You are on page 1of 46

TINJAUAN PUSTAKA

Sorgum

Tanaman Sorgum Sorgum (Sorghum bicolor L. Moench) termasuk tanaman jenis serealia yang berasal dari Afrika. Tanaman sorgum termasuk keluarga rerumputan seperti halnya padi, jagung, gandum dan tebu. Kedudukan tanaman sorgum dalam taksonomi tumbuhan adalah : Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan) Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Subdivisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas Ordo Family Genus Spesies : Monocotyledonae (biji berkeping satu) : Poales : Gramineae : Andropogon : sorghum bicolor L. Moench.

Sorgum dikenal dengan beberapa nama antara lain White Durra, Brown Durra, White Kafir, Red Kafir, dan Milo. Di Sudan sorgum dikenal dengan nama Durra, di India dengan nama Bicolor dan di Afrika Timur dengan istilah Kafir (Dicko et al. 2006). Di Indonesia sorgum dikenal sekitar tahun 1925 khususnya di daerah Jawa, NTB, dan NTT. Di Jawa sorgum dikenal dengan nama cantel, dan biasanya petani menanamnya secara tumpang sari dengan tanaman pangan lainnya. Beberapa varietas dikenal di Indonesia seperti Malang 26, Birdproof, Ketengu, Pretoria, Cempaka, Genja, dan Selayar. Balai Penelitian Tanaman Pangan mengembangkan varietas diantaranya UPCA-S1 dan UPCA-S2 (Mudjisihono & Suprapto 1987). Sorgum merupakan tanaman serealia yang dapat tumbuh di berbagai keadaan lingkungan sehingga sangat potensial dibudidayakan dan

dikembangkan, khususnya pada daerah-daerah marginal dan kering di Indonesia. Keunggulan sorgum terletak pada daya agroekologi yang luas, tahan terhadap

kekeringan, produksi tinggi, lebih tahan terhadap hama dan penyakit dibandingkan tanaman pangan lain. Selain budidaya yang mudah, sorgum mempunyai manfaat yang sangat luas antara lain untuk pakan ternak, bahan baku industri makanan dan minuman, bahan baku untuk media jamur merang, industri alkohol, bahan baku etanol, dan sebagainya (Yulita & Risda, 2006). Sifat-sifat morfologi dan fisiologis tanaman sorgum adalah bagian tanaman diatas tanah tumbuh lambat sebelum perakarannya berkembang dengan baik, sistem perakarannya terdiri atas akar-akar seminal pada dasar buku pertama pangkal batang, akar-akar koronal dan akar udara (akar-akar yang tumbuh dipermukaan tanah), batang beruas dan berbuku-buku, tidak bercabang dan pada bagian tengah batang terdapat seludang pembuluh yang diselubungi oleh lapisan keras (sel-sel parenkim), daun tumbuh melekat pada buku-buku batang dan tumbuh memanjang, yang terdiri dari kelopak daun, lidah daun dan helaian daun (Dirjentanpan 2006).

Gambar 2 Tanaman dan biji sorgum.

Sebagai bahan pangan dunia, sorgum berada pada urutan ke-5 setelah gandum, padi, jagung dan barley. Di negara maju biji sorgum digunakan sebagai bahan pangan, sedangkan batang dan daunnya untuk pakan ternak ruminansia. Biji sorgum digunakan juga sebagai bahan baku industri seperti industri etanol, bir, wine, sirup, lem, cat dan modifikasi pati. Terkait dengan energi, di beberapa negara seperti Amerika, India dan Cina, sorgum telah digunakan sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar etanol (FAO 2005). Pemanfaatan sorgum di Indonesia sebagai bahan pangan masih sangat terbatas dan kurang populer. Hal ini dikarenakan masih sedikitnya daerah yang memanfaatkan sorgum sebagai bahan pangan. Di daerah Kenya, Uganda dan

Tansania sorgum dikonsumsi dalam bentuk porridge (bubur dari campuran sorgum, millet, maizena), ogi (produk fermentasi porridge) di Nigeria dan Ghana, couscous (bentuk granula hasil olahan pati sorgum) di Afrika Utara, dalam bentuk mie di Cina dan tortila di Amerika (Leder 2004).

Biji Sorgum Biji sorgum merupakan bagian dari tanaman sorgum dengan ciri-ciri fisik berbentuk bulat (flattened spherical) dengan berat sekitar 25 - 55 mg (Dicko et al. 2006). Biji sorgum berbentuk butiran dengan ukuran 4.0 x 2.5 x 3.5 mm3. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, sorgum dibedakan tiga golongan yaitu biji berukuran kecil (8 - 10 mg), sedang (12 - 24 mg) dan besar (25 - 35 mg). Biji sorgum tertutup sekam dengan warna coklat muda, krem dan putih tergantung varietas (Mudjisihono & Suprapto 1987). Biji sorgum terdiri dari 3 bagian utama yaitu bagian lapisan luar, bagian endosperma, dan bagian lembaga (Gambar 3). Hilum dan perikarp adalah bagian lapisan luar yang tersusun atas dua atau tiga lapisan memanjang sekitar 7.3 - 9.3% dari berat biji, ada yang mengandung pigmen. Mesokarp merupakan lapisan tengah dan cukup tebal, berbentuk poligonal serta mengandung sedikit granula pati. Endokarp tersusun dari sel yang menyilang dan berbentuk tabung (Waniska et al. 1989). Pada lapisan perikarp dan testa terdapat senyawa fenolik. Ketebalan lapisan testa bervariasi untuk setiap varietas, biasanya paling tebal pada puncak biji dan yang tertipis terdapat di dekat lembaga. Ketebalan testa di puncak biji berkisar antara 100 -140 m, dan yang paling tipis berukuran 10 - 30 m. Lapisan testa bersifat padat dan rapat. Lapisan aleuron terdapat di atas permukaan endosperma biji. Bagian endosperma merupakan 80 - 84.6 % dari berat biji. Endosperma terdiri dari lapisan endosperma luar (peripherial endosperm), lapisan endosperma tengah (corneus endosperm) dan lapisan endosperma dalam (floury endosperm). Komponen utama biji sorgum adalah pati yang tersimpan dalam bentuk granula pada bagian endosperma dengan diameter 5 -25 m. Pada bagian endosperma dan perikarp terdapat pula arabinosilan, -glukan, vitamin dan mineral. Bagian

lembaga merupakan 7.8 - 12.1 % dari berat biji yang terdiri dari bagian embryonic axis dan bagian scutellum. Pada bagian lembaga mengandung asam lemak tak jenuh seperti asam linoleat dan polisakarida non-pati (Dicko et al. 2005).

Gambar 3 Penampang melintang biji sorgum (Dicko et al 2006) . Komposisi Kimia Biji Sorgum Sorgum termasuk golongan serealia berpotensi sebagai penghasil biji dan diintroduksikan untuk mendukung tujuan diversifikasi sumber bahan pangan alternatif pengganti beras.

Tabel 1 Perbandingan kandungan nutrisi 100 gram sorgum dan beras No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Nutrisi Kalori (kal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Kalsium (mg) Besi (mg) Fosfor (mg) Sorgum 332 11 3,3 73 28 4,4 287 Beras 360 6,8 0,7 78,9 6 0,8 140

Sumber: Dirjentanpan 2006

Kandungan nutrisi biji sorgum memiliki kandungan gizi yang baik dan hampir setara dengan beras (Tabel 1). Hal ini sangat memungkinkan biji sorgum sebagai sumber karbohidrat pengganti beras.

Biji sorgum mengandung pati sekitar 60 - 75 %. Pati terdapat pada endosperma sebesar 83 %, lembaga 13.4 %, dan kulit biji 8.3 %. Diameter granula pati biji sorgum lebih besar daripada biji jagung. Gelatinisasi pati antara 67 77oC. Pati biji sorgum beras (non-waxy sorgum) mengandung 25 % amilosa dan 75 % amilopektin, sedangkan biji sorgum ketan (waxy sorghum) sebagian besar terdiri dari amilopektin dan sekitar 1- 2% amilosa. Campuran polisakarida seperti pentosan sebesar 2.6 - 5.2 % dari bobot biji kering terdapat pada perikarp dan lembaga. Lemak sebesar 1.5 - 6 % terdapat pada lembaga, perikarp dan aleuron. Lembaga mengandung lebih dari 79 % lemak biji sorgum (Rooney et al. 1992). Protein dalam biji sorgum dapat dibagi menjadi 2 golongan pokok, yaitu protein dalam lembaga dan protein dalam endosperma. Protein sorgum sama seperti biji serealia lainnya terdiri dari albumin, globulin, prolamin, dan glutein. Menurut laporan Mudjisihono & Suprapto (1987), kandungan protein biji sorgum dengan berbagai varietas yang ada di Indonesia berkisar antara 7 - 10%. Kandungan protein lembaga (kira-kira 18.9% bk) lebih tinggi dibandingkan kandungan protein dalam endosperma (12.3% bk).

Tabel 2 Komposisi makronutrisi, vitamin dan mineral sorgum* Komposisi makronutrisi (g/100g bb) Karbohidrat 65-80 Pati 60-75 Amilosa 12-22 Amilopektin 45-55 NSP 2 -7 Protein 7-15 Lemak 1.5-6 Abu 1-4 Air 8-12 Vitamin (mg/100g bk) Vitamin A Tiamin Riboflavin Pirodoksin Biotin Pantotenat Vitamin C Mineral (mg/100g bk) Ca 21 Cl 57 1.8 Cu I 0.029 Fe 5.7 Mg 140 P 368 K 220 Na 19 Zn 2.5

21 RE** 0.35 0.14 2.8 0.007 1 <0.001

*Sumber : Dicko et al. (2006). **RE = retinol ekuivalen

Biji sorgum mengandung non-starch polysaccharides (NSP) sekitar 2 7%. NSP terdapat pada perikarp dan dinding sel endosperm dengan komposisi arabinosilan 55% dan -glukan 40%. Arabinosilan dari sorgum mengandung asam

ferulat dan asam p-kumarat. -glukan terdiri dari selulosa (1,4--D-glucan), curdlan (1,3--D-glucans), and lichenan (1,3,1,4--D-glucan). NSP yang terdapat pada dinding sel yang mengandung lignin sekitar 20% (Verbruggen et al. 1998, Dicko et al. 2006). Biji sorgum dilaporkan mengandung serat total sekitar 7.6 - 9.2 %. Kadar serat -glukan yang terdapat dalam serealia sekitar 2 - 14 % berat kering tergantung spesies, varietas dan kondisi lingkungan. -glukan merupakan rantai panjang molekul polisakarida yang tersusun dari monomer glukosa dengan ikatan -glikosida. -glukan yang diekstraksi dari serealia tersusun dari ikatan 1,3 dan 1,4 glikosidik. Sebagian besar -glukan terdapat pada dinding sel endosperm dan subaleuron serealia. -(1,3)(1,4)-D-glukan merupakan komponen yang dominan pada dinding sel endosperma dan sub aleuron gandum, sorgum, jewawut dan beberapa serealia lainnya. Komponen -(1,3)(1,4)-D-glukan pada dinding sel endosperma terdiri dari molekul linier dengan ikatan 1,3 sekitar 30% dan ikatan 1,4 sekitar 70% (Laroche & Michaud 2006).

Gambar 4 Struktur (1,3)(1,4)-D-glukan (Laroche & Michaud 2006). Menurut laporan Tosh et al. (2004), -glukan yang diisolasi dari serealia mempunyai berat molekul bervariasi tergantung spesies seperti gandum umumnya 0.065 - 3 x 106 g/mol, jewawut 0.15 - 2.5 x 106 g/mol, sorgum sekitar 3.6 x 104 g/mol. (1,3)(1,4)-D-glukan dari serealia merupakan serat pangan larut yang berpotensi menurunkan kadar glukosa darah, menurunkan resiko terkena penyakit degeneratif seperti obesitas, hiperlipidemia, hiperkolesterolemia, kardiovaskular, kanker, hipertensi, dan sebagai prebiotik. Produk sarapan pagi serealia yang mengandung -glukan dari gandum memberi pengaruh menurunkan respon postprandial glikemik diatas 50% (Tappy et al. 1996). Beta glukan yang diisolasi

dari khamir dan gandum dapat menurunkan 10% kadar kolesterol total dan 8% LDL serta meningkatkan kadar kolesterol HDL sebesar 16% (Nicolosi et al. 1999). Peranan -glukan sebagai prebiotik dilaporkan oleh Laroche & Michaud (2006). Manfaat prebiotik antara lain dapat melindungi tubuh dari kanker kolon. Mekanisme perlindungan prebiotik terhadap perkembangan kanker kolon yaitu produksi metabolit yang bersifat protektif. Butirat merupakan produk akhir dari fermentasi dapat menstimulasi apoptosis sel kanker kolon (Gibson & Roberfroid 1995).

Komponen fitokimia dan khasiat sorgum Sorgum mengandung komponen fitokimia yang menguntungkan bagi kesehatan seperti tanin, komponen fenolik, antosianin, fitosterol, dan polikosanol (Awika & Rooney 2004). Komposisi fitokimia yang terdapat pada sorgum dibedakan menjadi dua golongan yaitu asam fenolik dan flavonoid terlihat pada Tabel 3. Tabel 3 Komposisi fitokimia biji sorgum* Komponen Fenolik
Asam hidroksibenzoat: -hidroksibenzoat Gallat Protokatekin Vanilin Asam hidroksisinamat: -kaumarat Kafeat Ferulat Sinapat Flavonoid: Antosianin 3-deoksiantosianidin Flavan-4-ol Proantosianidin
*Sumber dari Dicko et al. (2006)

Jumlah (g/g bk)


15 36 26 46 24 141 8 50 100 200 25 52 300 500 50 140 0 2800 0 4000 0 1300 0 68000

Asam fenolik terdapat dalam bentuk bebas dan terikat pada lapisan luar biji perikarp, testa dan aleuron. Asam fenolik terdiri dari dua golongan yaitu hidroksibenzoat atau turunan asam benzoat dan hidroksinamat atau turunan asam

sinamat. Asam fenolik yang paling banyak terdapat pada sorgum adalah jenis hidroksinamat seperti asam ferulat dan asam p-caumarat (Dykes et al. 2005). Secara fisiologis senyawa fenolik mempunyai beberapa aktivitas biologis, seperti antialergi, antiinflamasi, antimikroba, antioksidan, antitrombotik dan

kardioprotektif (Aberoumand & Deokule 2008). Aktivitas antioksidan senyawa fenolik di dalam tubuh ditentukan oleh struktur molekul, jumlah, dan posisi gugus hidroksil pada cincin aromatis serta keberadaan elektron tidak berpasangan pada senyawa intermediet fenolik yang terlibat delokalisasi elektron (Lugasi et al. 2003). Asam fenolik yang terikat umumnya membentuk sulfat konjugat atau berikatan membentuk ikatan disulfida dengan sulfat dan glukoronat seperti asam ferulat berikatan dengan arabinosilan. Asam ferulat tersebut dapat dihidrolisis menjadi asam ferulat bebas di dalam tubuh sehingga memiliki kapasitas antioksidan. Proses hidrolisis atau perubahan sulfat konjugat tersebut dikatalis oleh aktivitas enzim fenolsulfotransferase (Manach et al. 2005).

Asam hidroksibenzoat
Gallat: R1 = H, R2 = R3 = R4 = OH Gentisilat: R1 = R4 = OH, R2 = R3 = OH Salisilat: R1 = OH, R2 = R3 = R4 = H p-(OH)-Benzoat: R1 = R2 = R4 = H, R3 = OH Protokatekin: R1 = R4 = H, R2 = R3 = OH Syringat: R1 = H, R2 = R4 = OCH3, R3 = OH Vanilin: R1 = R4 = H, R3 = OH; R2 = OCH3

Asam hidroksisinamat
p-kaumarat: R1 = R2 = R4 = H, R3 = OH Caffeat : R1 = R4 = H, R2 = R3 = OH Ferulat: R1= R2 = H, R4= OCH3, R3 = OH Sinapat : R1 = H, R2 = R4 = OCH3, R3 =OH

Gambar 5 Struktur asam fenolik sorgum (Awika et al. 2004).

Flavonoid adalah kelompok terbesar dari fenolik dengan kapasitas antioksidan yang kuat (Aberoumand & Deokule 2008). Flavonoid terdiri dari antosianin, flavanol, flavon, flavanon dan flavonol. Flavonoid termasuk kelompok

benzo--piron dengan struktur umum difenilpropan (C6-C3-C6) terdiri dari 2 (dua) cincin aromatis yang dihubungkan oleh 3 (tiga) atom karbon membentuk heterosiklik teroksigenasi (Filipiak 2001).

Flavan-3-ol Katekin

Flavan 4-ol Apiforol (leucoapigeninidin) : R = H Luteoforol (leucoluteolinidin) : R = OH

Gambar 6 Struktur komponen flavonoid sorgum (Dicko et al. 2006).

Antosianin
Fisetinidin : R1 = R2 = OH, R3 = H Sianidin : R1 = OH ; R2 = H, R3 = OH Pelargonidin : R1 = R2 = H, R3 = OH Peonidin : R1 = OCH3 ; R2 = H, R3 = OH Malvidin : R1 = R2 = OCH3, R3 = OH Delphinidin R1 = R2 = R3 = OH

3-deoksiantosianidin
Apigeninidin : R1 = H Luteolinidin : R1 = OH

Gambar 7 Struktur antosianin dan 3-deoksiantosianidin sorgum (Awika et al. 2004). Sorgum mengandung tanin kondensat polimer flavan-3-ol dengan berat molekul 500 dalton atau lebih. Biji sorgum secara genetik terdiri dari 3 tipe. Tipe I yaitu sorgum yang tidak memiliki warna atau tanin pada bagian testa dengan kandungan taninnya umumnya kurang dari 0.25% ekuivalen katekin. Tipe II yaitu sorgum yang memiliki warna pada testa dengan gen B1-B2 mengandung tanin

sekitar 0.5 -1.5% ekuivalen katekin. Tipe III yaitu sorgum yang memiliki warna pada testa dan perikarp dengan gen yang dominan (S_) dan gen B1-B2 mengandung tanin 0.5% - 6% (Earp et al.1983). Fungsi fisiologis apigeninidin sebagai penangkal radikal bebas dilaporkan oleh Boveris (2001). Aktivitas antioksidan apigeninidin menunjukkan sifat antikanker (Fratianni et al. 2007). Adanya korelasi aktivitas antioksidan dan antiproliferasi sel kanker esofagus OE33 dan sel kanker kolon HT-29 oleh ekstrak sorgum yang mengandung tanin dilaporkan oleh Awika et al. (2009). Peningkatan aktivitas antioksidan penangkal radikal bebas DPPH dan antimikroba ekstrak metanol dari tepung biji sorgum dilaporkan oleh Kill et al. (2009). Penelitian sebelumnya telah menginformasikan bahwa tepung biji sorgum lokal varietas Kawali dengan penyosohan 20 detik memberikan hasil berupa produk yang dapat diterima oleh konsumen serta mempunyai aktivitas antioksidan dan

imunomodulator yang tinggi (Yanuar 2009). Secara in vivo tepung sorgum yang disosoh 20 detik meningkatkan enzim-enzim antioksidan terutama enzim superoksidadismutase (SOD) sebesar 98% pada tikus jantan yang diberi 50% tepung sorgum dan peningkatan 91% pada tikus yang diberi 100% sorgum (Puspawati 2009, Zakaria et al 2011). Pengujian terhadap sel kanker secara in vitro menunjukkan bahwa 3-deoksiantosianidin yang diisolasi dari sorgum dapat menghambat proliferasi sel kanker leukemia sebesar 90% dan sel kanker hepatoma 50% lebih tinggi dari antosianin analog (Shih et al. 2007).

Kanker Deskripsi Kanker

Kanker berasal dari kata carcinos (Yunani), cancer (Inggris) atau kanker (Belanda). Jaringan kanker atau neoplasma adalah suatu gangguan pertumbuhan dengan karakteristik sel yang berlebihan, abnormal dan merupakan proliferasi yang tidak terkontrol dari jaringan yang mengalami transformasi atau perubahan pada satu atau lebih tempat utama dalam tubuh inang dan umumnya disertai dengan metastasis atau penyebaran pada bagian lain tubuh inang (Priosoeryanto, 1994).

Proliferasi sel yang sangat cepat menimbulkan benjolan pada organ atau disebut tumor. Tumor tidak mempunyai fungsi fisiologis, namun sebaliknya dapat menimbulkan gangguan dan bahkan bersifat patologis. Tumor dapat bersifat benign (benigna) artinya tumor yang tidak berkembang menjadi kanker dan ada juga yang bersifat malignant (maligna) yang berarti dapat menyebar, seperti kanker paru-paru yang dapat menyebar ke jaringan atau organ disekitarnya (Cotran et al. 1994). Kanker berawal dari kerusakan materi genetika atau DNA

(deoxyribonucleic acid) sel. Satu saja sel mengalami kerusakan genetik, sudah cukup untuk menghasilkan neoplasma atau tumor. Komponen genetik berperan dalam perkembangan berbagai kanker. Mutasi genetik penyebab kanker dapat terjadi karena faktor dalam (endogen) sekitar 5 - 10%, yaitu melalui kesalahan replikasi pada saat sel-sel aus digantikan oleh sel baru, atau kesalahan genetika karena diturunkan oleh orang tua. Sebagian besar kanker terjadi karena faktor luar atau eksternal (sekitar 90 - 95%) melalui pola makan yang salah, polusi udara, infeksi, radiasi dan bahan-bahan kimia asing yang masuk ke dalam tubuh. Kematian yang terkait dengan kanker sekitar 30 - 35% disebabkan oleh pola makan yang salah, 25 - 30% disebabkan oleh bahan kimia yang terdapat dalam rokok dan sisanya adalah karena faktor lainnya seperti radiasi, stres, obesitas dan polutan (Anand et al. 2008). Sel normal menjadi jaringan kanker terjadi melalui beberapa rangkaian tahapan karsinogenesis yaitu inisiasi, promosi dan progresi, yang dilanjutkan tahap metastasis tumor (Gambar 9). Inisiasi adalah tahap pertama dalam karsinogenesis, dimana terjadi interaksi antara senyawa karsinogen dengan sel normal. Senyawa karsinogenik yang memasuki sel, akan berikatan dengan DNA, sehingga DNA sel akan mengalami mutasi. Kegagalan DNA dalam memperbaiki kerusakan DNA dan mutasi pada gen penekan tumor dan proto-onkogen, baik karena keturunan atau tercapainya mutasi, merupakan tahap inisiasi dalam pembentukan sel kanker.

Zat kimia karsinogen Aktivasi metabolik Karsinogen utama Berikatan dengan DNA, Inisiasi Perubahan DNA Replikasi Sel tumor laten Promosi Pembentukan tumor Progresi Tumor yang sangat ganas

Reaksi detoksifikasi (konjugasi, dsb) Detoksikasi selular (berikatan dengan nukleofil yang lain, dsb)

Perbaikan DNA (DNA repair)

Metastasis tumor

Gambar 8 Karsinogenesis kanker oleh senyawa kimia (Levi 2000)

Perubahan pada materi genetika atau mutasi gen, dapat terjadi melalui berbagai mekanisme. Pertama disebabkan oleh kesalahan replikasi yang terjadi pada saat sel-sel aus digantikan oleh sel-sel baru, terjadi kopi DNA baru yang melibatkan 6x109 pasangan basa memberikan peluang kesalahan replikasi. Penyebab kedua adalah mutasi pada alur sel germinasi yang merupakan kesalahan genetika yang diturunkan dari gen orang tua. Kesalahan genetika ini umumnya menghasilkan kanker pada usia dini. Namun demikian, sel termutasi yang telah dibawa sejak lahir tidak semuanya menjadi neoplasma. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sel yang termutasi secara bawaan, perubahan menjadi neoplasia terjadi karena adanya kerusakan genetika lanjut yang disebabkan oleh faktor eksternal. Hanya saja, individu pembawa sel yang mengandung gen yang salah menjadi lebih beresiko dibandingkan mereka yang tidak membawa gen yang termutasi (Collins et al. 2001, Zakaria 2001).

Mekanisme kerusakan materi genetika sel yang ketiga disebabkan oleh adanya virus, infeksi berkelanjutan, polusi udara, radiasi dan bahan kimia asing yang tidak diperlukan oleh tubuh. Induksi kanker oleh zat kimia merupakan proses yang kompleks dan bertahap sebagai interaksi antara faktor endogenus dan faktor lingkungan (eksternal) yang menyebabkan kerusakan DNA sel inang sehingga berdampak pada kegagalan dalam menghambat keganasan tumor (Li et al. 2009). Tahapan selanjutnya adalah promosi, dimana terjadi pertumbuhan dan pembelahan sel yang telah mengalami inisiasi tersebut. Metastasis adalah suatu mekanisme multitingkatan. Hal ini dimulai dengan pelepasan sel tumor dari tumor primer, penetrasi ke jaringan di sekitarnya, invasi ke pembuluh limfatik dan pembuluh darah hingga akhirnya menuju suatu organ atau tempat baru dimana tumor sekunder akan tumbuh. Karsinoma (kanker) yang bersifat invasif berkaitan dengan proses infiltrasi pada membran basalis yang terdiri dari jaringan kolagen dan nonkolagen. Pertumbuhan tumor yang sangat ganas dari tumor jinak disebut progresi, yang meliputi perubahan genetik yang bersifat ireversibel. Di tahap progresi, sifat-sifat sel tersebut secara bertahap berubah menjadi malignan dan menjadi lebih agresif (Levi 2000). Sejumlah 90% senyawa karsinogen adalah hasil dari reaksi detoksifikasi xenobiotik yang mengubah senyawa yang tadinya bersifat nonkarsinogenik (kokarsinogenik) menjadi karsinogenik. Pemicu kanker dapat beragam bentuknya, mulai dari kebiasaan makan yang tidak seimbang, hidup dengan tingkat stress tinggi, kebiasaan merokok, kontak dengan paparan sinar matahari berlebihan. Senyawa pemicu kanker yang terdapat dalam bahan makanan dapat berupa zat racun yang terdapat dalam bahan pangan itu sendiri maupun hasil kontaminasi mikroorganisme, hasil proses pengolahan pangan, bahan tambahan makanan yang sering digunakan dalam proses industri makanan, serta residu pestisida yang mengkontaminasi bahan pangan. Apabila senyawa pemicu kanker yang terdapat pada bahan pangan dikonsumsi dalam diet sehari-hari, dikhawatirkan sedikit demi sedikit terakumulasi dalam tubuh, sehingga dosis sekecil apapun dalam waktu cukup lama akan berbahaya bagi kesehatan (Zakaria 2001).

Kanker Kolorektal Kanker kolorektal merupakan penyakit kanker yang menempati urutan ketiga paling sering di diagnosa pada pria dan yang kedua pada wanita. Sekitar 1.2 juta kasus kanker baru dan 608.700 kasus kematian diperkirakan terjadi pada tahun 2008. Angka kejadian kanker kolorektal tertinggi ditemukan di Australia, Selandia Baru, Eropa, dan Amerika Utara, sedangkan terendah ditemukan di Afrika (Jemal et al. 2011). Insiden kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya. Kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga dari semua kasus kanker. Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus, data malignan kolon di Rumah Sakit Darmais Jakarta sekitar 600 orang pada kurun waktu 1994 - 2006 (Kastomo 2007). Kanker kolorektal (CRC) adalah kanker di bagian kolon dan rektum 8 - 10 inch terakhir dari usus besar. Kolon atau usus besar adalah bagian usus sesudah usus halus, terdiri dari kolon sebelah kanan (kolon asenden), kolon sebelah tengah atas (kolon transversum) dan kolon sebelah kiri (kolon desenden). Bagian kolon yang berhubungan dengan usus halus disebut sekum, sedangkan bagian kolon yang berhubungan dengan rektum disebut kolon sigmoid. Mukosa kolon terdiri dari epitel selapis silindris dengan sel goblet. Otot bagian sebelah dalam sirkuler dan sebelah luar longitudinal yang terkumpul pada tiga tempat membentuk taenia koli. Lapisan serosa membentuk tonjolan tonjolan kecil yang sering terisi lemak yang disebut appendices epiploicae. Kolon adalah tempat utama bagi absorpsi air dan pertukaran elektrolit. Sebanyak 90% kandungan air diserap di kolon yaitu sekitar 1 - 2 liter per hari. Natrium diabsorpsi secara aktif melalui Na+-K-ATPase. Kolon dapat mengabsorpsi sebanyak 400 miliekivalen perhari. Air diserap secara pasif mengikuti natrium melalui perbedaan osmotik. Kalium secara aktif disekresikan ke dalam lumen usus dan diabsorpsi secara pasif. Klorida diabsorpsi secara aktif melalui pertukaran klorida-bikarbonat. Degradasi bakteri dari protein dan urea di kolon menghasilkan ammonia (Cohen & Sidney 1995).

Perkembangan kanker kolon merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi gen penekan tumor dan DCC (deleted in colorectal cancer) memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma (Suzuki et al. 2006). Tahapan karsinogenesis kanker kolon terlihat pada Gambar 10. Berkembangnya kanker kolon diawali dengan alterasi (perubahan) pada gen APC (Adenopoliposis coli). Gen ini menyandi suatu protein yang berfungsi sebagai penekan tumor untuk mengatur pembelahan sel-sel epitel usus. Mutasi ini menyebabkan akumulasi kerusakan genetik yang menghasilkan keganasan dan aktivasi onkogen K-ras dan hilangnya gen penekan tumor DCC dan p53 (Powell et al. 1993).

Gambar 9 Karsinogenesis kanker kolon (Powell et al. 1993).

Mutasi K-ras menyebabkan ketidakmampuannya dalam menghidrolisis guanosin trifosfat (GTP) menjadi guanosin difosfat (GDP). Hal ini yang menyebabkan pemecahan sel yang tidak terkontrol. Mutasi gen DCC dan p-53 terjadi pada lebih dari 70% kasus karsinoma kolorektal. Terdapat 2 jalur utama dalam inisasi dan progresi dari tumor yaitu jalur loss of heterozygosity (LOH) dan jalur replication error (RER). Sekitar 80% dari karsinoma kolorektal merupakan mutasi dari jalur LOH, sisanya merupakan mutasi jalur RER yaitu kesalahan

pasangan sewaktu replikasi DNA. Jalur RER diinisiasi oleh mutasi gen mismatch repair (MMR) seperti hMSH2, hMLH1, hPMS1, hPMS2, dan hMSH6 (Heyer et al. 1999). Terdapat beberapa faktor resiko yang menyebabkan seseorang rentan terkena kanker kolorektal seperti usia diatas 50 tahun dengan riwayat keluarga pernah menderita kanker, kelainan gen yakni familial adenomatous polyposis (FAP) dan hereditary nonpolyposis colon cancer (HNPCC), pernah menderita radang usus besar berupa colitis ulceratif atau penyakit Crohn, sering mengkonsumsi makanan tinggi lemak (khususnya lemak hewan) dan rendah kalsium, folat dan rendah serat, merokok, dan minum alkohol (Cohen & Sidney 1995). Gen yang bertanggung jawab untuk FAP yaitu gen APC, yang berlokasi pada kromosom 5q21. Adanya defek pada APC dapat menggiring kepada kemungkinan pembentukan kanker kolorektal pada umur 40 sampai 50 tahun. Pasien dengan HNPCC mempunyai kecenderungan untuk menderita kanker kolorektal pada umur yang sangat muda, dan screening harus dimulai lebih dini 5 tahun dari umur anggota keluarga yang pertama kali terdiagnosa kanker kolorektal yang berhubungan HNPCC. Karsinogenesis yang terakselerasi HNPCC dapat menjadi karsinoma dalam 2-3 tahun, bila dibandingkan dengan proses pada ratarata kanker kolorektal yang membutuhkan waktu 8-10 tahun. Sekitar 1% dari penderita kanker kolon memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis (van Hogezand et al. 2002). Sejumlah 70% dari penyebab kanker kolorektal dikaitkan pola makan yang salah. Karsinogen yang masuk ke dalam tubuh seperti pestisida, nitrosamin, dioksin berasal dari bahan tambahan makanan atau dari proses pengolahan pangan. Heterosiklik amin terdapat pada makanan akibat adanya proses pengolahan yang menggunakan suhu tinggi seperti pemanggangan dan penggorengan, maupun akibat kontaminasi atau polusi dari udara. Penggunaan nitrat digunakan sebagai bahan pewarna merah pada produk daging. Paparan jangka panjang zat aditif makanan seperti pengawet nitrit dan pewarna azodikaitkan sebagai penginduksi karsinogenesis (Anand et al. 2008).

Model Tumor Kolon Rodensia Model rodensia pada studi kanker kolon telah dilakukan sejak 80 tahun yang lalu. Keuntungan menggunakan hewan model rodensia diantaranya adalah induksinya berlangsung cepat, dapat direproduksi dan menggambarkan proses perubahan adenoma ke karsinoma seperti yang terjadi pada manusia. Kemampuan untuk menginduksi tumor kolorektal model in vivo merupakan cara untuk mempelajari berbagai aspek karsinogenesis atau metastasis seperti yang terlihat dalam CRC (colorectal cancer) manusia. Model in vivo dapat digunakan untuk studi kemopreventif untuk mengevaluasi imunologi, kimia, dan terapi. Model hewan rodensia CRC hasil rekayasa genetika (mencit strain Min/APC) sering dipakai sebagai hewan model reproduksi perkembangan tumor (Robertis et al. 2011). Penggunaan karsinogen sebagai model induksi pertama kali dilakukan pada mencit yang diberi pangan yang mengandung hidrokarbon polisiklik aromatik (PAH), metilkolantren (MCA) yang menghasilkan tumorigenesis pada lambung dan usus mencit setelah pemberian. Kemudian dilaporkan pemberian ytrium radioaktif pada tikus menghasilkan tumor kolon yang cukup tinggi. Laporan lain menyebutkan hal yang sama terjadi pada tikus putih setelah diinjeksi 4aminodifenil dan 3,2-dimetil-4-aminodifenil (Rosenberg et al. 2009). Penelitian eksperimental karsinogenesis kolon pada rodensia seperti mencit dan tikus telah banyak diteliti. Kripta abberan mula-mula ditemukan pada kolon tikus pada penelitian eksperimental menggunakan model hewan percobaan yang dipapari bahan karsinogen seperti azoksimetana (AOM) dan 1,2 dimetilhidrazin (1,2 DMH). Target utama induksi karsinogen ini adalah intestinum, khususnya kolon dan rektum. Spesies hewan coba, rute pemberian dan dosis mempengaruhi karsinogenisitas AOM dan 1,2 DMH. Selektifitas organ target berdasarkan rute pemberian AOM untuk menginduksi kanker kolon pada tikus dan mencit.

Sensitifitas karsinogen yang diinduksi tergantung pada strain dari hewan rodensia tersebut. Tikus yang menjadi model untuk karsinogen DMH/AOM adalah strain F344, Sprague Dawley, atau Wistar. Pemberian DMH/AOM berulang pada subkutan merupakan cara yang dapat diandalkan untuk menginduksi kanker kolon pada hewan pengerat khususnya tikus. Secara mikroskopis, terdapat gambaran

hiperplasia dan kadang ditemukan fokus displasia. Kripta yang menyimpang (ACF) merupakan bentuk awal dari suatu adenoma ditemukan 8 12 minggu pasca induksi untuk studi jangka pendek atau kuantitatif jumlah tumor kolon setelah 40 minggu pasca induksi untuk studi jangka panjang (Bird & Forrester 1981). Karsinogen 1,2-dimetilhidrazin (DMH), azoksimetan (AOM), dan dekstran sodium sulfat banyak dipakai untuk menghasilkan kanker kolorektal sporadik. Strain mencit yang ditemukan sensitif terhadap karsinogenesis kolon yang diinduksi AOM/DSS yaitu BALB/c, C3H/Hen, C57BL dan DBA/2N. Pengujian sensitivitas AOM/DSS terhadap beberapa strain mencit dilaporkan oleh Suzuki et al. (2006). Induksi AOM intraperitoneal dengan dosis tunggal 10mg/kg BB yang diikuti dengan pemberian 1% DSS yang ditambahkan pada air minum selama 4 hari. Insiden adenokarsinoma kolon mencapai 100% dengan multifikasi 11,4 5,9 pada mencit BALB/c, pada mencit C57BL/6N dengan multifikasi 2,5 2,1 adenokarsinoma mencapai 50%, adenoma kolon insidennya dijumpai sedikit pada mencit strain C3H/HeN (29% dengan multifikasi 0,7 1,5). Penggunaan dosis tunggal AOM 10 mg/kg berat badan yang diinjeksi melalui intraperitoneal dan 2 % DSS yang dicampurkan bersama air minum selama seminggu diujikan pada mencit jantan BALB/c. Setelah 20 minggu perlakuan dijumpai neoplasma kolon (adenokarsinoma, insiden 100% dengan multifikasi 5,60 2,42) dan adenoma (insiden 38% dengan multifikasi (0,20 0,40 dijumpai lesi displasia).

Azoxymetana (AOM) dan Dekstran Sodium Sulfat (DSS) sebagai model induksi kanker. AOM adalah suatu karsinogen genotoksik kolon yang digunakan untuk menginvestigasi karsinogenesis pada hewan rodensia. DSS merupakan karsinogen non genotoksik polisakarida sulfat sintetis yang menyebabkan inflamasi usus (ulcerative colitis) pada hewan rodensia (Suzuki et al. 2006). Dimetilhidrazin (DMH) dan azoksimetana (AOM) merupakan karsinogen eksogen yang mengalami proses detoksifikasi di hati oleh enzim-enzim mikrosomal. Tahap pertama merupakan aktivasi, yaitu mengkondisikan

xenobiotik agar bersifat lebih mudah larut dalam sirkulasi darah sehingga mudah diberi perlakuan pada tahap selanjutnya. Sedangkan pada tahap kedua yaitu tahap konjugasi yang membuat xenobiotik tersebut dapat diekskresikan (Levi 2000). Senyawa intermediet metilazoksimetanol (MAM) terbentuk pada tahap pertama oleh enzim sitokrom P-450 CYP2E1 di hati melalui beberapa tahap N-oksidasi dan hidroksilasi (Gambar 10). Metilazoksimetanol (MAM) dapat dioksidasi melalui reaksi alkilasi makromolekul oleh ADH (alcohol dehidrogenase), enzim sitosol yang terdapat pada organ hati, ginjal dan kolon, menghasilkan metabolit reaktif ion metildiazonium. Metabolit reaktif CH3+ yang dihasilkan bersifat elektrofilik yang mampu berkonjugasi dengan DNA menghasilkan metilasi basa DNA pada posisi O6 atau N7 dari guanine (O6-metil-deoksiguanosin dan N7-metil-deoksiguanosin). Mukosa kolon menjadi target AOM dan DMH karena kestabilan dari metabolit hasil hidroksilasi MAM memiliki waktu paruh sekitar 12 jam sehingga cukup waktu berdistribusi ke kolon (Pegg 1984, Rosenberg et al. 2009).

Gambar 10 Metabolisme Azoksimetana (Rosenberg et al. 2009).

Untuk memahami patogenesis kanker kolon yang berhubungan dengan inflammatory bowel disease (IBD) dikembangkan model mencit dengan dua tahap yakni inisiasi oleh AOM dan promosi oleh DSS. Penelitian yang menggunakan mencit jantan Crj:CD-1 (ICR) diberi dosis tunggal AOM (10 mg/kg berat badan)

melalui intraperitoneal, diikuti satu minggu pemberian oral 2% DSS (BM 40.000) dalam air minum. Setelah induksi 20 minggu dijumpai neoplasma kolon (adenokarsinoma, insiden 100% dengan multiplikasi 5.60 2.42 dan adenoma, insiden 38% dengan multiplikasi 0.20 0.40) dan juga dijumpai lesi displasia. Secara imunohistokimia, displasia dan neoplasma menunjukkan positif dengan pewarnaan -katenin, COX-2 dan inducible nitric oxide synthase (iNOs). Sel radang banyak dijumpai di sekeliling atau menginfiltrasi karsinoma (Tanaka et al. 2003). Laporan karsinogenesis yang berhubungan dengan inflamasi pada mencit yang diberikan dosis tunggal berbagai karsinogen yaitu AOM, PhIP dan DMH yang dilanjutkan oleh pemberian selama satu minggu 2% DSS pada air minum. Pada studi dosis DSS sebagai promotor tumor, mencit ICR jantan diberi dosis tunggal AOM melalui intraperitoneal (10 mg/kg BB) yang dilanjutkan dengan pemberian DSS (BM 40000) dengan dosis bervariasi dari 0.1 sampai 2% (berat/volume) pada air minum selama satu minggu. Pada minggu ke-14, mencit yang menerima AOM dan 2% DSS menghasilkan insiden paling tinggi dengan multiplikasi adenoma kolon tubular (75%) dan adenokarsinoma (100%). Tumor kolon tidak tumbuh pada mencit yang menerima AOM + 0.25% DSS dan AOM + 0.1% DSS walaupun masih ditemukan displasia kripta (Suzuki et al. 2006) Insiden tumor kolon pada mencit Apc
Mint/+

dilaporkan berkembang pada

minggu ke-5 pada mencit jantan dan betina Apc Mint/+ yang diinduksi oleh 2% DSS pada air minum selama 7 hari. Analisis molekular menunjukkan -katenin meningkat sekitar 80 - 100% pada adenokarsinoma kolon setelah diinduksi AOM. Kira-kira separuh dari mutasi terjadi pada kodon 37 atau 41. Pada adenokarsinoma kolon yang diinduksi AOM/DSS, mutasi gen terjadi pada kodon 32 hingga 34. Mutasi pada kodon 33 dan 34 disebabkan oleh AOM, sementara mutasi pada kodon 32 disebabkan oleh DSS. Diperkirakan juga bahwa DSS merangsang kehilangan gen Apc pada mencit Apc Tanaka et al. 2005). Jalur transforming growth factor (TGF)- dilaporkan memegang peran dalam modulasi karsinogenesis kolon manusia. Pada kolon normal, (TGF)- memiliki pengaruh antiproliferatif pada sel epitel. Pengaruh antiproliferatif
Mint/+

(Kohno et al. 2005,

diperantarai oleh reseptor (TGF)- tipe I dan II yang membentuk dimer yang pada akhirnya melakukan aktivasi transkripsi protein regulator SMAD, SMAD2, 3 dan 4. (TGF)- juga mempengaruhi perkembangan kanker kolon melalui aktivitas imunosupresifnya yang kuat. Gangguan pada jalur (TGF)- sering dijumpai pada kanker kolon manusia. Pada kanker ini karsinogenesis terjadi melalui silencing beberapa gen yang terlibat dalam perbaikan kerusakan DNA (DNA mismatch repair), yang menimbulkan mutasi frame-shift pada TGF-RII. Bukti-bukti telah banyak menjelaskan bahwa jalur tersebut mengalami gangguan pada model rodensia yang diinduksi karsinogen dan menjadi fakor penting yang menentukan sensitivitas berbagai strain mencit pada karsinogenesis yang diinduksi oleh AOM dan DSS (Tarafa et al. 2000, Rosenberg et al. 2009).

Siklooksigenase-2 (COX-2) sebagai penanda Inflamasi Sejumlah laporan menyatakan bahwa AOM dapat meningkatkan ekspresi COX-2 dan level prostaglandin E2 (PGE2) pada adenokarsinoma. Peningkatan ekspresi COX-2 terjadi selama proses karsinogenesis dimana bermula dari mukosa kolon yang tampak normal setelah satu minggu pemberian AOM pada tikus. Peningkatan ekspresi COX-2 pada mencit terdeteksi setelah 24 minggu pemberian AOM diikuti oleh peningkatan level PGE2 (Dong et al. 2003 ; Dubois et al.1996). Siklooksigenase (COX) merupakan enzim pada jalur biosintetik prostaglandin dan tromboksan dari asam arakidonat. Terdapat 2 bentuk COX yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 timbul sebagai respon dari produksi prostaglandin dan mempunyai fungsi homeostatik. COX-1 berisi 70 kiloDalton subunit sedangkan COX-2 berisi protein 74 kiloDalton yang mempunyai 60% homolog dengan COX-1. COX-2 terangsang selama proses peradangan dan neoplasma. COX-2 adalah suatu isoform enzim siklooksigenase yang mengubah asam arakidonat menjadi prostanoid, tertampil pada beberapa tumor dan dalam perkembangannya membuktikan bahwa akan menyebabkan karsinogenesis kanker kolorektal. Sel yang mengalami inflamasi akan membebaskan metabolisme dari asam arakidonat atau eisosanoid termasuk prostanoid, prostaglandin dan leukotrin. Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera

atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera (Dorland 2002). Secara garis besar, peradangan ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan dalam jumlah besar ke dalam ruang interstisial, pembekuan cairan dalam ruang interstisial yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah berlebihan, migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan, dan pembengkakan sel jaringan. Beberapa produk jaringan yang menimbulkan reaksi ini adalah histamin, bradikinin, serotonin,

prostaglandin, beberapa macam produk reaksi sistem komplemen, produk reaksi sistem pembekuan darah, dan berbagai substansi hormonal yang disebut limfokin yang dilepaskan oleh sel T yang tersensitisasi (Guyton & Hall 1997; Simmons & Moore 2000). Terdapat 2 komponen utama dalam proses radang akut, yaitu perubahan penampang dan struktural dari pembuluh darah serta emigrasi dari leukosit. Perubahan penampang pembuluh darah akan mengakibatkan meningkatnya aliran darah dan terjadinya perubahan struktural pada pembuluh darah mikro akan memungkinkan protein plasma dan leukosit meninggalkan sirkulasi darah. Leukosit yang berasal dari mikrosirkulasi akan melakukan emigrasi dan selanjutnya berakumulasi di lokasi cedera (Mitchell & Cotran, 2003). Setelah leukosit sampai di lokasi radang, terjadilah proses fagositosis. Meskipun sel-sel fagosit dapat melekat pada partikel dan bakteri tanpa didahului oleh suatu proses pengenalan yang khas, tetapi fagositosis akan sangat ditunjang apabila mikroorganisme diliputi oleh opsonin, yang terdapat dalam serum (misalnya IgG, C3). Setelah bakteri yang mengalami opsonisasi melekat pada permukaan, selanjutnya sel fagosit sebagian besar akan meliputi partikel, berdampak pada pembentukan kantung yang dalam. Partikel ini terletak pada vesikel sitoplasma yang masih terikat pada selaput sel, disebut fagosom. Meskipun pada waktu pembentukan fagosom, sebelum menutup lengkap, granulagranula sitoplasma neutrofil menyatu dengan fagosom dan melepaskan isinya ke dalamnya, suatu proses yang disebut degranulasi. Sebagian besar mikroorganisme

yang telah mengalami pelahapan mudah dihancurkan oleh fagosit yang berakibat pada kematian mikroorganisme. Walaupun beberapa organisme yang virulen dapat menghancurkan leukosit (Robbins & Kumar, 1995). Bahan kimia yang berasal dari plasma maupun jaringan merupakan rantai penting antara terjadinya jejas dengan fenomena radang. Meskipun beberapa cedera langsung merusak endotelium pembuluh darah yang menimbulkan kebocoran protein dan cairan di daerah cedera, pada banyak kasus cedera mencetuskan pembentukan dan/atau pengeluaran zat-zat kimia di dalam tubuh. Banyak jenis cedera yang dapat mengaktifkan mediator endogen yang sama, yang dapat menerangkan sifat stereotip dari respon peradangan terhadap berbagai macam rangsang. Karena pola dasar radang akut stereotip, tidak tergantung jenis jaringan maupun agen penyebab pada hakekatnya menyertai mediator-mediator kimia yang sama yang tersebar luas dalam tubuh. Beberapa mediator dapat bekerja bersama, sehingga memberi mekanisme biologi yang memperkuat kerja mediator. Radang juga memiliki mekanisme kontrol yaitu inaktivasi mediator kimia lokal yang cepat oleh sistem enzim atau antagonis (Abrams, 1995; Robbins & Kumar, 1995). Cukup banyak substansi yang dikeluarkan secara endogen telah dikenal sebagai mediator dari respon peradangan. Mediator yang lebih dikenal dapat digolongkan menjadi golongan amina vasoaktif (histamin dan serotonin), protease plasma (sistem kinin, komplemen, dan koagulasi fibrinolitik), metabolit asam arakidonat (leukotrien dan prostaglandin), produk leukosit (enzim lisosom dan limfokin), dan berbagai macam mediator lainnya (misal, radikal bebas yang berasal dari oksigen dan faktor yang mengaktifkan trombosit) (Abrams 1995; Robbins & Kumar, 1995). Amina vasoaktif yang paling penting adalah histamin. Sejumlah besar histamin disimpan dalam granula sel jaringan penyambung yang disebut sel mast atau mastosit. Histamin tersebar luas dalam tubuh. Histamin juga terdapat dalam sel basofil dan trombosit. Histamin yang tersimpan merupakan histamin yang tidak aktif dan baru menampilkan efek vaskularnya bila dilepaskan. Stimulus yang dapat menyebabkan dilepaskannya histamin adalah jejas fisik (misal trauma atau panas), reaksi imunologi (meliputi pengikatan antibodi IgE terhadap reseptor

Fc pada sel mast), fragment komplemen C3a dan C5a (disebut anafilaktosin), protein derivat leukosit yang melepaskan histamin, neuropeptida (misal, substansi P), dan sitokin tertentu (misal, IL-1 dan IL-8) (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995; Abrams, 1995). Berbagai macam fenomena dalam respon radang diperantarai oleh tiga faktor plasma yang saling berkaitan yaitu sistem kinin, pembekuan, dan komplemen. Seluruh proses dihubungkan oleh aktivasi awal oleh faktor Hageman (disebut juga faktor XII dalam sistem koagulasi intrinsik). Faktor XII adalah suatu protein yang disintesis oleh hati yang bersirkulasi dalam bentuk inaktif hingga bertemu kolagen, membrana basalis, atau trombosit teraktivasi di lokasi jejas endotelium. Dengan bantuan kofaktor high-molecular-weight kininogen

(HMWK)/kininogen berat molekul tinggi, faktor XII kemudian mengalami perubahan bentuk menjadi faktor XIIa. Faktor XIIa dapat membongkar pusat serin aktif yang dapat memecah sejumlah substrat protein (Mitchell & Cotran, 2003). Aktivasi sistem kinin pada akhirnya menyebabkan pembentukan bradikinin. Bradikinin merupakan polipeptida yang berasal dari plasma sebagai prekursor yang disebut HMWK. Prekursor glikoprotein ini diuraikan oleh enzim proteolitik kalikrein. Kalikrein sendiri berasal dari prekursornya yaitu prekalikrein yang diaktifkan oleh faktor XIIa. Seperti halnya histamin, bradikinin menyebabkan dilatasi arteriola, meningkatkan permeabilitas venula dan kontraksi otot polos bronkial. Bradikinin tidak menyebabkan kemotaksis untuk leukosit, tetapi menyebabkan rasa nyeri bila disuntikkan ke dalam kulit. Bradikinin dapat bertindak dalam sel-sel endotel dengan meningkatkan celah antar sel. Kinin akan dibuat inaktif secara cepat oleh kininase yang terdapat dalam plasma dan jaringan, dan perannya dibatasi pada tahap dini peningkatan permeabilitas pembuluh darah (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995). Pada sistem pembekuan, rangsangan sistem proteolitik mengakibatkan aktivasi trombin yang kemudian memecah fibrinogen yang dapat larut dalam sirkulasi menjadi gumpalan fibrin. Trombin memperkuat perlekatan leukosit pada endotel dan dengan cara menghasilkan fibrinopeptida (selama pembelahan fibrinogen) dapat meningkatkan permeabilitas vaskular dan sebagai kemotaksis leukosit (Mitchell & Cotran, 2003).

Ketika faktor XIIa menginduksi pembekuan, di sisi lain terjadi aktivasi sistem fibrinolitik. Mekanisme ini terjadi sebagai umpan balik pembekuan dengan cara memecah fibrin kemudian melarutkan gumpalan fibrin. Tanpa adanya fibrinolisis ini, akan terus menerus terjadi pembekuan dan mengakibatkan penggumpalan pada keseluruhan vaskular. Plasminogen activator (dilepaskan oleh endotel, leukosit, dan jaringan lain) dan kalikrein adalah protein plasma yang terikat dalam perkembangan gumpalan fibrin. Produk hasil dari keduanya yaitu plasmin, merupakan protease multifungsi yang memecah fibrin (Mitchell & Cotran, 2003). Sistem komplemen terdiri dari satu seri protein plasma yang berperan penting dalam imunitas maupun radang. Tahap penting pembentukan fungsi biologi komplemen ialah aktivasi komponen ketiga (C3). Pembelahan C3 dapat terjadi melalui jalur klasik yang tercetus oleh pengikatan C1 pada kompleks antigen-antibodi (IgG atau IgM) atau melalui jalur alternatif yang dicetuskan oleh polisakarida bakteri (misal, endotoksin), polisakarida kompleks, atau IgA teragregasi, dan melibatkan serangkaian komponen serum (termasuk properdin dan faktor B dan D). Jalur manapun yang terlibat, pada akhirnya sistem komplemen akan memakai urutan efektor akhir bersama yang menyangkut C5 sampai C9 yang mengakibatkan pembentukan beberapa faktor yang secara biologi aktif serta lisis sel-sel yang dilapisi antibodi (Mitchell & Cotran, 2003; Robbins & Kumar, 1995). Faktor yang berasal dari komplemen, mempengaruhi berbagai fenomena radang akut, yaitu pada fenomena vaskular, kemotaksis, dan fagositosis. C3a dan C5a (disebut juga anafilaktosin) meningkatkan permeabilitas vaskular dan menyebabkan vasodilatasi dengan cara menginduksi sel mast untuk mengeluarkan histamin. C5a mengaktifkan jalur lipoksigenase dari metabolisme asam arakidonat dalam netrofil dan monosit. C5a juga menyebabkan adhesi neutrofil pada endotel dan kemotaksis untuk monosit, eosinofil, basofil dan neutrofil. Komplemen yang lainnya, C3b, apabila melekat pada dinding sel bakteri akan bekerja sebagai opsonin dan memudahkan fagositosis neutrofil dan makrofag yang mengandung reseptor C3b pada permukaannya (Mitchell & Cotran, 2003).

Asam arakidonat merupakan asam lemak tidak jenuh yang utamanya berasal dari asupan asam linoleat dan berada dalam tubuh dalam bentuk esterifikasi sebagai komponen fosfolipid membran sel. Asam arakidonat dilepaskan dari fosfolipid melalui fosfolipase seluler yang diaktifkan oleh stimulasi mekanik, kimia, atau fisik, atau oleh mediator inflamasi lainnya seperti C5a. Metabolisme asam arakidonat berlangsung melalui salah satu dari dua jalur utama, sesuai dengan enzim yang mencetuskan, yaitu jalur siklooksigenase dan lipoksigenase. Metabolit asam arakidonat (disebut juga eikosanoid) dapat memperantarai setiap langkah inflamasi (Mitchell & Cotran, 2003). Jalur siklooksigenase menghasilkan prostaglandin (PG) E2 (PGE2), PGI2 (prostasiklin), dan tromboksan A2 (TXA2). Setiap produk tersebut berasal dari PGH2 oleh pengaruh kerja enzim yang spesifik. PGH2 sangat tidak stabil, merupakan prekursor hasil akhir biologi aktif jalur siklooksigenase. Beberapa enzim mempunyai distribusi jaringan tertentu. Misalnya, trombosit mengandung enzim tromboksan sintetase sehingga produk utamanya adalah TXA2. TXA2 merupakan agen agregasi trombosit yang kuat dan vasokonstriktor. Di sisi lain, endotelium kekurangan dalam hal tromboksan sintetase, tetapi banyak memiliki prostasiklin sintetase yang membentuk PGI2. PGI2 merupakan vasodilator dan penghambat kuat agregasi trombosit. PGD2 merupakan metabolit utama dari jalur siklooksigenase pada sel mast. Bersama dengan PGE2, PGD2 menyebabkan vasodilatasi dan pembentukan edema. Prostaglandin terlibat dalam patogenesis nyeri dan demam pada inflamasi (Mitchell & Cotran, 2003). Jalur lipoksigenase merupakan jalur yang penting untuk membentuk bahan-bahan proinflamasi yang kuat. 5-lipoksigenase merupakan enzim metabolit asam arakidonat utama pada neutrofil. Produk dari aksinya memiliki karakteristik yang terbaik. 5-HPETE (asam 5-hidroperoksieikosatetranoik) merupakan derivat 5-hidroperoksi asam arakidonat yang tidak stabil dan direduksi menjadi 5-HETE (asam 5-hidroksieikosatetraenoik) (sebagai kemotaksis untuk neutrofil) atau diubah menjadi golongan senyawa yang disebut leukotrien. Produk dari 5-HPETE adalah leukotrien (LT) A4 (LTA4), LTB4, LTC4, LTD4, dan LTE5. LTB4 merupakan agen kemotaksis kuat dan menyebabkan agregasi dari neutrofil. LTC 4,

LTD4, dan LTE4 menyebabkan vasokonstriksi, bronkospasme, dan meningkatkan permeabilitas vaskular (Mitchell & Cotran, 2003). Lipoksin juga termasuk hasil dari jalur lipoksigenase yang disintesis menggunakan jalur transeluler. Trombosit sendiri tidak dapat membentuk lipoksin A4 dan B4 (LXA4 dan LXB4), tetapi dapat membentuk metabolit dari intermediat LTA4 yang berasal dari neutrofil. Lipoksin mempunyai aksi baik pro- dan antiinflamasi. Misal, LXA4 menyebabkan vasodilatasi dan antagonis vasokonstriksi yang distimulasi LTC4. Aktivitas lainnya menghambat kemotaksis neutrofil dan perlekatan ketika menstimulasi perlekatan monosit (Mitchell & Cotran, 2003). Granula lisosom yang terdapat dalam neutrofil dan monosit mengandung molekul mediator inflamasi. Mediator ini dilepaskan setelah kematian sel oleh karena peluruhan selama pembentukan vakuola fagosit atau oleh fagositosis Neutrofil juga merupakan sumber fosfolipase yang diperlukan untuk sintesis asam arakidonat (Robbins & Kumar, 1995).

Kultur Sel

Kultur sel merupakan teknik mengembangbiakkan sel di luar tubuh (in vitro) dimana sel dari suatu jaringan tertentu diambil dan ditumbuhkan pada kondisi yang terkontrol dan aseptik. Sel yang digunakan sebagai kultur sel dapat berasal dari jaringan manusia, hewan atau tumbuhan. Limfosit adalah sel darah putih atau leukosit yang berbentuk bulat dengan diameter 7-15 m. Sel limfosit selain terdapat di dalam darah perifer, terdapat juga pada organ limfoid seperti limfa, kelenjar limfe dan timus. Limfosit manusia berjumlah sekitar 30% dari persentasi normal sel darah putih. Sel limfosit memiliki fungsi yang kompleks dengan fungsi utama adalah memproduksi antibodi atau sebagai sel efektor khusus dalam menanggapi antigen yang terikat oleh makrofag, merupakan sel kunci dalam proses respon imun spesifik, dapat mengenali antigen melalui reseptor antigen dan mampu membedakannya dari komponen tubuhnya sendiri (Kuby, 1992). Kultur sel dari jaringan sel kanker diperbanyak dibawah kondisi yang sesuai sampai sel dapat menggunakan semua substrat, menjadi sangat padat

(terlihat dekat satu sama lain) atau mencapai konfluen. Setelah mencapai konfluen, sel harus dipindahkan ke dalam wadah yang baru dengan medium yang baru untuk mendukung pertumbuhannya kembali, istilah ini disebut subkultur (passage). Cell lines adalah sel yang berasal dari kultur primer yang telah dibiakkan secara berkala, ditumbuhkembangkan, dipelihara, dan disimpan dalam nitrogen cair. Cell lines yang telah disubkultur umumnya mempunyai fraksi pertumbuhan yang cukup tinggi (lebih dari 80%). Salah satu keistimewaan dari cell lines ini adalah bersifat abadi (immortal), sel ini masih dapat hidup dalam kondisi media seminimal mungkin. Cell line tertentu dapat mengalami transformasi sehingga dapat berkembang secara immortal seperti sel tumor, ini disebut continuous cell line. Continuous cell line yang diklon dan dikarakterisasi akan menurunkan continuous cell strain (Freshney 1994). Sel yang telah dikultur akan tumbuh dan bertambah banyak dalam kondisi in vitro dan tidak akan memiliki fungsi in vivo-nya lagi. Sel yang berasal dari jaringan atau organ yang diuraikan secara mekanis ataupun enzimatis menjadi suspensi sel dibiakkan diatas permukaan yang keras seperti botol, tabung, cawan ataupun multiwell, atau menjadi suspensi sel dalam media pertumbuhan. Untuk pertumbuhan sel dalam kultur dibutuhkan lingkungan yang kompleks seperti di dalam tubuh. Sel memerlukan media penumbuh yang dapat membuat sel tetap bertahan hidup, berkembang dan berdiferensiasi (Cartwright & Shah, 1994). Jumlah dan kualitas media menentukan jumlah sel yang dapat ditumbuhkan dalam kultur. Pemilihan media harus didasarkan pada kebutuhan sel yang ditumbuhkan dan disesuaikan dengan tujuan studi yang menggunakan sel tersebut. Teknik kultur sel memiliki kelebihan karena lingkungan tempat hidup sel seperti pH, tekanan osmosis, tekanan CO2 dan O2 dapat dikontrol dan diatur sehingga kondisi fisiologis dari kultur relatif konstan (Freshney, 1994). Fungsi utama media pada teknik kultur sel adalah untuk mempertahankan pH dan osmolalitas esensial untuk viabilitas sel serta penyedia nutrisi dan energi yang dibutuhkan untuk multiplikasi dan pertumbuhan sel (Cartwright & Shah, 1994). Media untuk pertumbuhan sel harus mengandung asam amino, vitamin, glukosa, garam berbagai suplemen organik seperti protein, peptide, nukleosida dan lipid serta hormon dan faktor pertumbuhan. Media Roswell Park Memorial

Institute (RPMI-1640) dan Dulbeccos modified eagles medium (DMEM) adalah media kultur sel terbaik untuk menumbuhkan sel limfosit dan alur sel kanker manusia untuk jangka pendek. Ada dua jenis kultur sel kanker, yaitu kultur dalam bentuk suspensi dan kultur dalam bentuk selapis atau monolayer. Kultur sel dalam bentuk suspensi diturunkan dari sel yang dapat bertahan hidup atau mampu berproliferasi dalam media tanpa memerlukan support atau faktor pembantu untuk menempel. Kultur sel dalam bentuk selapis memerlukan support untuk menempel pada permukaan tempat kultur. Dalam perkembangbiakannya, sel akan memenuhi permukaan tempat tumbuhnya. Sel-sel yang dibiakkan dalam bentuk monolayer ini biasanya untuk sel-sel yang berasal dari jaringan (Freshney 1994). Alur sel A549 diisolasi pertama kali oleh Giard et al. (1973) berasal dari sel karsinoma paru-paru dari pria berumur 58 tahun dengan morfologi menyerupai epitelial. Sel ini memiliki sifat dapat mengekspresikan enzim metabolik xenobiotik. Alur sel HCT 116 merupakan sel turunan kanker kolon stadium lanjut pada manusia (late phase adenocarcinoma). Sel HeLa merupakan sel turunan yang tumbuh sebagai sel yang semi melekat. Sel HeLa diturunkan dari sel epitel kanker leher rahim (serviks) manusia. Sel ini diisolasi tahun 1915 dari rahim wanita penderita kanker leher rahim bernama Henrietta Lacks yang berusia 31 tahun. Sel ini secara morfologi merupakan sel epitelial yang sudah dimasuki oleh Human Papiloma Virus (HPV) tipe 18. Sel ini bersifat immortal dan sangat agresif sehingga mudah untuk dikultivasi (Rahbari et al. 2009). Sel Raji adalah cell line lymphoblastoid yang diturunkan dari lymphoma Burkitt. Burkitt merupakan sejenis kanker yang terdapat pada sistem limpa khususnya pada limfosit B. Sel Raji ditemukan pada tahun 1963 yang diperoleh dari rahang kiri anak lelaki dari Afrika yang saat itu mempunyai limfoma Burkitt. Peristiwa ini merupakan pertama kalinya continuous human hematopoietic cell line. Sel limfoma ini sangat diperlukan untuk penelitian haemotologi limfoma dan leukemia. Sel Raji ini memiliki banyak reseptor untuk beberapa komponen komplemen dan cocok digunakan untuk mendeteksi kompleks imun. Sel ini mengekspresikan beberapa reseptor komplemen tertentu serta reseptor untuk Fc imunoglobulin G (Epstein et al. 1966).

MTT assay merupakan metode yang penggunaannya sudah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang. Metode ini berdasarkan pada perubahan garam tetrazolium (MTT) menjadi formazan dalam mitokondria sel hidup (Gambar 8).

MTT

Formazan

Gambar 11 Reaksi MTT (3[4,5-dimethylthiazol-2-yl]-2,5diphenyltetrazolium bromide). Konsentrasi dari formazan yang berwarna ungu dapat ditentukan secara spektrofotometri visibel dan berbanding lurus dengan jumlah sel hidup. Kristal formazan berwarna ungu yang terbentuk terlarut dengan adanya penambahan isopropanol asam (100 l 0,04 N HCl dalam isopropanol) atau SDS 10% dalam HCl 0,01N. Selanjutnya dibaca absorbansinya pada panjang gelombang 550 595 nm. Intensitas warna ungu yang terbentuk berbanding lurus dengan jumlah sel yang aktif melakukan metabolisme (Mosmann, 1983).

TEPUNG SORGUM MENGHAMBAT KANKER KOLON PADA MENCIT BALB/c YANG DIINDUKSI AZOKSIMETANA (AOM) DAN DEKSTRAN SODIUM SULFAT (DSS)

ABSTRAK Ekstrak sorgum yang disosoh 50% (S50) mengandung komponen polifenol yang dapat menghambat pertumbuhan sel kanker secara in vitro. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh tepung sorgum (S50) dalam menghambat kanker kolon pada mencit BALB/c. Induksi AOM (10 mg/kg bobot badan) pada intraperitoneal mencit dan pemberian DSS 1% pada air minum mentargetkan pembentukan kanker kolon. Mencit BALB/c (n = 24) dibagi 4 kelompok masing-masing 6 ekor mencit. Kelompok A merupakan kelompok mencit kontrol negatif dengan perlakuan ransum standar menggunakan sumber karbohidrat maizena. Kelompok B merupakan kontrol positif dengan perlakuan ransum standar, kelompok C merupakan kelompok mencit perlakuan dengan sumber karbohidrat sorgum 50% dan maizena 50% dan kelompok D merupakan kelompok mencit perlakuan dengan sumber karbohidrat sorgum 100%. Kelompok B, C, dan D diinduksi AOM 10 mg/kg bobot badan dan diikuti pemberian DSS 1% selama 7 hari. Hasil menunjukkan tepung sorgum dapat menghambat karsinogenesis pada mencit yang diinduksi AOM dan DSS. Bobot badan dan konsumsi ransum kelompok mencit yang tidak diberi sorgum (B) lebih rendah dari kelompok yang diberi sorgum (C dan D). Gambaran histopatologi hati, ginjal, dan kolon memperlihatkan bahwa kelompok mencit yang diberi sorgum 100% (D) dan 50% (C) memperlihatkan profil histopatologi dengan tingkat penghambatan lebih tinggi dari kelompok yang tidak diberi sorgum (B). Hal ini didukung oleh ekspresi COX-2 hasil analisis imunohistokimia dengan pewarnaan DAB. Hal ini menunjukkan bahwa sorgum efektif untuk perlindungan terhadap kanker kolon. Kata Kunci : AOM, DSS, mencit BALB/c, sorgum, kanker kolon

ABSTRACT Half polished sorghum extracts have been shown to contain phenolic compounds and to inhibit cancer cell lines in vitro. This study was conducted to study the effect of half polished sorghum flour in inhibiting colon cancer in BALB/c mice. Induction of AOM (10 mg/kg body weight) in mice by intraperitoneal and administration of 1% DSS in drinking water was targetted for colon cancer. BALB/c mice (n = 24) were divided into 4 groups of 6. Group A is the standard negative control diet treated with cornstarch as the carbohydrate source. Group B is the positive control treated with standard diet, C is a group treated with source of carbohydrate from 50% sorghum and 50% cornstarch and D is the group treated with 100% sorghum. Group B, C, and D were intraperitoneal injection of AOM (10 mg/kg body weight), followed by 1% (weight/volume) DSS in drinking water for 7 days. The result showed that

sorghum flour can inhibit carcinogenesis on the mice which were induced by AOM and DSS. The body weight and diet consumption of mice group B < C < D. Mice group diet with sorghum flour as 50% and 100% source of carbohydrate (C and D) showed higher levels on cancer inhibition based on the histopathological profile than the group without sorghum (B). The results were supported by the COX-2 expression that was observed by DAB immunohistochemical staining. This shows that the higher concentration of sorghum, bioactive components and fiber, is capable of preventing colon cancer. This indicate that sorghum is the effective to protection against colon cancer. Keywords: AOM, DSS, mice BALB/c, sorghum, colon cancer

PENDAHULUAN

Kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan semakin tinggi, seiring dengan meningkatnya pengetahuan dan kemajuan teknologi pangan. Oleh sebab itu pangan fungsional menjadi lebih disukai dibandingkan dengan obat-obatan, karena efek psikologis yang menyehatkan dan resiko efek samping yang jauh lebih rendah. Paradigma pangan fungsional sebagai pencegah penyakit degeneratif didukung oleh para ilmuan dan berbagai institusi formal global. Bahan pangan lokal yang berlimpah di Indonesia, masih banyak yang belum diolah dan diteliti khasiat dan keamanannya, atau yang sudah diteliti belum mendapat perhatian yang cukup, sehingga pemanfaatannya oleh masyarakat masih rendah. Sorgum merupakan pangan fungsional karena mengandung serat dan komponen fitokimia yang memberikan manfaat kesehatan disamping zat gizi yang dikandungnya. Ekstrak sorgum secara in vitro terbukti menghambat proliferasi sel kanker paru-paru A549, kanker servik Hela, sel limfoma Raji, dan kanker kolon HCT 116. Kanker merupakan penyakit yang paling ditakuti oleh masyarakat di seluruh dunia. Colorectal cancer (CRC) menempati urutan ketiga penyakit

kanker yang tingkat keganasan di dunia menyebabkan kematian. Pada tahun 2008 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolorektal dengan tingkat mortalitas lebih dari 50% (Jemal et al. 2010). Jumlah penderita kanker kolon pada pria sekitar 9.5 %, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9.3% dari total jumlah penderita

kanker. Faktor keganasan CRC berkembang secara spontan sebagai komplikasi akhir dari suatu kondisi inflamasi kronis. Penyebab kanker kolorektal berasal dari lingkungan (30% dikaitkan dengan rokok dan polutan), 35% dikaitkan dengan faktor makanan dengan kadar lemak tinggi dan 20% faktor risiko lain yang berhubungan dengan beberapa bentuk inflamasi kronis atau infeksi kronis (van Hogezand et al. 2002). Penyakit radang usus (IBD) merupakan pemicu meningkatkan resiko kanker kolorektal. Patogenesis CRC juga dipengaruhi oleh mutasi genetik, terutama mutasi somatik dari gen penekan tumor adenomatosis polyposis coli (APC) yang menyebabkan sindrom familial adenomatosis coli. Penelitian patogenesis dan karsinogenesis kanker kolon menggunakan mencit percobaan telah lama dilakukan. Pengujian praklinis dengan mencit

percobaan sangat membantu untuk menemukan senyawa kemopreventif atau obat kanker. Model mencit strain BALB/c mudah diinduksi azoksimetan (AOM) dan dekstran sodium sulfat (DSS) pada perkembangan CRC. Pemilihan model mencit yang diinduksi AOM dan DSS sebagai target kanker kolon melalui inflamasi kronis berkaitan dengan potensi sorgum sebagai sumber serat dan kandungan senyawa bioaktif yang terdapat sorgum. AOM banyak dipakai untuk menghasilkan kanker kolorektal sporadik (Neufert et al. 2007). AOM adalah suatu karsinogen genotoksik kolon yang digunakan untuk menginvestigasi

karsinogenesis pada hewan rodensia. Polisakarida Sulfat Sintetis (DSS) merupakan karsinogen non genotoksik yang menyebabkan inflamasi (ulcerative colitis) pada hewan rodensia (Suzuki et al. 2006). Kanker kolon berhubungan dengan inflammatory bowel disease (IBD) termasuk ulcerative colitis dan penyakit Crohn. Beberapa penelitian melaporkan bahwa inflamasi mukosa kronik secara berulang menghasilkan tumorigenesis melalui berbagai mekanisme diantaranya melalui induksi mutasi, peningkatan proliferasi sel kripta, perubahan metabolisme sel kripta, perubahan sirkulasi enteropatik asam empedu dan mikroflora (Itzkowtz & Yio 2004). Target penghambatan kanker kolon dengan induksi karsinogen AOM dan DSS dilatarbelakangi oleh potensi senyawa bioaktif dan sumber serat pangan. Hal ini menarik untuk dikaji karena konsumsi sorgum banyak dikaitkan dengan insiden penurunan kanker pada saluran pencernaan. Chen et al. (1993)

menginformasikan bahwa epidemiologi kanker esophagus lebih rendah pada daerah Saxchi (Cina) yang mengkonsumsi sorgum dibandingkan dengan daerah yang mengkonsumsi tepung gandum dan jagung sebagai makanan pokoknya. Hal serupa juga terjadi di daerah Afrika Selatan (Isaacson 2005). Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi pengaruh tepung sorgum sebagai pangan fungsional dalam penghambatan kanker kolon pada mencit BALB/c yang dinduksi karsinogen AOM dan DSS.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2011 sampai dengan Desember 2011. Tempat pelaksanaan penelitian bertempat di laboratorium Institut Pertanian Bogor meliputi : (1) Laboratorium Biokimia Pangan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fateta IPB, (2) Laboratorium Pengembangan Proses dan

Produk Pangan Seafast Centre IPB, (3) Laboratorium dan Kandang Hewan Percobaan Seafast Centre IPB, (6) Laboratorium Riset Patologi FKH IPB. Bahan dan Alat Bahan baku utama yang digunakan dalam penelitian adalah biji sorgum dari varietas Kawali. Bahan untuk membuat ransum terdiri dari kasein, minyak kedelei sebagai sumber lemak, tepung maizena (alpha corn starch) sebagai sumber energi, CMC sebagai sumber selulosa, Vitamin mix (Fitkom) yang pada tiap tabletnya mengandung vitamin A 1500 SI, tiamin 1 mg, riboflavin 0,5 mg, piridoksin 0,5 mg, niasin 10 mg, vitamin B 5 mg, asam folat 0,5 mg, vitamin B12 0,5 mg, vitamin C 25 mg, vitamin B5 dan vitamin D2 150 SI. Komposisi campuran mineral (modifikasi AIN 1993) disajikan pada lampiran 5. Hewan percobaan yang digunakan adalah mencit putih (Mus musculus L) strain BALB/c berumur 8 minggu. Mencit BALB/c berasal dari Laboratorium Patologi Eksperimental, Departemen Patologi Anatomik, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia. Bahan kimia yang digunakan untuk pengolahan jaringan adalah formalin, larutan Bouin, asam asetat glasial, paraffin, xylol, etanol 70% dan 60%, larutan PBS (phosphate buffer saline), larutan NaCl fisiologis dan neofren.

Peralatan untuk pengolahan jaringan meliputi oven, cetakan antikarat, forsep, lemari pendingin serta gelas objek. Jaringan yang digunakan untuk HE adalah jaringan hati, ginjal dan kolon mencit BALB/c. Jaringan yang digunakan untuk IHK adalan kolon bagian distal. Bahan khusus untuk pewarnaan HE meliputi pewarna hematoksilin dan eosin. Bahan-bahan kimia untuk pewarnaan IHK pada penelitian ini menggunakan protokol imunohistokimia paraffin dari Cell Signaling Technology (2007) yang dimodifikasi. Bahan khusus untuk pewarnaan IHK meliputi antibodi antiCOX-2, antibodi sekunder antirabbit IgG HRP-linked antibody dari Cell Signaling Technology (nomor katalog 7074) dan substrat DAB (diaminobenzidine). Peralatan untuk pewarnaan IHK meliputi gelas objek dan penutupnya, kotak plastik, tisu, batang kaca, alat penghitung waktu (timer), lemari pendingin dan lembar protokol IHK. Metode Penelitian

Penelitian

dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama meliputi

persiapan pakan dan penanganan mencit BALB/c. Tahap kedua merupakan pengujian secara makroskopis dan mikroskopis pengaruh sorgum dalam mencegah kanker kolon pada mencit BALB/c yang diinduksi AOM dan DSS dengan pewarnaan histopatologi yang terdiri atas pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dan imunohistokimia (IHK). Pewarnaan IHK dilakukan untuk mendeteksi keberadaan COX-2 pada jaringan kolon mencit BALB/c.

Persiapan ransum mencit BALB/c Biji sorgum dipilih dan disosoh selama 20 detik (DS 50%), dihaluskan menjadi tepung dengan alat diss mill. Tepung sorgum dianalisis proksimat untuk formula perlakuan yang digunakan sebagai sumber karbohidrat pada ransum mencit. Ransum yang diberikan pada mencit mengacu pada pakan standar dari America Institute of Nutrition (AIN 1993) yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan gizi mencit.

Tabel 11 dimodifikasi) No. 1 2 3 4 5 6 7 8

Komposisi pakan mencit BALB/c (AIN 1993 yang

Komponen Sorgum Protein kasein Lemak, minyak kedelei Selulosa, CMC Mineral mix Vitamin mix Sukrosa Karbohidrat,meizena/sorgum standar menggunakan

Standar AIN,1993 0 20 7 5 3.5 1 10 Untuk membuat 100 maizena sebagai sumber

Ransum

karbohidrat dan pakan perlakuan menggunakan tepung sorgum. Pakan perlakuan kelompok C sumber karbohidrat adalah tepung sorgum 50% dan maizena 50% dan kelompok D sumber karbohidrat adalah tepung sorgum 100%.

Tabel 12 Komposisi ransum standar dan ransum uji mencit


Komponen Protein kasein Lemak,minyak kedelai Selulosa, CMC Mineral mix Vitamin mix Air Sukrosa Karbohidrat (maizena) Karbohidrat (sorgum) K negatif (A) 23.13 6.84 5.00 2.58 1.00 8.94 10.00 42.51 0 K positif (B) 23.12 6.84 5.00 2.58 1.00 8.94 10.00 42.51 0 Sorgum 50% (C) 20.85 6.67 2.93 2.36 1.00 5.31 10.00 21.25 29.61 Sorgum 100% (D) 18.58 6.51 0.85 2.14 1.00 1.69 10.00 0.00 59.22

Penanganan Mencit BALB/c Desain yang digunakan adalah randomized post test control group. Populasi dan sampel yang diteliti adalah mencit galur BALB/c dengan kriteria inklusi; umur 8 minggu, berbobot 20 gram, sehat, aktivitas dan tingkah laku.

24 ekor mencit BALB/c, umur 8 minggu

Adaptasi 1 minggu

Mencit @ 6 ekor diberi perlakuan selama 19 minggu. Penimbangan ransum/hari, bobot badan (2X seminggu) Kelompok C: Ransum50% sorgum +50% maizena dan injeksi AOM (10 mg/kg bb) dan DSS 1%

Kelompok A: Ransum standar (5 g/kg bobot badan)

Kelompok B: Ransum standar dan injeksi AOM (10 mg/kg bb) dan DSS 1%

Kelompok D: Ransum sorgum 100% dan injeksi AOM (10 mg/kg bb) dan DSS 1%

Nekropsi

Patologi Anatomi

Histopatologi

HE Gambar 18 Diagram alir pengujian in vivo pada mencit BALB/c.

IHK

Mencit diadaptasikan selama seminggu bertujuan untuk menyesuaikan dengan lingkungan baru atau lingkungan laboratorium, mengamati kemampuan beradaptasi dan berprilaku normal, tidak sakit, dan menyeragamkan kondisi sebelum diberi perlakuan. Setelah dilakukan aklimatisasi selama satu minggu dengan diberi ransum standar modifikasi dari AIN (American Institute of Nutrition) 93 dan minum secara ad libitum.

Pada akhir masa adaptasi mencit dikelompokkan ke dalam empat kelompok sebagai perlakuan terdiri dari: (1) kelompok kontrol negatif (A) yaitu yang diberi ransum dengan sumber karbohidrat standar (maizena) dan diinjeksi 0.9% salin melalui intraperitoneal, (2) kelompok kontrol positif (B) yaitu yang diberi ransum dengan sumber karbohidrat standar (maizena) dan diinjeksi AOM 10mg/kgBB melalui intraperitoneal dan pemberian DSS 1% melalui air minum, (3) kelompok (C) yaitu yang diberi ransum dengan karbohidrat dari sorgum 50% dan maizena 50%, diinduksi AOM 10 mg/kgBB dan DSS 1%, (4) kelompok (D) yaitu yang diberi ransum dengan sumber karbohidrat dari sorgum 100% dan diinduksi AOM 10 mg/kgBB dan DSS 1%. Induksi azoksimetana (AOM) secara intraperitoneal dengan dosis 10mg/kg BB pada umur 9 minggu mencit kelompok B, C dan D. DSS 1% diberikan pada minuman (ad libitum) selama seminggu setelah induksi AOM pada mencit kelompok B, C dan D. Masa perlakuan selama 18 minggu setelah injeksi atau umur tikus sekitar 29 minggu. Ransum yang diberikan 5 gram/ekor/hari dalam bentuk bubuk mengikuti AIN 93 sudah mencukupi kebutuhan konsumsi mencit perhari dan menentukan jumlah ransum yang dikonsumsi setiap harinya. Tiap ekor mencit menempati satu kandang yang terbuat dari plastik dan ditempatkan dalam ruangan yang telah diatur siklus udara dan cahaya. Semua mencit diberi ransum secara teratur dan ditempatkan dalam ruangan suhu kamar dan dilengkapi blower untuk menjaga kelembaban lingkungan. Banyaknya ransum yang dikonsumsi dihitung tiap hari berdasarkan jumlah pakan yang tersisa. Setelah berakhir masa perlakuan mencit diterminasi dengan cara dislokasi leher, yaitu perusakan hubungan antara tulang leher dan kepala yang menyebabkan rusaknya jaringan syaraf pengatur kesadaran.

Pengambilan Organ Mencit Balb/c Setelah perlakuan 18 minggu, mencit diterminasi dan diambil organ hati, ginjal dan kolon untuk diindentifikasi patologi anatomi dan dilakukan pemrosesan jaringan secara histopatologi. Analisis histopatologi kolon tikus percobaan dengan

pewarnaan hematoksilin-eosin (HE) dan imunohistokimia (IHK) dilakukan dengan metode Kiernan (1990).

Pembuatan preparat histologi Organ tersebut harus segera diambil untuk preparat histologis. Organ dicuci dengan 0,9% NaCl fisiologis dimasukkan dalam larutan fiksatif Bouin (dengan komposisi asam pikrat jenuh:formalin pro-analisis:asam asetat glasial=15:5:1) selama 24 jam. Setelah organ terfiksasi, larutan diganti dengan alkohol 70% yang dikenal sebagai stopping point dengan pengertian bahwa jaringan dapat disimpan lama pada larutan ini. Proses penarikan air dari jaringan (dehidrasi) dilakukan dengan alkohol yang konsentrasinya bertingkat. Selanjutnya, jaringan dijernihkan dengan silol (clearing) dan ditanam dalam parafin (embedding). Jaringan dalam blok parafin disayat secara serial dengan microtom rotary. Kemudian, dilekatkan pada gelas obyek disimpan dalam inkubator 40C selama 24 jam. Setelah itu, sediaan diwarnai dengan berbagai macam prosedur pewarnaan sesuai dengan tujuan. Prosedur proses dehidrasi dan infiltrasi Dehidrasi adalah pengambilan air dari dalam jaringan secara perlahan-lahan dengan menggunakan alkohol dengan konsentrasi bertingkat. Sampel dalam tissue basket dimasukkan ke dalam alkohol 70, 80, 90 dan 95% masing-masing selama 1 atau 2 jam sampai overnight. Sampel dimasukkan ke dalam alkohol absolut (absolut I, II, III) selama 20 menit sampai 1 jam tergantung besar-kecilnya ukuran jaringan. Sampel dijemihkan dengan merendam di dalam silol I, II dan III masing-masing selama 20 menit hingga 1 jam tergantung besar-kecilnya ukuran jaringan. Pada xilol III sampel dihangatkan pada suhu parafin cair. Sampel diinfiltrasi dengan parafin (parafin I, II, III) pada suhu 65-70C dalam inkubator masing-masing selama 1 jam. Pembuatan blok embedding Sampel yang telah diinfiltrasi dapat dicetak dengan parafin melalui proses embedding. Proses embedding diawali dengan menyiapkan cetakan yang ukurannya sesuai dengan sampel jaringan. Jaringan dari parafin diambil dan

dimasukkan pada cetakan dengan posisi bagian yang akan dipotong pada bagian. Pada satu cetakan dapat diisi beberapa jaringan. Cetakan dapat didinginkan pada cold plate untuk mencegah terjadinya pembekuan parafin bagian atas dulu. Cetakan dapat direndam dalam air dingin setelah parafin membeku sehingga blok parafin dapat dikeluarkan dari dalam cetakan. Blok parafin dapat langsung ditriming untuk mempermudah pemotongan dengan menggunakan microtom rotary. Prosedur triming Triming adalah penipisan sampel untuk mendapat jaringan atau bagian organ yang benar dan bagus dalam orientasi dan memfasilitasi larutan fiksasi masuk sampai pada bagian terdalam. Prosedur triming diawali dengan mengeluarkan organ terpilih dari dalam fiksator atau larutan penyimpan. Organ dipotong pada bagian yang diinginkan dengan dua mata pisau. Ukuran ketebalan sampel + 3-5 m dengan luas permukaan + 1x1 cm2. Selanjutnya, sampel dapat diproses lebih lanjut, seperti pewarnaan HE dan IHK. Pewarnaan Hemaksilin-eosin (HE) Pemrosesan jaringan menjadi preparat histopatologi melalui tahapantahapan sebagai berikut; fiksasi jaringan, dehidrasi, clearing, infiltrasi, embedding, trimming, sectioning, deparafinisasi dan dilanjutkan dengan staining (pewarnaan). Fiksasi jaringan dilakukan dengan merendam sampel jaringan ke dalam larutan formaldehid. Sampel jaringan yang sudah menjadi histopat

direndam ke dalam xylol I selama 5-10 menit untuk menghilangkan parafin, kemudian direndam dalam xylol II kembali untuk membilas selama 5-10 menit. Setelah itu, sampel direndam dalam alkohol. Pada tahap ini sampel berturutturut direndam dalam alkohol yang menurun konsentrasinya secara bertingkat, yaitu: alkohol absolut (100%), alkohol 96%, kemudian alkohol 70% masingmasing 5 menit. Konsentrasi yang menurun secara berturut-turut tersebut akan membuat air memasuki sampel jaringan. Sampel kemudian direndam dalam akuades selama 5 menit dan direndam dalam larutan hematoksilin selama 5-10 menit. Hematoksilin akan mewarnai inti sel pada sampel jaringan dengan warna biru. Setelah itu, sampel dimasukkan dalam air mengalir (secara tidak langsung)

selama 5-10 menit untuk membilas.

Tahap pewarnaan selanjutnya adalah

pewarnaan dengan pewarna eosin selama 1-2 menit untuk mewarnai sitosol sel pada sampel jaringan. Setelah tahap ini, sampel memasuki tahap pencelupan alkohol yang meningkat konsentrasinya secara berturut-turut sebagai kebalikan dari tahap yang sebelumnya, yaitu: alkohol 70%, alkohol 96% dan alkohol absolut (100%) masing-masing sebanyak 3-4 celupan. Pada akhir tahap

pewarnaan, sampel kembali direndam dengan xylol selama 5-10 menit, kemudian direndam kembali dalam xylol selama 5-10 menit. Setelah itu, sampel jaringan ditutup dengan gelas penutup dan direkatkan dengan entellan. Slide

histopatologi siap diamati di bawah mikroskop dan difoto secara digital. Perubahan histopatologi yang terlihat pada jaringan dikelompokkan berdasarkan organ yang akan diamati. Tingkatan colitis mengikuti protokol (Cooper 1993, Suzuki et al. 2006). Skor 0 apabila mukosa kolon normal dan tidak terjadi infiltrasi radang. Skor 1 apabila kripta memendek (1-3 kripta) dengan sedikit infitrasi sel radang dan edema. Skor 2 apabila 2/3 kripta hilang dan terjadi infiltrasi radang. Skor 3 ditandai oleh hilangnya kripta dengan infiltrasi radang yang parah pada lamina propria tetapi masih tersisanya epitel permukaan. Skor 4 ditandai hilangnya semua kripta dan terjadi infitrasi radang yang parah pada mukosa, submukosa, dan muskularis mukosa.

Pembuatan preparat imunohistokimia (IHK) Preparasi gelas objek Preparasi gelas objek diawali dengan menyiapkan gelas objek yang akan digunakan untuk penempelan (afixing) preparat. Gelas objek dimasukkan ke dalam staining jar yang berisi alkohol 70% sampai semua bagian terendam, kecuali bagian yang kasar tempat pelabelan. Staining jar yang berisi gelas objek tersebut kemudian dimasukkan ke dalam bak electromagnetic cleaner yang telah diisi air (sejajar dengan alkohol yang terdapat dalam staining jar). Electromagnetic cleaner dihidupkan selama 20 menit (untuk membersihkan gelas objek dari lemak atau segala kotoran yang menempel yang dapat mengganggu dalam proses imunohistokimia). Gelas objek dimasukkan ke dalam staining jar dan direndam dengan menggunakan milique (air yang sudah disuling berulang-

ulang) sebanyak 3 kali, masing-masing 20 menit, dilanjutkan perendaman staining jar yang berisi gelas objek ke dalam electromagnetic cleaner selama 20 menit.

Pelapisan (coating) gelas objek dengan gelatin (sebagai agen penempel) Pelapisan (coating) dilakukan dengan melarutkan 2.50-3.00 g gelatin dalam 300-400 ml air panas bersuhu maksimal 60 C, kemudian didinginkan hingga mencapai suhu ruang. Selanjutnya, kromium potasium sulfat

(CrK(SO4)2) sebanyak 0,25 g dimasukkan dan diaduk. Setelah itu, ditambahkan H2O hingga volumenya mencapai 500 ml. Gelas objek yang bersih direndam dalam larutan tersebut selama 15-30 menit, kemudian dikeringkan pada suhu ruang. Setelah kering, gelas objek disimpan di dalam oven dengan suhu + 60C untuk menghindari penempelan segala macam kotoran pada gelas objek.

Pembuatan irisan preparat pada gelas objek (sectioning) Tahapan pembuatan irisan preparat meliputi beberapa tahap secara berurutan, yaitu penempatan blok embedding pada holder microtom rotary, pemasangan pisau pemotong, penentuan ketebalan sayatan, triming dan penempelan (afixing). sayatan 3-5 m. Preparat diiris dengan microtom rotary pada ketebalan

Penempelan irisan preparat ke gelas objek (afixing) Proses penempelan atau afiksasi dengan menggunakan air bersuhu 40 C atau dengan dimasukkan ke dalam inkubator bersuhu 39-40C selama 24 jam. Sebelum dimasukkan ke dalam air hangat atau bersuhu 40 C dengan menggunakan gelas objek atau gelas benda, sampel sayatan jaringan dimasukkan ke dalam air bersuhu dingin terlebih dahulu. Hal ini bertujuan meregangkan jaringan (tidak mengkerut) dan lebih mempermudah afiksasi.

Persiapan preparat untuk pewarnaan imunohistokimia (IHK) Deparaffinisasi (rehidrasi) Langkah ini diawali proses deparafinasi (rehidrasi) dengan merendam jaringan pada gelas objek dalam larutan xylol sebanyak tiga kali, masing-masing

selama 10 menit. Selanjutnya, dilanjutkan dengan merendam jaringan dalam larutan etanol pro-analysis dengan konsentrasi bertingkat, mulai dari konsentrasi tinggi ke rendah. Konsentrasi etanol yang digunakan adalah 100, 96, 80 dan 70%. Perendaman dalam masing-masing konsentrasi etanol dilakukan sebanyak dua kali. Masing-masing perendaman tersebut dilakukan selama 10 menit. Proses deparaffinisasi diakhiri dengan perendaman jaringan dalam akuades sebanyak dua kali, masing-masing perendaman dilakukan selama 5 menit.

Antigen unmasking Antigen unmasking bertujuan untuk membuka epitop antigen, sehingga antigen dapat berikatan dengan antibodi. Antigen unmasking dilakukan dengan merebus jaringan dalam 10 mM larutan PBST (buffer natrium sitrat) pada suhu sub-boiling (85C) selama 10 menit. Buffer natrium sitrat dibuat dengan melarutkan 2,94 g C6H5Na3O72H2O dalam 1 L akuades. Pada tahap ini, suhu perebusan harus dijaga agar tidak melebihi atau kurang dari 85C. Perebusan dilakukan di dalam wadah stainless-steel yang diletakkan di atas hot-plate. Buffer natrium sitrat harus dijaga agar tidak mendidih selama proses perebusan. Selanjutnya, langkah yang dilakukan adalah proses pendinginan (cooling) jaringan. Proses pendinginan dilakukan dengan tetap merendam jaringan di

dalam wadah tanpa ditutup pada suhu ruang. Pada proses ini, suhu awal dan akhir perebusan serta suhu awal dan akhir pendinginan harus dicatat. Hal ini akan memudahkan dalam optimasi suhu proses antigen unmasking selanjutnya.

Pewarnaan (staining) Proses pewarnaan (staining) dilakukan setelah proses pendinginan pada antigen unmasking. Pewarnaan diawali dengan merendam jaringan pada gelas objek dengan akuades. Proses ini dilakukan sebanyak tiga kali, masing-masing 5 menit. Dalam hal ini, proses perendaman yang pertama dilakukan dengan

merendam seluruh gelas objek dalam wadah yang berisi akuades. Proses ini segera dilakukan setelah proses pendinginan berakhir. Hal seperti ini akan Sebelum

memudahkan proses selanjutnya dan jaringan tidak mudah kering.

berlanjut pada perendaman berikutnya, jaringan pada gelas objek diberi batas

dengan pap-pen yang mengandung 1-bromopropan. Jaringan yang dibatasi oleh pap-pen akan memudahkan proses perendaman selanjutnya. Hal ini agar larutan perendam tidak meluap ke batas luar jaringan tersebut. Selanjutnya, perendaman dengan akuades yang kedua dan ketiga dilakukan dengan memindahkan gelas objek ke dalam wadah berbentuk kotak yang di bagian dasarnya terdapat tisu yang dibasahi dengan akuades. Pada bagian atas tisu tersebut diberi dua penyangga untuk meletakkan gelas objek agar tidak langsung menyentuh tisu yang basah tersebut. Dalam kondisi tersebut, proses perendaman jaringan dilakukan dengan meneteskan akuades melalui pipet tetes tepat di atas jaringan. Perendaman jaringan dilanjutkan di dalam larutan 3% H2O2 dengan cara diteteskan. Perendaman ini dilakukan selama 10 menit. Setelah itu, perendaman dilakukan di dalam akuades lagi dengan cara diteteskan tepat di atas jaringan. Perendaman ini dilakukan sebanyak dua kali, masing-masing selama 5 menit. Perendaman dilanjutkan di dalam larutan PBS (phosphate buffer saline) selama 5 menit. Dalam hal ini, PBS berperan sebagai larutan pencuci (wash buffer). PBS dibuat dengan cara melarutkan tablet PBS ke dalam akuades, dengan perbandingan satu tablet PBS dilarutkan dalam 100 ml akuades. Pada pembuatan PBS, ditambahkan Tween 20 sebanyak satu tetes. Tween 20 berperan sebagai deterjen, yaitu untuk menyatukan antara PBS dengan protein target. Tween 20 juga dapat membersihkan protein-protein lain yang bukan target, sehingga memperjelas pengamatan protein target. Perendaman dilanjutkan di dalam larutan blocking (blocking solution) selama satu jam. Larutan blocking dibuat dengan cara melarutkan susu skim (skim milk) ke dalam PBS, dengan perbandingan 0,1 g susu skim dilarutkan dalam 100 ml PBS. Perendaman dengan larutan blocking dilakukan dengan cara diteteskan tepat di atas jaringan. Volume larutan blocking yang dapat diteteskan adalah 100-400 L pada suhu ruang. dengan mikropipet. Perendaman selanjutnya adalah perendaman jaringan dalam larutan antibodi primer dengan proses inkubasi pada suhu 4C (suhu kulkas) selama semalam (overnight). Perendaman dengan antibodi primer dilakukan dengan cara Penetesan larutan blocking dilakukan

diteteskan tepat di atas jaringan, sebelum diinkubasi dengan suhu 4C. Volume larutan antibodi primer yang diteteskan adalah 100-400 L dengan pengenceran 1:100. Penetesan larutan antibodi primer dilakukan dengan mikropipet.

Perendaman ini bertujuan mengefektifkan reaksi antara antigen yang terdapat pada jaringan dengan antibodi primer (reaksi Ag-Ab). Pada penelitian ini,

antibodi primer yang digunakan ada dua macam, yaitu antibodi anticaspase-3 dan antibodi antiCOX-2. Setelah overnight, larutan antibodi primer dicuci dan dilanjutkan dengan merendam jaringan dalam larutan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Dalam hal ini, larutan PBS diteteskan saja. Perendaman selanjutnya adalah perendaman jaringan dalam larutan antibodi sekunder dengan proses inkubasi pada suhu ruang selama 30 menit. Perendaman dengan antibodi

sekunder dilakukan dengan cara diteteskan tepat di atas jaringan. Volume larutan antibodi sekunder yang diteteskan adalah 100-400 L dengan pengenceran 1:1000. Penetesan larutan antibodi sekunder dilakukan dengan mikropipet.

Perendaman ini bertujuan mengefektifkan reaksi antara antibodi primer yang sudah terikat pada jaringan dengan antibodi sekunder (reaksi Ag-Ab). Pada

penelitian ini, antibodi sekunder yang digunakan adalah antibodi antirabbit yang dilabel dengan enzim HRP (horseradish peroxidase). Setelah itu, larutan antibodi sekunder dicuci, dan dilanjutkan dengan merendam jaringan dalam larutan PBS sebanyak tiga kali, masing-masing selama 5 menit. Selanjutnya, jaringan

direndam dengan larutan DAB (diaminobenzidine). Dalam hal ini, DAB harus disiapkan dalam keadaan segar. DAB dibuat dengan mengencerkan larutan stok DAB dalam pelarut DAB dengan perbandingan 1:10. DAB merupakan substrat bagi enzim HRP yang melabel antibodi sekunder. Reaksi antara DAB dan enzim HRP menghasilkan warna coklat. Selanjutnya, larutan DAB dicuci dari jaringan. Pencuciannya dilakukan dengan merendam jaringan dalam akuades selama 5 menit. Setelah itu, jaringan direndam dengan larutan hematoksilin selama 5-10 menit. Hematoksilin merupakan salah satu pewarna yang baik untuk diagnosis histopatologik, karena hematoksilin berperan mewarnai nuklus dan jaringan terkalsifikasi dengan warna ungu.

Perendaman berlanjut dengan merendam jaringan dalam akuades sebanyak dua kali, masing-masing 5 menit. Setelah perendaman dengan akuades, langkah penting lain dalam metode imunohistokimia adalah dehidrasi, penjernihan dan penutupan jaringan pada gelas objek (mounting). Proses dehidrasi diawali proses inkubasi dengan merendam jaringan dalam larutan etanol pro-analysis dengan konsentrasi bertingkat, mulai dari konsentrasi rendah ke tinggi. Konsentrasi etanol yang digunakan adalah 70, 80, 96 dan 100%. Perendaman dalam masing-masing konsentrasi etanol dilakukan selama 3 menit. Setelah perendaman dalam etanol 100%, jaringan direndam dalam larutan xylol selama 3 menit. Selanjutnya, jaringan siap ditutup dengan media penutup dan gelas penutup. Proses penutupan jaringan dilakukan dengan cara meneteskan media penutup secukupnya pada jaringan di gelas objek, sebelum xylol menguap. Selanjutnya, gelas penutup diletakkan di atas jaringan dan ditekan perlahan dengan ujung pinset untuk mengeluarkan gelembung udara yang masih terdapat pada gelas objek. Media penutup tersebut akan mengeras sehingga gelas objek dapat disimpan pada rak preparat. Selanjutnya, sediaan histologis siap diamati di bawah mikroskop dan direkam dengan foto digital. Perubahan histopatologi yang terlihat pada jaringan berdasarkan pewarnaan IHK dikelompokkan berdasarkan warna coklat DAB yang tidak terlokalisasi. Hal ini dilakukan dengan memberikan skor terhadap tingkat

kepekatan warna coklat pada area yang terbentuk (Nishihara 2008). Skor tersebut meliputi 0 (tidak terdapat area berwarna coklat, 0%), 1 (warna coklat sangat kurang pekat, + 1-25%), 2 (warna coklat kurang pekat, + 26-50%), 3 (warna coklat pekat, + 51-75%), 4 (warna coklat sangat pekat, + 76-100%).

You might also like