You are on page 1of 5

[b]PERJANJIAN HUDAIBIYAH[/b]

Sumber: Al-Wai’e

[b]Soal[/b]
[i]Ada kelompok atau partai yang menggunakan kasus Perjanjian Hudaibiyah (Sulh
Hudaibiyah) – saat Nabi saw. bersedia melakukan perjanjian damai dengan kaum kafir
Quraisy, dengan meninggalkan beberapa hal yang dianggap prinsip, bahkan terkesan
merugikan kaum Muslim— untuk melakukan koalisi atau manuver politik dengan
kelompok atau partai sekular, termasuk berkoalisi untuk memerintah atau beroposisi.
Bagaimana sesungguhnya fakta hukumnya?

[b]Jawab[/b]
Pertama-tama harus didudukkan terlebih dulu, bahwa Sulh Hudaibiyah sebagai dalil dalil
tafshili (kasuistik) harus dipahami dan digunakan sesuai dengan konteks (manath)-nya.
Penggunaan dalil tafshili di luar konteksnya tentu tidak bisa diterima. Hal ini karena akan
mengakibatkan hukum atau pandangan yang dihasilkannya bukan lahir dari dalil tersebut.
Penggunaan dalil tafshili di luar konteksnya, disebut syubhat ad-dalil saja tidak layak,
apalagi disebut dalil. Karena itu, hukum pandangan yang dihasilkannya harus ditolak
sebagai hukum dan pandangan syar’i. Karena itulah, konteks Sulh Hudaibiyah tersebut
harus dibaca, dipahami dan digunakan dengan cermat dan tepat, sesuai dengan manath-
nya.

Secara faktual, perjanjian ini dilakukan oleh Nabi saw. enam tahun setelah Baginda hijrah
ke Madinah, dan Negara Islam berdiri di sana.[1] Pada titik ini, menurut Ibn Katsir, tidak
ada ikhtilaf.[2] Karena itu, dilihat dari segi manath-nya, perjanjian ini jelas dilakukan
oleh Nabi saw. dalam kapasitasnya sebagai kepala Negara Islam dengan suku Quraisy,
dalam posisinya sebagai negara kafir harbi fi’l[an], yaitu negara yang nyata-nyata
memerangi Negara Islam.

Selain fakta di atas, sebagai kepala negara Nabi saw. melakukan sejumlah tindakan dan
manuver di antaranya: Pertama, mobilisasi pasukan sebelum berangkat ke Hudaibiyah.
Saat itu Baginda Nabi saw. bukan saja memobilisasi kaum Anshar dan Muhajirin, tetapi
juga kabilah-kabilah Arab Badui yang lain, sehingga jumlah mereka, sebagaimana catatan
Ibn al-Atsir, mencapai 1300-1500 orang.[3] Kedua, keputusan perang (harb) dan
gencatan senjata (hudnah) yang diambil Nabi saw. pada saat meneken Sulh Hudaibiyah
ini adalah keputusan negara. Karena itu, konteks tindakan dan manuver Nabi saw. ini
jelas dalam konteks negara, bukan konteks kelompok atau partai politik. Karena itu,
menggunakan dalil tafshili dalam kasus Sulh Hudaibiyah untuk konteks partai atau
kelompok jelas tidak relevan dan tidak tepat, karena manath-nya nyata berbeda.

Dengan demikian, partai atau kelompok Islam tidak bisa menggunakan dalil tafshili
dalam kasus ini untuk membenarkan tindakan atau manuvernya untuk membangun
koalisi dengan partai atau kelompok sekular, baik untuk memerintah maupun menjadi
oposisi. Mereka beralasan, misalnya, bahwa Nabi saw. pun melalui Sulh Hudaibiyah,
pernah membentuk koalisi dengan Bani Khuza’ah, yang notabene kafir.[4]
Partai atau kelompok Islam juga tidak bisa menggunakan dalil tafshili dalam kasus ini
untuk membenarkan tindakan atau manuvernya untuk tidak mengusung syariah karena
Nabi saw. telah menghilangkan klausul-klausul penting, seperti: Bismillâhi ar-Rahmâni
ar-Rahîm dan Muhammad Rasûlullâh diubah dengan Bismika Allâhumma dan
Muhammad ibn ‘Abdillâh, dengan alasan strategi politik.[5]

Mereka juga tidak bisa menggunakan dalil tafshili dalam kasus ini untuk membenarkan
kebohongan-kebohongan politik yang mereka lakukan, baik terhadap kawan, lawan
maupun publik, dengan alasan Nabi saw. telah melakukannya, karena prinsip al-Habr
Hid’ah (perang penuh tipu daya).[6]

Sebaliknya, Sulh Hudaibiyah in iharus dilihat secara utuh sebagai strategi politik Nabi
saw. yang brilian, dalam kapasitasnya sebagai kepala negara. Bahkan bisa dikatakan ini
merupakan kunci kemenangan terbesar yang diberikan Allah Swt. kepada Nabi saw.
Meski secara kasatmata tindakan Nabi saw. ini awalnya dianggap merugikan kepentingan
Islam dan kaum Muslim, akhirnya Allah justru membuktikan sebaliknya. Setelah
peristiwa ini, Abu Bakar pun berkomentar:

“Belum pernah Islam mendapatkan kemenangan, sebagaimana yang telah


didapatkan melalui Sulh Hudaibiyah.”[7]

Lalu apa sebenarnya yang dilakukan oleh Nabi saw.? Apa motif dari tindakan dan
manuver Baginda? Apa pula hasil yang diperoleh oleh Islam dan kaum Muslim setelah
peristiwa ini? Pertanyaan-pertanyaan ini penting, agar kita bisa mendudukkan peristiwa
penting ini secara proporsional dan tepat.

Harus diakui, sejak Negara Islam berdiri di Madinah, kaum kafir memang tidak henti-
hentinya berusaha menghancurkan negara yang baru berdiri itu, baik sendirian maupun
dengan cara berkoalisi.[8] Sebelum Sulh Hudaibiyah ini terjadi, kaum kafir Quraisy di
sebelah utara Madinah dan Yahudi Khaibar di sebelah selatan Madinah telah meratifikasi
pakta militer. Jika ini dibiarkan, maka negara Islam di Madinah posisinya akan benar-
benar terancam, dan pada akhirnya bisa dihancurkan. Karena itu, pakta ini harus
dihancurkan.

Untuk menghancurkan pakta militer ini, Nabi saw. sengaja tidak ingin berhadap-hadapan
langsung, baik dengan kafir Quraisy maupun Yahudi Khaibar, dalam posisi ketika
keduanya masih berkoalisi. Nabi saw. juga sengaja tidak menyerang Khaibar, meskipun
posisinya lebih lemah, dibandingkan dengan suku Quraisy. Sebab, tindakan seperti ini
sangat mudah dibaca musuh. Yang sulit dibaca musuh adalah ketika Nabi saw.
memutuskan untuk umrah pada bulan Dzulqa’dah 6 H, tanpa membawa senjata, tetapi
dengan jumlah rombongan yang sangat besar. Tujuan Nabi saw. yang sesungguhnya,
sebagaimana yang tampak melalui statemen politik beliau, sebenarnya bukanlah umrah,
melainkan untuk mendapatkan perjanjian damai tersebut.[9]

Akhirnya, perjanjian ini pun berhasil diraih oleh Nabi saw. Nabi saw. menugaskan Ali bin
Abi Thalib sebagai penulis. Bersama Suhail bin Amr, wakil dari kafir Quraisy, Ali pun
menulis titah Baginda Nabi saw. “Tulislah Bismillâhirrahmânir-rahîm.” Suhail menyela,
“Aku tidak mengenal kalimat ini, tetapi tulislah, Bismika Allâhumma.” Ali pun
menulisnya. Setelah itu, Baginda bersabda, “Tulislah, ini adalah naskah perjanjian yang
telah disepakati oleh Muhammad utusan Allah dan Suhail bin Amr.” Suhail menyela.
:Kalau aku bersaksi bahwa kamu adalah utusan Allah, pasti aku tidak akan
memerangimu. Namun, tulislah nama ibu dan ayahmu.” Rasulpun bersabda, “Tulislah, ini
adalah naskah perjanjian yang telah disepakati oleh Muhammad bin Abdullah dan Suhail
bin Amr.”

Kedua belah pihak sepakat untuk tidak berperang selama 10 tahun. Sebab, masing-
masing saling menahan diri satu sama lain. Siapa saja dari kalangan suku Quraisy yang
datang kepada Muhammad saw. namun tidak mendapatkan izin dari walinya, ia harus
dikembalikan kepada kaum Quraisy. Namun, siapa saja pengikut Muhammad saw. yang
datang kepada kaum Quraisy tidak boleh dikembalikan.[10]

Perjanjian ini, baik dari segi redaksi maupun isinya, sama sekali tidak ada yang
melanggar ketentuan syariah, apalagi merugikan kepentingan Islam dan kaum Muslim.
Inilah yang ditunjukkan oleh Nabi saw. ketika para Sahabat, sebagaimana yang diwakili
Umar memprotes tindakan Nabi saw. Saat itu dengan enteng Baginda menjawab:
“Aku adalah hamba dan utusan-Nya, sekali-kali aku tidak akan menyalahi perintah-Nya.”

Apa yang dianggap merugikan kepentingan Islam dan kaum Muslim oleh para Sahabat
itu tidak lain karena mereka tidak tahu maksud tersembunyi di balik perjanjian tersebut.
Mereka baru menyadari hal itu setelah turun surat al-Fath:1-2 dan 27 dalam perjalanan
dari Hudaibiyah ke Madinah. Tepat sekali, setelah itu, mereka bisa melihat hasilnya:
1. Kaum kafir Quraisy berhasil dikunci oleh Nabi saw. dengan perjanjian ini
sehingga mereka tidak berkutik, apatah lagi membela kaum Yahudi Khaibar,
ketika mereka diserang oleh Negara Islam. Dengan kata lain, Nabi saw. telah
berhasil melumpuhkan pakta militer di antara keduanya.
2. Negara Islam berhasil meraih dukungan suku Khuza’ah, yang semula terikat
dengan kaum kafir Quraisy. Ini tentu akan menjadi kekuatan tambahan bagi
Negara Islam dalam menghadapi ancaman kafir Quraisy, bahkan bisa menjadi
front pertahanan terdepan, apalagi posisi Khuza’ah yang sangat dekat dengan
Makkah.
3. Dengan penghentian perang selama 10 tahun, dakwah Islam bisa disebarluaskan
di tengah-tengah kaum kafir Quraisy dengan sebebas-bebasnya.
4. Kebijakan mengembalikan kalangan suku Quraisy yang datang ke Negara Islam
justru bisa menjadi corong-corong Negara Islam yang efektif. Sebab, mereka bisa
menyaksikan sendiri bagaimana Islam diterapkan di Madinah, lalu mereka bisa
menceritakan pengalaman-pengalaman mereka kepada penduduk Makkah. Ini
dikuatkan lagi dengan kebijakan tidak boleh memulangkan kaum Muslim yang
datang ke Makkah. Dengan demikian, penyebaran dakwah Islam di Makkah bisa
dilakukan secara simultan melalui dua arah, yaitu kaum Muslim yang menetap
disana, dan suku Quraisy yang terpaksa harus dikembalikan dari Madinah.
5. Bagi yang keberatan dikembalikan ke Mekkah, karena keimanan dan loyalitasnya
pada Islam, namun tidak boleh tinggal di Madinah, sebagaimana kasus Abu
Basyir dan kelompoknya, mereka meilih tetap setia pada Negara Islam. Abu
Basyir dan kelompoknya inilah yang kemudian menteror dan menghambat jalur
perdagangan kaum kafir Quraisy, sehingga menimbulkan kerugian materi yang
sangat besar. Inilah yang mendorong mereka untuk membatalkan perjanjian
tersebut.

Namun ibarat nasi, semuanya telah menjadi bubur. Setelah semua tujuan dan target
tersebut diraih Nabi saw., meski perjanjian tersebut mereka batalkan sepihak, tetap saja
kemenangan besar berpihak kepada Nabi saw. Kemenangan itu ditandai dengan
penaklukan kota Makkah pada tahun 8H.

Jadi, dari mana kita bisa menyamakan tindakan Nabi saw. selaku kepala negara dengan
tindakan kelompok atau partai, lalu menggunakan tindakan beliau dalam kasus Sulf
Hudaibiyah tersebut sebagai justifikasi untuk membenarkan tindakan berkoalisi dengan
partai sekular? Sekali lagi, penggunaan dalil seperti ini jelas keliru, bahkan bisa dikatakan
pembajakan dalil. Nudzubillah!

Catatn kaki:
[1] Lihat ath-Thabari. Tarikh al-Umam wa al-Mulk, Dar al-Fikr, Beirut, cet. I, 1987,
III/212; Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyah, Dar Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, cet.
II, 1997, III/336; Ibn al-Atsir, Al-Kamil fiat-Tarikh, Mu’assasah at-Tarikh al-‘Arabi,
Beirut, cet. IV 1994, I/582; Ibn Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, bait al-Afkar ad-
Duwaliyyah, Riyadh, cet. I, 2004, I/594; Ibn Khaldun, Al-‘Ibar wa Diwan al-Mubtada’
wa al-Khabar ii Ayyami al-Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar wa man ‘Asharahum min
Dzawi as-Sulthan al-Akbar, bait al-Afkar ad-Duwaliyyah, Riyadh, cet I, t.t., hlm. 509.
[2] Ibn Katsir, Ibid, I/594.
[3] Ibn al-Atsir, Ibid, I/582.
[4] Ibn Hisyam, Ibid, III/347; Rawwas Wal’ah Jie, Qira’ah Siyasiyyah li as-Sirah an-
Nabawiyyah, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I 1996, hlm. 219; Muhammad Khair Haikal, Al-
Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah as-Syar’iyyah, Dar al-Bayariq, Beirut, cet, II, 1996,
III/1633.
[5] Ibn Hisyam, Ibid, III/346.
[6] HR al-Bukhari, Muslim, Ibn Hibban, at-Tirmidzi, al-Baihaqi, Abu Dawud, Ibn Majah,
dan Ahmad.
[7] Lihat: Syit Mahmud Khattab, Ar-Rasul al-Qa’id. Mansyurat Dar Maktabah al-Hayah,
Beirut, t.t., hlm. 193.
[8] Upaya kaum kafir untuk menghancurkan Negara Islam ini pernah dilakukan oleh
kaum Quraisy sendiri, sebagaimana dalam peristiwa Perang Badar, namun mereka kalah.
Upaya yang sama kemudian juga mereka lakukan denngan berkoalisi, yang melibatkan
kaum Yahudi dan munafik sebagaimana peristiwa perang Khandaq.
[9] Dalam statemennya, Nabi saw. menyatakan, “Alangkah celakanya kaum kafir
Quraisy. Sungguh, peperangan telah membinasakannya. Kalau aku dan bangsa Arab yang
lain sedang berkumpul, apa yang bisa mereka perbuat? Jika mereka bisa mengalahkanku,
itulah yang sangat mereka harapkan. Jika Allah memenangkan aku atas mereka, mereka
akan berbondong-bondong masuk Islam. Jika mereka tidak melakukannya maka
perangilah mereka. Meskipun mereka dalam kondisi yang kuat” Lihat Rawwas Qol’ah
Jie, Ibid, hlm. 215.
[10] Lihat: Rawwas Qol’ah Jie, Ibid, hlm. 215.
[11] Ibn Hisyam, Ibid, III/346.

You might also like