You are on page 1of 6

Hukum Adat dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Undang-undang Pokok Agraria Didasarkan Atas Hukum Adat.

. Dengan dicabutnya peraturan dan keputusan agraria kolonial, maka tercapailah unifikasi hukum agraria yang berlaku diindonesia, yang sesuai dengan keperebadian dan persatuan bangsa indonesia. Dalam rangka mewujudkan unifikasi hukum tersebut, hukum adat tentang tanah dijadikan dasar pembentukan hukum agraria nasional. Hukum adat dijadikan dasar dikarenakan hukum tesebut dianut oleh sebagian besar rakyat indonesia, sehingga hukum adat tentang tanah mempunyai kedudukan yang istimewa dalam pembentukan hukum agraria nasional. Tujuan Undang-undang Pokok Agraria. Tujuan diundangkannya UUPA sebagai tujuan Hukum Agraria Nasional dimuat dalam Penjelasan Umum UUPA, yaitu: a. Meletakan dasar-dasar penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka maayarakat yang adil dan makmur. Tujuan yang pertama diundangkan UUPA ini merupakan kebalikan dari ciri Hukum Agraria Kolonial, yaitu Hukum Agraria kolonial disusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari

Prmerintahan Jajahan (Hindia Belanda) yang ditujukan untuk kepentingan, keuntungan, kesejahteraan dan krmakmuran bagi Pemerintah Hindia Belanda, orang-orang Belanda, dan Eropa lainnya. b. Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan. Dalam rangka mengadakan kesatuan hukum tersebut sudah semestinya sistem hukum yang akan diberlakukan harus sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat. Tujuan yang kedua

diundangkan UUPA ini merupakan kebalikan dari ciri Hukum Agraria kolonial, yaitu ciri Hukum Agraria kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, artinya pada saat yang sama berlaku dua Hukum Agraria yang berbeda, disatu pihak

berlaku Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata dan Agrarische Wet Stb. 1870 No. 55, dan dipihak lain berlaku Hukum Agraria adat yang diatur dalam Hukum Adat daerah masing-masing. c. Meletakan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hakhak atas tanah bagi rakyat seluruhnya. Tujuan yang ketiga dundangkan UUPA ini merupakan kebalikan dari ciri.Hukum Agraria kolinial, yaitu Hukum Agraria kolonial tidak memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hakhak rakyat Indonesia atas tanah, dikarenakan pada waktu itu hanya hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum barat yang didaftar oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan memberikan jaminan kepastian hukum (Recht Cadaster), sedangkan bagi tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat tidak dilakukan pendaftaran tanah. Kalau pun didaftar tujuannya bukan untuk diberikan jaminan kepastian hukum melainkan untuk menetapkan siapa yang berkewajiban membayar pajak atas tanah (Fiscaal Cadaster). Hubungan Fungsional antara Hukum Adat dan Hukum Tanah Nasional Yaitu bahwa dalam Konsiderans dinyatakan oleh UUPA, bahwa "perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah." Juga, bahwa dalam pasal 5 ada pernyataan, bahwa "Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan angkasa ialah hukum adat." Arti dari kata-kata "berdasarkan" dan "ialah" itu yaitu: Maksudnya ialah bahwa dengan pernyataan tersebut, pembangunan Hukum Tanah Nasional harus dilakukan dalam bentuk penuangan norma-norma Hukum Adat dalam peraturan-peraturan perundang-undangan menjadi Hukum yang tertulis. Dan selama peraturan-peraturan tersebut belum ada, maka norma-norma Hukum Adat bersangkutan tetap berlaku penuh. Namun kenyataannya adalah, bahwa peraturanperaturan perundang-undangan yang diadakan sebagian justru mengadakan perubahan, bahkan penggantian norma-norma Hukum Adat yang berlaku

sebelumnya. Misalnya peraturan mengenai jual beli tanah, yang semula cukup dilakukan di hadapan Kepala Desa, oleh PP 10/1961 diubah memjadi di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. (Pasal 19) Dalam menghadapi kenyataan tersebut,

bahwa apa yang dinyatakan dalam UUPA tersebut hanyalah pernyataan "Kosong" belaka. Setidak-tidaknya Hukum Adat yang disebut dalam UUPA sebagai dasar Hukum Tanah Nasional itu bukan Hukum Adat yang sebenarnya. Dikatakan Hukum Adat yang "sudah hilang isinya" dan "tinggal bajunya saja". Apa yang dicantumkan dalam UUPA mengenai Hukum Adat dalam

hubungannya dengan Hukum Tanah Nasional, bukanlah sekedar pemanis atau pernyataan kosong, melainkan mesti kita terima dan tafsirkan sebagai kehendak yang sebenarnya dari pembentuk Undang-Undang yang melahirkan UUPA. Dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional Hukum Adat berfungsi sebagai sumber utama dalam memgambil bahan-bahan yang diperlukan. Sedang dalam

hubungannya dengan Hukum Tanah Nasional positif, norma-norma Hukum Adat berfungsi sebagai hukum yang melengkapi. Konsepsi Hukum Tanah Nasional Berdasarkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Dalam konsiderans Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), Hukum Tanah Nasional yang akan dibangun didasarkan pada hukum adat dalam penegertian hukum adat yang telah di "seneer", maka harus diartikan bahwa norma-norma hukum adat yang telah dibersihkan dari unsur-unsur pengaruh asing dan norma hukum adat itu dalam kenyataannya masih hidup dan mengikat masyarakat. Konsiderans tersebut tersebut menunjukan, bahwa hukum adat merupakan sumber utama dalam pembangunan hukum tanah nasional. Hal tersebut dapat dilihat dari rumusan konsiderans undang-undang: "Komunalistik religius yang memungkinkan penguasaan tanah sevcara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi sekaligus mengandung kebersamaan." (Boedi-Harsono, 1999: 225) Sifat komunalistik religius yang bersumber dari hukum adat sebagai salah satu ciri yang tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang menyatakan bahwa: Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia

sebagaikarunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Konsepsi hukum tanah nasional dengan mengacu untuk mengembangkan pengertian yang bersumber dari hak ulayat sebagaimana dalam Pasal 1 Ayat (2), serta memerhatikan rumusan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) mengakui dan menempatkan hak bangsa sebagai hak penguasaan ataa tanah yang tertinggi atas seluruh wilayah Indonesia sebagai kesatuan tanah air terhadap seluruh rakyat Indonesia yang telah bersatu sebagai bangsa Indonesia. Hal ini berarti bahwa hak-hak penguasaan atas tanahyang lain, termasuk hak ulayat dan hak-hak individual atas tanah sebagaimana dimaksudkan oleh penjelasan umum secara langsung atau pun tidak langsung semuanya bersumber pada hak bangsa. Pengertian hak bangsa tersebut, meliputi semua tanah dalam rumusan Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), artinya dengan kata "seluruh" berarti seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di wilayah Republik Indonesia menunjukan bahwa tidak ada sejengkal tanah pun di negara Republik Indonesia yang merupakan tanah yang tak bertuan. Hak bangsa tersebut bersifat abadi, yang berarti bahwa hubungan yang akan berlangsung tidak terputus-putus selama-lamanya. Pernyataan tersebut

sebagaimana di rumuskan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) bahwa hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi. Rumusan tersebut dipertegas dalam pernyataan penjelasan umum II disertai penjelasan sebagai berikut. Hak bangsa yang meliputi semua tanah dalam wilayah negara Republik Indonesia, disamping mengandung unsur hukum publik juga mengandung unsur privat. Dalam pengertian unsur hukum publik bahwa sumber-sumber alam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu unsur pendukung utama bagi kelangsungan hidup dan peningkatan kemakmuran bangsa sepanjang

masa dan potensi sumber-sumber alam tersebut dianggap sebagai modal dasar pembangunan nasional. Unsur privat mengandung makna bahwa tanah bersama "kekayaan nasional", menunjukan arti keperdataan yaitu hubungan "kepunyaan" antara bangsa Indonesia dan tanah bersama tersebut. Hubungan kepunyaan menurut artinya yang asli memberi wewenang untuk menguasai sesuatu sebagai "empunya" , artinya sebagai tuannya bisa dalam hubungan kepemilikan. UUPA menganut konsepsi hak tanah yang bersumber dari hukum adat, yaiutu mempunyai dasar komunalistik dan mengandung corak privat serta diliputi suasana religius. Hal ini sesuai dengan sifat manusia sebagai dwitunggal sebagai individu dan makhluk sosial. Menguasai dan menggunakan tanah secara individual berarti bahwa tanah yang bersangkutan boleh dikuasai secara perorangan, dan tidak ada keharusan untuk menguasainya bersama-sama orang lain secara kolektif, namun dibalik

ketentuan/peraturan menguasai dan menggunakan tanah secara kolektif bersama terbuka kemungkinan untuk diperbolehkan. Hal ini diatur dalam pasal 4 Ayat (1) yang menyatakan bahwa: "Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orangorang bail sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum." Dalam konsepsi hukun tanah nasional, disamping diakui hak perorangan atas tanah bersifat pribadi hak-hak individual juga diakui unsur kebersamaan atas hakhak atas tanah. Sifat pribadi hak-hak individual dimaksudkan menunjuk kepada kewenangan pemegang hak untuk menggunakan tanah yang bersangkutan bagi kepentingan dan dalam memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya,

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyatakan bahwa: Tiap-tiap warga negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya.

Hak-hak atas tanah yang langsung bersumber pada hak bangsa yang disebut hak-hak primer, meliputi: hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai yang diberikan oleh negara sebagai petugas bangsa, sementara hak-hak yang bersumber tidak langsung dari hak bangsa adalah apa yang disebut dengan hak sekunder, meliputi: hak-hak yang diberikan oleh pemegang hak primer seperti hak sewa, bagi hasil, gadai, dan lain-lainnya.

You might also like