Professional Documents
Culture Documents
KARYA TULIS
DISUSUN OLEH :
ANASTASIA EVIRA
XI IA 3
APRIL 2009
SMAN 2 PALANGKARAYA
KALIMANTAN TENGAH
TUGAS PENJASORKES
KARYA TULIS
DISUSUN OLEH :
ANASTASIA EVIRA
XI IA 3
APRIL 2009
SMAN 2 PALANGKARAYA
KALIMANTAN TENGAH
Dampak Seks Bebas
ii
Sampai saat ini masalah seksualitas selalu menjadi topik yang
menarik untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena
permasalahan seksual telah menjadi suatu hal yang sangat
melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh
makhluk hidup, karena dengan seks makhluk hidup dapat terus
bertahan menjaga kelestarian keturunannya.
Meningkatnya minat remaja pada masalah seksual dan
sedang berada dalam potensi seksual yang aktif, maka remaja
berusaha mencari berbagai informasi mengenai hal tersebut. Dari
sumber informasi yang berhasil mereka dapatkan, pada umumnya
hanya sedikit remaja yang mendapatkan seluk beluk seksual dari
orang tuanya. Oleh karena itu remaja mencari atau mendapatkan
dari berbagai sumber informasi yang mungkin dapat diperoleh,
misalnya seperti di sekolah atau perguruan tinggi, membahas
dengan teman-teman, buku-buku tentang seks, media massa atau
internet.
Penulis
BAB I. PENDAHULUAN. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
BAB V. KESIMPULAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 27
Lampiran. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 32
Perilaku Seksual
Pendidikan Seksual
SOSIALISASI GENDER:
Seorang anak secara naluri dengan segera mengerti dia ada
dikelompok gender yang mana, dan ini akan dikuatkan dengan hal-
hal sebagai berikut :
Orang tua sering mendidik anaknya untuk berlaku sesuai
dengan gender mereka. Seorang ibu sering menggunakan “pujian”
atau “hukuman” untuk mengajar putrinya menjadi lebih feminim.
Misalnya, “Rachel, kau akan terlihat lebih manis kalau memakai
pita rambutmu” dan kepada anak laki-lakinya, “Michael, anak lelaki
sebesar kamu tidak boleh cengeng”.
TOKOH PENDIDIK :
METODE :
Beberapa Kiat
Para ahli berpendapat bahwa pendidik yang terbaik adalah
orang tua dari anak itu sendiri. Pendidikan yang diberikan
termasuk dalam pendidikan seksual. Dalam membicarakan
masalah seksual adalah yang sifatnya sangat pribadi dan
membutuhkan suasana yang akrab, terbuka dari hati ke hati antara
orang tua dan anak. Hal ini akan lebih mudah diciptakan antara ibu
dengan anak perempuannya atau bapak dengan anak laki-lakinya,
sekalipun tidak ditutup kemungkinan dapat terwujud bila dilakukan
antara ibu dengan anak laki-lakinya atau bapak dengan anak
perempuannya. Kemudian usahakan jangan sampai muncul
keluhan seperti tidak tahu harus mulai dari mana, kekakuan,
kebingungan dan kehabisan bahan pembicaraan.
Masuk kurikulum
***
Pola Asuh
Sementara pembicara lain, Dra Hj Telly P Siwi Zaidan Psi,
mengatakan perlunya menerapkan pola asuh yang tepat untuk
menghindarkan remaja dari pergaulan dan seks bebas.
Remaja,menurut psikolog ini, sangat rentan terhadap HIV/AIDS
karenanya perlu perhatian ekstra tapi tetap dengan pola
demokratis. “Pila asuh otoriter di mana keinginan orangtua
dinomorsatukan atau pola asuh permissive (segala keinginan anak
dituruti) bukan pola asuh yang tepat. Pola asuh demokratis yang
perlu diterapkan, karena di dalamnya ada proses diskusi antara
anak dan orangtua,” kata Telly. Untuk menghindarkan remaja dari
seks bebas, perlu pengetahuan dan informasi yang benar yang
sampai pada remaja bersangkutan. “Adalah tugas kita semua
terutama orangtua untuk membekali remaja dengan ajaran yang
benar tapi tidak menghakimi,” demikian Telly.
B. SUMBER INTERNET
• http://us.click.yahoo.com/L5YrjA/eSIIAA/yQLSAA/IYOolB/TM
• Waspada Online
• http://www.waspada.co.id Menggunakan Joomla! Generated: 16 May, 2008,
11:10
Jakarta, Jum'at
Dari hasil pemeriksaan aparat, perilaku memalukan ini akibat pengaruh minuman keras dan sering
menonton VCD porno.
DALAM cerita rubrik Curhat, Kompas, pernah ada sebuah cerita tentang seorang remaja yang
menutup pintunya rapat-rapat hanya karena ingin membuka kartu remi full color yang gambarnya
aduhai dan syuur.
Beberapa waktu lalu survei terhadap pornografi menggambarkan, banyak media massa yang
masuk kategori pornografi, di dalamnya memuat isi dan gambar secara vulgar dan permisif.
Banyak foto perempuan yang berpose seronok dan berpakaian mini, bahkan hanya ditutupi daun
pisang, dan masih banyak kasus serupa yang seringkali masih saja menghiasi wajah media massa
kita.
Situasi maraknya pornografi sebagai media yang menyesatkan hingga berimplikasi terhadap
dekadensi moral, kriminalitas, dan kekerasan seks yang dilakukan remaja, sesunguhnya bukan
sebuah kasus baru yang mengisi lembaran surat kabar ataupun media elektronik.
Kasus-kasus kekerasan seksual, kehamilan tidak dikehendaki (KTD) pada remaja dan sejenisnya,
tampaknya masih belum banyak diangkat ke permukaan sehingga "seolah-olah" masalah ini
dianggap "kasuistik" yang tidak penting untuk dikaji lebih jauh. Padahal, timbulnya kasus-kasus
seputar KTD remaja, kekerasan seksual, penyakit menular seksual (PMS) pada remaja bahkan
sampai aborsi, tidak lepas dari (salah satunya) minimnya pengetahuan tentang kesehatan
reproduksi remaja.
Dampak Seks Bebas
32
Pendidikan Seks = Pornografi?
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja sebagai salah satu upaya untuk "mengerem"
kasus-kasus itu, sampai saat ini masih saja diperdebatkan (bahkan banyak yang enggak
setuju).
Sementara, pornografi tiap saat ditemui remaja. Beberapa kajian menunjukkan, remaja haus akan
informasi mengenai persoalan seksualitas dan kesehatan reproduksi.
Penelitian Djaelani yang dikutip Saifuddin (1999:6) menyatakan, 94 persen remaja menyatakan
butuh nasihat mengenai seks dan kesehatan reproduksi. Namun, repotnya, sebagian besar remaja
justru tidak dapat mengakses sumber informasi yang tepat. Jika mereka kesulitan untuk
mendapatkan informasi melalui jalur formal, terutama dari lingkungan sekolah dan petugas
kesehatan, maka kecenderungan yang muncul adalah coba-coba sendiri mencari sumber
informal.
Sebagaimana dipaparkan Elizabeth B Hurlock (1994:226), informasi mereka coba dipenuhi dengan
cara membahas bersama teman-teman, buku-buku tentang seks, atau mengadakan percobaan
dengan jalan masturbasi, bercumbu atau berhubungan seksual. Kebanyakan masih ada anggapan,
seksualitas dan kesehatan reproduksi dinilai masih tabu untuk dibicarakan remaja.
Ada kekhawatiran (asumsi) untuk membicarakan persoalan seksualitas kepada remaja, sama
halnya memancing remaja untuk melakukan tindakan coba-coba.
Sebenarnya, masalah seksualitas remaja adalah problem yang tidak henti-hentinya diperdebatkan.
Ada dua pendapat tentang perlu tidaknya remaja mendapatkan informasi seksualitas. Argumen
pertama memandang, bila remaja mendapat informasi tentang seks, khususnya masalah pelayanan
kesehatan reproduksi, justru akan mendorong remaja
melakukan aktivitas seksual dan promiskuitas lebih dini.
Remaja sendiri merupakan kelompok umur yang sedang mengalami perkembangan. Banyak di
antara remaja berada dalam kebingungan memikirkan keadaan dirinya. Sayangnya, untuk
mengetahui persoalan seksualitas masih terdapat tembok penghalang. Padahal, mestinya jauh
lebih baik memberikan informasi yang tepat pada mereka daripada membiarkan mereka mencari
tahu dengan caranya sendiri.
Pendidikan seksualitas masih dianggap sebagai bentuk pornografi. Padahal, dalam gambaran
penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Studi Seksualitas PKBI-DIY di wilayah Yogyakarta
pada pertengahan tahun 2000 terhadap persepsi remaja dan guru (mewakili orangtua), anggapan itu
tidak sepenuhnya terbukti.
Selama ini pendidikan seks dipersepsikan sebagai sebuah hal yang sifatnya pornografi yang tidak
boleh dibicarakan, apalagi oleh remaja. Dari hasil kuesioner menggambarkan, hanya sekitar 14,29
persen (responden guru) yang menyatakan, pendidikan seks sama dengan
pornografi. Dari remaja sendiri anggapan tentang pendidikan seks sama dengan pornografi tidak
terbukti (0 persen).
Masih amat sedikit pihak yang mengerti dan memahami betapa pentingnya pendidikan
seksualitas bagi remaja. Faktor kuat yang membuat pendidikan seksualitas sulit
diimplementasikan secara formal adalah persoalan budaya dan agama.
Selain itu, faktor lain yang ikut mempengaruhi adalah kentalnya budaya patriarki yang mengakar
di masyarakat. Seksualitas masih dianggap sebagai isu perempuan belaka.
Pornografi merupakan hal yang ramai dibicarakan karena berdampak negatif, dan salah satu upaya
membentengi remaja dari pengetahuan seks yang menyesatkan adalah dengan memberikan
pendidikan seksualitas yang benar. WHO menyebutkan, ada dua keuntungan yang dapat diperoleh
dari pendidikan seksualitas.
Pertama, mengurangi jumlah remaja yang melakukan hubungan seks sebelum menikah.
Kedua, bagi remaja yang sudah melakukan hubungan seksual, mereka akan melindungi dirinya
dari penularan penyakit menular seksual dan HIV/AIDS.
Mengingat rasa ingin tahu remaja yang begitu besar, pendidikan seksualitas yang diberikan harus
sesuai kebutuhan remaja, serta tidak menyimpang dari prinsip pendidikan seksualitas itu sendiri.
Maka, pendidikan seksualitas harus mempertimbangkan:
• Pertama, pendidikan seksualitas harus didasarkan penghormatan hak reproduksi dan hak
seksual remaja untuk mempunyai pilihan.
• Kedua, berdasarkan pada kesetaraan jender.
• Ketiga, partisipasi remaja secara penuh dalam proses perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan seksualitas.
• Keempat, bukan cuma dilakukan secara formal, tetapi juga
nonformal.
Sampai kapankah kita masih terus memperdebatkan persoalan pendidikan seksualitas untuk
remaja, sedangkan remaja sebenarnya "diam-diam" sudah mencuri informasi yang menyesatkan
tentang seks dari pornografi?
bELAKANGAN ini banyak orangtua yang semakin khawatir dengan perkembangan dan juga
pergaulan anak-anaknya. Mereka semakin was-was kalau-kalau putera-puteri mereka yang
kelihatannya alim di rumah ternyata bisa bertindak "liar" di luar rumah.
Kekawatiran ini diakui semakin menjadi-jadi setelah mencuat kasus pelaporan pemerkosaan yang
menimpa bintang sinetron Faisal terhadap seorang remaja berusia 18 tahun bernama Sheara
Rendra Mayang Putri. Atau juga yang dilaporkan Puspita Wahyuningsih alias Pipit dengan perut
membucit yang diakuinya merupakan buah hubungannya dengan bintang sinetron dan iklan Agung
Dumadi.
Anak hamil di luar nikah? Mendengar hal tersebut seperti halnya disambar petir di siang bolong.
Terlebih lagi jika hal tersebut terjadi di keluarga sendiri. Rasanya sebagai orang tua tidak kurang
memberi pengertian akan bahaya dan dosa jika mereka melakukan hubungan seks di luar nikah.
Yang pasti kejadian ini tak hanya membuat malu keluarga yang punya anak wanita. Bagi yang
punya anak laki-laki, juga tentu merasa tercoreng-moreng. Kemungkinan muncul pertanyaan
mengapa anaknya yang baru saja dapat mengendarai mobil, ataupun naik motor kini bisa
menghamili anak orang? Jika ini sudah terlanjur terjadi, apa yang harus dilakukan oleh para orang
tua? Apakah akhirnya menikahkan mereka juga? Ataukah malahan menganjurkan hal yang
dilarang dunia-akherat, yakni aborsi?
Pertanyaan-pertanyaan ini tentu berpulang pada jawaban Anda masing-masing. Yang pasti
selayaknya orangtua yang harus selalu berkewajiban mengayomi dan memberi rasa aman, apapun
masalah yang menimpa mereka harus tetap dalam arahan orangtua. Rangkul mereka dan bantu
mereka mencari solusi terbaik dari setiap masalah yang mereka hadapi. Bukan langsung
mengkambing hitamkan dan memvonis buruk mereka. Bukan pula memberikan solusi tidak
beradab seperti contohnya melakukan aborsi atau mencuci tangan atas apa yang sebenarnya telah
mereka lakukan.
Sebenarnya apakah yang paling diinginkan oleh para remaja jika mereka mempunyai sebuah
masalah yang mereka pikir tidak dapat diselesaikan sendiri, baik itu masalah pelajaran, pacar,
teman ataupun keluarga? Pasti mereka akan curhat.
Sebab mereka pikir dengan curhat, maka masalah mereka dapat teratasi dan apa yang menjadi
kegelisahan jiwa mereka dapat dilepaskan. Dengan curhat selain mereka merasa dilegakan
perasaannya, mungkin juga dapat masukan untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapinya.
Tapi bukan solusi terbaik kiranya bila mereka curhat pada orang yang tidak tepat. Karena
kemungkinan malahan bukannya jawaban dan penyelesaian yang mereka dapat, melainkan
malahan timbul permasalahan baru. Apalagi jika menyangkut sesuatu yang dirahasiakan. Kadang
teman yang sudah dianggap dekat dan baik pun belum tentu dapat diajak curhat dalam segala hal.
Alangkah baiknya sejak dini rangkul mereka, ajak mereka sebagai seorang teman dan sahabat.
Dengan demikian mereka bisa dengan mudah mengatakan apa yang mereka rasakan, tak terkecuali
tentang permasalahan cinta mereka. Terangkan pula apa itu seks dan akibatnya sesuai dengan usia
dan perkembangan mereka. Dengan demikian mereka bisa berpikir sekian kali untuk melakukan
seks diluar nikah.
Penanaman agama sedini mungkin juga menjadi jaminan kelangsungan hidup mereka untuk lebih
baik. mereka bisa memilih hubugan yang sehat itu seperti apa, pacaran itu seperti apa dan norma
hubungan antar pria dan wanita diluar pernikahan itu seperti apa.
Mulai dari sekarang juga dan detik ini juga rangkul mereka, dekati mereka sebagai sahabat karib
dan bukan menyalahkan semuanya ketika semuanya sudah telanjur terjadi ...
Dampak Seks Bebas
35
Topik: HIV/AIDS
Kliping: Pendidikan Agama Tak Cukup Cegah Seks Bebas
Dipublikasi pada Wednesday, 25 April 2007 oleh administrator
Mahasiswa berhenti melakukan seks bebas setelah memahami risikonya.
JAKARTA - Pendidikan agama dan keluarga tak cukup mencegah perilaku seks bebas remaja
sebelum menikah. Sebaik apa pun orang tua dan lembaga sekolah dalam mendidik anak, tetap saja
ada remaja berhubungan seks sebelum menikah.
"Jadi pendidikan agama dan keluarga belum cukup," kata Deputi Bidang Keluarga Berencana dan
Kesehatan Reproduksi Badan Keluarga Berencana Nasional Siswanto Agus Wilopo kemarin.
Siswanto menanggapi perilaku seks bebas di kalangan pelajar sebagaimana hasil survei
Koordinator Kesehatan Reproduksi Jaringan Epidemiologi Profesor Charles Suryadi. Lembaga ini
menyebutkan 15 persen dari 2.224 mahasiswa di sepuluh perguruan tinggi negeri dan swasta
melakukan seks bebas sebelum nikah.
Menurut Siswanto, remaja memerlukan pendampingan khusus untuk memperkenalkan risiko seks
sebelum menikah, termasuk mengenalkan alat kontrasepsi. "Penularan penyakit kelamin, seperti
HIV/AIDS, dan kehamilan yang tak direncanakan bisa dicegah dengan cara pemakaian alat
kontrasepsi."
Di beberapa negara, seperti Amerika, kata dia, orang tua meminta anaknya yang belum menikah
memakai alat kontrasepsi.
Tapi, menurut dia, pemerintah di sini justru melarang pemberian alat kontrasepsi untuk mereka
yang belum menikah.
Padahal, berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia, tingkat kehamilan yang tak
direncanakan cukup tinggi. Angkanya mencapai 22 persen dari seluruh kehamilan.
Sejumlah mahasiswa yang dihubungi Tempo menganggap survei tentang perilaku seks bebas oleh
Jaringan Epidemiologi Nasional kurang mencerminkan realitas. "Mahasiswa yang melakukan seks
bebas angkanya jauh lebih besar," kata Eflin Gitarosalyn, mahasiswi Universitas Indonesia.
Nova Arifianto, mahasiswa asal universitas yang sama, juga meragukan hasil survei tersebut.
Menurut dia, budaya gaul yang mewabah melahirkan pergaulan bebas dan cenderung
berkompromi terhadap seks bebas. "Jadi saya yakin angkanya lebih besar dari itu," katanya.
Menurut Ari Nugroho, mahasiswa yang lain, jumlah yang masuk akal untuk mahasiswa yang
berperilaku seks bebas berkisar 25-30 persen. "Kalau cuma 15 persen terlalu kecil," katanya.
Sekretaris Penanggulangan AIDS Nasional Nafsiah Mboi berpendapat sebenarnya sebagian besar
mahasiswa mengetahui risiko seks di luar nikah. Risikonya, selain terkena penyakit kelamin, juga
mengakibatkan kehamilan yang tak direncanakan.
Dia mengungkapkan sekitar 41 persen penularan AIDS di negeri ini disebabkan oleh hubungan
heteroseksual dan 4,3 persen disebabkan oleh homoseksual. Di Provinsi Papua, 96 persen
penyebab AIDS adalah hubungan seks.
Di Eropa, kata dia, sekarang banyak mahasiswa memutuskan berhenti berhubungan seks bebas
setelah memahami risiko tadi. "Jadi setop berhubungan seks sebelum nikah atau jangan ganti-ganti
pasangan," ujar Nafsiah. PRAMONO | DWI RIYANTO AGUSTIAR
Pakar seks juga specialis Obstetri dan Ginekologi Dr. Boyke Dian Nugraha di Jakarta
mengungkapkan, dari tahun ke tahun data remaja yang melakukan hubungan seks bebas semakin
meningkat. Dari sekitar lima persen pada tahun 1980-an, menjadi duapuluh persen pada tahun
2000.
Kisaran angka tersebut, kata Boyke, dikumpulkan dari berbagai penelitian di beberapa kota besar
di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Palu dan Banjarmasin. Bahkan di pulau Palu, Sulawesi
Tenggara, pada tahun 2000 lalu tercatat remaja yang pernah melakukan hubungan seks pranikah
mencapai 29,9 persen.
"sementara penelitian yang saya lakukan pada tahun 1999 lalu terhadap pasien yang datang ke
Klinik Pasutri, tercatat sekitar 18 persen remaja pernah melakukan hubungan seksual pranikah,"
kata pemilik Klinik Pasutri ini.
Kelompok remaja yang masuk ke dalam penelitian tersebut rata-rata berusia 17-21 tahun, dan
umumnya masih bersekolah di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau mahasiswa.
Namun dalam beberapa kasus juga terjadi pada anak-anak yang duduk di tingkat Sekolah
Menengah Pertama (SMP).
Tingginya angka hubungan seks pranikah di kalangan remaja erat kaitannya dengan meningkatnya
jumlah aborsi saat ini, serta kurangnnya pengetahuan remaja akan reproduksi sehat. Jumlah aborsi
saat ini tercatat sekitar 2,3 juta, dan 15-20 persen diantaranya dilakukan remaja. Hal ini pula yang
menjadikan tingginya angka kematian ibu di Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai negara yang
angka kematian ibunya tertinggi di seluruh Asia Tenggara.
Dari sisi kesehatan, perilaku seks bebas bisa menimbulkan berbagai gangguan. Diantaranya, terjadi
kehamilan yang tidak di inginkan. Selain tentunya kecenderungan untuk aborsi, juga menjadi salah
satu penyebab munculnya anak-anak yang tidak di inginkan. Keadaan ini juga bisa dijadikan bahan
pertanyaan tentang kualitas anak tersebut, apabila ibunya sudah tidak menghendaki.
Seks pranikah, lanjut Boyke juga bisa meningkatkan resiko kanker mulut rahim. Jika hubungan
seks tersebut dilakukan sebelum usia 17 tahun, risiko terkena penyakit tersebut bisa mencapai
empat hingga lima kali lipat.
Selain itu, seks pranikah akan meningkatkan kasus penyakit menular seksual, seperti sipilis, GO
(ghonorhoe), hingga HIV/AIDS. Androlog Anita Gunawan mengatakan, kasus GO paling banyak
terjadi. Penderita bisa saja tidak mengalami keluhan. Tapi, hal itu justru semakin meningkatkan
penyebaran penyakit tersebut.
Anita menggolongkan penyakit GO tersebut ke dalam subklinis, kronis dan akut. Subklinis dan
kronis, kata anita, tidak menimbulkan gejala serta keluhan pada penderita. Sedangkan GO akut
akan menampakan gejala, seperti sulit buang air kecil atau sakit pada ujung kemaluan. "Pada pria
biasanya menampakan gejala. Berbeda dengan wanita, seringkali tidak menampakan gejala yang
jelas. Paling-paling hanya timbul keputihan atau anyang-anyang," ujarnya.
Disisi lain, Boyke menambahkan, perilaku seks bebas ini bisa berlanjut hingga menginjak
perkawinan. Tercatat sekitar 90 dari 121 masalah seks yang masuk ke Klinik Pasutri (pasangan
suami istri)pada tahun 2000 lalu, dialami orang-orang yang pernah melakukan hubungan pranikah
(pre marital).
"Masalah seks dengan pasangannya justru dijadikan legistimasi untuk melakukan seks bebas.
Bahkan, saat ini, seks bebas sudah menjadi bagian dari budaya bisnis," cetusnya. Factor yang
melatarbelakangi hal ini, ujar Boyke, antara lain disebabkan berkurangnya pemahaman nilai-nilai
agama. Selain itu, juga disebabkan belum adanya pendidikan seks secara formal di sekolah-
sekolah. Selain itu, juga maraknya penyebaran gambar serta VCD porno.
Lalu bagaimana dengan remaja di "Kota Pelajar" Yogyakarta? Berdasarkan survey Pusat Studi
Wanita Universitas Islam Indonesia (PSW-UII) Yogyakarta, jumlah remaja yang mengalami
masalah kehidupan seks terutama di Yogyakarta terus bertambah, akibat pola hidup seks bebas.
Mengapa demikian? "karena pada kenyataannya pengaruh gaya seks bebas yang mereka terima
jauh lebih kuat dari pada control yang mereka terima maupun pembinaan secara keagamaan," kata
Kepala PSW-UII Dra Trias Setiawati, Msi.
Saat ini, jumlah pelajar di Kota Yogyakarta sebanyak 121.000 orang, atau sekitar 25 persen dari
penduduk kota yang terkenal sebagai Kota pelajar yang sebanyak 490.000. Ini, tentunya
mendorong makin suburnya bisnis rumah kos di kota ini. Sementara tingkat pengawasan dari
pemilik kos di kota ini. Sementara tingkat pengawasan dari pemilik kos maupun pihak orang tua,
kata Trias Setiawati, semakin longgar. Sehingga, makin banyak remaja yang terjebak ke dalam
pola seks bebas karena berbagai pengaruh yang mereka terima baik dari teman, internet, dan
pengaruh lingkungan secara umum.
"Sekuat-kuatnya mental seorang remaja untuk tidak tergoda pola hidup seks bebas, kalau terus-
menerus mengalami godaan dan dalam kondisi sangat bebas dari kontrol, tentu suatu saat akan
tergoda pula untuk melakukannya. Godaan semacam itu terasa lebih berat lagi bagi remaja yang
memang benteng mental dan keagamaannya tidak begitu kuat," dalihnya.
Salah satu upaya untuk menanggulangi maraknya seks bebas di kalangan remaja, khususnya
penghuni kos, selain perlu dilakukan pengawasan yang ketat dan intensif dari pemilik kos secara
proporsional, juga meningkatkan kesadaran dari orang tua untuk memilihkan tempat kos bagi
anak-anaknya yang layak dan aman. "Selain itu, tentu membekali putra-putrinya dengan benteng
ajaran agama yang kokoh," ujar Trias saat ditemui di Yogyakarta, belum lama ini.
Maraknya seks bebas di kalangan remaja membuat banyak pihak sangat prihatin. Salah satunya
adalah Ketua Yayasan Sayap Ibu Daerah Istimewa Yogyakarta Ny Hj Ciptaningsih Utaryo.
Pasalnya, kata dia, hal itu akan menimbulkan masalah baru bukan hanya bagi wanita remaja itu
sendiri, tapi juga pada anak-anak yang akan dilahirkan. Terlebih anak yang lahir tersebut
merupakan anak yang dikehendaki, sehingga ada kecenderungan akan ditelantarkan orang tua.
Sebagai Yayasan yang perduli dengan anak-anak terlantar, Yayasan Sayap Ibu (YSI) berupaya
untuk mengatasi permasalahan anak-anak yang ditelantarkan orangtuannya, yang hingga kini
jumlahnya demikian besar. Di Yayasan Sayap Ibu Daerah Istimewa Yogyakarta saja saat ini
tercatat sekitar 500 orang anak lebih yang dirawat dan belum mendapatkan orang tua angkat. Bila
digabung dengan lain jumlahnya akan mencapai ribuan orang.
Di antara mereka yang dirawat bukan hanya fisiknya yang normal, tapi ada juga diantaranya yang
mengalami kecacatan akibat aborsi yang gagal dilakukan orang tuannya. "Karena biasanya orang
tua yang hamil di luar nikah akan cenderung mencari jalan pintas untuk menutupi aib yang
dideritannya. Padahal , cara ini selain tidak berprikemanusiaan, juga akan menyebabkan beban
ganda pada anak-anak yang gagal di aborsi," dalih Ciptaningsih.
Untuk menghindari tindakan aborsi illegal yang dilakukan ibu-ibu yang tidak menginginkan
kehamilan, Yayasan Sayap Ibu selain menampung anak-anak yang ditelantarkan orang tuanya, juga
mempunyai program merawat ibu-ibu muda yang hamil akibat seks bebas atau kehamilan tidak
dikehendaki sampai anak tersebut lahir dengan selamat.
"Upaya yang dilakukan Yayasan Sayap Ibu ini bukannya justru memberikan peluang kepada anak-
anak remaja untuk melakukan seks bebas, tapi semata untuk menolong nyawa ribuan generasi
muda dari perbuatan tidak berkemanusiaan. Aborsi illegal bukan hanya berbahaya bagi janin, tapi
juga nyawa ibu muda itu sendiri. Karena setiap janin berdasarkan kontroversi Hak Anak
Internasional perlu dijaga kelangsungan hidupnya," tungkasnya.
Ciptaningsih menegaskan, saat ini untuk menekankan jumlah pelaku seks bebas -terutama di
kalangan remaja- bukan hanya membentengi diri mereka dengan unsure agama yang kuat, juga
dibentengi dengan pendampingan orang tua Dan selektivitas dalam memilih teman-teman. Karena
ada kecenderungan remaja lebih terbuka kepada teman dekatnya ketimbang dengan orang tua
sendiri.
Selain itu, sudah saatnya di kalangan remaja diberikan suatu bekal pendidikan kesehatan
reproduksi di sekolah-sekolah, namun bukan pendidikan seks secara vulgar. "Pendidikan
Kesehatan Reproduksi di kalangan remaja bukan hanya memberikan pengetahuan tentang organ
reproduksi, tetapi bahaya akibat pergaulan bebas, seperti penyakit menular seksual dan sebagainya.
Dengan demikian, anak-anak remaja ini bisa terhindar dari percobaan melakukan seks bebas,"
imbau Ciptaningsih.