You are on page 1of 5

MAKNA SARANA PERSEMBAHYANGAN

Oleh : Ni Kadek Putri Noviasih, S.Sos.H

Salah satu bentuk pengamalan beragama Hindu adalah berbhakti kepada Sang Hyang Widhi. Di samping itu pelaksanaan agama juga di laksanakan dengan Karma dan Jnana. Bhakti, Karma dan Jnana Marga dapat dibedakan dalam pengertian saja, namun dalam pengamalannya ketiga hal itu luluh menjadi satu. Upacara dilangsungkan dengan penuh rasa bhakti, tulus dan ikhlas. Untuk itu umat bekerja mengorbankan tenaga, biaya, waktu dan itupun dilakukan dengan penuh keikhlasan. Kegiatan upacara ini banyak menggunakan simbol-simbol atau sarana. Simbolsimbol itu semuanya penuh arti sesuai dengan fungsinya masing-masing. Berbhakti pada Tuhan dalam ajaran Hindu ada dua tahapan, yaitu pemahaman agama dan pertumbuhan rohaninya belum begitu maju, dapat menggunakan cara Bhakti yang disebut Apara Bhakti. Sedangkan bagi mereka yang telah maju dapat menempuh cara bhakti yang lebih tinggi yang disebut Para Bhakti. Apara Bhakti adalah bhakti yang masih banyak membutuhkan simbul-simbul dari benda-benda tertentu. Nah sarana-sarana itulah merupakan visualisasi dari ajaran-ajaran agama yang tercantum dalam kitab suci. Menurut Bhagavadgita IX.26 sarana pokok yang umum digunakan adalah Bunga, Daun, Buah, Api dan Air. Dalam kitab-kitab yang lainnya disebutkan pula Api yang berwujud dipa dan dhpa merupakan sarana pokok juga dalam setiap upacara Agama Hindu. Dari unsur-unsur tersebut dibentuklah upakara atau sarana upacara yang telah berwujud tertentu dengan fungsi tertentu pula. Meskipun unsur sarana yang dipergunakan dalam membuat upakara adalah sama, namun bentuk-bentuk upakaranya adalah berbedabeda dalam fungsi yang berbeda-beda pula namun mempunyai satu tujuan sebagai sarana untuk memuja Sang Hyang Widhi.

1.

Bunga dan Daun Arti bunga dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan sebagai ... sekare pinaka

katulusan pikayunan suci. Artinya, bunga itu sebagai lambang ketulus-ikhlasan pikiran yang suci. Bunga sebagai unsur salah satu persembahyangan yang digunakan oleh umat Hindu bukan dilakukan tanpa dasar petunjuk kitab suci. Untuk fungsi bunga yang

penting yaitu ada dua dalam upacara. Berfungsi sebagai simbol, bunga diletakkan tersembul pada puncak cakupan kedua belah telapak tangan pada saat menyembah. Setelah selesai menyembah bunga tadi biasanya ditujukan di atas kepala atau disumpangkan di telinga. Dan fungsi lainnya yaitu bunga sebagai sarana persembahan, maka bunga itu dipakai untuk mengisi upakara atau sesajen yang akan dipersembahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya ataupun roh suci leluhur.
1

Dari bunga dan daun ini dibuat suatu bentuk sarana persembahyangan seperti Canang dan Kewangen. Semua sarana persembahyangan tersebut memiliki arti dan makna yang dalam dan merupakan perwujudan dari Tattwa Agama Hindu. Canang ini merupakan upakara yang akan dipakai sarana persembahan kepada Sang Hyang Widhi Wasa atau Bhatara Bhatari leluhur. Unsur - unsur pokok daripada canang tersebut adalah: a. Porosan terdiri dari pinang, kapur dibungkus dengan sirih.

Dalam lontar Yadnya Prakerti disebutkan pinang, kapur dan sirih adalah lambang pemujaan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. b. Plawa yaitu daun-daunan yang merupakan lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, seperti yang disebutkan dalam lontar Yadnya Prakerti. c. d. Bunga merupakan lambang keikhlasan Jejahitan, reringgitan dan tetuwasan adalah lambang ketetapan dan kelanggengan pikiran. e. Urassari yaitu berbentuk garis silang yang menyerupai tampak dara yaitu bentuk sederhana dari pada hiasan Swastika, sehingga menjadi bentuk lingkaran Cakra setelah dihiasi.

Dalam Kitab Agastya Parwa disebutkan : Nihan ikang kembang tan yogya pujakena ring bhatara: kembang uleren, kembang ruru tan inunduh, kembang laywan-laywan ngaranya alewas sekar kembang munggah ring sema, nahan ta lwir ning kembang tan yogya pujakena de nika sang satwika. Artinya : Inilah bunga yang tidak patut dipersembahkan kepada Bhatara, bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa diguncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh di kuburan. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut dipersembahkan oleh orang baik-baik.

Kewangen berasal dari bahasa Jawa Kuno, dari kata Wangi artinya harum. Kata wangi mendapat awalan ka dan akhiran an sehingga menjadi kewangian, lalu disandikan menjadi Kewangen, yang artinya keharuman. Dari arti kata kewangen ini sudah ada gambaran bagi kita tentang fungsi kewangen untuk mengharumkan nama Tuhan. Kewangen adalah nama salah satu sarana sembabyang. Kewangen dibuat dari daun pisang atau janur yang berbentuk kojong. Di dalamnya diisi perlengkapan berupa daundaunan, hiasan dari rangkaian janur yang disebut sampian kewangen, bunga, uang kepeng dan porosan yang disebut silih asih. Adapun yang dimaksud dengan porosan silih asih adalah dua potong daun sirih yang diisi kapur dan pinang, diatur sedemikian rupa sehingga
2

bila digulung akan tampak bolak-balik, yaitu yang satu potong tampak bagian perutnya dan satu bagian lagi tampak bagian punggungnya. Dalam persembahyangan kewangen dipakai menyembah Ista Dewata. Yaitu aspek Tuhan yang dimohon hadir dalam persembahyangan tersebut untuk menerima persembahan atau bakti pemujanya. Karena

kewangen itu simbul Tuhan maka cara pemakaiannya hendaknya sedemikian rupa sehingga muka kewangen berhadapan muka dengan penyembahnya. Hal ini dimaksudkan agar antara yang menyembah dengan yang disembah berhadap-hadapan. Yang merupakan muka kewangen ialah bagian letak uang kepengnya. Bila uang kepeng sulit didapat diganti dengan uang logam.

2.

Buah Penggunaan buah dan jenis-jenis makanan dijadikan rakan banten itu disebutkan

dalam Lontar Yadnya Prakerti sebagai lambang Widyadara-Widyadhari. Kata Widya berarti ilmu pengetahuan dan Dhara artinya merangkul. Widyadhara artinya mereka yang mampu menguasai ilmu pengetahuan suci. Ilmu tersebut diwujudkan dalam perbuatan nyata. Ini artinya kalau rakan banten tersebut sebagai lambang Widyadhara-Widyadhari ini artinya buah-buahan dan berbagai jenis jajan itu mengandung makna agar rakan banten itu hasil sendiri dari pengembangan ilmu pengetahuan tersebut. Buah hasil kebun sendiri, jajan hasil kreasi sendiri. Hal itulah yang paling baik untuk dijadikan rakan banten. Namun tentu juga tidak salah bila buah-buahan dan jajan itu dibeli, mungkin karena kesibukan sehingga tidak sempat membuat. Selain itu, jika dikaji secara Ilmiah buah sangat bermanfaat bagi kesehatan. Dalam Bhagawadgita XIV.6,9,11 disebutkan ada tiga golongan atau sifat makanan menurut ajaran Weda yaitu makanan Satwika, Rajasika dan Tamasika. Makanan Satwika adalah segala jenis makanan yang meningkatkan kecenderungan manusia menjadi suci, cerah, tenang, bebas dari dosa. Yang termasuk makanan ini adalah Sayuran, Buah-buahan, susu, dan lainlain.

3.

Api Dalam persembahyangan Api itu diwujudkan dengan :

Dupa yaitu api dengan nyala serta asap yang kecil tetapi jelas. Tergolong dalam ini adalah peasepan dan sejenisnya. Biasanya dicampur dengan wewangian sehingga memberikan aroma yang dapat menenangkan pikiran.

Dipa adalah api dengan nyala yang memancarkan sinar cahaya yang terang. Misalnya, Padipan, api takep, api dari lilin, lampu dan sejenisnya.

Obor yaitu api dengan nyala yang bsar berkobar-kobar. Termasuk jenis ini adalah obor, perakpak, tombrog (obor dari bambu), api tetimpug, dll.

Dhupa dengan nyala apinya lambang Dewa Agni yang berfungsi : a. Sebagai pendeta pemimpin upacara b. Sebagai perantara yang menghubungkan antara pemuja dengan yang dipuja c. Sebagai pembasmi segala kotoran dan pengusir roh jahat d. Sebagai saksi upacara dalam kehidupan. Jika hubungkan antara sumber-sumber kitab suci tentang penggunaan api sebagai sarana persembahyangan dan sarana upacara keagamaan lainnya, memang benar, sudah searah meskipun dalam bentuk yang berbeda. Di sinilah letak keluwesan ajaran Hindu yang tidak kaku itu, pada bentuk penampilannya tetapi yang diutamakan dalam Agama Hindu adalah masalah isi dalam bentuk arah, azas harus tetap konsisten dengan isi kitab suci Weda. Karena itu merubah bentuk penampilan agama sesuai dengan pertumbuhan zaman tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ia harus mematuhi ketentuan-ketentuan Sastra Dresta dan Loka Drsta atau : Desa, Kala, Patra dan Guna.

4.

Air Air merupakan sarana persembahyangan yang penting. Ada dua jenis air yang

dipakai dalam persembahyangan yaitu : Pertama, air untuk membersihkan tubuh, minum, dll. Kedua air suci yang disebut Tirtha. Tirtha ini pun ada dua macamnya yaitu tirtha yang didapat dengan memohon kepada Sang Hyang Widhi dan manifestasiNya yang disebut Wangsuhpada, dan Tirtha dibuat oleh Pendeta dengan puja. Tirtha berfungsi untuk membersihkan diri dari kekotoran maupun kecemaran pikiran. Adapun pemakaiannya adalah dipercikkan di kepala, diminum dan diusapkan pada muka, simbolis pembersihan bayu, sabda, dan idep. Tirtha bukanlah air biasa, tirtha adalah benda materi yang sakral dan mampu menumbuhkan persanaan, pikiran yang suci. Untuk asal usul kata Tirtha sesungguhnya berasal dari bahasa Sansekertha. Macam-macam Tirtha untuk melakukan persembahyangan ada dua jenis yaitu tirtha pembersihan dan tirtha wangsuhpada. Arti dan makna tirtha ditinjau dari segi penggunaannya dapat dibedakan sebagai berikut : a. Yang berfungsi sebagai penyucian terhadap tempat, bangunan-bangunan, alat-alat upacara ataupun diri seseorang. Tirtha ini diperoleh dengan jalan puja mantra para Pandita/Pinandita, misalnya tirtha penglukatan, tirtha pabersihan, prayascita, byakaon, pasupati, tirtha pemlaspas, dsb. b. Yang berfungsi sebagai penyelesaian dalam upacara persembahyangan. Umumnya tirtha ini dimohonkan di suatu pelinggih utama pada suatu pura atau tempat yang dianggap suci. Tirtha ini sering disebut dengan tirtha wangsuhpada. c. Yang berfungsi sebagai penyelesaian upacara kematian, misalnya: tirtha penembak, pangentas, pralina, dan tirtha pemanah.

5.

Bija (Wija) Mawija atau mabija dilakukan setelah usai mathirta, yang merupakan rangkaian

terakhir dan suatu upacara persembahyangan. Bija disebut juga Gandaksata, berasal dari Ganda dan Aksata, artinya biji padi-padian yang utuh dan berbau wangi. Oleh karena itu hendaknya menggunkan beras yang masih utuh, dicuci bersih, dicampur dengan wangiwangian. Misalnya dicampur dengan air cendana dan bunga yang harum. Kadangkala juga dicampur kunyit sehingga berwarna kuning, maka disebutlah bija kuning. Wija atau bija adalah lambang Kumara, yaitu putra atau wija Bhatara Siwa. Pada hakekatnya yang dimaksud dengan Kumara adalah benih ke-Siwa-an yang bersemayam dalam diri setiap orang. Mawija mengandung makna menumbuh-kembangkan benih keSiwa-an atau sifat-sifat kedewataan dalam diri seseorang. Benih itu akan bisa tumbuh dan berkembang apabila ladangnya bersih dan suci, maka itu mawija dilakukan setelah Mathirta. Untuk tumbuh dan berkembangnya sifat kedewataan itu dalam pikiran dari hati manusia maka tempat Mawija itu yang terpenting di dua tempat, yaitu: pada pikiran dari hati itu sendiri, masing-masing dengan cara menempelkan di tengah-tengah kedua kening dan dengan menelannya.

You might also like