan kepala harus t egak, tetapi tidak kaku atau tegang. Duduklah seenaknya, jangan bersandar. Mulut dan m ata harus tertutup. Selama meditasi berlangsung hendaknya diusahakan untuk tidak menggerakkan anggota badan, jika tidak perlu. Namun bila badan jasmani merasa ti dak enak, maka diperbolehkan untuk menggerakkan tubuh atau mengubah sikap meditasi. Tetapi, hal ini harus dilakukan perlahan-lahan, disertai dengan penuh perhatian dan kesadaran. Jika meditasinya telah maju, maka dapat dilakukan dalam berbagai posi si, baik berdiri, berjalan, maupun berbaring. Sebelum melaksanakan meditasi, sebaiknya diminta petunjuk atau nasehat dari guru meditasi atau mereka yang telah berpengalaman mengenai meditasi, agar dapat dica pai sukses dalam bermeditasi. Pada saat hendak bermeditasi, sebaiknya dibacakan paritta terlebih dahulu. Selan jutnya, laksanakanlah meditasi dengan tekun. Pikiran dipusatkan pada obyek yang telah di pilih. Pada tingkat permulaan, tentunya pikiran akan lari dari obyek. Hal ini biasa, ka rena pikiran itu lincah, binal, dan selalu bergerak. Namun, hendaknya orang yang bermeditasi selalu sadar dan waspada terhadap pikiran. Bila pikiran itu lari dar i obyek, ia sadar bahwa pikiran itu lari, dan cepat mengembalikan pikiran itu pada obyek semula. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan baik, maka kemajuan dalam meditasi pasti akan diperoleh. Pembagian Bhavana Bhavana dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu : 1. Samatha Bhavana, berarti pengembangan ketenangan batin. 2. Vipassana Bhavana, berarti pengembangan pandangan terang. Diantara kedua jenis bhavana ini terdapat perbedaan. Perbedaan itu mencakup: 1. Tujuannya Samatha Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai ketenangan. Dalam Samatha Bhavana, batin terutama pikiran terpusat dan tertuju p ada suatu obyek. Jadi pikiran tidak berhamburan ke segala penjuru, pikiran tidak ber keliaran kesana kemari, pikiran tidak melamun dan mengembara tanpa tujuan. Dengan melaksanakan Samatha Bhavana, rintangan-rintangan batin tidak dapat dilenyapkan secara menyeluruh. Jadi kekotoran batin hanya dapat diendapkan, sepe rti batu besar yang menekan rumput hingga tertidur di tanah. Dengan demikian, Samath a Bhavana hanya dapat mencapai tingkat-tingkat konsentrasi yang disebut jhana-jhan a, dan mencapai berbagai kekuatan batin. Sesungguhnya pikiran yang tenang bukanlah tujuan terakhir dari meditasi. Ketenan gan pikiran hanyalah salah satu keadaan yang diperlukan untuk mengembangkan pandanga n terang atau Vipassana Bhavana. Vipassana Bhavana merupakan pengembangan batin yang bertujuan untuk mencapai pandangan terang. Dengan melaksanakan Vipassana Bhavana, kekotoran-kekotoran batin dapat disadari dan kemudian dibasmi sampai keakar-akarnya, sehingga orang

yang melakukan Vipassana Bhavana dapat melihat hidup dan kehidupan ini dengan sewajarnya, bahwa hidup ini dicengkeram oleh anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku yang kekal). Dengan demikian, Vipassana Bhavana dapat menuju ke arah pembersihan batin, pembebasan sempurna, pencapaian Nibbana. Sesungguhnya "dalam kitab suci telah ditulis bahwa hanya dengan pandangan terang inilah kita dapat menyucikan diri kita, dan tidak dengan jalan lain". 2. Obyeknya Obyek yang dipakai dalam Samatha Bhavana ada 40 macam. Obyek-obyek itu adalah sepuluh kasina, sepuluh asubha, sepuluh anussati, empat appamaa, satu aharapatikulasaa, satu catudhatuvavatthana, dan empat arupa. Sebaliknya, obyek yan g dipakai dalam Vipassana Bhavana adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau em pat satipatthana. 3. Penghalangnya Dalam melaksanakan Samatha Bhavana, pada umumnya orang yang bermeditasi sering mendapat gangguan atau halangan atau rintangan, yaitu lima nivarana dan sepuluh palibodha. Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, terdapat pula rintangan-rintang an yang dapat menghambat perkembangan pandangan terang, yang disebut sepuluh vipassanupakilesa. Samatha Bhavana 1. EMPAT PULUH MACAM OBYEK MEDITASI Dalam Samatha Bhavana ada 40 macam obyek meditasi. Obyek-obyek meditasi ini dapat dipilih salah satu yang kiranya cocok dengan sifat atau pribadi seseorang. Pemilihan ini dimaksudkan untuk membantu mempercepat perkembangannya. Pemilihan sebaiknya dilakukan dengan bantuan seorang guru. Keempat puluh macam obyek meditasi itu adalah : a. Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda), yaitu : 1. Pathavi kasina = wujud tanah 2. Apo kasina = wujud air 3. Teja kasina = wujud api 4. Vayo kasina = wujud udara atau angin 5. Nila kasina = wujud warna biru 6. Pita kasina = wujud warna kuning 7. Lohita kasina = wujud warna merah 8. Odata kasina = wujud warna putih 9. Aloka kasina = wujud cahaya 10. Akasa kasina = wujud ruangan terbatas b. Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran), yaitu : 1. Uddhumataka = wujud mayat yang membengkak 2. Vinilaka = wujud mayat yang berwarna kebiru-biruan 3. Vipubbaka = wujud mayat yang bernanah 4. Vicchiddaka = wujud mayat yang terbelah di tengahnya 5. Vikkahayitaka = wujud mayat yang digerogoti binatang-binatang 6. Vikkhittaka = wujud mayat yang telah hancur lebur 7. Hatavikkhittaka = wujud mayat yang busuk dan hancur 8. Lohitaka = wujud mayat yang berlumuran darah 9. Puluvaka = wujud mayat yang dikerubungi belatung 10. Atthika = wujud tengkorak c. Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan), yaitu : 1. Buddhanussati = perenungan terhadap Buddha 2. Dhammanussati = perenungan terhadap Dhamma 3. Sanghanussati = perenungan terhadap Sangha 4. Silanussati = perenungan terhadap sila 5. Caganussati = perenungan terhadap kebajikan 6. Devatanussati = perenungan terhadap makhluk-makhluk agung atau para dewa

7. Marananussati = perenungan terhadap kematian 8. Kayagatasati = perenungan terhadap badan jasmani 9. Anapanasati = perenungan terhadap pernapasan 10. Upasamanussati = perenungan terhadap Nibbana atau Nirwana d. Empat appamaa (empat keadaan yang tidak terbatas), yaitu : 1. Metta = cinta kasih yang universal, tanpa pamrih 2. Karuna = belas kasihan 3. Mudita = perasaan simpati 4. Upekkha = keseimbangan batin e. Satu aharapatikulasanna (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan) f. Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dal am badan jasmani) g. Empat arupa (empat perenungan tanpa materi), yaitu : 1. Kasinugaghatimakasapaatti = obyek ruangan yang sudah keluar dari kasina 2. Akasanancayatana-citta = obyek kesadaran yang tanpa batas 3. Natthibhavapaati = obyek kekosongan 4. Akincaayatana-citta = obyek bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan Berikut penjelasan lebih mendetil tentang masing-masing obyek meditasi diatas : a. Sepuluh kasina (sepuluh wujud benda) Dalam kasina tanah, dapat dipakai kebun yang baru dicangkul atau segumpal tanah yang dibulatkan. Dalam kasina air, dapat dipakai sebuah telaga atau air yang ada di dalam ember. Dalam kasina api, dapat dipakai api yang menyala yang di depannya diletakkan seng yang berlobang. Dalam kasina angin, dapat dipakai angin yang berhembus di pohon-pohon atau badan. Dalam kasina warna, dapat dipakai benda-ben da seperti bulatan dari kertas, kain, papan, atau bunga yang berwarna biru, kuning, merah, atau putih. Dalam kasina cahaya, dapat dipakai cahaya matahari atau bulan yang memantul di dinding atau di lantai melalui jendela dan lain-lain. Dalam kasina r uangan terbatas, dapat dipakai ruangan kosong yang mempunyai batas-batas disekelilingny a seperti drum dan lain-lain. Disini, mula-mula orang harus memusatkan seluruh perhatiannya pada bulatan yang berwarna biru misalnya. Selanjutnya, dengan memandang terus pada bulatan itu, or ang harus berjuang agar pikirannya tetap berjaga-jaga, waspada, dan sadar. Sementara itu, benda-benda di sekeliling bulatan tersebut seolah-olah lenyap, dan bulatan terse but kelihatan menjadi makin semu dan akhirnya sebagai bayangan pikiran saja. Kini, walaupun mata dibuka atau ditutup, orang masih melihat bulatan biru itu di dalam pikirannya, yang makin lama makin terang seperti bulatan dari rembulan. b. Sepuluh asubha (sepuluh wujud kekotoran) Dalam sepuluh asubha ini, orang melihat atau membayangkan sesosok tubuh yang tel ah menjadi mayat diturunkan ke dalam lubang kuburan, membengkak, membiru, bernanah, terbelah di tengahnya, dikoyak-koyak oleh burung gagak atau serigala, hancur dan membusuk, berlumuran darah, dikerubungi oleh lalat dan belatung, dan akhirnya merupakan tengkorak. Selanjutnya, ia menarik kesimpulan terhadap badannya sendir i, "Badanku ini juga mempunyai sifat-sifat itu sebagai kodratnya, tidak dapat dihin dari". Disinilah hendaknya orang memegang dengan teguh di dalam pikirannya obyek yang berharga yang telah timbul, seperti gambar pikiran mengenai mayat yang membengka k dan lain-lain. c. Sepuluh anussati (sepuluh macam perenungan)

Dalam Buddhanussati, direnungkan sembilan sifat Buddha. Kesembilan sifat Buddha tersebut adalah maha suci, telah mencapai penerangan sempurna, sempurna pengetahuan dan tingkah lakunya, sempurna menempuh jalan ke Nibbana, pengenal semua alam, pembimbing manusia yang tiada taranya, guru para dewa dan manusia, yang sadar, yang patut dimuliakan. Dalam Dhammanussati, direnungkan enam sifat Dhamma. Keenam sifat Dhamma itu adalah telah sempurna dibabarkan, nyata di dalam kehidupan, tak lapuk oleh waktu , mengundang untuk dibuktikan, menuntun ke dalam batin, dapat diselami oleh para bijaksana dalam batin masing-masing. Dalam Sanghanussati, direnungkan sembilan sifat Ariya-Sangha. Kesembilan sifat Ariya-Sangha itu adalah telah bertindak dengan baik, telah bertindak lurus, tela h bertindak benar, telah bertindak patut, patut menerima persembahan, patut meneri ma tempat bernaung, patut menerima bingkisan, patut menerima penghormatan, lapangan untuk menanam jasa yang tiada taranya di alam semesta. Dalam silanussati, direnungkan sila yang telah dilaksanakan, yang tidak patah, y ang tidak ternoda, yang dipuji oleh para bijaksana, dan menuju pemusatan pikiran. Dalam caganussati, direnungkan kebajikan berdana yang telah dilaksanakan, yang menyebabkan musnahnya kekikiran. Dalam devatanussati, direnungkan makhluk-makhluk agung atau para dewa yang berbahagia, yang sedang menikmati hasil dari perbuatan baik yang telah dilakukan nya. Dalam marananussati, orang harus merenungkan bahwa pada suatu hari, kematian aka n datang menyongsongku dan makhluk lainnya; bahwa badan ini harus dibagi-bagikan olehku kepada ulat-ulat, kutu, belatung, dan binatang lainnya yang hidup dengan ini; bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan, di mana, dan melalui apa oran g akan meninggal, serta keadaan yang bagaimana menungguku setelah kematian. Dalam kayagatasati, orang merenungkan 32 bagian anggota tubuh, dari telapak kaki ke atas dan dari puncak kepala ke bawah, yang diselubungi kulit dan penuh kekotoran ; bahwa di dalam badan ini terdapat rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, kulit, daging, urat, tulang, sumsum, ginjal, jantung, hati, selaput dada, limpa, paru-paru, usu s, saluran usus, perut, kotoran, empedu, lendir, nanah, darah, keringat, lemak, air mata, m inyak kulit, ludah, ingus, cairan sendi, air kencing, dan otak. Dalam anapanasati, orang merenungkan keluar masuknya napas. Dengan sadar ia menarik napas, dengan sadar ia mengeluarkan napas. Dalam upasamanussati, orang merenungkan Nibbana atau Nirwana yang terbebas dari kekotoran batin, hancurnya keinginan, putusnya lingkaran tumimbal lahir. d. Empat appamaa (empat keadaan yang tidak terbatas) Empat appamaa ini sering disebut juga sebagai Brahma-Vihara (kediaman yang luhur). Dalam melaksanakan metta-bhavana, seseorang harus mulai dari dirinya sen diri, karena ia tidak mungkin dapat memancarkan cinta kasih sejati bila ia membenci da n meremehkan dirinya sendiri. Setelah itu, cinta kasih dipancarkan kepada orang tu a, guru-guru, teman-teman laki-laki dan wanita sekaligus. Akhirnya, yang tersulit adalah memancarkan cinta kasih kepada musuh-musuhnya. Dalam hal ini mungkin timbul perasaan dendam atau sakit hati. Namun, hendaknya diusahakan untuk mengatasi kebencian itu dengan merenungkan sifat-sifat yang bai

k dari musuhnya dan jangan menghiraukan kejelekan-kejelekan yang ada padanya. Perl u diingat bahwa kebencian hanya dapat ditaklukkan dengan cinta kasih. Dalam karuna-bhavana, orang memancarkan belas kasihan kepada orang yang sedang ditimpa kemalangan, diliputi kesedihan, kesengsaraan, dan penderitaan. Dalam mudita-bhavana, orang memancarkan perasaan simpati kepada orang yang sedang bersuka-cita; ia turut berbahagia melihat kebahagiaan orang lain. Dalam upekkha-bhavana, orang akan tetap tenang menghadapi suka dan duka, pujian dan celaan, untung dan rugi. e. Satu aharapatikulasaa (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan) Dalam satu aharapatikulasaa, direnungkan bahwa makanan adalah barang yang menjijikkan bila telah berada di dalam perut; direnungkan bahwa apapun yang tela h dimakan, diminum, dikunyah, dicicipi, semuanya akan berakhir sebagai kotoran (ti nja) dan air seni (urine). f. Satu catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani) Dalam satu catudhatuvavatthana, direnungkan bahwa di dalam badan jasmani terdapa t empat unsur materi, yaitu : 1. Pathavi-dhatu (unsur tanah atau unsur padat), ialah segala sesuatu yang bersi fat keras atau padat. Umpamanya : rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, dan lain-lain. 2. Apo-dhatu (unsur air atau unsur cair), ialah segala sesuatu yang bersifat ber hubungan yang satu dengan yang lain atau melekat. Umpamanya : empedu, lendir, nanah, dara h, dan lain-lain. 3. Tejo-dhatu (unsur api atau unsur panas), ialah segala sesuatu yang bersifat p anas dingin. Umpamanya : setelah selesai makan dan minum, atau bila sedang sakit, bad an akan terasa panas dingin. 4. Vayo-dhatu (unsur angin atau unsur gerak), ialah segala sesuatu yang bersifat bergerak. Umpamanya : angin yang ada di dalam perut dan usus, angin yang keluar masuk waktu bernapas, dan lain-lain. g. Empat arupa (empat perenungan tanpa materi) Dalam kasinugaghatimakasapaati, batin yang telah memperoleh gambaran kasina dikembangkan ke dalam perenungan ruangan yang tanpa batas sambil membayangkan, "Ruangan! Ruangan! Tak terbatas ruangan ini!" dan kemudian gambaran kasina dihilangkan. Jadi, pikiran ditujukan kepada ruangan yang tanpa batas, dipusatkan di dalamnya, dan menembus tanpa batas. Dalam akasanancayatana-citta, ruangan yang tanpa batas itu ditembus dengan kesadarannya sambil merenungkan, "Tak terbataslah kesadaran itu". Ia harus berul angulang memikirkan penembusan ruangan itu dengan sadar, mencurahkan perhatiannya kepada hal tersebut. Dalam natthibhavapaati, orang harus mengarahkan perhatiannya pada kekosongan atau kehampaan dan tidak ada apa-apanya dari kesadaran terhadap ruangan yang tan pa batas itu. Ia terus menerus merenungkan, "Tidak ada apa-apa di sana! Kosonglah adanya ini". Dalam akincaayatana-citta, orang merenungkan keadaan kekosongan sebagai ketenangan atau kesejahteraan, dan setelah itu ia mengembangkan pencapaian dari sisa unsur-unsur batin yang penghabisan, yaitu perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pi

kiran, dan kesadaran sampai batas kelenyapannya. Jadi, setelah kekosongan itu dicapai, maka kesadaran mengenai kekosongan itu dilepas, seolah-olah tidak ada pencerapan lagi 2. LIMA MACAM NIVARANA DAN SEPULUH MACAM PALIBODHA Lima macam nivarana Nivarana berarti rintangan atau penghalang batin yang selalu menghambat perkembangan pikiran. Nivarana ini ada lima macam, yaitu: 1. Kamachanda (nafsu-nafsu keinginan) 2. Byapada (kemauan jahat) 3. Thina-middha (kemalasan dan kelelahan) 4. Uddhacca-kukkucca (kegelisahan dan kekhawatiran) 5. Vicikiccha (keragu-raguan) Untuk menaklukkan kelima rintangan tersebut, orang harus mengetahui sebab-sebab timbulnya nivarana dan berusaha menghindari sebab-sebab itu serta melakukan usah ausaha yang dapat melenyapkan nivarana itu. Nafsu-nafsu keinginan (kamachanda) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan obyek yang indah, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari nafsu keinginan, hendaknya orang senantiasa melaksanakan meditasi deng an memakai obyek yang kotor atau menjijikkan dan berusaha menghindari obyek-obyek yang bisa merangsang, berusaha untuk menguasai pikiran dan mengendalikan indriya indriyanya, senantiasa berbicara tentang kesempurnaan hidup, tentang kepuasan, kesunyian, kebajikan, kebebasan, bebas dari nafsu-nafsu. Kemauan jahat (byapada) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan obyek yang menyebabkan timbulnya kebencian, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk menaklukkan kemauan jahat hendaknya orang senantiasa melaksanakan meditasi cinta kasih, senantiasa ingat bahwa setiap orang adalah pemilik dan pewaris dari perbuatannya sendiri. Kemalasan dan kelelahan (thina-middha) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan rasa segan, rasa malas, kelelahan, mengantuk sesudah makan, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari kemalasan dan kelelahan, ora ng hendaknya senantiasa merenungkan suatu cahaya sampai terserap ke dalam batin, senantiasa melihat penderitaan di dalam ketidak-kekalan, senantiasa merenungkan ajaran-ajaran Sang Buddha dan melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari. Kegelisahan dan kekhawatiran (uddhacca-kukkucca) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatikan ketidak-tenteraman pikiran, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk mengatasi kegelisahan dan kekhawatiran, orang hendaknya senantiasa mempelajari dan memahami kitab suci Tripitaka, serta berusaha melaksanakan sila dengan sempurna. Keragu-raguan (vicikiccha) akan timbul apabila orang berulang-ulang memperhatika n sesuatu yang menyebabkan timbulnya keragu-raguan, tanpa disertai kebijaksanaan. Untuk membebaskan diri dari keragu-raguan, orang hendaknya senantiasa meneguhkan keyakinan pada Buddha, Dhamma, dan Sangha. Sepuluh macam palibodha Palibodha berarti gangguan dalam meditasi yang menyebabkan batin gelisah dan tid ak mampu memusatkan pikiran pada obyek. Palibodha ini ada sepuluh macam, yaitu : 1. Avasa (tempat tinggal) 2. Kula (pembantu dan orang yang bertanggung jawab) 3. Labha (keuntungan) 4. Gana (murid dan teman) 5. Kamma (pekerjaan) 6. Addhana (perjalanan) 7. ati (orangtua, keluarga, dan saudara) 8. Abadha (penyakit)

9. Gantha (pelajaran) 10.Iddhi (kekuatan gaib) Dalam melaksanakan meditasi, pada umumnya orang yang bermeditasi sering juga mendapat gangguan yang disebut palibodha. Ia merasa khawatir akan tempat tinggalnya, terikat dengan rumahnya. Ia merasa khawatir akan pembantunya dan ora ng yang bertanggung jawab atas harta bendanya. Ia merasa khawatir akan persoalannya , apakah meditasi ini akan membawa keuntungan baginya. Ia merasa khawatir akan murid-murid dan teman-temannya. Ia merasa khawatir akan pekerjaannya yang belum selesai. Ia merasa khawatir akan perjalanan jauh yang harus ditempuhnya. Ia mera sa khawatir akan orang tuanya, keluarganya, dan saudara-saudaranya. Ia merasa khawa tir akan kemungkinan timbulnya penyakit. Ia merasa khawatir akan pelajaran yang ditinggalkannya. Ia merasa khawatir akan bermacam-macam kekuatan magis yang dipertunjukkan, takut akan kemerosotan kekuatan magisnya. Palibodha ini harus dibasmi, agar orang dapat memusatkan pikiran dengan baik. 3. ENAM MACAM CARITA Carita berarti sifat, perangai, atau perilaku. Di dalam Abhidhamma, terdapat pembagian sifat-sifat secara umum yang berdasarkan atas keadaan batin manusia, yaitu manusia itu dapat dibagi menjadi enam golongan berdasarkan sifat-sifat yang dimilikinya: 1. Orang yang keras nafsu lobanya atau Ragacarita 2. Orang yang keras kebenciannya atau Dosacarita 3. Orang yang bodoh (dungu) atau Mohacarita 4. Orang yang tebal keyakinannya atau Saddhacarita 5. Orang yang bijaksana (pandai) atau Buddhicarita 6. Orang yang suka melamun atau Vitakkacarita Orang yang mempunyai ragacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan loba, cenderung ke arah keindahan dan kecantikan, kagum melihat suatu kebajikan walaupun itu kec il sekali, mudah melupakan kesalahan orang lain, cerdik, sombong, berambisi besar, mementingkan diri sendiri. Untuk mereka yang mempunyai ragacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh asubha dan sa tu kayagatasati. Orang yang mempunyai dosacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan kebencian, cenderung ke arah panas hati, suka marah, suka jengkel, suka iri hati, tak senan g melihat kesalahan walaupun kecil, tak mau tahu terhadap kebajikan orang lain walaupun be sar, suka bermusuhan, memandang rendah orang lain, suka memerintah dan mendikte orang lain. Untuk mereka yang mempunyai dosacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah empat appamaa dan empat kasina (nila kasina, pita kasina, lohita kasina, dan odata kasina). Orang yang mempunyai mohacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan kebodohan batin, cenderung ke arah kelemahan batin, suka bingung, suka ragu-ragu, suka kha watir, menggantungkan diri pada pendapat orang lain, pikiran ruwet, malas, pendiriannya tidak tetap, kadang-kadang kukuh memegang suatu pandangan. Untuk mereka yang mempunyai mohacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah anapanasati. Orang yang mempunyai saddhacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan keyakinan, cenderung ke arah rendah hati, dermawan, jujur, suka menemui orang-orang suci, s uka mendengarkan Dhamma, yakin pada sesuatu yang dianggap baik. Untuk mereka yang mempunyai saddhacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah enam anussati (Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati,

silanussati, caganussati, dan devatanussati). Orang yang mempunyai buddhicarita atau anacarita melaksanakan sesuatu berdasarkan berhati-hati, cenderung ke arah perenungan terhadap Tiga Corak Umum (Tilakkhana) , sering bermeditasi, bersedia mendengarkan omongan orang lain, mempunyai kawankaw an yang baik. Untuk mereka yang mempunyai buddhicarita atau anacarita, maka obyek yang baik diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah marananussati, upasamanussati, aharapatikulasaa, dan catudhatuvavatthana. Orang yang mempunyai vitakkavcarita melaksanakan sesuatu berdasarkan tergesa-ges a, cenderung ke arah kegugupan, kegagalan dalam usaha, suka berteori, pikirannya se ring berkeliaran, tidak suka bekerja untuk kepentingan sosial. Untuk mereka yang mempunyai vitakkacarita, maka obyek yang cocok untuk melaksanakan Samatha Bhavana ialah anapanasati. Penjelasan: Pathavi kasina, apo kasina, tejo kasina, vayo kasina, aloka kasina, akasa kasina , dan empat arupa dapat dijadikan obyek meditasi oleh semua orang tanpa memperhatikan caritanya. 4. TIGA MACAM NIMITTA Nimitta berarti suatu pertanda atau gambaran yang ada hubungannya dengan perkembangan obyek meditasi. Nimitta ini ada tiga macam, yaitu : 1. Parikamma-Nimitta (gambaran batin permulaan) 2. Uggaha-Nimitta (gambaran batin mencapai) 3. Patibhaga-Nimitta (gambaran batin berlawanan) Mengenai parikamma-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi, seperti patung Buddha, mula-mula dilihat dengan mata, kemudian dibayangkan dalam pikiran. Jadi, parikamma-nimitta merupakan gambaran atau bentuk dari obyek dalam keadaan yang sebenarnya. Semua obyek (empat puluh macam obyek meditasi) dapat menghasilkan parikamma-nimitta. Mengenai uggaha-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi diliha t dengan batin, hingga obyek itu melekat dalam pikiran. Jadi, uggaha-nimitta merup akan gambaran obyek di dalam batin yang sama dengan bentuk obyek yang dipakai, walaupun mata telah dipejamkan. Untuk mencapai uggaha-nimitta, semua obyek meditasi dapat dipakai dalam melaksanakan Samatha Bhavana, yaitu keempat puluh obyek meditasi yang tersebut terdahulu. Mengenai patibhaga-nimitta, gambaran suatu obyek yang diambil dalam meditasi yan g telah melekat pada pikiran, terpeta dengan nyata, tetap, jernih, jelas, terbebas dari gangguan, dan gambaran obyek tersebut dapat dibesarkan serta dikecilkan menurut kemauan. Jadi, patibhaga-nimitta merupakan gambaran pantulan dari obyek yang dipakai, yang bentuk gambaran itu berubah menjadi sinar terang di dalam batinnya . Untuk mencapai patibhaga-nimitta, maka obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh kasina, sepuluh asubha, satu kayagatasati, dan satu anapanasati. 5. TIGA MACAM BHAVANA Dalam meditasi, terdapat tiga macam tingkat perkembangan batin, yaitu : 1. Parikamma-Bhavana (perkembangan batin tingkat pendahuluan) 2. Upacara-Bhavana (perkembangan batin tingkat mendekati konsentrasi) 3. Appana-Bhavana (perkembangan batin tingkat terkonsentrasi dengan kuat) Dalam parikamma-bhavana, pikiran baru akan dipusatkan pada obyek. Semua obyek (empat puluh macam obyek meditasi) dapat menghasilkan parikamma-bhavana. Dalam upacara-bhavana, pikiran telah siap untuk memasuki pemusatannya, dan mulai timbulnya patibhaga-nimitta. Dalam keadaan ini, nivarana telah dapat diatasi. Na

mun konsentrasi pikiran masih belum mantap. Hal ini dapat disamakan dengan anak keci l yang baru belajar berdiri, namun masih belum mantap, sering jatuh, tetapi ia ter us berusaha. Untuk mencapai upacara-bhavana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah delapan anussati (Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, silanussati, caganussati, devatanussati, marananussati, upasamanu ssati), satu aharapatikulasanna, dan satu catudhatuvavatthana. Dalam appana-bhavana, pikiran telah dapat tinggal diam dalam jangka waktu yang lama, menurut yang dikehendakinya, karena konsentrasi yang penuh dan mantap tela h tercapai. Keadaan ini dapat diumpamakan sebagai orang yang telah dewasa yang tel ah dapat berdiri dengan kuat, tak jatuh-jatuh lagi. Di samping nivarana telah dapat diatasi, maka faktor-faktor jhana juga mulai timbul berperanan (vitakka, vicara, piti, su kha, dan ekaggata). Obyek-obyek yang dapat dipakai untuk mencapai appana-bhavana ialah sepuluh kasina, sepuluh asubha, satu kayagatasati, satu anapanasati, empat appam aa, dan empat arupa. 6. PENGERTIAN JHANA Jhana berarti kesadaran/pikiran yang memusat dan melekat kuat pada obyek kammatthana/meditasi, yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada obyek dengan kekuatan appana-samadhi (konsentrasi yang mantap, yaitu kesadaran/pikiran terkonsentrasi pada obyek yang kuat). Jhana merupakan keadaan batin yang sudah di luar aktivitas panca indera. Keadaan ini hanya dapat dicapai dengan usaha yang ulet dan tekun. Dalam keadaan ini, aktivit as panca indera berhenti, tidak muncul kesan-kesan penglihatan maupun pendengaran, pun tidak muncul perasaan badan jasmani. Walaupun kesan-kesan dari luar telah berhen ti, batin masih tetap aktif dan berjaga secara sempurna serta sadar sepenuhnya. Jhana hanya mampu menekan atau mengendapkan kekotoran batin untuk sementara waktu. Ia tidak dapat melenyapkan kekotoran batin. Sewaktu-waktu jhana dapat merosot, karena jhana tidak kekal. 7. FAKTOR-FAKTOR JHANA Di dalam memasuki jhana-jhana, timbullah faktor-faktor jhana yang memberi corak dan suasana bagi tiap-tiap jhana itu. Faktor-faktor jhana tersebut ada lima macam, y aitu : 1. Vitakka, ialah penopang pikiran yang merupakan perenungan permulaan untuk memegang obyek. 2. Vicara, ialah gema pikiran, keadaan pikiran dalam memegang obyek dengan kuat. 3. Piti, ialah kegiuran atau kenikmatan. 4. Sukha, ialah kebahagiaan yang tak terhingga. 5. Ekaggata, ialah pemusatan pikiran yang kuat. Vitakka dan vicara adalah dua keadaan dari suatu proses yang berkelanjutan. Kedu a keadaan ini dapat diumpamakan seperti bunyi lonceng. Pada waktu lonceng dipukul sekali, maka akan terjadi bunyi yang bergema. Bunyi lonceng pada saat terkena pu kulan merupakan vitakka, sedangkan gema dari bunyi lonceng itu merupakan vicara. Demikian pula ketika bermeditasi. Suasana pikiran pada saat permulaan memegang obyek disebut vitakka, sedangkan suasana pikiran yang telah berhasil memegang ob

yek dengan kuat disebut vicara. Mengenai piti, sebenarnya secara terperinci terdapat lima macam. Namun, kiranya di sini tidak begitu perlu diuraikan. Antara piti dan sukha terdapat pula perbedaan perasaan yang khas seperti berikut . Apabila seseorang yang sedang dalam suatu perjalanan merasa sangat haus, dan kemudian ia menemukan sebuah sumber air, maka ia akan merasa gembira, senang, da n tergiur melihatnya. Perasaan ini merupakan piti, karena di sini kegiuran timbul akibat keterbatasan dari tekanan perasaan. Selanjutnya, setelah ia meminum air itu, mak a perasaan berobah menjadi nikmat dan segar. Perasaan ini merupakan sukha. Dalam ekaggata, pikiran telah terpusat pada obyek dengan kuat, sehingga kekotora n batin tidak mampu mengganggu lagi. Vikkhambhana-Pahana adalah pembasmian nivarana dengan kekuatan jhana, yaitu dengan mengendapkan kekotoran batin. Selama jhana masih ada, selama itu pula nivarana tidak timbul. Tetapi, bila jhana merosot, maka nivarana akan timbul lag i. Jhana merupakan alat pembasmi nivarana, yaitu vitakka membasmi thina-middha, vicara membasmi vicikiccha, piti membasmi byapada, sukha membasmi uddhaccakukkuc ca, dan ekaggata membasmi kamachanda. 8. TINGKAT-TINGKAT JHANA Menurut Sutta Pitaka, terdapat delapan tingkat jhana, yaitu empat rupa jhana dan empat arupa jhana, sedangkan menurut Abhidhamma, terdapat sembilan tingkat jhana, yait u lima rupa jhana dan empat arupa jhana. Dalam Abhidhamma, tingkatan rupa jhana ad a lima, karena hal ini disesuaikan menurut keadaan, menurut bagian, dan jumlah kesadaran yang berada dalam rupavacara-citta, sebab kesadaran dari manda-puggala (orang yang tidak cerdas) tidak dapat melihat kekotoran dari vitakka dan vicara keduaduanya ini sekaligus dalam waktu yang sama, hanya dapat membuang 'keadaan batin' satu persatu, yaitu dutiya-jhana membuang vitakka, dan tatiya-jhana membuang vic ara. Tetapi, tikkha-puggala (orang yang cerdas) mampu menyelidiki dan melihat kekotor an dari vitakka dan vicara sekaligus dalam waktu yang sama, dan membuang vitakka da n vicara sekaligus. Karena itu, dalam Sutta Pitaka, tingkatan rupa jhana ada empat . Tingkatan jhana, menurut Abhidhamma, terdiri atas : 1. Pathama-Jhana, ialah jhana tingkat pertama. Keadaan batinnya terdiri dari lima corak, yaitu vitakka, vicara, piti, sukha, da n ekaggata. 2. Dutiya-Jhana, ialah jhana tingkat kedua. Keadaan batinnya terdiri dari empat corak, yaitu vicara, piti, sukha, dan ekagga ta. 3. Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat ketiga. 4. Catuttha-Jhana, ialah jhana tingkat keempat. Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu sukha dan ekaggata. 5. Pancama-Jhana, ialah jhana tingkat kelima. Keadaan batinnya terdiri dari dua corak, yaitu upekkha dan ekaggata. 6. Akasanancayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi ruangan yang tanpa batas.

7. Vianancayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi kesadaran yang tak terbatas. 8. Akincaayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi kekosongan. 9. Nevasaanasaayatana-Jhana, ialah keadaan dari konsepsi bukan pencerapan pun tidak bukan pencerapan. Tingkatan jhana, menurut Sutta Pitaka, terdiri atas : 1. Pathama-Jhana, ialah jhana tingkat pertama, dimana nivarana telah dapat diata si dengan seksama. Faktor-faktor jhana yang timbul adalah vitakka, vicara, piti, su kha, dan ekaggata. 2. Dutiya-Jhana, ialah jhana tingkat kedua, dimana vitakka dan vicara mulai leny ap, karena kedua faktor ini bersifat kasar untuk jhana kedua. Faktor-faktor jhana ya ng masih ada adalah piti, sukha, dan ekaggata. 3. Tatiya-Jhana, ialah jhana tingkat ketiga, dimana piti mulai lenyap, karena pi ti ini masih terasa kasar untuk jhana ketiga. Faktor-faktor jhana yang masih ada adalah sukha dan ekaggata. 4. Catuttha-Jhana, ialah jhana tingkat keempat, dimana sukha mulai lenyap, karen a faktor ini masih terasa kasar untuk jhana keempat. Di dalam jhana keempat ini ha nya ada faktor ekaggata dan ditambah dengan upekkha (keseimbangan batin). 5. Akasanancayatana-Jhana. 6. Vianancayatana-Jhana. 7. Akincaayatana-Jhana. 8. Nevasaanasaayatana-Jhana. Untuk mencapai pathama-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah sepuluh asubha dan satu kayagatasati. Untuk mencapai dutiya-jhana, tatiya-jhana, dan catuttha-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah tiga appamaa (metta, karuna, dan mudita). Untuk mencapai pancama-jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah satu upekkha. Untuk mencapai empat arupa jhana, obyek yang harus diambil dalam melaksanakan Samatha Bhavana ialah empat arupa. Penjelasan : Sepuluh kasina dan satu anapanasati dapat dijasikan obyek meditasi oleh semua or ang untuk mencapai lima rupa jhana. 9. LIMA MACAM VASI Vasi berarti keahlian atau kemahiran atau kemampuan untuk mengolah jhana. Jika seseorang telah mencapai jhana tingkat pertama (pathama-jhana), kemudian ia ingin mencapai jhana-jhana tingkat selanjutnya, maka ia harus mempunyai lima mac am vasi. Kelima macam vasi tersebut ialah : 1. Avajjana-vasi, yaitu keahlian dalam pemikiran untuk memasuki jhana menurut kehendaknya. 2. Samapajjana-vasi, yaitu keahlian dalam memasuki jhana. 3. Adhitthana-vasi, yaitu keahlian dalam menentukan berapa lama hendak berada da lam jhana. 4. Vutthana-vasi, yaitu keahlian dalam 'keluar' dari jhana. 5. Paccavekkhana-vasi, yaitu keahlian dalam meninjauan terhadap jhana. 10. ENAM MACAM ABHIA Abhia berarti kemampuan atau kekuatan batin yang luar biasa, atau tenaga batin. Abhia akan timbul dalam diri orang yang telah mencapai jhana-jhana, dimana jhana

tingkat keempat (catuttha-jhana) merupakan dasar untuk timbulnya abhia ini. Namun, hal ini juga tergantung pada kusala-kamma (perbuatan baik) dari kehidupan yang lampau. Mengenai obyek meditasi yang dapat menimbulkan abhia ialah hanya sepuluh kasina. Abhia itu ada enam macam dan dapat dibagi atas dua kelompok besar, yaitu abhia yang duniawi atau lokiya dan abhia yang di atas duniawi atau lokuttara. Abhia yang duniawi (lokiya-abhia) terdiri atas lima macam, yaitu : 1. Iddhividhaana, sering disebut sebagai kekuatan gaib atau kekuatan magis atau kesaktian. Ini terbagi lagi atas beberapa macam, yaitu : a. Adhitthana-iddhi, ialah kemampuan untuk mengubah diri dari satu menjadi banya k atau dari banyak menjadi satu. b. Vikubbana-iddhi, ialah kemampuan untuk berubah bentuk, seperti menjadi anak kecil, raksasa, ular, atau membuat diri menjadi tak tampak. c. Manomaya-iddhi, ialah kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran, seperti menciptakan istana, taman, harimau, wanita cantik, dan lain-lain. d. anavipphara-iddhi, ialah kemampuan untuk menembus ajaran melalui pengetahuan. e. Samadhivipphara-iddhi, ialah kemampuan memencarkan melalui konsentrasi, yaitu : Kemampuan menembus dinding, pagar, gunung. Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan menyelam ke dalam air. Kemampuan berjalan di atas air bagaikan berjalan di atas tanah yang padat. Kemampuan terbang di angkasa seperti burung. Kemampuan melawan api. Kemampuan menyentuk bulan dan matahari dengan tangannya. Kemampuan memanjat puncak dunia sampai ke alam Brahma. 2. Dibbasotaana (telinga dewa), ialah kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam lain, yang jauh maupun yang dekat. 3. Cetopariyaana atau paracittavijaana, ialah kemampuan untuk membaca pikiran makhluk lain. 4. Dibbacakkhuana atau cutupapataana (mata dewa), ialah kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan muncul lenyapnya makhluk-makhluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya masing-masing. 5. Pubbenivasanussatiana, ialah kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir yang lampau dari diri sendiri dan orang lain. Abhia yang di atas duniawi (lokuttara-abhia) hanya ada satu macam, yaitu asavakkhayaana, ialah kemampuan untuk memusnahkan kekotoran batin. Pemusnahan kekotoran batin ini akan membimbing ke arah kesucian tertinggi atau arahat. Perlu diingat bahwa tujuan umat Buddha bukanlah untuk mendapatkan kegaiban dan mujijat yang aneh-aneh dan luar biasa. Sang Buddha tidak membenarkan siswasiswaN ya melakukan sesuatu yang ajaib dan mujijat, karena perbuatan demikian itu tidak akan mempertinggi martabat mereka di mata orang lain. Lagipula kegaiban it u bukanlah merupakan hal yang penting dalam mencari kebebasan (Nibbana). Vipassana Bhavana 1. EMPAT MACAM SATIPATTHANA Dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, obyeknya adalah nama dan rupa (batin dan materi), atau pancakhandha (lima kelompok faktor kehidupan). Ini dilakukan denga n memperhatikan gerak-gerik nama dan rupa terus menerus, sehingga dapat melihat dengan nyata bahwa nama dan rupa itu dicengkeram oleh anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), dan anatta (tanpa aku). Pancakkhandha (lima kelompok faktor kehidupan) terdiri atas : rupa-khandha (kelompok jasmani), vedana-khandha (kelompok perasaan), saakhandha (kelompok pencerapan), sankhara-khandha (kelompok bentuk pikiran), dan viana-khandha (kelompok kesadaran). Sesungguhnya, yang disebut pancakkhandha itu adalah makhluk. Empat macam satipatthana (empat macam perenungan) terdiri atas : kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani), vedana-nupassana (perenungan

terhadap perasaan), citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran), dan Dhammanup assana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran). Empat macam satipatthana itu adalah pancakkhandha, atau nama dan rupa itu sendir i. Kaya nupassana adalah rupa-khandha. Vedana-nupassana adalah vedana-khandha. Citta-nupassana adalah Viana-khandha. Dhamma-nupassana adalah pancakkhandha. Sesungguhnya, yang akan berkembang dalam latihan Vipassana itu ialah perhatian y ang tajam dan kesadaran yang kuat. 1. Kaya-nupassana (perenungan terhadap badan jasmani). Salah satu contoh yang paling populer dan praktis tentang meditasi dengan obyek badan jasmani ialah anapanasati (menyadari keluar dan masuknya napas). Dalam anapanasa ti ini, tidak ada tekanan atau paksaan pada pernapasan. Panjang atau pendeknya pernapasan harus disadari, tetapi tidak dibuat-buat atau sengaja diatur. Jadi, b ernapas secara biasa dan wajar. Walaupun menurut kebiasaan , kesadaran terhadap pernapasan itu pada tingkat permulaan dianggap sebagai obyek untuk meditasi ketenangan (Samatha Bhavana), yaitu untuk mengembangkan jhana-jhana, ia juga sangat berguna untuk mengembangkan Pandangan Terang (Vipassana Bhavana). Dalam pernapasan, yang dipakai sebagai suatu obyek perhatian murni, naik turunnya gelombang kehidupan y ang tidak kekal, yang timbul tenggelam ini, dapat disadari dengan mudah. Cara meditasi lain yang penting, praktis, dan berguna ialah sadar dan waspada te rhadap segala sesuatu yang dilakukan, ketika berjalan, berdiri, duduk, atau berbaring, sewaktu membungkukkan dan melencangkan badan, sewaktu melihat ke muka dan ke belakang, ketika berpakaian, makan, dan minum, ketika buang kotoran dan kencing, ketika berbicara atau berdiam diri. Di sini tidak dijalankan penyiksaan badan jasmani dengan maksud untuk mengendalikan badan. Tetapi dipergunakan jalan tengah yang sederhana, dengan menyadari timbul dan tenggelamnya bentuk kehidupan setiap saat. 2. Vedana-nupassana (perenungan terhadap perasaan). Di sini direnungkan perasaan yang sedang dialami secara obyektif, baik perasaan senang, perasaan tidak senang, maupun perasaan yang acuh tak acuh. Direnungkan keadaan perasaan yang sebenarnya, bagaimana ia timbul, berlangsung, dan kemudian lenyap kembali. Perasaan harus dikendalikan oleh akal dan kebijaksanaan, agar perasaan itu tidak membangkitkan bermacam-macam bentuk emosi. Apabila perasaan telah dapat diatasi dengan tepat, maka batin menjadi bebas, tidak terikat oleh apapun di dalam dunia ini. 3. Citta-nupassana (perenungan terhadap pikiran). Di sini direnungkan segala gerak-gerik pikiran. Apabila pikiran sedang dihinggap i hawa nafsu atau terbebas daripadanya, maka hal itu harus disadari. Pikiran harus diarahkan pada kenyataan hidup pada saat ini. Masalah-masalah yang telah lewat atau hal-hal yang akan datang tidak boleh dipikirkan pada saat ini. Betapa banyak tenaga yang terbuang dengan percuma karena melamunkan keadaan-keadaan yang telah lalu dan mengkhayalkan keadaan yang akan datang. Jadi, keadaan pikira n yang sebenarnya harus diamat-amati, agar batin menjadi bebas dan tidak terikat. 4. Dhamma-nupassana (perenungan terhadap bentuk-bentuk pikiran). Di sini direnungkan bentuk-bentuk pikiran dengan sewajarnya, direnungkan bentukb entuk pikiran dari lima macam rintangan (nivarana), direnungkan bentuk-bentuk

pikiran dari lima kelompok faktor kehidupan (pancakkhandha), direnungkan bentukb entuk pikiran dari enam landasan indriya dalam dan luar (dua belas ayatana), direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari tujuh faktor Penerangan Agung (Satta Bojjhanga), dan direnungkan bentuk-bentuk pikiran dari Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani). Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima macam rintangan (nivarana) iala h bahwa apabila di dalam diri orang yang bermeditasi timbul nafsu keinginan, kemau an jahat, kemalasan dan kelelahan, kegelisahan dan kekhawatiran, atau keragu-raguan , maka hal itu harus disadari. Demikian pula apabila nivarana itu tidak ada di dal am dirinya, maka hal itu pun harus disadari. Ia tahu bagaimana bentuk-bentuk pikira n itu datang dan timbul. Ia tahu bagaimana sekali timbul, bentuk-bentuk pikiran itu ditaklukkan. Ia tahu bahwa sekali ditaklukkan, bentuk-bentuk pikiran itu tidak a kan timbul lagi kemudian. Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari lima kelompok faktor kehidupan (pancakkhandha) ialah dengan menyadari bahwa inilah bentuk jasmani, inilah peras aan, inilah pencerapan, inilah bentuk pikiran, inilah kesadaran. Ia tahu bagaimana ca ranya timbul dan bagaimana caranya lenyap. Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari enam landasan indriya dalam dan luar (dua bleas ayatana) ialah dengan menyadari bahwa inilah mata dan obyek bentuk, i nilah telinga dan obyek suara, inilah hidung dan obyek bau, inilah lidah dan obyek kec apan, inilah badan dan obyek sentuhan, inilah pikiran dan obyek pikiran. Ia tahu akan belenggu-belenggu yang timbul dalam hubungan dengan semua itu. Ia tahu bagaimana cara menaklukkan belenggu-belenggu itu. Ia tahu bagaimana caranya supaya belengg u yang telah dibuang itu tidak timbul lagi kemudian. Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari tujuh faktor Penerangan Agung (Satta Bojjhanga) ialah apabila di dalam diri orang yang bermeditasi timbul kesadaran ( sati), penyelidikan Dhamma yang mendalam (Dhamma-Vicaya), tenaga (viriya), kegiuran (piti), ketenangan (passadhi), pemusatan pikiran (samadhi), atau keseimbangan (upekkha), maka hal itu harus disadari. Ia tahu bilamana keadaan-keadaan ini tid ak ada di dalam dirinya. Ia tahu bagaimana cara timbulnya, dan bagaimana cara mengembangkannya dengan sempurna. Cara merenungkan bentuk-bentuk pikiran dari Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ari ya Saccani) ialah dengan menyadari berdasarkan kesunyataan bahwa inilah penderitaan , inilah asal mula dari penderitaan, inilah pemadaman dari penderitaan, inilah jal an menuju pemadaman dari penderitaan. Ia merenungkan masalah-masalah yang timbul dan hancur dari bentuk-bentuk pikiran. Akhirnya, ia hidup bebas tanpa ikatan dal am dunia ini. 2. SEPULUH MACAM VIPASSANUPAKILESA Vipassanupakilesa berarti kekotoran batin atau rintangan yang menghambat perkembangan Pandangan Terang, di dalam melaksanakan Vipassana Bhavana. Vipassanupakilesa ini ada sepuluh macam, yaitu : 1. Obhasa, ialah sinar-sinar yang gemerlapan, yang bentuk dan keadaannya bermaca

mmacam, yang kadang-kadang merupakan pemandangan yang menyenangkan. 2. Piti, ialah kegiuran, yang merupakan perasaan yang nyaman dan nikmat. Piti in i ada lima macam menurut keadaannya, yaitu : a. Khudaka Piti, ialah kegiuran yang kecil, yang suasananya seperti bulu badan y ang terangkat atau merinding. b. Khanika Piti, ialah kegiuran yang sepintas lalu menggerakkan badan. c. Okkantika Piti, ialah kegiuran yang menyeluruh, yang suasananya meriang di se luruh badan, seperti ombak laut memecah di pantai. d. Ubbonga Piti, ialah kegiuran yang mengangkat, yang suasananya seolah-olah mengangkat badan naik ke udara. e. Pharana Piti, ialah kegiuran yang menyerap seluruh badan, yang suasananya sel uruh badan seperti terserap oleh perasaan yang menakjubkan. 3. Passadi, ialah ketenangan batin, yang seolah-olah orang telah mencapai penera ngan sejati. 4. Sukha, ialah perasaan yang berbahagia, yang seolah-olah orang telah bebas dar i penderitaan. 5. Saddha, ialah keyakinan yang kuat dan harapan agar setiap orang juga seperti dirinya. 6. Paggaha, ialah usaha yang terlalu giat, yang lebih daripada semestinya. 7. Upatthana, ialah ingatan yang tajam, yang sering timbul dan mengganggu perkembangan kesadaran, karena tidak memperhatikan saat yang sekarang ini. 8. ana, ialah pengetahuan yang sering timbul dan mengganggu jalannya praktek meditasi. 9. Upekkha, ialah keseimbangan batin, dimana pikiran tidak mau bergerak untuk menyadari proses-proses yang timbul 10. Nikanti, ialah perasaan puas terhadap obyek-obyek. Sepuluh macam vipassanupakilesa ini biasanya timbul dalam perkembangan Sammasana-ana, yaitu ana yang ketiga. 3. EMPAT MACAM VIPALLASA-DHAMMA Vipallasa-Dhamma berarti kekhayalan, atau kepalsuan, atau kekeliruan yang berken aan dengan paham yang menganggap suatu kebenaran sebagai suatu kesalahan dan kesalahan sebagai suatu kebenaran. Vipallasa-Dhamma ini ada empat macam dan dapa t dibasmi dengan melaksanakan empat macam Satipatthana. Keempat macam Vipallasa-Dhamma itu ialah : 1. Subha-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, ya ng menganggap sesuatu yang tidak cantik sebagai cantik. Subha-Vipallasa ini dapat dibasmi dengan melaksanakan kaya-nupassana. 2. Sukha-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, ya ng menganggap sesuatu yang derita sebagai bahagia. Sukha_Vipallasa ini dapat dibasm i dengan melaksanakan vedana-nupassana. 3. Nicca-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, ya ng menganggap sesuatu yang tidak kekal sebagai kekal. Nicca-Vipallasa ini dapat dib asmi dengan melaksanakan citta-nupassana. 4. Atta-Vipallasa, yaitu kekeliruan dari pencerapan, pikiran, dan pandangan, yan g menganggap sesuatu yang tanpa aku sebagai aku. Atta-Vipallasa ini dapat dibasmi

dengan melaksanakan Dhamma-nupassana. 4. ENAM BELAS MACAM ANA ana berarti pengetahuan. Apabila orang tekun melaksanakan Vipassana Bhavana, maka akan berkembanglah ana di dalam dirinya. ana itu ada enam belas macam, yaitu : 1. Nama-Rupa Pariccheda ana, ialah pengetahuan mengenai perbedaan nama (batin) dan rupa (materi). 2. Paccaya Pariggaha ana, ialah pengetahuan mengenai hubungan sebab dan akibat dari nama dan rupa. 3. Sammasana ana, ialah pengetahuan yang menunjukkan nama dan rupa sebagai Tilakkhana (Tiga Corak Umum), yaitu anicca (ketidak-kekalan), dukkha (derita), a natta (tanpa aku). 4. Udayabbaya ana, ialah pengetahuan mengenai timbul dan lenyapnya nama dan rupa. 5. Bhanga ana, ialah pengetahuan mengenai peleburan/pelenyapan nama dan rupa. 6. Bhaya ana, ialah pengetahuan mengenai ketakutan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa. 7. Adinava ana, ialah pengetahuan mengenai kesedihan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa. 8. Nibbida ana, ialah pengetahuan mengenai keengganan yang berkenaan dengan sifat nama dan rupa. 9. Muncitukamyata ana, ialah pengetahuan mengenai keinginan untuk mencapai kebebasan. 10.Patisankha ana, ialah pengetahuan mengenai penglihatan akan jalan yang menuju kebebasan, yang menimbulkan keputusan untuk berlatih terus dengan bersemangat. 11.Sankharupekkha ana, ialah pengetahuan mengenai keseimbangan tentang semua bentuk-bentuk kehidupan. 12.Anuloma ana, ialah pengetahuan mengenai penyesuaian diri dengan Ariya-Sacca (Empat Kesunyataan Mulia), sebagai persiapan untuk memasuki magga (Jalan), mencapai phala (hasil) dari magga itu, dan mendekati Nirvana, dengan melalui ani cca, dukkha, dan anatta. 13.Gotrabhu ana, ialah pengetahuan mengenai pemotongan atau pemutusan keadaan duniawi, dan Nirvana sebagai obyek dari pikiran. 14.Magga ana, ialah pengetahuan mengenai penembusan terhadap magga, dimana kilesa atau kekotoran batin telah dilenyapkan. 15.Phala ana, ialah pengetahuan mengenai pembabaran phala yang merupakan hasil dari penembusan terhadap magga, dan Nirvana sebagai obyek batinnya. 16.Paccavekkhana ana, ialah pengetahuan mengenai peninjauan terhadap sisa-sisa kilesa atau kekotoran batin yang masih ada. Enam belas macam ana tersebut di atas diuraikan agak terperinci seperti di bawah ini. 1. Nama-Rupa Pariccheda ana Dengan memiliki ana ini, seseorang dapat membedakan nama dari rupa dan rupa dari nama. Umpamanya, dalam melaksanakan Vipassana Bhavana, naik dan turunnya rongga perut ketika bernapas adalah rupa, sedangkan pikiran yang mengetahui pros es itu adalah nama. Gerakan kaki ketika berjalan adalah rupa, sedangkan kesadaran terhadapa hal itu adalah nama. Mengenai membedakan nama dan rupa yang berkenaan dengan panca-indera, dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Dalam melihat bentuk atau warna, bentuk atau warna itu adalah rupa, dan kesad aran terhadap hal itu adalah nama. b. Dalam mendengar bunyi, bunyi itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama. c. Dalam mencium bau, bau itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama.

d. Dalam mencicipi sesuatu, rasa itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama. e. Dalam menyentuh suatu benda yang dingin, panas, keras, atau lunak, benda itu adalah rupa, dan kesadaran terhadap hal itu adalah nama. Jadi, kesimpulannya ialah bahwa seluruh badan ini adalah rupa, dan pikiran adala h nama. Yang ada hanya rupa dan nama. Tak ada sesuatu yang disebut makhluk, tak ad a pribadi, aku, dia, dan lain-lainnya. 2. Paccaya Pariggaha ana Dalam beberapa hal, rupa merupakan sebab, dan nama merupakan akibat. Jadi, kalau rongga perut naik, maka kesadaran akan mengikutinya. Namun, dalam hal lain, nama merupakan sebab, dan rupa merupakan akibat. Jadi, kalau pikiran bergerak, maka g erak jasmani akan mengikutinya. Keinginan duduk merupakan sebab, dan duduk adalah akibatnya. Rongga perut mungkin naik, tetapi tidak ada turun. Rongga perut mungkin turun de ngan keras dan tinggal diam dalam keadaan itu. Naik turunnya rongga perut hilang, tet api kalau dirasakan dengan tangan, proses itu masih tetap ada. Sewaktu-waktu ada perasaan yang sangat tertekan dan kadang-kadang agak kurang, atau merasa diri tidak berhasil. Sering diganggu oleh pemandangan atau khayalan, seperti binatang liar, gunung-gunung, dan lain-lain. Naik turunnya perut dan bekerjanya proses kesadaran itu berlangsung dengan terat ur. Kadang-kadang orang dapat terkejut, bergoyang ke muka atau ke belakang. Akhirnya , orang dapat merasakan bahwa kehidupan yang lampau, yang sekarang, dan yang akan datang hanya terbentuk dari rangkaian sebab dan akibat, dan hanya terdiri atas n ama dan rupa. 3. Sammasana ana Dengan memiliki ana ini, seseorang dapat merasakan nama dan rupa melalui pancaind era sebagai Tilakkhana (Tiga Corak Umum), yaitu, Anicca (ketidak-kekalan), Dukkha (derita), dan Anatta (tanpa aku). Gerak naiknya perut dan gerak turunnya perut ada tiga bagian, yaitu upada (terja di), thiti (berlangsung), dan bhanga (lenyap). Naik turunnya perut dapat lenyap seben tar atau dalam waktu yang lama. Pernapasan dapat berlangsung cepat, pelan, halus, at au tertahan. Timbul perasaan tertekan, yang hanya dapat lenyap setelah disadari beberapa kali dengan perlahan-lahan. Pikiran menjadi kacau, yang memperlihatkan adanya kesadar an terhadap Tilakkhana itu. 4. Udayabbaya ana Dengan memiliki ana ini, seseorang dapat menyadari bahwa gerakan naik turunnya perut itu terdiri atas dua, tiga, empat, lima, atau enam tingkat. Naik dan turunnya perut lenyap berselang-seling. Berbagai perasaan lenyap setela h disadari beberapa kali. Terlihat cahaya yang terang, seperti lampu listrik. Permulaan dan pengakhiran dari gerakan naik turunnya perut lebih terasa. Akhirny a, orang akan merasakan bahwa ketika pernapasan berhenti pada waktu beristirahat ya ng

berulang-ulang, badan seperti jatuh ke dalam jurang yang sangat dalam, atau terb ang dengan pesawat terbang, atau naik dengan lift, tetapi sebenarnya badan masih tet ap diam dan tak bergerak. 5. Bhanga ana Pengakhiran dari gerak naik turunnya perut lebih terasa. Naik turunnya perut ter asa samar-samar, terasa lenyap, dan kadang-kadang terasa tidak ada apa-apa. Gerakan naik turun dan kesadaran/pikiran (citta) terasa seolah-olah lenyap. Pert amatama, rupa (materi/jasmani) yang mengendap, tetapi citta masih bergema. Kemudian, gerakan naik turun segera lenyap, demikian pula kesadarannya. Jadi, citta dan ob yeknya lenyap bersama-sama. Terasa panas seluruh badan. Terasa diri seperti ditutupi dengan jaring. Segala s esuatu kelihatannya seolah-olah dalam suasana yang penuh kesuraman, sangat kabur, dan remang-remang. Kalau melihat pada langit, seolah-olah ada getaran-getaran di uda ra. Gerakan naik dan turun sekonyong-konyong berhenti dan sekonyong-konyong timbul lagi. 6. Bhaya ana Timbul perasaan takut, tetapi tidak seperti takut ketika melihat hantu atau seta n. Tidak merasa bahagia, senang, gembira, atau nikmat. Terasa sakit pada urat-urat syaraf , terutama pada waktu berjalan atau berdiri. Terdapat bahaya dari perubahan-perubahan yang terus menerus di dalam semua bentu k kehidupan. Semua bagian dari benda-benda ini menakutkan. Nama dan rupa yang dianggap sebagai sesuatu yang bagus atau indah, sebenarnya tidak mempunyai intisari, dan kosong sama sekali. Setelah nama dan rupa lenyap, tidak ada lagi yang menimbulkan rasa takut. 7. Adinava ana Gerakan naik turun menghilang sedikit demi sedikit, dan kelihatannya hanya samar samar dan suram. Nama dan rupa muncul dengan cepatnya, tetapi dapat juga disadari. Diri terasa buruk, jelek, dan membosankan. Semua bentuk batin dan fisik menyedih kan. 8. Nibbida ana Semua obyek kelihatan membosankan dan jelek. Terasa seperti malas, tetapi kemampuan untuk mengenal atau menyadari sesuatu masih berjalan dengan baik. Tak ada keinginan untuk bertemu atau bercakap-cakap dengan orang lain, dan lebih sen ang tinggal di kamar sendiri saja. Orang merasa bahwa keinginan-keinginan atau cita-citanya yang dahulu, seperti kemasyhuran, kemewahan, kemegahan, dan lain-lainnya tidak lagi merupakan kesenangan dan kegembiraan, bahkan berubah menjadi kebosanan setelah menyadari sendiri bahwa manusia itu tercengkeram dan terseret ke dalam kelapukan. Semua manusia dan makhluk lain, bahkan para dewa dan para brahma tidak ada yang terkec uali semasih diliputi oleh bentuk-bentuk ini, di mana masih ada kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian, dan tidak terdapat perasaan kenikmatan yang sejati. Kebosanan timb ul sebagai dorongan yang keras untuk mencari Nibbana. 9. Muncitukamyata ana Seluruh badan merasa gatal, seperti digigit-gigit semut, atau seperti ada binata

ng kecil yang merayap pada muka dan badan. Terasa kurang senang, gelisah dan bosan. Ada keinginan pergi dan menghentikan latihan meditasinya. Ada pula yang ingin pulang karena merasa bahwa paramitanya atau perbuatan-perbuatan baiknya belum cukup kua t. 10.Patisankha ana Terasa ditusuk-tusuk di bawah kulit dengan benda-benda tajam di seluruh badan. Timbul bermacam-macam perasaan yang mengganggu, tetapi setelah disadari dua atau tiga kali, semua itu menjadi lenyap. Terasa mengantuk. Badan menjadi kaku, tetap i pikiran masih aktif dan pendengaran masih bekerja. Badan terasa seperti ditindih batu atau kayu. Seluruh badan terasa panas. Muncul perasaan tak senang. 11.Sankharupekkha ana Tidak ada perasaan takut, tidak ada perasaan senang, tetapi agak seperti acuh ta k acuh. Naik turunnya perut hanya disadari sebagai nama dan rupa saja. Tidak ada perasaa n gembira atau perasaan sedih, tetapi pikiran dan kesadaran pada saat itu tetap te rang. Ingatan, pengenalan, atau kesadaran tidak mengalami kesukaran-kesukaran.Konsentr asi pikiran berjalan baik, tetap tenang dan halus dalam jangka waktu yang lama, sepe rti sebuah mobil yang berjalan di atas jalan yang datar dan rata. Ada perasaan puas dan mungkin lupa dengan waktu. Samadhi atau konsentrasi menjadi kuat dan lekat, sepe rti adonan tepung yang diremas-remas oleh tukang roti yang pandai. Dapat dikatakan bahwa penyadaran dan pengenalan di dalam nama ini berlangsung dengan mudah dan memuaskan. Orang mungkin dapat lupa dengan waktu yang telah dilewatinya dalam latihan itu. Mungkin ia telah duduk selama satu jam atau lebih , padahal mulanya ia ingin bermeditasi hanya 30 menit saja. 12.Anuloma ana Di sini Anuloma ana diuraikan dalam bentuk Tilakkhana (anicca, dukkha, anatta) sebagai berikut : a. Anicca : orang yang biasa melatih diri dalam kebersihan atau kesucian dan sil a-sila akan mencapai magga melalui perenungan tentang anicca. Gerakan naik turun perut menjadi cepat, tetapi sekonyong-konyong berhenti. Ia menyadari atau mengetahui dengan terang tentang gerakan naik turun itu yang berhenti, menyadari sikap dudu k atau sentuhan-sentuhan badannya dengan jelas. Keadaan pernapasan yang cepat itu adala h corak anicca, dan pengenalan atau kesadaran terhadap proses berhentinya pernapas an ini adalah anuloma-ana, tetapi janganlah hendaknya ragu-ragu atau dipikir-pikirka n. Proses berhenti ini harus disadari dengan nyata. b. Dukkha : Orang yang biasa melatih diri dalam Samatha (meditasi ketenangan) ak an mencapai magga melalui perenungan tentang dukkha. Kalau ia berlatih menyadari na ik turunnya perut, sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan, maka hal itu aka n terhalang. Kalau ia terus melanjutkan menyadari naik turunnya perut, sikap duduk , atau sentuhan-sentuhan pada badan, maka terjadilah proses berhenti. Keadaan pernapasa n

yang terhalang itu adalah corak dari dukkha, dan pengenalan atau kesadaran terha dap proses berhentinya gerakan naik turun ini, atau terhadap sikap duduk, atau sentu hansentuhan pada badan itu adalah anuloma-ana. c. Anatta : Orang yang biasa melatih diri dalam Vipassana (meditasi pandangan te rang), atau senang dengan Vipassana dalam kehidupannya yang dulu-dulu, akan mencapai magga melalui perenungan tentang anatta. Jadi, naik turunnya perut menjadi tenan g dan teratur, jangka waktu dari gerakan naik dan gerakan turun sama, dan kemudian ber henti. Gerak naik turunnya perut, atau sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada badan kelihatan dengan terang. Keadaan pernapasan yang halus dan teratur itu adalah co rak dari anatta, dan pengenalan atau kesadaran yang terang terhadap proses berhentin ya gerakan naik turun ini, atau terhadap sikap duduk, atau sentuhan-sentuhan pada b adan itu adalah anuloma-ana. 13. Gotrabhu ana Nama-rupa bersama-sama dengan citta (pikiran) yang mengetahui proses berhenti it u menjadi diam, tenang, aman, dan damai. Ini berarti bahwa orang telah mendapat penerangan dengan nibbana sebagai obyeknya. Jadi, kalau pencerapan mulai pecah d an lenyap, maka gotrabhu-ana tercapai. 14.Magga ana Magga timbul langsung pada saat perasaann pecah dan pencerapan kilesa hancur aki bat dari putusnya belenggu-belenggu, seperti Sakayaditthi (kekhayalan dari aku), Vicikiccha (keragu-raguan), Silabbataparamasa (ketahyulan tentang upacara). 15.Phala ana Phala-ana adalah hasil dari magga, yang muncul langsung setelah timbulnya maggaana . Dalam beberapa saat, dua atau tiga saat, yang menjadi obyek phala-citta adalah nibbana. ana ini bersifat lokuttara. 16.Paccavekkhana ana Paccavekkhana-ana terdiri atas pertimbangan-pertimbangan mengenai masih adanya kilesa (kekotoran batin). Dalam hal ini terdapat lima macam pertimbangan sebagai berikut : a. Pertimbangan mengenai magga, yang berarti bahwa kita telah tiba pada magga in i. b. Pertimbangan mengenai phala, yang berarti bahwa kita telah mencapai phala ata u hasil ini. c. Pertimbangan mengenai kilesa yang telah dihancurkan, yang berarti kita telah menghancurkan semua kilesa. d. Pertimbangan mengenai kilesa yang belum dihancurkan, yang berarti kita masih memiliki kilesa. e. Pertimbangan mengenai nibbana, yang berarti bahwa Dhamma tertentu telah kita capai untuk menuju ke Nibbana sebagai obyek pikiran. Demikian proses tersebut dapat timbul di dalam diri seseorang dan dapat disadari dengan seksama, jika orang melaksanakan Vipassana Bhavana. __________________ PURPOSE OF PRACTISING KAMATTHANA MEDITATION (Perbedaan Antara Samatha & Vipassana) Penulis Asli : Mahasi Sayadaw Bhadanta Sobhana, Sasanadhaja-siri-pavara-dhammacariya, Agga-mahapandita, Chattha-sangiti-pucchaka;

Namo Tassa Bhagavato Arahato Samma Sambuddhassa Penuh hormat kepada Bhagava, Yang Suci Mulia, Yang telah merealisasi pencerahan secara mandiri PURPOSE OF PRACTISING KAMATTHAANA MEDITATION (Perbedaan Antara Samattha & Vipassana) I. TUJUAN UTAMA MEDITASI AJARAN BUDDHA Apakah tujuan melaksanakan latihan meditasi? Latihan meditasi dilaksanakan untuk tujuan terbebas dari penderitaan kehidupan u sia tua, sakit, mati dan seterusnya, merealisasi Nibbana. Semua makhluk hidup ingin hidup berumur panjang tanpa kekerasan, hidup dengan damai, gembira, dan sejahtera tanpa penderitaan usia tua, sakit, mati, dan pende ritaan kehidupan lainnnya; namun mereka selalu sia-sia menemukan harapannya itu. Selama masih di dalam roda kehidupan, masih selalu dijumpai usia tua, sakit, kesedihan dan ratapan dikarenakan banyak bahaya dan kejahatan, baik penderitaan fisik dan kelu han mental/batin. Kemudian, setelah menderita rasa yang amat sangat dan penderitaan yang amat berat, diikuti oleh kematian. Dan, itupun tidak berakhir di dalam kematian. Lagi-lagi, terdapat kelahiran dika renakan kemelekatan untuk menjadi (berwujud). Di dalam kehidupan baru ini mereka pun menjadi korban usia tua, dan penderitaan lainnya. Di dalam cara seperti ini, mer eka berkelana di dalam lingkaran tumimbal lahir dari kehidupan ke kehidupan lain, menderita semua jenis derita kehidupan dan tanpa henti. Di dalam mencari sebab u tama (akar) dari peristiwa itu menjadi tampak nyata bahwa dikondisikan oleh kelahiran , di sana mengikuti rangkaian : usia tua, sakit, mati, dan penderitaan kehidupan lain nya. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mencegah tumimbal lahir yang berkelanju tan apabila ingin terbebas dari penderitaan kehidupan di dalam usia tua dan sebagain ya. Tumimbal lahir terjadi dikarenakan kemelekatan yang terkandung di dalam kehidupa n ini. Kelahiran yang baru hanyalah munculnya sebuah kesadaran yang merupakan hasi l dari kemelekatan terhadap objek dari kehidupan sebelumnya. Apabila tidak terdapa t kemelekatan, maka tidak akan ada kelahiran baru; oleh karena itu setiap usaha ha rus ditujukan untuk terbebas dari kemelekatan apabila tidak menginginkan kelahiran y ang baru. Kemelekatan terhadap kehidupan ini tidak berlangsung karena dua alasan : pertama karena tidak mengerti ketidakpuasan/penderitaan batin dan jasmani, dan kedua kar ena tidak merealisasi bahwa Nibbana jauh lebih luhur bila dibandingkan dengan jenis kebahagiaan lainnya. Sebagai contoh, mirip kasus seseorang yang hidup di daerah yang gersang dan menyedihkan yang dikelilingi oleh banyak bahaya. Secara alamiah ia berpikir meluhurkan desanya itu dan memiliki kemelekatan yang kuat terhadapnya karena ia tidak memiliki pengetahuan yang jelas akan kekurangan daerahnya dan kondisi yang lebih baik dari tempat lainnya. Apabila ia mulai mengetahui kenyataan-kenyataan secara penuh, daerahnya tidak la gi

menarik baginya dan ia akan serta merta pindah ke daerah yang baru. Demikian pul a, sangatlah penting untuk mencoba mengerti kondisi tak memuaskan dari batin dan jasmani yang menguasai kehidupan ini dan secara mandiri merealisasi superioritas Nibbana dengan sebuah pandangan untuk menghancurkan secara total kemelekatan terhadap kehidupan. Pengetahuan ini dapat diperoleh melalui latihan meditasi yan g tepat. Oleh karena itu, setiap orang yang menginginkan untuk terbebas dari pende ritaan akibat usia tua, kematian dan sebagainya dan merealisasi Nibbana secara mandiri seyogyanya melaksanakan latihan meditasi. II. PEMBAGIAN MEDITASI AJARAN BUDDHA Meditasi dibagi menjadi dua bagian : 1. Samatha kammatthana 2. Vipassana kammatthana 1. Latihan samattha-kammatthana akan mengembangkan faktor batin atas delapan pencapaian duniawi (lokiya-samapatti) yang terdiri dari 4 jenis rupa-jhana dan 4 arupajhana. Latihan yang berulangkali atas kondisi di dalam jhana ini akan membawa lima kemahiran batin duniawi luar biasa (abhinna 5) sebagai berikut : * Iddhi-vidha-abhinna .... kekuatan dari satu menjadi banyak dan dari banyak men jadi satu lagi. Kekuatan untuk menembus dinding atau gunung tanpa rintangan, seolah d i udara. Kekuatan untuk berjalan di atas air tanpa tenggelam, seolah seperti berja lan di atas tanah. Kekuatan untuk memasuki/ menyelam ke dalam tanah dan muncul lagi di permukaan tanah, seolah seperti ke/ dari dalam air. Kekuatan untuk terbang denga n kaki bersila ke angkasa, seolah seperti burung yang memiliki sayap. Kekuatan untuk menyentuh matahari dan bulan dengan menggunakan tangan. * Dibba-sota-abhinna .... Telinga dewa, kekuatan untuk mendengarkan suara baik suara manusia maupun makhluk surgawi, jauh maupun dekat. * Ceto-pariya-abhinna .... Kekuatan untuk mengetahui pikiran orang lain. * Pubbe-nivassa-abhinna .... Kekuatan untuk mengetahui kejadian kehidupan lampau seseorang. * Dibba-cakkhu-abhinna .... Mata dewa, kekuatan untuk melihat semua bentuk bentu k dan warna yang jauh maupun dekat, baik besar maupun kecil. Memiliki atribut-atribut ini tetap tidak akan menjamin/membawa ke kebebasan dari ketidakpuasan kehidupan, usia tua, kematian dan seterusnya. Kematian seseorang y ang mamiliki jhana secara utuh akan menyebabkan tumimbal lahir di alam para Brahma yang jangka waktu kehidupannya sangat panjang; bisa satu usia dunia atau dua kal i atau empat kali atau delapan kali usia dunia dan seterusnya, sesuai kasus per kasus. 2. Melalui latihan Vipassana-kammatthana seseorang dapat merealisasi Nibbana dan memenangkan kebebasan mutlak dari penderitaan kehidupan. Vipassana-kammatthana dibagi menjadi dua sub bagian, yaitu : Samattha-yanika, seseorang yang mengambil dasar permulaan latihan samatha kammatthana untuk merealisasi Nibbana. Suddha-vipassana-yanika, seseorang yang secara langsung melatih vipassana kammatthana untuk merealisasi Nibbana, tanpa melalui awal samatha kammatthana. __________________ III. EMPAT PULUH POKOK/SUBJEK MEDITASI Di dalam naskah, terdapat empat puluh pokok/subjek meditasi, beberapa di antaran ya dapat digunakan sebagai latihan dasar samatha untuk melaksanakan latihan vipassa na. Empat puluh pokok/subjek meditasi itu adalah :

1. 10 kasina (alat permenungan) 2. 10 asubha (ketidakmurnian) 3. 10 anussati (perenungan) 4. 4 Brahma vihara (sikap batin luhur) 5. 4 arupa (tahapan arupa jhana) 6. 1 Ahare-patikula-sanna (perenungan atas makanan yang menjijikan) 7. 1 Catu-dhatu-vavatthana (analisis empat unsur) Sepuluh kasina terdiri dari : 1. Kasina tanah (Pathavi) 2. Kasina air (Apo) 3. Kasina api (Tejo) 4. Kasina udara (Vayo) 5. Kasina warna biru gelap (Nila) 6. Kasina warna kuning (Pita) 7. Kasina warna merah darah (Lohita) 8. Kasina warna putih (Odata) 9. Kasina cahaya (Aloka) 10. Kasina ruang terbatas (Akasa) Sepuluh Asubha terdiri dari : 1. Sebuah mayat membiru (Vinilaka) 2. Sebuah Mayat membengkak (Uddhumataka) 3. Sebuah Mayat terinfeksi/bernanah (Vipubbaka) 4. Sebuah Mayat terbelah dua (Vicchiddaka) 5. Sebuah mayat yang telah digigit binatang buas (Vikkhayittaka) 6. Sebuah mayat yang terserak hancur (Hatavikkhittaka) 7. Sebuah mayat yang terpotong-potong dan berserakan (Vikkhittaka) 8. Sebuah mayat yang berdarah (Lohitaka) 9. Sebuah mayat yang terinfeksi cacing/belatung (Puluvaka) 10. Sebuah tengkorak (Atthika) Sepuluh Anussati terdiri dari : 1. Perenungan terhadap kualitas-kualitas Buddha (Buddhanusati) 2. Perenungan terhadap kualitas-kualitas Dhamma (Dhammanussati) 3. Perenungan terhadap kualitas-kualitas Sangha (Sanghanussati) 4. Perenungan terhadap kemoralan seseorang (Silanussati) 5. Perenungan terhadap kemurah-hatian seseorang (Caganussati) 6. Perenungan terhadap kualitas untuk tumimbal lahir sebagai dewa (Devatanussati ), yaitu keyakinan teguh (saddha), kemoralan (sila), kemauan belajar dan mendengark an Dhamma (suta), kemurah-hatian (cage) dan kebijaksanaan (panna) 7. Perenungan terhadap Nibbana (Upasamanussati) 8. Perenungan akan kepastian kematian (Marananussati) 9. Perenungan atas 32 (tiga puluh dua) bagian tubuh (Kayagatasati), seperti : ra mbut, bulu tubuh, kuku, gigi, kulit, dan seterusnya. 10. Perenungan terhadap kaluar dan masuknya nafas (Anapanasati) Empat Brahma Vihara terdiri dari : 1. Cinta kasih yang universal terhadap semua makhluk (metta) 2. Belas kasih terhadap makhluk menderita (karuna) 3. Simpati atas keberhasilan / pencapaian makhluk lain (mudita) 4. Keseimbangan batin sempurna (upekkha) ..... Berdiam dengan batin yang dipenuhi oleh cinta kasih universal yang diarahk an ke arah pertama, kemudian ke arah kedua. Kemudian ke arah ketiga. Kemudian ke arah keempat, demikan pula, ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling dan ke segala penjur u kepada semua makhluk, seperti terhadap dirinya. Ia memancarkan ke segenap dunia dengan batin dipenuhi oleh cinta kasih universal, batin yang lapang, berkembang, tanpa batas, terbebas dari kebencian dan niat jahat . dengan batin yang dipenuhi oleh

belas kasihan, oleh sikap simpati terhadap pencapaian/keberhasilan mahluk lain, dan oleh keseimbangan yang sempurna ...... (Jivaka Sutta, Majjhima Nikaya, Sutta Pitaka). Empat Arupa, terdiri dari : 1. Berdiam dalam permenungan atas kondisi ruangan yang tanpa batas (Akasanancayatana) 2. Berdiam dalam permenungan atas alam kesadaran yang tak terbatas (Vinnanancayatana) 3. Berdiam dalam permenungan atas alam kekosongan (Akincannayatana) 4. Berdiam dalam permenungan atas kondisi alam bukan pencerapan juga bukan pencerapan (Nevasannanasannayaatana) 1 aharapatikulasaa (satu perenungan terhadap makanan yang menjijikkan) Dalam satu aharapatikulasaa, direnungkan bahwa makanan adalah barang yang menjijikkan bila telah berada di dalam perut; direnungkan bahwa apapun yang tela h dimakan, diminum, dikunyah, dicicipi, semuanya akan berakhir sebagai kotoran (ti nja) dan air seni (urine). 1 catudhatuvavatthana (satu analisa terhadap keempat unsur yang ada di dalam badan jasmani) Dalam satu catudhatuvavatthana, direnungkan bahwa di dalam badan jasmani terdapa t empat unsur materi, yaitu : 1. Pathavi-dhatu (unsur tanah atau unsur padat), ialah segala sesuatu yang bersi fat keras atau padat. Umpamanya : rambut kepala, bulu badan, kuku, gigi, dan lain-lain. 2. Apo-dhatu (unsur air atau unsur cair), ialah segala sesuatu yang bersifat ber hubungan yang satu dengan yang lain atau melekat. Umpamanya : empedu, lendir, nanah, dara h, dan lain-lain. 3. Tejo-dhatu (unsur api atau unsur panas), ialah segala sesuatu yang bersifat p anas dingin. Umpamanya : setelah selesai makan dan minum, atau bila sedang sakit, bad an akan terasa panas dingin. 4. Vayo-dhatu (unsur angin atau unsur gerak), ialah segala sesuatu yang bersifat bergerak. Umpamanya : angin yang ada di dalam perut dan usus, angin yang keluar masuk waktu bernapas, dan lain-lain IV. DESKRIPSI SINGKAT LATIHAN SAMATHA-KAMMATTHANA 1. Pathavi Kasina Kammattha dan pencapaian Jhana Seseorang yang mengambil subjek meditasi dengan memilih Kasina tanah (Pathavikas ina) untuk permenungannya. Seyogyanya memperhatikan sebongkah tanah di atas tanah atau alat berupa segumpal tanah yang merenungkannya dengan mengatakan di dalam batin: pathavi, pathavi, pathavi atau tanah , tanah , tanah . Setelah merenungkan berulang kali untuk sejumlah waktu tertentu, gambaran alat-tanah yan g kuat dan jelas akan muncul di dalam batin seolah-olah dilihat langsung oleh inde ra penglihatan (mata). Penampilan gambaran batin ini disebut Uggaha-nimitta (bayangan yang diperoleh). Segera setelah bayangan (nimitta) ini menjadi kuat dan stabil di dalam batin, ia dapat pergi ke mana pun dan mengambil posisi apa saja, baik posisi duduk, berjalan, be rdiri atau berbaring. Ia seyogyanya kemudian melanjutkan untuk merenungkan Uggahanimit ta itu dengan mengatakan dalam batin pathavi, pathavi, pathavi atau tanah,

tanah, tanah . Selama waktu permenungan ini dapat terjadi bahwa batin tidak tetap terfokus pada objeknya namun sering kali mengembara/ melayang-layang mengalami objek lainnya dalam hal-hal sebagai berikut : 1. Batin sering berfikir akan objek-objek yang diinginkan nafsu indera. Ini adal ah Kamacchanda-nivarana (rintangan batin keinginan nafsu indera). 2. Batin sering bercokol pada pikiran-pikiran sedih dan marah. Ini adalah Vyapad anivarana (rintangan batin keinginan jahat / niat buruk). 3. Terdapat kekenduran di dalam permenungan dan batin sering bosan dan kabur. In i adalah Thina-middha-nivarana (rintangan batin kemalasan dan kelambanan batin). 4. Batin sering tidak stabil namun gelisah, dan batin sering khawatir dalam merenungkan dalam merenungkan perbuatan buruk melalui ucapan dan tindak-tanduk jasmani yang telah lampau. Ini adalah Uddhaca-kukkucca-nivarana (rintangan batin kegelisahan dan kekhawatiran). 5. Batin sering memikirkan apakah permenungan yang sedang dilakukan ini adalah sebuah metode yang benar. Apakah metode ini dapat membawa hasil yang bermanfaat. Apakah ada kesempatan untuk meraih hasil yang baik. Ini adalah Vicikiccha-nivaran a (rintangan batin keraguan skeptis). Kelima rintangan (nivarana) ini seyogyanya dipotong segera setelah mereka muncul dan batin seyogyanya kembali mengambil objek ugghana-nimitta misalnya dengan merenungkan sebagai: pathavi, pathavi, pathavi atau tanah, tanah, tanah . Apabila batin kehilangan ugghana-nimitta sebagai objek, maka ia seyogyanya kembali ke te mpat asal alat-tanah itu dan melakukan perenungan lagi: pathavi, pathavi, pathavi atau tanah, tanah, tanah seperti yang dilakukan pada permulaan latihan. Kemudian ia seyogyanya kembali ke tempat yang sama dan melanjutkan dengan permenungan di dalam berbagai posisi tubuh, baik duduk, berdiri, berbaring maupun berjalan. Dengan melakukan permenungan demikian terhadap objek uggaha-nimitta secara berulang-ulang dalam waktu yang cukup lama, objek tersebut akan 'terlihat' jelas dan mirip penampilan kristal tidak seperti penampakan awalnya. Ini disebut 'Patibhag animitta' (bayangan keseimbangan). Kondisi batin seperti ini dikenal dengan 'Upacarasamadh i' (konsentrasi berdekatan). Kini, dengan secara berkesinambungan batin berada dalam Upacara-samadhi dengan objeknya Patibhaga-nimitta, batin mencapai satu keadaan seolah tenggelam ke dalam objek dan berdiam secara menetap di dalamnya. Tahap ketetapan dan kestabilan batin ini dikenal sebagai 'Appana-samadhi' (konse ntrasi pencapaian). Terdapat empat jenis Appana-samadhi untuk rupa jhana, yaitu: (a) Jhana pertama, (b) Jhana kedua, (c) Jhana ketiga, (d) Jhana keempat . a) Di dalam jhana pertama lima faktor batin yang hadir secara nyata adalah: * Faktor batin yang berfungsi dalam penerapan/ perenungan awal/ pengarahan terha dap objek (vitakka) * Faktor batin yang berfungsi dalam penerapan penambatan terhadap objek (vicara) * Faktor batin yang berfungsi dalam menimbulkan suka cita/ kegiuran (piti) * Faktor batin yang berfungsi dalam menimbulkan kegembiraan (sukkha) * Faktor batin yang berfungsi dalam konsentrasi terfokus kuat terhadap objek (ekaggata) b) Seseorang yang telah mencapai tahap Jhana pertama dan ahli, melihat ketidakpu asan di dalam dua faktor batin pertama di atas, yaitu vitakka dan vicara, melanjutkan lagi melakukan perenungan untuk mengatasi kedua faktor batin tadi, dan berhasil menca pai

tahap jhana kedua, yang kondisi faktor batin paling menonjolnya ada tiga, yaitu piti, sukha, dan ekaggata. c) Dengan melihat ketidakpuasan yang terdapat di dalam piti ia melanjutkan dengan perenungannya untuk mengatasi piti dan berhasil mencapai tahap jhana ketiga yang kondisi faktor batin paling menonjolnya ada dua, yaitu sukha dan ekaggata. d) Dengan melihat ketidakpuasan yang terdapat di dalam sukha ia melanjutkan dengan perenungan untuk mengatasi faktor batin sukha tersebut dan berhasil mencapai tah ap jhana keempat yang kondisi faktor batin paling menonjolnya ada dua, yaitu upekkha (keseimbangan) dan ekaggata. Inilah diskripsi singkat cara untuk merenungkan Pathavi kasina dan pengembangan bertahap keempat tingkat jhana. Hal yang sama dapat dilakukan untuk kasina yang lain. Di dalam hal seseorang yang memilih salah satu pokok meditasinya Asubha sebagai subjek konsentrasinya, ia seyogyanya melihat ke arah seonggok mayat membengkak, atau mayat membiru, dan seterusnya, dan merenungkan dengan mengatakan di dalam batin 'mayat membengkak, mayat membengkak,' 'mayat membiru, mayat membiru', dan seterusnya. Ia seyogyanya kemudian melaksanakan perenungan di dalam cara yang sama seperti kasus pathavi-kasina. Perbedaan yang ada adalah bahwa perenugan sub jek Asubha hanya akan mengantarkan untuk pencapaian tingkat Jhana pertama. Perenungan terhadap 32 bagian tubuh, (Kayagata-sati) juga hanya akan mengantarka n untuk pencapaian tingkat Jhana pertama. Delapan perenungan yang terdiri dari Buddhanussati sampai dengan marananussati; makanan yang menjijikan (aharepatikkula-sanna); dan analisa empat unsur (catu-dh atuvavatthana) akan membawa hanya sampai tahap upacara-samadhi. Tiga dari empat Brahma vihara, yaitu metta, karuna dan mudita akan membawa sampa i dengan tingkat Jhana ketiga, namun seseorang yang telah melakukan meditasi melal ui perenungan satu dari tiga brahma vihara ini yang telah mencapai tingkat jhana ke tiga, juga akan mencapai tingkat jhana keempat dengan melaksanakan perenungan brahma vihara keempat, yaitu upekkha. Mereka yang telah mencapai tingkat jhana keempat melalui permenungan kasina, aka n mencapai tingkat-tingkat 4 Arupa Jhana dengan merenungkan empat Arupa secara berurutan. 2. Anapana-sati Kammatthana Seseorang yang memilih Anapanasati sebagai subjek perenungan seyogyanya tinggal di tempat yang sunyi dan duduk dengan kaki bersila atau di dalam cara yang nyaman sehingga dapat duduk di dalam jangka waktu yang cukup lama, dengan badan yang tegak, dan kemudian menetapkan perhatiannya pada celah/lubang hidung. Ia kemudia n akan mengetahui secara jelas sensasi sentuhan di ujung hidung atau di sisi sebel ah atas bibir, yang disebabkan oleh kontak berkesinambungan dari aliran nafas masuk dan keluar. Aliran ini seyogyanya diamati pada titik sentuhannya dan direnungkan den gan mengatakan dalam batin: keluar, masuk, keluar, masuk pada setiap aktivitas nafas masuk dan nafas keluar. Batin seyogyanya tidak pergi bersama aliran itu, baik perjalanan nafas masuk maupun perjalanan nafas keluar, namun seyogyanya tetap pa da titik sentuhan tadi. Selama di dalam perenungan, akan terdapat banyak rintangan di mana batin akan mengembara/ melayang-layang. Rintangan ini seyogyanya tidak diikuti lebih lanjut

, namun perhatian seyogyanya dikembalikan ke titik sentuh dan merenungkan kembali sebagai masuk, keluar, masuk, keluar sesuai aktivitas nafas masuk dan nafas keluar . Dengan cara berkesinambungan mengamati titik sentuhan dan melaksanakan perenungan: 1. Nafas masuk dan nafas keluar yang panjang menjadi jelas teramati ketika merek a panjang. 2. Nafas masuk dan nafas keluar yang pendek menjadi jelas teramati ketika mereka pendek. 3. Setiap rangkaian nafas masuk dan nafas keluar yang lembut pada awal, pertenga han dan akhirnya menjadi jelas teramati dari titik sentuhan ujung hidung hingga ke t empat nafas itu meninggalkan hidung, dan 4. Perubahan bertahap dari nafas masuk dan keluar yang kuat ke nafas masuk dan k eluar yang lebih halus menjadi jelas teramati. Sejalan dengan nafas masuk dan keluar menjadi lebih halus dan lebih halus lagi, maka nafas tersebut akan tampak seolah nafas tersebut padam total. Di dalam kasus seperti ini, umumnya waktu terbuang untuk mencari objek nafas masuk dan nafas ke luar dengan mencoba meneliti penyebab padamnya nafas dan akhirnya tetap sia-sia tanpa melaksanakan perenungan. Namun demikian, janganlah membuang waktu dengan cara demikian; apabila batin dengan penuh perhatian kembali tetap mengamati titik sen tuhan pada ujung hidung atau sisi bibir sebelah atas maka aliran nafas masuk dan kelua r yang halus akan tampak lagi dan akan tercerap dengan sangat jelas. Dengan terus-menerus merenungkan nafas masuk dan nafas keluar, maka aliran nafas itu akan tergambar/terbayangkan dalam bentuk atau ukuran khusus. Berikut ini ada lah yang dinyatakan di dalam kitab Visuddhi-magga (Jalan Kesucian/ Kemurnian batin). Untuk orang tertentu, nafas masuk dan nafas keluar 'tampak' seperti sebuah binta ng atau sebuah permata atau sebuah berlian, bagi yang lainnya dengan sebuah sentuhan kas ar seperti dari kain sutera, atau sebuah tonggak terbuat dari hati kayu, bagi yang lainnya mirip benang panjang terurai atau sekuntum bunga atau segumpal asap rokok, sedangkan bagi yang lainnya mirip sebuah sarang laba-laba atau sebuah lapisan aw an atau sekuntum bunga teratai atau sebuah roda kereta atau sebuah piringan bulan a tau matahari. Dinyatakan bahwa keragaman bentuk atau objek bayangan itu disebabkan oleh perbedaan (sanna) individu yang mengalaminya. Bentuk objek yang khusus ini adalah Patibhaga Nimitta . Konsentrasi (samadhi) yang kemudian dikembangkan dengan 'Patibhaga-nimitta' sebagai objeknya, disebut Upacara-samadhi . Dengan secar a berkesinambungan merenungkan dibantu oleh Upacara-samadhi maka tingkat appanasam adhi dari tahapan 4 Rupa Jhana akan berkembang. Inilah deskripsi singkat LATIHAN PERMULAAN samatha yang dilakukan oleh seorang 'samatha-yanika' yang memilih 'samatha-kammatthana', sebagai dasar untuk merealisasi Nibbana. Mereka yang berhasrat untuk melatih vipassana seyogyanya pertama-tama dibekali dengan seperangkat pengetahuan, baik secara singkat maupun mendalam, namun cukup ,

terhadap kenyataan bahwa makhluk hidup terdiri dari dua komponen, yaitu jasmani (rupa) dan batin (nama); bahwa jasmani dan batin terbentuk dikarenakan sebab dan akibat; dan bahwa jasmani dan batin berada dalam proses perubahan yang terusmene rus; oleh karena itu jasmani dan batin tidak kekal, tidak memuaskan dan tidak mengandung kepemilikan/keakuan/ atta . __________________ V. DISKRIPSI SINGKAT LATIHAN VIPASSANA 1. Samatha-yanika Seseorang yang telah cukup pengetahuannya seperti disebutkan di atas seyogyanya pertama-tama berada di dalam jhana yang telah dicapainya dan kemudian merenungkannya. Ia seyogyanya kemudian melanjutkan dengan merenungkan secara berkesinambungan sensasi-sensasi, seperti melihat, mendengar, mencium bau, mengecap rasa, mengeta hui sentuhan, dan seterusnya sebagaimana mereka muncul dengan jelas pada salah satu dari enam pintu indera. Apabila ia merasa lelah atau bosan dengan melaksanakan terusm enerus perenungan akan beragam objek (pakinnakasankhara) ia seyogyanya memasuki jhana lagi dengan menetapkan tekad yang kuat bahwa jhana tersebut akan berlangsung selama 15 atau 30 menit. Apabila keadaan jhana telah berlalu ia seyogyanya kemudian segera merenungkan keadaan jhana tadi dan kemudian dilanjutkan dengan merenungkan secara berkesinambungan sensasi-sensasi indera sebagaimana mereka muncul pada saat sala h satu dari enam pintu indera. Prosedur bergantian dari memasuki keadaan jhana dan kemudian dilanjutkan dengan perenungan sensasi indera pada enam pintu indera seyogyanya dilakukan dengan berulang kali. Apabila vipassana-samadhi telah cukup kuat, ia akan dapat melaksanakan perenungan berkesinambungan siang dan malam tanpa merasa terhambat. Pada tingkat ini dapat dicerap dengan sangat jelas sebagai satu keteraturan pada setiap saat perenungan bahwa jasmani dan batin merupakan dua hal yang berbeda yang bekerja sama. Juga dapat dicerap bahwa objek dan batin yang secara langsung mengetahui objek tersebut, muncul dan padam pada setiap saat perenungan. Oleh karena itu, dimengerti bahwa jasmani dan batin terbukti dengan jelas tidak kekal , bahwa mereka tidak memuaskan, tanpa kualitas atau keberadaan yang menyenangkan, dan bahwa mereka semata-mata merupakan proses muncul dan padam dari segala sesuatu yang tidak mengandung 'atta' (jiwa atau keberadaan kekal). Dengan perkembangan penuh dari pengetahuan langsung ata annica, dukkha, anatta terealisasilah pengetahuan bijaksana akan Magga, Phala dan Nibbana. Inilah deskripsi singkat latihan dengan cara samatha-yanika untuk tujuan merealisa si Nibbana. 2. Suddhavipassana-yanika Di bawah ini, adalah diskripsi singkat latihan dengan cara suddha-vipassana-yanik a . Dengan pengetahuan cukup seperti yang disebutkan di atas, seseorang yang berhasr at untuk latihan vipassana seyogyanya menetap di tempat sunyi dan duduk dengan kaki bersila atau dalam cara yang nyaman sehingga ia dapat duduk dalam waktu yang cuk up lama, dengan badan tegak, dan kemudian merenungkan dengan memusatkan perhatiannya terhadap fenomena jasmani dan batin yang diketahui sebagai upadanakkhandha , dan yang secara jelas muncul di dalam tubuhnya. Fenomenafenomena ini seyogyanya secara berkesinambungan direnungkan pada setiap saat kemunculannya. Upadanakkhandha adalah semua yang secara jelas dicerap pada saat melihat,

mendengar, mencium bau, mengecap, mengalami kontak badan/sentuhan dan memikirkan ide/gagasan dan seterusnya. Pada saat melihat, objek penglihatan dan indera pengelihatan/'mata', keduanya di cerap. Keduanya itu merupakan kelompok meteri (rupa). Mereka bukanlah menyenangkan, bukan pula atta dan bukan orang . Mereka yang tidak merenungkan pada saat kemunculannya tidak akan mengerti bahwa 'mereka segera padam dan tidak kekal', bahwa mereka 'muncul dan padam tanpa henti dan oleh karenanya tidak memuaskan', bahwa mereka bukan atta bukan pula keberadaan hidup, namun anatta di mana mereka merupakan subjek bagi sebab dan akibat di dalam proses muncul dan padam. Dikarenakan materi menjadi objek kecenderungan kekeliruan dan kemelekatan, maka mereka disebut upadanakkhandha atau kelompok yang menimbulkan kemelekatan . Kesadaran melihat (cakkhu-vinnana), perasaan (vedana), pencerapan (sanna) akan o bjek pengelihatan, dan keinginan untuk melihat objek, bentuk/faktor batin (sankhara) juga secara jelas dicerap pada saat melihat. Mereka semata-mata kelompok batin. Merek a bukan menyenangkan, bukan 'atta', bukan pula 'orang'. Mereka yang tidak merenung kan pada setiap saat kemunculan fenomena itu, tidak akan mengerti bahwa mereka tidak kekal, tidak memuaskan dan 'anatta'. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa fenomena batin ini menyenangkan dan melekat kepadanya. Mereka secara egois menganggap Saya melihat , Saya merasakan , Saya mencerap , Saya melihat dengan penuh perhatian dan melekat kepadanya. Inilah alasan yang jelas mengapa kelompok batin ini secara berurut disebut vinnana upadanakkhandha, vedana upadanakkhandha, sanna upadanakkhandha, dan sankhara upadanakkhandha . Inilah alasan mengapa lima upadanakkhandha secara jelas dicerap dengan jelas pada saat melihat objek penglihatan melalui pintu indera penglihatan ('mata'). Dengan cara yang sama, kelima upadanakkhandha dicerap dengan jelas pada saat mendengar suara melalui indera pendengaran, mencium bau melalui indera penciuman , mencerap rasa kecapan melalui indera pengecapan, mengetahui sensasi sentuhan melalui indera sensasi sentuhan, mengetahui objek batin melalui indera pikiran. Namun demikian di dalam kasus objek batin, mungkin dialami unsur batin maupun unsur fisik/materi. Walaupun fenomena jasmani dan batin muncul dengan jelas pada saat melihat, mendengar dan seterusnya melalui pintu indera yang bersesuaian, tidaklah mungkin bagi seorang pemula untuk merenungkannya di dalam urutan kemunculannya pada saat memulai latihan vipassana. Di dalam vipassana, latihan dimulai dengan merenungkan hal khusus, objek yang paling mudah hadir di dalam jasmani. Mirip seperti di sekolah, sebagai ketentuan keharusan saat memulai pelajaran, maka pel ajaranpelajaran mudah terlebih dulu yang dipelajari. Dari kedua jenis fenomena, batin dan materi, maka fenomena materi yang lebih mudah dicerap, seyogyanya dipilih sebaga i objek perenungan awal atau utama di dalam vipassana-kammatthana. Lagi, dari berbagai kelas fenomena materi, dibandingkan objek-objek dari pintu indera (upad arupa) ketika melihat, mendengar, mencium bau, mengecap rasa kecapan maka kontak jasmaniah (bhuta-rupa) merupakan objek yang lebih mudah dicerap, seyogyanya diambil sebagai objek utama/permulaan untuk perenungan saat memulai latihan vipassana. Oleh karena itu, dengan satu pandangan untuk mengamati kontak jasmani khusus yan g lebih mudah dicerap, perhatian seyogyanya ditetapkan pada posisi duduk dan merenungkan secara berkesinambungan, dengan membuat catatan secara batiniah seperti : 'duduk, duduk'. Pada saat perenungan mencapai kematangan, maka dengan jelas akan dapat diamati sensasi kontak jasmani pada paha atau kaki atau bagian

tubuh lainnya. Sensasi kontak jasmani khusus ini seyogyanya diambil sebagai objek tamb ahan bersama 'duduk' dan secara berkesinambugan direnungkan sebagai 'kontak, duduk, kontak'. Namun demikian, apabila perenungan dengan cara demikian seperti 'kontak , duduk, kontak' sulit untuk dimulai, maka perhatian seyogyanya ditetapkan pada ko ntak jasmani saat aliran nafas masuk dan keluar dengan cara merenungkan 'kontak, kont ak'. Apabila hal ini pun sulit dilakukan maka perenungan seyogyanya ditetapkan dengan memperhatikan gerakan perut yang mengembang dan mengempis, disebabkan oleh aliran keluar dan masuknya nafas. Inilah ilustrasi untuk menunjukkan tata cara perenungan. Pertama-tama perhatian seyogyanya ditetapkan pada perut. Kemudian akan dirasakan bahwa perut mengembang dan mengempis dan gerakan perut selalu hadir. Apabila pada saat permulaan latiha n, gerakan naik dan turunnya perut tidak jelas dengan hanya menetapkan perhatian ke pada perut, satu atau kedua tangan seyogyanya ditempatkan pada perut. Penekanan nafas , mempercepat atau membuat nafas dalam seyogyanya tidak dilakukan. Aliran nafas alamiah seyogyanya dipelihara. Saat perut mengembang seyogyanya direnungkan dengan ditetapkan secara bertahap dengan tahap naiknya perut sejak mulai hingga berakhir. Saat perut dirasakan mulai turun (mengempis) seyogyanya direnungkan di dalam batin sebagai 'mengempis'. Perhatian seyogyanya ditetapkan secara bertahap dengan tahap turunnya perut sejak mulai hingga berakhir. Perhatian khusus Disebutkan di sini bahwa kata-kata 'naik/mengembang' dan 'turun/mengempis' seyogyanya tidak diulangi dengan mulut, namun mereka seyogyanya diulangi di dalam batin. Di dalam kenyataannya, kata-kata bukan kepentingan yang nyata. Just ru mengetahui gerakan perut dan gerakan jasmani yang sebenarnya merupakan kepentingan yang nyata. Namun demikian, dengan hanya merenungkan yang dilakukan melalui tindakan sederhana dari pengamatan batin tanpa aktivitas pengulangan di dalam batin, perenungan akan sia-sia dan tidak efektif dan banyak kemunduran seperti perhatian gagal untuk mencapai cukup dekat terhadap objek yan g dituju, objek tidak jelas perbedaannya dan dicerap secara terpisah dan bahwa ene rgi yang dibutuhkan menjadi bekurang. Jadi, agar mencapai sasaran perenungan seyogyanya dilaksanakan secara berulang-ulang dalam batin dengan kata-kata khusu s atas objek-objek yang bersesuaian. Ketika sedang dalam perenungan seperti 'naik, turun', mungkin akan terdapat bany ak kesempatan ketika batin ditemukan mengembara ke objeknya masing-masing. Pengembaraan batin ini seyogyanya direnungkan sebagaimana mereka muncul. Ilustrasi Apabila dialami bahwa pikiran mengembara ke objek yang bukan sedang diamati, seyogyanya direnungkan sebagai : 'mengembara', apabila pikiran bermaksud sesuatu seyogyanya direnungkan sebagai 'bermaksud'. Apabila pikiran sedang merenung, seyogyanya direnungkan sebagai 'merenung', bila menginginkan sesuatu seyogyanya direnungkan 'ingin', dalam hal gembira, atau marah, atau kecewa, seyogyanya direnungkan sebagai 'gembira', 'marah', 'kecewa'; apabila merasa malas atau sena ng seyogyanya direnungkan sebagai 'malas' atau 'senang'. Perenungan seyogyanya dilakukan secara berulang hingga faktor batin yang mengembara ini padam. Kemudia n, perenungan seyogyanya kembali kepada objek semula 'naik', 'turun' dan dilakukan

secara berkesinambungan. Apabila sensasi yang tidak menyenangkan (dukhavedana), seperti rasa lelah pada anggota tubuh atau perasaan panas atau nyeri, dan sebagainya muncul di dalam jas mani, perhatian seyogyanya difokuskan ke titik sensasi dan perenungan dilakukan seperi : 'lelah, lelah', 'panas, panas', 'nyeri, nyeri', sesuai kasusnya. Apabila sensasi tak menyenangkan itu telah paham, maka perenungan dikembalikan ke 'naik, turun' peru t sesuai objek semula. Namun apabila sensasi nyeri begitu kuat sehingga mereka tidak dapat ditoleransi lagi, maka posisi tubuh dan posisi tangan serta kaki harus diubah maka meringankan sit uasi. Di dalam perubahan posisi ini pun perhatian seyogyanya ditetapkan kepada gerakan yang paling nyata (mayor) dari tubuh/jasmani dan anggota tubuh dan perenungan dilaksanakan seperti 'menekuk', 'meregang', 'mengayun', 'bergerak', 'mengangkat' , 'meletakkan ke bawah', dan seterusnya, sesuai urutan proses perubahan tersebut. Apabila perubahan itu telah selesai maka perenungan dikembalikan kepada 'naik', 'turun'-nya perut sesuai objek semula. Pada saat sesuatu sedang diperhatikan, seyogyanya direnungkan sebagai 'memperhatikan', 'melihat'. Apabila sesuatu dilihat tanpa diperhatikan, seyogyan ya direnungkan sebagai 'melihat, melihat'. Apabila seseorang akan mendengarkan sesu atu, seyogyanya direnungkan sebagai 'mendengar', 'mendengar'. Apabila sesuatu didenga r tanpa mendengarkan seyogyanya direnungkan sebagai 'mendengar', 'mendengar'. Apabila pikiran merenungkan mengikuti maka seyogyanya direnungkan sebagai 'merenungkan', 'merenungkan'. Kemudian perenungan dikembalikan ke 'naik', 'turun 'nya perut sesuai objek semula. Dalam kasus perubahan posisi dari duduk menjadi berdiri dan perubahan ke posisi berbaring, perenungan seyogyanyan dilakukan dengan menetapkan perhatian terhadap setiap pergerakan mayor yang nyata dari jasmani dan anggota tubuh sesuai urutan proses pergerakan perubahan tersebut. Di dalam hal berjalan, perenungan seyogyanya dilakukan dengan menetapkan perhati an terhadap gerakan setiap langkah dari saat mengangkat kaki hingga kembali meletak kan kaki dan dengan membuat catatan secara batiniah sebagai 'berjalan, berjalan' ata u 'bergerak maju, bergerak maju', atau 'mengangkat, bergerak maju, meletakkan kaki '. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa perenungan seyogyanya dilaksanakan terhada p semua aktivitas jasmani dan anggota tubuh seperti menekuk, meregang, mengangkat, bergerak, dan seterusnya, untuk mengetahui bentuk sebenarnya ketika mereka muncu l. Perenungan seyogyanya dilaksanakan dilaksanakan terhadap setiap sensasi fisik da n perasaan batin (vedana) untuk mengetahui sifat alamiahnya ketika mereka muncul. Perenungan juga seyogyanya dilaksanakan terhadap semua gagasan/ide/faktor batini ah dan seterusnya, untuk mengetahui sifat alamiah mereka sebagaimana mereka muncul. Apabila tidak terdapat objek yang outstanding yang dapat direnungkan ketika berdia m dengan tenang dalam posisi duduk atau berbaring, maka perenungan seyogyanya

dilaksanakan dengan selalu menetapkan perhatian terhadap kontak jasmaniah. Oleh karena itu, petunjuk-petunjuk yang diberikan di sini untuk memperlakukan atau menjaga perhatian kepada naik dan turunnya gerakan perut, yang lebih mudah dijelaskan dan mudah untuk direnungkan, sebagai objek utama dan pertama di dalam perenugan. Namun, terdapat dua jenis kasus perenungan lain yang sudah disebutkan di atas, y aitu (1) perenungan terhadap posisi tubuh duduk dan sentuhan, dan (2) perenungan terh adap impresi kontak di dalam nafas masuk dan keluar, di mana apabila diinginkan, sala h satu dapat dipilih sebagai objek utama atau pertama di dalam perenungan. Di dalam merealisasi kondisi perenungan yang luhur yang memungkinkan untuk merenungkan setiap objek sebagaimana mereka muncul, maka tidak dibutuhkan kembali semuanya untuk kembali ke objek utama dan pertama. Perenungan seyogyanya dilaksanakan pada setiap saat dari melihat, mendengar, mencium bau, mengecap ras a, mengetahui sentuhan jasmani, berpikir, bergagasan dan seterusnya sesuai urutan kemunculan mereka. Siswa yang telah berkembang, dengan cara perenungan kontinyu ini, konsentrasi (samadhi) dan pandangan bijaksana ke dalam (nana) yang cukup kuat akan secara mandiri merealisasi muncul dan padamnya batin sangat sering di dalam satu detik. Namun seorang siswa yang baru saja mulai melatih perenungan belum dapat merealis asi perubahan yang demikian cepat. Mirip seseorang yang mulai belajar, tak dapat membaca begitu cepat dan baik bila dibandingkan dengan orang yang telah belajar dengan mahir. Namun demikian, seorang siswa seyogyanya berupaya untuk merealisas i muncul dan padamnya faktor batin tidak kurang daripada sekali setiap detik pada tahap permulaan latihannya. Inilah latihan dasariah latihan Vipassana secara singkat. __________________ VI. PERKEMBANGAN KONSENTRASI VIPASSANA (VIPASSANA SAMADHI) DAN PENGETAHUAN BIJAKSANA PANDANGAN TERANG (VIPASSANA NANA) Bila tidak berupaya kuat untuk melaksanakan perenungan seperti disebutkan di ata s, para siswa akan gagal untuk mengamati banyak aktivitas jasmani dan batin pada sa at permulaan latihan. Seperti ditunjukkan di dalam bagian Samatha-Kammatthana, terdapat banyak rintanan batin (Nivarana) yang menyebabkan batin mengembara ke arah objek lain. Di dalam hal Samatha-Kammatthana, tidak ada perlakuan khusus untuk merenungkan faktor batin yang mengembara, namun mereka seyogyanya ditekan, dan perenungan dikembalikan kepada objek semula secara berkesinambungan, sementara itu di dalam Vipassana-Kammathana perenungan juga harus dilakukan terhadap faktor batin yang mengembara itu. Setelah perenungan dengan cara ini, maka perenungan seyogyanya dikembalikan kepada objek naik , turun seperti semula. Ini adalah satu dari butir-but ir perbedaan antara samatha-bhavana dengan vipassana-bhavana di dalam hal mengatasi rintangan batin (nivarana). Di dalam kasus samatha-bhavana seseorang harus merenungkan secara berkesinambungan terhadap objek semula dari samatha untuk membuat batin terkonsentrasi dengan kuat hanya kepada objek tersebut. Tidak dibutuhkan untuk mengamati fenomena batin dan fisik yang lain. Oleh karena itu tidak diperlukan u ntuk merenungkan rintangan batin seperti faktor batin yang mengembara yang muncul sewaktu-waktu. Hanya perlu menyingkirkannya sesegera mungkin saat mereka muncul. Namun demikian, di dalam vipassana-bhavana, semua fenomena batin dan jasmani yan

g muncul melalui enam pintu indera harus diamati. Oleh karena itu apabila dan keti ka rintangan batin seperti misalnya batin merenungkan sesuatu selain objek perenung an semula atau batin menikmati nafsu atau keserakahan dan sebagainya mereka juga ha rus direnungkan. Apabila mereka tidak direnungkan, maka kemelekatan dan pandangan keliru bahwa mereka kekal, menyenangkan dan atta (aku) akan muncul; oleh karena itu menghindari mereka tidaklah cukup seperti dalam kasus samatha. Objek vipassana a kan lengkap hanya apabila seseorang merenungkan terhadap semua fenomena itu sehingga mengetahui dengan jelas sifat alamiahnya dan tidak melekat terhadapnya. Apabila faktor batin yang mengembara ini direnungkan secara berkesinambungan dengan cara ini dalam jangka waktu yang cukup lama, maka hampir tidak akan ada l agi faktor batin yang mengembara. Segera setelah faktor batin mengembara ke objek la in, batin segera memperhatikan dan merenungkannya dan kemudian pengembaraan tersebut tidak berlangsung lebih jauh lagi. Di dalam beberapa kasus, ditemukan b ahwa perenungan dilaksanakan tanpa interupsi karena faktor batin dicerap segara saat faktor batin itu mulai muncul. Pada tahapan perenungan ini, ditemukan bahwa batin yang merenungkan dan objeknya selalu datang bersama dan terkonsentrasi. Terkonsentrasinya batin terhadap objek nya ini disebut Vipassana-khanika-samadhi (konsentrasi sementara dari pandangan terang). Sekarang batin terbebas dari kamacchanda (nafsu indera) dan rintangan batin (niv arana) lainnya dan oleh karena itu sama seperti pada tingkat seperti Upacara-samadhi (konsentrasi berdekatan) yang disebutkan di dalam bagian Samatha-kammatthana. Begitu batin tidak lagi bercampur dengan rintangan batin yang menyebabkan mengembaranya batin, maka hanya ada perenungan murni yang terpusat. Inilah yang disebut Citta-visuddhi (kemurnian batin). Kemudian fenomena fisik seperti naik, turun, menekuk, meregang, dan seterusnya, yang sedang direnungkan, dicerap pada setiap saat perenungan di dalam setiap bentuk y ang terpisah tanpa bercampur dengan batin yang merenungkannya atau dengan fenomena materi lain. Fenomena batin, seperti merenungan berpikir, melihat, mendengar, da n seterusnya, juga dicerap pada setiap saat perenungan di dalam keadaan terpisah t anpa dicampuri oleh fenomena materi lain atau fenomena batin lain. Pada setiap saat bernafas, jasmani dan batin yang mengetahui jasmani dicerap secara jelas dan ter pisah sebagai dua hal yang berbeda. Pengetahuan bijaksana atas pembedaan fenomena fisi k dan batin sebagai dua proses yang terpisah disebut Nama-rupa-pariccheda-nana (pengetahuan bijaksana yang dapat membedakan dengan jelas fenomena batin dan jasmani). Dengan terealisasinya perkembangan pengetahuan bijaksana (nana) selama satu peri ode waktu yang baik di dalam latihan perenungan yang berkesinambungan, maka akan muncul sebuah pengertian jelas bahwa fenomena 'hanya terdiri dari proses batin d an fisik'. Jasmani tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui, menaikkan, menurunkan ,

menekuk, memindahkan, dan seterusnya. Namun batin memiliki kemampuan merenungkan, memikirkan, melihat, mendengar, dan sebagainya. Terpisah dari dua faktor ini, tidak terdapat aku atau Atta. Pengertian jelas ini disebut Ditthi-vis uddhi (Kemurnian Pandangan). Dengan meneruskan perenungan lebih lanjut, dicerap bahwa fenomena materi/fisik d an batin yang muncul di dalam jasmani merupakan efek atau hasil dari sebab-sebab ya ng bersesuaian dengannya. Sebagai ilustrasi : Seorang siswa mencerap kenyataan bahwa dikarenakan batin menginginkan untuk membungkuk atau bergerak atau meregang atau mengubah posisi tubuh, maka muncul aksi atau tindakan membungkuk, meregang, bergerak, atau mengubah posisi tubuh; dikarenakan fluktuasi di dalam temperatur/suhu, maka sela lu terdapat perubahan di dalam kondisi fisik apakah menjadi dingin atau panas; dan dikarenakan mengkonsumsi makanan maka akan selalu muncul energi fisik yang baru. Lagi, ia mencerap kenyataan bahwa dikarenakan kehadiran/adanya indera penglihata n dan objek penglihatan, indera pendengaran, objek pendengaran, dan seterusnya, ma ka muncullah kesadaran melihat, mendengar, dan seterusnya, dan dikarenakan kehendak untuk mengarahkan, maka batin mencapai objeknya. Lagi, ia mencerap kenyataan bahwa dikondisikan kehadiran Avijja (kegelapan/kebodohan batin), yang memandang kehidupan sebagai indah dan menyenangkan dan kehadiran Tanha (keinginan rendah), semua jenis perbuatan dipikirkan dan dilakukan, dan dikarenakan kemelekatan terhadap perbuatan-perbuat an tersebut yang telah dilakukan, maka muncullah, di dalam urutan yang sangat cepat dan berkesinambungan, kesadaran-kesadaran (vinnana) baru. Lagi, ia mencerap kenyataa n bahwa kematian bukanlah kematian bukanlah sesuatu hanya padamnya kesadaran terakhir di dalam urutan kelangsungan kesadaran; dan lahir adalah munculnya sebu ah kesadaran baru di dalam urutan kelangsungan kesadaran ini, tergantung atas formasi/bentukan materi/jasad yang baru. Pengetahuan bijaksana membedakan sebab musabab yang saling tergantung ini disebut Paccaya-pariggaha-nana (Pengetahuan bijaksana yang muncul dari pengertian pengalaman penuh akan sebab-musabab fenomena). Dengan mengerti kenyataan sebab-musabab yang saling tergantung (paticcasamuppada ) ia akan datang pada satu kesimpulan bahwa hidup di masa lampau adalah sebuah formasi materi dan batin, yang tergantung dari sebab musabab yang terkait dan dengan demikian akan ada proses yang mirip pada kehidupan di masa mendatang . Pandangan murni seperti ini disebut Kankha-vitarana visuddhi (Kemurnian pandangan yang muncul setelah mengatasi keraguan). Sebelum mengembangkan pengetahuan benar kenyataan bahwa "kehidupan terdiri dari batin dan jasmani yang tergantung atas 'sebab-musabab yang terkait' terdapat ban yak keraguan skeptis apakah terdapat SAYA di waktu lampau, apakah SAYA berada hanya dalam kehidupan ini atau apakah SAYA akan terus ada di waktu mendatang" dengan memegang pandangan bahwa formasi/perpaduan meteri/jasmani dan batin adalah ATTA atau DIRI . Sekarang keraguan ini tidak dapat muncul karena mereka telah diatasi. Dengan melanjutkan perenungan lebih jauh, dicerap bahwa materi/jasmani dan batin muncul dan padam pada setiap saat perenungan. Pengertian bijaksana ini disebut Anicca-sammassana-Nana (Pengertian bijaksana akan ketidak-kekalan fenomena alam).

Dengan mencerap kenyataan bahwa fenomena materi/jasmani dan batin secara konstan muncul dan padam, bahwa mereka secara konstan dicengkeram oleh muncul dan padam mereka dipandang sebagai bukan menyenangkan juga tidak patut digantungi, namun hanya merupakan dukkha, tidak memuaskan. Pengetahuan bijaksana ini disebut Dukkha-sammassana-nana (Pengertian bijaksana terhadap kondisi yang tidak memuaskan). Dengan mencerap kenyataan bahwa fenomena materi/jasmani dan batin secara alamiah tidak mengikuti perintah keinginannya, namun muncul dan padam sesuai dengan sifa t alamiah dan kondisi relatifnya, maka direalisasi bahwa mereka bukan atta atau diri . Pengertian bijaksana ini disebut Anatta-sammassana-nana (Pengertian bijaksana terhadap segala sesuatu yang bukan atta atau bukan diri). Setelah merefleksikan kenyataan-kenyataan ini selama ia inginkan, siswa itu melanjutkan dengan perenungan tanpa refleksi lebih lanjut. Ia kemudian mencerap dengan sangat jelas permulaan dari setiap objek perenungannya. Ia juga mencerap dengan sangat jelas padamnya setiap objek perenungannya seolah-olah diputus deng an jelas. Pada tahap ini, seringkali muncul pengalaman-pengalaman aneh, yang mengkondisikan terhambatnya latihan vipassana sehingga menjadi kotor (vipassanupakkilesa), seperti : 1. Cahaya yang gemilang (Obhasa) 2. Kegiuran batin (Piti) 3. Sikap batin tenang (Passaddhi) 4. Keyakinan kuat tak terhingga terhadap Tiratana (Adhimokkho ti saddha) 5. Semangat yang sangat tinggi atas pelaksanaan perenungan/meditasi (Paggaha) 6. Kegembiraan yang mencakup ke seluruh tubuh (Sukkha) 7. Pandangan yang tajam terhadap sifat alamiah anicca, dukkha dan anatta tanpa halangan (Nana) 8. Kemampuan di dalam melaksanakan perhatian murni tanpa kehilangan objek (Upatthana) 9. Keseimbangan batin (Upekkha) 10. Melekat terhadap fenomena dhamma butir 1 9 (Nikanti) Oleh karena itu, siswa tersebut dapat terbuai sehingga ia tidak dapat lagi menja ga mulutnya, umumnya ia menceritakan pengalamannya. Ia sering kali menganggap bahwa ia telah merealisasi pencerahan sempurna. Inilah indikasi awal atau tahap permul aan dari 'Udayabbaya-nana' (pengetahuan bijaksana atas muncul dan padamnya fenomena) yang lemah. Namun demikian sepuluh fenomena ini adalah jalan yang sala h (Amagga). Kemudian siswa itu memutuskan pengalaman melihat bayangan batin dan perasaanpera saan lainnya bukanlah perealisasian pencerahan sempurna yang sesungguhnya, dan bahwa metode perenungan yang tepat untuk merealisasi pencerahan sempurna adalah hanya dengan mengobservasi secara konstan terhadap semua fenomena yang muncul. I a tiba pada keputusannya ini sesuai dengan apa yang telah dipelajarinya dari penga laman atau sesuai dengan petunjuk gurunya. Keputusan murni ini adalah indikasi Maggamagga-nana-dassana-visuddhi (kemurnian pandangan benar terhadap jalan dan bukan jalan). Setelah tiba pada keputusan ini dan diteruskan dengan melanjutkan perenungannya pengalaman-pengalaman melihat bayangan batin dan perasaan-perasaan lainnya secar a bertahap akan berkurang dan pencerapan objek menjadi lebih jelas dan lebih jelas lagi. Muncul dan padamnya fenomena materi pada setiap gerakan di dalam hal satu geraka n membungkuk atau meregangkan tangan atau kaki atau di dalam hal satu langkah, set

iap fregmen (bagian) dari satu gerakan akan dengan sangat jelas diamati. Inilah kema tangan atau tahap akhir dari Udayabbaya-Nana . Perenungan itu mengalir tanpa hambatan seolah terbebas dari Upakkilesa (ketidakmurnian). Setelah pengertian bijaksana (Nana) ini diperoleh cukup kuat, pencerapan terhada p objek-objek dijumpai lebih cepat. Akhir atau padamnya objek lebih jelas dicerap daripada permulaan Upacara (pendekatan) dan Anuloma (adaptasi). Ini adalah nana atau pengertian bijaksana yang tepat bagi 8 vipassana nana yang mendahuluinya dan Magga-nana (Pengertian bijaksana atas Jalan) yang mengikutinya. Pandangan terang mulai dari Udayabbaya-Nana yang masak sampai dengan Anuloma-nana secara kolektif dikenal sebagai Patipada-nana-dassana-visuddhi (Kemurnian dengan pengertian bijaksana dan pandangan terang yang muncul akibat telah mengikuti latihan yang benar). Setelah Anuloma Nana, muncullah Gotrabhu-Nana (Pengertian bijaksana memenangkan kesucian) dimana Nibbana adalah objeknya, dimana duka cita dan ketidakpuasan yang berhubungan dengan fenomena fisik dan batin padam secara tota l. Ini adalah pengertian bijaksana yang memotong kekerabatan Puthujjana (makhluk awam duniawi) dan memasuki kekerabatan Ariya (makhluk suci). Kemudian muncul Sotapati Magga Nana dan Phala Nana (Pengetahuan bijaksana dari Jalan Suci pemenang arus dan buahnya) yang merealisasi Nibbana. Magga Nana disebut Nana-dassana-visuddhi (Kemurnian pandangan). Saat kemunculan Magga dan Phala Nana tidak berjeda waktu sedetik pun. Kemurnian segera disusul kemunculan refleksi atas pengalaman khusus Magga, Phala dan Nibbana . Ini adalah Paccavekkhana-nana (Pengertian bijaksana dari retropeksi/perenungan mendalam). Seseorang yang telah merealisasi Paccavekkhana-nana sesuai urutan itu disebut se bagai makhluk Sotapanna (Pemenang arus). Khas Anicca, Dukkha, Anatta, dengan kejelasan khusus yaitu dukkha. Ini adalah Patisankha-nana (Pengertian bijaksana yang muncul dari perenungan yang lanjut). Ketika Patisankha-nana ini masak, perenungan berlanjut secara otomatis mirip sebua h jam tanpa upaya khusus bagi pencerapan dan pengertian bijaksana. Dilanjutkan den gan perenungan atas objek-objek dengan keseimbangan batin hanya memperhatikan objek tanpa terlarut di dalam kesenangan maupun ketidaksenangan. Perenungan ini begitu damai dan tanpa upaya khusus saat itu dan dilanjutkan dengan mengetahui objek-ob jek begitu otomatis dan dapat berlangsung lebih dari satu jam, dua jam atau tiga jam ; dan bahkan dapat berakhir dalam jangka waktu yang begitu lama, tanpa lelah atau bosa n. Pencerapan yang muncul dalam jangka waktu lama ini merealisasi sifat alamiah obj ekobjek perenungan secara otomatis dan tanpa terlibat di dalam kesenangan dan ketidaksenangan, disebut Sankharupekkha-nana (Pengetahuan bijaksana yang muncul dari keseimbangan batin terhadap sankhara). Keluar dari perenungan ini yang dilanjutkan secara otomatis dan dengan momentumn ya merealisasi objek, muncullah pengertian bijaksana yang khusus sangat cepat dan a ktif. Pengertian bijaksana yang muncul langsung menuju sebuah jalan mulia ini yang jug a dikenal sebagai Vuitthana (elevasi) adalah Vutthana-gamini-vipassana-nana (Pengetahuan bijaksana menuju elevasi yang lebih luhur). Pengertian bijaksana ini muncul merealisasi bahwa fenomena fisik dan batin yang muncul melalui enam pintu indera pada saat itu tidak kekal, tidak memuaskan, dan

bukan diri/aku. Pengertian bijaksana terakhir adalah Anuloma-nana (Pengertian bijaksana atas adaptasi) yang terdiri dari tiga javana (saat-saat dorongan) disebu t Parikamma (persiapan), seyogyanya melaksanakan latihan meditasi sesuai dengan petunjuk yang diberikan di atas. Semoga semua makhluk dapat melaksanakan latihan Meditasi dan merealisasi Nibbana . __________________ KETERANGAN BEBERAPA ISTILAH PENTING Ariya Sacca Kebenaran Suci, terdapat 4 jenis : a. Dukkha sacca = Kebenaran suci tentang 'penderitaan' b. Samudaya sacca = Kebenaran suci tentang penyebab 'penderitaan' c. Nirodha sacca = kebenaran suci tentang padamnya 'penderitaan' d. Magga sacca = Kebenaran suci tentang jalan untuk terbebas dari 'penderitaan'. Bhavana a. Samatha - bhavana Pengembangan ketenangan batin. Secara sementara kekotoran batin tertentu mengend ap (lihat nivarana). Objek samatha-bhavana ini merupakan pannatti (konsepsi batin). b. Vipassana bhavana Pengembangan kebijaksanaan melalui pengamatan dan perhatian murni terhadap fenomena batin dan jasmani yang dicengkeram oleh sifat universal (lihat Tilakkha na). Hasil akhirnya, kekotoran batin terbasmi hingga ke akarnya. Objek vipassana-bhav ana ini merupakan paramattha (hakekatnya sesungguhnya segala sesuatu yang dialami). Dukkha a. Di dalam sifat alamiah universal (Tilakkhana), mengandung pengertian = tidak memuaskan. Dukkha jenis ini meliputi makhluk hidup suci atau tidak suci dan juga bukan makhluk hidup. b. Di dalam kebenaran suci tentang dukkha (Dukkha sacca), mengandung pengertian = penderitaan biasa (dukkha-dukkha), penderitaan yang inheren karena perubahan (viparinama dukkha), penderitaan yang inheren bagi mahluk yang merupakan perpaduan (sankhara dukkha). Dukkha jenis ini hanya berkenaan dengan makhluk hid up yang belum suci. Ekaggata a. Sebagai faktor batin bersifat netral (bukan baik juga bukan tidak baik), meng andung pengertian faktor batin yang berfungsi memusatkan batin terhadap objek yang diam ati. b. Di dalam faktor jhana, mengandung pengertian sebagai faktor batin yang berfun gsi menekan kamachanda-nivarana (hasrat nafsu indera). Jhana Kondisi batin yang melekat kuat terhadap objek (arammana) yang dialami. Objek ya ng dialami oleh batin selama di dalam kondisi jhana merupakan objek yang bukan sesungguhnya atau bersifat konsepsi batin (pannatti). Khanda Mengandung pengertian sebagai kelompok perpaduan; umum pula dijumpai dalam istilah upadanakkhandha yang berarti kelompok perpaduan yang berpotensi menimbulkan kemelekatan. Khandha terdiri dari 5 lima kelompok yaitu : a. Vedanakkhandha = kelompok perpaduan perasaan, yaitu perasaan yang menyenangkan, perasaan tidak menyenangkan dan perasaan netral (bukan menyenangkan juga bukan tidak menyenangkan). b. Sannakkhandha = kelompok perpaduan pencerapan. Fungsinya menandai objek, mencerap objek yang dialami, mengkondisikan pengenalan terhadap objek.

Apabila makhluk Anagami melaksanakan latihan Vipassana dengan sebuah pandangan untuk merealisasi Anagami Phala-sampatti , maka ia akan merealisasi tingkatan tersebut. Apabila ia melaksanakan latihan bagi tingkatan yang lebih luhur, maka Vipasanna-nana akan dikembangkan di dalam urutan yang sama seperti sebelumnya da n di dalam kematangan yang penuh ia akan merealisasi Nibbana dengan pandangan tera ng Arahatta Magga dan Phala (jalan kesucian Arahat dan buahnya) dan menjadi makhluk suci Arahat. Makhluk Arahat telah terbebas dari lima belenggu (samyojana ) yang masih tersisa, yaitu : 1. Rupa-raga (hasrat untuk keberadaan bermateri halus) 2. Arupa-raga (hasrat untuk keberadaan tanpa materi) 3. Mana (kesombongan) 4. Uddhacca (kegelisahan batin) 5. Avijja (kegelapan atau kebodohan batin) secara bersama dengan semua kilesa (kekotoran batin) Pada akhir masa kehidupannya saat ini ia akan Parinibbana, dan tidak akan tumimb al lahir lagi, ia secara mutlak terbebas dari duka ketuaan, kesakitan, kematian, da n seterusnya. Dengan tetap berpandangan terhadap kebebasan ini bahwa pertanyaan pada permulaan artikel ini : Apakah tujuan utama melaksanakan latihan meditasi telah diberikan jawabannya sebagai berikut : Latihan meditasi dilaksanakan untuk tujuan utama merealisasi Nibbana dan terbebas dari duka cita kehidupan di dalam bentuk ketuaan, kesakitan, kematian, dan seterusnya . Oleh karena itu mereka semua yang dengan tekun berharap untuk merealisasi Nibban a dan merealisasi kebebasan mutlak atau kemunculannya. Objek-objek perenungan nampak padam. Bentuk dan ukuran tangan, kaki, kepala, jasmani dan seterusnya tid ak dicerap lagi. Hanya kepadaman jasmani dan batin yang dicerap pada setiap saat perenungan. Bahkan, perenungan batin dicerap padam bersama objek perenungannya setiap saat. Pengertian bijaksana atas proses kepadaman ini di dalam pasangan ba tin dan objeknya adalah Bhanga-nana (pengetahuan bijaksana akan proses padamnya fenomena). Dengan terus-menerus mencerap proses yang selalu padam di dalam tiap pasang bati n dan objeknya maka akan tiba kemunculan perealisasian bahwa setiap fenomena dapat menimbulkan ketakutan. Ini adalah Bhaya-nana (Pengetahuan bijaksana atas kondisi-kondisi yang menakutkan). Kemudian akan disusul dengan munculnya pengertian bijaksana merealisasi ketidaksempurnaan fenomena batin dan materi. Ini adalah Adinava-nana (Pengetahuan bijaksana atas kondisi-kondisi yang tidak memuaskan). Kemudian akan disusul dengan pengertian bijaksana merealisasi sifat alamiah feno mena yang tidak menarik dan membosankan. Ini adalah Nibbida-nana (Pengetahuan bijaksana atas kondisi-kondisi yang membosankan). Apabila direalisasi bahwa sungguh baik apabila tidak terdapat fenomena fisik mau pun batin yang secara konstan datang/muncul dan padam di dalam cara demikian, muncul lah pengertian bijaksana, mencari kebebasan dari ketidakpuasan terhadap fenomenafeno mena ini. Ini adalah Muccitu-kamyata-nana (Pengetahuan bijaksana dari niat untuk terbebas).

Dengan lebih lanjut merenungkan disertai keinginan kuat untuk terbebas, munculla h sebuah persepsi kuat atas sifat alamiah Sotapanna terbebas dari tiga belenggu (samyojana) sebagai berikut : 1. Pandangan keliru bahwa fenomena kelompok perpaduan fisik dan batin adalah ego , atau diri. (Sakkaya-ditthi kepercayaan bahwa fenomena fisik dan batin adalah dir i). 2. Keraguan atas Buddha, Dhamma dan Sangha serta disiplin (Vicikiccha). 3. Kepercayaan bahwa metode di luar pengembangan jalan mulia berunsur delapan (Ariya Magga) dan di luar pengembangan pandangan terang di dalam empat kebenaran mulia (Ariya Sacca) dapat membawa kebahagiaan sejati (Silabbata-paramasa kepercayaan hanya terhadap ritual dan upacara membawa ke kesucian). Lebih lanjut, bahwa observasinya terhadap pelaksanaan lima kaidah kemoralan menj adi murni dan mutlak. Bagi alasan inilah, Sotapanna tidak mungkin tumimbal lahir ke alam yang tidak menyenangkan, yang rendah (Apaya loka). Ia akan menjalani kehidupan bahagia di dunia manusia dan para dewa selama tujuh kali tumimbal lahir maksimum , dan selama periode ini ia akan merealisasi tingkat kesucian Arahat. Apabila Sotapanna melaksanakan latihan Vipassana dengan sebuah niat untuk merealisasi Phala-samapatti (perealisasian buah), ia kemudian akan mencapai keadaan itu dan menetap dengan objek Nibbana untuk jangka waktu 5 atau 6 menit, atau setengah jam, atau satu jam. Apabila ia cukup baik terlatih di dalam latihan perealisasian Phala-samapatti maka ia akan merealisasinya dengan sangat cepat dan menetap di dalam objeknya itu selama sehari penuh atau bahkan semalaman atau leb ih lama lagi. Apabila ia melaksanakan perenungan terhadap Upadanakkhanda di dalam cara yang sama seperti yang telah disebutkan di atas dengan sebuah pandangan untuk mereali sasi tingkat Magga dan Phala yang lebih tinggi, maka vipassana-nana akan dikembangkan dari tahapan Udayabbaya-nana dalam urutan yang sama seperti sebelumnya dan dalam kematangan penuh ia akan merealisasi Nibbana dengan pandangan terang dari Sakadagami-Magga dan Phala (Jalan makhluk suci yang paling banyak akan kembali lagi satu kali ke alam nafsu dan buahnya) dan menjadi makhluk Sakadagami (yang kembali satu kali lagi). Ia kemudian terbebas dari nafs u indera (kama-raga) yang kasar dan keinginan buruk (patigha) yang kasar. Ia akan menuju kehidupan bahagia di dalam alam manusia dan dewa maksimum selama dua kali tumimbal lahir dan akan merealisasi tingkat kesucian Arahat selama periode tersebut. Apabila makhluk Sakadagami melaksanakan latihan Vipassana dengan sebuah pandangan untuk merealisasi Sakadagami Phala-Samapatti maka ia akan merealisasi tingkat tersebut. Apabila ia melaksanakan latihan dengan sebuah pandangan merealisasi tingkat Magga dan Phala yang lebih luhur, Vipassana-nana akan dikembangkan di dalam urutan yang sama seperti sebelumnya dan di dalam kematangan penuh ia akan merealisasi Nibban a dengan pandangan terang dari Anagami Magga dan Phala (Jalan makhluk yang tidak akan kembali lagi ke alam yang diliputi nafsu dan buahnya) dan menjadi mak hluk Anagami (Makhluk yang tidak pernah kembali lagi, ke alam nafsu indera). Ia kemud ian secara total terbebas dari dua belenggu/samyojana lebih banyak, yaitu kama-raga (nafsu indera) dan Patigha (keinginan buruk). Ia tidak akan tumimbal lahir lagi di Kama-loka (alam yang diliputi nafsu indera) namun akan tumimbal lahir di Rupaloka (alam dengan materi halus) atau Arupa-loka /alam tanpa materi (bila ia saat itu

makhluk Arupa Brahma) dan ia nantinya akan menjadi Arahat. c. Sankharakkhandha = kelompok perpaduan faktor-faktor/penyerta batin yang baik, yang tidak baik dan yang netral (bukan baik juga bukan tidak baik). d. Vinnanakkkandha = kelompok perpaduan kesadaran, fungsinya menyadari objek yang dialami. e. Rupakkhandha = kelompok perpaduan materi/fisik/jasmani, yang secara umum terd iri dari unsur materi padatan, unsur materi cairan, unsur materi panas, unsur materi gerak. Lokiya dhamma Dhamma yang bersifat duniawi. Dalam hal ini meliputi batin para makhluk rendah, makhluk manusia, makhluk dewa maupun brahma/makhluk awam (puthujjhana puggala) yang belum hancur belenggu/kekotoran batinnya. Lokuttara Dhamma Dhamma yang mengatasi duniawi. Dalam hal ini meliputi batin para makhluk suci (Ariya puggala) pada saat hancurnya tiga atau lebih belenggu/ kekotoran batinnya (magga, phala) dan Nibbana. Nivarana Rintangan batin, terdiri dari 5, yaitu : a. Kamachanda = hasrat di dalam nafsu indera. b. Byapada = niat jahat. c. Thina-middha = sikap malas dan lamban d. Uddhacca-kukkucca = sikap batin gelisah/tak dapat memegang objek dengan baik dan khawatir atas perbuatan baik yang belum dilakukan atau perbuatan jahat yang telah dilakukan. e. Vicikiccha = sikap batin ragu secara skeptis. Paticca-samuppada Sebab-musabab yang saling tergantung, formulasi umumnya terdiri dari empat pernyataan, yaitu : Adanya ini mengkondisikan adanya itu. Timbulnya ini mengkondisikan timbulnya itu. Tidak adanya ini mengkondisikan tidak adanya itu. Padamnya ini mengkondisikan padamnya itu. Piti Sebagai faktor/penyerta batin berarti kegiuran batin terhadap objek yang dialami ; dan bersifat netral (bukan baik juga bukan tidak baik). Sebagai faktor jhana merupakan faktor batin yang fungsinya menekan byapada-nivar ana (niat jahat). Samyojana Adalah belenggu batin, ada 10 jenis, yaitu : 1. Sakkaya-ditthi = kepercayaan atau pandangan keliru terhadap lima kelompok perpaduan (khandha 5) sebagai inti/aku/diri. 2. Vicikiccha = keraguan skeptis. 3. Silabbata-paramasa = kepercayaan bahwa hanya dengan ritual keagamaan dapat merealisasi kesucian. 4. Kamaraga = nafsu indera 5. Patigha = niat jahat/dendam. 6. Ruparaga = hasrat untuk memiliki fisik/nafsu untuk tumimbal lahir di alam ber materi halus. 7. Aruparaga = nafsu untuk tidak memiliki fisik/nafsu untuk tumimbal lahir di al am tanpa materi. 8. Mana = kesombongan 9. Uddhacca = kegelisahan batin. 10. Avijja = kegelapan batin, tak dapat membedakan kebaikan dari keburukan, tak mengetahui kebenaran suci, tak mengetahui hakekat sesungguhnya segala sesuatu.

Sankhara a. Di dalam sifat alamiah yang berlaku universal (Tilakkhana), mengandung penger tian = perpaduan. b. Di dalam lima kelompok perpaduan/yang berpadu (Khandha 5), mengandung pengertian = faktor/penyerta batin (cetasika) yang baik, netral dan buruk, di lu ar pencerapan (sanna) dan perasaan (vedana). c. Di dalam fenomena sebab-musabab yang saling tergantung (Paticca-samupada), ba ik sebagai sebab (paccaya) maupun sebagai akibat (pacayuppana) mengandung pengertia n = kehendak (cetana) lampau dan melandasi perbuatan-perbuatan lampau, yang baik d an yang tidak baik. Sukha a. Di dalam khandha 5, dikategorikan sebagi faktor batin perasaan (sukkha vedana ) yang berfungsi merasakan objek yang menyenangkan yang dialmi. b. Di dalam faktor jhana, merupakan faktor batin perasaan yang berfungsi menekan uddhacca-kukkucca-nivarana (kegelisahan kekhawatiran) Tilakkhana Tiga sifat alamiah yang berlaku universal, yaitu : a. Sabbe sankhara anicca = semua fenomena perpaduan bersifat tidak kekal. b. Sabbe sankhara dukkha = semua fenomena perpaduan bersifat tidak memuaskan. c. Sabbe dhamma anatta = semua dhamma dalam hakekat sesungguhnya adalah tanpa kepemilikan, tanpa inti, tanpa diri. Upekkha a. Di dalam hal perasaan (upekkha vedana), mengandung pengertian perasaan netral , bukan menyenangkan juga bukan tidak menyenangkan. b. Di dalam hal sikap batin luhur tanpa batas (brahma-vihara), mengandung penger tian sikap batin seimbang terhadap semua fenomena yang dicengkeram Tilakkhana. Vicara a. Sebagai faktor/penyerta batin artinya perenungan penopang, fungsinya membuat batin menambat terhadap objek yang dialami. b. Sebagai faktor jhana (jhananga) merupakan faktor penyerta batin yang fungsiny a menekan Vicikiccha-nivarana (keraguan skeptis). Vitakka a. Sebagai faktor/penyerta batin artinya perenungan permulaaan, fungsinya membua t batin mengarah kepada objek yang dialami. b. Sebagai faktor jhana (jhananga) merupakan faktor/penyerta batin yang fungsiny a menekan Thina-middha-nivarana (sikap batin malas dan lamban). MEDITASI Menerima Diri Apa Adanya dengan Pengertian Benar Dalam kehidupan ini, kita sering mendengar anjuran-anjuran di masyarakat yang menyatakan untuk menerima diri apa adanya. Akan tetapi, hal ini seringkali ditaf sirkan atau diterapkan secara keliru, dikarenakan tidak memiliki pemahaman yang benar sehingga menimbulkan pengaruh yang kurang baik. Sebagai manusia, pada dasarnya terbentuk dari dua unsur, yaitu batin (nama) dan jasmani (rupa). Ditinjau dari cara pandang yang sebenarnya, "Menerima Diri Apa Adanya", berarti memahami proses batin dan jasmani yang bersifat tanpa inti (Ana tta), sehingga merupakan bersifat ketidakkekalan (Annica), dan tidak memuaskan (Dukkha ).

Inilah sifat sesungguhnya dari segala sesuatu yang terbentuk, termasuk apa yang kita anggap dan percaya sebagai "aku dan diriku". Jadi, menerima sifat sesungguhnya d ari segala sesuatu, inilah yang sebenarnya dimaksud sebagai "Menerima Diri Apa Adany a" dalam meditasi. Pada jaman sekarang ini, lebih banyak orang yang belum sampai ke tahap pemahaman yang mendalam dan menyeluruh seperti yang didapat dari hasil berlatih Vipassan Bhvan. Karena itu, menerima diri apa adanya, jika dihubungkan dengan kondisi kehidupan sehari-hari, tidak dapat mencakup arti yang sesungguhnya, melainkan ha nya arti pada tingkat permukaan saja. Untuk memahami inipun, sebagai orang awam, yan g belum memiliki batin yang telah berkembang, tetap membutuhkan dasar pemahaman yang benar. Dari semua aspek perbaikan diri, maka aspek batin seharusnya menjadi prioritas u tama untuk diperbaiki, karena tanpa batin yang berkembang menuju arah yang lebih baik , yaitu terkikisnya keserakahan (Lobha), kebencian (Dosa) dan ketidaktahuan (Moha) , maka perbaikan kondisi jasmani, intelektual, dan kekayaan materi tidaklah banyak membawa manfaat. Jadi "PENGERTIAN BENAR" yang berkenan dengan anjuran menerima diri apa adanya dalam kehidupan sehari-hari adalah memahami dan menerima, juga merasa puas dengan setiap kondisi yang ada, baik atau buruk. Tida k mengeluh ataupun menyesalinya, apalagi menyalahkan orang lain. Merasa puas bukan berarti kita berhenti berusaha menjadi orang yang lebih baik dari segi batin dan jasmani, materi, dan intelektual. Kalau kita memang masih bisa mencapai kondisi yang lebi h baik, kenapa tidak dilakukan. Kondisi batin kita memang jauh dari sempurna, Jadi sudah sewajarnya kita berusah a untuk menjadi lebih baik, terutama dari segi batin, supaya suatu saat, bisa menc apai tujuan, yaitu kesempurnaan batin (bebas dari keserakahan, kebencian dan kebodoha n batin) Tanpa batin yang terus menerus ditingkatkan, kualitasnya, maka kemajuan dalam se gi jasmani, intelektual, dan materi tidaklah banyak artinya. Selanjutnya, apapun ha sil yang diperoleh, setelah berusaha memperbaiki diri, maka itulah hasil terbaik yang dap at kita peroleh, untuk saat ini. Kita menerimanya dengan pengertian benar dan merasa pua s sambil terus berusaha untuk menjadi lebih baik lagi dari sekarang dan begitulah seterusnya. Inilah yang dimaksud dengan "Menerima Diri Apa Adanya" MEDITASI JALAN Oleh : Sayadaw U Silananda Alih Inggris - Indonesia : Chandasili Nunuk Y.K. Dikegiatan penyunyian yang kami selenggarakan, para yogi mempraktekkan meditasi kesadaran (vipassana) dengan menggunakan empat sikap tubuh yang berbeda-beda. Mereka mempraktekkan kesadaran saat berjalan, berdiri, duduk dan berbaring. Mere ka harus sepenuhnya membangun kesadaran setiap saat dalam kondisi apapun. Sikap utama tubuh dalam meditasi kesadaran adalah duduk bersila dengan punggung tegak. Tapi umumnya para yogi sulit duduk berjam-jam tanpa merubah posisi. Sehin

gga kami mengganti saat-saat duduk meditasi ini dengan meditasi jalan. Karena meditasi jalan sangat penting maka perlu didiskusikan lebih jauh. Diskusi tersebut berkenaan dengan manfaat, pentingnya dan kondisi alami yang bis a dipahami saat mempraktekkan meditasi jalan. Praktek meditasi kesadaran bisa diumpamakan seperti merebus air. Pertama seseora ng harus mengisi air ke dalam teko. Lalu teko itu diletakkan di atas kompor kemudia n kompor itu dinyalakan. Sebelum air mendidih ia mematikan kompor. Meski sesaat kompor dimatikan untuk kemudian dinyalakan lagi sebentar, air di dalam teko tidak langsung mendidih. Jika hal ini terus dilakukan, mematikan dan menyalakan kompor (sebelum air mendi dih) maka air di dalam teko tidak akan pernah mendidih. Dengan cara yang sama, jika ada jeda atau celah diantara kesadaran maka kita tid ak akan bisa membangun konsentrasi dengan baik. Itulah sebabnya para yogi yang berada dalam pengawasan kami diinstruksikan untuk membangun kesadaran sepanjang waktu. Mulai dari saat bangun dari tidur di pagi h ari hingga terlelap pada malam harinya. Dalam hal ini praktek meditasi jalan menyatu didalamnya untuk menumbuhkan kesadaran yang berkesinambungan. Namun demikian kami pernah mendengar orang-orang yang mengkritik praktek meditasi jalan. Para pengritik ini mengatakan mereka tidak memperoleh manfaat at au hasil yang baik dari praktek meditasi jalan tersebut. Sesungguhnya Sang Buddha merupakan orang pertama yang membabarkan praktek meditasi jalan ini. Pembahasan meditasi jalan Beliau sampaikan dua kali. Dalam bagian yang disebut sikap tubuh Beliau mengatakan seorang yogi tahu, saya sedang berjalan saat ia sedang berjalan, tahu, saya sedang berdiri ketika sedang berdiri, tahu saya sedang duduk saat sedang duduk dan tahu saat sedang berbaring sebagai saya sedang berbaring . Pada bagian lain yang disebut pemahaman jernih Sang Buddha mengatakan, Seorang bhikkhu menggunakan pemahaman yang jernih saat berjalan bolak-balik . Maksud dari pemahaman yang jernih disini adalah pemahaman yang benar atas segala sesuatu yang diamati. Dengan memiliki pemahaman yang benar terhadap pengamatannya seorang yogi dapat membangun konsentrasi. Untuk membangun konsentrasi ia harus menggunakan kesadarannya. Lebih jauh Sang Buddha berkata, Para bhikkhu gunakan pemahaman jernihmu . Kita harus menyadari bukan saja pemahaman yang jernih tapi juga kesadaran dan konsentrasi saat sedang berjalan bolak-balik. Jadi, meditasi jalan merupakan sua tu bagian penting dari proses ini. Meski Sang Buddha tidak memberikan petunjuk secara khusus dan rinci tentang meditasi jalan (hanya penjelasan singkat yang tercatat di dalam sutta) kami perc aya Beliau telah memberikan petunjuk pada suatu waktu. Petunjuk-petunjuk itu telah dipelajari oleh para murid Sang Buddha dan diturunka n dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagai tambahan para guru terdahulu telah memiliki resep berdasarkan pengalaman praktek meditasi mereka sendiri. Saat ini kami memiliki serangkaian petunjuk yang teliti tentang cara mempraktekk an meditasi jalan. Izinkan kami secara khusus membahas praktek meditasi jalan. Jika kalian adalah p

ara pemula sang guru akan menasehati untuk sepenuhnya awas pada satu hal selama mempraktekkan meditasi jalan; Sepenuhnya awas pada langkah kaki sementara kalian membuat pencatatan di dalam batin berjalan ..berjalan ..berjalan .atau kirikanan kiri-kanan Yang perlu diingat kalian harus berjalan lebih lambat dari biasanya saat sedang berlatih meditasi jalan. Setelah beberapa jam atau setelah satu-dua hari bermeditasi kalian akan diberi p etunjuk untuk melakukan dua tahapan dalam melangkah, yaitu melangkah dan meletakkan kaki . Ini harus dicatat dalam batin sebagai, angkat-letakkan angkat-letakkan .angkatletakka n . Kalian harus mengamati sungguh-sungguh dua tahapan proses melangkah tersebut. Setelah itu kalian akan diberi petunjuk untuk sepenuhnya menyadari tiga proses berjalan, yakni pertama proses mengangkat, kedua proses maju dan ketiga proses meletakkan kaki. Sesudahnya kalian akan diberi petunjuk lanjutan untuk sepenuhnya menyadari empat tahapan dalam proses melangkah yakni, pertama mengangkat, kedua maju, ketiga tur un, keempat sentuh atau meletakkan kaki ke lantai. Kalian akan diinstruksikan untuk mencatat dalam batin empat gerakan tersebut, angkat-maju-turun-tekan . Sebagai pemula para yogi akan menemui kesulitan untuk berjalan perlahan. Tapi, k etika ia sepenuhnya memberi perhatian dengan baik, ia bisa menyadari semua gerakan itu . Dengan demikian semakin lama ia semakin penuh perhatian. Pada saat itulah secara otomatis ia berjalan dengan perlahan. Tidak perlu secara sengaja melambatkan lan gkah kaki tersebut. Namun, dengan menaruh perhatian penuh secara otomatis langkah kak i akan melambat. Saya akan memberi perumpamaan untuk menjelaskan pernyataan di atas. Sewaktu berkendara di jalan bebas hambatan seseorang cenderung memacu kendaraannya pada kecepatan 60-70 atau malah 80 mil/jam. Dengan kecepatan seperti itu akan sulit b aginya membaca rambu-rambu lalu lintas di pinggir jalan. Bila ia ingin membaca rambu-ra mbu tersebut ia harus melambatkan laju kendaraannya. Tak perlu siapapun mengingatkan , pelan-pelanlah . Tapi si sopir secara otomatis akan memperlambat laju kendaraannya untuk bisa melihat rambu-rambu tersebut. Dengan pemahaman yang sama, bila seorang yogi ingin memberikan perhatian yang lebih cermat atas gerakan mengangkat, maju, turun dan tekan, secara otomatis ia akan melambatkan langkah kakinya. Hanya dengan berjalan lambat ia bisa sepenuhnya awa s dan waspada terhadap gerakan kaki tersebut. Meskipun para yogi memberikan perhatian yang cermat dan melambatkan langkahnya ada kemungkinan mereka tidak melihat semua pergerakan dan tahapan dari pergeraka n tersebut dengan jernih. Maklum tahapan pergerakan itu belum menempel di pikiran. Saat itu seolah-olah pergerakan tersebut merupakan satu kesatuan gerak yang berkesinambungan. Saat konsentrasi berkembang lebih kuat para yogi akan mampu mengamati tahapan-tahapan gerakan yang berbeda dalam satu langkah dimana akhirnya empat tahap gerakan (dal am satu langkah) lebih mudah diamati.

Para yogi akan mengetahui secara jelas bahwa gerakan mengangkat berbeda dengan gerakan maju maupun gerakan turun. Mereka mengetahui kaki yang terangkat itu ter asa ringan. Saat mendorong kaki ke depan mereka akan mencapai pergerakan dari satu tempat ke tempat lain. Dan ketika menurunkan kaki mereka mencatat gerakan kaki y ang turun menjadi berat dan semakin berat. Saat meletakkan kaki ke lantai/tanah mere ka merasakan sentuhan. Lebih jauh, sepanjang pengamatan angkat, maju, turun dan tekan ke lantai, para y ogi akan melihat rasa ringan saat kaki mengangkat, gerakan kaki, rasa berat saat kak i turun dan sentuhan pada kaki terhadap lantai yang berupa rasa keras dan lunak. Saat mengamati proses-proses ini mereka sedang melihat empat unsur utama (Pali: Dhatu ). Empat unsur utama itu adalah unsur tanah, unsur air, unsur api dan unsur udar a. Dengan memberi perhatian yang cermat pada empat tahapan melangkah sewaktu berlatih meditasi jalan, empat unsur utama tersebut nampak . Jadi unsur-unsur itu t idak hanya sekedar konsep (teori belaka), tapi merupakan proses nyata, realitas mutla k. Ijinkan kami membahas lebih terperinci sifat dari unsur-unsur tersebut yang beke rja saat mempraktekkan meditasi jalan. Pada gerakan pertama, yakni gerakan mengangkat kaki, yogi mengalami rasa ringan. Ketika mengalami rasa ringan mereka melihat unsur api. Salah satu aspek dari unsur api adalah membuat benda-benda menjadi lebih ringan. Saat benda-benda menjadi lebih ringan itulah mereka bisa mengangkat kaki. Dengan kata lain saat itu yogi merasakan intisari dari unsur api. Tidak hanya it u. Saat kaki terangkat ada unsur lain yang juga bekerja di sana. Setelah itu terjadi per gerakan kaki bergerak naik. Pergerakan terjadi karena ada unsur udara yang bekerja. Tapi , dalam hal naiknya kaki, unsur api lebih dominan dibanding unsur udara. Jadi bisa dikat akan saat menangkat kaki unsur utamanya adalah unsur api dan unsur kedua yang mengiku ti adalah unsur udara. Kedua unsur tersebut bisa dirasakan oleh para yogi saat mere ka menaruh perhatian sungguh-sungguh ketika mengangkat kaki. Tahap berikutnya adalah mendorong kaki ke depan. Saat kaki terdorong ke depan un sur utama yang mempengaruhi gerakan tersebut adalah unsur udara. Karena pergerakan (dalam hal ini adalah gerakan mendorong) adalah satu sifat utama dari unsur udar a. Jadi, saat bersungguh-sungguh melihat gerakan kaki maju ketika melakukan meditas i jalan yogi-yogi itu sebetulnya tengah melihat intisari unsur udara. Tahap meditasi jalan berikutnya adalah gerakan menurunkan kaki. Sewaktu yogi meletakkan kaki ke bawah ada sejenis kekerasan pada kaki. Kekerasan adalah karakteristik dari unsur air. Unsur air bersifat merembes dan mengental. Saat ca iran menjadi berat maka ia akan mengental. Jadi, saat yogi mengalami rasa berat pada kaki mereka sebenarnya mengalami peristiwa bekerjanya unsur air. Saat kaki menekan ke tanah/lantai yogi-yogi akan mengalami kekerasan dan kelembutan dari kaki yang menyentuh tanah atau lantai. Persinggungan antara kaki

dan landasan mengalami keadaaan alaminya yang khas. Kondisi ini dipengaruhi oleh uns ur tanah. Jadi dengan menaruh perhatian sungguh-sungguh saat kaki menekan landasan yogi-yogi sebenarnya bisa memetik pengalaman berupa keadaan alami yang dipengaruhi oleh unsur tanah. Bisa dikatakan hanya dengan satu langkah para yogi bisa mengamati banyak proses. Mereka bisa mengamati empat unsur utama dan menyadari keempatnya secara alami. Keadaan ini hanya bisa dilihat dan dialami oleh para yogi yang berlatih dengan sungguh-sungguh. Saat para yogi meneruskan latihan meditasi jalannya mereka akan menyadari pada setiap gerakan ada pikiran yang mencatat atau mengawasi setiap gerakan tersebut. Dengan kata lain ada gerakan mengangkat disertai munculnya pikiran yang mengawas i (mencatat) gerakan mengangkat tersebut. Selanjutnya, ada gerakan mendorong kaki ke depan disertai dengan pikiran yang mengawasi gerakan tersebut. Setelah itu ada g erakan menurunkan kaki ke landasan. Bersamaan dengan itu ada pikiran yang mengawasi gerakan tersebut. Keduanya muncul dan lenyap sampai kaki betul-betul menyentuh landasan. Proses yang sama muncul saat melakukan gerakan menekan kaki ke landasan. Saat it u ada gerakan menekan dan munculnya pengawasan atas gerakan tersebut. Dengan cara ini para yogi akan memahami bahwa bersamaan dengan melangkah ada gerakan kesadaran atau pengawasan. Saat-saat menyadari tersebut termasuk ke dalam bekerjanya kelompok batin (dalam bahasa Pali disebut nama). Sementara gerakan-gerakan kaki termasuk ke dalam kelompok materi atau rupa . Pad a saat itu para yogi akan memahami batin dan jasmani muncul dan lenyap setiap saat . Inilah penjelasannya. Pada satu waktu ada kaki yang terangkat dan munculnya kesadaran mengangkat. Saat berikutnya ada gerakan kaki mendorong ke depan dan kesadaran yang melihat pergerakan tersebut. Demikian seterusnya. Dari sinilah muncul pemahaman tentang bekerjanya pasangan batin dan jasmani yang muncul dan lenyap setiap saat. Hanya saja pemahaman atau pengertian tentang munc ul dan lenyapnya batin dan jasmani setiap saat ini hanya akan terjadi bagi mereka y ang berlatih dengan sungguh-sungguh. Ada hal lain yang akan ditemui para yogi. Yakni munculnya serangkaian kehendak a tau maksud yang mengakibatkan terjadinya setiap gerakan. Mereka akan menyadari bahwa kaki bisa diangkat karena mereka menginginkannya. Juga, kaki terdorong ke depan karena mereka bermaksud demikian. Kaki bisa turun karena mereka menginginkannya. Begitu pula kaki bisa menekan landasan karena mereka bermaksud demikian. Jadi, h al itu bisa terjadi karena munculnya serangkaian kehendak. Kehendaklah yang mengawa li setiap pergerakan. Setelah ada kehendak untuk mengangkat maka muncul proses mengangkat kaki. Setelah ada kehendak untuk mendorong maka muncul proses kaki terdorong ke depan. Demikian seterusnya. Setelah mengamati proses ini dengan sungguh-sungguh para yogi kemudian memahami semua kemunculan itu berkondisi. Pergerakan-pergerakan itu tak akan muncul denga n sendirinya. Pergerakan-pergerakan itu tak akan terjadi tanpa adanya suatu sebab. Ada sebuah sebab atau kondisi untuk setiap pergerakan. Kondisi yang dimaksud adalah munculnya kehendak atau maksud yang mengawali setiap pergerakan. Inilah temuan berikutnya yang bisa ditemui para yogi saat mereka memberikan perhatian dengan

sungguh-sungguh. Saat seorang yogi memahami kondisi munculnya setiap pergerakan maka akan muncul pemahaman baru. Mereka memahami bahwa pergerakan itu tercipta oleh maksud atau kehendak. Mereka akan memahami bahwa maksud atau kehendak adalah kondisi yang membuat munculnya pergerakan. Pada saat inilah seorang yogi bisa memahami hubungan sebab akibat. Mereka bisa memahami hubungan antara yang dikondisikan dan yang mengkondisikan. Saat pemahaman itu muncul yogi ini bisa saja menyingkirkan keragu-raguannya tent ang batin dan jasmani. Hal ini terjadi melalui munculnya pengertian bahwa batin dan jasmani tidak akan muncul tanpa adanya suatu kondisi. Dengan pemahaman yang jernih atas kondisi setiap benda dan dengan tersingkirnya keragu-raguan atas batin dan jasmani bisa dikatakan ia meraih tingkat mendekati seorang sotapanna .. Sotapanna artinya pemenang arus. Seorang sotapanna adalah seseorang yang telah meraih pencerahan tingkat pertama. Seseorang yang meraih tingkat pemahaman mendekati seorang sotapanna belum benar-benar menjadi sotapanna. Tapi pihak tera khir ini sudah dipastikan hanya akan terlahir kembali ke alam manusia atau alam dewad ewa. Dengan demikian seseorang yang mendekati pemahaman sotapanna tak mungkin terlahir di alam-alam bawah (alam peta, binatang, atau alam-alam neraka). Pemaha man ini bisa diraih melalui meditasi jalan. Tentu saja hal ini bisa terjadi sekali l agi dengan memberikan perhatian secara teliti dan sungguh-sungguh dalam mengamati setiap pergerakan kaki. Inilah keuntungan besar dari berlatih meditasi jalan. Tentu saja tingkat di atas tidak mudah dicapai. Tapi, bila seorang yogi mampu meraihnya bisa dipastikan ia hanya akan terlahir di alam-alam bahagia. Saat yogi memiliki pengertian tentang muncul-lenyapnya batin dan jasmani mereka akan memahami ketidakkekalan proses melangkah. Mereka juga akan memahami ketidakkekalan kesadaran melangkah. Hal ini terjadi seiring dengan timbulnya pengertian bahwa segala sesuatu itu akan muncul dan lenyap. Akhirnya pengertian selanjutnya yang muncul adalah segala sesuatu itu bersifat tidak kekal. Kita harus berusaha memahami apakah sesuatu itu bersifat kekal atau tidak kekal. Kita harus berusaha untuk melihat melalui kekuatan yang muncul dalam meditasi apakah benda-benda itu subyek dari proses menjadi yang kemudian lenyap. Jika meditasi k ita cukup baik keadaan ini memungkinkan untuk mengamati ketidakkekalan. Setelah itu barulah seorang yogi bisa memutuskan fenomena yang tengah diselidikinya itu bers ifat tidak kekal. Melalui penyelidikannya para yogi melihat (menyadari) saat bermeditasi jalan ada gerakan mengangkat dan kesadaran yang muncul atas gerakan itu yang sesaat kemudi an lenyap. Hal ini memberi ruang atas munculnya gerakan mendorong kaki ke depan. Gerakan in i pun secara sederhana muncul dan lenyap, muncul dan lenyap (timbul tenggelam). Melalui proses ini lewat pengalamannya sendiri, pengertian muncul dalam diri par a yogi. Pemahaman ini tidak timbul dari membaca buku, diberitahu pihak lain atau adanya suatu otoritas tertentu yang mendorong munculnya pengertian ini. Saat mengalami bahwa batin dan jasmani itu timbul dan tenggelam para yogi akan memahami batin dan jasmani itu bersifat tidak kekal. Saat mereka memahami batin

dan jasmani itu bersifat tidak kekal mereka akan mengerti bahwa batin dan jasmani it u bersifat tidak memuaskan. Hal ini muncul karena ternyata batin dan jasmani berad a dalam keadaan terus-menerus timbul dan tenggelam. Setelah memahami ketidakkekalan dan tidak memuaskannya benda-benda akan muncul suatu penyelidikan yang memunculkan pengertian bahwa di sana tak ada tuan dari benda-benda tersebut. Atau dengan kata lain, mereka menyadari tak ada jiwa atau diri di dalam benda-benda yang memerintah mereka untuk menjadi kekal. Benda-benda hanya timbul dan tenggelam mengikuti hukum alam. Dengan memiliki pemahaman semacam ini yogi-yogi memahami sifat ketiga dari fenomena yang berkondisi, yakni sifat dari anatta. Bahwa benda-benda tak memiliki diri di dalamn ya. Salah satu arti dari anatta adalah tak ada tuan (majikan) tiada apapun, tak ada kekuatan apapun, tak ada jiwa dibalik fenomena-fenomena tersebut. Pada kondisi ini yogi-yogi bisa memahami sifat ketiga dari semua fenomena yang berkondisi yakni bersifat tidak kekal, penuh penderitaan dan tak ada inti yang k ekal di dalamnya (dalam Pali disebut bersifat, anicca, dukkha dan anatta). Para yogi bisa memahami ketiga sifat tersebut dengan penyelidikan secara tekun s aat kaki naik dan kesadaran yang muncul saat menaikkan kaki dan seterusnya. Dengan memberikan perhatian penuh atas gerakan tersebut mereka melihat bendabend a timbul-tenggelam terus-menerus. Akibatnya mereka bisa melihat anicca, dukkha dan anatta dari semua fenomena secara alami. Sekarang izinkan kami untuk menjelaskan lebih terperinci tentang pergerakan dala m meditasi jalan. Umpamanya seseorang mengambil gambar bergerak dari proses mengangkat kaki. Lebih jauh, umpamanya, naiknya kaki berkisar satu detik. Kataka nlah ada kamera yang bisa merekam gerakan tersebut. Sehingga kamera ini bisa mengambi l gambar dari gerakan itu sebanyak 36 bingkai dalam satu detik. Setelah gambar itu terekam kita bisa mengamati rangkaian pergerakan dalam bingka ibingkai yang terpisah itu. Terlihat rangkaian pergerakan itu berbeda satu sama lainnya. Meski perbedaan itu kecil sekali tapi seseorang bisa dengan mudah melihat perbedaan tersebut. Bagaimana jika ada kamera yang bisa mengambil gambar dari pergerakan mengangkat kaki sebanyak 1000 bingkai dalam satu detik? Bila ada kamera demikian maka akan dihasilkan rekaman seribu pergerakan dalam satu detik. Meskipun, tentunya, rangk aian gambar pergerakan itu hampir-hampir sulit dibedakan. Sekarang akan semakin sulit melihat perbedaan pergerakan dalam bingkai gambar dari hasil rekaman kamera yang bisa mengambil gambar satu juta bingkai dalam satu detik. Inilah kenyataannya, ternyata ada satu juta proses pergerakan mengangkat kaki dimana kita menganggapn ya sebagai satu gerakan belaka. Usaha yang dikerahkan saat bermeditasi jalan adalah melihat gerakan kita secara cermat secermat kamera berkekuatan tinggi melihatnya bingkai demi bingkai. Kita pun per lu menyelidiki kekuatan kesadaran dan kekuatan kehendak yang muncul di awal setiap pergerakan. Dengan cara semacam inilah akan muncul penghargaan dan penghormatan atas

perjuangan, kebijaksanaan dan pandangan terang Sang Buddha atas apa yang beliau lihat dari pergerakan-pergerakan tersebut. Saat menggunakan kata melihat atau mengamati yang merujuk pada situasi diri sendiri, hal ini dimaksudkan secara langsung melihat dan juga menarik kesimpulan ; bahwa kita tak akan mungkin melihat secara langsung seluruh satu juta gerakan se perti yang bisa dilihat oleh Sang Buddha. Sebelum mulai berlatih meditasi jalan mungkin para yogi pernah berpikir satu lan gkah hanya terdiri dari satu gerakan. Setelah berlatih meditasi dan mengamati dengan penuh perhatian para yogi akan ta hu meski hanya satu pergerakan (dari jumlah keseluruhan 4 tahapan gerak) sebenarnya pergerakan itu gabungan dari jutaan gerak. Dari proses ini mereka melihat batin dan jasmani, timbul tenggelam, sebagai ketidakkekalan. Dengan pandangan biasa seseorang tak akan mampu melihat ketidakkekalan dari bend abenda karena ketidakkekalan tersembunyi oleh khayalan. Kita berpikir, sebagai umat awam, yang melihat saat melangkah hanya berupa satu gerakan tak terputus. Namun dengan mengamati lebih jernih kita bisa mengetahui bahwa gerakan itu terdiri dari banyak gerak yang berkesinambungan dalam membentu k satu-kesatuan gerak. Demikian pula dengan yang terjadi pada khayalan atas ketidakterputusan bisa dipatahkan. Khayalan ini bisa dipatahkan oleh pengamatan langsung atas fenomena jasmani sedi kit demi sedikit, setahap demi setahap sebagaimana adanya sehingga khayalan tersebut bisa dihancurkan. Nilai dari meditasi ini bersandar pada kemampuan kita untuk menyingkirkan selubu ng ketidakterputusan dengan menemui keadaan alami atas ketidakkekalan. Para yogi bi sa menemukan ketidakkekalan sebagaimana adanya secara langsung melalui daya upaya mereka sendiri. Setelah menyadari bahwa benda-benda merupakan gabungan dari bagian-bagian yang muncul sedikit demi sedikit dan setelah mengamati bagian-bagian ini satu demi sa tu, para yogi akan menyadari sesungguhnya tak ada apapun di dunia ini yang cukup berharga untuk dilekati atau diidam-idamkan. Jika melihat sesuatu yang sekilas k ita pikir cantik ternyata si cantik itu berlubang-lubang, mudah busuk dan hancur. Karenanya kita akan kehilangan keterikatan atasnya. Sebagai contoh kita mungkin melihat sebuah lukisan indah yang digoreskan pada su atu kanvas. Saat itu kita berpikir cat dan kanvas secara keseluruhan sebagai suatu k esatuan. Jika lukisan tersebut ditaruh di bawah mikroskop kita akan melihat ternyata gamb ar tersebut tidak padat dan merupakan satu kesatuan. Karena ternyata lukisan terseb ut terdiri dari banyak lubang dan rongga-rongga. Setelah melihat lukisan tersebut merupakan gabungan dari ruang-ruang kita akan kehilangan ketertarikan padanya. Dengan kata lain ketertarikan kita pada lukisan tersebut akan padam. Ahli fisika modern tahu hal ini dengan baik. Mereka telah mengamatinya dengan peralatan sangat canggih bahwa materi hanyalah gabungan getaran partikel-partikel dan energi yang berubah terus-menerus. Tak ada suatu i

nti sari yang kekal di dalamnya. Dengan menyadari ketidakkekalan yang tiada akhir ini para yogi tahu benar-benar tidak ada apapun yang cukup berharga untuk diidam-idamkan. Tak ada apapun yang cukup berharga untuk digenggam di dunia fenomena ini. Sekarang kita bisa memahami alasan mengapa perlu berlatih meditasi. Kita berlati h meditasi karena ingin menyingkirkan kemelekatan dan kerinduan terhadap obyekobye k. Itu terjadi melalui pengertian atas merealisir ketiga keberadaan anicca, dukkha dan anatta dari benda-benda secara apa adanya. Dengan cara itulah kita bisa menyingkirkan kerinduan. Kita ingin menyingkirkan kerinduan karena tidak ingin menderita. Kita harus mengenyahkan kerinduan dan kemelekatan. Kita harus memahami bahwa segala sesuatu muncul dan lenyap. Tak ada substansi yang kekal di dalamnya. Sekali kita mampu menyadari hal ini maka kita akan mampu menyingkirkan kemelekatan terhadap benda-benda. Sepanjang belum mampu menyadari kebenaran ini, sebanyak apapun buku yang dibaca atau bahan yang didiskusikan (mendiskusikan tentang bagaimana menyingkirkan kemelekatan) kita tidak akan mampu mengenyahkan kemelekatan tersebut. Maka sangat diperlukan memiliki pengalaman langsung bahwa semua benda yang berkondisi adalah tanda dari keberadaan ketiga sifat dasar ters ebut. Lebih jauh kita harus memberikan perhatian penuh saat bermeditasi jalan sama sep erti yang kita lakukan saat duduk bermeditasi atau berbaring. Saya tidak sedang berusaha mengatakan bahwa dengan mempraktekkan meditasi jalan bisa memberikan kesadaran tertinggi dan kemampuan untuk sepenuhnya mengusir kemelekatan. Meski begitu meditasi jalan bisa seakurat seperti meditasi duduk at au jenis posisi meditasi vipassana yang manapun. Meditasi jalan bisa mengakibatkan berkembangnya kekuatan spiritual. Meditasi jalan juga sekuat kesadaran murni mel ihat kembung dan kempisnya perut. Meditasi jalan juga bisa menjadi alat yang tepat gu na menolong kita menyingkirkan kekotoran batin. Meditasi jalan bisa menolong kita meraih pandangan terang melalui melihat ke dalam benda-benda apa adanya. Selebihnya kita harus berlatih meditasi jalan dengan sungguh-sungguh sama sepert i waktu berlatih meditasi duduk atau posisi lainnya. Dengan mempraktekkan semua si kap tubuh dalam meditasi vipassana, termasuk sikap tubuh berdiri, semoga semua yogi bisa meraih pemurnian sepenuhnya dalam kehidupan ini. __________________ Latihan Meditasi Vipassana Praktis oleh: Ven. Mahs Saydaw Agga Mahpandita U Sobhana khotbah YM Mahsi Saydaw Agga Mah Pandita U Sobhana kepada murid beliau pada saat pelantikan Meditasi Vipassan di Ssana Yeikhta, Meditation Centre, Rangoon, Burma Praktek Vipassan atau meditasi pandangan terang merupakan upaya yang dilakukan oleh meditator untuk memahami dengan benar sifat sejati fenomena psiko-fisik yan g terjadi pada tubuhnya. Fenomena fisik adalah segala sesuatu (obyek-obyek) di sek itar yang dirasakan dengan jelas oleh seseorang. Keseluruhan tubuh yang dirasakan den gan jelas tersebut, tersusun atas sekelompok sifat materi (rpa). Sedangkan fenomena f isik atau mental merupakan bentuk kesadaran (nma). Terjadinya Nma-rpa ini dirasakan

dengan jelas, yaitu saat nma-rpa dilihat, didengar, dicium, dirasakan, disentuh at au dipikirkan. Kita harus senantiasa membuat diri sendiri sadar akan nma-rpa tersebut dengan cara mengamati dan memperhatikannya sedemikian rupa, seperti: melihat sebagai melihat , mendengar sebagai mendengar , mencium sebagai mencium , merasakan sebagai merasakan , menyentuh sebagai menyentuh dan berpkir sebagai berpikir . Setiap kali seseorang melihat, mendengar, mencium, merasakan, menyentuh atau berpikir, maka ia harus menyadari kenyataannya. Namun di awal latihan, orang ten tu saja tidak dapat menyadari setiap hal tersebut di atas. Karena itu ia harus mula i memperhatikan hal-hal yang berlaku, yang menarik perhatian dan mudah dirasakan olehnya. Dalam setiap tindakan bernafas, perut senantiasa naik dan turun dan ger akan tersebut jelas sekali. Hal ini merupakan sifat materi yang dikenal sebagai vyodhtu (elemen pergerakan). Meditator harus mulai dengan memperhatikan gerakan ini, dan dilakukan oleh pikiran yang dengan tekun mengamati perut. Anda akan mengetahui bahwa perut bergerak naik saat Anda menarik nafas, dan bergerak turun saat Anda menghembuskan nafas. Gerakan naik harus disadari sebagai gerakan naik, dan gerak an turun sebagai gerakan turun. Jika gerakan tersebut tidak cukup jelas bila hanya diamati oleh pikiran, maka Anda dapat menyentuh perut Anda dengan menggunakan telapak tangan. Jangan mengubah cara Anda bernafas, jangan memperlambat atau mempercepatnya. Jangan bernafas terlalu keras juga. Anda akan merasa lelah jika mengubah cara bernafas. Bernafaslah dengan teratur seperti biasanya dan perhatikan perut yang bergerak naik dan turun setiap kali berlangsung. Lakukan pengamatan itu dengan pikiran dan bukan dengan gerakan. Dalam meditasi vipassan, apa yang Anda sebut atau katakan tidak masalah. Yang menjadi persoalan utama adalah mengetahui atau merasakan. Saat mengamati perut yang bergerak naik, lakukan hal itu dari awal hi ngga akhir gerakan seperti layaknya Anda melihatnya dengan mata. Lakukan hal yang sam a untuk gerakan turun. Perhatikan gerakan naik sedemikian rupa hingga kesadaran An da terhadapnya selaras dengan gerakan itu sendiri. Gerakan naiknya perut serta kesa daran mental terhadapnya harus bertepatan, seperti layaknya sebuah batu yang dilempar mengenai sasarannya. Demikian pula dengan gerakan turun. Pikiran Anda bisa saja mengembara ke mana-mana saat mengamati gerakan perut. Hal ini juga harus disadari dengan berkata dalam hati, mengembara, mengembara . Jika ha l ini diamati sekali atau dua kali, maka pikiran akan berhenti mengembara, sehingg a Anda akan kembali mengamati perut yang bergerak naik dan turun. Jika kemudian pikiran sampai di suatu tempat, maka kita sadari, sampai, sampai . Kemudian kembali lagi kepada gerakan perut naik dan turun. Jika Anda membayangkan bertemu seseora ng, maka amatilah sebagai, bertemu, bertemu . Kemudian kembali lagi kepada gerakan perut yang naik dan turun. Jika Anda membayangkan bertemu dan berbicara dengan seseorang maka amati hal itu demikian, bicara, bicara . Singkatnya, apapun bentuk pikiran atau bayangan yang timbul haruslah disadari. J ika Anda membayangkan, maka sadarilah itu sebagai membayangkan. Jika Anda berpikir, maka sadarilah itu sebagai berpikir. Merencanakan sebagai merencanakan. Jika And a merasa bahagia, sadarilah itu sebagai bahagia. Bosan sebagai bosan. Senang sebag ai

senang. Kecil hati sebagai kecil hati. Dan mengamati semua bentuk kesadaran ini disebut sebagai cittnupassan. Jika kita gagal mengamati bentuk-bentuk kesadaran tersebut, kita cenderung mengidentifikasikannya dengan seseorang atau satu individu. Kita cenderung berpi kir bahwa inilah aku yang sedang membayangkan, sedang berpikir, merencanakan, mengetahui atau merasakan. Kita jadi berpikir bahwa ada seseorang yang sejak kan akkanak hingga sekarang, sedang hidup dan berpikir. Sesungguhnya, orang tersebut tidak ada. Yang ada hanyalah bentuk-bentuk kesadaran yang berlangsung terus menerus. Itulah mengapa kita harus mengamati bentuk-bentuk kesadaran dan memahaminya sebagaimana adanya. Itulah mengapa kita harus senantiasa mengamati setiap bentuk kesadaran yang timbul. Karena dengan mengamati, bentuk kesadaran tersebut cenderung lenyap. Kemudian kita akan kembali mengamati gerakan naik dan turunnya perut. Jika Anda telah duduk bermeditasi sekian lama, maka perasaan kaku dan panas akan timbul dalam tubuh. Hal ini juga harus diamati dengan hati-hati pula. Sama halny a dengan rasa pegal dan lelah. Seluruh bentuk perasaan itu disebut sebagai dukkhved an (perasaan tidak puas) dan tindakan mengamatinya disebut sebagai vedannupassan. Kegagalan atau kelalaian dalam mengamati sensasisensasi tersebut membuat Anda berpikir, Aku merasa kaku, aku merasa panas, aku merasa pegal, padahal aku baik-b aik saja beberapa saat yang lalu. Aku sekarang merasa tidak nyaman dengan perasaanpe rasaan yang tidak enak ini . Penjelasan mengenai bentuk-bentuk perasaan dengan menyertakan ego adalah keliru. Sesungguhnya tidak ada aku yang terlibat di sini. Yang ada hanyalah timbulnya satu bentuk perasaan tidak menyenangkan yang disusul oleh bentuk perasaan tak menyenangkan berikutnya. Hal ini sama seperti timbulnya aliran listrik baru yang berkesinambungan, yang menyebabkan lampu menyala. Setiap kali kontak yang tidak menyenangkan menyentuh tubuh maka bentuk-bentuk perasaan tidak menyenangkan timbul saling bergantian. Bentuk-bentuk perasaan ini harus diamati dengan hati-hati dan terus menerus, tak peduli apakah itu perasaan kaku, pegal atau panas. Pada tahap awal latihan meditasi yan g dilakukan oleh seorang yogi, perasaan tersebut cenderung meningkat dan menyebabk an keinginan untuk mengganti posisi tubuh. Keinginan ini pun harus diamati, di mana setelahnya sang yogi harus kembali lagi mengamati perasaan kaku, pegal, panas da n sebagainya. Kesabaran menuntun ke Nibbna demikian kata pepatah. Pepatah ini rupanya berhubungan erat dengan upaya bermeditasi. Orang harus sabar dalam bermeditasi. Jika ia menukar atau mengganti posisi tubuh terlalu sering karena tidak sabar menghad api perasaan kaku atau panas yang timbul, maka samdhi (konsentrasi benar) tidak akan berkembang. Jika samdhi tidak berkembang maka batin tidak akan mencapai hasil, da n tidak juga akan tercapai Magga (Jalan menuju Nibbana), Phala (Buah dari Sang Jal an) dan Nibbna. Itulah mengapa kesabaran sangat dibutuhkan dalam meditasi. Memang kesabaran terhadap bentuk-bentuk perasaan tidak menyenangkan dalam tubuh seperti rasa kaku, panas dan pegal serta yang lainnya sangatlah sukar dipertahankan. Ora ng tidak seharusnya gampang menyerah terhadap latihan meditasi pada saat muncul bentuk-bentuk perasaan tersebut sehingga ia langsung mengubah posisi tubuhnya. I

a harus melanjutkan meditasinya dengan penuh kesabaran, menyadari rasa kaku sebagai rasa kaku atau panas sebagai panas . Bentuk-bentuk perasaan yang halus seperti ini akan langsung hilang jika orang tersebut mengamatinya dengan penuh kesabaran. Sa at konsentrasi baik dan mantap, bahkan bentuk perasaan yang kuat sekalipun cenderun g menghilang. Sehingga ia lalu kembali mengamati gerakan naik dan turunnya perut. Tapi ia tentu saja harus segera mengubah posisi tubuhnya jika bentuk-bentuk pera saan yang tidak menyenangkan tetap ada meskipun telah diamati sekian lama, dan juga b ila perasaan-perasaan tersebut menjadi tak tertahankan lagi. Namun ia juga harus tet ap mengamati demikian, ingin mengubah posisi, ingin mengubah posisi . Jika tangan terangkat, maka harus diamati, terangkat, terangkat . Jika tangan bergerak, amati demikian, bergerak, bergerak . Mengubah posisi tubuh ini harus dilakukan dengan halus dan diamati demikian, terangkat, terangkat , bergerak, bergerak dan menyentuh, menyentuh . Jika tubuh bergerak, bergerak, bergerak . Jika kaki terangkat, terangkat, terangkat . Jika kaki bergerak, bergerak, bergerak . Jika kaki turun, turun, turun . Namun jika tidak mengubah posisi tubuh, hanya istirahat statis saja, maka kembal ilah pada mengamati gerakan naik dan turunnya perut. Tak boleh ada waktu jeda saat it u. Yang ada hanyalah kesinambungan antara usaha mengamati dan pengamatan sesungguhnya, antara usaha samdhi (tahap konsentrasi) dan samdhi yang sesungguhnya. Dengan demikian tercapailah tahap-tahap kematangan yang terus menerus dan meningkat dalam kecerdasan seorang yogi. Magga dan Phala na (pengetahuan akan Jalan dan Buahnya) didapatkan hanya jika terjadi momentum pertemuan seperti ini. Proses meditasi adalah seperti menciptakan api dengan car a menggesekkan dua batang kayu dengan sekuat tenaga dan tanpa henti hingga timbul intensitas panas yang dibutuhkan (agar api menyala). Dengan cara yang sama, pengamatan dalam meditasi vipassan harus berkesinambungan dan tanpa henti, tanpa adanya jeda di antara kegiatan mengamati tersebut apapun fenomena yang timbul. Sebagai contoh, jika rasa gatal timbul dan meditator ingin menggaruknya karena rasa gatal tersebut sudah tidak tertahankan lagi, maka rasa gatal dan keinginan untuk menggaruk itu harus diamati, dan jangan lang sung menggaruk agar gatalnya hilang. Jika ia dengan tekun mengamati, maka rasa gatal akan berangsur-angsur hilang dan kemudian ia bisa kembali mengamati gerakan naik dan turunnya perut. Jika rasa ga tal tersebut tidak juga hilang, maka ia memang harus menggaruknya agar rasa gatal it u hilang. Namun pertama-tama, keinginan untuk menggaruk tersebut juga harus diamat i. Semua gerakan yang dilakukan untuk menghilangkan rasa gatal ini harus diamati, khususnya gerakan menyentuh, menarik dan mendorong (gerakan-gerakan menggaruk) hingga akhirnya kembali pada mengamati gerakan naik dan turunnya perut. Setiap kali Anda mengubah posisi tubuh, Anda harus mulai dan mengamati keinginan untuk mengubah posisi tubuh itu dan dilanjutkan dengan mengamati setiap gerakan dengan cermat, seperti misalnya bangun dari posisi duduk, mengangkat tangan, menggerakkan dan merentangkannya. Perubahan posisi harus dilakukan bersamaan dengan pengamatan yang Anda lakukan. Saat tubuh Anda condong ke depan, amatilah itu. Saat Anda bangun, tubuh menjadi ringan dan terangkat. Konsentrasikan pikiran Anda pada gerakan ini, Anda harus mengamatinya pelan-pelan, bangun, bangun .

Seorang meditator harus bertindak seperti orang cacat yang lemah. Orang normal d an sehat akan berdiri dengan mudah, cepat dan tiba-tiba. Namun tidak demikian denga n orang cacat, ia akan bergerak pelan dan hati-hati. Demikian pula dengan orang ya ng menderita sakit punggung (encok), ia akan berdiri pelanpelan supaya punggungnya tidak semakin sakit. Begitu juga para yogi yang bermeditasi. Mereka harus bergerak mengubah posisi tu buh secara bertahap, pelan dan hati-hati. Dengan demikian kewaspadaan, konsentrasi d an pandangan akan mantap. Karena itu mulailah dengan gerakan yang bertahap dan perlahan. Jika akan bangun, lakukanlah sepelan mungkin seperti layaknya orang cacat, pada saat yang sama amatilah, bangun . Tidak hanya ini. Meskipun mungkin mata melihat, tapi bersikaplah seperti tidak melihat. Sama halnya jika mendengar. Saat bermeditasi, perhatian seorang yogi hanyalah mengamati. Melihat atau mendengar tidak menjadi perhatiannya. Jadi seaneh atau seheboh apapun yang barangkali dilihat atau didengarnya, ia harus bersikap seakan tidak melihat atau mendengarnya, yang ia lakukan hanyalah terus mengamati hal-hal tersebut dengan cermat. Saat membuat gerakan tubuh, seorang yogi harus melakukannya perlahan-lahan seper ti orang cacat yang lemah, pelan-pelan menggerakkan lengan dan kaki, menekuk atau meluruskannya, menundukkan atau menegakkan kepala. Semua gerakan ini harus dilakukan pelan-pelan. Saat bangun dan posisi duduk, ia harus melakukannya secar a perlahan, mengamati demikian, bangun, bangun . Saat meluruskan badan dan berdiri, amati demikian, berdiri, berdiri . Saat melihat kesana kemari, amati demikian, melihat, memandang . Saat berjalan, amati langkah kaki, apakah kaki kiri atau kaki kanan yang maju. Anda harus selalu menyadari semua gerakan yang ada, mulai dari gerakan terangkatnya hingga turunnya kaki. Amati setiap langkah kaki, apakah den gan kaki kiri atau kaki kanan. Inilah cara mengamati jika seseorang berjalan dengan cepat. Cukuplah jika Anda melakukan pengamatan saat berjalan cepat atau berjalan dalam jarak tertentu. Saat berjalan perlahan atau berjalan cankama (berjalan naik dan turun), 3 gerakan harus diamati dalam setiap langkah yaitu: saat kaki terangkat, saat kaki terdorong ke depan dan saat kaki jatuh. Mulai saja dengan gerakan terangkat dan gerakan jatuh. Anda harus mengamati dengan cermat terangkatnya kaki. Demikian pu la saat kaki jatuh ke tanah, Anda juga harus mengamati beratnya gerakan kaki turun. Orang harus berjalan, mengamati setiap langkah demikian, angkat, turun . Pengamatan seperti ini akan semakin mudah setelah dilakukan selama dua hari. Kemudian lakuk an pengamatan 3 gerakan seperti disebutkan di atas, angkat, maju, turun . Pada awalnya , cukup mengamati satu atau dua gerakan saja yaitu, kiri, kanan saat berjalan cepat dan angkat, turun pada saat berjalan pelan. Jika pada saat berjalan Anda lalu ingin du duk maka amatilah demikian, ingin duduk, ingin duduk . Dan pada saat duduk, amati dengan konsentrasi penuh beratnya gerakan turun tubuh Anda. Saat Anda sudah duduk, amati gerakan-gerakan yang Anda lakukan saat mengatur posisi kaki dan tangan Anda. Jika tidak ada gerakan apa-apa, namun hanya posisi tubuh yang statis, maka amati gerakan perut yang naik dan turun. Saat mengamati, jika timbul

rasa kaku pada pinggul dan rasa panas di sekujur tubuh, lanjutkan dengan mengama ti bentuk-bentuk perasaan tersebut. Lalu kembali lagi pada, naik, turun . Saat mengamati, jika timbul keinginan untuk berbaring, amati keinginan itu dan juga gerakan-gerakan tangan dan kaki saat And a berbaring. Terangkatnya lengan, bergeraknya lengan, menempelnya sikut pada lanta i, goyangan badan, kaki yang diluruskan, condongnya tubuh saat Anda telah siap untu k berbaring, semua gerakan ini harus diamati. Melakukan pengamatan saat Anda berbaring dengan cara demikian adalah penting. Dalam kasus gerakan seperti ini (yaitu berbaring) Anda dapat memperoleh pengetah uan (yaitu magga na dan phala na pengetahuan akan Sang Jalan dan Buah). Saat samdhi (konsentrasi) dan na (pandangan terang) cukup mantap, maka pengetahuan itu dapat timbul kapan saja. Pengetahuan itu bisa datang dalam sekali tekukan tangan atau dalam sekali rentan gan tangan. Karena ini jugalah maka YM Ananda menjadi seorang Arahat. YM Ananda telah bertekad untuk mencapai tingkat Arahat dalam semalam saat Sang Buddha membabarkan ajaranNya untuk pertama kali. Ia berlatih semalaman satu bentuk meditasi vipassan yang dikenal sebagai kayagatasati, yaitu mengamati langkah kaki , kiri dan kanan, angkat, maju ke depan dan menjejak. Ia mengamati setiap kejadian , keinginan mental untuk berjalan serta gerakan fisik yang terjadi saat berjalan. Meskipun ini dilakukan hingga hampir subuh, ia belum juga berhasil mencapai tingkat Araha t. Dengan menyadari bahwa ia telah berlatih meditasi secara berlebihan, dan dengan tujuan menyeimbangkan samdhi (konsentrasi) dan viriya (usaha), ia harus bermedita si dalam posisi berbaring sejenak, maka ia masuk ke dalam kutinya. Ia duduk di atas bantal dan membaringkan tubuhnya. Saat melakukan ini dan mengamati, berbaring, berbaring maka ia langsung mencapai tingkat Arahat. YM Ananda hanyalah seorang sotpanna (yaitu seorang pemenang arus, mencapai tingkat kesucian pertama) sebelum ia membaringkan tubuhnya. Dari tingkat sotpanna , ia melanjutkan meditasi dan mencapai tingkat sakadgmi (yaitu orang yang kembali sekali lagi atau orang yang telah mencapai tingkat kesucian ke dua), tingkat angmi (yaitu yang tidak kembali lagi atau tingkat kesucian ke tiga) dan tingkat Arahat (yaitu kondisi seseorang yang telah mencapai kesucian tertinggi). Tiga tingkat kesucian yang lebih tinggi ini dicapai hanya dalam waktu sekejap. Jadi renungkanlah pengalaman YM Ananda yang mencapai tingkat Arahat ini. Pencapaian seperti itu datang setiap sa at dan hanya butuh waktu sekejap. Itulah mengapa seorang yogi harus tekun mengamati setiap saat. Ia tidak boleh bersantai-santai dalam mengamati dan berpikir bahwa, sedikit waktu terlewat tidak lah seberapa . Segala gerakan yang terjadi saat berbaring dan mengatur posisi lengan d an kaki harus diamati secara cermat dan terus menerus. Jika tak ada gerakan, namun hanya tubuh yang statis, maka kembali pada mengamati gerakan naik dan turunnya perut. Bahkan jika hari sudah sangat larut dan waktunya tidur, maka seorang yogi tidak boleh

tidur dulu dan mengendurkan pengamatannya. Seorang yogi yang serius dan bersemangat harus melatih kewaspadaan seperti mendahului rasa kantuknya itu. Ia harus terus bermeditasi hingga akhirnya memang tertidur. Jika meditasinya matang dan mengalahkan rasa kantuknya maka ia tidak akan tertidur. Sebaliknya, jika rasa ka ntuk yang menang maka ia akan langsung tertidur. Saat ia merasa ngantuk, maka ia haru s mengamati, ngantuk, ngantuk . Jika matanya terpejam, terpejam, terpejam . Jika matanya terasa makin berat, berat, berat . Jika mata terasa sakit, sakit, sakit . Mengamati dengan cara demikian maka rasa kantuk akan hilang dan mata menjadi segar lagi. Sang yogi lalu harus mengamati, segar, segar dan terus mengamati gerakan naik dan turunnya perut. Betapa pun giatnya seorang yogi melakukan medit asi, maka jika kantuk yang sebenarnya timbul maka ia akan langsung tertidur. Tidaklah sulit untuk tertidur, bahkan sangat gampang. Jika Anda bermeditasi dalam posisi berbar ing maka rasa kantuk cepat datang dan akhirnya Anda jatuh tertidur. Itulah mengapa mereka yang baru mulai belajar bermeditasi tidak dianjurkan untuk sering-sering berlatih dalam posisi berbaring. Ia seharusnya lebih sering bermeditasi dalam po sisi duduk atau berjalan. Tapi jika hari semakin larut malam dan sudah waktunya tidur , maka ia bisa bermeditasi saat berbaring, mengamati gerakan perut naik dan turun. Kemudian ia secara alami (otomatis) akan tertidur. Saat tidur merupakan saat beristirahat bagi seorang yogi. Tapi bagi seorang yogi yang benar-benar serius, ia harus membatasi waktu tidurnya hingga 4 jam. Inilah waktu tengah malam yang disarankan Sang Buddha. 4 jam tidur adalah cukup. Jika seorang pemula dalam meditasi berpikir bahwa 4 jam tidur tidaklah cukup untuk menjaga kesehatan, maka ia bisa memperpanjang waktu tersebut hingga 5 atau 6 jam. Enam j am tidur sangatlah cukup untuk menjaga kesehatan. Saat seorang yogi bangun, ia harus langsung mulai mengamati. Seorang yogi yang bertekad mencapai magga dan phalana harus beristirahat hanya pada saat tidur saja. Di saat yang lain, yaitu pada saat bangun, ia harus terus mengamati tanpa henti. Itulah mengapa pada saat terbangun dan tidur maka ia harus langsung mengamati keadaan pikiran saat bangun seperti, bangun, bangun . Jika ia belum mampu membuat dirinya sadar akan hal ini, ia harus mulai dengan mengamati gerakan naik turunnya perut. Jika ia berniat bangun dari ranjang, ia harus mengamati demikian, ingin bangun, i ngin bangun . Lalu ia harus segera mengamati gerakan-gerakan saat mengatur posisi lenga n dan kaki. Saat menegakkan kepala ia mengamati demikian, tegak, tegak . Saat ia duduk ia akan mengamati, duduk duduk . Jika ia mengubah gerakan-gerakan saat mengatur posisi tangan dan kaki, semua gerakan ini juga harus diamati. Jika tak ada perubahan apapun, namun hanya duduk diam, maka ia harus kembali pada mengamati gerakan naik dan turunnya perut. Orang juga harus mengamati saat ia mencuci wajah atau mandi. Karena biasanya gerakan-gerakan yang terjadi berlangsung cepat, sehingga harus diamati sebanyak yang memungkinkan. Kemudian ada pula gerakan berpakaian, merapikan ranjang, membuka dan menutup pintu. Semua gerakan tersebut harus diamati secermat mungkin. Saat seorang yogi makan dan memandang meja makan, ia harus mengamati demikian, melihat, memandang, melihat, memandang . Saat menyodorkan tangan ke arah makanan, menyentuhnya, mengambil dan mengaturnya di piring, menundukkan kepala dan memasukkan sesendok ke dalam mulut, menurunkan tangan kembali dan

menegakkan kepala, semua gerakan ini harus diamati seperti adanya (pengamatan seperti ini sama seperti cara pengamatan orang Burma saat makan. Mereka yang menggunakan garpu dan sendok atau sumpit harus mengamati gerakan-gerakannya dengan sikap yang sepatutnya). Saat ia mengunyah makanan, ia harus mengamati demikian, mengunyah, mengunyah . Saat ia sampai pada tahap merasakan makanan, ia harus mengamati, mengetahui, mengetahui . Saat ia menikmati dan menelan makanan tersebut, dan saat makanan tersebut turun melalui kerongkongannya, ia harus mengamati gerakan ini. Inilah y ang harus dilakukan seorang yogi saat ia makan sesendok demi sesendok. Begitu pula j ika ia sedang makan sup. Semua gerakan yang terjadi seperti menyodorkan tangan, memegan g sendok dan menyendok sup tersebut, semua gerakan ini harus diamati. Mengamati gerakan-gerakan yang terjadi pada saat makan memang cukup sulit karena terdapat begitu banyak hal untuk dilihat dan diamati. Pada awalnya seorang yogi akan mele wati beberapa hal yang seharusnya diamati, tapi ia harus bertekad untuk dapat mengama ti semuanya. Tentu saja ia tak dapat mencegah lewatnya beberapa hal yang seharusnya diamati, tapi saat samdhi (konsentrasi)nya telah mantap, ia akan mampu mengamati dengan cermat semua gerakan yang terjadi. Sampai di sini saya telah menyebutkan begitu banyak hal yang harus diamati oleh seorang yogi. Tapi secara singkat, sebenarnya hanya ada beberapa hal mendasar ya ng perlu diamati. Saat berjalan cepat, amati demikian, kanan, kiri . Saat berjalan pel an, angkat, turun . Saat duduk diam, amati hanya gerakan naik dan turunnya perut. Amati hal yang sama saat Anda yang perlu diamati. Saat mengamati demikian dan pikiran melantur, amatilah bentuk-bentuk kesadaran. Lalu kembali pada gerakan naik dan turunnya perut. Amati pula rasa kaku, pegal dan sakit serta rasa gatal manakala timbul. Lalu kem bali pada mengamati gerakan naik dan turunnya perut. Amati juga, saat timbul, gerakan condong dan meluruskan pinggul, gerakan mencondongkan dan menegakkan kepala, gerakan memutar dan meluruskan tubuh. Lalu kembali pada mengamati gerakan naik dan turunnya perut. Jika seorang yogi terus mengamati secara demikian, ia akan mampu mengamati lebih banyak gerakan yang terjadi. Pada awalnya, saat pikirannya mengembara kesana kemari, ia akan kehilangan banyak hal untuk diamati. Tapi ia pantang putus asa k arena setiap pemula dalam meditasi akan menghadapi kesulitan yang sama. Tapi saat ia semakin terlatih, ia akan semakin menyadari saat pikirannya mulai m elantur hingga akhirnya pikiran itu berhenti melantur. Pikirannya kemudian akan terpusat pada obyek perhatian, kewaspadaan menjadi hampir simultan (tanpa henti) pada obyek perhatiannya, misalnya gerakan naik dan turunnya perut (atau dengan kata lain, g erakan naiknya perut akan selaras dengan mengamati, demikian pula dengan gerakan turunn ya perut). Obyek fisik perhatian dan kegiatan mental mengamati akan berlangsung secara berpasangan. Dan dalam keadaan ini, tak ada satu individu atau orang yang terlib at. Yang ada hanyalah obyek pengamatan dan kegiatan mengamati yang berpasangan. Sang yogi pada saatnya akan mengalami sendiri keadaan ini yang sesungguhnya. Saat mengamati gerakan naik dan turunnya perut ia akan dapat membedakan bahwa gerakan naiknya perut sebagai fenomena fisik dan kegiatan mental mengamatinya sebagai fenomena psikis. Begitu pula dengan gerakan turunnya perut. Dengan demikian sang

yogi akan menyadari dengan sejelas-jelasnya keadaan tanpa henti dari pasangan fenomena fisik dan psikis tersebut. Karenanya, dalam setiap tindakan mengamati, sang yogi akan memahami sendiri dengan jelas bahwa yang ada hanyalah bentuk materi yang menjadi obyek perhatian serta keadaan mental yang mengamatinya. Pemahaman membedakan ini disebut sebagai nmarpa-pariccheda-na, sebagai tahap awal vipassan-na. Sangatlah penting untuk mendapatkan pemahaman ini secara benar. Hal ini akan dicapai, jika sang yo gi terus berlatih, dengan pengetahuan membedakan antara sebab dan akibat. Dan pengetahuan ini disebut sebagai paccaya-pariggaha-na. Saat sang yogi terus mengamati, ia akan memahami bahwa segala sesuatu yang timbu l akan cepat berlalu. Orang awam selalu berasumsi bahwa baik fenomena mental dan material akan berlangsung selamanya, yaitu dari kanak-kanak hingga dewasa. Pada kenyataannya tidaklah demikian. Tak ada satu fenomena pun yang abadi. Semua bent uk fenomena timbul dan berlalu begitu cepat, bahkan tidak lebih lama dari satu kedi pan mata. Sang yogi akan memahaminya sendiri jika ia terus mengamati. Ia lalu menjad i sangat yakin bahwa segala fenomena bersifat hanya sementara. Keyakinan seperti i ni disebut sebagai aniccnupassana-na. Pengetahuan tersebut lalu akan diikuti oleh dukkhnupassan-na, yaitu menyadari bahwa segala sesuatu yang bersifat sementara adalah derita. Sang yogi juga akan menemui berbagai macam kesulitan dalam tubuh, yang merupakan satu bentuk dari penderitaan. Ini adalah juga dukkhanupassana-na. Selanjutnya, sang yogi akan menjadi yakin bahwa segala fenomena psiko-fisik terjadi dengan sendirinya, tanpa menuruti keinginan atau dibawah kendali siapa pun. Mereka bersifat tanpa jiwa at au tanpa ego. Kesadaran akan hal ini disebut sebagai anattnupassanna. Saat ia terus melakukan meditasi, sang yogi akan menyadari dengan jelas bahwa se gala fenomena besifat anicc, dukkh dan anatt, hingga akhirnya ia mencapai Nibbna. Para Buddha, Arahat dan Arya memahami Nibbna dengan mengikuti hanya jalan ini. Para yogi meditasi harus mengenali bahwa mereka berada pada jalan satipatthana i ni, untuk memenuhi keinginan mereka mencapai magga-na (pengetahuan akan Sang Jalan), phalana (pengetahuan buah dan Sang Jalan) dan Nibbna-dhamma, serta yang menyertai masaknya buah itu adalah prmi mereka (kebajikan sempurna). Mereka harus merasa bahagia akan hal ini serta pada kemungkinan mengalami keadaan samdhi luhur ini (kedamaian pikiran yang timbul dari konsentrasi) dan na (kebijaksanaan) yang dialami oleh para Buddha, Arahat dan Arya, yang tidak pernah mereka alami sebelumnya. Tidak lama setelah itu mereka akan mengalami sendiri magga-na, phalana dan Nibbna-Dhamma yang juga dialami oleh para Buddha, Arahat dan Arya. Dan sesungguhnya, hal-hal tersebut akan dialami dalam rentang waktu satu bulan, 20 a tau 15 hari latihan meditasi. Bahkan bagi mereka yang memiliki prmi istimewa akan mengalami Dhamma-Dhamma ini hanya dalam 7 hari. Sang yogi memang seharusnya merasa puas dalam keyakinan bahwa ia akan mencapai Dhamma-Dhamma ini dalam waktu seperti tersebut di atas, bahwa ia akan terbebas d ari sakyaditthi (kepercayaan akan adanya aku) dan vicikicch (keragu-raguan), serta terselamatkan dari bahaya kelahiran kembali di alam manapun juga. Ia harus melanjutkan berlatih meditasi dalam keyakinan ini. Semoga Anda semua mampu berlatih meditasi dengan baik dan dengan segera mencapai Nibbna yang telah dialami oleh para Buddha, Arahat dan Arya. Sadhu!Sadhu!Sadhu! ***

Sumber: LATIHAN MEDITASI VIPASSANA PRAKTIS; terjemahan dari bahasa Burma ke bahasa Inggris oleh: U Nyi Nyi, Mahsi Yogi, beserta anggota Executive Committee, Buddhassannuggaha Association, 1978

You might also like