You are on page 1of 48

KHUTBAH NIKAH

Pernikahan dalam Islam


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas DAFTAR ISI: Daftar isi
[sembunyikan]

o o o o o o o o o

1 Hikmah Pernikahan 2 Pemilihan calon 2.1 Ciri-ciri bakal suami 3 Penyebab haramnya sebuah pernikahan 4 Peminangan 5 Nikah 5.1 Rukun nikah 5.2 Syarat calon suami 5.3 Syarat bakal istri 5.4 Syarat wali 5.5 Jenis-jenis wali 5.6 Syarat-syarat saksi 5.7 Syarat ijab 5.8 Syarat qobul 6 Wakil Wali/ Qadi 7 Lihat juga 8 Referensi 9 Pranala luar

Pernikahan atau nikah artinya adalah terkumpul dan menyatu. Menurut istilah lain juga dapat berarti Ijab Qobul (akad nikah) yang mengharuskan perhubungan antara sepasang manusia yang diucapkan oleh katakata yang ditujukan untuk melanjutkan ke pernikahan, sesusai peraturan yang diwajibkan oleh Islam[1]. Kata zawaj digunakan dalam al-Quran artinya adalahpasangan yang dalam penggunaannya pula juga dapat diartikan sebagai pernikahan, Allahs.w.t. menjadikan manusia itu saling berpasangan, menghalalkan pernikahan dan mengharamkan zina.
Daftar isi
[sembunyikan]

1 Hikmah Pernikahan 2 Pemilihan calon

o
suami

2.1 Ciri-ciri bakal

3 Penyebab haramnya sebuah pernikahan 4 Peminangan 5 Nikah

o o o o o o o o

5.1 Rukun nikah 5.2 Syarat calon suami 5.3 Syarat bakal istri 5.4 Syarat wali 5.5 Jenis-jenis wali 5.6 Syarat-syarat saksi 5.7 Syarat ijab 5.8 Syarat qobul 6 Wakil Wali/ Qadi 7 Lihat juga

8 Referensi 9 Pranala luar

[sunting]Hikmah

Pernikahan

Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat merugikan. Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman Memelihara kesucian diri Melaksanakan tuntutan syariat Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara. Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orangtua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anakanak

Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab Dapat mengeratkan silaturahim

[sunting]Pemilihan

calon

Islam mensyaratkan beberapa ciri bagi calon suami dan calon isteri yang dituntut dalam Islam. Namun, ini hanyalah panduan dan tidak ada paksaan untuk mengikuti panduan-panduan ini.

[sunting]Ciri-ciri

bakal suami

Sekadar gambar hiasan: Sebuah acara pernikahan di Indonesian dan diadakan dengan budaya Jawa

beriman & bertaqwa kepada Allah s.w.t bertanggungjawab terhadap semua benda memiliki akhlak-akhlak yang terpuji berilmu agama agar dapat membimbing calon isteri dan anak-anak ke jalan yang benar tidak berpenyakit yang berat seperti gila, AIDS dan sebagainya rajin bekerja untuk kebaikan rumahtangga seperti mencari rezeki yang halal untuk kebahagiaan keluarga.

[sunting]Penyebab

haramnya sebuah pernikahan

Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan karena keturunannya (haram selamanya) serta dijelaskan dalam surah an-Nisa: Ayat 23 yang berbunyi, Diharamkan kepada kamu menikahi ibumu, anakmu, saudaramu, anak saudara perempuan bagi saudara laki-laki, dan anak saudara perempuan bagi saudara perempuan.:

Ibu Nenek dari ibu maupun bapak Anak perempuan & keturunannya Saudara perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu Anak perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, uaitu semua anak saudara perempuan

Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh susuan ialah: Ibu susuan Nenek dari saudara ibu susuan Saudara perempuan susuan Anak perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan

Sepupu dari ibu susuan atau bapak susuan Perempuan muhrim bagi laki-laki karena persemendaan ialah: Ibu mertua Ibu tiri Nenek tiri Menantu perempuan Anak tiri perempuan dan keturunannya Adik ipar perempuan dan keturunannya Sepupu dari saudara istri Anak saudara perempuan dari istri dan keturunannya

[sunting]Peminangan
Pertunangan atau bertunang merupakan suatu ikatan janji pihak laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan pernikahan mengikuti hari yang dipersetujui oleh kedua pihak. Meminang merupakan adat kebiasaan masyarakat Melayu yang telah dihalalkan oleh Islam. Peminangan juga merupakan awal proses pernikahan. Hukum peminangan adalah harus dan hendaknya bukan dari istri orang, bukan saudara sendiri, tidak dalam iddah, dan bukan tunangan orang. Pemberian seperti cincin kepada wanita semasa peminangan merupakan tanda ikatan pertunangan. Apabila terjadi ingkar janji yang disebabkan oleh sang laki-laki, pemberian tidak perlu dikembalikan dan jika disebabkan oleh wanita, maka hendaknya dikembalikan, namun persetujuan hendaknya dibuat semasa peminangan dilakukan. Melihat calon suami dan calon istri adalah sunat, karena tidak mau penyesalan terjadi setelah berumahtangga. Anggota yang diperbolehkan untuk dilihat untuk seorang wanita ialah wajah dan kedua tangannya saja. Hadist Rasullullah mengenai kebenaran untuk melihat tunangan dan meminang: "Abu Hurairah RA berkata,sabda Rasullullah SAW kepada seorang laki-laki yang hendak menikah dengan seorang perempuan: "Apakah kamu telah melihatnya?jawabnya tidak(kata lelaki itu kepada Rasullullah).Pergilah untuk melihatnya supaya pernikahan kamu terjamin kekekalan." (Hadis Riwayat Tarmizi dan Nasai)

Hadis Rasullullah mengenai larangan meminang wanita yang telah bertunangan:

"Daripada Ibnu Umar RA bahawa Rasullullah SAW telah bersabda: "Kamu tidak boleh meminang tunangan saudara kamu sehingga pada akhirnya dia membuat ketetapan untuk memutuskannya". (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim(Asy-Syaikhan))

[sunting]Nikah [sunting]Rukun

nikah

Pengantin laki-laki Pengantin perempuan Wali Dua orang saksi laki-laki Mahar Ijab dan kabul (akad nikah)

[sunting]Syarat
Islam

calon suami

Laki-laki yang tertentu Bukan lelaki muhrim dengan calon istri Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut Bukan dalam ihram haji atau umroh Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri

[sunting]Syarat
Islam

bakal istri

Perempuan yang tertentu Bukan perempuan muhrim dengan calon suami

Bukan seorang banci Bukan dalam ihram haji atau umroh Tidak dalam iddah Bukan istri orang

[sunting]Syarat

wali

Islam, bukan kafir dan murtad Lelaki dan bukannya perempuan Telah pubertas Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan Bukan dalam ihram haji atau umroh Tidak fasik Tidak cacat akal pikiran, gila, terlalu tua dan sebagainya Merdeka Tidak dibatasi kebebasannya ketimbang membelanjakan hartanya

Sebaiknya calon istri perlu memastikan syarat WAJIB menjadi wali. Jika syarat-syarat wali terpenuhi seperti di atas maka sahlah sebuah pernikahan itu.Sebagai seorang mukmin yang sejati, kita hendaklah menitik beratkan hal-hal yag wajib seperti ini.Jika tidak, kita hanya akan dianggap hidup dalam berzinahan selamanya.

[sunting]Jenis-jenis

wali

Wali mujbir: Wali dari bapaknya sendiri atau kakek dari bapa yang mempunyai hak mewalikan pernikahan anak perempuannya atau cucu perempuannya dengan persetujuannya (sebaiknya perlu mendapatkan kerelaan calon istri yang hendak dinikahkan)

Wali aqrab: Wali terdekat yang telah memenuhi syarat yang layak dan berhak menjadi wali Wali abad: Wali yang sedikit mengikuti susunan yang layak menjadi wali, jikalau wali aqrab berkenaan tidak ada. Wali abad ini akan digantikan oleh wali abad lain dan begitulah seterusnya mengikut susunan tersebut jika tidak ada yang terdekat lagi.

Wali raja/hakim: Wali yang diberi hak atau ditunjuk oleh pemerintah atau pihak berkuasa pada negeri tersebut oleh orang yang telah dilantik menjalankan tugas ini dengan sebab-sebab tertentu

[sunting]Syarat-syarat

saksi

Sekurang-kurangya dua orang Islam Berakal Telah pubertas Laki-laki Memahami isi lafal ijab dan qobul Dapat mendengar, melihat dan berbicara Adil (Tidak melakukan dosa-dosa besar dan tidak terlalu banyak melakukan dosa-dosa kecil) Merdeka

[sunting]Syarat

ijab

Pernikahan nikah ini hendaklah tepat Tidak boleh menggunakan perkataan sindiran Diucapkan oleh wali atau wakilnya Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(nikah kontrak atau pernikahan (ikatan suami istri) yang sah dalam tempo tertentu seperti yang dijanjikan dalam persetujuan nikah muataah)

Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu ijab dilafalkan)

Contoh bacaan Ijab:Wali/wakil Wali berkata kepada calon suami: "Aku nikahkan Anda dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai".

[sunting]Syarat

qobul

Ucapan mestilah sesuai dengan ucapan ijab Tidak ada perkataan sindiran

Dilafalkan oleh calon suami atau wakilnya (atas sebab-sebab tertentu) Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah(seperti nikah kontrak) Tidak secara taklik(tidak ada sebutan prasyarat sewaktu qobul dilafalkan) Menyebut nama calon istri Tidak ditambahkan dengan perkataan lain

Contoh sebutan qabul(akan dilafazkan oleh bakal suami):"Aku terima nikahnya dengan Diana Binti Daniel dengan mas kawin berupa seperangkap alat salat dibayar tunai" ATAU "Aku terima Diana Binti Daniel sebagai istriku".

Setelah qobul dilafalkan Wali/wakil Wali akan mendapatkan kesaksian dari para hadirin khususnya dari dua orang saksi pernikahan dengan cara meminta saksi mengatakan lafal "SAH" atau perkataan lain yang sama maksudya dengan perkataan itu. Selanjutnya Wali/wakil Wali akan membaca doa selamat agar pernikahan suami istri itu kekal dan bahagia sepanjang kehidupan mereka serta doa itu akan diAminkan oleh para hadirin Bersamaan itu pula, mas kawin/mahar akan diserahkan kepada pihak istri dan selanjutnya berupa cincin akan dipakaikan kepada jari cincin istri oleh suami sebagai tanda dimulainya ikatan kekeluargaan atau simbol pertalian kebahagian suami istri.Aktivitas ini diteruskan dengan suami mencium istri.Aktivitas ini disebut sebagai "Pembatalan Wudhu".Ini karena sebelum akad nikah dijalankan suami dan isteri itu diminta untuk berwudhu terlebih dahulu. Suami istri juga diminta untuk salat sunat nikah sebagai tanda syukur setelah pernikahan berlangsung. Pernikahan Islam yang memang amat mudah karena ia tidak perlu mengambil masa yang lama dan memerlukan banyak aset-aset pernikahan disamping mas kawin,hantaran atau majelis umum (walimatul urus)yang tidak perlu dibebankan atau dibuang.

[sunting]Wakil

Wali/ Qadi

Wakil wali/Qadi adalah orang yang dipertanggungjawabkan oleh institusi Masjid atau jabatan/pusat Islam untuk menerima tuntutan para Wali untuk menikahkan/mengahwinkan bakal istri dengan bakal suami.Segala urusan pernikahan,penyediaan aset pernikahan seperti mas kawin,barangan hantaran(hadiah),penyedian tempat pernikahan,jamuan makan kepada para hadirin dan lainnya adalah tanggungjawab pihak suami istri itu. Qadi hanya perlu memastikan aset-aset itu telah disediakan supaya urusan pernikahan berjalan lancar.Disamping tanggungjawabnya menikahi suami istri berjalan dengan sempurna,Qadi perlu menyempurnakan dokumen-

dokumen berkaitan pernikahan seperti sertifikat pernikahan dan pengesahan suami istri di pihak tertinggi seperti mentri agama dan administratif negara.Untuk memastikan status resmi suami isteri itu sentiasa sulit dan terpelihara.Qadi selalunya dilantik dari kalangan orang-orang alim(yang mempunyai pengetahuan dalam agama Islam dengan luas) seperti Ustaz,Muallim,Mufti,Sheikh ulIslam dan sebagainya.Qadi juga mesti merupakan seorang laki-laki Islam yang sudah merdeka dan telah pubertas.

Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tatacara ataupun proses sebuah pernikahan yang berlandaskan proses empat yaitu Akad Nikah Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara melangsungkan pernikahan dalam bentuk ijab dan qabul. dua pihak yang

Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua. Ijab dari pihak wali si perempuan dengan ucapannya, misalnya: Saya nikahkan anak saya yang bernama si A kepadamu dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin. Qabul adalah penerimaan dari pihak suami dengan ucapannya, misalnya: Saya terima nikahnya anak Bapak yang bernama si A dengan mahar sebuah kitab Riyadhus Shalihin. Sebelum dilangsungkannya akad nikah, disunnahkan untuk menyampaikan khutbah yang dikenal dengan khutbatun nikah atau khutbatul hajah. Lafadznya sebagai berikut:

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah kamu mati melainkan dalam beragama Islam. (QS Ali Imran: 102) Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Rab-mu, yang telah menciptakan kamu dari yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari keduanya Allah mengembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah, yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah menjaga dan mengawasimu.(QS an-Nisa: 1) Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kamu kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalanamalanmu, dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya dia telah mendapat kemenangan yang besar(QS al-Ahzab: 70-71)

Adapun beberapa adab agar Nikah semakin berberkah anda bisa baca disini Adab dalam Akad Nikah

[Ilu] Akad Nikah Agar akad nikah Anda semakin berkah, berikut beberapa adab yang perlu diperhatikan: Pertama, hindari semua hal yang menyebabkan ketidak-absahan akad nikah. Karena itu, pastikan kedua mempelai saling ridha dan tidak ada unsur paksaan, pastikan adanya wali pihak wanita, saksi dua orang yang amanah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Tidak sah nikah, kecuali dengan wali (pihak wanita) dan dua saksi yang adil (amanah). (HR. Turmudzi dan lainnya serta dishahihkan Al-Albani) Kedua, dianjurkan adanya khutbatul hajah sebelum akad nikah. Yang dimaksud khutbatul hajah adalah bacaan: Dalil anjuran ini adalah hadis dari Abdullah bin Masud radhiallahu anhu, beliau mengatakan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengajari kami khutbatul hajah-sebagaimana lafadz di atas (HR. Abu Daud 2118 dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani). Syubah (salah satu perawi hadis) bertanya kepada gurunya Abu Ishaq, Apakah ini khusus untuk khutbah nikah atau boleh dibaca pada kesempatatan yang lainnya. Diucapkan pada setiap acara yang penting. Jawab Abu Ishaq.

Sebagian orang beranggapan dianjurkannya mengucapkan khutbah ini ketika walimah, meskipun acara walimah tersebut dilaksanakan setelah kumpul suami istri. Namun yang tepat wallahu alam anjuran mengucapkan khutbatul hajah sebagaimana ditunjukkan hadis Ibn Masud radhiallahu anhu adalah sebelum akad

nikah bukan ketika walimah. (Aunul Mabud Syarh Sunan Abu Daud, 5:3 dan Tuhafatul Ahwadzi Syarh Sunan Turmudzi, 4:201). Wallahu alam.

Ketiga, tidak ada anjuran untuk membaca syahadat ketika hendak akad, atau anjuran untuk istighfar sebelum melangsungkan akad nikah, atau membaca surat Al-Fatihah. Semua itu sudah diwakili dengan lafadz khutbatul hajah di atas. Tidak perlu calon pengantin diminta bersyahadat atau istighfar. Keempat, hendaknya pengantin wanita tidak ikut dalam majlis akad nikah. Karena umumnya majlis akad nikah dihadiri banyak kaum lelaki yang bukan mahramnya, termasuk pegawai KUA. Pengantin wanita ada di lokasi itu, hanya saja dia dibalik tabir. Karena pernikahan dilangsungkan dengan wali si wanita. Allah Taala mengajarkan, Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (wanita yang bukan mahram), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. (QS. Al-Ahzab: 53) Semua orang tentu menginginkan hatinya lebih suci, sebagaimana yang Allah nyatakan. Karena itu, ayat ini tidak hanya berlaku untuk para istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam tapi juga untuk semua mukmin. Jika dalam kondisi normal dan ada lelaki yang hendak menyampaikan kebutuhan atau hajat tertentu kepada wanita yang bukan mahram, Allah syariatkan agar dilakukan di balik hijab maka tentu kita akan memberikan sikap yang lebih ketat atau setidaknya semisal untuk peristiwa akad nikah. Karena umumnya dalam kondisi ini, pengantin wanita dalam keadaan paling menawan dan paling indah dipandang. Dia didandani dengan make up yang tidak pada umumnya dikenakan. Kesalahan yang banyak tersebar di masyarakat dalam hal ini, memposisikan calon pengantin wanita berdampingan dengan calon pengantin lelaki ketika akad. Bahkan keduanya diselimuti dengan satu kerudung di atasnya. Bukankah kita sangat yakin, keduanya belum berstatus sebagai suami istri sebelum akad? Menyandingkan calon pengantin, tentu saja ini menjadi pemandangan yang bermasalah secara syariah.

Ketika Anda sepakat bahwa pacaran itu haram, Anda seharusnya sepakat bahwa ritual semacam ini juga terlarang. Kelima, tidak ada lafadz khusus untuk ijab qabul. Dalam pengucapn ijab kabul, tidak disyaratkan menggunakan kalimat tertentu dalam ijab kabul. Akan tetapi, semua kalimat yang dikenal masyarakat sebagai kalimat ijab kabul akad nikah maka status nikahnya sah. Lajnah Daimah ditanya tentang lafadz nikah. Mereka menjawab, Semua kalimat yang menunjukkan ijab Kabul, maka akad nikahnya sah dengan menggunakan kalimat tersebut, menurut pendapat yang lebih kuat. Yang paling tegas adalah kalimat: zawwajtuka dan ankahtuka (aku nikahkan kamu), kemudian mallaktuka (aku serahkan padamu). (Fatawa Lajnah Daimah, 17:82). Keenam, hindari bermesraan setelah akad di tempat umum Pemandangan yang menunjukkan kurangnya rasa malu sebagian kaum muslimin, bermesraan setelah akad nikah di depan banyak orang. Kita sepakat, keduanya telah sah sebagai suami istri. Apapun yang sebelumnya diharamkan menjadi halal. Hanya saja, Anda tentu sadar bahwa untuk melampiaskan kemesraan ada tempatnya sendiri, bukan di tempat umum semacam itu.

Bukankah syariah sangat ketat dalam urusan syahwat? Menampakkan adegan semacam ini di muka umum, bisa dipastikan akan mengundang syahwat mata-mata masyarakat yang ada di sekitarnya. Hadis berikut semoga bisa menjadi pelajaran penting bagi kita.

Dari Ibn Abbas radhiallahu anhuma beliau menceritakan:

Fadhl bin Abbas (saudaranya Ibn Abbas) pernah membonceng Nabi shallallahu alaihi wa sallam di belakang beliau, karena tunggangan Fadhl kecapekan. Fadhl adalah pemuda yang cerah wajahnya. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam

berhenti di atas tunggangannya, untuk menjawab pertanyaan banyak sahabat yang mendatangi beliau. Tiba-tiba datang seorang wanita dari Bani Khatsam, seorang wanita yang sangat cerah wajahnya untuk bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ibnu Abbas melanjutkan, Maka Fadhl-pun langsung mengarahkan pandangan kepadanya, dan takjub dengan kecantikannya. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam memalingkan wajah beliau, namun Fadhl tetap mengarahkan pandangannya ke wanita tersebut. Lalu Nabi shallallahu alaihi wa sallam memegang rahang Fadhl dan memalingkan wajahnya agar tidak melihat si wanita. (HR. Bukhari, no.6228) Bagaimana sikap orang yang bertaqwa sekelas Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau tidak mengandalkan taqwanya, merasa yakin tidak mungkin terpengaruh syahwat, dst.. Beliau juga tidak membiarkan pemuda yang ada didekatnya untuk melakukan kesalahan itu. Beliau palingkan wajahnya. Apa latar belakangnya? Tidak lain adalah masalah syahwat. Apa yang bisa Anda katakan untuk kasus bermesraan pasca-akad nikah di tempat umum? Tentu itu lebih mengundang syahwat. Ketujuh, adakah anjuran akad nikah di masjid? Terdapat hadis yang menganjurkan untuk mengadakan akad nikah di masjid, hadisnya berbunyi:

Umumkan pernikahan, adakan akad nikah di masjid dan meriahkan dengan memukul rebana. (HR. At Turmudzi, 1:202 dan Baihaqi, 7:290) Hadis dengan redaksi lengkap sebagaimana teks di atas statusnya dhaif. Karena dalam sanadnya ada seorang perawi bernama Isa bin Maimun Al Anshari yang dinilai dhaif oleh para ulama, di antaranya Al Hafidz Ibn Hajar, Al Baihaqi, Al Bukhari, dan Abu Hatim. Akan tetapi, hadis ini memiliki penguat dari jalur yang lain hanya saja tidak ada tambahan ..Adakan akad tersebut di masjid... Maka potongan teks yang pertama untuk hadis ini, yang menganjurkan diumumkannya

pernikahan statusnya shahih. Sedangkan potongan teks berikutnya statusnya mungkar. (As Silsilah Ad Dlaifah, hadis no. 978). Karena hadisnya dhaif, maka anjuran pelaksanaan walimah di masjid adalah anjuran yang tidak berdasar. Artinya syariat tidak memberikan batasan baik wajib maupun sunah berkaitan dengan tempat pelaksanaan walimah nikah. Syaikh Amr bin Abdul Munim Salim mengatakan, Siapa yang meyakini adanya anjuran melangsungkan akad nikah di masjid atau akad di masjid memiliki nilai lebih dari pada di tempat lain maka dia telah membuat bidah dalam agama Allah. (Adab Al Khitbah wa Al Zifaf, Hal.70) Kedelapan, dianjurkan untuk menyebutkan mahar ketika akad nikah. Tujuan dari hal ini adalah menghindari perselisihan dan masalah selanjutnya. Dan akan lebih baik lagi, mahar diserahkan di majlis akad. Meskipun ulama sepakat, akad nikah tanpa menyebut mahar statusnya sah. Dalam Ensiklopedi Fiqh dinyatakan:

Menyebut mahar ketika akad bukanlah syarat sah nikah. Karena itu, boleh nikah tanpa menyebut mahar dengan sepakat ulama. (Mausuah fiqhiyah Kuwaitiyah, 39:151) Hanya saja, penyebutan mahar dalam akad nikah akan semakin menenangkan kedua belah pihak, terutama keluarga. Kesembilan, dianjurkan mengikuti prosedur administrasi akad nikah, sebagaimana yang ditetapkan KUA. Ini semua dalam rangka menghindari timbulnya perselisihan dan masalah administrasi negara. Hanya saja, sebisa mungkin proses pernikahan dimudahkan dan tidak berbelit-belit. Semakin mudah akad nikah, semakin baik menurut kaca mata syariah. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

Nikah yang terbaik adalah yang paling mudah. (HR. Ibnu Hibban dan dishahihkan Al-Albani) Sifat mudah ini mencakup masalah nilai mahar, tata cara nikah, proses akad, dst. Kesepuluh, tidak ada anjuran untuk melafadzkan ijab kabul dalam sekali nafas, sebagaimana anggapan sebagian orang. Karena inti dari ijab qabul akad nikah adalah pernyataan masing-masing pihak, bahwa wali pengantin wanita telah menikahkan putrinya dengannya, dan pernyataan kesediaan dari pengantin lakilaki. Mengharuskan akad nikah dan ijab kabul dengan harus satu nafas bisa disebut pemaksaan yang berlebihan. Kesebelas, doa selepas akad nikah. Dianjurkan bagi siapapun yang hadir ketika peristiwa itu, untuk mendoakan pengantin. Di antara lafadz doa yang dianjurkan untuk dibaca adalah Semoga Allah memberkahimu di waktu senang dan memberkahimu di waktu susah, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan. Dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, Bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam apabila hendak memberikan ucapan selamat kepada orang yang menikah, beliau mendoakan: baarakallahu lakadst. (HR. Turmudzi, Abu Daud dan dishahihkan Al-Albani) Dari Aisyah radhiallahu anha, beliau mengatakan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menikahiku, kemudian ibuku mendatangiku dan mengajakku masuk ke dalam rumah. Ternyata di dalamnya terdapat banyak wanita Anshar. Mereka semua mendoakan kebaikan, keberkahan karena keberuntunganku. (HR. Bukhari dan Muslim) Syarat Saksi Nikah Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah menjelaskan, Syarat untuk saksi nikah: Berakal, baligh, bisa mendengar ucapan orang yang melakukan akad, dan memahami maksud dari ucapan akad nikah. Karena itu, jika yang menajdi saksi nikah adalah anak kecil, orang gila, orang tuli, atau orang

mabuk, maka nikahnya tidak sah. Karena keberadaan mereka di tempat akad nikah tidak teranggap. Apakah disyaratkan harus Adil?

Yang dimaksud muslim yang adil adalah muslim yang menjalankan kewajiban dan tidak melakukan dosa besar atau kebohongan. Pertama, Hanafiyah berpendapat bahwa sifat adil untuk saksi, bukan syarat. Pernikahan hukumnya sah, meskipun dengan saksi dua orang fasik. Setiap orang yang layak menjadi wali nikah, maka dia layak menjadi saksi. Karena maksud utama adanya saksi adalah pengumuman adanya pernikahan. Kedua, Syafiiyah dan mayoritas ulama berpendapat bahwa saksi dalam urusan manusia harus adil. Berdasarkan hadis dari Aisyah radhiyallahu anha, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Tidak ada nikah kecuali dengan wali (wanita) dan dua saksi yang adil . (HR. AtThabrani dalam al-Ausath, Ad-Daruquhni, dan dishahihkan al-Albani). Selanjutnya Sayid Sabiq menyimpulkan, Pendapat Hanafiyah lebih kuat. Karena pernikahan berlangsung di masyarakat, di desa, kampung, sementara tidak diketahui status keadilan mereka. Tidak ada jaminan mereka telah lepas dari dosa besar. Sehingga, mempersyaratkan saksi nikah harus orang yang adil, akan sangat memberatkan. Karena itu, cukup dengan melihat penilaian umum pada saksi, tanpa harus mengetahui detail apakah dia pernah melakukan dosa besar atau tidak. Kemudian, jika ternyata setelah akad diketahui bahwa ternyata saksi adalah orang fasik, ini tidak mempengaruhi keabsahan akad. Karena penilaian sifat adil dilihat pada keumuman sikapnya, bahwa dirinya bukan orang fasik. Meskipun setelah itu diketahui dia melakukan dosa besar (Fiqhus Sunnah, 2:58). Penjelasan Syaikhul Islam Lain dari penjelasan beliau, Syaikhul Islam menjelaskan bahwa kriteria adil dalam masalah saksi, kembali pada standar yang ada di masyarakat. Artinya jika seseorang itu masih dianggap sebagai orang baik-baik di mata masyarakatnya, maka dia layak untuk menjadi saksi, kerena telah memenuhi kriteria adil di masyarakat tersebut, meskipun bisa jadi dia pernah melakukan transaksi riba atau melakukan ghibah. Ini berdasarkan firman Allah :

Ambillah saksi dua orang laki-laki. Jika tidak ada dua orang laki-laki maka saksi dengan seorang laki-laki dan dua orang wanita, yang kalian relakan (untuk menjadi saksi). (QS. Al-Baqarah: 282). Setelah menyebutkan ayat ini, Syaikhul islam mengatakan: Ayat ini menunjukkan bahwa diterima persaksian dalam masalah hak anak Adam dari orang yang mereka ridhai untuk menjadi saksi dalam interaksi diantara mereka, dan tidak harus melihat sifat adilnya. Mereka menerima urusan yang diamanahkan di antara sesama mereka. Selanjutnya beliau memberikan alasan, . . Kriteria adil dalam setiap waktu, tempat, dan masyarakat berbeda-beda sesuai dengan keadaan mereka. Karena itu, saksi dalam setiap masyarakat adalah orang yang dianggap baik di tengah mereka. Meskipun andaikan di tempat lain, kriteria adil berbeda lagi. Dengan keterangan ini, memungkinkan untuk ditegakkan hukum di tengah masyarakat. Karena jika yang boleh menjadi saksi dalam setiap masyarakat hanyalah orang yang melakukan semua kewajiban syariat dan menjauhi semua yang haram, sebagaimana yang dulu ada di zaman sahabat, tentu syariat persaksian dalam setiap kasus tidak akan berjalan, semuanya atau umumnya. (al-Fatawa al-Kubro, 5:574) Allahu alam Tata Cara Pernikahan Dalam Islam : 2. Aqad Nikah Dalam aqad nikah ada beberapa syarat, rukun dan kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu adanya: 1. Rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai 2. Izin dari wali 3. Saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil) 4. Mahar 5. Ijab Qabul

Wali Yang dikatakan wali adalah orang yang paling dekat dengan si wanita. Dan orang paling berhak untuk menikahkan wanita merdeka adalah ayahnya, lalu kakeknya, dan seterusnya ke atas. Boleh juga anaknya dan cucunya, kemudian saudara seayah seibu, kemudian saudara seayah, kemudian paman. [1] Ibnu Baththal rahimahullaah berkata, Mereka (para ulama) ikhtilaf tentang wali. Jumhur ulama di antaranya adalah Imam Malik, ats-Tsauri, al-Laits, Imam asySyafii, dan selainnya berkata, Wali dalam pernikahan adalah ashabah (dari pihak bapak), sedangkan paman dari saudara ibu, ayahnya ibu, dan saudara-saudara dari pihak ibu tidak memiliki hak wali. [2] Disyaratkan adanya wali bagi wanita. Islam mensyaratkan adanya wali bagi wanita sebagai penghormatan bagi wanita, memuliakan dan menjaga masa depan mereka. Walinya lebih mengetahui daripada wanita tersebut. Jadi bagi wanita, wajib ada wali yang membimbing urusannya, mengurus aqad nikahnya. Tidak boleh bagi seorang wanita menikah tanpa wali, dan apabila ini terjadi maka tidak sah pernikahannya. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya bathil (tidak sah), pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar dengan sebab menghalalkan kemaluannya. Jika mereka berselisih, maka sulthan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali. [3] Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: Tidak sah nikah melainkan dengan wali. [4] Juga sabda beliau shallallaahu alaihi wa sallam: Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali dan dua saksi yang adil. [5] Tentang wali ini berlaku bagi gadis maupun janda. Artinya, apabila seorang gadis atau janda menikah tanpa wali, maka nikahnya tidak sah. Tidak sahnya nikah tanpa wali tersebut berdasarkan hadits-hadits di atas yang shahih dan juga berdasarkan dalil dari Al-Quranul Karim.

Allah Taala berfirman: Dan apabila kamu menceraikan isteri-isteri (kamu), lalu sampai masa iddahnya, maka jangan kamu (para wali) halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya, apabila telah terjalin kecocokan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman kepada Allah dan hari Akhir. Itu lebih suci bagimu dan lebih bersih. Dan Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. [Al-Baqarah : 232] Ayat di atas memiliki asbaabun nuzul (sebab turunnya ayat), yaitu satu riwayat berikut ini. Tentang firman Allah: Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka, al-Hasan al-Bashri rahimahullaah berkata, Telah menceritakan kepadaku Maqil bin Yasar, sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata, Aku pernah menikahkan saudara perempuanku dengan seorang laki-laki, kemudian laki-laki itu menceraikannya. Sehingga ketika masa iddahnya telah berlalu, laki-laki itu (mantan suami) datang untuk meminangnya kembali. Aku katakan kepadanya, Aku telah menikahkan dan mengawinkanmu (dengannya) dan aku pun memuliakanmu, lalu engkau menceraikannya. Sekarang engkau datang untuk meminangnya?! Tidak! Demi Allah, dia tidak boleh kembali kepadamu selamanya! Sedangkan ia adalah laki-laki yang baik, dan wanita itu pun menghendaki rujuk (kembali) padanya. Maka Allah menurunkan ayat ini: Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka. Maka aku berkata, Sekarang aku akan melakukannya (mewalikan dan menikahkannya) wahai Rasulullah. Kemudian Maqil menikahkan saudara perempuannya kepada laki-laki itu.[6] Hadits Maqil bin Yasar ini adalah hadits yang shahih lagi mulia. Hadits ini merupakan sekuat-kuat hujjah dan dalil tentang disyaratkannya wali dalam akad nikah. Artinya, tidak sah nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda. Dalam hadits ini, Maqil bin Yasar yang berkedudukan sebagai wali telah menghalangi pernikahan antara saudara perempuannya yang akan ruju dengan mantan suaminya, padahal keduanya sudah sama-sama ridha. Lalu Allah Taala menurunkan ayat yang mulia ini (yaitu surat al-Baqarah ayat 232) agar para wali jangan menghalangi pernikahan mereka. Jika wali bukan syarat, bisa saja keduanya menikah, baik dihalangi atau pun tidak. Kesimpulannya, wali sebagai syarat sahnya nikah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullaah berkata, Para ulama berselisih tentang disyaratkannya wali dalam pernikahan. Jumhur berpendapat demikian. Mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya wanita tidak dapat menikahkan dirinya sendiri. Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang telah disebutkan di atas tentang perwalian. Jika tidak, niscaya penolakannya (untuk menikahkan wanita yang berada di bawah perwaliannya) tidak ada artinya. Seandainya wanita tadi mempunyai hak menikahkan dirinya, niscaya ia tidak membutuhkan saudara laki-lakinya. Ibnu Mundzir menyebutkan bahwa tidak ada seorang Shahabat pun yang menyelisihi hal itu. [7] Imam asy-Syafii rahimahullaah berkata, Siapa pun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka tidak ada nikah baginya (tidak sah). Karena Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Maka nikahnya bathil (tidak sah).[8] Imam Ibnu Hazm rahimahullaah berkata, Tidak halal bagi wanita untuk menikah, baik janda maupun gadis, melainkan dengan izin walinya: ayahnya, saudara lakilakinya, kakeknya, pamannya, atau anak laki-laki pamannya [9] Imam Ibnu Qudamah rahimahullaah berkata, Nikah tidak sah kecuali dengan wali. Wanita tidak berhak menikahkan dirinya sendiri, tidak pula selain (wali)nya. Juga tidak boleh mewakilkan kepada selain walinya untuk menikahkannya. Jika ia melakukannya, maka nikahnya tidak sah. Menurut Abu Hanifah, wanita boleh melakukannya. Akan tetapi kita memiliki dalil bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Pernikahan tidak sah, melainkan dengan adanya wali. Keharusan Meminta Persetujuan Wanita Sebelum Pernikahan Apabila pernikahan tidak sah, kecuali dengan adanya wali, maka merupakan kewajiban juga meminta persetujuan dari wanita yang berada di bawah perwaliannya. Apabila wanita tersebut seorang janda, maka diminta persetujuannya (pendapatnya). Sedangkan jika wanita tersebut seorang gadis, maka diminta juga ijinnya dan diamnya merupakan tanda ia setuju. Dari Abu Hurairah radhiyallaahu anhu bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

Seorang janda tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta perintahnya. Sedangkan seorang gadis tidak boleh dinikahkan kecuali setelah diminta ijinnya. Para Shahabat berkata, Wahai Rasulullah, bagaimanakah ijinnya? Beliau menjawab, Jika ia diam saja. [11] Dari Ibnu Abbas radhiyallaahu anhuma bahwasanya ada seorang gadis yang mendatangi Rasulullah shal-lallaahu alaihi wa sallam dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkannya, sedangkan ia tidak ridha. Maka Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam menyerahkan pilihan kepadanya (apakah ia ingin meneruskan pernikahannya, ataukah ia ingin membatalkannya). [12] Mahar Dan berikanlah mahar (maskawin) kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. [An-Nisaa : 4] Mahar adalah sesuatu yang diberikan kepada isteri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan. Mahar (atau diistilahkan dengan mas Kimpoi) adalah hak seorang wanita yang harus dibayar oleh laki-laki yang akan menikahinya. Mahar merupakan milik seorang isteri dan tidak boleh seorang pun mengambilnya, baik ayah maupun yang lainnya, kecuali dengan keridhaannya. Syariat Islam yang mulia melarang bermahal-mahal dalam menentukan mahar, bahkan dianjurkan untuk meringankan mahar agar mempermudah proses pernikahan. Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Nabi shallallaahu alaihi wa sallam pernah bersabda: Di antara kebaikan wanita adalah mudah meminangnya, mudah maharnya dan mudah rahimnya. [13] Urwah berkata, Yaitu mudah rahimnya untuk melahirkan. Uqbah bin Amir radhiyallaahu anhu berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: Sebaik-baik pernikahan ialah yang paling mudah. [14]

Seandainya seseorang tidak memiliki sesuatu untuk membayar mahar, maka ia boleh membayar mahar dengan mengajarkan ayat Al-Quran yang dihafalnya. [15] Quote: Khutbah Nikah Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut: Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya. Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenarbenar taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. [Ali Imran : 102] Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertaqwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. [An-Nisaa' : 1] Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, nis-caya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang besar. [Al-Ahzaab : 70-71] Amma badu Syarat Saksi Nikah & Syarat Ijab Qabul Pasal 40 Tentang Syarat-Syarat Syahid

Bahwa syarat-syarat sah yang harus terpenuhi oleh kedua orang saksi di dalam pernikahan (ijab dan qabul) ialah sebanyak 16 perkara: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Beragama Islam. Tidak sah saksi orang kafir. Berakal sehat. Tidak sah saksi orang yang hilang akalnya. Sudah usia dewasa. Tidak sah saksi anak-anak. Lelaki. Tidak sah saksi wali wanita. Merdeka. Tidak sah saksi budak belian. Dua orang. Tidak sah saksi satu orang. Melihat. Tidak sah saksi buta. Mendengar. Tidak sah saksi tuli. Bisa berbicara benar. Tidak sah saksi bisu.

10. Bukan anak. Tidak sah saksi anaknya sendiri. 11. Bukan bapak. Tidak sah saksi bapaknya sendiri. 12. Bukan musuh. Tidak sah musuh menjadi saksi 13. Tidak fasiq. Tidak sah saksi fasiq 14. Menjaga keperwiraan. Tidak sah saksi cidera keperwiraan (marwat). 15. Selamat Itiqad. Tidak sah saksi mukim sesat bidah seperti Qadariyah dan Jabariyah. 16. Sentosa pikiran (tidak terlalu pemarah). Tidak sah saksi seorang yang besar nafsu ketika marah terhadap orang lain, sehingga melampaui batas kewajaran. Pasal 41 Tentang Dua Saksi Yang Adil Bahwa yang disebut adil adalah orang islam yang berakal dan kedatangan hukum syariah yang tidak mengerjakan dosa besar dan tidak mengekalkan haram kecil (Bujairami ala al-Khatib: 1/ 245). Pasal 42 Tentang Arti Fasiq Bahwa yang disebut fasiq ialah manusia berakal yang sudah berusia baligh dan melakukan salah satu dosa besar atau mengekalkan haram kecil (tetapi merasa berdosa).

Pasal 43 Tentang Ijab dan Qabul Bahwa arti ijab ialah ucapan menikahkan lisankan oleh wali pengantin perempuan. Sedangkan Qabul ialah penerimaan (penjawaban) yang dilisankan oleh pengantin lelaki. Pasal 44 Tentang Syarat Sah Ijab Qabul Bahwa syarat-syarat sah ijab qabul akad nikah sebanyak ada enam perkara: 1. Hendaklah pengantin lelaki yang menerima (qabul), bukan anak kecil, karena syarat pengantin lelaki harus baligh. 2. Hendaklah pengantin lelaki jangan kelamaan dalam menjawab ucapan wali yang menikahkan pengantin wanita (istrinya). 3. 4. 5. 6. Hendaklah muafakat pengucapnya wali pada pengantin lelaki. Hendaklah muafakat dalam penyebutan wali pada jumlah maskawin. Hendaklah jangan dijanji talak nanti setelah disetubuhi. Hendaklah antara keduanya faham akan bahasa yang diucapkan

Pernikahan atau perkawinan dalam istilah syariah (fiqh) Islam adalah suatu akad (transaksi) yang menyebabkan menjadi halal atau legalnya hubungan seksual antara seorang laki-laki dan perempuan dengan memakai kata (bahasa Arab) inkah ( ( ( ( ) atau tazwij ( ( ( ) atau terjemahannya dalam bahasa setempat. [1] Dalam pengertian umum, pernikahan/perkawinan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dilaksanakan oleh calon mempelai pria dan wanita. dengan tujuan melegalkan hubungan dua lawan jenis yang akan hidup dalam satu atap baik legal secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. HUKUM PERNIKAHAN MENURUT ISLAM 1. Hukum perkawinan adalah sunnah bagi yang ingin menikah dalam arti ada kebutuhan seksual. Dengan syarat, memiliki biaya untuk pernikahan seperti biaya mahar (maskawin) dan ongkos perkawinan. 2. Hukum nikah makruh bagi yang tidak mempunyai hasrat dan tidak ada biaya mahar dan ongkos perkawinan.

3. Hukum menikah haram dalam beberapa situasi . SYARAT NIKAH 1. Wali [2] 2. Dua saksi 3. Calon istri tidak diharamkan menikah dengan calon suami 4. Ijab qabul yaitu ucapan wali untuk menikahkan calon mempelai wanita dan jawaban dari calon pria. Seperti ucapan wali Aku nikahkan putriku denganmu ( ) . Dan jawaban calon su`mi: saya terima nikahnya ( ) . Syarat Wali dan Saksi: (a) harus muslim; (b) akil baligh dan normal, jadi anak kecil dan orang gila tidak boleh jadi saksi dan wali; (c) adil yaitu orang yang tidak melakukan dosa besar. Khusus untuk saksi ada syarat tambahan yaitu harus normal pendengaran dan penglihatannya. RUKUN NIKAH Ada 5 (lima) rukun nikah. Rukun adalah perkara yang harus terpenuhi saat akad nikah berlangsung. 1. 2. 3. 4. 5. Pengantin lelaki (Arab, zauj - ) Pengantin perempuan (Arab, zaujah - ) Wali pengantin perempuan Dua orang saksi Ijab dan Qabul

KHUTBAH NIKAH Membaca khutbah nikah adalah sunnah. Jadi bukan syarat sahnya pernikahan. Boleh dilakukan boleh ditinggalkan. Berikut teks khutbah dalam bahasa Arab. 1. Khutbah nikah panjang teks bahasa Arab . . . . .

. . : . . : . : . : . . . 2. Khutbah Nikah Pendek berdasar hadits Ibnu Masud riwayat Abu Dawud . WALI NIKAH Dalam Islam, calon pengantin perempuan harus dinikahkan oleh walinya. Tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. Wali nikah yang utama adalah ayah kandung, kalau tidak ada maka diganti kakek, kemudian saudara kandung, seterusnya lihat keterangan di bawah. URUTAN WALI NIKAH Urutan wali dan yang berhak menjadi wali nikah adalah sebegai berikut: 1 - Ayah kandung 2 - Kakek, atau ayah dari ayah 3 - Saudara se-ayah dan se-ibu

4 5 6 7 8

Saudara se-ayah saja Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah dan se-ibu Anak laki-laki dari saudara yang se-ayah saja Saudara laki-laki ayah Anak laki-laki dari saudara laki-laki ayah

Urutan wali di atas harus dijaga. Kalau wali nomor urut 1 masih ada dan memenuhi syarat, maka tidak sah pernikahan yang dilakukan oleh wali nomor urut 2 dan seterusnya. Wali yang paling berhak juga boleh mewakilkan perwaliannya pada orang lain yang dipercaya seperti tokoh agama atau petugas KUA. Apabila perempuan berada di suatu negara yang tidak ada wali hakim, maka sebagai gantinya adalah tokoh Islam setempat seperti Imam masjid atau ulama yang dikenal. SYARAT MENJADI WALI NIKAH Walaupun sudah termasuk golongan yang berhak menjadi wali nikah, belum sah menjadi wali nikah sampai syarat-syarat berikut terpenuhi: 1. Islam (beragama Islam). Tidak sah wali kafir selain kafir Kitabi (Yahudi dan Kristen boleh menjadi wali). 2. Aqil (berakal sehat). Tidak sah wali yang akalnya rusak. 3. Baligh (sudah usia dewasa) tidak sah wali anak-anak. 4. Lelaki. Tidak sah wali perempuan. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni menyatakan bahwa sah hukumnya seorang ayah nonmuslim menjadi wali nikah untuk putrinya yang menikah dengan pria muslim. Hal ini berdasarkan pendapat dari madzhab Hanafi dan Syafi'i. Ibnu Qudamah berkata: ; , . . , , , , , . , WALI HAKIM Wali hakim dalam konteks Indonesia adalah pejabat yang berwenang menikahkan. Yaitu, hakim agama, petugas KUA, naib, modin desa urusan nikah.(berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1952) Wali hakim baru boleh menjadi wali nikah dalam 3 hal sebagai berikut: WALI DARI ANAK ZINA Seorang anak zina perempuan nasabnya dinisbatkan pada ibunya. Karena ibu tidak dapat menikahkan, maka wali hakim yang dapat menjadi walinya.

SEMUA WALI TIDAK ADA Wali hakim dapat menjadi wali nikah apabila semua wali nikah tidak ada. WALI TIDAK ADA SETUJU TANPA ALASAN SYAR'I Wali hakim juga dapat menjadi wali nikah apabila semua wali nikah yang ada menolak menikahkan dengan alasan yang tidak sesuai syariah.[4] WALI PERGI DALAM JARAK QASHAR Apabila wali yang terdekat pergi dalam jarak perjalanan qashar (dua marhalah), maka wali hakim boleh menjadi pengganti wali tersebut. ( ) ( ) ( ) ( ( Artinya: Apabila wali nasab terdekat bepergian dalam jarak dua marhalah (qashar) atau lebih jauh dan tidak ada status kematiannya serta tidak ada wakilnya yang hadir dalam menikahkan perempuan di bawah perwaliannya maka Sultan (Wali Hakim) dapat menikahkan perempuan itu. Bukan wali jauh walaupun kepergiannya lama dan tidak diketahui tempat dan hidupnya. Hal itu karena tetapnya status kewalian wali yang sedang pergi. Namun yang lebih utama meminta ijin pada wali jauh untuk keluar dari khilaf ulama.[5] AKAD NIKAH (IJAB KABUL) Prosesi akan nikah terpenting adalah ijab kabul (qobul). Di mana wali calon mempelai perempuan menikahkan putrinya dengan calon pengantin laki-laki (ijab) dan calon pengantin laki-laki menjawabnya (kabul/qobul) sebagai tanda menerima pernikahan tersebut . Wali juga dapat mewakilkan pada wakil wali yang ditunjuk wali untuk menikahkan putrinya. Yang bertindak sebagai wakil biasanya petugas KUA atau tokoh agama setempat. A. TEKS BACAAN AKAD NIKAH LANGSUNG OLEH WALI DALAM BAHASA ARAB . . . . / Teks latin: Ankahtuka wa zawwajtuka binti [sebutkan namanya] bimahri [sebutkan

jumlah maskawin] hallan. Artinya: Aku menikahkanmu dengan putriku bernama [sebutkan nama] dengan maskawin [sebutkan jumlah maskawin]. B. TEKS BACAAN AKAD NIKAH OLEH WAKIL WALI DALAM BAHASA ARAB Menjadi wakil dari wali teksnya sama saja. Perbedaannya adalah tambahan kata "muwakkili" (yang mewakilkan padaku) . . . . / Teks latin: Ankahtuka wa zawwajtuka binti [sebutkan namanya] muwakkili bimahri [sebutkan jumlah maskawin] hallan. Artinya: Aku menikahkanmu dengan perempuan bernama [sebutkan nama] yang walinya mewakilkan padaku dengan maskawin [sebutkan jumlah maskawin]. C. TEKS KABUL JAWABAN PENGANTIN PUTRA KEPADA WALI Ketika wali nikah atau wakilnya selesai mengucapkan ijab, maka pengantin laki-laki langsung merespons/menjawab dengan ucapan berikut: Teks Arab: Teks Latin: Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bilmahril madzkur Artinya: Saya terima nikahnya dengan mahar/maskawin tersebut DOA SETELAH AKAD NIKAH Setelah ijab kabul dilaksanakan antara wali atau wakil wali dengan mempelai lakilaki, acara dilanjutkan dengan membaca doa sebagai berikut (pilih salah satu atau semuanya): DOA 1 . . . . .

. . . . . . . . . DOA 2 UCAPAN DOA UNTUK KEDUA MEMPELAI SETELAH AKAD NIKAH Masing-masing yang hadir sunnah mengucapkan doa berikut pada penantin laki-laki Masing-masing yang hadir sunnah mengucapkan doa berikut pada kedua mempelai . DOA UNTUK KEDUA MEMPELAI DOA SAAT BERDUA DI MALAM PERTAMA Saat kedua mempelai bertemua di dalam kamar di malam pertama, maka mempelai pria dianjurkan mengusap kepala mempelai wanita sambil membaca doa berikut [7]:

Setelah itu, disunnahkan bagi kedua mempelai untuk melakukan shalat sunnah[8] DOA SETIAP AKAN BERHUBUNGAN INTIM (JIMAK) Dan disunnahkan untuk melakukan wudhu sebelum melakukan hubungan badan yang kedua dan seterusnya. Sebagaimana sabda Nabi dalam hadits sahih riwayat Muslim sbb Artinya: Apabila kalian sudah melakukan hubungan intim dan hendak mengulangi, maka hendaknya berwudhu.

PERNIKAHAN HARAM (DILARANG) DALAM ISLAM Pernikahan adakalanya hukumnya haram, dalam situasi berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Perempuan menikah dengan orang laki-laki nonmuslim Laki-laki menikah dengan nonmuslim yang bukan ahli kitab (Yahudi, Nasrani). Menikah dengan pelacur, wanita hamil Pernikahan dalam masa idah cerai atau kematian Poliandri (perempuan menikah dengan lebih dari satu laki-laki) Poligami lebih dari empat

PENGERTIAN KHUTBAH Secara etimologis (harfiyah), khuthbah artinya : pidato, nasihat, pesan (taushiyah). Sedangkan menurut terminologi Islam (istilah syara); khutbah (Jumat) ialah pidato yang disampaikan oleh seorang khatib di depan jamaah sebelum shalat Jumat dilaksanakan dengan syarat-syarat dan rukun tertentu, baik berupa tadzkiroh (peringatan, penyadaran), mauidzoh (pembelajaran) maupun taushiyah (nasehat). Berdasarkan pengertian di atas, maka khutbah adalah pidato normatif, karena selain merupakan bagian dari shalat Jumat juga memerlukan persiapan yang lebih matang, penguasaan bahan dan metodologi yang mampu memikat perhatian. Selain khutbah Jumat, ada pula khutbah yang dilaksanakan sesudah sholat, yaitu: khutbah Idul Fitri, Idul Adha, khutbah sholat Gerhana (Kusuf dan Khusuf). Sedangkan khutbah nikah dilaksanakan sebelum akad nikah. Dalam makalah ini yang akan dikaji adalah khusus tentang khutbah Jumat. B. DALIL-DALIL TENTANG KHUTBAH JUMAT 1. Firman Allah SWT dalam surat Al-Jumuah ayat 9 :

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat (shalat Jumat), maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah urusan jual beli (urusan duniawi). Yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui. (QS. AlJumuah : 9) 2. Riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a.: Adalah Nabi SAW. berkhutbah pada hari Jumat dengan berdiri, kemudian beliau duduk dan lalu berdiri lagi sebagaimana dijalankan oleh orang-orang sekarang. 3. Riwayat Bukhari, Nasai dan Abu Daud dari Yazid bin Said r.a.: Adalah seruan pada hari Jumat itu awalnya (adzan) tatkala Imam duduk di atas mimbar, hal demikian itu berlaku pada masa Rasulullah SAW. hingga masa khalifah Umar r.a. Setelah tiba masa khalifah Usman r.a. dan orang semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga (karena adzan dan iqomah dipandang dua seruan) di atas Zaura (nama tempat di pasar), yang mana pada masa Nabi SAW. hanya ada seorang muadzin. 4. Riwayat Muslim dari Jabir r.a.: Pada suatu ketika Nabi SAW. sedang berkhutbah, tiba-tiba datang seorang laki-laki, lalu Nabi bertanya kepadanya: Apakah Anda sudah shalat? Hai Fulan! Jawab orang itu : Belum wahai Rasulullah! Sabda beliau: Berdirilah! Shalatlah lebih dahulu (dua rakaat) (HR. Muslim). C. PERSYARATAN KHATIB 1. Ikhlas, terhindari dari pamrih, riya dan sumah (popularitas). Perhatikan firman Allah SWT. dalam menceritakan keikhlasan Nabi Hud AS: Hai kaumku, aku tidak meminta upah kepadamu bagi seruanku ini, ucapanku tidak lain hanyalah dari Allah yang menciptakan aku. Tidakkah kamu memikirkannya?. (QS. Hud:51). 2. Amilun biilmihi (mengamalkan ilmunya), Allah SWT. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan? Amat besar kemurkaan di sisi Allah terhadap orang yang mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan. (QS. As-Shaf : 2-3). 3. Kasih sayang kepada jamaah, Rasulullah SAW. bersabda: Bahwa sesungguhnya aku terhadap kamu semua laksana seorang ayah terhadap anaknya. (HR. Abu Dawud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah). 4. Wara (menghindari yang syubhat), perhatikan sabda Nabi SAW: Jadilah kamu sebagai seorang yang wara, maka kamu adalah manusia yang paling tekun beribadah. (HR. Baihaqi dari Abi Hurairah) 5. Izzatun Nafsi (tahu harga diri untuk menjadi khairunnas), Allah SWT. berfirman: Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar (dalam menegakkan kebenaran), dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (QS. As-Sajdah : 24).

D. FUNGSI KHUTBAH 1. 2. 3. 4. 5. Tahdzir (peringatan, perhatian) Taushiyah (pesan, nasehat) Tadzkir/mauidzoh (pembelajaran, penyadaran) Tabsyir (kabar gembiran, harapan) Bagian dari syarat sahnya sholat Jumat

Berkenaan dengan fungsi khutbah tersebut di atas, maka khutbah disampaikan dengan bahasa yang mudah difahami oleh jamaah (boleh bahasa setempat), kecuali rukun-rukun khutbah. Allah SWT. berfirman: Dan tidaklah Kami mengutus Rasul, melainkan dengan bahasa yang difahami oleh kaumnya, agar ia dapat memberi penjelasan kepada mereka. (QS. Ibrahim : 4). E. SYARAT SAHNYA KHUTBAH 1. Dilaksanakan sebelum sholat Jumat. Ini berdasarkan amaliyah Rasulullah SAW. 2. Telah masuk waktu Jumat, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Anas bin Malik r.a. ia berkata: Sesungguhnya Nabi SAW. melaksanakan shalat Jumat setelah zawal (matahari condong ke Barat). (HR. Bukhari). 3. Tidak memalingkan pandangan 4. Rukun khutbah dengan bahasa Arab, ittiba kepada Rasulullah SAW. 5. Berturut-turut antara dua khutbah dan shalat 6. Khatib suci dari hadats dan najis, karena berkhutbah merupakan syarat sahnya shalat Jumat. 7. Khatib menutup aurat, sama dengan persyaratan shalat Jumat. 8. Dilaksanakan dengan berdiri kecuali darurat, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Ibnu Umar r.a: Sesungguhnya Nabi SAW. apabila keluar pada hari Jumat, beliau duduk yakni di atas mimbar hingga muadzin diam, kemudian berdiri lalu berkhutbah. (HR. Abu Daud). 9. Duduk antara dua khutbah dengan tumaninah, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Ibnu Umar r.a. ia berkata: Adalah Nabi SAW. berkhutbah sambil berdiri, kemudian duduk, dan berdiri lagi sebagaimana kamu semua melakukannya sekarang ini. (HR. Bukhari dan Muslim). 10. Terdengar oleh semua jamaah 11. Khatib Jumat adalah laki-laki 12. Khatib lebih utama sebagai Imam sholat F. RUKUN KHUTBAH 1. Hamdalah, yakni ucapan Alhamdulillah , berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Jabir r.a.: Sesungguhnya Nabi SAW. berkhutbah pada hari Jumat, maka (beliau) memuji Allah (dengan mengucap Alhamdulillah) dan menyanjung-Nya. (HR. Imam Muslim). 2. Syahadat (Tasyahud), yaitu membaca Asyhadu anla ilaaha illallah wahdahu laa syarikalahu wa Asyhadu anna Muhammadan abduhu warasuluhu, berdasarkan hadits Nabi SAW: Tia-tiap khutbah yang tidak ada syahadatnya adalah seperti tangan yang terpotong. (HR. Ahmad dan Abu Dauwd). 3. Shalawat 4. Wasiyat Taqwa, antara lain ucapan Ittaqullah haqqa tuqaatih. 5. Membaca ayat Al-Quran, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Jabir bin Samurah r.a.: Adalah Rasulullah SAW. berkhutbah (dalam keadaan) berdiri dan duduk antara dua khutbah, membaca ayat-ayat Al-Quran serta memberikan peringatan kepada manusia. (HR. Jamaah, kecuali Bukhari dan Tirmidzi). 6. Berdoa

Semua rukun khutbah diucapkan dalam bahasa Arab. Empat rukun yang pertama (Hamdalah, Syahadat, Shalawat dan wasiyat) diucapkan pada khutbah yang pertama dan kedua, sedangkan ayat Al-Quran boleh dibaca pada salah satu khutbah (pertama atau kedua) dan doa pada khutbah yang kedua. G. SUNNAH-SUNNAH KHUTBAH 1. Berdiri di tempat yang tinggi (mimbar) 2. Memberi salam, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Jabir ra.: Sesungguhnya Nabi SAW. apabila telah naik mimbar, (beliau) memberi salam. (HR. Ibnu Majah). 3. Menghadap Jamaah, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Adi bin Tsabit dari ayahnya dari kakeknya: Adalah Nabi SAW. apabila telah berdiri di atas mimbar, shahabat-shahabatnya menghadapkan wajah mereka ke arahnya. (HR. Ibnu Majah). 4. Suara jelas penuh semangat, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Jabir r.a: Adalah Rasulullah SAW. apabila berkhutbah kedua matanya menjadi merah, suaranya lantang/tinggi, berapi-api bagaikan seorang panglima (yang memberi komando kepada tentaranya) dengan kata-kata Siap siagalah di waktu pagi dan petang. (HR. Muslim dan Ibnu Majah). 5. Singkat, padat, akurat dan memikat, Rasulullah SAW. bersabda : Adalah Rasulullah SAW. biasa memanjangkan shalat dan memendekkan khutbahnya. (HR. Nasai dari Abdullah bin Abi Auf). 6. Gerakan tangan tidak terlalu bebas, berdasarkan hadits Nabi SAW. dari Abdurrahman bin Saad bin Ammar bin Saad ia berkata: Adalah Nabi SAW. apabila berkhutbah dalam suatu peperangan beliau berkhutbah atas anak panah, dan bila berkhutbah di hari Jumat belaiu berpegangan pada tongkat. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi). 7. Seusai khutbah kedua segera turun dari mimbar, berdasarkan hadits Nabi SAW. Adalah shahabat Bilal itu menyerukan adzan apabila Nabi SAW. telah duduk di atas mimbar, dan ia iqomah apabila Nabi SAW. telah turun. (HR. Imam Ahmad dan Nasai). 8. Tertib dalam membacakan rukun-rukun khutbah, yaitu: Hamdalah, Syahadat, Shalawat, wasiyat, Ayat Al-Quran dan Doa. H. HAL-HAL YANG DIMAKRUHKAN DALAM KHUTBAH 1. Membelakangi Jamaah 2. Terlalu banyak bergerak 3. Meludah I. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIAKAN OLEH KHOTIB 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Melakukan persiapan, mental, fisik dan naskah khutbah Memilih materi yang tepat dan up to date Melakukan latihan seperlunya Menguasai materi khutbah Menjiwai isi khutbah Bahasa yang mudah difahami Suara jelas, tegas dan lugas Pakaian sopan, memadai dan Islami Waktu maksimal 15 menit

10. Bersedia menjadi Imam shalat Jumat J. MATERI KHUTBAH 1. 2. 3. 4. 5. 6. Tegakkan akidah, murnikan ibadah, perluas ukhuwwah Evaluasi amaliah (ummat) mingguan Kaji masalah secara cermat dan singkat Berikan solusi yang tepat Tema-tema lokal peristiwa keseharian lebih diutamakan Hindari materi yang menjenuhkan atau persoalan tanpa pemecahan

K. KESIMPULAN Khutbah Jumat adalah pidato yang normatif disampaikan berkenaan dengan ibadah sholat Jumat, maka para khatib harus mampu mengemas materi dengan singkat, padat, akurat dan memikat, dan harus mampu menjadi Imam shalat.

(Ditulis oleh : Drs. H.M. Syamsuddin, M.Pd. Disampaikan Pada Pelatihan Khatib Masjid Nurul Huda Desa Rajawetan, Kec. Pancalang, Kab. Kuningan oleh : Maman Sumari, S.Pd.I) Setiap dari kita apabila sudah berumur cukup dewasa dan memiliki pekerjaan yang mapan pasti ingin membina rumah tangga dengan menikah. Nah, disini Saya akan mengulas dengan menulis sedikit tentang apa itu nikah. Nikah atau an-nikh memiliki dua pengertian yang tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat diubah susunannya, al-aqd (akad) dan al-wath`u (hubungan seksual). Tapi Islam mengharamkan al-wath`u jika al-aqd belum dilangsungkan. Karena melalui akad, alwath`uyang semula haram akan menjadi halal dan bernilai ibadah. Menurut Wahbah alZuhaili, pernikahan adalah akad, perjanjian dan ikatan yang menghalalkan seorang pria dan seorang wanita hidup bersama sebagai suami istri. Dengan demikian, menurut hukum Islam, nikah adalah akad yang sangat kuat, mistaqan ghalizhan, dalam mentaati perintah Allah yang merupakan ibadah. Begitu pun dengan Undang-undang tahun 1974 yang menjelaskan nikah adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Rukun nikah menurut hukum Islam ada lima, yaitu adanya calon suami, calon isteri, wali nikah dan ijab qabul. Pelaksanaan akad nikah diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan wali untuk menikahkan calon mempelai wanita dengan seorang laki-laki pilihannya. Qabul adalah penerimaan calon mempelai pria untuk menikahi calon mempelai wanita. Ijab qabul sah apabila disaksikan dua orang saksi yang memenuhi syarat. Ditegaskan ada tiga kata kunci yang berhubungan dengan tujuan pernikahan, yaitu sakinah, mawaddah dan rahmah. Sakinah adalah ketenteraman seorang laki-laki bersama pasangan hidupnya dalam ikatan pernikahan berdasarkan ketentuan Allah.

Sedangkan mawaddah adalah hubungan seksual suami isteri sebagai cermin cinta dan kasih sayang yang tulus hingga merasakan kepuasaan, kelezatan dan kenikmatan. Adapun yang disebut rahmah adalah cinta kasih suami isteri yang tulus tanpa melakukan hubungan seksual Dalam Al-Qur`an (Q.S. Rum/30: 21). Pasangan suami istri harus senantiasa menjaga sakinah, mawaddah dan rahmahdalam biduk rumah tangga mereka. Sumber: Islampedia, Lazuardi Website engertian Wali Nikah dalam Perkawinan Sebelum kita membahas pengertian wali, ada baiknya kita mengenal terlebih dahulu nikah secara umum. Dalam bahasa arab kata nikah berasal dari fi'il nakaha-yankihu, yang artinya mengawini atau menikahi, nikah juga biasanya di samakan dengan az-Zawaj atau alJam'u, yang artinya berpasangan atau berkumpul. Dalam pengertian istilah, terdapat perbedaan segi penafsiran antara ulama klasikal dan ulama kontemporer. Ulama terdahulu memberikan pengertian nikah dengan lebih berorientasi pada hubungan seksual, seperti defenisi yang diberikan oleh golongan hanafiyah: "suatu aqad yang memfaedahkan hak memiliki bersenang-senang terhadap seorang wanita dengan sengaja" Sedangkan ulama-ulama sekarang, tidak hanya menitik beratkan pada hubungan biologis semata,melainkan, memperhatikan tercapainya kehidupan yang damai tentram dan saling tolong menolong, seperti pengertian yang di berikan oleh Muhammad Abu Ishrah: "akad yang memberikan faedah hukum kebolehan bergaul antara seorang laki-laki dan perempuan serta kebolehan mengadakan upaya saling tolong menolong" Dalam kompilasi hukum Islam, kita akan mendapatkan pengertian nikah pada bagian II pasal 2 "perkawinan dalam islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqon gholidzonuntuk menaati perintah Allah dan melakukannya adalah ibadah" KH.Ahmad Azhar Basyir, dalam bukunya, Hukum perkawinan dalam Islam, memasukkan adanya wali dalam syarat sahnya nikah, namun pensyaratan ini termasuk dalam hal yang di pertentangkan oleh para ulama, yang akan kami bahas pada pembahasan selanjutnya. Jika kita telusuri pengertian wali dalam kitab lisanul Arob, maka kita akan mendapatkan pengertian etimologisnya, bahwa kata al-Waliyyu itu adalah salah satu nama Allah yang artinya an-Nashir, penolong, atau juga zat yang berkuasa atas semua urusan makhluknya, dan yang menegakkan urusan tersebut, juga terdapat kata Al-Waalyyu (waw nya di baca panjang) yang artinya raja segala sesuatu. Lalu jika kata wali ini disandingkan dengan kata Almar'ah (perempuan) maka artinya :

"alldzi yaly 'aqdu an-Nikaah 'alaihaa walaa yada'uhaa tastabiddu bi 'aqdi an-Nikah duunahu" Orang yang mengikuti/menguasai akad nikah atas perempuan, dan perempuan tidak boleh bertindak sewenang-wenang dalam hal akad nikah tanpa adanya wali. Kemudian, jika kita tela'ah lagi secara bahasa pada pada kamus Al-Munawwir, maka akan ditemukan, kata wali, berasal dari kata waliya-yawliy, yang diantara artinya, menguasai atau mengurusi. Dari beberapa pengertian secara kebahasaan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa, wali nikah adalah, pihak dari mempelai wanita yang berkuasa atas terjadinya akad nikah. Dalam kompilasi hokum Islam wali nikah ini digolongkan sebagai rukun nikah, hal ini bisa kita temukan pada bagian III pasal 19: "wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya". Lebih spesifik lagi, dalam bahan ajar fiqih munakahat, semester 4, wali nikah di definisikan sebagai " wakilnya pihak mengucapkan ijab dalam akad nikah". Dasar adanya perwalian dalam nikah, tertera dalam beberapa hadits, diantaranya yang diriwayatkan oleh Ahmad: 264 / 6) - ) "dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, berkata "tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil" Dan juga terdapat dalam beberapa ayat al-Qur'an yang akan kami bahas secara terperinci dalam pembahasan pandangan para ulama. Macam-macam dan Tertib Wali Nikah

Dalam menentukan orang-orang yang berhak menjadi wali bagi seorang mempelai wanita, maka perlu memperhatikan tertib-tertib para wali ( tartibul awliya'), yang dengan itu bisa dikategorikan macam-macam wali :

1.

Wali nasab, yaitu wali nikah karena ada hubungan nasab dengan calon isteri yang akan nikah. Wali mutiq, yaitu wali nikah karena memerdekakan wanita yang akan menikah. Wali mutiq baru berhak menjadi wali nikah kalau wali nasab sudah tidak ada. Wali hakim, yaitu wali nikah yang dilakukan oleh penguasa terhadap wanita yang wali nasabnya karena sesuatu hal tidak ada, baik karena tidak punya, karena sudah meninggal, atau karena menolak menjadi wali .

2.

3.

4.

Wali muhakkam, yaitu wali nikah yang diangkat oleh kedua calon mempelai untuk menikahkannya karena tidk ada wali nasab, tidak ada wali mutiq, dan tidak ada wali hakim.

Dari ke empat macam wali tersebut, di Indonesia hanya berlaku dua, yaitu wali nasab dan wali hakim, hal ini bisa kita dapatkan pada kompilasi hokum Islam Indonesia bagian III, pasal 20, ayat ke 2, yang hanya menggolongkan wali nikah kepada nasab dan hakim,

Wali nasab

Adapun urutan wali nasab dalam kompilasi hokum Islam pada bagian III pasal ke 21, tidak jauh berbeda dengan urutan yang diberikan oleh Jumhur ulama, hanya, dalam pembagiannya, hukum kompilasi membagi menjadi empat bagian dengan memasukkan kerabat paman pada urutan ke tiga, dan membedakannya dengan saudara laki-laki kandung kakek, lebih jelasnya akan kami paparkan urutan wali nasab sesuai yang tertulis dalam kompilasi hokum Islam:

1.

Kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yaitu ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya Kelompok saudara laki-laki sekandung atau se ayah dan keturunan laki-laki mereka Kelompok kerabat pamam. Yaitu saudara laki-laki ayah sekandung atau se ayah dan keturunan laki-laki mereka Kelompok saudara laki-laki kakek. Sekandung atau se ayah dan keturunan laki-laki mereka Adapun urut-urutan wali nasab menurut jumhur ulama adalah sebagai berikut:

2. 3.

4.

a.

Laki-laki yang menurunkan calon isteri dari arah bapak, yaitu: (1) Bapak, (2) Kakek (ayahnya ayah) dst ke atas Laki-laki keturunan bapak, yaitu: (1) Saudara laki-laki sekandung, (2) Saudara laki-laki seayah, (3) anak laki-laki dari saudara sekandung, (4) anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak dst ke bawah dengan catatan dalam hal sama derajatnya didahulukan yang sekandung Laki-laki keturunan kakek, yaitu (1) paman (saudaranya ayah) sekandung, (2) paman (saudaranya ayah) sebapak, (3) anak laki-laki paman sekandung, (4) anak laki-laki paman seayah dst ke bawah dengan catatan dalam hal sama derajatnya didahulukan yang sekandung

b.

c.

Wali nasab yang lebih dekat kepada calon isteri disebut wali aqrab ( )sedangkan yang lebih jauh dari wali aqrab disebut wali abad ( ),Selama ada wali aqrab, maka wali abad tidak berhak menjadi wali, hal ini pun sesuai dengan ketentuan kompilasi hokum Islam pada bagian dan pasal yang sama dengan menambahakan penjelasan, apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama, yaitu sekandung atau se ayah, maka mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan yang memenuhi syarat-syarat wali.

Di dalam bahan ajar fiqih munakahat semester empat putm, dijelaskan pula bahwa, Hak perwalian berpindah dari wali aqrab kepada wali abad apabila: (1) (2) (3) (4) (5) wali aqrab tidak beragama Islam, sedangkan calon isteri beragama Islam wali aqrab orang fasik wali aqrab belum balig wali aqrab gila wali aqrab bisu dan tuli yang tidak bisa diajak bicara dengan isyarat dan tidk bisa menulis. Wali hakim Di dalam buku hukum perkawinan Islam, KH Ahmad Azhar Basyir menjelaskan bahwa wali yang lebih jauh hanya berhak menjadi wali apabila wali yang lebih dekat tidak ada atau tidak memenuhi syarat wali. Apabila wali yang lebih dekat sedang bepergian atau tidak ada di tempat, maka wali yang jauh hanya dapat menjadi wali apabila mendapat kuasa dari wali yang lebih dekat tersebut. Apabila pemberian kuasa dari wali dekat tidak ada, maka perwalian pindah kepada sultan (kepala Negara) atau yang diberi kuasa oleh kepala Negara, yang disebut sebagai wali hakim. Dalam kompilasi hokum Islam bagian III pasal 23, lebih di spesifikasi, bahwa perwalian berpindah pada wali hakim dengan dua ketentuan: apabila bila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin hadir atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau enggan menjadi wali dalam hal wali nasab enggan, maka wali hakim baru bisa bertindak setelah adalah keputusan pengadilan mengenai hal tersebut setelah mengetahui beberapa sebab yang ada, maka akan didapatkan segi perbedaan antara apa yang di jelaskan oleh KH Ahmad Azhar Basyir dan apa yang tertulis di dalam kompilasi hukum Islam, dimana dalam kompilasi tidak menyebutkan wali yang jauh -termasuk dalam kategori wali nasab- bisa menjadi pengganti wali yang dekat apabila ada izin dari wali yang dekat ketika ia berhalangan hadir.

Dalam bahan ajar fiqih munakahat semester 4 putm, di jelaskan beberapa ketentuan berpindahnya perwalian kepada wali hakim dengan lebih terperinci dan penggolongannya lebih banyak, sehingga terdapat penambahan ketentuan berpindahnya perwalian, diantaranya : 1, Walinya sendiri yang akan menikah padahal wali yang sederajat tidak ada 2, Walinya sakit pitam/ayan 3, Walinya dipenjara dan tidak dapat ditemui 4, Walinya dicabut haknya menjadi wali oleh Negara ( mahjur alaih( 5, Walinya bersembunyi/ tawari 6, Walinya taazzuz (sombng dan bermahal diri) . Wali mujbir Di antara wali nasab yang telah di jelaskan tadi, ada yang berhak memaksa dibawah perwaliannya untuk dikawinkan dengan laki-laki tanpa izin gadis bersangkutan. Wali yang mempunyai hak memaksa itu disebut sebagai wali mujbir. Wali mujbir hanya terdiri dari ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang paling besar rasa kasih sayangnya kepada perempuan dibawah perwaliannya. Selain mereka tidak berhak ijbar.

Pada dasarnya, istilah wali mujbir dan keberadaannya sebagai hal yang disyariatkan masih menjadi perselisihan ulama, sehingga didalam kompilasi hokum islam sendiri tidak tertuliskan. Dan dalam buku hukum perkawinan Islam karangan KH Ahmad Azhar Basyir, wali mujbir ini di golongkakan sebagai wali nikah, dengan beberapa syarat yang akan diterangkan lebih lanjut, sementara pada buku fiqih Islam karangan H, sulaiman Rasjid, tidak menyebutkan secara jelas tentang wali mujbir, hanya memberikan keterangan tentang adanya keistimewaan wali ayah dan kakek dalam menikahkan anak gadisnya yang perawan juga dengan beberapa ketentuan. Syarat Adil Bagi Wali Nikah

Dalam kitab tauhdhihul ahkam, syarat adil bagi wali menjadi perselisihan para ulama:

1, Imam Syafi'i dan Ahmad berpendapat bahwa disyariatkan adil bagi wali nikah, karena wilayah nikah ini menuntut adanya pertimbangan-pertimbangan yang baik dan bertujuan untuk kemashlahatan, sehingga seorang yang dikenal fasiq tidak boleh menjadi wali

2. sedangkan Imam Ahmad dan Malik berpendapat bahwa adil bukan menjadi syarat dari seorang wali, sehingga boleh bagi seorang fasiq menjadi wali karena seperti yang telah dijelaskan yang telah lalu bahwa seorang laki-laki baik fasiq ataupun tidak bisa menjadi wali dirinya sendiri, jadi dia juga bisa menjadi wali bagi yang lain.

Berpendapat pemilik kitab "syarhul al-Kabiir" pendapat yang benar yang juga diamalkan adalah seorang ayah bisa menjadi wali bagi yang di walikannya, meski keadaannya waktu itu keadaan yang tidak baik asal tidak sampai kafir, dan pendapat inilah yang diamalkan oleh manusia

analisis: dari pendapat ini ada baiknya kita kompromikan. jika kita cermati, maka ulama yang berpendapat bahwa adil adalah syarat wali mendasarkan pendapatnya ini dengan dasar berhati-hati karena kemashlahatan dalam pernikahan merupakan sesuatu yang penting, dan mereka juga berpendapat, kefasiqan seseorang akan mempengaruhi keputusannya.

Sama halnya dengan pendapat yang membolehkan namun mereka berpendapat kefasiqan seseorang belum bisa menyebabkan dia tidak boleh menjadi wali sebab ukuran kefasiqan itu banyak tingkatannya, dan mereka memberi batas bahwa jika kefasiqan telah mencapai kekafiran barulah tidak boleh menjadi wali. Maka dari sini penulis berpendapat, jika seseorang telah betul-betul nyata kefasikan yang ia perbuat dalam kesehariaannya dan ternyata mempengaruhi dalam hak perwaliannya, seperti menikahkan dengan seorang yang tidak sekufu, maka tidak boleh menjadi wali, hal itu demi menjaga kemashlahtan kepada kedua belah pihak yang akan menikah. Perselisihan Ulama Seputar Wali Nikah a. Pensyaratan Wali Nikah dalam Pernikahan Para ulama berselisih pendapat mengenai apakah wali merupakan syarat sahnya nikah atau tidak?, terdapat beberapa pendapat mengenai ini, namun pendapat yang paling kuat dalil dan segi pengambilan dalilnya ada dua, yaitu: 1. jumhur ulama, berpendapat bahwa wali disyariatkan dalam pernikahan, dan perempuan tidak bisa menikahkan dirinya sendiri. Ibnu Mundzir menyatakan bahwa ia tidak mengetahui ada sahabat yang menyelisihi pendapat ini. 2. Abu Hanifah berpendapat, bahwa wali tidak di syaratkan dalam pernikahan secara mutlak dan seorang perempuan yang telah baligh lagi berakal, sudah bisa menikahkan dirinya sendiri dan perempuan lain[1] Segi pengambilan dalil: Ulama hanafiyah mendasarkan pendapatnya dengan: 2. Al-Quran Telah terdapat pada ayat yang secara tidak langsung menunjukkan hak pernikahan kepada wanita. Dan adapun dasar tentang hak ini adalah fail haqiqi yang terdapat pada ayat berikut:

( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( Artinya : Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami lain. ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( Artinya : Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai iddahnya, maka jangan kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya. ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( Artinya: Kemudian apabila telah sampai (akhir) iddah mereka, maka tidak dosa bagimu mengenai apa yang mereka lakukan terhadap diri mereka menurut cara yang patut. Ketiga ayat ini jelas menunjukkan bahwa nikah, rujuk, dan apapun yang dilakukan wanita pada dirinya sendiri selama itu baik adalah timbul dari wanita itu sendiri dan ini juga berakibat pula pada tidak tergantungnya nikah pada izin wali yang mengakadnya. 1. As-sunnah Pertama, diriwayatkan oleh Jamaah kecuali Al-Bukhari:

" ( ( ( ( ( ( ( ( ( " : ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( Artinya: Dari Ibnu Abbas R.A. berkata: Rasulullah SAW bersabda: Janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri daripada walinya. Dan seorang perawan dimintai izin terlebih dahulu. Didalam riwayat lain disebutkan: ( ( ( ( ( Artinya: Janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri. Dan ada pula riwayat dari Abu Dawud dan An-Nasai: ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( Artinya: Seorang wali tidaklah memiliki hak terhadap janda. Adapun wanita yatim maka dimintai pertimbangan. Dan diamnya adalah persetujuannya.

Adapun segi istidlalnya adalah bahwa hadist ini menciptakan adanya hak bagi wanita terhadap dirinya sendiri. Dan menafikan hak bagi orang lain didalam urusan-urusan yang berkitan dengan pernikahannya. Dan ini memberikan hak bagi wanita untuk memilih pasangan dan mengakad dirinya sendiri didalam pernikahannya. Adapun perawan karena sikap malu-malunya terhadap laki-laki dan adat malu-malu ini mencegah untuk mengatakan secara jelas apakah ia setuju atau tidak, maka As-Syari memberikan keringanan dengan mencukupkan isyarat yang menunjukkan persetujuannya. Dan bukanlah penjelasan ini dengan konsekuensi penjelasanya menunjukkan bahwa As-Syari menghilangkan haknya untuk mengakad dirinya sendiri secara langsung yang sebenarnya berdasarkan Qawaidul Ahliyah secara umum itu telah menetapkan kemampuannya untuk

mengakad dirinya sendiri. Tapi nikah itu tetap menjadi haknya sebagaimana juga telah tetap juga pada janda. Namun perawan memang memiliki kekhususan tersendiri. Kedua, hadist tentang pernikahan Nabi SAW dengan Ummu Salamah yang ketika itu beliau mengutus seseorang untuk mengkhitbahnya. Kemudian Ummu Salamah berkata: Aku tidak memiliki wali yang bisa hadir dalam pernikahan. Kemudian Rasulullah SAW bersabda: Bukanlah karena tidak hadirnya wali ini membuat hal ini dibenci oleh Allah SWT. Dari hadist ini menunjukkan bahwa tidak ada wali Ummu Salamah yang bisa hadir pada saat terjadinya akad sebagaimana Ummu Salamah katakan. Dan sisi lain dari hadist ini juga menunjukkan bahwa wali itu tidak memiliki suara atau tidak memberikan pengaruh ketika telah terpenuhinya syarat kafaah(sekufu/sederajat) yang menjadi keutamaan bahwa syahnya akad itu tidak tergantung pada kehadiran wali untuk mengakad. Dan perawi pada hadist ini telah bersepakat tentang kedudukan tingkat derajatnya. Adapun riwayat lain yang terdapat tambahan lafal bahwa Ummu Salamah berkata kepada anaknya: Ya Umar, nikahkanlah aku dengan Rasulullah SAW. atau sabda Nabi SAW: Ya Umar, nikahkanlah ibumu denganku! ini tidaklah kuat. Karena anaknya (Umar) pada waktu itu masih kecil yang belum memiliki kecakapan ( ahliyyah) untuk mengelola suatu hal. Dan adapun perkataan bahwa ini merupakan kekhususan-kekhususan Nabi SAW ini tertolak. Karena sesuatu yang ditetapkan sebagai kekhususan Nabi SAW itu membutuhkan dalil yang khusus.

Dalil aqly: bahwa nikah sama saja dengan jual beli, seorang wanita berhak menjual apa saja yang dia miliki tanpa perlu adanya wali, maka begitu pula dengan nikah. I. Kelompok yang Mensyaratkan Wali

Para Ulama yang mensyaratkan wali mengambil dalil dari pendapat mereka dengan Al-Qur;an, As-Sunnah, dan Dalil Aqly. 1. Al-Quran

( ( ( ( ( ( ( ( ( ( Artinya; Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang diantara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan.

( ( ( ( Artinya: Janganlah kalian nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Dan dalil yang juga dipakai oleh Hanafiyah ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( (

Artinya : Dan apabila kamu menceraikan istri-istri (kamu), lalu sampai iddahnya, maka jangan kamu halangi mereka menikah (lagi) dengan calon suaminya.

Adapun istidlal pada dua ayat pertama adalah bahwa khithab disini mengarah ke wali. Maka ini menunjukkan bahwa menikah itu adalah hak wali bukan wanita sendiri. Lalu adapun istidlal pada dalil yang ketiga adalah bahwa para wali dilarang untuk mencegah wanita dari menikah dengan orang yang wanita pilih. Para ulama disini mengatakan bahwa pencegahan disini hanya bisa terwujud pada orang yang memiliki kekuasaan untuk melarang. Dan ini menunjukkan bahwa akad nikah adalah kekuasaan wali bukan wanita. Para ulama disini mengatakan: Ini telah dikuatkan dengan sababun nuzul pada ayat ini, mengenai kisah Ma'qal bin Yasar, dimana ia telah menikahkan saudarinya, namun saudarinya itu ditalak suaminya dengan talak roj'iy. Suaminya meninggalkannya sampai habis masa iddahnya, namun setelah itu, si suami hendak ruju' dengan istrinya lagi, tetapi Ma'qal bersumpah tidak akan menikahkan saudaranya dengan mantan suaminya itu, sehingga turunlah ayat ini. Dan ini telah diriwayatkan dari Al-Bukhari, Abu Dawud dan At-Tirmidzi. Dan hadist ini telah dishahihkan oleh At-Tirmidzi dari Maqal bin Yasar. Dari sebab ini maka kita ketahui, wali itu dipertimbangkan dalam pernikahan, karena sekiranya tidak, maka tentu ayat ini tidak mencela perbuatan Ma'qal yang tidak mau menikahkan saudarinya melainkan akan menjelaskan bahwa perempuan itu bisa menikahkan dirinya sendiri.

Jadi sekiranya wanita itu memiliki hak untuk menikahkan dirinya sendiri. Maka ia akan melakukannya karena masih cintanya wanita tersebut terhadap suaminya. Oleh karena itu, jauhlah perkataan orang yang mengatakan bahwa khitab pada ayat ini adalah untuk para suami.

Dan telah datang pula suatu riwayat dari Ibnu Abbas, Aisyah, Thawus, Mujahid, dll tentang penafsiran ( ( ( Dalam ayat ( ( ( ( ( ( Artinya; Dan jika kalian menceraikan mereka sebelum kalian sentuh (campuri). Bahwa itu adalah wali.

2.

As-sunnah Pertama, diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashhabus Sunan kecuali An-Nasai:

( ( ( ( " : ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( (

Artinya: Dari Abi Musa, bahwa rasulullah SAW bersabda: tidak syah suatu pernikahan kecuali dengan adanya wali." Hadist ini dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim. Dan Hakim telah menyebutkan hadist ini dengan berbagai jalur. Dan ia mengatakan: Riwayat ini shahih dari istri-istri Nabi SAW, seperti Aisyah, Ummu Salamah, dan Zainab bin Jahsyin. Kemudian ia menguatkannya dengan menyebutkan 30 sahabat. Para ulamadisini lalu mengatakan: Ini adalah jelas bahwa nikah itu tidak syah tanpa adanya wali.

Kedua, diriwayatkan oleh Imam lima kecuali An-Nasai: , ( ( ( ( ( ( ( ( " : ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( , ( ( ( ( ( ( ( ( " ( ( ( ( ( ( ( , ( ( ( , ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( ( , ( ( ( ( Artinya: dari Aisyah R.A. berkata, Rasulullah SAW bersabda: Perempuan manapun yang dinikahkan dengan tanpa seizin walinya, maka nikah tersebut batal. Namun jika suami telah mencampurinya maka perempuan tersebut berhak mendapatkan mahar misly. Lalu jika mereka (tetap) menghalangi. Maka penguasa adalah wali bagi yang orang yang tidak memiliki wali.

Ketiga, diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ad-Daruquthny dan Al-Baihaqy: ( Artinya: Seorang perempuan tidak menikahkan perempuan lain, dan tidak (pula) menikahkan dirinya sendiri. Karena sesungguhnya pezina adalah dia yang menikahkan dirinya sendiri.

3.

Dalil Aqly Nikah memiliki maksud-maksud tertentu yaitu mengikat dua keluarga. Dan seorang wanita dengan kekurangan yang ia miliki berupa kurang bagusnya memilih biasanya lebih mengutamakan perasaannya, tidak pada logikanya. Maka hal tersebut menutupi timbulnya sisi kemashlahatan yang dikehendaki. Sehingga dapat disimpulkan bahwa wanita tersebut tercegah untuk mengakad dirinya sendiri secara

Bantahan-bantahan: Terhadap hadis di atas yang dikemukakan oleh jumhur untuk menunjukkan disyaratkannya wali nikah, ulama Hanafiyah yang tidak mewajibkan adanya wali bagi perempuan dewasa dan sehat pikirannya, menanggapi hadis-hadis tersebut sebagai berikut:

Hadis , mengandung dua arti, pertama tidak sempurna suatu perkawinan tanpa adanya wali, tapi bukan berarti tidak sah. Kedua, bila kata la itu diartikan tidak sah, maka arahnya kepada perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akalnya, karena terhadap dua perempuan tersebut ulama Hanafiyah juga mewajibkan adanya wali. Hadis , bahwa perkawinan yang batal itu bila perkawinan tanpa izin wali, bukan yang mengawinkannya hanyalah wali. Hadis yang melarang perempuan mengawinkan dirinya atau mengawinkan prempuan lain adalah bila perempuan itu masih kecil atau akalnya tidak sehat, sedangkan wanita yang sudah dewasa boleh saja mengawinkan dirinya atau mengawinkan orang lain. Namun menanggapi pernyataan ini, dalam kitab taudhihul ahkam di jelaskan bahwa, ini merupakan takwil yang sangat jauh, dan sebaiknya ditolak, sebab nash-nash pada masalah ini sudah sangat jelas sehingga tidak dibutuhkan lagi takwil-takwil seperti ini. Jumhur juga membantah pengambilan dalil golongan hanafiyah : " ( ( ( ( ( ( ( ( ( Karena hadits ini justru menetapkan adanya hak wali, hal itu didapat dari isim tafhdil ( ( , jadi wali juga punya hak, sehingga dapat dikatakan bahwa janda lebih berhak dari pada wali dari segi ridhonya, sedangkan wali lebih berhak dalam hal perwaliannya. Jumhur juga membantah pengqiyasan hak perwalian bagi seorang wanita dengan hak jual beli dengan tiga alasan: 1. qiyas itu adalah qiyas dengan sudah adanya nash sehingga pada asalnya, qiyas itu telah tertolak 2, di dalam mengqiyas maka syarat yang harus diperhatikan adalah adanya kesama'an antara dua hukum yang diqiyaskan, sementara nikah dan jual beli ini berbeda, sebab nikah adalah hal yang sangat dijaga dan diperhatikan, dan juga harus adanya pertimbanganperitmbangan yang baik mengenai akibat dari nikah, berbeda halnya dengan jual beli yang wilayahnya lebih luas, urusannya masih samar dan keadaannya tidak pasti. 3. terkadang sebagian akad pernikahan yang telah berlangsung akan menjadi sebuah kecacatan atau aib bagi keluarga yang lebih besar, yang tidak hanya terjadi pada salah satu dari pasangan saja. Sehingga wali disini bertindak sebagai orang yang memperhatikan kebahagian keluarga secara menyeluruh dalam hal kebaikan ataupun keburukannya. Analisis : membaca dan meneliti segala hadits dan segi pengambilan dalil dari kedua pendapat diatas, maka dapat diketahui, bahwa kedua pendapat ini memiliki dasar yang sama-sama kuat. Namun jalan yang paling aman dari ke duanya adalah mempertimbangakan adanya wali, berdasarkan kaedah ushul fiqih "al-kuruuju an al-Khilafi mustahabbun" (keluar dari perselisihan itu dianjurkan). faedah ini bisa kita terapkan apabila kita melihat satu jalan yang apabila diamalkan maka tidak akan terjadi hukum dosa, dan ini bisa diterapkan dalam masalah ini, karena jika kita mempertimbangkan wali, maka dalam pandangan ulama jumhur hati itu yang benar, dan dalam pandangan ulama hanafiyah juga dibolehkan, namun jika kita tidak mempertimbangkannya, maka dalam pandangan jumhur

nikahnya batal, meski dalam pandangan ulama hanafiyah nikahnya sah, dan didasarkan pada kehati-hatian, sebaiknya wali dalam nikah dipertimbangkan

[1] Di dalam subulus salam, keterangan mengenai ini di tambah, bahwa jika pernikahannya ternyata tidak sekufu, maka wali bisa menghalanginya.

inShare Share on : di Rabu, Januari 02, 2013 Label: Fiqih Munakahat Related Post Macam-macam dan Tertib Wali Nikah Kesalahan dalam Pelaksanaan Poligami Poligami dalam Kompilasi Hukum Islam Hikmah disyariatkannya Poligami Wali Mujbir bagi Gadis Perawan Syarat Adil Bagi Wali Nikah

You might also like