You are on page 1of 2

Hydraulic Ram Pump, Pompa Air Murah dan Mudah

Tahun 90-an, lewat lembaga swadaya masyarakat, seperti Lembaga Studi Pengembangan
Wilayah (LSPW), kemudian diikuti oleh Departemen Pengembangan Masyarakat (Pengmas)
HKBP, Parpem GBKP dan Pengmas GKPI, di Tapanuli Utara dan Tanah Karo, memperkenalkan
inovasi teknologi tepat guna dengan membangun puluhan sarana air minum menggunakan
Hydraulic Ram Pump.
Kontur wilayah yang didominasi bukit dan lembah di berbagai tempat di Dataran Tinggi Toba,
sangat cocok berhubung minimnya fasilitas air minum dan ketidakberdayaan masyarakat
menggunakan energi komersial seperti minyak (diesel dan bensin), serta aliran listrik.
Jauhnya sumber air dari perkampungan dengan beda tinggi yang tidak kecil, juga menutup
kemungkinan penggunaan mesin sebagai alat pemompa air. Selain karena mahal dalam
pengadaanya, biaya pengoperasian juga jauh di atas kemampuan masyarakat.
Dengan Hydram, semua kesulitan itu sepertinya dapat teratasi. Kemampuan untuk mengangkat
air dari sumber air yang pada umumnya berlokasi di lembah dengan kedalaman hingga 100
meter, tidak mahal, tidak menggunakan minyak, solar atau listrik, pemeliharaan mudah, tidak
menimbulkan polusi, plus dapat beroperasi tanpa harus ditongkrongi selama 24 jam penuh.
Sebab, untuk mengoperasikan Hydram hanya membutuhkan tenaga air itu sendiri yang dikenal
dengan efek water hammer.
Ibarat istilah Batak, miak na panggorengna (lemak melekat di daging, sebagai minyak
penggorengnya), alat ini dapat beroperasi selama ada air yang dijatuhkan lewat pipa ke Hydram,
dan tekanan udara yang berubah di dalam tabung Hydram akan mengangkat sebagian air itu ke
atas. Jika, ketinggian jatuh air 1 meter, dari pipa berukuran 4 inchi, maka Hydram dapat
mengangkatnya secara vertikal 10 meter, dengan ukuran pipa out let 1 inchi. Jika, lembah di
suatu desa mencapai 100 meter, maka ketinggian jatuh air vertikan yang dibutuhkan 10 meter
saja.
Dari pengalaman pengoperasian Hydram di Sipahutar, konon kedalaman lembahnya mencapai
90 meter vertikal, dengan jarak pipa ke perkampungan berjarak 9 kilometer, air mampu
dihantarkan hingga ke desa.
Begitu sederhananya teknologi ini, tentu menjadi peluang besar bagi masyarakat pedesaan untuk
tidak lagi kesulitan memperoleh air. Tidak jarang di pedesaan Taput, akibat poisisi desa yang
terletak di puncak-puncak perbukitan, warga kesulitan dalam memperoleh air hanya untuk
keperluan sehari-hari (domestic uses). Menuruni perbukitan, dengan jalan setapak.
Jika tidak punya tenaga lagi menjinjing air dari lembah, maka alternatif yang paling umum
dilakukan adalah menampun air hujan di bak-bak yang khusus dibangun untuk penampung air.
Dengan mengharapkan curah hujan, tentu banyak masalah yang timbul. Selain kemungkinan
tidak mencukupi kebutuhan domestik sepanjang tahun, juga akan sangat berbahaya terhadap
masalah kesehatan. Air hujan tidak mengandung mineral apapun–penyakit gondok di depan
mata.
Setelah puluhan tahun kemudian, saya mengetahui bahwa hampir seluruh proyek Hydram itu,
tidak dapat beroperasi lagi. Masalahnya, masyarakat ternyata belum siap untuk membangun
mekanisme atau sistim manajemen pemeliharaan sehingga peralatan dan seluruh sarana
pendukung Hydram itu dapat berfungsi. Walaupun, teknologinya sederhana.
Persiapan sosial yang minim, sepertinya menjadi faktor utama. Padahal dari segi analisis
kebutuhan yang dilakukan sebelum proyek disepakati untuk dibangun, menyatakakan proyek
pengadaan air minum adalah merupakan skala prioritas. Dari sini dapat ditarik pelajaran, bahwa
sesederhana apapun teknologi, harus disosialisasikan secara matang dan persiapan sosial seperti
pengorganisasian masyarakat harus dilakukan secara tepat.
Saya belum bisa melupakan, ketika masyarakat di Sipultak - Tapanuli Utara, bersorak gembira,
ketika pertama sekali air menyembur hingga ke desa mereka. Di antara mereka ada yang
langsung meneguk air itu, dan sebagian lagi ada yang langsung menyiramkannya ke tubuh.
Hydram, ternyata memberi harapan baru saat itu.
Pertanyaan sekarang, kenapa teknologi yang tepat guna seperti ini tidak dilirik oleh Pemerintah
Kabupaten di Taput, Tobasa, Humbahas, Dairi, Samosir dan Pakpak Bharat, sebagai alternatif
dalam penyediaan air bagi masyarakat. Desa Pokki, walau sudah 63 tahun merdeka,
penduduknya masih mengkonsumsi air hujan. Dan, banyak lagi desa-desa lain yang memiliki
sumber air tetapi tidak bisa dimanfaatkan karena ketiadaan teknologi murah meriah.
Hydram, saya kira cocok untuk diseriusi…

You might also like